Pencitraan Perempuan di Majalah: Konstruksi Identitas Perempuan Kelas Menengah di Perkotaan Y UANITA APRIL ANDINI SIREGAR Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Email:
[email protected]
ANGGORO YUDHO MAHENDRO Asisten Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Email:
[email protected]
AB STRACT This article is about how the establishment of women’s imaging in women’s magazine (Femina and Kartini) which has consumers from middle class urban women. Imaging women in both magazine, intensionally formed through commercial advertising and cover story. The use of women’s models have been identified into five images; the image frame (citra pigura), the image of the pillar (citra pilar), the image of the contest (citra peraduan), the image of the plate (citra pinggan) and the image of association (citra pergaulan). This article is also seen that the formation of six imaging is also associated with a reduction of meaning of beauty who socialized through megazines to women and a patriarchal culture that is still strong inherent in the people of Indonesia. The urban middle class women who should play an important role on the agenda of gender equality. Keywords: media, image, identity, gender
2
| Y uanita A prilandini S iregar & A nggoro Y udho M ahendro
PENDA HULUA N
Meningkatnya kesadaran manusia untuk memperoleh informasi, besarnya segmen pasar serta besarnya keuntungan yang didapat dalam berbisnis dalam bidang media, merupakan ketiga faktor yang mendorong perkembangan industri media, baik cetak maupun media penyiaran elektronik. Media cetak kemudian berkembang lebih pesat menuju kepada segmen pasar khusus, misalnya majalah khusus perempuan, majalah khusus laki-laki dan majalah khusus remaja. Gejala serupa juga ditandai dengan semakin banyaknya majalah dari luar negeri yang diterbitkan dalam edisi Indonesia, seperti majalah Her World, yang mengangkat tema perempuan dan gaya hidup dan majalah Go Girl yang mengangkat tema remaja dan gaya hidup selebritis / Hollywood. Pembahasan mengenai gaya hidup di majalah wanita dan remaja tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi gaya hidup pembacanya. Sebagai salah satu agen sosialisasi yang berperan penting di masyarakat, pesan yang disampaikan oleh majalah, baik tersurat maupun tersirat akan membentuk persepsi dan pola pikir para pembaca. Dalam konteks ini, majalah perempuan akan membentuk pencitraan perempuan yang dianggap “ideal” di dalam masyarakat. Konstruksi perempuan yang biasanya ditemukan di dalam tabloid wanita dan remaja tidak lepas dari perihal (1) masak-memasak, (2) bonus makanan, (3) konsultasi kesehatan, (4) konsultasi psikologi, dan (5) konsultasi etiket (Wiratmo dan Ghiffari 2008:101-119). Mereka menerima secara pasif apa yang disajikan oleh media. Sebagai gambaran, media merekonstruksi perempuan cantik sebagai perempuan yang berkulit putih, berambut lurus, dan bertubuh langsing. Bagi yang tidak memenuhi kriteria tersebut tidaklah cantik, dan untuk mereka disediakan produk yang dapat membuat kulit menjadi putih, rambut menjadi lurus, dan tubuh menjadi langsing. Padahal, warna kulit terbentuk karena faktor pigmen yang tidak dapat dihilangkan atau rambut yang keriting karena faktor gen yang dibawanya memang demikian. Dalam iklan-iklan di majalah, tubuh perempuan masih dijadikan objek seksual. Hal ini terlihat dari iklan mobil yang menggunakan model perempuan bertubuh seksi. Iklan juga memberikan pencitraan bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang berada di wilayah domestik. Hal ini secara tersirat dapat dilihat dari iklan alat-alat kebutuhan rumah tangga yang banyak menggunakan KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
Pencitraan Perempuan di M ajalah |
3
model iklan perempuan berkarakter keibuan. Tamrin Amal Tomagola mengkategorikan citra perempuan pada iklan di media massa sebagai berikut (Tanesia 2011): 1. citra pigura: perempuan sebagai sosok yang sempurna dengan bentuk tubuh ideal 2. citra pilar: perempuan sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah tangga 3. citra peraduan: perempuan sebagai objek seksual 4. citra pinggan: perempuan sebagai sosok yang identik dengan dunia dapur 5. citra pergaulan: perempuan sebagai sosok yang kurang percaya diri dalam pergaulan Menurut Giaccardi (1995), iklan di dalam media seperti majalah wanita dan remaja adalah acuan berpikir, bertindak, dan merasakan bagi masyarakat. Iklan menghadirkan diskursus tentang realitas yang menggambarkan, memproyeksikan, dan menstimuli dunia mimpi yg hiperrealistik. Iklan tidak menghadirkan realitas sosial yang sesungguhnya. Apa yang nampak hadir dalam iklan tidak lebih dari sebuah ilusi belaka atau rayuan yang tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya (Giaccardi dalam Featherstone 1995). Sebagai salah satu media produksi tanda-tanda untuk sarana komunikasi, iklan dipandang berhasil apabila mampu menarik minat pembaca untuk terlibat dalam memahami pesan yang disampaikan dalam iklan tersebut (Tamagola, 1990). Partisipasi yang dimaksud bisa dipengaruhi baik oleh iklan maupun oleh kelompok sasarannya yang dipertautkan oleh sejumlah cultural nations yang socially shared dalam suatu masyarakat. Karena media massa di Indonesia pada umumnya diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke atas, maka sudah tentu cultural nations yang dimanipulasi dalam iklan di majalah adalah nilainilai dan aspirasi golongan tersebut. Debra A. Yatim (1998) di dalam tulisannya memberikan pernyataan bahwa media menjadi cermin bagi keadaan di sekelilingnya. Namun, di pihak lain, media juga membentuk realitas sosial itu sendiri. Lewat sikapnya yang selektif dalam memilih hal-hal yang ingin diungkapkan dan melalui caranya menyajikan hal-hal tersebut, media memberi interpretasi, bahkan membentuk realitasnya sendiri (Yatim dalam Ibrahim dan Suranto 1998). Proses konstruksi perempuan di dalam iklan memanipulasi tubuh perempuan sebagai simbol yang memiliki stereotipe keanggunan, kelembutan, kelincahan, keibuan, KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
4
| Y uanita A prilandini S iregar & A nggoro Y udho M ahendro
