Tiara dan Dian | enatalaksanaan Artritis Gout dan Hipertensi pada Lansia 70 Tahun dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga
Penatalaksanaan Artritis Gout dan Hipertensi pada Lansia 70 Tahun dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga
Tiara Anggraini, Dian Isti Anggraini Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Artritis gout merupakan penyakit peradangan sendi yang dipengaruhi oleh asupan makanan yang tinggi purin. Hipertensi merupakan penyakit vaskular ditandai dengan peningkatan tekanan sistolik dan diastolik. Hipertensi erat kaitannya dengan kadar natrium yang tinggi dan kolesterol. Pendekatan dokter keluarga penting dalam manajemen diet tinggi purin, diet rendah natrium dan faktor biopsikosial yang ada. Menerapkan pendekatan dokter keluarga yang holistik dan komprehensif dalam mendeteksi faktor risiko internal dan eksternal dan menyelesaikan masalah berbasis Evidence Based Medicine yang bersifat family‐approached dan patient‐centered. Merupakan laporan kasus dengan data primer diperoleh melalui autoanamnesis, pemeriksaan fisik dan kunjungan rumah, untuk melengkapi data keluarga, data psikososial dan lingkungan. Penilaian dilakukan berdasarkan diagnosis holistik dari awal, proses, dan akhir studi secara kuantitatif dan kualitatif. Pasien memiliki risiko internal yaitu riwayat keluarga dengan hipertensi dan stroke, pola makan tinggi purin, pengobatan kuratif, serta kurangnya pengetahuan tentang gout dan hipertensi. Faktor risiko eksternal yaitu kurangnya dukungan dan pengetahuan keluarga mengenai penyakit pasien. Memiliki tekanan darah 160/90 mmHg. Dilakukan intervensi terhadap pasien dan keluarga tentang penyakitnya, pola makan dan pentingnya tindakan preventif untuk mencegah komplikasi penyakitnya. Pada evaluasi ditemukan pengetahuan yang cukup mengenai penyakitnya, penurunan tekanan darah dan kadar asam urat. Wanita usia lanjut menjadi faktor utama terjadinya gout dan hipertensi, diperberat dengan pola makan tinggi purin dan riwayat keluarga dengan hipertensi dan stroke. Pelayanan dokter keluarga tidak hanya menyelesaikan masalah klinis pasien, tetapi juga mencari dan memberi solusi atas permasalahan‐permasalahan dalam lingkungan yang mempengaruhi kesehatan pasien dan keluarga. Kata kunci: artritis gout, hipertensi, kedokteran keluarga
Treatment of Gout Arthritis And Hypertension in 70 Years Old Granny Through Family Medicine Approach Abstract Gout arthritis is an inflammatory disease of the joint that are affected by high level purine intake. Hypertension is a vascular disease characterized by an increase of systolic and diastolic pressure. Hypertension is related with high level of sodium and cholesterol. Family medicine approach is importance to manage high purine diet, low sodium diet and biophsycosocial existing factor. Application of family physician services based on evidence based medicine in patients with identified risk factors, clinical problems, and patient management framework based on the patient's problem solving approached to patient and family centre approached. Case report with primary data obtained through alloanamnesis, physical examination and home visits,to complete the family data, the data psychosocial and environmental. Assessment is based upon a holistic diagnosis of early, process, and the final quantitative and qualitative studies. There are internal risk factors such as 70 years old, family history have hypertension and stroke, high‐purine diet,lack of knowledge about the disease. External risk factors are lack of support and knowledge of patient's family about the disease. Intervention to patients and families about the disease, diet and the importance of preventive measures to prevent complications of the disease. The evaluation found adequate knowledge about the disease, decrease blood pressure and uric acid levels. The provider has not only solved the problem of clinical patients, but also seeks and gave solutions to the environmental problems that affect the health of the patient and family. Keywords: family medicine, gout arthritis, hypertension Korespondensi : Tiara Anggraini, S.Ked., alamat Jl. Lada No. 16 Kedaton Bandar Lampung, HP 082186906725, e‐mail
