ANALISIS KOMPOSISI PARTIKULAT INDUSTRI SEMEN DI INDONESIA YANG MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR ALTERNATIF PARTICULATE COMPOSITION ANALYSIS OF CEMENT INDUSTRY IN INDONESIA USING CO-PROCESSING Yosa Merina Fahri1 dan Puji Lestari2 Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Jl Ganesha 10 Bandung 40132 1
[email protected] dan
[email protected]
Abstrak: Aplikasi co-processing di Indonesia mulai banyak dilakukan oleh beberapa indsutri semen di Indonesia. Bahan bakar yang digunakan beragam jenisnya seperti ban bekas, biomassa, dan waste oil, dengan persentase subtitusi rata-rata sebesar 14,84%. Dengan subtitusi bahan bakar ini, akan berdampak pada emisi yang dikeluarkan melalui cerobong kiln. Maka dianalisis konsentrasi massa partikulat, konsentrasi black carbon (BC), dan konsentrasi logam untuk melihat dampak yang terjadi. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik isokinetik sampling pada plant di beberapa industri dari tahun 2011 hingga 2013. Dari analisis konsentrasi massa didapat konsentrasi rata-rata partikulat adalah 38,76 mg/m3 dan masih di bawah baku mutu. Sementara dari hasil analisis BC didapat rata-rata konsentrasi 34,84 µg/m3, dengan persentase pada partikulat sebesar 0,16%. Nilai emisi BC pada industri semen sangat kecil dan tidak berdampak signifikan. Didapat hubungan signifikan antara penurunan konsentrasi dengan naiknya temperatur cerobong untuk mendapatkan pembakaran sempurna. Sementara itu untuk komposisi logam masih dalam range yang wajar dari 0 hingga 0,27%, tidak ada emisi yang melebihi baku mutu. Kata kunci: black carbon, co-processing, logam berat
Abstract: Co-processing application in Indonesia begin to develope by some cement industry in Indonesia. Fuel used vary such as old tires, biomass, and waste oil, with the average substitution percentage up to 14.84%. With this fuel substitution, will have an impact on the emissions released through the kiln stack. Then analyzed the particulate mass concentration, concentration of black carbon (BC), and the concentration of heavy metal to see the impact it had. Sampling was done by using isokinetic sampling at plants in several industries from 2011 to 2013. Mass concentration obtained from the analysis of the average particulate concentration is 38.76 mg/m3 and still well below the standards. While the BC analysis results obtained from the average concentration is 34.84 μg/m3, with a percentage of 0.16% in particulates. Value of BC emissions in the cement industry is very small and has no significant impact. There is a significant relationship between the decrease in concentration with increasing temperature in kiln stack to get complete combustion. Meanwhile, heavy metal composition is still in a reasonable range from 0 to 0.27%, there are no emissions that exceeded the quality standard. Key words: black carbon, co-processing , heavy metal
PENDAHULUAN Semen adalah agen perekat yang penting untuk industri konstruksi dan diproduksi dalam jumlah yang besar di dunia. Pada tahun 1995, produksi semen dunia mencapai 1.420 juta ton (Cembureau, 1997). Proses produksi semen adalah proses yang membutuhkan banyak energi termal hingga sebanyak 3,3 GJ/ton clinker terproduksi (Giddings, et al, 2000). Pada awalnya, sumber energi utama bagi industri semen adalah bahan bakar fosil atau batubara. Namun kini sudah banyak jenis bahan bakar lain yang sudah digunakan seperti gas, minyak, limbah cair, 1
limbah padat dan petroleum coke yang telah berhasil dijadikan sumber energi untuk pembakaran kiln (Chinyama, 2011). Penggunaan BBA di industri semen (yang disebut juga dengan istilah co-processing) tidak hanya memberikan dampak pada berkurangnya biaya produksi, namun juga memiliki dampak signifikan bagi lingkungan yaitu melestarikan sumber daya alam yang tidak terbarukan, reduksi limbah dan reduksi emisi. (Cembureau, 1999). Limbah yang dipakai sebagai BBA untuk kiln semen bisa saja langsung dikirim ke landfill atau dihancurkan di insinerator dengan konsekuensi adanya emisi. Namun pemanfaatannya di kiln semen dapat menggantikan bahan bakar konvensional dan memaksimalkan recovery energi. (Cembureau, 1999). Dengan aplikasi co-processing, industri semen memiliki peran yang penting dalam pewujudan energi berkelanjutan dan strategi manajemen limbah padat di masyarakat. (CEMBUREAU, 1997). Hal ini sangat sesuai dengan negara yang memiliki sektor industri yang besar seperti Indonesia dengan banyaknya plant dan keadaan yang memfasilitasi penggunaan BBA. Pada proses pembuatan semen, emisi partikulat dan gas dikeluarkan lewat cerobong kiln yang dipengaruhi oleh bahan baku dan bahan bakar. Dari cerobong tersebut diemisikan senyawa black carbon sebagai hasil pembakaran tidak sempurna dan trace element seperti logam berat. Maka berdasarkan hal tersebut, studi ini dilakukan untuk melihat pengaruh subtitusi bahan bakar pada industri semen di Indonesia serta dampak yang terjadi.
