PEMERTAHANAN BAHASA JAWA OLEH SUKU JAWA YANG BERDOMISILI DI GEDONG AIR BANDARLAMPUNG Wahono Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra STKIP-PGRI Bandar Lampung
Abstract
The reality is that many people who continue to use her native language (mother tongue) in a new pluralistic society because they have difficulty learning a new language and other reasons, namely the origin of language he used is still used by local communities.Village Water Gedong Bandarlampung a village inhabited by the Java community as a participant migrants since 1967. They live in groups in a village or a district. In daily life he uses the language of origin (mother tongue) them, namely the Java language. However, he is faced with the environment of other villages who speak Lampung. Therefore, in berkomunikasi with local communities to use their National language. National languages are only used in official situations and is used to communicate with other communities. The method used is descriptive method, the data collected is described as it is then analyzed and conclusions drawn from the results of analysis of existing data. Research carried out by directly observing the activity of public speaking and interviews with Air gedong Bandarlampung. Based on research results, the conclusion that the Java language is still used by people gedong Water. Such use can be seen from several domains, among others: the family domain, education domain, domain trading, domain places of worship, and government domains. The results showed that the public water Gedong Bandarlampung 80% using the Java language as their mother tongue. This is done in the concept of retention of the language as a means of communication among members of society. The analysis showed that the Java language users spread across various groups, namely children, adolescents, and parents. Keywords: native language, Java language, sosiolinguistict
PENDAHULUAN Bahasa melekat pada penutur sejak ia memperoleh bahasa pertama hingga dewasa. Bahasa berkembang pada lingkungan sosial budaya setempat. Seseorang memiliki ciri khas bahasa di mana ia tinggal. Ketika ia berpindah ke lingkungan komunitas lain dengan bahasa yang berbeda, ia menggunakan bahasa yang bisa diterima komunitas baru. Berbahasa sesuai dengan konteks lingkungan dan budaya di mana seseorang hidup. Sejak puluhan tahun yang lalu, terjadi perpindahan penduduk dari Jawa ke beberapa daerah di Indonesia termasuk Lampung. Para transmigran hidup dalam suatu wilayah tertentu berkumpul dengan transmigran lain yang memiliki kesamaan budaya dan bahasa. Pemerintah menempatkan pengelompokan tersebut agar para transmigran mendapatkan kemudahan cara berkomunikasi dan mengembangkan peker-
jaannya. Dengan bahasa yang sama, mereka tidak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Desa Gedong Air Bandarlampung merupakan daerah transmigran yang berasal dari Jawa Tengah. Bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari hingga kini adalah bahasa Jawa. Dalam perkembangannya mereka juga menggunakan bahasa Indoensia yang wajib digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama warga dengan etnis lain. Bahasa Indonesia digunakan untuk situasi-situasi formal dan berkomunikasi dengan warga lain yang bukan dari suku Jawa. Sedangkan bahasa Jawa digunakan untuk berkomunikasi dalam berbagai kesempatan peristiwa komunikasi. Penggunaan bahasa Jawa oleh masyarakat Gedong Air hingga kini masih berlangsung. Akan tetapi, penggunaan tersebut terkadang bercampur dengan bahasa Indonesia. Begitu
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 2, Juli 2011
159
juga penggunaan bahasa Jawa yang bercampur dengan bahasa Indoensia. Dari berbagai kesempatan, bahasa Jawa masih menjadi pilihan untuk berkomunikasi terutama sesama warga gedong Air. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar antarwarga di Gedong Air Bandarlampung. Penggunaan bahasa tersebut sebagai upaya pemertahanan bahasa yang hingga kini masih berlangsung. Berkenaan dengan identifikasi masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan domain-domain pemakaian bahasa Jawa oleh suku Jawa di Desa Gedong Air Bandarlampung, (2) Menjabarkan gejala kebahasaan yang terjadi di Desa Gedong AAir Bandarlampung dan menjelaskan gejala-gejala yang menunjukkan pola-pola pemertahanan bahasa. KAJIAN TEORI 1. Bilingualisme Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) atau dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan, muncul karena adanya gejala penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa oleh anggota masyarakat tutur dalam interaksi sosial dan gejala ini menjadi isu