PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH AIR (Studi Kasus dalam Majalah Insaf dan Aliran Baroe pada Masa Kolonial Belanda, 1937-1941) Muhammad Ridho Rachman Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan buah pemikiran Hamid Algadri khususnya mengenai tema Indo-Arab dan tanah air dalam dua majalah; Insaf dan Aliran Baroe pada rentang periode 1937-1941. Dalam pembahasan ini digambarkan juga mengenai latar belakang kehidupan, lingkungan intelektual,dan gambaran sosial politik yang memengaruhi pemikiran Hamid Algadri khususnya mengenai tema-tema yang dibahas. Hamid Algadri adalah pionir dari golongan Arab yang mengenyam pendidikan tinggi dalam bidang ilmu hukum pada masa itu. Berbagai tulisannya mempunyai kontribusi penting bagi kekuatan gerakan partainya (Partai Arab Indonesia). Posisinya sebagai redaktur majalah Insaf membuat ia cukup sering menuangkan pemikirannya dalam majalah tersebut. Majalah Aliran Baroe, sebagai orgaan officieel PAI cabang Surabaya, punturut memuat berbagai tulisannya. Dari kesemuanya, penulis mengangkat dua tema yakni tentang Indo-Arab dan tanah air karena sering ditulisnya. Kedua tema ini pula yang sering dibahas dalam komunitas masyarakat Arab di Indonesia, khususnya para pemuka PAI—juga oleh tokoh-tokoh nasional yang menaruh perhatian terhadap hal tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikirannya dalam dua tema tersebut merupakan reaksi dari kondisi masyarakat peranakan Arab (Indo-Arab) di Indonesia yang menurutnya harus menginsafi diri sebagai putra Indonesia. Ia meminta golongan Indo-Arab keluar dari kehidupan yang cenderung mengisolasi diri dari masyarakat umum Indonesia. Buah pemikirannya memperlihatkan bahwa Algadri merupakan salah satu tokoh keturunan Arab yang progresif dan memiliki konsistensi dalam memperjuangkan apa yang ada dalam idealismenya. Kata kunci
: sejarah pemikiran, Hamid Algadri, Indo-Arab, tanah air, Insaf, Aliran Baroe.
1. PENDAHULUAN Pergerakan kebangsaan Indonesia dimulai pada awal abad ke-20 yang ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi rakyat yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan. Di antara organisasiorganisasi yang lahir pada awal tahun 1900-an itu, Budi Utomo dikatakan sebagai organisasi modern pertama yang lahir di Indonesia. Oleh karenanya, tanggal lahir Budi Utomo, yakni 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Faktor utama yang mendorong lahirnya kesadaran nasional tersebut terutama sekali adalah faktor pendidikan yang mulai masif dikenyam oleh rakyat
Indonesia sejak akhir abad ke-19—sebagai salah satu kebijakan Politik Etis yang diterapkan pada masa itu (Anshoriy, 2008). Pergerakan nasional yang muncul secara langsung telah memengaruhi sebagian dari kalangan etnis-etnis non-pribumi, seperti Cina, Eropa, dan Arab, yang juga merasa bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Bagaimanapun—menurut kaum tersebut—berbagai pengalaman ekonomi, sosial, politik mereka sama dengan yang dialami oleh golongan pribumi Indonesia. Tercatat bahwa organisasi non-pribumi pertama yang menjadi benih nasionalisme dari golongan Indo-Eropa adalah Indische
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
2
Bond (1899) yang menjadi cikal bakal Insulinde yang lahir pada 1907 di Bandung (Pringgodigdo, 1964). Kemudian Partai Tionghoa Indonesia (1932) yang lahir tahun 1932 mewakili golongan etnis Cina. Organisasi ini lahir dari rahim tokoh-tokoh pers koran Sin Tit Po, yang beraliran nasionalis (Suryadinata, 2010). Terakhir, golongan Indo-Arab mendirikan organisasi nasionalisnya yang bernama Partai Arab Indonesia (PAI) pada tahun 1934. PAI lahir dari deklarasi para tokoh keturunan Arab yang terkenal dengan sebutan Sumpah Pemuda Keturunan Arab yang menyatakan bahwa Indonesia adalah tanah air mereka (Santoso, 2003). Upaya perjuangan golongan Indo tersebut merupakan suatu usaha alternatif setelah mereka tidak diterima dalam berbagai organisasi nasionalis (pribumi) pada masa itu. Kondisi sosial pada masa itu masih mengganggap bahwa peranakan nonpribumi adalah orang asing yang hanya menetap dan tinggal di tanah Indonesia. Tetapi bagaimanapun juga, mereka bukanlah orang Indonesia. Persatuan Arab Indonesia (kemudian berubah, Partai Arab Indonesia) adalah organisasi Islam nasionalis yang dicetuskan oleh AR. Baswedan (Menteri Muda Penerangan 1946-1947) yang beranggotakan para pemuda peranakan Arab yang memulai gerakannya atas dasar pengakuan terhadap Indonesia sebagai tanah air bagi para peranakan Arab. Dalam usaha-usaha menuju kemerdekaan Indonesia, PAI memiliki kontribusi penting dengan ikut berjuang dalam Petisi Soetadjo, GAPI, MIAI, serta aktif dalam berbagai usaha perjuangan lainnya bersama tokoh-tokoh pejuang bangsa pribumi. Kaum keturunan Arab menyatakan Indonesia sebagai tanah air mereka meskipun Pemerintah Kolonial Belanda memasukkan mereka ke dalam golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) berdasarkan Pasal 163 Indische Staatregeling (Algadri, 1988). Artinya bahwa dalam hukum pemerintah,
mereka adalah orang asing meskipun sebenarnya ibu-ibu mereka adalah orang Indonesia asli, mereka lahir di Indonesia, serta mengadopsi budaya Indonesia sepenuhnya. Hamid Algadri memandang bahwa adanya suatu “Politik Segregasi” ketika menempatkan semua golongan Arab ke dalam strata Vreemde Oosterlingen (Algadri, 1988). Secara definitif, pengertian segregasi menurut bahasa adalah pemisahan (suatu golongan dari golongan lain) atau pengasingan (KBBI, 2008). Bagi Hamid Algadri, Politik Segregasi adalah kebijakan pemerintah yang membagi-bagi penduduk jajahan menjadi kelas-kelas tertentu berdasarkan ras atau agama. Ada upaya pemisahan antara penduduk pribumi dengan keturunan Arab yang mengharuskan mereka tinggal dalam satu wilayah yang telah ditentukan oleh pemerintah untuk memudahkan mengontrol mereka dan jika ingin keluar bepergian dari wilayah tersebut, mereka wajib membayar retribusi untuk berpergian yang dikenal dengan Passen Stelsel. (Santoso, 2003). Mengenai Hamid Algadri (selanjutnya disebut HA), ia merupakan salah seorang politisi PAI. Penulis tertarik membahas pemikiran HA pada masa kolonial, khususnya saat ia bergabung dalam PAI. Semenjak menjadi redaktur majalah PAI, Insaf, ia sering menulis dengan berbagai macam tema, berbagai pendapatnya atas permasalahan sosial dan politik yang terjadi terhadap golongan Arab atau soal lainnya. Tetapi dari kesemua tulisannya, penulis mengangkat dua tema yakni tentang Indo-Arab dan tanah air karena kedua tema inilah yang paling sering ditulisnya. Kedua tema ini pula yang kerap dibahas dalam komunitas masyarakat Arab di Indonesia, khususnya para pemuka PAI, juga oleh tokoh-tokoh nasional yang menaruh perhatian terhadap hal tersebut. HA merupakan pionir dari golongan Arab yang pertama menempuh pendidikan tinggi dalam bidang ilmu hukum. Oleh Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
3
karenanya, ada perbedaan-perbedaan penekanan dalam tulisannya dibandingkan dengan penulis-penulis lainnya mengenai tema-tema tersebut. Dalam berbagai artikelnya, ia menyertakan pendekatan hukum di dalamnya. Tulisannya menjelaskan tentang status hukum kewarganegaraan, hak-kewajiban seseorang dalam hukum tatanegara dan sipil, penjelasan-penjelasan yang menyangkut di dalamnya, dan kritik kepada pemerintah yang tidak sejalan dengan teori hukum yang semestinya. Sebenarnya cukup sulit untuk memasukkan ke dalam kategori mana HA ini. Apakah lebih sebagai seorang penulis
atau seorang politisi partai. Kontribusinya lebih cemerlang dalam berbagai pidato, diskusi, dan perundingan—sebagaimana seorang politisi—dibandingkan karirnya dalam dunia penulisan. Namun, secara umum menurut penulis, berbagai tulisannya menyiratkan kontribusi besar pula bagi kekuatan gerakan PAI, khususnya dalam kritik terhadap realitas golongan Indo-Arab yang mengisolasi diri, kritik terhadap pemerintah soal status hukum warga negara, dan definisi tanah air yang bagi golongan Arab masa itu. PAI pun tak luput mengabaikan keahliannya dalam setiap perancangan serta penafsiran AD/ART Partai.