[email protected]
Pendahuluan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2014 sebesar 252.124.458 jiwa, dengan jumlah lansia 19.142.861 jiwa yang terdiri atas 8.795.184 jiwa lansia berjenis kelamin laki‐laki dan 10.347.677 jiwa lansia berjenis kelamin perempuan.1 J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|108
Menurut World Health Organization (WHO), lansia adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan.2
Tiara dan Dian | enatalaksanaan Artritis Gout dan Hipertensi pada Lansia 70 Tahun dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga
Proses penuaan akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, maupun kesehatan. Ditinjau dari aspek kesehatan dengan semakin bertambahnya usia maka lansia lebih rentan terhadap berbagai keluhan fisik baik karena faktor alamiah maupun penyakit.3 Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 melaporkan sepuluh jenis penyakit tersering yang diderita oleh lansia yang didominasi oleh penyakit tidak menular, penyakit kronik dan degeneratif. Adapun penyakit tersebut antara lain hipertensi, artritis, stroke, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), Diabetes Mellitus (DM), kanker, penyakit jantung koroner, batu ginjal, gagal jantung dan gagal ginjal.4 Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan diastolik lebih dari 90 mmHg.5 Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8 persen, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%). Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum obat sebesar 9,5 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat sendiri. Responden yang mempunyai tekanan darah normal tetapi sedang minum obat hipertensi sebesar 0.7 persen. Jadi prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5 persen.4 Komplikasi yang terjadi pada hipertensi terdiri dari stroke, infark miokard, gagal ginjal, dan ensefalopati (kerusakan otak).6 Stroke merupakan suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara lokal atau global yang dapat menimbulkan kematian atau kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vascular. Setiap tahun, 795.000 orang mengalami stroke, baik stroke baru maupun stroke berulang. Kira‐ kira 610.000 di antaranya adalah serangan stroke pertama dan 185.000 sisanya adalah serangan stroke.7 Salah satu penyakit yang juga sering diderita oleh lansia adalah gout arthritis. Penyakit Gout Arthritis (GA) menurut American Collage of Rheumatology merupakan suatu penyakit dan potensi ketidakmampuan akibat radang sendi yang sudah lama dikenal, gejalanya biasanya terdiri dari episodik berat
dari nyeri inflamasi satu sendi. Gout adalah bentuk inflamasi arthritis kronis, bengkak dan nyeri yang paling sering di sendi besar jempol kaki, namun dapat mempengaruhi sendi‐sendi yang lain dan dapat menjadi semakin parah. Gout merupakan istilah yang dipakai sekelompok gangguan metabolik yang ditandai oleh peningkatan kadar asam urat.8 Di Indonesia, GA merupakan penyakit reumatik yang sering ditemui. Berdasarkan data WHO, penduduk yang mengalami gangguan GA di Indonesia tercatat 8,1% dari total penduduk. Sebanyak 29% diantaranya melakukan pemeriksaan dokter, dan sisanya atau 71% mengonsumsi obat bebas pereda nyeri. Di Kabupaten Malang dan Kota Malang ditemukan prevalensi GA sebesar 10% dan 