PENAMBAHAN UPPER LIMB TENSION TEST (ULTT) TERHADAP AKTIVITAS FUNGSIONAL PADA CERVICAL ROOT SYNDROME (CRS)
PUBLIKASI ILMIAH Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Oleh : HARFIKA NOVIANA J120141053
PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016
PENAMBAHAN UPPER LIMB TENSION TEST (ULTT) TERHADAP AKTIVITAS FUNGSIONAL PADA CERVICAL ROOT SYNDROME (CRS) Abstrak Cervical Root Syndrome adalah kumpulan gejala karena penekanan pada saraf spinal yang sering diakibatkan oleh proses degenerasi pada vertebra dan diskus intervertebralis pada leher. Upper Limb Tension Test merupakan salah satu cara untuk mengurangi perlengketan yang ada disekitar saraf terhadap saraf itu sendiri sehingga dapat meningkatkan kelenturan saraf. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penambahan upper limb tension test terhadap aktivitas fungsional pada cervical root syndrome. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimental. Desain penelitian pre and post test with control design dengan rancangan kelompok perlakuan diberikan penambahan neurodynamic mobilization dengan upper limb tension test pada terapi konvensional sedangkan kelompok kontrol diberikan terapi konvensional. Teknik pengambilan sampel dengan consecutive sampling dengan alat ukur neck disability index, penelitan didapatkan sebelum dan sesudah program terapi selesai. Penelitian dilakukan 2 kali dalam seminggu selama 4 minggu. Uji pengaruh pada kelompok kontrol didapatkan nilai p=0,027 (p>0,005) sedangkan kelompok perlakuan didapatkan nilai p=0,026 (p>0,005) dan uji beda pengaruh setelah perlakuan antara dua kelompok didapatkan nilai p=0,626 (p<0,005). Pemberian terapi konvensional dan neurodynamic mobilization pada pasien cervical root syndrome keduanya berpengaruh terhadap aktivitas fungsional tetapi tidak ada perbedaan pengaruh yang signifikan. Kata Kunci : Upper Limb Tension Test, Aktivitas Fungsional, Cervical Root Syndrome Abstract Cervical root syndrome is a collection of symptoms due to an emphasis on the spinal nerves that are often caused by the degeneration of the vertebrae and intervertebral discs in the neck. Upper limb tension test is one of the ways to reduce adhesions that exist around the nerve to nerve itself. So, it can increase the nerve spasticity. This research aims to determine the addition upper limb tension test fot the functional activity in cervical root syndrome. This research uses quasi experimental. The pre and post study design test use control design with the treatment group is given the addition neurodynamic mobilization by upper limb tension test on conventional therapy, while in the control group is given conventional therapy. The sampling technique uses consecutive sampling with neck disability index measuring instrument. This research is obtained before 1
and after the treatment program completed. This research is conducted 2 times in a week for 4 weeks. The result shown that control group gets P value =0.027 (p>0.005) while the treatment group gets P value = 0.026 (p>0.005) and the influence of different test after the treatment between the two group get P value =0.626 (p<0.005). Conventional therapy and neurodynamic mobilization in patients with cervical root syndrome have influence to the functional activity, however there are no significant differences. Keywords : Upper Limb Tension Test, Functional Activity, Cervical Root Syndrome 1.
