PENANGANAN SAMPAH ORGANIK SKALA RUMAH TANGGA SEBAGAI UPAYA PENGADAAN SUMBER ENERGI TERBARUKAN
KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk mengikuti Kompetisi Karya Tulis Ilmiah Maba
Oleh : 1. Kurniawan Eko S. Z
(0811030116)
2. Andrian Wahyu Jati
(0811030006)
3. Irwin Irhamdi
JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2009
LEMBAR PENGESAHAN
Karya tulis ilmiah ini ditujukan untuk mengikuti Kompetisi Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa (KKTM) tingkat Universitas Brawijaya tahun 2009 Judul
: Penanganan Sampah Organik Skala Rumah Tangga sebagai Upaya Pengadaan Sumber Energi Terbarukan
Oleh
Pembimbing
: 1. Kurniawan Eko S. Z
(0811030116)
2. Andrian Wahyu Jati
(0811030006)
3. Irwin Irhamdi
(0811033040)
: Ir. Nur Hidayat, MP Malang,
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Mahasiswa
Ir. Nur Hidayat, MP NIP. 132243718
Kurniawan Eko S. Z NIM 0511010010
Menyetujui,
Dr. Ir. Wignyanto, MS NIP. 131574856
i
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………….... i DAFTAR ISI……………………………………………………………….…. ii BAB I
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang…………………………………………….… 1 1.2. Rumusan Masalah………………………………………….... 3 1.3. Tujuan Penulisan……………………………………………. 3 1.4. Manfaat Penulisan…………………………………………... 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan tentang Energi…………………………………….. 4 2.2. Tinjauan tentang Sampah……………………………….…... 6 2.3. Manajemen Pengelolaan Sampah……………………….…... 8 2.4. Tinjauan tentang Biogas……………………………….……. 10 2.5. Mekanisme Proses Pencernaan Anaerobik………………..… 14 2.6. Tinjauan tentang Bakteri Metanogenik………………….….. 17 2.7. Tinjauan tentang Reaktor Biogas………………………….... 18
BAB III
METODOLOGI 3.1. Sifat Penulisan…………………………………………….… 22 3.2. Metode Perumusan masalah………………………………… 22 3.3. Metode Pengumpulan data………………………………….. 22
BAB IV
PEMBAHASAN 4.1. Penanganan Sampah……………………………………….… 23 4.2. Teknik Penanganan Sampah Rumah Tangga………………... 24 4.3. Proses Pembuatan Biogas………………………………….… 25 4.3. Manfaat Biogas…………………………………………….… 28
BAB V
PENUTUP 5.1 Kesimpulan…………………………………………………... 30 5.2 Saran…………………………………………………………. 30
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 31
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Krisis energi yang mencapai puncak pada dekade 1970 mulai menimbulkan berbagai masalah di dunia. Sampai saat ini minyak bumi masih menjadi energi utama yang digunakan oleh penduduk dunia khususnya di Indonesia. Adanya eksploitasi secara besar-besaran menyebabkan persediaan minyak bumi semakin menipis, dan menyebabkan harga bahan bakar minyak melonjak dengan cepat. Lonjakan harga minyak dunia akan memberikan dampak yang besar bagi pembangunan bangsa Indonesia. Konsumsi bahan bakar minyak yang mencapai 1,3 juta/barel tidak seimbang dengan produksinya yang nilainya sekitar 1 juta/barel sehingga terdapat defisit yang harus dipenuhi melalui impor. Menurut data ESDM (2006) cadangan minyak Indonesia hanya tersisa sekitar 9 milliar barel. Apabila terus dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan minyak ini akan habis dalam dua dekade mendatang. Untuk mengatasinya pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan melalui Inpres nomor 1 tahun 2006, Inpres nomor 2 tahun 2006, dan Perpres nomor 5 tahun 2006. Dalam Inpres dan Perpres tersebut mengamanatkan pengembangan dan penggunaan bahan bakar alternatif untuk mengurangi ketergantungan dan dapat menggantikan bahan bakar minyak. Meskipun saat ini penggunaan energi alternatif belum sepenuhnya dapat menggantikan bahan bakar minyak yang ada, namun penggunaan energi alternatif sebagai campuran dapat menghemat penggunaan bahan bakar minyak di Indonesia. Pengembangan energi alternatif yang dapat diperbaharui (renewable) bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan potensi mekanisme produksi yang ramah lingkungan dan meningkatkan stabilitas iklim global. Energi yang dapat diperbaharui salah satunya adalah Biofuel. Menurut Suhut Simamora : 2006, “Biofuel merupakan bahan bakar yang berasal dari minyak nabati dan ramah lingkungan. Energi alternatif yang tergolong Biofuel adalah Biogas, Bioethanol dan Biodiesel”.
1
Biogas merupakan gas mudah terbakar yang dihasilkan melalui proses fermentasi limbah organik oleh bakteri-bakteri anaerob. Bahan utama biogas adalah metana (CH4) yang mencakup 60-70 persen, sedangkan sisanya berupa CO2, H2S dan gas lainnya (Nitrogen, Hidrogen). Proses pembuatan biogas dilakukan didalam reaktor biogas dan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya, bahan baku isian, derajat keasaman, temperatur pencernaan, pengenceran bahan baku isian, dan pengadukan. Biogas dapat dihasilkan oleh semua bahan organik. Biogas merupakan energi alternatif yang berpotensi dikembangkan di Indonesia, mengingat melimpahnya volume sampah yang belum dimanfaatkan. Berdasarkan data-data BPS tahun 2000, dari 384 kota di Indonesia sampah yang dihasilkan sebesar 80.235,87 ton perhari. Dari jumlah tersebut yang di buang ke tempat pembuangan akhir (TPA) hanya sekitar 4,2 %. Sekitar 37,6 % lainnya dibakar, 4,9 % dibuang kesungai, dan 53.3 % sampah tidak tertangani. Sedangkan sekitar 70 % sampah padat kota di Indonesia merupakan sampah organik, 28 % sampah anorganik dan hanya 2 % dalam kategori sampah berbahaya. Dari 70 % sampah organik sekitar 54 % (38 % dari total sampah) bersifat mudah didegradasi dan berpotensi untuk dibuat biogas. Jumlah sampah kota tersebut diperoleh dari akumulasi sampah rumah tangga yang dihasilkan sekitar 4,45 kg perhari, sampah industri, dan sampah pertanian (Damanhuri, 2002). Banyaknya timbunan sampah di tempat pembuangan akhir diakibatkan buruknya penanganan sampah rumah tangga. Penanganan sampah rumah tangga dapat dilakukan dengan cara memisahkan sampah organik dan anorganik. Sampah organik dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas skala rumah tangga. Pembuatan biogas skala rumah tangga menggunakan reaktor plastik dengan kapasitas 4000 liter. Penggunaan reaktor plastik merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk diterapkan, melihat harga reaktor yang relatif murah, cara kerja sederhana, dan biogas bisa langsung digunakan untuk keperluan sehari-hari. Digunakannya sampah organik sebagai bahan baku dalam pembuatan biogas akan memberi banyak manfaat bagi manusia dan lingkungan.
1.2. Rumusan Masalah
2
Meskipun bahan baku biogas tersedia secara melimpah, namun belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Hal tersebut diakibatkan sebagian besar penduduk di Indonesia enggan ataupun kurang mengerti tahapan proses pembuatan biogas. Dari permasalahan tersebut didapat rumusan masalah : 1.2.1 Sampah organik yang jumlahnya sangat melimpah, namun karena adanya keterbatasan pengolahan sampah organik menjadi sumber energi terbarukan yang menjadikan pemanfaatannya kurang optimal. 1.2.2
Perlu pengenalan metode pembuatan biogas skala rumah tangga sebagai upaya pengadaan sumber energi terbarukan.
