Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Pemisahan Ion Kromium (VI) dan Nikel dari Limbah Industri Elektroplating dengan Proses Reverse Osmosis
Aisyah Endah Palupi Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Surabaya Kampus Ketintang - Surabaya 60231 Telp. (031)82998487; Fax. (031)8292957 Email:
[email protected] Abstrak Salah satu tahapan dari industri elektroplating adalah pembilasan, dimana pada tahap tersebut menghasilkan limbah cair yang mempunyai kandungan kromium hexavalent dan nikel yang berbahaya, beracun, dan bersifat karsinogenik. Makalah ini berisikan tentang penyisihan kromium hexavalent dan nikel menggunakan teknologi reverse osmosis. Operasi pemisahan dilakukan secara batch pada suhu kamar. Pengaruh tekanan operasi dan % recovery terhadap laju alir, TDS, dan turbiditas permeate RO dipelajari dalam penelitian ini. Reverse osmosis diobservasi sebagai proses yang paling efektif dalam penyisihan kromium hexavalent dan nikel. Dari pembelajaran dapat diketahui bahwa terjadi perubahan laju alir permeate RO pada berbagai tekanan, perubahan TDS umpan dan permeate. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan rejeksi membran reverse osmosis dari total kromium dan nikel adalah sebesar 100 %. Kata kunci : hexavalent kromium, nikel, elektroplating, reverse osmosis
Pendahuluan Dalam beberapa tahun belakangan ini, kewaspadaan publik terhadap pengaruh ion logam berat yang terlarut dalam air atau limbah semakin meningkat [1]. Logam berat seperti kromium, kadmium, timah dan nikel yang terkandung dalam limbah cair industri elektroplating dapat menghasilkan polusi lingkungan dan mempunyai pengaruh negatif pada kesehatan manusia [2]. Kromium di lingkungan ditemukan dalam bentuk Cr (III) dan Cr (VI). Ion Cr (VI) mempunyai kelarutan yang sangat tinggi dalam air [3]. Para pekerja dalam industri elektroplating mempunyai resiko tinggi terkena kanker paru-paru jika terkena Cr (VI) [4]. Dalam larutan, Cr (VI) dapat menyebabkan iritasi mata, tenggorokan, dan hidung. Sebaliknya ion Cr (III) mempunyai toksisitas yang relatif rendah dan cenderung berada dalam bentuk kompleks dengan hidroksida yang tidak larut pada pH netral [3]. Sejak detoksifikasi alami tidak dapat merubah secara sempurna ion Cr (VI) menjadi Cr (III), maka perlu dilakukan pengontrolan terhadap limbah hasil elektroplating [3]. Ion nikel yang terdapat dalam limbah elektroplating dapat menyebabkan kanker paru-paru dan kanker sinus-nasal pada pekerja [4]. Nikel juga mempunyai potensi menyebabkan iritasi pada kulit yang sensitif [4].
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B -
1
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Elektroplating atau lapis listrik atau penyepuhan merupakan deposisi lapisan tipis pelindung (biasanya logam) ke dalam permukaan logam yang telah dipersiapkan menggunakan proses elektrokimia [5]. Benda yang dikenai pelapisan harus merupakan konduktor [6]. Proses elektroplating terdiri dari pretreatment (pencucian, degreasing, dll), pelapisan, pembilasan, passivating, dan pengeringan. Dalam proses elektroplating, objek yang akan dilapisi biasanya digunakan sebagai katoda pada tangki elektrolit [5]. Jenis larutan elektrolit yang sering digunakan adalah asam, basa, dan ion kompleks seperti sianida. Skematik sel elektroplating dapat dilihat pada Gambar 1. Pelapisan nikel dan kromium secara umum bertujuan untuk membuat benda mempunyai permukaan yang lebih keras, mengkilap dan tahan terhadap korosikarat [4]. Jasa plating krom pada kendaraan bermotor dan mobil dilakukan untuk skala kecil dan menengah. Skala industri besar dilakukan untuk sektor produksi seperti kursi, suku cadang kendaraan bermotor dan mobil, dan lain-lain [6]. Suatu industri elektroplating di Purbalingga mengalami kesulitan dalam mengolah limbah yang mengandung kromium dan nikel. Teknik pengolahan limbah konvensional seperti presipitasi dan filtrasi akan menghasilkan limbah padat, sedangkan proses elektrokimia juga digunakan untuk penyisihan logam berat tetapi efisiensinya kurang dan tidak ekonomis. Pada masa lalu, aplikasi Reverse Osmosis dalam industri elektroplating terbatas [7]. Teknik separasi RO menawarkan lingkup dan potensial yang tinggi, seperti kemudahan operasional, kebutuhan energi yang lebih sedikit dan selektifitas yang tinggi [8]. Reverse Osmosis merupakan teknik pemisahan air dari larutan dengan mendorong larutan melalui membran semipermeabel menggunakan tekanan. Aliran produk murni membran disebut permeate dan aliran pekat yang mengandung konsentrasi garam terlarut yang tinggi disebut konsentrat. Sistim membran RO crossflow filtration membiarkan aliran konsentrat menyapu molekul yang tertahan dan untuk mencegah permukaan membran dari clogging atau fouling [7]. Membran RO merupakan penghalang semua garam terlarut dan molekul anorganik/organik dengan berat molekul >100. Garam terlarut tertahan 95% hingga lebih dari 99% [9]. RO digunakan dalam industri elektroplating untuk penyisihan logam berat sekaligus untuk pemurnian air [10]. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Indonesia no.18 Tahun 1999, limbah elektroplating yang mengandung ion kromium dan nikel adalah termasuk kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) [11]. Dalam penelitian ini dipelajari pengaruh tekanan dan % recovery terhadap laju alir permeate dan total dissolved solid (TDS) pada limbah elektroplating selama proses reverse osmosis, sehingga dapat memenuhi syarat baku mutu limbah keluaran elektroplating dari pemerintah Indonesia.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B -
2
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
(+)
(-)
n+
M
Mo
Larutan elektrolit
Sumber Arus DC
Gambar 1. Skematik Sel Elektroplating
Membran PERMEATE UMPAN BERTEKANAN
KONSENTRAT
PERMEATE
Gambar 2. Reverse Osmosis Cross-flow Filtration
Eksperimental Bahan Umpan asli yang digunakan adalah 10 L limbah cair elektroplating yang mengandung nikel dan kromium hexavalent. Larutan HCl dan NaOH digunakan untuk pengasaman dan penetralan. Tahap reduksi menggunakan larutan sodium bisulfite (NaHSO3). Tabel 1. Karakterisasi Limbah Elektroplating Sifat Nilai pH 6,9 6+ Cr , ppm 16,0298 Ni, ppm 0,9874 TDS, ppm 197 Warna Kuning terang
Eksperimen Penyisihan ion kromium hexavalent dan nikel dari limbah elektroplating melalui 4 tahap, yaitu :
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B -
3
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Tahap reduksi (tahap 1). Proses reduksi dimaksudkan untuk mengubah Cr (VI) menjadi Cr (III). Larutan yang digunakan untuk mereduksi adalah sodium bisulfite (NaHSO3) menurut reaksi berikut : Cr6+ + 3e
NaHSO3
Cr3+
Tahap reduksi bisa berlangsung pada kisaran pH 2-3 dengan penambahan larutan HCl.
Tahap penetralan (tahap 2). Tahap penetralan dilakukan dengan penambahan larutan NaOH sampai pH 8,5 untuk menghasilkan endapan kromium (III) hidroksida Cr(OH)3 dan nikel hidroksida Ni(OH)2 yang tidak beracun. Cr3+ + NaOH
Cr(OH)3
Ni2+ + NaOH
Ni(OH)2
Tahap ultrafiltrasi (tahap 3). Larutan hasil penetralan merupakan umpan membran ultrafiltrasi. Tahap ultrafiltrasi dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan umur dari sistim membran reverse osmosis. Pemilihan ultrafiltrasi akan memaksimalkan efisiensi dan umur membran dengan meminimalkan fouling, kerak, dan degradasi membran.
Tahap reverse osmosis (tahap 4). Permeate membran ultrafiltrasi diumpankan ke dalam membran reverse osmosis. Penelitian dilakukan pada tekanan 3 dan 5 bar. Operasi reverse osmosis dilakukan dengan mengembalikan aliran konsentrat ke dalam tangki umpan. Setiap penambahan recovery 10 % dilakukan pengukuran laju alir permeate, TDS, dan COD. NaHSO3
HCl
NaOH Produk
Umpan
1 Tahap Reduksi, pH 2-3
2 Tahap Netralisasi, pH 8,5
3 Ultrafiltrasi
4 Reverse osmosis
Gambar 3. Skema Tahapan Penelitian Analisa Analisa laboratorium yang diberikan pada akhir proses adalah sebagai berikut : Total Dissolved Solid (TDS) Pengukuran TDS dilakukan dengan menggunakan alat TDS meter (TDS-3 HM Digital). Konsentrasi nikel dan total kromium Konsentrasi nikel dan total kromium dalam sampel dianalisa dengan menggunakan AAS.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B -
4
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Chemical Oxygen Demand (COD) COD digunakan sebagai pengukuran oksigen yang ekuivalen dengan kandungan organik dari sampel yang rentan terhadap oksidasi oleh oksidan kimia kuat. Metode yang digunakan dalam analisa ini adalah Standard Methode.
Feed
Retentat Permeat
3
2
4
1
Keterangan : 1. Tangki feed 2. Pompa 3. Modul membran 4. Tangki umpan
Gambar 4. Rangkaian Alat
Hasil dan Pembahasan Laju Alir Permeate. Penelitian dilakukan dengan mengumpankan limbah elektroplating dari tahap 3 menuju membran reverse osmosis. Pengukuran laju alir dilakukan setiap penambahan 10 % recovery. Tekanan diaplikasikan untuk mendorong larutan, air, dan molekul lain yang mempunyai berat molekul rendah untuk dapat melewati membran mikropori RO [7]. Pengaruh tekanan operasi dan % recovery terhadap laju umpan telah dipelajari dalam penelitian ini. Hasil tersebut diperlihatkan oleh gambar 5. Pada % recovery yang sama, laju alir permeate tekanan 3 bar lebih kecil dibandingkan laju alir permeate tekanan 5 bar. Tekanan yang lebih tinggi menyebabkan suatu larutan mempunyai kemampuan yang lebih untuk melewati membran sebagai permeate sehingga laju alir permeate juga semakin besar. 14
J (L/ja m)
12 10 8 6
3 bar
4
5 bar
2 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
% Recovery
Gambar 5. Pengaruh Perubahan Tekanan Operasi dan Faktor Recovery Terhadap Laju Alir Permeate RO Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B -
5
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Pada tekanan yang sama setiap kenaikan 10 % recovery, maka laju alir permeate menurun dan suatu saat akan berhenti pada nilai dimana tekanan osmotik konsentrat mempunyai nilai yang sama dengan tekanan umpan [9]. Didalam sistim membran, umpan limbah elektroplating akan terpisah menjadi dua aliran yaitu aliran produk murni atau permeate dan aliran garam konsentrasi tinggi atau konsentrat. Aliran konsentrat yang dikembalikan ke dalam umpan akan menaikkan konsentrasi garam dalam umpan. Dengan menggunakan daya dorong yang sama kemampuan rejeksi garam membran menurun sehingga laju alir permeate menurun [9]. Pada akhir operasi, penurunan laju alir permeate signifikan. Konsentrasi garam yang sangat tinggi dalam umpan menyebabkan kemampuan larutan untuk melewati membran menjadi sangat rendah dengan menggunakan daya dorong yang sama.
Konsentrasi Garam Terlarut
TDS (ppm)
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpankan limbah elektroplating dari tahap ultrafiltrasi menuju membran reverse osmosis. Pengukuran TDS umpan dan permeate dilakukan setiap kenaikan 10 % recovery. Dalam sistim membran RO, proses pemisahan didasarkan pada perbedaan ukuran partikel. Reverse osmosis dapat digunakan untuk memisahkan solute dengan berat molekul rendah seperti ion dan garam terpisah dari solventnya [10]. Pengaruh perubahan tekanan operasi terhadap TDS umpan RO dapat dilihat pada gambar 6. Pada tekanan yang sama, konsentrasi garam dalam umpan semakin tinggi seiring bertambahnya % recovery umpan. Aliran konsentrat yang dikembalikan ke dalam umpan akan menaikkan konsentrasi garam dalam umpan. Pada % recovery yang sama, konsentrasi garam dalam umpan untuk tekanan 5 bar lebih besar dibandingkan dengan tekanan 3 bar. Tekanan yang lebih tinggi menyebabkan kemampuan umpan untuk melewati membran semakin besar, garam yang tertahan di permukaan membran semakin banyak sehingga kandungan garam dalam konsentrat yang dimasukkan kembali ke dalam umpan semakin besar. Laju ion menembus membran dapat menyeimbangi perpindahan ion dan garam membran akibat tekanan operasi. 5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
3 bar 5 bar
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
% Recovery
Gambar 6. Pengaruh Perubahan Tekanan Operasi dan Faktor Recovery Terhadap TDS Umpan RO Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B -
6
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Gambar 7 merupakan grafik pengaruh tekanan operasi terhadap TDS permeate RO. Pada % recovery yang sama, konsentrasi garam dalam permeate semakin naik. Selama proses reverse osmosis berlangsung, konsentrasi garam dalam umpan semakin tinggi. Dengan kemampuan rejeksi garam yang sama rata-rata sebesar 93,4 % maka konsentrasi garam yang lolos ke dalam aliran produk permeate juga semakin besar. Dari grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa pada akhir operasi daya rejeksi membran RO menurun sebesar 86,3 %. Garam yang tertahan di permukaan membran dapat menyebabkan pore blocking pada permukaan membran sehingga menghambat proses penyisihan. 700
TDS (ppm)
600 500
3 bar 5 bar
400 300 200 100 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
% Recovery
Gambar 7. Pengaruh Perubahan Tekanan Operasi dan Faktor Recovery Terhadap TDS Permeate RO
Analisa Laboratorium. Hasil analisa permeate RO mengenai kandungan ion total kromium, nikel dan COD ditunjukkan oleh Tabel 2. Dari hasil analisa diatas dapat dilihat bahwa membran reverse osmosis mempunyai kemampuan rejeksi terhadap Cr total 100 % dan Ni 100 %. Sebagian besar ion kromium total telah tertahan di permukaan membran UF sebelum tahap RO karena ion kromium total dan ukuran endapan Cr(OH)3 lebih besar dibandingkan Ni(OH)2. Membran RO dapat menahan semua ion dan garam terlarut dengan berat molekul > 100. Ion kromium dan nikel serta endapan Cr(OH)3 dan Ni(OH)2 yang lolos dari tahap ultrafiltrasi dapat dipisahkan dalam membran RO. Dari data tersebut diatas dapat diketahui bahwa penggunaan RO dalam pengolahan limbah elektroplating lebih efisien dibandingkan dengan UF, penggunaan UF disini dimaksudkan sebagai tahap pretreatment yang bertujuan untuk memperpanjang umur membran RO. Produk dari RO telah memenuhi syarat baku mutu limbah dari pemerintah sehingga aman untuk dibuang atau digunakan kembali sebagai rinse water [7].
