perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SKRIPSI
ASOSIASI CACING TANAH DAN KONSORSIUM ‘BPF’ PADA VERTISOLS YANG DIBERI SISA ORGANIK PENGARUHNYA TERHADAP KETERSEDIAAN P DENGAN INDIKATOR TANAMAN KACANG TANAH
Oleh : Vivin Widya Prawesti H0207072
PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ASOSIASI CACING TANAH DAN KONSORSIUM ‘BPF’ PADA VERTISOLS YANG DIBERI SISA ORGANIK PENGARUHNYA TERHADAP KETERSEDIAAN P DENGAN INDIKATOR TANAMAN KACANG TANAH
SKRIPSI
untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : Vivin Widya Prawesti H0207072
PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011 i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SKRIPSI
ASOSIASI CACING TANAH DAN KONSORSIUM ‘BPF’ PADA VERTISOLS YANG DIBERI SISA ORGANIK PENGARUHNYA TERHADAP KETERSEDIAAN P DENGAN INDIKATOR TANAMAN KACANG TANAH
Vivin Widya Prawesti H0207072
Pembimbing Utama
Pembimbing Pendamping
Dr. Ir. Widyatmani Sih Dewi, MP NIP. 19631123 198703 2 002
Ir. Sri Hartati, MP NIP. 19590909 198603 2 002
Surakarta, November 2011
Program Studi Ilmu Tanah Ketua
Ir. Sri Hartati, MP NIP. 195909 198603 2 002 commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SKRIPSI ASOSIASI CACING TANAH DAN KONSORSIUM ‘BPF’ PADA VERTISOLS YANG DIBERI SISA ORGANIK PENGARUHNYA TERHADAP KETERSEDIAAN P DENGAN INDIKATOR TANAMAN KACANG TANAH
yang dipersiapkan dan disusun oleh Vivin Widya Prawesti H0207072
telah dipertahankan di depan Tim Penguji pada tanggal: November 2011 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
Susunan Tim Penguji:
Ketua
Anggota I
Anggota II
Dr. Ir. Widyatmani Sih Dewi, MP NIP.19631123 198703 2 002
Ir. Sri Hartati, MP NIP.19590909 198603 2 002
Prof. Dr. Ir. H. S. Minardi, MP NIP.19510724 197611 1 001
Surakarta,
November 2011
Mengetahui Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian Dekan
Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS commit to198601 user 1 001 NIP. 19560225
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
segala
rahmat
dan
karunia-Nya,
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan penelitian sekaligus penyusunan skripsi ini Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Dr. Ir. Widyatmani Sih Dewi, MP., selaku pembimbing utama yang telah memberikan banyak arahan, masukan, saran, ide dan nasehat untuk penulisan skripsi ini. 3. Ir. Sri Hartati, MP., selaku pembimbing pendamping yang telah memberikan koreksi, bimbingan dan saran dalam penulisan skripsi ini. 4. Prof. Dr. Ir. H. Slamet Minardi, MP., selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan nasehat selama masa perkuliahan. 5. Ibunda tercinta Tri Prastiwi dan Ayahanda Bambang Suprapto Rahardjo (Alm.), yang telah memberikan kasih sayang yang tak terhingga, doa, nasehat, perhatian, dan dukungan baik moral maupun material. 6. Kakakku Oktovian Resta Prawidhaksa, ST dan adikku Vinka Azzah Prananda, atas kasih sayang, doa dan semangat yang selalu kalian berikan kepadaku, serta Abdul Yusup, S.Si yang tak pernah bosan memberiku semangat, perhatian dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. 7. Teman-temanku satu tim penelitian (Hari, Yaya, Riri, Mitha), atas kerjasama, dukungan, dan semangat selama penelitian hingga terselesainya skripsi ini. 8. Teman-temanku seperjuangan Ilmu Tanah Angkatan 2007 dan KMIT atas kebersamaan yang telah kita lalui dengan penuh suka dan duka. 9. Teman-teman Kos Sekartaji atas semangat yang kalian berikan kepadaku selama berada di rumah kedua. commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10. Segenap Laboran di Laboratorium Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan analisis laboratorium guna mendukung penelitian. 11. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan agar dapat lebih baik. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Amin.
Surakarta, November 2011 Penulis
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL .............................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................
iii
KATA PENGANTAR ...........................................................................
iv
DAFTAR ISI..........................................................................................
vi
DAFTAR TABEL .................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
ix
RINGKASAN ........................................................................................
x
SUMMARY ...........................................................................................
xi
I. PENDAHULUAN ...........................................................................
1
A. Latar Belakang ...........................................................................
1
B. Perumusan Masalah ...................................................................
3
C. Tujuan Penelitian .......................................................................
4
D. Manfaat Penelitian .....................................................................
4
II. LANDASAN TEORI ......................................................................
5
A. Tinjauan Pustaka ........................................................................
5
1. Permasalahan P padaVertisols ............................................
5
2. P di dalam Tanah dan Pentingnya Unsur Hara P bagi Tanaman Kacang Tanah .....................................................
6
3. Pemberian Sisa Organik untuk Meningkatkan P ................
8
4. Peran Cacing Tanah terhadap Ketersediaan P ....................
10
5. Asosiasi Cacing Tanah dengan BPF Pengaruhnya Terhadap P ..........................................................................
12
6. Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogeae L.) sebagai Indikator Kekahatan P ........................................................
13
B. Kerangka Berpikir ......................................................................
16
C. Hipotesis..................................................................................... commit to user
16
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
III. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................
17
A. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................
17
B. Bahan dan Alat ...........................................................................
17
C. Rancangan Penelitian .................................................................
18
D. Tata LaksanaPenelitian ..............................................................
19
E. Variabel Pengamatan .................................................................
21
F. Analisis Data ..............................................................................
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
23
A. Karakteristik Tanah dan Pencernaan Cacing Sebelum Perlakuan
23
B. Kualitas Sisa Organik dan Pupuk Phonska yang Digunakan pada Penelitian....................................................................................
26
C. Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi BPF saat Vegetatif Maksimum .................................................................................
29
1. Populasi BPF di dalam Tanah ..............................................
29
2. Populasi BPF di dalam Pencernaan Cacing Tanah. .............
32
3. Populasi BPF di dalam Kascing ...........................................
35
D. Pengaruh Asosiasi Cacing Tanah dengan Konsorsium BPF terhadap Ketersediaan P saat Vegetatif Maksimum ..................
38
1. P Tersedia dalam Tanah .......................................................
38
2. P Tersedia dalam Kascing ....................................................
40
E. Pengaruh Asosiasi Cacing Tanah dengan Konsorsium BPF yang Diberi Sisa Organik dan Pupuk Anorganik terhadap Serapan P Tanaman Kacang Tanah ............................................................
43
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................
46
A. Kesimpulan ................................................................................
46
B. Saran ...........................................................................................
47
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
48
LAMPIRAN...........................................................................................
52
V.
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul dalam Teks
Halaman
1.
Komposisi Kimia pada Kompos Kotoran Sapi ........................
8
2.
Kandungan Kimia pada Daun Jati (Tectona grandis)..............
9
3.
Karakteristik Tanah dan Pencernaan Cacing Sebelum Perlakuan..................................................................................
23
4.
Karakteristik Pupuk Kandang Sapi dan Seresah Daun Jati .....
27
5.
Karakteristik Pupuk Phonska ...................................................
29
6.
Hasil Analisis Populasi BPF di dalam Pencernaan Cacing Tanah (x1011 cfu)......................................................................
32
Hasil Analisis Jumlah Serapan P (mg.tanaman-1) pada Tiap Perlakuan..................................................................................
44
7.
Judul dalam Lampiran 8.
Ringkasan Data Hasil Analisis Ragam ....................................
58
9.
Hasil Pengamatan Rata-rata Populasi BPF di dalam Tanah, Pencernaan Cacing Tanah, dan Kascing ..................................
59
10. Hasil Pengamatan Rata-rata P Tersedia dalam Tanah dan Kascing ....................................................................................
61
11. Hasil Pengamatan Rata-rata pH H2O, Bahan Organik Tanah, Kapasitas Pertukaran Kation, dan Ca Tertukar Tanah .............
63
12. Hasil Pengamatan Rata-rata Tinggi Tanaman, Berat Kering Tanaman, P Jaringan, dan Serapan P .......................................
66
13. Hasil Pengamatan Rata-rata Biomasa Cacing Tanah dan Produksi Kascing .....................................................................
69
14. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan 95% pada Variabel Utama
71
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Judul dalam Teks
Halaman
Pengaruh pemberian cacing P.corethrurus, pupuk kandang sapi, seresah jati dan phonska terhadap BPF di dalam tanah (x106 cfu)........
30
Peningkatan populasi BPF di dalam tanah dari pemberian cacing tanah, sisa organik, dan pupuk anorganik terhadapkontrol (x106 cfu) ..
31
Peningkatan populasi BPF di dalam pencernaan cacing dengan pemberian cacing tanah, sisa organik, dan pupuk anorganik terhadap kontrol (x1011 cfu) .................................................................................
33
Pengaruh pemberian cacing P.corethrurus, pupuk kandang sapi, seresah jati dan phonska terhadap BPF di dalam kascing (x109 cfu) ....
35
Peningkatan populasi BPF di dalam kascing dengan pemberian cacing tanah, sisa organik, dan pupuk anorganik terhadap kontrol (x109 cfu) .............................................................................................
37
Pengaruh pemberian cacing P.corethrurus, pupuk kandang sapi, seresah jati dan phonska terhadap P tersedia dalam tanah (µg.g-1) .......
38
Peningkatan P tersedia dalam tanah pemberian cacing tanah, sisa organik, dan pupuk anorganik terhadap kontrol (µg.g-1) ......................
39
Pengaruh pemberian cacing P.corethrurus, pupuk kandang sapi, seresah jati dan phonska terhadap P tersedia dalam kascing (µg.g-1) ...
41
Peningkatan P tersedia dalam kascing dengan pemberian cacing tanah, sisa organik, dan pupuk anorganik terhadap kontrol (µg.g-1) ....
42
Peningkatan serapan P tanaman kacang tanah dengan pemberian cacing tanah, sisa organik, dan pupuk anorganik terhadap kontrol (mg.tanaman-1) ......................................................................................
45
Judul dalam Lampiran 11.
Dokumentasi Hasil Isolasi Konsorsium BPF.....................................
78
12.
Dokumentasi Penelitian .....................................................................
79
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
RINGKASAN
ASOSIASI CACING TANAH DAN KONSORSIUM ‘BPF’ PADA VERTISOLS YANG DIBERI SISA ORGANIK DAN PENGARUHNYA TERHADAP KETERSEDIAAN P DENGAN INDIKATOR TANAMAN KACANG TANAH. Skripsi: Vivin Widya Prawesti (H 0207072). Pembimbing: Dr. Ir. Widyatmani Sih Dewi, MP; Ir. Sri Hartati, MP; dan Prof. Dr. Ir. H. Slamet Minardi, MP. Program Studi: Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian UNS dari bulan Mei sampai Agustus 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh inokulasi cacing tanah yang berasosiasi dengan konsorsium BPF dengan diberi sisa organik dan pupuk anorganik terhadap ketersediaan P pada Vertisols. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan rancangan lingkungan berupa Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal, terdiri dari 9 taraf, yaitu: A0 (kontrol), A1 (cacing tanah Ponthoscolex corethrurus), A2 (A1 + 100% seresah daun jati), A3 (A1 + 100% pupuk kandang sapi), A4 (A1 + 50% seresahdaunjati + 50% pupukkandangsapi), A5 (A1 + 50% seresahdaunjati + 50% Phonska), A6 (A1 + 50% pupuk kandang sapi + 50% Phonska), A7 (A1 + 25% seresah daun jati + 25% pupuk kandang sapi + 50% Phonska), A8 (A1 + 100% Phonska). Analisis data menggunakan uji F taraf 5% atau Kruskal-Wallis, uji DMR taraf 5 % atau Mood Median, serta uji Korelasi dan uji Stepwise. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi cacing tanah P.corethrurus yang diberi sisa organik maupun pupuk anorganik dapat meningkatkan populasi konsorsium BPF, P tersedia pada Vertisols, serta serapan P tanaman kacang tanah masing-masing sebesar 481,48%; 93,36%; dan 58,02%. Populasi konsorsium BPF dalam Vertisols dan saluran pencernaan cacing tanah dicapai pada inokulasi cacing tanah P.corethrurus yang diberi pupuk kandang sapi yaitu 79 x 106 cfu dan 51,3 x 1011 cfu, sedangkan populasi konsorsium BPF dalam kascing dicapai pada inokulasi cacing tanah P.corethrurus yang diberi pupuk kandang sapi dan phonska yaitu 71,3 x 109 cfu. P tersedia dalam Vertisols tertinggi dicapai pada inokulasi cacing tanah P.corethrurus yang diberi pupuk kandang sapi yaitu 19,54 g.g-1. P tersedia dalam kascing tertinggi dicapai pada inokulasi cacing tanah P.corethrurus yang diberi pupuk kandang sapi dan phonska yaitu 25,33 µg.g-1. Rata-rata serapan P oleh tanaman kacang tanah yaitu sebesar 0,293 - 0,463 mg.tanaman-1.