1.2.3
Produk yang dihasilkan langsung dapat digunakan dan ramah lingkungan.
1.3. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah : 2.3.1
Mengetahui proses penanganan sampah organik sehingga dapat diolah menjadi sumber energi.
2.3.2
Mengetahui proses pembuatan biogas dengan reaktor skala rumah tangga.
1.3. Manfaat Penulisan Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya : 1.3.1. Mempelajari keunggulan sampah organik untuk dapat diolah menjadi sumber energi dalam usaha mengatasi krisis energi. 1.3.2. Mengurangi ketergantungan penggunaan bahan bakar minyak bumi dengan memanfaatkan sampah organik skala rumah tangga. 1.3.3. Mengurangi pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah.
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Energi Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja, daya (kekuatan) yang digunakan untuk melakukan berbagai proses kegiatan misalnya dapat merupakan bagian dari suatu bahan atau tidak terikat pada bahan (seperti sinar matahari) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003). Sebagian besar penduduk dunia khususnya di Indonesia menggunakan minyak bumi sebagai penghasil energi utama. Adanya eksploitasi minyak bumi dalam jumlah yang besar membuat persediaan minyak bumi semakin menipis, dan menyebabkan harga bahan bakar minyak bumi melambung tinggi. Konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia saat ini mencapai 1,3 juta/barel, sedang produksinya hanya sekitar 1 juta/barel sehingga terdapat defisit yang harus dipenuhi melalui impor. Menurut data ESDM (2006) cadangan minyak Indonesia hanya tersisa sekitar 9 milliar barel. Apabila terus dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan minyak ini akan habis dalam dua dekade mendatang (T. R Syamsudin, 2005). Tabel 1. Produksi minyak bumi, gas, dan batu bara di Indonesia. Sumber Energi Minyak bumi
Tahun 1990
1991
1992
1993
533.707
581.233
550.668
551.804
2.518.921
2.461.834
2.582.108
2.823.228
10.461.513
14.143.036
21.146.29
27.860.754
(x 1000 barrel) Gas Bumi (MCF) Batu Bara (ton)
Sumber : Biro Pusat Statistik (1993) Dalam tabel 1 terlihat bahwa selama tiga tahun terakhir telah terjadi peningkatan eksploitasi minyak bumi sebesar 1,3 %, gas bumi sebesar 9,4 %, dan batu bara sebesar 38,8 % pertahun. Untuk mengatasi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan melalui Inpres nomor 1 tahun 2006, Inpres nomor 2 tahun 2006, dan Perpres nomor 5 tahun 2006. Dalam Inpres dan Perpres tersebut mengamanatkan pengembangan dan penggunaan bahan bakar
4
alternatif untuk mengurangi ketergantungan dan dapat menggantikan bahan bakar minyak. Salah satu energi alternatif yang dapat diperbaharui adalah biofuel. Biofuel adalah bahan bakar berupa padatan, cairan ataupun gas yang dihasilkan dari bahan organik. Biofuel dapat dihasilkan secara langsung dari tanaman atau secara tidak langsung dari limbah industri, komersial, domestik atau pertanian. Ada tiga cara untuk membuat biofuel: (1) pembakaran limbah organik kering (seperti buangan rumah tangga, limbah industri dan pertanian); (2) fermentasi limbah basah (seperti kotoran hewan) tanpa oksigen untuk menghasilkan biogas (mengandung hingga 60 persen metana), atau fermentasi tebu atau jagung untuk menghasilkan alkohol dan ester; (3) energi dari hutan (menghasilkan kayu dari tanaman yang cepat tumbuh sebagai bahan bakar), (T.R Syamsuddin, dan H.H Iskandar ; 2005). Menurut Suhut Simamora : 2006, “Biofuel merupakan bahan bakar yang berasal dari minyak nabati dan ramah lingkungan. Energi alternatif yang tergolong Biofuel adalah Biogas, Bioetanol dan Biodiesel”. Biogas diproduksi dengan proses digesti anaerobik dari bahan organik oleh bakteri anaerob. Biogas dapat diproduksi melalui bahan sisa yang dapat terurai atau menggunakan tanaman energi yang dimasukan ke dalam pencerna anaerobik untuk menambah gas yang dihasilkan. Hasil sampingan dapat digunakan sebagai bahan bakar bio atau pupuk. Biogas mengandung metana yang diperoleh dari digester anaerobik industri dan sistem pengelolaan biologi mekanik. Gas sampah adalah sejenis biogas yang tidak bersih yang diproduksi dalam tumpukan sampah melalui digesti anaerobik yang terjadi secara alami. Bila gas ini lepas ke atmosfer, gas ini merupakan gas rumah kaca (U. Marchaim, 1992). Biofuel lebih bersifat carbon neutral dan sedikit meningkatkan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfir karena produksinya berasal dari biomassa yang tidak meningkatkan kadar karbon di atmosfer. Penggunaan biofuel mengurangi ketergantungan pada minyak bumi serta meningkatkan keamanan energi (R. K Singh, 2005).
2.2 Tinjauan Tentang Sampah
5
Sampah merupakan bagian dari kehidupan manusia. Semua aktivitas yang dilakukan oleh manusia menghasilkan sampah baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Dengan jumlah sampah yang dihasilkan secara terus menerus mengharuskan manusia untuk menangani ataupun mengolahnya sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Menurut Damanhuri (2002) bahwa 70 % sampah padat kota di Indonesia merupakan sampah organik, 28 % sampah anorganik dan hanya 2 % dalam kategori sampah berbahaya. Dari 70 % sampah organik sekitar 54 % (38 % dari total sampah) bersifat mudah didegradasi dan berpotensi untuk dibuat biogas. TPS Tlogomas Malang produksi sampahnya sekitar 960 kg per hari dan sekitar 256 kg sampah organik yang dapat digunakan untuk pembuatan biogas (Mustikaningrum dan Wahyuni, 2003).
