Tinjauan Pustaka
Penanda infeksi bakteri pada pneumonia anak Wardah1, Nurjannah1, Bakhtiar2, Rini Savitri Daulay2 Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Unibersitas Syiah Kuala/ Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin, Banda Aceh1 Departemen Ilmu Kesehatan Anak FakultasKedokteran Universitas SumateraUtara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan2
Abstrak Pneumonia merupakan masalah kesehatan utama dan penyebab kematian pada anak usia di bawah lima tahun. Penyebab pneumonia pada anak sulit diketahui karena pemeriksaan jaringan paru sulit dilakukan dan invasif. Pemeriksaan leukosit, laju endap darah, C-reactive protein dan prokalsitonin digunakan sebagai penanda adanya infeksi bakteri sehingga dapat segera diberikan antibiotik. Prokalsitonin merupakan penanda infeksi dengan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan pemeriksaan lainnya. Kata kunci : pneumonia; anak; penanda; prokalsitonin
Abstract Pneumonia is the main health problem and the major causes of children’s death, particularly in children under five years old. Etiology of pneumonia are varried but it is very difficult to identify the etiology of pneumonia in children. The examination of lung’s secretory is very difficult to be performed in children. The examination of leucocyte, erythrocyte sedimentation rate, Creactive protein and procalcitonin level can be used as bacterial infection’s marker to be treated with antibiotics. In addition, procalcitonin clinically proven more sensitive and spesific to identifying the infection caused by bacteria, compare to another marker. Keywords : pneumonia; children; marker; procalcitonin PENDAHULUAN Pneumonia pada anak merupakan masalah kesehatan utama dan penyebab kematian utama pada anak dibawah lima tahun (balita). Insiden pneumonia pada anak dibawah lima tahun lebih besar di negara berkembang dibandingkan negara maju dengan insiden pneumonia sebesar 0.29 episode per tahun pada anak pada negara maju dan 0.55 episode per tahun pada anak di negara berkembang.1 Data World Health Organization (WHO) menunjukkan selama tahun 2008 terdapat 8795 juta kematian anak balita di seluruh dunia. Sebanyak 68% kematian disebabkan penyakit infeksi terutama pneumonia, diare dan malaria.2 Riset kesehatan dasar Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa proporsi kematian bayi karena pneumonia sebesar 23.8% dan anak balita sebesar 15.5% dari seluruh angka kematian. Cakupan penemuan pneumonia pada balita di Indonesia selama tahun 2009 sebesar 22.18% dengan jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 390,319 kasus.3,4 Pneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru, sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi, radiasi dan lain-lain.2 Penyebab pneumonia tidak dapat dibedakan secara klinis
atau radiologis. Pemeriksaan leukosit, laju endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP) umum dilakukan pada penderita pneumonia.5,6 Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan infeksi bakteri dan virus secara nyata. Peningkatan leukosit, LED, CRP serta prokalsitonin dapat diduga sebagai penanda adanya infeksi bakterial dan memerlukan pemberian antibiotik segera.6 Prokalsitonin adalah protein yang terdiri dari 116 asam amino dengan berat molekul ± 13-kDa yang dikode dengan gen Calc-I yang terletak pada kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari kalsitonin. Selama infeksi bakteri, terjadi peningkatan ekspresi dari gene Calc-1 yang melepaskan prokalsitonin, sehingga terjadi peningkatan kadar prokalsitonin yang digunakan sebagai penanda infeksi.7,8 Etiologi pneumonia Pneumonia sering disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi dapat disebabkan oleh faktor lain selain infeksi seperti aspirasi makanan, benda asing, hidrokarbon, bahan lipoid, reaksi hipersensitivitas dan pneumonitis akibat obat atau radiasi.2 Penyebab tersering adalah bakteri, namun seringkali diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi
E-mail:
[email protected]
107 | Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 46 • No. 2 • Agustus 2013
bakteri.9 Pneumonia virus disebabkan oleh Respiratory Sincytial Virus (RSV), parainfluenza virus, influenza virus dan adenovirus, sedangkan bakteri yang paling sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae (S. pneumoniae), Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, streptokokus grup B dan kuman atipik (klamidia dan mikoplasma).11,12 Patofisiologi pneumonia Pneumonia biasanya diawali sebagai kolonisasi mukosa nasofaring diikuti dengan penyebaran ke saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi dapat diperoleh masyarakat atau nosokomial.9,10 Mikroorganisme penyebab masuk ke paru bagian perifer melalui saluran pernafasan, terjadi inflamasi dan kongesti pembuluh darah yang mempermudah proliferasi dan penyebaran ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena akan mengalami konsolidasi yaitu terjadi sebukan sel polimorfonuklear (PMN), fibrin, eritrosit, cairan edema dan kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya deposisi fibrin dan leukosit PMN di alveoli makin bertambah dan terjadi proses fagositosis yang cepat, stadium ini disebut hepatisasi kelabu. Jumlah makrofag akan meningkat di alveoli, sel mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini dikenal sebagai stadium resolusi.11 Gejala klinis pneumonia Gejala pneumonia pada anak dapat berupa gejala infeksi umum dan gejala gangguan pernafasan. Gejala infeksi umum seperti demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, mual, muntah atau diare. Gejala gangguan pernafasani seperti batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnu, nafas cuping hidung, merintih dan sianosis.2,11 Gambaran klinis pneumonia akibat virus dan bakteri sulit dibedakan, biasanya diawali oleh infeksi saluran pernafasan bagian atas. Pada pemeriksaan ditemukan demam, batuk dan takipnu. Pneumonia bakterial dapat dipertimbangkan bila demam tinggi (>38.5oC) yang timbul mendadak, batuk produktif dan sesak nafas yang cepat memburuk. Pneumonia akibat virus biasanya timbul perlahan, demam tidak tinggi, pasien tidak tampak sakit berat, batuk dan sesak bertambah bertahap.2,5 Penanda infeksi bakteri pada pneumonia Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengetahui penyebab pneumonia. Pemeriksaan yang dilakukan berupa pemeriksaan mikroskopis dan kultur spesimen saluran nafas, kultur darah, pemeriksaan antigen dalam urin serta pemeriksaan antibodi dalam darah (serologi).12 Baku emas untuk diagnosis penyebab pneumonia adalah dengan aspirasi jaringan paru atau melakukan bronchoalveolar lavage. Pemeriksaan tersebut tidak dilakukan hanya untuk
tujuan klinis karena dapat mengakibatkan infeksi dan merupakan tindakan yang dapat mengancam nyawa.13 Biakan darah dilakukan pada pasien dengan dugaan pneumonia bakteri atau pasien yang dirawat di rumah sakit, untuk menentukan penyebab pneumonia. Biakan darah merupakan alat diagnostik penting untuk pneumonia namun hanya sebagian kecil pasien pneumonia mengalami infeksi dalam aliran darah.12 Hasil biakan darah hanya akan positif pada 10% sampai 30% kasus terutama pada anak kecil.13 Pemeriksaan aspirasi nasofaring dilakukan untuk pemeriksaan immunofluorescence virus dan deteksi antigen virus namun sedikit manfaat dalam penanganan awal pasien. 