PENARIKAN KEMBALI HARTA WAKAF OLEH PEMBERI WAKAF (Study Analisis Pendapat Imam Syafi'i)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari’ah
Disusun Oleh: Oleh RUDDY PAMUNGKAS 2105144
JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH IAIN WALISONGO SEMARANG 2011
ii
iii
MOTTO
! "# $%& ! "'( ! )'*+ ,' % "! (12 :,( ./) Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah ∗ mengetahuinya (Q.S. Ali-Imran: 92).
∗
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag, 1978, hlm. 91 .
iv
PERSEMBAHAN Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat: o Orang tuaku tersayang yang selalu memberi semangat dan motivasi dalam menjalani hidup ini. o Kakak dan Adikku Tercinta yang kusayangi yang selalu memberi motivasi dalam menyelesaikan studi. o Teman-Temanku jurusan AS, angkatan 2005 Fak Syariah yang selalu bersama-sama dalam meraih cita dan asa.
Penulis
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiranpemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat
dalam
daftar
kepustakaan
yang
dijadikan bahan rujukan. Jika di kemudian hari terbukti sebaliknya maka penulis bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar menurut peraturan yang berlaku.
Semarang, 25 Nopember 2010
RUDDY PAMUNGKAS NIM: 2105144
vi
ABSTRAK Dalam hubungannya dengan pemberian wakaf oleh wakif, Imam Malik, Hambali dan Hanafi berpendapat bahwa wakaf tidak disyaratkan berlaku untuk selamanya, tetapi sah bisa berlaku untuk waktu satu tahun misalnya. Sesudah itu kembali kepada pemiliknya semula. Dengan demikian dalam pandangannya bahwa pemberi wakaf dapat menarik kembali wakafnya atau dapat memiliki kembali wakafnya. Yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana pendapat Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf? Bagaimana metode istinbath hukum Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf? Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Data Primer, yaitu karya-karya Imam AlSyafi'i: (1) Al-Umm. (2) Kitab al-Risalah. Sebagai data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul skripsi ini. Metode analisisnya adalah metode deskriptif analisis. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa menurut Imam Syafi'i, apabila seorang wakif memberi wakaf berupa harta benda, maka seketika itu juga beralih hak milik dari wakif kepada penerima wakaf. Harta benda wakaf itu tidak bisa ditarik kembali oleh pemberi wakaf. Dengan kata lain pemberi wakaf tidak memiliki lagi hak milik atas harta benda wakaf tersebut. Pernyataan Imam Syafi'i ini menunjukkan bahwa wakaf dalam pandangannya adalah suatu ibadah yang disyari'atkan, wakaf telah berlaku sah bilamana wakif telah menyatakan dengan perkataan waqaftu (telah saya wakafkan), sekalipun tanpa diputuskan hakim. Harta yang telah diwakafkan menyebabkan wakif tidak mempunyai hak kepemilikan lagi, sebab kepemilikannya telah berpindah kepada Allah Swt dan tidak juga menjadi milik penerima wakaf (maukuf alaih). Bagi Imam Syafi'i, wakaf itu mengikat dan karenanya tidak bisa ditarik kembali atau diperjualbelikan, digadaikan, dan diwariskan oleh wakif. Dalam hubungannya dengan penarikan kembali wakaf oleh pemberi wakaf, Imam Syafi'i menggunakan metode istinbat hukum berupa hadis dari Yahya bin Yahya at-Tamimiy dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi' dari Ibnu Umar. Imam Syafi'i berpendapat bahwa akad wakaf termasuk akad lazim (atau mulazamah). Oleh karena itu, benda yang telah diwakafkan bukan lagi milik wakif, melainkan telah menjadi milik umum (atau milik Allah). Akibatnya adalah bahwa benda yang telah diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan karena memang ia bukan lagi milik perorangan, melainkan milik publik (umat). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf masih mengakomodasi pendapat Abu Hanifah meskipun pendapat tersebut telah ditinggalkan oleh penerusnya, Abu Yusuf. Dari segi kepemilikan, UU mengakui adanya wakaf dalam durasi tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa wakaf tidak mesti bersifat muabbad. Oleh karena itu, UU Nomor 41 tentang Wakaf mengakui adanya akad wakaf yang bersifat gayr lazim (tidak menyebabkan pindahnya kepemilikan benda wakaf) yang dipandang sama dengan al-'ariyah (pinjaman).
vii
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul: “PENARIKAN KEMBALI HARTA WAKAF OLEH PEMBERI WAKAF (Study Analisis Pendapat Imam Syafi'i)” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak H.A. Furqon, Lc, MA selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan 5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi ABSTRAK ................................................................................................... vii KATA PENGANTAR................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................. ix BAB I :
BAB II :
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
.................................................... 1
B. Perumusan Masalah
.................................................... 3
C. Tujuan Penelitian
.................................................... 3
D. Telaah Pustaka
.................................................... 3
E. Metode Penelitian
.................................................... 9
F. Sistematika Penulisan
.................................................... 12
WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM A. Definisi Wakaf dan Dasar Hukumnya ................................... 14 B. Syarat dan Rukun Wakaf .................................................... 21 C. Macam-Macam Wakaf
.................................................... 30
D. Manfaat Wakaf
.................................................... 34
E. Pendapat Para Ulama tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf ................................................... 38
ix
BAB III : PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG PENARIKAN KEMBALI HARTA WAKAF OLEH PEMBERI WAKAF A. Biografi Imam Syafi'I
..................................... 41
1. Latar Belakang Imam Syafi'i
..................................... 41
2. Pendidikan
..................................... 45
3. Karyanya
..................................... 46
B. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi'i .................................. 48 C. Pendapat Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf
..................................... 55
D. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf........................... 59 BAB IV : ANALISIS
PENDAPAT
IMAM
AL-SYAFI'I
TENTANG
PENARIKAN KEMBALI HARTA WAKAF OLEH PEMBERI WAKAF A. Analisis terhadap Pendapat Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf........................... 61 B. Metode Istinbat Hukum Imam al-Syafi'i tentang Penarikan Kembali Wakaf oleh Pemberi Wakaf mur ............................. 67 BAB V :
PENUTUP A. Kesimpulan
.................................................... 78
B. Saran-saran
.................................................... 79
C. Penutup
.................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Wakaf sebagai pranata dalam keagamaan Islam yang sudah mapan. Pembicaraan tentang penarikan kembali harta wakaf merupakan issue yang menarik untuk diteliti. Dalam hubungannya dengan pemberian wakaf oleh wakif, Imam Malik, Hambali dan Hanafi berpendapat bahwa wakaf tidak disyaratkan berlaku untuk selamanya, tetapi sah bisa berlaku untuk waktu satu tahun misalnya. Sesudah itu kembali kepada pemiliknya semula.1 Dengan demikian dalam pandangannya bahwa pemberi wakaf dapat menarik kembali wakafnya atau dapat memiliki kembali wakafnya. Berbeda dengan Imam Syafi'i yang melarang pemberi wakaf meminta kembali atau memiliki kembali wakaf yang sudah diberikan. Pernyataan Imam Syafi'i tentang tidak dapatnya penarikan kembali wakaf oleh pemberi wakaf dapat dilacak dalam kitabnya al-Umm dalam bab yang berjudul al-Ihbas. Hal ini sebagaimana ia nyatakan sebagai berikut:
( ) *) +,- ! ! "#$ %& ' . !-/ !0 !1 "#$ 2*3 4* 2
1
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 636. 2 Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. IV, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 53
1
2
Artinya: Imam Syafi'i berkata: pemberian yang sempurna dengan perkataan yang memberi, tanpa diterima oleh orang yang diberikan, ialah: apa, yang apabila dikeluarkan karena perkataan si pemberi, yang boleh atas apa yang diberikannya. Maka tidak boleh lagi si pemberi memilikinya sekali-kali, apa yang telah keluar perkataan itu padanya dengan cara apa pun.
Pernyataan Imam Syafi'i di atas menunjukkan bahwa wakaf tidak bisa dimiliki kembali oleh pemberi wakaf, wakaf bersifat abadi tidak boleh ada jangka waktu. Adapun metode istinbath hukumnya yaitu hadis dari Yahya bin Yahya at-Tamimiy dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi' dari Ibnu Umar.
5 6 !5 *7 .5 068)9 6 )8 ;: 180608)9 9 6 < 80>= 9? 81@:.A B8 : : 5 48 B6 #A .5 6)8 9 6 .9 05?8 8C#8 8$6 : 7 &5 8 *7?8 8 !5 06*:)8 !7* 7*F 8 G 51A*5 #9 48 )9 : : : : #8 48 )9 5 6 5 )8 ED 58C 6 )8 #8 48 )9 I 9 6 J8 : .6 : 8 165 A :&5 K 8 L 8 )6 : N M : O8 K 6 F 5 < 6 : #8 806P 8 5 5 57 9 6 H A ;: ,:54= T: 065?8 8 8 *:F 6 : U 6 5B6 8 *7?8 8 !5 06*:)8 !7* 7*F 8 S 51A : : : 8 5 Q 8 .A R 8 8: = : (WH1 XJ) 8 5#8 46 @: 3
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Said bin Abdurrahman dari Sufyan bin Uyainah dari Ubadillah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar, dia mengatakan: "Umar pernah berkata kepada Nabi saw.: "Sesungguhnya seratus bagian yang menjadi milikku di Khaibar itu adalah harta yang belum perah aku dapatkan dan sungguh aku bermaksud untuk mensedekahkan (mewakaf)kannya" dan Nabi Saw bersabda: wakafkanlah hasilnya". (HR. An-Nasa'i).
Yang menjadi masalah apakah yang menjadi latar belakang Imam Syafi'i berpendapat seperti itu, dan apa yang menjadi metode istinbath hukumnya. Inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat tema ini dengan 3 Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr an-Nasa’i, hadis No. 1320 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
3
judul: Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf (Study Analisis Pendapat Imam Syafi'i) B. Perumusan Masalah Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.4 Bertitik tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pendapat Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf? 2. Bagaimana metode istinbath hukum Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pendapat Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf 2. Untuk mengetahui metode istinbath hukum Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf D. Telaah Pustaka Berdasarkan hasil riset tidak dijumpai skripsi yang judul atau materi bahasanya hampir sama dengan penelitian yang hendak penulis susun. 4
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 312.
4
Penelitian-penelitian terdahulu belum menyentuh pendapat Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf. Penelitian yang dimaksud di antaranya: 1. Penelitian yang disusun Mamik Sunarti (NIM: 2101330) dengan judul: Analisis Hukum Islam terhadap Pemberdayaan Ekonomi Harta Wakaf (Studi Lapangan Harta Wakaf Masjid Agung Semarang). Pada intinya hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan harta wakaf Masjid Agung Semarang jauh dari kata ideal. Pemberdayaan masih dalam lingkup usaha yang terbatas seperti hanya dalam bentuk pemberdayaan SPBU, pembangunan pertokoan yang berlokasi di belakang Masjid Agung Semarang, dan penyewaan perkantoran. Dengan kata lain, pengelolaan dan pengembangan benda wakaf belum sesuai dengan harapan. Untuk membangun atau mengarahkan harta wakaf menjadi lebih bermanfaat, ada hambatan yang cukup berarti karena menyangkut kemampuan para pengelola harta wakaf. Sehingga ada kesan bahwa para pengelola harta wakaf masih lemah dalam aspek sumber daya manusia (SDM). Dalam kaitannya dengan hukum Islam, apabila harta wakaf sudah tidak memberikan manfa'at lagi, bolehkah benda wakaf itu ditukar dengan maksud diberdayakan menjadi produktif? Asy Syafi'i sendiri dalam masalah tukar menukar harta wakaf hampir sama dengan Imam Malik, yaitu sangat mencegah adanya tukar menukar harta wakaf. Imam Syafi'i menyatakan tidak boleh menjual masjid secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh. Tapi golongan Syafi'i berbeda pendapat tentang harta wakaf
5
yang berupa barang tak bergerak yang tidak memberi manfaat sama sekali: (1) sebagian menyatakan boleh di tukar agar harta wakaf itu ada manfaatnya; (2) sebagian menolaknya. Dengan demikian dalam perspektif golongan Syafi'i, bahwa secara hukum pendapat yang pertama membolehkan menukar, mengganti, merubah penggunaan dan peruntukan benda wakaf. Sedangkan pendapat golongan yang kedua dari golongan Syafi'i tidak membolehkannya dan harus sesuai dengan isi pesan wakif 2. Penelitian yang disusun Amalia (NIM: 2101244) dengan judul: Analisis Hukum Islam tentang Sengketa Tanah Wakaf dan Hibah Aset Yayasan alAmin Kab. Blora. Pada intinya hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa status kepemilikan tanah wakaf dan hibah aset Yayasan al-Amin Kab. Blora berada dalam sengketa yang berkepanjangan antara keluarga almarhum pemberi wakaf dan hibah dengan yayasan. Atas dasar ini maka ditinjau dari hukum Islam (fiqih muamalah) status kepemilikan tanah wakaf aset Yayasan al-Amin Kabupaten Blora termasuk milk naqish (pemilikan tidak sempurna) karena pada prinsipnya, wakaf termasuk kategori milk naqish. Di samping itu keluarga almarhum pemberi wakaf juga berpendapat bahwa yayasan hanya memiliki hak memiliki benda itu akibat tidak dipenuhinya syarat al-aqd. Cara pemanfaatan tanah wakaf dan hibah di Yayasan al-Amin Kabupaten Blora belum didayagunakan secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: (a) tanah masih dipersengketakan; (b) ada pemahaman di masyarakat bahwa tanah wakaf itu tidak boleh dialih
6
fungsikan. Pemahaman ini dipengaruhi oleh adanya pendapat mazhab Syafi'i yang tidak boleh mengalih fungsikan tanah wakaf. 3. Penelitian yang disusun Lukman Zein (NIM. 2101107) dengan judul: Studi Analisis Pendapat Mazhab Hanafi tentang Wakaf oleh Orang Safih. Pada intinya hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa menurut Mazhab Hanafi, seorang safih sah mewasiatkan 1/3 dari hartanya apabila dia punya ahli waris. Keabsahan tersebut dengan syarat dia berwasiat agar dipergunakan dalam berbagai hal kebaikan seperti untuk memberi nafkah fakir miskin, untuk membangun sanatorium, jembatan, masjid dan lain sebagainya. Akan halnya bila dia berwasiat untuk tempat permainan, club dan lain sebagainya, maka wasiatnya batal; tidak lulus". Pendapat mazhab Hanafi tersebut mengisyaratkan, seorang safih dibolehkan mewakafkan hartanya dengan ketentuan: pertama, benda yang hendak diwakafkan tidak boleh melebihi dari satu pertiga keseluruhan harta yang dimiliki; kedua, benda yang diwakafkan itu dimaksudkan untuk hal-hal yang sifatnya mendatangkan kebaikan yaitu tidak bertentangan dengan ketentuan al-Qur'an dan hadis. Dengan demikian, apabila orang safih mewakafkan harta diperuntukkan bagi jalan kemaksiatan maka wakafnya batal. Secara umum dapat diterangkan bahwa dasar istinbat hukum mazhab Hanafi adalah (1) al-Qur'an; (2) Sunnah Rasulullah; (3) Fatwafatwa dari para sahabat; (4) Istihsan; (5) Ijma'; (6) Urf.