Kata kunci: cacing tanah, kacang tanah, ketersediaan P, konsorsium BPF, Vertisols.
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SUMMARY
ASSOCIATION OF EARTHWORMS AND THE ‘PSB’ CONSORTIUM ON VERTISOLS GIVEN WITH ORGANIC RESIDUES AND THE EFFECT TO P AVAILABILITY WITH GROUND PEA PLANT AS INDICATOR. Thesis-S1: Vivin Widya Prawesti (H0207072). Advisors: Dr. Ir. Widyatmani Sih Dewi, MP; Ir. Sri Hartati, MP; and Prof. Dr. Ir. H. Slamet Minardi, MP. Study Program: Soil Science, Faculty of Agriculture, University of Sebelas Maret (UNS) Surakarta. This research was held on May until August 2011 in green house of Agricultural Faculty, Sebelas Maret University. This research aimed to know the effect of earthworms inoculation associated with the PSB consortium by which was given with organic residues and inorganic fertilizer to P availability on Vertisols. It was an experimental research used Completely Randomized Design within single factor, they were, AO (control), A1 (Ponthoscolex corethrurus earthworms), A2 (A1 + 100% litter teak leaf), A3 (A1 + 100% cow manure), A4 (A1 + 50% litter teak leaf + 50% cow manure), A5 (A1 + 50% litter teak leaf + 50% Phonska), A6 (A1 + 50% cow manure + 50% Phonska), A7 (A1 + 25% litter teak leaf + 25% cow manure + 50% Phonska), A8 (A1 + 100% Phonska). Analysis of data uses F test in level 5% or Kruskal-Wallis test, DMR test in level 5% or Mood Median test, and then Correlation test and Stepwise test. The results showed that inoculation of earthworms given with organic residues and inorganic fertilizer could increase the population of ‘PSB’ consortium, P availability on Vertisols, and P uptake by ground pea plant respectively for about 481,48%; 93,36%; and 58,02% from control. The highest population of PSB consortium on Vertisols and in gut of the earthworms was shown by inoculation of P.corecthrurus earthworms given with cow manure for about 79 x 106 cfu and 51.3 x 1011 cfu, while the highest population for PSB in cast was shown by inoculation P.corethrurus earthworms with cow manure and Phonska for about 71,3 x 109 cfu. The highest P availability on Vertisols was shown by inoculation P.corethrurus earthworms given with cow manure for about 19,54 µg.g-1. The highest P availability on cast was shown by inoculation P.corethrurus given with cow manure and Phonska for about 25,33 µg.g-1. Average of P uptake by ground pea plant for about 0,293 - 0,463 mg.plant-1.
Key words: availability of P, earthworms, ground pea, the PSB consortium, Vertisols.
commit to user xi
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Vertisols adalah tanah yang berwarna abu-abu gelap hingga kehitaman, bertekstur lempung, mempunyai slickenside dan rekahan secara periodik, serta mengandung mineral smektit. Di daerah tropis, penyebaran Vertisols mencapai 200 juta hektar atau sekitar 4% dari luas daratan (Prasetyo, 2007). Di Indonesia penyebaran Vertisols mencapai sekitar 2,1 juta hektar yang tersebar di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok, Sumbawa, Sumba dan Timor (Adimiharja, 2004). Vertisols berasal dari berbagai macam bahan induk, salah satunya berasal dari marl atau napal. Vertisols dari bahan induk tersebut didominasi oleh kation dapat tukar berupa Ca2+ dan Mg2+ (sekitar 30 - 60 cmol(+).kg-1). Kandungan P potensial (P2O5 dalam HCl 25% 1 N) pada Vertisols tersebut sangat rendah sekitar 4 mg per 100g. Rendahnya P disebabkan oleh bahan induk tanah yang miskin P, serta sebagian P yang dijerap oleh kation Ca2+ dan Mg2+ (Prasetyo, 2007). Permasalahan kahat P pada Vertisols tersebut dapat diatasi dengan pemberian masukan berupa sisa organik maupun pupuk anorganik. Sisa organik yang digunakan pada penelitian kali ini, antara lain pupuk kandang sapi yang memiliki kandungan P (dalam bentuk P2O5) sekitar 2,34%; kandungan C/N dan C/P yang rendah yaitu 8 dan 8,2 (Putri, 2010), serta seresah daun jati dengan kandungan P (dalam bentuk P2O5) sekitar 0,15% (Munawar, 2010), kandungan C/N dan C/P yang tinggi yaitu 26 dan 127,5 (Hairiah et al., 2004). Sedangkan pupuk anorganik yang digunakan yaitu pupuk NPK (Phonska). NPK merupakan pupuk majemuk (dalam satu pupuk mengandung beberapa jenis unsur hara) yang diperlukan tanaman dalam pertumbuhannya. Kadar N, P, dan K tersebut masing-masing sebesar 15% (Petrokimia Gresik, 2002a). commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
Untuk mempercepat penyediaan hara P bagi tanaman, yaitu setelah pemberian sisa organik maupun anorganik, perlu adanya peran mikrobia yang membantu proses dekomposisi, salah satunya adalah Bakteri Pelarut Fosfat (BPF). BPF merupakan kelompok mikrobia tanah yang berkemampuan melarutkan P yang terfiksasi dalam tanah. Mikrobia tersebut dapat menghasilkan asam-asam organik yang dapat membentuk khelat (kompleks stabil) dengan kation Ca dan Mg yang mengikat P, sehingga ion H2PO4- dan HPO42- menjadi bebas dari ikatannya dan tersedia bagi tanaman (Dewi, 2007). Tetapi, untuk lebih memaksimalkan kinerja BPF dalam pendekomposisian, dibutuhkan pula peran makrofauna seperti cacing tanah. Cacing tanah bersifat sebagai litter transformer, yaitu dapat memfragmentasi seresah menjadi ukuran lebih kecil yang akhirnya cocok didekomposisi oleh mikrobia. Di dalam kehidupannya, cacing tanah dapat mempengaruhi mikrobia tanah, baik secara langsung ataupun tidak langsung (Parkinson, 1988). Menurut Hanafiah, Napoleon, dan Ghofur (2005), pada tanah yang tererosi, ada kenaikan populasi bakteri Bacillus cereus setelah melalui usus cacing tanah, yaitu 13 kali lipat lebih tinggi dalam kotorannya dari pada tanah di sekitarnya. Cacing tanah meninggalkan kotorannya yang mengandung 32 juta bakteri/g tanah, padahal pada tanah di sekitarnya hanya ada 6,0 – 9,0 juta bakteri/g tanah. Dengan potensi tersebut, cacing tanah diduga mampu berasosiasi dengan BPF. Penelitian dilakukan dengan menggunakan tanaman kacang tanah, karena selain masih jarang diteliti, tanaman ini juga dapat dijadikan indikator yang baik dalam menunjukkan gejala kekahatan unsur hara. Selain itu, kacang tanah termasuk komoditas penting kedua bagi masyarakat Indonesia, setelah kedelai. Luas lahan kering di Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan palawija adalah 5,1 juta ha (Wijanarko dan Abdullah, 2008). Akan tetapi, pengembangan tanaman palawija seperti kacang tanah belum maksimal. Produksi kacang tanah nasional setiap tahunnya menurun, yaitu pada tahun 2006 masih mencapai 836.000 ton, kemudian pada tahun 2007 turun 790.000 commit to user ton, tahun 2008 kembali turun 770.000 ton dan tahun 2009 turun sebesar
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
763.000 ton, sehingga produksi kacang tanah tahun 2010-2011 dipastikan turun drastis. Oleh karena itu, volume impor kacang tanah nasional semakin meningkat, yaitu pada tahun 2006 mencapai 164.000 ton dengan nilai US$ 54 juta, tahun 2007 sebanyak 173.000 ton dengan nilai US$ 62 juta, tahun 2008 sebanyak 205.000 ton dengan nilai US$ 99,6 juta (Suhendra, 2011). Berdasarkan uraian di atas, maka perlu adanya penelitian mengenai peningkatan ketersediaan P oleh tanaman kacang tanah pada Vertisols, dengan inokulasi cacing tanah yang diduga dapat berasosiasi dengan bakteri pelarut fosfat (BPF), serta pemberian sisa organik (seresah daun jati dan pupuk kandang sapi), dan pupuk anorganik (Phonska). Oleh karena penelitian sebelumnya belum banyak dilakukan pada tanah alkali, maka penelitian ini dilakukan pada Vertisols yang mengalami permasalahan dalam ketersediaan hara P.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan di atas dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah Vertisols kahat unsur hara P? 2. Apakah dengan inokulasi cacing tanah pada Vertisols yang diberi sisa organik maupun pupuk anorganik, dapat meningkatkan populasi konsorsium BPF? 3. Apakah asosiasi antara cacing tanah dengan konsorsium BPF dapat meningkatkan ketersediaan hara P pada Vertisols? 4. Bagaimana respon tanaman kacang tanah terhadap ketersediaan hara P akibat pemberian sisa organik maupun pupuk anorganik, serta adanya asosiasi cacing tanah dan konsorsium BPF?
commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : a. Untuk mengetahui bahwa Vertisols kahat unsur hara P. b. Untuk mengetahui adanya peningkatan populasi konsorsium BPF pada Vertisols dengan inokulasi cacing tanah yang diberi sisa organik maupun pupuk anorganik. c. Untuk mengetahui peningkatan ketersediaan hara P pada Vertisols dengan adanya asosiasi antara cacing tanah dan konsorsium BPF. d. Untuk mengetahui respon tanaman kacang tanah terhadap ketersediaan P akibat pemberian sisa organik maupun pupuk anorganik, serta dengan adanya asosiasi cacing tanah dan konsorsium BPF.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan alternatif pengelolaan tanah alkali seperti Vertisols secara organik dan berkelanjutan, terutama dalam usaha untuk peningkatan hara tanah, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.
commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Permasalahan P pada Vertisols Menurut Munir (1996), karakteristik kimia dan fisika tanah Vertisols mempunyai kapasitas tukar kation tinggi, reaksi tanah bervariasi dari 6 – 8, mengandung bahan organik yang rendah dan kandungan lempung (clay) berkisar 35 – 90% total tanah. Selain itu status hara yang terkandung di dalam Vertisols tidak seimbang, pada penelitian Putri (2010), Vertisols memiliki tingkat kesuburan sedang cenderung rendah, sebab kandungan N, P, dan K total tanah berturut-turut sebesar 0,06% (sangat rendah), 0,20% (sangat rendah), dan 0,016% (sangat rendah). Unsur hara Ca2+ dan Mg2+ yang dapat ditukar berada dalam jumlah yang tinggi sehingga menyebabkan terfiksasinya unsur P dan menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Pada beberapa tanah di Indonesia, baik P total atau P tersedia sangat tinggi pada Vertisols yang berkembang dari batuan basic tetapi rendah pada tanah yang berkembang dari bahan vulkanis. Pada segi lain Vertisols yang berkembang dari bahan induk napal atau marl, kandungan P total atau P tersedia adalah rendah, demikian juga pada beberapa tanah alluvial atau tanah yang berkembang dari bahan induk berbatuan sedimen (Munir, 1996). Nilai pH yang tinggi pada tanah ini berhubungan dengan persentase kalsium dan magnesium yang tinggi. Nilai pH pada lapisan atas Vertisols biasanya pada batas 6 - 7,5; tetapi jika kandungan CaCO3 tinggi pH tanah ini berada pada rentang 7,2 - 8,5. Pada umumnya peningkatan pH berhubungan dengan peningkatan CaCO3 dan garam-garam lain. Pada kondisi pH yang tinggi pada tanah ini, penggunaan pupuk yang bersifat asam dapat disarankan (Tobing, 2009). commit to user 5
perpustakaan.uns.ac.id
6 digilib.uns.ac.id
2. P di dalam Tanah dan Pentingnya Unsur Hara P bagi Tanaman Kacang Tanah Beberapa sumber P, antara lain: dari perombakan bahan organik (menyumbang 20-80% dari total P dalam tanah), rabuk, kompos, pelarutan mineral P (mineral primer dan sekunder), batuan fosfat alam, pengendapan sedimen erosi, pupuk P (guano, SP-36, TSP). Secara umum P di dalam tanah dapat dikelompokkan menjadi P-organik dan P-anorganik. Bentuk P-organik di dalam tanah sekitar 10% terdapat dalam mikroorganisme. Porganik ini terdistribusi paling besar di permukaan tanah dibandingkan dengan subsoil, karena sesuai dengan akumulasi bahan organik. Panorganik tanah sebagian besar berkombinasi dengan Al, Fe, Ca, dan lainlainnya. Kelarutan kombinasi atau senyawa tersebut sangat bervariasi dari sangat larut hingga tak larut (Yuwono, 2004). Ketersediaan fosfat dalam tanah jarang yang melebihi 0,01% dari total P. Sebagian besar bentuk fosfat terikat oleh koloid tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan P: 1) jumlah lempung; tekstur makin halus retensi P makin besar dan kuat, 2) tipe lempung; tanah mengandung kaolinit dapat menahan atau memfiksasi P lebih tinggi, 3) waktu aplikasi; makin lama aplikasi maka makin besar P terfiksasi, 4) aerasi; oksigen diperlukan untuk pelapukan bahan organik (P), 5) pemadatan; dapat mengurangi serapan P, 6) lengas tanah; peningkatan lengas juga akan meningkatkan P, 7) status P tanah; tanah yang mendapatkan pupuk P akan memberikan status P lebih tinggi, 8) temperatur; terlalu tinggi atau rendah dapat membatasi ketersediaan P, 9) hara lain; penggunaan hara lain dapat meningkatkan serapan P, seperti pengapuran pada tanah masam, 10) kemasaman; kelarutan P sangat ditentukan oleh pH tanah, 11) tanaman; perakaran (tunjang/serabut) mempengaruhi penyerapan P commit to user (Winarso, 2005).
