Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
PEMULIHAN SEDIAN ALAMI LOLA (Trochus niloticus L.) MELALUI BUDIDAYA SKALA LABORATORIUM DI UPT LOKA KONSERVASI BIOTA LAUT TUAL, MALUKU TENGGARA1) Agus Kusnadi2, Teddy Triandiza2, Udhi Eko Hernawan2, dan D.Y. Walewowan2
ABSTRAK Sedian alami lola (Trochus niloticus L.) yang terus menipis di daerah Maluku Tenggara memerlukan penambahan jumlah individu muda melalui kegiatan budidaya. Di laboratorium, 20-100 ekor lola di rangsang untuk memijah. Pembuahan lola terjadi secara eksternal, di mana jantan memijah terlebih dahulu, diikuti induk betina dengan selang waktu 30 menit. Pengamatan perkembangan dan pertumbuhan telur dan larva disajikan. Pembelahan pertama terjadi 30 menit setelah pembuahan, fase morula terjadi 7 jam setelah fertilisasi dan telur menetas menjadi trochofor setelah 9-12 jam dari terjadinya pembuahan. Setelah menetas, stadia trochofor berkembang menjadi larva yang berenang di permukaanan air dengan organ renang baru (velum). Tingkat trochofor berlangsung beberapa jam. Setelah umur 21 jam, larva trochofor berkembang menjadi larva veliger lengkap dengan operculum. Pada umur 36 jam, organ baru (kaki berbentuk seperti huruf T) sudah tumbuh dan mulai berfungsi untuk merayap di dasar, larva lola berubah menjadi pediveliger. Pediveliger mulai mencari substrat yang sesuai untuk menempel dan mulai bermetamorfosis kehilangan organ renang (velum) 3 hari setelah fertilisasi. Kata kunci : sedian alami, lola, pemijahan, telur, larva, metamorfosis
PENDAHULUAN Kepulauan Kei merupakan gugusan pulau-pulau kecil dan besar yang termasuk dalam busur laut banda, terletak antara 5o00’- 6o00’ LS dan 131o45’-133o15’ BT. Kondisi wilayah yang unik, dengan ekosistem penyusun pesisir dan laut adalah ekosistem terumbu karang dan padang lamun, menjadikan Kepulauan Kei sebagai wilayah bahari yang kaya akan keanekargaman sumber daya hayati. Salah satu jenis yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi adalah siput lola (Trochus niloticus). Lola merupakan sumber daya perikanan yang memiliki kontribusi penting bagi nelayan terutama di kawasan Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Siput dari famili Trochidae ini banyak dimanfaatkan dagingnya sebagai sumber protein dan cangkangnya sebagai bahan baku pembuatan kancing baju, perhiasan, dan cat. Sebagai komoditi niaga, cangkang lola memiliki harga jual tinggi. Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan pasar terhadap cangkang lola untuk industri fashion terus mengalami peningkatan terutama negara Perancis, Jerman, Hongkong, Italia, Jepang, Singapura, dan Spanyol (Da silva, 2001). Pada tahun 1998, permintaan cangkang lola di pasaran dunia diperkirakan mencapai 7000 ton/per tahun dengan nilai sebesar 50-60 juta dolar Amerika (Lawrence 1998a; Winston & Grayson, 1998). Produksi cangkang lola Indonesia yang masih mengandalkan dari alam untuk memenuhi permintaan pasar industri fashion menyebabkan penurunan yang pesat terhadap populasi lola. Hasil buka sasi lola di Pulau Saparua dan Kepulauan Banda dengan periode satu tahunan, mulai dari tahun 1979 sampai dengan tahun 1992 menunjukkan penurunan dari sekitar 4 ton cangkang kering menjadi sekitar 0,25 ton cangkang kering (Braley, 1993; Cesar, 1996). Kondisi tersebut telah mendorong diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 yang menempatkan Trochus niloticus sebagi binatang yang dilindungi. Namun demikian karena lola merupakan sumber nafkah dan protein bagi masyarakat maka kebijaksanan pemerintah tersebut dapat menimbulkan konflik. Oleh karena perlu di cari jalan yang menguntungkan kedua belah pihak 1)
2)
Dipresentasikan pada Seminar Perikanan Nasional Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan Jakarta 34 Desember 2009 UPT Loka Konservasi Biota Laut Tual-LIPI, Maluku Tenggara
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
Penerapan sistem tradisional (sasi) dan penerbitan SK Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam no. 12/IV-KKH/2008 tentang penetapan kuota tangkap lola di beberapa propinsi seperti Sulawesi, Maluku, Papua dan pelarangan penangkapan lola kurang dari 80 mm, kadangkala tidak memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan kebutuhan lola tiap tahun meningkat, selain itu juga penerapannya hanya didasarkan pengetahuan tradisional, pengalaman penduduk setempat dan batas waktu sasi dan ukuran lola yang diambil kadang hanya berdasarkan permintaan konsumen (Aripin, 1993). Salah satu yang dapat dilakukan untuk memulihkan sediaan alami lola tanpa menimbulkan konflik adalah melalui pengelolaan sumber daya secara lestari, dengan cara kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya berupa pembenihan yang mampu menghasilkan anakan lola dalam jumlah besar memberikan peluang keberhasilan. Hasil budidaya dapat digunakan untuk memenuhi permintaan pasar, sehingga tidak tergantung dari alam. Selain itu, anakan hasil budidaya juga berguna untuk kegiatan ”restocking”, sehingga populasi lola di alam makin bertambah (Purcell dan Lee, 2001). Budidaya lola telah banyak dilakukan di manca negara baik dalam skala penelitian maupun untuk pemulihan sedian alami, seperti Laboratorium Micronesia Mariculture Demonstration Center di Palau dan Vanuatu. Di Indonesia, penelitian tentang lola telah dilakukan olehi Dwiono et al. (1995), Aripin (1993), dan Pradina et al. (1996). Informasi dari penelitian terdahulu mengenai aspek biologi reproduksi lola, periode pemijahan, pakan dan tingkah laku individu pada saat memijah merupakan rujukan yang dapat mendukung keberhasilan budidaya. Hasil beberapa literatur menunjukan bahwa secara teoritis lola merupakan biota yang relatif mudah dipelihara karena bersifat lecithotrophic, masa metamorfosanya pendek, dan tidak membutuhkan peralatan canggih dan obat-obatan dalam pemeliharaan juvenil. Namun sampai sekarang masih terdapat masalah yaitu belum ada teknologi yang dapat menentukan tingkat kematangan gonad berdasarkan ciri sekunder, dan belum dikuasainya teknik penyedian pakan secara massal. Oleh karena itu perencanaan yang matang dan pelaksanaan pemeliharaan yang sesuai dengan rencana menjadi sangat penting bagi keberhasilan budidaya. Penelitian ini bertujuan mendapatkan teknologi tentang