DRAFT LAPORAN
PEMETAAN DAERAH RAWAN BENCANA ALAM GEOLOGI DI DISTRIK DEPAPRE DAN DISTRIK RAVENIRARA KABUPATEN JAYAPURA TAHUN ANGGARAN 2009 KEGIATAN BIDANG GEOLOGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
PEMERINTAH KABUPATEN JAYAPURA
DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI Jalan Raya Sentani – Abepura Telp/Fax (0967) 593 392 Sentani, November 2009
DAFTAR ISI ISI
HAL.
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan 1.3. Sasaran 1.4. Dasar Hukum 1.5. Ruang Lingkup 1.5.1. Pengertian 1.5.2. Lingkup Pekerjaan 1.6. Lokasi 1.7. Sistematika Laporan
1 1 2 2 2 3 3 4 5 6
II.
TINJAUAN KEBENCANAAN 2.1. Bahaya dan Bencana Geologi 2.2. Menejemen Bencana 2.3. Menejemen Risiko
7 7 14 18
III.
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENYELIDIKAN 3.1. Kabupaten Jayapura 3.1.1. Pemerintahan 3.1.2. Keadaan Fisik dan Penggunaan Lahan 3.1.3. Kependudukan 3.1.4. Perekonomian 3.1.5. Sarana dan Prasarana 3.2. Distrik Depapre 3.2.1. Administrasi 3.2.2. Keadaan Fisik 3.2.3. Sosial Budaya 3.3. Distrik Ravenirara 3.3.1. Administrasi 3.3.2. Keadaan Fisik 3.3.3. Sosial Budaya
21 21 22 23 26 27 28 30 31 32 32 32 32 33 33
IV.
KONDISI GEOLOGI 4.1. Geologi Regional 4.1.1. Kondisi Litotektonik 4.1.2. Kondisi Stratigrafi Regional 4.2. Geologi Kabupaten Jayapura 4.2.1. Geomorfologi 4.2.2. Stratigrafi 4.2.3. Struktur Geologi
34 34 36 37 37 37 39 40
ii
Draft Laporan Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
V.
VI.
4.2.4. Sejarah Geologi 4.2.5. Kondisi Hidrologi 4.3. Geologi Daerah Penyelidikan 4.3.1. Morfologi 4.3.2. Litologi 4.3.3. Struktur HASIL PENYELIDIKAN 5.1. Penyelidikan Terdahulu 5.2. Kegiatan Survei dan Pemetaan 5.2.1. Distrik Depapre 5.2.2. Disitrik Ravenirara 5.3. Analisis Risiko 5.4. Penanganan Bencana
40 41 41 41 41 42 44 44 45 45 50 54 56
PENUTUP 6.1. Kesimpulan 6.2. Saran 6.3. Rekomendasi
57
iii
Draft Laporan Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
DAFTAR GAMBAR GAMBAR
HAL. 5
1.1. Lokasi daerah penyelidikan 2.1. Rangkaian kerentanan yang berpadu dengan bahaya yang menimbulkan bencana 2.2. Hubungan pembangunan dan bencana 2.3. Proses terjadinya gempa bumi 2.4. Mekanisme terjadinya tsunami 2.5. Pergerakan kecepatan gelombang tsunami ke arah pantai/daratan 2.6. Macam-macam tipe gerakan tanah 2.7. Siklus menejemen bencana menurut kecepatan datangnya bencana 2.8. Tahapan menejemen bencana
9 10 12 12 14 15 16
3.1. Peta adminitrasi Kabupaten Jayapura 3.2. Peta administrasi Distrik Depapre 3.3. Peta administrasi Distrik Ravenirara
21 31 33
4.1. Peta pulau Papua ibarat seekor burung dan litotektonik 4.2. Peta kondisi tektonik pulau Papua 4.3. Stratigrafi regional pulau Papua (Dow dkk, 1988) 4.4. Kolom strat igrafi w ilayah Kabupate n Jayapura (Suwarna dan Noya, 1995) 4.5. Peta geologi daerah penyelidikan (Suwarna dan Noya, 1995)
34 35 37
5.1. Keadaan topografi. Lokasi Kampung Waiya, Distr. Depapre 5.2. Longsor tanah dan batuan. Lok.i Kampung Tablasupa, Distr. Depapre 5.3. Bekas banjir di Kampung Wambena, Distr. Depapre 5.4. Abrasi pantai tahun 2008, di Kamp. Dormena, Distr. Depapre 5.5. Longsor tanah yg menimbul jalan di Kamp. Yewena, Distr. Depapre 5.6. Keadaan topografi di Kamp. Yongsu Dosoyo, Distr. Ravenirara 5.7. Longsor tanah dan batuan di Kamp. Ormu, Distr. Ravenirara 5.8. Sisa banjir tahun 2005 di Kamp. Yongsu Sapari, Distr. Ravenirara 5.9. Morfologi sungai yg berpotensi banjir di Kamp. Yongsu Dosoyo 5.10. Abrasi pantai yang parah di Kamp. Ormu Tua, Distr. Ravenirara 5.11. Hubungan antara dampak dan probabilitas bahaya geologi 5.12. Siklus menejemen bencana
47 48 48 49 49 51 52 52 53 53 54 56
iv
8
39 43
Draft Laporan Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
DAFTAR TABEL TABEL
HAL.
2.1. Skala Intensitas Modifikasi Mercalli (MMI)
12
3.1. Luas wilayah distrik di Kabupaten Jayapura 3.2. Pembagian distrik, desa/kelurahan di Kabupaten Jayapura 3.4. Rata-rata suhu udara minimum dan maksimum tahun 2006 3.5. Curah hujan dan hari hujan tahun 2006 3.6. Kelembaban udara, lama penyinaran dan tekanan udara periode 2004-2007 3.7. Frekuensi kegempaan tahun 2007 3.8. Perkembangan jumlah penduduk menurut jenis kelamin periode 2004-2007 3.9. Kepadatan penduduk tahun 2007 3.10 Pertumbuhan PDRB tahun 2000-2007 3.11. Laju pertumbuhan sektoral PDRB atas dasar harga konstan tahun 2002-2007 3.12. Sarana kesehatan tahun 2007 3.13. Tenaga kesehatan tahun 2007 3.14. Sarana dan tenaga pendidik tahun 2007 3.15. Sarana peribadahan dan jumlah penganut tahun 2007 3.16. Sarana jalan dan kondisi jalan tahun 2007
22 23 24 24
5.1. Hasil pengamatan faktor topografi, geologi dan penggunaan lahan di Distrik Depapre 5.2. Data bencana yang pernah terjadi di Distrik Depapre 5.3. Hasil pengamatan faktor topografi, geologi dan penggunaan lahan di Distrik Ravenirara 5.4. Data bencana yang pernah terjadi di Distrik Ravenirara 5.5. Penilaian bahaya geologi di Distr. Depapre dan Ravenirara 5.6. Tingkat kerentanan tiap distrik
v
25 26 26 27 28 28 29 29 29 30 30 46 47 50 51 54 55
Draft Laporan Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Draft Laporan 1 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Sepuluh tahun terakhir ini, Indonesia terus menerus dilanda berbagai bencana, baik bencana oleh sebab alamiah maupun bencana akibat ulah manusia. Bencana yang datang bagai sebuah estafet, dari pulau satu ke pulau yang lain, serta dari satu jenis bencana ke bencana yang lain. Sudah ratusan ribu nyawa manusia melayang, dan sudah milyaran rupiah nilai harta benda yang rusak dan hilang, serta juta tenaga manusia dikerahkan untuk menangani masalah bencana di negeri ini. Sesungguhnya bencana tidak diinginkan oleh setiap orang atau masyarakat sebuah negeri. Namun faktor alamiah yang dimiliki oleh wilayah atau daerah tempat manusia bertempat tinggal itulah yang terus menerus melakukan proses untuk mencapai keseimbangan alamiahnya, baik secara internal maupun eksternal. Manusia sebagai penghuni yang menempati bagian permukaan dan terkadang dapat mengeksplorasi hingga sampai ke bagian bumi yang paling dalam, tidak dapat menyesuaikan dengan proses-proses keseimbangan alam tadi, sehingga berbagai bencana yang ditakutkan dapat terjadi secara sambung menyambung. Sebenarnya proses keseimbangan alamiah bumi telah cukup banyak dipahami dan diketahui oleh manusia, baik secara tradisional maupun modern. Bukti-bukti kearifan lokal masyarakat mengenai memelihara alam sudah dikenal, serta hasil-hasil penelitian modern tentang proses keseimbangan alam juga sudah banyak dipublikasikan. Saat ini yang diperlukan adalah bagaimana mengimplementasi budaya (kearifan lokal) dan hasil penelitian tersebut untuk mengenali lebih dalam proses keseimbangan yang dimiliki oleh setiap wilayah atau daerah sehingga dampak dari bencana yang dihadapi dapat dikurangi dan manusia yang bertempat tinggal di wilayah tersebut dapat hidup selaras dengan alamnya. Kabupaten Jayapura yang berada di bagian utara pulau Papua, secara topografis memiliki keragaman bentang alam, yaitu mulai dari pantai, dataran rendah maupun tinggi, sampai perbukitan dan pegunungan dengan tingkat kemiringan lereng yang sangat bervariasi (landai hingga terjal). Berdasarkan kondisi geologi, wilayah Kabupaten Jayapura tersusun oleh formasi batuan yang berumur sangat tua (praTersier) hingga muda (Kuarter) dengan kondisi sudah lapuk menengah hingga lapuk lanjut dan memiliki kondisi geodinamika yang kompleks. Kondisi seperti ini merupakan kendala yang cukup berarti dalam pengembangan wilayah dan berpeluang menjadi bencana yang dapat mengancam keberadaan manusia dan segala infrastruktur yang ada. Keadaan iklim, terutama curah hujan yang terjadi di wilayah ini menunjukkan perubahan yang cukup signifikan. Di samping itu, pertumbuhan kota Sentani sebagai ibukota Kabupaten Jayapura juga semakin berkembang yang diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk dan penyediaan sarana dan prasarana perkotaan. Perkembangan wilayah perkotaan saat ini berada pada poros Sentani – Depapre. Hal ini berpengaruh pada pertumbuhan wilayah-wilayah distrik dan/atau kampung yang berada pada jalan poros tersebut. Di samping memerlukan prasarana dan sarana fisik untuk menunjang pertumbuhan wilayah, diperlukan juga data dan informasi tentang faktor yang dapat menghambat peluang pertumbuhan wilayah tersebut. Salah satu,
Draft Laporan 2 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
komponen non fisik yang perlu dipersiapkan adalah ketersediaan data dan informasi tentang wilayah-wilayah yang rawan bencana. Pemerintah kabupaten Jayapura, melalui Dinas Pertambangan telah membentuk tim yang bertugas memetakan daerah rawan bencana alam geologi di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara tahun anggaran 2009. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya mitigasi bencana yang diharapkan dapat memberikan informasi yang memadai tentang ancaman bahaya dan potensi bencana, sehingga risiko dan dampak dari bencana yang dapat terjadi di tengah-tengah masyarakat dapat dikurangi.
1.2.
Maksud dan Tujuan
Maksud dilaksanakan pekerjaan ini adalah melakukan survei dan pemetaan daerah rawan bencana alam (geologi) di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara Kabupaten Jayapura. Tujuan yang ingin dicapai dari pekerjaan ini adalah : 1. Untuk mengumpulkan data dan mengetahui potensi bencana yang telah dan/atau memiliki peluang terjadi bencana di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara, sebagai bagian dari upaya melindungi masyarakat dari ancaman bahaya alam (geologi). 2. Untuk memberi pelayanan yang optimal kepada masyarakat dan instansi terkait di bidang geologi, terutama geologi tata lingkungan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
1.3.
Sasaran
Sasaran dari pekerjaan ini adalah : 1. Teridentifikasi bahaya dan bencana bencana geologi yang mengancam maupun telah terjadi serta yang berpeluang terjadi di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara. 2. Tersedianya peta daerah rawan bencana pada tingkat distrik yang dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam bertindak menangani bencana alam. 3. Tergambarkan kondisi geologi, morfologi, penggunaan lahan, keadaan iklim, kegempaan, hidrolog i, demografi dan sarana infrast ruktur yang tela h terbangun dalam peta skala 1 : 50. 000. 4. Tersusun rencana tindak (upaya) penanganan bencana pada tingkat distrik dan peningkatan peran serta masyarakat di kedua distrik.
1.4.
Dasar Hukum
Peraturan perundang-undangan yang melandasi pekerjaan ini antara lain : 1. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. 2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 te ntang Peme rintahan Dae rah. 3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pe nanggulangan Bencana. 4. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 te ntang Pe nataan Ruang .
Draft Laporan 3 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
5. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan P ulau-pulau Kecil. 6. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan da n Pengelolaan Lingkungan Hidup. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2000 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Jayapura ke Kota Sentani. 8. Peraturan Peme rintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. 9. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana Penanggulangan Bencana. 10. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. 11. Peraturan Mente ri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum M it igasi Bencana. 12. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1452/K/10/MEM/2000 tentang Pedoman teknis penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang ineventarisasi sumberdaya mineral dan energi, penyusunan peta geologi, dan pemetaan zona kerentanan gerakan tanah. 13. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 360/915/PUM tanggal 19 Juni 2007 tentang Panduan Pembuatan Peta Rawan Bencana. 14. Surat Keputusan Sekretaris Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. 15. Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 1 Tahun 2001 tentang Kewenangan Pemerintah D aerah Kabupaten Jayapura (L embar Dae rah Kabupaten Jayapura Tahun 2001 Nomor 12). 16. Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kewenangan dan Tata Kerja D inas – Dinas Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Jayapura Tahun 2001 Nomor 15). 17. Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 5 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Jayapura (Lembar Daerah Kabupaten Jayapura Tahun 2001 Nomor 15) 18. Keputusan Bupati Jayapura Nomor 347 Tahun 2002 tentang Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP) Kabupaten Jayapura. 19. Keputusan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Jayapura Nomor 546/16/SK/2009 tentang pembentukan tim survei, tim ahli, tim konsultasi publik (seminar) dan tim penyusun buku pemetaan daerah rawan bencana alam geologi di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara Kabupaten Jayapura.
1.5.
Ruang Lingkup
1.5.1. Pengertian Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
Draft Laporan 4 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No 24 tahun 2007). Bahaya adalah situasi, kondisi, atau karakteristik biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi suatu masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang berpotensi menimbulkan korban dan kerusakan (DMTP/UNDP, 1992) Kerentanan adalah seberapa besar suatu masyarakat, bangunan, pelayanan atau suatu daerah akan mendapat kerusakan atau terganggu oleh dampak suatu bahaya tertentu, yang bergantung pada kondisinya, jenis material bangunan dan infrastruktur, serta kedekatannya kepada suatu daerah yang berbahaya atau rawan bencana Kemampuan adalah sumberdaya, cara, dan kekuatan yang dimiliki oleh seseorang, masyarakat, atau negara yang memungkinkan mereka untuk menanggulangi, bertahan dari, mempe rsiapkan diri, me ncegah, dan memit igasi atau dengan cepat memulihkan diri dari bencana Risiko Bencana adalah kemungkinan timbulnya kerugian (kematian, luka-luka, kerusakan harta dan gangguan kegiatan perekonomian) karena suatu bahaya terhadap suatu wilayah dan pada suatu kurun waktu tertentu Manajemen Bencana adalah sekumpulan kebijakan dan keputusan-keputusan adminitrasi serta aktivitas-aktivitas operasional yang berhubungan dengan berbagai tahapan dari semua tingkatan bencana, seperti kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan, serta pencegahan dan mitigasi (DMTP/UNDP, 1992) Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan me ngurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya te rtentu (UU No 24 tahun 2007). Peta daerah rawan bencana adalah gambaran yang menunjukkan kawasan yang sering terjadi bencana alam atau berpotensi terjadinya bencana, sehingga merupakan peristiwa yang rutin terjadi dan berpotensi terjadi bencana (SE Mendagri No 360 Tahun 2007). Pemetaan daerah rawan bencana adalah suatu kegiatan identifikasi/menemukenali daerah-daerah yang sering terjadi bencana dan selalu berulang maupun yang berpotensi terjadi bencana yang disebabkan oleh alam, non alam ataupun gabungan dari keduanya (SE Mendagri No 360 Tahun 2007).
1.5.2. Lingkup Pekerjaan Metode kerja terdiri dari : 1. Pemetaan secara tidak langsung, yaitu pembuatan peta dengan cara menghimpun dan menginventarisir data yang berasal dari peta tematik yang telah tersusun, penyelidikan terdahulu serta penafsiran peta topografi, dan foto udara atau citra satelit. 2. Pemetaan secara langsung yang dilakukan bersamaan dengan survei lapangan, yaitu pemetaan geologi permukaan berupa peninjauan, pengamatan, pencataan pengukuran atau pengujian dan pendokumentasian.
