“ISLAMISASI ILMU”: Reorientasi Ilmu Pengetahuan Islam (Melihat Pemikiran Ziauddin Sardar) Saifullah Idris
Abstract This Researth focus on how is the concept of Islamization of knowledge in Ziauddin Sardar perspektif. To exemine this research, I use three model of Ian G. Barbour frame work about relation beetwen religion and knowledge. The frameworks are Conflict, Independent, Dialogue and integration. The results of this research are consists of two main problem that need to be reconstruct in Islamic community. First, is related to re-reconstruct treasure of Muslim Intellectual, including Islamization of civilization. To Islamize of Islamic civilization we need to reconstruct Islamic world view, and reconstruct ‘Umran’ project. The ‘umran’ project are model of Madinah Country, parameter of civilization, theory, paradigm and methodology, new environment, ambition of muslim civilization, payoff of muslim and alternative muslim in the future. Second, is reconstructs Islamic knowledge that include reformulation of Islamic epistemology and to arrange the new methodology of knowledge. According to Sardar, there are nine basic characteristic of Islamic episthemology, that is, base on absolute framework (al-Qur’an), Islamic episthemology is characterize as active and not passive, objectivitas as a common problem and not a private problem, some of them are deductive, integrated with Islamic values, knowedge is inclusive and not ekclusive, arrange subjective experience and encourage to search for neu experience, integrated the concept form he level of subjective experience, and not contradictory with holistic view.
Key word: Ilmu, Islamisasi dan Pengetahuan Islam A. Pendahuluan Sejak dasawarsa 1970-an sampai awal 1990-an, berkembang subuah wacana baru tentang Islamisasi ilmu pengetahuan atau Islamisasi sains. Timbulnya gagasan ini pertama sekali dengan munculnya buku yang ditulis oleh Seyyed Hoessein Nasr yang berjudul The Encounter of Man and Nature, gagasan ini kemudian di lanjutkan dan diperbincangkan secara serius pada konprensi dunia I tentang pendidikan Muslim pada tahun 1977 di Mekkah dan pada konprensi ke II di Islambat Pakistan pada tahun 1980. Pada pertemuan tersebut dua pemikir muslim, yaitu Syed Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-
1
Faruqi, berbicara tentang perlunya membangun suatu epistemologi Islam1. Pertemuan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung telah membawa inspirasi bagi para cendekiawan muslim untuk mengembangkan lebih jauh lagi masalah Islamisasi Ilmu pengetahuan atau sains. Ada empat pemikir muslim kontemporer yang dapat mewakili wacana baru ini. Mereka adalah Seyyed Hoessein Nasr, Syed Muhammad Naquib alAttas, Ismail Raji al-Faruqi, dan Ziauddin Sardar2. Ide-ide yang dibawa oleh mereka tentang perlunya membangun kembali ilmu pengetahuan Islam adalah berbeda-beda, tetapi berangkat dari persolan yang sama, yaitu karena epistemologi dan ilmu pengetahuan modern yang berasal dari peradaban Barat tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim. Seyyed Hoessein Nasr, misalnya untuk menghalang efek negatif dari peradaban Barat beliau mengagap persoalan-persoalan itu bisa didekati dengan pespektif sufi dan tradisonalis dan menganggap masalah yang dampak dari peradaban Barat itu hanya masalah etika. Hal yang sama juga disampaikan oleh al-Attas. Sedangkan al-Faruqi melihat
pendidikan yang menjadi titik tolak
yang bisa menangkal arus negatif pemikiran Barat. Lain lagi dengan Ziauddin Sardar, yang menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini. Dalam melihat Ziauddin Sardar dan kaitannya dengan Islamisasi ilmu pengetahuan, penulis tidak melihat kata perkata, seperti arti atau pengertian kata Science, knowledge, dan sebagainya, tetapi disini penulis melihat pemikiran Ziaudidin Sardar, khususnya ide-idenya tentang pengembangan khazanah intelektual dan membangun kembali ilmu pengetahuan Islam. Untuk melihat pemikiran Ziauddin Sardar, maka akan dijelaskan berikut ini siapa Ziauddin Sardar itu dan apa kegelisannya sehingga dia termasuk salah seorang pemikir muslim yang sangat gencar melakukan Islamisasi ilmu Pengetahuan.