pembenihan lola, mengurangi resiko kematian pada stadi awal embryo dan larva, dan mengetahui kondisi lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan lola. BAHAN DAN METODE Pengambilan dan pemilihan calon induk Induk lola Induk lola (Trochus nilaticus) diperoleh secara bertahap dari alam. Lola diperoleh dengan cara mengumpulkan pada saat surut di daerah pantai berbatu di desa Ohoiwirin dan Tuberngil (Pulau Kei Besar, Maluku Tenggara) dan penyelaman di desa Lokwirin dan Warkar (P. Kur, Kota Tual). Pengadaan induk lola sedikit terhambat dengan adanya sistem sasi pada beberapa daerah penghasil lola, namun masalah tersebut segera dapat di atasi dengan adanya pendekatan terhadapa tetua desa. Induk yang diperoleh saat ini berjumlah 500 induk, yang siap dipijahkan. Cara pengakutan dilakukan dengan cara pengeringan, yaitu induk lola di bungkus kain basah dan dimasukkan ke dalam wadah atau keranjang dan diletakkan ditempat yang teduh, sepanjang perjalanan lola disemprot dan dicuci dengan air segar, agar jangan sampai mengalami dehidrasi. Dari lokasi pengambilan lola, di amati karekteristik habitat lola secara visual, sehingga diperoleh gambaran mengenai karekteristik habitat lola. Lola biasanya hidup di daerah intertidal (pasang-surut) dan subtidal, dengan dasar perairan pada habitat berupa rataan karang, patahan karang mati dan karang batu pada ekosistem terumbu karang. Penentuan karekteristik tersebut merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pelaksanan budidaya karena pengetahuan tersebut akan menjamin kelangsungan hidup benih yang akan ditebar dan keberhasilannya dalam menjalankan siklus hidup secara lengkap pada habitat alaminya. Pemilihan induk lola minimal memiliki ukuran diameter cangkang 5 cm dan kondisi induk sehat yang ditandai dengan cepatnya induk bereaksi masuk jika diangkat dan disentuh bagian tubuhnya. Calon induk lola memiliki ukuran diameter berkisar 49 - 97 mm. Nash (1993) menyatakan bahwa dalam perairan tropis, kematangan gonad pertama pada Trochus terjadi
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
setelah individu mencapai ukuran 5,5 – 9,0 cm. Aripin dan Pradina (1993) menyatakan bahwa populasi lola di perairan maluku mencapai tingkat kematangan dan pernah memijah pada ukuran 6,0 cm. Selain itu di perairan Nolloth ditemukan lola dalam kondisi matang gonad pada ukuran cangkang 53,95 mm dan 59,44 mm. Dari data ukuran diameter tersebut menunjukkan bahwa lola yang diperoleh sudah siap untuk dijadikan induk dan siap untuk dipijahkan, karena secara biologi sudah memiiliki tingkat kematangan gonad yang siap untuk dipijahkan. Penyedian pakan alami 1. Perbanyakan biakan Navicula spp. dalam skala laboratorium Perbanyakan dilakukan di dalam beberapa labu erlenmeyer bervolume 1000 ml dan toples kaca bervolume 5000 ml. Selama pemeliharaan, biakan di beri penyinaran lampu TL 40 watt berjarak 10 cm di atas media pemeliharaan. Inokulasi dibiarkan berlangsung selam 710 hari. Hasil inokulasi ini kemudian digunakan sebagai bibit dalam setiap kultur massal. 2. Perbanyakan kultur massal Navicula spp dalam bak fiberglsss Kultur massal dilakukan pada beberapa bak fiberglass berbentuk segiempat (Volum 2-3 ton). Untuk menambah luas permukaan bagi pertumbuhan diatom penempel, dalam bak pemeliharaan ditambahkan batu tegel dan kolektor yang terbuat dari seng plastik. 3. Perbanyakan kultur diatom lainnya Selain perbanyakan kultur Navicula, pemberian pakan dilkukan melalui semacam kolektor bentos. Kolektor yang berbentuk palstik gelombang dan karung goni dibiarkan terendam air laut selama 2-3 minggu. Kolektor yang sudah tampak hadirnya berbagai organisme penempel, kemudian dipindahkan ke bak pemeliharaan induk, diganti setelah makanan yang ada habis di makan lola. Perbanyakan kolektor bentos diharapkan dapat mengatasi kekurangan pakan yang biasanya di alami karena kesulitan dan lamanya waktu yang dibutuhkan dalam perbanyakan kultur massal Navicula. Pemeliharaan induk dan pematangan gonad Induk hasil tangkapan dari alam dipelihara dalam bak terkontrol di Laboratorium Budidaya Loka Konservasi Biota Laut Tual sampai matang gonad. Pemeliharaan induk lola untuk keperluan budidaya sangat menguntungkan bila dilakukan di alam, karena lebih mudah dalam hal tenaga dan biaya terutama dalam menjaga kualitas air dan pakan. Heslinga (1980) menyatakan bahwa individu yang dipelihara dengan sistem mengalir di tempat terbuka menunjukkan daya tahan induk 97% dengan kemampuan memijah berulang. Namun dengan berbagai pertimbangan, seperti jauhnya habitat yang sesuai dengan laboratorium pemijahan, sehingga kesulitan dalam pengontrolan, maka pemeliharaan lola lebih diutamakan di laboratorium basah. Di laboratorium, induk lola dipelihara dalam bak-bak fiber berkapasitas 2.3 ton, bak beton berukuran sama atau lebih besar. Makanan yang diberikan adalah diatom penempel yang hidup menempel pada bak-bak pemeliharaan. Selama pemeliharaan induk lola diberikan algae cokelat (Navicula, Nitzschia) yang ditumbuhkan pada bak-bak pemeliharaan. Untuk menambah luas permukaan bagi pertumbuhan diatom penempel, dalam bak pemeliharaan ditambahkan batu tegel dan kolektor yang terbuat dari seng plastik. Selain itu dicoba pemberian pakan berupa organisme yang menempel pada kolektor berupa waring, patahan batu karang dan seng plastik bergelombang yang dibiarkan terendam air laut selama beberapa hari. Individu tersebut di pelihara dengan sistem air statis yang diberi aerasi, pergantian dilakukan setiap satu minggu sekali. Intensitas pemberian pakan makin meningkat ketika lola akan dipijahkan. Beberapa literatur menunjukan bahwa lola cenderung memijah sepanjang tahun. Hal tersebut berarti lola matang gonad setiap bulan, sehingga pematangan gonad dapat dilakukan hanya dengan pemberian pakan yang memenuhi syarat baik dalam jumlah maupun kualitas. Deteksi kematangan gonad dilakukan dengan cara menekan operkulum ke dalam rongga cangkang, jika yang keluar adalah cairan berwarna putih susu, maka individunya adalah jantan, tetapi jika yang keluar butir-butiran halus berwarna hijau maka individunya adalah betina. Individu yang diketahui memiliki sel kelamin matang kemudian dipelihara di loboratorium dengan pemberian makan optimum sampai waktunya untuk dipijahkan. Pada penelitian ini juga dilakukan pengikisan bagian atas cangkang sampai lapisan cangkang tipis dan transparan dengan menggunakan gerinda. Pemeriksaan kondisi gonad dengan cara pengikisan cangkang
