ANALISIS
Pemeriksaan Laboratorium untuk Membedakan Infeksi Bakteri dan Infeksi Virus Andika Surya Atmadja,1 Radius Kusuma,2 Freddy Dinata2 1 Dokter Umum di Wilayah Pulomas, Jakarta Timur Dokter Umum di Wilayah Kebon Jeruk, Jakarta Barat
2
ABSTRAK Infeksi bakteri akut sering sukar dibedakan dari infeksi virus karena kemiripan gejala klinis keduanya. Dalam praktik, penegakan diagnosis infeksi bakteri dilakukan melalui pemeriksaan kultur, sedangkan infeksi virus melalui pemeriksaan titer antibodi dan viral load. Namun, pemeriksaan tersebut jarang dilakukan karena membutuhkan waktu lama. Di sisi lain, pemberian terapi harus segera dilakukan. Saat ini, parameter laboratorium yang dianggap sebagai penanda infeksi bakteri akut adalah jumlah leukosit, hitung jenis, laju endap darah, dan berbagai jenis reaktan fase akut. Reaktan fase akut, seperti C-reactive protein (CRP) dan procalcitonin (PCT), memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Ada yang mengajukan indeks gabungan nilai LED, hitung jenis, dan CRP dengan nilai cut-off tertentu, sehingga sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan diharapkan menjadi lebih tinggi. Kata kunci: Bakteri, CRP, infeksi, penanda, PCT
ABSTRACT Discriminating acute bacterial infections from viral infection is challenging due to the similarity of symptoms. In practice, the diagnosis of bacterial infection carried through culture examination, while the virus infection through the examination of antibody titer and viral load. However, the examination is rarely performed because it takes a long time. However, prompt treatment must be done. In the current practice, laboratory parameter which are considered as an acute bacterial infection marker are leukocyte count, differential count, erythrocyte sedimentation rate (ESR), and a variety of acute phase reactants. Acute phase reactans such as C-reactive protein (CRP) and procalcitonin (PCT) have good sensitivity and specificity in determining acute bacterial infection. A formula to calculate ESR, differential count, and CRP was proposed. Results were then compared to a certain cut-off value to increase test sensitivity and specificity. Andika Surya Atmadja, Radius Kusuma, Freddy Dinata. Laboratory Examination to Differentiate Bacterial Infection and Viral Infections Keywords: Bacterial, CRP, infection, marker, PCT PENDAHULUAN Demam merupakan salah satu gejala klinis yang sering membuat seseorang datang ke praktik dokter; kondisi ini sering dikaitkan dengan keadaan infeksi. Infeksi umumnya disebabkan oleh infeksi virus atau infeksi bakterial, terkadang infeksi jamur dan parasit. Penentuan diagnosis infeksi bakteri akut sering sulit karena kemiripan gejala klinis dengan infeksi virus akut ataupun peradangan noninfeksi, seperti trauma, reaksi penolakan organ donor, reaksi autoimun, dan sebagainya. Terapi memerlukan diagnosis. Diagnosis infeksi bakteri dapat ditegakkan secara pasti dengan pemeriksaan kultur, sedangkan diagnosis pasti infeksi virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan kadar titer antibodi Alamat Korespondensi
serum dan kadar antigen virus (viral load). Pada praktik sehari-hari, kedua hal ini jarang dikerjakan karena hasil pemeriksaan laboratorium cenderung lambat. Oleh karena itu, adanya suatu penanda yang dapat menggambarkan adanya infeksi bakteri akut pada awal perjalanan penyakit dapat sangat membantu mengarahkan rencana terapi, mengurangi penggunaan antibiotik yang tidak rasional, dan memperbaiki outcome jangka panjang.1 PARAMETER LABORATORIUM Sel Darah Putih/ Leukosit Pengukuran leukosit total dan diferensiasi biasa digunakan pada pasien infeksi, neoplasma, alergi, atau imunosupresi. Hitung leukosit terdiri atas 2 komponen, yaitu total sel
dalam 1 mm3 darah vena perifer dan hitung jenis (differential count). Sebanyak 75-90% total leukosit terdiri dari limfosit dan neutrofil. Peningkatan leukosit total (leukositosis) mengindikasikan adanya infeksi, inflamasi, nekrosis jaringan, atau neoplasia leukemik. Selain itu, trauma dan stres, baik emosional maupun fisik, dapat meningkatkan nilai leukosit. Pada keadaan infeksi, khususnya sepsis, nilai leukosit biasanya akan sangat tinggi. Fenomena ini disebut sebagai reaksi leukemoid dan akan membaik dengan cepat apabila infeksi berhasil ditangani.6 Lima tipe leukosit dapat dibedakan melalui pemeriksaan darah samar. Sel-sel ini adalah neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil.