dan kemanjaan. Konstruksi ini kemudian masuk ke dalam alam bawah sadar masyarakat yang disosialisasikan melalui iklan komersial di dalam majalah perempuan. Akibatnya, realitas yang dibentuk media melalui iklan komersial dianggap realitas yang sebenarnya. Saat ini, masyarakat sangat sulit membedakan antara realitas iklan dengan realitas sebenarnya. Berdasarkan paparan di atas, maka artikel ini berusaha untuk mengungkap bagaimana pencitraan perempuan di dalam majalah wanita (Femina dan Kartini), bagaimana pencitraan perempuan dapat mereduksi makna cantik di masyarakat, serta bagaimana konstribusi kedua majalah tersebut terhadap kepentingan perempuan? Metode yang digunakan di dalam penulisan artikel ini adalah metode analisis isi secara kuantitatif dan kualitatif (content analysis mixed method). Penulis mencoba melihat tujuh produk iklan yang sering muncul dalam majalah Kartini edisi Juli 2009 dan Femina edisi Desember 2009. Kemudian dari ketujuh produk iklan tersebut akan dilihat seberapa banyak iklan yang menggunakan model perempuan. Penggunaan model iklan perempuan nantinya akan dianalisis untuk melihat pencitraan dari produk-produk yang diinginkan oleh para pembuat iklan dan pihak perusahaan secara deskriptif dengan menggunakan Statistical Package for Social Sciences (SPSS). Sedangkan analisis isi kualitatif digunakan untuk membandingkan teks dengan konteks. Cara penulisan artikel, kata-kata yang digunakan, tentunya menyiratkan makna tersembunyi yang hendak disampaikan kepada pembaca. Tujuannya tentu saja untuk membentuk opini sesuai dengan yang diarahkan. Berkaitan dengan hal itu, objek penelitian di dalam artikel ini adalah penyajian gambar iklan dan rubrik “Profil” pada kedua majalah tersebut. Profil tokoh merupakan salah satu bentuk karya jurnalistik yang termasuk kategori feature, sedangkan gambar iklan merupakan analisis pendukung. PEREMPUA N DA L A M KONST RUK SI IK L A N K O M E R S I A L M A J A L A H WA N I TA
Sampel kuantitatif dalam penelitian ini adalah empat Majalah Kartini edisi bulan Juli 2009 dan 4 Majalah Femina edisi bulan Desember 2009. Berdasarkan sampel tersebut terdapat 101 iklan (42,6%) Majalah Kartini dan 136 iklan (57,4%) Majalah Femina yang dianalisis untuk memperoleh
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
Pencitraan Perempuan di M ajalah |
5
gambaran umum pencitraan perempuan dalam iklan di kedua majalah tersebut (tabel 1). T a b e l 1 . J umlah I klan dengan M odel P erempuan
Iklan dengan model perempuan saja Iklan tanpa model perempuan atau dengan model laki-laki dan anak Total
Jumlah 141 96
Persen 59,5 40,5
237
100
Sumber: data survei 2011
Tabel 1 memperlihatkan sebanyak 59,5% iklan di dalam dua majalah tersebut menggunakan model perempuan. Sedangkan 40,5% tidak menggunakan model perempuan atau iklan tersebut menggunakan model laki-laki dan anak kecil. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan model perempuan mendominasi penyajian iklan di kedua majalah wanita tersebut. Dalam upaya memasarkan produknya, para pengusaha memanfaatkan iklan secara optimal agar menarik bagi pembaca. Salah satu objek yang dianggap dapat menjadi daya tarik bagi pembaca adalah penggunaan model perempuan. Perempuan seringkali muncul sebagai objek dalam iklan komersial. Tentunya setiap produk atau perusahaan memiliki konstruksi atas perempuan di dalam iklan komersialnya. T a b e l 2 . K ategori I klan
Produk kecantikan Produk fashion Produk obat dan suplemen Produk makanan dan minuman Produk alat rumah tangga Produk jasa dan keuangan Produk teknologi dan komunikasi Produk otomotif Jasa pendidikan dan pariwisata Total
Jumlah 55 12 53 47 29 30 5 3 3 237
Persentase 23.2 5.1 22.4 19.8 12.2 12.7 2.1 1.3 1.3 100.0
Sumber: Data survei 2011
Sementara itu, berdasarkan kategori iklan seperti ditunjukkan pada tabel 2, sebanyak 23,2% jenis iklan yang disajikan di dalam majalah Kartini dan Femina merupakan produk kecantikan, 22,4% merupakan produk obat dan suplemen, 19,8% merupakan produk makanan dan minuman, 12,7% merupakan produk jasa dan keuangan, 12,2%
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
6
| Y uanita A prilandini S iregar & A nggoro Y udho M ahendro
merupakan produk alat rumah tangga dan 5,1% merupakan produk fashion. G a m b a r 1 . C itra P igura
Sumber: Majalah Femina Edisi Desember 2009
Gambar 1 menampilkan model perempuan yang ‘cantik’ dengan segala atributnya. Kulitnya yang putih merata dapat terlihat dengan penggunaan pakaian yang minim, sehingga bagian leher pun dapat terlihat sama putihnya dengan bagian wajah. Hal ini menyiratkan makna bagi orang yang melihat dengan pesan ‘bagi yang ingin memiliki kulit putih pakailah produk ini’. Iklan berkategori produk kecantikan, khususnya sabun mandi, biasanya menggunakan model perempuan yang memiliki fisik ramping, seksi, berambut lurus panjang. Sementara itu, dalam iklan obat-obatan dan suplemen kesehatan, perempuan digambarkan memiliki sifat yang melindung (Majalah Kartini edisi Juli 2009). Konstruksi makna perempuan yang protektif, peduli, dan simpatik dilekatkan pada produk-produk tersebut. Selanjutnya, akan timbul kesan produk tersebut merupakan mitra si perempuan dalam menjaga kesehatan keluarga. Perempuan dalam iklan komersial kategori ini digambarkan sebagai sosok yang dewasa, feminim, dengan tampilan fisik yang anggun dan ramah. Perempuan yang menjadi model bukan sosok yang familiar dalam dunia hiburan karena secara substansi produsen hanya ingin menampilkan kesan protektif, peduli, dan simpatik dalam iklan, yang dengan kata lain sosok terkenal tidaklah penting. KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
Pencitraan Perempuan di M ajalah |
7
Pada iklan komersial kategori makanan dan minuman, perempuan dikonstruksi sebagai sosok yang peduli dan melindungi (Majalah Femina edisi Desember 2009). Namun secara lebih spesifik, dalam kategori tersebut, perempuan secara jelas digambarkan sebagai ibu. Bahkan untuk mempertegas peran sebagai ibu, biasanya ditambahkan sosok anak laki-laki dan/atau perempuan. Sosok ibu, dilekatkan kepada makanan karena dalam keluarga Indonesia sosok ibulah yang memasak berbagai macam makanan lezat dan bergizi sebagai produk rumah. Selain itu, sosok ibu juga digunakan sebagai penjamin bahwa produk tersebut aman dan sehat bagi keluarga. G a m b a r 2 . C itra P ilar