Draft Laporan 5 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
3. Analisis studio yang dilakukan terhadap data dan informasi yang telah dikumpulkan dalam pemetaan secara tidak langsung maupun langsung. Pemetaan daerah rawan bencana maupun yang berpotensi bencana disusun berdasarkan jenis-jenis bencana yang merupakan hasil identifikasi di tingkat kampung dan distrik. Tiap jenis bencana ditunjukkan oleh warna yang berbeda. Pendokumentasian hasil identifikasi dibuat dalam bentuk peta dan narasi. Hasil pemetaan dicetak dalam bentuk buku yang berisi data dan informasi kejadian bencana, serta menyajikan petunjuk pelaksanaan upaya mitigasi bencana yang diperlukan oleh pemerintah Kabupaten Jayapura.
1.6.
Lokasi
Lokasi penyelidikan berada di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara, meliputi sebaran seluas 871,7 km2 (87.170 ha) atau mencakup 4,98% luas Kabupaten Jayapura. Kesampaian lokasi penyelidikan dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu 1) Jalan darat menggunakan kendaraan roda 2 atau 4 untuk menuju Distrik Depapre, dan 2) Jalan laut menggunakan speedboat untuk menuju Distrik Ravenirara.
Gambar 1.1. Lokasi daerah penyelidikan.
Draft Laporan 6 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
1.7.
Sistematika Laporan
Laporan akhir ini berisi uraian tentang keadaan umum dan keadaan geologi, tinjauan aspek kebencanaan, data dan informasi kebencanaan geologi, hingga petunjuk pelaksanaan upaya mitigasi bencana yang dapat dilaksanakan di Kabupaten Jayapura. Sistematika laporan adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Berisi tentang latar belakang masalah dari pekerjaan ini; maksud dan tujuan yang ingin dicapai; sasaran pekerjaan; dasar hukum yang menjadi acuan pelaksanaan pekerjaan ini; ruang lingkup, mencakup pengertian dan lingkup pekerjaan; lokasi penyelidikan serta sistematika laporan akhir. Bab II Tinjauan Kebencanaan Berisi teori tentang pengertian bahaya dan bencana geologi, menejemen bencana dan menejemen risiko. Bab III Keadaan Umum Berisi tentang keadaan pemerintahaan, fisik dan pengunaan lahan, kependudukan, perekonomian, sarana dan prasarana di Kabupaten Jayapura; adminitratif, keadaan fisik, dan sosial budaya Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara Bab IV Keadaan Geologi Berisi tentang informasi geologi regional, meliputi geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi; dan pengetahuan kebencanaan geologi (Geo Hazard). Bab V Hasil Kegiatan Berisi tentang penyelidikan terdahulu yang diperoleh dari referensi geologi dan laporan banjir; hasil kegiatan survei lapangan yang membahas jenis bencana menurut kampung atau distrik; analisis risiko; dan penanganan bencana. Bab VI Penutup Berisi kesimpulan dari hasil identifikasi; saran dan rekomendasi yang perlu diperhatikan dari pekerjaan ini.
Draft Laporan 7 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
BAB II TINJAUAN KEBENCANAAN Hampir setiap tahun di berbagai daerah di Indonesia terancam oleh bencana, terutama oleh bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor dan lain-lain. Sebenarnya fenomena alam ini terlah terjadi sejak dahulu, namun sekarang dampak yang dirasakan oleh manusia menjadi sangat berarti (signifikan) akibat ketahanan atau kesiapsiagaan manusia semakin berkurang. Dalam sejarah manusia dengan akal budinya selalu dapat belajar dari pengalaman menghadapi bencana dan mencari alternatif cara-cara untuk menghadapinya. Secara alamiah, kekuatan alam tidak dapat dilawan oleh manusia. Kekuatan alam akan ditunjukkan oleh hasil yang telah menimpa manusia maupun perubahan yang terjadi pada permukaan bumi. Termasuk di dalamnya, kekuatan alam berupa bencana. Hal yang dapat dilakukan manusia adalah bersikap mencerdasi fenomena alam tersebut sehingga tidak membahayakan atau menimbulkan lebih banyak korban. Bencana menjadi kenyataan hidup manusia untuk membuka kesempatan manusia mengelola hidup dan lingkungannya. Sehingga bencana yang saat ini terjadi dapat menjadi bagian dari proses pencerdasan masyarakat untuk tidak menerima bencana sebagai takdir semata, tetapi berupaya untuk terus menerus meningkatkan kualitas hidup yang lebih sejahtera meskipun berada di bawah bayang-bayang bahaya dan bencana alam.
2.1. Bahaya dan Bencana Geologi Bencana geologi berkembang dari bahaya geologi (geo-hazard) yang menimbulkan korban jiwa maupun harta benda. Geo-hazard merupakan potensi yang secara inheren terkandung di dalam fenomena geologi. Fenomena geologi merupakan proses alam yang sesungguhnya tidak memberikan ancaman yang serius terhadap manusia dan harta benda. Keberadaan manusia atau penduduk dengan perilaku dan harta benda yang dimilikinya merupakan faktor sebab akibat munculnya bahaya atau bencana geologi. Faktor bahaya geologi yang dapat menjadi bencana, antara lain: a. Geologi, meliputi gempa bumi, tsunami, gerakan tanah. b. Hidro-Meteorologi, meliputi banjir, angin topan, banjir bandang dan kekeringan. c. Teknologi, meliputi kecelakan transportasi dan industri. d. Lingkungan, seperti pencemaran akibat limbah, kebakaran hutan dan pengurunan e. Biologi, seperti epidemi penyakit, hama. f. Sosial, seperti konflik atau peperangan dan terorisme Bahaya yang berpengaruh terhadap bencana sebagai tolak ukur penting untuk mengetahui kerentanan masyarakat. Kerentanan dipandang sebagai gerak maju dari 3 tahap, yaitu penyebab yang mendasari, tekanan-tekanan yang dinamis, dan kondisikondisi yang tidak aman (Gambar 2.1.)
Draft Laporan 8 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Berkaitan antara bahaya dan kerentanan, bencana dapat didefinisikan sebagai akibat bertemunya bahaya yang menimpa dan kerentanan yang berada disekitar kehidupan masyarakat. Secara matematis diformulasikan sebagai: Bencana = Bahaya + Kerentanan
Gambar 2.1. Rangkaian kerentanan yang berpadu dengan bahaya yang menimbulkan
bencana. Hubungan antara bencana dan pembangunan mulai mendapat perhatian khusus, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini dilatarbelakangi oleh akibat dari bencana yang telah merusak dan menghancurkan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang telah dibangun bertahun-tahun. Bencana menyebabkan pemborosan sumber-sumber daya pembangunan yang berharga. Saat ini konsep hubungan pembangunan dan bencana mempertimbangkan bencana sebagai bagian dari keadaan normal, artinya bencana beserta segenap potensinya harus dikelola. Konsep ini melibatkan hubungan yang lengkap antara bencana dan dana pembangunan. Secara ringkas hubungan pembangunan dan bencana digambarkan sebagai berikut (Gambar 2.2). Sebagai contoh kasus negatif positif (-+) adalah penataan ruang daerah pesisir dan pantai yang tidak mempertimbangkan potensi atau ancaman tsunami, maka akan menyebabkan banyak korban dan kerusakan infrastruktur. Untuk itu, bahaya yang telah diidentifikasi menjadi acuan penting dalam arahan pembangunan agar diperoleh hasil peningkatan aspek + pembangunan dan pengurangan aspek – bencananya. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU 24/2007).
Draft Laporan 9 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Gambar 2.2. Hubungan pembangunan dan bencana.
Suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri (ISDR, 2004). Jenis bencana menurut UU No 24 tahun 2007 adalah sebagai berikut: a. Bencana alam; bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. b. Bencana non alam; bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. c. Bencana sosial; bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror. Kondisi geologi di Papua memang mengandung potensi bahaya geologi yang sewaktuwaktu dapat berkembang menjadi bencana (disaster). Oleh sebab itu segala aspek bahaya atau bencana alam yang bersumber dari atau terjadi di bumi relevan diterangkan oleh geologi, meliputi segi komposisi dan struktur batuan penyusun, tempat terjadinya bencana, proses yang menimbulkan bencana dan sejarah kejadiannya di masa lalu. Bahaya atau bencana alam geologi yang umum dijumpai di Papua adalah gempa bumi, tsunami, serta gerakan tanah atau tanah longsor.
A. Gempa Bumi Gempabumi adalah getaran dalam bumi yang terjadi sebagai akibat dari terlepasnya energi yang terkumpul secara tiba-tiba dalam batuan yang mengalami deformasi. Gempabumi dapat didefinisikan sebagai rambatan gelombang pada masa batuan/tanah yang berasal dari hasil pelepasan energi kinetik yang berasal dari dalam
Draft Laporan 10 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
bumi. Sumber energi yang dilepaskan dapat berasal dari hasil tumbukan lempeng, letusan gunungapi, atau longsoran masa batuan / tanah. Hampir seluruh kejadian gempa berkaitan dengan suatu patahan, yaitu satu tahapan deformasi batuan atau aktivitas tektonik dan dikenal sebagai gempa tektonik (Gambar 2.3). Sebaran pusat-pusat gempa (epicenter) di dunia tersebar di sepanjang batas-batas lempeng (divergent, convergent, maupun transform), oleh karena itu terjadinya gempabumi sangat berkaitan dengan teori Tektonik Lempeng. Penyebaran pusat-pusat gempabumi sangat erat kaitannya dengan batas-batas lempeng. Pola penyebaran pusat gempa di dunia yang berimpit dengan batas-batas lempeng. Disamping gempa tektonik, dikenal juga gempa minor yang disebabkan oleh longsoran tanah, letusan gunungapi, dan aktivitas manusia. Gempa minor umumnya hanya dirasakan secara lokal dan getarannya sendiri tidak menyebabkan kerusakan yang signifikan atau kerugian harta benda maupun jiwa manusia.
Gambar 2.3. Proses terjadinya gempa bumi.
Pusat gempa dapat diketahui dengan cara menghitung selisih waktu tiba dari gelombang P dan gelombang S, sedangkan untuk mengetahui lokasi dari epicenter gempa melalui perpotongan 3 lokasi alat seismograf yang mencatat getaran seismik tersebut. Untuk menetukan magnitute gempa didasarkan atas besarnya amplitudo gelombang seismik yang tercatat pada alat seismograf. Skala Richter adalah satuan yang dipakai untuk mengukur besarnya magnitute gempa. Satuan besaran gempa berdasarkan satuan skala Richter adalah 1 hingga 10. Satuan intensitas dan magnitute gempabumi dapat juga diukur berdasarkan dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh getaran gelombang seismik dan satuan ini dikenal dengan satuan Intensitas Modifikasi Mercalli (MMI), nilai satuan ini berkisar dari 1 s/d 12 (lihat Tabel 2.1).
Draft Laporan 11 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Tabel 2.1 Skala Intensitas Modifikasi Mercalli (MMI) Skala MMI I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII
DAMPAK KERUSAKAN Tidak dirasakan oleh kebanyakan orang, hanya beberapa orang dapat merasakan dalam situasi tertentu. Dapat dirasakan oleh beberapa orang yang sedang diam/istirahat. Dapat memindahkan dan menjatuhkan benda-benda. Dirasakan oleh sedikit orang, terutama yang berada di dalam rumah, seperti getaran yang berasal dari kendaraan berat yang melintas di dekat rumah. Dirasakan oleh banyak orang, beberapa orang terbangun disaat tidur, Piring dan jendela bergetar. Dapat mendengar suara-suara yang berasal dari pecahan barang pecah belah.. Dirasakan oleh setiap orang yang saling berdekatan. Banyak orang terbangun disaat tidur. Terjadi retakan pada dinding tembok. Barang-barang terbalik dan pohon-pohon megalami kerusakan. Dirasakan oleh satiap orang, terjadi runtuhan tembok dan terjadi kerusakan pada menara / tugu. Setiap orang berlarian keluar rumah, Bangunan berstruktur buruk mengalami kerusakan. Dapat dirasakan oleh orang-orang yang berada di dalam kendaraan. Runtuhnya bangunan yang berstruktur buruk, Tiang dan menara, dinding runtuh . Tersemburnya pasir dan Lumpur dari dalam tanah. Kerusakan pada bangunan berstruktur tertentu, sebagian runtuh Gedung-gedung tergeser dari fondasinya,. Tanah mengalami retakan dan pipa –pipa mengalami pecah. Hampir semua bangunan berstruktur beton dan kayu rusak. Tanah retak retak, jalan kereta api bengkok, pipa-pipa pecah. Beberapa struktur bangunan beton tersisa. Terjadi retakan yang panjang di permukaan tanah. Pipa terpotong dan terjadi longsoran tanah dan rel kereta api terputus. Kerusakan total. Gelombang permukaan tanah dapat teramati dan benda-benda terlempar ke uadara.
Dampak bencana gempabumi. Rambatan gelombang seismik berasal dari energi yang dilepaskan dari hasil pergerakan lempeng dapat menimbulkan bencana. Bencana yang disebabkan oleh gempabumi dapat berupa rekahan tanah (ground rupture), getaran tanah (ground shaking), gerakan tanah (mass-movement), kebakaran (fire), perubahan aliran air (drainage changes), gelombang pasang atau tsunami dan sebagainya. Gelombang gempa yang merambat pada masa batuan, tanah, ataupun air dapat menyebabkan bangunan gedung dan jaringan jalan, air minum, telepon, listrik, dan gas menjadi rusak. Tingkat kerusakan sangat ditentukan oleh besarnya magnitute dan intensitas serta waktu dan lokasi episenter gempa. B. Tsunami Tsunami adalah suatu pergeseran naik atau turun yang terjadi secara tiba-tiba pada dasar samudra pada saat terjadi gempabumi bawah laut, kondisi ini akan menimbulkan gelombang laut pasang yang sangat besar yang lazim disebut tidal waves. Istilah tsunami berasal dari bahasa Jepang yang telah digunakan secara luas, baik untuk gelombang pasang (tidal waves) maupun gelombang yang disebabkan oleh gempabumi atau yang lebih dikenal dengan istilah seismic sea waves. Mekanisme terjadinya tsunami (Gambar 2.4): 1) Diawali dengan terjadinya gempa yang disertai oleh pengangkatan sebagai akibat kompresi. 2) Gelombang bergerak keluar ke segala arah dari daerah yang terangkat 3) Panjang gelombang berkurang tetapi tingginya meningkat saat mencapai bagian yang dangkal, kemudian melaju ke arah darat dengan kecepatan +/-100 km/jam setelah sebelumnya surut dulu untuk beberapa saat (Gambar 2.5).