yang menarik dari perspektif sosiolinguistik. Pemakaian dua bahasa atau dua kode bahasa (bilingualisme) sebagai akibat dari kebutuhan penutur dalam berkomunikasi dan suasana kebahasaan seperti ini menimbulkan kerumitan, sebab di samping harus menentukan dengan bahasa apakah sebaiknya mereka harus berkomunikasi, setiap penutur perlu pula mempertimbangkan ragam bahasa mana yang sesuai dengan situasi itu. Setiap anggota masyarakat tutur mau tidak mau harus memilih salah satu bahasa atau variasi bahasa untuk digunakan dalam peristiwa tutur tertentu. Pemilihan bahasa ataupun variasi bahasa harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti siapa yang berbicara, kepada siapa, dan tentang topik apa, serta di mana peristiwa tutur itu berlangsung (Fishman 1972; Fasod 1984). Seorang penutur harus berhati-hati di dalam melakukan pemilihan bahasa pada suatu 160
peristiwa tutur. Sekurang-kurangnya ia harus memperhatikan dua hal, yaitu status sosial (dimensi vertikal) dan jarak sosial (dimensi horizontal) mitra tutur sebab ketidaktepatan dalam pemilihan bahasa dapat menimbulkan “kerugian” bagi peserta tutur. Untuk memilih penggunaan salah satu bahasa secara tepat dalam peristiwa tutur, maka seseorang harus menguasai kedua bahasa itu, (1) harus menguasai bahasa ibu (B1) sebagai bahasa pertamanya, dan (2) bahasa lain yang dikuasainya (B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut bilingual atau dalam bahasa Indonesia disebut dwibahasawan, sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas atau dalam bahasa Indonesia kedwibahasawanan. Selain istilah bilingualisme dengan segala jabarannya ada pula istilah multilingualisme atau dalam bahasa Indonesia disebut keanekabahasaan yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. 2. Multilingual Bloomfield dalam bukunya Language (1933:56) mengemukakan bahwa bilingualisme adalah “kemampuan seseorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya”. Dengan demikian seseorang disebut bilingual oleh Bloomfild apabila dapat menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya. Pendapat ini menimbulkan banyak reaksi, dengan didasari oleh beberapa alasan, (1) tak ada tolok ukur yang jelas untuk mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur terhadap dua bahasa yang digunakannya, (2) agaknya sulit dijumapai adanya seorang penutur yang dapat menggunakan B1 dan B2 yang sama baiknya, sebab tak mungkin orang tersebut mempunyai kesempatan yang sama untuk mempelajari dan menggunakan kedua bahasa itu. Istilah multingualisme merujuk pada penguasaan dua bahasa atau lebih yang sama baiknya. Penggunaan bahasa sebagai fungsi sosial sangat luas dan tidak terbatas, maka dalam kehidupan bermasyarakat manusia mungkin memerlukan beberapa bahasa untuk saling
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 1, Juni 2011
berkomunikasi. Ada kemungkinan manusia dalam berkomunikasi menggunakan dua bahasa atau lebih. Manusia dalam kontak sosialnya menggunakan dua bahasa sebagai alat komunikasi disebut bilingualisme, dalam padanan bahasa Indonesia disebut kedwibahasaan. Sedangkan manusia yang dalam kontak sosialnya menggunakan lebih dari dua bahasa disebut multilingualisme. 3. Diglosia Istilah diglosia digunakan oleh Ferguson dengan maksud untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat yang memiliki dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Secara tegas Ferguson dalam Chaer, (2004:93) mengemukakan bahwa “diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam utama) dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.” Selanjutnya Ferguson mengetengahkan sembilan topik yang berhubungan dengan diglosia, yakni fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standardisasi, stabilitas, gramatika, leksikon dan fonologi. Di antara sembilan yang disebutkan di atas aspek fungsi dianggap oleh Ferguson sebagai kriteria diglosia yang terpenting. 4. Alih Kode Dan Campur Kode Salah satu dampak dari masyarakat tutur bilingualisme adalah munculnya kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain (Nababan, 1984). Gejala semacam ini memungkinkan dilakukannya pemilihan bahasa dalam suatu peristiwa komunikasi. Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984:180) tidak sesederhana yang kita bayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (whole language) dalam suatu peristiwa komunikasi. Kita bayangkan seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi. Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga
kategori pilihan, yakni (a) dengan memilih variasi dari bahasa yang sama (intra language variation), misalnya seorang penutur bahasa Jawa berbicara dengan orang lain dalam bahasa Jawa kromo, maka orang tersebut telah melakukan pilihan kategori pertama, (b) dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi, dan (c) dengan melakukan campur kode (code mixing), artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain. Menurut Kridalaksana (1982:7) ali kode adalah penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau karena adanya partisipan lain. Dengan demikian, ali kode secara garis besarnya adalah peralihan penggunaan dua bahasa atau variasi linguistik dalam percakapan yang sama. 5. Pemilihan Bahasa Sosiolinguistik melihat fenomena pemilihan bahasa sebagai fakta sosial dan menempatkannya dalam sistem lambang (kode), sistem tingkah laku budaya, serta sistem pragmatik. Dengan demikian, kajian sosiolinguistik menyikapi fenomena pemilihan bahasa sebagai wacana dalam peristiwa komunikasi dan sekaligus menunjukkan identitas sosial dan budaya peserta tutur. Dalam kaitannya dengan situasi kebahasaan di Indonesia, kajian pemilihan bahasa dalam masyarakat di Indonesia bertemali dengan permasalahan pemakaian bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa karena situasi kebahasaan di dalam masyarakat Indonesia sekurangkurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu (pada sebagaian besar masyarakat Indonesia), bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa asing. Studi pemilihan bahasa dalam masyarakat seperti itu lebih mengutamakan aspek tutur (speech) daripada aspek bahasa (language). Sebagai aspek tutur, pemakaian bahasa relatif berubahubah sesuai dengan perubahan unsur-unsur dalam konteks sosial budaya. Hymes (1972;
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 2, Juli 2011
161
1973; 1980) merumuskan unsur-unsur itu dalam akronim SPEAKING, yang merupakan salah satu topik di dalam etnografi komunikasi (the etnography of communication), yang oleh Fishman (1976: 15) dan Labov (1972: 283) disebut sebagai variabel sosiolinguistik. 5. Kategori Pemilihan Bahasa Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana yang kita bayangkan, yaitu memilih “sebuah bahasa secara keseluruhan” (whole language) dalam suatu komunikasi. Kita membayangkan seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang mengusai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi. Kenyataannya, dalam hal memilih, terdapat tiga jenis pilihan. Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra-languagevariation). Apabila seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada kepala desa dengan menggunakan bahasa Jawa kromo, misalnya, maka ia telah melakukan pilihan bahasa yang pertama itu. Kedua, dengan alih kode (codeswicthing), artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan, dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code-mixing), artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan dari bahasa lain. 6.Faktor-Faktor Penentu Pemilihan Bahasa Ervin-Trip (dalam Grosjean 1982: 125) mengidentifikasikan empat faktor utama yang menyebabkan pemilihan bahasa, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi, (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal, seperti: makan pagi di lingkungan keluarga, pesta kuliah, atau berkencan. Faktor kedua mencakup hal-hal, seperti: usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, asal, latar belakang kesukuan, dan peranannya dalam hubungan dengan partisipan lain. (contoh: direktur-karyawan, suami-istri, penjual pembeli, guru-siswa). Faktor ketiga 162
dapat berupa: topik-topik tentang pekerjaan, olah raga, harga sembako, peristiwa aktual, dan sebagainya. Faktor keempat dapat berupa halhal seperti: penawaran informasi, permohonan, dan mengucapkan terima kasih. Senada dengan pendapat Ervin-Trip di atas, Grosjean (1982: 136) berpendapat tentang faktor yang berpengaruh dalam pemilihan bahasa. Menurut Grosjean terdapat empat faktor, yaitu (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, (4) fungsi interaksi. 7. Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa Menurut Fasold (1984: 213-214) pergeseran dan pemertahanan bahasa merupakan hasil dari proses pemilihan bahasa dalam jangka waktu yang sangat panjang. Pergeseran bahasa menunjukkan adanya suatu bahasa yang benar-benar ditinggalkan oleh komunitas penuturnya. Hal ini berarti bahwa ketika pergeseran bahasa terjadi, anggota suatu komunitas bahasa secara kolektif lebih memilih menggunakan bahasa baru daripada bahasa lama yang secara tradisional biasa dipakai. Sebaliknya, dalam pemertahan bahasa para penutur suatu komunitas bahasa secara kolektif memutuskan untuk terus menggunakan bahasa yang mereka miliki atau yang secara tradisional biasanya