Sumber: Majalah Kartini edisi Juli 2009
Dalam iklan komersial kategori peralatan rumah tangga, perempuan dikonstruksi sebagai pengatur berbagai urusan rumah tangga (iklan rice cooker dalam Majalah Femina edisi Desember 2009). Perempuan ditempatkan dalam reproduksi yang mendukung sang suami yang berada pada bagian produksi dan komersial. Perempuan dalam konteks ini digambarkan sebagai sosok yang tegar dan sabar, serta siap memenuhi berbagai kebutuhan suami dan keluarga di rumah. Pada konteks ini kewajaran perempuan sebagai pengurus rumah tangga ditonjolkan, seakan-akan hanya perempuan yang bisa dan pantas mengerjakan berbagai macam urusan rumah tangga. Berdasarkan gambar 2 di atas dapat dilihat bagaimana perempuan dikonstruksi dengan citra pilar. Model yang ditampilkan adalah perempuan dewasa bersama dengan suami dan anaknya. Dalam citra pilar, penampilan fisik model perempuan bukan hal utama karena yang penting adalah gambaran peran perempuan sebagai penjaga KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
8
| Y uanita A prilandini S iregar & A nggoro Y udho M ahendro
keutuhan rumah tangga. Gambar 2 menunjukkan model perempuan yang menonjolkan makna kekompakan dan keserasian dalam keluarga. G a m b a r 3 . C itra P inggan
Sumber: Majalah Femina Edisi Desember 2009
Gambar 3 di atas dapat dijelaskan bahwa sang model telah memasak nasi kuning dengan produk rice cooker yang diiklankan. Perempuan dalam kehidupan sehari-hari bertugas menyediakan masakan terbaik untuk suami dan anak-anaknya. Gambar ini mengesankan bahwa sang model melakukan aktivitas memasak makanan itu sendirian, tanpa dibantu orang lain. Memasak dalam gambar ini dilekatkan sebagai tugas dan tanggung jawab perempuan. Oleh karena itu, gambar di atas mengonstruksikan perempuan dengan citra pinggan. T a b e l 3 . K ategori I klan dan K onstruksi C itra P erempuan
Citra Pigura Produk kecantikan 44 Produk fashion 9 Produk obat dan suplemen 10 Produk makanan dan minuman 1 Produk alat rumah tangga 2 Produk jasa dan keuangan 3 Produk teknologi dan komunikasi 1 Produk otomotif 0 Total 70 Kategori Iklan
Citra Perempuan Citra Citra Citra Citra Total Pilar Peraduan Pinggan Pergaulan 0 1 0 1 46 1 1 0 0 11 20 7 0 0 37 14 0 0 0 15 14 0 1 0 17 7 0 0 0 10 2 0 0 0 3 1 0 0 0 1 59 9 1 1 140
Sumber: Data survei 2011
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
Pencitraan Perempuan di M ajalah |
9
Secara garis besar, keterkaitan antara kategori iklan dengan citra yang dikonstruksi dapat dilihat dari tabel 3. Pencitraan perempuan oleh media berdasarkan urutan tertinggi adalah citra pigura, citra pilar dan citra peraduan. Ketiga pencitraan tersebut mendominasi ketujuh iklan produk di dalam Majalah Kartini dan Femina. Khusus untuk iklan produk kecantikan, konstruksi pencitraan yang dibangun adalah citra pigura. Kategori fashion juga membangun pencitraan pigura. Iklan obatobatan dan suplemen serta kategori makanan dan minuman mayoritas menggunakan konstruksi citra pilar. Iklan peralatan rumah tangga, produk jasa dan keuangan, teknologi komunikasi serta iklan otomotif juga menggambarkan perempuan dengan citra pilar. Sedangkan untuk citra peraduan, iklan produk obat dan supplemen yang mempergunakan paling banyak model perempuan untuk mengkonstruksi citra tersebut. G a m b a r 4 . C itra P eraduan dan C itra P ergaulan
Sumber: Majalah Kartini Edisi Juli 2009
Penggunaan citra peraduan nampaknya akan semakin berkurang karena pemberlakuan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Sedangkan cit ra pergaulan semakin t idak diminat i karena kecenderungan yang positif atas setiap perempuan. Citra pergaulan biasanya dimunculkan vis a vis dengan perempuan yang memiliki citra pigura untuk menegaskan bahwa perempuan yang ideal adalah perempuan yang kurang percaya diri, pemalu, tidak kritis, kurang
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
10
| Y uanita A prilandini S iregar & A nggoro Y udho M ahendro
pandai namun cantik, ramping, berkulit putih dan berambut panjang. Gambar 4 adalah contoh citra peraduan dan citra pergaulan. Gambar perempuan di sebalah kiri menunjukkan konstruksi atas model dengan citra peraduan. Bagaimana tidak, model perempuan ini sesungguhnya menjadi bagian dalam iklan komersial kategori fesyen, dalam hal ini tas. Namun, ekspresi wajah dan pose model yang meletakan tas di antara kedua paha, sesungguhnya tidak memiliki relevansi dengan produk yang diiklankan. Seharusnya tas diletakkan di bahu atau lengan. Namun, perempuan dieksploitasi sebagai objek penarik hasrat dengan pose dan mimik wajah yang ditampilkan demi menarik pembeli bahwa dengan membeli tas tersebut perempunan akan terlihat seksi. Dengan menggunakan konsep citra perempuan menurut Tomagola (1990), dapat diketahui pencitraan perempuan dalam iklan, terkait dengan produk yang ditawarkan. Dalam konteks itu, iklan kategori make up dan perawatan tubuh ingin menggambarkan bahwa perempuan yang menjadi model dalam iklan tersebut merupakan representasi dari pengguna produk. Oleh karena itu, model iklan ini biasanya adalah perempuan-perempuan yang sudah memiliki konstruksi ‘cantik’ di masyarakat yang kerap dipertontonkan dalam industri hiburan. Konstruksi perempuan secara general dengan demikian tereduksi dalam dunia showbiz yang terhubung dengan cepat melalui media elektronik. Di satu sisi, kondisi demikian ditandai dengan semakin seragamnya gaya berpakaian dan gaya berpenampilan para wanita, khususnya remaja. Rujukan mode pakaian dan gaya berpenampilan kerap ditiru dan dimodifikasi dari artis-artis popular yang sedang naik daun di dunia hiburan, sehingga dalam kurun waktu tertentu gaya berpakaian dan berpenampilan sang artis menjadi trend setter di kalangan remaja. Sedangkan di sisi yang lain, situasi demikian membuat para pengusaha produk make up dan kecantikan, serta fesyen, mengambil kesempatan demi meningkatkan penjualan produknya. Pengusaha berlomba-lomba membuat kontrak dengan para artis popular untuk menggunakan produk-produknya dalam kesempatan-kesempatan on air maupun off air sebagai ajang promosi atas produk tersebut.