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
hanya dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin, yaitu jantan berwarna putih dan betina berwarna hijua tua. Metode ini tidak dapat memberikan gambaran mengenai tingkat kematangan gonad, bahkan cara ini sangat beresiko menyebabkan kematian. Induk yang behasil dikumpulkan dan dipakai selama percobaan berjumlah 400 individu. Induk tersebut kemudian di tagging atau dilakukan pemberian nomor pada setiap cangkangnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengikuti periode, intensitas dan tingkah laku pemijahan tiap induk. Pemijahan induk Pemijahan merupakan proses pelepasan sel telur dan sperma sehingga terjadi pembuahan. Pemijahan dapat terjadi secara alami maupun buatan, melalui rangsangan atau induksi yang dikendalikan oleh manusia. Perangsangan yang dilakukan merupakan suaru rekayasa bagaimana memindahkan proses alamiah yang terjadi di alam ke kondisi labotoris. Keberhasilan memindahkan rangkaian proses sangat tergantung pada pengetahuan biologi biota laut tersebut dan kemampuan menterjemahkan sifat-sifat di alam yang berpengaruh langsung terhadap proses pemijahan. Organ kelamin jantan dan betina pada lola terdapat pada individu yang berbeda. Kendala yang sering muncul, lola merupakan jenis moluska yang tidak dilengkapi tanda seksual sekunder seperti warna, bentuk, dan ukuran cangkang dalam menentukan tingkat kematangan gonad (Pradina et al, 1996) dan jenis kelamin. Tanda seksual hanya terdapat pada kelenjar gonad yang terletak di ujung visceral. Pengamatan terhadap tanda seksual dapat dilakukan dengan cara menarik lepas tubuh lunaknya dari cangkang, kelenjar kelamin berwarna hijua tua pada yang betina dan putih susu pada yang jantan (Pradina & Dwiono, 1994). Selain itu, dapat dilakukan dengan cara menekan operkulum ke dalam rongga cangkang (Nash,1993) dan pengikisan bagian atas cangkang sampai lapisan cangkang tipis dan transparan dengan menggunakan gerinda. Berbagai perlakuan diberikan pada induk lola yang segar berukuran diameter cangkang lebih dari 5,0 cm. Jumlah induk yang digunakan bervariasi antara 20-100 ekor per kelompok percobaan. Induk lola yang segar ditandai dengan respon masuknya tubuh ke dalam cangkang dengan segera ketika individu tersebut di angkat atau lendir yang dikeluarkan relatif sedikit. Teknik pemijahan Individu-individu lola yang sudah dipilih sebagai induk dibersihkan dan disikat cangkangnya, kemudian setiap kelompok induk di beri perlakuan secara buatan melalui induksi atau rangsangan yang dilakukan dengan metode kombinasi dan oksigenasi. Selain itu pemijahan juga dilakukan dengan cara memanfaatkan kelelahan fisik lola akibat proses penangkapan dan pengangkutan dari alam yang memerlukan waktu cukup lama, sehingga berdampak pada stresnya lola. Cara kerja : 1. Metode kombinasi merupakan modifikasi dari metode yang telah dilakukan oleh beberapa penelitian lola seperti aerasi kuat, pentirisan dan kejut suhu. a. metode penjemuran, air tergenang dan aerasi kuat. Sebelum dilakukan perangsangan dengan metode kombinasi, cangkang lola dibersihkan dengan sikat. Perlakuan dilanjutkan dengan rangsangan penjemuran di bawah sinar matahari selama 15 menit, setelah 15 menit lola diberi perlakuan air tergenang selam 2 jam. Kemudian lola diberi rangsangan aerasi kuat selama 7 jam. b. Rangsangan metode manipulasi lingkungan, merupakan suaru rekayasa memindahkan proses alamiah yang terjadi di alam ke kondisi labotoris dengan cara melihat pasang surut ar laut. Perangsangan dimulai dengan pemberian rangsangan mekanis yaitu induk lola dibersihkan dengan cara diaduk di dalam ember. Perlakuan selanjutnya memindahkan induk lola ke dalam ember yang berwarna gelap untuk di beri rangsangan aerasi kuat selama 7 jam. Kemudian lola kembali diberi perlakuan rangsangan mekanis, dan dilanjutkan dengan rangsangan arus selama 2 jam. Setelah itu, lola kembali dirangsang dengan perlakuan makanis dan terakhir lola di beri perlakuan air tergenang, dimana lola dimasukkan ke dalam aquarium yang berisi air setinggi lola selama 2 jam.
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
c. Metode penjemuran dan aerasi kuat. Perlakuan di mulai dengan menjemur induk lola di bawah sinar matahari selama 20-60 menit, di mana setiap 10-15 menit induk lola disirami air. Kemudian setelah penjemuran, lola dipindahkan ke dalam ember yang berwana gelap dengan sedikit air untuk diberikan perlakuan aerasi kencang selama 7-8 jam. d. Metode penjemuran dan air tergenang, dimana lola dijemur di bawah sinar matahari selama 15-60 menit, di mana setiap 15 menit induk lola disirami air. Kemudian setelah penjemuran, induk lola dipindahkan ke dalam bak aquarium yang berisi air laut setinggi lola tanpa aerasi untuk dilakukan perangsangan air tergenang selama 7-8 jam. e. Metode kombinasi (mekanis - air tergenang – mekanis - pentirisan). Perangsangan lola dimulai dengan pemberian rangsangan mekanis yaitu lola dimasukkan kedalam ember yang telah diisi sedikit air, kemudian ember yang berisi lola digoyang sekitar 2 menit (air berbusa), setelah itu lola dibersihkan dengan memasukkan air baru dengan cara diaduk di dalam ember. Perlakuan dilanjutkan dengan sistem air tergenang, dimana lola dimasukkan ke dalam aquarium yang berisi air setinggi lola. Rangsangan ini dilakukan selama 7 jam. Setelah itu, dilanjutkan kembali dengan rangsangan mekanis dan terakhir lola diberi perlakuan pentirisan, yaitu diletakkan pada kain basah sekitar 2 jam, dimana setiap 15 menit lola disirami air. f. Rangsangan arus dan kenaikan suhu. Induk lola disusun dekat alat pemecah arus tenaga aerasi selama 8 jam. Kemudian, induk dipindahkan ke dalam bak pemijahan berupa aquarium yang berisi air laut 80 liter yang ditutupi kain berwarna gelap tanpa aerasi. perlakukan kenaikan suhu dilakukan dengan menggunakan termostat suhu 320C. g. Metode pentirisan dan aerasi kuat. setelah cangkang induk lola disikat, loal kemudian dirangsang dengan perlakuan pentirisan selama 2 jam 30 menit. Setelah perlakuan pentirisan, lola dirangsang