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B -
7
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Tabel 2. Hasil Analisa Kandungan Zat Dalam Permeate RO Parameter
Hasil analisa RO
Hasil analisa UF
Kromium total, ppm Nikel, ppm COD, ppm Warna
Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi 8,64 Jernih tidak berwarna
0,0693 0,1274 8,64 Jernih tidak berwarna
Parameter
Hasil analisa RO
Hasil analisa UF
Kromium total, ppm Nikel, ppm COD, ppm Warna
Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi 8,64 Jernih tidak berwarna
0,0693 0,1274 8,64 Jernih tidak berwarna
Baku mutu PP no.18 Th 1999 0,25 100 Jernih tidak berwarna Baku mutu PP no.18 Th 1999 0,25 100 Jernih tidak berwarna
Penutup Kinerja sebuah sistem reverse osmosis untuk proses pengolahan limbah elektroplating telah diobservasi. Studi ini dilakukan untuk skala laboratorium. Proses reverse osmosis ini dioperasikan secara batch. Parameter operasi volume umpan 10 L telah diteliti dan dioperasikan pada tekanan 3 dan 5 bar. Semua pengujian dilakukan pada temperatur kamar. Hasil menunjukkan bahwa komponen total ion kromium dan nikel dapat dipisahkan dengan teknik reverse osmosis sebanyak 100 % dan laju alir permeate berubah. Produk RO telah memenuhi syarat baku mutu limbah elektroplating oleh PP No.18 tahun 1999, sehingga aman untuk dibuang atau digunakan kembali sebagai rinse water. Sebaiknya dilakukan pengontrolan pH 2-3 pada tahap reduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) dan pH 8,5 pada tahap netralisasi agar semua Cr(OH)3 dan Ni(OH)2 mengendap sempurna. Daftar Pustaka 1. Edris Bazrafshan. (2006). Performance Evaluation of Electrocoagulation Process for Removal of Chromium (VI) from Synthetic Chromium Solutions Using Iron and Aluminium Electrodes. Iran. 2. Choi, D.W. and Kim, Y.H., (2003). Cadmium Removal Using Hollow Fiber Membrane with Organic Extractants, Korean J. Chem. Eng., 20(4), 768-771. 3. G. Muthuraman, Teng Tjoon Tow*, Leh Cheu Peng, Norli Ismail. (2008). Removal of Hexavalent Chromium from Plating Wastewater by Bulk Liquid Membrane, Malaysia. 4. Electroplating : A Focus on Chrome Plating 5. Environmental Guidelines for Electroplating Industry 6. Huda Syamsul, Purwanto. (2005). Teknologi Industri Elektroplating. Semarang : UNDIP 7. Reverse Osmosis Apllications for Metal Finishing Operations 8. S. Saravanan, K.M. Meera Sheriffa Begum, N. Anantharman. (2006). Removal Of Hexavalent Chromium By Emulsion Liquid Membrane Technique 9. Dow. FILMTECTM Reverse Osmosis Membran. 10. Mulder, Marcel., (1996). Basic Principles of Membrane Technology, Kluwer Academic Publisher, Dordrecht. Boston. London 11. Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1999. Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B -
8
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 EFEK PENAMBAHAN ABU SEKAM PADI TERHADAP SEBARAN BESI DARI PIGMEN ANORGANIK ALAMI DALAM BATA MERAH Akhmad Jamila, Irmina Kris Murwanib Program Magister Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya b Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
a
Abstrak. Telah dilakukan penelitian dan karakterisasi terhadap sebaran besi dari
pigment anorganik alami batu merah terhadap sistem bata merah yang terdiri dari Lempung Pejaten-Abu sekam padi-Batu merah Tajun dengan optimasi menggunakan metode Triaxial Blend. Bata merah yang dihasilkan dikarakterisasi dengan XRD, DTA/TGA, dan uji sifat fisik yang terdiri dari susut total, kuat tekan, porositas, penyerapan air dan uji garam terlarut. Sedangkan studi sebaran besi menggunakan sofware color detector. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 15 komposisi memenuhi SII. Dengan suhu pembakaran 800°C diperoleh komposisi optimum dengan komposisi 80% lempung, 15% abu sekam padi dan 5% batu merah dengan susut total 5.48%, kuat tekan 363.62 N/mm2, porositas 46.66%, penyerapan air 27.36%, dan garam terlarut 10.73%. Kata kunci :
Lempung, batu merah, abu sekam padi, homogenitas warna, dan sebaran besi.
1. PENDAHULUAN Bata merah sebagai bahan konstruksi sampai saat ini masih sangat dibutuhkan, mengingat batako sebagai pengganti bata merah masih sangat mahal harganya dibandingkan dengan harga bata merah. Penggunaan bata merah di Bali mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai bahan konstruksi sekaligus sebagai ornamen dalam arsitektur Bali tradisional maupun modern. Seperti pada pura, gapura, rumah, perkantoran, hotel, taman kota, pasar dan sebagainya. Penggunaan bata merah yang banyak di Bali seperti tersebut di atas menjadikan penting untuk memproduksi bata merah menjadi lebih, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Material utama dalam penelitian ini digunakan lempung dari desa Pejaten Badung Bali, karena selama ini bata merah sudah diproduksi di sana, namun bata merah yang dihasilkan masih memberikan warna merah yang kurang homogen. Warna merah pada bata selain dipengaruhi oleh suhu pembakaran juga jumlah kadar besi dari lempung. Untuk meningkatkan jumlah kadar besi dilakukan dengan penambahan pigmen anorganik alami dalam pembuatan bata merah. Pigmen anorganik alami yang digunakan adalah batu merah yang berasal dari Desa Tajun Kec Kubutambahan Buleleng Bali karena batu merah memiliki kadar besi yang tinggi. Selain homogenitas warna dari produk akhir bata merah yang penting adalah kuat tekan dan penyerapan air. Kuat tekan dan penyerapan air dapat diperbaiki dengan menambahkan abu sekam padi (Rahman, 1998). Dari beberapa penelitian (Harsono, 2002) yang telah dilakukan menunjukkan bahwa abu sekam padi banyak mengandung silika. Carty & Senapati (1998), menjelaskan bahwa silika berfungsi sebagai pengisi bahan yang dapat mengurangi susut selain itu dapat mendifusikan pigmen besi dari batu merah pada pembakaran.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B -
9
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 LANDASAN TEORI Melimpahnya lempung mendorong studi lebih lanjut tentang pembuatan bata yang berkualitas. Pemakaian bahan tambahan dalam produksi bata tergantung pada karakteristik produk yang dihasilkan. Untuk membuat bata merah minimal diperlukan lempung sebagai komponen plastis. Bahan tambahan ditambahkan untuk memperbaiki sifat mekanik produk dari bata merah. Penambahahan abu sekam padi sebagai komponen filler akan meningkatkan modulus patah dan mengurangi susut kering maupun susut bakar (Rahman MA, 1998). Penambahan pigment anorganik alami yang berupa batu merah dilakukan untuk mencapai homogenitas warna merah yang maksimal (Johnson 1963).
METODE PENELITIAN Eksperimen menggunakan metode segitiga terner. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lempung Pejaten Tabanan Bali, dan sebagai bahan aditif digunakan batu Merah Tajun Buleleng Bali, dan abu sekam padi dari Prambon. Peralatan yang digunakan meliputi : papan pengering, saringan 80 mesh, timbangan analitis, pot mill, Electric Kiln (Nabertherm N50), alat pengukur modulus patah (SNI 0256-1989-A), DTA/TGA model TA dengan perangkat lunak Thermal Analyst 1750 (Setaram Setsys-1750), XRF (Minipal 4), XRD 6000 Tube = Cu Kα 1,5406 Ǻ, dan FTIR (Shimadzu, 8400S). Prosedur Kerja Bahan baku dianalisis dengan XRF untuk menentukan kadar SiO2, Al2O3, Fe2O3, TiO2, MgO, CaO, K2O, Na2O. XRD untuk mengetahui kandungan mineralogi. Kemudian dibuat 15 komposisi dengan segitiga terner. Preparasi meliputi pengurangan ukuran partikel dan pencampuran bahan baku yang telah dikeringan. Campuran bahan baku sesuai prosentase masing-masing titik di milling, dikeringkan kembali untuk digerus kemudian diayak, selanjutnya ditambahkan air secukupnya sampai diperoleh campuran plastis sehingga siap dicetak dengan ukuran (7x3x1) cm3 sebanyak 15 batang setiap komposisi. Karakterisasi meliputi susut, modulus patah, porositas dan penyerapan air setelah dibakar pada suhu sintering yang ditentukan dengan alat DTA/TGA. Susut total diamati dengan mengukur panjang sampel, modulus patah diukur dengan alat modulus patah. XRD dilakukan untuk mengamati transformasi unsur/mineral pada suhu pembakaran 800oC.
HASIL DAN PEMBAHASAN Optimasi Matriks Bata Merah Hasil analisis kimia terhadap msing-masing bahan baku yang digunakan terlihat pada Tabel 1, sedangkan hasil kaarakterisasi dengan XRD nampak pada Gambar 1. Optimasi dengan metode segitiga terner untuk campuran yang terdiri dari 3 bahan (lempung, kuarsa, feldspar) dalam Gambar 2, dibuat 15 formula yang ditandai dengan
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 10
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 titik berkode A, B, C, ... , O sehingga komposisi dari setiap formula disusun dalam histogram Gambar 3. Tabel 1. Komposisi Oksida Bahan Baku Prosentase (%) Senyawa Senyawa Lempung Batu Merah Abu Sekam Padi SiO2 49,50 46,70 93,90 Al2O3 19,80 14,20 0,00 Fe2O3 23,99 22,99 0,53 TiO2 1,91 2,37 0,04 CaO 1,83 8,21 1,44 MgO 0,00 0,00 0,00 Na2O 0,00 0,00 0,00 K2O 0,65 2,99 2,73 LOI 2,29 2,59 1,33 SiO2/Al2O3 2,50 3,29 --
(c) (a) (b) Gambar 1. Difraktogram Sinar-X bahan baku (a) Lempung Pejaten, (b) Batu Merah Tajun, (c) Abu Sekam Padi.
Gambar 2. Segitiga Terner (Triaxial Blend)
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 11
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Gambar 3. Histogram Matriks Bata Merah Prosentase senyawa/oksida yang terdapat dalam setiap formula mengikuti keteraturan kenaikan atau penurunan dari bahan baku, tampak pada, Tabel 2. Tabel 4.2 Inkremen Kenaikan/Penurunan Oksida pada Segitiga Terner Inkremen Garis SiO2 Al2O3 Fe2O3 TiO2 CaO K2O MgO Na2O (+) (+) (+) (-) (-) (-) X 0.0028 0.005 0.001 0.0005 0.01 0.0023 0 0 (+) (-) (-) (-) (-) (+) Y 0.0444 0.019 0.024 0.0019 0.0004 0.0021 0 0 (-) (+) (+) (+) (+) (+) Z 0.0472 0.014 0.023 0.0023 0.0104 0.0003 0 0 Ketengan : (+) : kenaikan, (-) : penurunan Penentuan Suhu Pembakaran Hal yang terpenting dari pembuatan bata merah adalah pembakaran, yaitu pada suhu sintering. Penentuan suhu sintering dilakukan uji termal dengan metode DTA/TGA.
Gambar 4. Termogram DTA/TG Dari termogram DTA/TG pada Gambar 4. dapat diketahui reaksi yang terjadi selama pembakaran bata merah dan besarnya hilang berat. Reaksi yan terjadi selama pembakaran ditunjukkan oleh puncak-puncak endotermis A, B, dan C dan puncak eksotermis D. ∆m1, ∆m2 dan ∆m3 menunjukkan besarnya kehilangan berat sampel. Pada puncak endotermis A terjadi pada suhu 126ºC dengan hilang berat ∆m1 sebesar 6,534%. Pada suhu ini reaksi penghilangan air yang terabsorbsi secara fisik. Puncak Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 12
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 endotermis B terjadi pada suhu 226,42ºC diikuti hilang berat sebesar ∆m2 0,671%. Pada suhu ini terjadi reaksi penghilangan air kristal. Puncak endotermis C terjadi pada suhu 503,045ºC yang diikuti dengan kehilangan berat ∆m3 sebesar 5,455%. Pada suhu ini terjadi dehidrasi Ca(OH)2 menjadi CaO dan H2O serta dekomposisi bahan-bahan organik. Paama et al. (1999), menjelaskan bahwa pada sekitar suhu 100ºC terjadi penghilangan air yang terabsorpsi secara secara fisik, sedangkan air kristal hilang pada suhu sekitar 200–350ºC dan dehidrasi Ca(OH)2 terjadi pada rentang suhu 400-520ºH. Sedangkan Sousa & Holanda (2005) menyatakan bahwa penghilangan air kristal terjadi pada suhu 225ºC. Reed (1988), Boke at al. (2006), juga melaporkan bahwa senyawasenyawa organik dalam lempung umumnya teroksidasi pada suhu antara 200-700ºC. Pada suhu 785,400ºC yaitu puncak D, terjadi reaksi eksotermis memberikan informasi terjadinya prsoses sintering, pada suhu ini sudah tidak diikuti oleh hilang berat, sehingga bata merah yang terdiri dari campuran lempung Pejaten, batu merah Tajun dan abu sekam padi dapat dibakar minmal pada suhu 785,400ºC. Perubahan Fase pada Suhu 800C Perubahan fase ini dapat diamati dengan menggunakan difraksi sinar-X pada bata mentah dan bata yang telah dibakar pada suhu 800ºC. Matriks bata merah yang diamati adalah matriks J karena dianggap mewakili sistem yang diteliti.
Gambar 5. Difraktogram Sinar-X Perubahan Fase Bata Merah ( : Quartz) Pada Gambar 5. terdapat perubahan puncak-puncak selama peningkatan suhu pembakaran. Pada suhu 800ºC dapat diamati puncak anorthite maupun maghemit sudah tidak nampak dan puncak baru yang diidentifikasi sebagai puncak-puncak kuarsa. Merujuk termogram DTA/TGA Gambar 4. pada suhu 700-800°C tidak terjadi kehilangan berat, hal ini menunjukkan bahwa hanya terjadi perubahan fase kristal bahan mentah menjadi fase kuarsa. Fase kuarsa ini menunjukkan bahwa telah terjadi vitrifikasi (penggelasan) pada bata merah yang menjadikan bata merah menjadi kuat dan keras. Sebagaimana dilaporkan oleh Astuti, (1997) yang menyatakan bahwa unsur pembentuk gelas pada suhu tinggi akan mencair kemudian menjadi gelas dan kalau didinginkan akan menjadi keras. Karakterisasi Sifat Fisik Bata Merah Sistem bata merah dengan segitiga terner yang tersusun dari lempung, batu merah, dan abu sekam padi mempunyai karakter yang saling mendukung selama proses pembuatan dan produk yang dihasilkan. Lempung pembawa sifat plastis, abu sekam padi sebagai filler dan kerangka badan sedangkan batu merah sebagai pigmen warna
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 13
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 merah. Karakter tersebut antara lain kemampuan bentuk dan batas plastis pada tahap preparasi, penyusutan selama tahap pengeringan dan pembakaran, porositas, penyerapan air, kekuatan mekanik (Conrad, 1980). Susut
Gambar 6. Prosentase Susut Kering Selama Waktu Pengeringan Hasil penelitian menunjukkan bahwa lempung murni menunjukkan susut kering paling besar yaitu 6,93%, sedangkan pada komposisi matriks bervariasi yaitu antara 3,88-6,65%, matriks O menunjukkan susut kering paling besar yaitu 6,65%. Hal ini disebabkan matriks O pembawa sifat plastis (lempung 90%) lebih besar dibandingkan pembawa sifat non-plastis (abu sekam padi 5% dan batu merah 5%). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan material non-plastis (abu sekam padi dan batu merah) dapat mengurangi susut kering sesuai dengan komposisi matriks bata merah (Das et al., 2005). Dari diagram terner didapat bahwa penurunan susut kering sepanjang sumbu y seiring dengan menurunnya Al2O3 dan meningkatnya SiO2, sedangkan kenaikan susut kering sesuai dengan sumbu x dan z ditandai dengan meningkatnya Al2O3 dan menurunnya SiO2. Dengan menurunnya Al2O3 berarti menurunnya kadar air yang terikat sehingga susutnya kecil, dan bertambahnya SiO2 mengakibatkan susut akan mengecil hal ini sesuai dengan laporan Norton (1952); Carty & Senapati (1998) melaporkan bahwa keberadaan SiO2 akan membentuk kerangka matriks sehingga mengurangi susut. Pada proses pembakaran bata mentah akan mengalami susut bakar yang disebabkan oleh saling mendekatnya partikel-partikel penyusun matriks bata. Hal ini berlangsung karena perubahan komposisi bata mentah selama pemanasan sehingga terjadi pengecilan ukuran pori yang memisahkan partikel-partikel, penyusutan kristal penyusun bata, dan terbentuknya fase baru pada suhu tinggi. Perhitungan susut bakar dilakukan dengan membandingkan antara panjang kering dan panjang setelah dibakar, sedang susut total dihitung dengan membandingkan panjang plastis dengan panjang setelah dibakar (Richerson, 1982). Hasil susut total terlihat pada Gambar 7.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 14
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Gambar 7. Prosentase Susut Total Matriks Bata Merah pada Suhu 800ºC Modulus Patah Dari hasil pengujian modulus patah didapatkan nilai modulus patah bata merah sesuai dengan (SII No. 0021-78) yang dikelompokkan sesuai dengan kelas masing-masing : Kelas 25 Kelas 50 A Kelas 100 B, C, D, E, F Kelas 150 G, H, I, K, M, O Kelas 200 L Kelas 250 J, N
Gambar 8. Modulus Patah Matriks Bata Merah pada Suhu 800°C Merujuk pada segitiga terner pada Gambar 2. dapat diketahui bahwa kecenderungan modulus patah sepanjang sumbu x dan z, serta penurunan sesuai dengan sumbu y. Kenaikan dan penurunan modulus patah dipengaruhi oleh kenaikan dan penurunan Al2O3 dan Fe2O3. Hal ini sesuai dengan laporan Abadir et al., (2002) yang mengatakan bahwa penggunaan alumina selalu meningkatkan kekuatan, sedangkan Iqbal & Lee (2000) menjelaskan bahwa pembentukan kristal Al2O3 maupun mullit merupakan faktor utama kekuatan. Dari tabel 3. terlihat bahwa sampel J memiliki harga modulus patah terbesar diantara sampel yang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa sampel J dengan komposisi lempung 80%, abu sekam padi 15% dan batu merah 5% atau dengan kadar SiO2 56,02%; Al2O3 15,93%; Fe2O3 37,66% (Si/Al = 3,5158) menghasilkan harga modulus patah yang maksimum.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 15
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Porositas dan Penyerapan Air
Gambar 9. Porositas dan Penyerapan Air Setelah dibakar Suhu 800C Dari hasil pengukuran porositas, penyerapan air, susut dan kekuatan mekanik pada suhu 800C menunjukkan bahwa pada pembakaran suhu sintering berbanding lurus dengan nilai susut dan kekuatan mekaniknya dan berbanding terbalik dengan porositas dan penyerapan airnya. Hal ini sesuai yang dilaporkan oleh Vieira et al (2005) bahwa susut linear dan kekuatan mekanik akan semakin meningkat sedangkan penyerapan air dan porositas akan menurun yang disebabkan mekanisme sintering dan proses pemadatan (densification). Meningkatnya susut menyebabkan mengecilnya porositas sehingga kemampuan untuk menyerap air semakin kecil dan kekuatan akan semakin besar. Karakteristik Tampak Luar Karakteristik yang diukur dari hasil pembakaran bata dilakukan berdasarkan Standar Industri Indonesia No. 0021-78 adalah meliputi kenampakan fisik luar (bentuk dan warna) spesimen bata merah yang dihasilkan. Hasil dari pengamatan secara visual ditabelkan sebagai berikut : Tabel 4. Tampak Luar Kode Bentuk Sampel Kerataan Bidang Siku A Rata Tajam B Rata Tajam C Rata Tajam D Rata Tajam E Rata Tajam F Rata Tajam G Rata Tajam H Rata Tajam I Rata Tajam J Rata Tajam K Rata Tajam L Rata Tajam M Rata Tajam N Rata Tajam O Rata Tajam
Surabaya, 14 Pebruari 2009
Rapuh Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Warna Merah kekuning-kuningan Merah kekuning-kuningan Merah kekuning-kuningan Merah Muda Merah Muda Merah Muda Merah Muda Merah Muda Merah Merah Merah Gelap Merah Gelap Merah Gelap Merah Merah Gelap
_____________________________________ B - 16
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Warna merah pada bata diakibatkan oleh FeO yang mengalami oksidasi pada suhu tinggi menjadi Fe2O3, dan mengakibatkan kekuatan mekanis akan lebih tinggi. Warna dari hasil produksi disamping tergantung dari pembakaran, juga tergantung dari perbandingan banyaknya antara Fe2O3 dan (CaO + Al2O3). Semakin banyak Fe2O3, makin merah warnanya dan sebaliknya makin banyak (CaO + Al2O3) makin pucat warnanya (Sukandarrumidi, 1999). Nilai maksimum hasil perbandingan antara Fe2O3 dan (CaO + Al2O3) adalah 2,09 pada komposisi J, sehingga J mempunyai warna merah yang paling baik. Uji Garam yang dapat Larut Pengujian terhadap garam yang dapat larut dilakukan sesuai dengan SII No. 0021-78, Dari hasil uji garam terlarut prosentase lapisan putih berkisar antara 1,98% - 11,65% dari permukaan bata. Komposisi B mempunyai prosentase tertinggi yaitu 11,65%, sedangkan komposisi O mempunyai prosentase terendah yaitu 1,98%. Tidak ada matriks bata merah yang mempunyai prosentase garam terlarut lebih dari 50%. KESIMPULAN Karakterisasi sistem bata merah lempung Pejaten-batu merah Tajun-abu sekam padi dengan segitiga terner diperoleh komposisi yang optimum 80% lempung, 15% abu sekam padi dan 5% batu merah. Bata merah ini pada pembakaran 800oC mempunyai susut total 5,479%, modulus patah 363,526 Kg/cm2 dan penyerapan air sebesar 27,363% yang telah memenuhi SII.