digunakan. Gejala-gejala yang menunjukkan terjadinya pergeseran dan pemertahan bahasa pun dapat diamati. Misalnya, ketika ada gejala yang menunjukkan bahwa penutur suatu komunitas bahasa mulai memilih menggunakan bahasa baru dalam domain-domain tertentu yang menggantikan bahasa lama, hal ini memberikan sinyal bahwa proses pergeseran bahasa sedang berlangsung. Akan tetapi, apabila komunitas penutur bahasanya monolingual dan secara kolektif tidak menggunakan bahasa lain, maka dengan jelas ini berarti bahwa komunitas bahasa tersebut mempertahankan pola penggunaan bahasanya. Pemertahanan bahasa bukan hanya terjadi di dalam komunitas tutur yang monolingual, tetapi terjadi pula dalam masyarakat bilingualisme serta multilingualisme.Namun, hal semacam ini hanya terjadi ketika komunitas penutur bahasanya diglosia. Sistem pemertahanan bahasa dalam komunitas bahasa yang multilin-
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 1, Juni 2011
gul seperti ini menunjukkan gejala bahwa para penuturnya menggunakan suatu bahasa tertentu dalam domain-domain tertentu dan menggunakan bahasa lain dalam domaindomain yang lain. Oleh karena itu, dalam komunitas semacam ini terjadi dinamika penggunaan bahasa. 8. Faktor Penyebab Pergeseran Bahasa Beberapa kondisi cenderung diasosiasikan dengan pergeseran bahasa. Akan tetapi, kondisi yang paling mendasar adalah bilingualisme, meskipun bilingualisme bukan satusatunya hal yang mendorong terjadinya pergeseran bahasa. Menurut Lieberson (1972, 1980) hampir semua kasus pergeseran bahasa dalam masyarakat terjadi melalui peralihan intergenerasi. Dengan kata lain, peralihan bahasa terjadi melalui beberapa generasi dalam satu masyarakat bilingual dalam jangka waktu yang cukup panjang. Namun, ada juga komunitas bilingual yang tetap bilingual selama berabadabad, sehingga ini berarti bahwa keberadaan masyarakat bilingual tidak berarti akan terjadinya pergeseran bahasa. Menurut para ahli bahasa, selain bilingualisme terdapat beberapa faktor lain yang menjadi pemicu pergeseran bahasa. Faktorfaktor tersebut antara lain migrasi, baik yang dilakukan oleh kelompok kecil ke wilayah yang menyebabkan bahasa mereka tidak lagi digunakan, maupun oleh kelompok besar yang memperkenalkan populasi lokal dengan bahasa baru; industrialisasi dan perubahan ekonomi; sekolah bahasa dan kebijakan pemerintah; urbanisasi prestise yang lebih tinggi; dan jumlah populasi yang lebih sedikit untuk bahasa yang mengalami pergeseran. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Holmes (2001) bahwa faktor-faktor yang medorong pergeseran bahasa adalah fakor ekonomi, sosial, politik, demografis, perilaku, dan nilai dalam suatu komunitas. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Ancangan yang digunakan adalah sosiolinguistik dengan menggunakan teori pergeseran dan pemerta-
hanan bahasa dari Fasold (1984). Penelitian ini dilakukan dengan melakukan observasi ke lapangan secara langsung dengan teknik pengumpulan data melalui pengamatan dan pencatatan konteks suatu percakapan, merekam tuturan, dan wawancara. Setelah data tersebut terkumpul kemudian penulis mentraskripsi data lalu mengklasifikasi data berdasarakan domainnya. Setelah diklasifikasi, penulis melakukan analisis dengan menggunakan teori di atas. Tujuan analisis adalah mencari gejala-gejala kebahasaan yang dapat menjadi indikator pergeseran atau pemertahanan bahasa, serta mencari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran atau pemertahanan bahasa. Penulis mengumpulkan data yang berupa konteks dan tuturan di sekitar desa Gedongair. Pengumpulan data ini dilakukan melalui teknik wawancara dan pengamatan. Data yang terkumpul penulis analisis. Penelitian mengkaji bagaimana dinamika pemakaian bahasa dalam suatu masyarakat tutur hingga akhirnya dapat dilihat apakah fenomena yang ada menunjukkan pergerakan ke arah pergeseran bahasa atau pemertahanan bahasa. Hal ini disebabkan oleh segala keterbatasan yang penulis alami. Namun, laporan penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu gambaran untuk melihat situasi kebahasaan di sana dan menjadi dasar hipotesis bagi penelitian yang lebih besar. Domain Keluarga Data 1. Bahasa : Jawa Situasi : informal Paritisipan : Ayah (69 tahun) Ibu ( 60 tahun) Percakapan: Ayah : Bu, sudah lama cucu kita yang rumahnya di Metro jarang ke rumah ya. Ibu : Wis, jarke lah Pak, mengko yen kangen kan rene. Ayah : Yo, tapi orang tua nduwe roso kangen. Ibu : Menowo sibuk Pak, ojo diarep-arep, khawatir ngganggu sekolahe. Ayah : Apa kita yang ke sana Bu? Ibu : Ditunggu saja, mudah-mudahan besok
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 2, Juli 2011
163
rene.
