PENANGANAN POOR SELF-ACCEPTANCE KELOMPOK MINORITAS BERDASARKAN ETNIK PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Salma Shifatia Thursina Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Abstrak Makalah ini membahas mengenai kondisi poor self-acceptance yang disebabkan karena kondisi minoritas berdasarkan etnik pada siswa Sekolah Menengah Pertama. Poor self-acceptance sendiri merupakan sebuah kondisi yang kontra dari Self-Acceptance. Menurut Sephard (1979), self-acceptance refers to an individual's satisfaction or happiness with himself, and is thought to be necessary for good mental health. Self-acceptance involves self-understanding, a realistic, albeit subjective, awareness of one's strengths and weaknesses. It results in an individual's feeling about himself that he is of "unique worth". Hal tersebut berarti bahwa Self-Acceptance didasarkan pada kepuasan individu atau kebahagiaan individu mengenai dirinya serta berfikir mengenai kebutuhannya untuk memiliki mental yang sehat. Self-acceptance ini sendiri melibatkan selfunderstanding, realistis, sebuah subjektifitas, kesadaran atas sebuah kekuatan dan kelemahan. Berdasarkan definisi tersebut, kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa bentuk perilaku dari kondisi Poor Self-Acceptance sendiri dapat dikejawantahkan ke dalam tiga hal, yakni, penilaian yang kurang atau tidak realistis terhadap diri, rasa percaya diri lebih dikendalikan oleh pendapat oranglain serta penghargaan terhadap diri yang rendah. Kondisi Poor SelfAceptance ini sendiri dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, dalam hal ini, pembahasan mengenai penyebab Poor Self-Acceptance akan lebih ditekankan
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | digilib.upi.edu | upi.edu
karena posisi minoritas berdasarkan etnik yang menyebabkan perbedaan fisik yang mencolok. Berbicara mengenai etnik, maka keragaman etnik di Indonesia merupakan sebuah anugerah yang patut kita syukuri. Namun, sayangnya fakta yang terjadi di Indonesia saat ini adalah masih adanya pandangan etnik tertentu lebih tinggi atau lebih baik daripada etnik yang lain, dan pandangan ini merupakan akibat dari adanya etnosentrisme yang kuat. Sehingga seringkali hal ini memicu konflik, baik konflik skala besar maupun konflik skala kecil. Konflik skala besar misalnya saja pertikaian antar kelompok etnik. Sementara konflik skala kecil adalah konflik yang terjadi pada diri seseorang secara pribadi, termasuk di dalamnya adalah kurangnya rasa percaya diri (Low Self-Esteem), minder, malu, munculnya prasangka, asertifitas diri yang rendah, dimana kesemuanya ini bermuara pada satu hal, yakni Poor Self-Acceptance. Hal ini terutama sering terjadi manakala seseorang berada pada lingkungan yang memiliki etnik dan budaya yang berbeda dengan kondisi mayoritas. Keywords: Self-Acceptance, Poor Self-Acceptance, Low Self-Esteem, Minoritas, Etnik.
Pendahuluan Pentingnya individu memiliki kondisi mental yang sehat mengharuskan dirinya menjadi seorang yang Self-Acceptance. Kemampuan menerima kelebihan dan kekurangan diri secara sadar itulah Self-Acceptance. Penerimaan seseorang terhadap kelebihan dan kekurangan dirinya secara sadar, akan sangat berdampak pada keseluruhan peristiwa dalam rentang kehidupannya. Begitu banyak fenomena di sekitar kita yang memperlihatkan betapa seorang yang SelfAcceptance akan mampu dengan baik dan bijak menempatkan dirinya dalam berbagai situasi dan kondisi, karena dia memahami dan menerima siapa dirinya. Pun begitu banyak fenomena di sekitar kita yang memperlihatkan betapa seorang yang Poor Self-Acceptance sangat tidak nyaman dengan kondisi dirinya –meski dia adalah seorang yang memiliki kelebihan yang luar biasa-, karena dia hanya berfokus pada kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, sehingga seringkali
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | digilib.upi.edu | upi.edu
bentuk perilaku yang dihasilkan adalah percaya diri yang rendah, perilaku yang dihasilkannya lebih sering dikendalikan oleh respon oranglain terhadap dirinya. Terlebih, teramat disayangkan jika pada masa (umur) produktif (masa sekolah), kelebihan yang dimiliki tidak terexplore disebabkan anak tidak memahami siapa dirinya. Inilah yang kemudian mengharuskan kita untuk memberikan pemahaman akan pentingnya menjadi seorang yang Self-Acceptance.