METODOLOGI Pada penelitian ini dilakukan analisis konsentrasi massa partikulat, konsentrasi black carbon dan konsentrasi logam. Penelitian difokuskan pada industri semen di Indonesia yang menggunakan bahan bakar alternatif. Industri-industri tersebut terletak di beberapa daerah di Jawa Barat seperti di Cilacap, Narogong, dan Citeureup. Pengukuran dilakukan pada beberapa plant setiap kuartal dari tahun 2011 hingga 2013. Teknik sampling untuk partikulat terdiri dari beberapa langkah, yaitu: a. Pre-treatment Sampling partikulat menggunakan filter selulosa yang dimasukkan ke filter holder yang terletak di belakang nozzle. Untuk partikulat, filter yang akan digunakan harus dimasukkan terlebih dahulu ke desikator selama 24 jam untuk mengurangi pengaruh kelembaban, lalu ditimbang. Setelah itu dimasukkan ke dalam oven selama 1 jam dengan suhu minimum 180ºC dan kembali didinginkan di dalam desikator minimal selama 4 jam. b. Pengambilan sampel Teknik sampling yang digunakan adalah isokinetik sampling dengan mengacu pada standar ISO 12414, EN 13284-1, prEN14385, dan EN 13211. Isokinetik sampling adalah pengambilan sampel gas dimana kecepatan gas saat diluar nozzle sama dengan kecepatan saat masuk ke dalam nozzle. Isokinetik sampling dilakukan agar polutan yang terambil merata dan merepresentasikan keadaan sebenarnya dalam cerobong. Pada setiap cerobong, sampling dilakukan pada beberapa titik sesuai dengan bentuk dan diameter cerobong yang 2
diatur dalam EN 13284-1. Sampling dilakukan selama 1 jam (60 menit) untuk setiap cerobong dengan pengambilan sampel duplo atau triplo untuk setiap cerobong. Sampling train untuk partikulat dan gas dpat dilihat pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1. Sampling train pada cerobong kiln c. Post-treatment Untuk partikulat, filter yang sudah berisi debu dipanaskan kembali ke dalam oven selama 1 jam dengan temperatur 160ºC. Setelah kegiatan sampling, masing-masing filter dianalisis sesuai dengan variabel yang akan diteliti yaitu:
Konsentrasi massa partikulat, Analisis konsentrasi massa partikulat dilakukan dengan menggunakan metode gravimetri. Menurut Noll (1977), gravimetri merupakan metode pengukuran pencemar udara, terutama partikulat dengan cara penimbangan langsung. Konsentrasi didapat dengan membagi massa partikulat dengan volume pada keadaan standar.
Keterangan: C : konsentrasi massa partikulat (g/Nm3) Mp : berat partikulat (g) Vstd : volume pada keadaan standar (Nm3)
Black carbon Analisis black carbon dilakukan dengan metode optik. Metode ini dilakukan dengan membandingkan transmisi cahaya yang melewati filter berisi partikel tersuspensi dengan membandingkan transmisi cahaya melalui filter yang masih bersih. (CAFE Working Group on Particulate Matter, 2004). Pada pemantauan black carbon yang didasari pada metode optik (OECD, 1964), udara dihisap melewati filter kemudian densitas partikulat yang tertahan pada filter diukur dengan menggunakan reflektometer. Densitas partikulat dapat dikonversi dengan menggunakan kurva kalibrasi sehingga diperoleh konsentrasi massa black carbon (CAFE Working Group on Particulate Matter, 2004).
