i
TESIS
IMPLEMENTASI PASAL 39 AYAT (1) HURUF d PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH TERKAIT JUAL BELI DENGAN KUASA MUTLAK OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DI KABUPATEN KLUNGKUNG
LUH WIKE SAPTIA DEWI NIM. 1292461011
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
i
ii
IMPLEMENTASI PASAL 39 AYAT (1) HURUF d PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH TERKAIT JUAL BELI DENGAN KUASA MUTLAK OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DI KABUPATEN KLUNGKUNG
Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
LUH WIKE SAPTIA DEWI NIM. 1292461011
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
ii
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 13 OKTOBER 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. I Kt Rai Setiabudhi, SH.,MS.
Dr. Ni Kt Supasti D. SH.,M.Hum.,LLM.
NIP. 19530914 197903 1 002
NIP. 19611101 198601 2 001
Mengetahui :
Ketua Program Magister Kenotariatan
Direktur
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., MH. Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S (K). NIP. 19650221 199003 1 005
NIP. 19590215 198510 2 001
iii
iv Tesis ini Telah Diuji Pada Tanggal : 10 Oktober 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 2833/UN 14.4/HK/2014 Tanggal 23 Juli 2014
Ketua
: Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS
Anggota
: 1. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.LLM 2. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.MH 3. Dr. I Dewa Gede Palguna, SH.M.Hum 4. Dr. Gede Marhaendra Wija Atmadja, SH.M.Hum
iv
v PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa : Nama
: LUH WIKE SAPTIA DEWI
NIM
: 1292461011
Program Studi
: Kenotariatan
Judul Tesis
: Implementasi Pasal 39 ayat (1) Huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Terkait Jual Beli Dengan Kuasa Mutlak Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Klungkung.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak pernah terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi manapun. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang - undangan yang berlaku.
Denpasar, 25 Juni 2014 Yang membuat pernyataan
Luh Wike Saptia Dewi NIM. 1292461011
v
vi UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa/Ida sang Hyang widhi wasa, karena atas berkat rahmatNya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “Implementasi Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Terkait Jual Beli Dengan Kuasa Mutlak Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Klungkung”. Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari para pembimbing dan berbagai pihak. Melalui tulisan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS., sebagai pembimbing Utama yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis menyelesaikan tesis ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya pula penulis ucapkan kepada Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan., SH.,M.Hum.,LLM sebagai pembimbing kedua yang telah pula memberikan saran, semangat dan dorongan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof.Dr.dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD sebagai Rektor Universitas Udayana, beserta staff atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga penulis ini juga vi
vii ditujukan kepada Ibu Prof.Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp. S (K)., sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama., SH.MH sebagai Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu kepada mahasiswa termasuk penulis. Bapak Ibu serta seluruh staff dan karyawan disekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi. Seluruh teman-teman Angkatan IV Mandiri Tahun Ajaran 2012 yang telah membantu memberikan semangat dan motivasi dalam penulisan tesis khususnya Ida Ayu Made Dwi Sukma Cahyani, SH , Ida Ayu Mas Arini, SH, Ida Ayu Wulan Rismayanti, SH, Ida Ayu Putu Swandewi, SH, Putu Selvyana Putri Pratamika, SH, Selly Masdalia Pertiwi, SH dan Ni Luh Putu Surya Mira Yanti, SH. Kedua Orang tua penulis Bapak I Nyoman Bagiana, SH serta ibu tercinta Luh Manik Mutiari, AMd., Keb. Tidak lupa saudara - saudara penulis Luh Putu Cahya Tris Yanti, SH dan Luh Marina Wirahartari terima kasih atas semua semangat dan cinta kasih sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan tesis ini tepat pada waktunya. Ucapan terimakasih juga penulis ungkapkan kepada dr. I Komang Realiska, S.Ked yang
vii
viii dengan sabar selalu mendoakan dan membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis serta para pihak yang membantu penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Sebagai akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Denpasar, 27 Juni 2014 Penulis
viii
ix ABSTRAK IMPLEMENTASI PASAL 39 AYAT (1) HURUF d PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH TERKAIT JUAL BELI DENGAN KUASA MUTLAK OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DI KABUPATEN KLUNGKUNG PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta otentik. Dalam peralihan hak atas tanah banyak pihak yang menggunakan kuasa untuk mewakili dirinya dalam melakukan suatu perbuatan hukum salah satunya adalah perbuatan hukum jual beli tanah. Adapun rumusan masalah dari tesis ini adalah bagaimana implementasi ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 dalam praktek pembuatan akta jual beli oleh PPAT di Kabupaten Klungkung dan bagaimana tanggung jawab PPAT dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat yang membuat akta pertanahan terkait jual beli berdasarkan kuasa mutlak. Metode penelitian hukum yang dipergunakan dalam penelitian adalah penelitian yuridis empiris. Hal ini dapat dilihat dari ruang lingkup pembahasannya yaitu mengenai apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan (das sollen) dilakukan penyimpangan-penyimpangan dalam praktek pembuatan akta jual beli yang dilakukan oleh PPAT (das sein). Data dalam penelitian ini berasal dari dua sumber yaitu data primer dan data sekunder. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa proses pelaksanaan yang terjadi di Kabupaten Klungkung mengenai Pasal 39 ayat (1) huruf d terkait jual beli dengan kuasa mutlak terjadi beberapa penyimpangan misalnya ada PPAT yang menerima kuasa mutlak dibawah tangan untuk peralihan hak atas tanah. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh perjanjian utang piutang. Pertanggungjawaban PPAT jika menerima kuasa mutlak sebagai peralihan hak atas tanah ada pada pribadi PPAT itu sendiri karena PPAT tidak berada dibawah suatu instansi pemerintah. Tidak ditutup kemungkinan bahwa pihak yang merasa dirugikan melakukan gugatan perdata untuk mendapatkan ganti rugi. Dengan Pengawasan dan Pembinaan secara rutin dan teratur diharapkan tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan PPAT itu sendiri tersandung masalah dikemudian hari.
Kata Kunci : Jual Beli, Kuasa Mutlak, Pejabat Pembuat Akta Tanah
ix
x ABSTRACT THE IMPLEMENTATION OF ARTICLE 39 PARAGRAPH (1) LETTER d OF THE GOVERMENT REGULATION NUMBER 24 OF 1997 ON THE LAND REGISTRATION IN RELATION THE SELL AND PURCHASE WITH AN ABSOLUTE POWER OF ATTORNEY BY THE LAND DEED OFFICIAL IN THE REGENCY OF KLUNGKUNG The Land Deed official (the PPAT) is a public official given the authority to make an authentic document related to the conveyance of land. In the land conveyance, many parties employ a power of attorney or a proxy to represent him or herself in conducting an act of law, one of which is the act of selling and purchasing of land. The legal problems of this thesis are how the implementation of the provisions of article 39 paragraph (1) letter d of the Government Regulation Number 24 of 1997 about the practices of making the land sale deeds by the PPAT in the Klungkung Regency, and what the responsibilities of the PPAT in carrying out their duties as officials who make the land sale deed based on an absolute power of attorney. The research methodology used in the study is empirical legal research. It can be seen from the scope of discussion namely on what is written in the legislation (das sollen) and the deviations found in the practices of making the land sale deeds made by the PPAT (das Sein). The data in this study came from two sources, that were primary and secondary data. The study show that there were some irregularities of the implementation of Article 39 paragraph (1) letter d related to the land sale deed by an absolute power of attorney found in the Regency of Klungkung, for instance, there was an indication that a PPAT accepted a privately-made absolute power of attorney to make a land conveyance certificate that caused by the creditor's debt agreements. The accountability of a PPAT who accepts an absolute power of attorney in making the land conveyance certificate lies exclusively on his/her own discretion because the PPAT is not under a government agency. It is always possible that those who feel harmed by the malpractice shall be entitled to a civil action for redress. By the routine monitoring and guidance, it is expected that no violations shall be committed by the PPAT otherwise, he or she may be exposed to a lawsuits in the future. Keywords : The Sale And Purchase, The Absolute Power of Attorney, The Land Deed Official.
x
xi RINGKASAN
Tesis ini menganalisa mengenai pelaksanaan ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 di Kabupaten Klungkung serta tanggung jawab PPAT yang menerima kuasa mutlak sebagai dasar peralihan hak atas tanah. Bab I, menguraikan latar belakang permasalahan mengenai adanya kesenjangan antara das sein dan das sollen. Secara normatif, berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa “PPAT menolak membuat akta apabila salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak. Dari penelitian awal ditemukan suatu kasus PPAT menerima kuasa mutlak dibawah tangan sebagai peralihan hak atas tanah. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka pada sub bab ini diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis serta metode penelitian. Bab II, menguraikan tentang tinjauan umum. Tinjauan umum dijabarkan lagi menjadi 4 (empat) sub bab, yaitu tinjauan umum tentang PPAT, tinjauan umum tentang akta, tinjauan umum tentang jual beli serta tinjauan umum tentang pemberian kuasa. Pada sub bab tinjauan umum tentang PPAT dibahas mengenai pengertian PPAT, jenis PPAT, kewenangan PPAT serta Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT. Pada sub bab tentang akta dibahas mengenai pengertian dan dasar hukum akta, jenis akta dan akta akta otentik yang dibuat oleh PPAT. pada sub bab tinjauan umum jual beli dibahas mengenai pengertian dan dasar hukum jual beli, momentum terjadinya jual beli, subyek hukum dan obyek hukum jual beli serta prosedur terjadinya jual beli. Pada sub bab pemberian kuasa dibahas mengenai pengertian pemberian kuasa, macam pemberian kuasa serta kuasa mutlak. Bab III, merupakan hasil penelitian dan pembahasan mengenai peran PPAT dalam peralihan hak atas tanah. Dibagi menjadi 3 (tiga) sub bab yaitu peran PPAT dalam pendaftaran tanah, akibat hukum jual beli hak atas tanah berdasarkan kuasa mutlak, dan proses pelaksanaan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 oleh PPAT di Kabupaten Klungkung. Hasil penelitian dalam bab ini menunjukan bahwa PPAT mempunyai tugas membantu Kepala Kantor Pertanahan untuk melaksanakan proses pendaftaran tanah sebagaimana diatur oleh Peraturan Perundang-undangan yang mempunyai kekuatan mengikat dengan membuat akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah. PPAT dilarang menerima kuasa mutlak sebagai dasar jual beli. Orang yang menggunakan kuasa mutlak yang tanpa alas hak untuk melakukan peralihan hak atas tanah dihadapan Notaris/PPAT tentu melanggar syarat sahnya perjanjian yang tercantum di dalam ketentuan Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata yang menyebutkan sebab yang halal. Dengan dilanggarnya syarat obyektif sahnya suatu perjanjian maka kuasa tersebut akan menjadi batal demi hukum Tidak menutup kemungkinan bagi pihak yang merasa dirugikan karena kuasa mutlak tersebut akan menuntut tindakan ganti rugi xi
xii sebagaimana tertuang dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Hasil penelitian didapat ada penyimpangan yang dilakukan ole PPAT di Kabupaten Klungkung seperti menerima kuasa mutlak dibawah tangan sebagai dasar jual beli serta menerima kuasa yang tidak bertalian dengan perjanjian ikatan jual beli dan hal tersebut dilarang karena tidak mempunyai alas hak. Bab IV, menguraikan hasil penelitian tentang masalah kedua mengenai tanggung jawab PPAT dalam peralihan hak atas tanah. Pada bab ini dibagi menjadi 3 (tiga) sub bab yaitu tanggung jawab PPAT yang menerima kuasa mutlak sebagai dasar peralihan hak atas tanah, pengawasan dan pembinaan PPAT dalam menjalankan jabatannya oleh BPN dan IPPAT serta sanksi yang diterapkan bagi PPAT bila melakukan pelanggaran. Hasil penelitian dalam bab ini adalah Dalam memberikan pelayanannya, PPAT bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dibahas juga mengenai peranan badan pengawas dan pembinaaan PPAT. Adapun peranan Badan Pertanahan Nasional dalam hal ini adalah memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peranan IPPAT dalam hal ini adalah memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan Kode Etik PPAT Perihal sanksi hukum terhadap PPAT lebih tegas digambarkan dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 yang menyatan bahwa PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT. Bab V, merupakan bab penutup yaitu menguraikan tentang simpulan dan saran dari penulisan dengan menyimpulkan bahwa kuasa menjual yang bertalian dengan perjanjian ikatan jual beli adalah produk hukum yang sah. Tetapi kuasa menjual yang berisikan klausul tidak dapat ditarik kembali berakibat hukum batal demi hukum dan pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata kepada PPAT. Tanggung jawab PPAT dalam pembuatan akta berada pada diri pribadi PPAT itu karena PPAT tidak berada dibawah instansi pemerintah. Saran yang dikemukakan adalah agar PPAT dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Majelis Pengawas hendaknya dapat lebih maksimal menjalankan tugas dan fungsinya baik dalam hal pembinaan misalnya dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada PPAT sebagai upaya preventif maupun tindakan pengawasan yaitu dengan memberikan sanksi kepada PPAT yang benar-benar telah menyimpang dari Peraturan Jabatan PPAT.
xii
xiii DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN SAMPUL DALAM ...............................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ..........................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ........................................................................ iv PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .......................................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................... vi ABSTRAK ............................................................................................................... ix ABSTRACT ..............................................................................................................
x
RINGKASAN .......................................................................................................... xi DAFTAR ISI ............................................................................................................ xiii BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1
Latar Belakang .............................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ......................................................................... 10
1.3
Tujuan Penelitian .......................................................................... 10 1.3.1 Tujuan Umum ...................................................................... 11 1.3.2 Tujuan Khusus ..................................................................... 11
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 11 1.4.1 Manfaat Teoritis ................................................................... 12 1.4.2 Manfaat Praktis .................................................................... 12 1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir ........................................ 12 1.6 Metode penelitian ............................................................................. 34 xiii
xiv 1.6.1 Jenis Penelitian ..................................................................... 34 1.6.2 Sifat Penelitian ..................................................................... 34 1.6.3 Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel ........................ 35 1.6.4 Sumber Data ......................................................................... 36 1.6.5 Teknik Pengumpulan Data ................................................... 38 1.6.6 Teknik Analisis Data ............................................................ 39 BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PPAT, AKTA, JUAL BELI SERTA PEMBERIAN KUASA .......................................................... 41 2.1
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) .......................................... 41 2.1.1 Pengertian PPAT dan Dasar Hukum Jabatan PPAT ............ 41 2.1.2 Jenis PPAT ............................................................................ 43 2.1.3 Kewenangan, Kewajiban, Larangan PPAT .......................... 44
2.2
Akta .............................................................................................. 50 2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Akta ...................................... 50 2.2.2 Jenis Akta ............................................................................ 52 2.2.3 Akta Otentik Yang Dibuat Oleh PPAT ................................ 56
2.3
Jual Beli ......................................................................................... 59 2.3.1 Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli ............................... 59 2.3.2 Subyek dan Obyek Hukum Jual Beli .................................. 65 2.3.3 Momentum Terjadinya Jual Beli .......................................... 70 2.3.3. Prosedur Terjadinya Jual Beli ............................................. 72
2.4
Pemberian Kuasa .......................................................................... 74 2.4.1 Pengertian Pemberian Kuasa ................................................ 74 2.4.2 Macam Pemberian Kuasa ..................................................... 77 xiv
xv 2.4.3 Berakhirnya Kuasa .............................................................. 81 BAB III
IMPLEMENTASI KETENTUAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 DALAM PRAKTEK PEMBUATAN AKTA JUAL BELI OLEH PPAT DI KABUPATEN KLUNGKUNG ..................................................................................... 82 3.1 Peran PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah ............................... 82 3.2 Akibat Hukum Jual Beli Hak Atas Tanah Berdasarkan Kuasa Mutlak .............................................................................................. 88 3.3 Proses Pelaksanaan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 oleh PPAT di Kabupaten Klungkung ......... 101
BAB IV
TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM MENJALANKAN TUGASNYA SEBAGAI PEJABAT YANG MEMBUAT AKTA TANAH TERKAIT AKTA JUAL BELI BERDASARKAN KUASA MUTLAK ............................................................................... 113 4.1 Tanggung Jawab PPAT Yang Menerima Kuasa Mutlak Sebagai Dasar Peralihan Hak Atas Tanah ......................................... 113 4.2 Pengawasan dan Pembinaan PPAT Dalam Menjalankan Jabatannnya Oleh BPN dan IPPAT. ................................................. 123 4.3 Sanksi Yang Diterapkan Bagi PPAT Bila Melakukan Pelanggaran .................................................................................... 130
BAB V
PENUTUP ............................................................................................. 134 5.1 Simpulan .......................................................................................... 134 5.2 Saran ................................................................................................. 135
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Tanah sebagai penunjang kebutuhan manusia di dalam pembangunan eksistensinya semakin meningkat. Berkaitan dengan itu meningkat pula kebutuhan berupa jaminan hukum di bidang pertanahan. Tanah memiliki peran penting bagi individu dalam masyarakat karena memiliki nilai ekonomis yang dapat mendukung kehidupan manusia. Pentingnya kegunaan tanah bagi orang atau badan hukum menuntut adanya jaminan kepastian hukum atas tanah tersebut. 1 Salah satu cara untuk memiliki tanah adalah melalui jual beli. Jual beli tanah lahir dari adanya perjanjian di antara para pihak yang sepakat haknya beralih dari pemilik tanah kepada pembeli tanah. Pengertian perjanjian tercantum dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) yang menyatakan bahwa
“suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Hukum perjanjian dianggap penting, karena hukum perjanjian diperlukan dalam mengodifikasi hukum nasional sekarang ini. Di dalam hukum perjanjian terdapat macam-macam perjanjian yang salah satunya adalah perjanjian jual beli. Berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata, menyatakan bahwa “Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk 1
Florianus, S.P Sangsun, 2008, Tata Cara Mengurus Sertipikat Tanah, Visimedia, Jakarta, hal. 1. 1
2 menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban untuk memberikan sesuatu, yang terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan oleh penjual dan penyerahan uang sebagai pembayaran oleh pembeli kepada penjual sehingga berpindahlah hak atas tanah tersebut kepada pembeli dan pengalihan tersebut harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.2 Dalam melakukan perbuatan hukum jual beli, harus ada kehendak dari kedua belah pihak dan sepakat mengenai harga dan barang serta dilakukan secara terang, tunai dan riil. 3 Terang berarti jual beli tersebut tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi tetapi dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disebut PPAT. Tunai berarti adanya pelunasan pembayaran oleh pembeli kepada penjual serta riil berarti bahwa akta jual beli tersebut telah ditandatangani oleh para pihak yang menunjukkan secara nyata atau riil telah dilakukannya perbuatan hukum jual beli. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukannya perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini didukung oleh Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Adanya kata sepakat atau juga adanya kesesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus
2
Salim H.S, 2008, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 51. J. Kartini Soedjendro, 2001, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta, hal. 82. 3
3 bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52) menyatakan bahwa “PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. PPAT adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. J. Kartini Soedjendro memberikan pendapatnya mengenai PPAT yang dijelaskan sebagai berikut : Secara fungsional, jabatan PPAT dan Notaris adalah ibarat dua sisi dari satu mata uang. Artinya, walaupun jabatannya berbeda, namun mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama selaku pejabat umum pembuat akta yang saling terikat. Dikatakan demikian karena perbedaan jenis akta yang dibuat masingmasing tidak terletak pada bobot keabsahan dan kekuatan hukumnya, tetapi hanya terletak pada perbedaan bidang hukum yang mereka tangani.4 Perkembangan globalisasi yang semakin berkembang menyebabkan kebutuhan masyarakat atas jasa dari PPAT semakin dibutuhkan. Hal ini terutama terkait dengan adanya keinginan dari masyarakat untuk menyatakan kehendak dengan alat bukti yang otentik. PPAT merupakan pejabat umum yang mempunyai tugas dan kewajiban untuk memberikan pelayanan dan konsultasi hukum kepada masyarakat yang membutuhkan.5
4
ibid, hal. 26. Komar Andasasmita, 2001, Notaris Selayang Pandang, Cet. 2, Alumni, Bandung, hal. 2. 5
4 Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal yang berarti akta tersebut didasarkan pada benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertandatangan dibawah akta tersebut. 6 PPAT mempunyai kewajiban kepada para pihak yang menghadap kepadanya bahwa para pihak telah mengerti apa yang tertuang didalam akta sesuai keinginan mereka serta memberikan akses terhadap informasi mengenai peraturan perundang-undangan yang terkait. Dengan demikian, para pihak bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta PPAT tersebut. Pada asasnya setiap orang yang ditunjuk sebagai PPAT dapat melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah. 7 Pembuatan akta peralihan hak atas tanah wajib menggunakan akta otentik karena akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna, kebenarannya tidak dapat disangkal oleh pihak manapun. Pentingnya penggunaan akta otentik selain untuk melindungi kepentingan para pihak juga karena persoalan peralihan hak atas tanah seringkali menimbulkan permasalahan dalam masyarakat. Perkembangan selanjutnya, permasalahan mengenai peralihan hak atas tanah khususnya jual beli semakin berkembang. Dalam peralihan hak atas tanah banyak pihak yang menggunakan kuasa untuk mewakili dirinya dalam melakukan suatu perbuatan hukum salah satunya adalah perbuatan hukum jual beli tanah. Pemberian kuasa dari satu orang kepada orang lainnya terbentuk di dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan dewasa ini kegiatan manusia semakin hari
6
H. Husni Thamrin, 2010, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 31. 7 Ibid, hal. 56.
5 semakin berkembang karena adanya pengaruh globalisasi yang semakin berkembang dengan pesat, dalam hal ini orang yang memberi kuasa diwakili oleh orang lain untuk menjadi kuasanya untuk melaksanakan segala kepentingannya. Pasal 1792 KUHPerdata menyatakan bahwa
“Pemberian kuasa adalah
suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Dalam peralihan hak atas tanah banyak pihak yang menggunakan kuasa mutlak sebagai dasar dari peralihannya khususnya jual beli. Kuasa mutlak adalah kuasa mana oleh pemberi kuasa tidak dicabut kembali dan tidak batal atau berakhir karena alasan-alasan apapun, termasuk alasan-alasan yang mengakhiri pemberian kuasa yang dimaksud dalam Pasal 1813 KUHPerdata dan kuasa tersebut berdiri sendiri serta tidak bertalian dengan perjanjian pendahuluan. Secara normatif, berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59) menyatakan bahwa “PPAT menolak membuat akta apabila salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak”. Serta dalam Bab VIII Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang mengatur mengenai sanksi menyatakan bahwa : PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut.