Gambar 1. Tumpukan sampah disalah satu TPA di Indonesia 2.2.1 Komposisi Sampah Sampah rumah tangga merupakan sumber yang potensial untuk dijadikan sumber bahan organik dan sampah rumah tangga yang terakumulasi dalam sampah kota sangat banyak. Sampah kota sangat menggagu pemandangan serta merupakan salah satu sumber pencemaran udara dan air, sumber penyakit serta mengganggu nilai estetika, dengan keadaan ini salah satu alternatif untuk mengurangi sampah kota adalah dengan cara memanfaatkannya sebagai sumber bahan organik tanah dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Sampah kota merupakan bahan organik dengan komposisi bahan yang sangat beragam antara lain dengan adanya kontaminasi bahan anorganik (gelas, plastik, logam) dan dengan nisbah C/N ratio yang cukup tinggi pula serta mengandung mikroba seperti bakteri, fungi, actinomycetes dan aptogen (Suntoro,
6
2003). Dari tabel 2 dapat dilihat komposisi sampah di Semarang, Bandung dan Jakarta (BPPT, 1998). Tabel 2. Komposisi sampah di Semarang, Bandung, dan Jakarta Komposisi (%) Bahan Organik
Semarang
Bandung
Jakarta
68.75
73.25
73.92
Kertas
5.45
9.70
10.18
Plastik
14.15
8.58
7.86
Logam
-
0.50
2.04
Kulit
-
0.40
0.55
Kayu
-
3.60
0.98
Tekstil
-
0.90
1.57
Gelas
0.16
0.43
1.75
Lain-lain
5.97
2.64
1.22
Pada tahun 2003 setiap penduduk indonesia menghasilkan sampah rata 0.67 kg/kapita per hari dan pada tahun 2020 nanti dperkirakan akan meningkat 2.1 kg/kapita per hari. Berdasarkan tabel 3 (Damanhuri, 2002), dapat dilihat jumlah sampah yg dihasilkan beberapa kota di Indonesia pada tahun 1997. Dan pada tahun 2008, sampah yang dihasilkan oleh aktivitas rumah tangga per orang perhari adalah 0,7 – 0,8 kg perhari. Dari jumlah sampah tersebut terdapat 0,4 kg sampah organik yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas (Ida Kusnawati Tjahjani dkk, 2008). Pemanfaatan sampah kota sebagai sumber bahan organik tanah sangat tergantung dari jenis sampah yg dihasil yang berhubungan dengan proses pelapukan sampah sebagai sumber pembuatan kompos. Pelapukan bahan organik sangat tergantung dari nilai nisbah C/N, semakin tinggi nisbah C/N maka akan semakin sulit bahan tersebut melapuk. Menurut Tisdale dan Nelson (1975) semua
7
bahan organik dengan nisbah Carbon-Nitrogen (C/N) kurang dari 20 lebih cepat melepas nitrogen kedalam tanah sehingga lebih cepat terdekomposisi sedangkan bila nisbah C/N lebih dari 30 lebih susah terdekomposisi karena tertahannya Nitrogen. Selain itu komposisi sampah yag dilihat dari segi kandungan bahan seperti glukosa, lignin, lilin dan lain-lain juga berpengaruh dalam proses pengomposan. Menurut Mujiati, dkk (1989) Glukosa dan sejenisnya lebih mudah terurai dari pada lignin dan lilin. Tabel 3. Jumlah sampah dibeberapa kota di Indonesia Kota
Populasi
L/kapita/hari
Kg/kapita/hari
Jakarta
9.527.800
2.60
0.65
Surabaya
2.837.000
2.40
0.60
Bandung
2.501.500
3.30
0.83
Makasar
1.300.000
2.40
0.60
Menurut Mustikaningrum dan Wahyuni (2003) dari total sampah kota organik, sekitar 60% merupakan sayur-sayuran dan 40% merupakan daun-daunan, kulit buah-buahan dan sisa makanan. Dengan tingginya komposisi sayur-sayuran ini dalam kandungan sampah justru menguntungkan dalam proses pengomposan karena bahan-bahan yang berupa sayur-sayuran mempunyai nisbah C/N rasio yang rendah seperti yang terlihat pada tabel 4 (Purwatiningsih, Pujiwati; 2002). Tabel 4. Nisbah C/N dari beberapa sayuran Sayuran Kubis Lobak K.
Buncis Kentang Terung Apel Turi
Panjang C/N
10
9
10
8
8
7
16
9
2.3. Manajemen Pengelolaan Sampah Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengelola perkotaan adalah penanganan sampah. Berdasarkan data-data BPS tahun 2000, dari 384 kota yang menimbulkan sampah sebesar 80.235,87 ton setiap hari, penanganan sampah yang diangkut dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2 %, yang dibakar sebesar 37,6 % , yang dibuang ke sungai 4,9 % dan tidak tertangani sebesar 53,3 % (Arianto Wibowo dan Darwin T Djajawinata, 2008).
8
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya pertambahan penduduk dan arus urbanisasi yang pesat telah menyebabkan timbunan sampah pada perkotaan semakin tinggi, kendaraan pengangkut yang jumlah maupun kondisinya kurang memadai, sistem pengelolaan TPA yang kurang tepat dan tidak ramah lingkungan, dan belum diterapkannya pendekatan reduce, reuse dan recycle yang sering disebut dengan 3 R (Arianto Wibowo dkk, 2008). Pertambahan penduduk yang disertai dengan tingginya arus urbanisasi ke perkotaan telah menyebabkan semakin tingginya volume sampah yang harus dikelola setiap hari. Hal tersebut bertambah sulit karena keterbatasan lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Pengangkutan sampah ke TPA juga terkendala karena jumlah kendaraan yang kurang mencukupi dan kondisi peralatan yang telah tua. Masalah lainnya adalah pengelolaan TPA yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ramah lingkungan (Arianto Wibowo dan Darwin T Djajawinata, 2008). Beberapa kegiatan perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas, diantaranya : (1) melakukan pengenalan karekteristik sampah dan metoda pembuangannya, (2) merencanakan dan menerapkan pengelolaan persampahan secara terpadu (pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir), (3) memisahkan peran pengaturan dan pengawasan dari lembaga yang ada dengan fungsi operator pemberi layanan, agar lebih tegas dalam melaksanakan reward & punishment dalam pelayanan, (4) menggalakkan program Reduce, Reuse dan Recycle (3 R) agar dapat tercapai program zero waste pada masa mendatang, (5) melakukan pembaharuan struktur tarif dengan menerapkan prinsip pemulihan biaya (full cost recovery) melalui kemungkinan penerapan tarif progresif, dan mengkaji kemungkinan penerapan struktur tarif yang berbeda bagi setiap tipe pelanggan (6) mengembangkan teknologi pengelolaan sampah yang lebih bersahabat dengan lingkungan dan memberikan nilai tambah ekonomi bagi bahan buangan (Arianto Wibowo dan Darwin T Djajawinata, 2008). Para ahli telah merekomendasikan tempat pembuangan akhir (TPA) dengan menggunakan sistem sanitary landfill yang dilengkapi dengan sarana pengomposan dan pemanfaatan sampah menjadi bahan baku daur ulang. Sisa sampah yang tidak dapat didaur ulang ataupun dibuat menjadi kompos kemudian
9
dibakar dan disimpan dalam kolam sanitary landfill. Proses ini dapat dinamakan Instalasi pengolahan sampah terpadu (IPST). Proses daur ulang, produksi kompos dan pembakaran tersebut bertujuan untuk memperkecil volume sampah yang dihasilkan, sehingga pembuangan sampah pada kolam sanitary landfill dapat diperkecil dan akhirnya dapat menghemat penggunaan lahan TPA (Arianto Wibowo dan Darwin T Djajawinata, 2008).
2.4. Tinjauan Tentang Biogas Biogas merupakan jenis bahan bakar gas yang mudah terbakar dan dihasilkan melalui proses fermentasi oleh bakteri-bakteri anaerob yang hidup dalam kondisi kedap udara. Biogas dapat dihasilkan dari semua bahan organik. Untuk menentukan bahan organik yang sesuai dengan kebutuhan bahan isian sistem biogas yaitu dengan mengatur rasio karbon (C) dan nitrogen (N) atau disebut rasio C/N. beberapa percobaan yang telah dilakukan oleh ISAT menunjukkan bahwa aktivitas dari bakteri methanogenik akan optimal pada nilai rasio C/N sekitar 8-20 (Anonymus, 1977). Dari hasil penelitian Serasi Ginting (1977) dilaporkan bahwa biogas mempunyai komposisi sebagai berikut : a. Methan (CH4)
65,7 %
b. Karbon dioksida (CO2)
27,0 %
c. Nitrogen (N2)
2,3 %
d. Karbon monoksida (CO)
0,0 %
e. Oksigen (O)
1,0 %
f. Propana (C3H8)
0,7 %
Nilai kalor total
65123 kcal/m
Dengan menyimak komposisi tersebut, gas metana yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar nilai kalornya sekitar 4800 – 6700 kcal/m. Nilai kalori dari 1m3 biogas sekitar 6000 watt jam yang setara dengan setengah liter minyak diesel. Oleh karena itu biogas sangat cocok digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan sebagai pengganti minyak tanah, LPG, butana, batu bara maupun bahan-bahan lain yang berasal dari fosil. Kesetaraan biogas dapat dilihat dalam tabel 5 (Suhut Simamora dkk, 2006).
