PENCARIAN FORMAT BARU SYARI’AH DI ERA MODERN (Kajian atas konsep reformasi syari’ah dalam dekonstruksi syari’ah-nya Abdullah Ahmed An-Na’im)
Fathor Rahman Jm (Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo, Email:
[email protected])
Abstract: The modernization process led to changes in the character of the social structure at the same time. The changes encourage the emergence of new issues which should be responded wisely by the Islamic law. The Islamic law considered righteous likulli zaman wa al-makan is challenged to answer global challenges. They should address the issues of human rights, democracy, gender equality discourse, and so forth. In this context, An-Na'im with legacy rests on the concept of his teacher tries to design a new form of Shariah. He tried to make a breakthrough by claiming that the Makkiyah verses are universal and therefore definitive while the Madaniyah verses are zhanni even using detailed sentences. Therefore, the Madaniyah verses can be set aside when contrary to the universal spirit of Islam which is reflected in the Makkiyah verses. Keywords: Islamic contemporary society.
Reform
Concept,
Sharia
deconstruction,
Pendahuluan Sejak abad pertengahan Masehi, yaitu masa Renaisance, masyarakat Barat mengalami proses modernisasi yang begitu pesat. Proses itu telah mengantarkan Barat pada peradaban yang gilang gemilang dengan penemuan-penemuan saintis yang secara langsung memudahkan mereka menciptakan alat-alat yang canggih. Alat-alat itu bu-
Pencarian Format Baru Syari’ah di Era Modern kan hanya dalam bidang transportasi, informasi, dan komunikasi, melainkan juga dalam bidang perlengkapan militer. Kondisi ini membuat Barat unggul secara politik dan peradaban. Tidak hanya sampai di situ, Barat juga selalu berupaya mempropagandakan paradigma-paradigma modernitas mereka ke duniadunia Timur. Upaya ini sering disebut sebagai proses modernisasi yang dilakukan dengan cara-cara invansi. Awalnya, kondisi ini kurang begitu disadari oleh masyarakat Timur khususnya Arab, yang sebelumnya pernah mencapai Peradaban Emas di pelbagai Negara taklukannya. Invasi Napoleon Bonaparte pada tahun 1798 ke Mesir membuat masyarakat Mesir sadar akan kemajuan Barat dan ketertinggalan mereka. Walaupun banyak yang menganggap kemajuan modernisasi Barat merupakan ancaman terhadap agama, tetapi hal tersebut tetap membuat beberapa kalangan resah dan bangkit untuk mengejarnya. Upaya mengejar ketertinggalan masyarakat Arab terbentur oleh tradisi dan budaya mereka, yang dalam hal ini didominasi oleh ajaran-ajaran Islam. Sebagai masyarakat yang pernah meraih golden age pada masa pemerintahan Islam, mereka sulit untuk melupakan tradisi dan budaya tersebut apalagi meninggalkannya. Sehingga upaya ini melahirkan beberapa pendapat yang berbeda. Selain itu, masalah yang tidak kalah peliknya adalah bagaimana umat Islam merespons isu-isu modern tanpa tercerabut dari patokan ajaran agama Islam: syariah. Hal ini menjadi sangat menarik lantaran beberapa hal dari syariah dinilai bertentangan dengan perkembangan hukum internasional modern. Untuk menjawab masalahmasalah ini, beberapa pemikir Arab-Islam mendedikasikan diri mereka untuk menjadi bagian dalam penyelesaian masalah tersebut. Menurut Bollouta, sebagaimana yang dikutip Akasin Wijaya, terdapat tiga kecenderungan wacana yang berkembang di kalangan pemikir Arab atau Islam berkenaan dengan tradisi dan budaya vis a vis modernitas. Pertama, kelompok yang menawarkan wacana transformatif, yaitu mereka yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi
|
158
Fathor Rahman JM memadai bagi kehidupan kontemporer. Mereka memiliki corak pemikiran yang liberal. Tokoh-tokoh dari kelompok ini adalah kalangan Kristen yang berhaluan Marxis seperti Adonis, Abdullah Ahmed AnNaim, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, dan lain sebagainya.1 Kedua, kelompok yang menawarkan wacana reformatif, yakni mereka yang menginginkan bersikap akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang selama ini digelutinya. Wakil dari kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi, Al-Jabiri, Fazlur Rahman, dan lainlain. Ketiga, kelompok yang disebut idealis-totalistik. Mereka menginginkan agar dunia Arab kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali kepada Al-Qur’an dan hadits. Wakil dari kelompok ini seperti Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dan lain sebagainya.2 Makalah ini tidak akan membahas semua tokoh yang membidani wacana reformatif dalam Arab-Islam, melainkan akan difokuskan pada Abdullahi Ahmed An-Naim. Kajian ini difokuskan pada konsep dekonstruksi syariahnya. Membahas masalah ini akan sangat menarik karena An-Naim sangat apresiatif terhadap teori-teori filsafat modern dalam kerangka menjadikan syariah berbicara lantang dan fasih menjawab segala persoalan masyarakat modern, seperti isuisu HAM, nasionalisme, hubungan agama dan Negara , dan lain sebagainya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, siapakah Ahmed An-Naim? Bagaimana latar belakang hidup dan intelektualitasnya? Metode apa yang digunakan An-Naim untuk menjawab kesenjangan antara syariah dan isu-isu modernitas? Teori apa yang digunakan AnNaim dalam menganalisa masalah-masalah yang dihadapi syariah vis a vis hukum modern? Pendekatan apa yang digunakan An-Naim dalam menyelesaikan disparitas karakteristik syariah dengan kecenderungan hukum internasional modern kontemporer? Dari upaya itu, Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), 114-115 2Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender, 114-115 1Aksin
159 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Pencarian Format Baru Syari’ah di Era Modern seperti apa sumbangan pemikiran yang dihasilkan oleh An-Naim? Makalah ini akan membahas masalah-masalah itu. Background dan Panggung Hidup Abdullahi Ahmed An-Naim Abdullahi Ahmed An-Naim lahir di Sudan pada 19 November 1946. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat dasar dan tingkat lanjutan, An-Na’im melanjutkan pendidikannya di fakultas hukum Universitas Khartoum, pada akhir tahun enam puluhan. Dia menghadiri kuliah yang disampaikan oleh Mahmoud Mohamed Ṭaha, salah satu dosennya yang juga ketua partai politik Republik. Seperti halnya anak-anak kebanyakan di Negara -Negara Afrika, Ahmed An-Naim tidak dimanjakan oleh kemudahan fasilitas, seperti di Negara-negara maju. Dia hidup di bawah tempaan alam sehingga dia hidup dan tumbuh sebagai sosok yang berkarakter kuat, ulet, tegas, namun juga lembut dan bijaksana. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA-nya, An-Na’im kemudian melanjutkan ke Universitas Khartoum, Sudan, dengan konsentrasi Hukum Pidana.3 Pada saat tercatat sebagai mahasiswa di Universitas tersebut, An-Na’im juga sempat berkenalan dengan seorang ulama moderat yang bernama Mahmud Muhammad Thaha.4 Di Universitas Khartoum, posisi Mahmud M. Thaha tak lain merupakan dosennya yang juga dikenal sebagai pendiri The Republican Brotherhood (Persaudaraan Republik), partai reformis ya ng cukup berperan besar dalam konstruksi dan dinamisasi konstitusi Negara Sudan pada dekade 1960-an. Kelak, ulama besar ini cukup memberi warna dalam kehidupan intelektual An-Na’im. Bahkan dalam berbagai kesempatan, An-Na’im kerap menjelaskan bahwa berbagai ide yang diusungnya merupakan kelanjutan dari apa yang digagas Mahmud M. Taha 3Imam 4
