ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN Dalam sebuah hadis – terlepas dari perebatan tentang kualitasnya -- yang memuat relasi agama dan akal, “Agama adalah akal, dan tidak ada (tidak dianggap ber-) agama siapa yang tidak memiliki akal”. Sebagian ajaran agama memang dapat dimengerti oleh akal, tapi tidak sedikit yang masih menyimpan misteri kalau kita pikirkan. Para ulama klasik biasanya membagi ajaran agama menjadi dua; pertama dapat dimengerti oleh akal (amrun ta’aqquli) dan kedua sangat sulit – untuk tidak mengatakannya mustahil-- diterima oleh akal kita (amru ta’abbudi), harus diyakini thus diamalkan saja. Kedudukan Akal Dalam Islam Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan. Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:
َ َ ْ ْ َ ٌ َ َ ُ ُ ْ ُ ُّ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َ ْ ُ ُ َ َ َ َ ذﻟﻚ ِ ﺑﺄﻣﺮهِ ِإن ِﻲﻓ ِ ِ وﺳﺨﺮ ﻟﻜﻢ اﻟﻠﻴﻞ واﺠﻬﺎر واﻟﺸﻤﺲ واﻟﻘﻤﺮ واﺠﺠﻮم ﻣﺴﺨﺮات َ ُْ َْ َْ َ ﻓﻌﻘﻠﻮن ٍ ِ ﻵﻳﺎت ِ ﻟﻘﻮم ٍ
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12)
َ ْ ْ َ ْ ٌ َ َ ٌ َ َ َُ ٌ َ ْ ُْ َ َ ٌ َْ ٌْ َ َ ٌ ْ َ َ َ ْ َ ﺻﻨﻮان ﻣﺘﺠﺎورات وﺟﻨﺎت ِﻣﻦ اﻷرض ِﻗﻄﻊ َو ِ ِ أﻗﻨﺎب وزرع ٍ ِ وﺨﻧﻴﻞ ِﺻﻨﻮان وﻟﺮﻴ ٍ ِ ِ ُ ُ ْ َ َ َ ْ َ ُْ ْ َ َ َ َ َ ْ َ ُ ِّ َ ُ َ ْﻟﻘﻮم َ ذﻟﻚ ﻲﻓ إن اﻷﻛﻞ ﻲﻓ ﻧﻌﺾ ٍ ِ ﻵﻳﺎت ٍ َ ِ ﻳﺴﻰﻘ ِ ٍ ِ َ ﺑﻤﺎء ٍ ِ ِ ِ ِ ٍ واﺣﺪ وﻏﻔﻀﻞ ﻧﻌﻀﻬﺎ ﺒﻟ َ ُْ َْ ﻓﻌﻘﻠﻮن ِ
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanamantanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (ArRa’d: 4) Sebaliknya Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:
ُ َ ُ ْ َ َْ ُ َ ْ َ ُ َْ ُْ َ َ ْأﺻﺤﺎب اﻟﺴﻌﺮﻴ َ ْ َ ﻲﻓ ْ ِ ِ وﻗﺎﻟﻮا ﻟﻮ ﻛﻨﺎ ﻧﺴﻤﻊ أو ِ ﻏﻌﻘﻞ ﻣﺎ ﻛﻨﺎ ِ
“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10) Kata ‘aqala (derivasi dari al ‘aql/akal) mengandung arti mengerti, memahami, dan berpikir. Pengertian, pemahaman, dan pemikiran ini dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa ungkapan dalam ayat al-Quran, di antaranya adalah sebagai berikut.
