PEMIKIRAN MULYADHI KARTANEGARA TENTANG ISLAMISASI ILMU DAN RELEVANSINYA DENGAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DI UNIVERSITAS ISLAM1 Oleh Hajar Mutahir
[email protected] Mahasiswa Jurusan Aqidah & Filsafat Islam Semester II Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Tulungagung Abstrak Tulisan ini dilatarbelakangi oleh adanya penerapan dikotomi keilmuan di dalam lembaga pendidikan Islam. Alasan itu mendorong penulis mengkaji pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang islamisasi ilmu dan relevansinya dengan pengembangan ilmu pengetahuan di universitas Islam. Tulisan ini berisi tentang latar belakang keilmuan Mulyadhi Kartanegara, yakni sebagai pemikir dan intelektual Muslim yang banyak berkontribusi dalam bidang keilmuan Islam, seperti teologi dan filsafat Islam. Kemudian, inti pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang islamisai ilmu yakni bahwa islamisasi ilmu dimaknai sebagai proses naturalisasi ilmu dalam rangka meminimalisir dampak negatif ilmu pengetahuan sekuler terhadap spiritualitas dan dengan begitu spiritualitas menjadi terlindungi. Adapun asumsi dasar islamisasi ilmu terdiri dari dua; naturalisasi ilmu dan sekulerisasi ilmu. Sedangkan untuk ruang lingkup islamisasi ilmu meliputi; status ontologi objek ilmu yang terdiri dari Tuhan, Malaikat, benda-benda langit dan angkasa, dan benda-benda bumi; klasifikasi islamisasi ilmu yang terdiri dari ilmu metafisika, ilmu matematika, dan ilmu fisika; metode ilmiah islamisasi ilmu yang terdiri dari metode observasi, demonstratif, dan intuitif. Terakhir, terdapat tiga relevansi islamisasi ilmu dengan pengembangan ilmu pengetahuan di universitas Islam di Indonesia yaitu; pengislaman nalar manusia, menghidupkan kembali pola berpikir saintifik dalam Islam, dan menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional Islam. Keywords: Mulyadhi Kartanegara, Islamisasi Ilmu, Relevansi Islamisasi Ilmu A. PENDAHULUAN Sebelum masuk ke dalam ulasan tentang seorang tokoh intelektual muslim kontemporer, yaitu Mulyadhi Kartanegara, dalam makalah ini penulis akan lebih dahulu mengantar pembaca ke dalam islamisasi ilmu pada umumnya. Islamisasi ilmu bukan barang asing lagi bagi mereka yang menggumuli ilmu-ilmu seperti filsafat ilmu dan ilmu pendidikan Islam. Gagasan ini menurut sejarahnya telah dipakai di dalam pengembangan ilmu pengetahuan di institusi pendidikan Islam ternama, seperti, International 1
Tulisan ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Metode dan Pendekatan Kajian Islam (MPKI), dosen pengampu Dr. Ngainun Naim, M.H.I. Dipresentasikan di Kelas Filsafat IAIN Tulungagung pada 23 Februari 2017.
1
Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington DC, Amerika Serikat. Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, gagasan tentang islamisasi ilmu ini kemudian diterapkan di Indonesia, dan secara institusional menjadi universitas Islam. 2 Lalu, sejauh islamisasi ilmu adalah penerapan sains dan agama secara integral. Islamisasi ilmu pengetahuan masih menjadi polemik di kalangan umat islam sendiri, seolah-olah layaknya barang antik yang baru diperkenalkan. Para pemikir muslim sendiri sebenarnya juga masih ada yang pro-islamisasi, mempropagandakan atau bahkan menentangnya. 3 Inilah alasan mengapa program islamisasi ilmu pengetahuan masih begitu hangat di dalam kajiankajian Islam. Persoalan keilmuan, seperti masalah objektivitas dan universalitas ilmu mulai dipertanyakan lagi, terutama di dalam wilayah kajiankajian post-kolonial. 4 Kritik tajam juga dilontarkan oleh ilmuwan-ilmuwan kontemporer terhadap teori-teori ilmiah yang dipandang mapan selama berabad-abad lamanya. Bahkan, kritik tersebut tidak hanya dilontarkan dalam level teortis, namun sedikit lebih mendalam hingga pada level metode-metode serta paradigmanya. Teori-teori ilmiah yang dianggap mapan itu pada akhirnya menjadi pesoalan baru bagi ilmuawan-ilmuwan kontemporer, seperti yang dilakukan oleh Thomas Kuhn melalui bukunya The Structure of Scientific Revolution untuk mengkritik kemapanan epitemologi Barat di awal abad ke 21.5 Istilah “islamisasi” dapat dipahami sebagai sebuah proses atau kegiatan mengislamkan sesuatu, seperti halnya kata standarisasi, naturalisasi, atau kristenisasi, semuanya memiliki makna imbuhan yang sama. Inilah yang membuat para ilmuwan Muslim prihatin. Pondasi-pondasi ilmu dan tonggak peradaban yang dahulu dicetuskan dan dipelopori oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim di masa lampau, sekarang justru harus diislamkan.6 Di dalam sejarah peradaban Islam, umat Muslim di masa lalu memiliki tradisi keilmuan yang unggul. Penemuan di bidang sains oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim menjadi landasan pokok bagi perkembangan sains modern kala itu. Walaupun demikian, kita jua tidak bisa mengatakan bahwa Islam sebagai faktor inheren
2
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan. (Bandung : Nuansa, 2003), h. 330. 3 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), h. 124. 4 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. (Bandung: Penerbit Mizan, 2003), h. 129. 5 Thomas Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sians. (Bandung: Rosdakarya, 1993), h. 43-51. 6 Abu Bakar Adenan Siregar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan. (Medan: UIN Sumatera Utara, 2010), h. 91.