Draft Laporan 12 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Gambar 2.4 Mekanisme terjadinya tsunami
Gambar 2.5 Pergerakan kecepatan gelombang tsunami ke arah pantai / daratan
C. Tanah Longsor Longsoran Tanah atau gerakan tanah adalah proses perpindahan masa batuan / tanah akibat gaya berat (gravitasi). Longsoran tanah telah lama menjadi perhatian ahli geologi karena dampaknya banyak menimbulkan korban jiwa maupun kerugian harta benda. Tidak jarang pemukiman yang dibangun di sekitar perbukitan kurang memperhatikan masalah kestabilan lereng, struktur batuan, dan proses proses geologi yang terjadi di kawasan tersebut sehingga secara tidak sadar potensi bahaya longsoran tanah setiap saat mengancam jiwanya. Faktor internal yang menjadi penyebab terjadinya longsoran tanah adalah daya ikat (kohesi) tanah/batuan yang lemah sehingga butiran-butiran tanah/batuan dapat terlepas dari ikatannya dan bergerak ke bawah dengan menyeret butiran lainnya yang ada disekitarnya membentuk massa yang lebih besar. Lemahnya daya ikat tanah/batuan dapat disebabkan oleh sifat kesarangan (porositas) dan kelolosan air (permeabilitas) tanah/batuan maupun rekahan yang intensif dari masa tanah/batuan tersebut. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempercepat dan menjadi pemicu longsoran tanah dapat terdiri dari berbagai faktor yang kompleks seperti kemiringan lereng, perubahan kelembaban tanah/batuan karena masuknya air hujan, tutupan lahan serta pola pengolahan lahan, pengikisan oleh air yang mengalir (air permukaan), ulah manusia seperti penggalian dan lain sebagainya. Berdasarkan tipenya, longsoran tanah dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu (lihat Gambar 2.6):
Draft Laporan 13 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
(1). Gerakan tanah tipe aliran lambat (slow flowage ) terdiri dari: a. Rayapan (Creep): perpindahan material batuan dan tanah ke arah kaki lereng dengan pergerakan yang sangat lambat. b. Rayapan tanah (Soil creep): perpindahan material tanah ke arah kaki lereng c. Rayapan talus (Talus creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari material talus/scree. d. Rayapan batuan (Rock creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari blokblok batuan. e. Rayapan batuan glacier (Rock-glacier creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari limbah batuan. f. Solifluction/Liquefaction: aliran yang sangat berlahan ke arah kaki lereng dari material debris batuan yang jenuh air. (2). Gerakan tanah tipe aliran cepat (rapid flowage) terdiri dari : a. Aliran lumpur (Mudflow) : perpindahan dari material lempung dan lanau yang jenuh air pada teras yang berlereng landai. b. Aliran masa tanah dan batuan (Earthflow): perpindahan secara cepat dari material debris batuan yang jenuh air. c. Aliran campuran masa tanah dan batuan (Debris avalanche): suatu aliran yang meluncur dari debris batuan pada celah yang sempit dan berlereng terjal. (3) Gerakan tanah tipe luncuran (landslides) terdiridari : a. Nendatan (Slump): luncuran kebawah dari satu atau beberapa bagian debris batuan, umumnya membentuk gerakan rotasional. b. Luncuran dari campuran masa tanah dan batuan (Debris slide): luncuran yang sangat cepat ke arah kaki lereng dari material tanah yang tidak terkonsolidasi (debris) dan hasil luncuran ini ditandai oleh suatu bidang rotasi pada bagian belakang bidang luncurnya. c. Gerakan jatuh bebas dari campuran masa tanah dan batuan (Debris fall): adalah luncuran material debris tanah secara vertikal akibat gravitasi. d. Luncuran masa batuan (Rock slide): luncuran dari masa batuan melalui bidang perlapisan, joint (kekar), atau permukaan patahan/sesar. e. Gerakan jatuh bebas masa batuan (Rock fall): adalah luncuran jatuh bebas dari blok batuan pada lereng-lereng yang sangat terjal. f. Amblesan (Subsidence): penurunan permukaan tanah yang disebabkan oleh pemadatan dan isostasi/gravitasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi longsoran tanah dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu faktor yang bersifat pasif dan faktor yang bersifat aktif. (1) Faktor yang bersifat pasif pada longsoran tanah adalah: a. Litologi: material yang tidak terkonsolidasi atau rentan dan mudah meluncur karena basah akibat masuknya air ke dalam tanah. b. Susunan Batuan (stratigrafi): perlapisan batuan dan perselingan batuan antara batuan lunak dan batuan keras atau perselingan antara batuan yang permeable dan batuan impermeabel. c. Struktur geologi: jarak antara rekahan/joint pada batuan, patahan, zona hancuran, bidang foliasi, dan kemiringan lapisan batuan yang besar. d. Topografi: lereng yang terjal atau vertikal. e. Iklim: perubahan temperatur tahunan yang ekstrim dengan frekuensi hujan yang intensif.
Draft Laporan 14 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
f. Material organik: lebat atau jarangnya vegetasi. (2) Faktor yang bersifat aktif pada longsoran tanah adalah: a. Gangguan yang terjadi secara alamiah ataupun buatan. b. Kemiringan lereng yang menjadi terjal karena aliran air. c. Pengisian air ke dalam tanah yang melebihi kapasitasnya, sehingga tanah menjadi jenuh air. d. Getaran-getaran tanah yang diakibatkan oleh seismisitas atau kendaran berat.
A
B
C
D
E
F Gambar 2.6. Macam-macam tipe gerakan tanah; A= rayapan (creep), B= aliran tanah (earthflow), C= nendatan (slump), D= luncuran (debrisslide), E= jatuhan (debrisfall) dan F= luncuran massa batuan (rockslide)
2.2. Menejemen Bencana Menejemen bencana adalah sekumpulan kebijakan dan keputusan administratif dan aktivitas operasional yang berhubungan dengan berbagai tahapan dari semua tingkatanbencana. Tahapan bencana dapat dibedakan menurut kecepatan datangnya bencana, yaitu; a) bencana datang secara cepat, dan b) bencana datang secara lambat. Jenis bencana
Draft Laporan 15 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
yang datang secara cepat meliputi bencana geologi, seperti letusan gunung api, gempa bumi, tsunami dan tanah longsor. Sedangkan bencana yang datang secara lambat, antara lain; kekeringan, kelaparan dan wabah penyakit. Siklus menejemen bencana menyesuaikan dengan sifat serangan atau kecepatan datangnya bencana. Pada serangan yang cepat terdapat 5 tahapan menejemen, dengan satu tahap kejadian bencana. Kelima tahapan itu adalah tahap bantuan, tahap rehabilitasi, tahap rekonstruksi, tahap mitigasi dan tahap kesiapan. Dalam serangan yang cepat sangat sulit untuk melakukan peringatan dini dan tindakan darurat. Pada serangan yang lambat terdapat 6 tahapan menejemen, yaitu; tahap darurat (di tengah keadaan bencana), tahap bantuan, tahap rehabilitasi, tahap mitigasi, tahap kesiapan dan tahap peringatan dini.
A
B Gambar 2.7. Siklus menejemen bencana menurut kecepatan datangnya bencana, A= serangan bencana yang lambat, serta B= serangan serangan bencana yang cepat (Sumber DMTP; http://www.undmtp.org/modules_i.htm).
Siklus menejemen bencana merupakan urutan melingkar atau berputar bergerak mulai dari keadaan yang paling kritis, yaitu keadaan tertimpa bencana sampai pada keadaan aman dan kesiapan. Dalam siklus menejemen bencana, upaya mitigasi dilakukan pada keadaan jauh dari bencana, yaitu sebelum atau sesudah datang bencana. Prinsip mitigasi yang berkembang saat ini adalah semua tahapan menejemen harus melibatkan upaya mitigasi, sebab tindakan mitigasi merupakan upaya mengurangi dampak bencana yang bisa datang kapan saja dan dimana saja. Tahapan menejemen bencana yang dikembangkan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, seperti Gambar 2.8. Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan aturan hukum yang mengatur aspek kebencanaan dalam Undang-undang No 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Aspek penanggulangan mendapat perhatian serius dengan mempertimbangkan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum.
Draft Laporan 16 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Gambar 2.8. Tahapan menejemen bencana menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Republik Indonesia.
Penanggulangan yang dimaksud berasaskan pada kemanusiaan, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keseimbangan, di mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihankembangkan dalam penanggulangan bencana di Indonesia antara lain: a. cepat dan tepat; sesuai dengan tuntutan keadaan b. prioritas; diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia. c. koordinasi dan keterpaduan; koordinasi dan kerja sama yang baik serta saling mendukung. d. berdaya guna dan berhasil guna; mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. e. transparansi dan akuntabilitas; terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum. f. kemitraan; g. pemberdayaan; h. nondiskriminatif; tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun. i. nonproletisi; dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi: a. Prabencana; Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana meliputi: Dalam situasi tidak terjadi bencana; dan Dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi: Perencanaan penanggulangan bencana;
Draft Laporan 17 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Pengurangan risiko bencana; Pencegahan; Pemaduan dalam perencanaan pembangunan; Persyaratan analisis risiko bencana; Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; Pendidikan dan pelatihan; dan Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana meliputi: Kesiapsiagaan; Peringatan dini; dan Mitigasi bencana. b. Saat tanggap darurat; Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi: Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya; Penentuan status keadaan darurat bencana; Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; Pemenuhan kebutuhan dasar; Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital. c. Pascabencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana meliputi: Rehabilitasi; dan Rekonstruksi. Upaya penanggulangan bencana memiliki tujuan untuk: a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana; b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada; c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; d. menghargai budaya lokal; e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta; f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di dalam undang-undang dianamatkan bahwa indikator penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah, berdasarkan : a. Jumlah korban; b. Kerugian harta benda; c. Kerusakan prasarana dan sarana; d. Cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan e. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Menejemen bencana yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang merupakan unsur pelaksana dan operasional upaya tindakan penanggulangan bencana antara lain:
Draft Laporan 18 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
a. Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum; b. Perlindungan masyarakat dari dampak bencana; c. Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; dan d. Pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai. Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: a. Penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah; b. Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana; c. Pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain; d. Pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya; e. Perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan f. Pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala provinsi, kabupaten/kota.
2.3. Menejemen Risiko Pengelolaan resiko bencana pada dasarnya adalah suatu upaya yang ditujukan untuk meminimalkan resiko yang mungkin terjadi serta melakukan upaya-upaya pencegahan (mitigasi) di wilayah yang rentan terkena bencana. Pengelolaan resiko bencana merupakan istilah yang umum dipakai dalam penilaian resiko, pencegahan bencana, mitigasi bencana, dan persiapan menghadapi bencana. Resiko Bencana (Disaster Risk) adalah tingkat kerusakan dan kerugian yang sudah diperhitungkan dari suatu kejadian atau peristiwa alam. Resiko Bencana ditentukan atas dasar perkalian antara faktor bahaya dan faktor kerentanannya. Yang termasuk bahaya disini adalah probabilitas dan besaran yang dapat diantisipasi pada peristiwa alam; sedangkan kerentanan/kerawanan dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi, sosial budaya dan geografis. Berikut ini adalah rumusan yang dipakai secara luas untuk menghitung resiko bencana yang merupakan perkalian 2 faktor, yaitu : Risiko (Risk) = Bahaya (Hazard) x Kerentanan (Vulnerability) Pengelolaan resiko bencana (Disaster risk management) secara teknis terdiri dari tindakan (program, proyek dan atau prosedur) serta pengadaan peralatan yang dipersiapkan untuk menghadapi dampak atau akibat dari suatu bencana sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, yaitu untuk mengurangi resiko bencana yang ditimbulkannya. Secara operasional, pengelolaan resiko bencana adalah kegiatan yang terdiri dari penilaian resiko, pencegahan bencana, mitigasi dan waspada bencana. Penilaian Resiko atau Analisa Resiko adalah survei yang dilakukan terhadap bahaya yang baru terjadi yang disebabkan oleh suatu peristiwa alam yang ekstrim seperti yang
Draft Laporan 19 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
terjadi juga pada kerentanan lokal dari populasi yang didasari atas kehidupan untuk memastikan resiko tertentu di wilayah. Berdasarkan informasi ini resiko bencana dapat dikurangi. Bencana alam yang disebabkan oleh gempabumi, angin topan, banjir, tanah longsor dan kekeringan seringkali mengingatkan pada kita tentang bencana akan benar-benar terjadi. Resiko bencana sebagai hasil dari frekuensi dan kondisi yang rentan dapat berubah menjadi suatu bencana. Resiko bencana adalah hasil dari tingkat kejadian, intensitas bahaya dan sistem kehidupan yang sangat rentan. Peran dari sistem sosial dalam arti kepedulian masyarakat dan sistem pengelolaan memungkinkan merubah sifat kerentanan terhadap bahaya dan mengurangi tingkat kerawanan melalui intervensi yang sistematik. Kegiatan dalam rangka pengelolaan risiko bencana, antara lain : 1. Penilaian Resiko a. Melakukan pendataan bencana yang pernah terjadi dimasa lalu termasuk pendataan terhadap kejadian/peristiwa bencana yang besar yang pernah terjadi b. Mengkaji secara terukur bencana yang disebabkan oleh hidro-meteorologi dan geologi, termasuk penyebab bencana c. Mendata jumlah penduduk (populasi penduduk) yang berada di areal yang beresiko tinggi terkena bencana atau areal yang paling bahaya. d. Melakukan persiapan dan memperbaharui (updating) peta-peta bencana dan area yang sangat berbahaya. 2. Pencegahan dan Mitigasi Bencana a. Menetapkan dan memperkuat pembangunan regional dan perencanaan tataguna lahan, perencanaan pengawasan bangunan yang sesuai dengan zonasi bahaya dan peraturan bangunan. b. Melaksanakan pelatihan bagi masyarakat dan perwaklian kelembagaan c. Membangun dan meningkatkan kemampuan pengelolaan resiko bencana di tingkat lokal dan nasional d. Pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (seperti misalnya pengelolaan Daerah Aliran Sungai), meningkatkan infrastruktur (bendungan, saluran air, bangunan yang mampu menahan suatu bencana). 3. Kesiapan Menghadapi Bencana a. Partisipasi dan kesadaran terhadap pentingnya rencana tanggap darurat b. Mempersiapkan infrastruktur (akomodasi saat kondisi darurat, c. Melakukan latihan secara teratur dalam menghadapi situasi darurat d. Membangun dan atau meningkatkan kemampuan dalam kesiapan menghadapi bencana, baik di tingkat lokal maupun nasional dan pelayanan penyelamatan e. Koordinasi dan perencanaan operasional f. Sistem Peringatan Dini : 1) Menyiapkan dan meng-operasikan sistem komunikasi 2) Menempatkan peralatan teknis di tempat yang aman 3) Melakukan pelatihan tenaga penyelamat 4. Pengelolaan resiko bencana sebagai bagian dari rehabilitasi dan rekontruksi a. Melakukan penilaian resiko bencana
Draft Laporan 20 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
b. Melakukan penilaian infrastruktur, seperti kontruksi banguan tahan gempa, kontruksi bangunan tahan banjir, skema pembangunan, selter tempat pengungsian, dsb c. Membentuk kelembagaan, seperti peran serta masyarakat dan meningkatkan kerjasama diantara individu-individu d. Membentuk organisasi, untuk memperkuat kapabilitas lokal e. Mengembangkan dan memperkenalkan ukuran-ukuran pencegahan dimasa mendatang (seperti pengelolaan DAS, konservasi sumberdaya alam, skema pencegahan banjir) 5. Peran pengelolaan resiko bencana dalam sektor kerjasama pembangunan Kebutuhan pencegahan harus di-integrasikan kedalam sektor pembangunan, hal ini akan membantu pada peningkatan pengelolaan resiko bencana, terutama pada sektor-sektor yang terkait, termasuk desentralisasi dan atau pembangunan masyarakat, pembangunan desa, pencegahan lingkungan dan konservasi sumberdaya alam, perumahan, kesehatan dan pendidikan. Efektifitas pengelolaan resiko bencana adalah memantapkan dan atau penguatan sistem di tingkat daerah/lokal yang berupa kegiatan seperti yang ada dalam daftar diatas dari keseluruhan sistem nasional, memobilisasi semua yang mungkin dilakukan oleh para relavan dibidang sosial dan politik, baik ditingkat lokal dan perkotaan serta bertanggungjawab atas apa yang dilakukan.
Draft Laporan 21 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENYELIDIKAN 3.1. Kabupaten Jayapura Wilayah Kabupaten Jayapura berada di bagian utara pulau Papua, berada pada posisi geografis 139o 15’ – 140o 45’ BT dan 2o 15’ – 3o 45’ LS. Jarak terjauh barat ke timur adalah 336 km dan utara ke selatan adalah 140 km. Luas wilayah Kabupaten Jayapura berdasarkan jumlah luas distrik adalah 17.516,6 km2. Distrik terluas adalah Kaureh (beribukota di Lapua) yaitu 4.357,9 km2 atau 24,88% luas kabupaten. Distrik tersempit adalah Sentani Barat (beribukota Dosay) yaitu 129,2 km2 atau 0,74% luas kabupaten. Batas wilayah Kabupaten Jayapura adalah sebagai berikut: - Sebelah utara : Samudera Pasifik dan Kabupaten Sarmi - Sebelah Selatan : Kabupaten Pegunungan Bintang dan Tolikara - Sebelah Barat : Kabupaten Sarmi - Sebelah Timur : Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom
Gambar 3.1. Peta administrasi Kabupaten Jayapura
Draft Laporan 22 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Tabel 3.1. Luas wilayah distrik di Kabupaten Jayapura. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Nama Distrik Kaureh Kemtuk Kemtuk Gresi Nimboran Nimbokrang Unurum Guay Demta Depapre Sentani Barat Sentani Sentani Timur Waibu Ebungfauw Namblong Yapsi Airu Yokari Ravenirara Gresi Selatan
Ibukota Lapua Sama Klaisu Tabri Nembukrang Garusa Demta Waiya Dosay Hinekomber Nolokla Doyo Lama Ebungfa Karya Bumi Bumi Sahaja Hulu Atas Meukisi Necheibe Bangai Jumlah
Luas Wilayah (km2) 4.357,9 258,3 182,4 710,2 774,8 3.131,3 497,5 404,3 129,2 225,9 484,3 258,3 387,4 193,7 1.291,3 3.099 519,5 467,4 143,9 17.516,6
Persentase 24,88 1,47 1,04 4,05 4,42 17,88 2,84 2,31 0,74 1,29 2,76 1,47 2,21 1,11 7,37 17,69 2,97 2,67 0,82 100
Sumber: Pemerintah Kabupaten Jayapura Kabupaten Jayapura Dalam Angka (2008)
3.1.1. Pemerintahan Struktur pemerintahan di Kabupaten Jayapura berdasarkan hasil pemekaran wilayah terdiri dari 19 distrik, 137 desa dan 5 kelurahan (Tabel 3.2). Dalam perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten Jayapura, distrik-distrik di kelompokan berdasarkan potensi wilayahnya menjadi 4 wilayah pembangunan yaitu: WP I : Potensi wisata, perikanan darat, perdagangan, pemerintahan, pendidikan dan transportasi udara. WP II : Pengembangan pelabuhan peti kemas dan container, perikanan laut, transportasi laut dan sumber daya mineral. WP III: Pengembangan kawasan agropolitan yang meliputi pertanian, perkebunan dan peternakan skala rakyat. WP IV : Pengembangan kawasan perkebunan skala besar, sumber daya hutan, serta sumber daya air dan energi.