PENDAHULUAN Menurut Ridge (2010), CRS merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh
iritasi atau kompresi dari cervical oleh penonjolan diskus intervertebralis yang frekuensinya tanda gejalanya dapat menyebabkan nyeri leher menjalar kelengan atas maupun lengan bawah dan gangguan sensoris, motorik sehingga terjadi anasthesia, hiperesthesia serta parasthesia. Menurut Henderson et al yang telah diedit oleh Ridge (2010) mempresentasikan penemuan dari hasil observasi retrospektif dalam penanganan pada 736 pasien dengan kondisi cervical root syndrome. Pasien tersebut meliputi gejala seperti nyeri lengan bawah (99.4%), nyeri leher (76.7%), nyeri daerah scapula (52.5%), nyeri dada bagian anterior (17.8%) dan nyeri kepala (9.7%). Terdapat 53.9% pasien yang mengalami paresthesia. Sedangkan data dari Klinik Fisioterapi Murono ”MFC” Yogyakarta prevalensi pasien yang mengalami cervical root syndrome menduduki peringkat ketiga setelah kasus low back pain dan stroke pada tahun 2014-2015. Problematik dari cervical root syndrome antara lain adanya spasme, nyeri tekan, nyeri gerak serta nyeri menjalar, dan juga adanya kesemutan, tebal pada tangan serta adanya keterbatasan lingkup gerak sendi sehingga terjadi penurunan kemampuan aktivitas fungsional. Seperti diketahui bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk peningkatan aktivitas fungsional pada pasien cervical root syndrome. Berdasarkan hasil survei penelitian yang didapat di Klinik Fisioterapi Murono ”MFC” Yogyakarta prevalensi pasien yang mengalami cervical root 2
syndrome dilakukan terapi konvensional dengan modalitas Infra Red (IR), Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), Ultra Sound (US), Electrical Stimulation (ES) dan traksi manual tanpa diberikan intervensi seperti exercise atau manual therapy sehingga didapatkan hasil dari pengobatan yang tidak terlalu signifikan terhadap keluhan yang diderita pasien selama ini dan pengobatan yang dilakukan juga secara kontinu dalam jangka waktu sekitar 2 tahun. Dengan itu penulis mencoba melakukan kajian spesifik pada cervical root syndrome. Pada penelitian ini penulis ingin mengetahui dan meneliti penanganan dengan manual therapy. Manual therapy adalah suatu teknik terapi manual dengan gerakan keahlian tangan yang dimaksud untuk meningkatkan ektensibilitas jaringan ikat, meningkatkan luas gerak sendi, menimbulkan relaksasi, memobilisasi atau memanipulasi jaringan lunak dan sendi, memodulasi sendi dan mengurangi adanya pembengkakan pada jaringan lunak, peradangan atau keterbatasan (Olson KA, 2009). Manual therapy yang diberikan dengan Neurodynamic Mobilization. Neurodynamic mobilization merupakan salah satu cara untuk mengurangi perlengketan yang ada disekitar saraf terhadap saraf itu sehingga dapat meningkatkan kelenturan saraf (Shacklock, 2005). Dengan demikian penulis mengajukan judul ”Penambahan Upper Limb Tension Test (ULTT) terhadap Aktivitas Fungsional Pada Cervical Root Syndrome (CRS)”. 2.
METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi
Eksperimental. Menurut Sugiyono (2009). Desain penelitian yang digunakan yaitu pre and post test with control group design. Penelitian ini akan dilakukan di Klinik Fisioterapi Murono ”MFC” Yogyakarta. Adapun waktu penelitian ini akan dilakukan selama 18 Mei 2016 – 29 Juni 2016. Sampel dari penelitian ini adalah pasien Cervical Root Syndrome di Klinik Fisioterapi Murono ”MFC” Yogyakarta. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling.