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Fosfor (P) merupakan unsur hara esensil tanaman. Fungsi penting fosfor di dalam tanaman, yaitu dalam proses fotosintesis, respirasi, transfer dan penyimpanan energi, pembelahan dan pembesaran sel. Pada tanaman biji-bijian, seperti tanaman kacang tanah, fungsinya yaitu untuk pembentukan biji. Oleh karena fosfor bersifat mobil, apabila tanaman defisiensi P maka P yang ada dalam jaringan tua dimobilisasi ke jaringan muda, sehingga yang defisiensi lebih dulu pada jaringan tua. Demikian juga apabila tanaman sudah memasuki fase generatif (masak), sebagian besar P dimobilisasi ke biji dan/atau buah atau bagian-bagian lain generatif tanaman, sehingga kadar P pada bagian tersebut lebih tinggi. Hal ini bukan berarti saat awal pertumbuhan tanaman tidak membutuhkan unsur P, tetapi P
dibutuhkan
sedikit,
khususnya
dalam
hubungannya
dengan
perkembangan perakaran tanaman (Winarso, 2005). Tanaman menyerap sebagian besar unsur hara P dalam bentuk ion orthofosfat primer (H2PO4-). Sejumlah kecil diserap dalam bentuk ion orthofosfat sekunder (HPO42-). Serapan hara P oleh tanaman hanya dapat melalui intersepsi akar dan difusi dalam jarak pendek (<0,02 cm) sehingga efisiensi pupuk umumnya sangat rendah yaitu sekitar 10%. Sebagian besar pupuk P yang tidak diserap oleh tanaman tidak hilang tercuci, tetapi menjadi hara P stabil yang tidak tersedia bagi tanaman yang selanjutnya terfiksasi sebagai Al-P dan Fe-P pada tanah masam (pH < 5,5) dan sebagai Ca-P pada tanah alkalis (pH > 6,5) (Pitaloka, 2004). Besarnya serapan P oleh tanaman kacang tanah dengan produksi sebesar 1,62 ton adalah 17,7 kg (dalam bentuk P2O5), jika dikonversi ke kg SP-36 sebesar 49,2% (dalam kadar 36% P2O5). Kadar P dalam biji kacang tanah dengan produksi sebesar 1,82 ton adalah 0,20%, sedangkan dalam batang kacang tanah dengan produksi sebesar 2,91 ton adalah 0,26% (Winarso, 2005).
commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Pemberian Sisa Organik untuk Meningkatkan P a. Pupuk Kandang Sapi Pupuk kandang adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak. Kualitas pupuk kandang sangat tergantung pada jenis ternak, kualitas pakan ternak, dan cara penampungan pupuk kandang. Pupuk kandang yang berasal dari sapi banyak mengandung mikrobia pengurai yang bermanfaat untuk meningkatkan jenis dan populasi mikrobia tanah. Ciri-ciri pupuk kandang yang baik dapat dilihat secara fisik atau kimiawi. Ciri fisiknya berwana cokelat kehitaman, cukup kering, tidak menggumpal, tidak berbau menyengat. Ciri kimiawinya adalah C/N rasio kecil dan temperaturnya stabil (Novizan, 2005). Menurut Balai Penelitian Tanaman Sayuran, komposisi kimia kompos kotoran sapi dengan pakan utama jerami padi fermentasi, ditunjukkan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Komposisi Kimia pada Kompos Kotoran Sapi Komposisi Kimia Kompos Kotoran Sapi Kadar air (%) 51,15 pH 8,8 Total N (%) 0,89 P2O5 (%) 0,36 K2O (%) 1,46 C/N 12 (Sutarno, 2008). Proses dekomposisi diketahui dari nisbah C/N ratio pupuk kandang yang rendah, sedangkan untuk proses mineralisasi diketahui dengan nisbah C/P. Nisbah C/P ratio yang nilainya > 200 menunjukkan proses mineralisasi lebih rendah dari pada proses imobilisasinya, sehingga proses pelepasan unsur hara menjadi sedikit dan kandungan haranya menjadi rendah karena dimanfaatkan oleh mikrobia sebagai sumber energi. Seperti halnya pada pupuk kandang sapi dengan biodekomposer cacing, mempunyai nisbah C/P ratio sebesar 346,77 (Yuwono, 2004).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
9 digilib.uns.ac.id
b. Seresah Daun Jati Seresah daun jati (Tectona grandis) merupakan salah satu sumber karbon (C) yang dapat digunakan untuk menjadi sumber energi atau makanan untuk mikrobia. Untuk mengetahui kandungan yang terdapat pada daun jati dilakukan analisis kimia dengan menggunakan metode analisis proksimat. Hasil dari analisis kandungan kimia daun jati (Tectona grandis) ditunjukkan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Kandungan Kimia pada Daun Jati (Tectona grandis) Analisa Bahan Persentase Berdasar BK (%) BK (bahan kering) 93,92 Abu 24,34 Kadar air 6,02 Protein kasar (PK) 5,82 Lemak kasar (LK) 6,63 Serat kasar 22,90 Carbon (C) 46,09 (Windyas, 2010). Bentuk daun jati umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Kandungan hara dari seresah jati tersebut, yaitu: N 0,63%; P 0,15%; K 0,92%; Ca 0,27%; dan Mg 0,19% (Munawar, 2010). Seresah adalah bagian mati tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga, dan buah yang gugur dan tinggal di permukaan tanah baik yang masih utuh ataupun telah sebagian mengalami pelapukan. Seresah bermanfaat dalam mempertahankan kegemburan tanah, menyediakan makanan bagi organisme tanah terutama makroorganisme ‘penggali tanah’ misalnya cacing tanah (Hairiah et al., 2004). Begitu pula dengan seresah seperti daun jati yang berbentuk lebar mengandung hara yang banyak, sehingga saat jatuh akan terdekomposisi dan membebaskan hara lebih banyak, sehingga siklus hara yang terjadi lebih tinggi dan commit to user tanah yang terbentuk akan lebih subur (Madjid, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
4. Peran Cacing Tanah terhadap Ketersediaan P Di dalam tanah terdapat 2 kelompok cacing tanah didasarkan pada fungsinya dalam ekosistem, yaitu: a. Cacing ‘penghancur seresah’ (epigeic). Kelompok tersebut hidup di lapisan seresah yang letaknya di atas permukaan tanah, tubuhnya berwarna gelap, tugasnya menghancurkan seresah sehingga ukurannya menjadi lebih kecil. b. Cacing ‘penggali tanah’ (anecic dan endogeic). Cacing ini hidup aktif dalam tanah, walaupun makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan ada pula dari akar-akar yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperan penting dalam mencampur seresah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan meninggalkan liang dalam tanah. Kelompok cacing ini membuang kotorannya di dalam atau di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan karbon (C) dan hara lainnya dari pada tanah di sekitarnya (Hairiah et al., 2004). Pontoscolex corethrurus merupakan jenis cacing penggali tanah (tipe endogeik) dan merupakan salah satu spesies eksotis. Dari beberapa hasil penelitian terungkap bahwa Pontoscolex corethrurus memiliki sebaran yang cukup luas di Indonesia. Cacing ini dapat dijumpai di tanah pertanian, belukar dan lapangan yang ditumbuhi rumput - rumputan (Suin, 2003). Cacing tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologis tanah. Kascing (pupuk organik bekas cacing atau campuran bahan organik sisa makanan cacing dan kotoran cacing) mempunyai kadar hara N, P dan K 2,5 kali kadar hara bahan organik semula, serta meningkatkan porositas tanah (pori total dan pori drainase cepat meningkat 1,15 kali). Penggunaan cacing Pheretima hupiensis, merupakan cacing tanah anesik (cacing yang memakan bahan organik di permukaan dan hidup di dalam tanah) dengan populasi 1 ekor/kg tanah, dan pemberian bahan organik 5 ton/ha dapat meningkatkan hasil tanaman palawija hingga 40% (Tim Sukses Kebijakan, 2008). commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Beberapa perbaikan sifat biologi tanah dari peranan cacing tanah, yaitu bermanfaat dalam meningkatkan aktivitas organisme tanah, meningkatkan keragaman organisme tanah, dan meningkatkan populasi organisme tanah. Cacing tanah menghasilkan kotoran cacing yang disebut sebagai "kascing". Kascing (kotoran cacing) mengandung ion fosfat dengan kadar yang tinggi. Ion fosfat merupakan salah satu ion essensial baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman, maupun untuk pembelahan sel dan pembesaran serta perkembangan sel dari berbagai organisme tanah (Madjid, 2009). Penelitian Sihombing (2010), bertujuan untuk mengetahui nilai unsur hara dalam perbandingan sampah organik 2 kg dengan sampah organik 2 kg ditambah cacing tanah 1/2 kg dan kotoran sapi 1 kg. Metode penelitian menggunakan 2 kali perlakuan dan setiap perlakuan dilakukan 3 kali ulangan. Dari hasil penelitian didapatkan pertambahan unsur hara Nitrogen sebanyak 0,206%, Fosfor 0,301% dan Kalium 0,57%. Ini menunjukkan bahwa cacing tanah dan kotoran sapi mampu menambah unsur hara N, P dan K dan bila dibandingkan dengan pupuk kompos organik yang beredar dipasaran, maka N, P dan K yang dihasilkan telah memenuhi syarat. Cacing tanah memiliki peranan yang cukup besar, diantaranya adalah meningkatkan kesuburan tanah. Sebagai makrofauna yang membuat liang, maka cacing tanah memakan serta menghaluskan bahan organik. Hasil kegiatan cacing tanah meningkatkan ketersediaan hara karena lebih banyak mengandung hara N, P dan K dari pada tanah di sekitarnya. Ketersediaan P mencapai 4-10 kali lipat daripada tanah di sekitarnya (Anonim, 2009).
commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Asosiasi Cacing Tanah dengan BPF dan Pengaruhnya terhadap P Sebagai makrofauna, cacing tanah merupakan habitat atau inang bagi mikrobia tertentu sehingga juga berfungsi sebagai vektor (penyebar) bagi mikrobia pada saat cacing bermigrasi. Telah ditemukan bakteri, fungi, alga, aktinomisetes, dan mikrobia lain yang hidup pada usus cacing tanah. Pada usus cacing tanah terdapat suatu mikroflora, terutama bagian anterior ke bagian pasteriornya, sehingga spesies penghuninya identik atau sedikit lebih bervariasi
dari
spesies
pada
tanah
sekitarnya
(Hanafiah, Napoleon, dan Ghofur, 2005). Cacing tanah mengkonsumsi bahan organik dan mikrobia tanah. Bahan organik yang telah dicerna oleh cacing tanah menjadi habitat yang lebih baik bagi mikrobia tanah, sedangkan mikrobia yang ikut termakan oleh cacing, apabila dia mempunyai daya tahan yang tinggi maka akan dikeluarkan lagi bersama dengan kascingnya. Selain itu, saluran pencernaan cacing kaya dengan mikrobia yang sama jenisnya dengan tanah di sekitarnya (Dewi, 2002). Peningkatan kandungan mineral P dan K pada tanah menunjukkan adanya peningkatan mineralisasi unsur-unsur tersebut yang disebabkan oleh aktivitas enzim dan mikroorganisme di dalam saluran pencernaan cacing tanah. Ketika bahan organik melintasi saluran pencernaan cacing tanah mengakibatkan perubahan fosfor ke dalam bentuk yang lebih mudah diserap oleh tumbuhan. Pelepasan ini diperantarai oleh fosfat yang dihasilkan di dalam saluran pencernaan cacing tanah, selanjutnya pelepasan fosfor dapat dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri pelarut fosfat di dalam kascing setelah dikeluarkan (Anonim, 2009). Meskipun cacing tanah memiliki pengaruh langsung yang sangat kecil pada siklus P dalam tanah, tetapi cacing tanah mungkin memiliki efek langsung secara substansi karena fosfatase (pada keadaan asam dan basa) dapat ditingkatkan melalui aktivitas cacing tanah, pada pencernaan, dan pada liang yang dibuat di dalam tanah; sehingga ketersediaan P (organik dan commit user terikat oleh Al dan Ca menjadi anorganik) dapat meningkat; ion Ptoyang
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bebas; dan penghematan pemakaian pupuk. Dengan demikian, sebanyak 9 sampai 13 kg/ha dari P organik dan anorganik, salah satunya berasal dari akumulasi hara P dalam tubuh cacing tanah dalam 1 tahun di padang rumput Selandia Baru. Pada saluran pencernaan maupun kascing mengandung lebih banyak P dari pada tanah di sekitarnya, sehingga dapat meningkatkan kegiatan mikrobia dan pertumbuhan akar tanaman, khususnya pada tanah yang miskin fosfor (Edward, 2004). Bakteri Pseudomonas fluorescens bisa berkembang biak dalam usus L. terrestris, karena tidak adanya kompetisi yang mendiami usus cacing tersebut. Pseudomonas corrugata juga bisa melalui usus A. trapezoides dan A. rosea dengan baik. Spesies cacing tanah yang berbeda dapat mempengaruhi jenis bakteri yang sama dengan cara yang berbeda. Misalnya, empat spesies cacing tanah Lumbricus memakan suatu inokulum P. corrugata dengan konsentrasi yang sama, tetapi populasi P. corrugata ditemukan pada saluran pencernaan A. longa sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada yang ditemukan di saluran pencernaan L. rubellus, A. calignosa, dan L. terrestris (Edward, 2004).
6. Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogeae L.) sebagai Indikator Kekahatan P Sistem taksonomi pada tanaman kacang tanah adalah sebagai berikut : Kerajaan: Plantae Divisi:
Tracheophyta
Sub divisi: Angiospermae Kelas:
Magnoliophyta
Ordo:
Leguminales
Famili:
Papilionaceae
Sub famili: Faboideae Bangsa:
Aeschynomeneae
Genus:
Arachis
Spesies:
commit to user 2011). Arachis hypogeae L. (Anonim,
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kacang tanah mempunyai manfaat yang sangat banyak, sehingga banyak masyarakat yang mengkonsumsinya, karena kacang tanah tersebut kaya akan lemak, mengandungi protein yang tinggi, zat besi, vitamin A, B, E dan K, kalsium, fosforus, lesitin, kolin, omega 3 dan 9. Kandungan protein dalam kacang tanah jauh lebih tinggi dari daging, telur dan kacang kedelai. Kacang tanah juga dikatakan mengandung bahan yang dapat membangun ketahanan tubuh dalam mencegah beberapa penyakit. Mengkonsumsi satu ons kacang tanah sebanyak lima kali dalam seminggu dilaporkan dapat mencegah
penyakit
jantung. Kacang
tanah
bekerja
meningkatkan
kemampuan pompa jantung dan menurunkan resiko penyakit jantung koroner (Anonim, 2011). Kekurangan unsur hara fosfor (P) pada tanaman secara umum akan menyebabkan : a. Terhambatnya pertumbuhan sistem perakaran, batang dan daun. b. Warna daun seluruhnya berubah menjadi hijau tua/keabu-abuan, mengkilap, sering pula terdapat pigmen merah pada daun bagian bawah, selanjutnya mati. Pada tepi daun, cabang dan batang terdapat warna merah ungu yang lambat laun berubah menjadi kuning. c. Hasil tanaman yang berupa bunga, buah dan biji merosot. Buahnya kerdilkerdil, nampak jelek dan lekas matang (Anonim, 2010). Kebutuhan fosfor pada tanaman kacang tanah adalah sekitar 39 kg P2O5/ha (Ispandi dan Abdul, 2004). Apabila kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi, maka pada tanaman kacang tanah akan mengalami kahat P yang mengakibatkan pertumbuhannya terhambat atau kerdil, daun menjadi hijau tua, tanaman tidak menghasilkan bunga dan buah, jika sudah terlanjur berbuah maka ukurannya kecil, jelek dan cepat matang (busuk) (Laras, 2010).
commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Benih kacang tanah yang digunakan pada penelitian ini adalah varietas domba, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: - Asal Persilangan
: Silang tunggal antara varietas Gajah (G) dengan ICGV
- Tipe tumbuh
: Tegak
- Percabangan
: Tegak
- Warna batang : Hijau - Warna daun
: Hijau tua
- Warna bunga
: Kuning
- Warna ginofora
: Hijau
- Warna biji
: Merah muda (rose)
- Bentuk biji
: Pipih
- Konstriksi polong
: Tidak berpinggang
- Jaring kulit polong
: Agak dalam
- Tinggi tanaman
: 22,3 - 69,1 cm
- Umur panen
: 90 - 95 hari
- Umur berbunga
: 28 - 32 hari
- Jumlah polong
: 8 - 30 polong
- Jumlah biji
: 3/4/2/1 per polong
- Berat 100 biji : 46,5 - 50,5 gram (rata-rata : 48,9 gram) - Berat 100 polong
: 152,5 gram
- Kandungan protein
: 23,20 %
- Kandungan lemak
: 44,10 %
- Rata-rata hasil
: 2,1 ton/ha polong kering
- Potensi hasil
: 3,6 ton/ha polong kering
- Ketahanan terhadap penyakit : Tahan terhadap Aspergillus flavus, agak tahan penyakit karat dan bercak daun - Toleransi abiotik
: Toleran kahat Fe dan adaptif di Alfisols alkalis
(Departemen Pertanian, 2004). commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B.
Kerangka Berfikir
Vertisols
Pemberian sisa organik (pupuk kandang sapi dan seresah daun jati)
Cacing tanah Permasalahan : Ca2+ tinggi; sehingga P rendah
Pemberian pupuk anorganik NPK(Phonska)
Konsorsium bakteri pelarut fosfat (BPF)
P tersedia di dalam tanah tinggi
Serapan P oleh tanaman kacang tanah (Arachis hypogeae L.) meningkat
C. Hipotesis 1. Hi : Vertisols kahat unsur hara P. 2. Hi : Inokulasi cacing tanah pada Vertisols yang diberi sisa organik maupun pupuk anorganik berpengaruh terhadap peningkatan populasi konsorsium BPF. 3. Hi : Asosiasi antara cacing tanah dan konsorsium BPF berpengaruh terhadap peningkatan ketersediaan hara P pada Vertisols. 4. Hi : Ada respon pada tanaman kacang tanah yang berpengaruh terhadap ketersediaan hara P akibat pemberian sisa organik maupun pupuk commit to user anorganik serta adanya asosiasi cacing tanah dan konsorsium BPF.
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Analisis biologi tanah dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah, dan analisis kesuburan tanah serta analisis jaringan tanaman dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pelaksanaan penelitian ini yaitu pada bulan Mei 2011 – Agustus 2011. B. Bahan dan Alat 1. Bahan a. Sampel Vertisols
k. HClO4
b. Benih kacang tanah varietas
l. Na4P2O7.10H2O 4%
’Domba’
m. NH4COOH 1 N
c. Cacing tanah Ponthoscolex corethrurus
n. Alkohol 95% o. NaCl 10%
d. Pupuk kandang sapi
p. NaOH 45%
e. Seresah daun jati
q. HCl 0,1 N
f. Pupuk anorganik NPK
r. H3BO3 2%
(Phonska)
s. Butir Zn
g. Aquadest
t. K2Cr2O7
h. Medium Pikovskaya
u. H2SO4 pekat
i. Garam fisiologis
v. H3PO4 85%
j. HNO3 pekat
w. FeSO4 1 N
2. Alat a. Polybag
e. Haemacytometer
b. Saringan tanah Ø 2 dan 0,5 mm
f. Autoklaf
c. Cangkul dan cetok d. Plastik sampel
g. Petridish commit to userh. Lampu bunsen
17
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
i. Timbangan
p. Tabung reaksi
j. Oven
q. Pipet drop dan ukur
k. Eksikator
r. Gelas ukur 200 dan 500 ml
l. Spektrofotometer
s. Flakon
m. Hidrometer
t. Erlenmeyer
n. pH meter
u. Labu destilasi
o. Kertas Whatman
v. Destilator
C. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan rancangan lingkungan berupa Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan faktor tunggal, yaitu dengan pemberian cacing tanah dan berbagai imbangan sisa organik dan pupuk anorganik. Perlakuan terdiri dari 9 taraf, yaitu: A0 : kontrol. A1 : cacing tanah Ponthoscolex corethrurus (3 ekor). A2 : A1 + 100% seresah daun jati (14 g). A3 : A1 + 100% pupuk kandang sapi (15 g). A4 : A1 + 50% seresah daun jati (7 g) + 50% pupuk kandang sapi (7,5 g). A5 : A1 + 50% seresah daun jati (7 g) + 50% pupuk anorganik Phonska (0,3 g). A6 : A1 + 50% pupuk kandang sapi (7,5 g) + 50% pupuk anorganik Phonska (0,3 g). A7 : A1 + 25% seresah daun jati (3,5 g) + 25% pupuk kandang sapi (4 g) + 50% pupuk anorganik Phonska (0,3 g). A8 : A1 + 100% pupuk anorganik Phonska (0,6 g). Semua perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh 27 pot percobaan. Keterangan : · 100% pupuk kandang sapi
= 5 ton/ha (Deptan, 2008).
· 100% pupuk anorganik NPK commit = 250 to kg/ha user (Petrokimia Gresik, 2002b).
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Tata Laksana Penelitian 1. Pengambilan sampel tanah Pengambilan sampel Vertisols diambil di wilayah Gemolong, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, sebanyak 5 titik secara acak. Setiap titik, tanah diambil dengan menggunakan cangkul pada lapisan olah 20 cm kemudian dikomposit. 2. Persiapan media tanah Sampel tanah yang telah diambil, dikering-anginkan, ditumbuk dan diayak dengan saringan lolos Ø 5 mm, selanjutnya dimasukkan ke dalam polibag sebanyak 5 kg/polibag (Lampiran 2). 3. Pemberian sisa organik dan pupuk anorganik Sisa organik yang digunakan adalah pupuk kandang sapi dan seresah daun jati. Seresah daun jati digiling halus sampai berukuran 1-2 mm. Dosis anjuran untuk sisa organik, yaitu 5 ton/ha (Deptan, 2008) setara berat kering angin (Lampiran 2). Sisa organik tersebut dimasukkan ke dalam polibag dan diberikan sekali sebelum penanaman benih. Selain itu, disiapkan pula pupuk tambahan berupa pupuk anorganik majemuk (NPK) atau Phonska, diberikan sekali pada 20 HST, dengan dosis anjuran 250 kg/ha (Petrokimia Gresik, 2002b) (Lampiran 2). 4. Inokulasi cacing tanah Pemberian cacing tanah dilakukan setelah tanah dan sisa organik dimasukkan ke dalam polibag, kemudian diberi air secukupnya hingga tanah lembab. Setelah diinkubasi selama 3 hari, cacing tanah diletakkan di permukaan tanah pada polibag, dan dibiarkan masuk sendiri ke dalam tanah. Jenis cacing tanah yang diberikan adalah Ponthoscolex corethrurus. Banyaknya cacing tanah didasarkan pada populasi minimum cacing tanah pada tanah sehat, yaitu 100 ekor/m2 (Edward, 2004). Apabila dikonversi dalam berat tanah per polibag (5 kg) kurang lebih akan setara dengan 3 ekor cacing tanah (Lampiran 2). commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Penanaman Benih kacang tanah yang digunakan diseleksi terlebih dahulu, yaitu dengan direndam dalam air (benih kacang tanah yang mengapung, tidak dapat digunakan). Benih kacang tanah yang dipilih, yaitu kulit benihnya mengkilap, tidak keriput dan cacat, daya tumbuh kecambah yang tinggi (lebih dari 90 %) dan sehat (tidak berpenyakit), serta murni atau tidak tercampur dengan varietas lain. Kemudian benih tersebut ditanam pada media tanam yang telah dipersiapkan sebanyak 2 benih/polibag. Pada 7 HST dilakukan penjarangan, sehingga didapatkan 1 tanaman yang seragam pada masing-masing polibag. 6. Pemeliharaan Selama pertumbuhan tanaman kacang tanah, jika ada gulma dan hama,
pengendaliannya
adalah
secara
manual.