Syaukani, "Abdullahi Ahmad An-Na'im dan Reformasi Syari'ah Islam Demokratik," dalam Ulumuddin, Nomor. 2, Tahun 11/Juli 1997, 68 Mahmud Muhammad Thaha lahir 1909 di kota Rufaah, sebuah kota kecil di tepi timur Blue Nile, Sudan Pusat. Lihat dalam Abdullahi Ahmad An-Na’im, “Introduction,” Mahmud M. Thaha, The Second Message of Islam, terj. A.A.N (Wey: Sy Rawl, 1987), 2
|
160
Fathor Rahman JM Pasca menyelesaikan program sarjananya di Universitas Khartoum, An-Na’im melanjutkan studinya di Universitas Cambridge, Inggris dengan konsentrasi Kriminologi. Di sinilah, pengetahuan hukum publik yang diterimanya semasa di Universitas Khartoum, semakin matang. Di sini pulalah An-Na’im banyak mendapatkan wawasan tentang isu-isu gerakan modernisasi hukum dan pentingnya penyadaran tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Selesai meraih gelar post-graduate Strata dua (L.L.B.) di Universitas Cambridge, An-Na’im kemudian langsung mengambil program doctoral (Ph.D) di Universitas Edinburh, Jerman, pada ta hun 1976. Di sana, ia pun mengambil konsentrasi hukum publik. Sampai di sini semakin afirmatif kepakaran An-Na’im di bidang hukum. Sebab ia telah menyelesaikan pendidikan dengan konsentrasi disiplin ini sampai pada tingkat doktoral. Pasca penyeleaian program Ph.D.-nya, yakni pada tahun 1976, An-Na’im kemudian memutuskan untuk kembali dan mendedikasikan ilmunya di tanah airnya, Sudan yang kondisinya sangat membutuhkan sentuhan dari kepedulian dan ilmu yang telah dia dapatkan di rantau. Kondisi geografis Afrika yang kurang maju tersebut berimbas pada kondisi sosial penduduknya. Di antaranya adalah potensi krisis politik, konflik antar kelompok, dan pelanggaran HAM. Maka inilah yang dengan tegas dikritisi oleh An-Na’im. Mulai dari Sudan, tanah airnya, hingga Negara -Negara benua Afrika yang lain menjadi sasaran kritiknya. Di hampir semua tulisannya, An-Na’im kerap menyinggung soal pelanggaran HAM di Afrika, khsusnya di Sudan. Seperti halnya yang dialami banyak Negara di dunia, pengalaman sejarah Sudan di masa lalu juga tak lepas dari cengkraman kolonialisme. Negeri ini pertama kali mengalami penjajahan dari bangsa Turki-Mesir pada tahun 1821.5 Namun jauh sebelum bangsa ini ma-
5
Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah; Hukum Publik di Dunia Islam, Cet ke-4 (Yogyakarta, LkiS, 2004), 206
161 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Pencarian Format Baru Syari’ah di Era Modern suk ke Sudan, mayoritas penduduk Sudan beragama Islam. Ini tak lepas dari proyek ekspansi di era Umayyah. Masuknya Turki-Mesir ke negeri tersebut membawa konsekuensi diberlakukannya seperangkat regulasi sebagaimana diberlakukan pemerintah kolonialis tersebut. Yang jadi masalah adalah prinsip regulasi mereka yang sangat diwarnai oleh semangat Eropa, sehingga di kota-kota utama Sudan hampir semuanya menerapkan perundang-undangan yang relative modern ketimbang di daerahdaerah pinggiran Sudan yang masih menerapkan hukum lokal yang termodifikasi oleh prinsip syariah Islam.6 Berbicara tentang Sudan utara, hampir seluruhnya menerapkan hukum positif sebagaimana yang dibawa oleh Turki-Mesir. Namun kondisi tersebut berubah total