3
Analisis data dalam penelitian ini yaitu uji pengaruh dari masing kelompok analisis data yang digunakan adalah Wilcoxon test. Sedangkan uji beda pengaruh dua kelompok menggunakan uji Man-whitney. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil 1. Hasil Penelitian a. Karakteristik responden berdasarkan usia Tabel 4.1 Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Usia Usia
Frekuensi
( Tahun )
Kelompok
Kelompok
Eksperimen
Kontrol
41 - 45
2
1
1
46 - 50
6
3
3
51 - 55
2
1
1
56 - 60
1
0
1
61 - 65
0
0
0
66 - 70
1
1
0
Jumlah (n)
12
6
6
Tabel 4.2 Analisis Deskripsif Responden Penelitian Berdasarkan Usia Usia ( Tahun )
Kelompok
Kelompok Kontrol
Eksperimen
(n=6)
(n=6)
Minimum
44
42
Maksimum
56
66
Mean
51
51
Standard Deviation
4
8
Dari tabel 4.2 dapat dilihat karakteristik responden berdasarkan usia, pada kelompok eksperimen dengan jumlah data (n) sebanyak 6 orang 4
mempunyai rata-rata sebesar 51 dengan batas minimum 44 tahun dan maksimum 56 serta standard deviasi sebesar 4. Sedangkan pada kelompok kontrol dengan jumlah data (n) sebanyak 6 orang mempunyai rata-rata 1 dengan batas minimum 42 dan maksimum 66 serta standard deviasi sebesar 8. b. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.3 Karakteristik Responden Penelitan Berdasarkan Jenis Kelamin Kelompok Eksperimen No
Klasifikasi Jenis Kelamin
Kelompok Kontrol
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
(n)
(%)
(n)
(%)
1.
Laki-laki
1
16,7
3
50
2.
Perempuan
5
83,3
3
50
Jumlah
6
100
6
100
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin pada tabel diatas menunjukkan bahwa perempuan menempati jumlah terbanyak sebanyak 5 orang dan laki-laki menempati jumlah terendah sebanyak 1 orang. c. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Kelompok Eksperimen No
Klasifikasi Pekerjaan
Kelompok Kontrol
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
(n)
(%)
(n)
(%)
1.
Ibu Rumah Tangga
2
33,3
3
50
2.
Wiraswasta
1
16,7
3
50
3.
Pegawai
3
50
0
0
Jumlah
6
100
6
100
Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan pada tabel diatas pada kelompok eksperimen jumlah terbesar yaitu pegawai sebanyak 3 orang dengan persentase 50% sedangkan yang terendah yaitu wiraswasta dengan 5
jumlah 1 orang memiliki persentase 16,7%. Pada kelompok kontrol karakteristik pekerjaan pada ibu rumah tangga dan wiraswasta masingmasing dengan jumlah 3 orang dengan persentase 50%. d. Karakteristik responden berdasarkan Neck Disability Index Tabel 4.5 Analisis Deskriptif Responden Berdasarkan Neck Disability Index Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
(n=6)
(n=6)
Pre
Post
Selisih
Pre
Post
Selisih
Minimum
50
16
34
36
10
26
Maksimum
68
36
32
62
34
28
Mean
57,33
23,67
33,66
46,33
23,67
22,66
SD
6,154
6,861
-0,707
8,892
7,840
1,052
Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa aktivitas fungsional responden berdasarkan neck disability index pada kelompok eksperimen yaitu dengan terapi konvensional ditambah upper limb tension test sebanyak 6 orang sebelum eksperimen memiliki rata-rata 57,33 dan sesudah eksperimen rata-rata turun menjadi 23,67 demikian selisih rata-rata sebelum dan sesudah eksperimen 33,66. Aktivitas
fungsional
responden
berdasarkan
pemberian
terapi
konvensional termasuk dalam kelompok kontrol dengan jumlah sebanyak 6 orang sebelum eksperimen memiliki rata-rata 46,33 dan sesudah eksperimen rata-rata turun menjadi 23,67 demikian selisih rata-rata sebelum dan sesudah eksperimen 22,66. Dapat dilihat pada gambar penelitian ini memiliki keterbatasan aktivitas fungsional yang paling banyak terjadi menurut pengukuran neck disability index yaitu pada sesi tingkat nyeri dengan score nilai 59 kemudian dengan sesi mengangkat dan tidur dengan score 53 dilanjutkan sesi sakit kepala yang memiliki score 50 setelah itu pada sesi pekerjaan dengan score 48,
6
sesi mengendarai dengan score 44 dan yang paling sedikit memiliki keterbatasan yaitu pada sesi konsentrasi yaitu dengan score 31.