Draft Laporan 23 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Tabel 3.2. Pembagian distrik, desa, kelurahan di Kabupaten Jayapura. NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Distrik
Sentani Sentani Timur Waibu Ebungfauw Demta Yokari Depapre Raveni Rara Sentani Barat Kemtuk Kemtuk Gresi Namblong Nimbokrang Nimboran Gresi Selatan Unurum Guay Yapsi Kaureh Airu Jumlah
Desa
Kelurahan
7 7 7 5 7 5 8 4 5 12 11 9 9 13 4 6 9 5 4 137
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 5
Wil. Pembangunan
I
II
III
III
Sumber: Pemerintah Kabupaten Jayapura
3.1.2. Keadaan Fisik dan Penggunaan Lahan A. Keadaan Iklim Keadaan iklim wilayah Kabupaten Jayapura tercatat di 2 stasiun meteorologi, yaitu Sentani dan Genyem. Keadaan iklim yang diperolehterdiri dari parameter suhu udara, curah hujan, kelembaban udara, lama penyinaran matahari dan tekanan udara. Berdasarkan hasil pengukur suhu udara minimum dan maksimum diperoleh rata-rata pengukuran, seperti Tabel 3.3. Rata-rata suhu udara minimum tercatat antara (20,0 – 22,4)oC, sedangkan rata-rata suhu udara maksimum tercatat antara (26,3 – 28,9)oC. Rata-rata suhu udara minimum di stasiun Sentani tercatat pada bulan Agustus dan stasiun Genyem tercatat pada bulan November, sedangkan rata-rata suhu udara maksimum di stasiun Sentani tercatat pada bulan Desember dan stasiun Genyem tercatat pada bulan Juni. Intensitas hujan yang terjadi di wilayah Kabupaten Jayapura tahun 2006 berdasarkan curah hujan berkisar antara (38 – 681) mm/bulan dan hari hujan antara (8 – 28)hari/bulan. Menurut stasiun Sentani curah hujan terrendah terjadi pada bulan Juni dengan jumlah hari hujan 10 hari, namun hari hujan terendah terjadi pada bulan Oktober. Stasiun Genyem mencatat curah hujan terrendah terjadi pada bulan September dengan jumlah hari hujan 14 hari, namun hari hujan terendah terjadi pada bulan Juni. Curah hujan tertinggi yang tercatat di stasiun Sentani dan Genyem adalah
Draft Laporan 24 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
pada bulan Februari dan hari hujan tertinggi di kedua stasiun terjadi pada bulan Januari. Curah hujan yang terjadi sepanjang tahun 2006 berkisar antara (2037 – 3386) mm/thn. Tabel 3.4. Rata-rata suhu udara minimum dan maksimum Kabupaten Jayapura tahun 2006. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Rata-rata Suhu Udara Minimum (oC) Sentani Genyem 21,7 22,4 22,1 22,3 21,2 22,1 21,8 22,4 21,2 22,0 21,8 22,0 21,6 22,0 20,6 21,4 21,0 21,2 21,8 22,0 21,7 20,0 21,6
Rata-rata Suhu Udara Maksimum (oC) Sentani Genyem 27,1 26.5 26,9 26,3 27,1 26,5 27,3 26,7 27,3 27,0 27,9 27,4 26,9 26,5 26,8 26,3 28,1 26,6 27,1 27,1 27,6 26,6 28,9 27,2
Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Wilayah V Jayapura. Kabupaten Jayapura Dalam Angka (2008)
Kelembaban udara, lama penyinaran matahari dan tenakan udara di wilayah Kabupaten Jayapura berdasarkan data 4 tahun terakhir seperti ditunjukkan oleh Tabel 3.6. Kelembaban rata-rata di stasiun Sentani adalah 84% dan di stasiun Genyem adalah 88,25%. Lama penyinaran rata-rata yang dapat dihitung hanya berasal dari stasiun Genyem adalah 55,25%. Tekanan udara rata-rata di stasiun Sentani adalah 1008 hPa dan stasiun Genyem adalah 1011 hPa. Tabel 3.5. Curah hujan dan hari hujan di Kabupaten Jayapura tahun 2006. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Curah Hujan (mm) Sentani Genyem 240 402 344 681 330 569 135 242 240 233 38 98 129 159 148 107 63 85 57 178 145 345 168 287
Hari Hujan Sentani Genyem 26 28 21 21 22 22 12 20 16 13 10 9 15 13 15 12 16 14 8 12 17 23 18 16
Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Wilayah V Jayapura. Kabupaten Jayapura Dalam Angka (2008)
Draft Laporan 25 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Tabel 3.6. Kelembaban udara, lama penyinaran matahari dan tekanan udara di Kabupaten Jayapura periode 2004 – 2007. Tahun 2004 2005 2006 2007
Kelembaban Udara (%) Sentani 85 88 82 81
Genyem 88 89 89 87
Rata-rata Penyinaran Matahari (%) Sentani Genyem 62 56 56 56 53
Rata-rata Tekanan Udara (hPa) Sentani Genyem 1008 1010 1008 1010 1008 1011 1008 1012
Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Wilayah V Jayapura. Kabupaten Jayapura Dalam Angka (2008)
B. Keadaan Gempa bumi Frekuensi gempa bumi yang terjadi di Wilayah Kabupaten Jayapura dan terekam di stasiun meteorologi, klimatologi dan geofisika Wilayah V Jayapura seperti ditunjukkan oleh Tabel 3.7. Gempa-gempa lokal tercatat berkisar 201 – 797 kali setiap bulan atau total 6.042 getaran sepanjang tahun 2007. Gempa yang bersumber jauh dan dalam dicatat sebanyak 550 kali atau rata-rata terjadi 46 setiap bulan. Gempa bumi dengan kekuatan diatas 5 Skala Ritcher (SR) atau gempa yang dirasakan terjadi sebanyak 42 kali atau rata-rata terjadi 3,3 kali setiap bulan.
C. Penggunaan Lahan Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia (Bakosurtanal, 2005), tercatat penggunaan lahan di Kabupaten Jayapura adalah sebagai berikut : a. Hutan lahan kering primer seluas 9.980,62 km2 (70,51%) b. Hutan lahan kering sekunder seluas 1.876,84 km2 (13,26%) c. Savana seluas 0,20 km2 (0,001%) Tutupan lahan untuk pemukiman terluas berada di Distrik Sentani yaitu 6,16 km 2 dan luas kawasan transmigrasi terluas di Distrik Yapsi yaitu 16,58 km 2. Hutan lahan kering primer terluas berada di Distrik Yapsi, yaitu 3.387,89 km2 dan hutan lahan kering sekunder terluas berada di Distrik Unurum Guay yaitu 2.660,17 km2. Hutan rawa primer dan sekunder terluas berada di Distrik Kaureh, yaitu masing-masing 829,97 km2 dan 62,16 km2. Hutan mangrove primer hanya terdapat di Distrik Demta, yaitu 0,9 km2, dan rawa hanya terdapat di Distrik Kaureh seluas 6,77 km2. Pertanian lahan kering campuran terluas di Distrik Kemtuk, yaitu 48,17 km 2 dan pertanian lahan kering biasa terluas di Distrik Ebungfauw, yaitu 9,4 km 2. Perkebunan dan kebun campuran hanya terdapat di Distrik Yapsi dengan masingmasing luas 154,38 km2 dan 21,87 km2.
Draft Laporan 26 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Tabel 3.7. Frekuensi kegempaan yang terjadi di Kabupaten Jayapura pada Tahun 2007 Bulan Gempa Lokal Gempa Tele Gempa Dirasakan Januari 201 7 Februari 302 29 0 Maret 341 57 1 April 357 71 2 Mei 297 3 3 Juni 558 34 2 Juli 797 35 0 Agustus 515 41 9 September 500 89 5 Oktober 708 62 8 November 670 81 2 Desember 796 48 3 Jumlah 6.042 550 42 Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Wilayah V Jayapura. Kabupaten Jayapura Dalam Angka (2008)
Tutupan lahan sawah dan transmigrasi terdapat di Distrik Nimboran, Namblong dan Nimbokrang yaitu masing-masing luas 0,15 km2, 0,7 km2 dan 2,16 km2. Savana hanya terdapat di Distrik Demta seluas 0,2 km2. Semak belukar terdapat di Distrik Unurum Guay yaitu 22,48 km2, dan tanah atau lahan terbuka seluruhnya seluas 31,82 km 2.
3.1.3. Kependudukan Penduduk di wilayah Kabupaten Jayapura tersebar tidak merata dan proporsi jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan. Jumlah penduduk di wilayah Kabupaten Jayapura berdasarkan data BPS Kabupaten Jayapura seperti termuat dalam Kabupaten Jayapura Dalam Angka tahun 2008 sebanyak 117.942 jiwa. Berdasarkan Tabel 3.8 dapat diketahui tingkat pertumbuhan penduduk Kabuapaten Jayapura berada di sekitar angka 3,08% setiap tahunnya. Tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi di Distrik Sentani. Di Distrik Sentani juga terjadi kepadatan penduduk yang sangat tinggi yaitu 169,96 jiwa/km2, serta jauh di atas rata-rata kepadatan kabupaten yaitu 6,73 jiwa/km2 (Tabel 3.9). Tingkat kepadatan penduduk terendah berada di Distrik Airu, yaitu sebesar 0,45 jiwa/km2. Tabel 3.8. Perkembangan Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Kabupaten Jayapura periode 2004 - 2007 Tahun 2004 2005 2006 2007
Laki-laki 57.334 59.158 61.038 62.979
Perempuan 50.034 51.628 53.269 54.963
Sumber: BPS Kabupaten Jayapura Kabupaten Jayapura Dalam Angka (2008)
Jumlah 107.368 110.786 114.307 117.942
Draft Laporan 27 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Tabel 3.9. Kepadatan penduduk di wilayah Kabupaten Jayapura tahun 2007. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Distrik Kaureh Airu Yapsi Kemtuk Kemtuk Gresi Gresi Selatan Nimboran Namblong Nimbokrang Unurum Guay Demta Yokari Depapre Ravenirara Sentani Barat Waibu Sentani Ebungfauw Sentani Timur Jumlah
Luas Wilayah (km2) 4.357,9 3.009,0 1.219,3 258,3 182,4 143,9 710,2 193,7 3.131,3 497,5 497,5 519,5 404,3 467,4 129,2 258,3 225,9 387,4 484,3 17.516,6
Jumlah Penduduk (jiwa) 10.336 1.389 3.848 3.567 3.832 1.329 4.752 3.613 8.206 1.984 5.384 1.806 4.595 1.704 5.242 3.653 38.394 4.432 9.876 117.942
Kepadatan (jiwa/km2) 2,37 0,46 3,16 13,81 21,01 9,24 6,69 18,65 10,59 0,63 10,82 3,48 11,36 3,64 40,57 14,14 169,96 11,44 20,39 6,73
Sumber: BPS Kabupaten Jayapura Kabupaten Jayapura Dalam Angka (2008)
3.1.4. Perekonomian Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Jayapura tahun 2007 sebesar 9,03% atau meningkat dari semula 8,77% di tahun 2006 (Tabel 3.10). Pertumbuhan ekonomi memberikan indikasi tentang berkembangnya aktivitas ekonomi yang menghasilkan tambahan pendapatan bagi masyarakat sebagai pemilik faktor produksi. Selain dicerminkan oleh pertumbuhan ekonomi meningkatnya aktivitas ekonomi di Kabupaten Jayapura juga dicerminkan oleh meningkatnya nilai tambah yang dihasilkan. Pada tahun 2007 nilai tambah Kabupaten Jayapura 1,16 trilyun rupiah meningkat sebesar 16,01 persen dari tahun 2006 senilai 996,48 milyar rupiah. Perkembangan nilai tambah PDRB tahun 2007 dibandingkan dengan tahun dasar 2000 meningkatnya 197,84 persen atau hampir dua kali lipat, karena nilai tambah PDRB tahun 2000 senilai 388,13 milyar rupiah. Perningkatan ekonomi yang dialami oleh Kabupaten Jayapura pada tahun 2007 disebabkan oleh meningkatnya kegiatan-kegiatan ekonomi di beberapa sektor dan subsektor. Sektor Jasa-jasa dan subsektor Penggalian adalah kegiatan ekonomi yang paling mengalami peningkatan output. Sektor Jasa-jasa yang pada tahun 2006 tumbuh sebesar 6,60 persen pada tahun ini tumbuh 9,90 persen. Begitupun dengan subsektor Penggalian, setelah tumbuh 11,30 persen, pada 2007 ini subsektor Penggalian tumbuh 12,79 persen. Laju pertumbuhan sektoran PDRB di Kabupaten Jayapura selengkapnya seperti Tabel 3.11.
Draft Laporan 28 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Tabel 3.10. Pertumbuhan PDRB Kabupaten Jayapura Tahun 2000 - 2007 Tahun
Atas Dasar Harga Berlaku Nilai Nominal (Jutaan Rupiah)
Pertumbuhan (Persentase)
Atas Dasar Harga Konstan Nilai Nominal (Jutaan Rupiah)
Pertumbuhan (Persentase)
(4) 388.126,59 416.237,20 443.326,90 473.846,31 510.204,87 552.479,57 600.934,24 655.180,65
(5)
(1) (2) (3) 2000 388.126,59 2001 461.978,91 19,03 2002 545.973,83 18,18 2003 626.281,75 14,71 2004 726.975,11 16,08 2005 845.831,33 16,35 2006 996.483,16 17,81 2007 1.155.980,85 16,01 Sumber : PDRB Kabupaten Jayapura (2008)
7,24 6,51 6,88 7,67 8,29 8,77 9,03
Tabel 3.11. Laju Pertumbuhan Sektoral PDRB Kabupaten Jayapura Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2002 – 2007 (dalam persen) Sektor
Pertumbuhan Ekonomi 2003
2004
2005
(1) (2) Pertanian 7,86 Pertambangan & Penggalian 7,67 Industri Pengolahan 1,01 Listrik dan Air Bersih 3,60 Bangunan 6,20 Perdagangan, Hotel dan Restoran 2,85 Angkutan dan Komunikasi 6,08 Keuangan, Persewaan dan Jasa 6,45 Perusahaan 9 Jasa – Jasa 10,02 PDRB 6,51 Sumber : PDRB Kabupaten Jayapura (2008)
(3) 3,66 7,89 0,80 6,07 6,52 15,33 18,12 4,03
(4) 2,79 9,21 4,04 8,95 10,11 14,37 22,21 10,84
(5) 4,24 10,86 4,64 9,21 13,97 10,99 19,66 7,43
(6) 4,37 11,30 6,08 5,07 14,27 10,27 13,58 67,68
2007 *) (7) 4,22 12,79 3,74 2,43 10,62 10,79 12,10 59,88
8,15 6,88
6,91 7,67
7,37 8,29
6,60 8,77
9,90 9,03
1 2 3 4 5 6 7 8
2006
r)
2002
3.1.5. Sarana dan Prasarana A. Kesehatan Sarana dan prasarana kesehatan di Kabupaten Jayapura tercermin dalam ketersediaan sarana kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, gudang farmasi dan apotek. Jumlah sarana kesehatan yang tercatat seperti ditunjukan pada Tabel 3.12. Sedangkan tenaga kesehatan yang melayani sektor kesehatan seperti tertuang dalam Tabel 3.13.