1
Lihat dalam “Islamisation of knowledge” dalam http: //www. iberr.co.za/confrep3. htm; Lihat juga dalam Syamsul Arifin dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, (Yogyakarta: SIPRESS, 1996), hal. 77 2 Lihat dalam Taufik Abdullah dkk, (ed)., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid ke-6, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 145
2
B. Sardar dan Kegelisahannya Ziauddin Sardar3, kelahiran Pakistan pada tahun 1951, yang dibesarkan di Inggris adalah Doktor dibidang fisika dan jurnalis independen dalam bidang sains dan teknologi. Sejak awal tahun 1980-an ia cukup rajin menulis dalam beberapa majalah ilmu pengetahuan terkemuka. Sebagai koresponden Nature, ia pernah berkeliling kebeberapa negara muslim untuk meneliti perkembangan ilmu dan teknologi. Dia telah banyak menulis buku, di antaranya: The Future of Muslim Civilization, dan Science and Teknology in the Midle East. Dia juga sebagai Penulis tentang Sains Islam dan Masa depan Islam. Di samping sebagai penulis, dia juga sebagai salah satu editor terkemuka4. Untuk memaparkan ideide tentang Islamisasi ilmu pengetahuan Sardar dan teman-temanya menerbitkan sebuah jurnal, yaitu jurnal Afkar Inquiry dalam bahasa Inggris. Sardar menekankan pembahasannya pada penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islam kontemporer, yaitu sistem ilmu pengetahuan yang sepenuhnya didasarkan pada nilai-nilai Islam. Sebagai seorang muslim, melihat perkembangan ilmu pengetahuan di negara muslim saat ini yang sangat lamban, tentu saja Sardar khawatir kalau nasib ilmu pengetahuan di negara-negara muslim tidak dikembangkan sesuai dengan perubahan dan tuntutan zaman serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim. Kekhawatiran Sardar, tidak hanya pada masalah perkembangan ilmu pengetahuan di negara muslim, tetapi juga ia mengkritik kelompok-kelompok muslim lain yang tidak sejalan dengannya yang mengatakan bahwa dampak negatif ilmu pengetahuan modern dapat diatasi dengan menambahkan etika Islam. Argumen ini menurutnya tidak tepat, karena dampak ilmu pengetahuan juga menyangkut soal kognitif sehingga perumusan epsitemologi Islam juga amat diperlukan. Kritik yang dialamatkan kepada dampak negatif ilmu pengetahuan modern atau Barat, bukan hanya Sardar, tetapi juga berasal dari kalangan filosof dan sejarawan ilmu pengetahuan Barat, seperti kaum pemikir 3
Untuk selanjutnya akan disebut Sardar Taufik Abdullah dkk, (ed)., Ensiklopedi ………., hal. 150; Liha juga dalam Ziauddin Sardar (Ed), The Touch of Midas: Science, Values and environment in Islam and the West, (Manchester: Manchester University Press, 1984), hal. vii 4
3
environmentalist (pecinta lingkungan), bahkan kelompok radikal kiri di Barat yang marak sejak tahun 1960-an. Mereka mempertanyakan tentang keobjektifan dan keuniversalan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, timbul asumsi bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan tidak bebas nilai 5. Dan tidak ada seorang ilmuwan muslim pun yang menuntut ilmu hanya karena rasa ingin tahu, tetapi mereka menuntut ilmu dalam rangka mencari jejak Ilahi6. Melihat kenyataan ini, menurut Sardar, ada empat argumen untuk membangun kembali ilmu pengetahuan yang Islami, yaitu: pertama, sejarah setiap peradaban besar menciptakan sistem ilmu pengetahuannya yang berbedabeda; kedua, peradaban Islam pun dalam sejarahnya mengembangkan sistem ilmu pengetahuan yang unik; ketiga, ilmu pengetahuan Barat bersifat destruktif terhadap umat manusia hingga keakar-akarnya; dan keempat, ilmu pengetahuan Barat tidak dapat memenuhi kebutuhan materil, kultural, dan spiritual masyarakat muslim. Untuk itu, Sardar menawarkan alternatif Islam 7. Dengan demikian, maka diperlukan suatu usaha untuk membangun kembali khazanah intelektual muslim dan ilmu pengetahuan Islam sampai ke akar-akarnya. Tapi sebelumnya akan dijelaskan bagaimana hubunga agama dengan ilmu.
C. Bagaimana Relasi Agama dengan Ilmu? Sebuah kerangka berpikir Hubungan antara agama dan ilmu, demikian Amin Abdullah8, sampai sekarang, masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Karena keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, maupun metode penelitian, kriteria 5
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epsitemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 129 6 Seyyed Hoessein Nasr, Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, (Boulder: Shambhala, 1978), hal. 73-74 7 Lihat Zainal Abidin Bagir, “Kata Pengantar” , dalam Mehdi Golshani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, alih bahasa: Agus Effendi, (Bandung: Mizan, 2003), hal. xii 8 Lihat Amin Abdullah, “ Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuwan Umum dan Agama (dari Paradigma Posivistik-Sekularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik), dalam Jarot Wahyudi dkk (ed), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya mempertemukan Epsitemologi Islam dan Umum, (Yogyakarta: Suka Press, 2003), hal. 1
4
kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masingmasing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. Dengan kata lain agama tidak mempedulikan ilmu, dan ilmu tidak mempedulikan agama. Untuk melihat hubungan antara agama dengan ilmu, ada empat tipologi yang dikemukan Ian G. Barbour9, yang bisa dijadikan sebagai acuan berpikir. Keempat tipologi tersebut adalah: 1. Konflik, yaitu: disini kedua kelompok, agama dan ilmu, tidak bisa bertemu dan sering memberikan pernyataan yang berlawanan. Sebagai contoh, orang tidak mempercayai Tuhan dan teori evolusi Darwin secara serentak kendatipun mereka tidak bersepakat dalam hal yang mereka yakin. 2. Independensi, yaitu: disini menyatakan bahwa agama dan ilmu adalah dua domain independen yang dapat hidup bersama sepanjang mempertahankan jarak aman satu sama lain. Menurut tipologi ini, tidak perlu ada konflik antara keduanya, karena agama dan ilmu berada di domain yang berbeda. Ilmu menelusuri cara kerja benda-benda dan berurusan dengan fakta objektif, sedangkan agama berurusan dengan nilai dan makna tertinggi. 3. Dialog, yaitu: disini mempertimbangkan asumsi-asumsi ilmiah dan asumsiasumsi teologis dan membandingkan metode kedua bidang ini, agama dan ilmu, yang dapat menunjukkan kemiripan dan perbedaan. Seperti model konseptual dan analogi dapat dipergunakan untuk menggambarkan hal-hal yang tidak dapat diamati secara langsung (Tuhan atau partikel sub atom). Sebagai alternatifnya, dialog dapat terjadi ketika ilmu menyentuh persoalan diluar wilayah sendiri. Dengan kata lain, baik agama atau ilmu, keduanya mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. 4. Integrasi, yaitu: dalam tipologi ini, ada tiga pandangan tentang integrasi, yaitu: Pertama, natural Theologi, yang menyatakan bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari (atau didukung oleh) bukti tentang desain alam, yang tentangnya alam membuat kita semakin menyadarinya. Kedua, Theologi of nature, berangkat dari tradisi keagamaan berdasarkan pengalaman 9
Lihat Ian G. Barbour, When Science Meets Religion, (New York: Harper SanFransiso dan HarperCollins Inc, 2000), hal. 2-4, 28, 31 dan 34
5
keagamaan dan wahyu historis. Beberapa doktrin tradisional harus dirumuskan ulang dalam sinaran ilmu terkini. Dan ketiga adalah sistensis sistematis, ilmu dan agama memberikan kontribusi pada berbagai pengembangan, dan kearah pandangan-dunia yang lebih koheren yang dielaborasi dalam kerangka metafisika yang lebih komprehensif. Keempat tipologi di atas, dapat dijadikan sebagai kerangka dalam melihat hubungan agama dan ilmu. Dalam hal ini, penulis juga menggunakan dalam menganisis pemikiran Sardar dalam proyek “Islamisasi ilmu-nya”.