10
Tabel 5. Biogas dibanding dengan bahan bakar lain Keterangan
Bahan bakar lain Elpiji 0,46 kg Minyak tanah 0,62 liter
1 m3 Biogas
Minyak solar 0,52 liter Bensin 0,80 liter Gas kota 1,50 m3
Sumber : Suhut Simamora dkk (2006) Biogas dapat digunakan dengan cara yang sama seperti gas-gas mudah terbakar yang lain. Pembakaran biogas dilakukan dengan mencampurnya dengan sebagian oksigen (O2). Namun, untuk mendapatkan hasil pembakaran yang optimal perlu dilakukan kondisi sebelum biogas dibakar yaitu melalui proses pemurnian atau penyaringan karena biogas mengandung beberapa gas lain yang tidak menguntungkan. Sebagai salah satu contoh kandungan gas hidrogen sulfida yang tinggi yang terdapat dalam biogas jika dicampur dengan oksigen dengan perbandingan 1 : 20, akan menghasilkan gas yang sangat mudah meledak. Tetapi sejauh ini belum pernah ada laporan terjadinya ledakan pada sistem biogas sederhana (Suhut Simamora dkk, 2006). Produksi biogas dalam reaktor dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : bahan baku isian, derajat keasaman, temperatur pencernaan, pengenceran bahan baku isian, dan pengadukan (Soewarno notodimedjo, 1996). a. Bahan baku isian Untuk pembentukan gas methan (CH4) dibutuhkan unsur karbon (C) dan unsur nitrogen (N) yang diperlukan oleh bakteri anaerobik dalam pembentukan sel. Nisbah C/N yang paling baik untuk pembentukan biogas adalah sekitar 8 - 20, agar proses pencernaan dapat menghasilkan biogas secara optimal sekaligus mempertahankan
kelanggengan
kehidupan
bakteri
anaerobik
(Soewarno
Notodimedjo, 1996). Dari pengamatan John Fry et al. (1973) nisbah C/N dari berbagai kotoran hewan dikemukakan pada tabel 6.
Tabel 6. Nisbah C/N beberapa jenis kotoran hewan/ternak Jenis kotoran
Nisbah C/N
11
Kerbau
18
Kuda
25
Sapi
18
Ayam
15
Babi
25
Kambing/Domba
30
Manusia
6 - 10
Hasil pengamatan Purwatiningsih (2002) tentang nisbah dari berbagai sayuran dikemukakan pada tabel 7. Tabel 7. Nisbah C/N dari beberapa jenis sayuran Sayuran
Nisbah C/N
Kubis
10
Lobak
9
Kacang panjang
10
Buncis
8
Kentang
8
Terung
7
Apel
16
Turi
9
Dari tabel 6 dan tabel 7 diketahui perbedaan nisbah antara bahan organik akan mempengaruhi jumlah produksi biogas. Semakin tinggi nisbah C/N-nya, semakin besar pula biogas yang dihasilkan (Soewarno Notodimedjo, 1996). b. Derajat keasaman Derajat keasaman suatu cairan ditentukan dengan mengukur pH-nya. pH dapat diukur dengan menggunakan pH-meter atau kertas pH. Pada proses pembentukan biogas pH bahan isian harus sesuai dengan kondisi yang sudah ditentukan. Pada awal pencernaan, pH bahan yang terisi dalam tangki pencernaan dapat turun menjadi 6 atu lebih rendah. Hal ini merupakan akibat dari pencernaan bahan organik oleh bakteri anaerobik. Setelah 2 hingga 3 minggu, pH mulai naik disertai dengan perkembangbiakan bakteri pembentuk methan. Bakteri anaerobik
12
bekerja dengan optimal pada pH antara 6,8 hingga 8, yang akan menghasilkan laju produksi biogas mencapai optimum. pH yang terlalu asam dapat ditingkatkan dengan pengapuran (Soewarno Notodimedjo, 1996). c. Temperatur pencernaan Perkembangbiakan bakteri sangat dipengaruhi oleh temperatur. Pencernaan anaerobik dapat berlangsung pada suhu 20 °C sampai 55 °C. Semakin tinggi temperatur jumlah biogas yang dihasilkan semakin besar. Namun pada temperatur yang terlalu tinggi, bakteri anaerob akan mudah mati. Temperatur optimum untuk menghasilkan biogas adalah 35 °C. Oleh karena itu, agar selalu diperoleh biogas temperatur tangki pencerna hendaknya dipertahankan pada suhu 35
°C
(Soewarno Notodimedjo, 1996). d. Pengenceran bahan baku isian Isian dibentuk dengan mengaduk bahan baku dengan air pada perbandingan tertentu (1 :1) atau (1 : 2). Isian yang baik sebagai penghasil biogas hendaknya mengandung 7 – 9 persen bahan kering. Peda keadaan ini proses pencernaan anaerobik berjalan dengan baik. Untuk beberapa jenis kotoran hewan, Meynell (1976) memberikan harga rata-rata bahan kering terlihat pada tabel 8 sebagai berikut. Tabel 8. Harga rata-rata bahan kering beberapa kotoran ternak Jenis kotoran
Bahan kering
Manusia
11
Sapi
18
Babi
11
Ayam/unggas
25
Dari tabel 7 menunjukkan bahwa pengenceran isian dengan air untuk setiap jenis kotoran dilakukan berbeda-beda, agar diperoleh isian dengan bahan kering yang optimum. b. Derajat keasaman Derajat keasaman suatu cairan ditentukan dengan mengukur pH-nya. pH dapat diukur dengan menggunakan pH-meter atau kertas pH. Pada proses pembentukan biogas pH bahan isian harus sesuai dengan kondisi yang sudah ditentukan. Pada awal pencernaan, pH bahan yang terisi dalam tangki pencernaan
13
dapat turun menjadi 6 atu lebih rendah. Hal ini merupakan akibat dari pencernaan bahan organik oleh bakteri anaerobik. Setelah 2 hingga 3 minggu, pH mulai naik disertai dengan perkembangbiakan bakteri pembentuk methan. Bakteri anaerobik bekerja dengan optimal pada pH antara 6,8 hingga 8, yang akan menghasilkan laju produksi biogas mencapai optimum. pH yang terlalu asam dapat ditingkatkan dengan pengapuran (Soewarno Notodimedjo, 1996). c. Temperatur pencernaan Perkembangbiakan bakteri sangat dipengaruhi oleh temperatur. Pencernaan anaerobik dapat berlangsung pada suhu 20 °C sampai 55 °C. Semakin tinggi temperatur jumlah biogas yang dihasilkan semakin besar. Namun pada temperatur yang terlalu tinggi, bakteri anaerob akan mudah mati. Temperatur optimum untuk menghasilkan biogas adalah 35 °C. Oleh karena itu, agar selalu diperoleh biogas temperatur tangki pencerna hendaknya dipertahankan pada suhu 35
°C
(Soewarno Notodimedjo, 1996). d. Pengenceran bahan baku isian Isian dibentuk dengan mengaduk bahan baku dengan air pada perbandingan tertentu (1 :1) atau (1 : 2). Isian yang baik sebagai penghasil biogas hendaknya mengandung 7 – 9 persen bahan kering. Pada keadaan ini proses pencernaan anaerobik berjalan dengan baik.
2.5. Mekanisme Proses Pencernaan Anaerobik Proses pencernaan anaerobik yang merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu proses pemecahan bahan organik oleh aktivitas bakteri methanogenik dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa udara. Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, kotoran manusia, dan sampah organik rumah tangga.proses anaerobik dapat berlangsung dibawah kondisi lingkungan yang luas meskipun proses yang optimal hanya terjadi pada kondisi yang terbatas (Tuti Haryati, 2006).