12 Beberapa pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan sebagai penanda infeksi bakteri. Pemeriksaan laboratorium tersebut sebagai berikut:12 1. Jumlah leukosit dan granulosit Sel darah putih atau leukosit, melindungi tubuh terhadap bakteri dan infeksi. Leukosit diklasifikasikan sebagai leukosit granular (basofil, neutrofil dan eosinofil) atau leukosit nongranular (limfosit, monosit dan sel plasma). Jumlah leukosit normal berkisar antara 5000 sampai 10,000/mm3.14 Granulositosis merupakan peningkatan jumlah granulosit matang dan dewasa dalam sirkulasi, merupakan bagian antisipasi dari respon normal terhadap infeksi apapun.14,15 Pada pneumonia bakteri didapatkan jumlah leukosit yang berkisar 15,000 sampai 40,000/mm3 dengan predominan sel polimorfonuklear, sedangkan anak dengan pneumonia viral jumlah leukosit biasanya tidak lebih dari 20,000/mm3 dengan sel limfosit lebih dominan.2,11 Jumlah leukosit lebih dari 30,000/mm3 menunjukkan infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakteremia dan risiko terjadi komplikasi lebih tinggi.11 Suatu penelitian menunjukkan bahwa 71.4% pasien pneumonia pneumokokus mempunyai jumlah leukosit lebih dari 15,000/mm3 dan hanya 16.7% dengan jumlah leukosit kurang dari 10,000/mm.10,16 2. Laju endap darah (LED) Laju endap darah merupakan pengukuran seberapa cepat sel-sel darah merah (eritrosit) mengendap dalam tabung reaksi dalam satu jam. Semakin banyak sel darah merah yang jatuh ke bagian bawah tabung dalam satu jam, semakin tinggi nilai LED.17 Penilaian LED dilakukan bersama dengan parameter laboratorium lainnya sebagai penanda infeksi. Kadar LED, leukosit dan CRP lebih meningkat pada pneumonia akibat pneumokokkus daripada pneumonia akibat non pneumokokkus.18 3. C-reactive protein (CRP) C-reactive protein pertama kali ditemukan pada tahun 1930 oleh Tilled dan Francis. Serum pasien dengan pneumonia dapat berikatan dengan fraksi polisakarida yang dikenali sebagai fraksi C dari S. pneumonia. Namun hal ini segera menghilang dan tidak dikenali pada orang yang sehat. Karena
The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara |
108
Wardah, dkk
penyebab reaksi ini dikenali sebagai protein maka dinamakan C-reactive protein.19,20 C-reactive protein merupakan protein fase akut yang dibentuk di hati (oleh sel hepatosit) akibat adanya proses peradangan atau infeksi.19 Setelah terjadi peradangan, pembentukan CRP akan meningkat dalam 4 jam sampai 6 jam setelah rangsangan dan meningkat setiap 8 jam dengan puncak pada 36 jam sampai 50 jam. Apabila terjadi penyembuhan akan terjadi penurunan kadar CRP secara cepat. Setelah rangsangan menghilang, CRP menurun cepat dengan waktu paruh 19 jam.19,20 Pengukuran CRP secara berturut-turut dalam minggu pertama pengobatan pneumonia berhubungan dengan prognosis penyakit, dimana kadar CRP yang masih tinggi setelah pemberian antibiotik menunjukkan pronosis yang lebih buruk.21 C-reactive protein juga digunakan sebagai penentu derajat berat dan prognosis pneumonia. Semakin tinggi kadar CRP semakin berat infeksi yang terjadi.22 Kadar CRP dapat dipakai untuk memperkirakan terjadinya kematian dalam 30 hari pertama, keperluan memakai ventilator dan obat inotropik, serta terjadinya komplikasi pneumonia.23 Hasil CRP yang meningkat menunjukkan infeksi bakteri. Kadar CRP lebih dari 85 mg/dL dapat membedakan antara pneumonia pneumokokkus dengan pneumonia akibat virus dan mikoplasma.7 Penelitian pada dewasa menunjukkan bahwa kadar CRP tinggi pada pneumonia akibat S. pneumoniae dan Legionella pneumoniae.22,24 Nilai konsentrasi serum CRP pada manusia normal ratarata 0.8 mg/dL.18 Suatu metaanalisis mencari titik potong CRP untuk menentukan pneumonia akibat bakteri. Kadar CRP 40 mg/L sampai 60 mg/L lebih menunjukkan pneumonia akibat bakteri.25 Penelitian lain menunjukkan kadar CRP lebih dari 40 mg/L sebagai penanda infeksi bakteri dengan sensitivitas 72% dan spesifisitas 52%.26 C-reactive protein sering digunakan bersama penanda infeksi lainnya seperti jumlah leukosit dan LED serta gambaran radiologis untuk membedakan pneumonia akibat bakteri dan virus. Batasan yang dipakai adalah kadar leukosit lebih dari 15,000/mm3, LED lebih dari 65 mm/jam dan CRP lebih dari 100 mg/L. Namun, kombinasi ini tidak dapat membedakan pneumonia akibat bakteri dan virus.27 Pada anak dengan pneumonia akibat S. pneumoniae mempunyai kadar leukosit dan CRP yang lebih tinggi dibanding pneumonia akibat Mycoplasma pneumonia dengan neutrofil yang bergeser ke kiri.28