D. Membangun Kembali Khazanah Intelektual Muslim Dalam rangka membangun kembali khazanah intelektual muslim, maka yang
pertama
sekali
harus
diperhatikan
adalah
bagaimana
caranya
“mengislamkan kembali” peradaban muslim dan merekonstruksikan kembali pandangan dunia Islam yang bersifat konseptual dan dapat berfungsi dalam melahirkan sistem sosial, ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka berikut ini akan dikemukakan beberapa agenda yang harus di “Islamkan”. Islamisasi Peradaban Menurut Sardar, peradaban muslim selama ini adalah dianggap sebagai suatu peradaban sejarah (masa lalu), tidak pernah dianggap sebagai suatu peradaban masa kini atau masa depan. Dengan membatasi aspek-aspek peradaban Islam hanya pada masa lampau saja, yaitu pada aspek-aspek yang sudah jelas seperti etika dan iman atau pada fosilisasi ilmu hukum, pemikiran hukum dan filsafat skolastik yang telah mandeg. Sehingga, peradaban Islam dan masyarakat muslim sekarang bagaikan sebuah bangunan megah namun tua, yang darinya waktu dan tahun-tahun kekhalifahan telah menuntut bayaran. Pondasi-pondasinya memang kuat sekali, tetapi temboknya memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh, plesternya perlu diganti, bagian muka gedungnya perlu dihiasi kembali dan dibuat lebih menarik lagi. Bagian dalam bangunan perlu diselaraskan dengan kebutuhan-kebutuhan hidup masa kini dan masa nanti. Dengan demikian, mereka bearti telah
6
meniadakan masa depannya. Dan masyarakat muslim akan tersungkur pada eksistensi marginal mereka. Padahal, Peradaban Islam adalah sebuah kotinum sejarah, yaitu ia ada pada masa lampau, ada pada masa kini, dan akan ada di masa depan10. Maka kita perlu membangun kembali peradaban muslim secara menyeluruh. Untuk membangun kembali atau mengislamkan kembali peradaban kita, demikian Sardar, kita memerlukan suatu proses teoritis dan praktis, dan kita tidak boleh menggantungkan diri pada sekelompok sarjana atau intelektual saja, tetapi dalam membangun kembali peradaban kita adalah memerlukan
proses
kelompok.
Yakni
memerlukan
usaha
untuk
memperbanyak sarjana dengan latar belakang dan disipin ilmu yang berbedabeda, dengan usaha interdisiplner yang meliputi pemikiran dan tindakan ummah. Oleh karena itu, tidak ada ilmu fisika atau ekonomi murni, dan ilmuilmu lain yang lepas dari aspek sosial, politik, budaya, lingkungan dan spiritual agama. Maka peradaban muslim tidak hanya ditentukan oleh ajaranajaran Qur‟an dan Sunnah semata, tetapi juga ditentukan oleh masa sejarah atau ruang geografis tertentu11. Untuk menuju masa depan, maka diperlukan elaborasi lebih jauh mengenai pandangan dunia Islam. “World View” Islam Untuk “mengislamisasi peradaban” perlu dibaringi dengan suatu world view yang jelas, artinya cara pandang yang jelas terhadap realitas dunia atau pandangan atas dunia, yaitu suatu tatanan konseptual yang dapat berfungsi dalam melahirkan sistem sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Maka pandangan dunia yang dimaksud disini adalah pandangan dunia Islam atau cara pandang Islam terhadap realitas dunia. Secara esensial, menurut Sardar, pandangan dunia Islam meliputi prinsip-prinsip dan susunan konsep-konsep yang terdapat didalam al-Qur‟an dan al-Sunnah. Prinsip-prinsip
10
Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, alih bahasa: Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1987) hal. 65-68 11 Ziauddin Sardar, Masa Depan………., hal. 68 : Lihat juga Ziauddin Sardar (ed), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, alih bahasa: Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyartanto, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 134
7
