PEMERINTAH KABUPATEN BUTON SEKRETARIAT DAERAH
Jalan Balai Kota Nomor 1 Pasarwajo 93754 Telepon (0204) 2810309 Faxmile (0402) 2821221 PROGRAM LEGISLASI DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BUTON TAHUN 2016 STATUS NO
JENIS
TENTANG
MATERI POKOK
BARU
UBAH
DISERTAI PELAKSANAAN
NA
KET SINGKAT
1 1.
2 Perda
3 4 Retribusi - Pelayanan pengujian Pelayanan alat-alat ukur, Tera/ Tera takar, timbang, dan Ulang perlengkapannya; dan - Pengujian barang dalam keadaan terbungkus yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
5 √
6 -
7 UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
8 -
9 √
2.
Perda
Pengelolaan - perencanaan Barang Milik kebutuhan, Daerah penganggaran, dan pengadaan; - penggunaan; - penatausahaan; - pengamanan dan pemeliharaan; - penilaian; - pemanfaatan dan pemindahtanganan; - pemusnahan; dan - penghapusan.
-
√
PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
-
√
SKPD PEMRAKARSA
Dinas Perindustrian & Perdagangan
Kantor Pengelola Asset Daerah
UNIT/ INSTANSI TERKAIT
TARGET PENYAM PAIAN
10 Dispenda BPKD
11 2016
Semua SKPD
2016
KET 12
3.
Perda
4.
5.
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah
Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatn Kebudayaan Daerah
√
-
- Peraturan Mendagri dan Menbudpar Nomor 42 Tahun 2009 dan Nomor 40 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan - Perda Nomor 16 Tahun 2013 tentang RPJMD Tahun 20132017 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
-
√
Dinas Kebudayaan & Periwisata
Semua SKPD
Pencabutan Atas Perda Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Penggantan Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil Perubahan Atas Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Penyelenggara an Administrasi Kependuduka n
Pencabutan Perda
√
-
-
√
Disdukcapil
Dispenda BPKD
- Administrasi Kependudukan; - Dokumen Kependudukan; - Data Kependudukan; - Pendaftaran Penduduk; dan - Peristiwa Kependudukan
-
√
UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
-
√
Disdukcapil
BKKBD-PP BPS
6.
Perda
Retribusi Izin Usaha Perikanan
Penyesuaian jenis Izin Usaha Perikanan
-
√
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
-
√
7.
Perda
Pengelolaan - Penyimpanan Limbah Bahan Sementara Limbah Berbahaya dan B3 Beracun - Pengumpulan Limbah B3 dalam
√
-
- UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah - PP Nomor 18 Tahun 1999 tentang
-
√
Dinas Kelautan & Perikanan
Badan Lingkungan Hidup
2016
Dispenda BPKD
2016
Dinas Kesehatan Dinas Tata Ruang Dinas PU BMP P2TSP
2016
Pengelolan Limbah B3 - PP Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan PP Nomor 18 Tahun 1999
Daerah
8.
Perda
Peraturan Daerah Tentang Izin Lingkungan
9.
Perda
10.
Perda
Bagian Adm Pembangu nan
√
-
- UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah - UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup - PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
-
√
Badan Lingkungan Hidup
Semua SKPD
2016
Organisasi dan - Struktur Organisasi Tata Kerja - Kedudukan, Tugas Pemerintah Pokok, dan Fungsi Desa - Pengangkatan dan Pemberhentian;
-
√
- UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa - PP Nomor 43 Tahun 2014 - PP Nomor 47 Tahun 2015 - Permendagri Nomor 113 Tahun 2014
-
√
BPM dan Pemdes
Bagian Adm PUM
2016
Badan Permusyawara tan Desa
-
√
- UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa - PP Nomor 43 Tahun 2014 - PP Nomor 47 Tahun 2015
BPM dan Pemdes
Bagian Adm PUM
2016
- AMDAL - UKL-UPL - Izin Lingkungan
- Susunan organisasi; - Kedudukan; - Mekanisme Pengisian Keanggotaan - Masa Jabatan; - Tugas, Wewenang, Hak dan Kewajiban, serta Larangan; - Keuangan; - Pengisian Keanggotaan Antar Waktu - Peraturan Tata Tertib - Rapat BPD;
- Musyawarah Desa
11.
Perda
Kerjasama Daerah
- kerjasama daerah antar daerah; - kerja sama Pemerintah Daerah dengan kementerian/ lembaga pemerintah non kementerian; - kerja sama daerah dengan badan hukum/swasta; dan - kerja sama daerah dengan pihak luar negeri.
√
-
12.
Perda
Perubahan - Penyesuaian Atas Peraturan Struktur Indeks dan Daerah Nomor Besarnya Tarif 9 Tahun 2010 Dasar Retribusi Izin Tentang Gangguan Retribusi Izin Gangguan
-
√
- Kewenangan Daerah berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
-
√
Bagian Ekonomi dan SDA
Semua SKPD
2016
UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Perkembangan Perekonomian Kodisi Objektif Daerah
-
√
Badan Penanaman Modal dan P2TSP
Dispenda
2016
-
-
13.
Perda
Pertanggungja waban APBD Tahun Anggaran 2015
Pertanggungjawaban APBD Tahun Anggaran 2015
√
-
- UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara - PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuda
-
-
BPKAD
Semua SKPD
2016
14.
Perda
APBD Perubahan Tahun Anggaran 2016
APBD Perubahan Tahun Anggaran 2016
√
-
- UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara - PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
-
-
BPKAD
Semua SKPD
2016
15.
Perda
APBD Tahun Anggaran 2017
APBD Tahun Anggaran 2017
√
-
- UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara - PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
-
-
BPKAD
Semua SKPD
2016
16.
Perda
Perubahan Atas Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang RTRW Kabupaten Buton Tahun 2013-2033
Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Buton
-
√
- UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang - UU Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Tengah - UU Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Selatan
√
√
Dinas Tata Ruang
Semua SKPD
2016
TIM PENYUSUN PROLEGDA TAHUN 2016 KETUA, Cap/ttd K A S I M, S.H.
PENJELASAN ATAS KONSEPSI RANCANGAN PERDA TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN TERA/TERA ULANG 1) Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keingingan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesarbesarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, salah-satu urusan pemerintahan konkuren di bidang perdagangan yang diberikan kepada daerah kabupaten/kota yang diselenggarakan berdasarkan asas otonomi, adalah standarisasi dan perlindungan konsumen melalui pelaksanaan metrologi legal, berupa tera/tera ulang dan pengawasannya. Metrologi Legal merupakan ilmu pengetahuan mengenai ukur mengukur secara luas, yang mengelola satuan-satuan ukuran, metoda-metoda pengukuran dan alat-alat ukur, yang menyangkut persyaratan teknik dan peraturan berdasarkan undangundang yang bertujuan melindungi kepentingan umum dalam hal kebenaran pengukuran. Konsekuensi dari adanya penyerahan Urusan Pemerintahan kepada Daerah yang diselenggarakan berdasarkan Asas Otonomi tersebut diatas adalah diserahkannya sumber keuangan, baik berupa pajak daerah dan retribusi darah, maupun dana perimbangan. Untuk menjalankan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya, Daerah harus mempunyai sumber keuangan agar mampu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di Daerah. Pemberian sumber keuangan kepada Daerah harus seimbang dengan beban atau urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Keseimbangan sumber keuangan ini merupakan jaminan terselenggaranya Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Sejalan dengan hal tersebut diatas, maka sesuai ketentuan Pasal 110 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang
merupakan salah satu jenis Retribusi Jasa Umum yang dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah. Tera merupakan kegiatan menandai dengan tanda tera yang sah atau tanda tera batal yang berlaku, atau memberikan keterangan-keterangan tertulis yang bertanda tera sah atau tanda tera batal yang berlaku. Kegiatan ini dilakukan oleh pegawai-pegawai yang berhak melakukannya berdasarkan pengujian yang dijalankan atas alatalat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang belum dipakai, sedangkan untuk Tera Ulang dijalankan atas alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang telah ditera. Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, jenis alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang beredar dan digunakan oleh masyarakat semakin beragam. Dengan kondisi demikian itu, perlu adanya upaya pengawasan dan pengendalian atas penggunaan alat-alat tersebut yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Kegiatan pengawasan dan pengendalian dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti perdagangan, industri, produksi, usaha jasa, penyimpanan-penyimpanan dokumen yang berkenaan dengan perusahaan, juga kegiatan-kegiatan penyimpanan atau pameran barang-barang, termasuk rumah tempat tinggal yang sebagian digunakan untuk kegiatankegiatan tersebut. Upaya perlindungan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Setiap konsumen berhak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya. Dari latar belakang tersebut diatas, maka penyusunan Rancangan Perda tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang pada prinsipnya bertujuan untuk: a. melindung kepentingan konsumen guna mendapatkan jaminan dalam kebenaran pengukuran; b. menertibkan dan memberikan kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukuran, standar satuan, metoda pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya. c. meningkatkan kesadaran pemilik atau pemakai atau pemegang kuasa alat ukur, alat takar, alat timbang, dan perlengkapannya (UTTP) terhadap kewajiban yang harus dipenuhinya, termasuk perbuatanperbuatan yang dilarang; d. memberikan jaminan kepastian hukum atas besarnya tarif Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang; dan e. meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor Retribusi Daerah.
