PENATALAKSANAAN DEMAM REUMATIK Authors : Muhamad Irwan, S.Ked Hendra Asputra, S.Ked Yance Warman, S.Ked T. Meidini Fitrani, S.Ked
Faculty of Medicine – University of Riau Pekanbaru, Riau 2008
© Belibis A-17.((http://www.Belibis17.tk
0
PENDAHULUAN Demam reumatik adalah sindrom klinis sebagai akibat infeksi Streptokokus hemolitik grup A, dengan salah satu gejala mayor yaitu, poliartritis migrans akut, karditis, korea minor, nodul subkutan dan eritema marginatum
1,2,3,4
. Demam reumatik
biasanya terjadi akibat infeksi beta-streptokokus hemoliticus grup A pada saluran pernafasan bagian atas.1,2 Mekanisme patogenesis yang menimbulkan perkembangan demam rematik akut belum diketahui secara pasti namun ada dua teori dasar yang berupaya menjelaskan perkembangan sekuele faringitis streptokokusus grup A ini, yakni pengaruh toksis yang dihasilkan oleh toksin ekstra seluler streptococcus grupa A pada organ sasaran seperti miokardium, katup, sinovium dan otak, dan kelainan respon imun oleh hospes manusia.4,5 Perjalanan klinis demam reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium. Stadium I berupa infeksi saluran nafas bagian atas oleh kuman streptokokus B hemolitikus grup A. Umumnya keluhan berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, muntah, dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular seringkali membesar. Stadium II disebut juga periode laten, yaitu masa antara infeksi streptokokus dengan permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu. Stadium III adalah fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum dan manifestasi spesifik demam reumatik. Gejala peradangan umum biasanya penderita mengalami demam yang tidak tinggi, anoreksia, lekas tersinggung dan berat badan tampak menurun, anak pucat karena anemia, athralgia, sakit perut. Pada pemeriksaan laboratorium akan didapatkan tanda-tanda reaksi peradangan akut berupa terdapatnya C reaktiv protein dan leukositosis serta meningginya laju endap darah. Titer ASTO meninggi pada kira-kira 80% kasus. Pada pemeriksaan EKG dapat dijumpai pemanjangan interval PR. Sebagian gejala-gejala peradangan umum dikelompokkan sebagai gejala minor. Manifestasi spesifik berupa karditis, poliartritis migrans, korea, eritema marginatum, nodul subkutan dikelompokkan sebagai gejala mayor4,5,6
1
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis demam reumatik dengan biakan tenggorok, ASTO, DNAase B dan uji AH, LED faktor rheumathoid, uji adanya antibodi anti nuklear, dan penentuan kadar komplemen, gamma globulin serum, elektrokardiogram dan rontgenogram dada.5 Kriteria diagnosis demam reumatik akut (DRA) berdasarkan Kriteria Jones (revisi 1992), ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti infeksi streptokokus grup A tenggorok positif dan peningkatan titer antibodi Streptokokus 2,3,4,5,6,7,8,9 Jantung merupakan satu-satunya organ yang dapat menderita kelainan permanen akibat demam rematik. Sebagian penderita demam reumatik akut dengan valvulitis dapat melewati stadium III dan sembuh tanpa gejala sisa katup, sebagian lagi akan tenang dengan meninggalkan gejala sisa katup, dengan atau tanpa kardiomegali atau gagal jantung 3,4. Kriteria derajat penyakit demam reumatik ini terbagi 4 yakni, derajat 1 dengan artritis atau korea tanpa karditis. Derajat 2 dengan karditis tanpa kardiomegali. Derajat 3 dengan karditis disertai gagal jantung. Derajat 4 dengan karditis yang disertai gagal jantung. 7 Kelainan katup yang paling sering ditemukan adalah katub mitral, kira-kira 3 kali lebih banyak dari pada katub aorta. Komplikasi yang dapat timbul antara lain insufisiensi Mitral, stenosis mitral dan insufisiensi aorta.3.,4,6 -
2