tersebut membentuk aturan-aturan umum dalam perilaku dan perkembangan serta menetapkan batasan-batasan umum di mana peradaban muslim harus tumbuh dan berkembang. Susunan konseptual tersebut memainkan dua fungsi dasar: Pertama bertindak sebagai suatu standar ukuran, sebuah barometer istilahnya bagi „keislaman‟ dari suatu perkembagan atau pranata tertentu; dan kedua bertindak sebagai dasar untuk menjelaskan pandangan-dunia Islam.12 Prinsip-prinsip pandangan-dunia Islam, secara luas berkaitan dengan perilaku sosial, ekonomi, dan politik, ini banyak dibahas di dalam literaturliteratur Islam, seperti prinsip pelarangan riba, konsep syura, zakat, zhulm. Masing-masing konsep ini, disamping konsep lainnya, harus dielaborasikan sehingga menjadi suatu bagan pengetahuan yang berkembang secara penuh dimana pemahaman teoritis selanjutnya bisa diderivasi dan model-model praktis bisa dilaksanakan. Sedangkan ciri yang paling menarik dari pandangan-dunia Islam adalah bahwa dia mengetengahkan suatu pandangan interaktif dan terpadu. Dengan demikian, suatu pemahaman kontemporer terhadap salah satu konsep, misalnya konsep istishlah (kepentingan umum), harus menimbulkan pemahaman teoritis mengenai bidang ekonomi, sains, teknologi, ligkungan dan politik. Dengan kurangnya pemahaman terhadap konsep kunci 13 dapat menghalang perkembangan-perkembangan dalam semua bidang tersebut. Maka, bagi Sardar, membicarakan tentang peradaban Islam atau “Islamisasi peradaban” harus dimulai dengan pembicaran tentang pandangan dunia. “Proyek Umran/Proyek Peradaban” Setelah jelas tentang pandangan-dunia Islam kemudian menurut Sardar, diperhatikan beberapa hal yang menjadi perhatian serius jika kita ingin mengislamkan kembali peradaban kita, yang dalam bahasa Sardar disebut
12
Lihat dalam AE Priyono (ed), Ziauddin Sardar: Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, (Jakarta: Rislah Gusti, 1998), hal. 9-10; Lihat juga dalam Ziauddin Sardar, Masa Depan………., hal. 70-71 13 Konsep kunci yang dimaksudkan oleh Sardar adalah seperti Allah, (Tuhan, Yang Maha Tinggi), Adab (kebudayaan, kebajiakan, keseimbangan), Akhlaq, Akhirah, ‘Adl, Ajal, ‘Alam, Aman, Amanah, Amin, Amir, ‘Aql, Ardh, dan lain-lain. Untuk lebih jelas tentang konsep kunci ini lihat dalam Ziauddin Sardar, Masa Depan ………, hal. 72-74
8
dengan “proyek umran”. Proyek umran tersebut secara serentak dilaksanakan dalam tujuh tingkat14, yaitu: 1. Model negara Madinah: Visi mengenai masa depan peradaban muslim didasarkan atas satu model ideal, yaitu Negara Madinah. 2. Parameter peradaban: artikulasi epsitemologi Islam yang dibuat oleh para sarjana muslim sebelumnya harus dikembangkan lebih jauh, dan parameter menyangkut cara produksi dan filsafat ilmu harus ditemukan kembali. 3. Teori, model, paradigma, metodologi: disini kita memerlukan sejumlah sarana intelektual seperti teori-teori perubahan dan penyebaran dalam masyarakat muslim; menggabungkan teknik-teknik terbaik dari pengetahuan tradisional dengan teknik-teknik terbaik dari metode pengkajian dan riset modern; mengembangkan paradigma-paradigma dan teori-teori baru yang mendapatkan
kekuatan
dari
Kerangka
Pedoman
Mutlak,
dan
mengetengahkan suatu kerangka analisis dan artikulasi pada tingkat kedalaman yang diperlukan. 4. Lingkungan masa kini dan lingkungan masa depan: disini memerlukan kepada penilaian realiatas menyangkut sumber-sumber umat seperti sumber daya manusia, fisis, alam, finansial, informasi dan organisasi; dan kita harus memikirkan bagaimana terjadinya perubahan dalam sumber-sumber kita, peningkatan apa yang dapat kita harap, dan masalah-masalah apa yang mungkin timbul. 5. Cita-cita peradaban muslim pada masa depan: cita-cita ini adalah bersifat jangka panjang, artinya keadaan pada masa mendatang yang kita inginkan, dan untuk merealisasinya diperlukan usaha yang harus dilakasanakan selama beberapa generasi. Untuk mendapatkan cita-cita tersebut, maka harus mendapat ijma’ (mufakat) dari seluruh sarjana muslim dan pada masalah tertentu rakyat muslim. 6. PAYOFF muslim: disini untuk meralisasi cita-cita dalam bentuk praktek melalui Plans and alternative to yield options for the future, seperti 14
Lihat dalam Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, alih bahasa: Rahmani Astuti, Cet ke-4 (Bandung: Mizan, 1993), hal. 152-169
9
bagaimana
kita
dapat
memasukkan
konsepsi-konsepsi
nilai
yang
menentukan dan pandangan normative kita dalam proses perencanan dan pengambilan keputusan. 7. Alternatif masa depan muslim: setelah selesai semua apa yang telah di jelaskan di atas, maka langsung ditujukan kepada apa yang telah dicitacitakan umat muslim pada masa depan. Untuk sampai pada visi ini diperlukan proses yang berkesinambungan, Ijtihad (perjuanagn) yang tak henti-hentinya untuk mendekati alternatif yang paling menyerupai Negara Madinah.
