PENDAHULUAN Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM (Atmarita, 2009). Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014 telah memberikan arah pada Pembangunan Pangan dan Gizi dengan salah satu sasarannya adalah menurunkan prevalensi stunting (pendek) serendah – rendahnya 32% (Bappenas, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi stunting pada anak umur 5 – 12 tahun adalah 30,7% (12,3% sangat pendek dan 18,4% pendek). Prevalensi sangat pendek terendah di DI Yogyakarta (14,9%) dan tertinggi di Papua (34,5%). Prevalensi stunting di Jawa Tengah mencapai 33,6% dengan perincian 17% anak pendek dan 16% anak sangat pendek. Menurut Kemenkes RI (2010) angka prevalensi ini masih diatas ambang batas yang telah disepakati secara universal, dimana apabila masalah stunting diatas 20% maka masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi stunting, diantaranya adalah asupan zat gizi, faktor genetik, penyakit infeksi, berat badan lahir dan sosial ekonomi keluarga. Asupan zat gizi merupakan faktor risiko terjadinya stunting.
Asupan yodium dalam makanan yang kurang dari kebutuhan dikaitkan dengan adanya kejadian stunting. Defisiensi yodium dapat mengakibatkan kelenjar tiroid tidak mampu mensekresi hormon tiroid dalam jumlah yang cukup, dimana akan berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan otak, hipotiroidsm, gangguan mental dan pertumbuhan terhambat ( WHO, 2001). Konsumsi makanan yang mengandung zat goitrogenik juga merupakan faktor risiko terjadinya stunting. Zat goitrogenik dalam bahan makanan yang dimakan setiap hari akan menyebabkan zat yodium dalam tubuh tidak berfungsi, karena zat goitrogenik tersebut menghalangi absorbsi dan metabolisme mineral yodium yang telah masuk ke dalam tubuh. Beberapa bahan makanan yang mengandung zat goitrogenik diantaranya yaitu singkong, rebung, kol, ubi jalar, kacang – kacangan, bayam, kangkung, daun singkong, daun papaya, terong, buncis, dan lain sebagainya (WHO, 2001). Menurut WHO batas aman konsumsi tiosianat adalah 10 mg/hari. Faktor genetik juga merupakan faktor risiko terjadinya stunting. faktor genetik dikaitkan dengan adanya kemiripan anak dengan orang tuanya dalam hal bentuk tubuh, proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan. Penelitian Norliani (2005), menunjukkan adanya hubungan antara tinggi badan orang tua dengan tinggi badan anak baru masuk sekolah. Berdasarkan studi pendahuluan dari 27 siswa kelas 1 usia 6-7 tahun di SDN Mojomulyo, terdapat 15 anak (55%)
3
dikategorikan tinggi badannya normal dan 12 anak (45%) dikategorikan tinggi badannya pendek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan yodium, asupan zat goitrogenik dan tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting pada anak usia 6-7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati. Manfaat dari penelitian ini adalah meningkatkan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, khususnya mengenai masalah gizi yang terjadi pada anak sekolah, sebagai bahan informasi untuk memberikan masukan kepada orang tua murid tentang pentingnya konsumsi makanan untuk anak sekolah sesuai dengan kecukupan yang dianjurkan dalam rangka pencapaian pertumbuhan yang optimal dan sebagai bahan referensi untuk mengembangkan penelitian terkait faktor determinan yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak sekolah usia 6-7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian studi korelasi, yang bertujuan mengetahui hubungan antara asupan yodium, asupan zat goitrogenik dan tinggi badan orang tua dengan kejadian sunting. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 6 – 7 tahun di SDN Mojomulyo dengan jumlah 27 siswa. Pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan teknik total sampling yaitu anak usia 6 - 7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati dengan jumlah 27 siswa dan ibunya. Pengukuran asupan yodium dan asupan zat goitrogenik dilakukan dengan survey wawancara menggunakan FFQ semikuantitatif, sedangkan pengukuran tinggi badan orang tua, tinggi badan anak dan berat badan anak menggunakan microtoise dan timbangan injak digital. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah anak kelas 1 usia 6 – 7 tahun. Analisis data menggunakan program SPSS. Analisis dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan asupan yodium, asupan zat goitrogenik, tinggi badan orang tua dan kejadian stunting yang disajikan dalam tabel distribusi frekuensi. Analisis bivariat untuk menguji asupan yodium dan tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting menggunakan teknik statistik chi square dan regresi logistik sederhana untuk menguji asupan zat goitrogenik dengan kejadian stunting dengan α ≤ 0,05. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Gambaran umum responden meliputi umur, jenis kelamin dan jenis garam yang dikonsumsi. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa umur sebagian besar umur siswa adalah 6 tahun yaitu 23 siswa (85,1%) dan umur 7 tahun yaitu 4 siswa (14,9%). Paling banyak siswa berjenis kelamin perempuan yaitu 15
4
siswa (55,6%) dan 12 siswa (44,4%) berjenis kelamin laki – laki. Sedangkan berdasarkan jenis garam yang dikonsumsi diketahui bahwa paling banyak siswa menggunakan garam beryodium yaitu 15 siswa (55,6%) dan 12 siswa (44,4%) menggunakan garam tidak beryodium. Tabel 1. Karakteristik responden karakteristik Umur (tahun) 6 7 Jenis kelamin Laki – laki Perempuan Jenis garam Beryodium Tidak beryodium
f
(%)
23 4
85,1 14,9
12 15
44,4 55,6
15 12
55,6 44,4
Asupan Yodium Hasil wawancara FFQ diketahui bahwa sebagian besar siswa mengkonsumsi ikan lele, ikan teri, pindang, bandeng dan telur sebagai makanan sumber yodium. Namun jumlah konsumsi makanan sumber yodium kurang dari kebutuhan yaitu rata – rata hanya 96,8 µg per hari dan frekuensi makannya yang jarang yaitu ≤ 3x/minggu. Tabel 2. berdasarkan responden
Distribusi asupan
Asupan yodium Kurang (<80%) Cukup(80-100%) Lebih (>100%) Total
f 13 10 4 27
frekuensi yodium (%) 48,1 37,0 14,9 100
Pada tabel 2. diketahui bahwa paling banyak siswa yang memiliki asupan yodium dengan kategori kurang yaitu 13 siswa (48,1%), 10 siswa (37,0%) dengan
kategori cukup dan 4 siswa (14,9%) dengan kategori lebih. Sebagian besar ibu siswa mengolah makanan dengan cara digoreng atau ditumis dan sangat jarang mengolah makanan dengan cara di rebus atau dikukus. Kadar yodium dalam makanan yang diolah dengan digoreng akan mengalami penurunan. Ikan yang digoreng kadar yodiumnya akan berkurang 25%, bila dibakar berkurang 25% dan bila direbus (tanpa ditutupi) akan berkurang hingga 56% (Soehardjo, 1990 dalam Panjaitan 2008). Siswa yang mempunyai asupan yodium dalam kategori kurang selain dari makanan, disebabkan karena konsumsi garam tidak beryodium. Hal ini dikarenakan pengetahuan ibu yang kurang tentang pentingnya penggunaan garam beryodium. Menurut Asih (2006), menyatakan bahwa pengetahuan ibu memegang peranan yang sangat penting, mengingat masih banyak garam berlabel yodium beredar di masyarakat yang tidak memenuhi syarat kandungan yodium (30 ppm – 80 ppm). Meskipun demikian ada juga sebagian ibu yang mengetahui pentingnya penggunaan garam beryodium dan menggunakannnya dalam memasak sehari – hari. Selain itu, ada kemungkinan terjadi kesalahan dalam penyimpanan. Menurut Noviani (2007), penyimpanan dan teknik penyimpanan yang kurang memadai akan mempengaruhi kualitas garam beryodium. bila kualitas garam beryodium menurun maka mempengaruhi konsumsi yodium
5