email:
[email protected]
CDK-241/ vol. 43 no. 6 th. 2016
457
ANALISIS Non-granulosit (sel mononuklear) termasuk limfosit dan monosit (termasuk histiosit). Limfosit terdiri dari 2 tipe, yaitu sel T (timus) dan sel B (sumsum tulang). Sel T berperan terutama pada reaksi imun tipe seluler, sedangkan sel B berperan pada imunitas humoral (produksi antibodi). Sel T adalah sel pembunuh (killer cell), sel supressor, dan sel T4 helper. Peningkatan hitung limfosit mengindikasikan adanya infeksi bakteri kronis atau infeksi viral akut.6,7 Monosit adalah sel fagositik yang dapat melawan bakteri sama seperti neutrofil. Monosit memproduksi interferon, yang merupakan imunostimulan endogen tubuh. Monosit dapat diproduksi secara cepat dan bertahan lebih lama dibandingkan neutrofil. Keadaan yang dapat menyebabkan peningkatan nilai leukosit total (leukositosis) adalah:6 Infeksi: leukosit akan meningkat untuk memulai dan mempertahankan mekanisme pertahanan tubuh untuk mengatasi infeksi. Keganasan: Ca paru dapat mengakibatkan leukositosis. Mekanisme masih belum diketahui dengan jelas.
Gambar 1. Diferensiasi sel darah putih6
Leukosit dibagi menjadi granulosit dan non-granulosit. Granulosit terdiri dari neutrofil, basofil, dan eosinofil; limfosit dan monosit termasuk dalam non-granulosit. Karena bentuknya yang multilobi nuclei, neutrofil kadang disebut sebagai leukosit polimorfonuklear (PMN). Granulosit yang paling dominan, yaitu neutrofil, diproduksi dalam 7-14 hari, bertahan dalam sirkulasi selama 6 jam. Fungsi utama neutrofil adalah fagositosis (membunuh dan mencerna mikroorganisme). Infeksi bakteri akut dan trauma memicu produksi neutrofil. Peningkatan jumlah neutrofil ini bisa disebut sebagai “shift to the left” yang mengindikasikan adanya infeksi bakterial akut. Basofil (sel mast) dan khususnya eosinofil berperan pada reaksi alergi. Sel-sel ini mampu memfagositosis kompleks antigen antibodi. Setelah reaksi alergi menghilang, hitung eosinofil akan berkurang. Eosinofil dan basofil tidak berespons dengan infeksi bakteri ataupun viral. Infeksi parasit dapat menstimulasi produksi sel-sel ini.
458
Tabel 1. Hal-hal yang dapat mempengaruhi kadar masing-masing komponen leukosit 6 Tipe Leukosit
Peningkatan
Penurunan
Neutrofil
Stres fisik atau emosional Infeksi akut supuratif Leukemia mielositik Trauma Sindrom Cushing Kelainan inflamatorik (misalnya demam rematik, tiroiditis, artritis reumatoid) Kelainan metabolik (misalnya ketoasidosis, pirai/ gout, eklampsia)
Anemia aplastik Defisiensi zat gizi Infeksi bakteri hebat (terutama pada orang tua) Infeksi virus (misalnya hepatitis, influenza, campak) Terapi radiasi Penyakit Addison Pengaruh obat-obatan mielotoksik (seperti pada kemoterapi)
Limfosit
Infeksi bakteri kronis Infeksi virus (misalnya campak, rubella, hepatitis) Leukemia limfositik Mieloma multipel Mononukleosis infeksiosa Radiasi
Monosit
Kelainan inflamatorik kronis Infeksi virus (misalnya mononukleosis infeksiosa) Tuberkulosis Kolitis ulserativa kronis Parasit (misalnya malaria)
Anemia aplastik Hairy cell leukemia Pengaruh obat prednison
Eosinofil
Infeksi parasitik Reaksi alergi Eksem Leukemia Penyakit autoimun
Peningkatan produksi adrenosteroid
Basofil
Penyakit mieloproliferatif (misalnya mielofibrosis, polisitemia rubra vera) Leukemia
Leukemia Sepsis Penyakit imunodefisiensi Lupus eritematosa Fase lanjutan infeksi HIV Pengaruh obat-obatan kortikosteroid, antineoplastik Terapi radiasi
Reaksi alergi akut Hipertiroidisme Reaksi stres
CDK-241/ vol. 43 no. 6 th. 2016