Sedangkan
istinbat hukum secara khusus yang berkaitan dengan wakaf bagi orang
7
safih adalah (a) Sumber/dalil pokok yakni firman Allah Swt dalam alQur'an surat an-Nisa ayat 6. (b) Qiyas. Adapula buku-buku yang membahas tentang wakaf, akan tetapi secara spesifik dan mendalam membahas syarat-syarat wakaf, di antaranya: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dalam undang-undang ini diatur tentang dasar-dasar wakaf, pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf, perubahan status harta benda wakaf, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dan lain-lain. Demikian pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI/Inpres No. 1/1991) diatur tentang fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, tata cara perwakafan dan pendaftaran benda wakaf, kewajiban dan hak-hak Nadzir, dan lain-lain. 2. Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in. Menurut penyusun kitab ini bahwa tidak disyaratkan adanya qabul walaupun dari mauquf alaih yang telah tertentu orangnya, karena mengingat bahwa wakaf adalah suatu ibadah. Tapi yang disyaratkan adalah tidak adanya penolakan.5 3. Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial. Dalam buku ini dijelaskan bahwa ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah atau benda miliknya (ps. 1 (3) PP No. 28/1977 jo. ps. 215 (3) KHI). Pernyataan atau ikrar wakaf ini 5
Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Qarîb al-Mujîb, Beirut: Dâr al-Ihya al-Kitab, tth, hlm. 353
8
harus dinyatakan secara tegas baik lisan maupun tertulis, dengan redaksi "aku mewakafkan" atau "aku menahan" atau kalimat yang semakna lainnya. Ikrar ini penting, karena pernyataan ikrar membawa implikasi gugurnya hak kepemilikan wakif, dan harta wakaf menjadi milik Allah atau milik umum yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf itu sendiri. Karena itu, konsekuensinya, harta wakaf tidak bisa dihibahkan, diperjualbelikan, atau pun diwariskan. Secara teknis, ikrar wakaf diatur dalam pasal 5 PP 28 / 1977 jo. pasal 218 KHI: (1). Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Aktra Ikrar Wakaf (AIW) dengan disaksikan oleh sekurangkurangnya 2 (dua) orang saksi. (2). Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.6 4.
Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia. dalam buku ini dipaparkan, sighat akad ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Wakaf adalah tasharruf/tabarru' yang selesai dengan adanya ijab saja tanpa harus
6
Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 324
9
diikuti qabul. Jadi sighat wakaf ialah sesuatu yang datang dari wakif yang menyatakan terjadinya wakaf.7 Dari berbagai kepustakaan di atas menunjukkan bahwa penelitian terdahulu berbeda dengan saat ini karena penelitian ini mengambil tema: Pendapat Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf. E. Metode Penelitian Penelitian ini pada prinsipnya bersifat deskriptif analisis yaitu sebagai prosedur
pemecahan
masalah
yang
diselidiki,
dengan
menggambarkan/melukiskan keadaan objek penelitian pada sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Metode deskriptif memusatkan perhatiannya pada penemuan fakta-fakta (fact finding) sebagaimana keadaan nsebnearnya.8 Metode ini diaplikasikan dengan cara membandingkan pendapat Imam Syafi'i dengan dinamika perkembangan wakaf dewasa ini. Dari perbandingan ini dapat ditemukan persamaan, perbedaan, kelebihan dan kekurangan masing-masing. 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumbersumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan library research menurut Sutrisno Hadi, adalah suatu riset kepustakaan atau
7
Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Pasuruan Jawa Timur: GBI (Anggota IKADI), 1994, hlm. 26 8 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996, hlm. 73.
10 penelitian murni.9 Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti kitab/buku, majalah, dan lain-lain. 2. Sumber Data a. Data Primer, yaitu data yang langsung yang segera diperoleh dari sumber data oleh penyelidik untuk tujuan yang khusus itu.10 Data yang dimaksud adalah karya-karya Imam Al-Syafi'i yang berhubungan dengan judul di atas di antaranya: (1) Al-Umm. (2) Kitab al-Risalah. Yang akhir ini merupakan kitab ushul fiqh yang pertama kali dikarang dan karenanya Imam Syafi’i dikenal sebagai peletak ilmu ushul fiqh. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran beliau dalam menetapkan hukum.11 b. Data Sekunder, yaitu data yang telah lebih dahulu dikumpulkan oleh orang diluar diri penyelidik sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu sesungguhnya adalah data yang asli.12 Dengan demikian data sekunder yang relevan dengan judul di atas, di antaranya: literatur lainnya yang relevan dengan judul di atas, di antaranya: Kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid; Kifayah al-Akhyar; Fatul Mu'in; Tafsir Ayat Ahkam; Mazahib al-Arba'ah; I'anah at-Talibin; Subulus Salam; Nail al-Autar; Fathul Bari Syarah Sahih al-Bukhari.
9
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi, UGM, 1981, hlm. 9. 10 Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik, Edisi 7, Bandung: Tarsito, 1989, hlm. 134-163. 11 Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132 12 Ibid
11
3. Metode Pengumpulan Data Karena penelitian ini merupakan penelitian terhadap pendapat Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf, maka pengumpulan data dilakukan dalam bentuk penelitian kepustakaan (library research). Dalam hal ini penggunaan kepustakaan meliputi di dalamnya seperti buku-buku, skripsi, tesis, majalah, surat kabar yang ada relevansinya dengan tema skripsi ini. 4. Metode Analisis Data Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis. Dengan deskriptif dimaksudkan, bahwa semua ide pemikiran pendapat Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf diuraikan secara apa adanya, dengan maksud untuk memahami jalan pikiran dan makna yang terkandung dalam konsep pemikirannya. Dengan metode analisis tersebut dimaksudkan bahwa semua bentukbentuk istilah dan pemikiran Imam Syafi'i tentang penarikan kembali wakaf oleh pemberi wakaf, peneliti analisis secara cermat dan kritis. Ini sebagai langkah untuk menemukan pengertian-pengertian yang tepat mengenai Imam Syafi'i. Penulis juga menggunakan metode hermeneutika, yaitu dalam hal ini bagaimana menjelaskan isi sebuah teks keagamaan kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan kurun waktu yang jauh berbeda dari si
12 empunya.13 Dalam konteks ini, analisis sedapat mungkin dengan melihat latar belakang sosial budaya, konteks pembaca dan teks dalam rentang waktu yang jauh dengan konteks masa kini sehingga isi pesan menjadi jelas dan relevan dengan kurun waktu pembaca saat ini. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masingmasing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara global namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika Penulisan. Bab kedua berisi landasan teori yang meliputi definisi wakaf dan dasar hukumnya, syarat dan rukun wakaf, macam-macam wakaf, manfaat wakaf, pendapat para ulama tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf. Bab ketiga berisi pendapat Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf yang meliputi biografi Imam Syafi’i (latar belakang kehidupan dan pendidikan, karya-karyanya, situasi politik dan sosial keagamaan), pendapat Imam Syafi’i tentang penarikan kembali harta wakaf
13
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,, Jakarta: Paramadina, 1996, hlm. 14.
13
oleh pemberi wakaf, metode istinbath hukum Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf. Bab keempat berisi analisis pendapat Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf yang meliputi analisis atas pendapat Imam Syafi’i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf, metode istinbath hukum Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan penutup.
BAB II WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM
A. Definisi Wakaf dan Dasar Hukumnya Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam yang sudah mapan. Dalam hukum Islam, wakaf termasuk ke dalam kategori ibadah sosial (ibadah ijtimaiyyah).1 Secara bahasa wakaf berasal dari kata waqafa yang artinya al-habs (menahan).2 Dalam pengertian istilah, wakaf adalah menahan atau menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.3 Menurut Sayyid Sabiq wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.4 Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal,
lalu
menjadikan
manfaatnya
berlaku
umum.5
Wakaf
adalah
menghentikan pengalihan hak atas suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah.6 Adapun menurut Pasal 6 UU No. 14 Tahun 2004 (Tentang Wakaf) bahwa wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: (wakif, nazhir, harga benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf, jangka waktu wakaf). 1 Departemen Agama, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan Haji, 2003, hlm. 1 2 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, tth, hlm. 307. Lihat juga Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in, Semarang: Toha Putera , tth, hlm. 87. 3 Imam Taqiyuddin Abu Bakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah Al Akhyar, Juz 1, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th., hlm. 319. 4 Sayyid Sabiq, loc. cit., 5 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 635 6 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 223
14
15
Dari rumusan pengertian di atas terlihat bahwa dalam Fiqh Islam, wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai benda. Walaupun berbagai riwayat atau hadis yang menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tapi para ulama memahami bahwa wakaf non tanah pun boleh saja asal bendanya tidak langsung musnah atau habis ketika diambil manfaatnya.7 Dari berbagai rumusan di atas pula dapat disimpulkan bahwa wakaf ialah menghentikan (menahan) perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama, sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan Allah swt. Adapun dasar hukum wakaf dapat dilihat dalam al-Qur'an, di antaranya dalam surat Ali Imran ayat 92:
! "# $%& ! "'( ! )'*+ ,' % "! (12 :,( ./) Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (Q.S. ali-Imran: 92). 8 Rasulullah saw bersabda:
; # ) 9 : . ;5 . "< . "< 45 6 , 7, 8 # F# 5 # %D "E"C * + # "=?"@A : B %; "=;, > %*+ (L5"M% K#5)J "C + G " H 7 ? I 9
7
Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 26. 8 Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 91 9 Abu Abdillâh al-Bukhâry, Sahîh al-Bukharî, hadis No. 1621 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
16
Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa mewakafkan seekor kuda di jalan Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan maka makanannya, tahinya dan kencingnya itu menjadi amal kebaikan pada timbangan di hari kiamat (HR. al-Bukhari). Hadis di atas menunjukkan bahwa wakaf merupakan salah satu ibadah yang pahalanya tidak akan putus sepanjang manfaat harta yang diwakafkan itu masih dapat diambil, meskipun si pelaku wakaf sudah meninggal dunia. Oleh sebab itu wakaf tergolong ke dalam kelompok amal jariyah (yang mengalir). Kata waqaf digunakan dalam al-Qur'an empat kali dalam tiga surat yaitu QS. Al-An'am, 6: 27, 30, Saba', 34: 31, dan al-Saffat, 37 : 24. Ketiga yang pertama artinya menghadapkan (dihadapkan), dan yang terakhir artinya berhenti atau menahan, "Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya". Konteks ayat ini menyatakan proses ahli neraka ketika akan dimasukkan neraka.10 Wakaf yang bentuk jama’-nya auqâf berasal dari kata benda abstrak (masdar) atau kata kerja (fi’il) yang dapat berfungsi sebagai kata kerja transitif (fi’il muta’addi) atau kata kerja intransitif (fi’il lazim), berarti menahan atau menghentikan sesuatu dan berdiam di tempat.11 Dengan kata lain, perkataan waqf yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Arab: waqafa – yaqifu – waqfan yang berarti ragu-ragu, berhenti, memperhentikan,
memahami,
mencegah,
menahan,
mengatakan,
memperlihatkan, meletakkan, memperhatikan, mengabdi dan tetap berdiri.12
10
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997,
hlm. 481. 11
Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 120. Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1576. 12
17
Kata al-waqf semakna dengan al-habs bentuk masdar dari habasa – yahbisu – habsan, artinya menahan.13 Pengertian di atas tidak berbeda dengan Sayyid Sabiq yang berpendapat bahwa secara bahasa wakaf berasal dari kata waqafa adalah sama dengan habasa. Jadi al-waqf sama dengan al-habs yang artinya menahan.14 Pengertian yang sama dikemukakan oleh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam kitab Minhâj al-Muslim, bahwa menurut bahasanya, "wakaf" berarti menahan.15 Dalam pengertian istilah, dalam kitab Kifayah Al Akhyar dirumuskan:
U S,T* OR " Q O"*?P N@ ." >%+ X"D! : XA ",! W V D" S,T!# 16
Artinya: “Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan (memotong) tasharuf (pengelolaan) dalam penjagaannya atas muthosorif (pengelola) yang dibolehkan adanya.” Menurut Mundzir Qahaf, wakaf adalah menahan harta baik secara abadi maupun sementara, untuk dimanfaatkan langsung atau tidak langsung, dan diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang di jalan kebaikan untuk umum atau khusus.17 Sejalan dengan itu Maulana Muhammad Ali merumuskan wakaf sebagai penetapan yang bersifat abadi untuk memungut
13
Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 490. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Beirut: Dar al-Fikr, tth, hlm. 307. 15 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhâj al-Muslim, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 2004, hlm. 343. 16Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah Al Akhyar, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 319. 17 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Muhyiddin Mas Rida, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, hlm. 52. 14
18
hasil dari barang yang diwakafkan guna kepentingan orang seorang, atau yang bersifat keagamaan, atau untuk tujuan amal.18 Menurut Sayyid Sabiq, wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.19 Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum.20 Menurut Amir Syarifuddin, wakaf adalah menghentikan pengalihan hak atas suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah.21 Sedangkan menurut Al-Shan'ani, wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.22 Dari rumusan pengertian di atas terlihat bahwa dalam Fiqih Islam, wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai benda. Walaupun berbagai riwayat/hadis yang menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tapi berbagai ulama memahami bahwa wakaf non tanah pun boleh saja asal bendanya tidak langsung musnah/habis ketika diambil manfaatnya.23 Dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya 18 Maulana Muhammad Ali, Islamologi, (Dinul Islam), Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1976, hlm. 467. 19 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 307. 20 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 635 21 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 233 22 Al-San'any, Subul al-Salam, Juz III, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi alHalabi, 1950, hlm. 87. 23 Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 26.
19
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau/kesejahteraan umum menurut syari’ah.24 Dalam butir 1 pasal 215 KHI (INPRES No. 1/1991), disebutkan, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.25 Dari berbagai rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf ialah menghentikan (menahan) perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama, sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan Allah Swt. Dasar hukum wakaf dapat dilihat dalam al-Qur'an, di antaranya dalam surat al-Baqarah, 2: 267,
\ N "] , ^ [ "'( # *%C _ " J "%\` ?[ / 7 Y "Z$7[ "7 a (b ! [ P A 7 Y^ c *C# ! d %M ('(! P # e 5 gf {2lm} h (+ i j [ ( # Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".26 24
Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Jakarta: Harvarindo, 2005, hlm. 2. 25 Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media, 2005, hlm. 68. 26 Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 67.