2) Sasaran Yang Akan Diwujudkan Adapun sasaran yang akan diwujudkan dengan disusunnya Rancangan Perda tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang adalah: a. terpenuhinya hak-hak konsumen dalam menggunakan barang/jasa yang tersedia dalam masyarakat; b. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; c. tertibnya pemakaian satuan ukuran, standar satuan, metoda pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya; d. meningkatknya kesadaran pelaku usaha dalam penggunaan alat ukur, alat takar, alat timbang, dan perlengkapannya (UTTP) sesuai standar yang telah ditetapkan; dan e. meningkatkan kemandirian daerah melalui pengelolaan sumbersumber Pendapatan Asli Daerah dari sektor Retribusi Daerah. 3) Pokok Pikiran, Ruang Lingkup, dan Objek Yang Akan Diatur a. Pokok Pikiran 1) Landasan Filosofis Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang kehidupan masyarakat, telah memungkinkan para pelaku usaha untuk memproduksi berbagai macam barang dan/atau jasa dan memperluas arus gerak transaksi yang ditawarkan yang memberikan kemudahan bagi konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa berdasarkan kebutuhan. Di sisi lain, pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan konsumen untuk memilih dan menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa yang memenuhi persyaratan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan masih perlu ditingkatkan. 2) Landasan Sosiologis Pelayanan Tera/Tera Ulang adalah sebagai upaya perlindungan produsen dan konsumen terhadap kebenaran penggunaan alat UTTP serta dalam rangka menciptakan iklim perdagangan yang sehat dan adil di wilayah Kabupaten Buton. Pelayanan Tera/Tera Ulang tersebut salah satunya dalah melalui pembinaan kemetrologian berupa pelayanan tera, tera ulang, kalibrasi alat UTTP agar senantiasa layak pakai, termasuk melakukan pengujian Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT). 3) Landasan Yuridis Penyusunan Rancangan Perda tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang ini juga sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 110 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang menyatakan bahwa Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang merupakan salah satu jenis Retribusi Jasa Umum yang dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah.
b. Ruang Lingkup Ruang lingkup pengaturan Rancangan Perda tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, meliputi: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19) 20)
Ketentuan umum; Nama, objek, dan subjek retribusi; Golongan retribusi; Cara mengukur tingkat penggunaan jasa; Prinsip dan sasaran penetapan struktur dan besaran tarif retribusi; Struktur dan besarnya tarif retribusi; Wilayah pemungutan; Masa retribusi dan saat retribusi terutang; Pemungutan; Tata cara pembayaran; Tata cara penagihan; Keberatan; Pengembalian kelebihan pembayaran; Kedaluwarsa; Pemeriksaan; Pemanfaatan; Insentif pemungutan; Penyidikan; Ketentuan pidana; Ketentuan penutup.
c. Objek Yang Akan Diatur Objek yang akan diatur dalam Rancangan Perda tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera ulang, meliputi: 1) Pelayanan pengujian alat-alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya; dan 2) Pengujian barang dalam keadaan terbungkus yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4) Jangkauan dan Arah Pengaturan Jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Perda tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang adalah sebagai berikut: a. Ketentuan umum Di dalam ketentuan umum ini, dimuat beberapa definisi/batasan pengertian terhadap istilah-istilah yang akan digunakan dalam batang tubuh rancangan Perda. Adapun beberapa istilah yang harus diberikan batasan pengertian antara lain: 1) Menera; 2) Tera Ulang; 3) Kalibrasi; 4) Tenaga Profesi Ahli dan Teknisi Metrologi; 5) Sifat ukur; 6) Jangka waktu tera; 7) Alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya; 8) Izin Tipe; 9) Izin Tanda Pabrik;
10) Barang Dalam Keadaan Terbungkus; 11) Ukuran Lot; 12) UTTP untuk Pengawasan (Kontrol) Perusahaan; 13) Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang; 14) Jasa Umum; 15) Wajib Retribusi; 16) Masa Retribusi; 17) Surat Setoran Retribusi Daerah; 18) Surat Ketetapan Retribusi Daerah; 19) Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar; 20) Surat Tagihan Retribusi Daerah; Pembatasan istilah tersebut diatas, bertujuan untuk menghindari adanya salah pemahaman atas istilah yang digunakan dalam batang tubuh. b. Nama, objek, dan subjek retribusi Nama Retribusi yang diatur harus disebutkan dengan jelas, dalam hal ini Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang. Retribusi tersebut diatas merupakan salah satu jenis retribusi jasa umum. Sesuai ketentuan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, objek retribusi jasa umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan, sehingga objek retribusi pelayanan tera/tera ulang meliputi: 1) Pelayanan pengujian alat-alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya; dan 2) Pengujian barang dalam keadaan terbungkus yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun Subjek Retribusi Pelayana Tera/Tera Ulang adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh pelayanan pengujian alat-alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya, termasuk orang pribadi atau Badan produsen barang dalam keadaan terbungkus yang berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan diwajibkan untuk dilakukan pengujian terhadap BDKT produksinya. Dari nama, objek, dan subjek retribusi tersebut diatas, maka yang menjadi wajib retribusi pelayanan tera/tera ulang adalah orang pribadi atau Badan yang telah memanfaatkan pelayanan pengujian atas alat-alat UTTP yang dimilikinya, termasuk orang pribadi atau Badan produsen BDKT yang telah memperoleh pelayanan pengujian atas BDKT produksinya. c. Golongan retribusi Berdasarkan ketentuan Pasal 110 ayat (1) huruf l UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang digolongan ke dalam Retribusi Jasa Umum.
d. Cara mengukur tingkat penggunaan jasa Tingkat penggunaan jasa adalah jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa pelayanan tera/tera ulang. Oleh karena itu, tingkat penggunaan jasa Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jenis alat UTTP, dan jenis BDKT. e. Prinsip dan sasaran penetapan struktur dan besaran tarif retribusi Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Pelayanan Tera/Tera ulang ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Biaya sebagaimana dimaksud meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. f. Struktur dan besarnya tarif retribusi Tarif Retribusi adalah nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang. Tarif Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang dibagi ke dalam 2 (dua) bagian, terdiri dari: 1) Tarif Retribusi Pengujian alat-alat UTTP, ditetapkan berdasarkan lokasi pengujian alat-alat UTTP, yakni sebagai berikut: a) Pengujian dilakukan di Pos Ukur yang telah ditentukan, dengan jenis alat-alat UTTP meliputi: Alat Ukur Panjang -
Takaran
-
Alat Ukur dari Gelas
-
Bejana Ukur Tangki Ukur
-
Timbangan
-
Anak Timbangan Alat Ukur Gaya dan Tekanan
-
Alat Kadar Air (Meter Kadar Air)
-
Alat Ukur Cairan Dinamis
-
Alat Ukur Gas Alat Ukur Energi Listrik (Meter kWH)
-
Perlengkapan UTTP
Alat Ukur Lingkungan Hidup b) Atas permohonan pemilik/pemakai alat-alat UTTP, pengujian alat-alat UTTP tertentu dapat dilakukan di tempat pemilik/pemakai UTTP, dengan dikenakan tambahan biaya transportasi untuk setiap kali pengujian, dihitung dari jarak lokasi pemilik/pemakai UTTP dengan instansi yang membidangi Metrologi Legal. 2) Tarif Retribusi Pengujian Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT) Tarif Retribusi Pengujian BDKT merupakan penjumlahan biaya sampling dan biaya pengujian.