6 Berdasarkan hasil penjajakan awal, ditemukan PPAT yang membuat akta peralihan hak atas tanah (jual beli) di Kabupaten Klungkung tidak mentaati aturan mengenai tata cara pembuatan akta otentik. Kasus yang terjadi di Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung adalah jual beli yang didasarkan pada perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokoknya karena pihak debitur tidak dapat melunasi utangnya sehingga tanah jaminan beralih kepada kreditur. Dalam kasus tersebut tanah jaminan dialihkan dengan cara proses jual beli dengan kuasa mutlak yang tanpa didasari oleh perjanjian ikatan jual beli. Pihak debitur memberikan kuasa mutlak dibawah tangan kepada orang lain (pihak ketiga) dengan berada dibawah tekanan atau keterpaksaan dari pihak kreditur. Dalam hal ini pihak ketiga diberikan kuasa mutlak untuk menjual tanahnya kepada pihak kreditur sebagai pelunasan utangnya.8 PPAT yang membuat akta jual beli berdasarkan utang piutang dan kuasa mutlak telah melanggar ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997. Dalam proses peralihan hak yang melibatkan jasa PPAT, maka PPAT yang bersangkutan wajib mentaati segala jenis peraturan yang terkait serta diperlukan prinsip kehati-hatian dalam membuat akta yang digunakan sebagai alat bukti otentik bagi para pihak. PPAT juga harus bertanggung jawab baik secara moral maupun perdata apabila dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat yang membuat akta pertanahan menimbulkan suatu kerugian bagi salah satu pihak akibat melanggar peraturan perundang-undangan.
8
Putusan Mahkamah Agung Nomor 990/K/Pdt/2012, diakses pada tanggal 20 Pebruari 2014, diunduh pada www.putusan.mahkamahagung.go.id juncto Putusan Pengadilan Negeri Semarapura Nomor 09/Pdt.G/2010/PN SP
7 Dari penelitian awal, PPAT yang membuat akta jual beli berdasarkan kuasa mutlak dapat disebut melakukan perbuatan melawan hukum dalam profesinya. Apa yang seharusnya tidak dilakukan dalam peralihan hak atas tanah dilakukan dengan atau tanpa sengaja yang bisa dikategorikan sebuah kelalaian yang mengakibatkan salah satu pihak merasa dirugikan haknya. Pasal 66 ayat (3) huruf b Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa “pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan meliputi memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan secara tertulis kepada PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran hak”. Dalam prakteknya pihak pengawas belum seluruhnya memeriksa minuta akta karena masih ditemukan PPAT yang menerima kuasa mutlak sebagai dasar peralihan hak atas tanah. Peran dari Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bersinergi dengan Badan Pertanahan nasional dalam memeriksa setiap minuta akta PPAT perlu adanya suatu peningkatan. Berdasarkan
uraian
di
atas
terlihat
adanya
kesenjangan
antara
pelaksanaan/law in action (das sein) dan pengaturan/law in book (das sollen). Menarik untuk diteliti dan diangkat karya ilmiah yang akan dibahas dalam tesis ini dengan judul “Implementasi Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Terkait Jual Beli Dengan Kuasa Mutlak Oleh Pejabat Pebuat Akta Tanah di Kabupaten Klungkung”.
8 Dari penelusuran kepustakaan, penelitian mengenai topik yang diangkat sesuai judul tersebut diatas berkaitan dengan usulan penelitian merupakan topik yang orisinal atau belum pernah ada orang yang meneliti permasalahan mengenai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PPAT terkait jual beli dengan kuasa mutlak, namun pernah ada topik yang berkaitan dengan penelitian ini yang ditulis oleh Prayoto dengan judul Aspek Hukum Terhadap Klausul Kuasa Mutlak Dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah. Tesis tersebut ditulis untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Diponogoro Semarang Tahun 2009 dengan permasalahan : 1. Apakah klausul pemberian kuasa mutlak dalam akta perjanjian pengikatan jual beli tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku ? 2. Bagaimana pelaksanaan dalam praktek mengenai klausul pemberian kuasa mutlak dalam perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan tindakan awal sebelum dibuatnya Akta Jual Beli ? Dalam tesisnya, Prayoto menggambarkan secara umum tentang kuasa mutlak dan sebab masih berlakunya kuasa mutlak dalam perjanjian ikatan jual beli. Dikaitkan dengan suatu akta notaris perjanjian pengikatan jual beli dimana pemberian kuasa tersebut merupakan salah satu klausul, khususnya mengenai bidang tanah. Dalam tesisnya Prayoto tidak menggunakan lokasi penelitian karena penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif sedangkan penelitian dari penulis adalah penelitian hukum empiris. Topik yang berkaitan selanjutnya adalah dari Merry Yusnita dengan judul Tanggung Jawab PPAT Terhadap Akta-Akta Yang Dibuatnya Jika Terjadi
9 Sengketa. Tesis tersebut ditulis untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Diponogoro Semarang Tahun 2010 dengan permasalahan : 1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian akta PPAT sebagai alat bukti yang sah dalam proses pemeriksaan sengketa perdata di Pengadilan ? 2. Apa Akibat hukum yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri terhadap akta PPAT yang menjadi sengketa ? Merry Yusnita mengungkapkan tentang tugas pokok dari seorang PPAT adalah membuat akta otentik. Pembuatan akta otentik merupakan salah satu tanggungjawab seorang PPAT yang harus dilakukan sesuai dengan UndangUndang dan Kode Etik Jabatan PPAT untuk dituangkan dalam bentuk akta PPAT yang otentik guna menjamin kepastian hukum dan melindungi hak-hak para pihak. Topik yang ketiga adalah dari Nelly Sriwahyuni Siregar dengan judul Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Tesis tersebut ditulis untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Sumatra Utara Tahun 2008 dengan permasalahan : 1.
Mengapa kuasa mutlak sebagai tindak lanjut dari perjanjian pendahuluan dalam peralihan hak atas tanah masih dapat diberlakukan ?
2.
Bagaimana secara yuridis kedudukan kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah yang dibuat dihadapan notaris/PPAT ?
3.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak yang telah melakukan peralihan hak atas tanah dengan memakai kuasa mutlak ?
10 Berdasarkan penelusuran tersebut diatas, penelitian yang penulis lakukan tidak ditemukan adanya kesamaan baik dalam judul maupun rumusan masalahnya. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah terkait jual beli dengan kuasa mutlak yang dilakukan oleh PPAT di Kabupaten Klungkung. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian yang masih bersifat orisinal dan dapat dipertanggungjawabkan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah : 1. Bagaimana implementasi ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dalam praktek pembuatan akta jual beli oleh PPAT di Kabupaten Klungkung ? 2. Bagaimana tanggung jawab PPAT dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat yang membuat akta tanah terkait akta jual beli berdasarkan kuasa mutlak ? 1.3. Tujuan Penelitian Agar penelitian ini memiliki suatu maksud yang jelas, maka harus memiliki tujuan sehingga dapat mencapai target yang dikehendaki. Adapun tujuannya digolongkan menjadi dua bagian, yaitu :
11 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini yaitu berupaya untuk dapat melakukan pengembangan ilmu hukum khususnya hukum kenotariatan yang ada sejalan dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini, ilmu tidak akan pernah final. Melalui penelitian ini turut diupayakan untuk melakukan kajian lebih mendetail mengenai PPAT ketika melaksanakan wewenangnya dalam membuat akta peralihan hak atas tanah khususnya jual beli. 1.3.2 Tujuan Khusus Berdasarkan tujuan umum tersebut, penelitian ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang bersifat khusus, yaitu : 1. Untuk
mendiskripsikan
dan
memberikan
analisis
lebih
mendalam
implementasi ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dalam praktek pembuatan akta jual beli oleh PPAT di Kabupaten Klungkung. 2. Untuk mendiskripsikan dan memberikan analisis lebih mendalam tanggung jawab PPAT dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat yang membuat akta pertanahan terkait akta jual beli berdasarkan kuasa mutlak. 1.4. Manfaat Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Adapun manfaat penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
12 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan menambah referensi dalam bidang ilmu hukum sehingga dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan studi ilmu hukum serta memberikan kontribusi teoritik baik terhadap teori hukum, konsep maupun asas-asas hukum. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat, PPAT dan penulis sendiri, yang diuraikan sebagai berikut : 1. Bagi kalangan masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan mengenai proses jual beli hak atas tanah tidak boleh berdasarkan kuasa mutlak yang tidak bertalian dengan perjanjian pengikatan jual beli. 2. Bagi PPAT, hasil penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan bahwa PPAT dalam menjalankan kewenangannya harus hati-hati dalam membuat suatu akta otentik yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang datang kepadanya. 3. Bagi penulis sendiri, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan di bidang Hukum Agraria dan Hukum Kenotariatan mengenai penerapan hukum dan penyimpangan-penyimpangan oleh PPAT dalam kewenangannya membuat akta otentik. 1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.5.1. Landasan Teoritis Teori adalah suatu prinsip yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan masalah. Teori merupakan alur penalaran yang terdiri dari
13 konsep, definisi yang disusun secara sistematis.9 Teori dalam penelitian empiris selain berfungsi untuk menjelaskan fakta, juga harus mampu meramalkan faktafakta atau kejadian-kejadian.10 Dalam penulisan tesis ini, dipergunakan beberapa teori dan asas hukum diantaranya : 1.5.1.1 Teori Efektifitas Hukum Teori Efektifitas Hukum atau bekerjanya hukum didalam masyarakat menurut William. J Chambliss dan Robert. B Seidmen yang berpendapat tentang pengaruh hukum. Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Efektifitas hukum merupakan proses yang bertujuan agar semua hukum berlaku efektif, keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolak ukur diantaranya hukumnya sendiri, perilaku masyarakat, sarana dan fasilitas.11 Menurut Chambliss dan Robert B. Seidman setiap konsep hukum sangat mempengaruhi agar suatu perilaku dilakukan oleh lembaga pembuat peraturan dan lembaga kekuasaan negara, kemudian oleh kekuasaan negara diselenggarakan dengan mempergunakan hukum sebagai sarana untuk mendorong perilaku yang lebih baik.12
Lembaga pembuat hukum bekerja dengan membuat peraturan yang ditujukan untuk mengatur masyarakat, demikian pula dengan lembaga penegak hukum yang
9
J.Soeprapto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, hal.194. 10 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV Mandar Maju, Bandung, hal. 141. 11 Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 8. 12 Satjipto Rahardjo, 1990, Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, hal. 26.
14 bekerja untuk melakukan law enforcement untuk ditegakkan di masyarakat. Robert B. Seidmen membuat model bekerjanya hukum sebagai berikut :13 Area of choise
feedback
Law Making Processes
rule of public Role Accopant Law Implementing Processes
Confirmity inducing measures
Area of Choise
Area of Choise
feedback
Dari bagan tersebut Seidmen mengajukan empat proposisi. Empat proposisi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seseorang pemegang peran (Role Occupan) itu diharapkan bertindak. 2. Bagaimana seseorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan politik, sosial dan lainlainnya mengenai dirinya. 3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan-peraturan hukum merupakan fungsi peraturanperaturan yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, keselurahan kompleks kekuatan-kekuatan politik, social, dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran. 4. Bagaimana peran pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-
13
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 46-47.
15 sanksinya, politik, ideologis dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.14 Bekerjanya hukum dalam masyarakat terkait juga dengan penegakan hukum yang melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki keterkaitan sebagai suatu sistem. Beberapa aspek tersebut yaitu lembaga pembuat hukum (Law Making Institution), lembaga penerap sanksi, budaya hukum serta unsur-unsur umpan balik dari proses bekerjanya hukum yang sedang berjalan.15 Robert B. Seidman dan William J. Chambliss menyusun suatu konsep bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan sangat tergantung banyak faktor. Secara garis besar bekerjanya hukum dalam masyarakat akan ditentukan oleh beberapa faktor utama. Faktor tersebut meliputi keseluruhan komponen sistem hukum, yaitu faktor substansial, faktor struktural dan faktor kultural. a. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis termasuk putusan pengadilan; b. Struktur hukum yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya; c. Kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, kebiasaankebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak baik dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena tentang hukum.16 Konsep-konsep ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan pengelakan sebenarnya berkaitan dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan yang
14
ibid. Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, hal. 27. 16 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan Termasuk Interpretasi Undang-Undang, Kencana Prenada Group, Jakarta, hal. 204. 15
16 tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. PPAT haruslah melihat kewajiban dan larangan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Efektifitas penegakan hukum berkaitan erat dengan efektifitas hukum. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan sanksi tersebut. Suatu sanksi dapat diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk ketaatan (compliance), dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah efektif. Sanksi mempunyai karakteristik sebagai ancaman atau sebagai sebuah harapan. Authority of state is a necessary condition for giving punishment.17 (Kewenangan negara adalah kondisi yang diperlukan untuk memberi hukuman). Sanksi akan memberikan dampak positif atau negatif terhadap lingkungan sosialnya. Disamping itu, sanksi ialah penilaian pribadi seseorang yang ada kaitannya dengan sikap perilaku dan hati nurani yang tidak mendapatkan pengakuan atau dinilai tidak bermanfaat bila ditaati.
Apabila PPAT tidak
mematuhi apa yang telah tertuang dalam peraturan mengenai jabatannya maka dapat dikenakan sanksi baik sanksi etika maupun sanksi pidana tergantung dari apa yang dilanggar. State choose the law as the primary mechanism for veiewing broader understandings of the responsibility for number of reasons. Law, after all, pervades our lives and provides the general rules by which we patern our
17
George P. Fletcher, 1998, Basic Concepts of Criminal Law, Oxford University Press, New York, hal. 35.
17 behavior. 18 (Negara memilih hukum sebagai mekanisme utama dalam melihat pemahaman yang lebih luas terhadap tanggung jawab untuk beberapa alasan, hukum menjalankan kehidupan kita dan menyediakan aturan-aturan umum dimana kita harus bertindak). Sistem hukum yang ada dan dijalankan seperti sekarang ini dibangun oleh masyarakat seiring dengan tingkat peradaban sosialnya. Tiap-tiap negara memiliki karakteristik ideologis yang berbeda dan karakteristik inilah yang kemudian akan mewarnai corak hukum yang akan dibangun. Hukum tidak dapat dilepaskan dari struktur sosialnya. Hukum yang baik adalah hukum yang tumbuh sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Menurut H.L.A Hart “ the most prominentgeneral feature of the law at all time and places is that its existence means that certain kinds of human conduct are no longer option, but in some sense obligatory”.19 (sifat mengatur hukum yang harus dipatuhi menyebabkan tuntutan berperilaku manusia pada situasi tertentu bukan lagi merupakan pilihan melainkan menjadi suatu keharusan). 1.5.1.2 Teori Pertanggungjawaban Hukum Dalam teori pertanggungjawaban terdapat dua istilah yang berkaitan yaitu Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk suatu tanggung jawab yang pasti, yang meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau
potensial
seperti
kerugian
untuk
melaksanakan
undang-undang.
Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu
18
Saundra Davis Westervelt, 1999, Shifting The Blame, Rutgers University Press, London, hal. 5. 19 H.L.A Hart, 1998, The Concept of Law, Claredon Press, Oxford, hal. 6.
18 kewajiban, khususnya kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. 20 Kranenburg dan Vegtig memberikan pendapatnya mengenai pertanggungjawaban dengan dua teori yang melandasinya yaitu : a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.21 Dalam menjalankan kewenangannya dalam membuat akta, PPAT yang menyebabkan kerugian kepada salah satu pihak terkait dengan Teori fautes personalles karena PPAT merupakan jabatan yang independen yang tidak berada dalam lingkup suatu instansi pemerintah. Tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan Tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability). Dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan maka seseorang akan dimintakan suatu pertanggungjawaban hukum di depan pengadilan apabila seseorang tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanggung jawab dibebankan pada yang bersangkutan tidak hanya melanggar
20
Ridwan H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 335. 21 Ibid, hal. 365.
19 peraturan perundang-undangan tetapi juga melanggar norma kesusilaan, kepatutan dan ketertiban dalam masyarakat. 2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai dirinya dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Beban pembuktiannya ada pada tergugat yang biasa disebut beban pembuktian terbalik. 22 Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada PPAT yang seandainya digugat atas kesalahannya dalam membuat akta peralihan hak. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. 3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Dalam prinsip tanggung jawab mutlak terdapat dua istilah yaitu strict liability dan dengan absolute liability. Sesungguhnya strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri.23 Tanggung jawab (responsibility) merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Tanggung jawab dalam arti hukum adalah tanggung jawab yang benar-benar
22
E. Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum : Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanivis, Yogyakarta, hal. 147. 23 E. Suherman, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan, Cetakan II, Alumni, Bandung, hal. 21.
20 terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan dalam arti tanggung jawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya. Teori tanggung jawab sebagai landasan untuk memecahkan masalah kedua mengenai tanggung jawab PPAT dalam membuat akta peralihan hak atas tanah terkait jual beli berdasarkan kuasa mutlak. Dalam memberikan pelayanannya, PPAT bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam
memberikan
pelayanan,
seorang
profesional
selalu
mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya. Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggung jawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri dan orang lain. Dalam menjalankan jabatannya PPAT mempunyai tanggung jawab moral terhadap profesinya. Kelompok profesi memiliki kekuasaan sendiri dan tanggung jawab khusus. Sebagai profesi, kelompok ini mempunyai acuan yang disebut Kode Etik Profesi. Kode Etik tersebut secara faktual merupakan norma-norma
21 atau ketentuan, yang ditetapkan dan diterima oleh seluruh anggota kelompok profesi. 1.5.1.3 Asas Perbuatan Melawan Hukum Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.24 Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan onrechmatige daad. Tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya).25 Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Seseorang dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan
24
Salim, H.S, op.cit, hal. 100. Moegni Djojodirdjo, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 76. 25
22 kerugian pada orang lain, maka nampaklah dengan jelas sifat aktif dari istilah melawan tersebut. Tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tetapi juga mengakibatkan kerugian moril seperti kesenangan hidup dan ketakutan.
26
Sebaliknya kalau seseorang dengan sengaja tidak
melakukan sesuatu atau diam saja padahal mengetahui bahwa sesungguhnya harus melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan orang lain atau dengan lain perkataan bersikap pasif saja, bahkan enggan melakukan kerugian pada orang lain, maka telah melawan tanpa harus menggerakkan badannya. Inilah sifat pasif daripada istilah melawan. Perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan : 1. Hak Subyektif orang lain. 2. Kewajiban hukum pelaku. 3. Kaedah kesusilaan. 4. Kepatutan dalam masyarakat.27 Pertanggungjawaban yang harus dilakukan berdasarkan perbuatan melawan hukum ini merupakan suatu perikatan yang disebabkan dari undang-undang yang mengaturnya (perikatan yang timbul karena undang-undang).28 Pada ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut :
26
ibid. Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 123. 28 Rachmat Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Bandung, hal. 6. 27
23 1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan; 2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian); 3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Ada beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum. Definisi tersebut akan diuraikan sebagai berikut : 1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi. 2. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi. 3. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual.29 Suatu perbuatan dapat dikatakan melawan hukum jika telah memenuhi 4 (empat) syarat. Syarat tersebut diuraikan sebagai berikut : 1. Perbuatan melanggar undang-undang; 2. Perbuatan melanggar hak orang lain yang dilindungi hukum Melanggar hak orang lain adalah melanggar hak subjektif orang lain, yaitu wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang untuk digunakan bagi kepentingannya; 3. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku Perbuatan ini juga termasuk ke dalam kategori perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya. Istilah kewajiban hukum ini yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Jadi, bukan hanya bertentangan dengan hukum tertulis melainkan juga bertentangan dengan hak orang lain menurut undang-undang karena itu pula istilah yang dipakai untuk perbuatan melawan hukum adalah onrechtmatige daad, bukan onwetmatige daad; 29
Munir Fuady, 1999, Hukum Kontrak (dari sudut pandang hukum bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4.