20
Surat al-Baqarah, 2: 261,
B "; Q %; o *%?[ G %'+ B p( _ B %; Z [ 7 7 Y B p' Q ; # # q "r7 ( s "a7 # G %'+ G t\ G %; Bu _ {2lv} Artinya: "Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui".27 Surat Ali-Imran, 3: 92:
! "# $%& ! "'( ! )'*+ ,' % "! (12 :,( ./) Artinya: "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya". (Q.S. Ali-Imran: 92). 28 Ayat-ayat al-Qur'an tersebut, menurut pendapat para ahli, dapat dipergunakan sebagai dasar umum lembaga wakaf.29 Itulah sebabnya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan surat Ali-Imran ayat 92 dengan menyatakan bahwa setelah ayat ini turun, maka sangat besar pengaruhnya kepada sahabat-sahabat Nabi Saw dan selanjutnya menjadi pendidikan batin yang mendalam di hati kaum muslimin yang hendak memperteguh keimanannya.30
27
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 65. 28 Ibid, hlm. 91 29 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, hlm. 81. 30 Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz IV, Jakarta:PT Pustaka Panji Mas, 1999, hlm. 8
21
Adapun salah satu hadis yang berbicara tentang wakaf yang secara umum bermaksud menjelaskan wakaf yaitu: Rasulullah Saw bersabda:
"Fzh+ "< ,|+ # hD; {D7 G%*<# w7[ xy "Fzh+ : .;5 [ 6,7,8 }[ [ ~D ,D] 8 BD(;A GF~F P A ( Q? "C? J" A ."< ;# : ) 9 ( C K#5) h7 "9 h# # [ Q*7 # [ G75"] G
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Ayyub dan Qutaibah Ya'ni bin Sa'id dan Ibnu Hujrin dari Ismail Ibnu Ja'far dari al-'Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah ra. (katanya) sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: apabila manusia sudah mati, maka putuslah amalnya kecuali dari tiga macam, yaitu sedekah jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak yang saleh yang mendo'akannya". (HR. Muslim). Berdasarkan hadis di atas menunjukkan bahwa wakaf merupakan salah satu ibadah yang pahalanya tidak akan putus sepanjang manfaat harta yang diwakafkan itu masih dapat diambil, meskipun si pelaku wakaf sudah meninggal dunia. Oleh sebab itu wakaf tergolong ke dalam kelompok amal jariah (yang mengalir). B. Syarat dan Rukun Wakaf Untuk memperjelas syarat dan rukun wakaf maka lebih dahulu dikemukakan pengertian syarat dan rukun baik dari segi etimologi maupun terminologi. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun
31
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh Muslim, Juz III, Mesir: Tijariah Kubra, tth, hlm. 73.
22
dilakukan."32 Menurut Satria Effendi M. Zein, bahwa menurut bahasa, syarat adalah sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai tanda,33 melazimkan sesuatu.34 Secara terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum.35 Hal ini sebagaimana dikemukakan Abd al-Wahhab Khalaf,36 bahwa syarat adalah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksudkan adalah keberadaan secara syara’, yang menimbulkan efeknya. Hal senada dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, asy-syarth (syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak pasti wujudnya hukum.37 Sedangkan rukun, dalam terminologi fikih, adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin tertentu, di mana ia merupakan bagian integral dari disiplin itu sendiri. Atau dengan kata lain rukun adalah penyempurna sesuatu, di mana ia merupakan bagian dari sesuatu itu.38
32
Ibid., hlm. 1114. Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 64 34 Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 34 35 Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, 33
hlm. 50 36
Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, hlm. 118. Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 59. 38 Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006, hlm. 25. 37
23
Adapun unsur (rukun) wakaf dan syarat yang menyertainya adalah sebagai berikut: 1. Waqif (orang yang mewakafkan). Syarat wakif adalah sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, dan telah mencapai umur baligh.39 Wakif adalah pemilik sempurna harta yang diwakafkan.40 Dalam versi pasal 215 (2) KHI jo. pasal 1 (2) PP 28/1977 dinyatakan: "Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya". Adapun syarat-syarat wakif adalah: (1)
Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum (Pasal 3 Peraturan Pemerintah 28/1977).
39
Abi Yahya Zakariya al-Anshary, Fath al-Wahhab, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, , hlm.
256 40
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997,
hlm. 493.
24
Sebagai ibadah tabarru' (mendermakan harta), wakaf memang tidak mengharuskan adanya qabul, hal ini sebagaimana dinyatakan Sayyid Sabiq:
,r s< HI GbT" ?#[ s< ) .h7 " s< BD # BD G 8g B"_ N7
G,T! T7 R s< N7 [
S< .%< XA K"D? U "*y P# 5"*^P# G7,# O %# 41
Artinya: Bila seorang yang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah wakaf itu, dengan syarat orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Untuk terjadinya wakaf ini tidak diperlukan qabul dari yang diwakafi.
Meskipun demikian, ini harus dipahami dan jangan sampai salah dalam interpretasi (penafsiran) bahwa dalam pelaksanaannya, wakaf perlu disertai dengan bukti-bukti tertulis, agar tindakan hukum wakaf mempunyai kekuatan hukum dan menciptakan tertib administrasi. Dasarnya pun sebenarnya sangat jelas, karena ayat muamalah dalam QS. al-Baqarah 282, tentang perintah mencatat dalam urusan utang piutang, dapat menjadi analogi dalam pencatatan wakaf.42
*N# K%*_" )(C $ B ] [ )A 7h *7h! A / 7 Y "Z$7[ "7
( "(_ *N7 [ ! "_ w
7 P # . h D " ! "_ N ' "Et > M %7 P # '5 *'# $ & L Y B ( # *N 8 B ( 7 [ Q *C 7 P # [ "E D4 # [ "EZ ; $ & L Y "_ 41
Sayyid Sabiq, Juz 3, op.cit., hlm. 309. Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, op. cit, hlm. 322.
42
25
"?N7 N "]5\ 7h Z #h Zr *; # . h D " $ # B ( "(8h+ A B a ! [ hZ r $ 4 , ! (' "![, # B ], ]5 [
C ! P # " A hZ r $ w
7 P # ,^ gq "(8h+ A , _u Y * 6 "Zr ' H<[# h C < [ N ] [ )A E %_ #[ E b9 K%*N! > N "Z?#,7 h! 6E , 4 "+ 6E 5 "|! N! [ P A "!, ! P [ )? [# P # ! "_ 5' ca7 P # *D7"%! A # h Z [# "8%*N! P [ "] N Bu N # N(u D 7# !'# N C '? D ! A# h Z (22 :6,%) Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaknya walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (tulislah muamalahmu itu) kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu;
26
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS. Al-Baqarah, 2: 282).43 2. Mauquf atau benda yang diwakafkan Syarat-syarat harta benda yang diwakafkan yang harus dipenuhi sebagai berikut: a. Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali pakai; b. benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum; c. hak milik wakif yang jelas batas-batas kepemilikannya; d. benda wakaf itu dapat dimiliki dan dipindahkan kepemilikannya; e. benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahat yang lebih besar; f. benda wakaf tidak dapat diperjual belikan, dihibahkan atau diwariskan.44 3. Mauquf 'alaih (tujuan wakaf) Untuk menghindari penyalahgunaan wakaf, maka wakif perlu menegaskan tujuan wakafnya. Apakah harta yang diwakafkan itu untuk menolong keluarganya sendiri sebagai wakaf keluarga (waqf ahly), atau untuk fakir miskin, dan lain-lain, atau untuk kepentingan umum (waqf khairy). Yang jelas tujuannya adalah untuk kebaikan, mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.45 Kegunaan wakaf bisa untuk sarana ibadah murni, bisa juga untuk sarana sosial keagamaan lainnya yang lebih besar manfaatnya. Karena itu, wakaf tidak bisa digunakan untuk kepentingan maksiat, membantu, mendukung atau yang memungkinkan untuk tujuan maksiat.
43
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., hlm. 70. Jika benda wakaf dapat seenaknya diperjual belikan, dihibahkan atau diwariskan maka hal ini akan membuat tidak percaya lagi bagi masyarakat dan khususnya pemberi wasiat. 45 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, op. cit., hlm. 323 44
27
Menurut Abu Yahya Zakariya, menyerahkan wakaf kepada orang yang tidak jelas identitasnya adalah tidak sah.46 Faktor administrasi, kecermatan, dan ketelitian dalam mewakafkan barang menjadi sangat penting, demi keberhasilan tujuan dan manfaat wakaf itu sendiri. Alangkah ruginya, jika niat yang baik untuk mewakafkan hartanya, tetapi kurang cermat dalam tertib administrasinya, mengakibatkan tujuan wakaf menjadi terabaikan. Jika tertib administrasi ini ditempatkan sebagai wasilah (instrumen) hukum, maka hukumnya bisa menjadi wajib. Sebagaimana aksioma hukum yang diformulasikan para ulama "li al-wasail hukm al-maqashid" artinya "(hukum) bagi perantara, adalah hukum apa yang menjadi tujuannya".47 4. Sighat (Ikrar atau Pernyataan Wakaf) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah atau benda miliknya (ps. 1 (3) PP No. 28/1977 jo. ps. 215 (3) KHI). Pernyataan atau ikrar wakaf ini harus dinyatakan secara tegas baik lisan maupun tertulis, dengan redaksi "aku mewakafkan" atau "aku menahan" atau kalimat yang semakna lainnya. Ikrar ini penting, karena pernyataan ikrar membawa implikasi gugurnya hak kepemilikan wakif, dan harta wakaf menjadi milik Allah atau milik umum yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf itu sendiri.48 Karena itu, konsekuensinya, harta wakaf tidak bisa dihibahkan, diperjualbelikan, atau pun diwariskan. 46
Ibid, hlm. 324. Ibid., hlm. 324. 48 Ibid., hlm. 497 47
28
Secara teknis, ikrar wakaf diatur dalam pasal 5 PP 28/1977 jo, pasal 218 KHI: (1). Pihak yang mewakafkan atau wakif tanahnya mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) sebagaimana maksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf (AIW) dengan disaksikan oleh minimal dua orang saksi. (2). Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.49 5. Nadzir (Pengelola) Wakaf Nadzir meskipun dibahas di dalam kitab-kitab fiqh, namun tidak ada yang menempatkannya sebagai rukun wakaf. Boleh jadi karena wakaf adalah tindakan tabarru', sehingga prinsip "tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu mengetahui" sering diposisikan sebagai dasar untuk merahasiakan tindakan wakaf. Padahal sebenarnya tertib administrasi tidak selalu identik dengan memamerkan wakaf yang dilakukannya. Bahkan hemat saya, mempublikasikan tindakan sedekah termasuk di dalamnya wakaf adalah baik-baik saja, meskipun menyembunyikannya itu lebih baik.50 Firman Allah dalam Surat al-Baqarah, ayat 271:
49
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997,
hlm. 498 50
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, op.cit., hlm. 325.
29
, ^ Z , "8!!# "8M ! A# 8 "'(D J "
51
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 68. Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, op. cit., hlm. 326. 53 Ibid 52
30
mungkin memiliki kepribadian yang amanah. Atau supaya amanahnya tetap terjaga, nadzir, sebaiknya dilaksanakan nadzir secara kolektif.
C. Macam-Macam Wakaf Ditinjau dari segi ditujukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam: 1. Wakaf ahli: wakaf yang ditujukan untuk anak cucu atau kaum kerabat, kemudian sesudah mereka itu ditujukan untuk orang-orang fakir. Wakaf seperti ini juga disebut wakaf dzurri.54 Apabila ada seorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Dalam satu segi wakaf ahli/dzurri ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari silatur rahimnya.55 Rasulullaah SAW pernah memberi saran kepada Abu Thalhah agar wakafnya diberikan kepada ahli kerabat, seperti hadis riwayat Muslim di bawah ini.
"_ .7 " >?[ Q z?[ G& ` }[ : h% &;A )+, A [ z +[ "_# P" G7h(" L z 5"T?[ ,p_[ G& ` [ ;# ) 9 : .;5 "_# h|C( G %*C o ?"_# ) G7c KY8 o I? "z( >?[ ."< z` "Z " w,r7# "Z ^h7 54
Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 307. Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Jakarta: PT Garoeda Buana, 1992, hlm. 3. 55
31
) 9 : .;5 XA G& ` [ H"< ( %z "zR ! )z*+ Wz "! ! )z*+ Wz "! ) "*_ V .7 : A ." ;# "8z, ]5[ G
5"<[ V G& ` [ "Z(C ,<
V "Z D [ 5[ z?A# "Z o < ( C K#5) z( {# 56
Artinya: Bersumber dari Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah, beliau mendengar Anas bin Malik berkata: "Dulu, Abu Thalhah adalah seorang shahabat Anshar yang paling banyak hartanya di Medinah. Dan harta yang paling dia sukai adalah kebun Bairaha yang menghadap ke mesjid. Rasulullah saw. biasa masuk ke kebun itu untuk minum airnya yang tawar. Ketika turun ayat berikut: "Sekali-kali kalian tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebahagian harta yang kalian cintai..." (Ali Imran, ayat 92), Abu Thalhah datang kepada Rasulullah saw. dan berkata: "Allah telah berfirman dalam KitabNya. Sekali-kali kalian tidak sampai kepada kebaikan yang sempurna sebelum kalian menafkahkan sebahagian harta yang kalian cintai, sedangkan harta yang paling kucintai adalah kebun Bairaha, maka kebun itu kusedekahkan karena Allah. Aku mengharapkan kebaikan dan simpanannya (pahalanya nanti di akherat) di sisi Allah. Oleh sebab itu, pergunakanlah kebun itu, ya Rasulallah, sekehendakmu." Rasulullah saw. bersabda: "Bagus itu adalah harta yang menguntungkan, itu adalah harta yang menguntungkan Aku telah mendengar apa yang engkau katakan mengenai kebun itu. Dan aku berpendapat, hendaknya kebun itu engkau berikan kepada para kerabatmu." Abu Thalhah pun membagi kebun itu dan memberikan kepada para kerabatnya dan anak-anak pamannya. (HR. Muslim)
56
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Juz. II, op.cit.,
hlm. 79.