Draft Laporan 29 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Tabel 3.12. Sarana Kesehatan di Kabupaten Jayapura tahun 2007. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sarana Kesehatan Rumah Sakit Puskesmas Puskesmas Pembantu Poliklinik Desa Puskesmas Keliling Air Puskesm as Keliling Darat Pos Pelayanan Terpadu Gudang Farmasi Apotek
Jumlah (Org) 1 15 36 32 3 17 182 1 8
Tabel 3.13. Tenaga kesehatan di Kabupaten Jayapura tahun 2007. Tenaga Kesehatan 1. Dokter Umum 2. Dokter Gigi 3. Perawat Umum 4. Bidan
Jumlah (org) 25 4 110 91
B. Pendidikan Pendidikan di Kabupaten Jayapura lebih di dominasi oleh pendidikan sekolah dasar dengan siswa mencapai 16.505 orang dan 1072 orang guru serta 116 unit sekolah (Tabel 3.14). Angka partisipasi sekolah untuk SD sangat tinggi yaitu 87,88% dan angka partisipasi kelulusan mencapai 97,85%. Angka Partisipasi Sekolah Terendah dialami oleh SLTA (SMK) sebesar 22,60% dan tingkat kelulusan mencapai 14,70% (Kab. Jayapura Dalam Angka, 2008). Tabel 3.14. Sarana dan tenaga pendidik di Kabupaten Jayapura tahun 2007. 1. 2. 3. 4. 5.
Sarana Pendidikan SD SLTP SLTA (SMU) SLTA (SMK) Perguruan Tinggi
Jumlah (unit) 116 27 15 5 0
Guru (org) 1072 513 305 109 0
Murid (org) 16.505 5.873 4.248 1.340 0
C. Keagamaan Kondisi keagamaan yang berkembang di Kabupaten Jayapura tercermin oleh keberadaan sarana ibadah dan penganut agamanya. Jumlah sarana ibadah dan penganut masing-masing agama seperti ditunjukkan pada Tabel 3.15.
Draft Laporan 30 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Tabel 3.15. Sarana peribadahan dan jumlah penganut agama di Kabupaten Jayapura tahun 2007. 1. 2. 3. 4. 5.
Sarana Ibadah Gereja Protestan Gereja Katholik Mesjid Vihara Pura
Jumlah (unit) 290 17 35 1 2
Jumlah Penganut (org) 79.046 5.551 28.318 113 408
D. Listrik Penyediaan listrik di Kabupaten Jayapura di layani oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang memiliki 2 pembangkit listrik tenaga diesel yang berada di Kota Sentani dan Genyem. Produksi listrik yang dihasilkan oleh pembangkit Sentani pada tahun 2007 adalah 2.357.380 kwh dan pembangkit Genyem sebesar 467.120 kwh. Jumlah produksi ini belum sepenuhnya dapat melayani kebutuhan energi listrik di Kabupaten Jayapura, sehingga diperlukan alternatif penyediaan energi listrik selain yang berasal dari diesel. Dibeberapa kampung telah dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro dengan kapasitas kurang dari 10.000 kwh. E. Jalan Sarana jalan yang dimiliki oleh Kabupaten Jayapura sepanjang 945,4 km yang terdiri dari jalan aspal sepanjang 266,73 km, jalan kerikil 414,38 km serta jalan tanah 264,29 km. Sarana jalan lain yang dimiliki adalah jembatan yang terdiri dari jembatan beton dan kayu yang berjumlah 122 buah. Kondisi jalan dan panjang jalan yang berada di Kabupaten Jayapura selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 3.16 berikut ini. Tabel 3.16. Sarana jalan dan kondisi jalan di Kabupaten Jayapura tahun 2007.
Jenis Jalan 1. Aspal a. Baik b. Rusak 2. Kerikil a. Baik b. Rusak 3. Tanah a. Baik b. Rusak Jumlah
Panjang (km) 214,88 51,85 86,63 327,75 81,36 182,93 945,4 km
3.2. Distrik Depapre Distrik Depapre memiliki luas 404,3 km2 (2,31% luas Kabupaten Jayapura) dan berada dalam Wilayah Pembangunan II.
Draft Laporan 31 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Batas wilayah Distrik Depapre adalah sebagai berikut: - Utara : Samudera Pasifik - Timur : Distrik Ravenirara - Selatan : Distrik Sentani Barat - Barat : Samudera Pasifik dan Distrik Yokari Secara geografis, penduduk di wilayah Distrik Depapre sebagian besar menempati bagian tepi pantai yang berbatasan dengan Samudera Pasifik. Daerah yang mudah dikenali di Distrik ini antara lain Teluk Tanahmerah, Tanjung Tanahmerah, Tanjung Ensaweh, Tanjung Torare dan Tanjung Ormu.
3.2.1. Administrasi Secara administrasi Distrik Depapre terdiri dari 8 Kampung, yaitu: 1. Kendate 5. Yepase 2. Entiyebo 6. Wambena 3. Waiya 7. Yewena 4. Tablasupa 8. Dormena Ibukota Distrik Depapre berada di Kampung Waiya.
Gambar 3.2. Peta Adminitrasi Distrik Depapre
Draft Laporan 32 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
3.2.2. Keadaan Fisik Secara morfologi, wilayah Distrik Depapre memiliki topografi yang sangat bervariasi, yaitu diperlihatkan oleh keadaan kelerengan mulai dari morfologi datar seluas 21,34 km2, bergelombang seluas 1,94 km2 dan sangat curam seluas 84,72 km2, serta keadaan ketinggian yaitu 41,35 km2 untuk ketinggian kurang dari 100 m dpal, 26,64 km2 untuk ketinggian 100 – 500m dpal, 34,30 km2 untuk ketinggian 500 – 1000m dpal, serta 5,3 km2 untuk ketinggian lebih dari 1000m dpal.
3.2.3. Sosial Budaya Data sosial budaya dari BAPPEDA Kabupaten Jayapura tahun 2008 memberikan gambaran kondisi sarana dan tenaga kesehatan serta sarana dan tenaga pendidik sebagai berikut: A. Sarana kesehatan Sarana kesehatan yang tersedia berupa puskesmas sebanyak 1 buah hanya ada di Kampung Waiya, puskemas pembantu (pustu) sebanyak 1 buah hanya ada di kampung Yewena, poliklinik desa (polindes) sebanyak 4 buah berada di kampung Entiyebo, Kendate, Tablasufa dan Dormena, Puskesmas keliling air sebanyak 4 unit dan puskesmas keliling darat sebanyak 2 unit. Sarana kesehatan ini didukung oleh 1 orang dokter umum, 5 orang perawat, 7 orang bidan, 3 orang ahli gizi dan 3 orang ahli kesehatan lingkungan. B. Sarana pendidikan Sarana pendidikan yang terdapat di Distrik Depapre antara lain Sekolah Dasar sebanyak 11 sekolah yang diasuh oleh 30 orang guru untuk sebanyak 860 orang murid, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak 2 sekolah dengan 18 orang guru dan 310 orang murid dan 1 Sekolah Menengah Kejuruan yang terdiri dari 9 orang guru dan 107 orang murid.
3.3. Distrik Ravenirara Distrik Ravenirara memiliki luas 467,4 km2 (2,67% luas Kabupaten Jayapura) dan berada di dalam Wilayah Pembangunan II. Batas wilayah Distrik Depapre adalah sebagai berikut: - Utara : Samudera Pasifik - Timur : Kota Jayapura - Selatan : Distrik Sentani dan Distrik Sentani Timur - Barat :Distrik Depapre Secara geografis, wilayah Distrik Ravenirara berada di lereng sebelah utara Pegunungan Cycloops dan sebagian besar penduduknya menempati bagian tepi pantai yang berbatasan dengan Samudera Pasifik.
3.3.1. Administrasi Secara administrasi Distrik Ravenirara terdiri dari 4 kampung, yaitu: 1. Yongsu sapari 3. Newa 2. Yongsu Dosoyo 4. Necheibe
Draft Laporan 33 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Ibukota Distrik Ravenirara berada di Kampung Necheibe
Gambar 3.3. Peta administrasi Distrik Ravenirara.
3.3.2. Keadaan Fisik Secara morfologi, wilayah Distrik Ravenirara memiliki topografi yang curam hingga sangat curam. Kelerengan antara (41 – 65)% menempati daerah seluas 11,54 km2 dan kelerengan >65% menempati daerah seluas 104,63 km2. Ketinggian tempat yang kurang dari 100 m dpal seluas 19,02 km2, 100 – 500 m dpal seluas 24,73 km2, 500 – 1000 m dpal seluas 58,39 km2 dan > 1000 m dpal seluas 13,43 km2.
3.3.3. Sosial Budaya Data sosial budaya dari BAPPEDA Kabupaten Jayapura tahun 2008 memberikan gambaran kondisi sarana dan tenaga kesehatan serta sarana dan tenaga pendidik sebagai berikut: A. Sarana kesehatan Sarana kesehatan yang tersedia berupa puskemas pembantu (pustu) sebanyak 2 buah yaitu di kampung Newa dan Yongsu Sapari, poliklinik desa (polindes) sebanyak 1 buah hanya berada berada di kampung Yongsu Dosoyo. Sarana kesehatan ini didukung oleh 1 orang bidan dan 1 orang tenaga non kesehatan. B. Sarana pendidikan Sarana pendidikan yang terdapat di Distrik Ravenirara hanya Sekolah Dasar yang berstatus sekolah negeri sebanyak 2 sekolah yang diasuh oleh 9 orang guru untuk sebanyak 119 orang murid, serta 3 sekolah swasra dengan 13 orang guru dan 135 orang murid.
Draft Laporan 34 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
BAB IV KONDISI GEOLOGI 3.1. Geologi Regional Papua (dahulu Irian Jaya) adalah provinsi paling timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menempati setengah bagian barat dari pulau New Guinea. Pulau New Guinea ini merupakan pulau kedua terbesar di dunia dan diatasnya terdapat puncak tertinggi di Asia Tenggara dan Australia, yaitu Puncak Jaya (4884 m dpal). Puncak ini terkenal sebagai satu-satunya tempat di khatulistiwa (wilayah tropis) yang memiliki salju abadi. Secara tradisional, bentuk pulau New Guinea menggambarkan seekor burung yang sedang terbang kearah barat dengan mulut terbuka. Oleh sebab itu, dalam penjelasan tentang aspek geologi pulau New Guinea akan digunakan istilah seperti bagian-bagian seekor burung, yaitu bagian kepala, leher, badan dan ekor burung (Gambar 3.1).
Gambar 3.1. Peta pulau Papua ibarat seekor burung dan litotektonik. RMB = Ruffaer Metamorphic Belt.
Provinsi Papua hanya menempati setengah dari bagian badan burung. Setengah badan burung sisanya merupakan wilayah negara Papua New Guinea. Batas sebelah barat adalah bagian leher yang merupakan wilayah provinsi Papua Barat (Irian Jaya Barat). Berdasarkan bentuk (morfologi) pulau New Guinea yang terdiri dari empat bagian maka dapat diketahui bahwa geologi Papua dikenal sangat rumit dan kompleks. Hal ini terjadi akibat interaksi 2 lempeng, yaitu Lempeng Benua Australia dan Lempeng Samudera Pasifik yang membentuk pulau New Guinea saat ini. Sebagian besar evolusi tektonik pulau New Guinea terjadi pada masa (era) Kenozoikum yang menghasilkan Oblique Convergence atau tubrukan menyudut antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik (Hamilton, 1979; Dow dkk, 1988).
Draft Laporan 35 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Di Papua (wilayah Provinsi Papua) terdapat Jalur Pegunungan Tengah (Central Mountain Range) dikenal sebagai lokasi tipe untuk an active island arc – continent collision (Dewey dan Bird, 1970). Jalur Pengunungan Tengah ini memiliki panjang 1300 km dan lebar 150 km, dan topografi yang tidak datar serta terdapat sejumlah puncak yang memiliki ketinggian lebih dari 3000 m. Sebagian besar jalur tengah tersusun oleh lapisan-lapisan berumur Mesozoikum dan Kenozoikum yang telah terlipat kuat dan tersesarkan, dan pengendapan yang terjadi di batas pasif benua Australia (Gambar 3.2).
Gambar 3.2. Peta kondisi tektonik pulau Papua, terdiri dari MTFB = Mamberamo Thrust & Fold Belt; WO = Weyland Overthrust; WT = Waipona Thrust; TAFZ = Tarera-Aiduna Fault Zone; RFZ = Ransiki Fault Zone; LFB = Lengguru Fault Belt; SFZ = Sorong Fault Zone; YFZ = Yapen Fault Zone; MO = Misool–Onin High.
Secara umum geologi di Papua (wilayah provinsi Papua) dikendalikan oleh interaksi lempeng benua dan samudera, sehingga dapat dibedakan menjadi 3 mandala geologi, yaitu benua (disebelah selatan), samudera (disebelah utara) dan transisi (dibagian tengah). Setiap mandala geologi tersebut memiliki karakteristik masing-masing menurut stratigrafi, proses magmatik dan sejarah tektoniknya. Mandala benua (continent) terdiri dari endapan yang merupakan bagian dari benua Australia. Mandala samudera (oceanic) terdiri dari batuan ofiolit dan busur kepulauan volkanik kompleks yang merupakan bagian dari samudera pasifik. Mandala transisi adalah zone yang terdiri dari deformasi lanjut dari batuan metamorfik regional, sebagai produk interaksi antara 2 lempeng. Pembagian mandala geologi seperti ini tidak dijumpai dan tidak
Draft Laporan 36 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
dapat diterapkan pada bagian leher dan kepala burung, karena kedua bagian tersebut memiliki sejarah geologi yang berbeda dari bagian badan burung (Pieter dkk, 1983; Pigram dan Davies, 1987).
3.1.1. Kondisi Litotektonik Bagian badan burung dapat dibedakan menjadi 4 litotektonik, yaitu 1) New Guinea Foreland/Foreland Basin (Arafura Platform), 2) Central Range Fold and Thrust Belt, 3) Metamorphic (Ruffaer Metamorphic Belt) dan Ophiolite Belt, dan 4) kompleks busur kepulauan Melanesia (depresi Meervlakte/North West Basin dan Mamberamo Thrust Belt), Gambar 2.2. New Guinea Foreland (Arafura Platform) terdiri dari laut Arafura dan dataran pantai bagian selatan Papua yang terletak pada kerak benua Australia. Stratigrafi platform tersusun oleh sebagian besar batuan laut dan bukan laut Pliosen yang tidak termetamorfikan, dan batuan sedimen silisiklastik Holosen yang mendasari batuan karbonat Kenozoikum dan lapisan selisiklasktik Mesozoikum yang diendapkan pada pasive margin Australia (Dow dan Sukamto, 1984). Foreland dan jalur lipatan – patahan Pegunungan Tengah dikenal sebagai New Guinea Mobile Belt (Dow, 1988). Jalur tengah ini merupakan sabuk orogenik yang terdiri dari morfologi lipatan dan patahan yang tersusun oleh batuan Paleozoikum hingga Tersier dari benua Australia. Sabuk metamorfik Ruffaer memiliki lebar 50 km, secara umum terdeformasi lanjut, merupakan batuan metamorfik suhu rendah (<300oC) yang terbatas dijumpai pada bagian sebalah utara sabuk ofiolit Papua dan di sebelah selatan telah terdeformasi, tetapi pada bagian passive margin belum termetamorfikan (Dow dkk, 1988; Nash dkk, 1993; Warren, 1995; Weilland, 1999). Sabuk ofiolit Papua dipisahkan dari sabuk metamorfik Ruffaer oleh rangkaian patahan dan tertutup oleh aluvium cekungan Meervlakte. Suture pemisah satuan batuan dari kedua lempeng dapat ditemukan pada batas antara kedua sabuk ini. Zona sesar/patahan Derewo menjadi batas antara sabuk metamorfik Ruffaer dan lapisan tidak termetamorfikan dari sabuk lipatan Papua (Dow dkk, 1986). Pengaruh orogenik di bagian utara Papua sangat sedikit terungkap. Zona kompleks melibatkan batuan oceanik yang berasal dari kolisi busur kepulauan Melanesia dengan lempeng Pasifik. Sabuk ini terdiri dari cekungan Meervlakte (dataran danau) dan sabuk patahan dan lipatan Mamberamo/ Mamberamo Thrust-and-Fold Belt (MTFB). Meervlakte adalah cekungan antar pegunungan (intermontane) dan cekungan ini memiliki subsidence aktif sejak Miosen Tengah hingga sekarang, dengan kecepatan penurunan lebih besar daripada kecepatan sedimentasinya (Dow dkk, 1988). Lebar MTFB 200km, cenderung berarah NW terdeformasi convergent, sebagian besar berupa dataran busur melanesia yang terjadi pada awal Pliosen dan hingga sekarang masih aktif (Dow dan Sukamto, 1984; Dow dkk, 1988).