ketika Muhammad Ahmed al-Mahdi (penguasa di daerah tersebut) melancarkan revolusi religio-politik pada tahun 1881 dengan tujuan untuk mendelegitimasi pemerintahan Turki-Mesir yang dianggap tidak islami. Setelah berhasil menyingkirkan pemerintahan Turki-Mesir, penguasa Mahdi dan penggantinya kemudian menerapkan syariah sebagai hukum pidana dan perdata secara tegas. Meski demikian, pemerintahan ini tidak mengacu pada hasil-hasil pemikiran syariah yang ditawarkan para ahli fiqh terdahulu (fuqaha). Aturan syariah yang digunakan adalah AlQuran,al-sunnah, dan penafsiran Al-Mahdi sendiri. Ṭaha merupakan seorang pemimpin sekaligus pendiri sebuah komunitas belajar yang dinamakan Persaudaraan Republik (The Republican Brotherhood). Selanjutnya, organisasi ini tumbuh menjadi sebuah partai politik. Organisasi ini didirikan Ṭaha sebagai partai Republik di tengah-tengah perjuangan nasionalis Sudan pada akhir Perang Dunia II. Dengan demikian, Ṭaha menciptakan sebuah alternatif bagi partai-partai politik nasionalis besar, sebab dia merasa partaipartai itu didominasi oleh pemimpin-pemimpin muslim konservatif. Partai Ṭaha hanya meraih kemenangan kecil dalam pemilu, namun
6Abdullahi
Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah; Hukum Publik di Dunia Islam…206
|
162
Fathor Rahman JM Ṭaha mulai menekankan perlunya transformasi Islam dan pembebasan dari dominasi kekuatan-kekuatan sektarian. Pada dua dekade berikutnya, Ṭaha mengembangkan dasardasar pemahaman untuk melakukan penafsiran kembali Islam. Ideidenya secara lengkap termuat dalam Al-Risâlah al-Tsâniyah min alIslâm (The Second Message of Islam) yang diterbitkan kali pertama pada tahun 1967. Pada tahun 1987, An-Naim menerjemahkan buku ini ke dalam versi bahasa Inggrisnya. Secara umum, pemikiran terpenting Ṭaha adalah bahwa ayat-ayat Makkiyah di dalam Al-Quran bersifat universal; sementara ayat-ayat Madaniyah bersifat sektarian. Tugas umat muslim, menurutnya, adalah harus kembali pada ayat-ayat Makkiyah yang bersifat universal itu, bukan lebih mengutamakan ayat-ayat Madaniyah secara keseluruhan dan kaku. Pada waktu itu, Sudan sedang dikuasai oleh rezim Ja‘far Numeiry yang nasionalis. Walaupun Persaudaraan Republik tidak aktif memusuhi (baca: mengkritik) pemerintahan Numeiry, namun Numeiry membatasi aktivitas-aktivitas oposisinya, termasuk Ṭaha dan pengikutnya. Pembatasan tersebut mencapai puncaknya pada awal tahun 1980-an, saat Numeiry mulai menjalankan politik Islamisasi. Numeiry mulai menyusun kekuatan sebagai kelompok gerilyawan muda pada tahun 1969 dan berlanjut terus pada fase awal sosialisme radikal. Pada pertengahan tahun 1970-an, posisi Numeiry semakin kuat ketika dia bernegosiasi untuk mengakhiri perang sipil, pertentangan antara muslim di Sudan Utara dengan nonmuslim di Sudan Selatan. Meskipun demikian, pada awal tahun 1978, Numeiry mulai mengidentifikasikan dirinya lebih jelas lagi dengan menggunakan sentimensentimen Islam di Sudan Utara, dan mencapai puncaknya dengan penerapan interpretasinya atas hukum Islam pada tahun 1983. Pada waktu itulah Ṭaha dan Persaudaraan Republik melawan politik Islamisasi Numeiry yang dikampanyekan secara gigih. Selama kurang lebih satu setengah tahun, Ṭaha dan kira-kira 30 orang pemimpin Persaudaraan Republik, termasuk an-Na’im ditahan tanpa proses pengadilan. Mereka dibebaskan pada akhir tahun 1984,
