Penanda Molekul DNA Mikrosatelit untuk Karakterisasi Bibit Jamur Kuping (Auricularia polytricha [Mont.] Sacc.) I Nyoman Pugeg Aryantha1,2), Yuniar Mulyani2), dan Rahmat Ariffudin2) 1) Kelompok Keahlian Mikrobiologi-Genetika-Biologi Molekuler, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung, Bandung 2) Pusat Ilmu Hayati, Institut Teknologi Bandung, Bandung e-mail:
[email protected] Diterima 7 Januari 2008, disetujui untuk dipublikasikan 5 Maret 2008 Abstract This study aims to find out a method of spawn characterization for wood ear mushroom (A. polytricha [Mont.] Sacc.) based on microsatellite DNA marker. Four strains of wood ear mushroom cultivated in several regions of Java i.e AUC (West Java), AUCN (Central Java), AUP (West Java) and AUT (West Java) were evaluated. A pair of designed primers (5’ -GGGAAAGTGATCCCATCTT-3’ and 3’-AGTTGTGGGAACATCGAACT-5’) was able to amplify microsatellite DNA from those four strains of wood ear mushroom. Strains AUC, AUCN and AUP share the same positions (2 loci) of microsatellite motive (TC)n with PCR products of 212 and 201 bp, while the same motive for strain AUT was found at different loci with PCR products of 127, 108, and 96 bp. The same motive was also found at another locus of strain AUC and AUP with a PCR product of 228 bp. Another different locus with a PCR product of 85 bp also gave positive amplification result for strain AUC. The data on macroscopic characters (mycelial growth rate and quality, fruiting percentage and mushroom yield) revealed that AUC, AUCN and AUP are good strains, while AUT is bad strain. Overall, there is a good correlation between molecular (microsatellite DNA) patterns and macroscopic data on mycelial growth rate and quality, as well as flushing percentage and mushroom yield. Therefore, microsatellite DNA motive of (TC)n can be adopted for spawn characterization of wood ear mushroom. Keywords: Auricularia polytricha, Wood ear mushroom, Microsatellite DNA, Spawn characterization Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mencari metode evaluasi bibit jamur kuping (A. polytricha) yang akurat berdasarkan penanda DNA mikrosatelit. Empat galur bibit jamur kuping yang dibudidayakan di beberapa daerah di pulau Jawa yang dipakai sebagai obyek penelitian ini, yaitu AUC (Jawa Barat), AUCN (Jawa Tengah), AUP (Jawa Barat) dan AUT (Jawa Barat). Dari hasil pengkajian karakter DNA mikrosatelit motif (TC)n dengan rancangan primer 5’GGGAAAGTGATCCCATCTT-3’ dan 3’-AGTTGTGGGAACATCGAACT-5’ diperoleh pola bahwa galur AUC, AUCN dan AUP memiliki motif mikrosatelit pada 2 lokus yang sama dengan produk PCR ukuran 212 dan 201 pb, sementara AUT memberikan hasil pada lokus yang berbeda dengan produk PCR berukuran 127, 108, dan 96 pb. Galur AUC dan AUP juga memiliki motif pada lokus lain dengan produk PCR ukuran pita 228 pb. Produk PCR dengan pita ukuran 85 pb hanya dihasilkan oleh galur AUC. Kajian kualitas pertumbuhan miselium, laju pertumbuhan miselium, persentase fruiting (kemunculan tubuh buah), dan produktivitas panen memberikan hasil bahwa AUC, AUCN dan AUP merupakan galur dengan kualitas baik, sedangkan kualitas AUT tidak baik. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kualitas bibit keempat galur jamur kuping dengan pola DNA mikrosatelit motif (TC)n sehingga penanda tersebut dapat dipakai sebagai metode karakterisasi bibit jamur kuping. Kata Kunci: Auricularia polytricha, Jamur kuping, DNA mikrosatelit, Karakterisasi bibit jamur kuping di dunia terus meningkat dan mencapai 80% sejak tahun 1980an (Pointing and Hyde, 2001). Dalam proses budidaya jamur, tingkat keberhasilan sangat dipengaruhi oleh keberadaan bibit yang berkualitas selain faktor fisik, nutrisi dan kebersihan. Baik atau buruknya kualitas bibit jamur ditentukan secara genetik. Bibit yang diketahui baik dari awal tidak selalu menjamin kualitasnya seperti semula. Keberadaan sifatnya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dalam kondisi pemeliharaan. Faktor lingkungan dapat mengubah sifat-sifat tertentu jamur yang pada dasarnya dapat melahirkan galur baru. Untuk
1. Pendahuluan Jamur kuping (Auricularia polytricha) termasuk jamur konsumsi yang sudah lama dibudidayakan secara tradisional maupun modern di Cina. Jamur A. polytricha termasuk jamur konsumsi bergizi tinggi dengan kadar protein 24-34% (Oei, 1996), selain berkhasiat sebagai anti mutagenik dan anti tumor (Pointing and Hyde, 2001). Oleh karena itu, maka tidak mengherankan minat masyarakat untuk membudidayakan jamur ini cukup tinggi. Produksi
7
8 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2008, VOL. 13 NO. 1