2
perkembangan ilmu, sebab tradisi keilmuan yang unggul itu ternyata tidak ikut menyebar seperti halnya “Islam” itu sendiri. Lalu, pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah, mungkinkah islamisasi ilmu dapat dilakukan? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan tersebut dengan nada positif. Dalam konteks ini, penulis akan mencoba berdialog dengan pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang islamisasi ilmu. Konsep dan pola-pola pengembangan ilmu-ilmu keislaman di institusi pendidikan Islam, mendapat banyak perhatian di Indonesia, terutama pada tokoh Mulyadhi Kartanegara. Mulyadhi Kartanegara kerap mengkritisi nalar keagamaan yang dominan berkembang di Indonesia sembari menyuguhkan konsep dan model alternatif dalam mendekati Islam.7 Ia ingin menawarkan sebuah model alternatif melalui buah pemikirannya yang dituangkan dalam bukunya Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Ia hendak menumbuhkan tradisi pengkajian agama yang semula sangat dominan bercorak normatif-doktriner, menuju ke pengkajian agama yang bercorak rasional-filosofis. Tidak cukup sampai disitu, islamisasi ilmu juga diaplikasikan secara nyata melalui upaya islamisasi secara institusional di lembaga pendidikan Islam, seperti mendirikan sekolah-sekolah Islam dan universitas-universitas Islam. Di dalam institusi pendidikan Islam nantinya akan diajarkan konsepkonsep ilmu yang sudah ter-islamisasi (politik islam, sosiologi islam, psikologi islam, dsb), di samping pengajaran pada ilmu keislaman murni (fikih, tasawuf, nahwu, lughah, dsb). Dengan demikian, harapan yang hendak dicapai oleh pendidikan Islam nantinya adalah menghasilkan ahli-ahli agama yang berwawasan umum, ataupun ilmuan-ilmuan yang berwawasan Islam. Jadi, output sarjana di bidang fisika astronomi dan biologi, misalnya, tidak sekedar memahami ilmu-ilmu fisik semata, tetapi juga dengannya, para ilmuwan dapat menangkap sisi-sisi keimanan kepada Allah, serta menguatkan kebenaran agama yang sejalan dengan ilmu tersebut. Pun demikian dengan sarjana di bidang anatomi tubuh tidak sekedar memahami sel-sel dan organ tubuh manusia, tetapi juga mampu menangkap rahasia kekuasaan Allah di baliknya. Begitu seterusnya.8 Maka dapat kita pahami bahwa islamisasi ilmu pada dasarnya adalah upaya-upaya membangun keilmuan secara logis, kritis, dan sistematis untuk mengikis dikotomi keilmuan agama dan umum. Pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang Islamisasi Ilmu ini menjadi dasar sekaligus roh dari 7
Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan…, h. 130. Lihat juga Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Adib Abdushomad (ed.) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 94. 8 Parluhuran Siregar, “Integrasi Ilmu-Ilmu Keislaman dalam Perspektif M. Amin Abdullah” dalam jurnal Miqot Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014, h. 336.
3
seluruh sistem pendidikan Islam di universitas islam, terutama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai lanjutan dari gagasan “Islam Rasional” oleh Harun Nasution. Gagasan tentang islamisasi ilmu terus dikembangkan dan diperluas ke berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia hingga detik ini, sebagai syarat untuk menyelengarakan pendidikan agama (Islam), sosial, dan sains secara terpadu. Gagasan ini disambut baik oleh dunia Islam di Indonesia dengan ditandai oleh berdirinya Universitas Islam Negeri (UIN) di Jakarta pada tahun 2002. Di situlah awal upaya untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan Islam dan umum dilakukan secara institusional di Indonesia. Upaya ini umumnya dikenal dengan istilah islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.9 B. PEMIKIRAN MULYADHI KARTANEGARA TENTANG ISLAMISASI ILMU Mulyadhi Kartanegara lahir pada tanggal 11 Juni 1959 di Tangerang. Ia pernah mengenyam bangku pendidikan dasar di SD Legok Tangerang dan melanjutkan pendidikannya di PGAN selama 4 tahun di Tangerang juga. Kemudian Ia melanjutkan pendidikan formalnya di Sekolah Persiapan (SP) IAIN Ciputat pada tahun 1978 dan mendapatkan gelar BA pada tahun 1984.10 Setelah itu, ia mendapatkan tugas dari Departemen Agama RI untuk melanjutkan pendidikannya di luar Negeri, tepatnya di Center for Middle East Studies, The University of Chicago. Hal itu berlangsung pada tahun 1986 atas dasar beasiswa dari Ford Foundation untuk English International Course di Davis California dan Fullbright Foundation. Hingga akhirnya program Master berhasil diraihnya pada tahun 1989 dengan thesisnya yang berjudul “The Mistical Reflection Of Rumi”. Begitu juga dengan gelar Doktornya yang ia raih di universitas yang sama dan mendapat gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dari Department of Near Eastern Languages and Civilization (NELC), The University of Chicago (1996). 11 Mulyadhi Kartanegara adalah pemikir Muslim Indonesia yang memiliki kepekaan tinggi dalam segi keilmuan terutama di bidang filsafat dan teologi. Berbagai bidang akademik ditekuninya telah membawanya mampu belajar di luar negeri dan memperoleh gelar Doktor di bidang filsafat Islam. Kedalaman pengetahuan dan keluasan wawasan membuatnya bergerak membaktikan diri ke ranah akademik pula
9
Nurmawati Restianingsih, Epistemologi Keilmuan Islam dan Umum: Konsep Integrasi Interkoneksi UIN Sunan Kaljaga dan Implementasinya dalam Pembelajaran Jurusan PAI di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Yogyakarta: Skripsi Tidak Terbit, 2014), hlm. 23. 10 Lihat di dalam pengantar buku Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan…, hlm. 01. 11 Dharma Shanti Educational Foundation, dalam www.dsief.org, diakses 17 Februari 2017.