Pembahasan a. Definisi Self Acceptance Menurut Shepard (1979), self-acceptance refers to an individual's satisfaction or happiness with himself, and is thought to be necessary for good mental health. Self-acceptance involves self-understanding, a realistic, albeit subjective, awareness of one's strengths and weaknesses. It results in an individual's feeling about himself that he is of "unique worth". Definisi Self-Acceptance menurut wikipedia adalah penegasan atau penerimaan diri terhadap kelemahan atau defisiensi. Meskipun term ini telah seringkali dimengerti dalam akal sehat, para peneliti mendefinisikan hal tersebut sebagai konsep diri yang positif dan negatif. Menurut Hurlock dalam Lukman Firdaus, 2009 (online) bahwa penerimaan diri (self acceptance) adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri. Muryantinah dkk dalam
Lukman Firdaus, 2009 (online)
juga
mengungkapkan bahwa penerimaan diri adalah sejauhmana seseorang dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Sikap penerimaan diri ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihannya sekaligus menerima kelemahan-kelemahannya tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang terus menerus untuk mengembangkan diri.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | digilib.upi.edu | upi.edu
Self-acceptance
melibatkan
self-understanding,
realistis,
sebuah
subjektifitas, kesadaran atas sebuah kekuatan dan kelemahan. Hal tersebut menghasilkan perasaan individu terhadap dirinya bahwa dia bernilai unik. Dalam psikologi klinis dan psikologi positif, self-acceptance adalah mempertimbangkan prasyarat perubahan yang terjadi. Hal tersebut dapat tercapai dengan menghentikan celaan dan menyelesaikan kerusakan dalam diri seseorang dan kemudian menerimanya menjadi sesuatu yang ada dalam dirinya. Hal tersebut adalah bentuk toleransi diri terhadap bagian yang tidak sempurna dalam dirinya. Adapun aspek-aspek penerimaan diri adalah sebagai berikut: 1. Mempunyai keyakinan akan kemampuan dalam menghadapi kehidupan. 2. Sikap dan perilakunya lebih berdasarkan nilai-nilai dan standar yang ada pada dirinya daripada yang didasari oleh tekanan-tekanan dari luar dirinya. 3. Menganggap dirinya berharga sebagai manusia yang sederajat dengan orang lain. 4. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. 5. Menerima pujian dan celaan secara obyektif. 6. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimiliki ataupun mengingkari kelebihannya. 7. Tidak merasa ditolak orang lain, tidak pemalu, serta menganggap dirinya berbeda dengan orang lain . Sementara Jersild dalam Umi Hanifah, mengatakan bahwa individu yang menerima dirinya mempunyai ciri sebagai berikut: 1. Mempunyai penilaian realistik tentang kemampuan dirinya. 2. Penghargaan tentang kelebihannya. 3. Percaya pada diri sendiri tanpa diperbudak oleh pendapat orang lain. 4. Ukuran keterbatasan yang realistik tanpa rasa malu yang irrasional. Di sisi lain Hurlock mengemukakan ada beberapa kondisi yang mempengaruhi pembentukan penerimaan diri seseorang. Kondisi tersebut adalah: (1) Pemahaman diri, (2) Harapan yang realistis, (3) Bebas dari
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | digilib.upi.edu | upi.edu
hambatan sosial, (4) Perilaku sosial yang menyenangkan, (5) Konsep diri yang stabil, dan (6) Adanya kondisi emosi yang menyenangkan. Dari penjelasan di atas dapat diketahui adanya beberapa indikator sebagaimana diungkap oleh Muryantinah: 1. Mempunyai keyakinan akan kemampuan dalam menghadapi kehidupan. 2. Sikap dan perilakunya lebih berdasarkan nilai-nilai dan standar yang ada pada dirinya daripada yang didasari oleh tekanan-tekanan dari luar dirinya. 3. Menganggap dirinya berharga sebagai manusia yang sederajat dengan orang lain. 4. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. 5. Menerima pujian dan celaan secara obyektif. 6. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimiliki ataupun mengingkari kelebihannya. 