Pendahuluan Dalam rentang kehidupan manusia akan selalu terjalin proses perkembangan yang terdiri dari pertumbuhan atau evolusi dan kemunduran atau involusi yang mana kedua proses ini mulai dari pembuahan dan berakhir dengan kematian. Hurlock (1996) membagi rentang kehidupan menjadi sembilan periode, yaitu sebelum kelahiran, baru dilahirkan (sampai akhir minggu kedua), masa bayi (akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua), awal masa kanak-kanak (2 – 10 tahun), pubertas (10 – 13 tahun), remaja (13 – 18 tahun), awal dewasa (18 – 40 tahun), usia pertengahan (40 – 60 tahun), dan usia lanjut (60 tahun sampai meninggal). Masa dewasa dibagi atas 3 periode yaitu, masa dewasa dini (awal dewasa), masa dewasa madya (usia pertengahan), dan masa dewasa lanjut (usia lanjut). Usia dari setiap rentang waktu pada masa dewasa berbedabeda, masa dewasa dini biasanya dimulai sejak usia 18 tahun sampai dengan kira-kira usia 40 tahun dan biasanya ditandai dengan selesainya pertumbuhan pubertas dan organ kelamin anak telah berkembang dan mampu bereproduksi. Pada masa ini, individu akan mengalami perubahan fisik dan psikologis tertentu bersamaan dengan masalah-masalah penyesuaian diri dan harapan-harapan terhadap perubahan tersebut. Masa dewasa madya dimulai pada usia 40 tahun sampai pada usia 60 tahun, yakni menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang jelas nampak pada setiap orang. Terakhir masa dewasa lanjut dimulai pada usia 60 tahun sampai kematian, pada usia ini kemampuan fisik maupun psikologis cepat menurun (Hurlock, 1996).
6
Perubahan-perubahan perkembangannya,
yang
dialami
seseorang
dalam
secara bersamaan akan diiringi juga dengan
munculnya harapan sosial yang mana di setiap kelompok budaya mengharap
anggotanya
menguasai
keterampilan
disetiap
rentang
kehidupan. Perjalanan hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas dan harapan yang harus dapat dipenuhi (Hurlock, 1996). Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2004), dari ketiga rentang masa dewasa, usia dewasa madya mempunyai rentang waktu yang paling panjang. Usia dewasa madya atau yang popular dengan istilah setengah baya, dari sudut posisi usia dan terjadinya perubahan fisik maupun psikologis, memiliki banyak kesamaan dengan masa remaja. Pada periode ini individu umumnya mengalami sejumlah masalah yang berkaitan dengan penyesuaian terhadap peran yang baru, mulai menurunnya kondisi fisik, pensiun, berubahnya keluarga, adanya stereotip masyarakat, dan lain sebagainya. Usia dewasa madya menurut Hurlock (1994) dimulai sejak usia 40 – 60 tahun, dengan lamanya hidup, maka dewasa madya mencakup waktu yang lama dalam rentang hidup, dimana pada masa dewasa madya individu melakukan penyesuaian diri secara mandiri terhadap kehidupan dan harapan sosial. Kebanyakan orang telah mampu menentukan masalah-masalah mereka dengan cukup baik sehingga menjadi cukup stabil dan matang secara emosinya, bila hal ini belum tercapai maka merupakan tanda orang belum matang secara emosional. Individu yang telah mencapai kematangan emosi mampu mengontrol dan mengendalikan emosinya, dapat berpikir secara baik dengan melihat
7