32
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa wakaf ahli ini adalah wakaf yang sah dan telah dilaksanakan oleh kaum muslimin. Yang berhak mengambil manfaat wakaf ahli ialah orang-orang yang tersebut dalam sighat wakaf. Persoalan yang bisa timbul kemudian dari para wakaf ahli ini, ialah bila orang yang tersebut dalam sighat wakaf itu telah meninggal dunia, atau ia berketurunan jika dinyatakan bahwa keturunan berhak mengambil manfaat wakaf itu, atau orang-orang tersebut tidak mengelola atau mengambil manfaat harta wakaf itu.57 Bila terjadi keadaan yang demikian, maka biasanya harta wakaf itu dikembalikan pada tujuan wakaf pada umumnya, yaitu dimanfaatkan untuk menegakkan agama Allah atau untuk keperluan sosial. Contohnya ialah A mewakafkan sebidang tanahnya kepada keluarga B. Pada suatu saat kemudian dari keluarga B punah, tidak seorangpun yang tinggal, maka harta wakaf itu dikembalikan kepada Allah dan digunakan untuk kepentingan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah.58 Sekalipun agama Islam membolehkan wakaf ahli, tetapi negaranegara Islam, seperti Mesir, Syiria dan negara-negara lain yang pernah melaksanakannya, mengalami kesulitan-kesulitan di kemudian hari dalam menyelesaikan perkara atau persoalan yang timbul karenanya. Karena itu Mesir menghapuskan lembaga wakaf ahli ini dengan Undang-Undang No. 180 tahun 1952, sedang Syiria telah menghapuskan sebelumnya. Karena
57
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, Jilid 3, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 199. Ibid., hlm. 199
58
33
itu perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya wakaf ahli di Indonesia pada masa-masa yang akan datang.59 2. Wakaf Khairi: wakaf yang diperuntukkan kebaikan semata-mata.60 Dengan kata lain wakaf khairi merupakan wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan. Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolahan, jembatan, rumah sakit, panti asuhan, anak yatim dan lain sebagainya. Wakaf khairi adalah wakaf yang lebih banyak manfaatnya dari pada wakaf ahli, karena tidak terbatas pada satu orang/kelompok tertentu saja, tetapi manfaatnya untuk umum, dan inilah yang paling sesuai dengan tujuan perwakafan. Dalam wakaf khairi, si wakif dapat juga mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan.61 Seperti wakaf masjid maka si wakif boleh saja di sana, atau mewakafkan sumur, maka si wakif boleh mengambil air dari sumur tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi dan sahabat Utsman bin Affan. Wakaf khairi atau wakaf umum inilah yang paling sesuai dengan ajaran Islam dan yang dianjurkan pada orang yang mempunyai harta untuk melakukannya guna memperoleh pahala yang terus mengalir bagi orang yang bersangkutan kendatipun ia telah meninggal dunia, selama wakaf itu masih dapat diambil manfaatnya. Bentuk-bentuknya tersebut di atas, wakaf khairi ini jelas merupakan wakaf yang benar-benar dapat dinikmati manfaatnya 59
oleh
masyarakat
dan
merupakan
Ibid., hlm. 200. Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 307. 61 Faishal Haq dan Saiful Anam, op. cit., hlm. 6 – 7. 60
salah
satu
sarana
34
penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan.62
D. Manfaat Wakaf Wakaf memiliki hikmah yang sangat besar, dan pahala yang diterima oleh mereka yang melakukannya adalah amat besar pula. Sebagian orang miskin tidak mampu untuk mencari nafkah dikarenakan lemahnya kekuatan yang mereka miliki, yang disebabkan karena sakit atau yang lainnya, seperti halnya para wanita yang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan pekerjaan sebagaimana para lelaki. Mereka adalah orang-orang yang sangat berhak mendapatkan cinta dan belas kasihan. Apabila diwakafkan kepada mereka sejumlah harta atau sedekah, maka hal itu akan sangat membantu mereka untuk bisa terlepas dari belenggu kemiskinan, sehingga beban kehidupan mereka akan menjadi lebih ringan. Orang yang mewakafkan hartanya akan mendapatkan pahala dari Allah di hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, yaitu di hari di mana amal perbuatan ditimbang.63 Al-Qur'an tidak pernah menjelaskan secara spesifik dan tegas tentang wakaf. Hanya saja, karena wakaf itu merupakan salah satu bentuk kebajikan melalui harta benda, maka para ulama pun memahami bahwa ayat-ayat AlQur'an yang memerintahkan pemanfaatan harta untuk kebajikan juga
62
Muhammad Daud Ali, op. cit., hlm. 91 – 92. Syeikh Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuh, Juz II, Beirut: Dâr alFikr, 1980, hlm. 131. 63
35
mencakup kebajikan melalui wakaf.64 Wakaf adalah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan untuk jalan kebaikan.65 Untuk itu wakaf hikmahnya besar sekali antara lain: a
Harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin kelangsungannya. Tidak perlu khawatir barangnya hilang atau pindah tangan, karena barang wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Orang yang berwakaf sekalipun sudah meninggal dunia, masih terus menerima pahala, sepanjang barang wakafnya itu masih tetap ada dan masih dimanfaatkan.
b
Wakaf merupakan salah-satu sumber dana yang penting yang besar sekali manfaatnya bagi kepentingan agama dan umat. Antara lain untuk pembinaan kehidupan beragama dan peningkatan kesejahteraan umat Islam, terutama bagi orang-orang yang tidak mampu, cacat mental/fisik, orang-orang yang sudah lanjut usia dan sebagainya yang sangat memerlukan bantuan dari sumber dana seperti wakaf itu.66 Mengingat besarnya manfaat wakaf itu, maka Nabi sendiri dan para sahabat dengan ikhlas mewakafkan masjid, tanah, sumur, kebun dan kuda milik mereka pribadi. Jejak (sunah) Nabi dan para sahabatnya itu kemudian diikuti oleh umat Islam sampai sekarang.67
64
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 103 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 240 66 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam: Jilid III, Jakarta: Rajawali, 1988, hlm. 77-79. 67 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 308. 65
36
Menurut Didin Hafidhuddin, banyak hikmah dan manfaat yang dapat diambil dari kegiatan wakaf, baik bagi wakif maupun bagi masyarakat secara lebih luas, antara lain yaitu menunjukkan kepedulian dan tanggungjawab terhadap kebutuhan masyarakat. Keuntungan moral bagi wakif dengan mendapatkan pahala yang akan mengalir terus, walaupun wakif sudah meninggal dunia. Memperbanyak aset-aset yang digunakan untuk kepentingan umum yang sesuai dengan ajaran Islam merupakan sumber dana potensial bagi kepentingan peningkatan kualitas umat, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan sebagainya.68 Dalam kaitan dengan hikmah dan manfaat wakaf, M.A. Mannan yang dikutip Didin Hafidhuddin menulis Sepanjang sejarah Islam wakaf telah memerankan peranan yang sangat penting dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat Islam. Selain itu, keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi para sarjana dan mahasiswa dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan riset dan pendidikan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah.69
Pernyataan menunjukkan bahwa wakaf mempunyai peranan yang penting sehingga dapat mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah. Kenyataan menunjukkan institusi wakaf telah menjalankan sebagian dari tugas-tugas institusi pemerintah atau kementeriankementerian khusus seperti Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Sosial. Ada bukti-bukti yang mendukung pernyataan bahwa sumber-
68
Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani, 2003, hlm. 124. Ibid., hlm. 124.
69
37
sumber wakaf tidak hanya digunakan untuk membangun perpustakaan, ruang-ruang belajar, tetapi juga untuk membangun perumahan siswa, kegiatan riset seperti untuk jasa-jasa fotokopi, pusat seni, dan lain-lain.70 Keberadaan wakaf terbukti telah banyak
membantu bagi
pengembangan ilmu-ilmu medis melalui penyediaan fasilitas-fasilitas publik di bidang kesehatan dan pendidikan seperti: pembangunan rumah sakit, sekolah medis, dan pembangunan industri di bidang obat-obatan serta
kimia.
Penghasilan
wakaf
bukan
hanya
digunakan
untuk
mengembangkan obat-obatan dan menjaga kesehatan manusia, tetapi juga obat-obatan untuk hewan. Manusia dapat mempelajari obat-obatan serta penggunaannya dengan mengunjungi rumah sakit-rumah sakit yang dibangun dari dana hasil pengelolaan aset wakaf. Bahkan pendidikan medis kini tidak hanya diberikan di sekolah-sekolah medis dan rumah sakit, tetapi juga telah diberikan
oleh
masjid-masjid
dan
universitas-universitas
seperti
universitas Al-Azhar Kairo (Mesir) yang dibiayai dana hasil pengelolaan aset wakaf. Bahkan pada abad ke-4 Hijriyah, rumah sakit anak yang didirikan di Istambul (Turki) dananya berasal dari hasil pengelolaan aset wakaf.71 Pada periode Abbasiyah, dana hasil penyusun pengelolaan aset wakaf juga digunakan untuk membantu pembangunan pusat seni dan telah
70
Ibid., hlm. 124. Ibid, hlm. 124.
71
38
sangat berperan bagi perkembangan arsitektur Islam, terutama arsitektur dalam bangunan masjid, sekolah dan rumah sakit.72 E. Pendapat Para Ulama tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf Di kalangan ulama fikih terdapat perbedaan dalam memandang status harta wakaf. Menurut Imam Syafi'i, wakaf adalah suatu ibadah yang disyari'atkan, wakaf telah berlaku sah bilamana wakif telah menyatakan dengan perkataan waqaftu (telah saya wakafkan), sekalipun tanpa diputuskan hakim. Harta yang telah diwakafkan menyebabkan wakif tidak mempunyai hak kepemilikan lagi, sebab kepemilikannya telah berpindah kepada Allah Swt dan tidak juga menjadi milik penerima wakaf (maukuf alaih), akan tetapi wakif tetap boleh mengambil manfaatnya. Bagi ulama Syafi'iyah, wakaf itu mengikat dan karenanya tidak bisa ditarik kembali atau diperjualbelikan, digadaikan, dan diwariskan oleh wakif. 73 Pendiri Mazhab Hanafi, Abu Hanifah, berpendapat bahwa seseorang yang mewakafkan hartanya pada saat dia masih hidup berhak untuk membatalkan wakaf dengan menarik kembali hartanya. Menurutnya lagi, tindakan wakaf bersifat mengikat apabila wakif menyerahkan wakafnya pada saat sebelum meninggal atau apabila diperkuat oleh hakim.74 Karena dapat
72
Ibid., hlm. 124. Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006, hlm. 33-34. 74 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary (Ed), Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: CSRC, 2006, hlm. 42-43. 73
39
dibatalkan maka konsekuensinya pemberi wakaf (wakif) dapat menarik kembali wakafnya atau dapat memiliki kembali wakafnya. Dengan kata lain menurut Imam Abu Hanifah, wakaf ialah suatu sedekah selama hakim belum mengumumkan bahwa harta itu adalah harta wakaf, atau disyaratkan dengan taklik sesudah meninggalnya orang yang berwakaf, misalnya dikatakan, "Bilamana saya telah meninggal, harta saya berupa rumah ini saya wakafkan untuk kepentingan Madrasah Tsanawiyah". Dengan demikian wakaf rumah untuk kepentingan Madrasah Tsanawiyah baru berlaku setelah wakif meninggal dunia. Bagi ulama Hanafiyah, harta wakaf itu tetap menjadi milik orang yang mewakafkan (wakif), oleh karena itu pada suatu waktu harta wakaf tersebut dapat diambil oleh wakif atau ahli waris wakif setelah waktu yang ditentukan.75 Demikian pula Imam Malik dan Golongan Syi'ah Imamiah menyatakan bahwa wakaf itu boleh dibatasi waktunya.76 Imam Malik, berpendapat bahwa wakaf tidak disyaratkan berlaku untuk selamanya, tetapi sah bisa berlaku untuk waktu satu tahun misalnya. Sesudah itu kembali kepada pemiliknya semula.77 Berdasarkan keterangan di atas bahwa meskipun Imam Syafi'i menolak wakaf sementara, namun madzhab Maliki memperbolehkannya kecuali wakaf yang berupa masjid. Adapun As-Shawi membolehkan batasan waktu pada wakaf sewaan yang hasilnya dimiliki oleh masjid, bukan bersifat sementara 75
Abdul Ghofur Anshori, op. cit., hlm. 34. Farida Prihatini, et al, Hukum Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2005, hlm. 113. 77 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 636. 76
40
karena keinginan wakif, akan tetapi termasuk sementara karena tabiat barangnya, sekalipun harus diterima bahwa As-Shawi juga mengatakan bolehnya wakaf sementara karena keinginan wakif.78 Dengan demikian dalam pandangannya bahwa pemberi wakaf dapat menarik kembali wakafnya atau dapat memiliki kembali wakafnya.
78 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Muhyiddin Mas Rida, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, hlm. 103.
BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG PENARIKAN KEMBALI HARTA WAKAF OLEH PEMBERI WAKAF
A. Biografi Imam Syafi'i 1. Latar Belakang Imam Syafi'i Imam Syafi'i adalah imam ketiga dari empat imam madzhab menurut urutan kelahirannya.1 Nama lengkap Imam Syafi'i adalah Muhammad ibn Idris ibn al- Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf.2 Lahir di Ghaza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H/767 M, kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah. Ia lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far al Manshur (137-159 H./754-774 M.), dan meninggal di Mesir pada tahun 204 H/820 M.3 Imam Syafi'i berasal dari keturunan bangsawan yang paling tinggi di masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia terpelihara dari perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan berjiwa besar.
1
Ahmad Asy Syurbasyi, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi Empat Imam Madzhabi", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 127. 2 Syeikh Ahmad Farid, Min A'lam al-Salaf, Terj. Masturi Ilham dan Asmu'i Taman, 60, "Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, hlm. 355. 3 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 27.
41
42
Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan penderitaan-penderitaan mereka. Imam Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-Qur'an dalam umur yang masih sangat muda. Kemudian ia memusatkan perhatian menghafal hadiś. Ia menerima haditsdengan jalan membaca dari atas tembikar dan kadang-kadang di kulit-kulit binatang. Seringkali pergi ke tempat buangan kertas untuk memilih mana-mana yang masih dapat dipakai.4 Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri dari pengaruh non-Arab yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu. Ia pergi ke Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam Syafi'i tinggal di pedusunan itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam bidang syair yang digubah kabilah Huzail itu, amat indah susunan bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain panah. Dalam masa itu Imam Syafi'i menghafal al-Qur'an, menghafal hadits, mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah. Imam Syafi'i belajar pada ulama-ulama Mekkah, baik pada ulamaulama fiqih, maupun ulama-ulama hadits, sehingga ia terkenal dalam bidang fiqh dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang itu. Gurunya Muslim Ibn Khalid Al-Zanji, menganjurkan supaya Imam Syafi'i 4
Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hlm. 17.