24 4. Perbuatan yang bertentangan kesusilaan (geode zeden ). Dapat dinyatakan sebagai norma-norma moral yang dalam pergaulan masyarakat telah diterima sebagai norma-norma hukum. Tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, manakala dengan tindakan melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak lain, maka berdasarkan atas perbuatan melawan hukum.30 Asas perbuatan melawan hukum merupakan landasan untuk permasalahan kedua yaitu mengenai tanggung jawab PPAT dalam menjalankan jabatannya, dalam hal ini PPAT yang menimbulkan suatu kerugian terhadap pihak yang menerima pelayanannya dapat dijerat dengan perbuatan melawan hukum. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik ini juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Jadi, jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar pasal-pasal dari hukum tertulis, mungkin masih dapat dijerat dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat. 1.5.1.4 Asas Itikad Baik Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan
30
R.Wirjono Prodjodikoro, 2000, Perbuatan Melanggar Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata, Mandar Maju, Bandung, hal. 6.
Hukum
25 keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. Dalam 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut tidak disebutkan secara ekplisit apa yang dimaksud dengan itikad baik. Akibatnya orang akan menemui kesulitan dalam menafsirkan dari itikad baik itu sendiri karena itikat baik merupakan suatu pengertian yang abstrak yang berhubungan dengan apa yang ada dalam alam pikiran manusia. Menurut James Gordley, sebagaimana yang dikutip oleh Ridwan Khairandy, memang dalam kenyataannya sangat sulit untuk mendefinisikan itikad baik.31 Dalam praktek pelaksanan perjanjian sering ditafsirkan sebagai hal yang berhubungan dengan kepatuhan dan kepantasan dalam melaksanakan suatu kontrak. Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibat ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum menenuhi syarat tertentu. 32 Penerapan asas itikad baik dalam kontrak bisnis, haruslah sangat diperhatikan terutama pada saat melakukan perjanjian pra kontrak atau negosiasi, karena itikad baik baru diakui pada saat perjanjian sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian atau setelah negosiasi dilakukan. Terhadap kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pemberlakukan asas itikad baik ini, Suharnoko menyebutkan bahwa secara implisit Undang-Undang
31
Ridwan Khairandy, 2003, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal.129. 32 Suharnoko, op.cit, hal. 5.
26 Perlindungan Konsumen sudah mengakui bahwa itikad baik sudah harus ada sebelum ditandatangani perjanjian, sehingga janji-janji pra kontrak dapat diminta pertanggungjawaban berupa ganti rugi, apabila janji tersebut diingkari.33 Riduan Syahrani menyebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan perjanjian peranan itikad baik (te geder trouw) sungguh mempunyai arti yang sangat penting sekali. 34 Pemikiran ini berpijak dari pemahaman bahwa itikad baik merupakan landasan dalam melaksanakan perjanjian dengan sebaik baiknya dan semestinya. Asas itikad baik menjadi salah satu instrument hukum untuk membatasi kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki tiga fungsi yaitu, fungsi yang pertama, semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking
vande
geode
trouw).
35
Dengan
fungsi
ini
hakim
dapat
mengenyampingkan isi perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak. Tidak semua ahli hukum dan pengadilan menyetujui fungsi ini, karena akan banyak hal bersinggungan dengan keadaan memaksa, sehingganya masih dalam perdebatan dalam pelaksanaannya. Hakim tidak dapat menjatuhkan putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar terjadi yakni
33
Suharnoko, op.cit, hal. 8. Riduan Syahrani, 2000, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni Bandung, hal. 259. 35 Ridwan Khairandy, op.cit. hal. 33. 34
27 dibuktikan kebenarannya sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.36 Pengertian itikad baik secara definisi tidak ditemukan, begitu juga dalam KUHPerdata tidak dijelaskan secara terperinci tentang apa yang dimaksud dengan itikad baik, pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata hanyalah disebutkan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Menurut Wirjono Prodjodikoro, itikad baik (te goeder trouw) yang sering diterjemahkan sebagai kejujuran, dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) itikad baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum atau perjanjian, dan (2) itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut.37 1.5.1.5 Konsep Kebatalan Kebatalan dalam hukum perjanjian dapat dikategorikan menjadi dua yaitu dapat dibatalkan (vernietigbaarheid) dan batal demi hukum (nietigbaarheid). 38 Batal demi hukum karena kebatalannya disebabkan oleh Peraturan PerundangUndangan dan dari awal perjanjian dianggap tidak pernah ada. Dapat dibatalkan mengandung pengertian bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan dibatalkan atau tidak terserah dari pihak yang membuatnya. Pasal 1320 KUHPerdata diatur mengenai syarat sahnya perjanjian yakni :
36
Mukti Arto, 2010, Praktek Perkara Perdata dalam Peradilan Agama, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 140. 37 Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 137. 38 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal. 62.
28 1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian. 2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Sebab yang halal Syarat 1 dan 2 melekat pada subyek atau para pihak yang membuat perjanjian oleh karena itu sering disebut sebagai syarat subyektif. Sedangkan, syarat 3 dan 4 melekat pada isi dari perjanjian itu sendiri oleh karena itu sering disebut sebagai syarat objektif. Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan sedangkan jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Menurut kontrak Amerika ditentukan ditentukan 4 syarat sahnya perjanjian yaitu : 1. Offer (Penawaran) dan acceptance (penerimaan); 2. Meeting of minds (persesuaian kehendak); 3. Consideration (prestasi); 4. Competent parties dan Legal subyek matter (kemampuan hukum para pihak dan pokok persoalan yang sah).39 Pada keadaan tertentu dengan adanya cacat tertentu diberi sanksi atau akibatnya batal demi hukum, perbuatan hukum tersebut oleh undang-undang tidak memiliki akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut. Perbuatan hukum yang mengandung cacat, tetapi penentuan apakah perbuatan hukum
39
ibid, hal. 59.
29 tersebut menjadi sah atau batal bergantung ada keinginan orang tertentu menyebabkan perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan.40 Pengertian dapat dibatalkan (vernietigbaarheid) juga berarti salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas). Hak untuk meminta suatu pembatalan kepada hakim ada di salah satu pihak yaitu pihak yang didalam akta tidak cakap dalam melakukan melakukan suatu perbuatan hukum baik itu karena masih dibawah umur maupun karena tidak bebasnya kehendaknya dalam menandatangani suatu akta. Beberapa cara untuk meminta suatu pembatalan perjanjian adalah sebagai berikut : 1. Pihak yang diberikan perlindungan oleh Undang-Undang aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian yang dibuatnya tersebut itu dibatalkan. 2. Menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk melaksanakan perjanjian tersebut, kemudian mengemukakan di depan hakim bahwa perjanjian tersebut telah disepakatinya ketika ia masih belum cakap atau belum cukup umur ataupun terjadi karena kekhilafan, penipuan ataupun ancaman pada saat penandatangan akta mengenai objek perjanjian. Di depan sidang pengadilan itu pihak tersebut aktif memohon kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan.
40
Herlin Budiono (II), 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 365.
30 Pengertian batal demi hukum (nietigbaarheid) adalah dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap tidak pernah ada, apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian yang dapat dibatalkan, amar putusan hakim akan berbunyi membatalkan dan sifatnya konstitutip (membuat hukum) sedangkan untuk perjanjian batal demi hukum amar putusan hakim akan berbunyi menyatakan batal dan sifatnya deklaratoir (menunjuk kepada hukum).
31 1.5.2 Kerangka Berpikir Bagan Kerangka Berpikir
Latar Belakang
1.
2.
1.
2.
PPAT menolak membuat akta apabila salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak. Pada kenyataannya ada PPAT yang menerima kuasa mutlak untuk peralihan hak atas tanah
Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dalam praktek pembuatan akta jual beli oleh PPAT di Kabupaten Klungkung ?
Landasan Teoritis
Teori Efektifitas Hukum
2. Bagaimana tanggung jawab PPAT dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat yang membuat akta tanah terkait akta jual beli berdasarkan kuasa mutlak ?
Teori Pertanggung jawaban Hukum
Simpulan Terjadi penyimpangan yang terjadi di Kabupaten Klungkung yaitu PPAT menerima kuasa mutlak dibawah tangan sebagai peralihan hak atas tanah karena dilatar belakangi oleh perjanjian utang piutang da kuasa yang tidak bertalian dengan perjanjian pengikatnan jual beli Tanggung jawab PPAT terhadap akta yang dibuatnya ada pada pribadi PPAT itu sendiri baik tanggung jawab Peradata ataupun moral karena PPAT tidak berada dibawah suatu instansi pemerintah
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian : Yuridis Empiris 2. Sifat Penelitian : Deskriptif 3. Lokasi Penelitian dan Pengambilan Pengambilan Sampel a. Lokasi penelitian : Kabupaten Klungkung b. Pengambilan Sampel : Porpusive Sampling 4. Sumber Data : a. Data primer b. Data Sekunder 5. Teknik Pengumpulan Data a. Teknik dokumentasi b. Teknik wawancara. 6. Teknik Analisis Data Merapikan data yang diperoleh dari hasil wawancara di Pengadilan Negeri Klungkung dan beberapa kantor Notaris/PPAT di klungkung, dianalisis secara kualitatif dengan bentuk kalimat yang teratur dan disesuaikan dengan teori dan disajikan dalam bentuk kalimat yang teratur.
32 Adapun dari bagan kerangka berpikir tersebut diatas dapat dideskripsikan sebagai berikut : Setiap orang yang ditunjuk sebagai PPAT dapat melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah. Pentingnya penggunaan akta otentik selain untuk melindungi kepentingan para pihak juga karena persoalan peralihan hak atas tanah seringkali menimbulkan permasalahan dalam masyarakat. Dalam peralihan hak atas tanah banyak pihak yang menggunakan kuasa untuk mewakili dirinya dalam melakukan suatu perbuatan hukum salah satunya adalah perbuatan hukum jual beli tanah, dalam hal ini orang yang memberi kuasa diwakili oleh orang lain untuk menjadi kuasanya untuk melaksanakan segala kepentingannya. Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa “PPAT menolak membuat akta apabila salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak”. Dalam prakteknya ditemukan PPAT menerima kuasa mutlak dibawah tangan untuk mengalihkan hak seseorang kepada orang lain. Apa yang terjadi didalam faktanya dan apa yang diharapkan oleh Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah tidak tercapai. Maka untuk menjawab permasalahan pertama tentang implementasi ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dalam praktek pembuatan akta jual beli oleh PPAT di
33 Kabupaten Klungkung maka digunakan teori Efektifitas Hukum dari William. J. Chambliss. Membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana masyarakat memahami isi hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang. Efektifitas hukum hanya dapat terlaksana dengan baik, manakala hukum dijunjung tinggi dan moralitas penegak hukumnya serta masyarakat yang mensupport ke arah itu. Penegakan hukum dalam masyarakat melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki keterkaitan sebagai suatu sistem. Beberapa aspek tersebut yaitu lembaga pembuat hukum (Law Making Institution), lembaga penerap sanksi, budaya hukum serta unsur-unsur umpan balik dari proses bekerjanya hukum yang sedang berjalan. Permasalahan kedua mengenai tanggung jawab PPAT dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat yang membuat akta tanah terkait akta jual beli berdasarkan kuasa mutlak digunakan teori pertanggungjawaban hukum untuk memecahkan permasalahan tersebut. Tanggung jawab PPAT terkait akta yang dibuatnya ada tanggung jawab perdata dan tanggung jawab moral atau etika. Teori fautes personalles yang dikemukakan oleh Kranenburg dan Vegtig memberikan pendapatnya mengenai pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian.41 Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. Dalam hal ini PPAT yang melakukan kesalahan atau suatu perbuatan
41
Ridwan H.R, op.cit, hal. 365.
34 melawan hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi karena PPAT tidak bernaung di instansi pemerintahan. Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis empiris. Teori-teori yang digunakan untuk memecahkan permasalahan kemudian akan ditarik kesimpulan dari pembahasan-pembahasan yang dipaparkan. 1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yaitu ditemukannya suatu kesenjangan antara apa yang seharusnya (das solen) dengan apa yang terjadi di masyarakat (das sein) yang dikaji untuk kepuasan akademik. Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa
“PPAT menolak
membuat akta apabila salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak”. Namun dalam prakteknya terdapat suatu kasus di Kabupaten Klungkung dalam hal PPAT menerima pembuatan akta jual beli yang peralihan haknya tersebut dialihkan dengan kuasa mutlak. 1.6.2 Sifat Penelitian Sifat penelitian dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu
35 gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.42 Dalam penelitian ini memperkuat teori yang sudah ada dan menggunakan data kualitatif. 1.6.3 Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel Adapun lokasi penelitian dalam penyusunan penelitian ini adalah Kantor Notaris/PPAT di Kabupaten Klungkung. Terpilihnya Kabupaten Klungkung sebagai lokasi penelitian karena Kabupaten Klungkung sudah mengalami perkembangan jual beli tanah dan perkembangan bisnis di bidang pertanahan yang sangat signifikan yang disebabkan perkembangan investasi yang masuk semakin besar sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian di Kabupaten Klungkung. Dalam penelitian ini sampel ditentukan dengan teknik purposive sampling dari 14 (empat belas) populasi. Teknik purposive sampling diawali dengan penentuan sampel secara sengaja dengan menunjuk 1 (satu) responden kunci yang dianggap memenuhi sifat-sifat, ciri-ciri dengan sifat-sifat populasi serta memenuhi karakteristik dari substansi penelitian. 43 Sampel secara purposive diambil dengan menggunakan teknik snowball yaitu dengan menunjuk responden kunci serta dilanjutkan dengan responden yang lain. Penelitian akan dihentikan serta dianggap representatif jika data telah menunjukkan titik jenuh. Dalam penelitian ini setelah dilakukan penelitian dengan teknik snowball, data telah menunjukkan titik jenuh pada sampel ketiga dengan demikian dengan meneliti 3 (tiga) sampel Notaris/PPAT sudah dianggap representatif.
42 43
Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, hal. 25. Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, hal. 106.
36 1.6.4 Sumber Data Jenis data yang dipakai dalam penulisan ini meliputi data primer dan data sekunder. Data tersebut akan diuraikan sebagai berikut : 1. Data primer adalah suatu data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu data yang diperoleh peneliti dari sumber asalnya yang pertama dan belum diolah dan diuraikan oleh orang lain. Untuk memperoleh data primer, harus ditentukan wilayah dan subyek penelitiannya. Data primer bersumber dari penelitian yang langsung merupakan informasi yang diberikan oleh para informan dan responden yaitu hakim serta Notaris/PPAT di Kabupaten Klungkung. 2. Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh dari data yang terdokumenkan dalam bentuk bahanbahan hukum. Bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. a. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.44 Bahan hukum primer dipergunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).
44
Bambang Sunggono, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 113.
37 3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696). 4. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746). 5. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 6. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. 7. Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
45
Bahan hukum sekunder yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku hukum, makalah-makalah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini. c. Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk serta penjelasan yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum
45
Ibid, hal. 114.
38 sekunder. Bahan hukum tertier dapat berupa kamus hukum dan ensiklopedia.46 1.6.5 Teknik Pengumpulan Data Pengertian dari pengumpulan data adalah suatu kegiatan merapikan data dari hasil pengumpulan data di lapangan sehingga siap dipakai untuk dianalisa.47 Dalam rangka untuk mendapatkan data praktis digunakan dua cara pengumpulan data yaitu : 1. Teknik dokumentasi. Yaitu cara pengumpulan data primer dengan mengambil data yang telah tersedia dalam bentuk berkas-berkas atau dokumen resmi yang ada hubungannya dengan masalah dalam penulisan tesis ini. 2. Teknik wawancara Cara memperoleh data primer dengan mengadakan wawancara langsung kepada pihak-pihak terkait dengan penulisan tesis ini. Wawancara dilakukan di Pengadilan Negeri Semarapura dan Beberapa Kantor Notaris/PPAT di Kabupaten Klungkung. Model wawancara yang digunakan adalah wawancara berencana. Wawancara berencana biasanya daftar pertanyaan telah disiapkan sebelumnya dan disusun secara sistematis. Wawancara yang terstruktur dan sistematis kemudian oleh pewawancara ditanyakan kepada informan dan responden dengan cara membacakannya kepada informan untuk dijawab. Semua responden dan informan
46
Amirudin dan Zainal Asikin, op.cit, hal.32. Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 72. 47
39 yang terpilih diajukan pertanyaan yang sama, kata-kata sama dengan pola dan sistematika yang seragam.48 Digunakannya wawancara berencana adalah karena penulis dapat mengajukan pertanyaan dengan bertatapan secara langsung kepada responden atau informan. Penulis mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui bercakapcakap sehingga responden dan informan dapat menginterpretasikan pertanyaan penulis sesuai dengan maksud pertanyaan karena tingkat pengetahuan responden dan informan berbeda-beda sehingga diharapkan suatu hasil yang lebih mendalam.49 1.6.6 Teknik Analisis Data Teknik analisis data dilakukan dengan melakukan kegiatan merapikan data dari hasil pengumpulan data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisa.50 Teknik analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara merapikan data yang diperoleh dari hasil wawancara di Pengadilan Negeri Klungkung dan beberapa kantor Notaris/PPAT di Kabupaten Klungkung. Setelah data dikumpulkan kemudian data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan pemahaman dan interpretasi data. 51 Seterusnya data dianalisis dengan menggunakan landasan teori yang
48
Bagong Suyanto dan Sutinah, 2011, Metode Penelitian Social, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 77. 49 Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metode Penelitian Hukum Empiris Murni, Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 85. 50 Bagong Suyanto dan Sutinah, loc.cit. 51 Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Banyumedia Publising, Malang, hal. 172.
40 berkaitan dengan permasalahan yang selanjutnya disajikan dalam bentuk kalimat yang teratur dan logis dalam pembahasan.
41 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PPAT, AKTA, JUAL BELI SERTA PEMBERIAN KUASA
2.1 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) 2.1.1 Pengertian PPAT dan Dasar Hukum Jabatan PPAT Dalam ketentuan Hukum Pertanahan Nasional yaitu Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 mengatur bahwa semua Peralihan Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PPAT sebagai Warga Negara sekaligus Pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai segala sesuatu perbuatan hukum berkaitan dengan peralihan Hak Atas Tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 kode etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disebut dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT adalah “setiap orang yang menjalankan tugas jabatannya yang menjalankan fungsi sebagai pejabat umum”. Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 menyatakan bahwa PPAT adalah “pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun”. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah “PPAT adalah pejabat 41
42 umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Effendi Perangin menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta daripada perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan.52 PPAT sebagai pejabat umum berkedudukan : 1. 2. 3. 4.
Independent (mandiri); Imparsial (tidak memihak); Bukan bawahan atau subordinasi pihak lain yang mengangkatnya; Mempunyai wewenang yang telah ditentukan berdasarkan aturan hukum yang mengatur jabatan tersebut (atributif); 5. Akuntabilitasnya kepada masyarakat, Negara dan Tuhan.53 Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa “PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu”. Berdasarkan kesimpulan yang ditarik peneliti, maka disimpulkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang oleh Peraturan Perundang-Undangan untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan baik itu pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
52
Effendi Perangin, 2000, Hukum Agraria di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 3. 53 Habib Adjie, 2011, Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris dan PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 102.
43 2.1.2 Jenis PPAT Jenis PPAT berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat pembuat Akta Tanah adalah terdiri dari : 1) Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun. PPAT dalam hal ini adalah PPAT yang ditunjuk oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional yang telah mengikuti pelatihan PPAT dan telah lulus sekolah kenotariatan. 2) PPAT sementara adalah Pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. PPAT sementara adalah Camat atau pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional propinsi setempat.
Camat/Pejabat Pemerintah
melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT didaerah yang belum cukup terdapat PPAT. 3) PPAT khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. PPAT Khusus adalah Kepala Kantor Pertanahan yang ditunjuk oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk membuat akta mengenai perbuatan hukum tertentu dalam rangka pelaksanaan program pelayanan masyarakat atau
44 dalam rangka pelayanan bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas, yang disebut dalam Surat Keputusan Penunjukkannya. Dalam hal Camat sebagai PPAT, selama untuk kecamatan belum diangkat seorang PPAT, maka kepala kecamatan karena jabatannya menjadi PPAT sementara. Jika untuk kecamatan telah diangkat seorang PPAT, maka Camat yang bersangkutan tetap menjadi PPAT sementara, sampai ia berhenti menjadi Camat dari kecamatan tersebut. Camat menjadi PPAT karena jabatannya, ia tidak memerlukan surat keputusan pengangkatan.54 Menurut penulis seorang Camat yang diangkat sebagai PPAT maka pertanggungjawaban hukum dalam akta yang dibuatnya ada pada jabatan yang melekat kepadanya. Camat yang menjadi seorang PPAT mempunyai kedudukan berdasarkan jabatannya sedangkan PPAT yang sebelumnya mengenyam pendidikan kenotariatan pertanggungjawabannya ada pada diri pribadi PPAT itu sendiri bukan kepada jabatannya karena tidak berada di suatu instansi pemerintah. 2.1.3 Kewenangan, Kewajiban dan Larangan PPAT 2.1.3.1 Kewenangan PPAT Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa : Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana telah disebutkan di atas, mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus hanya berwenang membuat Akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus penunjukannya.
54
Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, hal. 5.