persoalan secara obyektif dan mampu mengambil sikap dan keputusan akan suatu hal yang tepat (Walgito, 1984). Salah satu pendewasaan dalam perkembangan emosional adalah kematangan emosi. Salah satu ciri dari individu yang matang adalah individu yang dapat menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya, hal ini disebabkan karena individu tersebut dapat berpikir secara positif dan obyektif (Walgito, 1984) . Kondisi seperti ini dialami oleh setiap individu, baik wanita yang sudah memasuki usia dewasa madya maupun pria. Kebanyakan wanita yang telah usia dewasa madya telah menikah dan telah memiliki keturunan. Pada usia dewasa madya ini pula banyak terjadi permasalahanpermasalahan dalam rumah tangga baik itu yang berkenaan dengan masalah ekonomi, masalah mendidik anak, masalah pekerjaan, masalah hubungan baik antar tetangga, dan masalah-masalah lain yang timbul dalam kehidupan rumah tangga (Walgito, 1984). Untuk menyikapi dan menghadapi masalah-masalah yang terjadi pada wanita usia dewasa madya, diperlukan kedewasaan dalam menghadapi suatu masalah. Semacam ada kemampuan seseorang yang mumpuni dalam merespon atau bereaksi terhadap fenomena tertentu, kemampuan mengendalikan emosi tertentu secara stabil sesuai dengan perkembangan usianya atau yang biasa disebut kematangan emosi (Koran Jakarta Nasional, 9 Maret 2010). Seorang wanita yang telah memasuki usia dewasa madya akan menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Banyak hal-hal yang harus dilalui dalam rentang usia ini. Mulai dari datangnya masa menopause, menurunnya daya tarik seksual terhadap suami (bila sudah menikah),
8
serta tuntutan masyarakat mengharapkan mereka untuk dapat berpikir dan berperilaku sesuai dengan usianya. Hal ini dibutuhkan sikap dan perilaku yang matang untuk bisa melalui rentang waktu usia dewasa madya dengan sebagaimana mestinya. Supaya tugas-tugas perkembangan dimasa ini bisa dilaksanakan dengan baik. Piaget (dalam Dariyo, 2007), mendefinisikan bahwa kematangan emosi
adalah
kemampuan
seseorang
dalam
mengontrol
dan
mengendalikan emosinya secara baik, dalam hal ini orang yang emosinya sudah matang tidak cepat terpengaruh oleh rangsangan atau stimulus baik dari dalam maupun dari luar pribadinya. Adanya masalah-masalah yang sangat kompleks yang dihadapi oleh wanita usia dewasa madya ini, membuat proses menuju kematangan emosi menjadi bervariasi antara individu satu dengan lainnya. Ada beberapa faktor-faktor yang dapat memengaruhi kematangan emosi seorang wanita yang memasuki dewasa madya. Menurut Young (1985) faktor yang memengaruhi kematangan emosi antara lain adalah faktor lingkungan, faktor individu, faktor pengalaman. Rogers (1981) menguraikan beberapa faktor pengaruh kematangan emosi antara lain adalah keluarga, televisi, dan jenis kelamin. Menurut Anderson (dalam Mappiere, 1983), mengatakan bahwa faktor yang paling penting dalam tujuannya individu mencapai kedewasaan emosional adalah pengalaman yang individu dapat selama menjalani pendidikan formal. Di dalam pendidikan banyak hal-hal yang bisa diambil, selain ilmu pendidikan itu sendiri, dunia pendidikan dapat memberikan pelajaranpelajaran yang berharga dalam hal kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Tiap jenjang pendidikan memiliki tingkatan masing-masing
9
dalam hal pengetahuan, proses pemecahan masalah, penalaran, serta emosional. Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dan pergaulan dengan seseorang untuk mencapai perkembangan jasmani dan rohani ke arah kedewasaan (Purwanto, 1999). Sebuah artikel di harian Nova (2009), memaparkan bahwa pertemuan ibu-ibu dasawisma disebuah instansi pemerintahan didaerah bekasi dilaksanakan dengan sangat tertib, kondusif, dan hidup. Ini dikarenakan karena rata-rata usia 45,5 tahun dan sebagian besar tingkat pendidikan terakhir adalah SMA dan S1. Ada survey yang menyatakan bahwa beberapa wanita yang mempunyai jenjang pendidikan SMA
dan usia antara 40-60 tahun
mengalami kematangan emosi yang cukup stabil sedangkan beberapa wanita yang mempunyai jenjang pendidikan dibawah SMA mengalami kematangan
emosi
yang
tidak
stabil.