Daftar Pustaka Astuti, A., (1997), Pengetahuan Keramik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Carty, M.W., and Senapati, U. (1998), “Porcelain-Raw Material, Processing, Phase Evolution, and Mechanical Behavior”, J.Am.Ceram.Soc., Vol. 81, hal. 3-20. Das, Kr.S & Dana, K., Sing, N., Sarkar, R., (2005), “Shrinkage and Strength behavior of quartzitic and kaolinitic clays in wall tile compositions”, Apllied Clay Science, Vol.29, hal.137-143. Ismunandar, (2004), Padatan Oksida Logam : Struktur, Sintesis dan Sifat-sifatnya, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Iqbal, Y., and Lee, W.E. (2000), “Microstructural Evolution in Triaxial Porcelain”, J.Am.Ceram.Soc., Vol. 83, hal. 3121-3127 Johnson, Stanley S. (1963), “Iron And Titanium Mineral Pigments In Virginia”, Virginia Minerals, Vol. 10, No. 03, hal. 1-12. Kamseu, E., Leonelli, C., Bocaccini, D.N., Veronesi, P., Miselli, P., Pellacani, G., Melo, U.C., (2007), “Characterisation of porcelain composition using two china clay from Cameron”, Ceram.Int.J., Vol. 33, hal. 851-857. Karaman S., Gunal H., Ersahin S., (2006), “Assesment Of Clay Bricks Compressive Strength Using Quantitative Values Of Colour Components”, Construction and Building Materials, Vol. 20, Hal. 348–354 Kumar, S, (2003), Brick and Ceramics Sector, Regional Energy Resources Information Center (RERIC) Asian Institute of Technology Pathumthani, Thailand.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 17
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Paama, Lilli., Pitkanen, Ilkka., Peramaki, Paavo., (2000),”Analysis Of Archaeological Samples And Local Clays Using ICP-AES, TG–DTG and FTIR Techniques”, Talanta Vol. 51., Hal. 349–357 Rahman, M.A. (1998), “Effect Of Rice Husk Ash On The Properties Of Bricks Made From Fired Lateritic Soil-Clay Mix”, J. Materials and Structures/Materiaux et Constructions., Vol. 21, hal. 222-227. Reed, J.S, (1988), Introduction to the Principle of Ceramic Processing, John Wiley & Sons, New York. Richerson, D.W, (1982), Modern Ceramic Engineering, Marcel Dekker Inc. NY. Standar Industri Indonesia (1978), Mutu dan Cara Uji Bata Merah Pejal, SII 002178, Departemen Perindustrian, RI. Sukandarrumidi, (1999), Bahan Galian Industri, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Sulistya, R., Hartanto, Dj., Murwani, Irmina K., (2006), “Karakterisasi dan Studi Sebaran Kobalt Sistem Badan Keramik Lempung Bojonegoro-FeldsparKuarsa”, Indo.J.Chem., Vol.6, hal. 138-143. Vieira, C.M.F., da Silva, P.R.N., da Silva, F.T., Capitaneo, J.L., Monteiro, S.N., (2005), “Microstructural Evaluation and Properties of a Ceramic Body for Extruded Floor Tile”, Revista Materia, Vol. 10, hal. 526-536.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 18
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
KAJIAN KARAKTERISASI SISTEM BADAN KERAMIK LEMPUNG BANGKA-KUARSA-FELDSPAR SESUAI SNI a
Amin Makmuna, Irmina Kris Murwanib Program Magister Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya b Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
Abstrak. Telah dilakukan penelitian karakterisasi dan studi sebaran kobalt terhadap sistem badan keramik yang terdiri atas Lempung Bangka-Kuarsa-Feldspar dengan optimasi menggunakan metode Triaxial Blend. Badan keramik yang dihasilkan dikarakterisasi dengan XRD, DTA/TGA dan uji sifat fisik yang terdiri dari susut total, kuat tekan, porositas dan penyerapan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 15 komposisi diperoleh 4 komposisi yang memenuhi SNI. dengan suhu optimum pembakaran untuk badan keramik dan glasir pada 1150oC. Diperoleh sistem badan keramik optimum dengan komposisi 44,00% lempung, 11,50% kuarsa dan 45,10% feldspar dengan susut total 7,25%, modulus patah 15,29N/mm2, porositas 27,98% dan penyerapan air 16,83%. Kata kunci : Lempung Bangka, kuarsa, feldspar, badan keramik, susut, modulus patah, dan penyerapan air . 1. PENDAHULUAN Melimpahnya bahan tambang mineral keramik di Indonesia seperti lempung, feldspar, pasir kuarsa, bentonit, kapur dan lain-lain, merupakan aset yang berharga bagi industri keramik. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian yang mendalam dan secara simultan terhadap kelimpahan lempung dan pasir kuarsa Bangka agar diperoleh suatu produk keramik yang memiliki kualitas yang tinggi dan pada akhirnya akan memiliki nilai jual yang tinggi pula, dan juga bisa menjadi produk unggulan mengingat Bangka menjadi propinsi sendiri. Propinsi Bangka merupakan salah satu daerah penghasil mineral-mineral keramik seperti lempung, kuarsa, feldspar dan kapur. Meskipun keberadaannya sudah banyak yang digunakan oleh para pengrajin keramik dan industri, namun penelitian dan publikasi dari karakterisasi dan optimasi campuran lempung Bangka, Feldspar, dan Pasir kuarsa masih sedikit dilakukan (Sukandarrumidi, 1999).
2. LANDASAN TEORI Untuk membuat keramik tile minimal diperlukan 3 komponen yaitu (1) clay/lempung sebagai komponen plastis, (2) feldspar sebagai komponen fluxing, dan (3) kuarsa sebagai komponen filler (Conrad, 1980; Correia et al, 2004).Lempung mengandung silika, alumina dan sedikit feldspar. Silika (SiO2) berfungsi sebagai pengisi atau pembentuk badan keramik sehingga mengurangi susut. Alumina (Al2O3) mengontrol dan mengimbangi pelelehan sehingga memberikan kekuatan pada badan keramik. Feldspar terdiri dari mineral-mineral kalium, natrium dan kalsium yang berfungsi sebagai pelebur sehingga menurunkan suhu bakar keramik. Oleh karena itu lempung merupakan bahan dasar dalam pembuatan keramik tradisional (Barsoum, 2003).
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 19
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 3. METODE PENELITIAN Eksperimen menggunakan metode segitiga terner (Triaxial Blend) Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah lempung lokal yang didatangkan dari daerah Bangka Belitung, kuarsa dari Bangka Belitung dan feldspar dari Lodoyo Blitar yang merupakan bahan baku pembuatan produk kerajinan keramik di BPTIK Malang. Alatalat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : Gelas ukur 50 ml, pipet tetes, gelas kimia 100 ml, alu dan lumpang besi, ember plastik, papan pengering, saringan 80 mesh, timbangan analitis, pot mill untuk mencampur dan menggiling pada proses reduksi ukuran bahan baku, cetakan terbuat dari besi berbentuk balok persegi panjang dengan ukuran (7x3x1) cm3, Alat pembakaran Electric Kiln (Nabertherm N50), alat pengukur modulus patah di BPTIK Malang, alat petrografi di BPPTK Yogyakarta, instrumen DTA/TGA model TA dengan perangkat lunak Thermal Analyst 1750 (Setaram Setsys-1750) untuk mempelajari reaksi termal mineral-mineral dalam sistem badan keramik di Laboratorium Balai Besar Kereamik Bandung, Spektroskopi Serapan Atom (SSA) Shimadzu untuk mengetahui kompoaiai oksida-oksida bahan baku di Laboratorium FMIPA Unibraw, Difraksi sinar-X (XRD 6000 Shimadzu, Tube = Cu Kα 1,5406 Ǻ) untuk identifikasi secara kualitatif mineral-mineral bahan baku dan transformasi mineral di Laboratorium Dasar Bersama Unair. Prosedur Kerja Bahan baku dianalisis dengan metode gravimetri untuk menentukan kadar SiO2, volumetri untuk menentukan kadar Al2O3 dan spektroskopi serapan atom untuk mengetahui kadar Fe2O3, TiO2, MgO, CaO, K2O, Na2O. XRD untuk mengetahui kandungan mineralogi. Kemudian dibuat 15 komposisi dengan segitiga terner. Preparasi meliputi pengurangan ukuran partikel dan pencampuran bahan baku yang telah dikeringan. Campuran bahan baku sesuai prosentase masing-masing titik di milling, dikeringkan kembali untuk digerus kemudian diayak, selanjutnya ditambahkan air secukupnya sampai diperoleh campuran plastis sehingga siap dicetak dengan ukuran (7x3x1) cm3 sebanyak 30 batang setiap komposisi. Karakterisasi meliputi susut, modulus patah, porositas dan penyerapan air setelah dibakar pada suhu sintering yang ditentukan dengan alat DTA/TGA. Susut total diamati dengan mengukur panjang sampel, modulus patah diukur dengan alat modulus patah. XRD dilakukan untuk mengamati transformasi unsur/mineral pada suhu pembakaran 600, 900, 1000 dan 1100oC. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Optimasi Matriks Keramik Hasil analisis komposisi kimia terhadap masing-masing bahan baku yang digunakan terlihat pada Tabel 1, sedangkan hasil karakterisasi dengan XRD dalam Gambar 1. Optimasi dengan metode segitiga terner untuk campuran yang terdiri dari 3 bahan (lempung, kuarsa, feldspar) dalam Gambar 2, dibuat 15 formula yang ditandai dengan titik berkode A, B, C, ... , O sehingga komposisi dari setiap formula disusun dalam histogram Gambar 3.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 20
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Tabel 1 Komposisi Kimia Lempung Bangka, Kuarsa dan Feldspar Senyawa
Lempung 55,050 31,430 1,000 0,180 0,000 0,350 0,900 0,080 0,990 1,7515
SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO MgO TiO2 K2O Na2O LOI SiO2/Al2O3
Prosentase Senyawa (%) Kuarsa 96,740 0,310 0,110 1,090 0,750 0,000 0,130 0,049 0,680 312,0645
Feldspar 77,060 12,070 0,160 0,380 0,050 0,250 9,150 0,330 0,600 6,3844
Gambar 1 Difraktogram Sinar-X Lempung Bangka, Kuarsa dan Feldspar (Ka=kaolinit,Al=albit, Mc=muskovit, Qz= kuarsa, Or=ortoklas) Y
Z
X Gambar 2. Diagram Terner,
Gambar 3. Histogram Komposisi Matriks Badan Keramik
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 21
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Keterangan: (+)= kenaikan (-)= penurunan Penentuan Suhu Pembakaran Uji termal ini dilakukan pada kondisi atmosfir gas oksigen sampai suhu 1400°C dengan kecepatan pemanasan 10°C/menit pada sampel I dengan komposisi 55,2% lempung, 22,7% kuarsa, dan 22,7% feldspar diperolah kurva termogram DTA/TGA pada Gambar 4. Berdasarkan hasil uji termal dapat teridentifikasi ada empat puncak . Tiga puncak endotermis (A,B, dan C), dan satu puncak eksotermis (D). Dua puncak A dan B ditunjukkan dengan penurunan berat pertama (Δm1) dan puncak C ditunjukkan dengan penurunan berat kedua (Δm2).