45 Sehubungan dengan tugas dan wewenang PPAT membantu Kepala Kantor pertanahan dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data tanah, dan sesuai dengan jabatan PPAT sebagai Pejabat Umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menegaskan bahwa PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas satuan Rumah Susun yang terletak di wilayah kerjanya. Pengecualian dari Pasal 4 ayat (1) ditentukan dalam ayat (2), yaitu untuk akta tukar menukar, akta pemasukan dalam perusahaan (inbreng) dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seseorang PPAT, dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, menyatakan kewenangan PPAT adalah menyatakan “PPAT mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya”. Pasal 3 ayat (2) menyatakan “PPAT Sementara mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dengan daerah
46 kerja di dalam wilayah kerja jabatannya”. Pasal 3 ayat (3) menyatakan “PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya”. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Akta tersebut akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. PPAT mempunyai kewenangan menciptakan, membuat, dan mengerjakan akta, yang menjadi kewenangannya sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yaitu akta : 1. Jual beli; 2. Tukar-menukar; 3. Hibah; 4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); 5. Pembagian Hak Bersama; 6. Pemberian Hak Tanggungan; 7. Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik; 8. Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; 9. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
47 2.1.3.2 Kewajiban PPAT Berdasarkan Pasal 3 Ikatan Kode Etik PPAT dinyatakan bahwa baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan (bagi para PPAT serta PPAT Pengganti) ataupun dalam kehidupan sehari-hari, setiap PPAT diwajibkan untuk : a. Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan PPAT; b. Senantiasa menjunjung tinggi dasar negara dan hukum yang berlaku serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan, kode etik dan berbahasa Indonesia secara baik dan benar; c. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan negara; d. Memiliki perilaku profesional dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional, khususnya di bidang hukum; e. Bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, mandiri, jujur, dan tidak berpihak f. Memberi pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan jasanya; g. Memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang
memerlukan
jasanya dengan maksud agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat; h. Memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak atau kurang mampu secara cuma-cuma; i. Bersikap saling menghormati, menghargai serta mempercayai dalam suasana kekeluargaan dengan sesama rekan sejawat; j. Menjaga dan membela kehormatan serta nama baik korp PPAT atas dasar rasa solidaritas dan sikap tolong menolong secara konstruktif;
48 k. Bersikap ramah terhadap setiap pejabat dan mereka yang ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas jabatannya; l. Menetapkan suatu kantor, dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi PPAT yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari; m. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam : 1). Peraturan Perundangan yang mengatur Jabatan PPAT; 2). Isi Sumpah Jabatan; 3). Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ataupun keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh Perkumpulan IPPAT, misalnya : a. Membayar iuran, membayar uang duka manakala ada seorang PPAT atau mantan PPAT meninggal dunia; b. Mentaati ketentuan tentang tarif serta kesepakatan yang dibuat oleh dan mengikat setiap anggota perkumpulan. 2.1.3 Larangan PPAT Berdasarkan Pasal 4 Kode Etik PPAT dinyatakan bahwa setiap PPAT baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari, dilarang : a. Membuka/mempunyai kantor cabang atau kantor perwakilan; b. Secara langsung mengikut-sertakan atau menggunakan perantara-perantara dengan mendasarkan pada kondisi-kondisi tertentu; c. Mempergunakan mass media yang bersifat promosi;
49 d. Melakukan tindakan-tindakan yang pada hakekatnya mengiklankan diri antara lain tetapi tidak terbatas pada tindakan berupa pemasangan iklan untuk keperluan pemasaran atau propaganda, yaitu : 1) Memasang iklan dalam surat kabar, majalah berkala atau terbitan perdana suatu kantor, perusahaan, biro jasa, biro iklan, baik berupa pemuatan nama, alamat, nomor telepon, maupun berupa ucapan-ucapan selamat, dukungan, sumbangan; uang atau apapun, pensponsoran kegiatan apapun, baik sosial, kemanusiaan, olah raga dan dalam bentuk apapun, pemuatan dalam buku-buku yang disediakan untuk pemasangan iklan dan/atau promosi pemasaran; 2) Mengirim karangan bunga atas kejadian apapun dan kepada siapapun yang dengan itu nama anggota terpampang kepada umum, baik umum terbatas maupun umum tak terbatas; 3) Mengirim orang-orang selaku salesman ke berbagai tempat/lokasi untuk mengumpulkan klien dalam rangka pembuatan akta; e. Memasang papan nama dengan cara dan/atau bentuk di luar batas-batas kewajaran dan/atau memasang papan nama di beberapa tempat di luar lingkungan kantor PPAT yang bersangkutan; f. Baik langsung maupun tidak langsung, mengadakan usaha-usaha yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan PPAT, termasuk namun tidak terbatas pada penetapan jumlah biaya pembuatan akta;
50 g. Melakukan perbuatan ataupun persaingan yang merugikan sesama rekan PPAT, baik moral maupun material ataupun melakukan usaha-usaha untuk mencari keuntungan bagi dirinya semata-mata; h. Mengajukan permohonan, baik lisan maupun tertulis kepada instansi-instansi, perusahaan-perusahaan,
lembaga-lembaga
ataupun
perseorangan
untuk
ditetapkan sebagai PPAT dari instansi, perusahaan atau lembaga tersebut,baik tanpa apalagi disertai pemberian insentif tertentu, termasuk namun tidak terbatas pada penurunan tarif yang jumlahnya/besarnya lebih rendah dari tarif yang dibayar oleh instansi, perusahaan, lembaga ataupun perseorangan tersebut kepada PPAT tersebut; i. Menerima/memenuhi permintaan dari seseorang untuk membuat akta yang rancangannya telah disiapkan oleh PPAT lain, dalam hal demikian, anggota yang bersangkutan wajib menolak permintaan itu, kecuali untuk keperluan tersebut telah mendapat izin dari PPAT pembuat rancangan. 2.2. Akta 2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Akta Istilah akta berasal dari bahasa Belanda yaitu Akte. Mengenai pengertian akta dalam bahasa Romawi kata akta disebut sebagai gesta atau instrumenta forensia, juga disebut sebagai publica monumenta atau acta publica. Menurut S.J Fockema Andreae kata akta berasal dari bahasa Latin acta yang memiliki arti surat. 55 Akta adalah salah satu alat bukti tertulis atau surat. Alat bukti tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda tanda bacaan yang dimaksudkan untuk 55
S.J Fockema Andreae, 1990, Rechtsgeleerd Handwoorddenboek, diterjemahkan oleh Walter Siregar, NV Gronogen, Jakarta, hal. 9.
51 mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.56 Pasal 165 Staatsblad Tahun 1941 Nomor 84 menyatakan bahwa : Akta adalah surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai yang berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan pihak lainnya sebagai hubungan hukum, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu sebagai pemberitahuan hubungan langsung dengan perhal pada akta itu. Akta juga diartikan sebagai surat yang disengaja dibuat sebagai alat bukti, berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum di bidang keperdataan yang dilakukan oleh pihak-pihak.57 Beberapa sarjana yang menganut pendapat pertama yang mengartikan akta sebagai surat antara lain Pitlo yang mengartikan akta sebagai “surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipahami sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat”. 58 Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa “akta adalah surat yang diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuatan”.59 Dalam mengartikan akta ini ada dua pendapat yaitu, pendapat pertama mengartikan akta sebagai surat dan pendapat kedua mengartikan akta sebagai perbuatan hukum. Penulis setuju terhadap pendapat pakar-pakar hukum diatas mengenai istilah akta, sehingga penulis mengambil suatu kesimpulan mengenai
56
H. Husni Thamrin, op.cit, hal. 10. N.G Yudara, 2005, Pokok - Pokok Pikiran dan fungsi Notaris Serta Akta Notaris Menurut Sistem Hukum di Indonesia, Majelis Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia, Jawa Timur, hal. 3. 58 Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal.106. 59 ibid. 57
52 pengertian akta yaitu suatu surat baik itu surat yang dibuat dibawah tangan maupun surat yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu yang ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya untuk dijadikan suatu bukti dilakukannya suatu perbuatan hukum tertentu. 2.2.2 Jenis Akta 2.2.2.1 Akta Otentik Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa akta otentik adalah “akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya”. Tiga unsur esensalia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik yaitu akta dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum, akta dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, akta dibuat ditempat wewenang pejabat yang membuat.60 Ciri-ciri dari akta otentik adalah : 1. Bentuknya sesuai Undang-Undang Bentuk dari akta notaris, akta perkawinan, akta kelahiran dan lainnya sudah ditentukan format dan isinya oleh Undang-Undang. Namun ada juga akta-akta yang bersifat perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan azas kebebasan berkontrak. 2. Dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang 3. Kekuatan pembuktian yang sempurna 4. Kalau disangkal mengenai kebenarannya, maka penyangkal harus membuktikan mengenai ketidak benarannya.61 Akta otentik dibagi menjadi dua yaitu akta yang dibuat oleh pejabat (ambtelijk akte) dan akta yang dibuat oleh para pihak dihadapan pejabat (partij akte). Ambtelijk akte merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi 60
Irwan Soerojo, 2003, Kepastian Hukum hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, hal. 148. 61 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal. 52.
53 wewenang untuk itu dimana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat dan dilakukan sedangkan partij akte adalah akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan tentang apa yang dilihat dan dilakukannya 62 Akta Otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian yakni : a. Kekuatan pembuktian lahir adalah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir yaitu apa yang tampak pada lahirnya. Bahwa suatu surat yang tampaknya seperti akta, maka dianggap mempunyai kekuatan akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya. b. Kekuatan pembuktian formil didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta tersebut. Kekuatan pembuktian formal memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta. c. Kekuatan pembuktian materiil memberikan kepastian tentang materi suatu akta, memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta.63 Dengan demikian R. Soegondo menyebutkan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum, oleh atau dihadapan penjabat-penjabat umum yang berwenang untuk berbuat sedemikian itu, ditempat dimana akta itu dibuat.64 2.2.2.1 Akta Dibawah Tangan Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak dan bentuknya sesuai dengan keinginan para pihak yang membuatnya. Akta di bawah tangan kekuatan pembuktiannya akan sangat tergantung pada kebenaran atas pengakuan atau penyangkalan para pihak atas isi dari akta dan masing-masing
62
H. Husni Thamrin, op.cit, hal. 16. H. Husni Thamrin, op.cit, hal. 30-31. 64 R. Soegondo, 1991, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 63
hal. 89.
54 tanda tangannya.65 Akta dibawah tangan juga berarti akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa perantara seorang pejabat umum, melainkan dibuat oleh dibuat dan ditandatangani sendiri oleh pihak yang mengadakan perjanjian. 66 Suatu akta di bawah tangan diakui isi dan tandatangannya oleh masing masing pihak maka kekuatan pembuktiannya hampir sama dengan akta otentik, bedanya terletak pada kekuatan pembuktian keluar, yang tidak secara otomatis dimiliki oleh akta di bawah tangan. Akta dibawah tangan digunakan oleh para pihak sebagai alat bukti tetapi tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum pembuat akta.67 Jika para pihak yang tercantum dalam akta dibawah tangan menyangkal kebenaran tanda tangan di dalam akta maka dia harus membuktikan kebenaran sangkalannya. Pihak yang menggunakan akta tersebut sebagai alat bukti juga diwajibkan untuk membuktikan bahwa tanda tangan dalam akta tersebut adalah benar. Hakim dapat memerintahkan untuk memeriksa keaslian dan kebenaran tanda tangan yang tercantum dalam suatu akta dibawah tangan melalui acara pemeriksaan keaslian atau echtheidsprocedure. Apabila keaslian tanda tangan di dalam akta dibawah tangan sudah dapat dibuktikan kebenarannya, maka isi pernyataan di dalam akta tersebut tidak dapat disangkal lagi. Akta dibawah tangan dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu akta biasa, akta Waarmerken dan Akta Legalisasi. Akta Waarmerken adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian
65
H. Husni Thamrin, loc.cit. Soeroso, 2010, Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 8. 67 Viktor M. Situmorang dan Cormentya Sitanggang, 2004, Grosse Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 36. 66
55 didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak. Akta Legalisasi adalah suatu akta di bawah tangan
yang
pihak namun penandatanganannya
dibuat
oleh
para
disaksikan oleh atau di hadapan Notaris,
namun Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi dokumen melainkan Notaris hanya bertanggungjawab terhadap tanda tangan para pihak yang bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut. Menurut J.De.Bruyn Mgz, legalisasi merupakan suatu tindakan hukum yang harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu : a. Notaris mengenal orang yang membubuhkan tanda tangannya; b. Isi akta diterangkan dan dijelaskan voorhouden kepada orangnya; c. Orang itu membubuhkan tanda tangannya dihadapan notaris.68 Seseorang yang menandatangi suatu akta dibawah tangan tanpa membaca terlebih dahulu isi perjanjian tersebut dan kemudian menyatakan bahwa dirinya tertipu, pernyataan tersebut tidak dapat dianggap sebagai suatu pernyataan yang sah.69 Isi keterangan dalam akta di bawah tangan berlaku benar terhadap siapa yang membuatnya dan demi keuntungan orang untuk siapa akta dibuat. Suatu akta dibawah tangan akan memberikan pembuktian sempurna demi keuntungan orang kepada si penanda tangan hendak memberikan alat bukti.
68
Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat dan Serba Serbi dalam Praktek Notaris, Ichtiar Van Hoeve, Jakarta, hal. 517. 69 Habib Adjie, 2009, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, hal. 74.
56 Perbedaan penting antara akta otentik dan akta dibawah tangan adalah apabila suatu akta otentik disangkal kebenarannya maka pihak yang menyangkal harus membuktikan, sedang pihak yang menggunakan akta tersebut sebagai bukti tidak perlu membuktikan ketidakbenaran sangkalan dari pihak lawan. Akta otentik hanya dapat dibatalkan oleh hakim jika didasarkan pada adanya alat bukti lawan yang mempunyai kekuatan hampir sama dengan akta otentik tersebut. Bukti lawan atas akta otentik adalah didasarkan pada kepalsuan yang sebelumnya harus dibuktikan melalui proses pembuktian di pengadilan. Apabila terhadap suatu akta dibawah tangan disangkal oleh pihak lawan, maka pihak yang menggunakan akta tersebut yang harus membuktikan kebenaran aktanya dan membuktikan ketidakbenaran sangkalan dari pihak lawan. Jadi beban pembuktian pada akta dibawah tangan berada di pihak yang menggunakan akta tersebut, sedang pada pembuktian akta otentik berada di pihak yang menyangkal kebenaran akta otentik tersebut. 2.2.3 Akta Otentik Yang Dibuat Oleh PPAT Di dalam Pasal 165 HIR disebutkan pengertian dari akta otentik yang menyatakan bahwa : Akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta. Berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata, akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak daripadanya, yang berarti bahwa akta otentik itu masih juga dapat
57 dilumpuhkan oleh bukti lawan. Terhadap pihak ketiga akta otentik itu merupakan alat bukti dengan kekuatan pembuktian bebas, yaitu bahwa penilainnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dalam pengelolaan bidang pertanahan di Indonesia, terutama dalam kegiatan pendaftaran tanah, PPAT merupakan pejabat umum yang membantu Instansi Badan Pertanahan Nasional guna membantu menguatkan/mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas bidang tanah yang dilakukan oleh subyek hak yang bersangkutan yang dituangkan dalam suatu akta otentik. Secara normatif, PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar pendaftarannya. Khusus mengenai PPAT tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang ditetapkan tanggal 5 Maret 1998 dan ketentuan pelaksanaannya dituangkan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah. Dalam pembuatan akta otentik, maka ada persyaratan formal yang harus dipenuhi antara lain harus dibuat oleh pejabat umum yang khusus diangkat untuk itu dengan akta yang dibuat dalam bentuk tertentu. Dapat dipastikan bahwa tindakan dalam pembuatan akta didasarkan atas hukum yang berlaku, aktanya
58 dapat dijadikan sebagai dasar telah dilakukannya perbuatan hukum tersebut secara sah dan dapat dijadikan alat pembuktian di depan hukum. Dasar hukum yang dijadikan pedoman teknis dalam pelaksanaan tugas PPAT adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah serta peraturan pelaksanaannya. Tugas Pokok PPAT adalah melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar sebagai pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan Hukum mengenai hak atas tanah yang dapat dilakukan oleh PPAT tersebut antara lain : a. Jual beli; b. Tukar menukar; c. Hibah; d. Pemasukan ke dalam perusahaan; e. Pembagian hak bersama; f. Pemberian hak guna bangunan; g. Pemberian hak tanggungan; h. Pemberian surat kuasa membebankan hak tanggungan. Bahwa dalam rangka membuat akta PPAT, walaupun tidak ada keharusan, disarankan untuk melakukan pengecekan ke lapangan untuk memastikan ada
59 tanahnya, letak pastinya dan keadaan tanahnya. PPAT juga berkewajiban untuk melakukan pengecekan secara resmi ke Badan Pertanahan Nasional bahwa data pada sertipikat sesuai dengan salinan buku tanah yang terdapat di Badan Pertanahan Nasional. Bahwa adanya ketentuan undang-undang mengenai jangka waktu penyampaian akta ke Kantor Pertanahan oleh PPAT yang bersangkutan yaitu paling lama 7 (tujuh) hari sejak akta ditandatangani. Bahwa tugas apapun yang dilaksanakan dengan pembuatan akta PPAT, semuanya harus dilaporkan secara berkala kepada Badan Pertanahan Nasional, bahkan jika tidak melaksanakan tugaspun, artinya aktanya nihil, tetap harus dilaporkan kepada Badan Pertanahan Nasional. Dalam hal ini bermakna kepatuhan dalam menyampaikan laporan. 2.3 Jual Beli 2.3.1 Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli Berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata “Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kebendaan dengan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan”. Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana para pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain utuk membayar harga yang telah dijanjikan. Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur esensial dan aksidentalia dari perjanjian tersebut.70
70
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 126.
60 Perjanjian jual beli merupakan jenis perjanjian timbal balik yang melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Kedua belah pihak yang membuat perjanjian jual-beli masing-masing memiliki hak dan kewajiban untuk melaksanakan isi perjanjian yang mereka buat. Perjanjian jual beli merupakan perjanjian konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur esensial dan aksidentalia dari perjanjian tersebut.71 Terjadinya kontrak jual beli antara para pihak penjual dan pembeli adalah pada saat terjadinya persesuaian kehendak dan pernyataan antara mereka tentang barang dan harga.
72
Berdasarkan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata telah
memberikan gambaran umum, bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar Undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang. Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang menetapkan ”Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. Syarat jual beli tanah ada dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil. 1. Syarat Materiil Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain : 71 72
ibid, hal. 126. Salim HS, op.cit, hal. 49.
61 a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan Pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang dibelinya, untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut apakah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai; b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu si pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Tanah yang bersangkutan boleh diperjual belikan dan tidak sedang dalam sengketa.73 2. Syarat formil Syarat formil dari jual beli adalah sebagai berikut, yaitu : a. Jika tanahnya sudah bersetipikat, sertipikat asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftaran b. Jika tanah belum bersetipikat, surat keterangan bahwa tanah tersebut belum bersetipikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan pengurutan oleh Kepala Desa dan Camat. Dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk pensertipikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli. Di dalam hukum Inggris, perjanjian jual beli dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu sale dan agreement to sell. Sale adalah suatu perjanjian sekaligus dengan pemindahan hak milik sedangkan agreement to sell adalah tidak lebih dari suatu perjanjian jual beli biasa menurut KUHPerdata. Jual beli tanah juga dikenal berdasarkan hukum adat. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa hukum tanah nasional adalah hukum adat. Hukum
73
Adrian Sutedi, 2007, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 78.
62 adat yang dimaksud adalah hukum adat yang telah di saneer. Sumber-sumber hukum tanah nasional berupa norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis. Hukum yang tertulis terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, peraturan perundang-undangan, sedangkan hukum yang tidak tertulis terdiri dari hukum adat yang telah di saneer dan termasuk juga yurisprudensi.74 Hukum adat mempunyai peranan penting yaitu sebagai sumber utama pembangunan Hukum Tanah Nasional dan sebagai pelengkap dari ketentuanketentuan hukum tanah yang belum ada peraturannya agar tidak terjadi kekosongan norma sehingga masyarakat tidak menjadi terhambat.
Menurut
hukum adat jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut dilakukan dihadapan kepala adat yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dari sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan pemindahan hak atas tanah tersebut diketahui oleh umum. Tunai dimaksudkan sebagai perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukkan dalam hukum benda. Khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak dalam hukum hukum perikatan khususnya hukum perjanjian karena : 1. Jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan suatu perjanjian, sehingga tidak mewajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli tersebut; 74
Boedi Harsono, 1997, Sejarah Pembentukan Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal. 235.