ANALISIS Trauma, stres, perdarahan: leukosit total di bawah pengaruh hormonal (epinefrin) Inflamasi: pengenalan jaringan normal ataupun nekrotik yang dianggap benda asing, sehingga meningkatkan respons leukosit. Dehidrasi: dehidrasi menimbulkan keadaan stres pada tubuh, selain itu keadaan hemokonsentrasi secara tidak langsung akan meningkatkan nilai leukosit. Thyroid storm: peningkatan hormon tiroid dapat berkaitan dengan peningkatan leukosit. Steroid: glukokortikoid memicu produksi leukosit. Hal-hal yang dapat menyebabkan leukopenia adalah:6 Kegagalan sumsum tulang Infeksi luar biasa Defisiensi vitamin B12 dan zat besi Infiltrasi sumsum tulang, misalnya mielofibrosis Hipersplenisme: lien akan secara agresif mengekstraksi leukosit dari aliran darah. Reaktan Fase Akut (Acute Phase Reactant) Terdapat berbagai kelompok protein pada reaksi fase akut, antara lain erythrocyte sedimentation rate (ESR)/ laju endap darah (LED), C-reactive protein (CRP), procalcitonin (PCT), fibrinogen, ferritin, serum amiloid protein A, alfa-1 antikemotripsin, alfa1 antitripsin, haptoglobulin, alfa-a asam glukoprotein, seruloplasmin, dan C3,C4.8 Parameter laboratorium reaktan fase akut yang lazim diperiksa, yaitu LED, CRP, dan PCT. Laju Endap Darah (LED) Pemeriksaan laju endap darah (LED) atau erythrocyte sedimentation rate (ESR) tidak dapat menentukan diagnosis klinis, tetapi sering dilakukan karena biayanya terjangkau dan dapat menilai respons terhadap terapi. Hal yang menentukan LED adalah pembentukan rouleaux berupa agregasi eritrosit. Agregasi eritrosit ditentukan dari dorongan elektrostatiknya. Eritrosit normal mempunyai dorongan negatif dan saling menolak. Namun, beberapa protein plasma mempunyai dorongan positif dan menetralisir membran eritrosit, sehingga mengurangi daya tolak dan menyebabkan agregasi.8 Protein-protein
yang
berperan
CDK-241/ vol. 43 no. 6 th. 2016
dalam
pengendapan eritrosit adalah fibrinogen, albumin, alfa dan beta globulin, namun fibrinogen mempunyai kontribusi paling besar. Peningkatan sedikit dari kadar fibrinogen dapat memberikan peningkatan yang besar pada LED. Hal ini menyebabkan pemeriksaan LED dapat dijadikan gambaran fibrinogen secara tidak langsung. Karena LED dipengaruhi oleh beberapa protein plasma, maka kadar LED meningkat secara lambat dari onset inflamasi dan tetap tinggi selama beberapa hari atau beberapa minggu setelah inflamasi teratasi. LED tidak selalu mencerminkan reaksi fase akut. Terdapat beberapa kondisi selain inflamasi yang dapat meningkatkan atau menurunkan nilai LED. Kelainan seperti polisitemia dan kelainan morfologi dari sel darah merah seperti pada anemia sel sabit mempunyai kecenderungan untuk lebih sulit membentuk rouleaux, sehingga akan mempunyai nilai LED yang rendah. Anemia akan cenderung untuk membentuk rouleaux, sehingga akan meningkatkan nilai LED.8 Tabel 2. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan perubahan palsu pada LED.8 Faktor Penyebab Peningkatan Palsu
Faktor Penyebab Penurunan Palsu
Peningkatan kadar fibrinogen, globulin, kolesterol Suhu ruangan yang tinggi Anemia makrositik Menstruasi Kehamilan Tabung reaksi LED yang miring/tergeletak Pengaruh obat, misalnya dekstran, metildopa, metisergid, penisilamin, prokainamid, teofilin, trifluoroperidol, vitamin A
Kakheksia Koagulasi pada sampel darah Peningkatan garam empedu Peningkatan kadar fosfolipid Pembentukan sedimentasi LED lebih dari 2 jam Peningkatan kadar steroid adrenal Hipofibrinogenemia Hiperglikemia Hiperalbuminemia Leukositosis Anemia mikrositik Pengaruh obat, misalnya ACTH, kortison, etambutol, kina, salisilat
Tabel 3. Faktor-faktor yang peningkatan dan penurunan LED8 Peningkatan LED
Keracunan logam berat akut Penyakit kolagen vaskuler Karsinoma Cedera sel atau jaringan Artritis gout/pirai Infeksi Gangguan inflamatorik Leukemia Infark miokard Nefritis Sifilis
menyebabkan
Penurunan LED Gagal jantung kongestif Polisitemia Anemia sel sabit