1
1. QS Al-Hajj [22]: 46, “
ﻰﻓ اﻟﺼﺪور
اﻟﻘﻠﻮب اﻟ
” menunjukkan bahwa kalbu
berada di dada. 2. QS Al-Hajj [22]: 46, “
” ﻗﻠﻮب ﻳﻌﻘﻠﻮن ﺑﻬﺎmenunjukkan bahwa aktivitas kalbu
adalah aktivitas berakal. 3. QS Al-A’raf [7]: 179, “
” ﻗﻠﻮب ﻻﻳﻔﻘﻬﻮن ﺑﻬﺎmenunjukkan bahwa aktivitas kalbu
adalah memahami. 4. QS At-Taubah [9]: 93, “
” ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ ﻓﻬﻢ ﻻﻳﻌﻠﻤﻮنmenunjukkan bahwa aktivitas
kalbu adalah mengetahui. 5. QS Muhammad [47]: 24, “Apakah mereka tidak men-tadabburi al Quran ataukah kalbu mereka telah terkunci?” menunjukkan bahwa aktivitas kalbu adalah tadabbur (merenung). Dengan dasar-dasar ini, Harun Nasution menyimpulkan bahwa akal, dalam pengertian Islam, tidaklah otak, tetapi adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Keberadaan daya ini terdapat di dalam dada, bukan di kepala. Pandangan umum selama ini yang menyatakan bahwa aktivitas berpikir, mengetahui, merenung, dan memahami yang dianggap berada di otak (kepala), menurut Harun Nasution dengan mengutip pandangan Prof. Izutsu, merupakan perubahan arti yang disebabkan oleh masuknya pengaruh filsafat Yunani (istilah nous) ke dalam pemikiran Islam. Dalam pandangan lain, M. Quraish Shihab menerangkan bahwa akal adalah daya pikir yang bila digunakan dapat mengantar seseorang untuk mengerti dan memahami persoalan yang dipikirkannya. Akal menjadi potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat –sebagaimana arti dari bahasa arabnya—yang menghalangi seseorang dari terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Akal yang dianggap sebagai potensi manusia yang mampu menjangkau dan memahami semua persoalan, merupakan kekeliruan identifikasi. Karena tidak semua persoalan agama dapat dimengerti oleh akal. Pertanyaannya, bagaimana kedudukan dan peran otak yang berada di kepala? Dalam al-Quran tidak ada lafad yang menunjukkan arti “otak” yang berada di kepala. Sedangkan dalam al-Hadis, otak (daging) yang berada di kepala hanya diterangkan keberadaannya saja, tidak dengan fungsi dan perannya dalam tubuh manusia. Misalnya dalam hadis sebagai berikut. Dari Abu Sa’id al-Khudriy, sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda, “Sesungguhnya ahli neraka yang paling ringan siksanya adalah seseorang yang memakai dua sandal dari api neraka, yang ubun-ubunnya (otaknya) bergolak karena panasnya api tersebut”. (HR Muslim, Kitab al-iman, Bab Ahwanu Ahli alNar ‘Adzaban) Dalam kajian anatomi, otak merupakan sebuah alat pengenalan pola. Melalui panca indera yang utama (kita lihat, dengar, sentuh, baui, dan cicipi), otak menyerap berbagai data yang diterimanya, menyimpannya, dan mengirim balik data-data tersebut berupa respon (tanggapan) ke bagian-bagian tubuh yang lain. Otak memiliki empat bagian yang utama. Otak bagian bawah (batang otak) yang berada di dasar tengkorak mengendalikan fungsi-fungsi sederhana yang penting:
2
seperti pernapasan, detak jantung, dan naluri-naluri dasar lainnya. Di atas batang otak ini terdapat otak tingkat dua yang disebut sistem limbik. Ia berperan sebagai penyimpan memori yang berkaitan dengan naluri emosional. Dengan bagian otak ini, seseorang akan mudah mengingat pengalaman-pengalamannya yang melibatkan sisi-sisi emosional. Di atas sistem limbik terdapat dua bagian yang lainnya, yaitu cerebrum dua sisi dan korteks. Cereberum berfungsi untuk menyimpan memori gerak. Profesor Marian Diamond, seorang peneliti otak terkemuka dan yang membedah otak Einstein, mengungkapkan seberapa kompleksnya fungsi setiap jaringan yang ada di otak dibandingkan dengan penjelasan sederhana mana pun tentang otak kanan dan kiri. Tetapi yang jelas, dia mengisyaratkan bahwa salah satu bagian otak ada yang berfungsi dalam ranah ilmu dan pengetahuan. Salah satu di antaranya adalah lobus frontal yang terletak tepat di belakang kening aktif melakukan perencanaan ke depan dan pengurutan ide-ide. (Gordon & Vos, 1999: 127) Seluruh bagian yang berada di otak digunakan secara bersama-sama dan terpadu secara utuh untuk menyimpan, mengingat, dan mengambil informasi, serta mengirimkannya melalui aktivitas neurotransmitter (neuro berarti pikiran dan transmit berarti mengirim). Berdasarkan uraian di atas, proses penyimpanan dan pengolahan informasi yang melahirkan pengetahuan, pengertian, dan pemahaman melalui proses atau daya berpikir terletak di otak yang berada di kepala. Lalu, bagaimana kaitan antara daya berpikir yang dilakukan oleh otak yang berada di kepala dan kalbu yang ada di dada? Mungkinkah keduanya melakukan aktivitas yang sama? Otak manusia merupakan komponen yang sangat luar biasa, terbentuk dari 1 triliun sel, 100 milyarnya aktif dan 900 milyarnya pendukung. Dengan “processor” inti bernama nukleus, mereka bekerja dengan cara membentuk kaitan yang sangat kompleks satu dengan lainnya, menginterpetasikan sesuatu yang acak menjadi bau, suara, serta rasa hingga menjadi inti kesadaran manusia dalam memaknai hidup. Namun jika boleh menambahkan, dalam membangun tubuh kita, otak juga memerlukan pendamping yang setara. Nah, inilah sesuatu yang menurut saya juga memiliki kekuatan luar biasa, sehingga manusia bisa disebut sebagai “extraordinary creature” karena memilikinya. Organ itu bernama jantung (sering diplesetkan dengan istilah hati). Jantung yang juga menjadi pusat dari ketenangan serta fitrah dari manusia yang sebenarnya, pemberi kontribusi yang tidak sedikit hingga manusia mendapati dirinya dalam kemampuan tertinggi yang disebut intuisi. Dalam proses pembentukan bayi, jantung yang terlebih dahulu berdetak sebelum otak manusia terbentuk, organ ini menjadi pemrakarsa utama hidup matinya “sang pemenang”. Jantung juga memiliki medan elektromagnetik 5000 kali lebih besar dari otak dan 40 ribu sel tersendiri didalamnya, menandakan kalau ia memiliki sistem tersendiri yang juga disebut “otak didalam jantung”. Di antara banyaknya referensi tentang kehebatan otak manusia, saya ingin mencuatkan informasi, tanpa adanya medan energi yang dikirimkan jantung ke otak, manusia “muskil” merasakan kedamaian dan ketenangan.