4
salah satunya dengan menjadi dosen pengajar sampai dengan dosen tamu di beberapa lembaga ternama di Indonesia maupun di luar negeri. Dalam bahasa Arab, islamisasi ilmu dikenal dengan istilah “islamiyyat al-ma’rifat” dan dalam bahasa inggris disebut dengan “islamization of knowledge”. Namun dalam pengertiannya, islamisasi ilmu adalah istilah yang mendeskripsikan berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antar etika Islam dengan berbagai bidang pemikiran modern. Produk akhirnya akan menjadi ijma’ (kesepakatan) baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah yang tidak bertentangan dengan norma-norma Islam.12 Mulyadhi Kartanegara dalam bukunya Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam memaknai istilah islamisasi ilmu sebagai proses naturalisasi ilmu dalam rangka meminimalisir dampak negatif ilmu pengetahuan sekuler terhadap spiritualitas dan dengan begitu spiritualitas menjadi terlindungi. Lebih lanjut, menurutnya, proses islamisasi ilmu merupakan sebuah proses yang wajar dan alamiah, sebab ilmu tidak pernah netral dan bebas nilai. Sebagaimana yang telah ia buktikan dan terangkan di dalam gagasan tentang naturalisasi dan sekukarisasi ilmu.13 Kemunculan gagasan islamisasi ilmu tidak lepas dari istilah naturalisasi dan sekularisasi ilmu. Analisis Mulyadhi tentang naturalisasi ilmu dan sekulerisasinya menunjukkan ketidaknetralan ilmu. Sejak dulu ketika ilmu berkembang di suatu wilayah, ilmu tersebut dibentuk berdasarkan nilai-nilai ideologis, budaya, dan agama yang dianut oleh para pemikir dan ilmuwan di wilayah tersebut. Kemudian muncullah dengan apa yang disebut helenisasi ilmu, kristenisasi ilmu, islamisasi ilmu pada masa klasik Islam, kemudian westernisasi ilmu dalam bentuk sekularisasi oleh masyarakat Barat terhadap ilmu. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang alamiah bahwa ketika dari Barat ilmu ditransfer ke negara-negara Islam, ilmu tersebut mengalami naturalisasi, yaitu proses adaptasi dan akulturasi ilmu terhadap nilai-nilai religius dan budaya yang berkembang di sana. Proses naturalisasi ilmu oleh orang-orang Islam inilah menurut Mulyadhi yang melatarbelakangi adanya islamisasi ilmu.14 Kemudian dengan adanya sekularisasi pada ilmu seperti yang telah terjadi di Barat, islamisasi ilmu barangkali tidak akan begitu penting kalau saja sekularisasi tersebut tidak menimbulkan ancaman-ancaman bahkan serangan-serangan yang begitu meruntuhkan terhadap pilar-pilar kepercayaan 12
Ismail Raji’ Al-Faruqi, “Islamization of Knowledge” dalam www.wikipedia.com, diakses tanggal 18 Feb 2017. 13 Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar. (Bandung: Mizan & UIN Jakarta Press, 2005), hlm. 01. 14 Ibid, hlm. 131.
5
kepada Tuhan dan alam gaib yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan besar dunia. Namun, karena ternyata semuanya terjadi dan kita sebagai penganut agama merasa terancam secara teologis oleh teori-teori ilmiah sekuler yang pengaruhnya telah begitu mengglobal, Mulyadhi Kartanegara, sebagai sosok intelektual Muslim merasa perlu menjawab tantangan yang telah dilayangkan oleh sains modern terhadap agama.15 Oleh karena itu islamisasi ilmu sebagai salah satu bentuk naturalisasi ilmu perlu dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif sains sekuler terhadap sistem kepercayaan agama. Perlu digarisbawahi, terkait istilah islamisasi ilmu yang diajukan oleh Mulyadhi Kartanegara. Ia memberikan beberapa catatan khusus. Yang pertama, unsur Islam dalam istilah islamisasi tidak mesti dipahami secara ketat sebagai ajaran yang harus ditemukan rujukannya secara harfiah dalam Al-Qur'an dan hadis, namun sebaiknya haruslah dilihat dari segi spiritnya yang tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran fundamental Islam, seperti kepercayaan kepada Tuhan, alam gaib, malaikat, hari akhir dan wahyu / kenabian. Rujukannya bisa bermacam sumber, di samping Al-Qur'an dan hadis, rujukannya bisa dari sumber-sumber lain, seperti Yunani Klasik, Persia, India pada masa lalu, bahkan Barat sendiri pada masa kini. Menurut Mulyadhi, pada saat ini sebuah agama tidak bisa lagi membatasi diri secara eksklusif hanya pada sumber aslinya, tetapi harus terbuka pada sumber kebenaran dan kebijaksanaan dari luar selama mereka tidak bertentangan dengan prinsip ajarannya.16 Kedua, islamisasi ilmu yang Mulyadhi usulkan tidak semata pelabelan sains dengan ayat Al-Qur'an atau hadis yang dipandang cocok dengan penemuan ilmiah, tetapi beroperasi pada level epistemologis. Diawali dengan melakukan dekonstruksi terhadap epistemologi Barat yang berkembang sekarang dan kemudian merekonstuksi epistemologi alternatif dengan meramu secara kritis bahan-bahan yang ada dalam tradisi intelektual Islam yang dibina selama lebih dari satu millenium oleh para filosof dan para ilmuwan Muslim klasik. Konstruksi ulang epistemologi alternatif ini akan meliputi pembahasan status ontologis objek ilmu, klasifikasi dan metode-metode ilmiah ilmu.17 Ketiga, islamisasi ilmu didasarkan pada asumsi bahwa sains atau ilmu tidak pernah bersifat netral dan bebas nilai.18 1. Asumsi Dasar Islamisasi Ilmu Islamisasi ilmu memiliki dua asumsi dasar yaitu; naturalisasi ilmu dan sekulerisasi ilmu. Pertama, naturalisasi Ilmu. Istilah “naturalisasi” 15