Gambar 9 Hasil Pengukuran Aktivitas Fungsional 2. Hasil Analisis Data a. Uji pengaruh sebelum dan sesudah pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol Tabel 4.6 Data Uji Pengaruh Pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen Wilcoxon test
Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
Asymp. Sig. (2-tailed)
0,026
0,027
Berdasarkan uji wilcoxon pada kelompok kontrol yang diberikan terapi konvensional diperoleh hasil p < 0,05 artinya menunjukkan hasil bahwa ada pengaruh terapi konvensional terhadap aktivitas fungsional pada cervical root syndrome. Sedangkan pada kelompok eksperimen dengan penambahan upper limb tension test pada terapi konvensional diperoleh hasil p = 0,026 ( p < 0,05 ) yang menunjukkan bahwa ada pengaruh penambahan upper limb tension test pada terapi konvensional terhadap aktivitas fungsional pada cervical root syndrome.
7
b. Uji beda pengaruh sesudah eksperimen pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol Tabel 4.7 Data Uji Beda Pengaruh Sesudah Eksperimen Pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Penambahan Neurodynamic Mobilization dengan Upper Limb Tension Test Pada Terapi Konvensional terhadap Aktivitas Fungsional Pada Cervical Root Syndrome Mann-withney U
15,000
Z
-,487
Asymp.sig
,626
Hasil analisa dengan menggunakan uji mann-withney pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diperoleh nilai p = 0,626 atau p > 0,05 bahwa tidak ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen terhadap aktivitas fungsional pada cervical root syndrome. 3.2 Pembahasan 1. Deskripsi Subjek a. Usia Selama penelitian ini rata-rata responden paling banyak yaitu dari golongan usia 49-55 dimana menurut WHO (2016) merupakan rentang usia pertengahan untuk mulai terjadinya proses degeneratif. b. Jenis Kelamin Berdasarkan karakteristik responden, pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki hal ini sejalan dengan yang dikatakan Okada et al (2009) bahwa wanita lebih cepat memiliki perubahan degeneratif pada tulang belakang lehernya. c. Pekerjaan Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan dalam penelitian ini pada kelompok eksperimen lebih banyak terjadi pada pegawai sedangkan 8
kelompok kontrol terjadi pada ibu rumah tangga dan wiraswasta. Hal ini didukung oleh Binder (2007) faktor yang mempengaruhi bervariasi jadi tidak dapat didapat diasumsikan bahwa yang mempengaruhi hanya satu pekerjaan saja. 2. Analisis Data a. Pengaruh penambahan upper limb tension test pada terapi konvensional terhadap aktivitas fungsional pada cervical root syndrome Hasil uji hipotesis untuk membandingkan nilai aktivitas fungsional dengan neck disability index sebelum dan sesudah pada kelompok eksperimen menggunakan wilcoxon test didapatkan p = 0,026 ( p < 0,05 ). Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh penambahan upper limb tension test pada terapi konvensional terhadap aktivitas fungsional pada cervical root syndrome. Hal ini bisa terjadi bahwa pain-free movement dapat tercapai dengan pemberian upper limb tension test. Hal ini terjadi karena meningkatkan kelenturan saraf, pembebasan iritasi saraf yang tidak akut, pelepasan iritasi saraf seperti entrapment saraf, mobilisasi sendi dan jaringan lunak serta pemulihan fungsi (Kisner, 2012). Efektivitas mobilisasi saraf terjadi karena adanya efek flossing yaitu kemampuan untuk mengembalikan mobilitas dan penguluran, akibatnya aliran darah dan transportasi aksonal pada jaringan saraf lancar serta membantu dalam memecah adhesi dan mewujudkan mobilitas, dalam hal ini upper limb tension test membantu dalam pengurangan gejala (Shacklock M, 2015). b. Pengaruh terapi konvensional terhadap aktivitas fungsional pada cervical root syndrome (kelompok kontrol) Hasil uji hipotesis untuk membandingkan nilai aktivitas fungsional dengan neck disability index sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol menggunakan wilcoxon test didapatkan p = 0,027 ( p < 0,05 ). Hal ini berarti terapi konvensional yang diberikan yaitu infra red, ultrasound,