Tabel 4. Kondisi pengoperasian pada proses pencernaan anaerobik Parameter
Nilai
14
Temperatur Mesofilik
35 °C
Termofilik
54 °C
pH Alkalinitas Waktu Retensi Laju terjenuhkan Hasil biogas Kandungn metana
7-8 2500 mg/liter minimum 10 – 30 hari 0,15 – 0,35 kg VS/m3/hari 4,5 – 11 m3/kg VS 60 – 70 %
Sumber : Engler et al. (2000) Pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses yaitu : (a) Hidrolisis, pada tahap ini terjadi penguraian bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang kompleks menjadi sederhana, perubahan struktur polimer menjadi monomer; (b) Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana ini yaitu asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida, dan amonia; serta (c) Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan metan. Bakteri pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini, yaitu mereduksi sulfat dan komponen sulfur lainnya menjadi hidrogen sulfida (Tuti Haryati, 2006). Gambar 2 memperlihatkan alur proses perombakan selulosa hingga terbentuk gas (Nurtjahya et al., 2003). Adapun bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik ini yaitu bakteri hidrolitik yang memecah bahan organik menjadi gula dan asam amino, bakteri fermentatif yang mengubah gula dan asam amino tadi menjadi asam organik, bakteri asidogenik mengubah asam organik menjadi hidrogen, karbondioksida, dan asam asetat kemudian bakteri metanogenik yang menghasilkan metan dari asam asetat, hidrogen, dan karbodioksida. Optimasi proses biogas difokuskan pada proses pengontrolan agar mikroorganisme yang terlibat dalam keadaan seimbang, mempercepat proses dengan peningkatan desain digester dan pengoperasian fermentasi pada temperatur pada suhu yang lebih
15
tinggi dan peningkatan biogas yang dihasilkan dari bahan dasar biomassa lignoselulosa melalui perlakuan awal (Tuti Haryati, 2006). Gambar 2. Diagram alur proses fermentasi anaerobik Selulosa 1. Hidrolisis
(C6H10O5)n + nH2O selulosa
n(C6H12O6) glukosa
Glukosa
(C6H12O6)n + nH2O CH3CHOHCOOH glukosa asam laktat CH3CH2CH2COOH + CO2 + H2 Asam butirat CH3CH2OH + CO2 Etanol
2. Pengasaman
Asam lemak dan alkohol
3. Metanogenik
4H2 + CO2 2H2O + CH4 CH3CH2OH + CO2 CH3COOH + CH4 CH3COOH + CO2 CO2 + CH4 CH3CH2CH2COOH + 2H2 + CO2 Metana + CO2
CH3COOH + CH4 Metana
Sumber : Tuti Haryati (2006)
Kegagalan dalam proses pencernaan anaerobik dalam digester biogas bisa dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap bakteri asam yang menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam (pH kurang dari 7) yang selanjutnya menghambat kelangsungan hidup bakteri metanogenik. Kondisi keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobik yaitu antara pH 6,8 sampai 8, laju pencernaan akan menurun pada pH yang lebih tinggi atau lebih rendah (T. R Syamsudin dan H. H Iskandar, 2005).
16
2.6 Tinjauan Tentang Bakteri Metanogenik Didalam digester biogas, terdapat dua jenis bakteri yang sangat berperan yakni bakteri asidogenik dan metanogenik. Kedua jenis bakteri ini perlu eksis dalam jumlah yang berimbang. Bakteri-bakteri ini memanfaatkan bahan organik dan memproduksi metan dan gas lainnya dalam siklus hidupnya pada kondisi snaerob. Mereka memerlukan kondisi tertentu dan sensitif terhadap lingkungan mikro dalam digester seperti temperatur, keasaman dan jumlah material yang dicerna. Terdapat berbagai spesies metanogenik dengan berbagai karakteristik. Bakteri mempunyai beberapa sifat fisiologi yang umum, tetapi mempunyai morfologi
yang
beragam
seperti
Methanomicrobium,
Methanosarcina,
Metanococcus, Methanothrix (Yongzi dan Hu, 2001). Bakteri metanogenik tidak aktif pada temperatur sangat tinggi atau rendah. Temperatur optimumnya yaitu 35 °C. Jika temperatur turun menjadi 10 °C, produksi gas akan terhenti. Produksi gas yang memuaskan berada pada daerah mesofilik yaitu antara 25 °C – 30 °C. Biogas yang dihasilkan pada kondisi diluar temperatur tersebut mempunyai kandungan karbondioksida yang lebih tinggi. Pemilihan temperatur yang digunakan juga dipengaruhi oleh pertimbangan iklim. Untuk kestabilan proses, dipilih kisaran temperatur yang tidak terlalu lebar. Pada cuaca yang hangat, digester dapat dioperasikan tanpa perlu pemanas. Instalasi digester dibawah tanah juga berfungsi sebagai proses insulasi sehingga akan memperkecil biaya pemanasan (Tuti Haryati, 2006).
2.7. Tinjauan Tentang Reaktor biogas Prinsip pembangkit biogas, yaitu menciptakan alat yang kedap udara dengan bagian-bagian pokok terdiri atas pencerna (digester), lubang pemasukan bahan baku dan pengeluaran lumpur sisa hasil pencernaan (slurry), dan pipa penyaluran biogas yang terbentuk. Di dalam digester ini terdapat bakteri methan yang mengolah limbah bio atau biomassa dan menghasilkan biogas. Dengan pipa yang didesain sedemikian rupa, gas tersebut dapat dialirkan ke kompor yang terletak di dapur. Gas tersebut dapat digunakan untuk keperluan memasak dan lain-lain (Karim dkk, 2005).
17
Untuk permulaan pembangunan pembangkit biogas memang diperlukan biaya yang relatif tinggi bagi penduduk pedesaan, tetapi alat tersebut dapat dipergunakan untuk menghasilkan biogas selama bertahun-tahun Keuntungan pembangkit biogas selain sebagai sumber energi adalah untuk mengatasai masalah sampah organik terutama di pedesaan seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, sampah rumah tangga dan sebagainya. Sampah ini akan semakin menjadi masalah ketika adanya pengembangan usaha di pedesaan karena semakin berkembang usaha peternakan, maka semakin meningkat limbah yang dihasilkan (Eddy Nurtjahya dkk, 2003). Adanya masalah diatas maka dikembangkanlah reaktor biogas sederhana. Terdapat beberapa jenis reaktor biogas yang dikembangkan diantaranya adalah reaktor jenis kubah tetap (Fixed-dome), reaktor terapung (Floating drum), reaktor jenis balon, jenis horizontal, jenis lubang tanah, jenis ferrocement. Jenis digester biogas yang sering digunakan adalah jenis kubah tetap (Fixed-dome) dan jenis drum mengambang (Floating drum). Beberapa tahun terakhir ini dikembangkan jenis reaktor balon yang banyak digunakan sebagai reaktor sederhana dalam skala rumah tangga (Agung Pambudi, 2008). Reaktor kubah tetap (Fixed-dome), reaktor ini disebut juga reaktor china. Dinamakan demikian karena reaktor ini dibuat pertama kali di China sekitar tahun 1930-an, kemudian sejak saat itu reaktor ini berkembang dengan berbagai model. Pada reaktor ini memiliki dua bagian yaitu digester sebagai tempat pencerna material biogas dan sebagai rumah bagi bakteri,baik bakteri pembentuk asam ataupun bakteri pembentu gas metana. bagian ini dapat dibuat dengan kedalaman tertentu menggunakan batu, batu bata atau beton. Strukturnya harus kuat karena menahan gas agar tidak terjadi kebocoran. Bagian yang kedua adalah kubah tetap (fixed-dome). Dinamakan kubah tetap karena bentuknya menyerupai kubah dan bagian ini merupakan pengumpul gas yang tidak bergerak (fixed). Gas yang dihasilkan dari material organik pada digester akan mengalir dan disimpan di bagian kubah. Keuntungan dari reaktor ini adalah biaya konstruksi lebih murah daripada menggunaka reaktor terapung, karena tidak memiliki bagian yang bergerak menggunakan besi yang tentunya harganya relatif lebih mahal dan perawatannya lebih mudah. Sedangkan kerugian dari reaktor ini adalah seringnya
18
terjadi kehilangan gas pada bagian kubah karena konstruksi tetapnya (R.K Singh dan Misra, 2005). Gambar reaktor kubah tetap dan dapat dilihat dalam gambar 2. Keterangan gambar : (1) Sekat pemisah, komponen ini berfungsi sebagai pemisah antara dua drum yang disambung, tujuannya untuk memisahkan bahan baru dengan bahan yang telah terfermentasi sehingga yang akan keluar pada pipa pembuangan adalah bahan yang sudah tidak mengandung gas. (2) Campuran bahan organik dengan air dengan perbandingan 2 : 3 yang selanjutnya terfermentasi secara aerobik dan dilanjutkan dengan proses anaerobik. (3) Gas yang terbentuk tertampung sementara sebelum ditransfer ke tabung penampung gas. (4) Pipa pemasukan dengan diameter 1-2 inch yang dilengkapi dengan corong. (5) Pipa pengeluaran sisa fermentasi. (6) Pipa pengeluaran gas yang dilengkapi dengan kran untuk mengontrol keluarnya gas ke tabung penampungan (Aryanto dkk, 2006).