PENATALAKSANAAN DEMAM REUMATIK Terapi demam reumatik akut dapat dibagi menjadi lima pendekatan :8 PENGOBATAN KAUSAL Pengobatan kausal dilakukan dengan cara eradikasi kuman Streptokokus pada saat serangan akut dan pencegahan sekunder demam rematik. Cara pemusnahan Streptokokus dari tonsil dan faring sama dengan pengobatan faringitis Streptokokus, yakni pemberian penisilin benzatin intramuskuler dengan dosis 1,2 juta unit untuk pasien dengan berat badan > 30 kg atau 600.000 samapi 900.000 unit untuk pasien dengan berat badan < 30 kg. Penisilin oral 400.000 unit (250 mg) diberikan 4 kali sehari selama 10 hari dapat digunakan sebagai alternatif. Eritromisin 50 mg/kgBB sehari dibagi 4 dosis yang sama, dengan maksimum 250 mg 4 kali sehari selama 10 hari dianjurkan untuk pasien yang alergi penisiin. Obat lain seperti sefalosforin yang diberikan dua kali sehari selama 10 hari juga efektif untuk pengobatan faringitis streptokokus, seperti pada tabel di bawah ini : 5,8 Tabel 2.1 Pengobatan eradikasi kuman Streptokokus Pemberian Intramuskuler
Jenis antibiotik Penisilin Benzatin
Dosis
Frekuensi
BB > 30 kg 1,2 juta
Satu kali
BB< 30 kg 600.000 Oral
-Penisilin V
400.000/250 mg
4 x/hari selama 10 hari
-Eritromisin
50 mg/kgBB/hari
4x/hari selama 10 hari
-Yang lain seperti Dosis bervariasi Sefalosporin, Klindamisin, Nafsilin, Amoksisilin Cara pencegahan sekunder yang diajukan The American Heart Association dan WHO yaitu dengan pemberian suntikan penisilin berdaya lama setiap bulan. Pada keadaan-keadaan khusus, atau pada pasien resiko tinggi, suntikan diberikan setiap 3 minggu. Meskipun nyeri suntikan dapat berlangsung lama, tetapi pasien lebih suka dengan cara ini karena dapat dengan mudah dan teratur melakukannya satu kali setiap 3 atau 4 minggu, dibandingkan dengan tablet penisilin oral setiap hari. Preparat sulfa yang
3
tidak efektif untuk pencegahan primer terbukti lebih efektif dari pada penisilin oral untuk pencegahan sekunder. Dapat juga digunakan sulfadiazin yang harganya lebih murah daripada eritromisisn, seerti tertera pada tabel dibawah ini.5,8 Tabel 2.2 Pencegahan sekunder demam reumatik Pemberian
Jenis Antibiotik
Intramuskuler
Penisilin Benzatin
Dosis BB>30 kg 1,2 juta
Frekuensi Setiap 3-4 minggu
BB<30 kg 600.000 Oral
Penisilin V
250 mg
2 kali sehari
Eritromisin
250 mg
2 kali sehari
Sulfadiazin
BB > 30 kg 1gr
Sekali sehari
BB< 30 kg 0,5 gr
Sekali sehari
Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung pada berbagai faktor, termasuk waktu serangan dan serangan ulang, umur pasien dan keadaan lingkungan. Makin muda saat serangan, makin besar kemungkinan untuk kumat, setelah pubertas kemungkinan kumat cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi dalam 5 tahun pertama sesudah serangan terakhir. Dengan mengingat faktor-faktor tersebut, maka lama pencegahan sekunder disesuaikan secara individual. Pasien tanpa karditis pada serangan sebelumnya diberikan profilaksis minimum lima tahun sesudah serangan terakhir, sekurangnya sampai berumur 18 tahun. Pencegahan sekunder harus dilanjutkan selama pasien hamil, akan tetapi sebaiknya tidak dipakai sulfadiazin karena mendatangkan risiko terhadap janin. Remaja biasanya mempunyai masalah khusus terutama dalam ketaan minum obat, sehingga perlu upaya khusus terutama dalam ketaatannya minum obat, sehingga perlu upaya khusus mengingat risiko terjadinya kumat cukup besar. Untuk pasien penyakit jantung reumatik kronik, pencegahan sekunder untuk masa yang lama, bahkan seumur hidup dapat diperlukan, terutama pada kasus yang berat. Beberapa prinsip umum dapat dikemukakan pada tabel berikut. 8 Tabel 2.3 Durasi pencegahan sekunder demam reumatik Kategori •
Durasi
Demam rematik dengan karditis 10 th sejak episode terakhir sampai usia dan kelainan menetap
•
40 th. Kadang seumur hidup
Demam rematik dengan karditis 10 th atau sampai berusia 25 th tanpa
kelainan
katub
yang 5 th atau sampai berusia 18 th
4
menetap •
Demam rematik tanpa karditis
PENGOBATAN SUPORTIF 1.