Gulma
dicabut
(penyiangan), dan hama diambil dan dimatikan. 7. Penyiraman Penyiraman dengan air dilakukan setiap harinya (pagi atau sore), hingga diperoleh kondisi kapasitas lapang. Jumlah air yang diberikan sesuai dengan kebutuhan air per polibag adalah sekitar 2,6 liter (Lampiran 2). 8. Pengambilan sampel tanaman pada fase vegetatif maksimal Pengambilan sampel tanaman dilakukan pada saat tanaman kacang tanah mencapai fase vegetatif maksimum yang ditandai dengan mulai munculnya bunga sebanyak 85% dari semua perlakuan, sekitar 30 HST.
commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. Variabel Pengamatan Variabel
Metode Utama
1 2 3
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12
13
P tersedia Populasi BPF Serapan P
Biomasa & populasi cacing tanah Produksi kascing C/P pupuk kandang sapi dan seresah jati Ciri visual kahat P
Cacing Tanah (HST)
Kascing (HST)
Tanaman Kacang Tanah (HST)
Olsen*
0 v
30 v
0 -
30 -
0 -
30 v
0 -
30 -
Plate Count
v
v
v
v
-
v
-
-
% P jaringan dikali berat brangkasan kering
-
-
-
-
-
-
-
v
0
30
0
30
0
30
0
30
-
-
-
-
-
-
-
v
v
-
-
-
-
-
-
-
Pendukung P jaringan Ekstrak campuran HNO3 dan HClO4* tanaman P total Ekstrak HCl tanah 25%* Tinggi Pengukuran tanaman manual Berat kering Gravimetri tanaman Tekstur Bouyoucos* tanah Bahan Walkley and organik Black* tanah pH H2O Elektrometri (pH dan KCl meter)* Ekstrak NH4OAc KPK pH 7* Ca tertukar
Tanah (HST)
Diukur setiap minggu -
-
-
-
-
-
-
v
v
-
-
-
-
-
-
-
v
v
-
-
-
-
-
-
v
v
-
-
-
-
-
-
v
v
-
-
-
-
-
-
Pengabuan basah HNO3 dan HClO4*
v
v
-
-
-
-
-
-
Gravimetri & Perhitungan manual
-
-
v
v
-
-
-
-
Perhitungan manual
-
-
-
-
-
v
-
-
Walkley & Black dan Pengabuan basah HNO3 & HClO4*
Sebelum digunakan
Pengamatan visual
Diamati setiap minggu pada tanaman kacang tanah
Keterangan : v : yang dianalisis.
commit to user *) Sumber : Balai Penelitian Tanah, 2005a.
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Analisis Data Data yang diperoleh terlebih dahulu diuji dengan Uji Normalitas. Apabila data normal dilanjutkan dengan Uji F taraf 5%, sedangkan apabila data tidak normal dilanjutkan dengan Uji Kruskal-Wallis. Kedua uji tersebut bertujuan
untuk
mengetahui
pengaruh
perlakuan
terhadap
variabel
pengamatan. Untuk membandingkan rerata antar kombinasi perlakuan digunakan Uji Jarak Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) taraf 5% (untuk data normal) atau Mood Median (untuk data tidak normal). Kemudian untuk mengetahui keeratan hubungan antar variabel digunakan Uji Korelasi dan dilanjutkan dengan Uji Regresi (Stepwise Regression).
commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Tanah dan Pencernaan Cacing Sebelum Perlakuan Tanaman merupakan organisme yang kehidupannya membutuhkan asupan hara atau nutrisi. Hara-hara tersebut sebagian besar diperoleh dari hasil serapan akar tanaman, sehingga hampir seluruh hara tanaman (nutrient plant) berada di dalam tanah. Unsur hara yang terkandung dalam tanah dipengaruhi oleh sifat fisik, kimia, maupun biologi tanah. Oleh karena setiap jenis tanah memiliki tingkat kesuburan tanah yang berbeda-beda, maka pada penelitian kali ini dilakukan analisis karakteristik tanah sebelum perlakuan. Analisis ini digunakan sebagai pembanding dengan analisis pada saat vegetatif maksimum untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Hasil dari analisis tanah dan pencernaan cacing sebelum perlakuan disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Karakteristik Tanah dan Pencernaan Cacing Sebelum Perlakuan No Variabel Pengamatan Satuan Hasil Pengharkatan 1 Tekstur Tanah % Pasir : 35 Lempungan/ Debu : 21 Clay* Lempung : 44 2 pH Tanah 7,3 Netral* 3 C-organik Tanah % 2,66 Sedang* 4 Bahan Organik Tanah % 4,78 Sedang* -1 5 Kapasitas Tukar Kation cmol(+).kg 28,53 Tinggi* 6 N Total Tanah % 0,20 Rendah* 7 C/N Tanah 13,30 Sedang* 8 P Total Tanah % 0,29 Rendah* 9 P Tersedia Tanah µg.g-1 10,14 Rendah* 10 C/P Tanah 9,17 11 K Total Tanah % 1,29 Rendah* 12 Ca Tertukar cmol(+).kg-1 17,75 Tinggi* 13 Populasi BPF dalam cfuם 2,8x104 Tanah 14 Populasi BPF dalam cfuם 2,3x106 Pencernaan Cacing Sumber : Analisis Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNS 2011. Keterangan : *) Pengharkatan Menurut Penelitian Tanah 2005a. commitBalai to user ם ) cfu : colony forming unit.
23
perpustakaan.uns.ac.id
24 digilib.uns.ac.id
Dari Tabel 4.1 di atas dapat diketahui beberapa karakteristik tanah yang menunjukkan bahwa tanah yang digunakan pada penelitian ini berordo tanah Vertisol yang berasal dari wilayah Gemolong, Sragen, Jawa Tengah. Vertisols merupakan jenis tanah yang bertekstur lempung (clay) dan berwarna kelam, serta memiliki sifat khusus yakni sifat vertik. Sifat ini disebabkan karena Vertisols memiliki kandungan mineral montmorilonit tipe 2:1 yang relatif banyak, sehingga dapat mengkerut (shrinking) jika kering dan mengembang (swelling) jika jenuh air (Munir, 1996). Salah satu penciri Vertisols secara fisik dapat dilihat dari tekstur tanahnya. Tekstur tanah merupakan perbandingan antara fraksi atau partikel primer tanah yang berupa pasir (sand), debu (silt), dan lempung (clay) (Hardjowigeno, 1995). Dari hasil analisis tanah sebelum perlakuan (Tabel 4.1), didapatkan persentase fraksi tanah terdiri dari 35% pasir, 21% debu, dan 44% lempung, sehingga dalam pengharkatannya termasuk tekstur lempungan (clay). Menurut penelitian Prasetyo (2007) bahwa tanah Vertisol yang diteliti dari berbagai wilayah mempunyai tekstur yang tergolong pada lempung (clay) berat dengan kandungan fraksi lempung (clay) > 60%, sehingga sulit untuk diolah. Tingginya kandungan fraksi lempung (clay) berhubungan dengan bahan induk tanahnya. Bahan induk Vertisols yang berasal dari Gemolong, Sragen tergolong pada bahan yang mudah lapuk, seperti napal, sehingga ukuran butirannya halus (< 2 µm). Penciri Vertisols berbahan induk napal juga dapat dilihat dari sifat kimia yaitu tingginya kapasitas tukar kation, pH tanah, dan Ca tertukar tanah. Kapasitas tukar kation merupakan jumlah total kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid yang bermuatan negatif (Foth, 1998). Dari Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa kapasitas tukar kation pada Vertisols sebesar 28,53 cmol(+).kg-1 (tinggi). Tanah yang memiliki tekstur tanah yang halus, kapasitas tukar kationnya akan makin tinggi. Selain dipengaruhi oleh teksturnya, kandungan mineral lempung (clay) monmorilonit di dalam Vertisols juga berperan dalam penjerapan dan pertukaran ion, karena commit to user mempunyai inti yang bermuatan negatif sehingga mampu menjerap kation.
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
Mineral lempung (clay) ini menyebabkan jumlah tapak jerapan ion akan makin besar sehingga kapasitas tukar kation makin besar pula (Sutanto, 2005). Kation tukar yang mendominasi Vertisols tersebut sangat bergantung pada bahan induknya. Bahan induk napal didominasi oleh kation dapat tukar Ca2+. Dari Tabel 4.1 menunjukkan bahwa besarnya Ca tertukar di dalam tanah yaitu 17,75 cmol(+).kg-1. Dengan tingginya kation Ca menyebabkan terjadi kelarutan basa di dalam tanah, sehingga pH tanah meningkat. Nilai pH tanah yang didapat dari hasil analisis tanah sebelum perlakuan adalah 7,3 (netral). Bahan organik tanah merupakan salah satu sifat kimia tanah yang penting. Bahan organik tanah merupakan penimbunan seluruh atau sebagian dari pembentukan baru sisa hewan dan tumbuhan (Buckman, 1982). Kandungan bahan organik tanah sebelum perlakuan yaitu sebesar 4,78% (sedang). Kadar bahan organik dapat mempengaruhi jumlah dan ketersediaan unsur hara di dalam tanah, karena bahan organik tanah dapat memberikan pasokan unsur hara makro secara langsung di dalam tanah. Namun, kadar bahan organik tanah yang cukup banyak tersebut, ternyata ketersediaan hara P serta hara makro lainnya seperti N dan K dalam Vertisols masih tergolong rendah. Terlihat pada Tabel 4.1, bahwa besarnya N, P, dan K total berturutturut adalah 0,20%; 0,29%; dan 1,29%. Ketersediaan N dan K yang bersifat mobil menyebabkan hara tersebut mudah mengalami pencucian dan penguapan bila kondisi memungkinkan pergerakannya (Syehkfani, 1994) serta difiksasi oleh mineral lempung (clay) tanah (Sutanto, 2005), sedangkan ketersediaan P yang rendah disebabkan karena P bersenyawa dengan dengan kalsium (Ca) sebagai Ca-P membentuk senyawa kompleks yang sukar larut (Ginting, Saraswati, dan Husen, 2006), sehingga hara tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Ardika, Utami, dan Purwanto (2008) menambahkan bahwa pada tanah-tanah kawasan tropika seperti tanah kapuran atau napal umumnya kahat P karena keberadaan unsur Ca dan pH yang tinggi. Oleh karena itu, permasalahan utama pada penelitian ini yaitu bahwa Vertisols mengalami kahat unsur hara P. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
26 digilib.uns.ac.id
Ketersediaan unsur hara dalam tanah dapat ditingkatkan melalui aktivitas mikrobia tanah. Mikrobia yang dapat menyediakan hara P dalam tanah salah satunya adalah BPF. BPF (bakteri pelarut fosfat) merupakan kelompok mikrobia tanah yang berkemampuan melarutkan P yang terfiksasi dalam tanah dan mengubahnya menjadi bentuk yang tersedia sehingga dapat diserap tanaman (Dewi, 2007). Jumlah populasi BPF pada tanah sebelum perlakuan yang diisolasi melalui media Pikovskaya adalah 2,8x104 cfu (Tabel 4.1). Pada penelitian ini juga diinokulasi cacing tanah yang dapat membantu meningkatkan populasi BPF melalui asosiasinya dengan BPF di saluran pencernaan cacing tanah. Jumlah populasi BPF dalam saluran pencernaan cacing tanah sebelum perlakuan adalah 2,3x106 cfu (Tabel 4.1). Jumlah populasi BPF pada kedua tempat tersebut ternyata masih belum cukup untuk melarutkan P yang banyak terfiksasi oleh ion Ca2+. Hal ini terbukti dari Tabel 4.1, bahwa P tersedia dalam tanah masih rendah (10,14 µg.g-1). Oleh sebab itu, untuk meningkatkan ketersediaan P dalam Vertisols, perlu dilakukan penambahan sisa organik maupun pupuk anorganik yang diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan P dalam Vertisols. Hasil dari perlakuan tersebut selebihnya akan dibahas pada sub bab selanjutnya.
B. Kualitas Sisa Organik dan Pupuk Phonska yang Digunakan pada Penelitian Penambahan sisa organik merupakan suatu tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman, karena sisa organik berperan cukup besar dalam memperbaiki permasalahan Vertisols baik dari sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, seperti yang telah dibahas di atas. Secara fisik, sisa organik dapat menyediakan air dan menjadikan tanah lebih gembur sehingga lebih ringan untuk diolah. Secara kimia, sisa organik menyumbangkan unsur hara terutama unsur hara makro N, P, dan K, serta unsur hara mikro esensial. Secara biologi, sisa organik juga dapat menjadi sumber energi dan makanan bagi makrofauna seperti cacing tanah serta mikrobia tanah sehingga akan meningkatkan aktivitas mikrobia tanah termasuk BPF yang sangat bermanfaat dalam commit to user 2005b). penyediaan hara P bagi tanaman (Balittanah,
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
Kualitas sisa organik yang baik dilihat dari nisbah C/N yang lebih rendah dan kadar hara N, P dan K yang lebih tinggi. Kecepatan dekomposisi sisa organik dipengaruhi oleh nisbah C/N. Sisa organik dengan nisbah C/N rendah yaitu < 20, lebih cepat terdekomposisi sehingga segera menyediakan berbagai unsur hara ke dalam tanah dan lebih cepat diserap oleh tanaman (Iqbal, 2008), sedangkan untuk proses mineralisasi diketahui dengan nisbah
C/P. Nisbah C/P ratio yang nilainya > 200 menunjukkan proses mineralisasi lebih rendah dari pada proses imobilisasinya, sehingga proses pelepasan unsur hara menjadi sedikit dan kandungan haranya menjadi rendah karena dimanfaatkan oleh mikrobia sebagai sumber energi (Yuwono, 2004). Jenis sisa organik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pupuk kandang sapi dan seresah daun jati. Adapun hasil analisis laboratorium dari kedua jenis sisa organik tersebut disajikan dalam Tabel 4.2. Tabel 4.2 Karakteristik Pupuk Kandang Sapi dan Seresah Daun Jati No Jenis Sisa Variabel Satu- Hasil PengharStandar Organik Pengamatan an katan* SNI* 1 Pupuk C-organik % 24,39 Minimal 15% Kandang Sapi N total % 2,52 0,65% P2O5 % 1,49 0,15% K2O % 0,47 0,30% C/N 9,68 Rendah 12 - 25 C/P 16,37 2 Seresah Daun C-organik % 37,85 Minimal 15% Jati N total % 1,40 P2O5 % 0,27 K2O % 0,20 C/N 27,04 Tinggi 12 - 25 C/P 140,18 Sumber : Analisis Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNS 2011. Keterangan : *) Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik (Balittanah, 2005a).
Pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi banyak mengandung mikrobia pengurai yang bermanfaat untuk meningkatkan jenis dan populasi mikrobia tanah (Novizan, 2005). Berdasarkan hasil analisis sisa organik pada Tabel 4.2 dapat diketahui kandungan pada pupuk kandang sapi commit to C-organik user sebesar 24,39%, dengan kandungan unsur hara N, P2O5, dan K2O berturut-
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
turut sebesar 2,52%; 1,49%; dan 0,47%; sehingga didapat nisbah C/N 9,68 dan C/P 16,37. Kandungan hara dalam pupuk kandang sangat menentukan kualitasnya. Berdasarkan hasil analisis pupuk di laboratorium, dapat diketahui bahwa kualitas pupuk kandang sapi cukup baik, karena kandungan haranya yang tinggi serta nisbah C/N dan C/P yang rendah, sehingga pupuk tersebut dapat mencukupi kebutuhan unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman dan mikrobia dalam tanah. Selain pupuk kandang sapi, seresah daun jati juga dapat digunakan untuk memasok unsur hara ke dalam tanah yang dibutuhkan tanaman. Seresah daun jati merupakan salah satu sumber karbon (C) yang dapat digunakan sebagai sumber energi atau makanan untuk mikrobia. Dari hasil analisis laboratorium pada Tabel 4.2 diketahui bahwa kandungan C-organik sebesar 37,85%; serta kandungan hara N 1,40%; P2O5 0,27%; dan K2O 0,20%. Kandungan Corganik yang tinggi dan unsur hara yang rendah tersebut berbanding terbalik dengan pupuk kandang sapi. Hal ini menyebabkan nisbah C/N dan C/P tinggi, yaitu masing-masing sebesar 27,04 dan 140,18; sehingga kualitas pupuk kandang sapi lebih baik dibandingkan dengan seresah daun jati. Pada penelitian kali ini digunakan pula pupuk anorganik yaitu Phonska. Pupuk anorganik ini berperan sebagai pemasok unsur hara, terutama unsur hara makro berupa N, P, dan K, yang diduga lebih cepat tersedia bagi tanaman. Pupuk anorganik Phonska merupakan pupuk majemuk yang mempunyai kandungan lebih dari satu macam unsur hara yang diperlukan tanaman dalam pertumbuhannya. Kandungan hara pupuk Phonska terdiri dari unsur utama N, P, dan K dengan perbandingan 15% N (nitrogen), 15% P2O5 (fosfor), 15% K2O (kalium) (Petrokimia Gresik, 2002a). Hasil dari analisis pupuk Phonska di laboratorium disajikan pada Tabel 4.3, terlihat bahwa kandungan hara N 16,56%; P2O5 12,92%; dan K2O 14,20%. Hasil tersebut ternyata tidak sepenuhnya sama dengan standar dari pabrik, yaitu 15% untuk kandungan ketiga unsur N, P, dan K. commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4.3 Karakteristik Pupuk Phonska No Variabel Pengamatan Satuan 1 N total % 2 P2O5 % 3 K2O % 4 Jumlah kadar N, P2O5, % dan K2O
Hasil 16,56 12,92 14,20 43,68
Standar SNI* Minimal 6% Minimal 6% Minimal 6% Minimal 30%
Sumber: Hasil Analisis Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNS 2011. Keterangan : *) Syarat Mutu Pupuk NPK Padat menurut SNI 02-2803-2000 (Balittanah, 2005a).
C. Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi BPF saat Vegetatif Maksimum 1. Populasi BPF di dalam Tanah Populasi BPF dapat diketahui dengan cara mengisolasi dari tanah di sekitar perakaran tanaman. Media selektif yang digunakan untuk mengisolasi BPF tersebut adalah media agar Pikovskaya yang berwarna putih keruh. Potensi mikrobia untuk melarutkan fosfat secara kualitatif dicirikan oleh zona bening (halozone) di sekitar koloni mikrobia yang tumbuh (Lampiran 12). Pemberian cacing tanah serta berbagai sisa organik dan pupuk anorganik dapat mempengaruhi populasi BPF di dalam tanah. Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 4), diketahui bahwa inokulasi cacing tanah yang diberi sisa organik dan pupuk anorganik berpengaruh sangat nyata terhadap populasi BPF di dalam tanah (p < 0,01). Pengaruh perlakuan terhadap populasi BPF di dalam tanah disajikan pada Gambar 4.1. Berdasarkan hasil uji jarak berganda Duncan (Gambar 4.1), diketahui bahwa populasi BPF di dalam tanah pada perlakuan A2, A3, A6, dan A8 berbeda nyata terhadap kontrol (A0). Perlakuan pemberian cacing tanah dan sisa organik baik dalam bentuk pupuk kandang sapi maupun seresah daun jati dengan dosis tinggi (A2 dan A3) mampu meningkatkan populasi BPF di dalam tanah. Penambahan sisa organik dalam tanah sebagai sumber karbon tanah berpengaruh sangat menyolok atas jumlah berbagai mikrobia dan aktivitas biologi tanah lainnya. Hal ini dikarenakan commit to user sisa organik mampu menyajikan nutrisi bagi bakteri dan mikrobia lainnya.
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain itu, penambahan Phonska juga dapat meningkatkan populasi BPF di dalam tanah (A6 dan A8), karena kandungan hara dalam Phonska seperti P
6
BPF TANAH (x10 cfu)
juga diperlukan oleh BPF untuk mensintesis selnya.
PERLAKUAN Keterangan : A0 : kontrol A1 : cacing P. corethrurus A2 : A1+100%seresahjati A3 : A1+100%pukan
A4: A1+50%seresahjati+50%pukan A8: 100% Phonska A5: A1+50%seresahjati+50%Phonska A6: A1+50%pukan+50%Phonska A7: A1+25%seresahjati+25%pukan+50%Phonska
Gambar 4.1. Pengaruh pemberian cacing P.corethrurus, pupuk kandang sapi, seresah jati dan Phonska terhadap BPF di dalam tanah (x106 cfu). Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 95%.
Perlakuan yang menunjukkan jumlah populasi BPF di dalam tanah tertinggi mencapai 79 x 106 cfu adalah pada perlakuan A3 atau inokulasi cacing tanah P.corethrurus yang diberi sisa organik berupa pupuk kandang sapi dengan dosis 100%. Cacing tanah lebih menyukai makanan dari sisa organik baru namun telah agak terdekomposisi dengan ukuran > 50 µm (Lavelle and Spain, 2001). Pupuk kandang sapi yang menjadi salah satu sumber makanan bagi cacing tanah, mempunyai kualitas yang tinggi (nisbah C/N < 20 dan C/P < 200), yaitu C/N 9,68 dan C/P 16,37 (Tabel 4.2), yang ternyata lebih disukai oleh cacing tanah. Menurut Hairiah et al. (2004), bahwa cacing tanah menyukai sisa organik berkualitas tinggi atau bernisbah C/N rendah. Oleh karena itu, semakin banyak makanan yang commit to user didekomposisi oleh cacing tanah, maka semakin banyak pula makanan
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan ukuran yang cocok untuk didekomposisi oleh BPF di dalam tanah. Selain itu, tingkat dekomposisi sisa organik yang lanjut menandakan bahwa kemungkinan unsur hara yang tersedia lebih banyak yang digunakan sebagai sumber energi bagi mikrobia tanah, sehingga populasi BPF di dalam tanah akan meningkat. Besarnya peningkatan populasi BPF di dalam tanah dari perlakuan inokulasi cacing tanah atau ditambah dengan sisa organik maupun pupuk anorganik, disajikan pada Gambar 4.2.
PERLAKUAN
Gambar 4.2. Peningkatan populasi BPF di dalam tanah dari pemberian cacing tanah, sisa organik, dan pupuk anorganik terhadap kontrol (x106 cfu). Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 95%.
Hasil uji jarak berganda Duncan (Gambar 4.2) menunjukkan bahwa semua kombinasi perlakuan berbeda nyata terhadap kontrol, sehingga dapat diketahui bahwa perlakuan inokulasi cacing tanah saja atau ditambah sisa organik maupun pupuk anorganik dapat meningkatkan populasi BPF di dalam tanah, yaitu sebesar 208,33% - 481,48%. Peningkatan populasi BPF di dalam tanah tertinggi dicapai pada inokulasi cacing tanah yang diberi berbagai sisa organik. Peningkatan ini lebih dipengaruhi oleh biomasa cacing tanah dan produksi kascing yang tinggi. Berdasarkan uji korelasi (Lampiran 10), populasi BPF di dalam tanah commit to user berkorelasi dengan biomasa cacing tanah (r = 0,49**), dan produksi
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kascing (r = 0,49*). Rata-rata biomasa cacing tanah pada perlakuan pemberian cacing tanah dan sisa organik (A2, A3, dan A4) yaitu sebesar 0,27 - 0,29 g (Lampiran 8), lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan lainnya. Cacing tanah yang banyak mengkonsumsi makanan yang disukainya seperti sisa organik, akan menambah biomasa cacing tanah tersebut. Hal ini menandakan cacing tanah banyak mendekomposisi makanan yang selanjutnya akan menghasilkan kascing yang lebih banyak. Rata-rata produksi kascing pada perlakuan yang sama juga relatif tinggi hasilnya yaitu 1100,91–1112,18 g (Lampiran 8). Oleh karenanya, populasi BPF di dalam tanah menjadi tinggi akibat penambahan BPF yang berasal dari saluran pencernaan cacing tanah serta dari kascing yang dikeluarkan. 2. Populasi BPF di dalam Pencernaan Cacing Tanah Sumber utama makanan cacing tanah adalah sisa organik yang telah melapuk dan mikrobia termasuk BPF, sehingga BPF yang ikut termakan akan berada di pencernaan cacing tanah. Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 4), menunjukkan bahwa inokulasi cacing tanah yang diberi sisa organik maupun pupuk anorganik tidak berpengaruh nyata terhadap populasi BPF di dalam pencernaan cacing tanah (p > 0,05). Rata-rata populasi BPF tersebut pada tiap perlakuan disajikan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Hasil Analisis Populasi BPF di dalam Pencernaan Cacing Tanah (x1011 cfu) pada Tiap Perlakuan No
Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7 8
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8
Populasi BPF di dalam Pencernaan Cacing Tanah 25,7a 44,0ab 51,3b 36,7ab 28,3a 40,7ab 32,0ab 28,4a
Keterangan: A1: cacing tanah P.corethrurus; A2: A1+100% seresah jati; A3: A1+100% pukan; A4: A1+50%seresah commit jati+50%pukan; to userA5: A1+50% seresah jati+50%Phonska; A6: A1+50% pukan+50% Phonska; A7: A1+25%seresahjati+25%pukan+50%Phonska; A8: A1+100%Phonska. (Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 95%).
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hasil dari uji jarak berganda Duncan (Tabel 4.4), perlakuan yang berbeda nyata terhadap A1 (cacing tanah P.corethrurus) hanya pada perlakuan A3 (cacing tanah P.corethrurus + 100% pupuk kandang sapi), sehingga jumlah populasi BPF di dalam pencernaan cacing tanah tertinggi juga dicapai pada perlakuan ini, yaitu mencapai 51,3 x 1011 cfu. Pemberian pupuk kandang sapi ke dalam tanah, menyebabkan cacing tanah lebih banyak mengkonsumsinya, karena cacing tanah menyukai sisa organik yang berkualitas tinggi. Dengan banyaknya sisa organik yang dicerna oleh cacing tanah, menjadikan pencernaan cacing tanah sebagai habitat yang baik bagi mikrobia, termasuk BPF. Menurut Dewi (2002), sisa organik yang telah dicerna oleh cacing tanah menjadi habitat yang lebih baik bagi mikrobia tanah, sehingga pencernaan cacing tanah tersebut kaya dengan mikrobia yang sama jenisnya dengan tanah di sekitarnya. Besarnya peningkatan populasi BPF di dalam pencernaan cacing tanah dari perlakuan pemberian cacing tanah, sisa organik maupun pupuk anorganik, disajikan pada Gambar 4.3.