Besarnya biaya sampling dihitung dengan mempertimbangkan jarak tempuh dari instansi yang membidangi Metrologi Legal ke lokasi sampling. Sedangkan biaya pengujian dihitung dengan rumus sebagai berikut: biaya pengujian = (Tarif pengujian tara x jumlah sampel tara) + (Tarif pengujian BDKT x jumlah sampel BDKT)
Keterangan: -
-
Tarif pengujian Tara, dinyatakan dengan nominal rupiah per tara dari sampel tara Tarif pengujian BDKT, dinyatakan dengan nominal rupiah per produk dari sampel lot yang diuji yang dinyatakan dalam ukuran berat atau volume atau dinyatakan dalam ukuran panjang, luas dan jumlah hitungan Jumlah Sampling Tara dan BDKT yang diuji, harus diatur secara spesifik
g. Wilayah pemungutan Retribusi dipungut di wilayah daerah tempat pelayanan tera/tera ulang diberikan. Pada umumnya pelayanan dilakukan di di Pos Ukur yang telah ditentukan, namun atas permintaan pemilik alat-alat UTTP tertentu, pelayanan dapat dilakukan di tempat alatalat UTTP yang diuji. h. Masa retribusi dan saat retribusi terutang Masa Retribusi adalah jangka waktu yang lamanya ditetapkan dalam Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Masa Retribusi tersebut tidak berlaku apabila UTTP mengalami perubahan fisik dan atau data sehingga mengalami perubahan unjuk kerja dan atau wajib retribusi mengubah pengemasan, bentuk dan BDKT. Adapun Saat Retribusi terutang adalah pada saat diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. i. Pemungutan Retribusi Pemungutan Retribusi terutang dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan yang diterbitkan oleh Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Bupati. Dokumen lain yang dipersamakan dimaksud dapat berupa karcis, kupon, dan kartu langganan. j. Tata Cara Pembayaran Retribusi Pembayaran Retribusi yang terutang dilunasi sekaligus secara tunai. Retribusi yang terutang dilunasi paling lambat 15 (lima belas) hari sejak diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan yang merupakan tanggal jatuh tempo pembayaran Retribusi. Dalam hal Wajib Retribusi tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari Retribusi
yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD. Bupati atas permohonan Wajib Retribusi setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Retribusi untuk mengangsur atau menunda pembayaran Retribusi, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan. Pembayaran Retribusi yang terutang dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain yang ditetapkan oleh Bupati. Pembayaran Retribusi dimaksud dilakukan dengan menggunakan SSRD. k. Tata cara penagihan Untuk melakukan penagihan Retribusi, Bupati dapat menerbitkan STRD jika Wajib Retribusi tidak membayar Retribusi Terutang tepat pada waktunya atau kurang membayar. Penagihan Retribusi terutang dimaksud didahului dengan Surat Teguran. Jumlah kekurangan Retribusi yang terutang dalam STRD tersebut diatas ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar. l. Keberatan Wajib Retribusi dapat mengajukan keberatan kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. Keberatan tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD diterbitkan, kecuali jika Wajib Retribusi tertentu dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya, yakni suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan Wajib Retribusi. Pengajuan keberatan tersebut tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan penagihan Retribusi. Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dengan menerbitkan Surat Keputusan Keberatan. Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang. Apabila jangka waktu dimaksud telah lewat dan Bupati tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. Jika pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, Bupati menerbitkan SKRDLB untuk mengembalikan kelebihan pembayaran Retribusi dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 12 (dua belas) bulan. Imbalan bunga dimaksud dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB. m. Pengembalian kelebihan pembayaran Atas kelebihan pembayaran Retribusi, Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati. Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi dimaksud, harus memberikan keputusan. Apabila jangka waktu dimaksud telah dilampaui dan Bupati tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Retribusi
dianggap dikabulkan dan SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. Apabila Wajib Retribusi mempunyai utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Retribusi tersebut langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Retribusi tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKRDLB. Jika pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Bupati memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Retribusi. n. Kedaluwarsa Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kadaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi. Kadaluwarsa penagihan Retribusi tersebut diatas tertangguh jika diterbitkan Surat Teguran atau adanya pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung. Pengakuan utang Retribusi secara langsung adalah Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah, sedangkan pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi. Dalam hal diterbitkan Surat Teguran, kadaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut. Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan. Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kadaluwarsa. o. Pemeriksaan Bupati berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Retribusi dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan Retribusi Daerah. Wajib Retribusi yang diperiksa wajib memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Retribusi yang terutang, memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan dan/atau memberikan keterangan yang diperlukan. p. Pemanfaatan Hasil penerimaan Retribusi merupakan pendapatan daerah yang harus disetorkan seluruhnya ke Kas Daerah. Sebagian hasil penerimaan Retribusi digunakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan tera/tera Ulang. Pengalokasian sebagian penerimaan Retribusi dimaksud ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
q. Insentif pemungutan Instansi yang melaksanakan pemungutan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. Pemberian insentif dimaksud ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pemberian dan pemanfaatan insentif dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. r. Penyidikan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. s. Ketentuan pidana Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan Daerah diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar. t. Ketentuan penutup. Pada ketentuan ini harus disebutkan secara tegas saat mulai berlakunya Peraturan dan memuat ketentuan peruntah pengundangan peraturan yang akan ditetapkan. Ketentuan Penutup ini ditempatkan dalam bab terakhir.
PENJELASAN ATAS KONSEPSI RANCANGAN PERDA TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH 1. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien sangat membutuhkan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai yang terkelola dengan baik dan efisien. Bupati selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Barang Milik Daerah berwenang dan bertanggunjwab menetapkan kebijakan pengelolaan Barang Milik Daerah. Kewenangan dan tanggung jawab Bupati dalam pengelolaan Barang Milik Daerah tersebut, dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Buton Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, mengatur mengenai perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan penyaluran, penggunan, penatausahaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian, dan pembiayaan. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan Barang Milik Daerah semakin berkembang dan kompleks, belum dapat dilaksanakan secara optimal karena adanya beberapa permasalahan yang muncul serta adanya praktik pengelolaan yang penanganannya belum dapat dilaksanakan dengan Peraturan Daerah tersebut. Di sisi lain, regulasi pada tingkat nasional yang mengatur tentang pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah telah mengalami perubahan, dari yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, perlu dilakukan penggantian untuk menjawab permasalahan dan praktik yang belum tertampung dalam Peraturan Daerah tersebut, sekaligus untuk menyesuaikan dengan regulasi baru yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Dari latar belakang tersebut diatas, maka penyusunan Rancangan Perda tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah pada prinsipnya bertujuan untuk: a. menyesuaikan kebijakan pengelolaan Barang Milik Daerah dengan regulasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat; b. memberikan pedoman pelaksanaan bagi pejabat/aparat pengelola barang milik daerah secara menyeluruh sehingga dapat dipakai sebagai acuan oleh semua pihak dalam rangka melaksanakan tertib administrasi pengelolaan barang milik daerah.