monggo, silakan duduk! : Mohon maaf Pak, kedatangan saya di sini mengganggu aktivitas Bapak. Pak Gendon : O, Ndak apa-apa, wonten keperluan menopo nggih? Peneliti : Meniko Pak, bade silaturahmi sekalian tanya-tanya masyarakat soal membayar pajak Pak Gendon : Ya, ndak apa-apa. Masyarakat di sini baik-baik, mboten nate nunggak pajek. Peneliti
Data diperoleh dari pasangan suami isteri suku Jawa yang sudah tinggal di Bandarlampun, khususnya desa Gedong Air selama 40 tahun atau sejak tahun 1966. Pasangan tersebut ayah berasal dari Kabupaten Sleman Yogyakarta dan ibu berasal dari Solo Jawa Tengah. Jadi secara wilayah bahasa, kedua orang ini berasal dari wilayah yang berdekatan atau sam,a-sama menggunakan bahasa daerah Jawa. Ayah berprofesi sebagai pensiunan PNS instansi kehakiman sedangkan ibu sebagai ibu rumah tangga. Bahasa pertama yang ajarkan kepada anaknya adalah bahasa ibu mereka, yaitu bahasa Jawa. Pasangan tersebut adalah bilingual. Mereka dapat berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa, dan Indonesia. Komunikasi antara suami dan istri dilakukan dengan menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Jawa dan Bahasa Indoensia. Kedua pasangan ini dalam berkomunikasi di rumah menggunakan bahasa Jawa. Akan tetapi, jika berkomunikasi di luar rumah menggunakan bahasa Jawa atau ada juga yang berbahasa Indopensia. Mengingat lingkungan tempat tinggal pesangan sebagaian besar berbahasa Jawa karena mereka merupakan masyarakat pendatang dari Jawa , yaitu ada yang datang secara mandiri dan sebagian besar lewat program transmigrasi. Berdasarka percakapan tersebut, dapat dicermati bahwa, mereka menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi di rumah. Walaupun suami kadang menggunakan bahasa Indonesia, sang isteri tetap menggunakan bahasa Jawa. Hal ini dilakukan pilihan bahasa mereka yang dianggap nyaman.
Dalam domain pemerintahan ini diperoleh informasi bahwa bahasa secara lisan dalam situasi resmi masih menggunakan bahasa Jawa. Hanya saja bahasa Jawa yang digunakan terdapat alih kode dan campur kode. Para aparat dalam menghadapi masyarakat terutama yang berasal dari suku Jawa, tetap menggunakan bahasa Jawa. Beradarkan jawaban yang diberikan oleh aparat, berbahasa Jawa lebih nyambung, sopan, akrab dan mudah. Dalam kegiatan sehari-hari dalam melayani masyarakat di kantor desa, bahasa yang sering digunakan adalah bahasa Jawa. Hal ini dilakukan bahwa bahasa Jawa lebih mudah dan komunikatif. Berdasarkan percakapan di atas, dapat dijelaskan bahwa komunikasi yang dibangun adalah bahasa Jawa. Mereka merupakan masyarakat yang bilingual atau multilingual. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Jawa. Jika tamu yang bertanya menggunakan bahasa Indonesia, mereka menggunakan bahasa Jawa, namun kebanyakan masyarakat masih menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai kesempatan.
Domain Pemerintahan Data 2 Bahasa : Bahasa Jawa Tempat : Kantor Kepala Desa Gedong Air Partisipan : Pak Gendon ((Sekretaris Desa), Peneliti
Domain Pendidikan Data 3 Tempat : Halaman SD Negeri 1 Gedong Air Bandarlampung. Partisipan : Siswa Situasi : informal
Percakapan Peneliti Pak Gendon
Percakapan Siswa 1 : Ayo kita baris. Siswa 2 : Mengko wae gurune during teko
164
: Selamat pagi Pak! : Selamat pagi. O, monggo-
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 1, Juni 2011
Siswa 3 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 3
: Itu Pak Wahab sudah datang, ayo kita kumpul. : Nanti saja, sebentar lagi, kan be lum bel : Ayo teruske wae : Mengko dimarah guru lho.