menentukan adanya penyimpangan-penyimpangan sifat dari galur yang unggul diperlukan suatu metode pemeriksaan yang akurat dan relatif cepat. Penentuan kualitas bibit jamur sampai saat ini masih berdasarkan metode karakterisasi yang sangat sederhana, yakni berupa pengamatan visual secara makroskopik. Selain itu, miselium vegetatif antar galur atau jenis jamur sangat sulit dibedakan secara visual. Hal ini tentu tidak dapat menghasilkan penilaian yang akurat akan sifat-sifat jamur ditinjau dari segi genetiknya, karena bisa saja bibit jamur yang sedang dianalisis sudah mengalami mutasi yang tidak teramati secara visual. Konsekuensinya, deskripsi morfologi tersebut dapat menghasilkan penilaian yang keliru. Selain itu, sampai sekarang belum ada lembaga atau institusi yang melakukan standarisasi bibit jamur di Indonesia. Hal ini menyebabkan industri jamur tidak dapat berkembang dengan baik. Karakterisasi genetik yang akurat adalah dengan menggunakan penanda molekul. Mikrosatelit atau Simple Sequence Repeats (SSR) merupakan salah satu penanda genetik molekuler yang didasarkan pada urutan DNA pendek yang tiap unit ulangannya terdiri dari satu sampai enam nukleotida. Lokus mikrosatelit diapit oleh suatu urutan nukleotida yang terkonservasi, sehingga urutan DNA pengapit ini dapat dijadikan primer spesifik yang bisa diamplifikasi menggunakan PCR (Treuren, 2000). Penanda mikrosatelit ini banyak digunakan sebagai alat dalam program pemuliaan atau studi evolusi, karena dapat memperlihatkan keragaman genetik yang tinggi (Adato et al., 1995). Selain itu, mikrosatelit bersifat kodominan, pewarisan mengikuti hukum Mendel, mudah diaplikasikan karena berbasis teknik PCR dan mempunyai kandungan informasi polimorfisme (PIC) atau tingkat heterogenitas yang tinggi (Joshi et al., 1999). Mikrosatelit bisa digunakan untuk membandingkan genotip dari individu yang mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Penanda mikrosatelit sudah digunakan secara luas pada tanaman untuk fingerprinting, pemetaan gen dan analisis genetik (Crouch et al., 1998). Meskipun metode ini sudah berkembang dalam bidang tumbuhan, namun tidak demikian halnya dengan jamur. Bahkan, khusus untuk jamur kuping belum ada literatur yang melaporkan hasil karakterisasi penanda mikrosatelit. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi ilmiah yang berharga dalam dunia ilmu tentang jamur. 2. Metode 2.1 Penyiapan bag log Serbuk kayu Albisia sebagai media utama (1000g) dicampur dengan dedak padi (100g), kapur CaCO3 (20g), dan NPK (30:30:30) (5g) dan air
kapasitas lapang (65%). Setelah tercampur merata, media campuran tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik (polybag), kemudian cincin paralon ditempatkan pada bagian mulut kantong tersebut dan disumbat dengan kapas. Bag log berisi media tersebut disterilkan pada suhu 121 oC selama 15 menit. Pada bag log, kemudian diinokulasikan 10g bibit dari masing-masing galur berupa kultur miselium dalam media serealia yang telah disiapkan sebelumnya dan diinkubasikan pada suhu ruang selama 1,5 bulan. Pertumbuhan miselium diamati setiap hari. Parameter yang diukur meliputi laju pertumbuhan miselium ke arah bawah, kemerataan pertumbuhan miselium serta ketebalan miselium. 2.2 Produksi tubuh buah Setelah miselium memenuhi bag log dan telah tampak bakal tubuh buah, bagian atas bag log dibuka dengan membuka kapas dan cincin paralon tanpa mengganggu bakal tubuh buah tersebut. Kelembaban udara di ruang inkubasi dipertahankan sekitar 80-90% melalui penyiraman dengan air. Setiap bag log yang tubuh buahnya sudah dewasa kemudian dipanen dengan cara mencabut sampai bersih. Berat basah tubuh buah yang dihasilkan per bag log dari setiap galur jamur kuping ditimbang dan dicatat. 2.3 Isolasi DNA Miselium jamur disubkultur dalam medium PDB (Potato Dextrose Broth). DNA diisolasi dengan menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) yang dikembangkan oleh Rogers and Bendich (1994) dengan sedikit modifikasi. Selanjutnya ditambahkan nitrogen cair ke dalam miselium sampai terbentuk kristal sebelum digerus dalam lumpang. Ke dalam bubuk miselium ditambahkan larutan dapar ekstraksi yang mengandung CTAB, divortex selama beberapa menit, kemudian diinkubasi pada suhu 65 oC selama 2 jam. Setelah inkubasi, campuran tersebut disentrifugasi pada 5000 rpm selama 25 menit. Endapan yang diperoleh ditambahkan larutan kloroform-isoamil alkohol (24:1), divortex sampai homogen, dan disentrifugasi pada 10000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindah ke tabung baru dan ditambah larutan kloroform-isoamil alkohol dan isopropanol dan disimpan pada suhu -20 oC selama 2 jam. Setelah itu, campuran disentrifugasi 10.000 rpm selama 10 menit. Pelet yang diperoleh dicuci dengan alkohol 80%, disentrifugasi, dan akhirnya dilarutkan dengan TE (TrisEDTA). DNA hasil isolasi selanjutnya disimpan pada suhu -20 oC. Untuk karakterisasi mikrosatelit, hasil isolasi DNA genom dipotong dengan menggunakan beberapa enzim restriksi ujung tumpul, yaitu RsaI, HincII dan AluI. Reaksi pemotongan dilakukan sesuai dengan protokol, dengan sedikit modifikasi. Selanjutnya proses ligasi dilakukan berdasarkan protokol Edwards et al.