3
Analisis Black Carbon dilakukan dengan menggunakan alat Eeel Smoke Stain Reflectometer Model 43D. Pengukuran dilakukan pada ruangan ber-AC dan bebas debu. Sebelum dilakukan pengukuran, sampel dan reflektometer dikondisikan dalam ruangan selama 24 jam.
Konsentrasi logam Untuk partikulat, Filter yang telah dioven setelah sampling, butuh diekstraksi untuk dianalisis kandungan logam pada partikulatnya. Ekstraksi sampel dari bentuk filter menjadi larutan dilakukan dengan alat autoclave. Lalu pengukuran dilakukan dengan menggunakan Atomic Absorption Spectofotometer (AAS) di Jerman oleh Forschunginstitut der Zementinustrie GmbH (VdZ). Prinsip AAS adalah absorpsi energi radiasi oleh atom bebas yang merupakan fungsi banyaknya atom bebas yang terksitasi dalam sistem. Nilai absorbansi sampel akan menunjukkan nilai konsentrasi logam. AAS bisa mengukur sampai 10-7 gram, bahkan untuk unsur-unsur tertentu bisa mencapai 10-8 gram. Absorpsi energi ini dilakukan dengan menggunakan lampu katoda dengan panjang gelombang yang sesuai dengan elemen logam yang akan dianalisa.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Konsentrasi Massa Partikulat Berdasarkan hasil sampling yang telah dilakukan pada sejumlah plant industri semen, terdapat 44 filter yang dianalisis konsentrasi debu yang dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini: Konsentrasi mass partikulat (mg/m3)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 Nomor Sampel
Gambar 2. Grafik konsentrasi massa partikulat
4
Debu pada cerobong kiln ini adalah hasil dari proses pembakaran yang dilakukan di rotary kiln dan berasal dari bahan baku dan bahan bakar yang tidak menempel pada clinker hasil proses pembakaran. Dari Gambar 2 dapat terlihat sebaran konsentrasi partikulat di setiap plant, berkisar antara 5 hingga 80 mg/m3 dengan konsentrasi rata-rata adalah sebesar 38,76 mg/m3. Sementara berdasarkan KepMen LH No. 141 Tahun 2010, dinyatakan bahwa batas konsentrasi partikulat cerobong kiln yang diperbolehkan adalah sebesar 80 mg/m3. Dari Gambar 2 dapat terlihat tidak ada plant yang melewati baku mutu yang telah ditetapkan. Namun masih ada beberapa yang hampir mencapai baku mutu. Nilai konsentrasi partikulat pada setiap cerobong dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: a. Kinerja raw mill dalam menggiling bahan baku menjadi partikulat yang lebih kecil. Jika hasil penggilingan di raw mill terlalu halus, akan lebih banyak partikulat yang dapat terbawa oleh aliran udara b. Efisiensi unit Electrostatic Precipitator (ESP) yang digunakan. Efisiensi tentunya dapat terus berkurang berbanding terbalik dengan banyaknya debu yang telah disaring dan lama waktu operasinya sejak maintenance c. Saat dilakukan pengukuran, plant belum cukup stabil baik dalam input raw mill maupun bahan bakar sehingga dapat terjadi fluktuasi emisi d. Proses pembakaran yang tidak sempurna, banyak karbon yang tidak beraksi sehingga produksi partikulat meningkat. B. Black Carbon Black carbon merupakan hasil pembakaran tidak sempurna, dimana salah satu sumber outdoor-nya adalah pembakaran batubara dan minyak bumi, yang dapat menyerap radiasi matahari. Sumber antropogenik BC paling banyak terdapat di daerah tropis dimana radiasi cahaya matahari banyak terjadi. Konsentrasi BC didapat dari hasil analisis filter dengan alat reflektometer. Untuk melihat bagaimana pengaruh konsentrasi BC saat penggunaan bahan bakar alternatif, peneliti membandingkan hasil perhitungan dengan beberapa faktor yaitu persen AFR, temperatur cerobong dan carbon content. Dari Gambar 3 di bawah, didapat nilai R2 sebesar 0,0039. Terlihat hubungan negatif dari kedua variabel, yang berarti semakin banyak bahan bakar alternatif yang digunakan, konsentrasi BC akan mengalami penurunan. Namun berdasarkan korelasi Pearson yang dilakukan, hubungan keduanya tidak signifikan, dengan nilai P<0,1, yang berarti tingkat keyakinan adanya hubungan antara kedua variabel ini kurang dari 90%.