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
Pencitraan Perempuan di M ajalah |
11
Kapita l isme da n Re du ksi Ma k na “Ca nt i k” Dalam menganalisis masalah komersialisasi dan kapitalisme, sebagaimana Marx, Benston (1969, dalam Ollenburger, 2002; 53) mengembangkan dua tipe nilai; nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange value). Secara sederhana, nilai guna dapat dimaknai sebagai proses individual dalam menikmati barang atau jasa dengan pertimbangan kegunaan dan manfaat. Sedangkan nilai tukar berarti menggunakan barang dan jasa atas pertimbangan konstruksi sosial dan pasar. Dengan demikian, nilai tukar merupakan kebutuhan yang tidak primer, tetapi akibat derasnya arus komunikasi dan informasi membuat seseorang merasa wajib dan perlu untuk membeli produk-produk itu. Dalam hal ini, pasar telah membentuk konstruksi cantik yang general bagi seluruh perempuan di dunia. Konstruksi bahwa kulit putih lebih baik dari pada warna kulit lainnya, membuat perempuan-permpuan berlomba untuk membeli krim pemutih. Begitu pun citra cantik diidentikan dengan perempuan yang langsing, maka pada saat yang sama perempuan di seluruh dunia berlomba melangsingkan diri. Dalam hingar-bingar perempuan menuju ‘cantik’ tentunya para produsen-lah yang mendapatkan untung besar. Karena, setiap perempuan membeli dan memakai produk-produk tersebut setiap hari Dalam analisis selanjutnya, Ollenburger (2002) menyatakan bahwa akibat kapitalisme dalam masyarakat pada umumnya, terkonstuksi penilaian positif dan negatif atas tubuh perempuan. Artinya, tubuh perempuan memiliki tingkatan nilai, ada yang tidak ideal dan ada yang ideal. Kemunculan perempuan-perempuan dalam media massa yang memiliki citra pigura dapat dipastikan menyumbangkan hegemoni tersebut. Bahwa para model iklan dan juga entertainer pada umumnya, merupakan contoh dari citra ideal perempuan dalam segi fisik dan penampilannya. Dengan demikian, para model itulah yang dijadikan kiblat dalam mengonstruksi diri para perempuan agar memperoleh predikat ‘cantik’. Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa mayoritas model perempuan dalam iklan Majalah Femina dan Kartini memiliki citra pigura (50%). Citra pigura merupakan penampilan perempuan sebagai sosok yang sempurna dengan tubuh ideal. Hal ini berarti perempuan harus memiliki tubuh yang langsing, berkulit putih, tinggi dan ramping, serta berambut panjang. Sedangkan pencitraan perempuan berikutnya adalah sebagai citra pilar (42,1%), yakni penyangga keutuhan dan KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
12
| Y uanita A prilandini S iregar & A nggoro Y udho M ahendro
penata rumah tangga. Ini merupakan penggambaran perempuan yang identik dengan dunia rumah tangga. Perempuan dalam kedua majalah tersebut juga dicitrakan dengan citra peraduan (6,4%) karena penyajian iklan dengan model perempuan banyak sekali mengeksploitasi tubuh perempuan sebagai objek seksual, yakni dengan berpenampilan seksi dan menjadi pemikat para lelaki. T a b e l 4 . P encitraan P erempuan dalam I klan
Citra pigura Citra pilar Citra peraduan Citra pinggan Citra pergaulan Total
Jumlah 70 59 9 1 1 140
Persentase 50 42,1 6,4 0,7 0,7 100
Sumber: Data survei 2011
Lebih jauh Barrat (1994:58-69) dalam bukunya Media Sociology menganalisis bahwa dunia komersial secara signifikan memberikan dampak terhadap keredaksian sebuah media. Salah satu tujuan media adalah mendapatkan keuntungan. Dalam konteks ini, iklan menjadi hal yang penting demi mendapatkan dana operasional dari pihak sponsor. Menurut analisis diskursus Van Djik dalam Eriyanto (2001:224274), untuk mengetahui teks perlu diketahui juga aspek kognisi sosial (social cognition) dan juga konteks sosial (social context). Kognisi sosial merupakan upaya mengetahui sebuah teks, dalam hal ini media diproduksi oleh korporasi media. Sedangkan konteks sosial merupakan kondisi yang sedang berkembang terkait dengan tema-tema teks, pada saat teks itu dibuat. Dengan demikian, analisis isi dalam pemikiran Van Djik harus dilekatkan dengan si pembuatnya dan juga kondisi yang melatarbelakanginya. Kognisi sosial juga dapat dilekatkan dengan gaya bahasa dari teks itu sendiri. Yang menjadi penting adalah membaca situasi yang berkembang terkait dunia perempuan dan hiburan saat teks itu dibuat. Berikut ini akan dijelaskan bagaimana konteks sosial saat majalah dibuat, yaitu pada pertengahan sampai akhir tahun 2009. PEREMPUA N INDONESI A : MENJA DI WESTERN ATAU M E NJAGA N I L A I BU DAYA?
Demokratisasi dan kebebasan pers membawa era baru bagi perempuan Indonesia. Dalam era otoritarianisme yang sangat kuat KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
Pencitraan Perempuan di M ajalah |
13
budaya patriarkatnya, perempuan cenderung tampil sebagai warga negara atau bahkan manusia kelas dua. Hal ini dapat ditandai dengan sangat sedikitnya pejabat publik yang berjenis kelamin perempuan. Selain itu, dalam konteks sosial budaya pun, perempuan masih ditempatkan pada masalah reproduksi kerumahtanggaan. Dalam perkembangannya, mulai banyak bermunculan perempuanperempuan yang mengampu posisi-posisi strategis. Puncaknya adalah ketika Megawati Soekarno Putri memimpin Indonesia sebagai Presiden perempuan pertama di Indonesia. Pada sisi lain, hingar-bingarnya pers membawa masyarakat Indonesia pada kondisi sistem informasi yang semakin terbuka. Selanjutnya, momentum ini dimanfaatkan oleh para pengusaha media untuk membuat program unggulan dengan keuntungan yang besar. Dengan cepat, dunia hiburan mengambil posisi terdepan dalam mengisi konten-konten media. Hal ini dapat diukur dengan semakin pesatnya perkembangan dunia hiburan terutama di televisi seperti infotainment, tayangan musik, talk show, dan reality show. Dua konteks tadi membayang-bayangi perempuan indonesia dalam bertindak dan mengambil peran. Terkait hal itu, media yang diteliti merupakan majalah perempuan yang cenderung mengedepankan sisi hiburan. Maka dalam hal ini perlu ditinjau mengenai konteks perempuan dalam ranah