C-Reactive Protein (CRP) CRP adalah sebuah reaktan fase akut yang disintesis di hati terhadap respons dari sitokin IL-1 dan IL-6.11 Istilah CRP digunakan karena reaksi terhadap dinding sel C-polisakarida pneumokokal. Kadar CRP mulai meningkat beberapa jam setelah inflamasi dan akan mencapai puncaknya pada 2-3 hari. Semakin besar stimulusnya, maka akan semakin tinggi dan lama kadar CRP akan bertahan. Setelah stimulus inflamasi dihilangkan, nilai CRP akan turun dengan cepat.9 CRP bekerja dengan cara berikatan langsung pada mikroorganisme sebagai opsonin untuk komplemen, mengaktivasi neutrofil dan menginhibisi agregasi trombosit. CRP juga berperan untuk membersihkan jaringan nekrotik dan mengaktivasi natural killer cell.
Tabel 4. Faktor-faktor peningkatan CRP8 Normal/Tidak bermakna (< 1 mg/dL) Olahraga berat Influenza Kehamilan Gingivitis Stroke Angina pektoris
yang
mempengaruhi
Ringan (1-10 mg/dL)
Sangat tinggi (>10 mg/dL)
Infark miokard Keganasan Pankreatitis Infeksi mukosa (bronkitis, sistitis) Penyakit jaringan kolagen
Infeksi bakteri akut (8085%) Trauma berat Vaskulitis sistemik
Pada individu yang sehat, nilai CRP adalah <0,2 mg/dL. Karena adanya mikrotrauma yang terjadi sepanjang hari, nilai ini dapat meningkat hingga 1 mg/dL. Nilai CRP antara 1-10 mg/dL dianggap sebagai peningkatan ringan dan apabila nilainya >10 mg/dL, dianggap sebagai peningkatan yang sangat tinggi. CRP tidak dipengaruhi variasi diurnal dan diet. CRP sangat berguna untuk menilai respons terhadap terapi dan derajat inflamasi.8 Pemeriksaan CRP merupakan pemeriksaan yang sangat baik untuk melihat adanya kemungkinan infeksi bakteri berat (serious bacterial infection/ SBI) pada neonatus. Karena CRP tidak menembus plasenta, sehingga kadar CRP yang tinggi menunjukkan adanya produksi de novo. Konsentrasi CRP pada cairan serebrospinal dapat membedakan meningitis yang disebabkan bakteri atau virus. CRP merupakan pemeriksaan yang lebih baik dibandingkan dengan ESR karena CRP
459
ANALISIS meningkat lebih cepat dan juga menurun lebih cepat.10
Procalcitonin Procalcitonin (PCT) adalah prehormon dari calcitonin, yang normalnya disekresikan oleh sel C kelenjar tiroid sebagai respons terhadap hiperkalsemia. Mekanisme produksi PCT terhadap respons inflamasi dan fungsinya masih belum diketahui, namun diduga procalcitonin dihasilkan oleh hati, sel mononuklear periferal dan termasuk dalam sitokin yang berhubungan dengan sepsis.1 Procalcitonin dinilai sangat baik untuk mendeteksi adanya infeksi bakteri berat (serious bacterial infection/SBI) seperti bakteremia, meningitis, infeksi saluran kemih, atau pneumonia. Adapun nilai cut off yang diajukan adalah sebesar 0,12 ng/mL di mana nilai di atas cut off dinyatakan sebagai abnormal. Dalam membedakan infeksi bakteri dengan infeksi viral, Simon, et al, (2008) melalui metaanalisisnya menyebutkan sensitivitas penanda PCT mencapai 92% dan spesifisitas 73%, hal ini lebih superior apabila dibandingkan dengan sensitivitas penanda CRP setinggi 86% dan spesifisitas yang tidak jauh berbeda, yaitu 70%. Adapun bias yang mungkin dapat terjadi pada meta-analisis ini adalah kadar puncak plasma yang berbeda antara PCT dengan CRP. Sekresi PCT dimulai pada 4 jam pascastimulasi dan memuncak pada 8 jam, sedangkan sekresi CRP dimulai pada 4 – 6 jam pasca-stimulasi dan memuncak dalam 36 jam. Dalam metaanalisis tersebut tidak disebutkan apakah waktu pemeriksaan telah disesuaikan dengan masa kadar puncak plasma masing-masing penanda. Setelah perhitungan likelihood ratio (LR) kedua penanda, peneliti menyimpulkan bahwa akurasi penanda PCT lebih baik dibandingkan CRP. Selain itu, PCT dinilai lebih unggul dalam kecepatan diagnosa dini, yaitu pada 8 jam pertama demam PCT sudah dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya infeksi bakterial.11 Penyakit infeksi non-bakterial seperti malaria dapat meningkatkan nilai penanda CRP dan PCT secara signifikan, sehingga penggunaan kedua penanda ini pada daerah endemik malaria dinilai kurang berguna. Malnutrisi protein berat (kwashiorkor) secara teoritis