5
Konsentrasi BC (µg/m3)
60 50
y = -0.0595x + 35.38 R² = 0.0039
40 30 20 10 0 0
5
10
15 %AFR
20
25
30
35
Gambar 3. Pengaruh %AFR terhadap konsentrasi BC Gambar 4 diperlihatkan perbandingan temperatur cerobong dengan konsentrasi BC. Pada Tabel 1, perbandingan di atas memberikan hasil yang signifikan, berarti terdapat hubungan dianatara keduanya. Seperti diketahui, BC merupakan hasil dari pembakaran tidak sempurna. Pembakaran terjadi di rotary kiln, namun karena keterbatasan sumber daya maka temperatur cerobong digunakan sebagai pembanding karena akan selalu sebanding dengan suhu pembakaran yang ada di dalamnya. Jika suhu pembakaran dan temperatur cerobong naik, berarti pembakaran lebih sempurna dan senyawa karbon dari bahan bakar akan terurai dan berubah menjadi senyawa CO2. Namun jika suhu semakin rendah, akan terjadi sebaliknya dan black carbon yang dihasilkan dan tersaring pada filter akan semakin banyak. Hal ini dapat dilihat jelas pada Gambar 4. 60 Konsentrasi BC (µg/m3)
50 40
y = -0.2236x + 61.979 R² = 0.1135
30 20 10 0 0
70
140 Temperatur Cerobong (ºC)
210
Gambar 4. Pengaruh temperatur cerobong terhadap konsentrasi BC Hingga saat ini persentase substitusi batubara oleh limbah rata-rata di Indonseia baru mencapai 14.84%. Pada Gambar 5 didapat nilai R2 sebesar 0,1135. Terdapat hubungan negatif antara kedua variabel, dengan nilai P<0,05 yang berarti tingkat keyakinan adanya hubungan antar keduanya lebih kecil dari 95%. Black carbon sangat dipengaruhi oleh proses pembakaran yang terjadi. Jika pembakaran sempurna, maka seluruh senyawa karbon akan bergabung dengan oksigen membentuk CO2, sementara jika tidak sempurna akan dihasilkan black carbon. Pada gambar di bawah dapat terlihat bahwa dengan naiknya temperatur pembakaran (yang
6
direpresentasikan oleh temperatur cerobong), pembakaran semakin mendekati kondisi sempurna dan semakin sedikit black carbon yang diemisikan. Konsentrasi BC (µg/m3)
60 50 40 30
y = -0.3697x + 42.813 R² = 0.0527
20 10 0 0
10 20 30 Carbon content (ton karbon/ton bahan bakar)
40
Gambar 5. Pengaruh carbon content terhadap konsentrasi BC Tabel 1. Analisis korelasi Pearson Variabel n df (n-2) R2 R P-value 29 27 0,0039 0,0624 <0,1 %AFR 29 27 0,1135 0,3369 <0,05 Temperatur 29 27 0,0527 0,2296 <0.5 Carbon content Dari tabel Pearson, untuk n sebanyak 31, nilai R minimum yang dibutuhkan untuk mendapatkan hubungan signifikan adalah sebesar 0,37 untuk mencapai P-value>0,05. Dari Tabel 1, nilai R belum ada variabel yang mencapai nilai tersebut, namun dari ketiganya variabel temperatur cerobong memberikan hubungan yang paling signifikan dengan nilai R sebesar 0,34. Maka berdasarkan perbandingan di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan menaikkan temperatur pembakaran (atau mengondisikan agar pembakaran sempurna) dapat memberikan efek yang paling signifikan terhadap penurunan emisi BC dari cerobong kiln industri semen. C. Konsentrasi Logam Logam merupakan salah satu trace element yang terdapat pada partikulat dari cerobong kiln. Dengan digunakannya bahan bakar alternatif sebagai subtituen batubara, maka akan semakin beragam sumber logam serta jenisnya pada partikulat. Analisa logam yang terdapat pada partikulat dilakukan dengan menggunakan Atomic Absorption Spectofotometer (AAS) di Jerman oleh Forschunginstitut der Zementinustrie GmbH (VdZ). Sementara untuk logam pada gas yang sudah diserap dengan larutan penyerap, dilakukan di PPGL.