dengan perlakuan aerasi kuat selama 6 jam. h. Metode penjemuran, aerasi kuat, dan pentirisan. Induk lola di beri rangsangan penjemuran di bawah sinar matahari selama 60 menit, dimana setiap 15 menit induk disirami air. Perlakuan selanjutnya induk lola diletakkan ke dalam ember dengan sedikit air dan di beri air kencang dari dasar ember selama 8 jam i. Metode penjemuran, pentirisan, air tergenang, dan aerasi kuat. lola di jemur selama 30 menit di bawah sinar matahari, kemudian diletakkan pada karung basah selama 2 jam dan setiap 25 menit disirami air segar. Setelah perlakuan pentirisan, induk lola dibiarkan dalam air tergenang tanpa aerasi selama 2 jam, kemudian dilanjutkan dengan rangsangan aerasi kuat selama 4 jam 30 menit. j. Metode penjemuran, pentirisan, dan aerasi kuat. Induk kemudian dibersihkan dengan air segar dengan cara di aduk dan digoyang. Perlakuan berikutnya induk lola dibiarkan dalam air tergenang selama 30 menit, kemudian dibersihkan dengan air segar dengan cara di aduk dan digoyang. Terakhir induk lola diletakkan dalam ember dengan sedikit air dan diberi aerasi kencang dari dasar ember selama 8 jam. k. Metode air tergenang dan aerasi kuat. Induk lola setelah dibersihkan cangkangnya dengan sikat, kemudian di letakkan di dalam aquarium dengan tinggi air setinggi cangkang lola tanpa aerasi selama 2 jam 30 menit. Setelah itu lola diletakkan di dlam ember hitam dengan sedikit air yang kemudian di beri aerasi kencang selama 8 jam. l. Metode penjemuran dan aerasi kuat. induk lola yang telah dibersihkan dengan sikat, diletakkan ke dalam wadah dengan sedikit air, kemudian dijemur selama 15 menit. Setelah diberi rangsangan penjemuran, induk lola diletakkan ke dalam ember untuk di beri rangsangan aerasi kuat selama 4 jam. m. Metode air tergenang, aerasi kuat, dan pentirisan. Setelah cangkang induk lola dibersihkan, induk kemudian dibiarkan selama 2 jam di dalam air tergenang tanpa aerasi. Selanjutnya lola dirangsang dengan aerasi kuat selama 5 jam. Terakhir lola diberi perlakuan pentirisan dengan cara meletakkan lola pada karung basah selama 2 jam, setiap 15 menit lola disiram air segar. n. Metode penjemuran, air tergenang, dan pentirisan. Induk lola setelah disikat, di beri rangsangan penjemuran di bawah sinar matahari selama 30 menit. Perlakuan
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
selanjutnya induk lola dibiarkan di dalam air tergenang tanpa aerasi selama 5-6 jam, kemudian dilanjutkan dengan pemberian perlakuaan aerasi kuat selama 2-3 jam. o. Metode aerasi kuat, air tergenang, dan pentirisan. Induk lola yang telah dibersihkan kemudian diletakkan di dalam ember gelap dengan sedikit air dan diberi rangsangan aerasi kencang dari dasar ember selama 5 jam. Kemudian induk lola dibiarkan di dalam air tergenang tanpa aerasi selam 2 jam 30 menit. Rangsangan terakhir lola diriskan pada karung basah selama 25 menit. p. Metode pengeringan dan penyemprotan air. Induk lola dibiarkan di dalam bak fiber glass tanpa aerasi selama 1 jam, kemudian disemprotkan air segar selama 15 menit. 2. Oksigenasi. Teknik perangsangan berupa air tergenang dan aerasi kuat. a. Induk lola dibiarkan di dalam air tergenang tanpa aerasi selama 8 jam b. Lola diletakkan di dalam ember dengan sedikit air dan diberi aerasi kencang dari dasar ember selama 8 jam. Percobaan perlakuan di atas dilakukan sejak pagi atau siang hari dan dihentikan sekitar pukul 06.00 sore. Lola kemudian dimasukkan ke dalam bak pemijahan berupa aquarium dengan kapasitas 70 liter yang di cat gelap dan tertutup rapat, dengan asumsi kondisi bak pemijahn gelap atau fiber dengan kapasitas 2.3 ton. Air yang di pakai untuk pemijahan adalah air laut yang disaring melalui net plankton (63 mikron). Selama percobaan induk tidak di beri aerasi. Pengamatan dilakukan setiap 1 jam sekali, dan dihentikan sampai dini hari atau dihentikan bila tidak terlihat tanda-tanda lola akan memijah seperti induk pasif di dasar bak dan mengumpul di sudut-sudut bak. Gejala akan terjadi pemijahan tampak pada tingkah laku induk yang cenderung aktif dan merayap di dinding bak. Induk yang akan memijah siphonnya (saluran exhalent) tegang membentuk pipa yang lurus. Sel-sel kelamin akan dikeluarkan melalui organ saluran exhelent, sperma berwarna putih susu keluar seperti kabut tipis, sedangkan telur berbentuk butiran yang berwarna hijau dengan lapisan chorion yang menyelubunginya. Pelaksanaan pemijahan Telah diketahui bahwa lola termasuk moluska yang memijah sepanjang tahun, siklus reproduksinya mengikuti siklus bulan. Sebagian besar proses pemijahan terjadi pada malam hari kwarter keempat sampai pertama siklus bulan (bulan gelap sampai menuju bulan baru) (Nash, 1993; Pradina, 1996). Sehingga pada proses pelaksanaan pemijahan dilakukan mengikuti aktivitas pemijahan pada periode tertentu siklus bulan, yaitu pada malam hari pada kwarter keempat sampai pertama siklus bulan (bulan gelap sampai bulan baru, yang terdiri 7 atau 8 hari dengan kisaran selang waktu 2 hari sekali. Pemijahan di mulai tanggal 21 sampai 6 penanggalan hijriah atau jawa. Penetasan Telur Setelah induk memijah mengeluarkan sperma dan telur, maka minimal sekitar 15-30 menit perlu dilakukan pengenceran karena diperkirakan telur sudah dibuahi dan secara mikroskopis telur sudah mulai membelah. Pengenceran telur dimaksudkan untuk menjaga kepadatan tidak terlalu tinggi. Selain itu juga berguna untuk membersihkan sisa-sisa sperma karena sperma memiliki kandungan protein tinggi sehingga mudah mengalami pembusukan. Pengaturan kepadatan ini sangat penting, karena telur yang terlalu padat dapat menyebabkan sebagian besar telur kekurangan oksigen dan mengalami kematian. Beberapa literatur menunjukkan bahwa telur yang berhasil menetas hanya telur-telur yang berada di dalam kolom air dan memperoleh cukup oksigen. Pengenceran dilakukan dengan cara menyaring air hasil pemijahan dengan saringan bermata jaring 63 mikron untuk mendapatkan telur yang telah dibuahi. Telur yang telah tersaring dan bersih kemudian dipindahkan ke dalam bak pemeliharaan larva dan anakan. Air bak pemijahan yang terbuang diganti dan kembali di beri aerasi, sedangkan pembersihan kotoran dilakukan pagi harinya. Pemeliharaan dilakukan dengan sistem air statis dan diberi aerasi kecil.