3
Hal inilah yang mendukung secara ilmiah, jantung adalah tempat bersarangnya jiwa manusia, yang jika bergabung dengan otak kemudian akan membangkitkan 88% kekuatan bawah sadar yang sering di sebut-sebut itu. Akal adalah suatu potensi yang dititipkan oleh Allah di dalam jantung (kalbu) dan potensi itu mempunyai jalur yang berhubungan dengan otak. (Madkour: 1988) Allah menjadikan manusia sebagai sebaik-baiknya ciptaan dengan akal dan Islam sangat memuliakan akal. Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan. As-Safarini rahimahullah berkata: “Allah menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105) Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu. Nabi bersabda:
َ َ ْ ْ ُ ََ ََ َ َ َ َ ْ َ ُ ْ اﷲ ﻋﺰ وﺟﻞ ِ ﻳﻔﻜﺮوا ِﻲﻓ ِ اﷲ وﻻ ﻳﻔﻜﺮوا ِﻲﻓ ِ أﻻء
“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya)
ْ ْ َ ْ ُ ْ ْ ُ َ َ ِّ َ ْ َ ْ ُ ْ ُّ ُ ْ ُّ َ َ َ ْ ُ َ ْ َ َ ً ْ َ ﻗﻠﻴﻼ ِ ﻋﻦ ِ أﻣﺮ ر وﻣﺎ ِ اﻟﻌﻠﻢ ِإﻻ ِ ِ أوﺗﻴﺘﻢ ِﻣﻦ ِ ﻗﻞ اﻟﺮوح ِﻣﻦ ِ اﻟﺮوح ِ وﻳﺴﺄﻟﻮﻧﻚ
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (AlIsra: 85) Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada syariat. Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201) Al-Imam Az-Zuhri mengatakan: “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
4
Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka– belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahatjahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal, dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 21) Akal yang terpuji dan akal yang tercela Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam: 1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah. 2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya. 3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat. 4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As Sunnah. 5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106, Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-’Aql wa Manzilatuhu) Jadi, manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal kita, kemudian ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yang tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada syariat. Akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan syariat Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam –ringkasnya– bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal. (Asasuttaqdis, hal. 172173) Dengan prinsip ini, mereka menolak sekian banyak nash yang shahih dulu maupun sekarang. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim di atas. Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah menjelaskan: Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bartentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang shahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal. Bahkan diketahui dengan akal kebenaran kebalikan dari
5
hal tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk menjangkaunya. Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yang menjadikan akal mereka sebagai hakim terhadap nash-nash wahyu, demikian pula bagi mereka yang berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu haditspun di muka bumi yang bertentangan dengan akal kecuali hadits itu lemah atau palsu. Wajib bagi mereka untuk menyelisishi kaidah kelompok Mu’tazilah, kapan terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut mereka maka wajib untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah membenarkan syariat dalam segala apa yang ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang dikabarkan oleh akal.” (Dar’u Ta’arrudhil ‘Aql wan Naql, 1/155, 138) Ketika dalil bertentangan dengan akal Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Sedangkan dalil, maka pasti benarnya. Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para shahabat yang berpengalaman dengan Rasulullah dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab: “Wahai manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat Ath-Thabrani, lihat Marwiyyat Ghazwah AlHudaibiyyah, hal. 177, 301) Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan Rasulullah dengan pendapatnya, walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata maslahat dari keputusan Rasulullah begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya. Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.” (Mukhtashar As-Shawa’iq, hal. 82-83 dinukil dari Mauqif AlMadrasah Al-‘Aqliyyah, 1/61-63) Abul Muzhaffar As-Sam’ani ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya (Al Kitab dan As Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 99)
6
Bila akal didahulukan Jika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya: 1. Menyerupai Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam, kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.