460
dapat mengganggu pembentukan reaktan fase akut. Suatu penelitian oleh Page, et al, (2014) menemukan bahwa nilai median penanda CRP dan PCT pada populasi anak dengan kwashiorkor lebih rendah dibandingkan populasi anak dengan gizi baik. Akan tetapi, peningkatan nilai penanda tersebut tetap bermakna apabila dibandingkan pada populasi yang tidak sakit.12 Kadar PCT dapat meningkat pada subjek yang baru saja diimunisasi, namun penanda ini tetap dapat dipakai untuk identifikasi infeksi bakteri berat. Sebuah penelitian oleh Dauber (2014) terhadap 3 subjek, yaitu bayi dengan SBI, bayi yang baru saja diimunisasi dalam 48 jam terakhir dan bayi sehat yang belum diimunisasi, didapatkan bahwa terdapat peningkatan median SBI pada kelompok bayi yang diimunisasi. Median PCT pada kelompok SBI adalah 0,53 ng/mL, kelompok imunisasi 0,29 ng/mL, dan kelompok kontrol 0,17 ng/ mL. Dengan nilai cut off pada 0,12 ng/mL, PCT dapat mendeteksi SBI pada kelompok bayi terimunisasi dan kelompok kontrol dengan sensitivitas 96%, spesifisitas 23%, dan negative predictive value 96%.13
Composite Bacterial Infection Index Sebuah penelitian dengan desain kasuskontrol oleh Kossiva, et al, (2014) mengajukan suatu indeks yang dinamakan Composite Bacterial Infection Index (CBII). Tujuan dari indeks ini adalah untuk membedakan demam yang disebabkan oleh infeksi virus dengan infeksi bakterial menggunakan parameter laboratorium yang lazim digunakan di instalasi gawat darurat (IGD). Indeks ini dirumuskan dengan rasio jumlah neutrofil (N) dengan jumlah limfosit (L) dan monosit (M), yang dikali dengan kadar CRP dan LED, sehingga didapatkan rumus:
N L+M
X CRP X LED = CBII
Keterangan: N = jumlah neutrofil dalam persen L = jumlah limfosit dalam persen M = jumlah monosit dalam persen CRP = kadar C-reactive protein darah dalam satuan mg/dL LED = laju endap darah dalam satuan mm/jam
Adapun dasar penggunaan rumus di atas adalah jumlah neutrofil, CRP, dan LED dikaitkan dengan adanya infeksi bakterial, sedangkan jumlah limfosit dan monosit dikaitkan dengan infeksi viral (non-bakterial). Nilai cut off untuk CBII yang diajukan adalah 32,45 dengan hasil sensitivitas 85% dan spesifisitas 91%. Kelemahan yang ada pada penelitian ini antara lain belum ada penelitian lebih lanjut untuk menentukan nilai cut off optimal dari CBII, jumlah populasi yang dipakai dalam penelitian sedikit (138 anak; 69 sehat dan 69 sakit) dan tidak dapat diaplikasikan pada pasien dengan neutropenia.14
SIMPULAN Diagnosis infeksi bakteri akut pada kasus demam seringkali sulit dibedakan dengan infeksi virus akut, dan pembedaan ini penting untuk menentukan rencana terapi selanjutnya. Penghitungan jumlah leukosit dan hitung jenis merupakan salah satu parameter laboratorium yang paling dasar dalam membedakan infeksi bakteri atau virus. Namun, parameter ini dinilai kurang sensitif dan spesifik untuk menentukan adanya infeksi, sebab peningkatan jumlah leukosit juga dapat disebabkan oleh hal lain selain infeksi, misalnya trauma, keganasan, dan dehidrasi. Adanya infeksi bakterial dikaitkan dengan peningkatan reaktan fase akut, misalnya laju endap darah (LED). Akan tetapi, LED tidak cukup untuk membedakan infeksi bakteri atau virus karena tidak sensitif dan spesifik. Selain LED, reaktan fase akut lain yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis infeksi bakteri akut adalah C-reactive protein (CRP) dan procalcitonin (PCT). Penelitian terbaru mengenai CBII menarik untuk diteliti lebih lanjut, sebab dengan menggabungkan beberapa penanda infeksi bakteri akut, seperti LED, CRP, dan hitung jenis, diharapkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaannya menjadi lebih tinggi. Dengan demikian, pemakaian antibiotik yang tidak perlu dapat dicegah.