43
bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah memperoleh kedudukan yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu.5 Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah al-Munawwarah ada seorang ulama besar yaitu Imam Malik, yang memang pada masa itu terkenal di mana-mana dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu dan hadits. Imam Syafi'i ingin pergi belajar kepadanya, akan tetapi sebelum pergi ke Madinah ia lebih dahulu menghafal al-Muwatta'’, susunan Imam Malik yang telah berkembang pada masa itu. Kemudian ia berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan membawa sebuah surat dari gubernur Mekkah. Mulai ketika itu ia memusatkan perhatian mendalami fiqh di samping mempelajari alMuwatta'’. Imam Syafi'i mengadakan dialog dengan Imam Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan Imam Malik. Di waktu Imam Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi'i telah mencapai usia dewasa dan matang.6 Di antara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam Syafi'i adalah tentang metode pemahaman Al-Qur'an dan sunnah atau metode istinbat (ushul fiqih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya dalam berijtihad terikat dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai satu disiplin ilmu yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum Islam. Dalam kondisi demikianlah Imam Syafi'i tampil berperan menyusun sebuah buku ushul 5
Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 28. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 480 – 481. 6
44
fiqih yang diberi nama Ar-Risalah. Idenya ini didukung pula dengan adanya permintaan dari seorang ahli haditsbernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar Imam Syafi'i menyusun metodologi istinbat.7 Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M; ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir) menyatakan kitab itu disusun ketika Imam Syafi'i berada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi ketika itu berada di Mekkah. Imam Syafi'i memberi judul bukunya dengan "alKitab" (Kitab, atau Buku) atau "Kitabi" (Kitabku), kemudian lebih dikenal dengan "al-Risalah" yang berarti "sepucuk surat." Dinamakan demikian, karena buku itu merupakan surat Imam Syafi'i kepada Abdurrahman bin Mahdi. Kitab al-Risalah yang pertama ia susun dikenal dengan ar-Risalah al-Qadimah (Risalah Lama). Dinamakan demikian, karena di dalamnya termuat buah-buah pikiran: Imam Syafi'i sebelum pindah ke Mesir. Setelah sampai di Mesir, isinya disusun kembali dalam rangka penyempurnaan bahkan ada yang diubahnya, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah al-Jadidah (Risalah Baru). Jumhur ulama ushul-fiqih sepakat menyatakan bahwa kitab ar-Risalah karya Imam Syafi'i ini merupakan kitab pertama yang memuat masalah-masalah ushul fiqih secara lebih sempurna dan sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun pertama ushul fiqih sebagai satu disiplin ilmu.8
7
Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 29. Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006, hlm. 361. 8
45
2. Pendidikan Imam Syafi'i menerima fiqih dan hadits dari banyak guru yang masing-masingnya mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempattempat berjauhan bersama lainnya. Imam Syafi'i menerima ilmunya dari ulama-ulama Mekkah, ulama-ulama Madinah, ulama-ulama Iraq dan ulama-ulama Yaman.9 Ulama Mekkah yang menjadi gurunya ialah: Sufyan Ibn Uyainah, Muslim ibn Khâlid al-Zanji, Saîd ibn Salîm al-Kaddlah, Daud ibn abdRahmân al-Atthâr, dan Abdul Hamîd ibn Abdul Azîzi Ibn Abi Zuwad. Ulama-ulama Madinah yang menjadi gurunya, ialah: Imam Mâlik ibn Anâs, Ibrahim ibn Sa'ad al-Anshari Abdul Aziz ibn Muhammad adDahrawardi, Ibrahîm ibn Abi Yahya al-Asami, Muhammad ibn Saîd Ibn Abi Fudaik, Abdullah ibn Nafi’ teman ibn Abi Zuwaib.10 Ulama-ulama Yaman yang menjadi gurunya ialah: Mutharraf ibn Mazîm, Hisyâm ibn Yusuf, Umar ibn abi Salamah, teman Auza’in dan Yahya Ibn Hasan teman Al-Laits. Ulama-ulama Iraq yang menjadi gurunya ialah: Waki’ ibn Jarrâh, Abu Usamah, Hammâd ibn Usamah, dua ulama Kuffah Ismail ibn ‘Ulaiyah dan Abdul Wahâb ibn Abdul Majîd, dua ulama Basrah. Juga menerima ilmu dari Muhammad ibn al-Hasan yaitu dengan mempelajari kitab-kitabnya yang didengar langsung dari padanya. Dari padanyalah dipelajari fiqih Iraqi.11
9
Mahmud Syalthut, op.cit. hlm. 18. Ibid 11 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm, 486-487. 10
46
Setelah sekian lama mengembara menuntut ilmu, pada tahun 186 H Imam Syafi'i kembali ke Makah. Di masjidil Haram ia mulai mengajar dan mengembangkan ilmunya dan mulai berijtihad secara mandiri dalam membentuk fatwa-fatwa fiqihnya. Tugas mengajar dalam rangka menyampaikan hasil-hasil ijtihadnya ia tekuni dengan berpindah-pindah tempat. Selain di Makah, ia juga pernah mengajar di Baghdad (195-197 H), dan akhirnya di Mesir (198-204 H). Dengan demikian ia sempat membentuk kader-kader yang akan menyebarluaskan ide-idenya dan bergerak dalam bidang hukum Islam. Di antara murid-muridnya yang terkenal ialah Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri madzhabi Hanbali), Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H), Abi Ibrahîm Ismaîl bin Yahya alMuzani (w. 264 H), dan Imam Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (174-270 H). tiga muridnya yang disebut terakhir ini, mempunyai peranan penting dalam menghimpun dan menyebarluaskan faham fiqih Imam Syafi'i.12 Imam Syafi'i wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jum’at tanggal 30 Rajab 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitabnya hingga saat ini masih banyak dibaca orang, dan makamnya di Mesir sampai detik ini masih diziarahi orang.13 3. Karyanya Karya-karya Imam Syafi'i yang berhubungan dengan judul di atas di antaranya: (1) Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Imam Syafi'i
12 Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1680. 13 Ibid, hlm. 18.
47
secara sistematis sesuai dengan bab-bab fiqih dan menjadi rujukan utama dalam Madzhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Imam Syafi'i dalam berbagai masalah fiqih. Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam Syafi'i yang dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama) dan al-qaul al-jadid (pendapat baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam delapan jilid bersamaan dengan kitab usul fiqih Imam Syafi'i yang berjudul Ar-Risalah. Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asySya'b Mesir, kemudian dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.14 (2) Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali dikarang dan karenanya Imam Syafi'i dikenal sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqih. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran Syafi'i dalam menetapkan hukum.15 (3) Kitab Imla al-Shagir; Amali al-Kubra; Mukhtasar al-Buwaithi;16 Mukhtasar al-Rabi; Mukhtasar al-Muzani; kitab Jizyah dan lain-lain kitab tafsir dan sastra.17 Siradjuddin Abbas dalam bukunya telah mengumpulkan 97 (sembilan puluh tujuh) buah kitab dalam fiqih Imam Syafi'i. Namun dalam bukunya itu tidak diulas masing-masing dari karya Imam Syafi'i tersebut.18 Ahmad Nahrawi Abd al-Salam menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam Syafi'i adalah Musnad li alSyafi'i; al-Hujjah; al-Mabsut, al-Risalah, dan al-Umm.19 14
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm, 488. Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132. 16 Ahmad Asy Syurbasyi, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi Empat Imam Madzhabi", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 144. 17 Ali Fikri, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam Madzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 109-110. 18 Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004, hlm. 182-186. 19 Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 44. 15
48
B. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi'i Imam Syafi'i menyusun konsep pemikiran ushul fiqihnya dalam karya monumentalnya yang berjudul al-Risalah. Di samping itu, dalam al-Umm banyak pula ditemukan prinsip-prinsip ushul fiqh sebagai pedoman dalam beristinbat. Di atas landasan ushul fiqh yang dirumuskannya sendiri itulah ia membangun fatwa-fatwa fiqihnya yang kemudian dikenal dengan mazhab Syafi’i. Menurut Imam Syafi'i “ilmu itu bertingkat-tingkat”, sehingga dalam mendasarkan pemikirannya ia membagi tingkatan sumber-sumber itu sebagai berikut: 1. Ilmu yang diambil dari kitab (al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah SAW apabila telah tetap kesahihannya. 2. Ilmu yang didapati dari ijma dalam hal-hal yang tidak ditegaskan dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. 3. Fatwa sebagian sahabat yang tidak diketahui adanya sahabat yang menyalahinya. 4. Pendapat yang diperselisihkan di kalangan sahabat. 5. Qiyas apabila tidak dijumpai hukumnya dalam keempat dalil di atas.20 Tidak boleh berpegang kepada selain al-Qur’an dan sunnah dari beberapa tingkatan tadi selama hukumnya terdapat dalam dua sumber tersebut. Ilmu secara berurutan diambil dari tingkatan yang lebih atas dari tingkatantingkatan tersebut.
20
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 238.
49
Dalil atau dasar hukum Imam Syafi'i dapat ditelusuri dalam fatwafatwanya baik yang bersifat qaul qadim (pendapat terdahulu) ketika di Baghdad maupun qaul jadid (pendapat terbaru) ketika di Mesir. Tidak berbeda dengan mazhab lainnya, bahwa Imam Syafi'i pun menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama dalam membangun fiqih, kemudian sunnah Rasulullah SAW bilamana teruji kesahihannya.21 Dalam urutan sumber hukum di atas, Imam Syafi'i meletakkan sunnah sahihah sejajar dengan al-Qur’an pada urutan pertama, sebagai gambaran betapa penting sunnah dalam pandangan Imam Syafi'i sebagai penjelasan langsung dari keterangan-keterangan dalam al-Qur’an. Sumber-sumber istidlal22 walaupun banyak namun kembali kepada dua dasar pokok yaitu: alKitab dan al-Sunnah. Akan tetapi dalam sebagian kitab Imam Syafi'i, dijumpai bahwa al-Sunnah tidak semartabat dengan al-Kitab. Mengapa ada dua pendapat Imam Syafi'i tentang ini.23 Imam Syafi'i menjawab sendiri pertanyaan ini. Menurutnya, al-Kitab dan al-Sunnah kedua-duanya dari Allah dan kedua-duanya merupakan dua sumber yang membentuk syariat Islam. Mengingat hal ini tetaplah al-Sunnah semartabat dengan al-Qur’an. Pandangan Imam Syafi'i sebenarnya adalah
21
Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam al-Salaf, Terj. Masturi Ilham dan Asmu'i Taman, 60, "Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, hlm. 362. 22 Istidlal artinya mengambil dalil, menjadikan dalil, berdalil. Lihat TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 588 dan 585. Menurut istilah menegakkan dalil untuk sesuatu hukum, baik dalil tersebut berupa nash, ijma' ataupun lainnya atau menyebutkan dalil yang tidak terdapat dalam nash, ijma ataupun qiyas. Lihat juga TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 214. 23 Ibid., hlm. 239.
50 sama dengan pandangan kebanyakan sahabat.24 Imam Syafi'i menetapkan bahwa al-Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al-Qur’an. Namun demikian, tidak memberi pengertian bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan dari Nabi semuanya berfaedah yakin. Ia menempatkan al-Sunnah semartabat dengan al-Kitab pada saat meng-istinbat-kan hukum, tidak memberi pengertian bahwa al-Sunnah juga mempunyai kekuatan dalam menetapkan aqidah. Orang yang mengingkari hadis dalam bidang aqidah, tidaklah dikafirkan.25 Imam Syafi'i menyamakan al-Sunnah dengan al-Qur’an dalam mengeluarkan hukum furu’, tidak berarti bahwa al-Sunnah bukan merupakan cabang dari al-Qur’an. Oleh karenanya apabila hadis menyalahi al-Qur'an hendaklah mengambil al-Qur'an. Adapun yang menjadi alasan ditetapkannya kedua sumber hukum itu sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah karena al-Qur'an memiliki kebenaran yang mutlak dan al-sunnah sebagai penjelas atau ketentuan yang merinci Al-Qur'an.26. Ijma27 menurut Imam Syafi'i adalah kesepakatan para mujtahid di suatu masa, yang bilamana benar-benar terjadi adalah mengikat seluruh kaum muslimin. Oleh karena ijma baru mengikat bilamana disepakati seluruh mujtahid di suatu masa, maka dengan gigih Imam Syafi'i menolak ijma 24
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 239. 25 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 45. 26 Ibid 27 Menurut Abdul Wahab Khallaf, ijma’ menurut istilah para ahli ushul fiqh adalah kesepakatan para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, hlm, hlm. 45.
51
penduduk Madinah (amal ahl al-Madinah), karena penduduk Madinah hanya sebagian kecil dari ulama mujtahid yang ada pada saat itu.28 Imam Syafi'i berpegang kepada fatwa-fatwa sahabat Rasulullah SAW dalam membentuk mazhabnya, baik yang diketahui ada perbedaan pendapat, maupun yang tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan mereka. Imam Syafi'i berkata:29
Artinya: "Pendapat para sahabat lebih baik daripada pendapat kita sendiri untuk diamalkan" Apabila hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tersurat dalam sumber-sumber hukum tersebut di atas, dalam membentuk mazhabnya, Imam Syafi'i melakukan ijtihad. Ijtihad dari segi bahasa ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah. Menurut istilah, ijtihad ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syari’at. Dengan ijtihad, menurutnya seorang mujtahid akan mampu mengangkat kandungan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW secara lebih maksimal ke dalam bentuk yang siap untuk diamalkan. Oleh karena demikian penting fungsinya, maka melakukan ijtihad dalam pandangan Imam Syafi'i adalah merupakan kewajiban bagi ahlinya. Dalam kitabnya al-Risalah, Imam Syafi'i mengatakan, “Allah mewajibkan kepada hambanya untuk berijtihad
28
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit, hm. 255. Ibid., hlm. 271.
29
52
dalam upaya menemukan hukum yang terkandung dalam al-Qur'an dan asSunnah”.30 Metode utama yang digunakannya dalam berijtihad adalah qiyas. Imam Syafi'i membuat kaidah-kaidah yang harus dipegangi dalam menentukan mana ar-rayu yang sahih dan mana yang tidak sahih. Ia membuat kriteria bagi istinbat-istinbat yang salah. Ia menentukan batas-batas qiyas, martabat-martabatnya, dan kekuatan hukum yang ditetapkan dengan qiyas. Juga diterangkan syarat-syarat yang harus ada pada qiyas. Sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbat yang lain selain qiyas.31 Ulama usul menta'rifkan qiyas sebagai berikut:
! "# $% & '() ( *+# , 32
Artinya: "Menyamakan sesuatu urusan yang tidak ditetapkan hukumnya dengan sesuatu urusan yang sudah diketahui hukumnya karena ada persamaan dalam illat hukum." Dengan demikian Imam Syafi'i merupakan orang pertama dalam menerangkan hakikat qiyas. Sedangkan terhadap istihsan, Syafi'i menolaknya. Khusus mengenai istihsan ia mengarang kitab yang berjudul Ibtalul Istihsan. Dalil-dalil yang dikemukakannya untuk menolak istihsan, juga disebutkan dalam kitab Jima’ul Ilmi, al-Risalah dan al-Umm. Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian-uraian Imam Syafi'i ialah bahwa setiap ijtihad yang tidak 30
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, op.cit., hm. 259. Ibid, hlm. 256. 32 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 257.
31
53
bersumber dari al-Kitab, al-Sunnah, asar, ijma’ atau qiyas dipandang istihsan, dan ijtihad dengan jalan istihsan, adalah ijtihad yang batal.33 Jadi alasan Imam Syafi'i menolak istihsan adalah karena kurang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalil hukum lainnya yang dipakai Imam Syafi'i adalah maslahah mursalah. Menurut Syafi’i, maslahah mursalah adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al-Qur’an maupun dalam kitab hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.34 Menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh maslahah mursalah ialah suatu kemaslahatan di mana syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.35 Dalam
menguraikan
keterangan-keterangannya,
Imam
Syafi'i
terkadang memakai metode tanya jawab, dalam arti menguraikan pendapat pihak lain yang diajukan sebagai sebuah pertanyaan, kemudian ditanggapinya dengan bentuk jawaban. Hal itu tampak umpamanya ketika ia menolak penggunaan istihsan.36 Pada kesempatan yang lain ia menggunakan metode eksplanasi (menjelaskan dan mengelaborasi) dalam arti menguraikan secara panjang lebar suatu masalah dengan memberikan penetapan hukumnya berdasarkan prinsip-prinsip yang dianutnya tanpa ada sebuah pertanyaan, hal seperti ini 33
Ibid, hlm. 262. Imam Syafi'i, al-Risalah, op.cit., hlm. 479. 35 Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm. 84. 36 Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. VII, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 271-272. 34
54 tampak dalam penjelasannya mengenai persoalan pernikahan,37 misalnya tentang thalâq sharîh ada tiga yaitu thalâq (cerai), firaq (pisah), dan sarah (lepas), dalam konteks ini ia telah melakukan eksplanasi terhadap ruang lingkup makna thalâq sharîh. Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang terdapat kitab-kitab lain yang juga dibukukan dalam satu kitab al-Umm diantaranya adalah : 1
Al-Musnad, berisi sanad Imam Syafi'i dalam meriwayatkan hadis-hadis Nabi dan juga untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru Imam Syafi'i.