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
Pemeliharaan Larva dan Anakan Setelah telur menetas, dilakukan penyortiran untuk menentukan kepadatan larva. Kepadatan penebaran pada pemeliharaan larva yang belum terlihat secara visual tidak dihitung secara mendetail karena kesulitan dalam melakukan penghitungan, kebutuhan pakan maupun areal masih sangat terbatas. Namun pada umumnya berkisar 5-20 per cm, berdasarkan estimasi pada pengambilan di beberapa bak pemeliharaan dengan luasan 3 m2. Selanjutnya kepadatan akan dikurangi dengan bertambahnya ukuran anakan lola sampai mencapai kepadatan ideal 100 ekor per m2 areal (dasar maupun dinding bak pemeliharaan) Pemeliharaan larva dilakukan dengan menggunakan sistem air statis (tergenang) dalam aquarium (ukuran 60 x 40 x 40cm) dan bak fiberglass (2.3 ton). Dalam pemeliharaan digunakan air laut yang dilewatkan pada saringan plankton bermata jaring 60 mikron atau lebih kecil. Pergantian air dilakukan bilamana media pemeliharaan sudah terlalu kotor (2 kali seminggu) atau pada pengenceran juvenil ke bak pemeliharaan lain. Pengamatan kualitas air dilakukan secara periodik yang meliputi suhu, salinitas dan Ph. Pakan lola berupa diatom penempel seperti Navicula dan Nitzschia dilakukan perbanyakan skala laboratorium untuk kemudian dikultur semimassal pada aquarium. Selain itu dicoba pemberian pakan berupa organisme yang menempel pada kolektor berupa waring, patahan batu karang dan seng plastik bergelombang yang dibiarkan terendam air laut selama beberapa hari. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pemijahan dengan berbagai teknik perangsangan disajikan dalam tabel 1. Dari 30 kali pemijahan yang dilakukan antara Juni – Oktober 2008, 26 kali gagal atau tidak ada induk lola yang memijah mengeluarkan sperma atau sel telur dan 4 kali berhasil memijah. Masa pemijahan yang berhasil terdiri dari 1 pemijahan ansinkron dimana hanya jantan yang mengelurakan sperma, dan 3 pemijahan sinkron (jantan dan betina memijah) yang memberikan hasil cukup baik dan berhasil di ikuti perkembangannya sampai fase anakan. Penerapan teknik perangsangan dengan rangsangan kombinasi dan oksigenasi merupakan serangkaian proses pengalaman dan informasi dari penelitian-penlitian terdahulu yang pernah dilakukan. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Dwiono et al., (1997) bahwa pemberian aerasi kencang selama 6-8 jam dan perlakuan air tergenang selama 12 jam telah berhasil memijahkan lola. Namun setelah dilakukan penelitian ulangan di Laboratorium UPT Loka Konservasi Biota Laut Tual pada tahun 2008, pemberian rangsangan aerasi kencang atau air tergenang tidak cukup memaksa induk lola untuk memijah. Penelitian dari Maret sampai Agustus 2008 menunjukan bahwa lola mampu memijah setelah diberi rangsangan kombinasi (Edward et al., 2008). Berdasarkan informasi dan pengalaman tersebut maka pada penelitian ini digunakan rangsangan kombinasi dan oksigenasi dengan beberapa modifikasmodifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemijahan terjadi karena serangkaian proses yang merupakan kerjasama antara faktor internal (kematangan kelamin dan kesiapan mengeluarkan kelamin) dan faktor eksternal seperti kualitas air, periode pemijahan, dan teknik perangsangan. Seringkali pada percobaan pemijahan, induk lola menunjukan tingkah laku memijah, seperti menegangnya saluran exhalent yang biasanya rileks, dan individu-individu lola aktif merayap didinding, namun ternyata lola masih belum berhasil memijah. Kondisi tersebut tidak menunjukan bahwa kondisi gonad induk belum matang, karena beberapa analisa histologi menunjukkan gonad dalam kondisi siap mengeluarkan gamet. Hal tersebut menunjukan bahwa gonad akan siap mengeluarkan gamet jika faktor lingkungannya sesuai. Seperti yang dinyatakan oleh Giese (1959) bahwa pemijahan berhasil karena 2 faktor utama yaitu kesiapan faktor internal dan eksternal
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
Tabel 1. Kegiatan pemijahan lola dengan metode perangsangan : Kombinasi dan Okigenasi 1 2 3
24/06/2009 25/06/2009 28/06/2009
Jumlah Induk 23 20 61
4 5 6 7 8
09/07/2009 13/07/2009 16/07/2009 18/07/2009 20/07/2009
25 50 25 30 42
9
22/07/2009
42
10 11 12 13 14 15
24/07/2009 27/07/2009 29/07/2009 13/08/2009 15/08/2009 18/08/2009
30 30 37 37
16
20/08/2009
30
17
22/08/2009
30
18 19 20
24/08/2009 26/08/2009 10/09/2009
30
21 22 23 24 25
11/09/2009 17/09/2009 10/10/2009 12/10/2009 13/10/2009
30 20 30 33 30 dan 27
26
15/10/2009
30
27
16/10/2009
28
17/10/2009
20, 25, dan 68
29 30
26/10/2009 30/10/2009
136 136
No
Tanggal Pemijahan
39
20
Metode Perangsangan Alami Alami Dua kelompok perlakuan: Aerasi Kuat Air tergenang Penjemuran dan aerasi Kuat Manipulasi Lingkungan Aerasi kuat Penjemuran dan aerasi kuat Dua kelompok perlakuan: Penjemuran+aerasi kuat Air tergenang Dua kelompok perlakuan : Penjemuran dan aerasi kuat Air tergenang Metode kombinasi Penjemuran dan air tergenang Rangsangan arus dan kenaikan suhu Pentirisan dan aerasi kuat Penjemuran dan air tergenang Penjemuran, aerasi kuat dan pentirisan Penjemuran, pentirisan, air tergenang dan aerasi kuat Penjemuran, pentirisan dan aerasi kuat Pentirisan dan aerasi kuat Pentirisan dan aerasi kuat Dua kelompok perlakuan : Penjemuran dan aerasi kuat Penjemuran dan air tergenang Metode kombinasi Aerasi kuat Air tergenang dan Aerasi kuat Air Tergenang Dua kelompok perlakuan: penjemuran dan aerasi kuat penjemuran dan air tergenang Dua kelompok perlakuan : air tergenang, aerasi kuat, pentirisan penjemuran, air tergenang, pentirisan Aerasi kuat Tiga kelompok perlakuan penjemuran, air tergenang, dan aerasi kuat aerasi kuat, air tergenang, dan pentirisan pengeringan dan penyemprotan air pemijahan spontan pemijahan spontan
Hasil Pemijahan Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah
Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah
Lola tidak memijah
Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah
Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah Lola tidak memijah
Lola tidak memijah
Lola memijah ansinkron (sperma) Lola memijah, 16 jantan 5 betina (pengeringan dan penyemprrotan). Sedangkan 2 perlakuan lainnya memijah setelah dipindahkan sehingga tidak diketahui berapa yang memijah. Lola memijah spontan Lola memijah spontan
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