2. Sasaran Yang Akan Diwujudkan Adapun sasaran yang akan diwujudkan dengan disusunnya Rancangan Perda tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah adalah: a. menyeragamkan langkah dan tindakan yang diperlukan dalam pengelolaan barang daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan; b. optimalisasi pengelolaan Barang Milik Daerah; c. tersedianya sarana dan prasarana yang memadai yang terkelola dengan baik dan efisien. 3. Pokok Pikiran, Ruang Lingkup, dan Objek Yang Akan Diatur a. Pokok Pikiran 1) Landasan Filosofis Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien sangat membutuhkan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai yang terkelola dengan baik dan efisien. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu adanya suatu pedoman dalam pengelolaan Barang Milik Daerah. 2) Landasan Sosiologis Pengelolaan Barang Milik Daerah semakin berkembang dan kompleks, belum dapat dilaksanakan secara optimal karena adanya beberapa permasalahan yang muncul serta adanya praktik pengelolaan yang penanganannya belum dapat dilaksanakan dengan baik. 3) Landasan Yuridis Lahirnya regulasi baru mengenai pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat, perlu ditindaklanjuti dengan penyesuaian kebijakan pengelolaan barang di daerah. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 105 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Barang Milik Daerah diatur dengan Peraturan Daerah. b. Ruang Lingkup Ruang lingkup pengaturan Rancangan Perda tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, meliputi: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
perencanaan kebutuhan, penganggaran, dan pengadaan; penggunaan; penatausahaan; pengamanan dan pemeliharaan; penilaian; pemanfaatan dan pemindahtanganan; pemusnahan; dan penghapusan.
c. Objek Yang Akan Diatur Objek yang akan diatur dalam Rancangan Perda tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah adalah Barang Milik Daerah, yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Barang yang berasal dari perolehan sebagaimana tersebut diatas meliputi:
lainnya
yang
sah
1) barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; 2) barang yang diperoleh perjanjian/kontrak;
sebagai
pelaksanaan
dari
3) barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau 4) barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. 4. Jangkauan dan Arah Pengaturan Jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Perda tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah adalah sebagai berikut: a. perencanaan kebutuhan, penganggaran, dan pengadaan Perencanaan Barang Milik Daerah merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk menghubungkan antara ketersediaan Barang Milik Daerah sebagai hasil pengadaan yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan keuangan daerah. Perencanaan Barang Milik Daerah harus dapat mencerminkan kebutuhan riil Barang Milik Daerah pada satuan kerja perangkat daerah, sehingga dapat dijadikan dasar dalam penyusunan rencana kebutuhan Barang Milik Daerah pada rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah. Perencanaan Barang Milik Daerah selanjutnya akan menjadi dasar dalam Perencanaan Kebutuhan, penganggaran, dan pengadaan Barang Milik Daerah. Perencanaan Kebutuhan adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan Barang Milik Daerah untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang. Rencana kebutuhan Barang Milik Daerah disusun dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan pelaksanaan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah serta ketersediaan Barang Milik Daerah yang ada. Perencanaan Kebutuhan dimaksud meliputi perencanaan pengadaan, pemeliharaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, dan Penghapusan Barang Milik Daerah. Perencanaan Kebutuhan merupakan salah satu dasar bagi satuan kerja perangkat daerah dalam pengusulan penyediaan anggaran untuk kebutuhan baru (new initiative) dan angka dasar (baseline) serta penyusunan rencana kerja dan anggaran. Pengadaan Barang Milik Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel. Pelaksanaan pengadaan Barang Milik Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. penggunaan Barang Milik Daerah yang sedang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipindahtangankan. Barang Milik Daerah harus ditetapkan status penggunaannya pada Pengguna Barang oleh Bupati. Barang Milik Daerah yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Pengguna Barang dapat dialihkan status penggunaannya kepada Pengguna Barang lainnya atau digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya. Penetapan status Penggunaan tidak dilakukan terhadap Barang Milik Daerah berupa barang persediaan, konstruksi dalam pengerjaan, atau barang yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan atau Barang Milik Daerah lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bupati. Bupati dapat mendelegasikan penetapan status Penggunaan atas Barang Milik Daerah selain tanah dan/atau bangunan dengan kondisi tertentu kepada Pengelola Barang Milik Daerah. c. penatausahaan Penatausahaan Barang Milik Daerah meliputi kegiatan pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan. Tertibnya Penatausahaan Barang Milik Daerah dapat sekaligus mewujudkan pengelolaan Barang Milik Daerah yang tertib, efektif, dan optimal. Penatausahaan Barang Milik Daerah dilaksanakan dengan berpedoman pada kebijakan umum Penatausahan Barang Milik Daerah yang ditetapkan. Hasil Penatausahaan Barang Milik Daerah digunakan dalam rangka penyusunan neraca Pemerintah Daerah, perencanaan kebutuhan, pengadaan dan pemeliharaan Barang Milik Daerah yang secara langsung akan menjadi bahan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah dan perencanaan Barang Milik Daerah. Pelaporan Barang Milik Daerah disusun menurut perkiraan neraca yang terdiri dari aset lancar, aset tetap dan aset lainnya. Aset lancar berupa persediaan, aset tetap berupa tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan irigasi dan jaringan, aset tetap lainnya dan konstruksi dalam pengerjaan. Aset lainnya terdiri dari aset tak berwujud, aset kemitraan dengan pihak ketiga dan aset tetap yang dihentikan dari penggunaan operasional pemerintahan. d. pengamanan dan pemeliharaan Pengamanan dan pemeliharaan Barang Milik Daerah dilaksanakan secara bersama-sama oleh Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang sesuai dengan kewenangan masingmasing. Pengamanan Barang Milik Daerah dilaksanakan untuk terciptanya tertib administrasi, tertib fisik dan tertib hukum dalam pengelolaan Barang Milik Daerah. Pengelola Barang, Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib melakukan pengamanan Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaannya. Pengamanan Barang Milik Daerah dimaksud, meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum. Barang Milik Daerah berupa tanah harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Daerah. Barang Milik Daerah berupa bangunan harus
dilengkapi pula dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Daerah. Barang Milik Daerah selain tanah dan/atau bangunan juga harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Daerah. Bupati dapat menetapkan kebijakan asuransi atau pertanggungan dalam rangka pengamanan Barang Milik Daerah tertentu dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah. Selain melakukan pengamanan Barang Milik Daerah, Pengelola Barang, Pengguna Barang, atau Kuasa Pengguna Barang juga bertanggung jawab atas pemeliharaan Barang Milik Daerah yang berada di bawah penguasaannya. Pemeliharaan dimaksud berpedoman pada Daftar Kebutuhan Pemeliharaan Barang. Biaya pemeliharaan Barang Milik Daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Namun dalam hal Barang Milik Daerah dilakukan Pemanfaatan dengan Pihak Lain, maka biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari penyewa, peminjam, mitra Kerja Sama Pemanfaatan, mitra Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna, atau mitra Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur. Kuasa Pengguna Barang wajib membuat Daftar Hasil Pemeliharaan Barang yang berada dalam kewenangannya dan melaporkan secara tertulis Daftar Hasil Pemeliharaan Barang tersebut kepada Pengguna Barang secara berkala. Selanjutnya, Pengguna Barang atau pejabat yang ditunjuk meneliti laporan dimaksud dan menyusun daftar hasil pemeliharaan barang yang dilakukan dalam 1 (satu) Tahun Anggaran sebagai bahan untuk melakukan evaluasi mengenai efisiensi pemeliharaan Barang Milik Daerah. e. penilaian Penilaian Barang Milik Daerah dilaksanakan dalam rangka mendapatkan nilai wajar. Penilaian Barang Milik Daerah dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah, Pemanfaatan dan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah. Dalam kondisi tertentu, Barang Milik Daerah yang telah ditetapkan nilainya dalam neraca Pemerintah Daerah, dapat dilakukan Penilaian kembali. Penetapan nilai Barang Milik Daerah dalam rangka penyusunan neraca Pemerintah Daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Penilaian Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka Pemanfaatan atau Pemindahtanganan dilakukan oleh Penilai Pemerintah atau Penilai Publik yang ditetapkan oleh Bupati, sedangkan penilaian Barang Milik Daerah selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka Pemanfaatan atau Pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh Bupati, dan dapat melibatkan Penilai yang ditetapkan Bupati. . f. pemanfaatan dan pemindahtanganan Pemanfaatan dan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah dilakukan dalam rangka optimalisasi pendayagunaan Barang Milik Daerah dan untuk mendukung pengelolaan keuangan Daerah. Pemanfaatan Barang Milik Daerah dilaksanakan oleh Pengelola Barang dengan persetujuan Bupati untuk Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaan Pengelola Barang. Pemanfaatan Barang Milik Daerah juga dapal dilaksaanakan oleh Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang, untuk Barang Milik Daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh
Pengguna Barang, dan selain tanah dan/atau bangunan. Pemanfaatan Barang Milik Daerah dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan daerah dan kepentingan umum. Adapun bentuk Pemanfaatan Barang Milik Daerah dapat berupa Sewa, Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna, atau Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur. Barang Milik Daerah yang tidak diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dapat dipindahtangankan. Pemindahtanganan Barang Milik Daerah dimaksud dilakukan dengan cara Penjualan, Tukar Menukar, Hibah, atau Penyertaan Modal Pemerintah Daerah. g. pemusnahan Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan Barang Milik Daerah. Pemusnahan Barang Milik Daerah dilakukan dalam hal Barang Milik Daerah sudah tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, atau alasan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemusnahan Barang Milik Daerah harus mempertimbangkan tidak adanya unsur kerugian bagi Daerah dan kesejahteraan masyarakat. Pemusnahan dilaksanakan oleh Pengguna Barang setelah mendapat persetujuan Bupati. Pelaksanaan Pemusnahan dimaksud dituangkan dalam berita acara dan dilaporkan kepada Bupati. Pemusnahan tersebut dapat dilakukan dengan cara dibakar, dihancurkan, ditimbun, ditenggelamkan atau cara lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. h. penghapusan Penghapusan adalah tindakan menghapus Barang Milik Daerah dari daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengelola Barang, Pengguna Barang, dan/atau Kuasa Pengguna Barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya. Penghapusan meliputi penghapusan dari Daftar Barang Pengguna dan/atau Daftar Barang Kuasa Pengguna dan penghapusan dari Daftar Barang Milik Daerah. Penghapusan dari Daftar Barang Pengguna dan/atau Daftar Barang Kuasa Pengguna, dilakukan dalam hal Barang Milik Daerah sudah tidak berada dalam penguasaan Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang, sedangkan penghapusan dari Daftar Barang Milik Daerah dilakukan dalam hal Barang Milik Daerah tersebut sudah beralih kepemilikannya, terjadi Pemusnahan, atau karena sebab lain.
PENJELASAN ATAS KONSEPSI RANCANGAN PERDA TENTANG RENCANA INDUK PELESTARIAN KEBUDAYAAN DAERAH 1. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan Kebudayaan Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur harus dilestarikan guna memperkuat pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan kebanggaan nasional, memperkukuh persatuan bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai arah kehidupan bangsa. Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Sehubungan dengan itu, seluruh hasil karya bangsa Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan budaya masa lalu, kebudayaan menjadi penting perannya untuk dipertahankan keberadaannya. Selain dikenal sebagai penghasil aspal terbesar di Indonesia, Kabupaten Buton juga kaya akan budaya dan tradisi yang unik dan eksotik. Berbagai potensi budaya berupa peninggalan sejarah, dapat dilihat dari berbagai peninggalan antara lain benteng-benteng yang tersebar di wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Buton, serta berbagai peninggalan warisan budaya tua sejak zaman kerajaan dan kesultanan Buton. Adat istiadat dan nilai sosial budaya ini merupakan salah satu modal sosial yang dapat dimanfaatkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan sehingga perlu dilakukan upaya pelestarian dan pengembangan sesuai dengan karakteristik dari masyarakat Buton. Salah-satu Misi Pemerintah Kabupaten Buton sesuai RPJMD Tahun 2013-2017 adalah "Mengembangkan Budaya Masyarakat yang Bermartabat". Hal ini dimaksudkan untuk merekatkan masyarakat Buton dalam kebersamaan dan memegang teguh nilai-nilai budaya yang ditanamkan oleh leluhur (Kesultanan Buton). Dalam upaya mewujudkan Misi tersebut, maka strategi umum untuk mencapai kondisi tersebut adalah mewujudkan masyarakat buton yang aman, damai, disiplin dan bersatu dalam pembangunan melalui pelestarian budaya dan peningkatan pemahaman norma dan tata nilai budaya Buton. Strategi diarahkan pada peningkatan apresiasi masyarakat terhadap budaya dan nilai-nilai kearifan lokal, revitalisasi cagar budaya, pengembangan obyek pariwisata, dengan mendorong penguatan lembaga/tokoh agama, sosial budaya, serta memberikan pembinaan dan pemberdayaan yang sinergi dengan programprogram pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dengan penguatan lembaga/tokoh ini diharapkan peran dan fungsi lembaga/tokoh dalam rangka pembinaan masyarakat pada umumnya dapat lebih optimal. Beberapa permasalahan yang menjadi kendala pelestarian kebudayaan di daerah saat ini, antara lain:
dalam
upaya
a. pelestarian nilai-nilai budaya masih terbatas pada kegiatan event atau pementasan, belum menjadi aktivitas yang rutin dilaksanakan;
b. c. d. e.
rendahnya apresiasi masyarakat terhadap budaya; rendahnya pemanfaatn budaya yang beroreintasi pada pelestarian; rendahnya kesadaran sejarah; rendahnya kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pelestarian kebudayaan; dan f. terbatasnya kompetensi Sumber Daya Manusia dan model pengelolaan industri budaya. Berbagai permasalah tersebut diatas, ditambah lagi dengan perkembangan pembangunan daerah yang mengalami peningkatan dan perubahan yang pesat, sangat berpengaruh terhadap kelestarian budaya. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk menjaga kelestarian budaya daerah melalui pengaturan terhadap perlindungan, pengembangan dan pemanfaatannya. Dari latar belakang tersebut diatas, maka penyusunan Rancangan Perda tentang Rencana Induk Pelestaraian Kebudayaan Daerah ini pada prinsipnya bertujuan untuk: a. memberikan acuan bagi masyarakat dan pemerintah daerah dalam upaya perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan daerah; b. meningkatkan peran masyarakat pada kegiatan yang berorientasi sadar budaya dan sejarah; c. mewujudkan kebudayaan daerah yang berkembang sesuai dengan perubahan zaman tanpa kehilangan jati diri dan martabat serta nilainilai kearifan lokal budaya masyarakat; d. mewujudkan kebudayaan daerah yang mempunyai daya tarik dan memperoleh pengakuan dan penghormatan dari masyarakat dan dunia; e. menciptakan sumber daya kebudayaan yang berkualitas; dan f. mendukung pengembangan budaya nasional dalam mencapai peningkatan kualitas ketahanan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Sasaran Yang Akan Diwujudkan Adapun sasaran yang akan diwujudkan dengan disusunnya Rancangan Perda tentang Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah adalah: a. terlaksananya upaya perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan daerah secara terencana, terpadu, dan terkoodinasi; b. meningkatnya peran masyarakat dalam pelestarian kebudayaan; c. berkembangnya kebudayaan daerah dengan tetap memilki jati diri dan martabat serta nilai-nilai kearifan lokal budaya masyarakat; d. terwujudnya kebudayaan daerah yang mempunyai daya tarik dan memperoleh pengakuan dan penghormatan dari masyarakat dan dunia; e. terciptanya sumber daya kebudayaan yang berkualitas; dan g. meningkatnya kualitas ketahanan budaya daerah untuk mendukung ketahanan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pokok Pikiran, Ruang Lingkup, dan Objek Yang Akan Diatur a. Pokok Pikiran 1) Landasan Filosofis Sebagaimana telah kemukakan sebelumnya, salah-satu strategi umum Pemerintah Kabupaten Buton untuk mencapai misi Pengembangan Budaya Masyarakat Yang Bermartabat adalah mewujudkan masyarakat Buton yang aman, damai, disiplin dan bersatu dalam pembangunan melalui pelestarian budaya dan peningkatan pemahaman norma dan tata nilai budaya Buton. Secara filosofis, hal tersebut diatas berlandaskan pada Alinea Ke 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa "dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur". 2) Landasan Sosiologis Secara sosiologis, dasar penyusunan rancangan Perda ini adalah potensi Budaya Buton, meliputi keanekaragaman kearifan lokal, bahasa, seni dan warisan budaya, serta falsafah hidup masyarakat Buton. Kondisi sosial masyarakat Buton tersebut diatas merupakan modal yang sangat besar apabila dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan pembangunan di daerah. Olehnya itu, pemerintah daerah berkewajiban untuk mendorong upaya pelestarian kebudayaan di daerah. 3) Landasan Yuridis Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen (4) "Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang" Kemudian dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilainilai budayanya” Oleh karena itu, kebudayaan daerah yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus dilestarikan guna memperkukuh jati diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada masa depan. Selanjutnya peraturan yang lebih teknis yang mengatur tentang pelesatarian kebudayaan daerah, yaitu Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 dan Nomor 40 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan. Di dalam Pasal 5 huruf b Peraturan Bersama tersebut dinyatakan bahwa "Pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan pelestarian kebudayaan berkewajiban menyusun Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah"
b. Ruang Lingkup Ruang lingkup pengaturan Rancangan Perda tentang Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah, meliputi: 1) perlindungan; 2) pengembangan; dan 3) pemanfaatan kebudayaan
c. Objek Yang Akan Diatur Objek yang akan diatur dalam Rancangan Perda tentang Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah, meliputi: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11)
kesenian; kepurbakalaan; kesejarahan; permuseuman; kebahasaan; kesusastraan; tradisi; kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; kepustakaan; kenaskahan; dan perfilman.