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah. Penelitian ini membahas buah pemikiran dari Hamid Algadri dalam majalah, berbagai tulisannya yang menjadi sumber primer penelitian diperoleh dari Perpustakaan Nasional RI dan perpustakaan pribadi tokoh. Selanjutnya juga dilakukan penelusuran terhadap buku-buku referensi dan laporan-laporan penelitian terkait. Tahap kedua adalah kritik atau pemilahan sumber yang telah didapat. Pemilahan ini memisahkan sumber-sumber primer, sekunder, dan sumber-sumber yang layak atau tidak layak dijadikan referensi, baik
secara ekstern maupun intern. Tahap ini dimaksudkan agar sumber-sumber yang digunakan kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan isinya. Tahap selanjutnya adalah interpretasi atau pemaknaan data yang didapat dari sumber. Interpertasi dilakukan seobjektif mungkin dengan merujuk pada sumber-sumber yang didapat. Tahapan terakhir adalah historiografi atau penulisan yang bersifat akademik dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pada tahap ini dilakukan rekonstruksi terhadap pemikiran HA dengan menggunakan kaidah Ilmu Sejarah.
3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Hamid Algadri terlahir dengan nama Sayid Hamid Muhammad Algadri di Surabaya, Jawa Timur, pada 12 Juli 1910. Kata “sayid” (bentuk jamak saadah), berarti tuan. Sayid merupakan sebutan yang khusus bagi seorang yang dianggap sebagai keturunan Nabi Muhammad dari garis keturunan Husain, putra Ali bin Abi Talib menantu Muhammad. HA berasal dari keluarga Algadri, merupakan keluarga yang cukup terpandang di masyarakat.
Kakek dan ayahnya adalah seorang Kapiten der Arabieren (Kapten Arab) di Pasuruan. Kapten Arab adalah suatu jabatan pada masa kolonial Hindia Belanda yang diangkat oleh pemerintah kolonial dengan tugas mengepalai orangorang etnis Arab. Menurut HA, kepala Arab ini sifatnya kehormatan dengan pangkat letnan atau kapten, tergantung oleh banyaknya warga Arab yang tinggal di daerah tersebut atau lamanya kedudukan tadi dijabat seseorang (Haikal, 1986). Namun, jabatan itu tidak menjadikan Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
4
mereka sebagai kaki tangan kebijakankebijakan Belanda. Mereka lebih mengganggap diri sebagai pelindung golongannya ketimbang sebagai pegawai Pemerintah Belanda (Algadri, 1999).
antara lain oleh Agus Salim yang dibentuk pada tanggal 1 Januari 1925. Pergerakan JIB didasarkan atas Islam dan nasionalisme Indonesia. HA lalu bergabung di dalamnya tahun 1930.
Sebagai keluarga Arab, keluarga HA bisa dikatakan moderat, hal itu terlihat dari anak-anak mereka yang mengenyam pendidikan modern Barat. Kondisi ini berbeda dengan pandangan masyarakat Arab pada masa itu yang menganggap bahwa sekolah kolonial akan “merusak” agama anak-anak mereka. Umumnya, orang Arab pada masa itu termasuk golongan yang anti terhadap sesuatu yang beraroma Barat, termasuk pendidikan Barat (Haikal, 1986). Meskipun ditentang oleh golongannya sendiri, keluarga Algadri tetap memilih pendidikan Barat agar kelak anak dan cucu mereka berpikiran modern.
Masa sekolah menengah, HA rasakan bahwa gerakan nasionalis (non-agama) pada waktu itu sangat meningkat aktivitasnya, baik dalam bentuk partai maupun kelompok belajar (studieclub). Semangat ini juga menjalar kepada siswasiswa di sekolah HA. Walau sebagai anggota JIB, ia menaruh simpati besar kepada gerakan nasionalis. Memang sangat logis jika seorang pembela Islam menjadi anti-Belanda sekaligus seorang nasionalis. Sehingga, HA berkeinginan sekali mendekatkan diri dengan siswa yang beraliran nasionalis (Algadri, 1988).
HA menempuh pendidikan formal sekolah dasar ELS. Kemudian, HA masuk ke sekolah menengah MULO, dilanjutkan di AMS. Setelah itu pada tahun 1936, ia menjadi mahasiswa Rechts Hoge School (Pendidikan Tinggi Hukum) di Batavia. Ia merupakan salah satu pemuda Arab pertama yang menuntut ilmu di perguruan tinggi. Namun, peristiwa penutupan RHS oleh pemerintah pendudukan Jepang membuatnya belum sempat menyelesaikan studinya. Pendidikan ilmu hukum baru diselesaikannya di Universitas Indonesia tahun 1952 melalui inisatif Prof. Djokosoetono yang membuka kesempatan bagi para mahasiswa yang belum sempat menyelesaikan studinya pada masa pendudukan Jepang. Gelar sarjana hukum didapat HA cukup mudah, hanya menempuh ujian tingkat akhir serta mendapat keringanan-keringanan karena alasan telah matang selama masa perjuangan.