7. Tidak merasa ditolak orang lain, tidak pemalu, serta menganggap dirinya berbeda dengan orang lain. Berkaitan dengan kondisi Poor Self Acceptance, hal tersebut merupakan sebuah kontradiksi dari Self-Acceptance, dimana ciri perilakunya adalah sebagai berikut: 1. Tidak memiliki penilaian realistik tentang kemampuan dirinya. 2. Kurangnya memberikan penghargaan tentang kelebihannya. 3. Rasa percaya diri yang rendah dan dikendalikan oleh pendapat orang lain. Kondisi Poor Self-Aceptance dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya karena kemampuan diri yang lebih rendah dari oranglain, kemampuan finansial yang rendah, kondisi fisik yang berbeda,
poor self-
acceptance ini terutama akan sangat dirasakan oleh seseorang yang berada dalam posisi minoritas. Dalam hal ini, pembahasan mengenai penyebab Poor Self-Acceptance akan lebih ditekankan pada posisi minoritas berdasarkan etnik yang menyebabkan perbedaan fisik yang mencolok.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | digilib.upi.edu | upi.edu
b. Keragaman Etnik di Indonesia Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi. Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang : 1. Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak. 2. Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya. 3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri. 4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Definisi etnik diatas menjelaskan pembatasan-pembatasan kelompok etnik yang didasarkan pada populasi tersendiri, terpisah dari kelompok lain, dan menempati lingkungan geografis tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Seperti misalnya, etnik Minang menempati wilayah geografis pulau Sumatera bagian barat yang menjadi wilayah provinsi Sumatera Barat saat ini dan beberapa daerah pengaruh di provinsi sekitar. Lalu etnik Sunda menempati wilayah pulau jawa bagian barat. Dan etnik Madura menempati pulau madura sebagai wilayah geografis asal. Keragaman etnik di Indonesia merupakan sebuah anugerah yang patut kita syukuri. Kita ketahui bersama bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang paling plural didunia dengan lebih dari 500 etnik dan menggunakan lebih dari 250 bahasa. Karenanya, sebagaimana bangsa
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | digilib.upi.edu | upi.edu
multietnik lainnya, persoalan-persoalan mengenai pengintegrasian berbagai etnik kedalam kerangka persatuan nasional selalu menjadi tema penting. Sayangnya, fakta yang terjadi di Indonesia saat ini adalah, masih adanya pandangan etnik tertentu lebih tinggi atau lebih baik daripada etnik yang lain. Dan pandangan ini merupakan akibat dari adanya etnosentrisme yang kuat. Sehingga seringkali hal ini memicu konflik, baik konflik skala besar maupun konflik skala kecil. Konflik skala besar misalnya saja pertikaian antar kelompok etnik. Sementara konflik skala kecil adalah konflik yang terjadi pada diri seseorang secara pribadi, termasuk di dalamnya adalah kurangnya rasa percaya diri, minder, malu, munculnya prasangka, asertifitas diri yang rendah, kesemuanya ini bermuara pada satu hal, yakni Poor Self-Acceptance. Hal ini terutama sering terjadi manakala seseorang berada pada lingkungan yang memiliki etnik dan budaya yang berbeda dengan kondisi mayoritas. Bentuk perilaku paling nyata yang ditimbulkan oleh seseorang yang memiliki kondisi Poor Self-Accetance adalah Low Self-Esteem. Berikut adalah treatment preventif dan kuratif yang dapat dilakukan untuk menangani permasalahan tersebut, yakni: c. Treatmen Preventif 1. Rasional. Ditinjau dari kasus Poor Self-Acceptance yang dialami konseli, bahwa akar hal ini berasal dari segi kognitif yaitu pemikiran konseli yang tidak rasional dalam menerima kondisi fisiknya. Sehingga upaya preventif yang dilakukan, konseli
mampu mengkonstruk