E. Membangun kembali Ilmu pengetahuan Islam Ide Islamisasi pengetahuan sebenarnya berangkat dari asumsi bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai atau netral. Ilmu sesungguhnya mengandung nilai-nilai
yang
merefleksikan
pandangan
dunia
masyarakat
yang
menghasilkannya. Dengan demikian, Sardar dalam hal ini, mengatakan bahwa: Ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari pandangan dunia dan sistem keyakinan. Daripada “meng-Islamkan” disiplin-disiplin yang telah berkembang dalam miliu sosial, etik, dan kultural Barat, kaum cendekiawan muslim lebih baik mengarahkan energi mereka untuk menciptakan paradigma-paradigma Islam, karena dengan itulah tugas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan urgen masyarakatmasyarakat muslim bisa di laksanakan15. Konsep Qur‟an tentang ilm, yang biasa diterjemahkan menjadi “ilmu pengetahuan”, secara orisinal telah membentuk ciri-ciri utama peradaban muslim dan menuntunnya kearah puncak kejayaannya. Pada masa itu, ilm, telah menciptakan cara berpikir dan menyelidik yang khas Islam. Ilm menentukan bagaimana kaum muslim memahami realitas dengan sebaik-baiknya, dan bagaimana pula membentuk dan mengembangkan sebuah masyarakat yang adil. Di samping itu, dalam Islam ilm tidak pernah menjadi musuh bagi agama, 15
AE Priyono (ed), Ziauddin Sardar: Jihad Intelektual …………, hal. 35
10
sebagaimana yang terjadi di Eropa pada masa Galileo dengan teleskopnya. Karena dalam sejarah Islam belum pernah ada perang besar antara sains dan agama, dan Islam bukanlah agama atau teologi sebagaimana yang sejak zaman dahulu dipahami orang. Sesungguhnya, Islam tidak bisa dipahami hanya sebagai sebuah agama semata, tetapi Islam juga merupakan sebuah budaya dan sebuah masyarakat yang sudah ada selama empat belas abad lamanya, dan Islam merupakan pandangan dunia (world view) untuk memandang dan membentuk dunia16. Dengan demikian, Islam bisa mengarahkan segala kegiatan ilmiah. Dalam membangun kembali ilmu penegtahuan Islam, Sardar menganjurkan untuk merumuskan kembali epistemologi dan metodologi Islam. Perumusan kembali epistemologi Islam Tugas primer yang mendesak untuk diselesaikan, menurut Sardar, adalah mengembangkannya suatu teori kontemporer mengenai epsitemologi Islam. Epsitemologi atau teori pengetahuan adalah titik pusat dari setiap pandangan dunia. Dalam konteks Islam ia merupakan parameter yang bisa memetakan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidangbidangnya; apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Dengan demikian, epistemologi berusaha memberikan definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasi sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya. Tapi epsitemologi bukanlah semata-mata masalah filsafat, tetapi juga mempunyai hubungan erat dengan realitas konkret17. Perumusan epistemologi Islam kontemporer tidak dapat dimulai dengan menitikberatkan pada disiplin-dispilin ilmu yang sudah ada, tetapi dengan mengembangkan paradigma-paradigma18 baru dimana ekpresi-
16
Ziauddin Sardar (ed), Merombak Pola Pikir ……….., hal. 23 Ziauddin Sardar, Masa Depan………., hal. 85 18 Kata paradigma adalah istilah teknis utama dalam filsafat ilmu dan pertama sekali dipakai oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions, pada dasarnya paradigma adalah cara pandang atas segala sesuatu; seperangkat asumsi,keyakinan, dogma, konvensi, teori yang dipakai bersama. Kuhn secara umum menaruh perhatian pada bagaimana pergeseran-pergeseran paradigma terjadi seiring dengan perkembangan 17
11
ekspresi eksternal peradaban muslim, seperti sains dan teknologi, politik dan hubungann-hubungan internastional, struktur-struktur sosial dan kegiatan ekonomi, pembangunan desa dan kota, dapat dipelajari dan dikembangkan dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan dan realitas kontemporer. Maka disini, membutuhkan dua tipe paradigma, yaitu: Pertama, paradigma ilmu pengetahuan; dan kedua, adalah paradigma tingkah laku19. Paradigma yang pertama, menitikberatkan pada prinsip-prinsip, konsep-konsep dan nilai-nilai Islam yang penting yang berhubungan dengan bidang pengkajian tertentu (khusus). Sedangkan paradigma yang kedua, menentukan batas-batas etik dimana para sarjana dan para ilmuwan bisa bekerja secara bebas. Tentu saja wadah besar prinsip-prinsip, konsep-konsep dan nilai-nilai itu hanya bisa ditemukan di dalam al-Qur‟an, kehidupan Nabi dan khazanah intelektual Islam itu sendiri, Tetapi semua ini, harus dipelajari dari perspektif realitas kontemporer. Selanjutnaya, disiplin-disipli ilmu, seperti juga paradigma, dapat dibagi kedalam dua tipe, yaitu; Pertama, disiplindisiplin sebagai ilmu pengetahuan, seperti matematika, tata bahasa, sosiologi dan fisika; dan tipe kedua, adalah disiplin-disiplin sebagai pembentuk tingkah laku manusia, individu atau kelompok, kearah kontrol diri yang teratur, seperti orang tua mendidik anak-anak, pengembangan kelompok untuk tugas-tugas yang kompleks dalam ilmu kedokteran dan sains, atau proses kejenuhan budaya dalam pengajaran bahasa asing. Selanjutnya, lanjut Sardar, jika penyelidikan-penyelidikan ini dipacu di dalam paradigma-paradigma Islam yang dikembangkan secara penuh, kedua macam disiplin ilmu ini akan muncul dengan sendirinya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim. Dan akan melahirkan disiplindisiplin ilmu yang bukan saja menjadi subordinan dari pandangan-dunia Islam, tetapi juga yang bisa dipakai sebagai alat untuk memenuhi kebutuhankebutuhan material, kultural, dan spiritual ummat. Jadi, paradigma-paradigma itu merupakan prasyarat untuk menemukan kembali epsitemologi Islam. ilmu. Lihat dalam Ziauddin Sardar, Thomas S. Kuhn dan Perang Ilmu, alih bahasa: Sigit djatmiko, ( Yogyakarta: Jendela, 2002), hal. 69 19 Ziauddin Sardar, Masa Depan………., hal. 103
12
Epsitemologi Islam menekankan pada keseluruhan pengalaman dan kenyataan/realitas, serta tidak menganjurkan satu, tetapi banyak cara untuk mempelajari dan mengkaji alam. Konsep ilm mencakup hampir semua bentuk ilmu pengetahuan mulai dari pengamatan murni sampai pada metafisika yang paling tinggi. Dengan demikian, ilm dapat diperoleh dari wahyu dan juga akal, dari observasi maupun intuisi, dari tradisi sampai spekulasi teoritis. Sementara berbagai cara menelaah alam dan realitas sama-sama sah dalam Islam, semuanya tunduk pada nilai-nilai wahyu al-Qur‟an yang kekal. Di samping itu, epistemologi Islam juga menekankan saling keterkaitan. Semua bentuk pengetahuan saling berkait dan secara organis dihubungkan oleh jiwa wahyu al-Qur‟an yang selalu hidup. Dengan demikian, Islam tidak hanya mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan, tetapi juga selalu menghubungkannya dengan gagasan Islam yang unik mengenai ibadah. Ilm adalah suatu bentuk ibadah. Karena itu, ilmu pengetahuan dicari dalam rangka pengabdian kepada Allah dan untuk mencari ridla-Nya. Lebih jauh lagi, ilm tidak hanya berkaitan dengan ibadah, dia juga dikaitkan dengan setiap nilai alQur‟an seperti khilafah, ‘adl, dan istishlah. Hubungan antara ilm
dan ibadah mengandung arti bahwa ilmu
pengetahuan tidak dapat dicari jika
secara terbuka melanggar perintah-
perintah Allah, hubungan antara ilm dan khilafah mengubah alam menjadi bidang kesucian. Manusia sebagai wali Tuhan, sebagai pemegang amanahnya, tidak boleh
mencari ilmu pengetahuan dengan mengorbankan alam.