Sewaktu berkuliah di RHS Batavia, HA tercatat mengikuti lima organisasi pelajar yang berpusat di ibukota. 1 Kariernya dalam organisasi kepemudaan yang cukup menonjol terlihat saat menjabat sebagai redaktur majalah USI (USIBlad) dan wakil ketua Baperpi. Namun, tak lama ia aktif di Baperpi (organisasi kepemudaan terakhir yang ia ikuti) karena pada masa pendudukan Jepang, ia aktif sebagai kader politik Amir Syarifudin dalam gerakan kampanye bawah tanah anti Jepang. Realitas Sosial Golongan Arab Umumnya orang Arab yang datang ke Indonesia berasal dari Hadramaut. Hadramaut adalah wilayah yang terletak di sepanjang pantai Arab Selatan, berada di antara Aden hingga Tanjung Ras Al-Hadd. Dalam penulisan ini istilah Arab secara spesifik mengacu kepada Hadramaut. Walaupun dalam beberapa hal merujuk pula pada kawasan Arab secara umum. Letak geografis antara Indonesia dengan Hadramaut relatif lebih dekat 1
HA memulai keaktifan berorganisasi dalam Jong Islamieten Bond (JIB), organisasi kepemudaan yang diprakarsai
Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Indonesia Muda, Studenten Islam Studie Club (organisasi JIB tingkat perguruan tinggi), Unitas Studiosorum Indonesisensis (USI), dan Baperpi (Badan Persatuan Pelajar Indonesia). Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
5
dibandingkan jarak dengan wilayah Arabia lainnya menjadi salah satu sebab umumnya orang-orang Arab yang datang ke Indonesia berasal dari Hadramaut. Terlalu sedikit jumlah orang Arab nonHadramaut yang datang ke Indonesia, sehingga sebagian dari mereka kemudian melebur dalam masyarakat Arab pendatang yang berasal dari Hadramaut (Haikal, 1986). Keberadaan orang Hadramaut di Indonesia sudah sejak lama, banyak teori yang menyatakan hal demikian, bahkan jauh sebelum abad ke-17, sebelum bangkitnya Islam di dunia Arab (Berg, 1989). Bajunaid membagi periode persebaran mereka: prakolonial, masa kolonial, dan pascakolonial. Periode pertama diperkirakan sejak abad ke-9 sampai permulaan abad ke-19, periode panjang menggambarkan peran dominan peradaban Islam ke hampir seluruh dunia. Selanjutnya, fase yang kedua ditandai kian derasnya kedatangan mereka yang didukung oleh kemajuan teknologi di bidang transportasi dan dibukanya Kanal Suez 1869. Periode terakhir terjadi ketika lahirnya ide-ide nasionalisme yang di Indonesia sendiri orang Hadrami diikat dalam kesatuan komunitas yang tidak lagi berdasarkan etnis (Bajunaid, 2005). Pada penghujung abad ke-19, lahir kebijakan Politik Etis sebagai wujud balas budi pemerintah kolonial kepada penduduk jajahan Hindia Belanda. Kebijakan terbesar Politik Etis adalah di bidang pendidikan yang membuka lebih luas kesempatan kaum pribumi mengenyam dunia pendidikan. Program tersebut menjadi pendorong lahirnya berbagai organisasi rakyat yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan. Golongan Arab mendirikan organisasinya yang pertama, Jamiyatul Khair, pada tahun 1901 di Batavia. Sebuah organisasi sosial pendidikan yang didirikan oleh golongan Arab yang berpendidikan modern. Kelahiran Jamiyatul Khair juga didorong oleh faktor makin banyaknya jumlah
orang-orang Arab datang ke Indonesia yang sejalan dengan perbaikan sarana transportasi dan dibukanya Terusan Suez. Sebagian dari mereka merupakan orangorang taraf ekonomi mapan dan cukup terdidik. Kedatangan “ulama intelek” ini membawa gerakan tajdid, gerakan pembaharuan atau gerakan pemurnian agama yang membawa Islam yang reformis-modernis. Suatu gerakan yang disebarkan oleh tokoh tiga serangkai: Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha (Haikal, 1986). Jamiyatul Khair mendapat dukungan penuh dari seluruh warga Arab, setidaknya untuk masa sepuluh tahun karena pada tahun 1912 dengan kedatangan guru dari Sudan yang bernama Syekh Ahmad Surkati muncul pro-kontra dalam golongan Arab atas berbagai pernyataan yang dibuat oleh syekh tersebut. Sebagian golongan Arab yang sependapat dengan Syekh Surkati kemudian bergabung dan bersama-sama membentuk Al-Irsyad di Jati Petamburan pada tahun 1914 (Haikal, 1986). Gerakan Al-Irsyad sebagai upaya perlawanan terhadap golongan saadah (kaum sayid) yang mendominasi dalam masyarakat Arab. Lalu, golongan Sayid merespon gerakan Al-Irsyad dengan mendirikan perkumpulan Arrabitah Al-Alawiyah (ikatan kaum Baalawi) 2 pada tahun 1928 yang dari tujuan organisasi dapat diartikan hanya untuk orang-orang Arab di Indonesia, khususnya para Sayid (Haikal, 1986). Dengan kondisi yang kian berlarut-larut, maka kian ramailah apa yang dikenal dengan pertikaian “Partai Sayid dengan Partai Syekh”. Gagasan PAI: Peranakan Arab
Upaya
Menyatukan
Sebenarnya sumber utama pergesekan dalam masyarakat Arab adalah sistem sosial tradisi di Hadramaut yang dibawa ke 2
Ba’alawi atau Alawi semakna dengan saadah atau sayid. Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
6
Indonesia. Konteks sosial, ekonomi, politik, dan geografis yang berbeda melahirkan pemikiran baru. Terlebih migrasinya beberapa golongan dari Hadramuat dikarenakan stratifikasi sosial yang pincang dan kondisi ekonomi politik yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Atas inisiatif beberapa tokoh pemuda Arab dari golongan Alawi maupun non-Alawi, diadakan kongres pada 4 Oktober 1934 yang menelurkan sebuah organisasi yang disebut dengan Persatuan Arab Indonesia (PAI). Sesuai dengan namanya, PAI berusaha menyatukan pihak-pihak yang selama ini berseteru, khususnya di kalangan muwalad, 3 golongan yang sebenarnya hanya terseret dalam pertikaian yang ada. Dengan lahirnya PAI, berangsur-angsur kaum peranakan Arab mulai bersatu. Mereka dipersatukan oleh keyakinan baru sebagai putra-putra Indonesia dan ditarik dari isolasi berpikir maupun dari ruang gerak di lingkungannya selama ini (Suratmin, 1989). Mereka ikut dalam gelanggang perjuangan nasional yang luas. Mereka bergabung dengan saudara sebangsa dan bercita-cita kemerdekaan tanah air dan bangsa (AR. Baswedan, 1974). Peran Hamid Algadri dalam PAI dan Majalah Insaf HA melihat bahwa gerakan PAI merupakan bentuk usaha penyelesaian masalah yang lebih cerah, tokoh-tokoh di dalamnya pun menjadi ketertarikan tersendiri baginya untuk bergabung dalam PAI. Apalagi Baswedan adalah sahabat penanya sejak sekolah di MULO sekaligus sesama anggota JIB di daerahnya masingmasing. Ia mengatakan bahwa cita-cita awal bergabung dalam PAI adalah mencoba mengubah citra buruk Arab sebagai golongan rentenir yang diciptakan oleh Pemerintah yang cenderung digeneralisasi. Stigma buruk ini telah 3
Sebutan bagi orang Arab yang berdarah campuran dan lahir di luar kawasan Arab.
merambah pada golongan pemudaintelektual yang ia rasakan sendiri hal tersebut (Algadri, 1988). HA merupakan pemuda yang cukup berpengalaman dalam berorganisasi, terlebih ia bersama ZA bin Yahya merupakan dua pemuda Arab yang menempuh pendidikan tinggi, karirnya dalam PAI melesat cepat. Menjadi penulis dalam majalah Insaf, kemudian menjadi komisi redaksi majalah tersebut. Karirnya dalam PAI menanjak sejak terpilih menjadi juru periksa PAI, kemudian ketua PAI cabang Jakarta, sampai menjadi anggota Pengurus Besar PAI. Semua jenjang diraihnya sekaligus pada tahun 1937. Pada tahun-tahun awal berdiri, PAI mengalami kesulitan dalam membina cabang-cabangnya sekalipun jumlahnya masih sedikit. Pada Kongres I di Pekalongan tahun 1935, PAI baru memiliki 6 cabang. Kongres II di Surabaya tahun 1937, PAI telah memiliki 10 cabang. Kemudian, pada Kongres III di Semarang, PAI telah memiliki 16 cabang.4 Dengan terbitnya majalah Insaf, orgaan officieel PAI, kesulitan tersebut berkurang. Lewat majalah bulanan tersebut Pengurus Besar PAI dapat langsung memberikan pembinaan pada cabang-cabang. Majalah ini terbit tiap tanggal 25, dengan staf redaksi A. Bajasut dan pembantu tetap A. Makarim, direktur A. Assegaf dan HMA. Hoesin Alatas. Nomor perdananya terbit pada bulan Januari 1937. Insaf adalah nama majalah yang dipilih agar senantiasa teringat bahwa memang yang sebenarnya masyarakat Arab butuhkan dan dituju adalah keinsafan, dan dengan keinsafan diperoleh kemajuan (Insaf, Januari 1937:1). Hadirnya majalah Insaf ini memberikan kesadaran mengenai peran dan tanggung 4