Aryantha dkk, Penanda Molekul DNA Mikrosatelit untuk Karakterisasi Bibit Jamur Kuping 9
(1996), dengan adaptor MluI 21-mer dan 25-mer (GibcoBRL) pada ujung 51 dan ujung 31. 2.4 Hibridisasi dan amplifikasi DNA mikrosatelit Hasil amplifikasi fragmen DNA yang telah diligasi dengan adaptor, dihibridisasi dengan membran yang telah mengandung oligonukleotida bermotif mikrosatelit. Hibridisasi ini meliputi persiapan membran hibridisasi, proses hibridisasi dan pengayaan mikrosatelit melalui amplifikasi hasil elusi dengan PCR. Duapuluh satu oligonukleotida bermotif mikrosatelit yang digunakan diperoleh dari Operon Technologies, Inc dan Sigma-Genosys. Oligonukleotida tersebut dikelompokkan menjadi empat, berdasarkan titik leleh sebagai berikut: kelompok I (T25, AT15 , AAT10, AATT10, AAAT10, CAT10); kelompok II (AAC10, AAG10, CTA10, TAG10, CTC10, GACA10); kelompok III (AC15, AG15, GGT10, C20) dan kelompok IV (AGC10, GCT10, GTG10, GGA10, GCC10). 2.5 Transformasi DNA mikrosatelit Sebagai tahapan awal penentuan urutan nukleotida DNA mikrosatelit, terlebih dahulu dilakukan kloning ke sel bakteri inang. Untuk menghasilkan plasmid rekombinan, hasil PCR DNA elusi diligasi ke dalam vektor plasmid dengan mengikuti prosedur “pGEM®-T Easy vector system I” (Promega). Kemudian vektor plasmid rekombinan tersebut ditransformasi ke dalam sel kompeten E. coli DH5α dengan merujuk kepada protokol Inoue et al. (1990) yang telah mengalami sedikit modifikasi. Kultur transforman yang terbentuk diinokulasi dengan metode tuang ke dalam cawan Petri berisi medium LB padat yang telah mengandung 100 µg/mL ampisilin dan diberi 100 µL IPTG dan X-gal. Masing-masing koloni bakteri berwarna putih yang berisi plasmid rekombinan diisolasi dan disubkultur dalam 4 mL medium Terrific Broth yang ditambah ampisilin sesuai dengan protokol Xiang et al. (1994) dengan sedikit modifikasi. Hasil subkultur dipanen pada fase pertumbuhan eksponensial untuk selanjutnya diisolasi DNA plasmidnya. Sebanyak 3 µL plasmid dipotong dengan menggunakan enzim EcoRI dan dielektroforesis untuk mengetahui keberadaan DNA mikrosatelit sisipan pada plasmid dari koloni bakteri berwarna putih. 2.6 Penentuan urutan nukleotida dan perancangan primer DNA mikrosatelit Plasmid yang mengandung DNA sisipan dipilih untuk kemudian ditentukan urutan nukleotida DNA sisipan. Penentuan urutan nukleotida dilakukan di Macrogen, Seoul, Korea. Sebanyak 30 sampel hasil isolasi plasmid dipilih untuk dianalisis urutan DNA sisipannya. Sequencing DNA dilakukan satu arah dengan menggunakan primer universal T7. Mesin yang
digunakan adalah Mesin Automatic fluorescent DNA sequencer merek ABI 377A. Urutan basa nukleotida hasil sequencing selanjutnya dianalisis dengan menggunakan online software Microsatellite Finder” (Bikandi, 2008) untuk memeriksa daerah yang ada motif pengulangan basa (mikrosatelit). Salah satu motif dipilih untuk perancangan primer reverse dan forward. Perancangan primer yang mengapit lokus mikrosatelit dilakukan dengan menggunakan program komputer Primer3.cgi v 0.2c (Rozen and Skaletsky, 1997). 2.7 Aplikasi penanda mikrosatelit pada galur jamur kuping Primer hasil perancangan kemudian disintesis di PROLIGO(R) Singapura. Primer kemudian dipakai dalam reaksi PCR untuk amplifikasi DNA mikrosatelit motif (TC)n dari keempat galur bibit tersebut. Adapun protokol PCR touch down diatur sesuai kondisi berikut: predenaturasi 94 oC selama 3 menit, 2 siklus pertama terdiri dari denaturasi dengan suhu 94 oC selama 30 detik, dilanjutkan dengan annealing pada suhu 63,5 oC selama 30 detik, elongasi pada suhu 72oC selama 30 detik. Sub siklus kedua sebanyak 13 siklus terdiri dari denaturasi pada suhu 94 oC selama 15 detik, annealing pada suhu 63,5 oC selama 30 detik (diturunkan 0,5 oC setiap siklus), elongasi pada suhu 72 oC selama 15 detik. Subsiklus terakhir (sebanyak 27 siklus) terdiri dari denaturasi pada suhu 94 oC selama 15 detik, annealing pada suhu 57,5 oC selama 15 detik, elongasi pada suhu 72 oC selama 15 detik dan diakhiri dengan pasca-elongasi pada 72 oC selama 3 menit. 