Gambar 2. Reaktor kubah tetap (Fixed-dome) Reaktor jenis terapung pertama kali dikembangkan di india pada tahun 1937 sehingga dinamakan dengan reaktor India. Memiliki bagian digester yang sama dengan reaktor kubah, perbedaannya terletak pada bagian penampung gas menggunakan peralatan bergerak menggunakan drum. Drum ini dapat bergerak naik turun yang berfungsi untuk menyimpan gas hasil fermentasi dalam digester. Pergerakan drum mengapung pada cairan dan tergantung dari jumlah gas yang dihasilkan. Keuntungan dari reaktor ini adalah volume gas yang tersimpan pada drum dapat dilihat secara langsung karena pergerakannya. Karena tempat
19
penyimpanan yang terapung sehingga tekanan gas konstan. Sedangkan kerugiannya adalah biaya material konstruksi dari drum lebih mahal. faktor korosi pada drum juga menjadi masalah sehingga bagian pengumpul gas pada reaktor ini memiliki umur yang lebih pendek dibandingkan menggunakan tipe kubah tetap. (R.K Singh dan Misra, 2005). Dari gambar 3 diperoleh keterangan : (1) Tabung penampung yang terdiri dari drum yang berkapasitas 200 liter dan satu drum dengan kapasitas 120 liter. Drum kecil ditelungkupkan kedalam drum besar yang terlebih dahulu diisi air. Hal ini dimaksudkan agar ketika gas sudah terbentuk, maka drum kecil akan terangkat, dan apabila sudah melebihi kapasitas tampung maka tabung penampung tidak akan meledak karena kelebihannya akan keluar pada mulut drum kecil yang terangkat melewati permukaan air. (2) Drum penampung yang baru berisi 1/3 kapasitas. (3) Drum berisi air yang berfungsi sebagai kontrol terbentuknya gas. (4) Batas air yang diisi, air tersebit sebaiknya dberi bubuk abate agar tidak menjadi tempat bertelur nyamuk. Dapat juga diberi oli bekas yang akan melapisi permukaan air. (5) Selang input dari tabung pencerna. (6) Selang output (Aryanto dkk, 2006).
Gambar 3. Reaktor jenis terapung Reaktor balon merupakan jenis reaktor yang banyak digunakan pada skala rumah tangga yang menggunakan bahan plastik sehingga lebih efisien dalam penanganan dan perubahan tempat biogas. reaktor ini terdiri dari satu bagian yang berfungsi sebagai digester dan penyimpan gas masing masing bercampur dalam satu ruangan tanpa sekat. Material organik terletak dibagian bawah karena
20
memiliki berat yang lebih besar dibandingkan gas yang akan mengisi pada rongga atas (Agung Pambudi, 2008).
Gambar 4. Instalasi reaktor balon
Untuk membuat biogas dengan reaktor skala rumah tangga (plastik) bekapasitas 4000 liter diperlukan volume penampung gas (plastik) dengan kapasitas 2500 liter. Biogas yang dihasilkan 4m3 perhari setara dengan 2,48 liter minyak tanah (Suhut Simamora dkk, 2006).
21
BAB III METODOLOGI 3.1. Sifat penulisan Dalam penulisan karya tulis ini, penulis mengembangkan dengan sifat penulisan secara deskriptif dan non experimental. Disusun berdasarkan sifat ilmiah atau
dari ilmu pengetahuan alam. Karya tulis mencoba menganalisis
penanganan sampah rumah tangga sehingga dapat dijadikan bahan baku isian reaktor biogas, menganalisis keuntungan yang didapat dari penggunaan reaktor plastik, serta proses pendistribusian biogas dari tabung penampungan ke tempat pemakaian dengan menjamin keamanan dan mudah di terapkan.
3. 2. Metode Perumusan masalah Rumusan masalah merupakan kumpulan beberapa masalah yang timbul dari latar belakang, serta disusun secara sistematika dengan tujuan memudahkan penulisan karya tulis ilmiah, agar dapat mengendalikan penulisan agar tidak menyimpang dari permasalahan penting yang dibahas. Dalam menyusun perumusan masalah, penulis menggunakan metode analisa terhadap suatu kasus dan mencoba mengaitkan dengan potensi yang ada dan tidak tergali sebelumnya dari suatu keadaan di alam. Analisa masalah dalam karya tulis ini, bersifat non experimental. Pertama dengan memahami konsep potensi yang ingin dimasukkan, dan menganalisisnya dengan permasalahan yang ada.
3. 3. Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data, yang dilakukan oleh penulis adalah menggunakan metode sistematika, merujuk pada beberapa literatur, tinjauan pustaka dan mengidentifikasi dari berbagai masukan dan informasi-informasi terbaru dari situs-situs internet.
22
BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Penanganan Sampah Sampah merupakan bagian dari kehidupan manusia. Semua aktivitas yang dilakukan oleh manusia menghasilkan sampah baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Dengan jumlah sampah yang dihasilkan setiap hari manusia dituntut untuk menangani ataupun mengolahnya sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Menurut Damanhuri (2002) bahwa 70 % sampah padat kota di Indonesia merupakan sampah organik, 28 % sampah anorganik dan hanya 2 % dalam kategori sampah berbahaya. Dari 70 % sampah organik, sekitar 54 % (38 % dari total sampah) bersifat mudah didegradasi dan berpotensi untuk dibuat biogas. TPS Tlogomas Malang produksi sampahnya sekitar 960 kg per hari dan sekitar 256 kg sampah organik yg bisa digunakan untuk pembuatan biogas (Mustikaningrum dan Wahyuni, 2003). Kegiatan yang harus dilakukan dalam penanganan sampah tersebut adalah : (1) melakukan pengenalan karekteristik sampah dan metode pembuangannya, (2) merencanakan
dan
menerapkan
pengelolaan
sampah
secara
terpadu
(pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir), (3) memisahkan peran pengaturan dan pengawasan dari lembaga yang ada dengan fungsi operator pemberi layanan, agar lebih tegas dalam melaksanakan reward & punishment dalam pelayanan, (4) menggalakkan program Reduce, Reuse dan Recycle (3 R) agar dapat tercapai program zero waste pada masa mendatang, (5) melakukan pembaharuan struktur tarif dengan menerapkan prinsip pemulihan biaya (full cost recovery) melalui kemungkinan penerapan tarif progresif, dan mengkaji kemungkinan penerapan struktur tarif yang berbeda bagi setiap tipe pelanggan (6) mengembangkan teknologi pengelolaan sampah yang lebih bersahabat dengan lingkungan dan memberikan nilai tambah ekonomi bagi bahan buangan (Arianto Wibowo dan Darwin T Djajawinata, 2008). Para ahli telah merekomendasikan tempat pembuangan akhir (TPA) dengan menggunakan
sistem
sanitary
landfill
yang
dilengkapi
dengan
sarana
pengomposan dan pemanfaatan sampah menjadi bahan baku daur ulang. Sisa
23
sampah yang tidak dapat didaur ulang ataupun dibuat menjadi kompos kemudian dibakar dan disimpan dalam kolam sanitary landfill. Proses ini dapat dinamakan Instalasi pengolahan sampah terpadu (IPST). Proses daur ulang, produksi kompos dan pembakaran tersebut bertujuan untuk memperkecil volume sampah yang dihasilkan, sehingga pembuangan sampah pada kolam sanitary landfill dapat diperkecil dan akhirnya dapat menghemat penggunaan lahan TPA (Arianto Wibowo dan Darwin T Djajawinata, 2008). Usaha yang dapaat dilakukan untuk mengurangi volume sampah di tempat pembuangan akhir dapat dimulai dengan penanganan sampah skala rumah tangga. Sampah rumah tangga merupakan penyumbang terbesar dari tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir. Tiap rumah tangga dapat menghasilkan sampah sekitar 3,5 kg perhari. Dari jumlah tersebut terdapat 2 kg sampah organik yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk organik, biogas, briket, dan lain-lain. Dengan penanganan sampah skala rumah tangga akan mengurangi beban dari tempat pembuangan akhir (Ida Kusnawati Tjahjani dkk, 2008).