2
Khilafu Malik, berisi bantahan-bantahannya terhadap Imam Malik gurunya.
3
Al-Radd 'Ala Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaannya terhadap mazhab ulama Madinah dari serangan Imam Muhammad Ibn Hasan, murid Abu Hanifah.
4
Al-Khilafu Ali wa Ibn Mas'ud, yaitu kitab yang memuat pendapat yang berbeda antara pendapat Abu Hanifah dan ulama Irak dengan Abi Talib dan Abdullah bin Mas'ud.
5
Sair al-Auza'i, berisi pembelaannya atas imam al-Auza'i dari serangan Imam Abu Yusuf.
37
Ibid., hlm. V.
55
6
Ikhtilaf al-Hadis, berisi keterangan dan penjelasan Imam Syafi'i atas hadis-hadis yang tampak bertentangan, namun kitab ini juga ada yang dicetak tersendiri.
7
Jima' al-'llmi, berisi pembelaan Imam Syafi'i terhadap Sunnah Nabi Saw.
C. Pendapat Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf Pernyataan Imam Syafi'i tentang tidak dapatnya penarikan kembali wakaf oleh pemberi wakaf dapat dilacak dalam kitabnya al-Umm dalam bab yang berjudul al-Ihbas. Kitab ini merupakan kitab fiqh terbesar dan tidak tandingan di masanya. Kitab ini membahas berbagai persoalan lengkap dengan dalil-dalilnya, dengan bersumber pada al-Qur'an, al-Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Isi kitab ini merefleksikan keluasan ilmu Imam Syafi'i dalam bidang fiqh. Sedang di sisi lain juga disebut dengan kitab hadis karena dalil-dalil hadis yang ia kemukakan menggunakan jalur periwayatan tersendiri sebagaimana layaknya kitab-kitab hadis. Di kalangan ulama terdapat keraguan dan perbedaan pendapat, apakah kitab tersebut ditulis oleh Imam Syafi'i sendiri ataukah karya para muridmuridnya. Menurut Ahmad Amin, al-Umm bukanlah karya langsung dari Imam Syafi'i, namun merupakan karya muridnya yang menerima dari Imam Syafi'i dengan jalan didiktekan. Sedangkan menurut Abu Zahrah dalam alUmm ada tulisan Imam Syafi'i langsung tetapi ada juga tulisan dari muridnya, bahkan adapula yang mendapatkan petunjuk bahwa dalam al-Umm ada juga tulisan orang ketiga selain Imam Syafi'i dan al-Rabi' muridnya. Namun
56
menurut riwayat yang masyhur diceritakan bahwa kita al-Umm adalah catatan pribadi Imam Syafi'i, karena setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya ditulis, dijawab dan didiktekan kepada murid-muridnya. Oleh karena itu, ada pula yang mengatakan bahwa kitab itu adalah karya kedua muridnya Imam alBuwaiti dan Imam al-Rabi'. Ini dikemukakan oleh Abu Talib al-Makki, tetapi pendapat ini menyalahi ijma' ulama yang mengatakan, bahwa kitab ini adalah karya orisinal Imam Syafi'i yang memuat pemikiran-pemikirannya dalam bidang hukum. Imam Syafi'i melarang pemberi wakaf meminta kembali atau memiliki kembali harta wakaf yang sudah diberikan. Dalam pernyataannya, Imam Syafi'i menggunakan kata: "
./ ", kata tersebut bukan berarti pemberian
semacam "sodaqah" melainkan harus diartikan "wakaf" karena ditempatkan dalam bab "ihbas" (mewakafkan harta pada jalan Allah). Dengan kata lain, kata : "
./ "
adalah dalam konteks "wakaf" yang dijumpai dalam kitab
al-Umm juz IV halaman 53 bab"ihbas". Adapun latar belakang Imam Syafi'i menempatkan kata tersebut sebagai arti "wakaf" adalah karena pada waktu Imam Syafi'i hidup banyak dijumpai peristiwa pemberian harta benda berupa benda tidak bergerak seperti tanah yang diperuntukkan sebagai madrasah dan masjid yang sifatnya permanen tidak untuk dimiliki kembali oleh pemberi wakaf pada waktu itu. Hal ini sebagaimana ia nyatakan sebagai berikut: inti dari pernyataan Imam Syafi'i di atas sebagai berikut:
57
".0 123 4 4/5 ".0 6! 7 8 ./ 9:; <= > ".# "# ?@A ".0 6 ! B C) 4 D! A! 6 E: B FG 4 ". 38
Artinya: Imam Syafi'i berkata: pemberian yang sempurna dengan perkataan yang memberi, tanpa diterima oleh orang yang diberikan, ialah: apa, yang apabila dikeluarkan karena perkataan si pemberi, yang boleh atas apa yang diberikannya. Maka tidak boleh lagi si pemberi memilikinya sekali-kali, apa yang telah keluar perkataan itu padanya dengan cara apa pun. Menurut Syafi'i, pemberian suatu harta benda apakah yang bergerak atau tidak bergerak itu ada tiga macam yaitu pertama, berupa hibah, kedua berupa wasiat, dan ketiga berupa wakaf. Selanjutnya menurut Syafi'i, pemberian seseorang semasa ia masih hidup ada dua macam: pertama, pemberian berupa hibah atau hibah wasiat, dan kedua, pemberian berupa wakaf. Sedangkan pemberian seseorang ketika ia sudah meninggal dunia hanya ada satu macam yaitu yang disebut warisan. Menurut Syafi'i, pemberian berupa hibah dan wasiat sudah sempurna dengan hanya berupa perkataan dari yang memberi (ijab), sedangkan dalam wakaf, baru dinyatakan sempurna bila dipenuhi dengan dua perkara: pertama, dengan adanya perkataan dari yang memberi (ijab), dan kedua, adanya penerimaan dari yang diberi (qabul). Tetapi ini hanya disyaratkan pada wakaf yang hanya ditujukan untuk orang-orang tertentu. Sedangkan untuk wakaf umum yang dimaksudkan untuk kepentingan umum tidak diperlukan qabul.
38
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. IV, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 53
58
Pernyataan Imam Syafi'i di atas menunjukkan bahwa pengakuan yang memberikan (ijab) dan penerimaan yang menerima (qabul) merupakan syarat sahnya akad wakaf yang ditujukan bagi pihak tertentu. Pernyataan Imam Syafi'i menunjukkan juga bahwa wakaf dalam pandangannya adalah suatu ibadah yang disyari'atkan, wakaf telah berlaku sah bilamana wakif telah menyatakan dengan perkataan waqaftu (telah saya wakafkan), sekalipun tanpa diputuskan hakim. Harta yang telah diwakafkan menyebabkan wakif tidak mempunyai hak kepemilikan lagi, sebab kepemilikannya telah berpindah kepada Allah Swt dan tidak juga menjadi milik penerima wakaf (maukuf alaih), akan tetapi wakif tetap boleh mengambil manfaatnya. Bagi Imam Syafi'i, wakaf itu mengikat dan karenanya tidak bisa ditarik kembali atau diperjualbelikan, digadaikan, dan diwariskan oleh wakif. Imam
Syafi'i
lahir
pada
masa
Dinasti
Abbasiyah.
Seluruh
kehidupannya berlangsung pada saat para penguasa Bani Abbas memerintah wilayah-wilayah negeri Islam. Saat itu adalah saat di mana masyarakat Islam sedang berada di puncak keemasannya. Kekuasaan Bani Abbas semakin terbentang luas dan kehidupan umat Islam semakin maju dan jaya. Masa itu memiliki berbagai macam keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam.
Transformasi ilmu dari filsafat Yunani dan sastra Persia serta ilmu bangsa India ke masyarakat Muslim juga sedang semarak. Kota-kota di negeri Islam saat itu sedikit demi sedikit mulai dimasuki unsur-unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi, India dan
59
Nabath. Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan sekaligus pusat peradaban Islam. Kota tersebut dipenuhi oleh masyarakat yang terdiri dari berbagai jenis bangsa. Kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia berduyunduyun berdatangan ke Baghdad dari berbagai pelosok negeri Islam. Tentunya, kedatangan mereka sekaligus membawa kebudayaan bangsanya dalam jiwa dan perasaannya yang dalam. Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak timbul aneka problema sosial. Oleh karena itu, di masyarakat Baghdad banyak muncul fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang disebabkan oleh interaksi sosial antara sesama anggota masyarakatnya di mana masing-masing ras mempunyai kekhususan ras-ras tersebut. Setiap permasalahan yang timbul dari interaksi antar masyarakat tersebut tentunya akan diambil ketentuan hukumnya dari syariat. Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat umum.39 D. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf Imam Syafi'i menggunakan metode istinbat hukum berupa hadis dari Yahya bin Yahya at-Tamimiy dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi' dari Ibnu Umar, hadis riwayat Muslim.
H #I 4J H #I K !H K #I I 1 I H L M !H M EHLNM II2IH L 9O K EKP "IEQ H I M !H "IEQ H I IRLDP I K EHL#I Y "YW I 9P 2KP "I7L:L I 2IEHS I !K TU H L M I #M V I IW L
Muhammad Abu Zahrah, al-Syafi'i: Hayatuhu wa 'Asruhu wa Arduhu Wa Fiqhuhu, Beirut: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1948, hlm 85.
60
\ H W K ] H L I 2IEHS I !K TU H L ^ M 2HW I L 9_)K K Y
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Yahya at-Tamimiy dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi' dari Ibnu Umar, ia berkata: "Umar mendapat sebidang tanah di Khaibar kemudian ia menghadap Nabi saw., untuk minta petunjuk tentang pengelolaannya, katanya: 'Wahai Rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar. Belum pernah saya memperoleh harta yang lebih bagus dari pada ini. Apa saran anda sehubungan dengan hal itu? Beliau bersabda: Jika kamu suka, kamu tahan tanah itu dan kamu sedekahkan manfaatnya. Maka Umar menyedekahkan hasil tanah itu dengan syarat tanahnya tidak boleh dijual, dibeli, diwaris atau dihibahkan. Umar menyedekahkan hasilnya kepada fakir miskin, kerabat, untuk pemerdekaan budak, jihad fi sabilillah, untuk bekal orang yang sedang dalam perjalanan dan hidangan tamu. Orang yang mengurusnya boleh makan sebagian hasilnya dengan cara yang baik dan boleh memberi makan temannya secara alakadarnya."
40 Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. IV, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 54. Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi anNaisaburi, Sahîh Muslim, Juz. 3, Mesir: Tijariah Kubra, tth. hlm. 83-84.
BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG PENARIKAN KEMBALI HARTA WAKAF OLEH PEMBERI WAKAF
A. Analisis terhadap Pendapat Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf Sebelum
menganalisis
pendapat
Imam
Syafi'i,
ada
baiknya
dikemukakan sepintas pendapat para ulama lainnya tentang penarikan kembali wakaf oleh pemberi wakaf. Berdasarkan hal itu maka dalam sub ini hendak diketengahkan dua hal: (1) Pendapat para ulama selain Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf; (2) Analisis terhadap Pendapat Imam Syafi'i. 1. Pendapat para ulama selain Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali Wakaf oleh Pemberi Wakaf Salah satu perbedaan pendapat ulama dalam bidang perwakafan adalah mengenai kepemilikan dan hukum menjual benda yang telah diwakafkan. Menurut Abu Hanifah, benda yang telah diwakafkan masih tetap milik pihak yang mewakafkan karena akad (transaksi) wakaf termasuk akad gayr lazim (tidak menyebabkan pindahnya kepemilikan benda wakaf), kecuali: (1) wakaf untuk masjid, (2) wakaf yang ditetapkan dengan keputusan hakim, (3) wakaf wasiat, dan (4) wakaf untuk kuburan (makam). Oleh karena itu, benda yang telah diwakafkan selain empat wakaf tersebut, dapat dijual, diwariskan, dan
61
62
dihibahkan. la (benda wakaf) berubah menjadi benda waris ketika pihak yang mewakafkan (waqif, wakif) telah meninggal dunia. Dalam mazhab Syafi'i terdapat perubahan pendapat mazhab secara internal yang kemudian dikenal dengan qawl qadim dan qawl jadid. Hal yang kurang lebih sama terjadi pula dalam mazhab Hanafi. Abu Yusuf (penerus dan pengikut aliran Hanafi) pada awalnya sependapat dengan Abu Hanifah tentang kebolehan menjual benda wakaf. Ketika melakukan ibadah haji bersama Harun al-Rasid (w. 194 H/809 M), Abu Yusuf melihat benda-benda wakaf yang telah dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad saw. di Madinah. Di Madinah, Abu Yusuf mendapatkan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Sebagai seorang pakar fikih, ia mencoba menelusuri sebab-sebab benda wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh pula diwariskan. Akhirnya, sampai berita kepada Abu Yusuf tentang riwayat yang menyatakan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual dan dihibahkan. Abu Yusuf kemudian mengubah pendapatnya sehingga ia tidak sependapat lagi dengan gurunya (Abu Hanifah), dan kemudian ia berkata, "Kalau saja hadis ini sampai kepada Abu Hanifah rahimah Allah, pasti beliau mencabut pendapatnya." Sedangkan Imam al-Syafi'i berpendapat bahwa akad wakaf termasuk akad lazim (atau mulazamah). Oleh karena itu, benda yang telah diwakafkan bukan lagi milik wakif, melainkan telah menjadi milik umum (atau milik Allah). Akibatnya adalah bahwa benda yang telah diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan karena memang ia
63 bukan lagi milik perorangan, melainkan milik publik (umat).1 Imam Malik dan golongan Syi'ah Imamiah menyatakan bahwa wakaf itu boleh dibatasi waktunya.2 Mundzir Qahaf dalam bukunya Manajemen Wakaf Produktif menjelaskan: Batasan waktu yang muncul dari keinginan wakif, maka dalam hal ini ahli fikih berbeda pendapat. Mayoritas ahli menolak wakaf sementara, karena batasan waktu yang ditentukan oleh wakif. Sedangkan madzhab Maliki memperbolehkannya kecuali wakaf yang berupa masjid. Adapun As-Shawi membolehkan batasan waktu pada wakaf sewaan yang hasilnya dimiliki oleh masjid, bukan bersifat sementara karena keinginan wakif, akan tetapi termasuk sementara karena tabiat barangnya, sekalipun harus diterima bahwa As-Shawi juga mengatakan bolehnya wakaf sementara karena keinginan wakif.3 Golongan Hambaliah sependapat bahwa harta wakaf itu putus atau keluar dari hak milik si wakif dan menjadi milik Allah atau milik umum. Begitu .pula wewenang mutlak si wakif menjadi terputus, karena setelah ikrar wakaf di ucapkan, harta tersebut menjadi milik Allah atau milik umum.4 2. Analisis terhadap Pendapat Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf Imam Syafi'i berpendapat bahwa akad wakaf termasuk akad lazim (atau mulazamah). Oleh karena itu, benda yang telah diwakafkan bukan lagi milik wakif, melainkan telah menjadi milik umum (atau milik Allah). Akibatnya adalah bahwa benda yang telah diwakafkan tidak boleh dijual,
1
Jaih Mubarok, op. cit., hlm. 42. Said Agil Husin al- Munawwar, Hukum Islam & Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, 2004, hlm. 139-140. 3 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Muhyiddin Mas Rida, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, hlm. 103 4 Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Pasuruan Jawa Timur: GBI (Anggota IKADI), 1994, hlm. 35-37 2
64
dihibahkan, dan diwariskan karena memang ia bukan lagi milik perorangan, melainkan milik publik (umat). Sisi kebaikan dengan menjadikan harta wakaf sebagai harta permanen yaitu pihak penerima wakaf bukan hanya memiliki kapasitas hak guna usaha melainkan juga telah menjadi hak milik penerima wakaf. Dengan demikian penerima wakaf dapat memanfaatkan harta wakaf secara permanen karena ada kepemilikan penuh. Kekurangannya yaitu jika suatu waktu harta wakaf itu ditarik kembali oleh pemberi wakaf maka hal ini tidak bisa dilakukan karena pemilik wakaf asal tidak lagi memiliki kewenangan hukum mengambil kembali harta wakaf. Adapun kebaikan temporer yaitu pemilik wakaf asal dapat menarik kembali harta wakafnya manakala ia membutuhkan dan hal ini dapat dilakukan setiap waktu. Kekurangannya yaitu penerima wakaf seolaholah hanya memiliki hak guna usaha dan bukan hak milik. Menurut penulis pendapat Imam Syafi'i yang menetapkan kedudukan harta wakaf sebagai harta permanen yang tidak bisa ditarik kembali didasarkan atas alasan demi kepastian hukum bagi penerima wakaf sehingga harta wakaf dapat difungsikan secara leluasa dan tidak terikat dengan waktu. Alasan lainnya untuk ketertiban administrasi, dengan sifatnya yang permanen maka harta tidak terus menerus berganti-ganti nama dan balik nama yang memerlukan biaya tidak sedikit. Dengan sifatnya yang permanen bisa terhindar dari gugat menggugat ahli waris pemberi wakaf di kemudian hari manaka pemberi wakaf meninggal dunia.