Gambar 4. Termogram Sampel I Puncak endotermis A terjadi pada suhu 113°C dan puncak endotermis B terjadi pada suhu 216°C, dan dari kedua puncak tersebut diikuti oleh penurunan berat (Δm1= 0,799%). Reaksi yang terjadi pada puncak endotermis A terkait dengan reaksi pelepasan air absorpsi pada badan keramik, sedangkan pada puncak endotermis B berkaitan dengan reaksi oksidasi bahan organik (Carbajal et al. 2007; Escardino et al. 1993). Besarnya penurunan berat pada kedua reaksi ini tergantung dari besarnya daya absorpsi mineral penyusun dan impuriti karbon yang terkandung dalam badan keramik. Puncak endotermis C terjadi pada suhu 539°C, memberikan informasi yang berkaitan dengan reaksi dehidroksilasi kaolinit menjadi metakaolinit yang disertai dengan penurunan berat sebesar (Δm2= 5,961%). Menurut Escardino et al (1993); Iqbal & Lee (2000); Carty & Senapati, (1998); Lopez & Rodriguez (2007) menyatakan bahwa reaksi dehidroksilasi kaolinit menjadi metakaolinit biasanya
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 22
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 terjadi pada rentangan suhu 500°C - 600°C dengan persamaan reaksi : Al2O3•2SiO2•2H2O Al2O3•2SiO2 + 2H2O Kaolinit metakaolin Chen et al (2004) memaparkan lebih jauh tentang dehidroksilasi kaolinit tersebut, bahwa dehidroksilasi dihasilkan karena adanya gangguan terhadap gugus hidroksi (OH) luar yang terdapat pada lembar oktahedral (AlO,OH)6 , tetapi tidak banyak berpengaruh terhadap gugus hidroksi (OH) luar yang terdapat pada lembar tetrahedral SiO4 selama pemanasan. Metakaolin merupakan senyawa antara menuju senyawa berikutnya (mullit). Kinetika dehidroksilasi dipercaya sebagai reaksi orde satu, menghasilkan laju dehidroksilasi secara langsung, proporsional dengan luas area kaolin (Carty & Senapati, 1998). Puncak eksotermis D yang terjadi pada suhu 997°C, memberikan informasi pembentukan fase kristalin dari metakaolin. Menurut Carty & Senapati (1998) perubahan metakaolin menjadi struktur spinel dan amorphous silika bebas terjadi pada ~ 950-1000ºC. Sedangkan Vieira et al (2005) mempelajari evolusi fase kaolinit sampai suhu 1300ºC dan menemukan bahwa mullit dan fase spinel kemungkinan terbentuk pada 980ºC, hal ini sesuai dengan pendapat Chen et al., (2004) yang menyatakan bahwa pembentukan fase spinel atau silikon yang mengandung γ-alumina terjadi pada suhu 980ºC. Perubahan Fase pada Kenaikan Suhu Pembakaran Pada penelitian ini, matriks badan keramik yang dipilih adalah matriks I karena dianggap mewakili. Perubahan fase yang terjadi diamati dengan membandingkan data hasil pola difraksi sinar-X dari badan keramik mentah dan badan keramik yang dibakar pada suhu 600, 900, 1000, 1150 dan 1200°C dari hasil analisis DTA/TGA. Pemilihan rentang suhu pembakaran tersebut berdasarkan pada; setelah reaksi dehidroksilasi kaolinit, sebelum terjadi sintering, setelah sintering, dan pembentukan mullit, sehingga dapat dijelaskan perubahan karakter badan keramik selama terjadinya peningkatan suhu. Pada Gambar 5 terlihat perubahan puncak-puncak selama terjadinya proses kenaikan suhu. Pada suhu 600°C dapat diamati puncak kaolinit talah hilang(*). Hal ini dapat dijelaskan bahwa reaksi dehidroksilasi kaolinit menjadi metakaolinit telah berlangsung secara sempurna. Merujuk pada hasil DTA/TGA (Gambar 4) reaksi dehidroksilasi kaolinit menjadi metakaolinit terjadi pada suhu 539ºC, sehingga dapat dikatakan suhu 600°C telah melampui suhu reaksi dehidroksilasi kaolinit, dan puncak-puncak yang lain tidak banyak berubah. Pada suhu 900 dan 1000°C puncak feldspar (albit dan K-feldspar) mengalami penurunan intensitas dan menghilang pada suhu 1150°C(), hal ini sesuai dengan laporan Braganca (2003) bahwa mineral feldspar melebur pada suhu 1100°C. Sedangkan puncak kuarsa mengalami kenaikan intensitas karena terbentuk fase kristalin dari kuarsa dan pada suhu 1150 sampai 1200ºC mengalami penurunan intensitas yang signifikan karena terjadi pelarutan kuarsa oleh leburan feldspar untuk membentuk massa yang lebih padat sehingga menambah kekuatan badan keramik (Lopez et al, 2007).
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 23
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Gambar 5. Difraktogram Badan Keramik pada berbagai Suhu; a) Bahan Baku; b) 600; c) 900; d) 1000 dan e) 1100oC Selain terjadinya penghilangan fase dan penurunan intensitas mineral-mineral penyusun badan keramik, terlihat juga pada data termogram sinar-X terbentuknya fase baru mullit dan kenaikan intensitas dari mullit (M) yang mulai terdeteksi pada suhu 1150°C dan intensitasnya semakin naik pada suhu 1200ºC. Menurut Chen et al (2003) terbentuknya mullit meningkat dengan peningkatan suhu pembakaran dari 1050 sampai 1300ºC. Sedangkan menurut Iqbal & Lee (2000) kehadiran mullit terdeteksi pada 1100°C dan jumlahnya meningkat maksimum sampai suhu pembakaran 1400ºC dan menurun karena mengalami pelarutan pada suhu yang lebih tinggi. Karakterisasi Sifat Fisik Badan Keramik 1. Kemampuan Bentuk dan Batas Plastis Dalam penelitian ini, terdapat 15 komposisi dalam terner (A sampai O) dengan variasi prosentase penambahan air 22,5-35%. Komposisi (A, B, D, G, K) dengan prosentase lempung 32,8% tidak layak cetak pada kondisi plastis karena kesenjangan massa plastis yang signifikan, sehingga menyebabkan partikel-partikel penyusun badan keramik tidak terikat satu sama lainnya. Sampel badan keramik A, B, D, G , K memiliki komposisi lempung sebagai pembawa sifat plastis dengan prosentase yang tetap 32,8% sedangkan komposisi pembawa sifat non-plastis bervariasi. Komposisi kuarsa dengan variasi 11,5-56,3% dan komposisi feldspar 11,5-56,3% secara bergantian. Adanya kesenjangan yang signifikan antara komposisi pembawa sifat plastis (lempung) dan komposisi pembawa sifat non-plastis (kuarsa dan feldspar) membuat campuran semakin tidak homogen yang berakibat berkurangnya kemampuan partikel-partikel lempung untuk mengikat air . Komposisi (C, E, F, H, I, J, L, M, N, O) dengan variasi prosentase lempung 44-77,6%, prosentase kuarsa 11,545,1%, dan prosentase feldspar 11,5-45,1% layak cetak pada kondisi plastis karena komposisi lempung sebagai pembawa sifat plastis bervariasi sehingga homogenitas campuran tetap terjaga. Melihat diagram terner (Gambar 2) maka kadar air dan keplastisan sesuai dengan sumbu x dan z dengan meningkatnya mineral Al2O3 dan menurunnya mineral SiO2, meningkatnya Al2O3 berarti meningkatnya kandungan mineral kaolinit yang memiliki struktur lembaran 1:1 yaitu lembaran oktahedral Al-O.OH yang bermuatan positif bersama dengan lembaran tetrahedral (Si2O5)2- yang bermuatan negatif, sehingga proses penyerapan air yang bersifat polar berjalan dengan cepat (Barsoum, 1997). Sedangkan sumbu y dengan menurunnya Al2O3 dan meningkatnya SiO2 berarti menurunnya kandungan mineral kaolinit sebagai pembawa sifat plastis dan naiknya
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 24
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 kandungan mineral SiO2 sebagai pembawa sifat non-plastis. Kenyataan ini juga didukung dari hasil analisis XRD lempung, kuarsa dan feldspar (Gambar 1) bahwa mineral Al2O3 tidak ada yang berada dalam keadaan bebas tetapi berada dalam bentuk mineral kaolinit. 2. Karakteristik Pengeringan dan Susut Hasil penelitian, matriks badan keramik O memiliki prosentase air plastis 35% dengan kandungan mineral 77,60% lempung, 11,50% kuarsa, dan 11,50% feldspar terjadi susut terbesar mencapai 3,75%. Sedangkan susut terkecil dimiliki oleh matriks badan keramik C mencapai 1,00% dengan kandungan mineral 44,00% lempung, 45,10% kuarsa, dan 11,50% feldspar dengan prosentase air plastis 30%. Melihat perbedaan yang ekstrim dari matriks badan keramik C dan O dapat dijelaskan bahwa besarnya kadar air plastis berbanding lurus dengan besarnya kadar lempung dan besarnya susut berbanding terbalik dengan besarnya besarnya kadar kuarsa (filler) (Dondi, 2007) Merujuk pada diagram terner, maka peningkatan susut kering sesuai dengan sumbu x dan z karena nilai Al2O3 meningkat dan nilai SiO2 berkurang. Sedangkan penurunan susut kering sesuai dengan sumbu y karena nilai Al2O3 berkurang dan nilai SiO2 bertambah. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan meningkatnya Al2O3 berarti meningkatnya kadar air, karena selama proses pengeringan banyak ruang kosong yang ditinggalkan oleh molekul air ditempati oleh partikel-partikel penyusun badan keramik yang pada akhirnya menyebabkan susut. Sebaliknya dengan meningkatnya SiO2 berarti keplastisan dan susut berkurang karena SiO2 memberikan struktur terbuka sehingga memudahkan gas-gas menguap dan bertindak sebagai kerangka sehingga mencegah terjadinya perubahan bentuk (Hartono, 1993). Sedangkan keberadaan oksida CaO, MgO dalam keadaan bebas akan mempercepat pengeringan dan mengurangi susut kering (Hartono, 1993) hal ini sesuai dengan sumbu y dimana terjadi peningkatan CaO dan MgO menyebabkan susut kering mengalami penurunan. K2O, dan Na2O tidak dapat dijelaskan adanya pengaruh terhadap susut pengeringan karena pada diagram terner tidak ditemukan keteraturan pada sumbu x, y, dan z. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Sulistya dkk (2006) yang melaporkan bahwa Na2O dan K2O tidak berpengaruh terhadap susut kering badan keramik.
Gambar 6. Prosentase susut kering selama pengeringan Tahap selanjutnya adalah proses pembakaran matriks badan keramik. Terjadinya susut selama proses pembakaran disebabkan oleh penghilangan air fisis, oksidasi material organik, dan pelepasan air kristal yang terikat secara kimia karena reaksi dehidroksilasi kaolinit menjadi metakaolinit yang terjadi pada suhu 539°C, terjadinya peleburan mineral feldspar pada suhu 1100ºC yang menyebabkan jarak pori-pori semakin mendekat dan dilanjutkan dengan proses pelarutan kuarsa sehingga Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 25
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 membentuk massa larutan yang mengisi pori membentuk massa yang padat dan kuat. Susut pembakaran dihitung dengan membandingkan antara panjang kering dengan panjang setelah dibakar, sedangkan susut total dapat dihitung dengan membandingkan panjang plastis dengan panjang setelah dibakar (Richerson, 1982). Pengukuran susut total dari berbagai suhu pembakaran dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Susut total pada berbagai suhu pembakaran Melihat data di atas, matriks badan keramik C memiliki susut terkecil dan matriks badan keramik O memiliki susut terbesar pada hampir semua rentang suhu pembakaran. Berdasarkan tabel komposisi matriks badan keramik C memiliki prosentase kuarsa paling besar dan lempung paling kecil dibandingkan matriks badan keramik O dengan prosentase feldspar yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa yang memberikan perbedaan nilai susut dari kedua matriks badan keramik adalah lempung dan kuarsa. Namun demikian nilai susut bakar semua matriks badan keramik yang dibakar pada suhu 1150ºC sesuai SNI. Pada diagram terner gambar.4.4 peningkatan susut sesuai dengan x dan z yaitu terjadi peningkatan Al2O3 dan penurunan SiO2 sehingga nilai Si/Al kecil, sedangkan penurunan susut sesuai dengan y yaitu terjadi penurunan Al2O3 dan peningkatan SiO2 sehingga nilai Si/Al besar. Merujuk pada hasil analisis DTA/TGA (Gambar 4) dan analisis XRD (Gambar 5) bahwa terjadinya susut pembakaran pada suhu 600ºC disebabkan adanya reaksi pelepasan air fisis, oksidasi material organik, dan dehidroksilasi kaolinit menjadi metakaolinit. Sedangkan susut yang terjadi pada suhu 900 sampai 1200ºC disebabkan terjadinya proses peleburan feldspar yang melarutkan kuarsa sehingga terjadi penggelasan dari mineral-mineral penyusun keramik yang bergerak mengisi pori-pori yang pada akhirnya badan keramik menjadi lebih padat sehingga terjadi susut total yang semakin besar. Menurut Braganca et al (2003) fase gelas dalam komponen pembakaran terbentuk karena peleburan feldspar yang berinteraksi dengan fase kristalin. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis XRD bahwa mulai terjadinya penurunan fase dari mineral pelebur pada suhu 900ºC dan akhirnya hilang pada suhu 1150ºC, karena terjadi peleburan feldspar dengan melarutkan kuarsa yang ditandai dengan penurunan intensitas kuarsa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadinya proses penggelasan dimulai pada suhu sintering 997ºC dari data DTA/TGA dan diperkuat dengan data analisis XRD. 3. Modulus Patah Pada diagram terner Gambar 2 kecenderungan kenaikan modulus patah sesuai dengan sumbu x dan z dengan meningkatnya Al2 O3 dan menurunnya SiO2. Bernando et al (2007) menyatakan bahwa peningkatan modulus patah sesuai dengan
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 26
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 peningkatan kandungan Al2O3 dalam badan keramik. Selain itu Iqbal & Lee (2000) menjelaskan bahwa pembentukan kristal Al2O3 dan mullit merupakan faktor utama kekuatan badan keramik, sedangkan Carty & Senapati (1998) menjelaskan bahwa keberadaan kristal Al2O3 juga berfungsi sebagai filler menggantikan kuarsa untuk menghindari terjadinya inversi kuarsa dan dengan demikian meningkatkan sifat-sifat mekanik badan keramik. Berdasarkan data hasil analisis XRD (Gambar 5) pada suhu 1150ºC mulai terdeteksi adanya puncak mullit dan intensitasnya semkin meningkat pada suhu 1200ºC. Hal ini sesuai dengan laporan Lopez & Rodriguez (2007) yang menyatakan bahwa mullit mulai terdeteksi pada 1050ºC dan jumlahnya meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Sedangkan Iqbal & Lee (2000) menyatakan bahwa mullit telah terdeteksi pada 1100ºC dan jumlahnya meningkat maksimum pada 1400ºC, dengan demikian maka semakin meningkatnya Al2O3 (lempung dan feldspar) maka akan menyebabkan modulus patah meningkat karena meningkatnya mullit seiring meningkatnya kenaikan suhu pembakaran. Hal ini sesuai dengan laporan Carbajal et al (2007) yang menyatakan bahwa kekuatan badan keramik semata-mata tergantung pada interlocking dari mullit, dan mengindikasikan bahwa kekuatan mekanik dengan peningkatan kandungan mullit.
Gambar 8. Modulus Patah pada berbagai Suhu Pembakaran 4. Porositas Berdasarkan Gambar 9 terdapat penurunan porositas seiring sumbu x dan z yaitu dengan naiknya Al2O3 dan turunnya SiO2., dan mengalami peningkatan porositas sesuai sumbu y yaitu dengan turunnya Al2O3 dan naiknya SiO2. Merujuk pada Tabel 1 dan hasil analisis difraksi sinar-X (Gambar 1) keberadaan oksida Al2O3 dan K2O tidak berada dalam bentuk bebas tetapi dalam bentuk mineral kaolinit dan feldspar, sehingga dengan naiknya suhu pembakaran menyebabkan terjadinya penurunan porositas karena terjadi proses peleburan feldspar dengan melarutkan kuarsa dan mineral-mineral lain sehingga terjadi penggelasan dari mineral penyusun keramik dan bergerak mengisi pori-pori dan akhirnya memadat.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 27
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Gambar 9 Porositas Matriks Badan Keramik Setelah Dibakar pada Berbagai Suhu KESIMPULAN Komposisi optimum sistem badan keramik lempung Nagara-kuarsa-feldspar adalah 43,15% lempung, 22,84% kuarsa dan 34,01% feldspar. Badan keramik ini pada pembakaran 1100oC mempunyai susut total 8,71%, modulus patah 184,8 kg/cm2 dan penyerapan air sebesar 12,21% yang telah memenuhi SNI.