dikenal dengan calc-1 yang terdapat pada kromosom 11.7,8,29 Prokalsitonin yang dikeluarkan sebagai respon inflamasi terjadi melalui dua cara yaitu akibat toksin dari mikroba dan respon yang dimediasi oleh sitokin proinflamasi.6,33 Prokalsitonin yang berada dalam sirkulasi darah serum manusia normal sangat sedikit (kurang dari 0.1 µg/L atau 0.1 ng/mL). Kadar prokalsitonin meningkat dalam 4 jam setelah infeksi dengan puncak antara 8 sampai 24 jam. Masa paruh prokalsitonin berkisar 22 sampai 35 jam. Prokalsitonin meningkat pada proses infeksi, namun dapat meningkat pada keadaan bukan infeksi seperti trauma berat, pembedahan, luka bakar, atau penolakan reaksi tranplantasi.7,30,31 Meluasnya penggunaan antibiotik untuk infeksi non bakterial telah menyebabkan resistensi antibiotik. Untuk mengurangi fenomena ini, penggunaan antibiotik harus dibatasi untuk infeksi akibat bakteri. Kadar prokalsitonin 0.25 sampai 0.5 ng/mL menunjukkan kemungkinan infeksi bakteri dan disarankan untuk memulai terapi antibiotik, kadar proklasitonin lebih dari 0.5 ng/mL dapat diduga suatu infeksi bakteri dan pemberian antibiotik sangat kuat direkomendasikan (gambar.1).30 Penilaian prokalsitonin dapat digunakan untuk mengetahui beratnya penyakit dan prognosis pada pasien pneumonia. Nilai yang tinggi berkaitan dengan gejala klinis yang lebih berat, kemungkinan timbulnya komplikasi dan kematian.32 Kadar prokalsitonin dan CRP berkorelasi dengan lama rawatan namun tidak berkaitan dengan resiko kematian selama perawatan ataupun pada pemantauan.33 Nilai prokalsitonin pada batas 1 ng/mL lebih sensitif dan spesifik dalam membedakan infeksi bakteri dan virus dibandingkan pemeriksaan CRP, interleukin(IL)-6 atau hitung lekosit.34 Penilaian prokalsitonin bermanfaat pada penilaian awal infeksi bakteri pada anak sehingga membantu penatalaksanaan lebih awal.35
4. Prokalsitonin Prokalsitonin merupakan protein yang terdiri dari 116 asam amino dengan berat molekul 13 kDa yang ditemukan tahun 1962. Protein ini dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon kalsitonin. Sejak tahun 1993 diketahui kegunaan lain protein ini sebagai penanda proses infeksi. Gen untuk prekursor kalsitonin
Suatu metaanalisis membandingkan pemakaian CRP dengan prokalsitonin sebagai penanda infeksi bakterial. Prokalsitonin lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan CRP sebagai penanda infeksi. Pemeriksaan prokalsitonin memiliki sensitivitas 92% dan spesifisitas 73% sedangkan CRP dengan sensitivitas 86% dan spesifisitas 70%. Prokalsitonin merupakan penanda yang lebih
Algoritme penilaian prokalsitonin sebagai standar pemberian atntibiotil pada pasien dengan infeksi saluran nafas bawah <0.1 ìg/L
0.1 - 0.25 ìg/L
>0.1 - 0.5 ìg/L 0,
i
i
i
Penyebab bakteri sangat tidak mungkin
Penyebab bakteri tidak mungkin
Penyebab bakteri mungkin
i Tidak perlu a n t i b i o t ik
i Tidak perlu a n t i b i o t ik
Penilaian ulang prokalsitinin setelah6- 24 jam
>0.5 ìg/L
i Penyebab bakteri sangat mungkin
i antibiotik
i
Pertimbangan Penilaian prokalsitonin
Gambar 1. Algoritma pemberian antibiotik pada infeksi saluran nafas bawah.30
109 | Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 46 • No. 2 • Agustus 2013
i
Penanda infeksi bakteri pada pneumonia anak