dan pada akhirnya mempengaruhi status yodium seseorang. Bahan makanan tersebut didapatkannya dari penjual sayur keliling karena letak pasar yang jauh dari lokasi penelitian. SDN Mojomulyo terletak di kaki gunung Kendeng. Kandungan yodium dalam tanahnya sangat sedikit. Kurangnya asupan yodium baik secara individu maupun kelompok pada suatu populasi dipengaruhi oleh kondisi geografis yang terjadi karena tanah dan airnya sangat kekurangan yodium. Hal ini karena erosi, hujan lebat, banjir yang membawa yodium ke laut (banyak terdapat di daerah pegunungan) (Arisman, 2010). Asupan Zat Goitrogenik Hasil wawancara FFQ semikuantitatif diketahui bahwa sebagian besar siswa mengkonsumsi makanan sumber zat goitrogenik dalam jumlah yang sedikit dan frekuensi ≤ 3x/minggu. Rata – rata asupan zat goitrogenik siswa yaitu 2,27 mg/hari. Nilai rata – rata asupan zat goitrogenik tersebut masih tergolong rendah dan aman untuk tubuh. Menurut WHO/FAO batas aman konsumsi zat goitrogenik adalah 10 mg/hari (Kartasurya, 2006). Tabel 3. Distribusi frekuensi berdasarkan asupan zat goitrogenik Asupan zat goitrogenik Tinggi (> 10mg) Rendah (≤ 10mg) Total
f 0 27 27
(%) 0 100,0 100,0
Pada tabel 3. diketahui bahwa semua siswa yaitu 27 siswa (100%) memiliki asupan goitrogenik dengan kategori rendah. Jenis makanan sumber zat goitrogenik yang sering dikonsumsi yaitu
kangkung, bayam, kol, sawi hijau, bunga kol, gambas dan buncis. Sebagian besar ibu responden mengolah sayuran dengan cara ditumis yaitu 3x/minggu, sedangkan pengolahan makanan dengan cara direbus hanya < 2x/minggu. Mereka mengaku jika lebih suka mengkonsumsi makanan yang cara pengolahannya ditumis daripada direbus. Lokasi penelitian tertelak di kaki gunung Kendeng dan wilayah ini merupakan wilayah pertanian. Di wilayah ini banyak ditanam sayur – sayuran seperti bayam, kangkung, buncis, terong, singkong, kol dan lain sebagainya. Hasil penelitian Aritonang (2003), menyatakan bahwa ubi kayu, daun singkong, dan kol yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatra Barat dapat mengganggu penyerapan yodium karena kandungan zat goitrogeniknya. Asupan zat goitrogenik yang rendah dikarenakan oleh pengaruh pengolahan yang menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat gitrogenik dalam makanan. Hal ini yang akan berpengaruh pada asupan goitrogenik responden. Pengolahan pangan yang baik seperti perebusan dapat menurunkan kadar zat goitrogenik lebih dari 50% atau hingga 100%. Dengan cara tumis atau kukus, kadar zat goitrogeniknya kurang dari 50% atau masih 60-90%. Cara lainnya adalah dalam pengolahan bahan diiris tipis lalu direbus dapat mengurangi kadar zat goitrogenik 60 – 90% (Murdiana dkk, 2001). Selain pengaruh pengolahan, ibu responden mengaku bahwa anaknya kurang suka dengan
6
sayur. Hal ini di dukung dengan penelitian Worthington dan Robert (2000), yang dilakukan pada anak SD diperoleh bahwa 40% anak tidak suka makan sayur
mencapai hasil akhir tumbuh kembang anak, melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas atau kuantitas pertumbuhan anak.
Tinggi badan Orang Tua Tinggi badan orang tua maupun pola pertumbuhan orang tua merupakan kunci untuk mengetahui pola pertumbuhan anak. Faktor genetik tidak tampak saat lahir namun akan bermanifestasi setelah usia lebih dari 2 tahun (Soetjiningsih, 2002).
Kejadian Stunting Tabel 5. Distribusi frekuensi berdasarkan kejadian stunting pada siswa kelas I di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo kabupaten Pati, 2014. Kejadian stunting Stunting Tidak stunting Total
Tabel 4. Distribusi frekuensi berdasarkan tinggi badan orang tua responden Tinggi badan ibu normal (≥ 150 cm) Pendek (< 150 cm) Total
f 14 13 27
f 12 15 27
(%) 44,4 55,6 100,0
Berdasarkan tabel 7. diketahui bahwa paling banyak siswa tidak stunting yaitu 15 siswa (55,6%) dan 12 siswa (44,4%) mengalami stunting. Anak yang kekurangan gizi akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik, mental dan intelektual. Dampak kekurangan gizi pada anak dimanifestasikan dalam bentuk fisik yang lebih kecil dengan tingkat produktivitas yang lebih rendah dan beberapa hasil analisis menunjukkan bahwa terjadinya penyakit degenerative pada masa dewasa yang justru merupakan umur produktif (Khomsan, 2004).