َْ َ ُْ ٌْ َ ََ َ َ َ ُ ْ ََ ْ َ ُ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ََُْ َ َ َ ْ َ ْوﺧﻠﻘﺘﻪ ﻣﻦ ﻧﺎر ﻗﺎل ﻣﺎ ﻣﻨﻌﻚ أﻻ ﺗﺴﺠﺪ ِإذ أﻣﺮﺗﻚ ﻗﺎل أﻧﺎ ﺧﺮﻴ ِﻣﻨﻪ ِ ٍ ﺧﻠﻘﺘﻲﻨ ِﻣﻦ ِ ْ ٍﻃﻦﻴ ِ
“Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (AlA’raf: 12) 2. Menyerupai orang kafir yang menolak keputusan Allah dengan akal mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad . Mereka katakan:
َ َ ُ ْ ُ ْ َ َ َ ِّ ُ َ ْ َ ْ ُ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ْ ﻣﻦ ُ َ ﺒﻟ َ ِ رﺟﻞ ﻋﻈﻴﻢ وﻗﺎﻟﻮا ﻟﻮﻻ ﻧﺰل ﻫﺬا اﻟﻘﺮآن ٍ ِ اﻟﻘﺮﻳﺘﻦﻴ ِ ٍ
“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.” (Az-Zukhruf: 31) 3. Tidak mengambil faidah dari Rasul sedikitpun karena mereka tidak merujuk kepadanya pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya Rasul menurut mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lebih jelek karena mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun justru butuh untuk menolaknya. 4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:
ُّ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ ُ ََ ََ َ ْﺑﻐﺮﻴ ﻓﺈن ﻟﻢ ِ ِ ﻳﺴﺘﺠﻴﺒﻮا ﻟﻚ ﻓﺎﻋﻠﻢ ﻛﻏﻤﺎ ِ ِ ِ ﻳﺘﺒﻌﻮن أﻫﻮاءﻫﻢ وﻣﻦ أﺿﻞ ِﻣﻤﻦ اﻳﺒﻊ ﻫﻮاه ْ َ َْ َ ً ُ َْ َ ْ َ ﻓﻬﺪي َ اﻟﻈﺎﻟﻤﻦﻴ اﻟﻘﻮم ِ اﷲ ِإن اﷲ ﻻ ِ ﻫﺪى ِﻣﻦ ِِ “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Qashash: 50)
5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim. 6. Berkata dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.
ُّ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ ُ ََ ََ َ ْﺑﻐﺮﻴ ﻓﺈن ﻟﻢ ِ ِ ﻳﺴﺘﺠﻴﺒﻮا ﻟﻚ ﻓﺎﻋﻠﻢ ﻛﻏﻤﺎ ِ ِ ِ ﻳﺘﺒﻌﻮن أﻫﻮاءﻫﻢ وﻣﻦ أﺿﻞ ِﻣﻤﻦ اﻳﺒﻊ ﻫﻮاه ْ َ َْ َ ً ُ َْ َ ْ َ ﻓﻬﺪي َ اﻟﻈﺎﻟﻤﻦﻴ اﻟﻘﻮم ِ اﷲ ِإن اﷲ ﻻ ِ ﻫﺪى ِﻣﻦ ِِ “Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (Al-Hajj: 8) Ini termasuk larangan terbesar.