pemikirannya. 2. Strategi yang Digunakan. Upaya preventif untuk mencegah Poor SelfAcceptance yang disebabkan kondisi fisik yang berbeda dapat dilakukan dengan teknik brainstorming untuk memberikan pemahaman mengenai hal tersebut. Tujuan dari upaya preventif ini adalah agar konseli mampu menerima kondisi diri dengan segala kelebihan dan kekurangan dirinya tanpa terhalang oleh kondisi fisik yang berbeda sebagai akibat dari perbedaan etnik. Langkah yang dilakukan adalah dengan cara konselor menyuguhkan suatu tema diskusi mengenai Self-Acceptance, kemudian
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | digilib.upi.edu | upi.edu
mengajak siswa untuk bertukar pikiran apa yang biasa menyebabkan siswa kurang menerima dirinya, sehingga menimbulkan rasa kurang percaya diri. d. Treatment Kuratif. Sebagaimana telah dipaparkan diatas bahwa Poor Self-Acceptance berefek berkaitan dengan bagaimana seseorang mempersepsi sesuatu secara tidak tepat, maka hal tersebut berkaitan erat dengan skema (kerangka kognitif) seseorang. Oleh karena itu yang menjadi fokus konselor adalah bagaimana agar konseli memiliki skema (kerangka kognitif) yang tepat mengenai dirinya, sehingga dalam proses konseling, konselor dapat menggunakan: 1. Teknik Sentence Completion Exercise and Listing Exercise. 2. Teknik Modelling Kedua teknik tersebut dapat diuraikan dalam langkah-langkah sebagai berikut: 1. Konselor menyediakan selembar kertas yang terdiri dari empat kolom. 2. Pada kolom pertama, konselor meminta konseli untuk menuliskan apa yang difikirkannya mengenai kondisi fisik yang berbeda dengan temanteman dikelasnya. 3. Pada kolom kedua, konselor meminta konseli untuk menuliskan kelebihannya sebanyak mungkin. 4. Pada kolom ketiga, konselor meminta konseli untuk menuliskan kekuranganya sesedikit mungkin. 5. Konselor mengajak konseli untuk mendiskusikan pikirannya mengenai kondisi fisik dirinya yang berbeda dengan teman-teman dikelasnya, yang telah konseli tuliskan pada kolom pertama, apakah pikiran tersebut didasari oleh fakta-fakta yang objektif atau tidak. 6. Setelah itu, konselor pun mendiskusikan mengenai kelebihan dan kekurangan yang ditulis konseli mengenai dirinya. Menuliskan kelebihan dalam jumlah banyak mungkin akan sangat terasa sulit bagi konseli, karena
bagi
seorang
yang
Poor
Self-Acceptance
akan
begitu
menyusahkan dirinya untuk mencari kelebihan yang dimiliki, karena dia
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | digilib.upi.edu | upi.edu
tidak paham dengan potensi yang dimilikinya, dalam arti dia tidak kenal dengan dirinya. Hal ini diperparah dengan skema (kerangka kognitif) negatif dirinya mengenai kondisi fisik yang berbeda dengan teman-teman lainnya, sehingga konseli akan terpusat pada kekurangan-kekurangan yang dimiliki. Oleh karena itu pada kolom keempat, konselor meminta konseli untuk menuliskan kekurangannya sesedikit mungkin. Dua hal ini dilakukan agar konseli terdorong untuk menggali potensi-potensi dirinya yang dapat membuatnya maju berprestasi tanpa terhalang kondisi fisik yang berbeda (pemikiran mengenai kondisi fisik ini adalah pemikiran irrasional konseli). Dan mendorong konseli untuk menekan sejumlah kekurangan pada dirinya sehingga keberadaannya tidak mendominasi diri konseli. Pada tahap ini pun konselor dapat mempergunakan teknik modelling yakni dengan “mengikutsertakan” tokoh-tokoh yang memiliki kondisi fisik yang sama dengan konseli namun memiliki track record yang luar biasa. Hal ini akan mendorong motivasi konseli untuk tergerak keluar. 7. Selanjutnya, konselor mempersilahkan konseli untuk menuliskan apa yang konseli fahami dari hasil diskusi dengan konselor pada kolom keempat. Dalam hal ini, konselor kemudian dapat menilai apakah terjadi perubahan pandangan konseli mengenai dirinya ataukah tidak. 8. Strategi ini dilakukan secara terus menerus hingga konseli memahami bahwa skema (kerangka kognitif) dirinya yang selama ini dia rasakan merupakan pikiran-pikirannya sendiri yang tidak rasional, sehingga konseli mampu berpikir secara rasional dalam menerima kondisi dirinya baik kelebihan maupun kekurangannya.