(%) 51,9 48,1 100,0
Pada tabel 4. diketahui bahwa ibu memiliki tinggi badan dalam kategori normal paling banyak yaitu 14 ibu ( 51,9%) dan 13 ibu (48,1%) tinggi badannya pendek. Di daerah penelitian mayoritas mempunyai tinggi badan pendek karena faktor genetik. Tinggi badan ibu merupakan faktor genetik pada ibu yang berperan dalam pertumbuhan anak. Hal ini disebabkan karena genetik merupakan modal dasar dalam Hubungan asupan yodium dengan kejadian stunting pada anak usia 6 – 7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati Tabel 6. tabulasi silang asupan yodium dengan kejadian stunting pada anak 6 – 7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati Kategori asupan yodium n a. Kurang (< 80%) b. Cukup ( 80 – 100%) Total
11 1 12
Stunting % 84,6 7,1 44,4
Kejadian stunting Tidak stunting N %
n
2 13 15
13 14 27
15,4 92,9 55,6
usia
p value Total % 100,0 100,0 100,0
0,0001
7
Berdasarkan tabel 6. menunjukkan bahwa dari 13 siswa yang memiliki asupan yodium dengan kategori kurang sebagian besar siswa 84,6% (n=11) mengalami stunting dan 15,4% (n=2) tidak mengalami stunting. sedangkan dari 14 siswa yang memiliki asupan yodium dengan kategori cukup sebagian besar siswa 92,9%(n=13) tidak mengalami stunting dan 7,1%(n=1) siswa mengalami stunting. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan chi square didapatkan sel yang nilai expexted-nya < 5 ada 50%. Karena tidak memenuhi syarat uji chi square maka dilakukan penggabungan sel (cukup + lebih ) menjadi kategori cukup dan diuji kembali dengan menggunakan uji chi square. Dari analisis tersebut didapatkan nilai significancy 0,0001. Oleh karena p value ≤ 0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan antara asupan yodium dengan kejadian stunting pada anak usia 6 – 7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati. Siswa yang asupan yodium dengan kategori kurang mengalami stunting disebabkan karena siswa jarang mengkonsusmsi makanan sumber yodium. Ibu siswa mengaku bahwa anaknya susah sekali untuk makan dan suka jajan di luar rumah. Makanan sumber yodium yang sering dikonsumsi yaitu telur, tahu, tempe dan untuk makanan sejenis ikan sangat jarang dikonsumsi yaitu ≤ 2x/minggu. Siswa yang asupan yodium dengan kategori cukup tidak mengalami stunting disebabkan karena siswa mengkonsumsi makanan sumber yodium yang
cukup. Untuk makanan yang sering dikonsumsi seperti bandeng, ikan teri, pindang dan lele dengan frekuensi > 3x/ minggu. Siswa dengan asupan yodium dalam kategori cukup tetapi mengalami stunting disebabkan karena adanya interaksi yodium dengan mineral lain seperti selenium dan besi. Menurut Soekarti (2008), selenium terlibat dalam interaksi metabolism yodium, selain itu kekurangan besi dapat menyebabkan terganggunya metabolisme thyroid yang berdampak pada terganggunya proses pertumbuhan. Siswa yang asupan yodium dengan kategori lebih tidak mengalami stunting karena asupan yodiumnya sudah tercukupi. Mereka mengkonsumsi makanan sumber yodium ≥ 4x/ minggu. Dalam saluran pencernaan, yodium dalam bahan makanan dikonversi menjadi iodida agar mudah diabsorbsi. Di dalam darah yodium terdapat dalam bentuk bebas dan terikat protein. Penangkapan iodida oleh kelenjar tiroid dilakukan melalui transfer aktif yang dinamakan pompa yodium. Mekanisme ini diatur hormon yang merangsang tiroid (Thyiroid Stimulating Hormone/TSH) dan Thyrotrophin Realizing Hormone (TRH). Hipotalamus mengeluarkan TRH untuk mengatur sekresi tiroid. Hormon tiroksin kemudian dibawa darah ke sel – sel sasaran/target dan hati, disini yodium dipecah bila diperlukan. Konsentrasi hormon tiroid di dalam darah diatur oleh hipotalamus melalui pengontrolan pengeluaran hormon TSH yang dikeluarkan kelenjar pituitari. Sekresi TSH juga diatur oleh
8