Hingga dibubarkannya PAI menurut catatan sampai Agustus 1941 jumlah cabang PAI sejumlah 50 cabang yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. (Haikal, 1986). Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
7
jawab golongan Arab sebagai putra-putri Indonesia yang harus ikut bersama pejuang pribumi dalam menuntut hak sebagai warga negara. Untuk memperoleh majalah Insaf, para anggota mendapatkan majalah tersebut dengan cuma-cuma karena sebagian iuran anggota disisihkan untuk biaya majalah. Majalah Insaf jelas memperlihatkan Indonesia-sentris dalam setiap tulisannya. Hal ini sesuai dengan cita-cita gerakan PAI yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai tanah air peranakan Arab. Namun, arah penulisan seperti ini berbeda dengan arus majalah-majalah Arab lain yang lahir di Indonesia. Natalie (KITLV, 1996:245) mengatakan bahwa tujuan dari majalahmajalah Arab yang terbit baik dalam bahasa Arab atau Melayu adalah untuk mempromosikan nahdah, renaisans golongan Hadrami di Hindia Belanda. Tak mengherankan bahwa tulisan-tulisan PAI menuai perdebatan dari media Arab yang berlainan paham, dan bahkan dengan media non-Arab. Dalam setiap tulisannya di Insaf, HA mempunyai ciri khusus. Ia sering menulis artikel bernada kritikan, baik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah maupun kepada masyarakat Arab. Setiap artikelnya lebih berbobot karena mengandung penjelasan ilmiah. Kritiknya pun tidak subjektif. Ketidaksetujuannya terhadap satu hal dijadikannya satu pintu untuk melakukan koreksi berdasarkan kadar keilmuan yang ia miliki. Ia tidak menggunakan analogi yang berlebihan yang kadang malahan membuat absurd substansi. Dalam kritik terhadap pemerintah, ia lebih sering mempertanyakan sikap ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan Undang-Undang yang berlaku. Misalnya dalam pengimplementasian Undang-Undang Dasar perubahan Inlandsch Staatregeling tahun 1922. Menurutnya, peraturan yang ada hanya sebatas formalitas belaka. Hanya demi meredam tuntutan dari
golongan Etisch di parlemen Belanda sehingga perubahan UU yang lebih demokratis bagi seluruh penduduk Hindia Belanda itu dilakukan. Tetapi semua itu hanya sebatas kata-kata dalam undangundang, tetapi tidak ada dalam praktik. Keruwetan soal kewarganegaraan juga tak luput jadi bahan kritiknya. Menurutnya, hak-hak kewarganegaraan masih bersifat dualisme dalam bidang staatrecht dan privaatrecht khususnya bagi golongan asing yang terlahir di Indonesia (golongan Indo). Masih saja diberlakukan sistem rasial yang merupakan warisan kebijakan masa lalu. Sehingga menyebabkan tumpang tindih dan tidak bersesuaian dengan logika hukum. Ia juga mengkritik kekolotan masyarakat Arab di Indonesia. Menurutnya, sikap kegolongan tidak lagi sesuai dengan zamannya. Masyarakat bukan lagi golongan yang terlepas dari soal hak dan kewajiban terhadap negara. Ia menyadari bahwa kebijakan segregasi sosial telah dalam memengaruhi mentalitas masyarakat Arab yang menyebabkan mereka cenderung lari dari kontestasi lagi soal politik nasional—belum perselisihan dalam masyarakat Arab yang masih terkubu dalam dua golongan. Ia berpendapat bahwa cara pandang seperti itulah yang membuat golongan Arab terkucilkan dari pergaulan nasional. Menurutnya, sikap yang tepat bagi golongan Arab adalah ikut mengambil kewajiban sebagai putra-putra Indonesia demi menuju persatuan rakyat dan tanah air Indonesia. Secara umum, menurut penulis, berbagai tulisannya memiliki kontribusi besar bagi kekuatan gerakan PAI “seperti yang diketahui bahwa... saudara ini ada menjadi pembantu Insaf dengan tulisan-tulisannya yang berharga”(Insaf, November 1937:162) khususnya dalam bidang hukum seperti kritik terhadap pemerintah soal status hukum warga negara, soal ketanahairan, dan perancangan kebijakan serta penafsiran AD/ART PAI sebagaimana Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
8
kapabilitasnya dalam bidang ilmu hukum atau tulisan-tulisan lainnya yang secara umum menjadi suara politik PAI. Hal yang menjadi menarik karena upayanya di dunia
tulis menulis juga dibarenginya dengan aktif bersuara dalam berbagai pidato politik sebagai seorang aktifis PAI.
TENTANG INDO-ARAB Golongan Arab-Indonesia Antara tahun 1934-1942, golongan IndoArab mengalami perselisihan pendapat yang cukup mendasar. Satu perselisihan yang tidak lagi dalam hal agama dan adat istiadat. Melainkan menyoal suatu pertanyaan lampau yang tidak pernah terjawab: Hendak kemana Indo-Arab setelah semua ini, ataukah mereka akan bergabung dalam satu negara yang dibentuk dari Hindia Belanda? (MobiniKesheh, 1999). Ternyata yang lahir adalah satu konflik baru antara golongan yang berorientasi ke Hadramaut, gabungan dari Al-Irsyad dan Ar-Rabitah, melawan mantan pendukung mereka yang membentuk golongan baru, Partai Arab Indonesia. Golongan PAI adalah pilahan dari IndoArab yang memiliki pandangan berbeda dari mayoritas. Satu generasi yang mendapat pendidikan modern dan ditumbuhi faham baru soal tanah air. Mereka merasakan kecintaan terhadap tempatnya bertumbuh, tidak lagi terkungkung oleh ketatnya peraturan seperti passen en wijken stelsel sebagaimana yang dirasakan generasi sebelumnya. Mereka tidak lagi merasa terpisahkan dengan pergaulan masyarakat Indonesia seperti dulu. Generasi ini bekerja menentukan nasib dan tujuannya sendiri. Tidak menggantungkan diri kepada orang lain yang memiliki orientasi dan tujuan yang berbeda. Walaupun itu orang tuanya sendiri, para wulaiti.5
satu bangsa dengan pribumi Indonesia. Secara umum, majalah Insaf menyebutkan tiga organisasi Indo yang beraliran nasionalis, yang mewakili golongannya masing-masing. Ialah Insulinde dari golongan Belanda-Eropa, PTI yang mewakili etnis Tionghoa, dan PAI dari peranakan Arab. HA mengatakan bahwa pada tahun 1940-an, kian berkembangnya pergerakan dari kaum peranakan maka kian “besarlah perhatian kaum pergerakan nasional kepadanya” (Insaf, FebruariMaret 1940:1). Di sisi lain, kondisi masyarakat Indonesia sampai tahun 1930-an masih belum bisa menerima berbagai simpati dan bantuan dari golongan Indo dalam upaya perjuangan nasionalisme. Hal itu memang diakibatkan stratifikasi sosial yang ada yang menempatkan golongan pribumi dalam lapisan terbawah stratifikasi sosial. Inilah yang menimbulkan sentimensentimen negatif karena pada dasarnya golongan Indo—Belanda, Tionghoa, dan Arab—adalah setengah pribumi.
Sebenarnya perasaan seperti itu tidak hanya dialami oleh golongan Indo-Arab. Bahwasanya telah terdapat pilahan dari golongan-golongan Indo lain yang merasa
Mengenai sentimen sosial, HA menjelaskan bahwa kondisi ketegangan di masyarakat yang paling terlihat memang antara golongan Indo dengan golongan pribumi. Bagaimanapun, golongan Indo adalah separuh pribumi, tetapi mengapa mereka memandang “rendah dan kecil” (Insaf, Maret-April 1939:50) serta memilih lari dari separuh identitasnya sebagai bangsa Indonesia. HA sendiri amat menyayangkan perasaan yang demikian itu dan menyebut mereka sebagai kaum “pelarian”. Dengan satire ia mengatakan bahwa
5
“mereka tidak saja memungkiri darah yang mengalir dalam tubuhnya, tetapi juga memandang
Arab totok, Arab berdarah murni.
Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
9 rendah apa saja yang bercorak Indonesia... mereka lari dan berlindung—si Indo-Eropa pada Westersche cultuur, Indo-Tionghoa pada Republik Tiongkok, Indo-Arab... pada kemajuan Hijaz dan Irak” (Insaf, Maret-April 1939:50).