Tirah Baring Semua pasien demam reumatik akut harus tirah baring, jika mungkin di rumah
sakit. Tirah baring di rumah sakit untuk pasien demam reumatik derajat 1 , 2, 3 dan 4 berturut-turut 2, 4, 6,12 minggu. Serta lama rawat jalan untuk pasien demam reumatik derajat 1,2,3 dan 4 berturut-turut 2, 4, 6, 12 minggu. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak dari awal serangan, hingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut. Sesudah itu lama dan tingkat tirah baring bervariasi. Tabel berikut merupakan pedoman umum untuk mendukung rekomendasi tersebut. 7,8 Tabel 2.4 Pedoman umum tirah baring dan rawat jalan pada pasien demam reumatik Status karditis
Penatalaksanaan
Derajat 1
Tirah baring selama 2 minggu dan
(tanpa karditis)
sedikit demi sedikit rawat jalan selama
Derajat 2
2 minggu dengan salisilat
(Karditis tanpa kardiomegali)
Tirah baring selama 4 minggu dan
Derajat 3
sedikit demi sedikit rawat jalan selama
(Karditis dengan kardiomegali)
4 minggu
Derajat 4
Tirah baring selama 6 minggu dan
( Karditis dengan gagal jantung)
sedikit demi sedikit rawat jalan selama 6 minggu Tirah baring ketat selama masih ada gejala gagal jantung dan sedikit demi sedikit rawat jalan selama 12 minggu
2. Diet Tujuan diet pada penyakit jantung adalah memberikan makanan secukupnya tanpa memberatkan kerja jantung, mencegah atau menghilangkan penimbunan garam atau air. Syarat-syarat diet penyakit jantung antara lain: energi yang cukup untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal, protein yang cukup yaitu 0,8 gram/kgBB, lemak sedang yaitu 25-30% dari kebutuhan energi total (10% berasal dari lemak jenuh dan 15% lemak tidak jenuh), Vitamin dan mineral cukup, diet rendah 5
garam 2-3 gram perhari, makanan mudah cerna dan tidakmenimbulkan gas, serat cukup untuk menghindari konstipasi, cairan cukup 2 liter perhari. Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan tambahan berupa makanan enteral, parenteral atau sulemen gizi. 3. Pengobatan simptomatis Pengobatan anti radang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam reumatik, sedemikian baiknya sehingga respon yang cepat dari artritis terhadap salisilat dapat membantu diagnosis. Pengobatan anti radang yang lebih kuat seperti steroid amat bermanfaat untuk mengendalikan perikarditis dan gagal jantung pada karditis akut, tetapi tidak berpengaruh terhadap sekuelejangka lama demam reumatik aktif, yaitu insiden penyakit jantung reumatik. Respon yang baik terhadap steroid tidak berarti memperkuat diagnosis demam reumatik karena kebanyakan artritis, termasuk artritis septik, berespon baik terhadap steroid, setidaknya pada stadium awal.5,8 Obat anti radang seperti salisilat dan steroid harus ditangguhkan bila atralgia atau artritis yang meragukan merupakan satu-satunya manifestasi, terutama apabila diagnosis belum pasti. Analgesik murni, seperti asetaminofen dapat digunakan karena dapat mengendalikan demam dan membuat pasien merasa enak namun tidak sepenuhnya mengganggua perkembangan poliartritis migrans. Munculnya poliartritis migrans yang khas dapat menyelesaikan masalah diagnosis. Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin dalam dosis terbagi 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/hari selama 2 samapi 6 minggu berikutnya. Kadang diperlukan dosis yang lebih besar. Pada pasien karditis, terutama jika ada kardiomegali atau gagal jantung, aspirin seringkali tidak cukup mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardi. Pasien ini harus ditangani dengan steroid, prednison adalah steroid terpilih, mulai dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi, maksimum 80 mg/hari. Pada kasus yang sangat akut dan parah, tetapi harus dimulai dengan metil prednisolon intravena (10 sampai 40 mg), diikuti dengan prednison oral. Sesudah 2 sampai 3 minggu prednison dapat dikurangi bertahap dengan pengurangan dosis harian sebanyak 5 mg setiap 2 samapi 3 hari. Bila penurunan ini dimulai, aspirin dengan dosis 75 mg/kgBB/hari harus ditambahkan dan dilanjutkan selama 6 minggu setelah prednison dihentikan. Terapi tumpang tindih ini dapat mengurangi insiden rebound klinis pasca terapi, yaitu munculnya kembali manifestasi klinis segera setelah terapi dihentikan.Berikut