hormon yang mengeluarkan menggunakan garam beryodium, tirotrofin (Thyrotrophin Realizing namun masih ada yang Hormone/TRH) yang juga menggunakan garam tidak dikeluarkan oleh hipotalamus. beryodium. Jenis garam yang biasa Pada saat kekurangan dikonsumsi adalah garam bata. yodium, konsentrasi hormon tiroid Hasil wawancara, diketahui menurun dan hormon perangsang bahwa rata – rata responden tiroid/ TSH meningkat agar kelenjar menyimpan garam pada tempat tiroid mampu menyerap lebih kering dan tertutup yaitu disimpan banyak yodium. Bila hormon dalam toples dan diletakkan pada thyroxin meningkat konsentrasinya lemari dapur, namun masih ada yang di dalam darah, terjadi pengaruh langsung menyimpannya pada penghambat terhadap sekresi TSH, kemasan garam tersebut. Hal ini sehingga sekresi oleh hypophysys akan berpengaruh pada kadar menurun. Penurunan kadar TSH yodium garam. Apabila garam menghambat sekresi hormon disimpan dalam keadaan terbuka, thyroxin sehingga kadarnya di dalam kadar yodium dalam garam tersebut darah menurun juga. Pada defisiensi dapat menguap, mengakibatkan iodium pembentuk hormon thyroxin berkurangnya atau hilangnya yodium terhambat dimana fungsi hormon dalam garam. tiroksin tersebut adalah untuk Kestabilan yodium akan dipengaruhi pertumbuhan sehingga dapat oleh jenis maknan, kandungan air menyebabkan gangguan dan suhu pemanasan pada pertumbuhan dan perkembangan pemasakan. Hilangnya kandungan pada anak, hipotiroidsm, cacat yodium pada saat pemasakan ini mental, pada ibu hamil dapat berkisar antara 36,6% sampai 86,1%. mengganggu pertumbuhan dan Proses pengolahan yang lama perkembangan janin (Almatsier, cenderung menyebabkan banyak 2010). kehilangan yodium. Kandungan Salah satu cara yang dapat thyroid dalam yodium berfungsi dilakukan untuk mencukupi untuk pertumbuhan. Jika konsumsi kebutuhan yodium adalah dengan makanan sumber yodium kurang, mengkonsumsi dan menggunakan maka pertumbuhan responden akan garam beryodium secara tepat. mengalami gangguan dan akan Sebagian besar responden telah menyebabkan stunting. Hubungan asupan zat goitrogenik dengan kejadian stunting pada anak usia 6 – 7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati Tabel 7. tabulasi silang asupan zat goitrogenik dengan kejadian stunting dan hasil analisis regresi logistik sederhana dengan kejadian stunting pada anak usia 6 – 7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati kategori kejadian stunting Stunting Tidak stunting Total
asupan zat goitrogenik kategori rendah N % 12 44,4 15 55,6 27 100,0
P value 0,565
9
Tabel 7. menunjukkan bahwa variabel asupan zat goitrogenik tidak berhubungan secara bermakna dengan variabel kejadian stunting karena p value > 0,05 yaitu p value = 0,565, sehingga dapat diintepretasikan bahwa tidak ada hubungan antara asupan zat goitrogenik dengan kejadian stunting pada anak usia 6 – 7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati. Siswa yang mengalami stunting tetapi memiliki asupan zat goitrogenik dengan kategori rendah disebabkan karena selain memiliki asupan zat goitrogenik yang rendah, juga memiliki asupan protein yang kurang dari kebutuhan. Siswa yang mengalami stunting memiliki rata – rata asupan protein 30,71 gr/ hari. Nilai rata – rata ini masih dalam kategori kurang (76,8% AKG), karena kebutuhan protein usia 6 – 7 tahun yaitu 35 – 49 gr/ hari. Makanan sumber protein yang biasa dikonsumsi yaitu tahu, tempe, dan ikan air tawar. Kurangnya asupan protein pada siswa karena porsi makannya yang sedikit, frekuensi makan yang ≤ 3x/minggu, dan mempunyai pola makan yang tidak teratur. Siswa yang tidak mengalami stunting memiliki asupan zat goitrogenik rendah dikarenakan konsumsi makanan sumber zat goitrogenik yang rendah dan sebagian besar ibu mengolah makanannya dengan cara ditumis. Selain itu, memiliki asupan yodium dan protein yang tercukupi. Rata – rata asupan protein siswa yang tidak stunting yaitu 39,86 gr/ hari (99,6% AKG).