Ibid, hlm. 120. Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan…, hlm. 130. 17 Ibid, hlm. 131. 18 Ibid, hlm. 131. 16
6
yang digunakan oleh Mulyadhi merujuk pada proses akulturasi dari sebuah ilmu yang datang dari luar terhadap budaya yang berlaku di ranah baru. Melalui proses itulah ilmu tersebut kemudian menjadi terasimilasi secara penuh pada tuntutan kebudayaan negeri tersebut, termasuk agamanya. Oleh karena itu, istilah naturalisasi bisa dipakai dalam arti “mempribumikan” ilmu asing sehingga cocok dengan nilai-nilai atau pandangan keagamaan sebuah negeri atau peradaban. Jadi, Mulyadhi mendapat kesan bahwa naturalisasi ilmu bisa terjadi di mana saja dan kapan saja di sepanjang sejarah perkembangan ilmu.19 Tanpa proses ini, maka munculnya ilmu baru tidak akan mampu berkembang sama sekali. Sama dengan makhluk hidup yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya, sehingga tidak sanggup mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kedua, sekularisasi ilmu. Kata sekuler diambil dari kata latin “speculum”, dapat diartikan “bersifat duniawi” (worldly) sebagai lawan dari yang spiritual atau religius. Mulyadhi menggunakan kata sekuler dalam pengertian pandangan yang hanya mementingkan kehidupan duniawi dan mengabaikan yang ukhrawi, atau mementingkan yang bersifat materiil, mengabaikan yang spiritual. 20 Pandangan sekuler amat kental dalam berbagai diskusi keilmuan Modern. Dalam epistemologiIslam, kata ilmu (‘ilm) sama maknanya dengan sains yakni pengetahuan yang teruji. Namun sekarang dapat kita lihat dalam kamus Webster's New World Dictionary bahwa sains (ilmu) dimaknai dengan “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip dari apa yang dikaji. Jadi telah ada pergeseran makna sains dari “pengetahuan”, menjadi “pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi inderawi.”21 Kata sekularisasi ilmu digunakan untuk menunjukan lawan dari sebuah asumsi bahwa ilmu bersifat netral. Menurutnya, ilmu berbeda dengan fakta. Fakta boleh netral tetapi ilmu, menurutnya, tidak sekedar fakta, tetapi fakta plus penjelasan dari sang ilmuwan. Justru ketika ilmu melibatkan penjelasan, ilmu tidak lagi bersifat netral atau objektif dalam arti yang sebenar-benarnya. Dilemanya adalah ilmu tidak bisa menjadi ilmu kecuali melibatkan penjelasan terhadap fakta yang ditelitinya.22
19
Ibid, hlm. 111. Ibid, hlm. 120. 21 Webster’s New World Dictionary of the American Language, (Cleverland and New York: The World Publishing Company, 1962), hlm. 1305. 22 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan…, hlm. 120. 20
7
2. Ruang Lingkup Islamisasi Ilmu Islamisasi ilmu memiliki tiga ruang lingkup yang terdiri dari status ontologis objek ilmu, klasifikasi ilmu, dan metode-metode ilmiah yang masing-masing akan diuraikan sebagai berikut. Pertama, status ontologis objek ilmu. Dalam filsafat Islam, status ontologis tidak hanya diberikan hanya pada objek-objek alami (materiil) tetapi juga pada objek-objek immateriil. Bukan hanya itu, status ontologis objek-objek ilmu juga berpadanan dengan hierarki wujud. Semakin tinggi posisi wujud dalam hierarki wujud, semakin riil dan fundamental status ontologisnya. Karena objek-objek immateriil menduduki posisi tertinggi, status ontologisnya mereka juga adalah yang paling riil dan fundamental daripada yang lainnya. Jadi, terdapat perbedaan antara filsafat Islam dengan filsafat Barat sekuler, terutama masalah objek ilmu. Jika filsafat Islam mengakui status objek metafisika, dalam filsafat Barat sekuler tidak mengakui objek metafisika dan cenderung meniggalkannya. Dalam konteks keilmuan Islam, keberadaan objek memiliki status ontologis yang hierarkis. Seperti yang digagas oleh Al-Farabi lebih dari sepuluh abad yang lalu, Mulyadhi mengemukan hierarki wujud (martabah al-maujudat) menjadi 4 bagian. (a) Tuhan yang merupakan sebab keberadaan wujud yang lain. (b) Para malaikat yang merupakan wujud-wujud yang sama sekali materiil. (c) Benda-benda langit atau benda-benda angkasa. (d) Benda-benda bumi.23 Kedua, klasifikasi ilmu. Menurut Mulyadhi, saat ini banyak pemikir Barat dan filosof ilmu telah meragukan status ontologis objekobjek non fisik atau metafisika. Perbedaan pengakuan ontologis dari objek ilmu ini, mempengaruhi cara pandang terhadap klasifikasi (pembagian) ilmu. Para ilmuan, pemikir, dan filosof ilmu Barat yang meragukan keberadaan / status ontologis objek non-fisik atau metafisika. Membagi ilmu pengetahuannya menjadi dua macam, yakni fisik dan matematika. Hal ini mungkin memberikan peluang bagi mereka dalam mencurahkan pemikiranya pada objek empirik, baik dalam bidang fisika, penelitian makro-mikro biologi, ilmu kesehatan, ataupun teori-teori sosial. Tetapi kekurangan dari epistemologi Barat yang materialis menyebabkan manusia berkutat dalam hidup materialisme semata. Selanjutnya, para ilmuwan dan filosof muslim, membagi klasifikasi ilmu Islam, meliputi tidak hanya bidang fisik, dan matematika, tetapi juga bidang metafisika. Maka keterkaitan variasi ontologis dan hasil klasifikasinya, jelas dapat diringkas pada tiga macam. Sebagaimana pandangan Ibn Sina terhadap wujud-wujud yang ada di alam ini: (1) Metafisika, merupakan wujud23
Ibid, hlm. 41.