2.8 Analisis data elektroforesis Hasil PCR dielektroforesis dan pita yang tampak merupakan fragmen DNA mikrosatelit yang teramplifikasi. Panjang fragmen DNA teramplifikasi ditentukan berdasarkan jarak migrasinya setelah data ditransformasi ke persamaan regresi linier hubungan antara jarak migrasi pita dengan log ukuran DNA marker. Keberadaan pita (larik) ditentukan dengan bantuan program komputer Image-J yang dilakukan melalui pengukuran perbedaan densitas warna hitam setelah foto diinversi menjadi negatif. Penggunaan komputer dapat mengurangi kesalahan dalam penentuan larik, terutama jika larik tersebut berdekatan atau bila intensitas warna larik cukup lemah dan mendekati intensitas latar belakang atau warna gel agarosa. Jalur migrasi elektroforesis suatu sampel digambarkan sebagai suatu lintasan garis lurus. Bila pada lintasan tersebut terdapat larik pada jarak tertentu maka akan didapati puncak atau kenaikan amplitudo pada pengukuran dan akan tercatat pada grafik yang dihasilkan. Besarnya amplitudo tidak diperhitungkan karena intensitas larik tidak diperhitungkan.
10 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2008, VOL. 13 NO. 1
3. Hasil
3.2 Produktivitas tubuh buah dan persentase fruiting Data produktivitas dan persentase keberhasilan membentuk tubuh buah selama masa panen 1,5 bulan ditampilkan dalam Gambar 3. Dari data tersebut tampak bahwa produktivitas tubuh buah galur AUC, AUCN dan AUP lebih tinggi dibandingkan dengan galur AUT. Sesuai dengan data tersebut, persentase keberhasilan pembentukan tubuh buah juga tampak lebih besar pada AUC, AUCN dan AUP dibandingkan dengan AUT. Galur AUCN menunjukkan persentase keberhasilan pembentukan tubuh buah yang paling tinggi, yakni mendekati 100%. Selain itu, dari kecepatan munculnya tubuh buah, galur AUCN menghasilkan tubuh buah paling cepat (dalam waktu 20 hari sejak dibuka) dibandingkan dengan yang lain (data tidak disajikan).
Persentase (%)
Karakteristik pertumbuhan miselium dari masing-masing galur, menunjukkan bahwa galur AUC, AUCN dan AUP tumbuh bagus dengan tekstur miselium yang cukup tebal dan tersebar merata pada substrat tanam, sedangkan galur AUT tidak dapat tumbuh dengan baik (Gambar 1). Bahkan untuk galur AUT terdapat bag log yang tidak dapat tumbuh sebesar 4,8%. Dari aspek ketebalan miselium, hampir semua galur menunjukkan ketebalan yang relatif sama. Sejalan dengan itu, kecepatan pertumbuhan miselium dari masing galur seperti tampak dalam Gambar 2 juga menunjukkan pola yang sama bahwa galur AUC, AUP dan AUCN tumbuh relatif lebih cepat dibandingkan galur AUT.
100 80 60 40 20 0 AUT
AUC
AUP
AUCN
Strain Bibit Tumbuh bagus
Tumbuh kurang
Tidak tumbuh
Gambar 1. Karakteristik pertumbuhan miselium masing-masing galur dalam substrat produksi tubuh buah selama 1,5 bulan (Catatan : Tumbuh bagus = miselium relatif tebal dan merata, Tumbuh kurang = miselium tipis dan tidak merata). 0.6 Laju pertumbuhan (cm/hari)
3.1 Karakteristik dan laju pertumbuhan miselium
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1
AUC
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 Waktu (Hari)
AUT
AUP
AUCN
Gambar 2. Laju pertumbuhan miselium dalam substrat produksi tubuh buah.
Aryantha dkk, Penanda Molekul DNA Mikrosatelit untuk Karakterisasi Bibit Jamur Kuping 11
120
90
100
70 60
80
50
60
40
40
30 20
20
10 0
Persentase fruiting (%)
Produktivitas (g/bag log )
80
0 AUT
AUC
AUP Galur bibit
Produktivitas Produktivitas (g/bag (g/bag log) log)
AUCN Fruiting (%) Fruiting
Gambar 3. Persentase pembentukan tubuh buah dan produktivitas tubuh buah masing galur selama 1,5 bulan.
a
c
b
d
Gambar 4. Tubuh buah masing galur jamur kuping AUT (a), AUP (b), AUC (c) dan AUCN (d) yang ditumbuhkan dalam substrat serbuk kayu selama 1,5 bulan.