63 2. Jual beli tanah menurut hukum adat tidak menimbulkan hak dan kewajiban, yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi apabila pembeli baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah tersebut. Ciri-ciri yang menandai dari jual beli tersebut antara lain, jual beli tersebut serentak selesai dengan tercapainya persetujuan atau persesuaian kehendak yang diikuti dengan ikrar kontrak jual beli di hadapan Kepala Persekutuan hukum yang berwenang, dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli. Transaksi jual beli tanah dalam system hukum adat mempunyai 3 (tiga) muatan yakni : a. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai sedemikian rupa dengan hak untuk mendapatkan tanahnya kembali setelah membayar sejumlah uang yang pernah dibayarnya; b. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untuk membeli kembali, jadi menjual lepas untuk selama-lamanya; c. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan pembayaran dengan perjanjian bahwa setelah beberapa tahun panen dan tanpa tindakan hukum tertentu tanah akan kembali. Bentuk-bentuk pemindahan hak milik menurut sistem hukum adat dapat diuraikan dalam beberapa hal. Bentuk tersebut akan diuraikan sebagai berikut :
64 1. Penyebab pemindahan hak milik untuk selama-lamanya yang disebabkan oleh jual lepas. Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai dimana semua ikatan antara bekas penjual dengan tanahnya menjadi lepas sama sekali. Calon pembeli memberikan sesuatu tanda jadi sebagai pengikat yang sering dinamakan panjer. Fungsi panjer adalah : a) Pembicaraan yang mengandung janji saja tidak mengakibatkan suatu kewajiban, tetapi janji lisan yang diikuti dengan pembayaran sesuatu dapat menimbulkan suatu kewajiban, namun hanya ikatan moral untuk berbuat sesuatu. b) Tanpa panjer orang merasa tidak terikat, sebaliknya dengan panjer orang merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan apa yang ditentukan dalam janji tadi. c) Perjanjian pokok (jual beli) belum terlaksana hanya dengan pemberian panjer, setelah tidak digunakannya hak ingkar oleh para pihak jual beli baru dapat dilaksanakannya. 2. Penyebab pemindahan hak milik yang bersifat sementara a. Jual Gadai Jual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak secara sementara atas tanah kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Pemindahan hak atas tanah pada jual gadai bersifat sementara,
65 walau kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai sifat sementara waktu tersebut. Dengan penerimaan tanah itu, si pembeli gadai (penerima gadai) berhak : 1) Menikmati manfaat yang melekat pada hak milik; 2) Mengopergadaikan atau menggadaikan kembali di bawah harga tanah tersebut kepada orang lain jika sangat membutuhkan uang karena ia tidak dapat memaksa si penjual gadai untuk menebus tanahnya; 3) Mengadakan perjanjian bagi hasil, para pihak dapat mengadakan perjanjian bagi hasil asalkan mereka sepakat untuk membuat perjanjian tersebut dan tidak ada pihak ketiga yang dirugikan. b. Jual Tahunan Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan penyerahan hak atas sebidang tanah tertentu kepada subyek hukum lain dengan menerima sejumlah uang tertentu dengan ketentuan bahwa sesudah jangka waktu tertentu, maka tanah tersebut akan kembali dengan sendirinya tanpa melalui perilaku hukum tertentu. Kewenangan yang diperoleh oleh si pembeli tahunan adalah mengolah tanah, menanami dan memetik hasilnya dan berbuat dengan tanah tersebut seakan-akan miliknya sendiri dalam jangka waktu yang diperjanjikan. 2.3.2. Subyek dan Obyek Hukum Jual Beli 2.3.2.1 Subyek Hukum Jual Beli Pengertian subyek hukum (rechts subyek) adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegdheid), sedangkan pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari hak-hak. Subyek hukum adalah segala
66 sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Pengertian subyek hukum adalah orang (Naturlijke Person) dan Badan Hukum (Rechts Person). Subjek Hukum disini dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Orang Pengertian secara yuridisnya ada dua alasan yang menyebutkan alasan orang sebagai subyek hukum yaitu : a. Pertama, orang mempunyai hak-hak subyektif. b. kedua, kewenangan hukum dalam hal ini kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk menjadi subyek hukum yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban. Setiap orang adalah sebagai subjek hukum dan pendukung hak serta kewajiban. Tidak setiap orang wenang berbuat atau bertindak untuk melaksanakan hak dan kewajiban yang dimilikinya. Untuk wenang berbuat atau bertindak melaksanakan hak dan kewajiban yang dimilikinya dibutuhkan adanya syarat kecakapan. Syarat-syarat seseorang yang cakap hukum : a. Seseorang yang sudah dewasa (berumur 21 tahun). b. Seseorang yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah. c. Seseorang yang sedang tidak menjalani hukum. d. Berjiwa sehat dan berakal sehat. 2. Badan Hukum Selain orang, badan hukum juga termasuk sebagai subjek hukum. Badan hukum merupakan badan-badan atau perkumpulan. Badan hukum sebagai subjek hukum dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti orang.
67 Dengan demikian, badan hukum dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya. Oleh karena itu, badan hukum dapat bertindak dengan perantaraan penguruspengurusnya. Badan hukum menurut penulis adalah kumpulan orang-orang yang membentuk suatu badan juga dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan hukum terhadap orang lain atau badan lain hukum. Dilihat dari pendapat tersebut badan hukum dapat dikategorikan sebagai subjek hukum sama dengan orang disebabkan karena 1. Badan hukum itu mempunyai kekayaan sendiri; 2. Sebagai pendukung hak dan kewajiban; 3. Dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan; 4. Ikut serta dalam lalu lintas hukum dan bisa melakukan jual beli; 5. Mempunyai tujuan dan kepentingan. Semuanya ini dilakukan oleh para pengurusnya. Badan hukum dibedakan dalam dua bentuk, yakni : 1. Badan hukum publik Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya.
68 2. Badan hukum privat Badan hukum privat adalah badan hukum yang didirkan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan pribadi orang di dalam badan hukum itu. Karakteristik suatu badan hukum yaitu terdapat pemisahan kekayaan pemilik dengan kekayaan badan usaha, sehingga pemilik hanya bertanggung jawab sebatas harta yang dimilikinya. Badan Usaha yang berbentuk Badan Hukum terdiri dari : 1. Perseroan Terbatas a. Memiliki ketentuan minimal modal dasar, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 minimum modal dasar PT yaitu Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Minimal 25% dari modal dasar telah disetorkan ke dalam Perseroan Terbatas; b. Pemegang Saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang dimilikinya. 2. Yayasan. a. Bergerak di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota; b. Kekayaan Yayasan dipisahkan dengan kekayaan pendiri yayasan. 3. Koperasi. a. Beranggotakan orang-orang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasar atas asas kekeluargaan.
69 b. Sifat keanggotaan koperasi yaitu sukarela bahwa tidak ada paksaan untuk menjadi anggota koperasi dan terbuka bahwa tidak ada pengecualian untuk menjadi anggota koperasi. Setiap orang dapat memiliki hak milik atas tanah dan melakukan peralihan hak atas tanah jual beli, tetapi pembatasannya ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang tertuang dalam Pasal 21 ayat (1) yang menyatakan “hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik”. Dalam Pasal 21 ayat (2) menyatakan “Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya”. Hak milik adalah hak turuntemurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.75 Pengecualian subjek hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik ini dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, badanbadan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik, yaitu : a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara); b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958; c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama;
75
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Hak- Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 31.
70 d. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Badan Hukum dapat memiliki Hak Guna Bangunan. Badan Hukum dapat membeli atau melakukan peralihan Hak Guna Bangunan. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk membangun dan memiliki bangunan yang dibangun di atas tanah. Hak ini diberikan untuk jangka waktu maksimum 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun. Suatu Badan Hukum misalnya Perseroan Terbatas atau yayasan diwakili oleh direksi. Direksi saja atau pengurus saja tidak berwenang menjual atau membeli tanah, mereka harus mendapat persetujuan dari komisaris suatu Perseroan Terbatas.76 2.3.2.1 Obyek Hukum Jual Beli Obyek Hukum adalah segala sesuatu yang berada di dalam pengaturan hukum dan dapat dimanfaatkan oleh subyek hukum berdasarkan hak/kewajiban yang dimilikinya atas obyek hukum yang bersangkutan. Jadi obyek hukum itu haruslah sesuatu yang pemanfaatannya diatur berdasarkan hukum. Benda yang dalam hukum perdata diatur dalam Buku II KUHPerdata. Benda dalam hal ini adalah Tanah dan Bangunan yang berdiri diatas tanah tersebut baik itu Tanah Hak milik maupun Hak Guna Bangunan. 2.3.3 Momentum Terjadinya Jual Beli Unsur-unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, sesuai asas konsesualisme (kesepakatan) yang menjiwai hukum perjanjian maka perjanjian jual beli akan ada saat terjadinya atau tercapainya sepakat mengenai 76
hal. 25.
Effendi Perangin, 1990, Mencegah Sengketa Tanah, Rajawali, Jakarta,
71 barang dan harga. Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang menyatakan “jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. Sebagaimana diketahui hukum perjanjian dari KUHPerdata menganut asas konsensualisme, artinya bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsesus sebagaimana dimaksud diatas. Bagi pihak penjual terdapat dua kewajiban utama dalam perjanjian jual beli, diantaranya yaitu : 1.
Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang (barang bergerak, barang tetap maupun barang tak bertubuh atau piutang atau penagihan atau claim) yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada pembeli.
2.
Menanggung tenteram atas barang tersebut. Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuwensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan dilever itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu pihak. Kewajiban tersebut menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan pihak ketiga. Kewajiban pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan
ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat
72 perjanjian tidak ditetapkan tetang tempat dan waktu pembayaran maka si pembeli harus membayar di tempat dan pada waktu dimana penyerahan barangnya harus dilakukan (Pasal 1514 KUHPerdata). 2.3.4 Prosedur Terjadinya Jual Beli Dalam proses pembuatan akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT, dibutuhkan langkah-langkah yang harus dilalui oleh PPAT sebelum dilakukan penandatanganan akta jual belinya oleh para pihak yang berkepentingan. Langkah-langkah tersebut adalah : 1. Sebelum
melaksanakan
pembuatan
akta
mengenai
pemindahan
atau
pembebanan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan atau pengecekan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan dengan buku tanah yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli. 2. Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima hak harus membuat pernyataan yang menyatakan : a.
Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.
Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
73 c. Bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform; d. Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tidak benar. 3. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan. 5. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan
mengenai isi
dan
maksud
pembuatan
akta,
dan
prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku. 6. Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
74 7. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. Terhadap perbuatan hukum pengalihan hak tersebut, maka PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud di atas kepada para pihak yang bersangkutan. Sebelum dilakukannya penandatanganan akta jual beli, PPAT harus terlebih dahulu meminta bukti pembayaran pajak, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah yang secara tegas menyatakan “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak”. Konsekuensi yang akan diterima oleh PPAT, terhadap pelanggaran sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 akan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. 2.4 Pemberian Kuasa 2.4.1 Pengertian dan Dasar Hukum Pemberian Kuasa Pasal 1792 KUHPerdata menyatakan bahwa “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.” Kuasa tersebut dapat diberikan dan diterima dengan berbagai cara yaitu :
75 a. Dengan akta umum/otentik b. Dengan tulisan dibawah tangan c. Dengan surat biasa d. Dengan lisan Penerimanya selain dari secara tegas sebagaimana diterangkan di atas dapat pula secara diam-diam dan dapat disimpulkan dari pelaksanaannya. Pemegang kuasa berkewajiban untuk antara lain terus melaksanakan tugasnya sebagai kuasa sampai selesai. Selama ia belum dibebaskan untuk itu, ia bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya itu. Pemegang kuasa yang telah menyerahkan kekuasaanya itu kepada orang lain bertanggung jawab untuk orang yang ditunjuknya itu apabila : a. Ia tidak diberi kuasa oleh pemberi kuasa untuk menunjuk orang lain. b. Untuk itu ia memang telah diberi wewenang akan tetapi orang yang ditunjuknya tersebut ternyata tidak cakap. Pemberi kuasa berkewajiban untuk memenuhi semua perikatan yang telah dilaksanakan oleh pemegang kuasa sesuai dengan kekuasaan yang telah diberikan olehnya kepada pemegang kuasa itu. Pemberian kuasa adalah “Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kuasa kepada pihak yang lain (penerima kuasa/lasthebber), yang menerimanya untuk atas namanya sendiri atau tidak menyelenggarakan satu perbuatan hukum atau lebih untuk yang memberi kuasa itu”. Kuasa yang diberikan oleh pemberi kuasa bertalian dengan asas nemo plus iuris ad alium transferre potest quam ipse haberet yaitu bahwa seseorang tidak
76 dapat mengalihkan hak kepada orang lain daripada hak yang dimilikinya. Dalam hal ini pemberi kuasa tidak dapat memberikan kuasa lebih daripada hak atau kewenangan yang dimilikinya. Suatu kuasa bersifat privatif yaitu dengan adanya kuasa tidak berarti bahwa pemberi kuasa sendiri tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang telah dikuasakannya. Suatu kuasa bukanlah suatu peralihan hak. Pada umumnya pemberian kuasa merupakan perjanjian sepihak dalam arti bahwa kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak saja yaitu pada penerima kuasa. Pemberian kuasa pada mulanya adalah didasarkan pada hubungan persahabatan sehingga dilakukan secara cuma-cuma kecuali diperjanjikan sebaliknya. Dengan diperjanjikan upah, maka sifat perjanjian pemberian kuasa menjadi timbal balik, yaitu prestasi harus dilakukan oleh kedua belah pihak. Pada suatu pemberian kuasa (lastgeving) tidak selalu diberikan kewenangan untuk mewakili pemberi kuasa. Apabila wewenang mewakili atau volmacht diberikan pula perjanjian pemberian kuasa, maka terjadilah suatu perwakilan yang terjadi karena perjanjian (contractuele vertegenwoordiging). Dalam hukum Perancis pada mulanya hanya dikenal lembaga perwakilan tidak
langsung
(middellijke
vertegenwoordiging).
Dengan
terjadinya
perkembangan yang sangat pesat dalam dunia perdagangan dan karena tuntutan lalu lintas hukum dalam berbagai bidang. Prinsip dasar yang dianut sebelumnya lambat laun semakin ditinggalkan untuk kemudian di dalam masyarakat dan lalu lintas hukum mulai berkembang lembaga-lembaga perwakilan, baik berupa
77 pemberian tugas disertai pemberian wewenang (lastgeving). Pernyataan pemberian
kuasa
(machtiging)
maupun
volmacht
yang
semuanya
itu
diterjemahkan dalam bahwa Indonesia dengan satu perkataan, yakni kuasa.77 2.4.2 Macam-Macam Pemberian Kuasa 2.4.2.1 Pemberian Kuasa Umum Pemberian kuasa yang dinyatakan dengan suatu kata-kata yang umum untuk memberikan kewenangan kepada seorang kuasa untuk mengurus segala bentuk kepentingan pemberi kuasa yang hanya berupa suatu pengurusan saja dan tidak termasuk suatu perbuatan pemilikan. Disebutkan bahwa tindakan pengurusan itu harus dinyatakan dengan tegas. Seseorang yang diberi kuasa (Kuasa Umum) untuk menjalankan perusahaan orang lain, maka mengandung arti bahwa penerima kuasa itu berwenang untuk dan bagi kepentingan pemberi kuasa, demi lancar jalannya perusahaan itu, melakukan segala tindakan dan perbuatan yang mengenai pengurusan, tetapi sekali-kali tidak berwenang/berhak untuk menjual atau memindahtangankan perusahaan itu. Dalam hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 1795 KUHPerdata, dikaitkan dengan Pasal 1796 KUHPerdata, perlu kiranya mendapat perhatian, bahwa perkataan umum dalam Pasal 1795 KUHPerdata tidak mempunyai arti yang sama dengan perkataan umum dalam Pasal 1796 KUHPerdata. Perkataan umum dalam Pasal 1795 KUHPerdata mempunyai kaitan dengan luas cakupan dari wewenang penerima kuasa, yakni meliputi segala kepentingan 77
Komar Andasasmita, 1990, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, Ikatan Notaris Indonesia, hal. 469.
78 dari pemberi kuasa. Perkataan umum dalam Pasal 1796 KUHPerdata tekanannya adalah pada perkataan-perkataan yang dipergunakan dalam menguraikan kewenangan yang diberikan itu, yakni yang dirumuskan dengan kata-kata umum atau dengan perkataan lain, dengan kata-kata yang tidak tegas, yang dapat memberikan penafsiran yang berbeda-beda. 2.4.2.2 Pemberian Kuasa Khusus Kuasa khusus hanya menyangkut mengenai satu atau lebih kepentingan tertentu. Di dalam pemebrian kuasa khusus harus ditentukan secara tegas tindakan atau perbuatan apa yang boleh dan dapat dilakukan oleh yang diberi kuasa. Kuasa khusus mengacu pada Pasal 1795 KUHPerdata. Contoh kuasa khusus ini adalah kuasa menyewakan rumah, mengakhiri sewa, atau menagih uang sewa rumah sekaligus kwitansinya. 2.4.2.3 Kuasa Mutlak Pemberian kuasa mutlak adalah pemberian kuasa kepada seseorang disertai hak dan kewenangan serta kekuasaan yang sangat luas mengenai objek tertentu, kuasa mana oleh pemberi kuasa tidak dicabut kembali dan tidak batal atau berakhir karena alasan-alasan apapun, termasuk alasan-alasan yang mengakhiri pemberian kuasa yang dimaksud dalam Pasal 1813 KUHPerdata. Selain itu penerima
kuasa
juga
dibebaskan
dari
kewajiban
untuk
memberikan
pertanggungjawab selaku kuasa kepada pemberi kuasa. Penerima kuasa mutlak mempunyai hak penuh untuk melakukan segala tindakan dan perbuatan terhadap obyek yang bersangkutan. Semuanya sebagaimana yang dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri selaku pemilik
79 sehingga karenanya penerima kuasa dalam hal ini seakan-akan bertindak selaku pemilik yang sah dari obyek yang bersangkutan. Pengertian pemberian kuasa menurut ketentuan dalam Pasal 1792 KUHPerdata yaitu memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan tidak lagi ditemukan. Dalam kuasa mutlak ini penerima kuasa diberikan wewenang untuk melakukan tindakantindakan hukum tertentu dan pemberi kuasa berjanji serta mengikat diri bahwa ia tidak akan menolak atau membantah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penerima kuasa berdasarkan kuasa itu. Surat kuasa akan dianggap sebagai surat kuasa mutlak dengan dicantumkan klausula bahwa pemberi kuasa akan mengabaikan Pasal 1813 Juncto Pasal 1814 KUHPerdata mengenai cara berakhirnya pemberian kuasa. Berdasarkan kedua pasal tersebut, kuasa berakhir dengan penarikan kembali kuasa dari penerima kuasa, pemberitahuan penghentian kuasa oleh penerima kuasa, meninggal, pengampuan atau pailitnya pemberi kuasa maupun penerima kuasa, dan penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa. Dengan pencantuman klausula yang mengabaikan kedua pasal itu, maka pemberi kuasa menjadi tidak dapat lagi menarik kembali kuasanya tanpa kesepakatan pihak penerima kuasa. Dasar pemikiran yang mendukung pengabaian Pasal 1813 juncto Pasal 1814 KUHPerdata adalah karena hukum perdata memiliki prinsip sebagai hukum pelengkap atau aanvullen recht. Selain itu tentu saja prinsip inti dari semua perjanjian, yaitu pact sunt servanda, asas konsensualisme,
80 dan asas kebebasan berkontrak. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kuasa menjual adalah : a. Bentuk Kuasa Menjual Pasal 1796 KUHPerdata menentukan “Pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Untuk memindahtangankan benda-benda hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1796 KUHPerdata tersebut, Kuasa menjual haruslah diberikan dalam bentuk kuasa khusus dan menggunakan kata-kata yang bersifat tegas. Kuasa untuk menjual tidak boleh menggunakan kuasa umum dan didasari oleh Perjanjian Pengikatan Jual Beli. b. Masih berlakunya Kuasa yang bersangkutan pada saat pembuatan akta Pasal 1813 KUHPerdata menentukan “Pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa, dengan meninggalnya, pengampuannya atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa”. Pasal 1814 KUHPerdata menentukan “si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu memaksa si kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya”. Pasal 1816 KUHPerdata menentukan “Pengangkatan kuasa baru, untuk menjalankan suatu urusan yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa yang pertama, terhitung mulai diberitahukannya kepada orang yang belakangan ini tentang pengangkatan tersebut.” Berdasarkan ketentuan tersebut maka suatu
81 pemberian kuasa dapat berakhir karena ditariknya kuasa tersebut oleh si pemberi kuasa atau berakhir dengan pembuatan suatu kuasa baru yang diikuti dengan pemberitahuan mengenai hal tersebut kepada penerima kuasa. Pemberian kuasa juga berakhir dengan meninggalnya si pemberi kuasa. Pengecualian terhadap ketentuan
mengenai
berakhirnya
kuasa
biasanya
dilakukan
dengan
mengenyampingkan ketentuan mengenai berakhirnya kuasa yang diatur dalam Pasal 1813, 1814 dan 1816 KUHPerdata tersebut. 2.4.3
Berakhirnya Kuasa Berakhirnya kuasa diatur dalam Pasal 1813-1819 KUHPerdata. Ketentuan
tersebut menyatakan sebagai berikut : a. Ditariknya kembali kuasa tersebut oleh pemberi kuasa; b. Dengan pemberitahuan pengunduran diri atas kuasanya oleh penerima kuasa; c. Dengan meninggal, pengampuan, pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa; d. Dengan kawinnya perempuan yang memberi kuasa atau menerima kuasa. Setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Perkawinan maka ketentuan ini dinyatakan tidak berlaku lagi; e. Pengangkatan kuasa baru untuk mengurus hal yang sama, menyebabkan ditariknya kuasa pertama.