Sebaliknya, sebagai penjaga alam, manusia berusaha untuk memahami alam untuk mengapresiasikan “ayat-ayat” Tuhan, bukan untuk menjarah alam. Dengan demikian, kesalingterkaitan antara ilm dan ‘adl serta istishlah menjamin bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan untuk memajukan prinsip-prinsip persamaan, keadilan sosial, dan nilai-nilai lain yang didukung oleh masyarakat dan kebudayaan muslim. Di samping itu, dalam
Islam juga terdapat suartu hirarkhi
pengetahuan yang rumit yang dipadukan dan bermuara lewat prinsip-prinsip tauhid (keesaan Tuhan), yang berpusat pada satu poros lewat seluruh cabang
13
ilmu pengetahuan. Seperti cabang ilmu hukum, sosial dan teologi, makrifat dan metafisika yang berasal dari sumber wahyu (al-Qur‟an). Kemudian dalam peradaban muslim dikembangkan ilmu filsafat, ilmu alam dan matematika, dan lain-lain yang disatukan dalam pandangan Islam dan secara menyeluruh dimuslimkan20. Bagi Umat Islam, Demikian Sardar, epistemologi tradisional Barat dari Berkeley, Hume, Russel dan lain-lain tidak relevan. Karena tidak mengandung kerangka pedoman mutlak, dan hanya dapat menjurus kepada pertentangan dan kekacauan. Selain itu, epistemologi tradisonal Barat telah menyesampingkan cara-cara mengetahui alternatif lainnya. Dan juga telah mendapat kritikan dari kalangan mereka sendiri seperti Hume, Feyerabend, Kuhn, dan lain-lain. Bagi Kuhn, Sebuah sains yang objektif, bebas nilai dan netral, tidak mungkin akan ada21. Kritik terhadap epistemologi ini, juga pernah dikemukan oleh Seyyed Hoessein Nasr pada tahun 1960-an dan awal 1970-an, yang menyajikan perspektif sufi secara terbuka atas krisis epistemologi dalam peradaban Barat. Hal yang sama juga dikemukakana oleh Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi. Al-Attas mengatakan bahwa skeptisisme yang tidak mengenal batas-batas etik dan nilai dari sistem ilmu pengetahuan Barat adalah merupakan antitesa terhadap epsitemologi Islam. Bagi sarjana muslim, bekerja menurut sistem ilmu pengetahuan Barat sama artinya dengan mengembangkan nilai-nilai serta ketegangan batin dari kebudayaan dan peradaban Barat. Karena ilmu seperti itu tidak akan bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim. Selanjutnya bagi al-Faruqi, untuk mengatasi hal seperti itu, maka umat Islam harus merumuskan sistem epistemologi dan pendidikannya sendiri22.
20
Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan………, hal. 42-43 AE Priyono (ed), Ziauddin Sardar: Jihad Intelektual …………, hal. 40; Lihat juga Greg Soetomo, Sains dan Problem Ketuhanan, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 21-23 22 Lihat dalam AE Priyono (ed), Ziauddin Sardar: Jihad Intelektual …………, hal. 42; lihat juga dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, alih bahasa: Hamid Fahmi dkk, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 391 21
14
Melihat kenyataan ini, menurut Sardar, ada sembilan ciri dasar epistemologi Islam23, yaitu: 1. Yang didasarkan atas suatu kerangka pedoman mutlak (al-Qur‟an danalSunnah) 2. Dalam kerangka pedoman ini, epistemologi Islam bersifat aktif dan bukan pasif 3. Dia memandang objektifitas sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi 4. Sebagian besar bersifat deduktif 5. Dia memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam 6. Dia memandang pengetahuan sebagai yang bersifat inklusif dan bukan eksklusif, yaitu menganggap pengalaman manusia yang subyektif sama sahnya dengan evaluasi yang objektif. 7. Dia berusaha menyusun pengalaman subyektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-pengalaman ini,
yang dari sini umat muslim
memperoleh komitmen-komitemn nilai dasar mereka. 8. Dia memadukan konsep-konsep dari tingkat kesadaran, atau tingkat pengalaman subyektif, sedemikian rupa sehingga konsep-konsep dan kiasan-kiasan yang sesuai dengan satu tingkat tidak harus sesuai dengan tingkat lainnya. 9. Dia tidak bertentangan dengan pandangan holistik, menyatu dan manusiawi dari pemahaman dan pengalaman manusia. Dengan begitu dia sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari perkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual.