163 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Pencarian Format Baru Syari’ah di Era Modern tetapi Ṭaha ditangkap kembali, dengan tuduhan menghasut dan pelanggaran lainnya dan dihukum mati pada bulan Januari 1985. Pemimpin Persaudaraan Republik yang lain juga ditangkap dan diadili, tetapi hanya Ṭaha yang dihukum mati. Pada proses ini, An-Naim mengambil langkah untuk menegosiasi pembebasan 400 anggota, tetapi dia tidak dapat menjamin pengampunan gurunya. Sejak itu, kelompok ini sepakat untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik dan secara resmi membubarkan diri. Sejak terbunuhnya Mahmoud Mohamed Ṭaha—yang menarik perhatian internasional dan kemudian penggulingan Numeiry, organisasi Persaudaraan Republik secara tidak resmi diorganisasikan kembali menjadi komunitas sosial yang bergerak pada usaha reformasi Islam menurut tradisi Ṭaha. Pemimpin-peminpinnya menekankan bahwa kelompok ini lebih tertarik pada reformasi kepercayaan daripada aksi politik secara langsung. An-Na’im sendiri menekankan bahwa pesan ini mewakili suatu pendekatan, bukan aksi politik. Di tahun-tahun berikutnya, aktivitas An-Naim adalah memberikan ceramah dan tulisan-tulisan, terutama untuk luar Sudan. Dia merasa bahwa merupakan tanggung jawabnya untuk mengambil dasar ajaran Ṭaha dan mengembangkannya. Dia telah menulis untuk spesialisasi bidangnya, yaitu hukum publik, menginterpretasikan hukum Islam dari perspektif ajaran Mahmoud Mohamed Ṭaha. Selain menulis buku, An-Na’im juga menjadi editor dan co-editor pada buku-buku ilmiah; serta menerjemahkan novel ke dalam bahasa Arab.7 Hidup di masa rezim pemerintahan yang mencoba menggunakan Islam sebagai simbol kekuasaan dan persentuhannya dengan politik praktis melalui penahanannya karena bergabung dengan Persaudaraan Republik, serta hukuman mati terhadap gurunya, tak ayal mempengaruhi pola pemikiran An-Naim. Dan inilah sisi yang menarik dari pemikiran An-Na’im: pemikirannya bukanlah sebuah utopis7Imam
Syaukani, "Abdullahi Ahmad An-Na'im dan Reformasi Syari'ah Islam Demokratik," dalam Ulumuddin, Nomor. 2, Tahun 11/Juli 1997, 68. Lihat juga John O. Voll, “Transformasi Hukum Islam; Suara Sarjana Aktivis Sudan,” dalam Islamika, Nomor 1, Juli-Sepetember 1993, 94-96
|
164
Fathor Rahman JM normatif, melainkan timbul dari realitas yang terjadi di dalam pengalaman hidupnya. Sementara di sisi lain, latar belakang pendidikannya di bidang hukum Islam menjadi alat yang tepat untuk mendekati isu mengenai hubungan antara agama dan Negara . Pisau Analisis Ahmed An-Naim Dalam kerangka membedah dan meneropong permasalahan dalam pembaharuan hukum Islam, Ahmed An-Naim meminjam teori Jhon O. Voll tentang kategorisasi kecenderungan pembagunan hukum Islam dalam rentang sejarah syariah. Pertama, trend kembali kepada Al-Qur’an dan hadist. Kedua, menguak pintu ijtihad. Ketiga, mengadopsi hukum sekuler yang disesuaikan dengan kerangka hukum Islam.8 Menurut An-Naim, ketiga kerangka (tema) tersebut tidak akan bisa mencapai tingkat pembaharuan yang mendesak supaya hukum public Islam bisa berfungsi sekarang ini. An-Naim menyebut ketiga kerangka tersebut sebagai syariah historis. Apabila umat muslim masih berpegang kepada tiga tema itu, maka umat Islam tidak akan bisa beranjak untuk menemukan formula pembaharuan Islam yang betulbetul diperlukan saat ini. Gerakan yang mengagendakan pemurnian ajaran Islam yang ingin mengembalikan pada Al-Qur’an dan hadits di satu sisi dan sekularisasi di sisi lain telah membawa umat Islam pada kubangan absolutisme. Gerakan yang pertama dipahami sebagai bentuk penerapan sistem syariat Islam sebagai hukum publik di sebuah Negara tertentu yang bermayoritaskan muslim. Kedua gerakan yang mengagendakan sekulerisasi (pemisahan agama dalam kehidupan publik, artinya agama adalah sistem keyakinan individu) kehidupan publik yang sudah berkembang pesat di tengah-tengah perkembangan kehidupan dewasa ini. Sekularisasi juga mengandung dilema lantaran