akurat dibandingkan CRP pada pasien yang dirawat untuk kecurigaan infeksi bakterial.36 Jumlah leukosit, LED, CRP dan prokalsitonin digunakan secara sekaligus untuk membedakan pneumonia akibat pneumokokus daan pneumonia akibat virus. Kadar CRP lebih 80 mg/L, prokalsitonin lebih dari 0.84 µg/L, LED lebih 63 mm/jam dan leukosit lebih dari 17,000/mm3 menunjukkan sensitivitas 61%, spesifisitas 65%, rasio kemungkinan positif 79% dan rasio kemungkinan negatif 42%. Keempat kombinasi ini menghasilkan sensitivitas yang lebih rendah dan spesifisitas yang lebih tinggi bila digabung dengan pemeriksaan radiologis.37 Penelitian di Korea menunjukkan kadar lekosit, CRP, LED dan prokalsitonin lebih tinggi pada anak dengan pneumonia di bandingkan dengan kontrol anak sehat. Nilai keempat parameter lebih tinggi pada pneumonia lobaris dibandingkan dengan bronkopneumonia. Nilai prokalsitonin lebih memiliki nilai diagnostik dibandingkan penilaian leukosit, LED dan CRP. Penilaian serum prokalsitonin merupakan penanda infeksi yang lebih baik dibandingkan LED dan CRP untuk diagnosis pnemonia pada anak.38 Kadar CRP, prokalsitonin dan IL-6 pada anak tidak menunjukkan perbedaan antara pneumonia bakteri dan viral namun dapat diperkirakan pneumonia bakteri jika terdapat peningkatan kadar CRP, prokalsitonin dan IL-6. Nilai peningkatan prokalsitonin lebih dari 2 ng/mL, CRP lebih dari 150 mg/L dan IL-6 lebih dari 40 pg/mL memiliki sensitivitas 80% untuk menentukan infeksi bakteri.39 RINGKASAN Pneumonia merupakan masalah utama pada anak dan penyebab kematian utama pada anak di negara berkembang. Penyebab pneumonia berupa infeksi bakteri atau virus dan aspirasi. Menentukan penyebab pasti pneumonia sulit dilakukan karena sulitnya pengambilan sampel sekret paru. Pemeriksaan leukosit, laju endap darah, CRP dan prokalsitonin dapat digunakan sebagai penanda awal adanya infeksi bakteri. Penilaian prokalsitonin memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik di bandingkan pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan yang dilakukan bersamaan menunjukkan hasil yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA 1. Rudan I, Baschi PC, Bilogiav Z, Mulholland K, Campbell H. Epidemiology and etiology of childhood pneumonia. Bull World Health Organ. 2008;86:408-16. 2. Sectish TC, Prober CG. Pneumonia. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson textbook of pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunder; 2004. p. 1795-9. 3. Black RE, Cousens S, Johnson HL, Lawn JE, Rudan I, Bassani DG, et al. Global, regional, and national causes of child mortality in 2008: a systematic analysis. 2012;119. 4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia tahun 2009. Kementrian Kesehatan RI: Jakarta; 2010. p. 40-93.
5. Lakhanpaul M, Atkinson M, Stephenson T. Community aqcuired pneumonia in children: a clinical update. Arch Dis Child. 2004;89:29-34. 6. Sinaniotis CA, Sinaniotis AC. Community acquired pneumonia in children. Curr Opin Pulm Med. 2005;12:218-25. 7. Summah H, Jie MQ. Biomarkers: a definite plus in pneumonia. Mediators of inflammation. 2009;1-9. 8. Maruna P, Nedelnikova K, Gurlich. Physiology and genetics of procalcitonin. Physiol Res. 2000;49:57-61. 9. Ranganathan SC, Sonnappa S. Pneumonia and other respiratory infection. Pediatr Clin N Am. 2009;59:135-56. 10. McIntosh K. Community aqcuired pneumonia in children. N Eng J Med. 2002;346:429-37. 11. Said M. Pneumonia. In: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editors. Buku ajar respirologi anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008. p. 350-65. 12. Murdoch DR, O’Brian KL, Driscoll AJ, Karron RA, Bhat N. Laboratory methods for determining pneumonia etiology in children. CID. 2012;54:146-52. 13. Ostapchuck M, Roberts DM, Haddy R. Community-acquired pneumonia in infants and children. Am Fam Phys. 2004;70: 899-908. 14. Frizell JP. Handbook of pathophysiology. Housespring Corp; 2001. p. 286-304. 15. Sacher DA, McPherson RA, editors. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. 11th ed. Jakarta: EGC; 2002. p. 53-63. 16. Furer V, Rqaveh D, Picard E, Goldbderg S, Izbicki G. Absence of leukocytosis in bacteraemic pneumococcal pneumonia. Prim Care Respir J. 2011;20:276-81. 17. Brigden ML. Clinical utility of the erythrocyte sedimentation rate. Am Fam Phys. 1999;60:1443-50. 18. Korppi M, Heiskanen-Kosma T, Leinonen T, White blood cells, C-reactive protein and erythrocyte sedimentation rate in pneumococcal pneumonia in children. Eur Respir J. 1997;10:1125–9. 