7
Konsentrasi logam (µg/m3)
0.12 0.1 0.08 0.06
Particulate Gas
0.04 0.02 0 Hg Cd Tl Sb As Pb Cr Co Cu Mn Ni V Sn Be Zn Jenis logam
Gambar 6. Grafik rekapitulasi konsentrasi logam pada partikulat dan gas Dari Gambar 6, dapat dilihat bahwa logam high-volatile seperti Hg terdeteksi pada fasa gas dan tidak terdeteksi sama sekali pada partikulat, namun Tl terdeteksi lebih banyak pada partikulat. Untuk logam low-volatile yaitu Cd, Sb dan Pb hanya terdeteksi pada gas dalam jumlah yang sangat kecil, sementara Zn sedikit lebih pada fasa gas dibandingkan partikulat. Logam As, Mn, Sn sebagai logam non-volatile dari hasil pengukuran lebih banyak terdapat pada gas. Sementara Cu, Cr, Ni, V lebih banyak terdapat pada partikulat. Logam Co jumlah partikulat dan gasnya sama, sementara Be tidak terdeteksi di kedua fasa. Semakin tinggi titik didih logam tersebut, harusnya lebih banyak ditemukan pada partikulat karena volatilitasnya semakin rendah. Jika masih ada pada fasa gas, mungkin disebabkan karena wujud gas setelah proses pembakaran di rotary kiln belum seluruhnya terkondensasi menjadi partikulat. Persentase logam dalam partikulat (%)
0.3 0.25 0.2 Partikulat
0.15 Gas
0.1 0.05 0 Hg Cd Tl Sb As Pb Cr Co Cu Mn Ni V Sn Be Zn Jenis Logam
Gambar 7. Grafik komposisi logam dalam partikulat dan gas Gambar 7 di atas memperlihatkan komposisi logam dalam partikulat dalam persen. Beberapa logam seperti Co, Mn, Sn dan Zn memiliki persentase yang sedikit lebih besar dibandingkan mayoritas logam lain yang sudah melewati 0,05%. Logam berat sebagai trace element dikelompokkan sebagai substansi yang berbahaya karena bersifat toksik, non-degradable, dan persisten (Weng C.H., 1994). Faktor yang
8
menyebabkan logam berat termasuk dalam kelompok zat pencemar adalah karena adanya sifatsifat logam berat yang tidak dapat terurai (non degradable) dan mudah diabsorbsi. Hampir semua logam baik yang berasal dari bahan bakar maupun bahan baku yang diproses pada kiln akan menyatu dengan clinker, atau tersaring pada alat pengontrol emisi. Selama kiln dirancang dengan standar yang tinggi, emisi yang dihasilkan oleh plant dengan bahan bakar coal dengan yang menggunakan BBA hanya menghasilkan sedikit perbedaan. Namun adanya teknologi untuk mengontrol emisi juga tetap diperlukan agar tetap dalam jumlah yang aman. Tetapi logam Hg dan Cd adalah pengecualian karena merupakan logam volatil yang cenderung terdapat dalam jumlah yang lebih banyak pada gas cerobong dibandingkan logam lainnya. Electrostatic Precipitator (ESP) yang kini banyak digunakan di industri semen hanya dapat menangkap 25 hingga 50% emisi Hg (Murray dan Price, 2008). Berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan pada 15 logam dengan 10 sampel dari plant dengan bahan bakar berbeda, tidak terlihat pengaruh %AFR terhadap perubahan konsentrasi pada masing-masing logam. Selain %AFR, emisi yang dikeluarkan juga dipengaruhi oleh jumlah bahan bakar, dimana flowrate bahan bakar yang digunakan berarti menambah banyak input segala jenis logam dan setiap plant berbeda jumlahnya. Menurut Sprung (1985) dalam Bhatty (1995), mayoritas logam ditemukan lebih banyak pada bahan baku. Sekitar 95-99% logam yang masuk ke dalam proses pembuatan semen akan menyatu dengan clinker, kecuali logam-logam yang sangat volatil seperti telah dijelaskan sebelumnya. Pengukuran logam sebegai trace element dengan nilai konsentrasi sangat kecil membutuhkan ketelitian yang tinggi, dan mudah dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mayoritas logam yang tidak terdeteksi keberadaannya adalah karena konsentrasinya yang sangat kecil dan berada di bawah detection limit.