Tentu jika diminta untuk memilih, maka mereka lebih tertarik sebagai golongan Indo yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding menjadi golongan ibu, golongan pribumi. Hanya lantaran ayah mereka adalah asing sehingga mereka disebut sebagai IndoEropa, Indo-Tionghoa, dan Indo-Arab. HA mempertanyakan mengapa pemikirannya tidak dibalik karena ibu Indonesia maka menjadi Eropa-Indonesia, TionghoaIndonesia, dan Arab-Indonesia. Agaknya dualisme yang ada dimenangkan oleh kedudukan superioritas yang dimiliki golongan Indo dan lari dari definisi Indonesia yang rendahan. Sentimen-sentimen rasial masih begitu jelas terlihat. Kondisi tersebut juga dialami oleh golongan Indo-Arab. HA mengalami sendiri sikap penolakan terhadapnya dalam organisasi-organisasi nasionalis pribumi hanya sebab ia adalah seorang keturunan Arab. (Algadri, 1988). Mengenai sikap umum organisasi nasionalis yang masih memiliki sentimen etnis, dalam satu tulisan HA memberikan komentar yang cermat untuk menenangkan golongan Indo, terutama Indo-Arab atas putusan Kongres ke-II Parindra pada Desember 1938. Pada Kongres Parindra yang dilaksanakan di Bandung memutuskan bahwa Parindra belum bisa menerima orang-orang Indo sebagai anggota. Namun, jika tidak bertentangan dengan asas dan AD-nya, Parindra bersedia bekerja sama dengan golongan Indo (Pusponegoro, 1993:343). HA mengatakan bahwa putusan tersebut “bersifat diplomatis yang ulung sekali yang harus dipuji dari segala pro dan kontra” (Insaf, Januari 1939:7). Menurutnya, pernyataan tersebut mengandung arti belum saatnya golongan Indo diterima dalam barisan Parindra
bukan berarti menutup pintu partai bagi Indo selamanya. Sebagai organisasi politik, keputusan ini merupakan langkah kehatihatian Parindra dalam menentukan sikapnya terhadap golongan Indo agar tidak terlalu menyakiti kalangan-kalangan yang berkepentingan dalam putusan tersebut. Terlebih beberapa waktu sebelum diadakannya kongres tersebut, terdapat segolongan dari Indo yang mendukung pelarangan berbahasa Indonesia dalam gementeeraad. HA menjelaskan bahwa tujuan dari Parindra sebenarnya hanya menolak golongan Indo-Belanda yang sering menunjukkan sikap kontra terhadap pergerakan nasional. Namun, istilah Indo memang tidak hanya dimiliki oleh IndoBelanda saja. Ada golongan lain yang terbawa akibat dari perilaku golongan tersebut. Oleh karenanya, golongan IndoArab tidak perlu mengambil sikap yang berlebihan terhadap putusan tersebut sebab golongan Arab yang diwakili oleh PAI telah diakui kenasionalannya seperti yang diungkapkan oleh Dr. Ratulangie, pemimpin redaksi dari Majalah Nationale Commentaren. Dr. Ratulangie mengomentari tindakan organisasi-organisasi nasionalis yang ekslusif dengan menulis sebenarnya ada “organisasi [indo] yang bersifat nasional. [bahkan] dalam praktiknya lebih nasional dari yang lain” (Insaf, Januari 1939:7). Tetapi mengapa mereka mengambil sikap tegas dengan mengeneralisasi bahwa semua organisasi Indo tidak nasionalis. Bagi HA, hal yang terpenting adalah mesti “memberantas anggapan yang salah itu” (Insaf, Februari-Maret 1940:1) dengan upaya konkret untuk membuktikan kenasionalitasannya. Menjunjung semangat persamaan bangsa, yang terutama menghilangkan perasaan superioritas bangsa Arab terhadap golongan Indonesier, adalah pekerjaan utama dari PAI. PAI bertugas mengadakan “revolusi batin” (Insaf, Desember 1940:12) di kalangan Indo-Arab untuk menjadikan Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
10
mereka Arab-Indonesia. Tugas penting ini merupakan “tugas paling sulit dan paling sukar, dan malah pekerjaan yang paling berat sekali, yang selama ini dihadapi oleh PAI” (Aliran Baroe, April 1939:5). HA memiliki definisi sendiri mengenai perbedaan antara Indo-Arab dan ArabIndonesia. Menurutnya, Arab-Indonesia adalah “mereka yang telah sadar bahwa mereka mempunyai nasib dan kebutuhan seperti juga bangsa Indonesia, tidak mempunyai perasaan lebih tinggi dari bangsa lain” (Aliran Baroe, April 1939:5). Sedangkan, Indo-Arab menurutnya adalah mereka yang arah tujuannya masih kabur. Sekelompok pendatang yang tidak memiliki keterikatan atau bahkan tanggung jawab terhadap Indonesia. Indonesia dianggapnya hanya sebagai tempat hijrah untuk mencari nafkah. Ia menarik diri dari kegiatan nasional, dan bahkan berpikir bahwa golongannya lebih tinggi derajatnya.
tanah air Indonesia. 6 Menurut HA akan lebih sulit tujuan yang hendak dicapai karena “di Indonesia ini lambatnya itu proses [mencapai tujuan], tidak saja disebabkan oleh perbedaan kepentingan, tetapi dalam arti yang juga tidak kurang oleh perbedaan bangsa, di mana yang satu beranggapan lebih tinggi derajatnya daripada yang lain” (Insaf, November 1937:175).
Usaha tak kenal lelah PAIers dalam mengajak seluruh golongan Indo-Arab, memang cukup panjang. Dari tiga tahun sejak berdirinya, PAI berkonsentrasi mengurus hal-hal intern kearaban. Itulah kewajiban PAI, mereka berjuang terus di dalam golongan peranakan Arab agar mereka yang masih berada di luar PAI dan masih menganut definisi Indo-Arab lekas insaf dengan masuk ke dalam PAI dan menjadi Arab-Indonesia.
Seorang PAIers adalah seorang ArabIndonesia, ia tidak melihat adanya golongan-golongan dalam masyarakat dan memandang jauh akan tujuan persatuan yang hendak dicapainya. “Ia bukanlah serdadu gajihan [bayaran], akan tetapi seorang vrijwillingers, tiap-tiap serdadu terdorong oleh maksud yang suci” (Insaf, Juli 1939:96). Persatuan PAI adalah rumah tangga dari keluarga Arab-Indonesia yang diikat oleh satu tujuan hidup, satu keyakinan, menuju cita-cita yang sama dengan putera Indonesia lainnya. Bagaimanapun, bukanlah pekerjaan yang mudah bagi PAI untuk mengadakan perubahan cara pandang golongan Arab. Upaya menghilangkan “perasaan takabur dari bangsa Arab” (Insaf, Oktober 1937:146) yakni dengan menanam perasaan persamaan di antara kelompok Arab dan Indonesia sebagai landasan utama bekerja sama dan saling membantu dalam lapangan politik, ekonomi, dan sosial menuju keselamatan rakyat dan Anggaran Dasar PAI “Tujuan dan Usaha” dalam Hamid Algadri, “Perubahan Anggaran Dasar PAI,” Insaf (Februari-Maret, 1940), 4. 6
Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