PERLAKUAN
Gambar 4.3. Peningkatan populasi BPF di dalam pencernaan cacing dengan pemberian cacing tanah, sisa organik, dan pupuk anorganik terhadap kontrol (x1011 cfu). Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 95%.
commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hasil uji jarak berganda Duncan (Gambar 4.3), menunjukkan bahwa semua kombinasi perlakuan tidak berbeda nyata terhadap kontrol (inokulasi cacing tanah). Namun, perlakuan inokulasi cacing tanah yang diberi sisa organik maupun pupuk anorganik lebih dapat meningkatkan populasi BPF di dalam pencernaan cacing tanah sebesar 10,50% - 71,21% dibandingkan pada perlakuan yang hanya diinokulasi cacing tanah saja. Peningkatan populasi BPF di dalam saluran pencernaan cacing tanah tersebut didukung oleh tingginya populasi BPF di dalam tanah serta biomasa cacing tanah. Berdasarkan uji korelasi (Lampiran 10), populasi BPF dalam pencernaan cacing tanah berkorelasi dengan biomasa cacing tanah (r = 0,66**) dan populasi BPF di dalam tanah (r = 0,51**). Rata-rata populasi BPF di dalam tanah pada perlakuan inokulasi cacing tanah yang diberi sisa organik (A2, A3 dan A4) relatif tinggi yaitu 37 – 79 x106 cfu (Lampiran 8), dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sisa organik dan mikroba yang termakan oleh cacing tanah, dicerna di dalam saluran pencernaannya, menyebabkan biomasa cacing tanah meningkat (Santosa, 2009). Oleh karena itu, rata-rata biomasa cacing tanah pada perlakuan yang sama juga relatif tinggi yaitu 0,27 - 0,29 g (Lampiran 8). Cacing tanah mengkonsumsi sisa organik dan mikrobia tanah, menyebabkan BPF akan lebih banyak tinggal di saluran pencernaan cacing tanah, karena mereka mendapatkan banyak nutrisi di dalam pencernaan cacing tanah, sehingga populasi dan aktivitas BPF menjadi meningkat. Peningkatan aktivitas BPF di dalam pencernaan cacing tanah juga akan meningkatkan ketersediaan unsur hara P. Ketika sisa organik melintasi saluran pencernaan cacing tanah mengakibatkan perubahan fosfor ke dalam bentuk yang lebih mudah diserap oleh tumbuhan. Pelepasan ini diperantarai oleh fosfor yang dihasilkan di dalam pencernaan cacing tanah, selanjutnya pelepasan fosfor dapat dilakukan oleh mikrobia seperti bakteri pelarut fosfat di dalam kascing setelah dikeluarkan (Anonim, 2009). commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Populasi BPF di dalam Kascing Kehadiran cacing tanah memperlancar proses dekomposisi, karena makanan yang akan diuraikan oleh mikrobia telah diurai terlebih dahulu oleh cacing tanah, dan hasil akhir yang dikeluarkan oleh cacing tanah disebut sebagai kascing. Di dalam kascing terdapat berbagai macam mikrobia yang masih hidup, termasuk BPF. Menurut Dewi (2002), mikrobia yang ikut termakan oleh cacing, apabila dia mempunyai daya tahan yang tinggi maka akan dikeluarkan lagi bersama dengan kascingnya. Pemberian cacing tanah serta berbagai sisa organik dan pupuk anorganik dapat mempengaruhi populasi BPF di dalam kascing. Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 4), diketahui bahwa inokulasi cacing tanah yang diberi sisa organik maupun pupuk anorganik berpengaruh nyata terhadap populasi BPF di dalam kascing (0,01 < p < 0,05). Pengaruh perlakuan terhadap populasi BPF di dalam kascing
9
BPF KASCING (x10 cfu)
disajikan pada Gambar 4.4.
PERLAKUAN Keterangan : A1 : cacing P. corethrurus A2 : A1+100%seresahjati A3 : A1+100%pukan
A4: A1+50%seresahjati+50%pukan A8: 100% Phonska A5: A1+50%seresahjati+50%Phonska A6: A1+50%pukan+50%Phonska A7: A1+25%seresahjati+25%pukan+50%Phonska
Gambar 4.4. Pengaruh pemberian cacing P.corethrurus, pupuk kandang sapi, seresah jati dan Phonska terhadap BPF kascing (x109 cfu). Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 95%.
commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari hasil uji Mood Median (Gambar 4.4), perlakuan A2, A3, A5, dan A6 berbeda nyata terhadap perlakuan A1 (cacing tanah P.corethrurus). Perlakuan pemberian cacing tanah dan sisa organik dengan dosis tinggi (A2 dan A3) dapat meningkatkan populasi BPF di dalam kascing. Penambahan sisa organik sebagai makanan bagi cacing tanah akan menghasilkan feses yang berguna bagi pertumbuhan mikrobia (Adianto, 2004). Perlakuan lain yang hasilnya berbeda nyata dengan A1, adalah pada pemberian cacing tanah dengan sisa organik dan Phonska (A5 dan A6). Menurut Lee (1985), pemberian unsur hara makro dalam bentuk yang dapat diasimilasi penting untuk hidup dan tumbuhnya semua fauna, termasuk cacing tanah dan mikrobia tanah. Oleh karena itu, pemberian pakan dalam bentuk pupuk anorganik juga dapat membantu meningkatkan populasi mikrobia termasuk BPF. Kemungkinan nutrisi yang diberikan melalui pupuk anorganik dengan dosis yang cukup dapat meningkatkan pertumbuhan BPF. Populasi BPF di dalam kascing tertinggi dicapai pada perlakuan A6 (cacing tanah P.corethrurus + 50% pupuk kandang sapi + 50% Phonska), jumlah populasinya mencapai 71,3 x 109 cfu. Sisa organik dan pupuk anorganik yang diberikan ke dalam tanah ternyata mampu meningkatkan populasi BPF di dalam kascing. Menurut Santosa (2009), selain membutuhkan senyawa karbon (C) sebagai sumber energi, mikrobia juga membutuhkan semua hara yang diperlukan untuk membangun dan mempertahankan keberlangsungan pengaturan kehidupan sel, sehingga memerlukan ketersediaan hara N, P, K dan lainnya dalam jumlah yang mencukupi. Akan tetapi, apabila dosis pemberian pupuk anorganik terlalu tinggi justru mempercepat pelapukan sisa organik, sehingga mikrobia akan kehilangan sumber energi dan pertumbuhan mikrobia akan menurun. Oleh karenanya, dosis pemberian pupuk anorganik perlu diperhatikan. Besarnya peningkatan populasi BPF di dalam kascing dari perlakuan penambahan cacing tanah, sisa organik maupun pupuk anorganik, disajikan pada Gambar 4.5. commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PERLAKUAN
Gambar 4.5. Peningkatan populasi BPF di dalam kascing dengan pemberian cacing tanah, sisa organik, dan pupuk anorganik terhadap kontrol (x109 cfu). Keterangan : Angka pada histogram yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 95%.
Dari Gambar 4.5, perlakuan pemberian cacing tanah dan sisa organik, maupun pupuk anorganik berbeda nyata terhadap inokulasi cacing tanah saja. Namun, pada semua kombinasi perlakuan terdapat peningkatan populasi BPF di dalam kascing sebesar 102,80% - 256,07%. Peningkatan populasi BPF di dalam kascing tertinggi pada perlakuan pemberian cacing tanah, sisa organik dan pupuk anorganik. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh beberapa variabel, diantaranya populasi BPF di dalam tanah (r = 0,53**), populasi BPF di dalam pencernaan cacing tanah (r = 0,38*), biomasa cacing tanah (r = 0,58**) dan produksi kascing (r = 0,49*) (Lampiran 20). Variabel yang mempunyai keeratan hubungan yang sangat nyata dengan populasi BPF di dalam kascing adalah biomasa cacing tanah. Jumlah populasi BPF di dalam kascing didukung oleh banyaknya BPF di dalam tanah yang ikut termakan oleh cacing tanah, sehingga biomasa cacing tanah meningkat. BPF yang masih bertahan hidup di dalam pencernaan cacing tanah akan ikut dikeluarkan bersama kascing. Biomasa cacing tanah yang tinggi akan menghasilkan banyak kascing, dimana kascing tersebut kaya akan BPF. commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Pengaruh Asosiasi Cacing Tanah dengan Konsorsium BPF terhadap Ketersediaan P Tanah saat Vegetatif Maksimum 1. P Tersedia dalam Tanah Pemberian cacing tanah serta berbagai sisa organik dan pupuk anorganik dapat mempengaruhi P tersedia dalam tanah. Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 5), asosiasi antara cacing tanah dan konsorsium BPF yang diberi sisa organik maupun pupuk anorganik memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap ketersediaan P di dalam tanah (p < 0,01). Pengaruh kombinasi perlakuan terhadap P tersedia tanah disajikan pada Gambar 4.6.
Keterangan : A0 : kontrol A1 : cacing P. corethrurus A2 : A1+100%seresahjati A3 : A1+100%pukan
A4: A1+50%seresahjati+50%pukan A8: 100% Phonska A5: A1+50%seresahjati+50%Phonska A6: A1+50%pukan+50%Phonska A7: A1+25%seresahjati+25%pukan+50%Phonska
Gambar 4.6. Pengaruh pemberian cacing P.corethrurus, pupuk kandang sapi, seresah jati Hasil dan Phonska terhadap P tersedia dalam tanah (ʯg.g-1). Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 95%.
Hasil uji jarak berganda Duncan (Gambar 4.6), menunjukkan semua kombinasi perlakuan berbeda nyata terhadap kontrol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Adianto (2004) bahwa fosfor pada perlakuan cacing tanah yang ditambah pakan lebih tinggi dan berbeda nyata secara statistik dibandingkan dengan perlakuan tanpa cacing tanah ataupun dengan cacing tanah tanpa pakan. Kenaikan ini diduga berasal dari aktivitas dekomposisi to user yang mengubah P organikcommit dari materi feses sapi menjadi P anorganik.
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nilai P tersedia tanah tertinggi dicapai pada perlakuan A3 (cacing tanah P.corethrurus+100% pupuk kandang sapi) yaitu sebesar 19,54 µg.g-1. Salah satu sumber sisa organik yang penting ketersediaannya dalam tanah adalah kotoran hewan, seperti pupuk kandang sapi. Menurut Sutanto (2005), pupuk kandang sapi dapat menyumbangkan hara P serta menghasilkan bahan terhumifikasi yang berperan untuk memperbesar ketersediaan P dari mineral, karena membentuk P humat yang lebih mudah diserap tanaman. Selain itu, pupuk kandang sapi mempunyai nisbah C/P rendah (<200) yaitu 16,37 (Tabel 4.2). Ini menunjukkan proses mineralisasi lebih tinggi dibandingkan imobilisasi, sehingga proses pelepasan hara P menjadi banyak dan kandungan hara P menjadi lebih tinggi. Terdapat berbagai peningkatan P tersedia dalam tanah dari tiap kombinasi perlakuan, yang disajikan pada Gambar 4.7 di bawah ini.
PERLAKUAN
Gambar 4.7. Peningkatan P tersedia dalam tanah pemberian cacing tanah, sisa organik, dan pupuk anorganik terhadap kontrol (µg.g-1). Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 95%.
Gambar 4.7 di atas menunjukkan bahwa semua kombinasi perlakuan berbeda nyata terhadap kontrol. Perlakuan inokulasi cacing tanah, ditambah dengan sisa organik maupun pupuk anorganik, mampu meningkatkan P tersedia tanah sebesar 45,40% - 93,36% dibandingkan dengan kontrol. commit to user Peningkatan P tersedia dalam tanah tertinggi rata-rata dicapai pada
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
perlakuan inokulasi cacing tanah yang diberi pupuk anorganik. Hal ini dikarenakan pupuk anorganik Phonska merupakan salah satu sumber P yang sifatnya mudah larut dalam tanah sehingga P tersedia dalam tanah akan meningkat dan tanaman lebih cepat menyerapnya. Selain itu, ada beberapa variabel yang mendukung peningkatan P tersedia dalam tanah. Berdasarkan uji korelasi (Lampiran 10), P tersedia dalam tanah berkorelasi dengan P tersedia dalam kascing (r = 0,74**), BPF di dalam tanah (r = 0,63**), BPF di dalam pencernaan cacing tanah (r = 0,60**), BPF di dalam kascing (r = 0,83**), bahan organik (r = 0,58**), kapasitas tukar kation (r = 0,77**), Ca (r = -0,68**), biomasa cacing (r = 0,64**), dan produksi kascing (r = 0,66**). Dari beberapa variabel tersebut, terlihat bahwa BPF dalam kascing mempunyai pengaruh yang paling besar dan sangat nyata terhadap P tersedia dalam tanah. Kascing yang dihasilkan cacing tanah mengandung berbagai macam mikrobia yang masih hidup, salah satunya adalah BPF. Adanya asosiasi cacing tanah dengan konsorsium BPF di dalam pencernaan cacing tanah menyebabkan BPF yang masih bertahan hidup akan ikut dikeluarkan bersama kascing. BPF dalam kascing akan meningkatkan asam organik, yang selanjutnya asamasam organik tersebut bereaksi dengan bahan pengikat fosfat, yaitu Ca2+, membentuk khelat organik yang stabil sehingga mampu membebaskan ion fosfat terikat. Unsur hara P yang terkandung di dalam kascing kemudian larut ke dalam tanah, sehingga ketersediaan P dalam tanah akan meningkat. 2. P Tersedia dalam Kascing Pemberian cacing tanah serta berbagai sisa organik dan pupuk anorganik dapat mempengaruhi P tersedia dalam kascing. Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 5), menunjukkan bahwa asosiasi antara cacing tanah dan konsorsium BPF yang diberi sisa organik maupun anorganik memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap ketersediaan P di dalam kascing (p < 0,01). Pengaruh kombinasi perlakuan terhadap P tersedia commit kascing disajikan pada Gambar 4.8.to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan : A0 : kontrol A1 : cacing P. corethrurus A2 : A1+100%seresahjati A3 : A1+100%pukan
A4: A1+50%seresahjati+50%pukan A8: 100% Phonska A5: A1+50%seresahjati+50%Phonska A6: A1+50%pukan+50%Phonska A7: A1+25%seresahjati+25%pukan+50%Phonska
Gambar 4.8. Pengaruh pemberian cacing P.corethrurus, pupuk kandang sapi, seresah jati dan Phonska terhadap P tersedia dalam kascing (µg.g-1). Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 95%.