7
ْ َ َ ِّ َ ْ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ِّ َ َ َ َ ْ ُ ﺑﻐﺮﻴ اﺤﻟﻖ وأن ﻗﻞ ِإﻏﻤﺎ ﺣﺮم ر ِ ِ اﻟﻔﻮاﺣﺶ ﻣﺎ ﻇﻬﺮ ِﻣﻨﻬﺎ وﻣﺎ ﻧﻄﻦ ِ ِ واﻹﻋﻢ واﻛﻲﻐ َ ْ ِّ َ ُ ْ َ َ ََ ُْْ َُ ْ َ ً َْ ُ ُْ َ ََُْ َ َ ْ ُ ﺗﺮﺸ ﻳﻌﻠﻤﻮن اﷲ ﻣﺎ ﻻ ﺒﻟ ﻳﻘﻮﻟﻮا وأن ﺳﻠﻄﺎﻧﺎ ﺑﻪ ﻓﺰﻨل ﻟﻢ ﻣﺎ ﺑﺎﷲ ﻮا ِ ِِ ِ ِ ِ “Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33) 7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat. 8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. [Al-Mauqih, 1/81-92] Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang yang tetap mengedepankan akalnya: “Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bid’ah mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari Al Qur’an dan hadits ahad dan tampilkan akal,’ maka ketahuilah bahwa ia adalah Abu Jahal.” (Siyar A’lamin Nubala, 4/472) Ketegangan akal dan wahyu terjadi karena ‘kurang memahami’ otoritas wahyu. Seseorang yang berpijak pada wahyu lalu menggunakan akalnya untuk memahaminya berbeda dengan seseorang yang berpijak dengan akalnya lalu menggunakannya untuk memahami wahyu. Yang pertama menjadikan wahyu sebagai pokok sambil menundukkan akalnya kepadanya, dan yang kedua menjadikan akalnya sebagai pokok lalu menundukkah wahyu kepada akalnya. Yang pertama adalah sikap menyerahkan diri kepada wahyu, sedangkan yang kedua mengalihkan wahyu tunduk kepada akal yang pada gilirannya melahirkan ta’wîl yang sesuai selera akal walau bukan pada tempatnya. Implikasi teologis dari posisi akal atas wahyu ini adalah berserah diri atas segala ketentun Allah SWT (taqdîr). Hanya saja, tidak sepadan dengan apa yang didengungkan oleh paham jabariyyah (fatalistik) yang cendrung menerima apa adanya. Tidak pula sama dengan paham qadariyyah (free will) yang menempatkan peran manusia dalam kehiduapan di atas segala-galanya. Manusia itu mampu berpindah dari satu taqdir Tuhan kepada taqdir Tuhan lain yang lebih lebih baik, dengan tetap diiringi berserah diri atas ketentuan-Nya. Setelah itu, kita diajak untuk menempuh ‘jalur pencerahan batin’ menuju wujud rohani manusia yang kerap dilupakan oleh setiap orang. Dengan berusaha menyisihkan waktu sebentar dengan merenung, akan mendapat bisikan hati yang terdalam, mengenal kebenaran mutlak yang dirindukan rohani itu. Ia adalah pengabdian karena cinta kepada-Nya, sesama manusia, lingkungan dan dirinya sendiri. Caranya dengan menempuh jalur irâdah yaitu kehendak/tekad yang meminta afirmasi kepada setiap individu atas apa yang ingin dilakukan, sehingga dapat menghasilkan kemampuan. Kemampuan itu perlu diusahakan terus menerus dengan jalan latihan-latihan (riyâdah). Dalam al-Quran padanan riyâdah itu adalah mujâhadah yang seakar dengan jihâd. Mujâhadah adalah menggunakan seluruh kemampuan secara bersungguh-sungguh untuk melawan musuh, terutama yang terdekat dalam diri manusia, yaitu nafsunya yang mendorong kepada kerendahan dan keburukan.
8
DAFTAR PUSTAKA
Dryden, Gordon & Jeannette Vos. 1999. Revolusi Cara Belajar Bagian I: Keajaiban Pikiran. Kaifa: Bandung. Madkour, Ibrahim. 1988. Filsafat Islam: Metode dan Penerapan. Rajawali: Jakarta. Nasution, Harun. 1982. Akal dan Wahyu dalam Islam. UI-PRESS: Jakarta. LOGIKA AGAMA; Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam, Lentera Hati & Pusat Studi al-Quran, 2005
9