PUSTAKA Alexander, B., (2000), Kamus Keramik, Milenia Populer, Bali Indonesia. Barsoum, M. (2003). Fundamental of Ceramics, Mc-Graw-Hill International. Braganca, S.R., and Bergmann, C.P., (2003), “Traditional and Glass Powder Porcelain: Technical and Microstructure Analysis” , J. Ceram. Int. Vol. 24, hal. 2383-2388. Chan, C.F., and Ko, Y.C., (1998), “Effect of CaO on the Hot Strength of AluminaSpinel Castables in the Temperature Range of 1000o to 1500oC”, J.Am.Ceram.Soc, Vol. 81, hal. 2957-2960. Carbajal, L., Rubio-Marcos, F., Bengochea, M.A., Fernandez, J.F., (2007), “Properties Related Phase Evolution in Porcelain Ceramics”, J. Europe. Ceram. Soc, Vol. 27, hal. 4065-4069. Carty, M.W., Senapati, U., (1998), “Porcelein-Row Material, Procesing, Phase Evolution, Ang Mechanical Behavior”, J. Am. Ceram. Soc, Vol. 81, No. 1, hal. 3-20. Correia, S.L., Curto, K.A.S., Hotza, D., Segadaes, A.M., (2004), “Using statistical techniques to model the flexure strength of dried triaxial ceramic bodies”, J.Eur.Ceram.Soc., Vol. 24, hal. 2813-2818. Das, Kr.S & Dana, K., (2003), “Differences in densification behavior of K-and NaFeldspar-containing porcelain bodies”, Thermochimica acta, Vol. 406, hal. 199-206.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 28
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Hartono, Y.M.V., (1993), Pengendalian Bahan Mentah Keramik, Balai Besar Industri Keramik Bandung. Iqbal, Y., and Lee, W.E. (2000), “Microstructural Evolution in Triaxial Porcelain”, J.Am.Ceram.Soc., Vol. 83, hal. 3121-3127. Lopez, S.R., and Rodriguez. S., (2007), “Characterization of Microstructure in Experimental Triaxial Ceramic body”. J. Adv. in Tech. of Mat. and Mat. Proc, Vol. 9, No. 2, hal 173-178. Sukandarrumidi., (1999), Bahan Galian Industri, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Sulistya, R., Hartanto, Dj., Murwani, Irmina K., (2006), “Karakterisasi dan Studi Sebaran Kobalt Sistem Badan Keramik Lempung Bojonegoro-FeldsparKuarsa”,Indo.J.Chem, Vol. 6, hal. 138-143. Velde, B., (1992), Introduction to Clay Minerals, Chapman & Hall, London. Vieira, C.M.F., da Silva, P.R.N., da Silva, F.T., Capitaneo, J.L., Monteiro, S.N., (2005), “Microstructural Evaluation and Properties of a Ceramic Body for Extruded Floor Tile”, Revista Materia, Vol.10, hal. 526-536.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 29
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Studi Tentang Kinetika Adsorpsi Ion Hg2+ Pada Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi Bentonit (EPKTB) Oleh Asep Supriatna, Agus Setiabudi, Ali Kusrijadi Abstrak Telah dilakukan kajian tentang kinetika adsorpsi ion Hg2+ pada elektroda pasta karbon termodifikasi bentonit (EPKTB) yang didasarkan pada kerja sensor amperometrik, dilakukan melalui dua tahap kegiatan yaitu pembuatan dan uji kinerja EPKTB dan uji analisis terhadap larutan ion Hg2+ sebagai dasar kajian terhadap kinetika adsorpsi ion Hg2+ dalam EPKTB. Kajian data optimasi penggunaan EPKTB terhadap larutan Cd2+ memperlihatkan tegangan listrik optimum sebesar 0,6 volt dan waktu kontak yang dibutuhkan sebesar 360 detik. Respon arus yang diberikan EPKTB terhadap larutan model meunjukkan peningkatan dengan bertambahnya konsentrasi larutan. Penggunaan EPKTB pada larutan uji Hg2+ memperlihatkan respon arus menurun sejalan dengan lamanya waktu interaksi EPKTB dengan larutan uji. Hal ini menunjukkan lambatnya terjadi kesetimbangan proses adsorpsi dan reduksi dari analit. Waktu optimum yang diperlukan pada analisis larutan uji sebesar 30 detik dengan batas konsentrasi analisis 4 ppm. Didasarkan pada perbandingan kadar Karbon-Bentonit dalam EPKTB, menunjukkan semakin besar perbandingan kadar Bentonit terhadap karbon semakin tinggi daya adsorpsi EPKTB. Kajian kinetika adsorpsi Hg2+ oleh EPKTB mengikuti model Freunlich, hal ini sesuai dengan karakter situs pengadsorps yang tidak seragam dalam EPKTB dan interaksi yang diramalkan berupa adsorpsi kimia dan fisik.
Kata Kunci : Kinetika adsorpsi, EPKTB, Model Freunlich
PENDAHULUAN Electroda pasta karbon (EPK) merupakan elektroda yang relatif mudah dimodifikasi secara kimia dengan wilayah aplikasi yang luas. EPK adalah campuran serbuk grafit dengan cairan pemasta dan modifier. Salah satu material yang dapat digunakan sebagai modifier adalah lempung Bentonite. Bentonit menunjukan sifat adsorpsi yang baik terhadap ion-ion logam berat. Sifat adsorpsi ini disebabkan oleh adanya
kandungan
montmorillonit
dalam
bentonite;
yaitu
sekitar
(60%).
Montmorillonite, yang tergolong lempung kationik, memiliki struktur berlapis dengan ion positif pada fasa inter-layer. Kation interlayer inilah yang menjadikan montmorillonite memiliki sifat adsorpsi. Beberapa studi tentang sifat adsorpsi bentonite dan zeolit telah dilakukan oleh pengusul dan kelompok peneliti pengusul. Studi tersebut adalah: studi adsorpsi limbah vinase pada bentonit (Supriatna, 2005), adsorpsi pengotor dalam Crude Palm
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 30
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Oil..(CPO) dan Coconut Oil
(CNO) oleh bleching earth bentonit teraktivasi
(Supriatna, 2005), Pengkajian kapasitas pertukaran ion dan kinetika adsorpsi lempung terhadap ion Pb2+, menunjukkan kecenderungan terjadinya adsorpsi isotermis model Langmuir dengan tingkatan kapasitas adsorpsi optimum sebesar 80 % (Degsy, 2006). Adsorpsi ion Hg2+ pada Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi Bentonite (EPKTB), merupakan proses yang penting untuk digunakan sebagai komponen peralatan sensor Hg2+. Pengetahuan tentang kinetika adsorpsi ion oleh elektroda Pasta Karbon dapat memberikan informasi tentang batas kinerja EPKTB sebagai sensor Hg2+.
Batas kinerja dimaksud, misalnya,: Potensial prekonsentrasi optimum ,
konsentrasi maksium dan waktu.
TINJAUAN PUSTAKA Sensor Kimia dan Sensor Elektrokimia Sensor kimia adalah alat yang digunakan untuk mendeteksi atau mengukur sesuatu yang digunakan untuk mengubah variasi mekanis, magnetis, panas, sinar, dan kimia menjadi beda potensial dan arus listrik (Petruzella, 2002). Sensor kimia merupakan miniatur perlengkapan analitis yang dapat memberikan informasi adanya senyawa atau ion tertentu dalam suatu sampel. Biasanya proses pengenalan terhadap analit dengan cara mengubah informasi kimia ke dalam sinyal listrik atau sinyal optik. Sensor kimia dapat juga digunakan sebagai sensor elektroaktif yang menimbulkan sifat selektif dan spesifik terhadap suatu analit tertentu. Sensor amperometrik dan sensor potensiometrik adalah bagian dari sensor elektrokimia, yaitu sensor yang prinsip kerjanya didasarkan pada reaksi elektrokimia. Biasanya sensor jenis ini memiliki tiga buah elektroda yaitu sensing electrode, working electrode dan reference electrode. Sensor amperometrik mengukur arus yang dihasilkan dari reaksi elektrokimia yang melibatkan analit di mana arus ini sebanding dengan konsentrasi analit. Sedangkan sensor potensiometri mengukur konsentrasi analit dengan cara mengukur potensial yang dihasilkan dari reaksi elektrokimia yang melibatkan analit.
Adsorpsi Adsorpsi adalah proses penyerapan suatu zat (adsorbat) pada permukaan suatu bahan penyerap (adsorben). Berdasarkan mekanismenya, adsorpsi dibagi dua jenis, yaitu: Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 31
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 1).
Adsorpsi secara fisika Interaksi antara adsorben dengan adsorbat pada prinsipnya adalah gaya
elektrostatik, termasuk interaksi dipol-dipol, interaksi dispersi, dan ikatan hidrogen. Adsorbat dapat diserap karena adanya gaya tarik menarik yang relatif lemah dengan permukaan adsorben. Adsorbat tidak tertarik secara kuat sehingga adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian permukaan ke bagian permukaan lain. Adsorpsi ini berlangsung cepat, reversibel, dan kalor adsorpsinya rendah. 2).
Adsorpsi secara kimia Pada adsorpsi secara kimia pendekatannya adalah atraksi antara adsorben
dengan adsorbat ikatan kimia kovalen atau elektrostatik antara atom-atom yang memiliki ikatan yang lebih pendek dengan ikatan yang berenergi lebih tinggi. Adsorpsi secara kimia tidak reversibel, terjadi pada suhu tinggi, dan kalor adsorpsinya juga tinggi. Mekanisme terserapnya adsorbat pada adsorben terjadi melalui empat tahap, yaitu: Berpindahnya solut dari larutan menuju lapisan sekitar adsorben (bulk transport),.Solut terdifusi melalui lapisan tipis (film diffusion), Difusi solut melalui pori atau kapiler menuju sisi adsorben (diffusion pore)., Penyerapan solut pada permukaan adsorben. Adsorpsi Isotherm Terdapat beberapa jenis model adsorpsi isotherm yang dihubungkan dengan jenis adsorpsi yang terjadi. Langmuir
Kemisorpsi pada permukaan ideal
Freundlich
Kemisorpsi dan adsorpsi fisik
Temkin
Kemisorpsi
Brunauer-Emmett-Teller
Adsorpsi fisik multilayer
Persamaan adsorpsi Model Langmuir adalah sebagai berikut
KC (1 KC )
= fraksi permukaan (EPKTB) yang tetutupi adsorbat K = konstanta yang sebanding dengan kads/kdes dan tergantung pada temperatur C = konsentrasi adsorbat dalam larutan
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 32
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Penggunaan Model adsorpsi Langmuir didasarkan pada beberap asumsi : a.
Situs adsorpsi bersifat eqivalen
b.
Interaksi antara molekul yang terikat dengan situs pengadsorp kuat
c.
Hanya satu molekul adsorbat yang dapat terikat pada satu situs pengadsorp
Oleh karena itu model ini bersifat ideal dan jenis adsorpsinya didasarkan pada interaksi kimiawi antara adsorbat dan pengadsorp. Persamaan adsorpsi Model Adsorpsi Freunlich adalah sebagai berikut
aC b = fraksi permukaan (EPKTB) yang tetutupi adsorbat a, b = konstanta C = konsentrasi adsorbat dalam larutan Model adsorpsi Freunlich lebih sesuai dengan situs aktif pengadsorp dari permukaan yang tidak seragam. Oleh karea itu interaksi material pengadsorps dengan zat adsorbat dapat bersifat interaksi kimiawi maupun fisik. Persamaan adsorpsi Model Adsoprsi Tempkin adalah sebagai berikut
r ln sC = fraksi permukaan (EPKTB) yang tetutupi adsorbat r, s = konstanta C = konsentrasi adsorbat dalam larutan Model adsorpsi Tempkin lebih sesuai dengan situs aktif pengadsorp dari permukaan yang tidak seragam. Namun interaksi material pengadsorps dengan zat adsorbat hanya bersifat interaksi kimiawi .
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini diawali dengan pembuatan EPK dan EPKTB dari karbon yang dipastakan dan dicampur dengan mineral bentonit. Selanjutnya dilakukan aplikasi penggunaan EPKTB terhadap larutan Hg2+, data yang dihasilkan digunakan untuk mengkaji mekanisme dan kinetika adsorpsi Hg2+ oleh EPKTB.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 33
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Variabel Experimen
Informasi yg. Dihasilkan
Aspek Kinetika yangdapat dikaji dan LuaranData
Beda Potensial Prekonsentrasi
Pengaruh potensial thd kapasitas serapan
• Laju adsorpsi rata -rata
Konsentrasi Ion Analit
Kapasitas serapan EPKTB sebagai fungsi konsentrasi
• Rentang konsentrasi adsorpsi oleh EPKTB
Waktu prekonsentrasi
Kapasitas serapan EPKTB sebagai fungsi konsentrasi
• Waktu optimum proses prekonsentrasi
Perbandingan kadar CBentonit
Kapasitas adsorpsi
• Potensial optimum
• Model Isoterm adsorpsi
Laju adsorpsi dengan perbedaan perbandingan Karbon - bentonit
Gambar 1. Skema Studi Mekanisme Adsorpsi pada EKPTB dalam Kondisi Aplikasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Aplikasi EPKTB pada Prekonsentrasi Larutan Model Hg2+ Respon Arus Respon arus yang terukur pada saat prekonsentrasi larutan Hg2+ 0,1 ppm dan 1 ppm selama 30 detik dengan potensial prekonsentrasi 0,6 volt. Pada semua perlakuan waktu dari 0 hingga 3 menit respon arus belum stabil hingga waktu 30 detik, dapat dilihat dari penurunan arus terukur yang relatif tajam. Gejala ini terjadi, baik pada sampel larutan analit model 1 ppm maupun 0,1 ppm. Hal ini disebabkan karena transfer elektron dari proses reduksi belum konstan, sebanding dengan jumlah Hg2+ yang tereduksi menjadi Hg.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 34
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 2.5
2.0
R espondA rusA
Larutan analit model 1 ppm Hg2+
1.5 Larutan analit model 0.1 ppm Hg2+ 1.0
0.5
0.0 0
20
40
60
Waktu prekonsentrasi (detik)
Gambar 2. Respon arus pada proses prekonsentrasi 1 menit larutan Hg2+ 0,1 dan 1 ppm pada beda potensial 0,6 volt mengunakan EPKTB.
Kapasitas Adsorpsi Hg2+ Sebagai Fungsi Waktu dengan EPKTB pada Dua komposisi Karbon-Bentonite Konsentrasi ion Cd2+ teradsorpsi pada potensial 0.6 volt dengan konsentrasi awal Hg2+ sebesar 3,872 ppm dan komposisi karbon-bentonit 4:2 dan 5:1, diamati pada waktu prekonsentrasi 30 sampai dengan 360 detik. Komposisi bentonite pada elektroda sangat berpengaruh terhadap kapasitas adsorpsinya. Elektroda dengan komposisi karbon-bentonit 4:2 memiliki kapasitas adsorpsi sekitar 1,5 kali kapasitas adsorpsi elektroda dengan komposisi karbon-bentonit 5:1. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa adsorpsi berlangsung melalui interaksi ion Hg2+ dengan bentonite. Laju adsorpsi ion Hg2+ oleh elektroda berlangsung secara cepat pada awal proses prekonsentrasi. Setelah sejumlah Hg terdeposisi pada elektroda adsorpsi semakin lambat. Disamping karena jumlah Hg2+ dalam larutan sudah berkurang, situs-situs adsorbat sudah ditempati oleh Hg yang tereduksi.
Nilai maksimum
kapasitas adsorpsi lebih cepat dicapai oleh elektroda dengan komposisi bentonite yang lebih banyak. Data ini mengindikasikan bahwa mekanisme adsorpsi oleh bentonite lebih mendominasi dibandingkan mekanisme adsorpsi yang disebabkan perbedaan potensial prekonsentrasi yang diterapkan.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 35
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
3
2
2+
[Hg ] teradsoprsi (ppm)
4
1
0 0
100
200
300
400
Waktu pre konsentrasi (detik)
Gambar 3. Kapasitas adsorpsi EPKTB terhadap larutan 3,872 ppm Hg2+ pada berbagai waktu prekonsentrasi. Pengujian kapasitas adsorpsi terhadap larutan Hg2+ yang lebih rendah (1,2975 ppm) menunjukkan bahwa setelah tahap prekonsentrasi, keseluruah ion Hg2+ yang terdapat dalam larutan seluruhnya terserap. Hasil pengujian ini ditunjukkan pada Gambar 4. Data ini mengindikasikan kapasitas adsorpsi elektroda masih di atas nilai konsentrasi analit. Akan tetapi, karena analisa dengan cara stripping voltametri dilakukan setelah tahap prekonsentrasi berdasarkan nilai arus yang dilepas ketika Hg yang terdeposisi dioksidasi kembali, maka data ini tidak menunjukkan batas konsentrasi analisis.
1.4
R e s p o n dA ru s A
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0
20
40
60
Waktu prekonsentrasi (detik)
Gambar 4. Kapasitas adsorpsi EPKTB terhadap larutan 1,2975 ppm Hg2+ pada berbagai waktu prekonsentrasi.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 36
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Kapasitas Adsorpsi EPKTB sebagai Fungsi Konsentrasi EPKTB hasil preparasi ternyata memiliki kapasitas adsorpsi yang terbatas. Walaupun konsentrasi larutan Hg2+ model yang digunakan ditingkatkan, ternyata setelah konsentrasi larutan model Hg2+ mencapai konsentrasi 4 ppm jumlah konsentrasi yang terserap tidak mengalami peningkatan yang berarti. Jumlah pasta carbon-bentonite sebanyak 2 gram diperkirakan maksimum mengurangi konsentrasi sebesar 3.5 ppm dari 20 mL larutan awal dengan konsentrasi sekitar 4.8 ppm. Dengan menganggap kapasitas adsorpsi maksimum sebesar 3,26 gram, berdasarkan percobaan ini, dilakukan analisa perilaku kinetika adsorpsi oleh elektroda. Data ini juga mengindikasikan bahwa pada konsentrasi analit 4 ppm dan konsentrasi yang lebih tinggi, elektroda akan mengadsorpsi ion Hg2+ dalam jumlah yang relatif sama. Dengan demikian jika dilakukan proses stripping voltametri, lautan Hg2+ 4 ppm tidak dapat dibedakan dengan larutan pada konsentrasi di atasnya. Pada komposisi karbon bentonite seperti ini, konsentrasi Hg2+ 4 ppm merupakan batas maksimum analisis.