82 BAB III IMPLEMENTASI KETENTUAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 DALAM PRAKTEK PEMBUATAN AKTA JUAL BELI OLEH PPAT DI KABUPATEN KLUNGKUNG
3.1 Peran PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Salah satu profesi hukum yang dikenal adalah PPAT. PPAT mempunyai kode etik sebagai acuan dan dasar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dimanatkan padanya. Bila merujuk pada kekhasan etika profesi hukum, maka kekhasan etika profesi hukum adalah wilayah kerja penyandang profesi ini sarat akan implikasi-implikasi etis. Profesi hukum adalah profesi yang eksis untuk melayani anggota masyarakat ketika masyarakat berhadapan langsung dengan suatu otoritas kekuasaan.78 PPAT mempunyai peran yang sangat besar dalam peralihan hak atas tanah khususnya jual beli tanah. PPAT mempunyai tugas membantu Kepala Kantor Pertanahan untuk melaksanakan proses pendaftaran tanah sebagaimana diatur oleh Peraturan Perundang-undangan yang mempunyai kekuatan mengikat dengan membuat akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah. Dengan demikian, potensi terjadinya konflik atau sengketa dikemudian hari dapat dicegah sehingga dibutuhkan perangkat hukum dan sistem administrasi pertanahan yang baik. Pemindahan hak atas tanah harus didaftar dan dibuktikan dengan akta PPAT. Sebagai akta otentik akta PPAT harus memenuhi tata cara pembuatan akta 78
Shidarta, 2009, Moralitas Profesi Hukum, Refika Aditama, Bandung,
hal. 9. 82
83 PPAT sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang terkait. Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja antara penjual dengan pembeli supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain. Undang-Undang Pokok Agraria mengamanatkan bahwa peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik. Menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dinyatakan bahwa : Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembuktian bahwa hak atas tanah tersebut beralih kepada orang lain, maka perbuatan tersebut harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT yaitu akta jual beli yang kemudian akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Tanah sebagai benda penting bagi manusia, memegang peranan yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan manusia sebagai tempat bertempat tinggal maupun sebagai tempat untuk melakukan kegiatan usaha. Kegiatan pendaftaran tanah menjadi sangat penting dan wajib untuk dilaksanakan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa “untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-
84 ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, data tanah yang tercatat di buku tanah yang berada di Kantor Pertanahan harus sesuai dengan keadaaan bidang tanah yang bersangkutan baik yang menyangkut data yuridis maupun data fisik tanah. Dalam pencatatan data yuridis ini khususnya pencatatan perubahan data yang sudah tercatat sebelumnya maka peranan PPAT sangatlah penting. Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan pendaftaran tanah di Indonesia. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan tanah sebagai pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria. Sesungguhnya akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pendaftaran jual beli hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT sebagai alat bukti yang sah. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat karena dengan akta PPAT merupakan peralihan hak dengan yuridis levering. Dalam memberi pelayanan kepada masyarakat seorang PPAT bertugas untuk melayani permohonan-permohonan untuk membuat akta-akta tanah tertentu yang disebut dalam peraturan-peraturan berkenaan dengan pendaftaran tanah serta peraturan Jabatan PPAT. Dalam menghadapi permohonan-permohonan tersebut PPAT wajib mengambil keputusan untuk menolak atau mengabulkan
85 permohonan yang bersangkutan seperti yang diamanatkan oleh Pasal 39 UndangUndang Nomor 24 tahun 1997 yang menegaskan bahwa PPAT menolak untuk membuat akta jika : a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan : (1) Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan (2) Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari kantor pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan kantor pertanahan dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh kepala desa/kelurahan. c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian. d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak berdasarkan kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak.
86 e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik, yaitu akta yang dibuat untuk membuktikan adanya perbuatan hukum tertentu yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah dan bangunan. Berkaitan dengan kepastian pemilikan hak atas tanah dan bangunan, setiap perolehan hak yang terjadi dari suatu perbuatan hukum harus dibuat dengan akta otentik. Hal ini penting untuk memberi kepastian hukum bagi pihak yang memperoleh hak tersebut sehingga ia dapat mempertahankan haknya tersebut dari gugatan pihak manapun. Tanpa adanya akta otentik maka secara hukum perolehan hak tersebut belum diakui dan sebenarnya hak atas tanah dan bangunan masih ada pada pihak yang mengalihkan hak tersebut. Untuk melindungi pihak yang memperoleh hak, maka akta otentik yang dibuat pada saat perolehan hak dilakukan merupakan alat pembuktian yang kuat yang menyatakan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan bangunan yang dimaksud kepada pihak yang dinyatakan memperoleh hak tersebut.
87 PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat. Banyak sektor kehidupan transaksi bisnis dari masyarakat yang memerlukan peran serta dari PPAT, bahkan ada beberapa ketentuan yang mengharuskan suatu perbuatan hukum dibuat dengan akta PPAT. Hal tersebut menunjukkan jika tidak dibuat dengan akta PPAT maka transaksi atau kegiatan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Atas dasar kewenangan tersebut, maka dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, PPAT dituntut untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan pelayanan profesional. Dalam melaksanakan pekerjaannya yang mengandung banyak resiko tersebut, diperlukan pengetahuan hukum yang cukup dan ketelitian serta tanggung jawab yang tinggi. Dalam praktek sehari-hari PPAT diwajibkan untuk senantiasa menjunjung tinggi hukum dan asas negara serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan dan mengutamakan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat dan negara. Sebagai pejabat umum PPAT hendaknya dalam melakukan profesinya harus memiliki perilaku profesional dan ikut serta dalam pembangunan nasional khususnya di bidang hukum. Unsur-unsur perilaku profesionalisme yang dimaksud adalah bahwa PPAT harus mempunyai keahlian yang didukung dengan pengetahuan dan pengalaman yang tinggi dan dalam pelaksanaan tugasnya selalu dilandasi dengan pertimbangan moral yang diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, nilai-nilai sopan santun dan agama yang berlaku juga harus jujur, tidak saja kepada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada dirinya sendiri.
88 Serta tidak semata-mata didorong oleh pertimbangan keuntungan dalam arti ia harus bersifat sosial dan tidak bersikap diskriminatif dengan membedakan antara orang yang mampu dan tidak tidak mampu. PPAT harus memegang teguh etika profesi dalam pelaksanaan tugas profesi yang baik, karena dalam kode etik profesi itulah disebutkan segala perilaku yang harus dimiliki oleh seorang PPAT. Keberadaan pejabat dalam suatu tatanan ketatanegaraan sangat dibutuhkan, karena pejabat merupakan pencerminan dari personifikasi negara. Salah satu tugas pejabat, khususnya PPAT keberadaannya diakui oleh peraturan perundangundangan yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pembuatan akta PPAT menurut Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, ditegaskan bahwa “ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan akta PPAT diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran tanah”. Mengenai syarat bahwa akta itu harus dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta, ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang menyatakan “PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya”. 3.2 Akibat Hukum Jual Beli Hak Atas Tanah Berdasarkan Kuasa Mutlak Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh
89 hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum.79 Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subyeksubyek hukum yang bersangkutan misalnya mengadakan perjanjian jual beli maka telah lahir suatu akibat hukum dari perjanjian jual beli tersebut yakni ada subyek hukum yang mempunyai hak untuk mendapatkan barang
dan
mempunyai
kewajiban untuk membayar barang tersebut. Sebaliknya subyek hukum yang lain mempunyai hak untuk mendapatkan uang tetapi di samping itu dia mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang. Jelas bahwa perbuatan yang dilakukan subyek hukum terhadap obyek hukum menimbulkan akibat hukum. Kuasa mutlak timbul dari kebutuhan dalam praktek hukum yang dimaksudkan guna keperluan mengatasi suatu kepentingan. Landasan hukum bagi pembuatan dan pemberian kuasa demikian adalah kebebasan berkontrak yang dimuat dalam Hukum Perdata yang pembatasannya diatur dalam Pasal 1338 juncto 1320 KUHPerdata. Terdapat beberapa unsur dalam kuasa mutlak yang tidak ada dalam pemberian kuasa biasa yaitu pertama unsur tidak dapat dicabut kembali dan kedua pembebasan dari penerima kuasa untuk memberikan pertanggungan jawab selaku kuasa kepada pemberi kuasa yang mana kedua unsur tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan hukum tentang pemberian kuasa yang mengatur tentang berakhirnya suatu kuasa dan keharusan bagi penerima kuasa untuk memberikan pertanggungan jawab oleh penerima kuasa
79
hal. 295.
R. Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
90 kepada pemberi kuasa mengenai tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan kuasa itu. Kuasa mutlak yang dilarang juga kuasa mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh
pemegang
haknya.
Pemberian
kuasa
mutlak
apabila
benar-benar
dipergunakan untuk tujuannya yang sebenarnya dan untuk itu ada dasar hukumnya, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan memang sangat dibutuhkan dalam masyarakat. Namun ada pihak-pihak yang menyalahgunakan lembaga kuasa mutlak dan mempergunakannya untuk tujuantujuan yang tidak benar dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Mengingat kenyataan bahwa pengurusan balik nama sertipikat tanah umumnya memerlukan waktu yang lama dan proses yang lumayan rumit misalnya sebelum penandatangan akta jual beli dihadapan PPAT maka para pihak harus sudah membayar pajak terlebih dahulu serta apabila sertipikat tanah yang bersangkutan belum terdapat NIB (Nomor Identifikasi Bidang Tanah) maka harus dimohonkan, apabila sertipikat tanah masih menggunakan sertipikat lama dibawah tahun 2007 (dua ribu tujuh) maka sertipikat tersebut perlu diganti dengan yang baru. Dalam hal seperti itu diperlukan waktu yang lama dalam proses administrasinya. Sedangkan pemilik tanah di satu pihak sangat memerlukan uang dengan segera dan calon pembeli memerlukan tanah dalam waktu yang singkat. Dapat dipahami bahwa mereka akan mencarikan jalan keluar bagi tercapainya keinginan mereka dalam waktu sesingkat-singkatnya.
91 Dalam praktek untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut oleh para pihak yang bersangkutan dibuatlah perjanjian pengikatan jual beli dihadapan Notaris untuk melakukan jual beli. Berdasarkan perjanjian pendahuluan pihak penjual telah menerima sepenuhnya biaya penjualan sedang calon pembelinya telah pula menguasai tanahnya secara nyata. Untuk menjamin kepentingan calon pembelinya maka penjual memberikan kuasa mutlak sehingga nanti pada saatnya dapat melangsungkan sendiri jual belinya dihadapan PPAT. Dengan demikian pembeli akan bertindak dihadapan PPAT selaku kuasa dari penjual dan disamping itu ia pribadi akan bertindak selaku pembeli atau dengan kata lain menjual kedirinya sendiri. Pembuatan perjanjian pengikatan jual beli pada umumnya dilakukan oleh karena ada syarat yang belum dipenuhi untuk dapat melangsungkan jual belinya dihadapan PPAT, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997. Menurut kenyataannya dalam praktek, baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung pada prinsipnya menganggap kuasa menjual mutlak yang bertalian dengan perjanjian pengikatan jual beli tidak bertentangan dengan peraturan umum yang berlaku. Badan Pertanahan Nasional memandang perjanjian demikian tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku dan sejalan dengan itu juga. Kuasa mutlak yang dikaitkan dengan perjanjian pengikatan jual beli untuk melakukan jual beli oleh instansi tersebut dianggap tidak identik dengan Pasal 19 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
92 Dalam kenyataannya kebutuhan praktek menuntut adanya kuasa mutlak guna mengatasi kesulitan yang timbul dalam praktek asalkan
ada dasar
hukumnya. Dasar hukum yang sah merupakan faktor yang esensial dan dalam hal ini dasar hukumnya adalah perjanjian pokok berupa perjanjian pengikatan jual beli yang tidak dapat dipisahkan dari kuasa mutlak tersebut.80 Berdasarkan perjanjian pokok yang bersangkutan semua kepentingan penjual telah dipenuhi dan yang telah terpenuhi adalah kepentingan dari pembeli. Untuk memenuhi kepentingan pembeli maka penjual memberikan kuasa mutlak kepada penjual agar dengan kuasa itu, pembeli dapat melakukan segala tindakan dan perbuatan bagi pemenuhan dari apa yang menjadi haknya yang seharusnya sudah harus langsung diperolehnya jika penjual telah dapat memenuhi syarat untuk dilangsungkannya pembuatan akta jual beli dihadapan PPAT. Kuasa demikian yang dimuat dalam perjanjian pengikatan jual beli untuk melakukan jual beli oleh masyarakat luas dipandang sebagai sesuatu yang sangat praktis dan eksistensi dari kuasa ini sudah diakui dan diterima oleh instansiinstansi yang bersangkutan. Dalam hubungan ini yang perlu diperhatikan, dalam hal timbulnya persoalan di depan Pengadilan, untuk menyelidiki apakah pembeli telah memenuhi kewajibannya terhadap penjual dan jika telah terpenuhi maka sepatutnya ia meperoleh perlindungan hukum, oleh karena ia telah menunjukkan itikad baiknya, walaupun akta jual belinya belum dilangsungkan pembuatannya dihadapan PPAT.
80
Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Cetakan Kedua, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 6.
93 Perjanjian pengikatan jual beli adalah sebuah perjanjian yang harus tunduk pada persyaratan-persyaratan dan peraturan-peraturan mengenai perjanjian. Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih.” Robert Duxbury menyebutkan pengertian perjanjian yaitu “A Contracts maybe defined as a agreement between two or more parties that is binding in law”.81 (kontrak didefinisikan sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih yang mengikat dalam hukum). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur : 1. Perbuatan Penggunaan kata perbuatan pada rumusan perjanjian lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan. 2. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang sesuai satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum. 3. Mengikatkan dirinya Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.82 H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis mengungkapkan bahwa “Perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan sesuatu
81
Robert Duxbury, 2006, Contract Law, Seventeen Edition, Thomson Sweet & Maxweel, London, hal. 1. 82 Titik Triwulan, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 243.
94 perbuatan tertentu”. 83 Di dalam hukum bila suatu perbuatan mempunyai akibat hukum maka perbuatan tersebut dikualifikasikan sebagai perbuatan hukum. Suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak. Perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Sepakat merupakan salah satu syarat yang amat penting dalam syahnya perjanjian. Sepakat ditandai oleh penawaran dan penerimaan dengan cara : a. Tertulis b. Lisan c. Diam-diam d. Symbol-simbol tertentu.84 2. Cakap untuk membuat perikatan Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian.85 Pasal 1330 KUHPerdata menentukan orang yang tidak cakap untuk membuat perikatan. Pasal tersebut menentukan sebagai berikut yaitu : a. Orang-orang yang belum dewasa b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 83
H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1. 84 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal. 51. 85 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal. 57.
95 c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum. 3. Suatu hal tertentu. Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 KUHPerdata menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 KUHPerdata barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. 4. Suatu sebab atau causa yang halal. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek
96 mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.86 Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berdasarkan pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus mentaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian
tidak
diperbolehkan
membawa
kerugian
kepada
pihak
ketiga. Perjanjian berakhir karena : a. Jangka waktu berakhir b. Dilaksanakan obyek perjanjian c. Kesepakatan para pihak d. Adanya putusan pengadilan.87 Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dikatakan sah dan mempunyai kekuatan mengikat apabila telah memenuhi syarat sahnya perjanjian yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Perjanjian yang memenuhi syarat 86 87
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal. 54. Salim HS, op.cit, hal. 165.
97 yang ada dalam undang-undang diakui oleh hukum, sebaiknya perjanjian yang tidak memenuhi syarat tidak diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak yang yang membuat perjanjian. Istilah perjanjian juga dapat disamakan dengan kontrak. Sehubungan dengan definisi kontrak, Catherine Elliott dan Frances Quinn berpendapat bahwa “Normally a contract is formed whwn an effective acceptance has been communicated to be offeree”. 88 (Biasanya sebuah kontrak terbentuk ketika penerimaan efektif telah dikomunikasikan kepada pihak penerima penawaran). Suatu kuasa mutlak yang didahului oleh perjanjian pengikatan jual beli dalam praktek diakui keberadaannya dan merupakan produk hukum yang sah. Perjanjian pengikatan jual beli yang dimaksud adalah perjanjian jual beli yang lunas artinya tanah sudah dibayarkan secara keseluruhan sesuai kesepakatan para pihak sehingga penjual dalam hal ini akan membuatkan kuasa mutlak kepada pembeli untuk nantinya mewakili dirinya untuk bertindak dihadapan PPAT menandatangani akta jual beli. Tetapi kuasa mutlak yang berdiri sendiri tanpa mempunyai alas hak yang dimiliki oleh penerima kuasa maka kuasa tersebut adalah dilarang sesuai ketentuan Pasal 39 ayat (1) hurud d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Kuasa mutlak juga dilarang dalam ketentuan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 1982 tentang larangan penggunaan kuasa mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah. Meskipun suatu Instruksi Menteri merupakan suatu peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan tetap diakui 88
Chaterine Elliott and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason Education Limited, England, hal. 10.
98 keberadaannya karena secara terus menerus dipakai sebagai acuan untuk tidak menerima kuasa mutlak sebagai salah satu pemindahan hak atas tanah. Berdasarkan konsep kebatalan, pada keadaan tertentu dengan adanya cacat pada perbuatan hukum tersebut oleh undang-undang tidak memiliki akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut. PPAT yang menerima kuasa mutlak yang tanpa dasar hak atau tanpa bertalian dengan perjanjian ikatan jual beli tentu melanggar syarat sahnya perjanjian yang tercantum di dalam ketentuan Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata yang menyebutkan sebab yang halal atau tidak mentaati peraturan baik itu peraturan hukum, kesusilaan dan ketertibab umum yang telah ditetapkan. Dengan dilanggarnya syarat obyektif sahnya suatu perjanjian maka kuasa tersebut akan menjadi batal demi hukum (nietigbaarheid). Batal demi hukum karena kebatalannya disebabkan oleh Peraturan perundang-undangan dan dari awal perjanjian dianggap tidak pernah ada . Tidak menutup kemungkinan bagi pihak yang merasa dirugikan karena kuasa mutlak tersebut akan menuntut tindakan ganti rugi sebagaimana tertuang dalam Pasal 1365 KUHPerdata yaitu “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”. Dari pasal tersebut dapat diihat bahwa untuk mencapai suatu hasil yang baik dalam melakukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum maka harus dipenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur. Unsur-unsur tersebut diuraikan sebagai berikut :
99 1. Perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang. Dengan perkataan lain melawan hukum ditafsirkan sebagai melawan undang-undang. 2. Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara : a.
Obyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untu berbuat atau tidak berbuat.
b.
Subyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari perbuatannya. Orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat
dipertanggungjawaban atas perbuatannya. Orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi. Sehubungan dengan kesalahan terdapat dua kemungkinan : a.
Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang yang dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan sengaja.
b.
Kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka terhadap masing-
100 masing orang yang bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya. 3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Dalam pengertian bahwa kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa : a.
Kerugian materiil, dimana kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharunya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya diperoleh.
b.
Kerugian idiil, dimana perbuatan melawan hukum pun dapat menimbulkan kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Cara memecahkan hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, terdapat dua teori yaitu : a.
Condition sine qua non, dimana menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu bertanggung jawab jika perbuatannya condition sine qua non menimbulkan kerugian (yang dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat).
b.
Adequate veroorzaking, dimana menurut teori ini si pembuat hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya dapat diharapkan sebagai akibat dari pada perbuatan melawan hukum.
101 Terdapat hubungan causal jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum. Jadi secara singkat dapat diperinci sebagai berikut : 1.
Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ badan hukum, pertanggungjawabannya didasarkan pada Pasal 1364 KUHPerdata.
2.
Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang wakil badan hukum yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata.
3.
Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum, pertanggung jawabannya dapat dipilih antara Pasal 1365 dan Pasal 1367 KUHPerdata. Ukuran untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya
harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut, untuk itu pada azasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan atas kuasa mutlak yang diterima PPAT dalam proses pembuatan akta jual beli berhak menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang. 3.3 Proses Pelaksanaan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 oleh PPAT di Kabupaten Klungkung Pelaksanaan atau implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik. Biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dengan tujuan yang jelas. Implementasi adalah suatu rangkaian
102 aktifitas dalam rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Penelitian lebih mendalam tentang penggunaan kuasa mutlak telah dilakukan di Kabupaten Klungkung. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, PPAT terdiri dari PPAT yang merangkap jabatan sebagai seorang Notaris, PPAT yang merangkap jabatan sebagai Camat, dan PPAT dari pegawai Badan Pertanahan Nasional. Subyek yang dijadikan penelitian adalah PPAT yang sudah merangkap jabatan sebagai seorang Notaris bukan seorang Pegawai Badan Pertanahan Nasional atau seorang Camat. Di Kabupaten Klungkung yang terdiri dari 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Dawan, Kecamatan Banjarangkan, Kecamatan Semarapura dan Kecamatan Nusa Penida telah banyak terjadi jual beli tanah yang melibatkan profesi Notaris/PPAT. Berkaitan dengan itu pula menarik untuk diteliti mengenai pelaksanaan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 terhadap kinerja Notaris/PPAT yang berada di lingkup Kabupaten Klungkung. Tabel 3.1
Daftar PPAT di Kabupaten Klungkung Daftar Nama PPAT I Made Sudartana, SH.MSC.MBA Putu Puspajana, SH I Gusti Nyoman Rupini, SH Ida Ayu Kalpikawati, SH
103 Pd. Nym Anom Anggraeni, SH.MKn Fifi Ena Sofia, SH.MKn Suryani Lubis, SH.MKn I Wayan Regeg, SH.MKn Ika Ayuningtias, SH.MKn Ida Bagus Sidi Mantra, SH.MKn I.B.N Dharma Dewa Diputra, SH.MKn Wiwin Ponco Haryati, SH Ngakan Putu Rai, SH.MKn Ni Made Suryani, SH.MKn Sumber : www.kab-klungkung.bpn.go.id89 Penelitian dilakukan pada 3 (tiga) Kantor Notaris/PPAT di kabupaten Klungkung dan 1 (satu) Kantor Notaris/PPAT yang kasusmya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dari pengamatan yang dilakukan, ketika akan terjadi suatu peralihan hak atas tanah, tidak selalu jual beli berlangsung sesuai kebiasaan sebagaimana mestinya. Artinya para pihak tidak bertindak langsung dalam akta jual beli yang dibuat oleh PPAT. Ada beberapa kasus yang terjadi dimana para pihak bertindak berdasarkan perjanjian jual beli yang kemudian diikuti atau bertalian dengan kuasa mutlak yang diberikan oleh penjual kepada pembeli yang dibuat dihadapan Notaris, disaatnya nanti pihak pembeli akan bertindak sendiri
89
Badan Pertanahan Nasional, Daftar Nama PPAT di Kabupaten Klungkung, diakses pada tanggal 13 Oktober 2014, diunduh pada www.kabklungkung.bpn.go.id.