8
wujud yang secara niscaya tidak berhubungan dengan materi dan gerak. (2) Matematika, merupakan wujud-wujud yang meskipun pada dirinya bersifat immateriil, terkadang mengadakan kontak dengan materi dan gerak. (3) Fisika, merupakan wujud-wujud yang secara niscaya terkait dengan materi dan gerak.24 Ketiga, metode-metode ilmiah. Metode ilmiah harus disesuaikan dengan sifat dasar objek-objeknya. Objek ilmu memiliki sifat dasar, karakter, dan status ontologis yang berbeda, maka metode ilmiahnya secara otomatis juga berbeda. Mulyadhi membagi metode ilmiah menjadi tiga, yaitu (1) metode observasi atau eksperimen (tajribi) untuk objek fisik, (2) metode logis (burhani) untuk objek non fisik, dan (3) metode intuitif (irfani) untuk objek non fisik dengan cara langsung. Mulyadhi mengigatkan kepada kita bahwa metode ilmiah tidak boleh dipandang terlalu ketat atau eksklusif karena kerap terjadi adanya gabungan metode ilmiah tersebut. Seperti menurut Ibn Rusyd, metode demonstratif ternyata bisa digunakan untuk penelitian empiris. Kalau menurut Al-Kindi, metode matematika lebih mewakili metode demonstratif sebagai metode ilmiah mereka. Sedangkan menurut Ibn Haitsam, dalam penelitian optikanya, metode ilmiah paling tepat adalah gabungan antara metode eksperimen dan matematika.25 C. RELEVANSI ISLAMISASI ILMU DENGAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DI UNIVERSITAS ISLAM Dari teori alternatif yang telah dikemukakan oleh Mulyadhi, maka penulis melihat tiga relevansi gagasan islamisasi ilmu sebagai gagasan yang amat penting bagi upaya re-integrasi ilmu. Pertama, pengislaman nalar manusia. Pusat utama islamisasi ilmu adalah membuka wilayah “metafisika” pada objek bidang-bidang ilmu pengetahuan (sains). Islamisasi ilmu merupakan upaya kritis-metodologis untuk menciptakan lahan kajian yang luas yang meliputi tidak hanya fisika, tetapi juga metafisika ke dalam kerja sainstifik (ilmiah). Dengan begitu, islamisasi ilmu termasuk bagian dari upaya mengikat spiritualitas melalui agama (Islam). Sehingga sasaran dari islamisasi ilmu yang sesunguhnya adalah pengislaman nalar manusia. Apabila kesadaran manusia mampu menyentuh bagian esensial dari realistas, misalanya seperti megetahui keberadaan Tuhan, maka di sini lah titik tekan gagasan islamisasi ilmu. Itulah titik tekan yang ingin disampaikan oleh Mulyadhi Kertanegara dalam gagasannya, sekaligus alasan terpenting mengapa islamisasi ilmu diperlukan. Maka dari itu, karena Tuhan, malaikat-malaikat dan benda-benda 24 25
Ibid, hlm. 43. Ibid, hlm. 52.
9
gaib sebagai objek ilmu adalah yang tertinggi, maka ilmu-ilmu metafisika akan memberikan kebahagiaan yang besar kalaupun tidak dikatakan yang tertinggi bagi orang yang mempelajarinya. Islamisasi ilmu hanya mampu berkembang secara efektif di lingkungan institusi pendidikan Islam / universitas Islam. Sebagai lembaga institusional, maka konten serta teori pengajarannya pun harus mengandung nilai-nilai fundamental Islam. Sayangnya, dalam kenyataan sungguh berbeda dari apa yang dicita-citakan institusi pendidikan Islam. Konten dan teori yang disajikan di lingkup universitas Islam misalnya, masih meminjam teori-teori ilmiah dari sudut pandang sekuler, bahkan juga tidak jarang terjebak ke dalam labirin positivisme berupa “ilmiah” dan “tidak ilmiah”, “objektif” atau “tidak objektif” yang berangkat dari asumsi teori Barat sekuler semata yang mana kesimpulannya nyaris mengabaikan Tuhan Sebagai Pencipta Segala Sesuatu. Paradigma Barat sekuler dan paham positivisme yang berkembang pesat di universitas Islam dikarenakan paradigma di dalam keilmuan Islam sendiri tak kunjung muncul. Akibatnya, pemahaman yang tercipta dalam lingkup universitas Islam adalah pemahaman yang sekuler karena teori yang diterapkan cenderung berasal dari Barat sekuler. Jadi, problematika pendidikan yang sesungguhnya dihadapi oleh universitas Islam sedikit lebih kompleks daripada universitas umum. Yang dihadapi universitas Islam adalah tantangan filosofis yang berasal dari paham positivisme yang mengancam religiusitas manusia, dan mereka hanya bisa dihadapi secara filosofis juga, yakni dengan berdasarkan kekuatan nalar rasional-logis, bukan kekuatan religius-dogmatis. Universitas Islam sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi religius harus mampu merumuskan jawaban-jawaban filosofis berdasarkan argumen-argumen rasional. Universitas Islam juga harus memperkuat bidang-bidang kajian filsafat baik yang berkenaan dengan doktrin maupun metodologi.26 Barawal dari mengislamkan nalar manusia sesuai dengan yang seturut dengan nilai-nilai fundamental Islam, yang timbul selanjutnya yaitu kebiasaan dan membentuk budaya yang selaras dengan nilai-nilai fundamental Islam yang amat menghargai manusia, alam semesta, bahkan alam gaib sekalipun. Sehingga dalam hal ini upaya pengembangan keilmuan di universitas Islam menjadi amat berguna bagi kelangsungan hidup umat manusia juga kelestarian alam semesta. Kedua, menghidupkan kembali pola berpikir saintifik dalam Islam. Di dalam kajian filsafat ilmu, pengetahuan seringkali diartikan sebagai kepercayaan yang telah terbukti benar. Ilmu pengetahuan modern menyediakan sarana untuk pembuktian, apakah suatu pengetahuan itu layak 26
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan…, hlm. 114.