4. Jangkauan dan Arah Pengaturan a. Bentuk Kegiatan Kegiatan perlindungan, pengembangan dan kebudayaan daerah dapat dilakukan melalui kegiatan:
pemanfaatan
1) inventarisasi, pendokumentasian, dan penyelamatan lnventarisasi, pendokumentasian, dan penyelamatan dilakukan dilakukan melalui transliterasi, transkripsi, revitalisasi, digitalisasi, pencatatan dan registrasi dengan tetap mempertahankan keasliannya. 2) penggalian dan penelitian Penggalian dan penelitian dilakukan melalui ekskavasi, pemetaan, pengamatan lapangan, studi kepustakaan dan wawancara. Penggalian dan penelitian dimaksud dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok atau lembaga asing, maupun nasional setelah memperoleh izin dari pejabat yang berwenang berdasarkan rekomendasi dari instansi yang terkait. Hasil ekskavasi wajib dilaporkan kepada Pemerintah, dengan tembusan kepada Pemerintah Daerah, sedangkan benda temuan hasil ekskavasi wajib diserahkan kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah menurut kepentingannya.
3) pengayaan, pendidikan danpelatihan Pengayaan, pendidikan dan pelatihan dilakukan melalui bimbingan teknis, seminar, simposium, atau lokakarya. Bimbingan teknis, seminar, simposium, dan lokakarya dimaksud dapat dilakukan secara formal melalui institusi pendidikan, maupun secara informal melalui keluarga, masyarakat, sekolah, dan media massa. 4) penyajian, penyebarluasan, dan revitalisasi Penyajian, penyebarluasan, dan revitalisasi dilakukan melalui media cetak, media elektronik, laman (website), peragaan atau pameran. 5) penyaringan. Penyaringan dilakukan melalui pemilahan dan pemilihan aspek kebudayaan. Pemilahan dan pemilihan aspek kebudayaan dimaksud wajib mempertimbangkan norma, etika dan tradisi yang berlaku dimasyarakat. Keseluruhan kegiatan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan tersebut diatas wajib memperhatikan nilai agama, tradisi, nilai, norma, etika dan hukum adat, sifat kerohanian dan kesucian unsur budaya tertentu yang dipertahankan oleh masyarakat, kepentingan umum, kepentingan komunitas, dan kepentingan kelompok dalam masyarakat, jati diri bangsa, kemanfaatan bagi masyarakat, dan peraturan perundang-undangan. Bentuk konkrit kegiatan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan dapat pula dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut: 1) Perlindungan dapat dilakukan melalui: - mencatat, menghimpun, mengolah dan menata kebudayaan; - registrasi; - mendaftarkan atas hak kekayaan intelektual; - legalitas aspek budaya; - penelitian; dan - menegakkan peraturan perundang-undangan.
informasi
2) Pengembangan kebudayaan dapat dilakukan melalui : - kajian; - penelitian; - diskusi; - seminar; - workshop; - eksprimen; dan - penciptaan model baru. Kegiatan pengembangan kebudayaan wajib mempertahankan akar budaya yang dimiliki dan tidak dimaksudkan untuk mengganti unsur-unsur budaya yang sudah ada. Kegiatan pengembangan yang mengakibatkan terjadinya kerusakan, kehilangan atau kemusnahan aspek kebudayaan harus didahului dengan penelitian. Penelitian dimaksud dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan/atau perorangan, lembaga swasta, perguruan
tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai peraturan 3) Pemanafaatan kebudayaan dapat dilakukan melalui: - penyebarluasan informasi; - pagelaran budaya; - pengemasan bahan ajar; - pengemasan bahan kajian; dan - pengembangan wisata.
b. Peran Serta Masyarakat Masyarakat berperan serta dalam melestarikan kebudayaan. Peran serta masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui perorangan, organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan dan/atau forum komunikasi kebudayaan di kabupaten dan desa. Bentuk peran serta masyarakat dimaksud sebagai berikut: 1) berperan aktif dalam menanamkan kebhinekaan, memperkokoh jati diri bangsa, menumbuh kembangkan nasionalisme, dengan mempererat persatuan bangsa; 2) berperan aktif dalam mengembangkan kebudayaan melalui dialog, temu budaya, sarasehan, dan lain sebagainya; dan 3) memberikan masukan dan membantu Bupati dalam pelestarian kebudayaan. c. Penghargaan Pemerintah Daerah memberikan penghargaan kepada setiap orang, kelompok atau lembaga yang berjasa dalam upaya pelestarian kebudayaan daerah. Penghargaan dimaksud diberikan dalam bentuk tanda penghargaan dan/atau uang sesuai syarat dan tata cara yang telah ditetapkan. d. Penyelesaian Perselisihan Selanjutnya dalam hal terjadi perselisihan dalam pelestarian kebudayaan antar perorangan, antar organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan dan/atau forum komunikasi masyarakat kebudayaan diselesaikan secara musyawarah mufakat. Musyawarah para pihak dimaksud dapat dilakukan melalui negosiasi dan mediasi. Dalam hal musyawarah tidak tercapai, Bupati dapat memfasilitasi proses penyelesaian perselisihan. Dalam hal musyawarah dan fasilitasi tidak tercapai penyelesaian perselisihan dapat dilakukan melalui proses peradilan. e. Pelaporan Bupati melaporkan pelaksanaan dan pembinaan pelestarian kebudayaan di daerah kepada Gubernur. Laporan dimaksud disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali pada bulan Januari dan Juli atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
f. Pendanaan Pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelestarian kebudayaan daerah dapat didanai dari dan atas beban APBD dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. g. Larangan Setiap orang dilarang melakukan pembiaran, menghilangkan dan merusak benda cagar budaya dan benda budaya lainnya, menghilangkan dan/atau merusak nilai-nilai budaya asli, dan menyediakan informasi dan data palsu terkait dengan perlindungan, pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerah.