13,5%. Di Jawa Tengah, kejadian penyakit GA sebesar 5,1% dari semua penduduk.9 Tujuan dari penulisan studi ini yaitu untuk menerapkan pelayanan dokter keluarga berbasis evidence based medicine pada pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko, masalah klinis, serta penatalaksanaan pasien berdasarkan kerangka penyelesaian masalah pasien dengan pendekatan patient centred dan family approach. Studi ini merupakan studi deskriptif dengan rancangan laporan kasus. Studi dilakukan pada seorang wanita lansia di Puskesmas Gedong Tataan pada tanggal 19 Februari hingga 5 Maret 2016. Data yang ada diperoleh melalui autoanamnesis, pemeriksaan fisik dan kunjungan rumah untuk melengkapi data keluarga, psikososial, dan lingkungan. Kasus Ny. T, 70 tahun, seorang ibu rumah tangga datang ke puskesmas rawat inap Gedong Tataan dengan keluhan nyeri pada sendi pergelangan tangan kanan serta jari tangan dan kaki kanan dan kiri sejak 3 tahun yang lalu, nyeri dirasakan semakin memberat dalam 2 bulan terakhir. Pada saat terasa nyeri juga dapat disertai rasa panas bahkan terkadang terasa kaku. Rasa nyeri dapat muncul kapan saja namun dapat berkurang dengan beristirahat. Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri kepala dibagian belakang sejak 3 tahun terakhir, nyeri terasa menjalar ke leher bagian belakang hingga menimbulkan rasa berat pada bagian tersebut. Nyeri tersebut dirasakan hilang timbul. Akan terasa nyeri apabila terlalu
J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|109
Tiara dan Dian | enatalaksanaan Artritis Gout dan Hipertensi pada Lansia 70 Tahun dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga
lelah dan akan berkurang nyeri tersebut dengan beristirahat. Untuk mengilangkan keluhan‐keluhan di atas selain dengan beristirahat, pasien terkadang mengkonsumsi obat yang dibeli di warung. Satu minggu yang lalu pasien merasakan keluhan yang semakin berat dengan intensitas nyeri sendi dan kepala yang semakin memberat dan tidak hilang dengan hanya meminum obat warung saja, sehingga pasien memutuskan untuk memeriksakan diri ke Puskesmas. Pasien memiliki kebiasaan sejak masih muda yaitu mengkonsumsi makanan berlemak dan berminyak seperti gorengan dan jeroan. Pasien juga sering menggunakan garam pada masakannya. pasien sering mengkonsusmsi sayuran berwarna hijau tua seperti daun singkong, bayam dan juga mengkonsumsi kacang‐kacangan. Semua kegiatan rumah tangga dikerjakannya sendiri tetapi terkadang anak nya yang tidak tinggal serumah datang untuk membantu. Pasien sering berolahraga ringan setiap pagi dan mengatakan tidak mengkonsumsi alkohol ataupun merokok. Pasien tinggal bersama suaminya Tn. B (86 tahun). Pasien dan suami tidak bekerja, keuangan sehari‐hari yang digunakan berasal dari hasil panen padi miliknya setiap 2 kali dalam 1 tahun yang dikelola oleh orang lain. Pola pengobatan pasien dan anggota keluarga ini bersifat kuratif yakni pasien berobat apabila terdapat keluhan yang dirasa mengganggu aktivitas. Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama yaitu ayah pasien yang memiliki penyakit hipertensi, namun sudah meninggal dan adik kandung pasien yang juga meninggal disebabkan oleh stroke. Wanita yang telah menopause dan menderita artritis gout serta hipertensi merupakan masalah kompleks pada pasien dan keluarganya. Hal ini tentu didukung oleh masalah internal dan eksternal dari pasien dan keluarganya. Oleh karena itu, dibutuhkan partisipasi dan dukungan pelaku rawat keluarga yang optimal dalam memotivasi, mengingatkan, serta memperhatikan pasien dalam penatalaksanaan penyakitnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaaan umum pasien tampak sakit ringan, suhu 36,8oC, tekanan darah 160/100 mmHg, frekuensi nadi 86 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit, berat badan 47 kg, tinggi badan 150 J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|110