CDK-241/ vol. 43 no. 6 th. 2016
ANALISIS DAFTAR PUSTAKA : 1.
Simon L, Gauvin F, Amre DK, Saint-Louis P, Lacroix J. Serum procalcitonin and C-reactive protein levels as penandas of bacterial infection: A systematic review and meta-analysis. Clinical Infectious Disease 2004; 39: 206-17.
2.
McCance K, Huether S, Brashers V, Rote N. Patophysiology. Infection. 6th ed. Cleveland: Mosby; 2010. Chapter 9. p. 498-9.
3.
Sherwood L. Human physiology: From cells to systems. 7th ed. Australia: Brooks Cole Cengage Learning; 2010.
4.
Feigin, Cherry, Demmier-Harrison, Kaplan. Feigin & Cherry’s textbook of pediatric infectious disease. 6th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009.
5.
McInerny TK, Adam HM, Campbell DE, Kamat DM, Kelleher KJ, eds. American Academy of Pediatrics textbook of pediatric care. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2009.
6.
Pagana J, Emeritus. Mosby’s manual of diagnostic and laboratory tests. White blood cell count and differential count (WBC and differential, leukocyte count, neutrophil count, lymphocyte count, monocyte count, eosinophil count, basophil count). 5th Ed. Pennsylvania: Elsevier; 2007. p. 880-6.
7.
Christensen R, Baer V, Gordon P. Reference ranges for lymphocyte counts of neonates: Associations between abnormal counts and outcomes. Pediatrics 2012;129.
8.
Gryus E, Toussaint MJM, Niewold TA, Koopmans SJ. Acute phase reaction and acute phase proteins. J Zhejiang Univ Sci. 2005; 6B(11):1045-56.
9.
Gomez B, Bressan S, Mintegi S, Da Dalt L, Blazquez D, Olaciregui I, et al. Diagnostic value of procalcitonin in well-appearing young febrile infants. Pediatrics 2012; 130(5): 815-22. doi: 10.1542/peds.2011-3575.
10. Batlivala SP. Focus on diagnosis: The erythorcyte sedimentation rate and the C-reactive protein test. Pediatrics in Review. 2009; 30: 72. 11. Maniaci V, Dauber A, Weiss S, Nylen E, Becker KL, Bachur R. Procalcitonin in young febrile infants for the detection of serious bacterial infections. Pediatrics 2008; 122(4): 701 – 10. 12. Page AL, de Rekeneire N, Sayadi S, Aberrane S, Janssens AC, Dehoux M, et al. Diagnostic and prognostic value of procalcitonin and C-reactive protein in malnourished children. Pediatrics 2014; 133(2): 363 -70. 13. Dauber A, Weiss S, Maniaci V, Nylen E, Becker KL, Bachur R. Procalcitonin levels in febrile infants after recent immunization. Pediatrics 2008; 122(5): 1119 – 22. 14. Kossiva L, Gourgiotis DI, Douna B, Marmarinos A, Sdogou T, Tsentidis C. Composite bacterial infection index in the evaluation of bacterial versus viral infection in children: A single centre study. Pediat Therapeut. 2014; 4(2).
CDK-241/ vol. 43 no. 6 th. 2016
461