kultural, bukan struktural. Pembatasan ini perlu agar teks yang menjadi objek kajian dapat digambarkan dengan jelas dan rinci. Secara kultural, perempuan-perempuan Indonesia dapat dipastikan terkoneksi dengan budaya global yang sedang berkembang. Tak lain, peran medialah yang menjadai pemicu berkembangnya dan meluasnya informasi terutama di bidang hiburan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hiburan yang ditampilkan di televisi yang dilakukan secara terus-menerus akan memengaruhi persepsi, pola pikir, dan tindakan penonton. Bahkan, lebih jauh Fiske (2001:5) melihat televisi memiliki level ideologis. Dalam hal ini, Fiske berpendapat bahwa para penonton televisi sudah tidak lagi melihat setiap tayangan merupakan ‘bahan mentah’ namun sudah dianggap sebagai apa yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, tidak sulit untuk memengaruhi cara pandang si penonton karena setiap tayangan yang ditampilkan akan menjadi hal yang dirujuk, lebih jauh menjadi wajib ditiru. Dalam kondisi itu, kecenderungan yang dominan adalah para perempuan Indonesia telah terkooptasi oleh dunia global dan terindikasi KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
14
| Y uanita A prilandini S iregar & A nggoro Y udho M ahendro
mulai melupakan serta meninggalkan budaya dan nilai-nilai lama. Salah satu hal yang menjadi bukti adanya perbenturan dua kutub ini adalah pemberlakuan Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi oleh DPR RI. Undang-undang (UU) ini merupakan respon atas keresahan masyarakat terhadap kondisi perempuan yang semakin menjadi western. Secara gamblang fenomena ini dapat dijelaskan lewat cara berpakaian dan berpenampilan. Misalnya, rok mini menjadi mode yang umum digunakan perempuan walaupun ada pihak-pihak yang mencoba melakukan penertiban. Tetapi perlu diingat, kesadaran perempuan akan kebebasaanya berekspresi sudah pada level yang cukup tinggi. Akibatnya, gerakangerakan yang mencoba menghalau arus westernisasi pun semakin redup. Namun, upaya-upaya tersebut kini bermunculan melalui pemberlakuan peraturan formal, terutama di daerah-daerah seperti pemberlakuan jam malam untuk perempuan di Tangerang, peraturan penggunaan pakaian muslimah di Sumatra Barat dan Aceh. Gejala ini menjadi sinyalemen bahwa sekelompok masyarakat yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai keagaamaan dan kebudayaan masih cukup kuat. Dalam menanggapi ini, banyak pula lembaga-lembaga sipil terutama yang memberi perhatian terhadap isu perempuan dengan menolak penerapan aturan yang diskriminatif tersebut. Bukan hanya itu, isu poligami juga menjadi topik yang hangat di masyarakat. Semakin banyak pihak yang sangat gencar mendukung gerakan anti-poligami. Poligami dianggap sebagai bentuk superioritas laki-laki atas perempuan, bahkan lebih jauh dianggap sebagai legalisasi terhadap eksploitasi perempuan. Namun di sisi lain, perempuan yang tetap ingin mempertahankan nilai-nilai kebudayaan dan keagamaan banyak juga yang membentuk organisasi ‘taat suami’ dalam upayanya mencegah sang suami ‘jajan’ di lokasi prostitusi. Perdebatan tak kalah seru adalah kontrovesi keikutsertaan Indonesia dalam kontes Miss Universe. Bagi sebagian orang kegiatan ini hanyalah ajang memamerkan tubuh wanita, apalagi di dalamnya terdapat kontes yang mengharuskan memakai bikini. Pada sisi yang lain, banyak juga yang mendukung keikutsertaan Indonesia dalam ajang yang prestisius itu. Alasannya, kontes ini bisa menjadi media yang memperkenalkan budaya Indonesia pada level internasional. Namun, perdebatan itu berlangsung pada periode awal Miss Indonesia, kini secara reguler Indonesia mengirimkan wakilnya untuk terlibat dalam ajang tersebut. Dalam rangka mempersiapkan kontes kemudian dibuat sistem seleksi KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
Pencitraan Perempuan di M ajalah |
15
dengan tajuk ‘Miss Indonesia’ yang diikuti oleh perwakilan semua peserta se-Indonesia. Jika ditelusuri lebih lanjut, acara infotainment gossip mencermati kelakuan selebritis terkait perilaku menyimpang seperti seks di luar nikah, hamil di luar nikah, perceraian, ‘kumpul kebo’, dan dunia malam, kini semakin tersosialisasi menjadi suatu yang lumrah. Dengan demikian, sebagaimana Durkheim (1964) berpendapat bahwa semakin masyarakat terspesialisasi akan muncul nilai moral baru untuk menjaga keteratruan di masyarakat. Dalam hal ini, media masssa terutama yang bergerak pada ranah infotainment menjadi faktor pemicu perubahan nilai bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan perempuan pada khsusunya. Menindaklanjuti analisis Durkheim, sosiolog lainnya, McNair (1998:34) mengatakan bahwa jurnalisme, terutama dalam hal ini televisi, memiliki pengaruh yang cukup jelas terhadap kognisi masyarakat. Dalam kasus di Indonesia, pasca kebebasan pers banyak sekali perubahan sosial yang berkaitan dengan domain perempuan. Pada tahun 2001 misalnya saja, Nusyahbani Kattjasungkana salah satu aktivis perempuan, sudah membahas tentang pergeseran nilai pada masyarakat Indonesia terkait hamil di luar nikah. Tingginya angka hamil di luar nikah ternyata berbanding lurus dengan angka aborsi (unsafe aborsion). Tetapi, seiring bejalannya waktu, seks di luar nikah dan hamil di luar nikah menjadi suatu yang umum terjadi bahkan sudah hampir dianggap wajar. Hal ini dapat diwakili dengan popularnya lagu-lagu bertema masalah tersebut seperti, Jablay, Keong Racun, dan Hamil Duluan. Hingar-bingar televisi selalu menjadi rujukan bagi media lainnya seperti media on-line dan media cetak. Dalam konteks ini, majalah mingguan Femina dan Kartini bereksplorasi dalam memberikan wawasan yang berbeda dengan yang ditampilkan dalam televisi. Segmentasi kedua majalah ini adalah perempuan dewasa, sehingga kontennya terkait dengan permasalahan perempuan dewasa. Oleh karenan itu, untuk menarik minat pembeli, kedua majalah ini selalu menggunakan wajah-wajah terkenal di televisi sebagai model sampul. Model sampul ini diwawancarai untuk mendapatkan sisi lain dari dunia selebritasnya.