12 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2008, VOL. 13 NO. 1
M
B
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
2.1
2.2
2.3
2.4 DNA plasmid
DNA mikrosatelit sisipan
Gambar 5. Hasil amplifikasi beberapa klon bakteri yang berhasil tersisipkan fragmen DNA mikrosatelit dengan ukuran basa berbeda (M = Marker). A B
300 bp 200 bp
228 pb 212 pb 201 pb
100 bp
127 pb 108 pb 96 pb
81 bp
85 pb 1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Gambar 6: Pola pita hasil amplifikasi PCR dengan primer mikrosatelit yang mengapit motif (TC)n dengan pita ukuran 228, 212, 201, 127 dan 85 pb. (A) Pola pita hasil pembacaan dengan program Image-J (B) lajur 1 = Marker; lajur 2 = AUC; lajur 3 = AUCN; lajur 4 = AUP; lajur 5 = AUT). 3.3 Hasil karakteristik DNA mikrosatelit Transformasi berhasil dilakukan yang ditandai dengan adanya beberapa koloni E. coli transforman yang tidak berwarna biru. DNA plasmid berhasil diisolasi dari beberapa koloni putih. DNA sisipan juga berhasil dipotong dengan enzim EcoRI dan tampak terpisah dengan baik antara DNA plasmid dan sisipan hasil pemotongan dalam gel hasil elektroforesis (Gambar 5). Dari hasil karakterisasi motif mikrosatelit, dipilih salah satu motif, yaitu TCTCTCTC (TC)4 yang selanjutnya dirancang primernya dan hasil rancangannya memiliki urutan basa sisi kanan 5’-GGGAAA
GTGATCCCATCTT-3’ dan sisi kiri 3’-AGTTGTGGG AACATCGAACT-5’. Primer tersebut diaplikasikan untuk mengevaluasi keberadaan keempat galur bibit jamur kuping tersebut. Hasil reaksi PCR menggunakan primer tersebut memberikan amplifikasi yang positif pada DNA mikrosatelit motif (TC)n dari keempat galur jamur kuping tersebut seperti dapat dilihat pada Gambar 6. Dari hasil elektroforesis dapat dilihat pola pita yang tegas dengan ukuran basa 212 dan 201 pasang basa (pb) untuk galur AUC, AUCN dan AUP. Sedangkan pita kurang tegas dengan ukuran 228 pb muncul pada galur AUC dan AUP. Demikian juga halnya dengan pita yang kurang tegas berukuran 85 pb tampak dihasilkan oleh galur AUC. Sementara itu,
Aryantha dkk, Penanda Molekul DNA Mikrosatelit untuk Karakterisasi Bibit Jamur Kuping 13
galur AUT memiliki pola pita yang tidak tegas pada empat daerah dengan ukuran basa berturut-turut dempet: 127, 108, dan 96 pb. 4. Diskusi Galur AUT memiliki daya survival dan kompetisi yang relatif rendah terbukti dari data bahwa ada bag log yang tidak tumbuh sebesar 4,8%. Fenomena tidak tumbuh ini disebabkan oleh faktor kontaminasi terutama bakteri. Semua galur ditumbuhkan dalam substrat yang sama dan mengalami proses serta perlakuan yang sama. Peluang adanya kontaminasi baik bakteri maupun fungi liar juga dialami oleh galur yang lain. Dari keempat galur, hanya AUT yang mengalami kontaminasi bakteri dengan pengaruh kematian sebesar 4,8%. Hal ini mengindikasikan bahwa galur AUT adalah galur yang tidak baik. Daya survival dan kompetisi miselium berkaitan erat dengan produktivitas tubuh buah dari fungi sempurna. Siklus lengkap jamur kuping (Auricularia polytricha) sebagai anggota kelas Basidiomycetes diawali dari fase vegetatif miselium yang dilanjutkan dengan fase generatif tubuh buah yang menghasilkan spora seksual sebagai penutup siklus hidupnya. Keberhasilan persaingan dan kemampuan penyerapan nutrisi yang menunjang pertumbuhan biomasa vegetatif merupakan modal dasar keberhasilan pembentukan tubuh buah dan akhirnya produktivitas tubuh buah dalam fase generatifnya. Fenomena penampilan fase vegetatif dari galur AUT yang tidak baik terbukti berakibat terhadap persentase fruiting dan produktivitas tubuh buah yang rendah. Meskipun persentase fruiting galur AUT rendah, yang hanya mencapai kurang dari 20% namun produktivitas tubuh buah yang dihasilkan bisa mencapai lebih dari 55 g per bag log. Berbeda dengan galur yang lain di mana persentase fruiting di atas 80% menghasilkan produktivitas tubuh buah sekitar 80 g per bag log. Fenomena ini terjadi karena jumlah tubuh buah dari galur AUT per 1 bag log lebih banyak dibandingkan dengan galur yang lain (Gambar 4). Dengan demikian, walaupun persentase fruiting