10
disebut pengetahuan, atau tidak. Sarana itulah yang disebut sebagai metode, yakni seperangkat prosedur yang bisa digunakan untuk membedakan antara pengetahuan dan bukan pengetahuan. Permasalahannya adalah metode yang berupa seperangkat prosedur itu seringkali tidak cukup memadai untuk digunakan sebagai alat pembeda antara pengetahuan dan bukan pengetahuan. Sampai sekarang para ahli masih memperdebatkan metode macam apakah yang tepat untuk digunakan di dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Upaya integratif metode ilmiah sains dan agama oleh Armahedi Mahzar disebut sebagai hubungan dialogis antara sains dan agama. Hal ini juga berkorelasi dengan pendapat Albert Enstein yang mengatakan “Religion without science is blind; science without religion is lame.” Tanpa sains, agama itu buta, dan tanpa agama sains itu lumpuh. Pendekatan dialogis akan melahirkan pendekatan yang lebih bersahabat, yaitu pendekatan integratif. Dalam hubungan integratif, baik sains maupun agama menyadari akan adanya suatu wawasan yang lebih besar mencakup keduanya sehingga bisa bekerja sama secara aktif. Bahkan, sains bisa meningkatkan keyakinan umat beragama dengan memberikan bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis.27 Upaya menghidupkan kembali pola pikir saintifik sejalan dengan nilainilai fundamental Islam yang diyakini sebagai agama yang memiliki ajaran sempurna, komprehensif dan universal. Bahkan dari banyak sumber literatur klasik sampai kontemporer, ajaran Islam memuat semua sistem ilmu pengetahuan. Dengan begitu peran universitas Islam sebagai lembaga pendidikan tidak semata berfungsi sebagai pembangun karakter kepribadian manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan semata, namun juga sebagai penguat dan pengikat sistem keyakinan, budaya, peradaban, dan nilai-nilai Islami. Dari titik ini, universitas Islam mengalami persinggungan langsung dengan kerja sains yang belum terpadu dengan nilai Islam. Namun, fungsi itu akan sulit terwujud tanpa adanya pemahaman yang integral antara materi sains dengan materi fundamental Islami. Ketiga, menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional islam. Ilmu pengetahuan di universitas Islam berpusat pada pengislaman nalar, dengan berpijak pada teori-teori ilmiah. Kerja ilmiah yang berpijak dari teori-teori ilmiah yang telah diislamisasi, menurut Mulyadhi, juga mendorong keseimbangan antara pengetahuan intelektual dan kesadaran nurani. Dua hal ini, yakni keberanian berjumpa dengan perbedaan, toleransi, dan belajar yang berpijak pada pengalaman, amat penting untuk perkembangan ilmu pengetahuan di universitas Islam. Mulyadhi juga amat menekankan kemampuan nalar manusia di dalam pengembangan keilmuan Islam. Manusia 27
Armehedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islam Revolusi Integralisme Islam. (Bandung: Mizan Media Utama, 2004), hlm. 213.