104 untuk menandatangai akta jual beli dihadapan PPAT yang bertindak untuk dan atas nama penjual dan bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Perjanjian pengikatan jual beli merupakan sebuah perjanjian pendahuluan, maka biasanya di dalam perjanjian pengikatan jual beli akan termuat suatu syaratsyarat didalam akta yang apabila keseluruhan ketentuan tersebut telah dipenuhi maka jual beli hak atas tanah yang disepakati dalam perjanjian pengikatan jualbeli
dapat
dilakukan.
Dalam
prakteknya,
seorang
Notaris/PPAT
akan
menyarankan untuk langsung dibuatkan kuasa menjual yang bersifat mutlak apabila para pihak telah melakukan pembayaran yang lunas dalam perjanjian pengikatan jual beli karena untuk melindungi kepentingan pembeli karena pembeli telah membayar lunas harga tanah yang disepakati meskipun ditandatangani akta jual beli dihadapan PPAT. Dengan demikian timbul hak dan kewajiban dari para pihak baik penerima kuasa maupun pemberi kuasa. Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, melarang adanya kuasa mutlak, karena kuasa mutlak pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah. Pemberian kuasa memiliki unsur sebagai suatu perjanjian, maka pemberian kuasa seperti halnya perjanjian menganut sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Pemberi maupun penerima kuasa berhak memperjanjikan apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Berkenaan dengan hal tersebut, Pasal 1814 KUHPerdata menyatakan bahwa : Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa si kuasa untuk
105 mengembalikan kuasa yang dipegangnya, yang berarti kuasa tetap dapat ditarik apabila ada alasan misalnya bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. Berdasarkan wawancara dengan Made Sudartana, Notaris/PPAT di Kabupaten Klungkung menjelaskan bahwa di dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli pada umumnya terdapat suatu pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Calon penjual memberikan kuasa kepada calon pembeli untuk melaksanakan jual beli dihadapan PPAT apabila syarat jual beli telah terpenuhi seluruhnya. Kuasa yang tidak dapat ditarik kembali tersebut adalah untuk melindungi kepentingan penerima kuasa yang menjadi tujuan diberikannya kuasa tersebut. Kuasa yang tidak dapat dicabut kembali karena merupakan kuasa yang berasal dari suatu perjanjian pokok adalah dibenarkan oleh hukum dan merupakan produk hukum yang sah yang diakui oleh Badan Pertanahan Nasional, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung sedangkan kuasa yang tidak bertalian dengan Perjanjian Ikatan Jual Beli tidak diperbolehkan karena tidak mempunyai alas hak (wawancara pada tanggal 23 Juni 2014). Kuasa yang demikian merupakan pengecualian dari ketentuan Pasal 1813 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa salah satu sebab berakhirnya kuasa adalah penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa. Selain, tidak dapat ditarik kembali kuasanya, di dalam perjanjian pengikatan jual beli juga diperjanjikan bahwa kuasa tidak akan berakhir walaupun pemberi kuasa meninggal dunia, di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit karena telah terjadi suatu peralihan hak dan pembayaran secara lunas dan produk hukum yang demikian adalah produk hukum yang sah. Para ahli waris pemberi kuasa tetap terikat dengan apa yang telah
106 diperjanjikan pemberi kuasa kepada penerima kuasa, apabila pembeli sebagai penerima kuasa yang meninggal maka kuasa akan berakhir. Oleh karena kuasa bersifat personlijk, maka kuasa tersebut tidak dapat langsung beralih kepada ahli waris penerima kuasa. Penerimaan kuasa mutlak terjadi di wilayah Kecamatan Nusa Penida, dalam hal PPAT menerima kuasa mutlak yang berisikan klausul tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa. Hal tersebut terjadi karena para pihak sebelumnya telah membuat perjanjian utang piutang dan karena debitur tidak dapat melunasi utangnya kepada kreditur, maka dengan keadaan terpaksa debitur memberikan kuasa mutlak dibawah tangan kepada kreditur agar tanahnya beralih kepada kreditur. Antara kreditur dan debitur pada mulanya membuat perjanjian sewa menyewa tanah yang sudah terjadi pada tanggal 10 Maret 2000 yang disaksikan oleh Bendesa Adat Ped, Kepala Desa Ped serta Camat Nusa Penida dan sewanya telah dibayar lunas. Pada saat sewa sedang berjalan, debitur meminjam unag kepada kreditur sejumlah Rp. 84.000.000,- (delapan puluh empat juta rupiah). Selanjutnya debitur tidak mampu membayar utangnya kepada kreditur sehingga debitur menjual tanah miliknya dengan kuasa menjual mutlak yang berisikan klausul tidak dapat ditarik kembali yang dibuat dibawah tangan yang disaksikan oleh Bendesa Adat Ped, Kepala Desa Ped serta Camat Nusa Penida.90 Ketika melakukan peralihan hak atas tanah di hadapan PPAT. PPAT menerima
90
Putusan Mahkamah Agung Nomor 990/K/Pdt/2012, diakses pada tanggal 20 Pebruari 2014, diunduh pada www.putusan.mahkamahagung.go.id juncto Putusan Pengadilan Negeri Semarapura Nomor 09/Pdt.G/2010/PN SP.
107 kuasa mutlak tersebut untuk membalik nama atas nama kreditur. Padahal kuasa tersebut kuasa yang tidak memiliki alas hak atau dasar yang dijadikan pedoman untuk peralihan hak atas tanah karena bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan bertentangan dengan asas itikad baik. Dalam hal lahirnya perjanjian yang sah, pernyataan kehendak harus merupakan perwujudan kehendak yang bebas, tanpa paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) atau penipuan (bedrog). Paksaan menurut KUHPerdata adalah suatu perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat dimana terhadap orang yang terancam karena paksaan tersebut timbul ketakutan baik terhadap dirinya maupun terhadap kekayaan dengan suatu kerugian yang terang dan nyata, sedangkan kehilafan dapat terjadi mengenai orang atau barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Penipuan dalam suatu perjanjian maksudnya adalah suatu tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak sehingga menyebabkan pihak lain dalam kontrak tersebut telah menandatangani kontrak itu, padahal tanpa tipu muslihat tersebut pihak lain itu tidak akan menandatangani kontrak yang bersangkutan. Kasus kuasa mutlak yang diterima PPAT yang terjadi di Nusa Penida ini termasuk dalam paksaan (dwang) karena debitur terpaksa mengalihkan hak atas tanahnya karena tekanan tidak dapat membayar utangnya kepada kreditur. itikad baik merupakan landasan dalam melaksanakan perjanjian dengan sebaik baiknya dan semestinya. PPAT menerima kuasa menjual yang tidak didasarkan pada perjanjian ikatan jual beli. Kuasa yang berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian ikatan jual beli
108 sebagai perjanjian pendahuluan dapat dikatakan sebagai kuasa mutlak yang tidak diperkenankan untuk dijadikan dasar dalam peralihan hak atas tanah. Hal tersebut dikarenakan penerima kuasa tidak mempunyai dasar hak untuk melakukan peralihan hak kepada orang lain karena kuasa tersebut memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya. Misalnya penjual memberikan kuasa menjual kepada orang lain untuk mengalihkan hak atas tanahnya karena penjual berada di luar kota dan tidak dapat melaksanakan peralihan hak dihadapan PPAT. Hal ini tidaklah diperbolehkan oleh instansi-instansi seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung. Berdasarkan wawancara dengan beberapa staf Notaris/PPAT, kuasa menjual yang berdiri sendiri tanpa bertalian dengan pengikatan perjanjian pendahuluan sempat dapat dipergunakan dan diterima oleh instansi kantor Pertanahan. Apabila penjal tidak dapat menandatangani akta jual beli di hadapan PPAT di daerah kabupaten/kota tempat lokasi berada karena berada di luar kabupaten/kota, maka penjual dapat memberikan kuasa menjual kepada pihak ketiga untuk menjual tanahnya (wawancara pada tanggal 23 Juni 2014) Kuasa demikian sebenarnya tidak diperbolehkan dan seharusnya tidak dapat diterima oleh kantor Pertanahan karena apabila dikemudian hari terdapat masalah maka pihak PPAT dan Kantor Pertanahan dapat menjadi turut tergugat. Berdasarkan wawancara dengan Henny Trimira Handayani, Ketua Pengadilan Negeri Semarapura, dalam kasus ini ada hal itikad tidak baik dari
109 salah satu pihak. Itikad baik menjadi salah satu instrument hukum untuk membatasi kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki tiga fungsi yaitu fungsi yang pertama semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan. Selanjutnya Henny Trimira Handayani
menyebutkan
faktor-faktor
yang
menyebabkan
terjadinya
penyimpangan yang dilakukan oleh Notaris/PPAT adalah karena persaingan diantara Notaris/PPAT untuk mendapatkan klien karena tidak dipungkiri jumlah Notaris/PPAT pada saat ini sudah cukup banyak. Jarak Notaris/PPAT yang terlampau dekat (wawancara pada tanggal 26 Juni 2014). Implementasi Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dapat dikaitkan dengan teori dari Seidmen. Teori ini dapat dijelaskan dari bagan dibawah ini :
umpan balik
Pembuat UU
umpan balik UU
Lembaga Pelaksana/Penerap sanksi
PPAT
Langkah-lah hukum
umpan balik
110 Berdasarkan Teori efektifitas hukum, Proses pelaksanaan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tidak berjalan secara efektif karena terdapat berbagai bentuk penyimpangan-penyimpangan. Berdasarkan pendapat Chambliss dan Seidmen, Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan (role occupant) yaitu PPAT itu diharapkan bertindak. Bagaimana PPAT itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum yang merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya. Efektifitas undang-undang bukan hanya tujuan dari undang-undang saja melainkan diperlukan syarat-syarat lain agar diperoleh hasil yang lebih baik, seperti mempertimbangkan tingkat kesadaran pelaku yang dalam hal ini adalah PPAT di kabupaten Klungkung. Indikator kesadaran hukum yang harus dipenuhi adalah yaitu : a. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness), PPAT harus mengetahui norma yang telah terbentuk untuk mengatur kewenangan PPAT dalam membuat akta pertanahan. b. Pengetahuan tentang isi peraturan hukum (law acquitance) c. Perilaku hukum (legal behaviour).91 Perilaku hukum dari pribadi PPAT sangat mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat. Membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu
91
Amirudin dan Zainal Asikin, op.cit, hal. 138.
111 bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun. Dalam sistem hukum mengenai budaya atau kultur hukum yaitu terkait dengan opini-opini, kepercayaankepercayaan, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak baik dari PPAT tentang hukum dan berbagai fenomena tentang hukum, efektifitas hukum dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 hanya dapat terlaksana dengan baik, manakala budaya hukum dari PPAT itu selalu menjunjung tinggi hukum. Berbicara tentang efektifitas hukum dibicarakan pula tentang validitas hukum yaitu norma-norma hukum itu mengikat. Dalam hal ini PPAT harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum, bahwa PPAT harus mematuhi dan menerapkan norma-norma hukum. Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat. Bahwa norma-norma tersebut benar-benar dilaksanakan dan dipatuhi. Beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh PPAT menyebabkan hukum tidak berjalan efektif. Menyusun suatu konsep bekerjanya hukum atau efektifitas hukum di dalam masyarakat terkait ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997, dalam hal ini keberhasilan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari budaya hukum dari PPAT. Friedman membedakan budaya hukum menjadi dua, yaitu external legal culture (budaya hukum eksternal) dan internal legal culture (budaya hukum internal), dimana Friedman menyatakan : “the external legal culture is the legal culture of
112 the general population. Member. The internal legal culture is legal
culture of
those members of society who perform specialized legal task”.92 (budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat secara umum. Budaya hukum internal adalah budaya hukum mereka yang menjalankan tugas hukum yang khusus). PPAT adalah pejabat umum yang diberikan tugas khusus untuk membuat akta otentik di bidang pertanahan. Budaya hukum internal dari PPAT harus lebih ditingkatkan dalam menegakkan suatu aturan hukum sehingga hukum yang dibentuk oleh pemerintah dapat berjalan dengan baik dan efektif serta PPAT dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi para pihak yang datang kepadanya.
92
L.M Friedman, 1969, The Legal System A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, hal. 14.
113 BAB IV TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM MENJALANKAN TUGASNYA SEBAGAI PEJABAT YANG MEMBUAT AKTA TANAH TERKAIT AKTA JUAL BELI BERDASARKAN KUASA MUTLAK
4.1 Tanggung Jawab PPAT Yang Menerima Kuasa Mutlak Sebagai Dasar Peralihan Hak Atas Tanah Perjanjian pengikatan jual beli merupakan sebuah perjanjian pendahuluan, maka biasanya di dalam perjanjian pengikatan jual beli akan termuat suatu syaratsyarat didalam akta yang apabila keseluruhan ketentuan tersebut telah dipenuhi maka jual beli hak atas tanah yang disepakati dalam perjanjian pengikatan jualbeli
dapat
dilakukan.
Dalam
prakteknya,
seorang
Notaris/PPAT
akan
menyarankan untuk langsung dibuatkan kuasa menjual apabila para pihak telah melakukan pembayaran yang lunas dalam perjanjian pengikatan jual beli. Sehingga timbul hak dan kewajiban dari para pihak baik penerima kuasa maupun pemberi kuasa. Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah melarang adanya kuasa mutlak karena kuasa mutlak pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah. Pemberian kuasa memiliki unsur sebagai suatu perjanjian, maka pemberian kuasa seperti halnya perjanjian menganut sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.
113
114 Pemberi maupun penerima kuasa berhak memperjanjikan apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Berkenaan dengan hal tersebut, Pasal 1814 KUHPerdata menyatakan bahwa : Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa si kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya, yang berarti kuasa tetap dapat ditarik apabila ada alasan misalnya bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. Namun jika tidak, maka kuasa mutlak tetap diakui keberadaannya. Di dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli pada umumnya terdapat suatu pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Calon penjual memberikan kuasa kepada calon pembeli untuk melaksanakan jual beli dihadapan PPAT apabila syarat jual beli telah terpenuhi seluruhnya. Kuasa yang tidak dapat ditarik kembali tersebut adalah untuk melindungi kepentingan penerima kuasa yang menjadi tujuan diberikannya kuasa tersebut. Kuasa yang tidak dapat dicabut kembali karena merupakan kuasa yang berasal dari suatu perjanjian pokok. Kuasa yang demikian merupakan pengecualian dari ketentuan 1813 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa salah satu sebab berakhirnya kuasa adalah penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa. Selain tidak dapat ditarik kembali kuasanya, di dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli juga diperjanjikan bahwa kuasa tidak akan berakhir walaupun pemberi kuasa meninggal dunia, di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit. Para ahli waris pemberi kuasa tetap terikat dengan apa yang telah diperjanjikan pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Apabila pembeli sebagai penerima kuasa yang meninggal maka kuasa akan berakhir oleh karena kuasa bersifat personlijk, maka kuasa tersebut tidak dapat langsung beralih kepada ahli waris penerima kuasa.
115 Kuasa mutlak yang didahului oleh perjanjian ikatan jual beli yang dibuat dihadapan Notaris merupakan kuasa yang memiliki alas hak karena pada saat perjanjian ikatan jual beli telah terjadi unsur terang dan tunai dalam hal penjual telah membayar harga yang telah disepakati dan pembeli telah menerima tanahnya, sehingga kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali dan nantinya pembeli berdasarkan kuasa tersebut akan berhadapan dengan PPAT untuk membalik nama ke atas nama dirinya sendiri bukan kepada orang lain. Kuasa tersebut adalah suatu kuasa mutlak yang tidak identik dengan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997. Kuasa tersebut juga diakui keberadaannya oleh instansi pemerintah seperti Badan Pertanahan nasional, Mahkamah Agung, maupun Instansi terkait. Tanggung
jawab
akan
timbul
apabila
ada
kesalahan
ataupun
penyimpangan-penyimpangan yang menyebabkan kerugian oleh PPAT sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik. Jika PPAT menerima kuasa mutlak yang bertalian dengan perjanjian ikatan jual beli sebagai dasar untuk melakukan peralihan hak atas tanah jual beli, PPAT tersebut telah melakukan perbuatan yang benar yang telah diamanatkan peraturan-perundangan dan tidak melanggar hukum dan kuasa tersebut adalah produk hukum yang sah. PPAT itu sendiri akan dibebaskan dari pertanggungjawaban perdata maupun tanggung jawab etika (moral). Apabila PPAT menerima kuasa mutlak yang tidak didasari oleh perjanjian ikatan jual beli dan dalam kuasa tersebut terdapat klausul tidak dapat ditarik kembali maka hal tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997.
116 Sebagai pejabat umum PPAT hendaknya dalam melakukan profesinya harus memiliki perilaku profesional dan ikut serta dalam pembangunan nasional khususnya di bidang hukum.
93
Unsur-unsur perilaku profesionalisme yang
dimaksud adalah bahwa PPAT harus mempunyai keahlian yang didukung dengan pengetahuan dan pengalaman yang tinggi. Dalam pelaksanaan tugasnya selalu dilandasi dengan pertimbangan moral yang diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, nilai-nilai sopan santun dan agama yang berlaku juga harus jujur tidak saja kepada pihak kedua atau pihak ketiga tetapi juga pada dirinya sendiri. PPAT juga tidak boleh didorong oleh pertimbangan keuntungan dalam arti sebagai pejabat umum harus bersifat sosial dan tidak bersikap diskriminatif dengan membedakan antara orang yang mampu dan tidak tidak mampu, untuk itu ia harus memegang teguh etika profesi dalam pelaksanaan tugas profesi yang baik, karena dalam kode etik profesi itulah disebutkan segala perilaku yang harus dimiliki oleh seorang PPAT. Dalam bab VIII Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang mengatur mengatur mengenai sanksi menyatakan bahwa : PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan. Tanggung jawab PPAT secara perdata atas akta yang dibuatnya yaitu jual beli berdasarkan kuasa mutlak, dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap 93
Supriadi, 2006, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 30.
117 kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun pasif. Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu pebuatan tidak saja melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut : 1. Melanggar hak orang lain; 2. Bertentangan dengan aturan hukum; 3. Bertentangan dengan kesusilaan; 4. Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selain tangggung jawab perdata, PPAT dapat dikenakan tanggung jawab etika. Dalam Pasal 1 angka 2 Kode Etik Profesi PPAT, menyatakan bahwa Kode Etik PPAT dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan berdasarkan keputusan kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan Ikatan PPAT dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai PPAT, termasuk di dalamnya para PPAT Pengganti.
118 Kode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana seseorang sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi.94 Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi : 1. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dia lakukan dan yang tidak boleh dilakukan. 2. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi
yang
bersangkutan.
dapat memberikan
suatu
dapat memahami
arti
Maksudnya
pengetahuan pentingnya
kepada suatu
bahwa
etika
masyarakat profesi,
profesi
agar
juga
sehingga
memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan. 3. Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa
para pelaksana profesi
pada suatu instansi
atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan. Etika profesi merupakan bidang etika khusus atau terapan yang merupakan produk dari etika sosial. Cakupan etika profesi menurut penulis sangat tidak terbatas dalam berbagai macam bidang pekerjaan. Setiap pekerjaan pasti
94
Surna, 2002, Etika Profesi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 13.
119 berinteraksi dengan orang lain, maka dari itu dibutuhkan etika profesi, etika profesi kepada atasan atau etika profesi sesama karyawan.95 Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa etika profesi dalah keterampilan seseorang dalam suatu pekerjaan utama yang diperoleh dari jalur pendidikan atau pengalaman dan dilaksanakan secara kontinu yang merupakan sumber utama untuk mencari nafkah. Etika profesi merupakan standar moral untuk profesional yaitu mampu memberikan sebuah keputusan secara obyektif bukan subyektif, berani bertanggung jawab semua tindakan dan keputusan yang telah diambil, dan memiliki keahlian serta kemampuan. Terdapat beberapa tujuan mempelajari kode etik profesi adalah sebagai berikut : 1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi. 2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota. 3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi. 4. Untuk meningkatkan mutu profesi. 5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi. 6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi. 7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat. 8. Menentukan baku standarnya sendiri
95
Ibid, hal. 16.
120 Etika profesi berfungsi sebagai mekanisme yang dilakukan organisasi untuk mengontrol perbuatan anggotanya dan mengoreksi apabila perbuatan anggota tersebut dipandang kurang etis. 96 Etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Etika merupakan sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.97 Etika merupakan suatu studi moralitas. Kita dapat mendefinisikan moralitas sebagai pedoman atau standar bagi individu atau masyarakat tentang tindakan benar dan salah atau baik dan buruk. Dengan perkataan lain bahwa moralitas merupakan standar atau pedoman bagi individu atau kelompok dalam menjalankan aktivitasnya. Dengan demikian dapat diketahui bagaimana perilaku salah dan benar atau baik dan buruk itu. Standar dan pedoman itu dapat dipakai sebagai landasan untuk mengukur perilaku benar atau salah, baik dan buruk atas perilaku orang atau kelompok orang di dalam interaksinya dengan orang lain atau lingkungan dan masyarakat.98
96
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, Jati Diri Notaris Indonesia, Gramedia, Jakarta, hal.196. 97 K. Bertens, 2004, Etika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.6. 98 Cicih Sutarsih, 2009, Etika Profesi, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Jakarta, hal.17.