Selama masa penelitian ini, 26 kali perlakuan rangsangan yang diberikan tidak berhasil membuat lola memijah. Kegagalan tersebut disebabkan oleh banyak faktor yaitu ukuran induk yang belum siap memijah, periode juni-agustus merupakan aktivitas reproduksi minimum, kesehatan induk yang menurun, dan kurang segarnya air pemijahan. Pada periode pemijahan bulan Juni sampai September, penelitian mengalami kendala yaitu keterbatasan memperoleh induk karena adanya sistem sasi pada beberapa daerah penghasil lola, sehingga induk yang digunakan dalam pemijahan jumlahnya sangat terbatas (150 ekor) dan memiliki ukuran diameter kurang 6,0 cm. Secara teoritis, dengan ukuran diameter 6,0 cm induk lola sudah memiliki kematangan seksual. Namun dengan ukuran tersebut diperkirakan induk baru akan memijah sehingga diduga induk belum siap mengeluarkan sel kelamin. Kegagalan pemijahan banyak terjadi pada periode pemijahan bulan Juni sampai Agustus. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pada bulan Juni dan Juli untuk percobaan di Perairan Maluku menunjukkan aktivitas reproduksi minimum. Penelitian Dwiono et al. (1997) menunjukan pada bulan Juli sampai Agustus lola tidak pernah berhasil memijah, begitu juga pada penelitian Edward et al. (2008) tidak berhasil memijahkan lola sinkron pada pemijahan bulan Juni dan Juli. Hal tersebut di duga karena bulan Juni sampai Agustus bukan periode bulan alamiah lola untuk memijah. Pemijahan yang tidak berhasil juga di duga karena pemakaian induk yang sama dalam periode pemijahan Juni sampai September. Frekwensi pemberian rangsang pada induk yang sama, tidak didikuti dengan pemberian makanan tambahan, sehingga induk lola yang digunakan dalam percobaan tersebut kekurangan makanan. Kondisi tersebut berakibat patal, di mana sebagian besar induk tidak bugar. Hal tersebut terlihat dari banyaknya induk yang tidak mampu bertahan selama percobaan, bahkan induk yang digunakan dari bulan Juni sebagian besar mengalami kematian. Dalam proses pemijahan, induk lola cenderung memiliki keberhasilan pemijahan lebih besar jika dilakukan terhadap induk yang segar dan dilakukan pada malam hari kwarter keempat sampai pertama siklus bulan ( bulan gelap sampai menuju bulan baru). Siklus reproduksi lola mengikuti siklus bulan dan umumnya memijah disekitar bulan penuh dan bulan baru di setiap bulannya (Nash, 1993). Penelitian sampai bulan Oktober 2009 menunjukkan bahwa periode puncak pemijah terjadi pada bulan Oktober 2009, di mana empat kali berhasil memijah, tiga kali terjadi pemijahan sinkron, dan satu kali pemijahan ansinkron. Dari tiga kali pemijahan sinkron, dua kali terjadi pemijahan spontan/alami dalam arti terjadi pemijahan tanpa pemberian rangsangan apapun kecuali penggantian air. Hal tersebut memberi dugaan pada periode tersebut induk lola berada dalam kondisi matang gonad, siap untuk memijah sehingga dengan penggantian air telah berperan sebagai perangsangan pemijahan. pemijahan spontan yang terjadi dapat menjadi petunjuk tentang periode alami Trochus niloticus yaitu pada sekitar bulan Oktober. Penelitian Dwiono et al. (1997) menunjukkan bahwa jenis lola di Perairan maluku memiliki musim pemijahan alami pada bulan Maret sampai Juni dan Bulan September sampai Agustus. Periode-periode tersebut merupakan peralihan musim yaitu musim barat ke timur dan musim timur ke barat. Pada penelitian ini, bulan Oktober bisa juga di sebut sebagai epidemic spawning karena terjadi proporsi individu yang memijah sangat tinggi, hampir sebagian besar induk yang di rangsang berhasil mengeluarkan sel gamet. Tanggal 17 Oktober (28 hijriah), ada 16 induk jantan yang berhasil mengeluarkan sperma dan 5 betina yang mengeluarkan telur pada perlakuan pengeringan dan penyemprotan. Sedangkan pada 2 perlakuan kombinasi di duga sebagian besar induk memijah (jumlah induk 45 ekor), bila di lihat dari jumlah telur dan sperma yang dikeluarkan sangat padat dibandingkan dengan dengan jumlah gamet yang dikeluarkan kelompok perlakuan pengeringan dan penyemprotan. Jumlah induk yang mengeluarkan gamet tidak diketahui, karena percobaan di hentikan setelah kelompok lola pada perlakuan pengeringan dan penyemprotan telah berhasil memijah, sehingga proses pengeluaran sperma dan telur kelompok perlakuan kombinasi tidak diketahui. Selama penelitian jumlah individu jantan yang memijah selalu lebih banyak dari jumlah individu betina. Hal tersebut disebabkan variasi gonad antar individu jantan lebih rendah jika dibandingkan dengan kondisi gonad kelompok betina yang cenderung bervariasi. Kisaran waktu pemijahan satu siklus reproduksi pada indvidu jantan lebih serempak (sinkron) atau
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
berbarengan, dibandingkan betina yang lebih bervariasi. Sehingga pada satu periode pemijahan seringkali frekuensi memijah betina lebih sering. Pengamatan terhadap pola pemijahan lola menemukan bahwa fenomena pemijahan ansinkron terjadi pada individu jantan. Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa individu jantan lebih sering memijah ansinkron dari pada individu betina. Hal tersebut menunjukan bahwa individu jantan dapat memijah setiap bulan, sepanjang tahun, sedangkan betina tidak demikan. Nash (1993), Aripin dan Purwati (1994), dan Pradina (1997) mengasumsikan bahwa populasi Trochus dapat memijah sepanjang tahun berdasarkan sampel gonad yang ditemukan dalam kondisi matang setiap bulan. Namun hanya individu jantan yang dapat memijah setiap bulan, sedangkan pada betina tidak. Hann (1993) memperkirakan bahwa satu siklus reproduksi betina memakan waktu kira-kira 8 siklus bulan, dengan jarak antar periode pemijahan 1-2 bulan. Sedangkan Nash (1993) memperkirakan satu siklus reproduksi berlangsung 2-4 bulan. Perkembangan Telur dan Larva Pembuahan lola terjadi secara eksternal, induk jantan memijah terlebih dahulu, disusul dengan induk betina dengan selang waktu 30 menit. Induk jantan mengeluarkan sperma yang berwarna putih krem, menyembur secara berlahan seperti kabut tipis. Proses pengeluaran sperma oleh induk jantan berlangsung 2-5 menit dan dikeluarkan dengan beberapa kontraksi, di mana 16 induk jantan memijah secara serentak. Selama proses pemindahan, individu jantan tetap mengeluarkan sperma. Telur yang dikeluarkan oleh betina berwarna hijau tua dengan ukuran diameter sekitar 176 ± 4 µm, yang dibungkus dengan lapisan transparan (Foto A). Telur yang dikeluarkan oleh induk betina terjadi pada dasar bak dengan dengan cara kontraksi beberapa menit. Pada penelitian tahun 2008, induk betina mengeluarkan telur pada posisi sedang merayap diatas permukaan. Hal tersebut membuktikan bahwa kemungkinan memijah antara individu-individu betina yang ada di dasar bak dan individu-individu yang merayap dipinggir bak adalah sama. Pengamatan mikroskopis pembuahan telur dan perkembangan larva disajikan dalam bentuk foto. Foto B, C, D, dan E mengambarkan pembelahan sel yang terjadi selama masa perkembangan embryo. Pembelahan pertama terjadi 30 menit setelah fertilisasi (Foto C). Fase morula terjadi 7 jam setelah fertilisasi (Foto E). Pada akhir