(http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/tugas-tugas-perkembangan-dewasamadya) Namun berkebalikan dengan hal diatas, Becker (1964) menyatakan bahwa perkembangan kematangan emosi yang dimiliki seseorang secara alami muncul seiring dengan pertambahan usia, hal ini dikarenakan kematangan
emosi
dipengaruhi
oleh
tingkat
pertumbuhan
dan
kematangan fisiologis seseorang, sehingga dapat diartikan bahwa faktor diluar pertambahan usia sedikit kemungkinan dapat memengaruhi kematangan emosi seseorang, termasuk tingkat pendidikan. Pernyataan
Becker tersebut diperkuat dengan penelitian yang
dilakukan oleh Darti (2003), yang menyatakan bahwa ibu-ibu yang tergabung dalam jemaah pengajian rutin di Depok memiliki tingkat
10
kematangan emosi yang cukup tinggi. Rata-rata tingkat pendidikan subjek adalah SMP/sederajat. Dengan adanya perbedaan pendapat dari para peneliti tentang kematangan emosi pada dewasa madya yang memiliki tingkat pendidikan rendah dan tinggi serta fenomena yang terjadi di masyarakat dewasa ini, maka penulis tertarik untuk meneliti apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kematangan emosi pada wanita dewasa madya. Kajian Pustaka Kematangan Emosi Pengertian Kematangan Emosi
Chaplin
(2005),
dalam
buku
kamus
lengkap
psikologi
mendefinisikan kematangan adalah perkembangan, proses mencapai kemasakkan atau usia matang. Hal senada juga diungkap oleh Sobur (2003), bahwa kematangan adalah tingkat perkembangan pada individu atau organ-organnya sehingga sudah berfungsi sebagaimana mestinya. Sarwono (dalam Yusuf, 2005), emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah maupun tingkat yang luas. Dalam hal ini emosi merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Yang dimaksud dengan warna afektif adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi atau menghayati suatu situasi tertentu, misalnya perasaan gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci atau tidak senang. Piaget (dalam Dariyo, 2007), mendefinisikan bahwa kematangan emosi
adalah
kemampuan
seseorang
dalam
mengontrol
dan
mengendalikan emosinya secara baik, dalam hal ini orang yang
11
emosinya sudah matang tidak cepat terpengaruh oleh rangsangan atau stimulus baik dari dalam maupun dari luar pribadinya. Gunarsa (1991) menyatakan bahwa kematangan emosi merupakan dasar perkembangan seseorang dan sangat memengaruhi tingkah laku. Dari pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kematangan emosi adalah kemampuan seorang individu untuk mengontrol dan mengendalikan emosinya secara baik dalam setiap tindakan maupun perbuatannya. Ciri-ciri Kematangan Emosi Petunjuk dari kematangan emosi adalah apabila seseorang menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum ia bereaksi secara emosianal dan tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya (Hurlock, 1994). Adapun ciri kematangan menurut Anderson (dalam Mappiare, 1983) antara lain adalah : a.
Berorientasi pada tugas, bukan pada diri atau pada ego
b.
Tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasan-kebiasan bekerja yang efisien
c.
Mengendalikan perasaan pribadi.
d.
Keobyektifan.
e.
Menerima kritik dan saran.
f.
Pertanggungjawaban terhadap usaha-usaha pribadi.
g.
Penyesuaian yang realistik terhadap situasi-situasi baru. Berdasarkan ciri-ciri kematangan emosi yang telah diuraikan diatas
maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kematangan emosi adalah : a.
Individu mampu menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya.
12
b.
Mampu mengontrol dan mengarahkan emosi dengan baik.
c.
Tidak mudah frustrasi terhadap permasalahan yang muncul.
d.
Mempunyai tanggung jawab.
e.
Kemandirian dan mampu beradaptasi.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kematangan Emosi Ada
beberapa
faktor
yang
memengaruhi
perkembangan
kematangan emosi seseorang. Astuti (2000) mengatakan bahwa faktorfaktor yang memengaruhi kematangan emosi, antara lain: a.
Pola asuh orang tua
b.
Pengalaman traumatik
c.
Temperamen
d.
Jenis kelamin
e.