Draft Laporan 37 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
3.1.2. Kondisi Stratigrafi Regional Tatanan (nomenclature) Papua yang detail dan lengkap diuraikan secara baik oleh Dow dkk (1988) dalam laporan dan peta yang telah dipublikasikan oleh Badan Geologi Bandung (dahulu: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung). Secara umum stratigrafi Papua dapat diuraikan berdasarkan pembagian mandala geologi, yaitu benua, samudera dan transisi. Stratigrafi yang hubungan dengan lempeng benua diuraikan menurut masa (era) pengendapannya, yaitu batuan dasar Paleozoikum, sedimentasi masa Mesozoikum hingga Kenozoikum, dan sedimentasi masa Kenozoikum Akhir (Gambar 3.3)
Gambar 3.3. Stratigrafi regional pulau Papua (Dow dkk, 1988)
3.2. Geologi Kabupaten Jayapura Geologi wilayah Kabupaten Jayapura mengacu pada hasil pemetaan Suwarna dan Noya (1995) seperti tergambar pada Peta Geologi Pegunungan Cycloops yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung (1995). Uraian geologi wilayah Kabupaten Jayapura meliputi aspek geomorfologi (morfologi), stratigrafi (litologi), struktur geologi, sejarah geologi dan kondisi hidrologi.
3.2.1. Geomorfologi Secara fisiografi daerah Jayapura dan sekitarnya dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) satuan morfologi yaitu satuan pegunungan, satuan perbukitan karts, satuan perbukitan bergelombang dan satuan dataran rendah. (N. Suwarna Y. Noya, 1995) Satuan pegunungan secara umum dicirikan dengan ketinggian lebih dari 1.800 meter diatas muka airlaut, berelief kasar dan berlereng terjal. Satuan perbukitan karts
Draft Laporan 38 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
dicirikan dengan relief menengah hingga kasar, sebagian berlereng terjal, dengan memperlihatkan adanya lapis dolina atau nuala serta batuan penyusun berupa batu gamping koral ganggang. Satuan perbukitan bergelombang dicirikan dengan kemiringan lereng bervariasi antara 300 – 400, ketinggian bukit berkisar antara 100 – 300 meter di atas muka air laut. Satuan dataran rendah, terletak sepanjang garis pantai maupun lembah antara perbukitan. Satuan ini berupa endapan sungai, endapan rawa dan endapan pantai. Geomorfologi daerah penyelidikan dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Satuan Dataran Aluvial (Dataran Tinggi) Satuan ini menempati dataran Sentani yang luas, berada di ketinggian antara 100 – 150 meter. Secara litologi, satuan ini tersusun oleh material berupa lempung, pasir dan kerikil (batu) yang merupakan hasil proses pelapukan batuan yang menyusun perbukitan atau pegunungan para-Tersier disekitarnya. Material endapan pada satuan ini sangat dipengaruhi oleh proses aliran sungai (fluviátil) dan pengendapan hasil proses denudasi. Sebagian lahan telah digunakan sebagai kawasan pemukiman, pertanian dan perkotaan. Kualitas air tanah dangkal cukup baik dan air tanah dalam dibeberapa tempat berasa asin. 2. Satuan Perbukitan Struktural Satuan ini menempati bagian selatan daerah penyelidikan yang dicirikan oleh morfologi yang bergelombang lemah hingga kuat dengan puncak bukit agak tumpul. Sebaran morfologi satuan ini relatif memanjang dan berarah Barat Laut – Tenggara. Ketinggian berkisar antara 100 – 700 meter dari muka laut. Satuan ini menjadi tempat mata air bagi sungai-sungai yang mengalir ke dataran Tami. Morfologi ini sangat berperan sebagai daerah tangkapan hujan yang penting bagi pengisian air tanah. Litologi penyusun morfologi ini didominasi oleh perlapisan batuan sedimen dari fraksi halus seperti grewake, batulempung, batulanau, napal dan batpasir halus. Morfologi satuan ini sangat dikendalikan oleh kehadiran struktur geologi yang berupa patahan (fault) dan lipatan (fold). Jenis patahan yang dapat ditemukan adalah patahan geser maupun patahan naik/turun. Pola kelurusan morfologi maupun aliran permukaan mengikuti pola dan arah struktur geologi yang bekerja. Sehingga satuan ini menjadi daerah yang rawan terhadap bahaya gerakan massa (tanah atau batuan) dan pergeseran permukaan akibat sesar yang dipicu oleh getaran gempabumi. 3. Satuan Pegunungan Batuan Pra-Tersier Satuan ini berada di bagian utara daerah penyelidikan, berbentuk memanjang dari berarah timur – barat, dan ditempati oleh Pegunungan Cycloops yang memiliki ketinggian 2000 – 5000 meter dari muka laut. Kota Jayapura, Sentani dan Depapre menempati satuan ini. Morfologi satuan ini dicirikan oleh puncak yang meruncing hingga agak tumpul dan relief bergelombang kuat. Pegunungan ini menjadi daerah tangkapan hujan bagi sungai-sungai yang mengalir ke dataran dan danau Sentani. Satuan ini tersusun dan dikontrol oleh litologi yang berupa batuan beku mafik dan ultramafik, serta batuan metamorfik dari Kelompok Malihan Cycloop yang berumur pra-Tersier.
Draft Laporan 39 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
3.2.2. Stratigrafi Secara stratigrafi daerah Kabupaten Jayapura tersusun oleh batuan beku, sedimen dan metamorfik yang berasal dari umur pra Tersier, Tersier hingga Kuarter. Urutan batuan yang menyusun daerah Kabupaten Jayapura dari umur tertua ke muda, sebagai berikut: Pra-Tersier terdiri dari batuan beku mafik dan ultarmafik (m dan um), serta batuan metamorfik (pTmc). Kelompok batuan ini digolongkan sebagai batuan tektonit (Suwarno dan Noya, 1995). Tersier terdiri dari kelompok batuan piroklastik yang berupa lava basal, diabas, andesit dan breksi volkanik, tuf dan sisipan batugamping, greywacke dan tuf (Formasi Auwewa/Tema), Kelompok batugamping bersispan biomikrit, napal, batupasir halus, greywacke gampingan, tufaan, dan tuf (Formasi Nubai/Tomn), kelompok batuan sedimen berupa greywacke yang berselingan dengan batulanau dan batulempung serta bersisipan dengan konglomerat dan napal (Formasi Makats/Tmm), batupasir dan batulempung yang bersisipan dengan batugamping, napal dan lanau (Formasi Aurimi/Tmpa), dan batugamping (Formasi Benai/Tmpb). Hampir semua formasi saling jari menjemari. Secara selaras di atasnya diendapkan greywacke yang berselang-seling dengan batulempung, batulanau, napal, konglomerat serta sisipan batupsir dan lignit (Formasi Unk/Qtu). Kuarter terdiri dari Kelompok batuan campur aduk (Qc) dan endapan lumpur (Qmd), kelompok endapan laut dangkal seperti batugamping koral-ganggang, kalkarenit dan kalsirudit (Formasi Jayapura/Qpj) dan batugamping koral (Qcl), serta kelompok endapan darat seperti kipas aluvial (Qf) dan endapan aluvial dan pantai (Qa).
Gambar 3.4. Kolom stratigrafi wilayah Kabupaten Jayapura (Suwarna dan Noya, 1995)
Draft Laporan 40 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
3.2.3. Struktur geologi Daerah Kabupaten Jayapura secara tektonik berada pada zona tubrukan antara Lempeng Samudera Pasifik (di utara) dan Lempeng Benua Australia (di selatan). Di daerah ini berkembang struktur-struktur geologi seperti sesar naik, sesar normal, sesar geser mendatar dan lipatan. Secara umum struktur geologi yang terekam pada batuan sedimen berarah hampir barat laut – tenggara dan beberapa timur laut – barat daya. Struktur geologi regional berdasarkan Noya dan Suwarna (1995) dalam Geologi Regional Lembar Jayapura berupa; antiklin, sinklin, sesar normal, sesar naik dan sesar mendatar. Arah umum struktur regional pada batuan sedimen berarah BaratlautTenggara, beberapa hampir mendekati Barat Beratlaut-Timur Tenggara dan Utara Baratlaut- Selatan tenggara terutama pada batuan Tersier. Struktur Timurlaut-Barat Baratdaya terdapat pada batuan Malihan dan Ultrabasa, sedangkan yang hampir Utara-Selatan pada batugamping Kuarter dan juga batuan malihan. Arah umum sumbu lipatan Barat Baratlaut – Timur Tenggara. Beberapa sumbu antiklin tergeserkan oleh sesar mendatar maupun sesar turun. Sesar turun berarah Barat baratlaut - Timur Tenggara, Timurlaut-Baratdaya serta hampir Utara - Selatan; menyesarkan batuan berumur Tersier dan Kuarter. Sesar naik berarah jurus Baratlaut Tenggara dan melengkung ke arah Barat - Timur memisahkan malihan Cycloops dengan satuan batuan Ultramafik dan Mafik, diduga pula satuan batuan Mafik dari formasi Auwewa. Sesar mendatar berarah Timurlaut-Baratdaya yang menyesarkan sesar turun dan sesar naik, umumnya merupakan batas satuan batuan ultrabasa dan batuan sedimen. Kekar lebih berkembang pada batuan malihan, beku dan sedimen klastik kasar. Kelurusan berarah umum hampir searah struktur regional, yakni Baratlaut - Tenggara. Beberapa berarah Utara, Selatan dan Timurlaut - Baratdaya.
3.2.4. Sejarah Geologi Sejarah geologi daerah penyelidikan terekam pada kelompok atau formasi batuan yang menyusun daerah ini. Batuan tertua yang dijumpai adalah kelompok malihan Cyclops, dan diatasnya ditumpangi oleh kelompok batuan ultrabasa secara tidak selaras. Kedua kelompok batuan ini berumur Pra-Tersier dan dianggap sebagai batuan dasar di daerah Sentani dan sekitarnya. Sejak Kala Kapur sampai Miosen Awal, diperkirakan telah terjadi kegiatan gunungapi bawahlaut yang membentuk Formasi Auwewa. Kegiatan tektonik Oligosen Tengah menyebabkan susut laut dan pada saat tersebut batuan Ultramafik, Mafik dan Malihan muncul ke permukaan, sementara kegiatan gunung api berlangsung terus. Oligosen Akhir hingga Miosen tengah terjadi sedimentasi batugamping gangang-koral dan batugamping pelagos tufaan dalam lingkungan laut dangkal - agak dalam, membentuk Formasi Nubai. Miosen Awal terjadi pengendapan sedimen turbidit Formasi Makats, Aurimi dan klastika dan batugamping Formasi Benai. Kejadian ini disusul oleh sudut laut pada pliosen Akhir-Plistosen, menghasilkan klastika halus Formasi untuk Mulai Pliosen Awal sekeliling ”tinggian Cycloop” terjadi sedimentasi batugamping terumbu koral dalam lingkungan laut dangkal-laut terbuka agak dalam. Pengangkatan kuat pada akhir Plistosen diikuti oleh suatu perlipatan dan penyesaran yang kuat pada Formasi Unk dan Formasi Jayapura serta mempertajam perlipatan pada Formasi Makats dan
Draft Laporan 41 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Formasi Aurimi. Kegiatan pengangkatan pada akhir pembentukan Formasi Jayapura ditandai oleh adanya julang setinggi 750 meter. Tektonika saat tersebut berpengaruh pada pembentukan batuan campuraduk dan satuan endapan lumpur. Gejala poton yang masih giat dan kelurusan yang diduga sesar pada sedimen klastika kasar dan batugamping koral, serta adanya terumbu terangkat berupa undak, menjadi bukit tektonik masih giat.
3.2.5. Kondisi Hidrologi Di Kabupaten Jayapura terdapat 1 (satu) danau yaitu Danau Sentani luasnya ± 9.630 Ha terdapat di 5 (lima) Distrik yaitu Distrik Sentani Timur, Sentani Barat, Sentani, Distrik Waibu dan Distrik Ebungfauw.Keberadaan danau Sentani menjadi kendali hidrogeologi daerah Sentani dan sekitarnya. Hasil penyelidikan Purwanto dan Murdiana, 1982, tentang Hidrogeologi Indonesia yang tergambar dalam peta hidrogeologi lembar Jayapura, menunjukkan bahwa daerah sentani dan sekitarnya berdasarkan keterdapatan airtanah dan produktifitas akifer dapat dibagi menjadi 2 media aliran, yaitu akifer dengan aliran melalui ruang antar butir dan akifer bercelah atau sarangan; produktifitas akifer dibagi 5 zona, yaitu 1) zona produktifitas tinggi, sebaran luas, 2) zona produktifitas tinggi, sebaran tidak luas, 3) zona produktifitas sedang, sebaran luas, 4) zona produktifitas rendah, sebaran setempat-setempat, dan 5) zona airtanah langka. Sebaran selengkapnya lihat Gambar 3.2.
3.3. Geologi Daerah Penyelidikan 3.3.1. Morfologi Daerah penyelidikan memiliki 2 macam morfologi, yaitu morfologi pantai dan morfologi pegunungan. A. Morfologi pantai berada di bagian utara yang berbatasan dengan Samudera Pasifik. Tipe pantai yang banyak ditemui di lokasi penelitian adalah pantai submergence (Johnson, 1919 dalam Sastroprawiro, 1990) dicirikan oleh garis pantai yang tidak teratur dan kemiringan pantai relatif curam serta penataan kampung yang tidak sejajar dengan garis pantai. Dataran pantai relatif sempit dan kampung berada disekitar muara atau tepi sungai yang berstadia muda. B. Morfologi pegunungan berada dibagian selatan, dikenal sebagai Pegunungan Cycloop atau dalam bahasa lokal dikenal sebagai Ravenirara atau Dobonsolo. Bentuk pegunungan ini memanjang berarah barat – timur dengan tiga puncak yaitu Baboko, Butefon dan Dafonsero. Ketinggian puncak gunung mencapai 2100 m dpal dan kemiringan lereng pegunungan ini sangat curam (lebih dari 45 o). Pola pengaliran berbentuk dendritik dan sub dendritik yang mengalir ke arah utara bermuara di Samudera Pasifik dan ke arah selatan bermuata di Danau Sentani serta Teluk Yotefa dan Teluk Humbolt.
3.3.2. Litologi Litologi atau sebaran batuan yang menyusun daerah penyelidikan dibedakan menurut jenis batuan adalah sebagai berikut:
Draft Laporan 42 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
A. Batuan beku seperti diorit dan gabro (Kelompok mafik/m) serta serpentinit dan piroksenit (Kelompok Ultramafik/um). Kelompok batuan beku sangat mendominasi singkapan di permukaan dan hasil pelapukannya menghasilkan endapan laterit yang kaya atau mengandung logam-logam seperti nikel, magnesium, besi, dan kromit. B. Batuan sedimen berupa batuan gunung api bawah laut seperti lava basalt, diabas dan andesit, aglomerat, breksi gunung api, tufa, sisipan batugamping dan tuf pasiran gampingan (Formasi Auwewa/Tema) dan batugamping berukuran halus – kasar, masif (pejal) dan mengandung fosil koral, cangkang moluska, duri echinoid (Formasi Benai/Tmpb). C. Batuan metamorfik seperti sekis, filit, gneis dan marmer (Kelompok Malihan Cycloops/pTma).
3.3.3. Struktur Struktur yang dijumpai di lapangan dibedakan menjadi 2 macam berdasarkan genesanya, yaitu struktur geologi (sekunder) dan struktur batuan (primer). Struktur geologi yang berupa sesar naik/turun dan kekar, serta struktur batuan yang berupa foliasi . Sesar naik/turun dapat ditafsirkan dari kontak antara batuan tua dengan batuan yang lebih muda, serta gawir sesar yang membentuk lineasi atau pola kelurusan pada punggungan gunung. Arah sesar secara umum barat laut – tenggara dan timur laut – barat daya. Kekar pada batuan beku secara umur berarah barat – timur dengan kemiringan (dip) sekitar 40°. Foliasi dijumpai hanya pada batuan metamorfik yaitu sekis dan filit. Struktur ini berarah antara N 15 – 50° E dan kemiringan (dip) antara (10 – 20)o. Struktur foliasi ini menunjukkan tingkat metamorfime yang tinggi akibat adanya tekanan dan suhu yang tinggi pada saat pembentukan batuan.