KESIMPULAN
Konsentrasi massa partikulat emisi cerobong kiln pada industri semen yang sudah dianalisis memiliki rata-rata kosentrasi 38,76 mg/m3. Dari 44 sampel yang dianalisis, tidak ada sampel yang melebihi baku mutu yang sebesar 80 mg/m 3. Namun masih terdapat plant dengan emisi yang cukup tinggi, hampir mencapai baku mutu. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan tingginya emisi debu diantaranya adalah berkurangnya efisiensi Electrostatic Precipitator (ESP), hasil penggilingan raw mill yang terlalu halus, kondisi plant yang belum stabil saat dilakukan pengukuran, dan proses pembakaran yang belum sempurna sehingga mengingkatnya emisi CO serta partikulat. Analisis black carbon dilakukan pada 29 sampel dengan hasil rata-rata konsentrasi adalah sebesar 34,84 µg/m3 dan persentase rata-rata dalam partikulat 0,16%. Setelah dibandingkan dengan komposisi black carbon dari kegiatan lainnya, dapat terlihat bahwa emisi BC pada industri semen memiliki nilai yang sangat kecil dan tidak signifikan di dalam partikulat. Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson, faktor yang memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai konsentrasi black carbon pada emisi partikulat adalah suhu pembakaran yang terjadi di rotary kiln. Semakin tinggi suhu pembakaran, proses
9
pembakaran akan semakin sempurna. Sementara %AFR dan carbon content tidak berdampak signifikan. Konsentrasi logam sangat dipengaruhi oleh sifat volatilitas masing-masing logam. Semakin volatil suatu logam, maka ia akan lebih cenderung berada pada fasa gas. Analisis logam dilakukan pada partikulat dan gas dengan metode AAS. Persentase logam pada partikulat berkisar dari 0 hingga 0,27%. Konsentrasi keseluruhan logam rata-rata adalah sebesar 75,25 µg/m3 pada partikulat dan 186,82 µg/m3 pada gas, sehingga dapat disimpulkan emisi logam lebih banyak terdapat pada fasa gas daripada partikulat.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan bagian proyek penelitian dari Ir. Puji Letstari, Ph.D bekerjasama antara PT. Ganesha Energy and Environmental Services (GEES), Industri semen di Indonesia dan Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ). Pihak lain yang ingin menggunakan sebagian atau seluruh data dari penelitian ini harus mendapatkan izin terlebih dahulu. DAFTAR PUSTAKA Bhatty, J. I., Marijnissen, J., and Reid, K. J., “Portland Cement Production Using Mineral Wastes,” Cement and Concrete Research, Elmsford, New York, U.S. A.,VO1. 15, No. 3, pp. 501-510, (1985). CEMBUREAU. (1997), Alternative Fuels in Cement Manufacturing: Technical and Environmental Review. Brussels, The European Cement Association: 24. CEMBUREAU. (1999), Environmental Benefits of Using Alternative Fuels in Cement Production. Brussels, The European Cement Association: 25. Conesa, Juan A, et al. 2008. Organic and inorganic pollutants from cement kiln stack feeding alternative fuels. Journal of Hazardous Materials 158 (2008) 585–592. Sprung, S., Kirchner, G., and Rechenberg, W., “Reaction of Poorly Volatile Trace Elements in Cement Clinker Burning,” Zement-Kalk-Gips, Bauverlag GMBH/Maclean Hunter, Wiesbaden, Germany, Vol. 37, No. 10, PP. 513-518, October (1984). Vogel, G. A., Goldfarb, A. S., Zier, R. E., and Jewell, A., “Incinerator and Cement Kiln Capacity for Hazardous Waste Treatment,” Nuclear and Chemical Waste Management, Elmsford, New York, U.S.A., Vol. 7, No. 1, pp. 53-57, (1987). Yang, C., Chang, C., Tsai, S., Chuang, H., Ho, C., Wu, T., Sung, F., 2003. Preterm delivery among people living around Portland cement plants. Environmental Research. In Press. Weisweiler, W., and Krcmar, W., “Heavy Metal Balances of a Cement Kiln Plant With Grate Preheater,” ZementKalk-Gips, Bauverlag GMBH/Maclean Hunter, Wiesbaden, Germany, Vol. 3, pp. 149-152, (1990).
10