TENTANG TANAH AIR Menentukan Sikap Soal Tanah Air : Aksi dan Reaksi Timbulnya ide mendirikan Persatuan Arab Indonesia berkaitan erat dengan perubahan orientasi tanah air pada sebagian golongan Arab, khususnya dalam kaum peranakan Arab. Golongan ini merasa bahwa mereka berbeda dengan kaum totok soal orientasi tanah air. Mereka dilahirkan dari rahim ibu Indonesia dan dibesarkan dalam lingkungan Indonesia. Dalam dirinya tumbuh perasaan cinta terhadap tempat tinggalnya, tanah air yang memberikan kehidupan dan penghidupan baginya. Indonesia adalah tanah air, sedangkan Hadramaut adalah tanah air leluhur, itulah pendapat PAI (Mobini-Kesheh, 1999). Atas dasar itu PAI melepaskan diri dari sistem sosial a la Hadramaut dan mengaitkan diri dengan kenyataan sosial yang ada di Indonesia (Algadri, 1988). Dengan mendahulukan kewajiban sebagai putra-putra Indonesia, PAI berketetapan untuk masuk dalam gelanggang perjuangan nasional dan bergabung dengan saudara sebangsanya untuk memerdekaan tanah air dan bangsanya (Suratmin, 1989). Tanah air menurut HA merupakan suatu konsep lama yang telah dikenal di dunia. Mungkin konteksnya agak berbeda di Indonesia yang saat itu masih merupakan satu wilayah kolonialisme Belanda. Walaupun begitu, gambaran nasional telah terbayang jelas dari keinginan rakyat bersama-sama untuk mendapatkan kemerdekaan dan keadilan. HA menjelaskan dua faham soal tanah air yakni faham ras dan faham natie (kebangsaan). Faham ras merupakan konsep lama yang mengatakan bahwa tanah air berasal dari kesamaan ciri fisik (ras). Sedangkan, faham natie menurutnya suatu konsep baru yang lebih dulu muncul di Eropa dan Amerika, bahwa suatu negeri terdiri dari satu keturunan atau lebih yang memiliki cita-cita dan merasakan nasib yang sama (Insaf, Oktober 1937:146). Pengakuan PAI yang bertanah air
Indonesia merupakan keberpihakannya terhadap konsep tanah air faham natie karena dari ciri fisik golongan PAI tidak sama dengan ras mayoritas penduduk Indonesia. HA menolak faham ras. Malahan ia mengatakan bahwa pemerintah kolonial yang melakukan penggolongan masyarakat ke dalam ras bangsa-bangsa adalah suatu kebijakan yang keliru yang tujuannya bukan untuk menunjang pembangunan persatuan masyarakat di Hindia Belanda. Ia menuntut faham tersebut harus dihilangkan dalam hukum yang ada karena prinsip hukum yang sebenarnya adalah mengurus “recht, hak, kepentingan, atau nasib manusia tidak ditentukan oleh keturunan, tetapi berdasarkan tempat tinggal” (Insaf, Oktober 1937:146). Ia mengambil contoh orang Afrika yang tinggal di Amerika. Menurut paham ras memang orang Afrika, tetapi menurut faham natie ia adalah bangsa Amerika yang sejati. Oleh karena itu hukum negara yang membedakan penduduknya berdasarkan ras tidaklah bersesuaian dengan hukum internasional yang berlaku. Di Hindia Belanda, golongan Indo masih saja dipisahkan oleh staatrecht (hukum tata negara) yang mengeluarkan mereka dari rakyat Indonesia padahal Indo adalah bagian integral dari mayarakat Indonesia. Maka dari itu, PAI melalui aksi-aksi politiknya berusaha menghapuskan faham tanah air yang berasaskan keturunan tersebut. Penerapan hukum berdasarkan ras telah memisahkan golongan Arab dari mayoritas penduduk muslim. Bagaimanapun mereka juga menganut agama Islam tetapi mengapa dibedakan dengan golongan mayoritas? Pasal 163 IS-lah yang memasukkan Arab ke dalam Vreeede Oosterlingen (Timur Asing) bersama golongan Asia lainnya yang sebenarnya antara golongan Timur Asing itupun
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
12
memiliki banyak perbedaan. Lebih parah lagi, menurut HA, dalam praktiknya sebagian dari golongan Arab menjadi Timur Asing, tetapi sebagian lain masuk pribumi, ada relativitas khusus bagi golongan Arab, curiganya. “Sekalipun Belanda tahu benar, bahwa mereka adalah keturunan Arab.” (Algadri, 1988). Kenyataan seperti inilah yang membuat HA merasakan adanya keganjilan mengenai status hukum bagi keturunan Arab hingga diketemukan kesimpulan ada upaya politis tentang itu (Algadri, 1999). Di Hindia Belanda, subyek hukum memang dipilah berdasarkan asas keturunan. HA memandang adanya upaya yang disebutnya “Politik Segregasi” yakni suatu kebijakan politik yang membagi-bagi penduduk jajahan berdasarkan ras atau agama (Santoso, 2003). Lokalisasi tempat tinggal bagi golongan pendatang memang tidak hanya ditujukan kepada Arab saja, golongan lain seperti Tionghoa dan India pun mengalami hal serupa. Bagi HA, kebijakan ini terutama ditujukan bagi bangsa Arab, yang menurut pemerintah adalah golongan yang membawa pengaruh membahayakan bagi jajahannya, Hindia Belanda. Semenjak diubahnya status hukum Hindia Belanda dari negeri jajahan menjadi negeri yang setara dengan Belanda, sesuai dengan revisi Undang-Undang Dasar Inlandsch Staatregeling tahun 1922, Hindia Belanda diakui sebagai bagian integral dari Kerajaan Belanda. Menurut HA, saat itu pemerintah kolonial malah menjadi paradoks. Boleh jadi perlakuan penduduk berdasarkan asas keturunan merupakan satu kebijakan tepat dalam mengelola negeri jajahan. Namun, semenjak penetapan UUD perubahan (grondwet berziening) tahun 1922, pemerintah malah tidak menjalankan prinsip kesetaraan yang diamanatkan Undang-Undang baru itu. Hanya karena meredam tuntutan dari golongan Etisch di parlemen Belanda sehingga perubahan UU itu dilakukan. Tetapi semua itu hanya sebatas kata-kata
dalam Undang-Undang, tetapi tidak ada dalam praktik. Oleh karenanya, berbagai dukungan muncul ketika Petisi Sutarjo yang menuntut kesetaraan kewarganegaraan diajukan ke dalam Volksraad. Telah diketahui bahwa, PAI merupakan salah satu organisasi penyokong Petisi Sutarjo. Mengenai petisi ini, HA menjabarkan pasal 1 UUD IS 1922 yang mengalami perubahan, yang berbunyi “Kerajaan Nederlanden terdiri dari Nederland, Nederlandsch-Indie, Suriname, dan Curaqau” (Insaf, Januari 1938:7). Tafsiran dari pasal ini tentu membuat Indonesia tidak lagi menjadi koloni Belanda. Bahkan memiliki kedudukan yang sama dengan Belanda. Namun, teori pasal ini belum bersesuaian dengan implementasinya di lapangan. Pemerintah Kolonial Belanda tidak juga melakukan perubahan apa-apa terhadap status Indonesia, tetap sebagai negeri jajahannya. Atas dasar itulah Petisi Sutarjo menyuarakan dengan menuntut “pada Nederland buat memenuhi kesanggupan janji tadi pada Indonesia... yang terletak dalam Art 1 yang baru itu” (Insaf, Januari 1938:7). Bahkan lebih jauh, HA mengkritisi bahwa niatan pemerintah hanya setengah-setengah dan cenderung mengelabui. Terbukti dalam pasal 61, 62 Undang-Undang Dasar dan 82, 90, 99, 100 dalam Inlandsche Staatsregeling yang mengatakan: “politik luar negeri Indonesia sama sekali bergantung pada kekuasaan di Nederland. Sedang politik dalam negeri kekuasaan Indonesia tidak memuaskan lantaran kekuasaan tadi gampang dibatasi oleh kekuasaan di Nederland... tentu ini sangat bertentangan dengan art. 1 Grondwet yang mengasih Indonesia kedudukan sama dengan Nederland” (Insaf, Januari 1938:8).