9
TENS, arus faradik dan traksi manual juga berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas fungsional pada cervical root syndrome. Secara teori terapi konvensional yang diberikan yaitu infra red akan terjadi proses metabolisme yang terjadi pada lapisan superficial kulit meningkat sehingga terjadi vasodilatasi akan mempengaruhi peningkatan suplai oksigen dan nutrisi kedalam tubuh melalui aliran darah yang akan membantu relaksasi otot dan dengan adanya efek thermal akan mengaktifkan pembuangan sisa-sisa metabolisme (Prentice, 2011). Terapi konvensional pada ultrasound akan menimbulkan efek mekanik yaitu micro massage dimana bermanfaat untuk normalisasi dari otot sehingga tekanan dalam jaringan akan berkurang dan juga terjadi vasodilatasi pembuluh darah sehingga meningkatkan suplai bahan makanan pada jaringan lunak dan terjadi zat anti body dengan demikian memudahkan perbaikan pembuluh darah dan fibrilasi untuk perbaikan jaringan (Prentice, 2011). TENS pada konvensional menghasilkan efek analgesik terutama melalui mekanisme segmental yaitu dengan jalan mengaktivasi serabut Ayang selanjutnya akan menginhibisi neuron nosiseptif di kornu posterior medulla spinalis. Ini mengacu pada teori kontrol gerbang yang menyatakan bahwa gerbang terdiri dari sel intemunsial yang bersifat inhibitor yang dikenal sebagai substansia gelatinosa dan sel T yang merelei informasi dari pusat yang lebih tinggi dan keduanya terletak di kornu posterior medulla spinalis. Tingkat aktivitas sel T ditentukan oleh keseimbangan asupan dari serabut berdiameter besar A- dan A- serta serabut berdiameter kecil A- dan serabut tipe C. Asupan dari serabut berdiameter kecil akan mengaktivasi sel T yang akan dirasakan sebagai keluhan nyeri. Jika serabut berdiameter besar teraktivasi, hal ini juga mengaktifkan sel T namun pada saat yang bersamaan impuls tersebut juga akan mengaktifkan SG yang berdampak pada penurunan asupan terhadap sel T yang berasal dari serabut berdiameter kecil dengan kata lain asupan
10
impuls serabut berdiameter besar akan menutup gerbang dan menghambat transmisi impuls nyeri sehingga nyeri dirasakan berkurang (Parjoto, 2006). Arus faradik secara teoritis akan menimbulkan rasa sensoris seperti tertusuk halus dan efek vasodilatasi dangkal serta efek terhadap motorik yang menimbulkan kontraksi sehingga stimulasi diberikan untuk menimbulkan gerakan yang normal dan aliran darah dapat diperlancar oleh adanya pemompaan dari otot yang berkontraksi dan relaksasi. Traksi konvensional dengan metode penarikan continous bertujuan untuk immobilisasi dan koreksi yang memberikan efek mekanis terhadap struktur jaringan
yang
membentuk
sendi-sendi
vertebra
sehingga
terjadi
peregangan dan penambahan gerak terhadap sendi opofiseal pada proccecus articularis maka diharapkan nyeri berkurang akibat adanya penguluran jaringan lunak sehingga spasme otot pun akan berkurang, demikian pula akan terjadi pembebasan tekanan pada akar saraf spinal sehingga aliran darah akan lancar (Prentice, 2011). Terapi konvensional dengan infra red, ultrasound, TENS, arus faradik dan traksi manual memberikan efek terapeutik seperti mengurangi rasa sakit, relaksasi otot, meningkatkan suplai darah, menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme, fasilitasi kontraksi otot, membidik kerja otot, penigkatan kekuatan otot, memperbaiki aliran darah dan limfe, immobilisasi dan menghilangkan spasme otot sehingga terjadinya peningkatan aktivitas fungsional. c. Beda pengaruh kelompok