perkembangan, embryo membentuk trochofor yang sudah memiliki bulu-bulu getar (cilia) yang merupakan alat gerak pada stadium awal larva (Foto F). Proses telur menetas menjadi trochofor terjadi setelah setelah 9 jam dari terjadinya pembuahan. Pada fase awal perkembangan larva, secara mikroskopis terlihat larva trochofor yang bergerak berlawanan arah dengan jarum jam, gerakan masih lambat dengan bulu-bulu getar disekitar tubuhnya, dan masih terbungkus lapisan transparan (charion). Setelah umur 15 jam dari fertilisasi, larva trochofor sudah berenang bebas, charion yang membungkus tubuhnya sudah pecah, bulu-bulu getar disekitar tubuhnya semakin jelas (Foto G). Dwiono et al. (1997) menyatakan waktu yang dibutuhkan telur untuk menetas menjadi larva trochofor adalah 9-10 jam setelah menetas. Kikutani dan Yamakawa (1999) menunjukkan angka 10-12 jam sebagai waktu yang dibutuhkan oleh telur menetas menjadi larva trochofor. Secara garis besar pemijahan menunjukkan bahwa, karena secara visual jumlah telur yang dikeluarkan induk betina terlalu padat, maka telur yang dihasilkan perlu diencerkan. Pengenceran telur dimaksudkan untuk menjaga kepadatan tidak terlalu tinggi. Untuk penebaran telur tersebut digunakan 2 bak fiberglas, 1 bak beton dan 1 aquarium. Pengenceran dilakukan sekitar 30 menit setelah fertilisasi, karena secara teoritis telur sudah dibuahi dan secara mikroskopis sudah terjadi fase pembelahan awal. Pengaturan kepadatan dilakukan untuk mengurangi kematian dan meperbesar peluang telur menetas menjadi trochofor. Kepadatan yang tinggi dapat menyebabkan telur kekurangan oksigen karena dalam media penetasan telur oksigen yang diberikan dengan lemah menjadi tidak efektip. Hasil penelitian Dwiono et al. (1997) dan Edward et al. (2008) memunculkan dugaan bahwa telur yang berhasil menetas hanya telur-telur yang berada di dalam kolom air dan dan memperoleh cukup oksigen. Pengenceran dilakukan dengan cara mengambil telur di dalam bak pemijahan dan melewatkan dalam saringan modifikasi 63 mikron.
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
Dalam perkembangan selanjutnya larva trochofor berkembang dan mulai terbentuk organ renang baru (velum) pada umur 21 jam setelah fertilisasi (Foto H). Pada umur 26 jam larva veliger berkembang, cangkang sudah terlihat jelas lengkap dengan operkulum, bersama itu mulai tumbuhnya kaki yang berfungsi untuk merayap didasar (Foto I). Menjelang berakhirnya masa planktonis, organ baru mulai tumbuh yang terlihat seperti tonjolan yang terbentuk pada bagian posterior larva yaitu kaki yang berbentuk seperti hurup T (Foto J). Terbentuknya kaki seperti hurup T pada larva veliger mulai terjadi pada umur 36 jam, dan pada saat tersebut larva lola mulai melakukan aktivitas antara berenang dan menempel di dasar atau di dinding bak pemeliharaan. Pada masa ini, larva veliger masih tetap menggunakan cadangan makanan (kuning telur) sebagai sumber makanan utama dan mulai mencari substrat yang sesuai untuk menempel dan melanjutkan hidup sebagai binatang merayap (Kikutani and Yamakawa, 1999). Setelah umur 3-4 hari, pediveliger mulai menempatkan substrat yang sesuai dan mulai bermetamorfoses kehilangan organ velum (Foto K). Proses metamorfosis merupakan fase kritis dalam kehidupan larva, karena pada fase ini terjadi perubahan besar, dimana terjadi perpindahan dari kehidupan melayang ke kehidupan merayap. Lola bersifat lecithotrophic, yaitu moluska yang memiliki cadangan makanan (Nash, 1993). maka pada fase ini dimulainya pencarian makanan dari luar sebagai sumber energi. Dalam mempersiapkan proses metamorfosis dan mengurangi tingkat mortalitas yang tinggi, maka kembali dilakukan pengenceran pada media pemeliharaan larva sampai mencapai kepadatan ideal. Pada fese metamorfosis kebutuhan pakan dan areal pemeliharaan sudah mulai bertambah, sehingga penanganan yang kurang baik dapat menyebabkan kematian larva, karena ketidaksesuaian habitat maupun persedian makanan yang kurang memadai. Hal tersebut terlihat, mulai dari telur menetas menjadi trochofor sampai fase pediveliger, pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan terdapat telur yang gagal menetas (pecah dipenuhi mikroorganisme), larva-larva yang mati, dan cangkang-cangkang larva lola yang sudah kosong dan tampak transparan Kematian larva pada fase-fase tersebut coba diatasi dengan cara menambah bak-bak pemeliharaan larva yang baru (bak kayu dan aquarium). Selain itu, selama pemeliharaan larva lola diberikan algae cokelat (diatom penempel) yang ditumbuhkan pada bak-bak pemeliharaan. Pergantian air dilakukan setiap dua kali dalam seminggu minggu dan dipelihara dengan sistem air statis yang diberi aerasi. Sementara itu, pengamatan terhadap post-larva berumur 5 hari menunjukan organ velum pada larva mulai hilang diganti dengan 2 antenula yang berbentuk seperti capit dan larva lola sudah hidup sepenuhnya sebagai binatang merayap (Foto L). Fase metamorfosis larva lola dalam perkembangan fase juvenil disajikan dalam Foto M, N. O, dan P. Ciri utama yang terlihat dari fase metamorfosis adalah cangkang semakin terlihat jelas, mengulir pada bagian apexnya (sipnning top). Periode metamorfosis berlangsung singkat, di mana pada umur 22 hari, juvenil lola sudah terlihat secara visual langsung dengan mata telanjang, meskipun bentuk cangkang masih belum sempurna berbentuk kerucut. Pada fase juvenil umur 22 hari, juvenil lola memiliki ukuran diameter antara 0,5 sampai 1 mm. Keterangan Gambar : Foto A. Fase telur matang (mature). Foto B. Fase pembelahan mitosis 2 sel, 30 menit setelah pertilisasi. Foto C. Fase Pembelahan mitosis 4 sel, 75 menit setelah fertilisasi. Foto D. Fase Pembelahan mitosis 8 sel, 2 jam setelah fertilisasi. Foto E. Fase Stadia morula, 7 jam setelah fertilisasi. Foto F. Fase Stadia trokhofor awal, di mana telur menetas menjadi larva trokhofor yang masih dibungkus lapisan chorion, bergerak berlawanan jarum jam dengan bulu-bulu getar (cilia), 9 jam setelah fertilisasi. c = cilia. Foto G. Fase trokhofor yang sudah berenang bebas, 14 jam setelah fertilisasi. Foto H. Fase veliger dengan organ renang baru (velum), cangkang mulai berkembang (pre-torsion), 21 jam setelah fertilisasi. v = velum Foto I. Fase veliger. Cangkang larva berkembang sempurna (torsion), lengkap dengan operkulum bersama dengan mulai tumbuhnya kaki yang berfungsi untuk merayap di dasar. Umur 26 jam setelah fertilisasi. Foto J. Kaki seperti hurup T terlihat berkembang, dan larva veliger memulai kehidupan menempel dan merayap di dasar. Umur 36 jam setelah fertilisasi.f = foot Foto K. Fase pediveliger, 3 hari setelah fertilisasi. Foto L. Fase metamorfosis, di mana larva lola mulai kehilangan organ velumnya ( larva lola 5 hari).