Berdasarkan pengamatan di halaman SD Negeri 1 Gedong Air, dapat dikemukakan bahwa bahasa yang dipakai dalam pergaulan anak adalah bahasa Jawa. Ada yang menggunakan bahasa Indonesia tetapi terdapat campur kode dan alih kode. Topik yang dibicarakan adalah bermain. Penulis mengamati komunuikasi tersebut pada saat mereka sedang bermain. Dari beberapa anak yang peneliti amati, sebagian besar mereka menggunakan bahasa Jawa dengan campur bahasa Indoenesia. Siswa yang peneliti Tanya dengan menggunakan bahasa Jawa, mereka tahu dan merespon. Ketika peneliti bertanya lagi kepada anak lain dengan menggunakan bahasa Indoensia, mereka merespon dan membalas dengan bahasa Indoensia. Berdasarkan fakta tersebut bahwa sebagian besar siswa SD Negeri 1 Gedong Air komunikasinya dalam situasi informal mengguanakan bahasa Jawa. Berdasarkan pengamatan di kelas dan informasi dari para siswa, penyampaian bahasa di kelas 4 s.d. 6 pada saat pelajaran di kelas menggunakan bahasa Indoensia. Sedangkan di kelas awal 1 s.d. 3 sesekali menggunakan bahasa Jawa. Hal ini disebabkan sebagian besar para siswa berasal dari keluarga Jawa. Hal ini dapat dilihat dari data siswa dan dan wali murid yang tercantum di biodata mereka. Domain Perdagangan Data 4 Bahasa : Jawa Situasi : Informal Partisipan : Seorang Ibu (45 tahun) yang berprofesi sebagai pedagang di toko yang menjual kebutuhan rumah tangga: sayur, bumbu mask, beras, sabun, dll. Partisipan juga melibatkan 3 pembeli/tetangga yang sering berbelanja di toko tersebut.
Percakapan Pembeli 1 : Bu, sayur, masih apa nggak? Penjual : Isih, ojo kuatir. Iki isih okeh. Tukune piro? Pembeli 1 : Koyo wingi Bu, tapi yang murah lho Bu‼ Penjual : Yo, ojo khawatir, iki sayure anyaranyar kabeh. Pembeli 2 : Saya juga Bu! Penjual : Milihen dewe, iki murah-murah. Pembeli : Berapa Bu? Penjual : Yen bayem saiket rong ewu, sawi seribu lima ratus rupiah. Pembeli 3 : Saya carikan yang bagus-bagus Bu! Penjual : Milihen dewe iki. Apik-apik kabeh. Pembeli 3 : Saya yang ini saja Bu, tolong bungkuskan. Penjual : Yo, wis iki. Penjual dan pembeli ini merupakan etnis Jawa yang yang sudah lama tinggal di Gedong Air Bandarlampung. Keempatnya dilahirkan di Gedong Air Bandarlampung. Orang tuanya berasal dari Jawa Tengah yang ikut transmigrasi sejak 1967. Mereka hidup di desa Gedong Air yang sebagian besar atau 80% merupakan suku Jawa. Berdasarkan percakapan di atas menunjukkan bahwa mereka masih senang/memilih percakapan dengan menggunakan bahasa Jawa. Hal ini terlihat dari keempatnya yang berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Jika salah satu di antara mereka berbahasa Indonesia, yang lainnya m,asih menangkap maksud pembicaraan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa pergaulan mereka sehari -hari menggunakan bahasa Jawa. Domain Ibadah Data 5 Tempat : Masjid Situasi : Informal Partisipan : Guru mengaji ( Pak Iwan, usia 45 Tahun) dan dua siswa yang mengaji
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 2, Juli 2011
165
Percakapan Guru mengaji : Ayo semua ke sini Bapak ajari ngaji, sampai di mana? Siswa 1 : Kulo rien Pak Guru Ngaji : Yo majuo, sampai di mana ngajimu? Siswa 1 : dumugi halaman tigo Pak! Siswa 2 : Kulo dumugi halaman 8 Pak Guru Ngaji : Ya, membaca bacaan Bismil lah dulu Siswa 1 : Ya Pak. Berdasarkan percakapan di atas, dapat dikemukakan bahwa situasi berbahasa yang terjadi pada peristiwa ibadah adalah menggunakan bahasa dua bahasa. Pada awal komunikasi, guru mengaji memulai dengan menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi siswa menjawabnya dengan menggunakan bahasa Jawa. Komunikasi berikutnya, sang guru mengaji menggunakan bahasa Jawa yang bercampur dengan bahasa Indoensia, lalu siswa menjawab dengan bahasa Indoensia. Komunikasi berikutnya menggunakan bahasa Indonesia lalu dilanjutkan dengan bahasa Jawa. Jadi bahasa yang digunakan dalam komunikasi tersebut adalah bahasa Indoensia dengan sesekali menggunakan kosa kata bahasa Jawa. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan uraian dari kelima percakapan di atas dalam lima domain, dapat dikemukakan bahwa bahasa Jawa digunakan dalam berbagai peristiwa komunikasi. Dari beberapa percakapan yang diklarifikasikan dalam beberapa domain, dapat diperoleh gambaran bahwa dinamikan pemakaian bahasa di desa Gedong Air Bandarlampung adalah menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa masih kental digunakan oleh sebagian besar masyarakat desa Gedong Air. Dalam berbagai kesempatan, masyarakat memilih berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan bercampur dengan bahasa Indoensia. Dalam komunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, beberapa kalimatnya bercampur dengan bahasa Jawa. Begitu juga jika berkomunikasi dengan bahasa Jawa, bahasanya bercampur 166
dengan bahasa Indoensia. Hal ini tergambar dari berbagai percakapan yang terbagi dalam beberapa domain. Melihat dari berbagai percakapan, dapat dikemukakan bahwa, bahasa yang dominan dipakai oleh masyarakat di desa Gesdong Air Bandarlampung adalah bahasa Jawa. Bahasa tersebut menjadi pilihan masyarakat Gedong Air karena secara turun temurun mereka telah menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi. Dalam domain-domain formal seperti aktivitas di kantor desa (komunikasi dengan aparat desa) aktivitas di lingkungan pendidikan, perdaganagan terlihat bahwa penggunaan bahasa Jawa masih kental digunakan oleh penutur di desa Gedong Air. Bahasa Jawa yang digunakan berbagai tingkatan, ada yang menggunakan bahasa Jawa ngoko, kromo inggil, dan sebagainya. Kromo inggil digunakan saat situasi resmi. Sedangkan Jawa ngoko digunakan dalam situasi informal dan tingkatan masyarakat biasa. Penggunaan bahasa Jawa ngoko terlihat pada percakapan antara penjual sayur dengan pembeli pada domain perdagangan di atas. Sedangkan penggunaan bahasa Jawa kromo terlihat pada percakapan siswa mengaji dengan guru ngaji pada domain ibadah. Mengacu pada uraian dan data di atas, dapat dikemukakan bahwa bahasa yang banyak digunakan untuk berkomunikasi masyarakat di desa Gedong Air Bandarlampung adalah bahasa Jawa. Hal ini terlihat di berbagai domain yang tergambar dari data 1 sampai dengan data 5. Pada situai informal terlihat jelas bahwa bahasa Jawa dipilih masyarakat Gedong Air sebagai bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Sedangkan bahasa Indonesia digunakan pada situasi-situasi formal. Dari data-data yang diperoleh, terdapat pemilihan bahasa (langauge choice) seperti yang dikemukakan oleh Fasold (1984). Pemilihan bahasa tersebut terjadi melalui: 1. Alih kode (code switching): secara umum perbedaan penggunaan bahasa dalam domain yang berbeda merupakan bentuk dari alih kode. Akan tetapi, terjadi pula alih kode dalam peristiwa tutur yang dil-
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 1, Juni 2011
akukan dalam lokasi. Alih kode dalam lokasi yang sama karena penutur berbicara pada dua kelompok mitra tutur yang berbeda. Yaitu ketika penutur berbicara pada sesama pedangan, penutur menggunakan bahasa Jawa, tetapi kemudian beralih ke dalam bahasa Indonesia, ketika pembeli bertanya kepada penjual sayur/kebutuhan rumah tangga. 2. Campur kode (code mixing): peristiwa ini terjadi dalam domain keluarga ketika seorang ayah menanyakan pada cucunya yang sudah lama tidak berkunjung ke rumahnya. Campur kode terjadi ketika sang isteri menjawab dengan bahasa Jawa dan dijawab pula oleh suaminya yang menggunakan bahasa Jawa dengan sesekali menggunakan bahasa Indonesia. Berdasarkan situasi pemakain bahasa di desa Gedong Air Bandarlampung, dapat dikatakan bahwa gejala kebahasaaan yang terjadi di sana lebih cenderung menujukkan adanya pemertahanan bahasa dalam komunitas bilingual daripada pergeseran bahasa. Hal ini terlihat dari beberapa aspek: 1. Seperti yang dikemukkan oleh Fasold (1984), pemertahanan bahasa terjadi juga dalam komunitas bilingual/multilingual. Yakni ketika terjadi gejala yang menunjukkan adanya penggunaan bahasa yang berbeda untuk domain yang berbeda. Di desa Gedong Air, terdapat beberapa penggunaan bahasa yang berbeda untuk domain yang berbeda. Misalnya bahasa Indonesia yang cenderung digunakan untuk situasi formal sedangkan bahasa Jawa digunakan dalam situasi yang informal. 2. Dalam domain keluarga, seorang suami dan isteri menggunakan bahasa Jawa, dalam domain perdagangan masih kuatnya menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan merupakan bahasa yang diterimanya sejak ia kecil yang disampampaikan melalui orang tuanya. 3. Tidak terjadinya perbedaan penggunaan bahasa antara generasi tua dan generasi muda menunjukkan bahwa bahasa Jawa sudah lama dan turun temurun telah