Penyusunan metodologi ilmu pengetahuan yang baru Dalam menghadapi Peradaban Barat yang semakin dominan dan dalam rangka merumuskan kembali ilmu pengetahuan Islam, maka disamping pentingnya untuk merumuskan epistemologi Islam, juga diperlukan suatu metodologi yang handal. Metodologi yang dimaksud disini adalah metode 23
Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan ……….., hal. 44
15
yang dibangun berdasarkan pandagan-dunia Islam. Metode tersebut, menurut Sardar, adalah Syari‟ah. Syari‟ah disini tidak difahami dalam arti yang sempit, sebagaimana yang difahami selama ini dan bukan fiqh saja, tetapi syari‟ah disini secara teoritis mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu pribadi, sosial, politik dan intelektual. Sedangkan dalam prakteknya, dia memberi makna dan visi pada prilaku kaum muslim dalam upaya-upaya keduniaan mereka. Disamping itu, syari‟ah juga merupakan sistem etika dan nilai, suatu metodologi pragmatis yang dikembangkan untuk memecahkan masalah-masalah masa kini dan masa akan datang. Secara tradisional, sumber-sumber syari‟ah dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu sumber utama dan sumber pendukung. Sumber utama adalah al-Qur‟an dan al-Sunnah Nabi, ijma’ para sahabat, qiyas, dan ijtihad. Sedangkan sumber pendukung, diantaranya adalah al-istihsan, istishlah, dan ‘urf. Dengan demikian, lanjut Sardar, pemahaman syari‟ah secara baik pada masa sekarang ini sangat dibutuhkan untuk membangkitkan suatu peradaban muslim dimasa yang akan datang24. Menurut Sardar, Ijtihad merupakan salah satu metodologi yang telah menyebabkan banyak pertentangan di kalangan para intelektual muslim tradisional. Ada yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup dan ada yang mengatakan bahwa pintu ijtihad belum ditutup. Sardar dalam hal ini mendukung pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihad belum ditutup. Akibat dari pemahaman yang mengatakan pintu ijtihad telah ditutup, maka peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan dikalangan muslim mandek. Untuk itu, demikian kata Sardar, perlu perumusan kembali tentang konsep ijtihad dikalangan muslim. Bagi Sardar, ijtihad memiliki dua ciri penting. Pertama, dia tediri atas masalah-masalah yang timbul dari situasi yang nyata dan konkret dalam kehidupan. Sedangkan ciri kedua adalah penyebarannya. Artinya, tidak memiliki batas-batas yang didefinisikan secara tegas, melainkan memotong area displiner tradisional dan ditarik dari seluruh jangkaun
24
Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan …………, ha192
16
subjek25. Dengan kata lain, disini memerlukan pendekatan interdipliner dan multidispliner. Mengingat susahnya melakukan ijtihad secara individu, karena di ikat oleh syarat-syarat yang terlalu sulit, maka usaha-usaha untuk ijtihad, demikian menurut Sardar, harus dilakukan secara berkelompok, atau oleh kelompok-kelompok orang yang secara bersma-sama memenuhi persyaratan sebagai “ulama”, sekaligus memiliki wawasan yang luas mengenai kondisikondisi objektif masa kini. Jika ijtihad di gabungkan dengan qiyas akan dapat menjadi unsur-unsur kunci dalam metode riset masa depan26. Oleh karena itu, dalam Islam, sebagaimana dikatakan Muhammad Iqbal, mempunyai dua sumber dalam menafsirkan realitas, yaitu sumber statis dan sumber dinamis. Sumber statis adalah teks-teks al-Qur‟an dan al-Sunnah. Sedangkan sumber dinamis adalah Ijtihad.
F. Dari Reorientasi ke Reintegrasi: Analisis Kritis Melihat kenyataannya yang ada selama ini, yaitu masih ada anggapan dalam
masyarakat
tentang
adanya
dualisme
dalam
memahami
dan
mempraktekkan ilmu pengetahuan, maka dalam rangka “mengembangkan” atau “mengislamkan” kembali ilmu pengetahuan tidak hanya cukup dengan meluruskan orientasinya saja, tetapi juga harus diintegrasisasikan antara agama (ilmu agama) dengan ilmu (ilmu umum). Sebagai salah seorang intelektual muslim, ide-ide yang dikemukakan Sardar terhadap dampak negatif ilmu pengetahun modern tidak bisa diatasi hanya dengan menambahkan etika Islam, tetapi perlu untuk merumuskan kembali epistemologi Islam. Karena dampak yang diakibatkan oleh ilmu pengetahuan modern juga menyentuh aspek kognitif. Apa yang dilakukan oleh Sardar patut diberikan penghargaan yang setimpal, karena Sardar melakukan reorientasi ilmu pengetahuan Islam secara menyeluruh dan simultan. 25
Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan ………….., hal. 195; Lihat juga Ziauddin Sardar, “Science in Islamic Philosophy”, dalam http://www.net/imase/islam_science_philosophy. htm. 26 Ziauddin Sardar, Masa Depan………….., hal. 125-126
17
Kritiknya terhadap ilmu pengetahuan modern berbeda dengan Nasr yang menggali kritiknya lewat perspektif sufi dan kaum tradisonalis, Sardar mengkritiknya dengan memanfaatkan kritik dari kalangn filosuf dan sejarawan ilmu pengetahuan Barat, kaum pemikir environmetalist (pecinta lingkungan), bahkan kelompok radikal kiri Barat yang marak sejak tahun 1960-an. Sardar juga tidak setuju dengan Bucaille, karena mengangap penemuanpenuman sains modern sesuai dengan ajaran al-Qur‟an. Sedangkan bagi seorang muslim, al-Qur‟an tidak membutuhkan pembenaran dari sains modern, karena ia selamanya sudah shahih sebagai sumber petunjuk universal. Dan bagaimana kalau penemuan modern berubah nantinya, karena penemuan-penemuannya akan berubah dan bersifat relatif. Apakah kita harus merubah al-Qur‟an27. Sebagai seorang manusia, Sardar juga mempunyai