Draft Laporan 43 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Gambar 3.5. Peta geologi daerah penyelidikan (Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara (Suwarna dan Noya, 1995)
Draft Laporan 44 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
BAB V HASIL PENYELIDIKAN
Kegiatan pemetaan daerah rawan bencana di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara Kabupaten Jayapura diawali dengan mengumpulkan hasil penyelidikan terdahulu menyangkut aspek kebencanaan yang pernah dilakukan di Kabupaten Jayapura, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan lapangan berupa survei dan pemetaan daerah yang berisiko mengalami bencana. Tahap selanjutnya adalah menentukan faktor bahaya geologi dan tingkat kerentanan di setiap distrik, terutama wilayah kampung. Berdasarkan kriteria bahaya dan kerentanan maka dilakukan analisis risiko untuk mengetahui seberapa besar tingkat bencana yang akan menimpa atau dialami oleh masyarakat di wilayah pemetaan. Hasil analisis risiko digunakan untuk memformulasi metode penanganan bencana, baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat. Di bagian akhir diharapkan tumbuh kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana yang akan datang. Upaya yang dilakukan antara lain mempersiapkan peran serta masyarakat dalam kegiatan penanganan bencana dan meningkatkan potensi (mengurangi faktor kerentanan) masyarakat melalui upaya penanganan bencana.
5.1. Penyelidikan Terdahulu Penyelidikan dan penelitian tentang kebencanaan di Kabupaten Jayapura telah dilakukan oleh beberapa ahli maupun instansi. Hasil penyelidikan yang dapat diketengahkan antara lain: A. Hasil identifikasi dan inventarisasi daerah rawan bencana banjir dan longsor di Papua yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Mamberamo, Departemen Kehutanan bekerja sama dengan Pusat Studi Bencana (PSBA) Universitas Gadjah Mada (2007). B. Hasil Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam yang dilakukan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Pemerintah Propinsi Papua (2007). C. Hasil supervisi dan advis teknis pengendalian banjir di Kabupaten Jayapura yang dilakukan oleh Sub Dinas Bina Pengairan, Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Papua bekerja sama dengan PT Cakra Buana (2007). D. Hasil survei dan pemetaan daerah rawan bencana geologi (alam) di Distrik Sentani dan Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura oleh Dinas Pertambangan dan Energi Pemerintah Kabupaten Jayapura (2008). E. Hasil rekaman gempa bumi di Papua oleh Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah V Papua (2009). Kegempaan yang tercatat telah terjadi sekitar 100 kali gempa bumi yang berpusat (episentrum) di wilayah Kabupaten Jayapura, di kedalaman antara 10 – 110 km, dengan kekuatan antara 3,5 – 5,6 Skala Ritcher (SR). Gempa bumi yang terjadi termasuk dalam gempa bumi tektonik yang merupakan interaksi antara Lempeng
Draft Laporan 45 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Samudera Pasifik dan Lempeng Benua Australia yang menyebabkan beberapa struktur sesar mengalami pergeseran (aktif). Episentrum gempa berada di darat dan tergolong gempa dangkal hingga menengah, serta bersifat kurang merusak. Tipe gempa seperti ini sering menjadi pemicu bagi terjadinya longsoran, tetapi tidak memicu terjadinya tsunami.
5.2. Kegiatan Survei dan Pemetaan Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara yang sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung dengan lautan bebas memiliki 2 sumber ancaman, yaitu asal dari daratan, terutama dari Pegunungan Cycloops dan asal lautan, khususnya Samudera Pasifik. Kedua sumber ancaman ini perlu diidentifikasi secara cermat mengingat perkembangan wilayah Kabupaten Jayapura tumbuh secara linier berarah barat timur atau dengan kata lain pertumbuhan kota Sentani akan menuju Distrik Sentani Barat dan Distrik Depapre. Mengantisipasi pertumbuhan yang semakin cepat dan pembangunan yang intensif, maka perlu diketahui berbagai kemungkinan kendala atau hambatan yang disebabkan oleh alam berupa bahaya geologi yang dapat berkembang menjadi bencana geologi (alam). Berbagai fenomena bencana terkait erat dengan faktor topografi, geologi, hidrologi/hidrogeologi, meteorologi, penggunaan lahan, penduduk, dan kombinasi faktor-faktor di atas. Semua faktor saling berkaitan dan menghasilkan bencana yang mungkin dapat terjadi sewaktu-waktu atau dipicu oleh salah satu faktor. Oleh sebab itu, kegiatan survey dan pemetaan daerah rawan bencana di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara akan mengamati faktor-faktor tersebut, sebagai faktor utama penyebab bencana. Pelaksanaan survei lapangan dan pemetaan daerah rawan bencana dilakukan oleh 2 tim. Tim pertama melakukan kegiatan di Distrik Ravenirara pada tanggal 16 Juni 2009. Kesampaian lokasi ditempuh dengan menggunakan speedboat dari Hamadi Kota Jayapura menuju Kampung Yongsu Sapari. Perjalanan di tempuh selama kurang lebih 45 menit dalam cuaca yang cerah dan laut yang tenang. Tim kedua melaksanakan kegiatan survei di Distrik Depapre pada tanggal 18 Juni 2009. Kesampaian lokasi ditempuh dengan menggunakan mobil dari Kota Sentani menuju Kampung Yewena. Perjalanan ditempuh selama 60 menit perjalanan melalui jalan aspal berakhir di sekitar Tablasupa dan dilanjutkan dengan jalan perkerasan hingga tiba di Kampung Dormena.
5.2.1. Distrik Depapre Wilayah Distrik Depapre berada di bagian paling barat Pegunungan Cycloops dan berbatas dengan Samudera Pasifik. Wilayah ini memiliki topografi berbukit-bukit yang merupakan bagian dari lereng pegunungan, serta pantai yang sempit tidak beraturan dan bergelombang cukup besar. Batuan penyusun wilayah ini didominasi oleh batuan metamorfik disebelah utara, serta batuan beku dan batuan piroklastik dibagian barat. Di sekitar tanjung Tanahmerah pada topografi yang cukup datar terhampar tanah laterit yang cukup tebal. Material tanah ini mengandung cukup besar potensi logam, seperti nikel, besi, magnesium dan kromit. Tanah jenis ini adalah hasil pelapukan
Draft Laporan 46 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
batuan beku mafik dan ultramafik di daerah tropik. Struktur geologi yang teramati berupa gawir sesar yang ditunjukkan oleh kelurusan topografi atau punggungan bukit, serta kekar (joint) pada singkapan batuan beku dan foliasi pada batuan metamorfik. Lahan secara umum digunakan untuk pemukiman, kebun dan hutan. Hasil pengamatan terhadap faktor topografi, geologi dan penggunaan selengkap, ditunjukan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Hasil pengamatan faktor topografi, geologi dan penggunaan lahan di wilayah Distrik Depapre. Koordinat
Topografi:
Geologi:
a. b.
a. b.
Kampung
- Bujur Timur - Lintang Selatan
1. Yewena
140o 25’ 47,5” 2o 24’ 57,8”
a. b. c.
2. Dormena
140o 25’ 5,9” 2o 25’ 00”
a. b. c.
3. Wambena
140o 23’ 52,6” 2o 24’ 38”
a. b. c.
4. Yapase
140o 23’ 26,1” 2o 24’ 25,7”
a. b. c.
5. Tablasupa
6. Waiya
o
140 22’ 27,4” 2o 25’ 19,9”
o
140 22’ 4,4” 2o 27’ 48,3”
c.
Ketinggian Kelerengan Relief 20 m dpal (10 – 20)o Bergelombang ringan 60 m dpal o (10 – 20) Bergelombang ringan 106 m dpal (15 – 30)o Bergelombang sedang 77 m dpal (10 – 30)o Bergelombang sedang
a. 40 m dpal b. (15 – 20)o c. Bergelomba ng sedang a. 22 m dpal b. (10 – 20)o c. Bergelomba ng ringan
7. Entiyebo
140o 22’ 48,7” 2o 27’ 46”
a. b. c.
12 m dpal (15 – 20)o Bergelombang sedang
8. Kendate
140o 19’ 59,9” 2o 27’ 48,6”
a. b. c.
10 m dpal (15 – 30)o Bergelombang sedang
Penggunaan lahan
c.
Morfologi Litologi Struktur
a. b. c.
Datar – berbukit Batuan metamorfik Foliasi
Pemukiman, kebun dan hutan
a. b. c.
Datar – berbukit Batuan metamorfik Foliasi
Pemukiman, kebun dan hutan
a. b. c.
Berbukit-bukit Batuan metamorfik Foliasi
Pemukiman, kebun dan hutan
a. b.
Berbukit-bukit Batuan beku mafik dan ultramafik Kekar Berbukit-bukit Batuan beku mafik dan ultramafik Kekar
Pemukiman, kebun dan hutan
Berbukit-bukit Batuan beku mafik dan ultramafik Kekar
Pemukiman, pasar, kebun, hutan, pelabuhan
Datar – berbukit Batuan piroklastik dan batugamping Kekar Datar – berbukit Batuan piroklastik dan batugamping Kekar
Pemukiman, kebun, hutan, wisata pantai, pelabuhan Pemukiman, kebun dan hutan
c. a. b. c. a. b. c. a. b. c. a. b. c.
Pemukiman, kebun, hutan, wisata pantai
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala kampung, aparat kampung, tokoh pemuda dan masyarakat diperoleh keterangan tentang bencana yang pernah terjadi dan beberapa bukti akibat dari bencana tersebut. Beberapa bencana yang telah terjadi antara lain tanah longsor di bagian lereng gunung yang menimbulkan kerugian seperti tertutupnya bak penampungan air (bagian dari mata air) yang menjadi sumber air bersih kampung, serta rusaknya rumah dan terputusnya jalan penghubung kampung; banjir terjadi di bagian cukup datar dan berada di lembah dalam waktu singkat dan tidak menimbulkan kerugian, serta abrasi pantai akibat gelombang pasang yang diserta
Draft Laporan 47 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
angin kencang di bagian pantai. Selengkapnya informasi bencana yang pernah terjadi di wilayah Distrik Depapre ditampilkan dalam Tabel 5.2. Tabel 5.2. Data bencana yang pernah terjadi di wilayah Distrik Depapre. 1. 2. 3. 4.
Kampung Yewena Dormena Wambena Yapase
5. Tablasupa 6. Waiya 7. Entiyebo
Bencana yg pernah terjadi (tahun) Longsor (2009) Banjir (1977), Abrasi pantai (1990) Banjir (2009) Longsor (2009), angin kencang dan gelombang pasang serta abrasi pantai (2008)
Keterangan Menutupi mata air kampung K. Samaubu 2 rumah rusak berat, 1 rumah rusak ringan, 1 jalan putus
Angin kencang dan gelombang pasang (2009)
8. Kendate
Gambar 5.1. Keadaan topografi yang memiliki kelerengan > 30o dengan batuan beku mafik sebagai batuan dasar. Lokasi sekitar Kampung Waiya, Distrik Depapre.
Draft Laporan 48 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Gambar 5.2. Longsor tanah dan batuan terjadi di sekitar Kampung Tablasupa.
Gambar 5.3. Bekas banjir yang meninggalkan batu-batu disekitar muara di Kampung Wambena, Distrik Depapre.
Draft Laporan 49 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Gambar 5.4. Abrasi pantai yang terjadi tahun 2008 mengakibatkan tembok penahan tebing rusak berat. Lokasi Kampung Dormena, Distrik Depapre.
Gambar 5.5. Longsor tanah yang menimbun badan jalan di Kampung Yewena, Distrik Depapre.
Draft Laporan 50 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
5.2.2. Distrik Ravenirara Wilayah Distrik Ravenirara berada di bagian lereng utara Pegunungan Cycloops dan berbatasan dengan Samudera Pasifik. Wilayah ini memiliki morfologi dataran yang sangat sempit dan tebing-tebing pantai yang curam, sehingga kampung-kampung tidak memiliki sarana penambatan perahu yang permanen. Secara topografi wilayah Distrik Ravenirara mirip dan Distrik Depapre memiliki kemiripan. Dari atas perahu teramati bahwa kedua distrik memiliki kemiripan pada aspek topografinya, yaitu morfologi berbukit-bukit yang bergelombang sedang hingga kuat dan tutupan lahan oleh hutan yang hijau, rapat dan sangat luas. Kondisi ini memperlihatkan potensi air tanah dan air permukaan yang sangat besar, namun menyimpan potensi bencana yang juga cukup besar berupa longsor di bagian hulu sungai dan banjir (bandang) di bagian hilir atau muara. Banjir amat sering terjadi, terutama antara bulan Oktober hingga Desember, yaitu pada musim hujan. Hasil pengamatan lapangan dirangkum dalam Tabel 5.3. dan informasi bencana yang pernah terjadi disajikan pada Tabel 5.4. Tabel 5.3. Hasil pengamatan faktor topografi, geologi dan penggunaan lahan di wilayah Distrik Ravenirara. Koordinat Kampung
- Bujur Timur - Lintang Selatan
Topografi:
Geologi:
d. e.
d. e.
f.
1. Yongsu Sapari
140o 27’ 44,2” 2o 26’ 00”
d. e. f.
2. Yongsu Dosoyo
140o 29’ 54,1” 2o 26’ 38,5”
d. e. f.
3. Newa
140o 32’ 40,2” 2o 27’ 2,9”
d. e. f.
4. Necheibe
140o 35’ 14,2” 2o 27’ 11,2”
d. e. f.
Ketinggian Kelerengan Relief 14 m dpal (15 – 40)o Bergelombang sedang - kuat 8 m dpal (10 – 40)o Bergelombang ringan - kuat 23 m dpal (15 – 40)o Bergelombang sedang - kuat 6 m dpal (20 – 45)o Bergelombang sedang - kuat
Penggunaan lahan
f.
Morfologi Litologi Struktur
d. e. f.
Berbukit-nukit Batuan metamorfik Foliasi
Pemukiman, kebun dan hutan
d. e. f.
Berbukit-bukit Batuan metamorfik Foliasi
Pemukiman, kebun dan hutan
d. e. f.
Berbukit-bukit Batuan metamorfik Foliasi
Pemukiman, kebun dan hutan
d. e.
Berbukit-bukit Batuan beku mafik dan ultramafik Kekar
Pemukiman, kebun dan hutan
f.
Hasil survei dan wawancara dengan Kepala Kampung, aparat kampung, tokoh adat dan masyarakat di ketahui beberapa bencana telah terjadi dengan frekuensi yang cukup sering. Bencana yang kerap melanda dan terjadi disemua kampung di Distrik Ravenirara adalah banjir, terutama terjadi antara bulan Oktober hingga Desember hampir setiap tahun. Bencana longsor banyak terjadi di gunung dan tidak berdampak serius terhadap keberadaan kampung yang banyak berada ditepi pantai. Bencana yang berasal dari laut berupa gelombang pasang dan angin kencang dalam tiga tahun terakhir dirasakan semakin intensif mengancam keberadaan kampung dan mengganggu transportasi orang serta distribusi barang yang masuk dan keluar kampung.
Draft Laporan 51 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Tabel 5.4. Data bencana yang pernah terjadi di wilayah Distrik Ravenirara. Kampung 1. Yongsu Sapari 2. Yongsu Dosoyo
Banjir (1997, 1998, 1999, 2001, 2002, 2005,2009) Banjir/Bandang (2002), Longsor (2000)
Bencana yg pernah terjadi (tahun)
3. Newa
Banjir (1988, 1990), Longsor
4. Necheibe
Longsor (2004), Banjir dan Abrasi pantai
Keterangan Terjadi antara bulan Oktober Desember 5 rumah rusak dan puskesmas tertimbun. Longsor di Yongsu Kecil K. Racwawa. Longsor di bagian gunung tidak sampai ke pemukiman Longsor searah dengan tanjung Ormu. Banjir di K. Nagasawa
Gambar 5.6. Keadaan topografi dan morfologi di Distrik Ravenirara. Lokasi Kampung Yongsu Dosoyo.
Draft Laporan 52 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Gambar 5.7. Longsoran tanah dan batuan yang banyak ditemukan pada lereng tebing dengan batuan dasar berupa batuan metamorfik. Lokasi sekitar kantor Distrik Ravenirara, di Kampung Ormu.
Gambar 5.8. Sisa banjir sesaat (2005) di Kampung Yongsu Sapari.
Draft Laporan 53 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Gambar 5.9. Morfologi sungai yang sewaktu-waktu dapat menyebabkan banjir atau banjir bandang. Lokasi Kampung Yongsu Dosoyo.
Gambar 5.10. Abrasi pantai yang parah terjadi di Kampung Ormu Tua.
Berdasarkan hasil survei, maka dapat diketahui jenis ancaman bahaya yang dapat menyebabkan bencana geologi (alam) di Distrik Depapre dan Ravenirara antara lain banjir/banjir bandang, longsor, abrasi pantai, dan gelombang pasang. Bahaya geologi yang ditafsirkan dapat terjadi di kedua distrik ini antara lain gempa bumi dan tsunami.