cm dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu 20,8. Status generalis dalam batas normal. Pada status lokalis regio manus dekstra et sinistra dan regio pedis digiti I dekstra et sinistra ditemukan adanya nyeri tekan pada dan teraba hangat pada bagian yang mengalami keluhan. Pemeriksaan penunjang kadar asam urat 8,6 mg/dl dan kadar gula darah sewaktu 112 mg/dl. Diagnosis dari pasien ini adalah artritis gout dan hipertensi grade II. Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini meliputi edukasi pada pasien dan anggota keluarga yang lain yaitu suami dan anak pasien yang tinggal tidak jauh dari rumah pasien mengenai penyakit yang diderita pasien dan perubahan gaya hidup yang harus dilakukan pasien untuk mencegah penyakit menjadi semakin berat dan komplikasi penyakit serta pemberian medikamentosa berupa allopurinol 2x100 mg, captopril 2x12,5 mg, piroxicam 2x50 mg dan ranitidin 2x150 mg. Pembahasan Diagnosis klinik pada pasien ini adalah artritis gout dan hipertensi grade II. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan kadar asam urat didapatkan 8,6 mg/dl. Menurut The American Rheumatism Association, diagnosis GA ditegakkan berdasarkan adanya 6 dari 12 gejala berdasarkan klinis, laboratoris dan radiologis yaitu terdapat lebih dari satu kali serangan artritis akut, inflamasi maksimal terjadi dalam waktu 1 hari, artritis monoartikuler, kemerahan pada sendi, bengkak dan nyeri pada metatarsophalangeal 1, artiris unilateral yang melibatkan sendi tarsal, kecurigaan terhadap adanya tofus, pembengkakan sendi yang asimetris, kista subkortikal tanpa erosi, dan kultus mikroorganisme negatif pada cairan sendi. Selain itu, menurut studi epidemiologi menunjuukan kadar asam urat >7 mg% pada laki‐laki, dan >6 mg% pada perempuan yang didiagnosis sebagai artritis gout.10 Berdasarkan Joint National Committee VIII (JNC VIII), termasuk hipertensi apabila tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥100 mmHg. Hipertensi pada lansia disebabkan karena proses penuaan dimana terjadi perubahan sistem kardiovaskular, katup mitral dan aorta mengalami sklerosis dan penebalan, miokard menjadi kaku dan lambat dalam berkontraksi.
Tiara dan Dian | enatalaksanaan Artritis Gout dan Hipertensi pada Lansia 70 Tahun dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga
Kemampuan pompa jantung harus bekerja lebih keras sehingga terjadi hipertensi.11,12 Masalah kesehatan yang dibahas pada kasus ini adalah seorang lansia perempuan berusia 70 tahun yang menderita GA sejak 3 tahun lalu dan hipertensi sejak 1 tahun yang lalu. Kunjungan pertama kali yang dilakukan adalah pendekatan dan perkenalan terhadap pasien serta menerangkan maksud dan tujuan kedatangan diikuti dengan anamnesis tentang keluarga dan perihal penyakit yang telah diderita. Dari hasil kunjungan tersebut, sesuai konsep Mandala of Health, dari segi perilaku kesehatan pasien masih mengutamakan kuratif daripada preventif, memiliki pengetahuan yang kurang tentang penyakit‐penyakit yang ia derita serta kurangnya dukungan dan pengetahuan keluarga tentang penyakit yang diderita pasien. Tiga hari setelah kunjungan pertama, maka dilanjutkan dengan kunjungan ke dua pada untuk melakukan intervensi terhadap pasien dengan menggunakan media poster bergambar tentang GA, hipertensi dan gizi seimbang dan makanan rendah garam, rendah purin. Intervensi ini dilakukan dengan tujuan untuk merubah pola makan pasien yang tidak teratur meskipun untuk merubah hal tersebut bukanlah hal yang dapat dilihat hasilnya dalam kurun waktu yang singkat. Ada beberapa langkah atau proses sebelum orang mengadopsi perilaku baru. Pertama adalah awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari stimulus tersebut. Kemudian dia mulai tertarik (interest). Selanjutnya, orang tersebut akan menimbang‐nimbang baik atau tidaknya stimulus tersebut (evaluation). Setelah itu, dia akan mencoba melakukan apa yang dikehendaki oleh stimulus (trial). Pada tahap akhir adalah adoption, berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya.13 Ketika intervensi dilakukan, keluarga juga turut serta mendampingi dan mendengarkan apa yang disampaikan pada pasien. Edukasi yang diberikan berupa cara mengontrol kadar asam urat dan tekanan darah, makanan yang perlu dihindari untuk mengontrol penyakit, dan pentingnya pemeriksaan tekanan darah dan mengendalikannya dengan obat serta juga disarankan untuk banyak minum air putih, minimal 2.5 liter/hari.14 Selain itu juga edukasi
kepada anak pasien tentang kemungkinan adanya faktor genetik dan pencegahan terjadinya penyakit hipertensi dan asam urat. Pada hiperurisemia, kriteria untuk mendapatkan terapi farmakologis pada artritis gout adalah ditemukannya tofus baik melalui pemeriksaan klinis ataupun radiologi, serangan gout akut berulang (≥2 serangan/tahun), gagal ginjal kronik derajat 2‐5, dan riwayat urolitiasis. Pada pasien ini diberikan terapi farmakologis karena sudah terdapat seragan gout berulang dan edukasi berupa perubahan pola makan. Pemberian allopurinol pada pasien ini sudah tepat karena termasuk dalam lini pertama pengobatan artirits gout selain obat lainnya yaitu probenecid.15 Pemberian obat antiinflamasi non steroid (OAINS) berupa piroxicam sudah tepat pada pasien ini yaitu sebagai analgetik yang direkomendasikan oleh American Rheumatism Association, obat analgetik lainnya yang dapat diberikan yaitu kortikosteroid sistemik ataupun probenecid. Golongan OAINS sebagai analgetik bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase sehingga tidak tersintesisnya prostaglandin sebagai mediator inflamasi yang menimbulkan rasa nyeri, hal ini dapat memberikan efek pada lambung dimana diketahui bahwa prostaglandin merupakan salah satu barier pertahanan mukosa lambung terhadap asam lambung. Pemberian ranitidin sudah tepat karena digunakan untuk mengurangi efek samping dari OAINS di lambung penderita yang mengkosumsi obat tersebut.8 Penderita asam urat harus menjalani diet rendah protein karena protein dapat meningkatkan asam urat, terutama protein hewani. Protein diberikan 50‐70 g per hari. Sedangkan sumber protein yang dianjurkan adalah sumber protein nabati dan protein yang berasal dari susu, keju dan telur. Sangat disarankan untuk membatasi konsumsi lemak. Lemak dapat menghambat ekskresi asam urat melalui urin. Batasi makanan yang digoreng, penggunaan margarin, mentega dan santan. Ambang batas lemak yang boleh dikonsumsi adalah 15% total kalori/hari. Pasien juga disarankan untuk banyak minum air putih, minimal 2.5 liter/hari. Konsumsi cairan yang tinggi dapat membantu mengeluarkan asam urat melalui urin. Sedangkan alkohol, tape dan brem harus dijauhi. Bahan pangan mengandung alkohol ini dapat meningkatkan
J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|111
Tiara dan Dian | enatalaksanaan Artritis Gout dan Hipertensi pada Lansia 70 Tahun dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga
asam laktat plasma, asam yang dapat menghambat pengeluaran asam urat dari dalam tubuh melalui urin.16,17 Penatalaksanaan hipertensi pada pasien 60 tahun atau lebih yang tidak memiliki diabetes atau penyakit ginjal kronik, maka target terapi tekanan darah adalah <150/90 mmHg. Target ini untuk mengurangi risiko terjadinya stroke, gagal jantung dan penyakit jantung koroner (PJK). Terapi lini pertama meliputi empat golongan obat, yaitu diuretik tiazid, calcium channel blocker (CCB), angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor, dan angiotensin receptor blocker (ARB). Pemberian captopril pada pasien sudah tepat karena termasuk dalam golongan ACE inhibitor.11,19 Makanan yang harus dihindari atau dibatasi oleh pasien adalah makanan yang berkadar lemak jenuh tinggi (otak, ginjal, paru, minyak kelapa, gajih) , makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium (biskuit, kraker, keripik dan makanan kering yang asin), makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis, kornet, sayuran serta buah‐buahan dalam kaleng, soft drink), makanan yang diawetkan (dendeng, asinan sayur/buah, abon, ikan asin, pindang, udang kering, telur asin, selai kacang), sumber protein hewani yang tinggi kolesterol seperti daging merah (sapi/kambing), kuning telur, kulit ayam), bumbu‐bumbu seperti kecap, maggi, terasi, saus tomat, saus sambal, tauco serta bumbu penyedap lain yang pada umumnya mengandung garam natrium, alkohol dan makanan yang mengandung alkohol seperti durian, tape.15,19 Tujuh hari setelah kunjungan kedua, dilakukan kunjungan ulang ke keluarga pasien. Tujuannya adalah untuk evaluasi kadar asam urat dan tekanan darah pasien. Setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan kadar asam urat pasien 7,2 mg/dl dan tekanan darah 150/100 mmHg. Penyakit yang diderita pasien ini merupakan penyakit kronis. Penyakit kronis seperti artirits gout dan hipertensi memiliki perjalanan penyakit yang cukup lama dan umumnya penyembuhannya tidak dapat dilakukan. Penyakit tersebut hanya bisa dikontrol untuk menjaga agar tidak terjadi komplikasi. Untuk itu pasien diharuskan untuk rutin mengunjungi sarana kesehatan untuk mengontrol penyakitnya. Tidak adanya J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|112
asuransi kesehatan akan mempersulit pasien memperoleh pelayanan kesehatan ditambah keadaan pasien dengan low income. Untuk itu dilakukan edukasi agar pasien membuat asuransi kesehatan untuk mempermudahkan pasien saat ingin berobat ataupun mengontrol penyakitnya secara rutin. Empat hari selanjutnya dilakukan kunjungan lagi untuk mengevaluasi intervensi yang diberikan. Dari hasil anamnesis lanjut didapatkan bahwa keluhan nyeri sendi dan nyeri kepala sudah berkurang dan pasien sudah minum obat secara teratur. Anak pasien yang tinggal dibelakang rumah pasien lebih memperhatikan makanan yang dimakan pasien seperti melarang pasien untuk mengkonsumsi makanan kaya garam dalam masakan, melarang untuk mengkonsumsi jeroan dan kacang‐kacangan. Olahraga rutin setiap pagi masih tetap dilakukan di lingkungan sekitar rumah. Anjuran untuk membuat asuransi kesehatan bagi keluarga sudah dilakukan oleh anak pasien sampai tahap mengurus berkas yang diperlukan. Faktor pendukung dalam penyelesaian masalah pasien adalah adanya niat, dukungan dan perhatian dari anaknya yang tinggal dibelakang rumah pasien yang harus menerapkan pola hidup sehat. Sedangkan faktor penghambatnya adalah pelaku rawat yang serumah dengan pasien masih belum optimal karena faktor usia yang juga lansia untuk menjadi pelaku rawat satu rumah. Pengukuran tekanan darah dan kadar asam urat pasien pada saat evaluasi didapatkan asam urat 6 mg/dl dan tekanan darah 140/90 mmHg. Kadar asam urat tersebut telah turun dari awal pasien datang ke puskesmas yaitu 8,6 mg/dl meskipun nilai tersebut belum mencapai nilai normal. Tekanan darah juga telah turun dari awal pasien datang ke puskesmas yaitu 160/100 mmHg dan sudah mencapai target terapi. Melihat tingkat kepatuhan pasien cukup baik maka prognosis pada pasien ini dalam hal quo ad vitam adalah dubia ad bonam yaitu dilihat dari kesehatan dan tanda‐tanda vitalnya yang masih baik. Quo ad functionam adalah dubia ad bonam karena pasien masih bisa beraktivitas sehari‐hari secara mandiri. Dalam hal quo ad sanationam adalah dubia ad bonam karena pasien masih bisa melakukan fungsi sosial kepada masyarakat sekitar.19