2+
Konsentrasi Hg terserap(ppm )
4
3
2
1
0 0
1
2
3 2+
Konsentrasi Hg
4
5
6
larutan model (ppm)
Gambar 5. Kapasitas adsorpsi EPKTB terhadap larutan analit model Hg2+ sebagai fungsi konsentrasi. Kinetika Adsorpsi Hg2+ pada EPKTB Mekanisme adsorpsi ion Hg2+ pada EPKTB Berdasarkan sifat-sifat material yang digunakan sebagai elektroda dan perilaku adsorpsi yang ditunjukkan secara experimen adsorpsi Hg2+ oleh EPKTB pada proses prekonsentrasi diperkirakan berlangsung melalui mekanisme sebagaimana diuraikan sebagai berikut. Ion Hg2+ akan teradsorpsi secara kimia pada material bentonite. Adsorpsi mula-mula terjadi pada permukaan elektroda dilanjutkan dengan difusi ion
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 37
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 dalam struktur internal elektroda. Pada komposisi bentonite yang tinggi (seperti pada perbandingan karbon bentonite = 4: 2), adsorpsi pada permukaan akan berlangsung secara cepat sebagaimana ditunjukkan oleh tingginya pengurangan kadar Hg2+ dari larutan model. Adsorpsi pada pada permukaan elektroda oleh komponen bentonit tidak perlu menerapkan arus listrik/beda potensial. Ion Hg2+ teradsorpsi akan tereduksi menjadi bentuk logamnya setelah diterapkan arus listrik/beda potensial. Proses ini dapat dirangkum dalam Table 1. Tabel 1 Rangkuman proses adsorpsi dan reduksi (prekonsentrasi) pada EPKTB Tahapan/Reaksi
Kondisi
2+
Adsorpsi ion Hg pada B permukaan: CB—2Na
+
+
2+
Hg
2+
CB—Hg
+ 2Na
+
Reduksi ion Hg2+ CB—Hg2+ + 2e- CB—Hg Difusi internal Hg2+ ke dalam B non permukaan CBCB(Na+)CBCB—Hg + Hg2+ CBCBCBCB—Hg + Na+ Hg2+ Reduksi Hg2+ teradsorpsi internal CBCBCBCB—Hg
+ 2e-
2+
Hg
CBCBCBCB—Hg
Laju
Adsorpsi kimia tanpa Cepat penerapan arus/beda potensial Reduksi dengan Lambat penerapan arus/beda potesial Menggunakan Lambat potensial prekonsentrasi sebagai driving force Reduksi dengan penerapan arus/beda potesial
Cepat
Hg
Keterangan: C = Karbon, B = Bentonite, Hg
2+
teradsorpsi melalui mekasnisme ion exchange
menggantikan Na+ yang terkandung dalam bentonite (montmorilonite). Model Adsorpsi ion Hg2+ pada EPKTB Untuk memperkirakan jenis adsorpsi yang terjadi (mono/multi layer, adsorpsi kimia/fisika, adsorpsi permukaan/internal), data kapasitas adsorpsi sebagai fungsi konsentrasi dianalisis berdasarkan model-model adsorpsi yang berlaku dalam adsorpsi gas dan larutan pada adsorben. Model adsorpsi yang digunakan adalah model Langmuir, Freunlich dan Tempkin. Metode analisis yang digunakan adalah iterasi nonlinier curve fitting, menggunakan program Sigma Plot 10. Selain itu, iterasi nonlinier curve fitting juga dilakukan dengan menggunakan persamaan matematis standar yang mungkin, yaitu persamaan yang menghasilkan bentuk kurva Sigmoid.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 38
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Kurva hasil fiting data experimen terhadap persamaan model ditunjukkan pada Gambar 6. Sedangkan hasil kriteria statistik dari iterasi nonlinier curve fitting ini ditunjukkan pada Tabel 2. Kurva hasil fiting data experimen terhadap persamaan model Tempkin tidak ditampilkan karena syarat parameter statistik tidak terpenuhi (tidak konvergen). Hasil ini bersesuaian dengan yang dilaporkan pada literatur yang menunjukkan bahwa adsorpsi ion logam (Cd
2+
) pada serbuk bentonit memenuhi
persamaan isotherm adsorpsi Freundlich. Perbedaan antara kondisi eksperimen dengan literatur adalah sebagai berikut. Adsorpsi ion Hg 2+ oleh EPKTB memiliki dua driving force, konsentrasi ion Hg adsorpsi ion Cd
2+
2+
dan potensial yang diterapkan. Sedangkan pada
sebagaimana pada (Marchal 1999), hanya memiliki konsentrasi
sebagai driving force. Disamping itu morfologi material bentonite pada EPKTB berupa campuran dengan material karbon berbeda denga morfologi serbuk bentonite yang dilaporkan pada literatur. Walaupun demikian karena adsorpsi ion lebih didominasi oleh proses kimia, maka keberadaan arus listrik tidak mempengaruhi model adsorpsinya.
x = data percobaan
b
ax/x0) )
Fraksi Hg2+teradsorpsi
1.0
a = 1.0120 b =-2.7621 c = 1.6074
0.8 Langmuir 0.6
Freundlich
0.4
0.2
0.0 0
1
2
3
Konsentrasi larutan model Hg
4 2+
5
6
(ppm)
Gambar 6. Kurva fitting nonlinier terhadap data eksperimen adsorpsi Hg 2+ pada berbagai konsentrasi berdasarkan model adsorpsi Langmuir, Freundlich, Tempkin dan persamaan matematis bentuk sigmoid Berdasarkan model yang ada, hasil fitting nonlinier data experimen menunjukkan bahwa adsorpsi ion Hg
2+
pada EPKTB lebih cocok/memenuhi model Freundlich.
Model ini menunjukkan terjadinya proses Chemisorption dan physical adsorption yang terjadi pada permukaan EPKTB, model Freundlich ini dapat berlaku untuk adsorpsi solut dalam larutan pada adsorben (Gates, 1991)
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 39
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Table 4.2 Kriteria statistik dan parameter yang dihasilkan pada pengujian model adsorpsi terhadap data eksperimen adsorpsi Hg2+ pada berbagai konsentrasi berdasarkan model adsorpsi Langmuir, Freundlich, Tempkin dan Sigmoid Model
R (Std Error)
Parameter (Std error)
Langmuir
0.9378 (0.1621)
a 1.0000
(0.4948
Freundlich
0.9945 (0.0601)
a 0.3176 (0.0577)
Tempkin
-
-
Persamaan Sigmoid
1.000 (0.00)
a =1.0120
b0.7390(0.1274)
b =-2.7621
x0 = 1.6074
KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Penggunaan EPKTB terhadap larutan Hg2+ menunjukkan waktu optimal yang dibutuhkan sebesar 30 detik dengan batas konsentrasi analit 4 ppm. 2. Peningkatan kadar bentonit dalam perbandingan karbon-bentonit EPKTB meningkatkan daya adsorpsi EPKTB terhadap ion Hg2+ 3. Model kinetika adsorpsi Hg2+ dalam EPKTB mengikuti model Freundlich. Model ini
menunjukkan terjadinya proses Chemisorption dan physical
adsorption yang terjadi pada permukaan EPKTB.
DAFTAR PUSTAKA Collila, Montserrat; Darder, Margarita.(2005). Amperometric Sensors Based on Mercaptopyrydine-Montmorillonite Intercalation Compound. Journal of American Chemical Society. Degs Y. S. ; Tutunji M. F.; Baker H. M. Isothermal and kinetic adsorption behaviour of Pb[2+] ions on natural silicate minerals. Online http://cat.inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt=15352365 Gates, Bruce C. (1991). Catalytic Chemistry. New York : John Willey and Sons, inc . Marchal, V. Barbier F., Plassard, F., Faure, R., Vittory, O., (1999), Determination of Cadmium in Bentonite clay mineral using Carbon Paste Electrode, Frensenius’ Journal of Analytical Chemistry 363, 710-712 Pauliukaite, Rasa.(2002). Carbon paste electrodes modified with Bi2O3 as sensors for the determinating of Cd and Pb. Journal of Anal Bioanal Chem. Petruzella, Frank D. Mengenal Sensor dan Actuator. [online]. Tersedia: http://www.caltron.co.id/modules.php?name=News&file=article&sid=11 (10 Oktober 2005)
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 40
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 PENGARUH PENGIKAT SILANGAN PADA KITOSAN BEAD TERHADAP KAPASITAS ADSORPSI ION LOGAM TIMBAL(II) Bagus Rahmat Basuki dan I Gusti Made Sanjaya Jurusan Kimia Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika, Universitas Negeri Surabaya e-mail:
[email protected] Abstrak Kitosan dan kitosan bead adalah adsorben logam berat yang baik karena memiliki gugus aktif NH2. Kemampuan adsorpsi kitosan bead terhadap ion logam berat Pb(II) diharapkan dapat ditingkatkan melalui pross pengikat silangan. Ikat silang kitosan dengan derajat deasetilasi 78,12% dan derajat ikat silang 4,809% disintesis dari kitosan bead dengan kadar penggembungan 135,982%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai kapasitas adsorpsi maksimum kitosan bead dan ikat silang kitosan terhadap ion logam timbal(II). Kemampuan adsorpsi kitosan bead dan ikat silang kitosan dihitung dengan menggunakan model isoterm adsorpsi Langmuir, yaitu menginteraksikan masing-masing kitosan bead dan ikat silang kitosan sebanyak 0,1 gram pada larutan Pb2+ dengan konsentrasi 200, 400, 600, 800, 1000, 1200 dan 1400 ppm. Variabel respon yang diamati adalah konsentrasi ion logam Pb2+ yang teradsorpsi. Kapasitas adsorpsi dari kitosan bead dan ikat silang kitosan dapat diperoleh dari grafik linieritas Langmuir. Hasil dari kapasitas adsorpsi kitosan bead adalah sebesar 3,9477.10-2 mol/gram, sedangkan kapasitas adsorpsi ikat silang kitosan adalah sebesar 4,1227.10-2 mol/gram. Kata kunci: Kitosan bead, ikat silang kitosan dan Langmuir. Abstract Chitosan and chitosan bead is the good heavy metal’s adsorben because its has NH2 active side. Heavy metal’s adsorption ability could be gained by cross linked progress. Cross-linked chitosan with 78,12% deacetylation degree and 4,809% crosslink degree, synthesed from chitosan bead with 135,982% swelling degree. The objective of this study is to know the differences of the Pb2+ metal ion adsorption capacity between chitosan bead and cross linked chitosan. Adsorption ability of chitosan bead and cross-linked chitosan obtained from Langmuir’s isotherm adsorption model. The treated was interacted 0,1 g chitosan bead and cross linked chitosan in the Pb2+ solution at concentration; 200, 400, 600, 800, 1000, 1200, and 1400 ppm. The responed variable was the concentration of metal ion-Pb2+ which has adsorbed. The adsorption capacity of chitosan bead and the chitosan’s cross-linked could be known from the graphic of Langmuir’s linearity. The result from the adsorption capacity of chitosan bead was 3,9477.10-2 mol/gram, and the adsorption capacity of cross-linked chitosan was 4,1227.10-2. Keywords: Chitosan bead, Cross-linked chitosan and Langmuir
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 41
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 1. Pendahuluan Studi tentang kemampuan adsorpsi kitosan telah banyak dilakukan. Kitosan merupakan adsorben logam berat yang baik. Hal ini dikarenakan adanya gugus NH2 sebagai gugus aktif. Gugus amina pada kitosan mempunyai kemampuan sebagai ligan pengompleks ion-ion logam transisi seperti Cu,Mo,V, logam-logam alkali dan alkali tanah. Selain itu, juga dapat digunakan sebagai pengompleks ion-ion logam pencemar air seperti Hg, Pb dan Cd. Adanya gugus amina tersebut menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas yang tinggi dalam mengikat logam timbal (Pb) dibandingkan kitin. Pengikatan logam timbal (Pb) oleh kitosan dinamakan pengkelatan atau efek kelat. Ligan bergugus NH2 dan OH merupakan ligan pengompleks logam timbal (Pb) seperti yang ditunjukkan pada gambar. CH2OH
CH2OH
O
O H
H
O
H
H
OH
N
+ Pb
2+
O
H
H
OH
N
H
H
H
Pb2+
n
H
Gambar 2.4: Pengikatan Pb(II) oleh kitosan Kemampuan adsorpsi kitosan dapat ditingkatkan dengan cara mensintesis kitosan menjadi kitosan bead. Proses penggembungan Proses penggembungan kitosan diawali oleh pelarutan kitosan serbuk dalam larutan asam asetat. Kitosan akan menggembung ketika molekul-molekul asam asetat menembus jaringannya (swollen) dan kitosan akan tersolvasi membentuk larutan kental kitosan, kemudian digumpalkan dengan basa kuat NaOH. Gugus NH2 yang terdapat pada kitosan bead memiliki afinitas lebih tinggi dibandingkan dengan gugus NH2 kitosan. Peningkatan afinitas kitosan bead mempercepat proses transfer elektron dari gugus NH2 kepada ion logam Pb(II), sehingga mempercepat proses adsorpsi dan menyebabkan peningkatan kapasitas adsorpsi terhadap ion logam Pb(II). Baik kitosan maupun kitosan bead merupakan polimer dengan rantai lurus.
Polimer rantai lurus ini dapat diubah menjadi polimer jaringan melalui proses pengikat silangan menggunakan agen pengikat silang misalnya glutaraldehid.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 42
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Penelitian ini ingin mengetahui pengaruh ikatan silang pada kitosan bead terhadap kemampuannya sebagai adsorben ion logam berat Pb(II). Proses ikat silang kitosan oleh glutaraldehid menyebabkan penurunan jumlah gugus aktif NH2 karena sebagian gugus NH2 digunakan untuk berikatan silang oleh glutaraldehid membentuk jaring polimer. Penurunan gugus aktif NH2 dalam proses ikat silang ini menyebabkan berkurangnya jumlah ion logam Pb(II) yang terikat oleh gugus aktif NH2, namun kapasitas adsorpsi ikat silang kitosan terhadap ion logam Pb(II) dapat meningkat karena dimungkinkan terjadi penjerapan ion logam Pb diantara pori-pori ikat silang kitosan. Polimer jaringan yang memiliki gugus aktif memiliki karakteristik resin. Oleh karenanya, penelitian tentang pengaruh ikatan silang pada kitosan bead terhadap kemampuan adsorpsinya menjadi menarik. 2. Metode Penelitian 2.1 Isolasi kitin Cangkang udang windu dari industri pengupasan kulit udang di Bungah – Gresik dijemur, digerus dan disaring dengan ukuran 60 mesh. Cangkang dideproteinasi dengan NaOH 3,5% (b/v) dengan perbandingan 1:10 pada suhu 65o C selama 2 jam, disaring, residu dicuci dengan aquades sampai netral dan dikeringkan. Residu yang diperoleh direaksikan dengan HCl 1 M dengan perbandingan 1:15 selama 30 menit dan dikeringkan. 2.2 Sintesis kitosan Kitin direaksikan dengan NaOH 50% (b/v) dengan rasio 1:10 pada suhu 100o C selama 4 jam. Residu yang diperoleh dicuci sampai netral dan dikeringkan. 2.3 Pembuatan kitosan bead Kitosan dilarutkan dalam asam asetat 5% (b/v) dengan rasio 1:40. hasil dari pelarutan disemprotkan dalam NaOH 2 M sehingga terbentuk gel. Gel dicuci hingga netral dan dikeringkan. Kadar swelling (penggembungan) dihitung dengan (M t M o ) menggunakan rumus dengan Mt adalah berat akhir kitosan bead dan Mo Mo adalah berat kitosan awal (Oliveira,2004) 2.4 Pembuatan ikat silang kitosan dengan glutaraldehid Kitosan bead dimasukkan dalam larutan glutaraldehid 2,5% dengan rasio 1,5 ml tiap gram kitosan bead, dibiarkan pada suhu kamar selama 24 jam. Kitosan yang telah terikat silang kemudian dicuci dengan aquades. Kitosan yang telah dicuci dimasukkan dalam aseton selama 24 jam hingga kering. 2.5 Identifikasi sampel Kitin, kitosan, kitosan bead dan ikat silang kitosan diuji dengan spektrofotometer infra merah untuk mengetahui gugus fungsinya. Kadar nitrogen total dihitung menggunakan metode kjeldhal.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 43
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 2.6 Pembuatan kurva standar Pb(II) Larutan standar Pb(NO3)2 diencerkan dalam labu ukur 100 ml hingga diperoleh larutan Pb(NO3)2 dengan konsentrasi 10 ppm; 20 ppm; 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm. Larutan yang diperoleh diukur absorbansinya dengan menggunakan SSA pada panjang gelombang 283,3 nm 2.7 Adsorpsi ion logam Pb(II) Larutan Pb(II) dengan konsentrai 200, 400, 600, 800, 1000, 1200 dan 1400 ppm dibuat dengan cara mengencerkan larutan induk. Masing-masing 0,1 g Kitosan bead dan ikat silang kitosan diinteraksikan dengan larutan Pb. Larutan kemudian dishaker dengan kecepatan 1000 rpm selama 60 menit. Larutan disentrifuge dengan kecepatan 2700 rpm selama 10 menit. Filtrat yang diperoleh diukur dengan menggunakan SSA pada panjang gelombang 283,3 nm. Nilai absorbansi ion logam Pb(II) yang diperoleh digunakan untuk menentukan kapasitas adsorpsi maksimum kitosan bead dan ikat silang kitosan terhadap ion logam Pb(II). Kapasitas adsorpsi maksimum diperoleh dari nilai slope dengan memplot grafik konsentrasi Pb saat kesetimbangan pada sumbu x dan konsentrasi Pb saat kesetimbangan dibagi konsentrasi Pb teradsorpsi pada sumbu y. Diperoleh persamaan y = a + bx, nilai kapasitas adsorpsi adalah b-1. 3. Hasil dan Diskusi Hasil spektra infra merah dari kitin, kitosan, kitosan bead dan ikat silang kitosan dengan glutaraldehid memiliki gugus utama yang sama yaitu menunjukkan serapan pada bilangan gelombang 3445,1 cm-1 yang merupakan daerah –OH dan air. Pita serapan pada bilangan gelombang 2928 cm-1 menunjukkan daerah puncak untuk gugus C-H. Adanya serapan pada bilangan gelombang 1659,7 dan 1376,1 cm-1 mungkin merupakan daerah puncak untuk gugus N-H dari gugus amina dan gugus CH pada CH3.