Usia Walgito (1984) mengatakan bahwa kematangan emosi berkaitan
dengan unsur individu. Makin bertambahnya usia seseorang diharapkan emosinya akan lebih matang dan individu akan lebih menguasai atau mengendalikan emosinya. Menurut Anderson (dalam Mappiere, 1983), mengatakan bahwa faktor yang paling penting dalam tujuannya individu mencapai kedewasaan emosional adalah pengalaman yang individu dapat selama menjalani pendidikan formal. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang memengaruhi kematangan emosi antara lain adalah usia, lingkungan, jenis kelamin, dan pengalaman ( menjalani pendidikan formal).
13
Tingkat Pendidikan Pengertian Tingkat Pendidikan Tingkat, menurut Purwadarminta (2002) mempunyai pengertian lapisan sesuatu yang disusun menurut tinggi rendahnya. Menelaah makna yang tertulis dalam UU NO 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 1 ayat 1 bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan negara. Pendidikan mempunyai peranan yang menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu. Ki Hajar Dewantara (dalam Fuad, 2003) menyebutkan pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek). Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan adalah lapisan proses pembelajaran yang disusun menurut tinggi rendahnya agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi yang dimiliki secara menyeluruh dalam memasuki kehidupan di masa yang akan datang. Tingkatan dalam Pendidikan Di Indonesia jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya ( UU No 20/ 2003 Pasal 13 ). Namun pada penalitian ini peneliti lebih menekankan pada pendidikan formal.
14
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.Tinjauan pendidikan formal meliputi 3 tingkatan pendidikan yaitu tingkat pendidikan dasar (meliputi tingkat SD, MI, SLTP, MTs), tingkat pendidikan menengah (meliputi tingkat SLTA atau yang sederajat dan tingkat pendidikan tinggi (meliputi tingkat setelah SLTA). Pendidikan formal yang ada dapat dibedakan menurut tingkatannya yaitu pendidikan dasar atau pendidikan tingkat rendah, pendidikan tingkat menengah, dan pendidikan tingkat tinggi yang masing-masing tingkatan mempunyai kemampuan kompetensi yang berbeda setelah lulus dari jenjang pendidikan ini. Ciri-ciri Pendidikan Beberapa ciri pendidikan, antara lain: a.
Pendidikan
mengandung
tujuan,
yaitu
kemampuan
untuk
berkembang sehingga bermanfaat untuk keperluan hidup. b.
Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha yang terencana dalam memilih isi (materi), strategi, dan tehnik penilaian yang sesuai.
c.
Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (formal dan nonformal) (Hadikusumo, 1995).
Tujuan Pendidikan Pendidikan bertujuan mempersiapkan generasi muda untuk terjun dalam masyarakat
yaitu kehidupan masyarakat dengan segala
karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus
15
acuan bagi pendidikan. Oleh karena itu tujuan, isi serta proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi karakteristik yaitu kekayaan dan perkembangan masyarakat tersebut (UU No 20/2003 Pasal 3). Dewasa Madya Pengertian Dewasa Madya Usia dewasa madya atau yang popular dengan istilah setengah baya pada umumnya dipandang sebagai masa usia antara 40 sampai 60 tahun. Masa tersebut ditandai oleh adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental (Hurlock, 1996). Ciri-ciri Dewasa Madya Ciri-ciri dewasa madya antara lain adalah Masa yang ditakuti, Masa transisi, Usia yang berbahaya, Usia canggung, Masa berprestasi, Masa evaluasi, Dievaluasi dengan standar ganda, Masa sepi, Masa jenuh Tugas-Tugas Perkembangan Dewasa Madya a.
Penyesuaian diri terhadap perubahan fisik
b.
Penyesuaian diri terhadap perubahan minat
c.
Penyesuaian diri terhadap standar hidup keluarga
d.