PENJELASAN ATAS KONSEPSI RANCANGAN PERDA TENTANG PENCABUTAN ATAS PERDA NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGGANTAN BIAYA CETAK KTP DAN AKTA CATATAN SIPIL 1. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan Pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil pada prinsipnya bertujuan untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, daerah diberi kewenangan untuk melakukan pungutan dalam bentuk Retribusi Daerah atas penggantian biaya cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, di Kabupaten Buton telah diterbitkan Perda Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Penggantan Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil, dimana terdapat beberapa item dokumen kependudukan dan akta catatan sipil yang masih dikenakan biaya sebagai pengantian biaya cetak dokumen yang diterbitkan. Dalam perkembangannya, lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, telah membebaskan seluruh biaya atas pengurusan dan penerbitan Dokumen Kependudukan. Pengurusaan dan penerbitan dimaksud baik penerbitan baru, penggantian akibat rusak atau hilang, pembetulan akibat salah tulis, dan/atau akibat perubahan elemen data. Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut, maka Perda Nomor Perda Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Penggantan Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil perlu dilakukan pencabutan. Dari latar belakang tersebut diatas, maka penyusunan Rancangan Perda tentang Pencabutan Atas Perda Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Penggantan Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil, pada prinsipnya bertujuan untuk: a. melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan b. memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pelayanan penerbitan Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil; 2. Sasaran Yang Akan Diwujudkan Adapun sasaran yang akan diwujudkan dengan disusunnya Rancangan Perda tentang Pencabutan Atas Perda Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Penggantan Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil adalah: a. terharmonisasinya produk hukum daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan b. terselenggaranya pelayanan penerbitan Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil yang memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
3. Pokok Pikiran, Ruang Lingkup, dan Objek Yang Akan Diatur a. Pokok Pikiran 1) Landasan Filosofis Dalam rangka mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk dan/atau Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2) Landasan Sosiologis Dalam rangka peningkatan pelayanan Administrasi Kependudukan untuk pencapaian standar pelayanan minimal menuju pelayanan prima yang menyeluruh untuk mengatasi permasalahan kependudukan, pelayanan harus dilakukan secara profesional, memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib, dan tidak diskriminatif. 3) Landasan Yuridis Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, maka Peraturan Daerah Kabupaten Buton Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil, secara yuridis masih berlaku, namun secara de facto tidak lagi dapat dilaksanakan atau mengikat masyarakat, sehingga dalam rangka pelaksanaan asas kesesuaian antara jenis, hierarkis, dan materi muatan sebuah peraturan daerah, perlu dilakukan pencabutan atas peraturan daerah dimaksud. Berdasarkan Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pencabutan atas sebuah peraturan daerah harus secara tegas dan jelas dinyatakan pencabutannya. b. Ruang Lingkup Ruang lingkup pengaturan Rancangan Perda tentang Pencabutan Perda Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil, meliputi pasal pencabutan dan ketentuan peralihan. c. Objek Yang Akan Diatur Objek yang akan diatur adalah pencabutan atas Perda Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil.
4. Jangkauan dan Arah Pengaturan a. Pasal Pencabutan Pada pasal pencabutan ini, harus jelas dan tegas dinyatakan bahwa Perda Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan Perda tersebut diatas disertai dengan keterangan mengenai stats hukum dari peraturan pelaksanaannya atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan Perda yang dicabut tersebut. b. Ketentuan Peralihan Ketentuan peralihan memuat penyesuaian tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Perda yang lama terhadap Perda Pencabutan ini. Ketentuan peralihan ini bertujuan untuk: 1) menghindari terjadinya kekosongan hukum; 2) menjamin kepastian hukum; 3) memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak dari pencabutan perda; dan 4) mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
PENJELASAN ATAS KONSEPSI RANCANGAN PERDA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERDA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN 1. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan Dalam pemenuhan hak Penduduk, terutama di bidang Pencatatan Sipil, masih ditemukan penggolongan Penduduk yang didasarkan pada perlakuan diskriminatif yang membeda-bedakan suku, keturunan, dan agama sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan produk kolonial Belanda. Penggolongan Penduduk dan pelayanan diskriminatif yang demikian itu tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kondisi tersebut mengakibatkan pengadministrasian kependudukan mengalami kendala yang mendasar sebab sumber Data Kependudukan belum terkoordinasi dan terintegrasi, serta terbatasnya cakupan pelaporan yang belum terwujud dalam suatu sistem Administrasi Kependudukan yang utuh dan optimal. Kondisi sosial dan administratif seperti yang dikemukakan di atas tidak memiliki sistem database kependudukan yang menunjang pelayanan Administrasi Kependudukan. Kondisi itu harus diakhiri dengan pembentukan suatu sistem Administrasi Kependudukan yang sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk memenuhi tuntutan masyarakat atas pelayanan kependudukan yang profesional. Seluruh kondisi tersebut di atas menjadi dasar pertimbangan Pemerintah dalam menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependukan, dan peraturan pelaksanaanya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2012. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tersebut diatas, pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggungjawab menyelenggarakan urusan administrasi kependudukan di daerah, selanjutnya lebih tegas dinyatakan dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 bahwa pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan administrasi kependudukan, perlu mengadakan pengaturan teknis penyelenggaraan administrasi kependudukan yang diatur dalam peraturan daerah. Hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan dibentuknya Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. Selain itu, pembentukan Perda ini bertujuan untuk mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan dengan terbangunnya database kependudukan secara nasional serta keabsahan dan kebenaran atas dokumen kependudukan yang diterbitkan. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 telah mengalami perubahan sebagaimana diterbitkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Perubahan UU tersebut oleh Pemerintah Pusat pada prinsipnya didasarkan pada pertimbangan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional, dan dalam rangka peningkatan pelayanan Administrasi Kependudukan sejalan dengan tuntutan pelayanan Administrasi Kependudukan yang profesional, memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib, dan tidak
diskriminatif dalam pencapaian standar pelayanan minimal menuju pelayanan prima yang menyeluruh. Beberapa perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tersebut diatas antara lain adalah ketentuan mengenai KTP elektronik, kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan, kewajiban instansi pelaksana, petugas registrasi, ketentuan mengenai peristiwa kependudukan, data kependudukan, izin tinggal tetap, pembebasan biaya pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan, dan beberapa ketentuan lainnya. Dari perubahan Undang-Undang tersebut diatas, tentunya perlu pula diikuti dengan perubahan regulasi mengenai penyelengaraan administrasi kependudkan di daerah. Oleh karena itu, Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Penyelengaraan Administrasi Kependudukan, perlu ditinjau kembali dan disesuaikan. Dari latar belakang tersebut diatas, maka penyusunan Rancangan Perda tentang Perubahan Atas Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan, pada prinsipnya bertujuan untuk menyesuaikan ketentuan mengenai penyelenggaraan administrasi kependudukan di daerah dengan peraturan perundangg-undangan yang lebih tinggi, khususnya menyangkut: a. pengaturan KTP- elektronik; b. kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan; c. kewajiban instansi pelaksana; d. petugas registrasi; e. ketentuan mengenai peristiwa kependudukan; f. data kependudukan; g. izin tinggal tetap; dan h. pembebasan biaya pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan serta beberapa ketentuan lainnya. 2. Sasaran Yang Akan Diwujudkan Adapun sasaran yang akan diwujudkan dengan disusunnya Rancangan Perda tentang Perubahan Atas Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan adalah: a. tertibnya penyelenggaran KTP- elektronik di daerah; b. terselenggaranya administrasi kependudukan sesuai kewenangan yang dimilik daerah; c. terlaksananya kewajiban instansi pelaksana; d. tertibnya pencatatan peristiwa kependudukan di daerah; dan e. terpenuhinya hak-hak penduduk untuk memperoleh perlindungan dan pengakuan terhadap setiap peristiwan kependudukan yang dialaminya.