65
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf masih mengakomodasi pendapat Abu Hanifah meskipun pendapat tersebut telah ditinggalkan oleh penerusnya, Abu Yusuf. Dari segi kepemilikan, UU mengakui adanya wakaf dalam durasi tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa wakaf tidak mesti bersifat muabbad. Oleh karena itu, UU Nomor 41 tentang Wakaf mengakui adanya akad wakaf yang bersifat gayr lazim (tidak menyebabkan pindahnya kepemilikan benda wakaf) yang dipandang sama dengan al-'ariyah (pinjaman). Perdebatan ulama tentang unsur "keabadian" mengemuka, khususnya antara mazhab Syafii dan Hanafi di satu sisi serta mazhab Maliki di sisi yang lain. Imam Syafi'i misalnya sangat menekankan wakaf pada fixed asset (harta tetap) sehingga menjadikannya sebagai syarat sah wakaf. Mengingat di Indonesia secara fikih kebanyakan adalah pengikut mazhab Syafi'i, maka bentuk wakaf yang lazim kita dapatkan berupa tanah, masjid, madrasah, dan aset tetap lainnya. Di lain pihak, Imam Maliki mengartikan "keabadian" lebih pada nature barang yang diwakafkan, baik itu aset tetap maupun aset bergerak. Untuk aset tetap seperti tanah unsur keabadian terpenuhi karena memang tanah dapat dipakai selama tidak ada longsor atau bencana alam yang menghilangkan fisik tanah tersebut, demikian juga halnya dengan masjid atau madrasah. Berbeda dengan Imam Syafi'i, Imam Malik memperlebar lahan wakaf mencakup barang-barang bergerak lainnya seperti wakaf susu sapi atau wakaf buah tanaman tertentu. Yang menjadi substansi adalah sapi dan pohon, sementara
66
yang diambil manfaatnya adalah susu dan buah. Dalam pandangan mazhab ini "keabadian" umur aset wakaf adalah relatif tergantung umur rata-rata dari aset yang diwakafkan. Dengan kerangka pemikiran seperti ini mazhab Maliki telah membuka luas kesempatan untuk memberikan wakaf dalam jenis aset apa pun, termasuk aset yang paling likuid yaitu uang tunai (cash waqf) yang bisa digunakan untuk menopang pemberdayaan potensi wakaf secara produktif. Oleh karena itu, pendapat Imam Malik dirasa sangat relevan dengan semangat pemberdayaan wakaf secara produktif yang telah diundangkan pada tanggal 27 Oktober 2004. Pemberdayaan wakaf secara produktif tersebut bukan berarti menghilangkan watak keabadian wakaf itu sendiri sebagaimana yang dikhawatirkan oleh sebagian ulama khususnya bergulirnya wakaf tunai, tapi justru akan memberikan keabadian manfaat sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi saw., tanpa kehilangan substansi keabadian bendanya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik ditetapkan bahwa wakaf bersifat mu'abbad (selamanya).5 Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam.6 Sementara dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ditetapkan bahwa benda wakaf dimanfaatkan untuk selamanya atau untuk jangka waktu tertentu.7 Dalam Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf terdapat ketentuan bahwa benda wakaf
5
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, pasal 1 (b). Dalam pasal ini dikatakan bahwa benda wakaf dilembagakan untuk selama-lamanya (mu'abbad). 6 Kompilasi Hukum Islam, pasal 215, ayat (1). 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 1, ayat (1).
67
tidak bergerak yang berupa tanah beserta bangunan, tanaman, atau bendabenda lain yang terkait dengannya hanya dapat dilakukan (diwakafkan) secara mu'abbad (tidak boleh dilakukan secara temporal).8 Oleh karena itu, pembatasan ini kelihatannya juga akan menghambat wakaf tanah secara temporal yang secara konseptual diperbolehkan oleh ulama Malikiah. Dalam konteks kekinian, wakaf tanah (benda tidak bergerak) memungkinkan dilakukan secara temporal, seperti tanah dan bangunan di kota-kota yang disewakan atau dikontrakkan. B. Metode Istinbat Hukum Imam al-Syafi'i tentang Penarikan Kembali Wakaf oleh Pemberi Wakaf Dalam hubungannya dengan penarikan kembali wakaf oleh pemberi wakaf, Imam Syafi'i menggunakan metode istinbat hukum berupa hadis dari Yahya bin Yahya at-Tamimiy dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi' dari Ibnu Umar, hadis riwayat Muslim.
! ! "#$ % , ,- -' " ./+ 0 123 & ' ( ) * + 4 ' 5 0 123 6 ' 78 , - ( 3 ! ( 9+ : + ; < /= > ! - ? :' 6 > % 6 @=A = 8 ( ) , < /= . + , "< B $" C D E G F ) H< I 5 3 ! ? J ! ? :5' J ! , : K $ L + ( ) : 6 )= $ L .? +? & ) 7 +? 95 = +? M 9 D5 = + K $ L + ( ) 4 E ! ?
8
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pasal 18, ayat (1).
68
:"< N O5 /= ! = : ? < P "Q R ? N > ? , - N (>< ;?3) , + ( 7 < S H9! $' T U= ! ? V ? T =
9
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Yahya at-Tamimiy dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi' dari Ibnu Umar, ia berkata: "Umar mendapat sebidang tanah di Khaibar kemudian ia menghadap Nabi saw., untuk minta petunjuk tentang pengelolaannya, katanya: 'Wahai Rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar. Belum pernah saya memperoleh harta yang lebih bagus dari pada ini. Apa saran anda sehubungan dengan hal itu? Beliau bersabda: Jika kamu suka, kamu tahan tanah itu dan kamu sedekahkan manfaatnya. Maka Umar menyedekahkan hasil tanah itu dengan syarat tanahnya tidak boleh dijual, dibeli, diwaris atau dihibahkan. Umar menyedekahkan hasilnya kepada fakir miskin, kerabat, untuk pemerdekaan budak, jihad fi sabilillah, untuk bekal orang yang sedang dalam perjalanan dan hidangan tamu. Orang yang mengurusnya boleh makan sebagian hasilnya dengan cara yang baik dan boleh memberi makan temannya secara alakadarnya." Hadis dari Yahya bin Yahya at-Tamimiy dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi' dari Ibnu Umar dinyatakan sahih, demikian tercantum dalam kitab Fi Tahrij al-Hadis karya Muhammad Nasirud-Din al-Albani.10
"#$ % 5) Y % ? $ T "T ! Z5 )5? & ! ! "#$ % , - ( 3 - [ ! E , M T = D T Q E N5 T 8 -8 Z ## < -8 , 5 , " * U 9 5 >\ = ] < ^8 ( ) - ? , ,- -' (>< ;?3) , $ ! _ ' $ ? ? , * D "! = ? Z !3 Q Z )$ ' < 11
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Ayyub dan Qutaibah Ya'ni bin Sa'id dan Ibnu Hujrin dari Ismail Ibnu Ja'far dari al-'Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah ra. (katanya) sesungguhnya 9 Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. IV, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 54. Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi anNaisaburi, Sahîh Muslim, Juz. 3, Mesir: Tijariah Kubra, tth. hlm. 83-84. 10 Muhammad Nasirud-Din al-Albani, Irwaghalil Fi Tahrij al-Hadis, Juz 6, Beirut: Maktabah al-Islami, tth, hlm. 30. 11 Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh Muslim, Tijariah Kubra, Mesir, tth, juz 3, hlm. 73.
69
Rasulullah Saw. bersabda: apabila manusia sudah mati, maka putuslah amalnya kecuali dari tiga macam, yaitu sedekah jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak yang saleh yang mendo'akannya (HR. Muslim).
Untuk menentukan derajat hadis ini dapat digunakan takhrij. Secara etimologis, takhrij berasal dari kharraja yang berarti tampak atau jelas.12 Dapat juga berarti mengeluarkan sesuatu dari sesuatu tempat.13 Sedangkan secara terminologi, takhrij adalah menunjukkan tempat hadis pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.14 Dapat juga dikatakan, takhrij berarti mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad, baik disertai dengan pembicaraan tentang status hadis-hadis tersebut dan segi Shahih atau Dha'if, ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekedar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal (sumbernya).15 Al-Thahhan sebagaimana dikutip Nawir Yuslem setelah menyebutkan beberapa
macam
menyimpulkannya
12
pengertian sebagai
takhrij
berikut:
di
takhrij
kalangan yaitu
Ulama
menunjukkan
Hadis, atau
Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, Metode Takhrij Hadits, Alih bahasa: Said Agil Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 2. 13 T.M. Hasbi al-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1990, hlm. 194. 14 Syeikh Manna' al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Terj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005, hlm. 189. 15 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001, hlm. 393.
70
mengemukakan letak asal Hadis pada sumber-sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan Hadis itu secara lengkap dengan sanad-nya masingmasing, kemudian, manakala .diperlukan, dijelaskan kualitas Hadis yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan menunjukkan letak hadis dalam definisi di atas, adalah menyebutkan berbagai kitab yang di dalamnya terdapat Hadis tersebut. Seperti, Hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitab Shahih-nya, atau oleh Al-Thabrani di dalam Mu'jam-nya, atau oleh Al-Thabari di dalam Tafsir-nya, atau kitab-kitab sejenis yang memuat Hadis tersebut.16 Hadis di atas yang diriwayatkan dari Said bin Abdurrahman dari Sufyan bin Uyainah dari Ubadillah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar. Hadis ini riwayat Imam Muslim 1. Jalur Muslim a. Tokoh ini lahir pada 204 H. Keramahannya kepada orang lain telah membuat dirinya sebagai seorang pedagang yang sukses. Ia dikenal sebagai dermawan Naisabur. Seperti pada umumnya ulama lain, ia belajar semenjak kecil, tahun 218 H. Pelajaran dimulai dari kampung halamannya di hadapan para Syeikh di sana. Hampir semua negeri pusat kajian hadis tidak luput dari persinggahannya, seperti, Irak (Bagdad), Hijaz, Mesir, Syam, dan lain-lain. Imam Muslim wafat pada 26 Rajab 261 H) di dekat Naisabur. Banyak ulama ditemui untuk periwayatan hadis, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahawaih (guru al-
16
Ibid, hlm. 394.
71
Bukhari juga) dan lain-lain. Di antara mereka al-Bukhari lah yang paling berpengaruh terhadap dirinya dalam metodologi penelitian hadisnya. Demikian juga Imam Muslim mempunyai banyak murid terkenal, seperti. Imam al-Turmudzi, Ibn Khuzaimah, Abdurrahman ibn Abi Hatim. b. Kitab Shahih Muslim Ada lebih dari dua puluh buku telah ditulis oleh Imam Muslim. Yang terkenal adalah Shahih Muslim itu sendiri, nama singkat dari judul aslinya. Di dalam kitabnya ini termuat 3.030 hadis (tidak termasuk di dalamnya yang ditulis berulang-ulang). Jumlah hadis seluruhnya ada lebih kurang 10.000 buah. Dengan
sebutan
Shahih
Muslim,
penulisnya
bermaksud
menjamin bahwa semua hadis yang terkandung di dalamnya shahih. Menurut penelitian para ulama, persyaratan yang ditetapkan Imam Muslim bagi shahihnya suatu hadis pada dasarnya sama dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Al-Bukhari. Ibnu Shalah mengatakan bahwa persyaratan Muslim dalam kitab shahihnya adalah: 1. Hadis itu bersambung sanadnya, 2. Diriwayatkan oleh orang kepercayaan (tsiqat), dari generasi permulaan hingga akhir, 3. Terhindar dari syudzudz dan 'illat.