Kesimpulan Hal penting yang perlu dilakukan oleh konselor adalah mengidentifikasi komponen harga diri rendah pada konseli, sebagai bentuk perilaku nyata dari kondisi Self-Acceptance. Sebab dengan teridentifikasinya komponen ini maka akan mudah bagi konselor untuk memberikan treatment yang sesuai dengan
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | digilib.upi.edu | upi.edu
karakteristik konseli, sehingga pada akhirnya konseli dapat merasakan bahwa proses konseling yang sedang berlangsung adalah proses yang bermakna bagi dirinya. Keterbukaan konseli pada proses konseling ini akan mejadi langkah awal baik yang memudahkan dirinya untuk kemudian lebih jauh mengenal siapa dirinya, selanjutnya mampu menerima dirinya serta bergerak pasti dengan segala kelebihan dan kekurangan. Sebab, memiliki kepastian diri akan memperjelas keyakinan, emosi, hal yang disukai dan tidak disukai, nilai dalam diri, tujuan hidup dan sebagainya.
Daftar Pustaka Milton Spett. (2005). “CBT for Low Self-Esteem”. New Jersey Psychological Association Conference. This article is an adaptation of that workshop. [Online]. Tersedia: http://www.nj-act.org/self.html Lukman Firdaus. (2009). Self-Acceptance. [Online]. Tersedia: http://psikologiartikel.blogspot.com/2009/10/self-acceptance.html\ Achmanto Mendatu. (2007). Prasangka Etnik Minoritas. [Online]. Tersedia:http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/prasangka-etnikminoritas.html [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Self-acceptance. [online]. Tersedia: http://www.thefreedictionary.com/minority. (2009).
[Online].
Tersedia:
http://psikologi-online.com/pluralitas-etnik-di-
indonesia [Online]. Tersedia: http://psikologi-online.com/etnik-dan-etnisitas
Biografi Penulis Penulis bernama lengkap Salma Shifatia Thursina. Dilahirkan di Kota Tasikmalaya pada tanggal 3 Mei 1991. Orangtua bernama lengkap Ihwan Nuromadi serta Widawati. Riwayat pendidikan penulis dimulai dengan masuk pada sebuah TK di Kota Tasikmalaya di bawah Yayasan Al-Muttaqin yakni TK Al-Muttaqin (1996), pun waktu selama 6 tahun yang dihabiskannya untuk mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, didapatkannya pada lembaga Sekolah
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | digilib.upi.edu | upi.edu
Dasar di yayasan yang sama yakni, SD Al-Muttaqin Full Day School (2003), kemudian SMP Negeri 1 Tasikmalaya (2006) menjadi pilihan penulis untuk menikmati dunia masa remaja awalnya. Selanjutnya SMA Negeri 1 Tasikmalaya (2009) menjadi salahsatu tempat bermakna dalam perjalanan pendidikan penulis, sampai akhirnya kini mengambil Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan di Universitas Pendidikan Indonesia. Penulis beralamat di Jalan Sutisna Senjaya blk: 198/ 131b Tasikmalaya dan dapat dihubungi pada layanan selular 085323037008. Alamat email:
[email protected], fb: Salma Shifatia Thursina.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | digilib.upi.edu | upi.edu