4.2. Teknik Penanganan Sampah Rumah Tangga Sampah rumah tangga merupakan limbah dari aktivitas yang dilakukan dalam suatu rumah tangga. Sampah yang dihasilkan tiap orang sekitar 0,6 kg per hari setara dengan 2,4 Liter per hari, sehingga untuk tiap rumah tangga dihasilkan sampah 3 kg per hari setara dengan 12 Liter per hari. Dari jumlah tersebut terdapat sampah organik sekitar 1,14 kg yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas (Ida Kusnawati Tjahjani dkk, 2008). Semua jenis sampah organik dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas. Namun, sampah organik tersebut juga harus mendapatkan perlakuan khusus agar sesuai dengan kriteria bahan baku isian pada reaktor sehingga dapat dihasilkan biogas secara optimal (Angara Hayun, 2008). Kriteria bahan baku isian biogas yang baik harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya : (1) Mengandung nisbah C/N sekitar 8 – 20, perbedaan nisbah C/N dapat mempengaruhi produksi biogas yang dihasilkan. Semakin tinggi nisbah C/N-nya, semakin besar pula biogas yang dihasilkan. Namun, jika C/N terlalu tinggi, bahan sukar untuk diuraikan. (2) pH antara 6,8 hingga 8, jika pH terlalu
24
asam bakteri anaerobik tidak bisa bekerja secara optimal, untuk meningkatkan pH dapat dilakukan dengan pengapuran. (3) Pengenceran bahan baku isian, caranya adalah mencampurkan air dengan perbandingan 1 : 1 atau 1 : 2 tergantung nilai perbandingan C/N bahan yang digunakan (Soewarno Notodimedjo, 1996). Penanganan sampah rumah tangga tidak begitu sulit, karena jumlahnya yang relatif sedikit. Pemisahan antara sampah organik dan anorganik merupakan kunci keberhasilan penanganan sampah rumah tangga. Setelah dipisahkan, sampah organik diolah kembali untuk disesuaikan dengan kebutuhan bahan isian biogas. Adapun langkah dalam pembuatan bahan isian reaktor biogas dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Pencacahan, memperkecil ukuran sampah sehingga memudahkan dalam proses selanjutnya. 2. Pencampuran, yang dimaksud adalah pencampuran bahan organik dengan air. Untuk bahan baku sampah rumah tangga, perbandingan air dan bahan organik adalah 1 : 1. 3. Pengadukan, proses ini dilakukan sesaat setelah air dicampurkan dengan bahan organik. 4. Sampah yang sudah diaduk siap dimasukkan kedalam reaktor.
4.3. Proses Pembuatan Biogas Biogas dibuat didalam reaktor atau digester yang merupakan tempat terjadinya pencernaan anaerobik oleh bakteri metanogenik. Proses tersebut menghasilkan metana sebesar 65,7 %, karbondioksida 27 %, nitrogen 2,3 %, dan 1,7 % gas lain. Nilai kalor yang dihasilkan gas metan tersebut sekitar 4800 – 6700 kcal/m (Serasi Ginting, 1977). Produksi biogas dalam reaktor dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : bahan baku isian, derajat keasaman, temperatur pencernaan, pengenceran bahan baku isian, dan pengadukan. Adapun seberapa besar nilai yang dibutuhkana untuk pembuatan biogas dapat dilihat dalam tabel 4 (Soewarno notodimedjo, 1996).
25
Tabel 4. Kondisi pengoperasian pada proses pencernaan anaerobik Parameter
Nilai
Temperatur Mesofilik
35 °C
Termofilik
54 °C
pH
7-8
Alkalinitas Waktu Retensi Laju terjenuhkan Hasil biogas
2500 mg/liter minimum 10 – 30 hari 0,15 – 0,35 kg VS/m3/hari 4,5 – 11 m3/kg VS
Kandungn metana
60 – 70 %
Sumber : Engler et al. (2000) Pada proses pembuatan biogas skala rumah tangga, reaktor yang tepat untuk digunakan adalah reaktor jenis balon. Hal tersebut dikarenakan harga yang relatif murah dan pemasangannya hanya butuh waktu tidak lebih dari satu hari. Reaktor balon terbuat dari plastik polietilena rangkap dua yang dapat digunakan dalam jangka waktu 6-8 tahun. Biaya yang dibutuhkan untuk pemasangan instalasi reaktor ini sekitar 2,5 juta dan sudah termasuk satu unit kompor biogas. Reaktor plastik polietilena dua lapis ini sudah dapat menahan tekanan biogas yang tidak seberapa besar. Menurut penelitian, laju aliran biogas sekitar 1,5 m3/jam dengan tekanan 490 mmH2O. Meskipun reaktor terbuat dari plastik polietilena yang dapat bertahan selama 6 – 8 tahun, tidak menutup kemungkinan reaktor rusak sebelum waktunya. Untuk mencegah terjadinya kerusakan, reaktor harus dirawat. Berikut ini adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk merawat reaktor : 1. Hindarkan reaktor dari gangguan anak-anak, tangan jahil, ataupun dari ternak yang dapat merusak reaktor dengan cara memagar dan memberi atap agar air tidak masuk ke dalam galian reaktor. 2. Isilah selalu pengaman gas dengan air sampai penuh, dan jangan biarkan kosong karena gas yang dihasilkan akan terbuang melalui pengaman gas. 3. Apabila reaktor mengencang karena adanya gas tetapi gas tidak mengisi penampung gas, maka luruskan selang dari pengaman gas sampai reaktor,
26
karena uap air yang ada di dalam selang dapat menghambat gas mengalir ke penampung gas. Lakukan hal tersebut sebagai pengecekan rutin. 4. Cegah air masuk ke reaktor dengan menutup tempat pengisian disaat tidak ada pengisian rektor. 5. Berikan pemberat di atas penampung gas (misalnya dengan karung-karung bekas) supaya mendapatkan tekanan disaat pemakaian. 6. Bersihkan kompor dari kotoran saat memasak ataupun minyak yang menempel. Biogas yang dihasilkan didalam reaktor akan ditampung dalam tangki penampung. Digunakan plastik polietilena satu lapis untuk membuat tangki penampung dengan kapasitas 2500 liter. Pada ujung tangki penampung dipasang pipa PVC dengan diameter ½ inci. Pipa ini digunakan untuk distribusi gas agar dapat dimanfaatkan. Sebelum gas masuk dalam tangki penampungan dan di distribusikan, gas tersebut akan melalui alat yang disebut botol penjebak. Alat ini dapat dibuat dari botol bekas air mineral yang akan berfungsi sebagai water vapor (penjebak uap air) dan katup keamanan. Botol penjebak ini sebaiknya diletakkan pada bagian terbawah pada saluran biogas, tepat setelah pembangkit. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan uap air hasil kondensasi turun dan masuk kedalam botol. Air yang berlebihan dalam sistem dapat memampetkan biogas, selain itu kandungan air dalam biogas menurunkan tingkat panas nyala api dan membuat api berwarna kemerah-merahan. Pada botol penjebak ini terdapat lubang yang berfungsi sebagai tempat pengisian air dan sebagai pengatur tinggi muka air. Posisi lubang yang baik jika menggunakan botol air mineral 1,5 liter adalah berjarak antara 20 cm - 25 cm dari dasar botol. Tinggi posisi lubang akan mempengaruhi tinggi permukaan air. Apabila terlau rendah, gas akan mudah keluar dari air sebelum mencapai tekanan yang diinginkan. Sebaliknya, jika permukaan air terlalu tinggi akan menyebabkan tekanan yang ada membesar sehingga dapat menghambat proses produksi biogas. Sebelum mengoperasikan reaktor balon, diperlukan beberapa persiapan diantaranya : 1. Pembuatan lubang reaktor dengan panjang 4 m, lebar 1,1 m, dan dalam 1,2 m.