11
adalah mahluk yang menalar. Ia memiliki kekuatan batin yang besar, yang perlu dikembangkan lewat keilmuan. Dengan nalar tersebut, ia menentukan apa yang baik dan buruk bagi hidupnya. Inilah yang disebut Mulyadhi sebagai nalar Islami. Jadi, manusia memulai proses keilmuan dengan kemampuan nalar. Keilmuan juga akhirnya memperbesar kekuatan nalar tersebut. Dengan nalarnya, manusia memperkuat kekuatan kepribadiannya. Selanjutnya, universitas Islam harus memperbaiki konsep-konsep keagamaan dengan mengembangkan sistem-sistem ilmu (yang filosofis) rasional. Yakni dengan mengembalikan sistem etika yang transenden. Salah satunya dengan cara mengkaji secara intensif karya-karya agung para filsuf Muslim baik yang berkenaan dengan doktrin maupun metodologi. Terkait dengan hal ini, ada pelajaran berharga yang bisa kita petik dari saudarasaudara sesama Muslim yang dibesarkan dalam tradisi Syiah, yang senantiasa memelihara tradisi keilmuan rasional Islam bahkan hingga saat ini. Kasus dunia Syiah dalam perkembangan ilmu-ilmu rasional cukup berbeda dengan kasus di dunia Islam Sunni. Di dunia Syiah, tradisi keilmuan rasional filosofis tidak pernah betul-betul mati. Bahkan dari abad ke abad, tradisi tersebut senantiasa dijaga dan dikembangkan sehingga mampu melahirkan beberapa filsuf terkemuka hampir di setiap abad. Misalnya seperti, belum sampai satu abad setelah serangan Al-Ghazali terhadap filsafat, tradisi dan sistem filsafat Ibn Sina telah dihidupkan kembali dengan dimodifikasi iluminatif oleh Suhrawardi Al-Maqtul (w. 587/1191) yang dikenal dengan Syaikh Al-Isyraq (mahaguru aliran filsafat iluminasi). Demikian juga serangan terhadap filsafat Ibn Sina oleh Fakhrudin Al-Razi (w. 606/1209) telah dijawab oleh Nashiruddin Al-Thusi (w. 673/1274), seorang filsuf dan astronom Syiah yang terkenal. Dalam kapasitasnya sebagai direktur observatorium astronomis Maraghah, Al-Thusi mengembangkan filsafat Ibn Sina mengembangkan dengan gigih dan konservatif. Sedangkan tradisi-tradisi ilumunasionis, dipertahankan dan dikembangkan dengan warna paripatetik oleh Qutbuddin Al-Syirazi (w.701/1311), murid dan rekan kerja Thusi dalam observatoriumnya, yang juga seorang astronom-filsuf yang cukup terkemuka pada masanya.28 Ajaran filsafat Mulla Shadra (w. 1050/1641) kemudian dikembangkan oleh kedua muridnya, Mulla Abdul Razzaq Lahiji (w. 1072/1661) dan Mulla Faidh Kasyani (w. 1091/1680) dalam karya-karya mereka yang agung. Dari hasil semaian mereka muncullah fulsuf-filsuf besar besar lainnya, seperti Syekh Ahmad Ahsha'i (w. 1241/1826) dan Mulla Hadi Sabzawari (w. 1295/1878) yang keduanya hidup pada masa Bani Qajar. Bahkan sampai abad 20 ini pun, dunia Syiah masih melahirkan filsuf-fiksuf yang disegani dunia, 28
Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar…, hlm. 43.
12
seperti Murtadha Muttahari (w. 1400/1979), Sayyid Muhammad Thabathaba'i (w. 1402/1981), Sayyid Jalaluddin Asyitiyani, Mahdi Ha'iri Yazdi dan Muhammad Taqi Mishbah Yasdi, yang masih hidup sampai sekarang (akhir 2005). Dan tentu saja kita tidak boleh mengabaikan tokoh lain yang lebih akrab dengan kita seperti Shadr Al-Baqir dan Sayyed Hossein Nasr yang telah banyak kita kenal lewat tulisan-tulian mereka.29 Yang menarik adalah ditangan para filsuf yang telah disebutkan di atas, tradisi filsafat dan ilmu-ilmu rasional, dipelihara, diolah, dan dikembangkan secara sistematik sehingga mencapai kecanggihan tingkat yang lebih tinggi. Konservasi dan dan pengembangan tradisi filosofis ilmiah inilah yang memungkinkan para filsuf Syiah mampu membangun sistem-sistem filosofis besar dan sesuai dengan perkembangan zaman. Sistem-sistem filosofis yang dibangun ini, pada gilirannya memungkinkan mereka untuk mengadakan respon dialog, dan bahkan koreksi yang konstruktif terhadap rekan filosofisnya dari dunia Barat. Dari sini lah kita menemukan relevansi islmisasi ilmu yakni untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional dalam Islam dan mewujudkan tujuan yang telah dirumuskan. Tentu diperlukan suatu upaya kolosal yang tidak mungkin dapat dicapai oleh sekelompok kecil manusia, tetapi harus digarap oleh, dan menjadi tanggung jawab moral dari kaum intelektual Muslim di manapun berada. Lingkungan univeraitas islam setidaknya mampu menaungi apa yang bisa dan perlu dilakukkan, sebagai partisipasi dalam ikhtiar kolosal ini, salah satunya adalah membentuk pusat kajian filsafat Islam. D. CATATAN KRITIS Penulis setidaknya memiliki tiga catatan kritis untuk pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang islamisasi ilmu. Yang pertama, islamisasi ilmu Mulyadhi amat kental dengan nuansa metafisis. Pandangan ini merupakan paham bahwa kenyataan metafisika adalah pusat paling tinggi dalam ilmu. Implikasinya yaitu segala sesuatu tidak boleh lepas dari kaca mata metafisika, sebab metafisika di sini metafisika merupakan ukuran dari segalanya. Filsafat ilmu pengetahuan Mulyadhi hanya memandang realitas fisik amat rendah untuk keilmuan. Benda-benda material juga dipandang amat rendah derajatnya. Padahal, keberadaan kajian fisik yang amat kompleks di dunia sangat membantu peradaban manusia, seperti sains positivistik misalnya. Pola keilmuan yang dirumuskan Mulyadhi memang pas untuk perkembangan teologi dan spiritual. Kedua, di dalam penerapannya, sejauh yang penulis amati, konsep keilmuan yang dikembangkan oleh Mulyadhi dipelintir menjadi sebentuk 29
Ibid, hlm. 43.