19. Povoa P. C-reactive protein: a valuable marker of sepsis. Intensive Care Med. 2002;28:235-43. 20. Lipman J. An update on c-reactive protein for intensivist. Anaesth Intensive Care. 2009;37:234-41. 21. Bruns AH, Oosterheert JJ, Hak E, Hoepelman AI. Usefulness of concecutive C-reactive protein measurement in follow up of severe community-acquired pneumonia. Eur Respir J. 2008;32:726-32. 22. Almiral J, Bolibar I, Toran P, Pera G, Boquet X, Balanzo X, et al. Contribution of C-reactive protein to the diagnosis an assessment of severity of community acquired pneumonia. Chest. 2004;125:1335-42. 23. Chalmers JD, Singanayagam A, Hill AT. C-reactive protein is an independent predictor of severity in communityaacquired pneumonia. Am J Med. 2008;122:219-25. 24. Vazquez EG, Martinez JA. Mensa J, Sanchez F, Marcos MA, De Roux A, et al. C-reactive protein level in community acquired pneumonia. Eur Respir J. 2003;21:702-5. 25. Flood RG, Badik J, Aranoff SC. The utility of serum Creactive protein in differentianting bacterial from nonbacterial
The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara |
110
Wardah, dkk
26. 27. 28.
29. 30. 31. 32. 33.
pneumonia in children. A meta-analysis of 1230 children. Pediatr Infect J. 2008;27:95-9. Virkki R, Juven T, Rikahailen H, Sveddtrom E, Metrsola J, Ruuskanen O. Differentiation of bacterial and viral pneumonia in children. Thorax. 2002;57:438-41. Don M, Valent F, Korppi M, Canciani M. Differentiation of bacterial and viral community-acquired pneumonia in children. Pediatr Int. 2009;51:91-6. Kin SW, Yhu CH, Shen HL, Cheng HC, Tzou YL. Comparative clinical and laboratory features of children with pneumococcal vs mycoplasmal pneumonia. J Pediatr Res Dis. 2011;7:47-51. Chris CM, Muller B. Biomarker in respiratory tract infection: diagnostic guides to antibiotic prescription, prognostic markers and mediators. Eur Respir J. 2007;30:556-73. Chris CM, Opal SM. Clinical review: the role of biomarkers in the diagnosis and management of community acquired pneumonia. Critical Care. 2010;14:203-14. Shehabi Y, Seppelt I. Pro/con debate: is procalcitonin useful for guiding antibiotic decision making in critically ill patients?. Critical Care. 2002;12:1-5. Niederman MS. Biological markers to determine eligibility in trial for community acquired pneumonia: a focus on procalcitonin. CID. 2002;47:127-32. Hedlund J, Hansson LO. Procalcitonin and c-reactive protein levels in community-acquired pneumonia: correlation with etiology and prognosis. Infection. 2000;28:68-73.
Penanda infeksi bakteri pada pneumonia anak
34. Moulin F, Raymond J, Lorrot M, Marc E, Coste J, Iniguez JL, et al. Procalcitonin in children admitted to hospital with community acquired pneumonia. Arch Dis Child. 2001;84: 332-6. 35. Korrpi M, Remes S, Heiskanen KT. Serum procalcitonin concentration in children: a negative result in primary healthcare settings. Pediatr Pulmonol. 2003;35:56-61. 36. Simon L, Geuvin F, Amre DK, Louis PS, Lacroix J. Serum procalcitonin and C-reactive protein levels as markers of bacterial infection: a systematic review and metaanalysis. CID. 2004;39:206-17. 37. Korppi M. Non spesific host response markers in the differentiation between pneumococcal and viral pneumonia: what the most accurate combination? Pediatr Int. 2004; 46:545-50. 38. Jin YL, Su JH, Jae WS, Hye LJ, Moon SP, Hee YW, et al. Clinical significance of serum procalcitonin in patients with community acquired pneumonia. Korea J Lab Med. 2010; 30:406-13. 39. Toikka P, Irjala K, Juven T, Virkki R, Mertsola J, Leinonen M, et al. Serum procalcitonin, C-reactive protein and interleukin-6 for distinguishing bacterial and viral pneumonia in children. Pediatr Infect Dis J. 2000;1999:598-602.
111 | Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 46 • No. 2 • Agustus 2013