HA menegaskan bahwa gerakan PAI berupaya “menunjang kebangunan kerakyatan Indonesia yang satu” (Insaf, November 1937:175). Usaha itu selaras dengan keinginan Petisi Sutarjo dalam rancangan Indisch Burgerschap-nya (kewarganegaraan Hindia). Petisi ini Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
13
meminta diadakan kesetaraan antara warganegara yang tinggal di Hindia Belanda. Akhirnya, tuntutan itu telah masuk dalam salah satu pembahasan Volksraad. Keadaan berkebalikan terjadi antara lapangan politik dengan realitas sosial. Dukungan PAI terhadap ide politik penyatuan kewarganegaraan dalam Volksraad malah menuai banyak sikap kontra di masyarakat Arab. Sikap penetangan yang ada memang bersumber dari pendapat PAI mengenai konsep tanah air berdasarkan paham natie. Organisasi IAB (Indo Arabische Beweging), merupakan salah satu organisasi golongan Arab yang menentang PAI. Menurut IAB, tumbuhnya nasionalisme Indonesia dalam masyarakat keturunan Arab dinilai membahayakan (Aritonang, 2004). Melalui pemimpinnya, MBA Alamudi, IAB mengatakan bahwa nasionalisme merupakan satu gerakan yang berbahaya dan gerakan nasional merupakan gerakan yang tidak sehat (Algadri, 1988). Hal ini menunjukkan posisi organisasi ini berseberangan dengan PAI. Padahal asal mula pembentukan keduanya sama-sama menuju persatuan golongan Arab yang saat itu diliputi sentimen antara Syekh dan Sayid. Dari sekian golongan kontra, Al-Irsyad Surabaya merupakan kelompok yang paling keras menentang gagasan PAI. Dengan ekstrim Al-Irsyad ini mengatakan bahwa PAI akan meninggalkan agama (Haikal, 1986). Mereka terutama keberatan dengan sikap PAI yang menentang adat dalam hal kedudukan perempuan Arab. Bagi PAI, adat Arab cenderung diskriminatif terhadap para perempuan. Lewat media massa, majalah berbahasa Arab seperti Barhut, Attruyuman, Hadramaut, serta Assalam menulis serangan-serangan hebat terhadap gerakan PAI. Begitu juga dengan majalah dari organisasi yang dipimpin MBA. Alamudi (Al-Jaum) merupakan organisasi yang
paling besar serangan dan hasutannya terhadap PAI (Suratmin, 1989). Salah satu organisasi dari luar Arab yang kontra terhadap gerakan PAI adalah Persis. Organisasi ini secara terang-terangan mengatakan dengan keras ketidaksetujuannya atas pernyataan golongan-golongan Indo yang menyatakan tanah air mereka adalah Indonesia. “walaupun itu ditulis, diucapkan, dan disiarkan, maka kami putra-putra muslim Indonesia tetap menganggap mereka... asing... dan bukan bangsa Indonesia” (Al-Lisan, 5 Agustus 1940:9). Bahkan, Al-Lisan sebagai media partai mencibir, “bukan dengan jalan berkaok-kaok di atas podium... surat kabar... dan.. lidah yang tidak bertulang. Tetapi dengan rasa yang penuh dengan amal dan kerja. Dibuktikan dengan rasa yang penuh persamaan dalam segala macam kepentingan dan kebutuhan” (Al-Lisan, 5 Agustus 1940:10).
Sentimen-sentimen seperti itu memang wajar terjadi. Golongan Indo, menurut pribumi, tidaklah berbeda dengan bangsa kolonial yang ikut-ikutan menindas mereka. Hal inilah yang menjadi suatu bentuk perjuangan PAI untuk mengubah pandangan luar terhadap golongan Indo, khususnya Indo-Arab. PAI adalah sebuah gerakan moral. Suatu gerakan yang memberikan kesadaran “seseorang dari kewajiban terhadap masyarakatnya” (Insaf, Januari 1937:1). Di mana seseorang tinggal, di situ ia punya tanggung jawab. Bahwa kenyataannya “bangsa kita masih terlalu terbelakang dan belum insaf, dengan tidak mau mengerti kepentingan masyakarat” (Insaf, Januari 1937:1). Lebih jauh, HA menjelaskan bahwa ada perasaan superioritas dalam diri Indo-Arab yang tidak mau diidentikkan dengan pribumi yang “rendah dan kecil” (Insaf, MaretApril 1939:50). Dengan sinis HA mengatakan bahwa orang-orang seperti itu “tidak saja memungkiri darah yang mengalir dalam tubuhnya, tetapi juga turut memandang rendah apa saja yang Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
14
bercorak Indonesia” (Insaf, Maret-April 1939:50). Perasaan-perasaan seperti ini timbul karena hukum kolonial yang ada mengarahkan demikian. Atas dasar itulah gerakan PAI hadir. PAI berjuang menghilangkan perasaan dan sentimen yang demikian. PAI mengusung “ideologi yang baru, yang dapat melenyapkan superioriteitswaan... membentuk persamaan bangsa... terhadap golongan Indonesia” (Insaf, Maret-April 1939:50). Menurut HA sekarang adalah “zaman baru, zaman PAI” (Insaf, April 1938:60). Suatu masa yang mendesak para pemuda PAI untuk “membuka mata membangun bangsa... mulia karena bekerja [berjuang]” (Insaf, April 1938:60). Pemuda-pemuda disadarkan untuk tidak hanya mengisolasi diri seperti orang tuanya. Menurutnya, tugas utama PAI “mengadakan revolusi batin di kalangan Indo-Arab” (Insaf, Maret-April 1939:50) untuk menyadarkan golongan peranakan Arab terhadap tanah air Indonesia. Suatu pekerjaaan yang tidak nampak terlihat secara fisik, “tapi bisa dirasakan oleh suara hati dan perasaan.” (Aliran Baroe, April 1939:5). Perjuangan panjang PAI dalam lapangan sosial politik untuk menyadarkan golongan membuktikan kesungguhannya terhadap keyakinan yang dianutnya tentang tanah air baru mereka, tanah air Indonesia. Mengenai pihak-pihak yang masih saja mempertanyakan pekerjaan PAI, HA mengatakan bahwa “imannya hanya di matanya” (Aliran Baroe, April 1939:5). Orang tersebut hanya melihat sesuatu dengan skeptis tanpa menyadari kondisi apa yang terjadi dan apa yang hendak dicapai PAI. Pada kongres II PAI pada tahun 1937 di Surabaya, diputuskan kesiapan untuk berkecimpung dalam dunia politik. Perkumpulan ini bertekad untuk berjuang bersama kelompok-kelompok nasionalis Indonesia lainnya untuk “cita-cita persamaan kedudukan dengan Belanda” 7 7
Program Politik PAI pada kongres ke-II PAI di Surabaya, lihat Insaf no. 4 Tahun ke 1 April 1937.
pada awalnya dan kemudian “menuntut perubahan politik yang mewujudkan natie Indonesia yang satu”8. Petisi Sutarjo tercatat sebagai kontribusi pertama PAI dalam lapangan politiknya. Berbagai pidato mempropagandakan petisi ini digelar dalam pertemuanpertemuan PAI di berbagai daerah. Khusus mengenai Petisi Sutarjo, HA memiliki kontribusi penting dalam menjelaskan urgensinya bagi tujuan dan arah gerakan politik PAI. Dalam artikelnya, “Soembangan Oentoek Orientasi Petitie-Soetardjo” (Insaf, Januari 1938:7), ia menjelaskan kepada golongan Arab mengapa mereka mesti ikut mendukung gerakan ini. Berbagai aksi politik PAI terus berlanjut sampai momentum lahirnya organisasi GAPI dan MIAI. Khususnya dalam GAPI, penerimaan PAI menjadi anggota penuh GAPI merupakan wujud pengakuan bahwa peranakan Arab telah dianggap dan diterima sebagai putra yang bertanah air Indonesia. Dengan optimis HA mengatakan “PAI punya pekerjaan tidaklah sia-sia... tidak keliru kalau kita katakan bahwa PAI-lah yang paling berhasil dalam mendekatkan Indo... dengan golongan Indonesia...” (Insaf, Maret-April 1939:51). Bahkan, dengan mengutip perkataan Dr. Ratulangie yang mengatakan “mudah dimengerti rupanya pergerakan nasional Indonesia tidak akan berkeberatan sama sekali untuk menerima Indo-Arab” (Insaf, Maret-April 1939:8). Hal ini tentu dimudahkan karena hanya PAI satusatunya organisasi Indo-Arab yang terjun di dunia politik. Namun yang terpenting adalah keteguhan terhadap idealisme yang berlandaskan keinsafan serta diwujudkan dalam berbagai usaha sehingga “pada saatnya nanti kita-peranakan Arab akan bertemu dengan bangsa Indonesia asli” (Aliran Baroe, April 1939:5), “Bukan 8
Program Politik PAI dalam Anggaran Dasar PAI Perubahan tahun 1940. Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
15
darah yang menjadi dasar tentang keIndonesiaan, sebab Indo-Arab... memiliki perasaan sebagai juga perasaan putra Indonesia” (Aliran Baroe, Desember 1940:12). Tentunya sejumlah usaha-usaha ke arah sana sedikit demi sedikit mulai
diakui oleh masyarakat luas. “kita [boleh] berbesar hati, bahwa pekerjaan kita yang maha berat itu mendapat bantuan [perhatian] yang cukup dari pergerakan Indonesia yang kini kelihatan lebih riil” (Aliran Baroe, April 1939:5).