13
eksklusivisme objek metafisis. Eksklusivisme tersebut berakar pada pandangan, bahwa realitas metafisika adalah realitas yang lebih besar dan lebih agung dari realitas lain. Di satu sisi, eksklusivisme melahirkan kepercayaan diri. Metafisika, yang menjadi kajian penting dalam agama, menjadi otoritas ilmu sejak abad pertengahan hingga renaissance. Produkproduk intelektualnya pun sangat diwarnai dengan dogma. Di sisi lain, eksklusivisme juga menjadi akar dari munculnya masa dogmatis, dimana para ilmuwan tunduk dan patuh pada kitab suci yang menggunakan penafsiran tertentu. Tanpa pemikiran kritis, konsep keilmuan bisa berubah menjadi eksklusivisme yang menjadi akar untuk berbagai kerusuhan lainnya. Tanpa pemikiran kritis, konsep keilmuan manusia dalam hubungan dengan alam bisa dipelintir menjadi kebanggaan ekstrem yang menjadi pembenaran bagi yang lain, seperti dalam abad kegelapan Eropa. Ketiga, proses islamisasi ilmu telah mengubah wajah keilmuan di dunia Islam. Setidaknya ada dua ciri dari peristiwa ini. Yang pertama, standarisasi seluruh pendidikan Islam di lingkup universitas Islam.30 Artinya, ijazah di satu institusi Islam bisa langsung dikenali oleh institusi lain dalam lingkup lembaga yang sama, karena hal-hal yang diajarkan telah diserupakan. Yang kedua adalah labelisasi pendidikan Islam. Artinya, pendidikan Islam dirancang sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan “non-religius”, umumnya seperti kebutuhan ekonomi dan industri. Akibatnya, segala hal yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan ekonomi dan industri dikesampingkan, bahkan dihilangkan. Dalam keadaan semacam ini, pandangan islamisasi ilmu tidak berdaya untuk memberikan kekuatan kemajuan peradaban. Seluruh nilai-nilai keilmuan konservatif yang dikembangkan Mulyadhi di universitas Islam yang kemudian menjadi model untuk universitas islam lainnya, kini dikesampingkan atas nama memenangkan persaingan ekonomi dan industri global, menggunakan “label islam”. Diperlukan usaha keras untuk mengembalikan nilai-nilai tersebut, supaya pendidikan kembali menjadi utuh dan menyeluruh, dan bukan hanya untuk kepentingan-kepentingan segelintir pihak semata. E. PENUTUP Latarbelakang keilmuan Mulyadhi Kartanegara yaitu sebagai pemikir dan intelektual Muslim yang banyak berkontribusi dalam bidang teologi dan filsafat. Mulyadhi Kartnegara juga aktif dalam berbagai lembaga yang berkecimpung dalam bidang keilmuan. Inti pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang islamisai ilmu yaitu bahwa islamisasi ilmu dimaknai sebagai proses naturalisasi ilmu dalam rangka 30
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), hlm. 7.
14
meminimalisir dampak negatif ilmu pengetahuan sekuler terhadap spiritualitas dan dengan begitu spiritualitas menjadi terlindungi. Adapun asumsi dasar islamisasi ilmu terdiri dari dua; naturalisasi ilmu dan sekulerisasi ilmu. Sedangkan ruang lingkup islamisasi ilmu meliputi; status ontologi objek ilmu terdiri dari Tuhan, Malaikat, benda-benda langit dan angkasa, dan bendabenda bumi; klasifikasi ilmu terdiri dari ilmu metafisika, ilmu matematika, dan ilmu fisika; metode ilmiahnya terdiri dari metode observasi, demonstratif, intuitif. Berdasarkan inti pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang islamisasi ilmu tersebut, penulis melihat tiga relevansi islamisasi ilmu dengan pengembangan ilmu pengetahuan di universitas Islam di Indonesia yaitu; pengisalaman nalar manusia, pengislaman pola pikir saintifik, dan menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional Islam. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin. 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abdullah Ahmad, Na’im, dkk. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela. Asy’arie, Musa. 2002. Filsafat Islam, Yogyakarta: LESFI. Daulay, Haidar Putra. 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Habib, Zainal. 2007. Islamisasi Sains. Malang, UIN Malang Press. Hamim, Nur. 2011. “Otonomi Perguruan Tinggi: Tantangan dan Peluang Bagi IAIN”. Surabaya: FT. IAIN Sunan Ampel, dalam Jurnal Nizamia, Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam. Hidayat, Komaruddin & Prastyo, Hendro. 2000. Problem dan Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departeman Agama RI. Harun dalam Syaiful Muzani (Editor). 1995. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. Bandung: Mizan. Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Mizan & UIN Jakarta Press. _____________. 2002. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Bandung: Mizan. _____________. 2003. Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Penerbit Mizan. Karwadi dalam Wiji Hidayati, et. al., 2009. Pendidikan Islam dalam Wacana Integrasi Interkoneksi. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. Kemendikbud RI, KBBI, dalam www.kbbi.web.id, diakses 06 Nop 2015.
15
Kuntowijoyo. 2007. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana. Mahzar, Armehedi. 2004. Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islam Revolusi Integralisme Islam. Bandung: Mizan Media Utama. Masood, Ehsan. 2009. Ilmuwan-Ilmuwan Muslim, Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern, terj. Fahmy Yamani dari buku “Science & Islam A History”, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Qomar, Mujamil. 2012. Pemikiran Islam Metodologis: Model Pemikiran Alternatif dalam Memajukan Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras. _____________. 2006. Epistemologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras. Restianingsih, Nurmawati. 2014. Epistemologi Keilmuan Islam dan Umum: Konsep Integrasi Interkoneksi UIN Sunan Kaljaga dan Implementasinya dalam Pembelajaran Jurusan PAI di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta. Skripsi tidak diterbitkan. Webster's New World Dictionary of the American Language, 1962. Claverland and New York: The World Publishing Company.
16