Penyesuaian dengan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat
(http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/tugas-tugas-perkembangandewasa-madya)
16
Hubungan Kematangan Emosi Dengan Tingkat Pendidikan Pada Wanita Dewasa Madya Seorang wanita yang telah memasuki usia dewasa madya akan menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Untuk menyikapi dan menghadapi masalah-masalah yang terjadi pada wanita usia dewasa madya, diperlukan kedewasaan dalam menghadapi suatu masalah. Semacam ada kemampuan seseorang yang mumpuni dalam merespon atau
bereaksi
mengendalikan
terhadap emosi
fenomena
tertentu
secara
tertentu, stabil
kemampuan
sesuai
dengan
perkembangan usianya atau yang biasa disebut kematangan emosi (Koran Jakarta Nasional, 2010). Ada beberapa faktor-faktor yang dapat memengaruhi kematangan emosi seorang wanita yang memasuki dewasa madya. Menurut Anderson (dalam Mappiere, 1983), mengatakan bahwa faktor yang paling penting dalam tujuannya
individu
mencapai
kedewasaan
emosional
adalah
pengalaman yang individu dapat selama menjalani pendidikan formal. Di dalam pendidikan banyak hal-hal yang bisa diambil,selain ilmu pendidikan itu sendiri, dunia pendidikan dapat memberikan pelajaran-pelajaran yang berharga dalam hal kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Tiap jenjang pendidikan memiliki tingkatan masing-masing dalam hal pengetahuan, proses pemecahan masalah, penalaran, serta emosional. Seorang wanita yang sudah memasuki usia dewasa madya, dalam menuju kedewasaan, pastilah melalui suatu proses, salah satunya proses disaat menjalani pendidikan formal.
17
Metode Penelitian Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian korelasional yaitu menguji hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya. Identifikasi Variabel Penelitian Variabel tergantung
: Kematangan Emosi
Variabel bebas
: Tingkat Pendidikan
Definisi Operasional Kematangan Emosi Kematangan emosi diukur dengan Skala Kematangan Emosi yang dibuat dari ciri-ciri kematangan emosi yaitu: mampu menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya, mampu mengontrol dan mengarahkan emosi dengan baik, tidak mudah frustrasi terhadap permasalahan yang muncul, mempunyai tanggung jawab, kemandirian dan mampu beradaptasi. Makin tinggi skor yang didapat, maka semakin tinggi pula tingkat kematangan emosi sesorang. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan adalah lamanya proses pembelajaran yang diikuti oleh peserta didik untuk mengembangkan potensi yang dimiliki secara menyeluruh dalam memasuki kehidupan di masa yang akan datang. Untuk
mengetahui
tingkat
pendidikan
subjek,
peneliti
menggunakan cara wawancara pada subjek untuk mengetahui tingkat pendidikan terakhir subjek.
18
Populasi dan Sampel Di dalam penelitian ini, populasi yang diambil adalah seluruh wanita dewasa madya di lingkungan RW 05 Bancaan Tengah Salatiga. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ketua RW 05 Bancaan Tengah Salatiga wanita dewasa madya berjumlah 120 orang. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah saturation sampling (sampel jenuh) yaitu metode pengambilan sampel dengan mengikutsertakan semua anggota populasi sebagai sampel (Arikunto, 2003), hal ini dikarenakan jumlah populasi yang relatif kecil. Metode pengumpulan data Alat Pengumpulan Data Untuk memperoleh data tentang perbedaan kematangan emosi ditinjau dari tingkat pendidikan pada wanita dewaas madya digunakan metode angket. Blue Print Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan satu macam angket, yaitu angket untuk mengungkapkan kematangan emosi wanita dewasa madya. Angket tersebut disusun dengan dua jenis item, yaitu item terarah dengan pernyataan (favorable) dan yang tidak searah dengan pernyataan (unfavorable). Sistem penelitian skala kematangan emosi wanita dewasa madya didasarkan pada empat kategori, yaitu : SS :
Jawaban yang menyatakan Sangat Sesuai terhadap pernyataan tersebut
S
:
Jawaban yang menyatakan Sesuai terhadap pernyataan tersebut
19
TS
: Jawaban yang menyatakan Tidak Sesuai terhadap pernyataan tersebut
STS : Jawaban yang menyatakan Sangat Tidak Sesuai terhadap pernyataan tersebut Dalam item yang searah dengan pernyataan (favorable) subjek menjawab
sangat
setuju memperoleh skor
empat (4), setuju
memperoleh skor tiga (3), tidak setuju memperoleh skor dua (2), dan sangat tidak setuju memperoleh skor satu (1). Sebaliknya dalam item yang tidak searah dengan pernyataan (unfavorable) subjek menjawab sangat setuju memperoleh skor satu (1), setuju memperoleh skor dua (2), tidak setuju memperoleh skor tiga (3), dan sangat tidak setuju memperoleh skor empat (4). Skala kematangan emosi wanita dewasa madya dilihat dari ciri kematangan emosi yaitu : a.