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
16
| Y uanita A prilandini S iregar & A nggoro Y udho M ahendro
C OVER STO RY: M E NGU NGK A P SI SI L A I N MODE L
Citra pigura tidak hanya ditampilkan pada ranah iklan komersial. Dalam konteks ini, majalah perempuan mempergunakan model-model yang memiliki citra ‘cantik’ sebagai model pada halaman depan. Para model tersebut yang umumnya adalah artis sinetron, presenter, dan penyanyi, mendapatkan tempat yang utama dalam pembahasan setiap majalah. Walaupun kesan pigura sangat kuat pada gambar yang ditampilkan, namun dalam pembahasan masalah tersebut diimbangi dengan permasalahan sosial yang dihadapi oleh si model. Model yang secara umum dikenal dimasyarakat dalam hingar-bingar hiburan, dalam kedua majalah ini dilihat sisi lainnya. Proporsi yang paling dominan adalah bagaimana sang model menjalankan aktivitas kesehariannya. Ini membuat pembaca mengetahui kehidupan dan keseharian mereka sebagaimana manusia biasa. Titik tekannya adalah bagaimana mereka memaknai hidup dan peran-peran yang dijalankan. Dengan demikian, pembaca dapat mengambil pelajaran dan inspirasi hidup dari kisah sang model. Penulis dari rubrik tersebut pun secara konsisten memberikan gambaran tentang nilai yang dipegang oleh si model. Walaupun nilai-nilai yang digambarkan cukup normatif, seperti ‘berkarya sekaligus memenuhi kewajiban rumah tangga’, lalu ‘memasrahkan urusan momongan kepada Tuhan’, namun pada konteks wanita dewasa nilai-nilai ini menjadi cukup penting sebagai bekal mengarungi kehidupan. Untuk menganalisis teks, masih menurut analisis Van Djik dapat dilakukan dengan mengaji struktur makro (dalam Alex Sobur, 2006:7376). Struktur makro adalah tema pokok dari sebuah teks atau topik yang dalam bahasa Van Djik disebut ‘tematik’ (thematic). Dalam menganalisis teks dengan strukur makro diperlukan pembacaan secara menyeluruh, sehingga ide pokok dapat diketahui. Tematik merupakan keseluruhan ide yang didapatkan dengan menghubungkan semua subtopik yang ada. Dengan kata lain, tematik merupakan topik general dari keseluruhan teks. Dalam majalah Kartini, cover story dalam 4 edisi yang diteliti dibuat oleh orang-orang yang berbeda. Dengan demikian dapat dipastikan akan sulit mencari pola kognisi sosial sebagaimana yang dimaksud oleh Van Djik. Namun, sebagai majalah yang sudah memiliki reputasi, teks tentang cover story pun digarap serius. Cover story dalam majalah Kartini jika ditilik dari judul yang dibuat, dalam pembahasannya KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
Pencitraan Perempuan di M ajalah |
17
mengedepankan sisi hubungan dengan pacar atau suami dan juga karir. Misalkan judul cover story seperti ‘Terjebak Perangkap Sang Suami’’, “Menikmati Peran Istri, Ibu, dan Perempuan Seutuhnya”, “Serius di Dunia Akting”, dan “Menanti Lamaran Pria Wangi”. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa narasi yang terdapat di dalam cover story mengedapankan diskursus mengenai relasi dengan pasangan. Hal ini terlihat jelas bahkan dalam judul “Serius di Dunia Akting”, terdapat sub judul “Belum Ada Rencana Menikah” yang membahas hubungan model dengan pacarnya. Dari keempat narasi yang diteliti, dapat diketahui bahwa Kartini mengusung isu utama mengenai ‘pernikahan’. Bahkan terindikasi, Kartini mengusung nilai ‘harus menikah’ dalam aliran cerita dalam narasi. Fenomena ini jelas terlihat terutama pada pembahasan dengan subjudul ‘Dimanjakan Baim (suami-pen)’ dan ‘Partner on Love, Partner in Live’. Narasi -narasi itu mengesankan bahwa menikah merupakan hal yang indah dan tidak akan menghambat karir. Sedangkan Femina pada pembahasan cover story cenderung tidak memiliki pola yang baku. Dari 4 edisi majalah yang diteliti, hanya ada tiga yang membahas model sampul dengan deskripsi dari jurnalis. Sedangkan yang satu, model sampul dilekatkan kepada pembahasan iklan salah satu produk kecantikan yang dibintanginya. Tiga edisi yang berisi pembahasan cover story yang dalam bahasa Femina disebut ‘cerita sampul’ pun dibuat oleh orang-orang yang berbeda. Dua edisi memiliki pola yang sama, yaitu bagaimana sang model menjalankan aktivitasnya sebagai ibu atau istri sekaligus berperan dalam karir. Sedangkan yang satu membahas bagaimana seorang model akhirnya mampu menjadi pemenang dalam kontes model yang diselenggarakan oleh Femina. Walaupun terlihat kurang memiliki tema sentral dalam rubrik cerita sampul, namun dalam rubrik tersebut dapat dilihat adanya kesamaan semangat tentang meraih cita-cita dalam berkarir. Seperti cerita Rachel Maryam yang harus mengorbankan keutuhan rumah tangganya untuk menjadi politisi, Dian Sastro dengan mimpi menjadi produsernya, serta kedua pemenang model yang gigih mengikuti kontes model. Semangat ini tidak ditampilkan secara eksplisit melalui kata-kata yang baku, namun berada dalam aliran deskripsi rubrik cerita sampul. Selain tidak memiliki pola tema yang baku, gaya penulisan setiap edisi pun berbeda satu sama lain. Dalam satu edisi yang membahas Rachel Maryam, rubrik cerita sampul dengan tajuk ‘siap menjadi ibu KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
18
| Y uanita A prilandini S iregar & A nggoro Y udho M ahendro
tunggal’ hanya berisi deskripsi wawancara singkat dengan si model. Sedangkan pada pembahasan cerita sampul Dian Sastro dengan judul ‘Bulan Madu 3 Minggu’ berisi penjelasan yang cukup detail tentang kondisi pernikahan si model ditambah dengan informasi karir yang sedang dijalani. Selanjutnya pada pembahasan rubrik cerita sampul pada edisi berikutnya berisi pembahasan ringan tentang kisah dua orang pemenang kontes model yang diselenggarakan oleh Femina dengan judul ‘Bukan Teristimewa’. Dalam upaya mengetahui kognisi sosial yang ada pada jurnalis, terutama jurnalis yang menulis rubrik cover strory Kartini dan cerita sampul Femina ternyata dapat dilihat dari penerbitannya. Diketahui bahwa 3 edisi Femina terbit 1 minggu sekali, sedangkan satu edisi dibuat untuk 2 minggu sekali. Sedangkan Kartini secara konsisten menerbitkan setiap edisi per dua minggu. Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa manajemen redaksi yang ada di dalam majalah Kartini lebih mapan secara keorganisasian. Hal ini berdampak kepada penulisan yang dibuat. Inkonsistensi penerbitan majalah Femina, memperlihatkan ada permasalahan dalam keredaksian. Dalam komparasi tersebut, berdasarkan penghitungan total jumlah iklan diketahui Femina lebih banyak iklannya dibandingkan dengan Kartini. Lewat analisis tabulasi silang dengan menggunakan SPSS, Femina memperoleh total iklan komersial sebanyak 136 buah selama empat edisi. Sedangkan Kartini memperoleh 101 iklan komersial (lihat tabel 5 di bawah). Setidak-tidaknya, dengan komparasi atas jumlah iklan komersial tersebut dapat dijadikan rujukan seberapa besar kedua majalah tersebut diminati oleh khalayak perempuan. Tentunya, Femina lebih popular dan diminati dibandingkan Kartini. Namun, hal ini berbanding tebalik dengan kemapanan redaksi dalam membuat rubrik cover story. Perbedaan antara Kartini dan Femina terkait pembuatan rubrik cover story memang tidak bisa dipungkiri juga disebabkan oleh perbedaan pangsa pasar atau target pembacanya. Dari gaya penulisan dan rubrik-rubrik yang ada, Femina dikonsumsi perempuan muda berkisar 25-35 tahun. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya rubrik yang bercerita tentang tips life style, seperti mode pakaian, perawatan kecantikan, desain interior, dan info diet. Dengan demikian, Femina menonjolkan karakternya pada sisi tips atau informasi teknis, sehingga wajar ketika pengelolaan dari cerita sampul kurang mendapatkan perhatian. KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
Pencitraan Perempuan di M ajalah |
19
Sementara itu, berdasarkan gaya penulisan dan rubrik, Kartini memiliki segmentasi perempuan dewasa berkisar 30 tahun ke atas. Rubrik yang dominan dalam majalah Kartini adalah kisah-kisah yang menginspirasi dan juga menggugah kesadaran, seperti kisah sejati, cerpen ‘Oh Mama Oh Papa’, mode yang dominan tentang gaya etnik, dan wawancara dengan tokoh. Berdasarkan data tersebut, Kartini terindikasi mengusung tema yang memiliki nilai inspirasi kebijaksanaan dan keteguhan bagi perempuan. Dalam rubrik cover story, Kartini terlihat lebih berkarakter dan memiliki standar penulisan serta tema utama. T a b e l 5 . P erbandingan J umlah I klan
Kategori Iklan Produk Kecantikan Produk fashion Produk obat dan suplemen Produk makanan dan minuman Produk alat rumah tangga Produk jasa dan keuangan Produk teknologi dan komunikasi Produk otomotif Jasa pendidikan dan pariwisata Total
Jenis Majalah Kartini Femina 28 27 2 10 27 26 20 27 9 20 12 18 2 3 0 1 101
3 2 136
Total 55 12 53 47 29 30 5 3 3 237
Sumber: Data survei 2011
Selain perbedaan yang tersirat dari gaya penulisan, mode pakaian yang digunakan model dalam gambar sampul pun terlihat jelas pembedaannya. Dalam majalah Femina, para model sampul menggunakan pakaian yang sedang trend secara global atau dapat disebut ‘modern’. Sedangkan Kartini, para model sampulnya dalam gambar depan maupun yang berada pada rubrik cover story menggunakan balutan pakaian bermotif batik ataupun bernuansa etnik yang kental. Namun ada satu pengucualian, pada edisi dengan model sampul Sandra Dewi, terlihat model tidak menggunakan pakaian yang bernuansa etnik. Hal ini nampaknya dipengaruhi oleh kesertaan produk kecantikan yang iklan komersialnya dibintangi model. Pada gambar tersebut, pakaian yang digunakan harus identik dengan pakaian yang dikenakan saat model membintangi iklan tersebut di televisi. Dengan demikian, dapat pula terlihat pembedaan konsep mengenai kognisi sosial redaksi kedua majalah tersebut tentang perbedaan pandangan
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
20
| Y uanita A prilandini S iregar & A nggoro Y udho M ahendro
terhadap perempuan Indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar 5 di bawah. G ambar 5 . P erbandingan gambar cover story
Ket: sebelah kiri Majalah Kartini, sebelah kanan Majalah Femina
Femina dalam kajian gambar model sampul, diketahui begitu antusias merespon globalisasi dengan gaya glamor. Dalam gambar di atas, Rachel Maryam menggunakan pakaian merah-putih yang semua perempuan di dunia dapat menggunakannya tanpa adanya simbol identitas etnik kultural. Sedangkan Kartini, dalam kasus yang sama malah mengedepankan gaya pakaian yang bernuansa etnik. Dari gambar di bawah, Ersa Mayori menggunakan pakaian dengan motif batik bunga, yang secara eksplisit menonjolkan sisi indentitas kultural keindonesiaan. Dengan demikian, perbedaan visualisasi dapat diidentifikasi sebagai konsep yang terencana oleh redaksi kedua majalah tersebut. Pada perbedaan tema sentral dalam cover story, dapat diambil kesimpulan kedua majalah tersebut mewakili pertentangan konsepsi peran perempuan antara mengikuti tren global atau mempertahankan nilai budaya. Sesungguhnya perbedaan itu juga sudah dapat ditangkap dari penamaan kedua majalah tersebut. Feminia dapat diidentifikasi mengambil dari kata ‘feminim’ yang berarti sifat keperempuanan yang didikotomikan dengan ‘maskulin’. Artinya, Femina memang KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
Pencitraan Perempuan di M ajalah |
21
mendasarkan tema-tema yang diusungnya pada kesadaran gender. Konten dari Femina pun berkisar pada ide ‘bagaimana perempuan berdaya’ dan dapat setara dengan laki-laki. Femina dalam banyak rubrik menyajikan pesan agar perempuan tidak dipinggirkan di dunia karir karena dalam konteks Indonesia masih menerapkan pembagian kerja berdasarkan gender (Mosse, 2007: 5). Oleh karenanya, semangat menggapai cita dan impian dengan menembus segala hambatan selalu melingkupi setiap edisi Femina terutama pada rubrik cerita sampul. Di sisi lain, Kartini sebagai nama dari sebuah majalah wanita mengesankan adanya keberpihakan terhadap perjuangan perempuan di Indonesia yang memang lekat dengan nama itu. Kartini tentunya merujuk kepada nama tokoh perempuan pejuang hak-hak wanita asal Jepara. Namun, akibat konstuksi Orde Baru nama Kartini yang sesungguhnya lekat dengan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan malah dimaknai sebaliknya. Lewat peringatan hari Kartini pada 21 April misalnya, anak-anak sekolah dasar diminta menggunakan pakaian adat dari daerahnya masing-masing. Makna Kartini pun pada akhirnya diartikan sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai kebudayaan Indonesia. Makna atas nama Kartini, sesungguhnya merefleksikan makna pertahanan nilai-nilai budaya. Oleh karenanya, majalah Kartini selalu menampilkan sisi identitas etnik-kebudayaan khas Indonesia dalam setiap edisinya secara eksplisit maupun implisit. PEREMPUA N DA L A M MEDI A : ANTARA IDENTITAS DAN PENCITRA AN
Perempuan dalam pencitraan majalah Kartini dan Femina ternyata tidak terlepas dari lima pencitraan yakni citra pigura, citra pinggan, citra pilar, citra peraduan, dan citra pergaulan. Kelima pencitraan ini sengaja dibentuk oleh media untuk melanggengkan konstruksi masyarakat tentang identitas perempuan di Indonesia. Perempuan di Indonesia identik dengan budaya patriarkat yang menginginkan perempuan hanya berada di ruang privat keluarga. Peran perempuan di dalam masyarakat misalnya harus memilih bidang-bidang pekerjaan yang disesuaikan dengan “ kodrat ” keperempuanannya. Yang dimaksud kodrat di sini adalah apa yang sudah dibentuk oleh masyarakat secara sosial, sehingga pekerjaan perempuan harus identik dengan karakteristik keibuan, kelembuatan,