6
merupakan terapi anti radang yang dianjurkan untuk mengendalikan manifestasi demam rematik.8 Tabel 2.5 Obat anti radang yang dianjurkan pada demam reumatik8,9
Manifestasi Klinis
Pengobatan
Artralgia
Hanya analgesik (mis: asetaminofen) Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu dan 25
Artritis
mg/kgBB/hari selama 4-6 minggu Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu,
Karditis
tapering off 2 minggu, salisilat 75 mg/kg/BB/hari pada minggu kedua, dianjurkan selama 6 minggu
Penatalaksanaan demam reumatik dan reaktivasi penyakit jantung reumatik seperti pada tabel di bawah ini :6 Tabel 2.6 Tatalaksana demam reumatik dengan reaktivasi penyakit jantung reumatik Manifestasi Klinis
Obat anti
Tirah baring
inflamasi
Kegiatan
Artritis
Total : 2 Minggu
Asetosal
Masuk
sekolah
Tanpa Karditis
Mobilisasi
100 mg/kgBB
setelah
4
bertahap
2 selama 2 minggu
minggu,
Minggu
75mg/kgBB
bebas
berolah raga
selama 4minggu berikutnya Artritis
+
Asetosal
Masuk
sekolah
100 mg/kgBB
setelah
2
bertahap
4 selama 2 minggu
minggu,
minggu
75mg/kgBB
Karditis Total 4 Minggu
tanpa Kardiomegali
Mobilisasi
bebas
berolah raga.
4mgg berikutnya Artritis+kardiomegali
Total 6 minggu
Prednison
Masuk
sekolah
Mobilisasi
2mg/kgBB
setelah
12
bertahap
6 selama 2 minggu, Minggu, jangan
minggu
tap off selama 2 olah raga berat minggu
7
atau kompetitif
Asetosal 75 mg/kgBB Mulai minggu
awal ke
3
selama 6 minggu. Artritis+Kardiomegali+ Total Dekomp. Kordis
selama Prednison
dekomp. Kordis 2mg/kgBB
Masuk
sekolah
setelah
12
mobilisasi
selama 2 minggu, Minggu, dekom
bertahap
tap off selama 2 teratasi minggu
17
Asetosal
dilarang
75 mg/kgBB
raga.
Mulai minggu
selama minggu olah
awal ke
3
selama 6 minggu. 5 tahun
Pengobatan Karditis —Pengobatan karditis masih kontroversial, terutama untuk pemilihan pengobatan pasien dengan aspirin atau harus steroid. Digitalis diberikan pada pasien dengan karditis yang berat dan gagal jantung. Dosis digitalisasi total adalah 0,04-0,06 mg/kg dengan dosis maksimum 1,5 mg. Dosis rumatnya adalah antara sepertiga sampai seperlima dosis digitalisasi total, diberikan dua kali sehari. Pengobatan obat jantung alternatif dipertimbangkan bila pasien tidak berespon terhadap digitalis.8
Pengobatan Korea —Pada kasus korea yang ringan pada umumnya hanya memerlukan tirah baring. Pada kasus berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat yang sering dipergunakan adalah fenobarbital dan haloperidol. Keberhasilan obat ini bervariasi. Fenobarbital diberikan dalam dosis 15 sampai 30 mg tiap 6 sampai 8 jam, bergantung pada respon klinis. Pada kasus berat, kadang diperlukan 0,5 mg setiap 8 jam. Obat antiradang tidak diperlukan pada korea, kecuali pada kasus yang sangat berat, dapat diberikan steroi 8
4. Pengobatan Rehabilitatif —Pengobatan rehabilitatif untuk pasien demam reumatik sesuai dengan derajat penyakitnya. Untuk pasien demam reumatik derajat 1, kegiatan olahraga dapat dilakukan setelah 4 minggu pulang perawatan di rumah sakit. Untuk derajat 2, kegiatan olahraga bukan kompetisi dapat dilakukan setelah 8 minggu pulang perawatan di rumah sakit. Untuk derajat 3, kegiatan olahraga bukan kompetisi dapat dilakukan setelah 12 minggu pulang dari rumah sakit. Sedangkan untuk derajat 4 tidak boleh melakukan kegiatan olahraga. 