KESIMPULAN HA lahir dan besar dalam lingkungan yang kental dengan pendidikan modern pada zamannya. Tidak seperti anak keturunan Arab kebanyakan yang anti terhadap pendidikan Barat dan menganggap sekolah kolonial akan “merusak” agama anak-anak mereka, ia malah mengenyam pendidikan sekular modern sejak TK sampai perguruan tinggi. Keluarganya yang berpikiran moderatlah yang menunjang perkembangan dunia pendidikannya. Pendidikan adalah pintu lahirnya kesadaran nasionalisme. Semenjak masuk sekolah menengah, ia melihat gerakangerakan nasionalis yang pada waktu itu sangat meningkat aktivitasnya baik dalam bentuk partai maupun studieclub. Semangat ini juga menjalar kepada siswasiswa di sekolah HA. Walau sebagai anggota JIB, ia menaruh simpati besar kepada gerakan nasionalis. Memang sangat logis jika seorang pembela Islam menjadi anti-Belanda sekaligus seorang nasionalis. Sehingga, HA berkeinginan sekali mendekatkan diri dengan siswasiswa yang beraliran nasionalis. Ketertarikan dan kedekatan terhadap gerakan nasionalisme, membawa HA jauh pada pemikiran yang lebih riil dalam menghadapi situasi zaman. Masa mudanya, dalam lingkungan etnis Arab, terus diliputi perselisihan antara pilahan-pilahan kelompok yang ada. Ia merasa bahwa perselisihan antara Kelompok Syekh dengan Kelompok Sayid hanyalah membawa pada kesengsaraan golongan Arab pada umumnya. Baginya ada sesuatu yang lebih penting ketimbang ikut larut dalam perselisihan dalam etnis Arab yang telah berlangsung lama. Ikut mengambil
kewajiban sebagai putra Indonesia demi menuju keselamatan rakyat dan tanah air Indonesia adalah upaya yang ia lakukan bersama kawan-kawan Partai Arab Indonesia. Menurut HA tugas utama PAI adalah “mengadakan pencerahan di kalangan Indo-Arab” untuk menyadarkan seluruh peranakan Arab terahadap tanah air Indonesia. Hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Bahkan, untuk memperbaiki persepsi golongan Arab, PAI ‘memakan’ waktu sekitar tiga tahun. Baru pada kongres PAI pada tahun 1937 di Surabaya, diputuskan kesiapan untuk berkecimpung dalam dunia politik. Ketika membahas tentang golongannya (Indo-Arab), ia mempunyai harapan besar untuk mengajaknya menanggalkan perasaan superoritas yang tidaklah relevan dan hanya satu wujud perasaan dibuat-buat oleh golongan yang berkepentingan dalam upaya ketidakbersatuan masyarakat. Baginya buat apa perasaan superioritas yang sebenarnya tidak membawa kesatu prestise apapun, malah berkebalikan menimbulkan sentimen negatif dari golongan yang mereka anggap inferior. Menurutnya harus ada “revolusi batin” untuk menyadarkan golongan Arab, serta menghapus apatisme sosial dan politik yang selama ini terlihat. Arab Indonesia bagi HA adalah satu terma baru dalam mendefinisikan kaum peranakan Arab. Mereka adalah pilahan keturunan Arab yang telah sadar bahwa mereka mempunyai nasib dan kebutuhan yang sama seperti warga pribumi lainnya. Tidak ada lagi perasaan tinggi hati dalam Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
16
pikirannya. Mereka adalah peranakan Arab yang tergabung dalam PAI. Mengenai cita-citanya tentang tanah air, HA sangat berkeinginan mengajak semua peranakan Arab melepaskan sistem sosial Hadramaut yang berdampak negatif bagi persatuan dalam tubuh masyarakat Arab dan mengintegrasikan diri dalam masyarakat Indonesia yang lebih luas. Ia juga mengajak masyarakat Arab menyadari konsep tanah air menurut faham natie (kebangsaan). Baginya faham ini lebih sesuai dibanding konsep tanah air
menurut faham ras. Faham natie mengatakan bahwa tanah air merupakan tempat berhimpunnya golongan-golongan yang merasa adanya kesamaan nasib dan cita-cita menuju persatuan nasional. Tidak menjadi soal apakah golongan tersebut terdiri dari berbagai etnis. Kelak jika sudah terhimpun semua golongan-golongan yang ada di masyarakat Indonesia, segala citacita yang ingin dituju dapat dengan mudah dicapai.
Daftar Acuan Daftar judul Artikel Hamid Algadri dalam Insaf: Oktober 1937 : “Soal Tanah Air dari Joeroesan Staatrecht” November 1937 : “Soal Tanah Air dan Masjarakat Indonesia” Januari 1938 : “Soembangan oentoek Petitie Sutardjo” Februari 1938 : “Keboetoehan Bangsa Arab kepada Westerch Onderwijs” April 1938 : “Zaman Baroe : Zaman PAI” Agustus 1938 : “Pemandangan Oemoem terhadap Bangsa Arab” Oktober 1938 : “Volksraad dan Golongan Arab” Desember 1938 : “Hak Kerakjatan (Onderdaanschap)” Januari 1939 : “Sekeliling Soal Indo” Maret-April 1939 : “Soal Indo di Indonesia” Februari-Maret 1940 : “Soal Indo”, “Indonesia dan Hadramaut”, “Stellingen Badan Statistik” April 1941 : “Halaman Pertanyaan”, “Tafsiran AD PAI” Mei 1941 : “Tafsiran AD” Daftar judul Artikel Hamid Algadri dalam Aliran Baroe: April 1939 : “Aliran Bar oe dan Modernisme”, “Indo Arab dan Arab Indonesia” Desember 1940 : “Soal Indo di Indonesia” Majalah : Al-Lisan, “PAI dan Indonesia”, 5 Agustus 1940. Buku Hamid Algadri: Algadri, Hamid. 1999. Mengarungi Indonesia Memoar Seorang Perintis Kemerdekaan. Jakarta: Lentera. --------. 1988. Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia. Jakarta: Haji Masagung. Jurnal Ilmiah: Mobini-Kesheh, Natalie. “The Arab Periodicals of the Netherlands East Indies, 1914-1942”. KITLV (No. 2, 1996). Buku: 45 Tahun Sumpah Pemuda, 1974. Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta. Jakarta: Grafiti Jaya. Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013
17
Abushouk, Ahmed Ibrahis dan Hassan Ahmed Ibrahim. 2005. The Hadhrami Diaspora in Southeast Asia : Identity Maintenance Or Assimilation?. Kuala Lumpur: University Malaya. Anshoriy, Nasruddin. 2008. Rekam Jejak Dokter Pejuang dan Pelopor Kebangkitan Nasional. Yogyakarta: LKiS. Aritonang, Jan S. 2004. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulya Berg, LWC van den. 1989. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, III, terj. Rahayu Hidayat. Jakarta: INIS. Dhont, Frank. 2005. Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia Tahun 1920-an.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Haikal, Husain. 1986. Indonesia-Arab dalam Pergerakan Nasional Indonesia (1900—1942). Universitas Indonesia: Disertasi tidak diterbitkan. Kesheh, Natalie Mobini. 1999. The Hadrami Awakening Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942. Cornel Southeast Asia Program. Pringgodigdo, AK. 1964. Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakjat. Pusponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI, cet. 8.Jakarta: Balai Pustaka. Santoso, Budi. 2003. Peran Keturunan Arab dalam Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: Progres. Suratmin, 1989. Abdul Rahman Baswedan karya dan Pengabdian. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Suryadinata, Leo. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga rampai 1965-2008. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Universitas Indonesia
Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013