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
22
| Y uanita A prilandini S iregar & A nggoro Y udho M ahendro
sosial kemasyarakatan dan tidak kompetitif. Termasuk dalam bidang pekerjaan ini misalnya guru, dosen, perawat, dan pekerja sosial. Perempuan juga dikonstruksikan hanya berada di ranah domestik saja sebagaimana ungkapan “sepandai-pandainya perempuan maka akhirnya ke dapur juga”. Hal ini mengakibatkan sulitnya perempuan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Konstruksi budaya patriarkat juga menempatkan perempuan pada dilema pemilihan pasangan. Misalnya, terdapat ungkapan bahwa perempuan yang sukses dalam karier akan sulit mendapatkan pasangan hidup. Hal ini disebabkan karena laki-laki akan merasa tersaingi oleh perempuan yang maju dalam kariernya, sehingga laki-laki akan merasa terancam otoritasnya sebagai pemimpin dalam keluarga. Konstruksi identitas perempuan juga merambah pada usia pernikahan. Semakin berumur perempuan, misalnya di atas usia 30 tahun, maka pangsa pasar perjodohan perempuan akan semakin sulit. Hal ini akibat konstruksi budaya patriarkat yang menempatkan perempuan sebagai citra peraduan, yakni objek seksual semata. Perempuan yang dianggap ideal untuk menikah adalah perempuan yang berusia muda, cantik, dan terlihat memikat. Budaya patriarkat juga dilanggengkan dalam beberapa kitab suci agama, misalnya konsep laki-laki sebagai pemimpin umat, pemimpin masyarakat, ataupun pemimpin bangsa dan negara. Tidak banyak perempuan menjadi pemimpin dalam bidang politik yang menempati posisi-posisi penting di pemerintahan. Hal ini diperkuat dalam tafsir keagamaan bahwa perempuan adalah makmum (yang dipimpin) dan laki-laki adalah imam (sang pemimpin). Pemimpin perempuan akan terbentur budaya patriarkat ataupun sengaja mengundurkan diri dengan berbagai macam alasan, misalnya masih ada laki-laki yang bisa memimpin, merasa tidak nyaman jika menjadi pemimpin karena akan mendapatkan sorotan publik, atau adanya kendala pernikahan yang bagi sebagian besar kaum perempuan berarti ‘terpenjara’ dalam kungkungan tugas-tugas domestik di rumah. Ketika perempuan berkeinginan dan berkemampuan menjadi seorang pemimpin, maka dia akan menyentuh semacam “langit-langit kaca” yang tidak terlihat tetapi ada dan memaksa, yang dapat membatasi langkahnya untuk berperan di ruang publik demi aktualisasi diri dan pengembangan karakter kepemimpinan di dalam dirinya. Hal tersebut baik disadari ataupun tidak, disosialisasikan melalui penanaman nilai-
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
Pencitraan Perempuan di M ajalah |
23
nilai keagamaan yang bias gender baik di keluarga, sekolah, kampus, dan juga masyarakat. Perempuan kemudian menjadi warga negara kelas dua. Perempuan jarang terlibat dalam pengambilan keputusan mulai dari level keluarga (sebagai istri maupun anak), level komunitas (lingkungan masyarakat) dan level publik (kebijakan negara). Ketiga ranah ini dianggap sepenuhnya adalah milik laki-laki. Seharusnya perempuan lebih banyak terlibat dalam pengambilan keputusan penting guna menghasilkan kebijakan yang responsif gender. PENUTUP
Pencitraan perempuan di majalah tidak terlepas dari konteks masyarakatnya, dalam hal ini masyarakat Indonesia yang memiliki budaya patriarkat. Majalah menjadi salah satu faktor pelanggeng ketidaksetaraan gender di masyarakat karena pencitraan yang dibentuknya, yakni citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra pinggan, dan citra pergaulan. Majalah juga mengangkat cover story yang tidak terlepas dari kelima pencitraan tersebut. Kedua majalah yang diangkat oleh penulis, yakni Majalah Kartini dan Femina memiliki segmentasi pasar kaum perempuan kelas menengah perkotaan. Hal ini merupakan satu tantangan bagi kedua majalah tersebut untuk melakukan repositioning peran di dalam masyarakat. Perempuan kelas menengah perkotaan merupakan kelas terdidik yang dapat menjadi satu kekuatan besar untuk mendobrak kultur patriarkat. Melalui kedua majalah tersebut seharusnya kaum perempuan mendapatkan pengetahuan tentang kesetaraan gender, memiliki pandangan kritis tentang permasalahan di masyarakat, bangsa dan negara, sekaligus menjadi motor penggerak perubahan dan gerakan sosial. DAF TAR PUSTAK A
Barrat, David. 1994. Media Sociology. London and New York: Routledge. Durkheim, Emile. 1964. The Division Of Labor In Society. New York: The Free Press. Eriyanto. 2005. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4
24
| Y uanita A prilandini S iregar & A nggoro Y udho M ahendro
Fiske, John. 2001. Television Culture: Popular Pleasure and Politic. London: Routledge. Giaccardi, Chiara. 1995. Television Advertising and The Representation of Social Reality: A Comparative Study”, dalam Theory, Culture & Sociaty, edited by Mike Featherstone, Vol. 12. Liliweri, MS, Prof Dr Alo. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LkiS. Martadi. 2001. Citra Perempuan dalam Iklan di Majalah Femina edisi tahun 1999, Jurnal Nirmana Vol. 3, No.2.(http://puslit.petra.ac.id/ journals/design/). McNair, Brian. 2002. The Sociology of Jurnalism. London: Arnold. Mosse, Julia Cleves. 2007. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Muzhar, HM Atho dkk. 2001. Wanita Dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan, dan Kesempatan. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press. Ollenburger. 2002. Sosiologi Wanita. Jakarta: Rineke Cipta. Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tanesia, Ade. 2011. Representasi Perempuan dalam Media, Pusat Su mb er Daya Me d ia Komu n itas .(http://w w w. a nta ra news . com/berita/1269598504/sumur-kasur-dapur-citra-perempuandimedia- Massa). Wahid, Abdul. 2003. Proses menjadi (Tidak) Indonesia? Persepsi dan Memori Massa Rakyat Tionghoa di Yogyakarta dalam Budi Susanto S.J (ed). Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Wiratmo, Liliek Budiastuti dan Mohammad Ghiffari. 2008. Representasi Perempuan dalam Majalah Wanita, Jurnal Studi Gender dan Anak, PSG STAIN Purwokerto, Vol. 3, No.1. Yatim, Debra A. 1998. “Perempuan dan Media Massa, Oleh Pria untuk Priakah?”, dalam Idi Subandi Ibrahim dan Hanif Suranto (Ed). Wanita dan Media, Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya.
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 1 -2 4