Mampu menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya.
b.
Mampu mengontrol dan mengarahkan emosi dengan baik serta menyikapi masalah secara positif
c.
Tidak mudah frustrasi terhadap permasalahan yang muncul
d.
Mempunyai tanggung jawab
e.
Kemandirian dan mampu beradaptasi
20
Adapun rancangan jumlah item skala kematangan emosi wanita dewasa madya dapat dilihat pada tabel 3.1 Tabel 3.1 Rancangan Jumlah Item Skala Kematangan Emosi Wanita Dewasa Madya Ciri Emosi
Kematangan
Menerima diri sendiri dan
orang lain apa adanya Mampu mengontrol dan mengarahkan emosi dengan baik Tidak mudah frustrasi terhadap permasalahan yang muncul Mempunyai tanggung jawab. Kemandirian dan mampu beradaptasi Total
Jumlah Item Favorable Unfavorable
Total
5
5
10
6
5
11
5
5
10
4
5
9
5
5
10
25
25
50
Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Uji Validitas Dalam
penelitian
ini,
pengujian
validitas
diukur
dengan
menggunakan Teknik Korelasi Pearson’s Product Moment. Uji Reliabilitas Pada penelitian ini, teknik yang digunakan untuk menguji reliabilitas adalah Teknik Alpha Cronbach.
21
Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis statistik dengan menggunakan korelasi Pearson Product Moment, sebelum data dianalisi, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yaitu uji normalitas dan uji linearitas. Pengujian dilakukan dengan bantuan program SPSS version 16.0. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Orientasi Penelitian dan Subjek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan RW 05 Bancaan Tengah Salatiga. Populasi yang digunakan adalah wanita dewasa madya di lingkungan RW 05 Bancaan Tengah Salatiga. Pada penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah saturation sampling (sampel
jenuh)
yaitu,
metode
pengambilan
sampel
dengan
mengikutsertakan semua anggota populasi sebagai sampel (Arikunto, 2003). Berdasarkan data keseluruhan, jumlah skala yang kembali dan jumlah wanita dewasa madya yang telah mengisi skala perbedaan kematangan emosi ditinjau dari tingkat pendidikan pada wanita dewasa madya adalah 120 orang. Hasil Penelitian Uji Asumsi Pengujian terhadap normalitas dan linieritas tersebut menggunakan progran SPSS for Windows version 16. Uji Normalitas Berdasarkan hasil uji normalitas dengan menggunakan uji kolmogorov smirnov, diperoleh nilai z untuk kematangan emosi
22
sebesar 1,073 dengan p > 0,05. Hasil yang diperoleh menunjukkan data berdistribusi normal. Nilai z untuk tingkat pendidikan adalah sebesar 2,192 dengan p<0,05 sehingga menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi normal. Uji Linearitas Berdasarkan hasil uji linearitas, diketahui bahwa tingkat pendidikan berkorelasi linier dengan kematangan emosi. Hal ini ditunjukkan dengan F = 413,297 dengan p < 0,01. Hasil Analisis Data Distribusi data penelitian untuk tingkat pendidikan tidak normal, sehingga analisis data menggunakan korelasi Product Moment Spearman. Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment Spearman, diperoleh hasil r = 0,892 dengan p < 0,05 yang berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara tingkat pendidikan dengan kematangan emosi pada wanita dewasa madya. Besarnya sumbangan tingkat pendidikan terhadap kematangan emosi wanita dewasa madya ditentukan dengan mengkuadratkan koefisien korelasi, yaitu sebesar (0,892)2 x 100 % = 79,57 % Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan teknik Korelasi Product Moment Spearman, diperoleh nilai r = 0,892 dengan p = 0,000 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara tingkat pendidikan dengan kematangan pada wanita dewasa madya. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang menyebutkan ada
23