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan Foto M, N. O, dan P. Fase postlarva 9, 16, 17, dan 22 hari.
A
D
B
E
C
F
c
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
G
J
f
H
K
v
L
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
M
O
N
P
KESIMPULAN Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Induk lola cenderung memiliki keberhasilan pemijahan lebih besar jika dilakukan terhadap induk yang segar, air pemijahan baru dan dilakukan pada periode pemijahan. 2. Keberhasilan suatu pemijahan dipengaruhi dua faktor yaitu faktor internal (matang gond, kesiapan memijah, kesehatan induk) dan faktor eksternal (periode pemijahan, kualitas air, dan teknik perangsangan. 3. Metode perangsangan kombinasi cukup efektip dalam merangsang sel-sel kelamin keluar. 4. Pengaturan kepadatan penebaran berpengaruh terhadap tingkat mortalitas larva dan pertumbuhan juvenil. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama Febrianalisa Valentine, Rosmi N. Pesillete, Ahmad Ainarwowan, Muhammad Selayar, Abdul K. Yamco, Aliyadi dan Wahid Madi yang telah membantu sepenuh tenaga untuk berhasilnya kegiatan budidaya Trochus niloticus di UPT Loka Konservasi Biota Laut LIPI-Tual.
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Z. 1993. Sebaran geografis, habitat, dan perikanan siput lola (Trochus niloticus) di Maluku. Perairan Maluku dan Sekitarnya. Hal. 93-101Da Silva, Dallas. 2001. The Torres Strait trochus fishery. SPC Trochus Information Bulletin. 8 November : 2-3. Aripin, Z dan Purwati, P. 1994. Conservation and sistainable use of lola gastropod (trochus niloticus L.) in Banda Islands Indonesia. A Report submitted to MAB-UNESCO and EMDICanada. 44 hal. Braley, R. 1993. Notes on trochus (lola) production in Maluku Province, Eastern Indonesia. SPC Trochus Information Bulletin 2, 4-9. Cesar, H., “Economic analysis of Indonesian coral reefs: Toward environmentally and socially sustainable development”, Work in Progress. Environment Department, 1-97 (1996). Dwiono, S. A. P., Pradina, dan P.C. Makatipu. 1997. Teknologi Produksi Benih Lola (Trochus niloticus L.) Suatu Alternatif Pemulihan Sedian Alami Di Kepulauan Banda dan Lease. Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu. Balai Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Dwiono, S. A. P., Edward. D., Pradina, dan P.C. Makatipu. 1995. Pembenihan lola (Trochus niloticus) di laboratorium. Seminar Biologi XI, kampus UI Depok, 23-27 juli 1995. 11 hal. Edward, Agus. K, U. E. Hernawan, dan T. Triandiza. 2008. Upaya Pelestarian Lola (Trochus niloticus) dan Kima (Tridacna sp.) Melalui Budidaya Pembenihan di Laboratorium. Laporan Akhir Proyek Penelitian DIPA. UPT Loka Konservasi Biota Laut Tual. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Giese, A.C. 1959. Comparative physiology : Anual reproductive cycle of marine invertebrates. Ann. Rev.Physiol, 21:546-576. Haan, K.O. 1993. The reproductive cycle. In CRC Handbook of culture of abalone and other marine gastropods. CRC press, Boca Raton Florida, 13-39. Heslinga, G. A. 1980. Report On Palau’s Trochus Project. South Pacific Commission Fisheries Newsletter. 20: 4-8. Kikutani, H and H. Yamakawa. 1999. Marine Snails Seed Production Towards Restocking Enhancement Basic Manual. JICA and FAO, 59 hal. Lawrence, C., “Aquaculture in Western Australia: Trochus. Department of Fisheries”, http://www.gov.au/westfish/aqua/broc/aqwa/Trochus/Trochus.04html, diakses 17 April 2003. Pradina. 1998. Pola pengeluaran oosit pada Trochus niloticus, suatu analisa historeproduksi. Prosiding Seminar Kelautan LIPI-UNHAS, Ambon Maret 1998. Memacu IPTEK Kelautan Untuk Menyongsong Era Globalisasi. Balitbang Sumberdaya Laut, Puslitbang Oseanografi-LIPI : 121-131. Pradina, S. A. P. Dwiono, P. C. Makatipu, dan E. Danukusumah. 1996. Percobaan pemijahan lola Trochus niloticus L. (Gastropoda) di laboratorium. Perairan Maluku dan Sekitarnya 10: 59 – 69. Pradina dan Dwiono, S.A.P.1994. Karekteristik fase-fase perkembangan ovaria lola, Trochus niloticus (Molluska, Gastropoda). Perairan Maluku dan Sekitarnya 8: 15-21. Purcell1, S. W. dan Chan L. Lee. 2001. Testing the efficacy of restocking trochus using broodstock transplantation and juvenile seeding – an ACIAR-funded project. SPC Trochus Information Bulletin. 7 Januari : 3 – 8. Winston, F.P., & Grayson, J.E. 1998. The Australian Marine Molluscs Considered to be Potentially Vulnerable to the Shell Trade”, A Report Prepared For Environment Australia. Australia Museum. Sidney. 1-23 .
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan
Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 3-4 Desember 2009, Sekolah Tinggi Perikanan