Tiara dan Dian | enatalaksanaan Artritis Gout dan Hipertensi pada Lansia 70 Tahun dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga
Simpulan Pasien lansia memiliki risiko lebih tinggi mengalami penyakit‐penyakit kronis, salah satunya akibat gaya hidup yang salah. Pasien dalam kasus adalah lansia wanita 70 tahun dengan artritis gout dan hipertensi derajat II. Penanganan dan upaya pencegahan komplikasi berupa perubahan perilaku untuk mengontrol asam urat, tekanan darah, serta mengubah gaya hidupnya dengan mengurangi makan makanan yang tinggi natrium (garam), lemak jenuh dan purin. Adanya dukungan dari keluarga dalam hal pengobatan pasien menyebabkan terjadinya perubahan perilaku dan perbaikan klinis pasien. Pelayanan dokter keluarga tidak hanya menyelesaikan masalah klinis pasien tetapi juga mencari dan memberi solusi atas permasalahan‐permasalahan yang ada dalam aspek biopsikososial yang mempengaruhi kesehatan pasien maupun keluarga. Daftar Pustaka 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2015. 2. Definition of an older or elderly person [internet]. Geneva: World Health Organization; 2000 [diakses tanggal 22 Februari 2016]. Tersedia dari: http://www.who.int/healthinfo/survey/ag eingdefnolder/en/ 3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi dan analisis lanjut usia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Lansia; 2014. 4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013. 5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses‐proses penyakit. Edisi ke‐6. Jakarta: EGC; 2005. 6. Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC; 2009. 7. Heart International Cardiovascular Disease statistic [internet]. Greenville Ave: American Heart Association; 2013 [diakses tanggal 22 Februari 2016]. Tersedia dari http://www.american heart.org/
8.
9.
10. 11.
12.
13. 14.
15.
16.
17. 18.
19.
Khanna D. 2012 American college of rheumatology guidelines for management of gout. Part 2: therapy and antiinflammatory prophylaxis of acute gouty arthritis. Aethritis Care Res. 2012; 64(10):1447‐61. Nainggolan O. Prevalensi dan determinan penyakit rematik di Indonesia. Maj Kedokt Indon. 2009; 59(12):588‐94. Hidayat R. Gout dan hiperurisemia. Medicinus. 2009; 22(2):47‐50. James PA. 2014 evidence‐based guideline for the management of high blood pressure in adults: report from the panel members appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA. 2014; 311(5):507‐20. Herlinah L, Winarsih W, Rekawati E. Hubungan dukungan keluarga dengan perilaku lansia dalam pengendalian hipertensi. Jurnal Keperawatan Komunitas. 2013; 1(2):108‐15. Notoatmodjo. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2005. Yoga T. Hindari hipertensi, konsumsi garam 1 sendok teh per hari [internet]. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2009 [diakses tanggal 22 Februari 2016]. Tersedia dari http/www.depkes.go.id/ Khanna D. 2012 American college of rheumatology guidelines for management of gout part I: systematic non‐ pharmacologic and pharmacologic therapeutic approaches to hyperuricemia. Arthritis Care Res. 2012; 64(10):1431–46. Mulyatno KC. Institute of Tropical Disease (ITD). Surabaya: Universitas Airlangga; 2014. Almatsier S. Penuntun Diet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2010. Gudmundsson LS. Risk profiles and prognosis of treated and untreated hypertensive men and women in a population‐based longitudinal study: the Reykjavik Study. J Hum Hypertens. 2004; 18(9):615‐22. Kuswardhani. Penatalaksanaan hipertensi pada lanjut usia. J Peny Dalam. 2006; 7(2):135‐40.
J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|113