dari galur AUT rendah, namun panenan (yield) yang dicapai relatif cukup tinggi meskipun secara total masih lebih rendah dari galur AUC, AUCN dan AUP. Motif mikrosatelit yang ditemukan dalam penelitian ini mencapai 18, namun untuk karakterisasi bibit jamur kuping dipilih yang jumlah pengulangan motifnya lebih dari 3 kali dan kemunculan motif tersebut cukup sering untuk beberapa klon. Kriteria motif DNA mikrosatelit seperti yang telah dipaparkan oleh Weber (1990) terdiri dari 4 motif, yakni sempurna; tidak sempurna; campuran sempurna dan campuran tidak sempurna. Motif (TC)4 yang diperoleh dalam penelitian ini termasuk dalam kategori motif
sempurna di mana di antara motif pengulangan TC tidak ada basa penyela yang non-motif. Karakterisasi motif mikrosatelit jamur kuping (Auricularia polytricha) secara khusus belum banyak dilakukan. Demikian juga dengan fungi kelas Basidiomycetes lain, sangat sedikit datanya. Beberapa spesies fungi kelas Basidiomycetes yang telah dilakukan karakterisasi mikrosatelit adalah Agaricus bisporus, Amanita phalloides, Agrocybe aegerita, Agrocybe chaxingu, Pleurotus ostreatus, Russula brevipes, Serpula lacrymans, Suillus pictus, dan Tricholoma matsutake antara lain (Mouhamadou et al., 2005; Larraya et al., 1999, Hirose and Tokumasu, 2007). Meskipun demikian, beberapa urutan basa nukleotida (DNA atau RNA) bermotif mikrosatelit dalam konteks lain telah dilaporkan. RNA ribosom Auricularia mesenterica galur EL66-97 mengandung 3 motif dengan pengulangan masing-masing sebanyak 3 kali, yakni (AG)3, (GA)3 dan (GT)3 (Larsson and Larsson, 2003). Sedangkan RNA ribosom 18S dari Auricularia polytricha tampak mengandung 6 motif, yakni (GC)3, (GT)3, (TT)3, (GG)3, (GGT)3, (AC)3 (Swann and Taylor, 1993). Motif mikrosatelit (TC)3 dan (GTG)3 tampak dalam gen pengkode enzim beta glukan sintase dari Auricularia auricula-judae (Reverberi et al., 2004). Demikian juga dengan motif (CA)3 dan (ATG)3 ditemukan dalam gen Cla4p-like protein kinase (cla4) Auricularia polytricha (James and Vilgalys, 2003). Gen laccase spesies Auricularia auricula-judae juga tampak mengandung 4 motif DNA mikrosatelit yakni (GC)3, (TC)3, (GA)3 dan (CA)4 (Zhang and Ma, 2003). Gen yang sama pada Auricularia polytricha tampak mengandung 6 motif mikrosatelit yakni : (ACG)3, (TTC)3, (TC)3, (CC)3, (CGG)3 dan (GC)3 (Yang et al., 2004). Motif yang berbeda yakni (GT)3, (TT)3, (AT)3, (CT)3 dan (AA)3 juga tampak pada DNA mitokondria Auricularia auricula-judae (Hibbett and Donoghue, 1995; Binder and Hibbett, 2002). RNA ribosom 25S Auricularia auricula-judae juga tampak mengandung motif mikrosatelit (AG)3, (GA)3 (Langer, 2000). Gen pheromone receptor yang berperan sebagai penentu mating type dalam proses pembiakan seksual Auricularia polytricha juga tampak mengandung motif mikrosatelit (CA)3 dan (ATG)3 (James and Vilgalys, 2003). Pemeriksaan hasil amplifikasi DNA mikrosatelit keempat galur jamur kuping ini dilakukan menggunakan teknik PCR touch down - non denaturing. Dalam teknik non-denaturing, untai ganda DNA tidak lepas sehingga tidak dapat ditentukan heterozigositas tiap pasangan alel. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menentukan keberadaan homo atau heterozigositas dari galur melainkan untuk menentukan kekerabatan antar galur dan ada tidaknya kaitan antara
14 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, MARET 2008, VOL. 13 NO. 1
kualitas bibit dengan pola karakter mikrosatelitnya. Teknik touch down dengan variasi suhu dan waktu dalam siklus PCR memungkinkan dihasilkannya beberapa pita dari beberapa lokus yang mengandung motif yang sama. Teknik ini secara teori dapat memberikan data lebih detail ada tidaknya perbedaan antar galur. Dari hasil penelitian ini, meskipun galur AUC, AUCN dan AUP menghasilkan motif mikrosatelit TC pada 2 lokus yang sama, namun galur AUC menghasilkan motif pada 2 lokus lain yang berbeda. Galur AUP juga menghasilkan motif pada satu lokus lain. Jika data fenotipik kualitas dan laju pertumbuhan miselium, persentase fruiting dan produktivitas panenan