digunakan berkomunikasi oleh masyarakat. 4. Terjalin keakabran dan kesinambungan pertuturan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain dalam wilayah Gedong Air menunjukkan bahwa masyarakat telah lama dan merasa nyaman menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar. Berdasarkan data pada percakapan di berbagai domain, dapat dikemukakan bahwa terjadi pemertahanan bahasa, yaitu bahasa Jawa. Dari data yang berhasil dikumpulkan bahwa bahasa Jawa digunakan di berbagai domain yang berbeda secara harmonis. Dalam situasi dan kondisi yang berbeda, mereka menggunakan bahasa Jawa. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa terjadi pemertahanan bahasa Jawa di desa Gedong Air Bandarlampung. SIMPULAN Berdasarkan uraian , analisis, dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut. 1. Masyarakat desa Gedong Air Bandarlampung merupakan masyarakat bilingual dan juga diglosia yang dominan menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indoensia. 2. Bahasa Jawa digunakan di semua domain yang penulis amati, yaitu domain keluarga, perdagangan, ibadah. Sedangkan bahasa Indonesia cenderung digunakan pada domain-domain yang cenderung formal, yaitu domain pemerintah dan domain pendidikan. . 3. Peristiwa kebahasaan yang terjadi di desa Gedong Air adalah alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing). Peristiwa ini terjadi sebagai bentuk adanya pemilihan bahasa (language choice). 4. Situasi pemakaian bahasa di desa Gedong Air Bandarlampung menunjukkan adanya pemertahanan bahasa dalam komunitas bilingual. Berdasarkan data yang telah diuraian di atas, dapat dikemukakan bahwa penggunaan bahasa Jawa dalam berbagai
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 2, Juli 2011
167
domain menunjukkan adanya kestabilan penggunaan bahas Jawa, sebagai bahasa yang tetap dipakai dalam berbagai peristiwa komunikasi hingga kini. DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, A Chaedar. 1991. Cultural Transfer in Communication: A Qualitative Study of Indonesian Students in U.S. Academic Setting. Dissertation, Indiana University. Brown, Douglas H. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. Edisi ke-2. New York: Addison Wesley Longinau, Inc. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosialinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul & Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar, Jakarta, Rineka Cipta. Fasol, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society. Basil Backwell Ltd., New York. Fasol, Ralph and Shuy, Roger W. Studies in Lan-
168
guage Variation: Semantics, Syntax Phonology, Pragmatics, Social Situations, ethnographic approach. George Washington Press, Washington D.C. Fishman, Joshua A. 1972. Readings in the Sociology of Language. Mouton & C.o, Netherland. Gleason, Jean Berco and Nan Bernstein Ratner. 1998. Psycholinguistics. (Second Edition). New York : Harcourt Brace College Publishers. Holmes, Janet. t994. An fnfroduction fo Sociolinguistics. London ond New York: Longmon Kuntjara, Esther. 2003. Gender, Bahasa dan Kekuasaan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah. McKay, Lee Sandra, & Hornberger, Nancy H. 1996. Sociolingusitics and Language Teaching. New York: Cambridge University Press. Nababan, PWJ. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. UK: Blackwell Publishing.
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 1, Juni 2011