kontrol dan kontrol eksperimen terhadap peningkatan aktivitas fungsional pada pasien cervical root syndrome Hasil dari uji beda pengaruh antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen didapatkan selisih antara nilai sebelum dan sesudah intervensi kelompok kontrol yaitu 22,66 sedangkan kelompok eksperimen didapatkan nilai 33,66. Selisih pada kelompok eksperimen menunjukan bahwa penambahan upper limb tension test memberikan efek positif terhadap peningkatan aktivitas fungsional pada penderita cervical root syndrome. Uji beda pengaruh menggunakan Mann Whitney antara kelompok kontrol 11
dan kelompok eksperimen didapatkan hasil nilai p = 0,626 dimana p > 0,05 berarti tidak ada perbedaan signifikan dari peningkatan aktivitas fungsional antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Hal ini dapat terjadi karena kedua latihan tersebut sama-sama memiliki pengaruh dalam perbaikan aktivitas fungsional, tetapi tidak ada salah satu yang lebih unggul secara signifikan. 4.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil uji statistik dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Ada pengaruh penambahan terapi konvensional terhadap aktivitas fungsional pada cervical root syndrome (p = 0,027). 2. Ada pengaruh penambahan upper limb tension test pada terapi konvensional terhadap aktivitas fungsional pada cervical root syndrome (p = 0,026). 3. Tidak ada perbedaan pengaruh terapi konvensional dan penambahan upper limb tension test pada terapi konvensional terhadap aktivitas fungsional pada cervical root syndrome (p = 0,626). 4.2 Saran 1. Bagi Pasien Pasien hendaknya menjaga pola aktivitas di lingkungan rumah ataupun tempat kerja serta menjalankan program edukasi yang telah diajarkan agar tidak menimbulkan keluhan yang berulang. 2. Bagi Institusi Pendidikan dan Teman Sejawat Dapat digunakan sebagai tambahan informasi dan referensi tentang upper limb tension test dalam aktivitas fungsional pada cervical root syndrome. Penambahan suatu exercise sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan suatu terapi. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Mengingat keterbatasan pada penelitian ini, maka disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan memperhatikan (a) mengontrol variabel pengganggu yang dapat membiaskan hasil penelitian, (b) jangka 12
waktu penelitian yang lebih lama, (c) perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan variabel lain yang diteliti untuk penelitian yang lebih baik sehingga dapat diraih hasil yang luas dan lebih bervariatif.
DAFTAR PUSTAKA Binder AI. 2007. Cervical Spondylosis And Neck Pain. Clinical Review. Volume 334. 10 March 2007 : 525 - 531 Henderson Cm, Hennessy RG, Shuey HM, Jr., and Shackelford EG. 1983. Posterior-lateral Foraminotomy as an exclusive operative technique for Cervical Radiculopathy : A Review of 846 Consecutively Operated Cases. Ridge (ed). Diagnosis and Treatment of Cervical Radiculopathy from Degenerative Disorders. America : North American Spine Society. Okada E, Matsumoto M, Ichihara D, et al. 2009. Aging Of The Cervical Spine In Healthy Volunteers : A 10-Years Longitudinal Magnetic Resonance Imaging Study. Spine Phila Pa. 2009 Apr 1 ; 34 (7) : 706 – 12. Parjoto S. 2006. Terapi Listrik Untuk Modulasi Nyeri. Semarang Prentice W. 2011. Therapeutic Modalities in Rehabilitation. US : McGraw Hill Ridge B. 2010. Diagnosis and Treatment of Cervical Radiculopathy from Degenerative Disorders. America : North American Spine Society. Shacklock M. 2005. Clinical neurodynamics. Australia : Elsevier Butte Rworth Heinemann. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta. World Health Organization. 2016. Definition Of An Older Or Elderly Person. Health Statistics and Information Systems : WHO.
13