8
Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam (Yogyakarta: LKiS, 1994), 78
165 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Pencarian Format Baru Syari’ah di Era Modern sesuatu yang mustahil memisahkan hukum publik dengan dasar tradisi, ajaran, dan keyakinan masyarakat hukum tertentu. Menurut An-Naim, kesulitan utama yang dihadapi hukum Islam ketika berhadapan dengan isu-isu hak-hak asasi manusia universal adalah adanya kerangka acuan (frame of referenced) yang telah dimilikinya.9 An-Naim tidak mengelak dari adanya dilema semacam ini, apalagi konsep hak-hak asasi manusia univseral semula berasal dari Barat. Namun demikian, bagi An-Naim, hukum Islam pada substansinya sejalan dengan norma-norma legal hak-hak asasi manusia universal, sehingga dapat sejalan dengan berbagai kebutuhan masyarakat kontemporer dan standar-standar hukum internasional. Bahkan An-Naim tetap bersiteguh pada proposisi bahwa hukum publik di Negara -Negara Muslim harus tetap didasarkan pada hukum Islam.10 Demikian juga dengan penggunaan ijtihad dalam pembaharuan hukum Islam. Bagi Naim, metode ijtihad juga tidak banyak membantu lantaran ranah ijtihad terbatas pada hal-hal yang tidak dibahas secara jelas atau tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an dan atau hadits. Dalam hal-hal yang sudah dikuliti dengan jelas dalam dua sumber hukum utama dalam Islam itu, tidak ada hak bagi ijtihad untuk memasukinya. Sedangkan prinsip dan aturan dalam Al-Qur’an dan hadits sendiri banyak yang problematik dalam konteks sistem dan nilai hukum publik modern, misalnya dalam bidang konstitusional, peradilan kriminal, hukum internasional, dan hak-hak asasi manusia.11 Di samping itu, An-Naim tidak setuju dengan sekularisme, yang menurutnya tidak mempunyai legitimasi dalam Islam. Menurut Mayer, yang menarik dari pemikiran An-Naim adalah tidak munculnya nada defensif dan apologetik seperti yang pada umumnya dipakai oleh kalangan Muslim konservatif, yang penuh curiga
Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah;., 309 Ann Elizabeth Mayer, “Ambiguitas An-Naim dan Hukum Pidana Islam”, dalam Dekonstruksi Syariah (II), terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LKIS, 1996), 42-43 11 Ann Elizabeth Mayer, “Ambiguitas An-Naim dan Hukum Pidana Islam”, dalam Dekonstruksi Syariah, 83. 9
10
|
166
Fathor Rahman JM dan secara terbuka menolak konsep hak-hak asasi manusia universal.12 Evolusi Legislasi Syariah Sebagai Pendekatan Oleh karena itu, Naim menyimpulkan bahwa yang menjadi masalah dalam pembaharuan hukum Islam selama ini bukan hanya terletak pada fiqh dan proses interpretasi terhadap teks-teks keagamaan, melainkan juga pada kedua nash yang telah menjadi korpus tertutup itu. Lantas bagaimana bagaimana umat Islam menuju legislasi syariah Islam yang seseuai dan ideal bagi perkembangan zaman sekarang dan tidak problematik? Untuk menjawab persoalan ini Naim menawarkan pendekatan antropologis historis yang dia ambil dari pendekatan penyelesaian masalah yang diperkenalkan gurunya (Thaha) yang terkenal dengan pendekatan evolusi legislasi syariah. Untuk menedekatkan konsepnya terhadap pembaca muslim, dia menggunakan metode pembagian surah Al-Qur’an Makki dan Madani dan juga