5. Pengobatan operatif a. Mitral stenosis —Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang menyempit, tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional III ke atas. Intervensi dapat bersifat bedah (valvulotomi, rekonstruksi aparat sub valvular, kommisurotomi atau penggantian katup. b. Insufisiensi Mitral —Penentuan waktu yang tepat untuk melakukan pembedahan katup pada penderita insufisiensi mitral masih banyak diperdebatkan. Namun kebanyakan ahli sepakat bahwa tindakan bedah hendaknya dilakukan sebelum timbul disfungsi ventrikel kiri. Jika mobilitas katup masih baik, mungkin bisa dilakukan perbaikan katup (valvuloplasti, anuloplasti). Bila daun katup kaku dan terdapat kalsifikasi mungkin diperlukan penggantian katup (mitral valve replacement). Katup biologik (bioprotese) digunakan terutama digunakan untuk anak dibawah umur 20 tahun, wanita muda yang masih menginginkan kehamilan dan penderita dengan kontra indiksi pemakaian obat-obat antikoagulan. Katup mekanik misalnya Byork Shiley, St.Judge dan lain-lain, digunakan untuk penderita lainnya dan diperlukan antikoagula untuk selamanya. c. Stenosis Aorta —Pasien dengan gejala-gejala akibat stenosis aorta membutuhkan tindakan operatif. Pasien tanpa gejala membutuhkan penanganan yang sangat hati-hati serta follow up untuk menentukan kapan tindakan bedah dilakukan. Penanganan stenosis dengan pelebaran katup aorta memakai balon mai diteliti. Pasien-pasien yang dipilih adalah pasien yang tidak memungkinkan dilakukan penggantian katup karena usia, adanya penyakit lain yang berat, atau menunjukkan gejala yang berat. Pasien-pasien dengan gradien sistolik 75 mmHg harus dioperasi walaupun tanpa gejala. Pasien tanpa gejala 9
tetapi perbedaan tekanan sistolik kurang dari 75 mmhg harus dikontrol setiap 6 bulan. Tindakan operatif harus dilaksanakan bila pasien menunjukkan gejala terjadi pembesaran jantung, peningkatan tekanan sistolik aorta yang diukur denagn teknik doppler. Pada pasien muda bisa dilakukan valvulotomi aorta sedangkan pada pasien tua membutuhkan penggantian katup. Risiko operasi valvulotomi sangat kecil, 2% pada penggantian atup dan risiko meningkat menjadi 4% bila disertai bedah pintas koroner. Pada pembesaran jantung dengan gaga jantung, risiko naik jadi 4 sampai 8%. Pada pasien muda yang tidak bisa dilakukan valvulotomi penggantian katup perlu dilakukan memakai
katup
sintetis.
Ahli
bedah
bisa
menggunakan
katup
jaringan
(Porsin/pericardial) untuk pasien-pasien lebih tua. Keuntungan katup jaringan ini adalah kemungkinan tromboemboli jarang, tidak diperlukan antikoagulan, dan perburukan biasanya lebih lambat bila dibandingkan dengan memakai katup sintetis. d. Insufisiensi Aorta —Pilihan utuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontra indikasi untuk koagulan, serta lamanya umur katup. Penderita dengan katup jaringan, baik porsin atau miokardial mungkin tidak membutuhkan penggunaan antikoagulan jangka panjang. Risiko operasi kurang lebih 2% pada penderita insufisiensi kronik sedang dengan arteri koroner normal. Sedangkan risiko operasi pada penderita insufisiensi berta dengan gagal jantung, dan pada penderita penyakit arteri, bervariasi antara 4 sampai 10%. Penderita dengan katup buatan mekanis harus mendapat terapi antikoagulan jangka panjang. -
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Kisworo B. Demam Reumatik. Cermin Dunia Kedokteran. No 116. Jakarta. 1997 2. Chin Thomas & Wisley C. Reumatik Fever, http:// www.emedicine.com [ diakses tanggal 20 September 2007] 3. Markum A.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta : FKUI, 2002. 599-613. 4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta : FKUI, 1997. 734-758 5. Behrman. Kliegman. Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson vol 2. Jakarta : EGC, 2000. 929-935 6. Pusponegoro D hardiono. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi 1. Jakarta : IDAI, 2004.149-153 7. Tambunan Taralan. Buku Panduan Tatalaksana & Prosedur Baku Pediatrik. Jakarta : FKUI, 141-142 8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994. 307-313 9. Mansjoer Arif et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta : FKUI, 2000.454-457
© Belibis A-17.((http://www.Belibis17.tk
11