hubungan positif yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kematangan emosi pada wanita dewasa madya dapat diterima. Semakin tinggi tingkat pendidikan pada wanita dewasa madya, maka kematangan emosi semakin baik. Semakin rendah tingkat pendidikan, maka kematangan emosi juga semakin rendah. Dari data juga diketahui bahwa rata-rata tingkat pendidikan pada wanita usia dewasa adalah 10,9750 dengan standart deviation sebesar 5,47180. Anderson (dalam Mappiere, 1983) mengatakan bahwa faktor yang paling penting dalam tujuannya individu mencapai kedewasaan emosional adalah pengalaman yang individu dapat selama menjalani pendidikan formal. Dunia pendidikan dapat memberikan pelajaranpelajaran yang berharga dalam hal kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Tiap jenjang pendidikan memiliki tingkatan masing-masing dalam hal pengetahuan, proses pemecahan masalah, penalaran serta emosional. Semakin tinggi tingkat pendidikan wanita dewasa madya, maka wanita dewasa madya semakin siap dalam hal pengetahuan, proses pemecahan masalah, penalaran serta kematangan emosi dalam memasuki masa usia dewasa madya dan dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan baik di persoalan dalam keluarga dan dalam masyarakat. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data yang telah diuraikan sebelumnya, hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Ada hubungan positif dan signifikan antara tingkat pendidikan dengan kematangan emosi pada wanita dewasa madya. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi pula kematangan
24
emosi pada wanita dewasa madya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan, maka semakin rendah pula kematangan emosi pada wanita dewasa madya. 2. Total sumbangan efektif (SE) tingkat pendidikan pada kematangan emosi wanita dewasa madya adalah 79,57% , yang berarti masih terdapat 20,43% faktor lain yang mempengaruhi kematangan emosi pada wanita dewasa madya di luar tingkat pendidikan. 3. Sebagian besar subjek yaitu 53,3 % memiliki tingkat kematangan emosi pada kategori tinggi. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kematangan emosi pada wanita dewasa madya, maka dapat dikemukakan saran bagi pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini, yaitu: 1. Bagi wanita dewasa madya, perlu meningkatkan pengetahuannya dengan cara misalnya membaca buku-buku, sehingga dapat meningkatkan kematangan emosinya dalam menjalani masa usia dewasa madya. 2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat dipakai sebagai pedoman mengenai tingkat pendidikan yang berkaitan dengan kematangan emosi pada wanita dewasa madya. 3. Bagi remaja putri diharapkan untuk terus menambah pengetahuan dan meningkatkan tingkat pendidikannya sehingga lebih siap dalam memasuki usia dewasa madya.
25
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2003). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, S. (1999). Penyusunan Skala Psikologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2003). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Chaplin, J. P. (2002). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Dariyo, A. (2003). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia Darti. (2003). Sikap Terhadap Perkawinan pada Wanita ditinjau dari Persepsi terhadap Pengembangan Karier. Skripsi (tidak diterbitkan), Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata, Semarang. Fuad, H. (2003). Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Gunarsa, S. (1991). Pengantar Psikologi. Jakarta: Mutiara. Hadi, S. (2002). Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Andi Ofset. Hurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (eds.5). Jakarta: Erlangga. Mappiare. (1983). Psikologi Orang Dewasa. Surabaya: Usaha Nasional. Monks, F. J. (2002). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
26
Nazir. (1999). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Patty, F. (1982). Pengantar Psikologi Umum. Surabaya: Usaha Nasional. Purwadarminta, WJS. (2002). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Purwanto, N. M. (1993). Ilmu Pendidikan dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rizky. (2010). Tugas-tugas Perkembangan Dewasa Madya. Diambil 21 Maret 2010 dari http//www.kuliahpsikologi.deckrizky.com/tugastugas-perkembangan-dewasa-madya Rogers, D. (1981). Adolescent and Youth. New York: Prentice Hall. Sudjana. (2000). Metode Statistik (eds.5). Bandung: Tarsito. Sugiyono. (2004). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alvabeta. Suryasubrata, S. (1983). Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mendiknas. (2003). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Walgito, B. (1990). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset. Walgito, B. (2002). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Andi Offset. Young, K. (1985). Social Psychology. New York: Aaplenton Century 27