dikaitkan dengan data karakter molekuler penanda mikrosatelit, tampak terdapat pola di antara keempat galur bibit jamur kuping tersebut. Kualitas dan laju pertumbuhan miselium, persentase fruiting dan produktivitas panen, galur AUC, AUCN dan AUP berada pada satu kluster sementara AUT berbeda sendiri. Pola hasil karakterisasi dengan penanda mikrosatelit motif (TC)n memberikan hasil yang cocok dengan pola tersebut di mana ketiga galur tersebut menghasilkan pita ukuran yang sama, yakni 212 dan 201 pb, sedangkan galur AUT menghasilkan pita di daerah bawah dengan ukuran 127, 108 dan 96 pb. Adanya perbedaan ukuran hasil amplifikasi DNA bermotif mikrosatelit untuk galur AUT dan ketiga galur yang lain dapat memberikan petunjuk bahwa galur AUT merupakan galur yang berbeda. Menurut informasi pembudidaya jamur di lapangan, galur AUT berasal dari Taiwan, sementara galur AUC dan AUCN berasal dari Cina, dan galur AUP tidak diketahui asalusulnya secara pasti. Namun demikian, keempat galur tersebut masih merupakan spesies yang sama yakni Auricularia polytricha. Adanya perbedaan galur yang muncul dari spesies yang sama ini dapat terjadi akibat mutasi spontan (Bos and Stadler, 1996) atau dari proses perkembangbiakan seksual (Esser, 1996). Ditinjau dari segi kualitas pertumbuhan miselium, laju pertumbuhan miselium, persentase fruiting serta produktivitas panenan, tampak kaitan antara pola pita hasil amplifikasi DNA mikrosatelit motif (TC)n di mana ketiga galur (AUC, AUCN dan AUP) menghasilkan pita dengan ukuran basa yang sama. Gen yang memproduksi enzim beta glukan sintase dari Auricularia auricula-judae telah dilaporkan urutan basa nukleotidanya oleh Zhang dan Ma (2003). Hasil Analisis urutan nukleotida gen sequence tersebut dengan program Microsatellite Finder (Bikandi, 2008) menunjukkan motif pengulangan basa TC sebanyak 3 kali. Gen laccase dari spesies yang sama tampak juga mengandung motif DNA mikrosatelit yang sama. Hasil sequence gen laccase dari spesies jamur kuping
Auricularia polytricha seperti yang dilaporkan oleh Yang et al., (2004), juga tampak mengandung motif mikrosatelit (TC)3. Ketiga hal tersebut memperkuat argumentasi bahwa bibit jamur kuping Auricularia polytricha dapat dikarakterisasi kualitasnya berdasarkan keberadaan motif tersebut. 5. Kesimpulan Terdapat hubungan yang erat antara kualitas pertumbuhan dan laju pertumbuhan miselium, persentase fruiting, serta produktivitas panen dengan pola DNA mikrosatelit motif (TC)n keempat galur bibit jamur kuping Auricularia polytricha, sehingga penanda mikrosatelit motif (TC)n dapat dipakai sebagai alat untuk karakterisasi kualitas bibit jamur kuping. Ucapan Terimakasih Penelitian ini dapat terselenggara berkat bantuan dana dari program Riset Unggulan ITB periode tahun 2004-2005. Daftar Pustaka Adams, R. I., H. E. Hallen, and A. Pringle, 2006, Using the Incomplete Genome of the Ectomycorrhizal Fungus Amanita Bisporigera to Identify Molecular Polymorphisms in the Related Amanita phalloides, J. Mol. Ecol. Notes, 6:1, 218-220. Adato, A., D. Sharon, U. Lavi, J. Hillel, and S. Gazit, 1995, Application of DNA Fingerprints for Identification and Genetic Analyses of Mango Genotypes, J. Am. Soc. Hort. Sci., 120:2, 259264. Bikandi, J., 2008, Microsatellites Script, www.biophp.org/minitools/microsatellite repeats finder/demo.php. Bergemann, S. E., G. W. Douhan, M. Garbelotto, and S. L. Miller, 2006, No Evidence of Population Structure Across Three Isolated Subpopulations of Russula brevipes in an Oak /Pine Woodland, J. New Phytol., 170:1, 177184. Binder, M. and D. S. Hibbett, 2002, Higher-level Phylogenetic Relationships of Homobasidiomycetes (Mushroom-Forming Fungi) Inferred from Four rDNA Regions, J. Mol. Phylogenet. Evol., 22:1, 76-90. Bos, C. J and D. Stadler, 1996, Mutation in Fungal Genetics, C. J. Bos, Ed., Marcell Dekker Inc., New York, 13-42. Crouch, J. H., D. Vuylsteke, and R. Ortiz, 1998. Perspectives on the Application of Biotechnology to Assist the Genetic Enhancement of Plantain and Banana (Musa spp.), Electron. J. Biotech., 1:1.