121 Bila merujuk pada kekhasan etika profesi hukum, maka kekhasan etika profesi hukum adalah wilayah kerja penyandang profesi ini sarat akan implikasiimplikasi etis. Profesi hukum adalah profesi yang eksis untuk melayani anggota masyarakat ketika masyarakat berhadapan langsung dengan suatu otoritas kekuasaan.99 Kode etik ini umumnya memberikan petunjuk-petunjuk kepada para anggotanya untuk berpraktek dalam profesi, khususnya menyangkut bidangbidang sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Hubungan klien dan tenaga ahli dalam profesi; Pengukuran dan standar evaluasi yang dipakai dalam profesi; Penelitian dan publikasi /penerbitan profesi; Konsultasi dari praktek pribadi; Tingkat kemampuan /kompetensi yang umum; Administrasi personalia; Standar-standar untuk pelatihan.100 Sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik, PPAT bertanggung
jawab atas akta yang dibuatnya jika dikemudian hari terjadi sengketa berkaitan dengan akta tersebut. Tanggung jawab PPAT dalam pembuktian perkara pidana di persidangan dapat terjadi manakala akta tersebut menjadi permasalahan sehingga mewajibkan PPAT tersebut memberikan keterangan dan kesaksiannya berkaitan dengan aspek formil maupun materiil akta. Berdasarkan Teori fautes personalles yang dikemukakan oleh Kranenburg dan Vegtig memberikan pendapatnya mengenai pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat
99
Shidarta, loc.cit. Suhrawardi K. Lubis, 2000, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
100
hal. 13.
122 yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. 101 Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. Dalam hal ini PPAT yang melakukan kesalahan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi karena PPAT tidak bernaung di instansi pemerintahan atau berada dibawah subordinasi instansi yang mengangkatnya. Profesi PPAT menjadi satu dengan pribadi PPAT itu sendiri. Tanggung jawab PPAT dalam hal ini dapat dilihat dari : 1. Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability). Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Kesalahan tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dan ketertiban dalam masyarakat. PPAT yang melaksanakan jual beli dengan kuasa mutlak yang identik dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 ayat (1) hurud d dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata ke wilayah hukumnya berdasarkan unsur kesalahan yang mengakibatkan suatu kerugian bagi salah satu pihak. 2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. 102 Beban pembuktiannya ada pada tergugat yang biasa disebut beban pembuktian terbalik. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk 101 102
Ridwan H.R, loc.cit. E. Sumaryono, loc.cit.
123 membuktikan kesalahan itu ada pada PPAT yang seandainya digugat atas kesalahannya dalam membuat akta peralihan hak. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tanggung jawab (responsibility) merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Tanggung jawab dalam arti hukum adalah tanggung jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan dalam arti tanggung jawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya. Dalam memberikan pelayanannya, PPAT bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. 4.2 Pengawasan dan Pembinaan PPAT Dalam Menjalankan Jabatannnya Oleh BPN dan IPPAT PPAT sebagai pejabat yang mempunyai kewenangan dalam membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar untuk pendaftaran haknya merupakan salah satu bagian penting dalam rangkaian pendaftaran tanah. Oleh karena itu Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, melalui Kepala Kantor diberikan tugas dan kewenangan untuk melakukan Pembinaan dan Pengawasan terhadap Tugas dan Kewajiban PPAT.
124 Pengawasan merupakan tindakan untuk mengendalikan suatu kegiatan yang sudah direncanakan, bisa dilihat kegiatan yang sudah direncanakan tersebut sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan atau sebaliknya. Apabila terjadi pelanggaran, pihak yang berwenang sebagai controlling (pengawas) berkewajiban memberikan pengarahan agar sistem kerja tidak menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Pengawasan yang lebih teliti dari pengawas, baik internal maupun eksternal terhadap PPAT yang melakukan penyimpangan-penyimpangan diperlukan untuk memperbaiki kinerja dari PPAT agar kedepannnya dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak yang menghadap kepadanya. Pihak-Pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap PPAT dalam melaksanakan jabatannya adalah Badan Pertanahan Nasional dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Adapun peranan Badan Pertanahan Nasional dalam hal ini adalah memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan peranan IPPAT dalam hal ini adalah memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan Kode Etik PPAT. Pengawasan yang dilakukan oleh Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya terhadap PPAT yang menjadi anggota IPPAT saja dan berimplikasi terhadap pemberian sanksi. Apabila PPAT tersebut diketahui melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik PPAT, maka akan langsung diperiksa dan apabila
125 terbukti melanggar Kode Etik PPAT, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukannya. Berdasarkan wawancara dengan Made Widiantara salah seorang Staf Notaris/PPAT yang mengatakan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh BPN dan IPPAT memang selalu berkelanjutan setiap tahunnya, tetapi ketika terjadi pemeriksaan pun tidak semua diperiksa secara detail. Biasanya yang diperiksa adalah buku daftar PPAT yang ditulis sampai tanggal pemeriksaan dan untuk minuta hanya dilihat apakah tahun yang bersangkutan sampai terjadinya pemeriksaan telah dijilid atau belum. Pemeriksaan tidak sampai detail melihat isi akta seperti yang dimanatkan peraturan perundang-undangan. (wawancara pada tanggal 26 Juni 2014). Hal itu yang menyebabkan masih terjadi penyimpangan dalam prakteknya. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap minuta akta, Badan Pertanahan Nasional memang memerlukan waktu yang cukup lama untuk memerika isi akta PPAT apakah telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan atau tidak. Cara yang paling mudah untuk mengeceknya adalah ketika pendaftaran akta PPAT ke kantor pertanahan. Maka apabila ditemukan penyimpangan penyimpangan dalam pembuatan akta PPAT maka sebaiknya akta tersebut ditolak oleh Kantor Pertanahan untuk menghindari adanya konflik dikemudian hari. Dalam rangka melaksanakan tugas pembuatan akta otentik atas 8 (delapan) jenis perbuatan-perbuatan hukum yang merupakan bagian daripada kegiatan pendaftaran tanah, didalam ketentuan Pasal 54 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2006 menentukan kewajiban yang harus
126 dilakukan PPAT pada saat pembuatan akta yang wajib harus dipenuhi oleh PPAT. Sebelum pembuatan akta atas 8 jenis perbuatan hukum, PPAT wajib melakukan pengecekan atau pemeriksaan keabsahan sertifikat dan catatan lain pada kantor pertanahan setempat dan menjelaskan maksud dan tujuannya. PPAT berwenang menolak pembuatan akta yang tidak didasari data formil. Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 66 ayat (3) peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional ini pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai berikut : 1. Membantu menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pertanahan serta petunjuk tehnis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan; 2. Memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan tercara tertulis kepada PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya; 3. Melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional PPAT. Dalam
pelaksanaan
tugasnya
selaku
PPAT/Notaris,
maka
segala
tindakannya yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajibannya dalam pembuatan akta PPAT akan diawasi oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat, termasuk pemeriksaan terhadap pembuatan akta, pengadaan dan pengisian protokol serta pelaksanaan segala kewajiban yang telah ditentukan. Sebelum melaksanakan tugas sebagai PPAT, hendaknya berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kantor Pertanahan.
127 PPAT harus mempunyai wawasan yang luas berkaitan dengan jabatannya sehingga dapat menjalankan tugas dengan baik, maka perlu ada pembinaan dan pengawasan terhadap mereka. Hal itu telah diatur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 68 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, yakni sebagai berikut : Pasal 65 menyebutkan bahwa : (1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas PPAT dilakukan oleh Kepala Badan. (2) Pembinaan dan pengawasan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaannya oleh kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan. Pasal 66 menyebutkan bahwa : (1) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Badan sebagai berikut : a.
Memberikan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas jabatan PPAT;
b.
Memberikan arahan pada semua pemangku kepentingan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an;
c.
Melakukan, pembinaan dan pengawasan atas organisasi profesi PPAT agar tetap berjalan sesuai dengan arah dan tujuannya;
d.
Menjalankan
tindakan-tindakan
lain
yang
dianggap
perlu
untuk
memastikan pelayanan PPAT tetap berjalan sebagaimana mestinya; e.
Melakukan pemninaan dan pengawasan terhadap PPAT dan PPAT Sementara dalam rangka menjalankan kode etik profesi PPAT.
128 (2) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor sebagai berikut: a.
Menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.
Membantu melakukan sosialisasi, diseminasi kebijakan dan peraturan pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis;
c.
Secara periodik melakukan pengawasan Kantor PPAT guna memastikan ketertiban administrasi, pelaksanaan tugas dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ke-PPAT-an.
(3) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai berikut : a.
Membantu menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan;
b.
Memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan secara tertulis kepada PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya;
c.
Melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional PPAT. Berdasarkan Pasal 7 Kode Etik IPPAT berkaitan dengan bahwa
pengawasan atas pelaksanaan kode etik. Pengawasan ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :
129 1. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah IPPAT dan Majelis Kehormatan Daerah bersama-sama dengan pengurus cabang dan seluruh anggota; 2. Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat IPPAT dan Majelis Kehormatan Pusat. Dalam Kode Etik PPAT ditegaskan bahwa Pengurus Pusat adalah Pengurus Perkumpulan/Organisasi IPPAT pada tingkat Nasional
yang mempunyai tugas,
kewajiban serta kewenangan untuk mewakili dan bertindak atas nama Perkumpulan, baik diluar maupun di muka Pengadilan.
Pengurus Wilayah adalah Pengurus
Perkumpulan IPPAT pada tingkat wilayah yang meliputi wilayah kepengurusan tempat kedudukan dan/atau tempat tinggal anggota Perkumpulan. Pengurus Daerah adalah Pengurus Perkumpulan PPAT pada tingkat Daerah yang meliputi wilayah kepengurusan tempat kedudukan dan/atau tempat tinggal anggota Perkumpulan. Majelis Kehormatan adalah suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan dalam Perkumpulan IPPAT yang mempunyai tugas dan/atau kewajiban untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan penertiban maupun pembenahan, serta mempunyai kewenangan untuk memanggil, memeriksa dan menjatuhkan putusan, sanksi atau hukuman kepada seseorang anggota Perkumpulan yang melakukan pelanggaran Kode Etik. Majelis Kehormatan Pusat adalah Majelis Kehormatan pada tingkat nasional dari Perkumpulan IPPAT yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengawasan, penertiban dan pembenahan,
demikian pula untuk memeriksa, memutus dan menjatuhkan sanksi atau hukuman kepada anggota Perkumpulan pada tingkat banding dan terakhir serta bersifat final.
130 Dengan Pengawasan dan Pembinaan secara rutin dan teratur diharapkan tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan PPAT itu sendiri tersandung masalah dikemudian hari. PPAT juga akan lebih hati-hati dalam membuat akta yang memberikan suatu kepastian hukum bagi para pihak yang menghadap kepadanya. 4.3 Sanksi Bagi PPAT Yang Melanggar Peraturan Jabatan PPAT berfungsi dan bertanggung jawab membuat akta yang dapat dipakai sebagai dasar yang kuat bagi pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak. PPAT bertanggung jawab terhadap terpenuhinya unsur kecakapan dan kewenangan penghadap dalam akta dan keabsahan perbuatan haknya sesuai data dan keterangan yang disampaikan kepada para penghadap yang datang kepadanya serta dikenal atau diperkenalkan. PPAT bertanggung jawab dokumen yang dipakai dasar melakukan tindakan hukum kekuatan dan pembuktiannya telah memenuhi jaminan kepastian untuk ditindaklanjuti dalam akta otentik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan PPAT bertanggung jawab sahnya perbuatan hukum sesuai data keterangan para penghadap serta menjamin otensitas akta dan bertanggung jawab bahwa perbuatannya sesuai prosedur. Seperti yang dikutip dalam harian SatuNews.com yang dimuat pada tanggal 22 Juni 2014 Ketua Umum Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Sri Rachma Chatindrawati meminta para PPAT di seluruh Indonesia untuk mematuhi aturan dan menjalankan jabatannya sesuai kode etik profesi yang berlaku. Organisasi ini tidak menginginkan seorang berbuat salah, maka PPAT
131 yang lain kena getahnya pula, sehingga memperburuk citra PPAT di masyarakat dan akhirnya timbul sikap kurang percaya pada lembaga ini. IPPAT tidak akan segan-segan memberikan sanksi kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang melakukan kesalahan dalam membuat akta tanah. Sri meminta para PPAT di seluruh Indonesia untuk mematuhi dan menjalankan jabatannya sesuai kode etik profesi yang berlaku. Ia yakin apabila PPAT mengacu pada kode etik profesi, maka akan bermanfaat untuk kepentingan bangsa dan negara. Sementara itu Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia, Gede Ari Yudha menegaskan pihaknya akan memberhentikan para pejabat PPAT yang melakukan kesalahan dalam pembuatan akta tanah di Tanah Air. Menurut Gede, PPAT diberikan kewenangan oleh BPN untuk membuat akta tanah, sehingga sebagian kewenangan
yang
diberikan
BPN
RI
pada
PPAT
hendaknya
dapat
dipertanggungjawabkan secara teknis dan yuridis. PPAT diminta dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat, dan PPAT diangkat dan diberhentikan oleh BPN RI dalam melaksanakan tugasnya, dan tugas yang diemban merupakan tugas negara dalam pendaftaran tanah.103 Bila dikaitkan dengan penggunaan kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah khususnya jual beli tanah maka berdasarkan Bab VIII Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang mengatur mengatur mengenai sanksi. Sanksi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
103
Seminar PPAT, diakses pada tanggal 25 Juni 2014, diunduh pada www.satunews.com.
132 PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut. Sanksi mengandung inti berupa suatu ancaman pidana dan mempunyai tugas agar norma yang telah ditetapkan dalam hukum dan undang-undang ditaati sebagai akibat hukum atas pelanggaran norma.104 Sanksi adalah hukuman sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin anggota Perkumpulan dalam menegakkan Kode Etik ini, dalam bentuk atau berupa antara lain teguran lisan maupun tertulis, peringatan, schorsing (pemecatan sementara) serta pemecatan dari keanggotaan (ontzetting) atau pemberhentian dari keanggotaan secara tidak hormat. Perihal sanksi hukum terhadap PPAT lebih tegas digambarkan dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 yang menyata bahwa PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT. Pasal 28 ayat (2) menyebutkan bahwa PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena : a. Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT dijatuhi hukuman kurungan penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan 104
Hambali Thalib, 2009, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 11.
133 b. Melanggar Kode Etik Profesi. Pasal 6 ayat (1) Kode Etik IPPAT menjelaskan bahwa sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara dari keanggotaan IPPAT, onzetting (pemecatan dari keanggotaan IPPAT), pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT. Pasal 6 ayat (2) menjelaskan penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai diatas terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik disesuaikan dengan kuantitias dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.
134 BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Berdasarkan uraian pembahasan bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa : 5.1.1 Implementasi ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dalam praktek pembuatan akta jual beli oleh PPAT di Kabupaten Klungkung tidak berjalan secara efektif karena terjadi penyimpangan terkait jual beli dengan kuasa mutlak diantaranya PPAT menerima kuasa mutlak yang dibuat dibawah tangan yang berisikan klausul tidak dapat ditarik kembali karena dilatarbelakangi oleh perjanjian utang piutang. PPAT yang menerima kuasa yang berdiri sendiri tanpa bertalian dengan perjanjian ikatan jual beli, meskipun di dalam klausul tidak terdapat ketentuan tidak dapat ditarik kembali tetapi kuasa tersebut tidak mempunyai dasar hak. 5.1.2. Tanggung jawab PPAT dalam menjalankan wewenangnya sebagai pejabat yang membuat akta pertanahan terkait akta jual beli dengan kuasa mutlak yang tidak bertalian dengan perjanjian ikatan jual beli dan dengan klausul tidak dapat ditarik kembali adalah tanggung jawab perdata dan moral. Berdasarkan teori fautes personalles PPAT bertanggungjawab secara pribadi berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) karena PPAT tidak berada dibawah subordinasi instansi yang mengangkatnya. Pihak 134
135 yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan secara perdata ke wilayah hukumnya serta melapor ke Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah di wilayah jabatan PPAT yang bersangkutan. 5.2 Saran Adapun saran yang dapat diberikan terkait permasalahan yang dikaji adalah sebagai berikut : 5.2.1
Seyogyanya PPAT dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik terkait larangan jual beli dengan kuasa mutlak mematuhi substansial dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 khususnya Pasal 39 ayat (1) huruf d sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang datang menghadap kepadanya.
5.2.2
Diharapkan untuk PPAT, untuk memberikan kepastian hukum terkait akta yang dibuatnya maka bersedia bertanggung jawab baik perdata maupun moral dalam kode etik PPAT serta Majelis Pengawas hendaknya dapat lebih maksimal menjalankan tugas dan fungsinya baik dalam hal pembinaan misalnya dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada PPAT sebagai upaya preventif maupun tindakan pengawasan yaitu dengan memberikan sanksi kepada PPAT yang benar-benar telah menyimpang dari Peraturan Jabatan PPAT maupun kode etik profesi sehingga penyimpangan terhadap praktek pembuatan akta jual beli oleh PPAT dapat dihindarkan.
136 DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU Adjie, Habib, 2009, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung. ______, 2011, Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris dan PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung. Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Andasasmita, Komar, 1990, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, Ikatan Notaris Indonesia. , 2001, Notaris Selayang Pandang, Cet. 2, Alumni, Bandung. Andreae, S.J Fockema, 1990, Rechtsgeleerd Handwoorddenboek, diterjemahkan oleh Walter siregar, NV Gronogen, Jakarta. Artadi, I Ketut dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar. Arto, Mukti, 2010, Praktek Perkara Perdata dalam Peradilan Agama, Citra Aditya Bakti, Bandung. Bertens, K., 2004, Etika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Budiono, Herlien, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Cetakan Kedua, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Djojodirdjo, Moegni, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Elliot, Chaterine and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason Education Limited, England. Fletcher, George P, 1998, Basic Concepts of Criminal Law, Oxford University Press, New York. Friedman, L.M, 1969, The Legal System A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York.
135
137 Fuady, Munir, 1999, Hukum Kontrak (dari sudut pandang hukum bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung. Harsono, Boedi, 1997, Sejarah Pembentukan Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Hart, H.L.A, 1998, The Concept of Law, Claredon Press, Oxford. Hernoko, Agus Yudha, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Khairandy, Ridwan, 2003, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Kie, Tan Thong, 2007, Studi Notariat dan Serba Serbi dalam Praktek Notaris, Ichtiar Van Hoeve, Jakarta. Lubis, Suhrawardi K, 2000, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 2009, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Miru, Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2004, Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group. Nasution, Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV Mandar Maju, Bandung. Pasaribu, H. Chairuman dan Suhrawadi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta. Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, Jati Diri Notaris Indonesia, Gramedia, Jakarta. Perangin, Effendi, 1989, Hukum Agraria di Indonesia suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta. _______, 1990, Mencegah Sengketa Tanah, Rajawali, Jakarta. _______, 2000, Hukum Agraria di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Prodjodikoro, R. Wirjono, 2000, Perbuatan Melanggar hukum Dipandang dari Sudut Hukum Perdata, Mandar Maju, Bandung.
138
Ridwan H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Salim H.S, 2008, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta. Sangsun, Florianus, S.P, 2008, Tata Cara Mengurus Sertipikat Tanah, Visimedia, Jakarta Setiawan, Rachmat, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Bandung. Shidarta, 2009, Moralitas Profesi Hukum, Refika Aditama, Bandung. Situmorang, Viktor M. dan Sitanggang, Cormentya, 2004, Grosse Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta. Soedjendro, J. Kartini, 2001, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta. Soegondo, R, 1991, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. _______, 2010, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soemitro, Rony Hatnijo, 1998, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. Soeprapto, J, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta. Soeroso, R, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. ________, 2010, Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Suharmoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Suherman, E, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan Cetakan II, Alumni, Bandung. Sumaryono, E, 1995, Etika Profesi Hukum : Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisvis, Yogyakarta, hal. 147.
139 Sunggono, Bambang, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. Surna, 2002, Etika Profesi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sutarsih, Cicih, 2009, Etika Profesi, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2007, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta. Suyatno, Bagong dan Sutinah, 2011, Metode Penelitian Social, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Syahrani, Riduan, 2000, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni Bandung. Thalib, Hambali, 2009, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Thamrin, H. Husni, 2010, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Laksbang Pressindo, Yogyakarta. Triwulan, Titik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta. Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. Westervelt, Saundra Davis, 1999, Shifting The Blame, Rutgers University Press, London. Yudara, N.G 2005, Pokok-Pokok Pikiran dan fungsi Notaris Serta Akta Notaris Menurut Sistem Hukum di Indonesia, Majelis Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia, Jawa Timur. II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).
140 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696). Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746). Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 14 tahun 1982 tentang larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.
III. WEBSITE Putusan Mahkamah Agung Nomor 990/K/Pdt/2012, diakses pada tanggal 20 Pebruari 2014, diunduh pada www.putusan.mahkamahagung.go.id. Seminar PPAT, diakses pada www.satunews.com.
tanggal
25
Juni
2014,
diunduh
pada