Gambar 3. Spektra infra merah kitin
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 44
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Gambar 4. Spektra infra merah kitosan
Gambar 5. Spektra infra merah kitosan bead
Gambar 6. Spektra infra merah ikat silang kitosan Perbedaan dari keempat struktur ini terletak pada kadar deasetilasi dan kadar nitrogen totalnya. Penelitian ini menghasilkan rendemen kitin dari cangkang udang windu sebesar 33,667% dengan derajat deasetilasi sebesar 49,289% dan kadar nitrogen totalnya sebesar 7,051%. Dengan derajat deasetilasi kurang dari 70% dan kadar nitrogen total diatas 6,89% dan dari hasil spektra infra merah yang diperoleh maka dapat dikatan bahwa senyawa yang diperoleh dari penelitian ini adalah kitin. Sintesis kitosan dari kitin dilakukan melalui proses deasetilasi dengan basa kuat untuk memutus gugus asetil menjadi amina. Pemutusan gugus asetil dapat diketahui dengan membandingkan struktur monomer kitosan β(1,4)–2–amino–2–deoksi–D– glukosa dan struktur monomer kitin β–(1,4)–2–asetamida–2–deoxy–D–glukosa. Kualitas kitosan dapat dilihat dari derajat deasetilasi kitosan. Derajat deasetilasi adalah perbandingan jumlah gugus amino dengan gugus asetamida dalam struktur kitosan. Misalnya, kitosan dengan derajat deasetilasi 85% berarti bahan ini mengandung 85% unit amino dan 15% unit asetamida.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 45
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Penelitian ini menghasilkan kitosan bead dengan kadar penggembungan (swelling degree) sebesar 135,982% dengan derajat deasetilasi sebesar 82,929% dan kadar nitrogen totalnya sebesar 7,798%. Kadar penggembungan yang cukup besar menunjukkan adanya larutan encer asam asetat dalam matriks polimer kitosan bead, hasil spektra menunjukkan tidak adanya perubahan gugus fungsional dari kitosan menjadi kitosan bead. Peningkatan massa yang cukup besar menunjukkan telah terjadi proses penggembungan yaitu terjerapnya molekul-molekul pelarut dalam matriks polimer kitosan. Adanya muatan parsial pada pelarut menyebabkan terjadinya gaya tolakan terhadap gugus fungsi NH2 pada kitosan, sehingga saat dilakukan penambahan NaOH dalam proses pen-gel-an terjadi pemutusan gugus asetil. Hal ini menyebabkan terjadinya penambahan derajat deasetilasi dan kadar nitrogen total. Muatan parsial pelarut, peningkatan derajat deasetilasi dan kadar nitrogen total menyebabkan kitosan bead memiliki kapasitas adsorpsi yang lebih besar dibandingkan kitosan. Penelitian ini menghasilkan ikat silang kitosan dari kitosan bead dengan rendemen sebesar 38,37% dengan derajat deasetilasi sebesar 78,12% dan kadar nitrogen totalnya sebesar 8,73%. Penurunan massa yang cukup besar menunjukkan berkurangnya kadar penggembungan dari kitosan bead. Penurunan derajat deasetilasi menunjukkan adanya gugus NH2 yang berikatan dengan glutaraldehid, penurunan ini sebesar 4,809% yang berarti bahwa derajat ikat silang yang diperoleh sebesar 4,809%.
Gambar 1. mekanisme ikat silang kitosan Grafik 1 menunjukkan data konsentrasi vs absorbansi larutan standar.
Absorbansi
0.600
0.400
0.200
0.000 20
40
60
80
Konsentrasi
Grafik 1. absorbansi larutan standar Dari hasil uji regresi linier diketahui bahwa nilai korelasi menunjukkan angka signifikan kurang dari 0,01 yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan pada derajat kepercayaan 99% antara konsentrasi dengan absorbansi, besarnya hubungan antara keduanya ditunjukkan dengan nilai korelasi dan nilai R sebesar 0,998 yang
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 46
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 berarti bahwa terdapat hubungan positif yang besar antara keduanya. Dari tabel koefisien, diperoleh persamaan garis sebagai berikut: Y = 0,008X + 0,31 Grafik 2 dan 3 menunjukkan hubungan antara konsentrasi awal dengan konsentrasi teradsorpsi oleh kitosan bead dan ikat silang kitosan. 800
[Pb] teradsorpsi (ppm)
700
600
500
400
300
200
100 250
500
750
1,000
1,250
[Pb] awal (ppm)
Grafik 2. Adsorpsi ion logam Pb(II) oleh kitosan bead.
[Pb] teradsorpsi (ppm)
800.0000
600.0000
400.0000
200.0000
250
500
750
1,000
1,250
[Pb] awal (ppm)
Grafik 3. Adsorpsi ion logam Pb(II) oleh ikat silang kitosan. Grafik 2 dan 3 diatas, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan adsorpsi yang besar pada konsentrasi 200 sampai 400 ppm. Pada konsentrasi 400 sampai 600 ppm terjadi peningkatan adsorpsi yang tidak begitu besar, lalu adsorpsi meningkat pesat pada konsentrasi 600 sampai 800 ppm dan konstan mulai 800 ppm untuk kitosan bead dan 1000 ppm untuk ikat silang kitosan . Fenomena ini dijelaskan oleh Volmer-Weber dalam model pertumbuhan lapisan permukaan adsorben.
Gambar 1. model Pertumbuhan lapisan permukaan adsorben Volmer-Weber Pada tahap pertama terjadi proses adsorpsi yang besar karena terbentuk beberapa titik adsorpsi pada permukaan adsorben sebelum seluruh permukaan adsorben tertutup adsorbat. Proses adsorpsi akan menurun saat terjadi kesetimbangan adsorpsi-desorpsi pada titik-titik tersebut. Saat konsentrasi ditambah, adsorbat akan mengisi permukaan adsorben yang belum mengadsorpsi adsorbat, sehingga terjadi peningkatan adsorpsi yang besar sampai seluruh lapisan adsorben tertutup adsorbat. Saat seluruh permukaan adsorben tertutup adsorbat, kembali terjadi kesetimbangan adsorpsi-desorpsi sehingga tidak terjadi peningkatan adsorpsi yang besar, atau bisa dikatakan proses adsorpsi telah konstan.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 47
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Untuk menentukan kapasitas adsorpsi maksimum dan konstanta kesetimbangan adsorpsi Pb2+ oleh kitosan bead dan ikat silang kitosan, maka dibuat grafik linieritas Langmuir sebagai berikut:
Grafik 4. Linieritas Langmuir kitosan bead.
Grafik 4. Linieritas Langmuir kitosan bead. Dari hasil uji regresi linier diketahui bahwa nilai korelasi menunjukkan angka signifikan kurang dari 0,05 yang menunjukkan adanya hubungan linier yang signifikan pada derajat kepercayaan 95% antara [Pb2+]eq dengan [Pb2+]eq/[Pb2+]m, besarnya hubungan antara keduanya ditunjukkan dengan nilai korelasi dan nilai R sebesar 0,943 yang berarti bahwa terdapat hubungan positif yang besar antara keduanya. Dari tabel koefisien, diperoleh persamaan garis untuk kitosan bead Y = 25,331X + 0,008 dan ikat silang kitosan adalah Y = 24,256X + 0,006. 4. Simpulan Kapasitas adsorpsi ikat silang kitosan lebih besar daripada kapasitas adsorpsi kitosan bead. Berdasarkan persamaan garis pada grafik linieritas Langmuir, diperoleh nilai kapasitas adsorpsi maksimum kitosan bead 3,4977.10-2 mol/gram dan kapasitas adsorpsi maksimum ikat silang kitosan sebesar 4,1277.10-2. Daftar Pustaka Annonimous .2003. Biokatalis Mampu Kurangi Polutan Limbah . Harian Umum Sore Sinar Harapan, Minggu, 10 April 2005. Bastaman, dkk .1991. Penelitian Limbah Udang Sebagai Bahan Industri Chitin & Chitosan .Laporan Hasil Penelitian & Pengembangan Hasil Pertanisn Goncalves, Vanessa L .2005. Adsorption Properties of Crosslinked CarboxymethylChitosan Resin With Pb(II) as Template Ions .Brasil: Clenca e Tecnologia Hartati, Fadjar Kurnia . 2002. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Tahap Deproteinasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Kitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus) . BIOSAIN, VOL. 2. Khan, Tanveer Ahmad .2002. Reporting Degree of Deacetylation Values of Chitosan: The Influence of Analytical Methods. J Pharm Pharmaceut Sci: 5(3):205-212, 2002 Manku, G.S.1980. Theoretical Princuples of Inorganic Chemistry .New Delhi:Mc. Graw – Hill Publishing Company Limited Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 48
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Prasetiyo, Kurnia W .2006. Pengolahan Limbah Cangkang Udang . Harian KOMPAS Singh, A .2005. External Stimuli Response on a Novel Chitosan Hydrogel Crosslinked with Formaldehyde .Allahabad: Motilal Nehru National Institute of Technology Sun, Shengling .2006. Adsorption Properties of Crosslinked Carboxymethyl-Chitosan Resin with Pb(II) as Template Ions .Beijing: Chinese Academy of Science Thate, Mrunal R.2004. Synthesis and Antibacterial Assessment of Water-Soluble Hydrophobic Chitosan Derivatives Bearing Quaternary Ammonium Functionality . Louisiana: Disertasi Widodo, Agus .2006. Potensi Kitosan dari Sisa Udang Sebagai Koagulan Logam Berat Limbah Cair Industri Tekstil. Surabaya:PKMI ITS www.dalwoo-chitosan.com Feng Chin Whe .2000. Yurnaliza .2002. Senyawa Khitin dan Kajian Aktivitas Enzim Mikrobial Pendegradasinya . Universitas Sumatera Utara.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 49
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 KANDUNGAN TOTAL FENOL DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN TUMBUHAN OBAT ASAL KABUPATEN MANOKWARI *) Bimo Budi Santoso1, Obed N. Lensee2 dan M.J. Sadsoeitoeboen3 1
Jurusan Kimia FMIPA UNIPA Manokwari
2
Jurusan Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan UNIPA Manokwari
3
Jurusan Biologi FMIPA UNIPA Manokwari
_______________________________________________________________ ABSTRACT The antioxidant activity and total phenolic contents of 15 Manokwarien medicinal plants respectively were evaluated. Antioxidant activity and total phenolic contents evaluated using Ferric Thiocianate (FTC) and Folin-Ciocalteu method respectively. Manokwarien medicinal plants were extracted by the traditional method, boiling in water and also in 80% methanol. A Significant and linier correlation coefficient between the antioxidant activity and the total phenolic content was found in both aqueous (R2= 0,6716) and methanol (R2 = 0,7984). Comparing extraction efficiency of the two methods, the methanol extracted phenolic compounds more efficiently, and antioxidant activity of the extract was higher. It was found that the manokwarien medicinal plants P. piñata (78.64%), C. culillawang (78.05) and A. flava (69.80%) possessed the highest antioxidant activities and thus could be potential rich sources of natural antioxidants. Key Words.: Manokwarien medicinal plants, Antioxidant activity, Phenolic content, Ferric Thiocianate method
PENDAHULUAN Hutan hujan tropis dikenal sebagai sumber yang sangat melimpah dari bahan kimia yang sangat potensial sebagai bahan obat (Balick and Mendelsohn, 1992). Carlson (1998) melaporkan bahwa ekosistem hutan tropis menyediakan budaya masyarakat asli sehingga mereka dapat mengakses begitu banyak tanaman yang berbeda. Di dalam budaya masyarakat hutan tropis, pengetahuan tradisional tentang tumbuhan obat adalah turun temurun dari generasi ke generasi melalui mulut-kemulut dalam bahasa mereka sendiri (Carlson, 1998). Dalam program konservasi, suatu yang penting bukan hanya dari segi mengkonservasi ekosistem dan spesies secara biologi, tetapi juga budaya dan bahasa local dimana masyarakat yang tinggal di hutan tersebut atau dalam arti luasnya adalah menjaga pengetahuan nenek moyang supaya tidak hilang atau dapat diwariskan kegenerasi berikutnya secara turun temurun. Jika bahasa local dan budaya mereka hilang, pengetahuan mereka tentang tumbuhan obat tradisional juga akan hilang. Dilain pihak, hutan tropis sudah dikenal sebagai sumber senyawa kimia yang potensial digunakan sebagai bahan obat (Ballick dan Midelsohn, 1992). Banyak senyawa kimia diekstrak dari tumbuhan dan kemudian dimurnikan untuk menghasilkan obat-obatan. Demikian juga banyak senyawa kimia tumbuhan telah menginpirasi banyak perusahaan obat untuk mensintesis obat misalkan aspirin adalah obat yang diturunkan dari ekstrak willow (Salix spp.) dan Meadowsweet ( Filipendula
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 50
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 ulmaria). Lazaroff (2000) melaporkan bahwa 28 jenis tumbuhan telah diketemukan dari hutan tropis Peru yang dapat membantu mengobati bronchitis dan 30 jenis tumbuhan telah menunjukkan aktivitas melawan tuberculosis. Sebagai negara hutan tropis terbesar kedua di dunia, keanekaragaman hayati Propinsi Papua diperkirakan memiliki 16.000 jenis tumbuhan dengan ratusan marga adalah endemic (Makinnon, 1991). Dari jumlah tersebut, 3000 jenis telah dimanfaatkan oleh penduduk asli Papua sebagai obat tradisional (Mackinnon, 1991). Sebagai contoh ekstrak kulit pulai (Alstonia scholaris L.) telah dimanfaatkan oleh beberapa suku di Papua sebagai obat malaria, Peperomia pelucida L. sebagai anti bacterial, Ketepeng cina (Cassia alata) ditumbuk dan dicampur dengan kapur sirih digunakan untuk menyembuhkan panu. Suku-suku di Manokwari juga memanfaatkan Alstonia scholaris sebagai obat diarea, disentri dan malaria. Hingga saat ini, sangat sedikit penelitian yang telah dilakukan tentang penggunaan tumbuhan sebagai obat oleh penduduk asli Papua. Bahkan banyak dari tumbuhan obat di daerah ini hanya dikenal nama lokalnya seperti Btum tiyeia, ningwoia, bua tutuma dan ngakama. Hal ini merupakan indikasi bahwa masih banyak tumbuhan di hutan tropis Papua yang belum di jamah. Apalagi penelitian tentang kandungan fitokimia, uji aktivitas antimikroba, antioksidan dan lebih khusus lagi tentang aktivitas antitumor masih sangat sedikit atau bahkan belum ada literature yang mengungkapkannya. Penelitian ini bertujuan menguji aktivitas antioksidan dan kandungan total fenol 15 jenis tumbuhan obat asal kabupaten manokwari. Sehingga turut membantu melestraikan dan mewariskan pengetahuan nenek moyang terhadap generasi berikutnya. Disamping juga dapat sebagai bahan acuan untuk penelitian tentang farmasi kimia selanjutnya baik secara lokal, nasional dan internasional, sehingga dapat membantu pengembangan farmakopeae Indonesia. METODE PENELITIAN 1. Koleksi Sampel Tumbuhan. Setiap jenis tumbuhan di lokasi penelitian terutama yang dimanfaatkan sebagai obat oleh penduduk asli dikoleksi. Bagian tumbuhan seperti daun, buah, bunga, kulit kayu (bark), ranting dan akar dikoleksi untuk tujuan uji kimia dan biologi sesuai dari informasi penduduk asli setempat. 2. Penyiapan dan penyimpanan sample. Semua bagian tumbuhan yang dikoleksi untuk tujuan uji kimia dan biologi dimasukan dalam kantong plastik dan diberi ethanol 70% untuk mencegah perubahan fisiologis selama dalam penyimpanan atau perjalanan, sebelum diekstrak di laboratorium. rium semua bagian tumbuhan tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu maksimal 45OC selama 72 jam atau lebih tergantung kandungan airnya (Martin, 1995). 3. Penentuan Kandungan Total Fenol dan Aktivitas antioksidan Sampel yang akan dianalisis pertama-tama di haluskan hingga menjadi bubuk. Kemudian masing-masing sampel dipisahkan untuk preparasi ekstrak air dan ekstrak metanol. Untuk ekstrak air dipreparasi dengan cara 0,5 g sampel tadi diekstrak dengan 10 ml air ultrafiltrasi pada suhu 1000C selama 30 menit pada penangas air. Untuk
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 51
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 ekstrak metanol dipreparasi dengan cara 0,5 g sampel diekstrak dengan 10 ml metanol 80 % pada 400C selama 24 jam. Kemudian sampel didinginkan pada suhu kamar dan disentrifugasi pada 4500 rpm selama 15 menit. Supernatan yang dihasilkan diambil untuk dipergunakan pada pengujian aktivitas antioksidan dan analisis kandungan fenol. a. Penentuan kandungan Total Fenol Penentuan kandungan Fenol / total fenol ditentukan dengan menggunakan metode Folin-Ciocalteu (Singleton & Rossi, 1965). 200 mikroliter sampel dengan perbandingan 1 : 10 ditambahkan reagent Folin-Ciocalteu dengan perbandingan 1 : 10. setelah 4 menit, tambahkan 800 µL sodium karbonat (75g/l). kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam, lalu absorbansinya diukur pada 765 nm. Asam galat (0 mg/l, 10 mg/l, 25 mg/l, 50 mg/l, 75 mg/l dan 100 mg/l) digunakan untuk standar kurva kalibrasi. Hasilnya Diekivalensikan dengan kandungan mg asam galat (GAE)/g berat kering tumbuhan. Pengulangan dilakukan sebanyak tiga kali dan nilai rataratanya dihitung. b. Uji Aktivitas Antioksidan Pengujian aktivitas antioksidan menggunakan metode feri tiosianat (FTC) (Kikuzaki dan Nakatami, 1993). Sebanyak 1 ml sampel dilarutkan dalam 1 ml buffer fosfat 0,1 M pH 7,0; 0,1 mL air dan 1 mL asam linoleat 50 mM dalam ethanol 99,5%. Campuran tersebut diinkubasi selama 10 hari pada suhu 37 oC. Setiap hari campuran tersebut diambil 50 uL dan ditambahkan dengan 6 mL etanol 75%, 50 uL ammonium thiosianat 30% dan 50 uL FeCl2 20 mM dalam HCl 3,5 %. Kemudian didiamkan selam 3 menit dan nilai absorbansinya diukur pada panjang gelombang 500 nm. Data yang diperoleh diolah dengan persamaan regresi linier, dimana absorbansi dihubungkan terhadap waktu lamanya inkubasi. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Aktivitas Antioksidan Tumbuhan Obat Kabupaten Manokwari dengan Metode Feri Tiocianat (FTC) Uji aktivitas antioksidan terhadap 15 jenis tumbuhan obat dengan menggunakan metode FTC . Kapasitas antioksidan setiap ekstrak tumbuhan ditunjukan dengan % daya hambat terhadap asam linoleat. Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat variasi yang cukup tinggi aktivitas antioksidan baik ekstrak methanol dan juga ekstrak air
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 52
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Tabel 1 Aktivitas Antioksidan 15 jenis Tumbuhan Obat Manokwari Berdasarkan Urutan Tingkat aktivitas Ekstrak Metanol. No Jenis/Spesies Aktivitas Antioksidan (% daya hambat terhadap asam linoleat) Ekstrak Metanol
Ekstrak Air
1
Pometia pinnata
78.64
57.87
2
Cinanomum cullilawang
78.05
52.87
3
Arcangelesia flava Merr.