Goitrogenik merupakan zat yang dapat menghambat pengambilan zat yodium oleh kelenjar tiroid, sehingga konsentrasi yodium dalam kelenjar tiroid menjadi rendah. Di dalam tubuh zat goitrogenik menghambat uptake iodisa oleh kelenjar tiroid. besar molekul dan muatan goitrogenik sama dengan yodium, sehingga akan berkompetisi dengan iodide ketika masuk ke sel tiroid. Zat goitrogenik dalam bahan makanan yang dimakan setiap hari akan menyebabkan zat yodium dalam tubuh tidak berfungsi, karena zat goitrogenik tersebut menghalangi absorbsi dan metabolisme mineral yodium yang telah masuk ke dalam tubuh. Selain itu, zat goitrogenik ini juga dapat menghambat perubahan yodium dari bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan hormon tiroksin terhambat. Kombinasi defisiensi yodium dan asupan zat goitrogenik yang tinggi dapat mengakibatkan disfungsi kelenjar tiroid yang berdampak pada terhambatnya pertumbuhan (Thaha dkk, 2002). Konsumsi makanan yang mengandung zat goitrogenik tergantung dari ketersediaan, budaya, kebiasaan, dan kesukaan terhadap bahan makanan tertentu (Aritonang, 2003). Rata – rata asupan zat goitrogenik siswa yaitu 2,27 mg/hari. Nilai rata – rata asupan zat goitrogenik tersebut masih tergolong rendah dan aman untuk tubuh. Menurut WHO/FAO batas aman konsumsi zat goitrogenik adalah 10 mg/hari (Kartasurya, 2006). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Patricia
10
(2005) di Kecamatan Ngemplak, Sleman yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan zat goitrogenik dengan kejadian pembesaran kelenjar tiroid. hal ini berkaitan dengan konsumsi makanan sumber yodium yang
cukup dan konsumsi makanan sumber zat goitrogenik yang relative rendah. Fungsi kelenjar tiroid tidak akan terganggu dengan adanya zat goitrogenik, jika asupan yodium cukup.
Hubungan tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting pada anak usia 6 – 7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati Tabel 8. tabulasi silang tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting pada anak usia 6 – 7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati Kategori tinggi badan orang tua n a. pendek (<150cm) b. normal (≥150cm) Total
11 1 12
Stunting % 84,6 7,1 44,4
Pada tabel 8. menunjukkan bahwa paling banyak yaitu 40,75% (n=11) ibu yang tinggi badannya termasuk dalam kategori pendek memiliki anak stunting, sedangkan 7,40% (n = 2) ibu dengan yang tinggi badannya dalam kategori pendek memiliki anak tidak stunting.paling banyak yaitu 48,15% (n=13) ibu yang tinggi badannya dalam kategori normal memiliki anak tidak stunting, sedangkan 3,70% (n=1) ibu dengankategori tinggi badan normal memiliki anak yang stunting. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan chi square didapatkan nilai p value = 0,0001 (p value ≤ 0,05), maka dapat diinterpretasikan ada hubungan yang bermakna antara tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting pada anak usia 6–7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati.