metode Naskh yang diformulasikan sedemikian rupa dan ditafsirkan ulang. Dalam konteks yang pertama ia kemudian membagi Al-Quran ke dalam dua corak pesan yang berbeda secara kualitatif. Pertama adalah teks-teks Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad di Makkah. Teks-teks Al-Quran di kota tersebut menurutnya mengandung esensi universalisme Islam dan mempunyai kandungan makna yang abadi, seperti misalnya tentang persaudaraan, koeksistensi damai, kesetaraan antar jenis kelamin dan kebebasan beragama. Sementara itu, teks-teks Al-Quran yang diwahyukan di Madinah mengandung gagasan dan ajaran yang di dalamnya berisi pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan individu, termasuk diskriminasi terhadap perempuan dan non-Muslim.13
Bassam Tibi, “Syariah, HAM dan Hukum Internasional”, dalam Dekonstruksi Syariah (II), terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LKIS, 1996), 95 13 Istiaq Ahmed, “Konstitualisme, HAM dan Reformasi Islam”, dalam Dekonstruksi Syariah (II), terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LKIS, 1996), 75 12
167 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Pencarian Format Baru Syari’ah di Era Modern Dalam hal ini An-Na’im tidak sepakat bila naskh yang ada selama ini dimaknai dengan penghapusan sesuai dengan pendapat beberapa ulama, akan tetapi penghapusan ini tidak dihilangkan secara final atau konklusif, melainkan semata-mata penundaan hingga waktunya tepat. Argumentasi tersebut didasarkan kepada dua hal. Pertama, jika penghapusan diartikan secara permanen maka teks-teks yang telah diturunkan menjadi sia-sia. Kedua, mengartikan nasakh secara permanen berarti membiarkan umat Islam menolak bagian dari ajaran agamanya yang terbaik.14 Beliau juga membedakan secara tegas antara ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah: Ketika tingkat tertinggi dari pesan itu ada ayat ideal secara keras dan tidak masuk akal ditolak karena masyarakat Makkah belum siap untuk melaksanakannya, maka pesan yang lebih realistik pada masa Madinah diberlakukan untuk dilaksanakan. Dengan demikian, aspek-aspek pesan periode Mekkah yang belum siap untuk diterapkan dalam praktek konteks sejarah abad ke-VII ditunda dan digantikan dengan prinsipprinsip yang lebih praktis yang diwahyukan dan dipraktekkan selama masa Madinah.15 An-Naim melanjutkan, jika pendekatan tersebut diterapkan, maka syariah akan mampu memecahkan kebuntuan antara tujuan pembaharuan keterbatasan konsep dan tekhnik syariah historis. Metode evolusi legislasi Islam dikenal daam kerangka hukum islam dengan kata naskh konsep naskh yang ditawarkan oleh Mahmoud Thoha dan muridnya An-naim berbeda dengan konsep naskh yang pernah di kemukakan oleh ulama-ulama klasik. Naskh yang diajukan berpijak pada surat Al-Baqarah ayat 106. Menurut Thaha, ayat tersebut seharusnya ditafsirkan sebagai berikut: Abdullah Ahmad An-Na’im, Toward an Islamic Reformatian; Civil Liberties, Human Right and International Law (New York: Syracuse University Press, 1990), 56 15 Abdullah Ahmad An-Na’im, Toward an Islamic Reformatian, 53 14
|
168