69.80
40.65
4
Piper anducum
56.25
44.03
5
Casuarina equisetrifolia
46.96
22.97
6
Biophytum ptersianum Klotzch
45.50
45.51
7
Pimelodendron amboinensis
42.56
36.67
8
Curcuma longa L..
38.14
24.59
9
Horsfidia sp.
23.42
37.41
10
Instia palembanica
23.41
41.24
11
Adenantera microsperma
21.94
37.41
12
Plnchonella sp.
17.37
17.57
13
Alstonia scholaris R.Br
16.05
20.62
14
Pisonia umbelliflora
16.05
24.59
15
Cerbera manghas
14.58
14.43
Untuk ekstrak methanol kapasitas antioksidan bervariasi antara 17.37 sampai 78.87 %. Dimana P. piñata (78.64%) mempunyai aktivitas antioksidan paling tinggi, diikuti oleh C. culillawang (78.05) dan A. flava (69.80%). Untuk ekstrak air berkisar antara 17.57 sampai 57.87%. Dimana P. piñata juga mempunyai aktivitas antioksidan yang paling tinggi (57.87%), urutan kedua juga C. culilawang (52.87%) dan dikuti oleh B. ptersianum (45.51%). Berdasarkan data yang diperoleh tingkat aktivitas antioksidan tumbuhan obat Kabupaten Manokwari dapat diklasifikasikan menjadi empat katagori yaitu sangat tinggi (>75%), tinggi (>50-75%), sedang (30 50%) dan rendah (<30%). Berdasarkan katagori tersebut maka, 2 tumbuhan menunjukan aktivitas sangat tinggi, 2 tumbuhan menunjukkan aktivitas tinggi, 4 tumbuhan masuk katagori sedangn dan sisanya yaitu 7 tumbuhan menunjukan aktivitas antioksidan rendah untuk ekstrak methanol. Untuk ekstrak air tidak ada tumbuhan yang mempunyai aktivitas sangat tinggi, tetaapi terdapat 2 tumbuhan dengan aktivitas tinggi, 6 tumbuhan masuk katagori aktivitas sedang dan 7 tumbuhan mempunyai aktivitas antioksidan rendah. Rata-rata aktivitas antioksidan dari ekstrak methanol adalah 39.25% dimana lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata aktivitas antioksidan dari ekstrak air (34.69%). 2. Kandungan Total Fenol Kandungan total fenol ekstrak air dan methanol dari 15 jenis tumbuhan obat Manokwari diuji dengan pereaksi Folin-Ciicalteau. Kandungan total fenol dari 15
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 53
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 jenis tumbuhan obat tersebut sangat bervariasi (Tabel 2). Kandungan total fenol ekstrak air bervariasi dari 0.57 sampai 116.1 mg EAG/g. Empata tertinggi kandungan total fenol adalah ektrak air kulit kayu P pinata (116.1 mgEAG/g), ekstrak kulit kayu C. cullilawang ( 87.09 mg EAG/g), ekstrak rumput B.ptersianum (41.17 mg EAG/g) dan ektrak kulit daun P. anduncum ( 39.28 mg EAG/g) Kandungan total fenol dikatakan cukup signifikan bila lebih dari 20 mg EAG/g. Sehingga 7 tumbuhan lainnya dapat dikatakan kandungan total fenolnya tidak signifikan . Tabel 2. Kandungan Total Fenol Ekstrak Air dan Ekstrak Metanol dari 15 Jenis Tumbuhan Obat Manokwari Berdasarkan Urutan Kandungan Fenol Ekstrak Air. No
Jenis/Spesies
Kandungan Total Fenol (mg Eqivalen Asam Galat/g berat kering tanman) Ekstrak Air
Ekstrak Metanol
1
Pometia pinnata
116.1
177..6
2
Cinanomum cullilawang
87.09
100..2
3
Biophytum ptersianum Klotzch
41.17
68.56
4
Piper anducum
39.28
61.27
5
Pimelodendron amboinensis
31.33
77.04
6
Instia palembanica
27.83
44.26
7
Adenantera microsperma
23.18
37.34
8
Arcangelesia flava Merr.
20.34
87.17
9
Horsfidia sp.
16.79
22.52
10
Pisonia umbelliflora
16.05
21.9
11
Casuarina equisetrifolia
14.61
74.74
12
Plnchonella sp.
8.68
3.37
13
Alstonia scholaris R.Br
6.99
22.89
14
Cerbera manghas
2.42
8,02
15
Curcuma longa L..
0.57
33.35
Untuk ekstrak metanol ada 7 tumbuhan dengan kandungan total fenol lebih dari 50 mg EAG/g yaitu ektrak kulit kayu P pinata (177.8 mg EAG/g) C. culillawang (100.2 mg EAG/g), A. flava (87.17 mg EAG/g), P. Amboinensis (77.04 mg EAG/g, E. Equisetrifolia ( 74.74 mg EAG/g) B. Ptersianum ( 68.56 mg EAG/g), dan P. anduncum (61.27 mg EAG/g). Ada 6 tumbuhan lain dengan dengan kandungan fenol cukup signifikan ( kadar fenol > 20 mg EAG/g) dan sisanya 2 tumbuhan kandungan total fenolnya rendah. Semua tumbuhan kandungan total fenol ektrak methanol lebih besar dibandingkan kandungan total fenol ektrak air. Hal ini sesuai dengan sifat senyawasenyawa organik dimana tingkat kepolarannya relatif tidak tinggi sehinnga dengan pelarut methanol yang kurang polar dibandingkan air akan lebih mudah untuk melarutkan senyawa fenol secara umum. Air adalah pelarut yang sangat polar sehingga hanya senyawa fenol yang bersifat sangat polar yang akan terlarut dalam air. Ini dapat disimpulkan bahwa pelarut methanol lebih baik untuk mengektrak
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 54
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 kandungan total fenol dibandingkan dengan pelarut air, paling tidak untuk kelima belas jenis tumbuhan pada penelitian ini.
Aktrivitas antioksidan (% asam linoleat)
3. Hubungan antara kandungan total fenol dengan aktivitas antioksidan Koefisien korelasi (R2) antara aktivitas antioksidan dan kandungan total fenol dari 15 jenis tumbuhan obat Manokwari telah ditentukan ( Gambar 1 dan 2). Aktivitas antioksidan dan kandungan total fenol meunjukkan hubungan yang positf baik untuk ekstrak methanol (R2=0.7984) dan ekstrak air (R2=0.6716). Maka, keberadaan senyawa fenol dalam tumbuhan berkontribusi secara signifikan terhadap aktivitas antioksidan tumbuhan obat Manokwari. Tingginya kandungan total fenol adalah factor penting 90 80 70
R2 = 0.7982
60 50 40 30 20 10 0 0
50
100
150
200
Kandungan Total Fenol (mgEAG/g)
Gambar 1. Hubungan antara aktivitas antioksidan dan Kandungan fenol untuk Ekstrak Metanol
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 55
Aktivitas Antioksidan (% asam linoleat)
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 70 60 50 40 30
R2 =0.6721
20 10 0 0
20
40
60
80
100
120
140
Kandungan Total Fenol (mg EAG/g)
Gambar 2. Hubungan Antara Aktivitas Antioksidan dan Kandungan Fenol Ekstrak Air
dalam menentukan aktivitas antioksidan tumbuhan obat Kabupaten manokwari. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa kandungan senyawa fenolik berkontribusi secara signifikan terhadap aktivitas antioksidan pada tumbuhan obat Cina (Cai et al., 2004; Tang et al., 2004).
KESIMPULAN Kandungan total fenol dari 15 jenis tumbuhan obat tersebut sangat bervariasi. Kandungan total fenol ekstrak air bervariasi dari 0,57 sampai 116,1 mg EAG/g. Dimana ektrak air kulit kayu P. Pinata ( 116,1 mgEAG/g), ekstrak kulit kayu C. Culillawang (87,0 mg EAG/g) dan ekstrak rumput B. ptersianum (41.28 mg EAG/g) mempunyai kandungan total fenol yang tertinggi. Sedangkan untuk ekstrak metanol yang mempunyai kadar fenol tertinggi adalah ektrak kulit kayu P. Pinata ( 177, 6 mg EAG/g), C. culillawang (100,2 mg EAG/g), dan diikuti oleh A. flava (87,17 mg EAG/g). Ada korelasi positif antara kandungan total fenol dengan aktivitas antioksidan untuk kedua ekstrak baik ekstrak air maupun ekstrak metanol. Koefisen korelasi ekstrak air (R2=0,6716) dan ekstrak metanol (R2=0,7984). Ini menunjukan bahwa kandungan senyawa fenol dalam suatu tumbuhan berkontribusi utama terhadap sifat aktivitas antioksidan. Pelarut metanol lebih baik dibandingkan dengan pelarut air yang mendidih dalam mengektrak senyawa fenol, demikian juga ekstrak metanol mempunyai tingkat aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak air.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 56
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 DAFTAR PUSTAKA Alhamid, H and Sunarliani, N. (1996) Inventory of the putative medicinal plants in Tangma (Kurima) tribe, Jayawijaya regency. Research and Development, Forestry Department of Indonesia, Manokwari, West Papua. Balick, M.J. and Mendelsohn, R. 1992. Assessing the economic value of traditional medicines from tropical rainforests. Conservation Biology, 6(1): 128-130 Benzie, I.E.F & Strain .J.J, 1996. The ferric reducing ability of plasma as a measure of “antioksidan power” The FRAP Assay. Analytical Biochemistry 239 70-76 Bick, I. R. C., Bremer, J.B., Paano, A.M.C., and Preston, N.W. 1996. A survey of Tasmanian Plants for Alkaloids. University of Wollongong, Wollongong. Cai, Y., Lao, Q., Sun, M. & Corke. H (2004) Antioxidant activity and phenolic compounds of 112 Chinese Medicinal plants associated with anticancer. Life Sciences 74, 2157-2184 Carlson, T.J. 1998. Ethnomedical field research, medical plants, and tropical public health. United States: Rainforest Medical, [Online]. Available from: 2 [Accessed 21/08/2000]. Carlson, T.J., Iwu, M.M., King, S.R., Obiolar, C., and Ozioko, A. 1997. Medicinal plant research in Nigeria: An approach to compliance with convention on biological diversity. Diversity, 13: 29-33. Collins, D.J., Culvenor, C.C.J., Lambertson, J.A., Loder, J.W., and Price, J.R. 1990. A chemical and pharmacological survey of plants in the Australian Region. CSIRO, Melbourne. Kikuzaki,H & Nakatani, B. 1993. Antioxidant Effect of Some Ginger Constituent. J. Food Science. 58:1407-1410. Lazaroff, C. 2000. Rainforest plants help battle tuberculosis. Environment News Service, August 4, 2000, [Online]. Available from: http://www.ens.lycos.com/ens/aug2000/2000L-08-04-06.html. [Accessed 29/08/2000. Lensee, O.N.,1995. Inventarisasi Tumbuhan Yang Dimanfaatkan Oleh Suku Arfak Manokwari Sebagai Obat Tradisional, Tidak Diterbitkan. Mackinnon, K. 1991. Economic value of biodiversity. Conservation Indonesia. Newsletter of the WWW Indonesian Program, 7(3): 4 - 6. . Santoso, B.B., Hernandez, H., Capareda., E., Raymundo, L., and Madamba, L.S. 2000. Isolation and Structure Elucidation of a Bioactive Compound from The Leaves of Orthosiphon aristatus. Proceeding Seminar Nasional Kimia Himpunan Kimia Indonesia Surabaya, 2000.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 57
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Santoso, B.B., 2002. Isolasi dan Karakterisasi Zat Warna dari Capsicum frutescensNatural, Vol. 1. No. 2. 2002 Santoso, B.B., Lensee. O., Sadsoeitoeboen, M.J. Sjamsul, A.A. dan Syah, Y.M. 2004. Pemberdayaan Keanekaragaman Hayati kabupaten Manokwari, Kajian: Ethnobotani, Botani dan Fitokimia. Proceeding Simposium Nasional Kimia Bahan Alam XIV, ITB Bandung 2004. Santoso, B.B., Lensee. O., Sadsoeitoeboen, M.J. Sjamsul, A.A. dan Syah, Y.M. 2005. Pemberdayaan Keanekaragaman Hayati kabupaten Manokwari, Kajian: Ethnobotani, Botani , Fitokimia dan Antimikroba. Proceeding Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia II UPI Bandung 2005. Santoso, B.B. 2003. Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Bioaktif dari Beberapa Tumbuhan Obat Kabupaten Manokwari. Proceeding Seminar Nasional Kimia III ITS Surabaya 2003. Wong, C., L. Hua-Bin, C. Kowing & C. Feng. 2006. A systematic survey of antioksidan activity of 30 chinese medicinal plants using the FRAP Assay. Food Chemistry 97 705-711
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 58