Kejadian stunting Tidak stunting N % n 2 13 15
15,4 92,9 55,6
13 14 27
p value Total % 100,0 100,0 100,0
0,0001
Ibu dengan kategori tinggi badannya pendek memiliki anak stunting disebabkan karena faktor genetik yang dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orang tuanya dalam hal bentuk tubuh,proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan. Diasumsikan bahwa selain aktivitas nyata dari lingkungan yang menentukan pertumbuhan, kemiripan ini mencerminkan pengaruh gen yang dikontribusi oleh orang tuanya kepada keturunanannya secara biologis. Tinggi badan ibu merupakan faktor genetik pada ibu yang berperan dalam pertumbuhan anak. Hal ini disebabkan karena genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir tumbuh kembang anak, melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas atau kuantitas pertumbuhan anak (Soetjiningsih,
11
2002). Salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat kondisi patologi (seperti defisiensi hormon pertumbuhan) memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi stunting. Akan tetapi, apabila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak terpapar faktor risiko yang lain. Penelitian Norliani (2005), menunjukkan adanya hubungan antara tinggi badan orang tua dengan tinggi badan anak baru masuk sekolah. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Rahayu (2011) yang menunjukkan bahwa tinggi badan ayah dan ibu merupakan faktor risiko terjadinya stunting. Tinggi badan ibu yang pendek memiliki risiko 1,7 kali lebih besar untuk mengalami stunting pada anak dibandingkan tinggi badan ayah yang hanya memilik risiko 1,4 kali untuk mengalami stunting pada anak. Keterbatasan Penelitian Pada penelitian ini, tidak semua bahan makanan sumber zat goitrogenik yang dikonsumsi responden dihitung untuk dikonversikan ke mg, karena tidak tersedia di tabel kelompok Sianida.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian di SDN MOjomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati
tentang faktor determinann yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6 – 7 tahun dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Siswa memiliki asupan yodium dengan kategori kurang paling banyak yaitu sebnyak 13 siswa (48,1%), 10 siswa (37,0%) dengan kategori cukup dan 4 siswa (14,8%) dengan kategori lebih. 2. Seluruh siswa (100%) memiliki asupan zat goitrogenik dengan kategori rendah. 3. Ibu yang memiliki tinggi badan pendek paling banyak 13 ibu (51,9%) dan 14 ibu (48,1%) memiliki tinggi badan normal. 4. Ada hubungan antara asupan yodium dengan kejadian stunting pada anak usia 6 – 7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati. 5. Tidak ada hubungan antara asupan zat goitrogenik dengan kejadian stunting pada anak usia 6 – 7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati. 6. Ada hubungan antara tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting pada anak usia 6 – 7 tahun di SDN Mojomulyo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati. Saran 1. Bagi penelitian selanjutnya Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor determinan yang berhubungan dengan kejadian stunting terutama sumber makanan zat goitrogenik yang belum
12
diikutsertakan dalam penelitian ini. 2. Bagi Pihak Sekolah Perlu memberikan pengertian kepada siswa tentang pentingnya konsumsi makanan yang sesuai dengan kebutuhan anak sehingga proses pertumbuhannya tidak terganggu. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia. Atmarita & Fallah, YS.2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan. WNPG VIII, LIPI. Jakarta, pp.147. Asih, W dkk. 2006. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Volume 5 No. 2. Semarang: FKM UNDIP Bappenas. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan Dan Gizi Tahun 2011- 2015. Jakarta. Kemenkes, RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, kementerian Kesehatan RI. Murdiana, A. 2001. Penentuan Makanan Yang Mengandung Goitrogenik Tiosianat Sebagai Salah Satu Faktor Timbulnya GAKY. Puslitbang Gizi. Bogor. Norliani, Sudargo T, Budiningsari DR. 2005. Tingkat Sosial
Ekonomi, Tinggi Bdan Orang Tua dan Panjang Badan Lahir dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah. BKM. XXI: 04: 133-139. Noviani, I. 2007. Analisis Faktorfaktor yang berhubungan dengan Penggunaan Garam Beryodium di Rumah Tangga di desa Sumurgede. Universitas Negeri Semarang. Panjaitan, R. 2008. Pengaruh Karakteristik Ibu dan Pola Konsumsi Pangan Keluarga terhadap Status GAKY anak AS d Kabupaten Dairi Tahun 2007. Karya Ilmiyah Akhir pada Program Pendidikan asministrasi dan Kebijakan Kesehatan. Soekarti, M. 2008. Interaksi Yodium Dengan Zat Gizi Lain. Diakses tanggal 11 Agustus 2014 . http://www.orst.edu/depth/Ipi/i nfocentre/minerals/iodine// Soetjiningsih. 2002. Tumbuh Kembang Anak Dan Remaja. Jakarta: EGC. Thaha AR, Djunaidi M.D, dan Nurhaedar J. 2002. Analisis faktor risiko coastal goiter. Jurnal GAKI Indonesia;1(1):14 World Health Organization. 2001. Assessment of IDD and monitoring their elimination. 2ᵑᵑedition. WHO, Geneva.
13