72
Persyaratan ini pun dipergunakan oleh Imam al-Bukhari. Hanya, apa yang dimaksud dengan "bersambung sanadnya", ada sedikit perbedaan antara kedua tokoh ini.17
2. Kriteria kesahihan sanad hadis Setelah menelaah yang meriwayatkan hadis tersebut, maka kriteria kesahihan sanad hadis yaitu di antara syarat qabul (diterimanya) suatu hadis adalah berhubungan erat dengan sanad hadis tersebut yaitu (1) Sanad-nya bersambung; (2) bersifat adil; (3) dhabit.18 a. Yahya bin Ayyub, Qutaibah Ya'ni bin Sa'id, dan Ibnu Hujrin, Ismail Ibnu Ja'far, al-'Ala' Disebutkan oleh al-Asqalani bahwa ia hanya meriwayatkan hadis kepada A'masy, dan menerima hadis dari Ibn 'Abbas, itu pun hanya tentang kisah wafatnya Ali ibn Abi Thalib. Agaknya, bukan ini orang yang dimaksud dalam sanad. Yang tepat adalah Yahya bin Ayyub, Qutaibah Ya'ni binSa'id, Ibnu Hujrin, Ismail Ibnu Ja'far al'Ala'. Tidak ada informasi dari al-Asqalani, kapan ia lahir dan kapan pula ia wafat. Beberapa shahabat disebut oleh al-Asqalani sebagai penyalur hadis kepadanya, termasuk Abu Sa'id al-Khudri. 'Ummarah ibn Ghaziyyah juga disebut sebagai salah seorang penerima hadis dari Yahya ini. Dengan demikian persambungan sanad ke atas dan ke bawah telah terjadi. Ibn Ishaq, al-Nasa'i dan Ibn Kharrasy memujinya 17 Muh Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: tiara Wacana Yogya, 2003, hlm. 171-172. 18 Ibid.,, hlm. 160.
73
kendati tidak luar biasa dengan nilai tsiqah, begitu juga Ibn Hibban. Komentar lain tidak ada. Maka, tidak ada pertentangan antara penilaian 'adil dan cacatnya. Dengan demikian, hadisnya tergolong shahih. b. Abu Hurairah ra Terdapat kontroversi di kalangan para Ulama mengenai status riwayat Abu Hurairah ini. Syu'bah ibn al-Hajjaj menuduh Abu Hurairah telah melakukan tadlis dalam periwayatannya. Hal yang demikian dibuktikannya dengan menyatakan bahwa Abu Hurairah meriwayatkan sejumlah hadis yang diterimanya dari Ka'ab al-Ahbar dan juga ada yang langsung dari Rasulullah SAW, dan dalam periwayatannya dia tidak membedakan di antara kedua sunaber tersebut. Akan tetapi Bisyir ibn Sa'id tidak menerima tuduhan Syu'bah tersebut. Menurutnya, Abu Hurairah ada menyampaikan Hadis-Hadis yang diterimanya langsung dari Rasul SAW, dan ada yang melalui perantaraan
Ka'ab
al-Ahbar.
Namun,
sebagian
orang
yang
mendengarnya memutarbalikkannya dan mengatakan hadis yang berasal langsung dari Rasul SAW sebagai berasal dari Ka'ab, dan yang berasal dari Ka'ab dinyatakan sebagai hadis yang berasal langsung dari Nabi SAW. Dengan demikian, yang melakukan tadlis bukanlah Abu Hurairah, tetapi justru orang yang menerima riwayat tersebut dari Abu Hurairah.
74
Meskipun terdapat sejumlah orang yang mengkritik Abu Hurairah, namun dalam beberapa hal mereka juga memuji Abu Hurairah. Imam Syafi'i dalam hal ini adalah termasuk orang yang memuji Abu Hurairah dan bahkan beliau pernah mengatakan, "Abu Hurairah adalah orang yang paling hafiz di antara para perawi hadis pada masanya.19 3. Kriteria Kesahihan Matan Hadis Adapun kriteria kesahihan matan hadis dapat dijelaskan sebagai berikut: kriteria kesahihan matan hadis menurut muhadditsin tampaknya beragam. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu, dan persoalan, serta masyarakat yang dihadapi oleh mereka. Salah satu versi tentang kriteria kesahihan matan hadis adalah seperti yang dikemukakan oleh Al-Khatib Al-Bagdadi (w. 463 H/1072 M) bahwa suatu matan hadis dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matan hadis yang sahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:20 1. Tidak bertentangan dengan akal sehat; 2. Tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur'an yang telah muhkam (ketentuan hukum yang telah tetap); 3. Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir; 4. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf); 19
Nawir Yuslem, op.cit., hlm. 443. Bustamin dan M. Isa Salam, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2004, hlm. 62. 20
75
5. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti; dan 6. Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.21 Tolok ukur yang dikemukakan di atas, hendaknya tidak satupun matan hadis yang bertentangan dengannya. Sekiranya ada, maka matan hadis tersebut tidak dapat dikatakan matan hadis yang sahih. Ibn Al-Jawzi (w. 597 H/1210 M) memberikan tolok ukur kesahihan matan secara singkat, yaitu setiap hadis yang bertentangan dengan akal ataupun berlawanan dengan ketentuan pokok agama, pasti hadis tersebut tergolong hadis mawdhu', karena Nabi Muhammad Saw. tidak mungkin menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, demikian pula terhadap ketentuan pokok agama, seperti menyangkut aqidah dan ibadah.22 Salah Al-Din Al-Adabi mengambil jalan tengah dari dua pendapat di atas, ia mengatakan bahwa kriteria kesahihan matan ada empat: 1. Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur'an; 2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat; 3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, sejarah; dan 4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. Kalau disimpulkan, definisi kesahihan matan hadis menurut mereka, adalah sebagai berikut: pertama, sanadnya sahih (penentuan kesahihan sanad hadis didahului dengan kegiatan takhrij al-hadits dan dilanjutkan dengan kegiatan penelitian sanad hadis); kedua, tidak bertentangan dengan hadis 21
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hlm.
126. 22
Bustamin dan M. Isa Salam, op.cit., hlm. 63.
76
mutawatir atau hadis ahad yang sahih; ketiga, tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur'an; keempat, sejalan dengan alur akal sehat; kelima, tidak bertentangan
dengan
sejarah,
dan
keenam,
susunan
pernyataannya
menunjukkan ciri-ciri kenabian. Definisi kesahihan matan hadis di atas sekaligus menjadi langkah-langkah penelitian matan hadis.23 Apabila memperhatikan kriteria kesahihan matan hadis seperti telah diterangkan di atas, maka matan hadis yang dijadikan istinbat hukum oleh Imam Syafi'i dalam hubungannya dengan penarikan kembali wakaf oleh pemberi wakaf, maka matan hadis tersebut tidak mengalami pertentangan jika diukur dari parameter akal (rasio) karena Nabi Saw memerintahkan sesuatu hal yang bisa diterima oleh akal pikiran manusia. Disamping itu, tidak ada nas Al-Qur’an maupun hadis yang isinya bertentangan dengan matan hadis di atas, sehingga hadis tersebut dijadikan pedoman oleh Imam Syafi'i. Dengan demikian hadis yang dijadikan istinbat hukum oleh Imam Syafi'i masuk dalam kriteria hadis sahih. Hadis di atas diperkuat lagi oleh hadis shahih yang memiliki makna yang sama yaitu :
"#$ % 5) Y % ? $ T "T ! Z5 )5? & ! ! "#$ % , - ( 3 - [ ! E , M T = D T Q E N5 T 8 < -8 , 5 , " * U 9 5 >\ = ] < ^8 ( ) - ? , ,- -' ;?3) , $ ! _ ' $ ? ? , * D "! = ? Z !3 Q Z )$ ' < -8 Z ## (>< 24
23
Ibid., hlm. 63 – 64. Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, op.cit., hlm. 73.
24
77
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Ayyub dan Qutaibah Ya'ni bin Sa'id dan Ibnu Hujrin dari Ismail Ibnu Ja'far dari al-'Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah ra. (katanya) sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: apabila manusia sudah mati, maka putuslah amalnya kecuali dari tiga macam, yaitu sedekah jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak yang saleh yang mendo'akannya (HR. Muslim).
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah memaparkan dari bab pertama sampai bab empat skripsi ini, maka sampai pada kesimpulan sebagai berikut: 1. Menurut Imam Syafi'i, apabila seorang wakif memberi wakaf berupa harta benda, maka seketika itu juga beralih hak milik dari wakif kepada penerima wakaf. Harta benda wakaf itu tidak bisa ditarik kembali oleh pemberi wakaf. Dengan kata lain pemberi wakaf tidak memiliki lagi hak milik atas harta benda wakaf tersebut. Pernyataan Imam Syafi'i ini menunjukkan bahwa wakaf dalam pandangannya adalah suatu ibadah yang disyari'atkan, wakaf telah berlaku sah bilamana wakif telah menyatakan dengan perkataan waqaftu (telah saya wakafkan), sekalipun tanpa diputuskan hakim. Harta yang telah diwakafkan menyebabkan wakif tidak mempunyai hak kepemilikan lagi, sebab kepemilikannya telah berpindah kepada Allah Swt dan tidak juga menjadi milik penerima wakaf (maukuf alaih). Bagi Imam Syafi'i, wakaf itu mengikat dan karenanya tidak bisa ditarik kembali atau diperjualbelikan, digadaikan, dan diwariskan oleh wakif. 2. Dalam hubungannya dengan penarikan kembali wakaf oleh pemberi wakaf, Imam Syafi'i menggunakan metode istinbat hukum berupa hadis yang setelah ditakhrij masuk dalam kategori hadis sahih, baik dari segi matan, rawi maupun sanadnya yaitu dari Yahya bin Yahya at-Tamimiy 78
79
dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi' dari Ibnu Umar. Imam Syafi'i berpendapat bahwa akad wakaf termasuk akad lazim (atau mulazamah). Oleh karena itu, benda yang telah diwakafkan bukan lagi milik wakif, melainkan telah menjadi milik umum (atau milik Allah). Akibatnya adalah bahwa benda yang telah diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan karena memang ia bukan lagi milik perorangan, melainkan milik publik (umat). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf masih mengakomodasi pendapat Abu Hanifah meskipun pendapat tersebut telah ditinggalkan oleh penerusnya, Abu Yusuf. Dari segi kepemilikan, UU mengakui adanya wakaf dalam durasi tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa wakaf tidak mesti bersifat muabbad. Oleh karena itu, UU Nomor 41 tentang Wakaf mengakui adanya akad wakaf yang bersifat gayr lazim (tidak menyebabkan pindahnya kepemilikan benda wakaf) yang dipandang sama dengan al-'ariyah (pinjaman). B. Saran-Saran Terlepas dari pendapat Imam Syafi'i yang berbeda dengan Imam lainnya, namun kehati-hatian dan kepiawaian Imam Syafi'i tidak disanksikan. Atas dasar itu, pendapatnya dapat dijadikan masukan dalam merumuskan Kompilasi Hukum Islam di masa datang dan hal ini sudah terjadi, karena KHI banyak merujuk pada pendapat Imam Syafi'i.
80
C. Penutup Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan ridhanya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Peneliti menyadari bahwa di sana-sini terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam paparan maupun metodologinya. Karenanya dengan sangat menyadari, tiada gading yang tak retak, maka kritik dan saran membangun dari pembaca menjadi harapan peneliti. Semoga Allah SWT meridhainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004. Alabij, Adijani, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Ali, Maulana Muhammad, Islamologi, (Dinul Islam), Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1976. Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988. Al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Arab-Indonesia
Anshary, Abi Yahya Zakariya, Fath al-Wahhab, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, Anshori, Abdul Ghofur, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006. Ash-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1989. Asy Syurbasyi, Ahmad, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi Empat Imam Madzhabi", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003. Bukhari, Imam, Shahih al-Bukhari, Dar al-Biya al-Kutub al-'Arabiyyah. 1981, juz III, hlm. 196 Bustamin dan M. Isa Salam, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2004. Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqh, Jilid 3, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995. Departemen Agama, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan Haji, 2003. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2004.
Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005. Farid, Syeikh Ahmad, Min A'lam al-Salaf, Terj. Masturi Ilham dan Asmu'i Taman, 60, "Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006. Fikri, Ali, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam Madzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003. Hadi, Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul, Metode Takhrij Hadits, Alih bahasa: Said Agil Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar, Semarang: Dina Utama, 1994. Hafidhuddin, Didin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani, 2003. Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz IV, Jakarta:PT Pustaka Panji Mas, 1999. Haq, Faishal dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Pasuruan Jawa Timur: GBI (Anggota IKADI), 1994. Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996. Hussaini, Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad, Kifayah Al Akhyar, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth. Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Jarjawi, Syeikh Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuh, Juz II, Beirut: Dâr al-Fikr, 1980. Jazairi, Abu Bakar Jabir, Minhâj al-Muslim, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 2004. Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Khalaf, Abd al-Wahhab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978. Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. M. Zein, Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005. Malibary, Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz, Fath al-Mu’in, Semarang: Toha Putera , tth. Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002. --------, Wakaf Produktif, Bandung: Anggota IKAPI, 2008.
Muchtar, Abdul Chaliq, Indal Abror, Agung Danarta dan Muhammad Yusuf, Hadis-Hadis Dalam Kitab al-Umm Imam al-Syafi'i, Penelitian Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 1999. Muchtar, Kamal, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995. Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001. Naisaburi, Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahîh Muslim, Juz. 2 dan 3, Mesir: Tijariah Kubra, tth. Najib, Tuti A. dan Ridwan al-Makassary (Ed), Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: CSRC, 2006. Prihatini, Farida, et al, Hukum Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2005. Qahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Muhyiddin Mas Rida, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000. Qaththan, Syeikh Manna', Pengantar Studi Ilmu Hadits, Terj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005. Rofiq, Ahmad, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. ---------, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997. Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Beirut: Dar al-Fikr, tth. San'any, Subul al-Salam, Juz III, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi alHalabi, 1950. Shiddieqy, TM. Hasbi Ash, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001. --------, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997. --------, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1990. Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti,1995. Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993. Suryadilaga, M. Alfatih (ed), Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: Teras, 2003. Syafi’î, Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Juz. IV dan VII, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth. --------, al-Risalah, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938. Syalthut, Mahmud, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000. Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003. Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media, 2005. Tunggal, Hadi Setia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Jakarta: Harvarindo, 2005. Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Surabaya: DEPAG RI, 1978.
Al-Qur’an
dan
Terjemahnya,
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001. Zahrah, Muhammad Abu, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-Uhu wa Fiqhuhu, Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, “Al-Syafi’i Biografi dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005. ---------, Usul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958. Zuhdi, Masjfuk, Studi Islam: Jilid III, Jakarta: Rajawali, 1988. Zuhri, Muh, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: tiara Wacana Yogya, 2003.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Ruddy Pamungkas
Tempat/Tanggal Lahir
: Semarang, 13 Pebruari 1986
Alamat Asal
: Tlogosari wetan RT 06 RW 03 Pedurungan Semarang
Pendidikan
: - MI Al-Fatoniyah Semarang lulus th 1999 -MTs NU 18 Karang Malang Kankung Kendal lulus th 2002 - MAN 2 Semarang lulus th 2005 - Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Angkatan 2005
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Penulis
BIODATA DIRI DAN ORANG TUA Nama
: Ruddy Pamungkas
NIM
: 2105144
Alamat
: Tlogosari wetan RT 06 RW 03 Pedurungan Semarang
Nama orang tua
: Bapak Suyitni dan Ibu Nafsiyah
Alamat
: Tlogosari wetan RT 06 RW 03 Pedurungan Semarang