Draft Laporan 54 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
5.3. Analisis Risiko Faktor probabilitas atau kemungkinan terjadinya bencana dan dampak yang merupakan kerugian atau kerusakan yang mungkin ditimbulkan dari setiap bahaya geologi di atas ditunjukan oleh Tabel 5.5. Skala probabilitas dan dampak terlampir. Tabel 5.5. Penilaian bahaya geologi di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara. Jenis Bahaya Geologi Gempa bumi Banjir/banjir bandang Longsor Abrasi pantai Gelombang pasang Tsunami
Probabilitas 5 4 4 2 3 1
Dampak 3 4 2 2 2 3
Hubungan antara kemungkinan terjadinya bencana dan dampak atau akibat yang ditimbulkannya digambarkan oleh Gambar 5.11. Dari gambar ini terlihat bahwa gempa bumi dan banjir/banjir bandang merupakan bahaya yang perlu memperoleh perhatian serius, karena kemungkinan kejadiannya hampir pasti terjadi dan memiliki dampak yang cukup fatal terhadap masyarakat. Bahaya longsor dan gelombang pasang termasuk mungkin terjadi dan berdampak ringan terhadap kondisi wilayah dan masyarakatnya. Sedangkan bahaya abrasi pantai dan tsunami tergolong bahaya yang kemungkinan kecil terjadi tetapi perlu kewaspadaan karena bahaya ini merupakan ikutan dari bahaya gelombang pasang dan gempa bumi, dampak yang diakibatkannya dapat cukup parah terhadap wilayah dan masyarakatnya.
Gambar 5.11. Hubungan antara dampak dan probabilitas bahaya geologi di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara.
Draft Laporan 55 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Yang dimaksud dengan kerentanan adalah seberapa besar suatu masyarakat, bangunan, pelayanan atau suatu daerah akan mendapat kerusakan atau terganggu oleh dampak suatu bahaya tertentu. Tingkat kerentanan amat ditentukan oleh kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat, bangunan dan infrastruktur serta pelayanan atau sistem yang sudah dibangun oleh pemerintahan setempat. Berikut disajikan kondisi tingkat kerentanan di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara. Tabel 5.6. Tingkat kerentanan tiap distrik. Distrik Depapre
Ravenirara
Kondisi Sosial budaya dan Ekonomi Petani kebun, nelayan. Tersedia dokter, bidan, perawat dan tenaga kesehatan lainnya. Terdapat guru SD dan SMP Nelayan, petani kebun buahbuahan. Terdapat tenaga kesehatan (bidan) kontrak dan guru SD
Bangunan dan infrastruktur
Sistem Pemerintahan
Tingkat Kerentanan
SD = 11 SMP = 2 SMK = 1 Puskesmas = 1 Pustum = 1 Polindes = 4 Sarana jalan darat dan laut memadai
Kantor Distrik dan Sarana kesehatan berjalan dengan baik. Ada koordinasi dengan instansi terkait
Menengah
SD = 5 Puskesmas Pembantu = 2 Polindes = 1 Hanya memiliki sarana transportasi laut.
Kantor distrik dan sarana kesehatan tidak berjalan dengan baik. Ada koordinasi dengan instansi terkait.
tinggi
Factor kerentanan dapat ditentukan berdasarkan 4 aspek, yaitu fisik seperti prasarana dasar, konstruksi dan bangunan; ekonomi, seperti kemiskinan dan penghasilan; social, seperti pendidikan, kesehatan, hukum, politik dan kelembagaan, serta lingkungan, seperti tanah, air, tanaman, dan hutan. Sedangkan faktor kemampuan dapat didasarkan pada kebijakan, meliputi peraturan dan pedoman atau petunjuk pelaksanaan; kesiapsiagaan, seperti pelatihan, gladi, posko, rencana kontijensi, serta partisipasi masyarakat, meliputi pendidikan, penyuluhan, kewaspadaan, kepedulian dan pemberdayaan. Secara umum Distrik Depapre memiliki kemampuan mengatasi bahaya geologi yang bersifat ringan sampai menengah, yaitu bahaya abrasi pantai, tsunami, gelombang pasang dan longsor. Tetapi kurang mampu mengatasi bahaya geologi yang bersifat berat dan berakibat fatal, seperti gempa bumi dan banjir/banjir bandang. Sehingga perlu peningkatan kemampuan dalam hal struktural dan non struktural. Distrik Ravenirara kurang memiliki kemampuan mengatasi bahaya geologi. Sehingga distrik ini perlu segera mendapat bantuan jika terjadi bencana yang disebabkan oleh bahaya geologi yang bersifat ringan sekalipun.
Draft Laporan 56 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
Dengan mengukur kemampuan suatu daerah menghadapi bahaya, maka dapat diupayakan tindakan tanggap darurat yang sesuai dengan tingkat kerentanannya. Distrik yang memiliki tingkat kerentanan tinggi harus mendapat prioritas penanganan lebih dahulu dan segera mendapat bantuan. Jika tidak maka bahaya susulan yang akan terjadi dapat menimbulkan bencana yang semakin parah.
5.4. Penanganan Bencana Penanganan bencana merupakan satu bagian dari manajemen bencana. Manajemen bencana adalah suatu bentuk rangkaian kegiatan yang dinamis, terpadu dan berkelanjutan yang dilaksanakan sejak sebelum kejadian bencana (pra bencana), saat atau sesaat setelah kejadian bencana dan setelah kejadian bencana (pasca bencana). Bencana Geologi merupakan peristiwa alam yang terjadi berulang , sehingga dapat digambarkan dalam suatu siklus bencana “disaster cycles”. Untuk itu studi atau analisis tentang disaster management harus dilakukan dalam bentuk sistematik (Gambar 5.12).
Gambar 5.12. Siklus manajemen bencana.
Hal penting penanganan bencana adalah mitigasi bencana yang mencakup, antara lain: 1. Menyediakan informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk setiap jenis bencana; 2. Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim didaerah rawan bencana; 3. Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika timbul bencana; 4. Membuat pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi encaman bencana. Beberapa kebijakan yang dapat ditempauh dalam upaya mitigasi bencana, antara lain : 1. Membangun persepsi yang sama bagi semua pihak, baik jajaran pemerintahan maupun segenap unsur masyarakat, dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pedoman umum, petunjuk pelaksanaan dan prosedur tetap yang
Draft Laporan 57 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
dikembangkan oleh instansi yang bersangkutan sesuai dengan bidang tugas unit masing-masing. 2. Pelaksanaan mitigasi bencana dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinir yang melibatkan seluruh potensi pemerintah dan masyarakat. 3. Upaya preventif harus diutamakan agak kerusakan dan korban jiwa dapat diminimalkan. 4. Penggalangan kekuatan melaui kerja sama dengan semua pihak, melalui pemberdayaan masyarakat serta kampanye. Penanganan dalam rangka mitigasi bencana yang dapat dilakukan antara lain A. Gempa bumi Menerapkan bangunan yang ramah gempa dengan konstruksi tahan getaran. Pembangunan fasilitas umum harus dengan standar kualitas yang tinggi. Penerapan zonasi daerah rawan bencana dan pengaturan penggunaan lahan. Kewaspadaan terhadap resiko gempa bumi. Selalu tahu apa yang harus dilakukan jika terjadi goncangan gempa bumi. Sumber api, barang-barang berbahaya lainnya harus ditempatkan pada tempat yang aman dan stabil. Ikut serta dalam pelatihan program utama penyelamatan dan kewaspadaan masyarakat terhadap gempa bumi. Pembentukan kelompok aksi penyelamatan bencana dengan pelatihan pemadaman kebakaran dan pertolongan pertama. Persiapan alat pemadam kebakaran, peralatan pengganti dan peralatan perlindungan masyarakat lainnya. Rencana kontigensi atau kedaruratan untuk anggota keluarga dalam menghadapi gempa bumi. B. Banjir Pengawasan penggunaan lahan dan perencanaan lokasi untuk menempatkan fasilitas vital yang rentan terhadap banjir pada daerah yang aman. Penyesuaian desain bangunan di daerah banjir harus tahan terhadap banjir dan dibuat bertingkat. Pembangunan tembok penahan dan tanggul sepanjang sungai. Mengatur kecepatan aliran air permukaan dan daerah hulu sungai dengan membangun bendungan atau waduk, reboisasi dan pembangunan sistem resapan. Pengerukan sungai, pembuatan sudetan sungai, baik saluran terbuka maupun tertutup dengan pipa atau terowongan. Pembersihan sedimen dan pembangunan saluran drainase. Peningkatan kewaspadaan di daerah dataran banjir. Pelatihan pertanian yang sesuai dengan kondisi daerah banjir. Peningkatan kewaspadaan terhadap penggundulan hutan. Pelatihan tentang kewaspadaan banjir, seperti cara penyimpanan atau pergudangan perbekalan, tempat istirahat/tidur di tempat yang aman. Persiapan evakuasi bencana banjir seperti perahu dan alat penyelamat lainnya.
Draft Laporan 58 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
C. Penanganan Longsor Pembangunan pemukiman dan fasilitas utama lainnya bukan di daerah rawan bencana longsor. Relokasi bagi yang berada di wilayah rawan longsor. Menyarankan pembangunan pondasi tiang pancang untuk menghindari bahaya liquefaction. Menyarankan pembangunan pondasi yang menyatu untuk menghindari penurunan yang tidak seragam (defferential settlement). Menyarankan pembangunan utilitas yang ada di dalam tanah harus bersifat impermeabel dan fleksibel. Mengurangi tingkat keterjalan lereng dan pembuatan terasering. Meningkatkan atau memperbaiki drainase baik air permukaan maupun air tanah sehingga mengurangi beban di dalam tanah. Pembangunan bangunan penahan, jangkar (anchore) dan piling. Penghijauan dengan tanaman yang sistem akarnya dalam. Pembuatan tanggul penahan khusus untuk runtuhan batu, berupa bangunan konstruksi, tanaman maupun parit. Identifikasi daerah yang aktif bergerak, dapat dikenali dengan adanya rekahanrekahan berbentuk tapal kuda. Pembuatan terase dan penghijauan dengan menstabilkan lereng. Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rockfall). Penutupan rekahan-rekahan di atas lereng untuk mencegah air masuk secara cepat ke dalam tanah. D. Penanganan Abrasi Pantai Menetapkan kawasan penyangga (buffer) pantai sebagai kawasan yang bebas bangunan permanen. Pembangunan infrastruktur tembok laut sepanjang pantai yang rawan badai atau tsunami. Pembuatan tembok penahan dan tembok pemecah ombak untuk mengurangi energi ombak jika terjadi badai atau tsunami. Memperhatikan karakteristik geografi pantai dan bangunan pemecah geolombang untuk daerah teluk. Menanam tanaman pantai yang sesuai dengan karakteristik dan tipe pantai.
Draft Laporan 59 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan Setelah melakukan pengumpulan data, baik yang bersifat primer maupun sekunder, serta melakukan analisis yang berkaitan dengan risiko, bahaya dan kerentanan di wilayah Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Kegiatan identifikasi, pemetaan, supervisi dan penyelidikan tentang kebencanaan di Kabupaten Jayapura - secara umum - telah dilakukan sejak tahun 2007, antara lain oleh BPDAS Mamberamo dan PSBA UGM (2007), BAPEDALDA Provinsi Papua (2007), Dinas PU Provinsi Papua (2007), Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Jayapura (2008). 2. Hasil identifikasi dan survei diketahui bahwa di wilayah Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara memiliki ancaman atau bahaya geologi yang berpeluang menjadi bencana adalah gempa bumi, banjir, longsor, gelombang pasang, abrasi pantai dan tsunami. Bahaya yang paling serius dan berdampak tinggi adalah gempa bumi dan banjir, sedangkan longsor dan gelombang pasang tergolongan ancaman yang menengah namun tetap diwaspadai. Abrasi pantai dan tsunami merupakan bahaya ikutan dari geolombang pasang dan gempa bumi yang berepisentrum di laut. 3. Gempa bumi yang sering melanda Distrik Depapre dan Disitrik Ravenirara termasuk dalam gempa bumi tektonil yang dangkal dan banyak berpusat di daratan serta bersifat kurang merusak. Namun demikian, gempa ini dapat menjadi pemicu bagi bahaya lain yang lebih serius, seperti longsor dan tsunami. 4. Banjir banyak melanda kampung-kampung di Distrik Ravenirara, terutama antara bulan Oktober – Desember setiap tahun. Banjir yang terjadi sering diikuti dengan longsoran tanah dan batuan di bagian hulu sungai dan membawa material (batu-batu) hingga ke hilir atau muara sungai. Tipe banjir seperti ini termasuk dalam kategori banjir bandang. 5. Longsor terjadi pada bagian lereng gunung atau bukit yang memiliki kemiringan lebih besar dari 30o dan terjadi di bagian atas atau hulu. Bukti-bukti longsor tampak pada torehan di lereng gunung yang dapat diamati dari jauh. Meskipun daerah sekitarnya ditumbuhi oleh pohon-pohon yang lebat, tetapi karena faktor geologi (tanah, batuan, struktur, morfologi, dan air tanah) dan faktor meteorologi (curah hujan dan angin) dapat menyebabkan longsor. 6. Gelombang pasang terjadi di sepanjang pantai utara yang langsung berhadapan dengan Samudera Pasifik yang luas. Gelombang pasang ini terjadi berhubungan dengan gaya tarik bulan dan faktor cuaca. Musim gelombang terjadi pada Oktober – Desember, bahkan bisa sampai Maret. Gelombang pasang sering disertai dengan angin kencang dan hujan lebat. Bahaya ini mengganggu transportasi laut yang menjadi sarana utama bagi kampung-kampung di Distrik Ravenirara.
Draft Laporan 60 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
7. Distrik Depapre memiliki kemampuan mengatasi bahaya geologi yang bersifat ringan sampai menengah, yaitu bahaya abrasi pantai, tsunami, gelombang pasang dan longsor. Tetapi kurang mampu mengatasi bahaya geologi yang bersifat berat dan berakibat fatal, seperti gempa bumi dan banjir/banjir bandang. Sehingga perlu peningkatan kemampuan dalam hal struktural dan non struktural. 8. Distrik Ravenirara kurang memiliki kemampuan mengatasi bahaya geologi. Sehingga distrik ini perlu segera mendapat bantuan jika terjadi bencana yang disebabkan oleh bahaya geologi yang bersifat ringan sekalipun. 9. Bencana geologi merupakan peristiwa alam yang terjadi secara berulang (siklik) sehingga perlu penanganan yang bersifat struktural maupun non struktural. Beberapa hal penting dalam penanganan bencana adalah upaya menyediakan informasi dan peta kawasan bencana, sosialisasi kebencanaan kepada masyarakat, membuat peraturan dan penataan kawasan rawan bencana, serta membangun atau menerapkan konstruksi bangunan ramah bencana.
6.2. Saran Beberapa saran yang dapat disampaikan antara lain: 1. Gempa bumi dan banjir menjadi bahaya yang paling mengancam di kedua distrik lokasi penyelidikan. Di pandang perlu untuk dibuat atau dibentuk kelompok di dalam masyarakat (kampung) yang tanggap terhadap kedua bahaya tadi, serta membuat sistem peringatan jika terjadi ancaman yang semakin serius. 2. Jalur dan lokasi evakuasi perlu segera dibuat dan ditetapkan di setiap kampung. Penetapan jalur dan lokasi evakuasi dilakukan dengan penyelidikan khusus dan mengakomodasi kearifan masyarakat setempat. Mekanisme evakuasi perlu disos ialisasikan dan kewenangan evak uasi me njadi tanggung jawab ke pala kampung. 3. Perlu menyusun sistem tanggap darurat yang baku untuk wilayah yang memiliki kendala transportasi - seperti di Distrik Ravenirara - mengingat tingkat kerentanan yang cukup tinggi. Sarana infrastruktur (sistem komunikasi, balai kesehatan, gudang bahan makanan, jalan dan jembatan) dapat dibangun dan pemberdayaan masyarakat (sosisal, budaya dan ekonimi) dapat ditingkatkan untuk mengatasi masalah kerentanan terhadap kebencanaan. 4. Dipandang perlu membuat papan-papan peringatan terhadap bencana yang telah di identifikasi di setiap kampung dan membuat sistem peringatan dini yang mudah dipahami oleh warga kampung masing-masing.
Draft Laporan 61 Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009
6.3. Rekomendasi Rekomendasi yang dapat disampaikan antara lain: 1. Perlu ada upaya lanjutan tentang jalur, lokasi dan mekanisme evakuasi bagi wilayahwilayah yang tergolong rawan bencana tinggi. Salah satu yang direkomendasikan adalah Distrik Ravenirara. 2. Perlu koordinasi antar instansi pemerintah dan partisipasi aktif masyarakat dalam turut menangani masalah kebencanaan di setiap wilayah. Sosialisasi yang efektif dapat dilaksanakan kepada siswa sekolah, aparat pemerintahan dan aparat keamanan, serta pemuka adat dan tokoh agama di setiap kampung.