Hasil dari uji jarak berganda Duncan (Gambar 4.8) menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata terhadap kontrol. Cacing tanah berperan dalam mendorong terjadinya dekomposisi dengan jalan menghancurkan sisa organik menjadi ukuran yang lebih kecil dan mencampurnya dengan tanah, air, dan mikrobia. Kemudian cacing tanah tersebut mengeluarkan kascing yang merupakan agregat tanah yang stabil, kaya
akan
kandungan
C
dan
hara
lainnya,
termasuk
P
(Hairiah et al., 2004). Selain itu, pemberian pupuk Phonska juga memberikan kontribusi hara P ke dalam kascing, karena pupuk anorganik tersebut mudah larut ke dalam kascing. Menurut Yuwono (2004), sisa organik mempunyai daya ikat ion yang tinggi terhadap pupuk anorganik, sehingga tidak mudah hilang akibat penguapan maupun pencucian. Ketersediaan P dalam kascing tertinggi rata-rata mencapai 25,33 µg.g-1, yaitu pada perlakuan A6 (cacing tanah P.corethrurus + 50% pupuk kandang sapi + 50% Phonska). Hal ini menandakan bahwa aktivitas BPF yang tinggi menyebabkan ketersediaan P dalam kascing meningkat karena commit to user pada perlakuan yang sama populasi BPF di dalam kascing juga tinggi
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Gambar 4.4). Seperti pada pernyataan Mulat (2003), bahwa jumlah mikroba yang banyak dan aktivitasnya yang tinggi bisa mempercepat mineralisasi atau pelepasan unsur hara dari kotoran cacing (kascing) menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman. Besarnya peningkatan P tersedia dalam kascing dari perlakuan inokulasi cacing tanah yang diberi sisa organik maupun pupuk anorganik, disajikan pada Gambar 4.9.
PERLAKUAN
Gambar 4.9. Peningkatan P tersedia dalam kascing dengan pemberian cacing tanah, sisa organik, dan pupuk anorganik terhadap kontrol (µg.g-1). Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 95%. Pada Gambar 4.9, terlihat bahwa perlakuan inokulasi cacing tanah yang diberi sisa organik maupun pupuk anorganik berbeda nyata terhadap kontrol (inokulasi cacing tanah), sehingga peningkatan P tersedia di dalam kascing terjadi pada semua kombinasi perlakuan, yaitu sebesar 27,78% 68,98% dibandingkan pada perlakuan inokulasi cacing tanah. Rata-rata peningkatan P tersedia dalam kascing tertinggi dicapai pada perlakuan inokulasi cacing tanah yang diberi sisa organik. Ada beberapa variabel yang mendukung peningkatan P tersedia dalam kascing. Berdasarkan uji korelasi (Lampiran 10), P tersedia dalam kascing berkorelasi dengancommit BPF ditodalam user tanah (r = 0,56**), BPF di dalam
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
pencernaan cacing tanah (r = 0,62**), BPF di dalam kascing (r = 0,70**), biomasa cacing tanah (r = 0,83**), produksi kascing (r = 0,88**), bahan organik (r = 0,71**), dan Ca (r = -0,92**). Dari beberapa variabel tersebut, produksi kascing mempunyai pengaruh yang paling besar dan keeratan yang sangat nyata terhadap P tersedia dalam kascing. Rata-rata produksi kascing pada perlakuan pemberian cacing tanah dan berbagai sisa organik relatif tinggi hasilnya yaitu 1100,91–1112,18 g (Lampiran 8). Semakin banyak makanan yang disukai oleh cacing tanah untuk didekomposisi, maka cacing tanah akan mengeluarkan kascing lebih banyak pula, dimana di dalam kascing tersebut banyak mengandung mikrobia dan unsur hara yang tersedia bagi tanah dan tanaman. Menurut Edward (2004), kascing yang dikeluarkan cacing P.corethrurus mengandung fosfor yang tersedia bagi tanaman lebih banyak dibandingkan tanah sekitarnya. Variabel yang berkorelasi negatif dan paling berpengaruh terhadap P tersedia dalam kascing adalah Ca. Ion Ca2+ akan membentuk khelat kemudian melepas ikatannya dengan ion orthophosphat primer maupun sekunder, akibat adanya asam organik yang dihasilkan oleh BPF, sehingga ion Ca2+ berkurang dan fosfor menjadi terlarut di dalam kascing. Rata-rata Ca tertukar pada perlakuan pemberian cacing tanah dan berbagai sisa organik relatif rendah yaitu 12,16 - 12,69 cmol(+).kg-1. Semakin menurun kandungan Ca maka ketersediaan P dalam kascing meningkat.
E. Pengaruh Asosiasi Cacing Tanah dengan Konsorsium BPF yang Diberi Sisa Organik dan Pupuk Anorganik terhadap Serapan P oleh Tanaman Kacang Tanah Serapan hara adalah jumlah hara yang masuk ke dalam jaringan tanaman. Serapan P tanaman merupakan proses transportasi ion P dalam medium tanah menuju perakaran tanaman yang melalui aliran massa atau difusi. Tanaman menyerap hara P dalam bentuk H2PO4- dan HPO42-, tetapi pada kondisi pH tanah > 7, tanaman akan lebih banyak menyerap ion HPO42(Yuwono, 2004). Dari hasil ujicommit F (Lampiran to user7), diketahui asosiasi cacing tanah
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan konsorsium BPF yang diberi sisa organik maupun anorganik tidak berpengaruh nyata (p > 0,05) terhadap serapan P. Namun, pada tanaman kacang tanah dari semua perlakuan tidak ada yang menunjukkan kekahatan unsur hara P. Rata-rata jumlah serapan P pada tiap perlakuan disajikan pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Hasil Analisis Jumlah Serapan P (mg.tanaman-1) pada Tiap Perlakuan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Perlakuan A0 A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8
Serapan P 0,293a 0,400a 0,316a 0,404a 0,342a 0,371a 0,443a 0,326a 0,463a
Keterangan: A0: kontrol; A1: cacing tanah P.corethrurus; A2: A1+100% seresah jati; A3: A1+100% pukan; A4: A1+50%seresah jati+50%pukan; A5: A1+50% seresah jati+50%Phonska; A6: A1+50% pukan+50% Phonska; A7: A1+25%seresahjati+25%pukan+50%Phonska; A8: A1+100%Phonska. (Angkaangka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 95%).
Hasil uji jarak berganda Duncan (Tabel 4.5), menunjukkan bahwa semua kombinasi perlakuan tidak berbeda nyata terhadap kontrol (A0). Ratarata jumlah serapan P oleh tanaman kacang tanah setelah perlakuan adalah 0,293 hingga 0,463 mg.tanaman-1. Dengan P tersedia dalam tanah yang semakin banyak, maka akan meningkatkan jumlah hara P yang diserap oleh tanaman, karena tingginya serapan P tersebut menyebabkan fotosintesis berjalan cepat sehingga karbohidrat yang dihasilkan tinggi, respirasi bertambah, selanjutnya energi untuk melakukan pembelahan dan perbesaran sel-sel tanaman juga meningkat (Winarso, 2005). Besarnya peningkatan serapan P dari perlakuan pemberian cacing tanah, berbagai sisa organik maupun pupuk anorganik, disajikan pada Gambar 4.10. commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PERLAKUAN
Gambar 4.10. Peningkatan serapan P tanaman kacang tanah dengan pemberian cacing tanah, sisa organik, dan pupuk anorganik terhadap kontrol (mg.tanaman-1). Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 95%.
Gambar 4.10 menunjukkan semua kombinasi perlakuan tidak berbeda nyata terhadap kontrol Namun, serapan P oleh tanaman kacang tanah dapat meningkat sebesar 20,82% - 58,02% dibandingkan dengan kontrol. Unsur hara P yang diberikan terutama oleh pupuk anorganik lebih mudah diserap oleh akar tanaman kacang tanah, karena sifatnya yang mudah larut tanpa harus melalui proses dekomposisi, dibandingkan dengan penambahan sisa organik karena sisa organik perlu didekomposisi terlebih dahulu oleh cacing tanah dan mikrobia tanah. Berdasakan penelitian Limin (1992), pelepasan hara dari pupuk kandang berlangsung secara bertahap dan lama sehingga memerlukan waktu lebih dari 3-4 minggu untuk dapat diserap oleh tanaman. Penyerapan unsur hara oleh tanaman juga tergantung pada tingkat ketersediaan hara di dalam tanah. Berdasarkan uji korelasi (Lampiran 10), serapan P oleh tanaman kacang tanah berkorelasi dengan P tersedia dalam tanah (r = 0,44*). Rata-rata P tersedia dalam tanah paling tinggi dicapai pada perlakuan pemberian cacing tanah dan sisa organik yaitu sebesar 16,61 µg.g-1 (Gambar 4.7). Begitu pula dengan rata-rata serapan P tertinggi juga dicapai pada perlakuan yang sama. Semakin tinggi P tersedia di dalam tanah pada zona perakaran, maka semakincommit banyaktoPuser yang terserap oleh akar tanaman.
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1.
Ketersediaan unsur hara P pada Vertisols sebelum perlakuan tergolong rendah, yaitu sebesar 10,14 µg.g-1.
2. a. Inokulasi cacing tanah pada Vertisols yang diberi sisa organik berpengaruh terhadap peningkatan populasi konsorsium BPF tertinggi, yaitu sebesar 481,48%. b. Populasi konsorsium BPF di dalam tanah Vertisol dan di dalam pencernaan cacing tanah tertinggi adalah pada inokulasi cacing tanah P.corethrurus (100 ekor/m2) yang diberi pupuk kandang sapi (5 ton/ha), yaitu masing-masing sebesar 79 x 106 cfu dan 51,3 x 1011 cfu. c. Populasi konsorsium BPF di dalam kascing tertinggi adalah pada inokulasi cacing tanah P.corethrurus (100 ekor/m2) yang diberi pupuk kandang sapi (2,5 ton/ha) dan Phonska (125 kg/ha), yaitu sebesar 71,3 x 109 cfu. 3. a. Asosiasi antara cacing tanah dan konsorsium BPF yang diberi pupuk anorganik berpengaruh terhadap peningkatan ketersediaan hara P tertinggi, yaitu sebesar 93,36%. b. P tersedia di dalam tanah Vertisol tertinggi adalah pada inokulasi cacing tanah P.corethrurus (100 ekor/m2) yang diberi pupuk kandang sapi (5 ton/ha), yaitu sebesar 19,54 µg.g-1. c. P tersedia di dalam kascing tertinggi adalah pada inokulasi cacing tanah P.corethrurus (100 ekor/m2) yang diberi pupuk kandang sapi (2,5 ton/ha) dan Phonska (125 kg/ha), yaitu sebesar 25,33 µg.g-1. 4. Respon tanaman kacang tanah terhadap ketersediaan P diketahui dari ratarata serapan P, yaitu sebesar 0,293 hingga 0,463 mg.tanaman-1, dengan ratarata peningkatan sebesar 20,82% - 58,02%.
commit to user 46
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Saran 1. Perlu penambahan bahan organik yang telah matang di tanah Vertisol Gemolong, Sragen untuk memperbaiki kesuburan tanahnya dan agar pertumbuhan tanaman kacang tanah meningkat. 2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi jenis BPF yang paling berperan dalam peningkatan hara P. 3. Perlu dilakukan penelitian yang sama pada jenis tanah berbeda yang juga mengalami kekahatan P, untuk mengetahui seberapa besar peran asosiasi cacing tanah dan BPF dalam mengatasi permasalahan kahat P.
commit to user