Fathor Rahman JM Ayat-ayat kami naskh (menghapuskan hukum suatu ayat) atau yang kami tunda pelaksanaanya maka kami gantikan dengan ayat yang lebih dekat dengan pemahaman manusia, atau memulihkan pemberlakuan ayat tersebut pada saat yang tepat. Bisa di ambil kesimpulan, bahwa naskh menurut Thaha adalah penghapusan untuk sementara waktu, tidak bersifat permanen.16 An-Naim mengatakan bahwa tesis yang dikemukakan Thaha itu sesuai dengan kondisi umat sekarang. Tesis itu, menurutnya, adalah satu-satunya jalan untuk menerobos kebutuan pemahaman hukum syariah yang seharusnya bersifat kreatif inisiatif dan apresiatif. Penutup Dari pembahasan makalah di atas dapat disempulkan sebagai berikut. Pertama, Abdullahi Ahmed An-Na’im adalah sarjana hukum Islam yang sejak muda terlibat politik praktis di Negara nya, Sudan, yang waktu itu tengah dikuasai oleh rezim Numeiry, seorang nasionalis yang berusaha mengklaim kekuasaannya atas dalih agama. Vonis hukuman mati terhadap gurunya, Mahmoud Mohamed Ṭaha; serta kegagalan pemerintahan Numeiry berdampak dalam pada pandangan An-Na’im mengenai Islam dan model Negara dalam konteks modern. Kedua, dalam membedah permasalahan upaya pembaharuan hukum Islam dalam sejarah, dalam bukunya, Dekonstruksi Syariah, An-Na’im meminjam teori yang diperkenalkan Jhon O. Voll tentang kategorisasi kecenderungan pembaharuan hukum Islam. Dari situ Naim berhasil mengurai masalah-masalah dan kebuntuan-kebuntuan legislasi syariah dalam konteks perkembangan hukum kontemporer, khususnya masalah kesetaraan gender dan HAM. Ketiga, pendekatan yang digunakan Naim untuk menyelesaikan masalah kebuntuan ledalam Ahmed An-Naim, “Toward an Islamic Hemeneutic for Human Rights”, in Human Rights and Religious Values; an Uneasy Relationship (Amsterdam: William Publications, t.th), 229-239
16Lihat
169 | Volume 5. No. 01. Maret 2013
Pencarian Format Baru Syari’ah di Era Modern gislasi itu adalah antropologis-historis yang dielaborasikan dengan konsep Nasakh dan Makki-Madani. Keempat, sumbangan terbesar An-Na’im di dalam bukunya Dekonstruksi Syariah adalah upayanya menembus batas-batas legal formal dari syariat untuk bisa menguak pesan-pesan abadi dan universal dari ajaran Islam. Dalam konteks ini, sangat terlihat pemikirannya yang bebas atau liberal, sehingga dalam mozaik corak pembaharuan pemikiran Islam yang dikategorisasikan oleh Bollouta, ANNaim termasuk kelompok yang menawarkan wacana transformatif, yaitu mereka yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Daftar Pustaka Ahmed, Istiaq, 1996. Konstitualisme, HAM dan Reformasi Islam, dalam Dekonstruksi Syariah (II), terj. Farid Wajidi. Yogyakarta: LKIS Ann Elizabeth Mayer, 1996. Ambiguitas An-Naim dan Hukum Pidana Islam, dalam Dekonstruksi Syariah (II), terj. Farid Wajidi. Yogyakarta: LKIS An-Na’im, Abdullah Ahmad, 1990. Toward an Islamic Reformatian; Civil Liberties, Human Right and International Law, New York: Syracuse University Press _______________________, “Toward an Islamic Hemeneutic for Human Rights”, in Human Rights and Religious Values; an Uneasy Relationship. Amsterdam: William Publications, t.th. _______________________, 2004.Dekonstruksi Syariah; Hukum Publik di Dunia Islam, Cet ke-4. Yogyakarta, LkiS _______________________,1994. Dekonstruksi Syariah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam. Yogyakarta: LKiS
|
170
Fathor Rahman JM Imam Syaukani, "Abdullahi Ahmad An-Na'im dan Reformasi Syari'ah Islam Demokratik," dalam Ulumuddin, Nomor. 2, Tahun 11/Juli 1997 John O. Voll, “Transformasi Hukum Islam; Suara Sarjana Aktivis Sudan,” dalam Islamika, Nomor 1, Juli-Sepetember 1993. Thaha, Mahmud M, 1987.The Second Message of Islam, terj. A.A.N. Wey: Sy Rawl, Tibi, Bassam 1996. “Syariah, HAM dan Hukum Internasional”, dalam Dekonstruksi Syariah (II), terj. Farid Wajidi. Yogyakarta: LKIS Wijaya, Aksin, 2004. Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
171 | Volume 5. No. 01. Maret 2013