kekurangankekurangan dalam mengkonstruk dan memformulasikan ide-idenya terlalu bersifat normatif-filosofis. Hingga kini pandangan dunia Islam yang diinginkannya itu belum terumuskan secara sempurna. Ia sendiri tidak beranjak cukup jauh dari sekedar menyarankan perlunya pembangunan kembali peradaban Islam, epistemologi Islam dan metodologi yang Islami dengan formula teoritis yang ditawarkannya. Dalam hal ilmu pengetahun misalnya Sardar, tidak beranjak cukup jauh dari konsep ideal ilmu pengetahun Islam yang kontemporer. Adapun klasifikasi ilmu pengetahuan dan bentuk praktek ilmu pengetahuan Islam tidak pernah dikemukakan oleh Sardar secara lugas. Mungkin ini memang tidak berada dalam lingkup pemikirannya. Namum dalam tingkat pandangan dunia dan epistemologi ia juga berhenti dalam pembahasan beberapa nilai Islam seperti tauhid, khilafah dan lain-lain. Bagi kelompok yang pesimis terhadap ilmu pengetahuan Islam, ini tidak lebih dari penambahakan etika Islam dalam penerapan ilmu pengetahuan modern, atau memberikan tafsir Islami terhadap temuan-temuannya, dan bukan rekonstruksi radikal atas ilmu
27
lihat dalam Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, alih bahasa: Masdar Hilmy, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hal 62
18
pengetahuan modern. Sardar sendiri menyebutkan bahwa model ilmu pengetahuan Islam itu masih membutuhkan kerja lebih lanjut yang amat banyak. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan yang terdapat dalam konsep Sardar, tetapi ia telah melakukan suatu sintesis atara akal dan wahyu, dan antara ilmu dan nilai. Dengan demikian, jika dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Ian Barbour, maka konsep yang dikemukakan oleh Sardar mengarah kepada integrasi ilmu pengetahuan, yaitu menyatukan konsep wahyu dan akal atau antara agama dan ilmu pengetahuan. Melihat kenyatana tersebut, maka penulis dalam hal ini, mendukung konsep yang ditawarkan oleh sardar, karena dia telah membuat suatu sintesis yang bersifat integral dan menyatukan antara ilmu pengetahuan dengan agama. Tetapi dalam segi aplikasinya, penulis belum melihat secara jelas apa yang diiginkan oleh Sardar. Ini terbukti dengan berbelit belit dan berulang-ulang menyampaikan ide yang sama dalam suatu
kerangka berpikir. Dengan
demikian, Untuk menyatukan kembali agama dengan ilmu atau ilmu-ilmu umum dengan ilmu agama, kita tidak hanya berhenti pada tataran reorientasi semata, tetapi juga membutuhkan suatu integrasi yang menyeluruh dalam semua dimensi, dan memerlukan usaha yang terus menerus dalam mengembangkan kembali ilmu pengetahuan Islam.
G. Penutup Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, pengembangan dan perumusan kembali peradaban, epsitemologi dan kahzanah intelektual Islam sudah sangat dibutuhkan. Dan Sardar telah banyak memberikan kontribusinya terhadap pengembangan tersebut. Sekarang tinggal kita, sebagai generasi penerus, untuk melanjutkan apa yang telah di formulasikan dan dikonstruk oleh Sardar dan teman-temannya. Dalam mengkonstruk dan memformulasikan ide-ide tersebut memerlukan penafsiran secara terus-menerus.
19
DAFTAR PUSTAKA
AE Priyono (ed), Ziauddin Sardar: Jihad Intelektual Merumuskan Parameterparameter Sains Islam, (Jakarta: Rislah Gusti, 1998). Amin Abdullah, “ Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuwan Umum dan Agama (dari Paradigma Posivistik-Sekularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik), dalam Menyatukan
Kembali
Ilmu-Ilmu
Agama
Jarot Wahyudi dkk (ed), dan
mempertemukan Epsitemologi Islam dan Umum,
Umum:
Upaya
(Yogyakarta: Suka
Press, 2003). Greg Soetomo, Sains dan Problem Ketuhanan, (Yogyakarta: Kanisius, 1995). Ian G. Barbour, When Science Meets Religion, (New York: Harper SanFransiso dan HarperCollins Inc, 2000). “Islamisation of knowledge” dalam http: // www. Iberr.co.za/confrep3.htm; Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epsitemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003). Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, alih bahasa: Masdar Hilmy, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996). Seyyed Hoessein Nasr, Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, (Boulder: Shambhala, 1978). Syamsul Arifin dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, (Yogyakarta: SIPRESS, 1996). Taufik Abdullah dkk, (ed)., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid ke-6, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, alih bahasa: Hamid Fahmi dkk, (Bandung: Mizan, 2003). Zainal Abidin Bagir, “Kata Pengantar” , dalam Mehdi Golshani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, alih bahasa: Agus Effendi, (Bandung: Mizan, 2003). Ziauddin Sardar, Thomas S. Kuhn dan Perang Ilmu,alih bahasa: Sigit Djatmiko, (Yogyakarta: Jendela, 2002). …….., (Ed), The Touch of Midas: Science, Values and environment in Islam and the West, (Manchester: Manchester University Press, 1984).
20
……..,, Masa Depan Islam, alih bahasa: Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1987). …….., (ed), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, alih bahasa: Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyartanto, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000). ……..,, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, alih bahasa: Rahmani Astuti, Cet ke-4 (Bandung: Mizan, 1993). ……..,“Science in Islamic Philosophy”, dalam http://www.net/imase/islam science philosophy. htm
21