Aryantha dkk, Penanda Molekul DNA Mikrosatelit untuk Karakterisasi Bibit Jamur Kuping 15
Edwards, K. J., J. H. A. Baker, A. Daly, C. Jones, and A. Karpa, 1996, Microsatellite Libraries Enriched for Several Microsatellite Sequences in Plants, Biotechniques, 20, 758-760. Esser, K., Meiotic Recombination, in C. J. Bos, (Ed.), 1996, Fungal Genetics, Marcell Dekker Inc., New York, 43-71. Franzen, I., B. Slippers, R. Vasiliauskas, and J. Stenlid, 2006, Development of Microsatellite Markers for the Red-listed Wood-Decay Fungus Phlebia centrifuga, J. Mol. Ecol. Notes, 6:3, 870-872. Hibbett, D. S. and M. J. Donoghue, 1995, Progress Toward a Phylogenetic Classification of the Polyporaceae Through Parsimony Analyis of Mitochondrial Ribosomal DNA Sequences, NCBI Data Base: www.ncbi.nlm.nih.gov kode akses U27022. Hirose, D. and S. Tokumasu, 2007, Microsatellite Loci from the Ectomycorrhizal Basidiomycete Suillus pictus Associated with the Genus Pinus Subgenus Strobus, J. Mol. Ecol. Notes, 7, 854-856. Hogberg, N., I. B. Svegarden, and H. Kauserud, 2006, Isolation and Characterization of 15 Polymorphic Microsatellite Markers for the Devastating Dry Rot Fungus, Serpula lacrymans, J. Mol. Ecol. Notes, 6:4, 10221024. Inoue, H., H. Nojima, and H. Okayama, 1990, High Efficiency Transformation of Escherichia coli with Plasmids, Gene, 96, 23-28. James, T. Y. and R. Vilgalys, 2003, Molecular Evolution of the Pheromone Receptors Involved in Mating-type (sex) Determination in the Mushroom Fungi, NCBI data base: www.ncbi.nlm.nih.gov kode akses AY226009. Joshi, S. P., P. K. Ranjekar, and V. S. Gupta. 1999. Molecular Markers in Plant Genome Analysis. Current Sci., 77:2, 230-239. Langer, E., 2000, Phylogeny of Non-Gilled and Gilled Basidiomycetes, NCBI data base: www.ncbi.nlm.nih.gov kode akses U27022 Larraya, L. M., G. Perez, M. M. Penas, J. J. Baars, T. S. Mikosch, A. G. Pisabarro, and L. Ramirez, 1999, Molecular Karyotype of The White Rot Fungus Pleurotus ostreatus, J. Appl. Environ. Microbiol., 65:8, 3413-3417. Larsson, E. and K. H. Larsson, 2003, Phylogenetic Relationships of Russuloid Basidiomycetes with Emphasis on Aphyllophoralean Taxa, J. Mycologia, 95:6, 1037-1065.
Lian, C., T. Hogetsu, N. Matsushita, A. GuerinLaguette, K. Suzuki, and A.Yamada , 2003, Development of Microsatellite Markers from an Ectomycorrhizal Fungus, Tricholoma matsutake, by an ISSR-suppression-PCR Method, J. Mycorrhiza, 13:1, 27-31. Mouhamadou, B., C. Ferandon, S. Chazoule, and G., Barroso, 2005, Singular Accumulation of Microsatellite Loci with Intraspecific VNTR in a Small Intergenic Region of Agrocybe Aegerita and Agrocybe chaxingu Mitochondrial Genomes, NCBI data base, No akses : DQ266076. Oei, P., 1996, Mushroom Cultivation with Special Emphasis on Appropriate Techniques for Developing Countries, Tool Publ., Leiden, 221-225. Pointing, S. B. and K. D. Hyde, 2001, Bio-exploitation of Filamentous Fungi, Fungal Diversity Press, Hongkong, 223-251. Reverberi, M., F. D. Mario, and U. Tomati, 2004, Beta-Glucan Synthase Induction in Mushrooms Grown on Olive Mill Wastewaters, J. Appl. Microbiol. Biotechnol., 66:2, 217-225. Rogers, S. O. and A. J., Bendich, 1994, Extraction of Total Cellular DNA from Plants, Alga and Fungi, Plant Mol. Biol. Manual, D1, 1-8. Rozen, S. and H. J. Skaletsky, 1997, Primer 3. www.genome.wi.mit.edu/genome_software/ot her/primer3.html. Swann, E. C. and J. W. Taylor, 1993, Higher Taxa of Basidiomycetes: an 18S rRNA Gene Perspective, J. Mycologia, 85:6, 923-936 Treuren, R. V. 2000. Genetic Marker. www.plant. wageningen-ur.nl/about/Biodiversity/cgn/ research/molgen. Weber, J. L., 1990, Informativeness of Human (dCdA)n.(dG-dT)n polymorphisms, Genomics, 7, 524-530. Xiang, C., H. Wang, P. Shield, P. Berger, and D. J Guerra, 1994, A Modified Alkaline Lysis Miniprep Protocol Using a Single MicroCentrifuge Tube, BioTechniques, 17:1, 30-32 Yang, J. M., H. Cao, M. J. Chen , Z. T. Xing., Q. Tan, and Y. J. Pan, 2004, Cloning and Sequence Analysis of Laccase Gene in Auricularia polytricha, NCBI data base: www.ncbi.nlm. nih.gov kode akses AY616035. Zhang, Y. and L. Ma, 2003, Cloning of a Laccase Gene from Auricularia auricula and its Expression in Pichia pastoris, NCBI data base: www.ncbi.nlm.nih.gov kode akses AY450405.