27
2. Pembuatan meja tabung plastik penampung gas : panjang 3 m, dan lebar 1,2 m. 3. Drum tempat pencampuran sampah organik dengan air (1 : 1). 4. Karung untuk tempat limbah buangan dari proses produksi biogas. 5. Kayu atau bambu untuk pagar, agar terhindar dari gangguan anak-anak atau ternak. 6. Terpal atau bahan sejenisnya yang dapat digunakan untuk atap reaktor supaya terhindar dari hujan atau material yang jatuh dari atas. Setelah persiapan selesai, pengoperasian reaktor siap dilaksanakan. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan bahan baku isian. Bahan baku isian diperoleh dari campuran sampah organik rumah tangga dan air dengan perbandingan 1 : 1. Pembuatan bahan baku isian dilakukan ditempat yang sudah dipersiapkan. Setelah bahan baku siap, masukkan ke dalam reaktor melalui saluran masuk. Kapasitas reaktor sebesar 4000 liter. Dengan waktu retensi selama 30 hari, dibutuhkan bahan baku isian sebesar 1/30 volume reaktor perhari. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku isian perhari, dibutuhkan sampah organik yang dihasilkan dari 15 rumah tangga.
4.4. Manfaat Biogas Dari biogas ini dapat diperoleh gas bio sebagai sumber energi yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak atau untuk kompor gas, untuk lampu penerangan, bahkan dapat juga untuk bahan bakar pengganti bensin atau solar (Soewarno notodimedjo, 1996). Kompor biogas dapat dibuat dari kaleng bekas yang bagian atasnya dilubangi dengan diameter 2 mm. Pada bagian bawah kaleng juga dilubangi, yang berfungsi sebagai lubang udara. Biogas dialirkan kedalam kaleng melalui sprayer dengan diameter lubang 1 mm. Namun, saat ini kompor biogas dapat diperoleh ketika pemesanan atau pemasangan instalasi reaktor biogas. Penggunaan untuk memasak diperlukan biogas 0,3 m3 / jam dengan tekanan 75 mmH2O. Dalam pemanfaatan biogas, dapat dibuat dapur umum yang khusus menggunakan bahan bakar biogas tersebut. Dapur umum ini digunakan untuk memasak sewaktu salah satu dari 15 rumah tangga yang mengisi reaktor
28
membutuhkan, atau juga dapat digunakan untuk membuat makanan khas daerah tersebut atau jajanan yang kemudian dijual. Hasil penjualan dapat disimpan, untuk pembangunan desa atau RT setempat. Selain manfaat biogas yang merupakan produk utama, keluaran atau limbah biogas juga bisa dimanfaatkan. Keluaran dapat berbentuk padat atau cair. Yang berbentuk padat dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang banyak mengandung nitrogen, atau dapat diproses menjadi bioarang briket. Sedangkan keluaran yang berbentuk cair atau lumpur luapan untuk memacu pertumbuhan ganggang dan plankton untuk makanan ikan. Dapat juga langsung digunakan untuk kolam lele (Soewarno notodimedjo, 1996).
BAB V PENUTUP
29
5.1. Kesimpulan a.
Dalam mengurangi timbunan sampah di tempat pembuangan akhir, harus dimulai penanganan dari tiap-tiap rumah tangga.
b.
Biogas dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak dan dapat juga digunakan untuk penerangan.
c.
Produksi biogas tidak menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan. Limbah biogas dapat langsung digunakan sebagai pupuk.
d.
Reaktor menggunakan bahan dasar plastik polietilena yang dapat bertahan selama 6 - 8 tahun.
e.
Penggunaan
biogas
dapat
mengurangi
ketergantungan
terhadap
pemakaian bahan bakar minyak.
5.2. Saran a. Dalam pembuatan biogas harus memperhatikan kondisi bahan isian, pH, dan temperatur agar mendapatkan hasil yang optimal. b. Reaktor harus dirawat dan dijaga untuk menghindari kerusakan.
30
DAFTAR PUSTAKA
Anon. 1997. Biogas Utilization. GTZ. Anonimus. 1980. Petunjuk Praktis Membuat Gas Bio. BLPP. Departemen Pertanian, Jakarta. Anonymus.1977. Methane Generation from Human. Animal, and Agricultural Wasted. National Academy of Science, Wahington. Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2004, Potensi energi terbaharukan di Indonesia, Jakarta Eddy Nurtjahya dkk, ”Pemanfaatan Limbah Ternak Ruminansia Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan”, 2003, Gatra, edisi 29 April 2006, “Menuai Listrik di Kampung Energi”. Gunnerson, C.G. and Stuckey, D.C. 1986. Anaerobic Digestion: Principles and Practices for Biogas System. The World bank Washington, D.C., USA. Hartman, H., Ahring, B. K. 2002. The Future of Biogas Production. Haryati, Tuti. 2006. Biogas : Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. Hayun, Anggara. 2008. Prioritas Pengembangan Energi Alternatif Biofuel di Indonesia. http://tumoutou.net/6_sem2_023/kel4_se m1_023.htm http://ww5.gtz.de/gate/techinfo/biogas/appldev/operation/utilizat.html. Marchaim, U. 1992. Biogas Processes for Sustainable Development. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Viale delle Terme di Caracalla, 00100 Rome, Italy. Pambudi, Agung.2008. Pemanfaatan Biogas sebagai Sumber Energi Alternatif. Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Presiden Republik Indonesia, 2008, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, Jakarta
31
Singh, R.K and Misra, 2005, Biofuels from Biomass, Department of Chemical Engineering National Institue of Technology, Rourkela STATISTIK INDONESIA 2000, Biro Pusat Statistik, Jakarta, 2001. Sudradjat, R. 2004. The Potential of Biomass Energy resources in Indonesia for the Possible Development of Clean Technology Process (CTP).
. Jakarta, January 13-14, 2004. Syamsuddin, T.R. dan Iskandar,H.H. 2005. Bahan Bakar Alternatif Asal Ternak. Sinar Tani, Edisi 21-27 Desember 2005. No. 3129 Tahun XXXVI. Wibowo, Arianto dan Darwin T Djajawinata. Penanganan Sampah Perkotaan Terpadu. 2008. Widodo, T.W, Asari, A., Nurhasanah,A. and Rahmarestia,E. 2006. Biogas Technology Development for Small Scale Cattle Farm Level in Indonesia. International Seminar on Development in Biofuel Production and Biomass Technology. Jakarta, February 21-22, 2006 (Non-Presentation Paper).
32