3. Pokok Pikiran, Ruang Lingkup, dan Objek Yang Akan Diatur a. Pokok Pikiran 1) Landasan Filosofis Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan tegas menjamin hak setiap Penduduk untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, memperoleh status kewarganegaraan, menjamin kebebasan memeluk agama, dan memilih tempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meninggalkannya, serta berhak kembali. 2) Landasan Sosiologis Peristiwa Kependudukan, antara lain perubahan alamat, pindah datang untuk menetap, tinggal terbatas, serta perubahan status Orang Asing Tinggal Terbatas menjadi tinggal tetap dan Peristiwa Penting, antara lain kelahiran, lahir mati, kematian, perkawinan, dan perceraian, termasuk pengangkatan, pengakuan, dan pengesahan anak, serta perubahan status kewarganegaraan, ganti nama dan Peristiwa Penting lainnya yang dialami oleh seseorang merupakan kejadian yang harus dilaporkan karena membawa implikasi perubahan data identitas atau surat keterangan kependudukan. Untuk itu, setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting memerlukan bukti yang sah untuk dilakukan pengadministrasian dan pencatatan sesuai dengan ketentuan undang-undang. 3) Landasan Yuridis Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggungjawab menyelenggarakan urusan administrasi kependudukan di daerah. Selanjutnya dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan administrasi kependudukan, perlu mengadakan pengaturan teknis penyelenggaraan administrasi kependudukan yang diatur dalam peraturan daerah. Lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, perlu pula diikuti dengan perubahan regulasi mengenai penyelengaraan administrasi kependudkan di daerah. Oleh karena itu, Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Penyelengaraan Administrasi Kependudukan, perlu ditinjau kembali dan disesuaikan.
b. Ruang Lingkup Ruang lingkup pengaturan Rancangan Perda tentang Perubahan Atas Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan, meliputi: 1) Administrasi Kependudukan; 2) Dokumen Kependudukan; 3) Data Kependudukan; 4) Pendaftaran Penduduk; dan 5) Peristiwa Kependudukan c. Objek Yang Akan Diatur Objek yang akan diatur dalam Rancangan Perda tentang Perubahan Atas Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Administrai Kependudukan, meliputi: 1) kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan Administrasi Kependudukan di daerah; 2) instansi pelaksana; 3) persyaratan dan pengangkatan Petugas Registrasi; 4) pengaturan mengenai peristiwa kependudukan; 5) data kependudukan; 6) izin tinggal tetap; 7) KTP-elektronik; 8) Kutipan Akta Pencatatan Sipil terdiri atas kutipan akta; 9) pembebasan biaya pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan; dan 10) mekanisme usulan pengangkatan dan pemberhentian Pejabat struktural pada unit kerja yang menangani Administrasi Kependudukan di daerah. 4. Jangkauan dan Arah Pengaturan a. kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan Administrasi Kependudukan di daerah Pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan, yang dilakukan oleh Bupati dengan kewenangan meliputi: 1) koordinasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan; 2) pembentukan Instansi Pelaksana yang tugas dan fungsinya di bidang Administrasi Kependudukan; 3) pengaturan teknis penyelenggaraan Administrasi Kependudukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; 4) pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan; 5) pelaksanaan kegiatan pelayanan masyarakat di bidang Administrasi Kependudukan; 6) penugasan kepada desa untuk menyelenggarakan sebagian urusan Administrasi Kependudukan berdasarkan asas tugas pembantuan; 7) penyajian Data Kependudukan berskala daerah berasal dari Data Kependudukan yang telah dikonsolidasikan dan dibersihkan oleh Kementerian yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri; dan 8) koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan di daerah.
b. instansi pelaksana Instansi Pelaksana melaksanakan urusan Kependudukan dengan kewajiban yang meliputi:
Administrasi
1) mendaftar Peristiwa Kependudukan dan mencatat Peristiwa Penting; 2) memberikan pelayanan yang sama dan profesional kepada setiap Penduduk atas pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting; 3) mencetak, menerbitkan, dan mendistribusikan Dokumen Kependudukan; 4) mendokumentasikan hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; 5) menjamin kerahasiaan dan keamanan data atas Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting; dan 6) melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi yang disampaikan oleh Penduduk dalam pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Kewajiban sebagaimana dimaksud diatas, khusus untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi Penduduk yang beragama Islam pada tingkat kecamatan dilakukan oleh pegawai pencatat pada KUAKec. Pelayanan Pencatatan Sipil pada tingkat kecamatan dilakukan oleh UPT Instansi Pelaksana dengan kewenangan menerbitkan Akta Pencatatan Sipil. c. persyaratan dan pengangkatan Petugas Registrasi Petugas Registrasi membantu kepala desa atau lurah dan Instansi Pelaksana dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Petugas Registrasi diangkat dan diberhentikan oleh Bupati, dan diutamakan dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pengangkatan dan pemberhentian serta tugas pokok Petugas Registrasi tersebut diatas diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. pengaturan mengenai peristiwa kependudukan Beberapa perubahan mengenai kependudukan adalah sebagai berikut:
pengaturan
peristiwa
-
Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Berdasarkan laporan dimaksud, Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. Pelaporan kelahiran yang melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal kelahiran, pencatatan dan penerbitan Akta Kelahiran dilaksanakan setelah mendapatkan keputusan Kepala Instansi Pelaksana setempat.
-
Setiap kematian wajib dilaporkan oleh ketua rukun tetangga atau nama lainnya di domisili Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud, Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian. Pencatatan kematian dilakukan berdasarkan keterangan kematian dari pihak yang berwenang. Dalam hal terjadi ketidakjelasan keberadaan seseorang karena hilang atau mati tetapi tidak ditemukan
jenazahnya, pencatatan oleh Pejabat Pencatatan Sipil baru dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan. Dalam hal terjadi kematian seseorang yang tidak jelas identitasnya, Instansi Pelaksana melakukan pencatatan kematian berdasarkan keterangan dari kepolisian. -
Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat pengakuan anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan. Pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara. Berdasarkan laporan tersebut, Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta pengakuan anak dan menerbitkan kutipan akta pengakuan anak.
-
Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan. Yang dimaksud dengan "pengesahan anak" merupakan pengesahan status seorang anak yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama, pada saat pencatatan perkawinan dari kedua orang tua anak tersebut telah sah menurut hukum negara. Pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum negara. Berdasarkan laporan tersebut, Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta pengesahan anak dan menerbitkan kutipan akta pengesahan anak.
e. data kependudukan Beberapa perubahan mengenai pengaturan data kependudukan adalah sebagai berikut: -
Data Kependudukan terdiri atas data perseorangan dan/atau data agregat Penduduk.
-
Data perseorangan meliputi: o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o
nomor KK; NIK; nama lengkap; jenis kelamin; tempat lahir; tanggal/bulan/tahun lahir; golongan darah; agama/kepercayaan; status perkawinan; status hubungan dalam keluarga; cacat fisik dan/atau mental; pendidikan terakhir; jenis pekerjaan; NIK ibu kandung; nama ibu kandung; NIK ayah; nama ayah; alamat sebelumnya; alamat sekarang; kepemilikan akta kelahiran/surat kenal lahir; nomor akta kelahiran/nomor surat kenal lahir; kepemilikan akta perkawinan/buku nikah;
-
o nomor akta perkawinan/buku nikah; o tanggal perkawinan; o kepemilikan akta perceraian; o nomor akta perceraian/surat cerai; o tanggal perceraian; o sidik jari; o iris mata; o tanda tangan; dan o elemen data lainnya yang merupakan aib seseorang. Data agregat meliputi himpunan data perseorangan yang berupa data kuantitatif dan data kualitatif.
f. izin tinggal tetap dan KTP-elektronik Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-elektonik yang berlaku secara nasional. Orang Asing dimaksud wajib melaporkan perpanjangan masa berlaku atau mengganti KTP-elektronik kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal masa berlaku Izin Tinggal Tetap berakhir. Penduduk yang telah memiliki KTP-elektronik wajib membawanya pada saat bepergian. Penduduk tersebut hanya dapat memiliki 1 (satu) KTP-elektronik. KTP-elektronik mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-elektronik, dan tandatangan pemilik KTPelektronik. NIK sebagaimana dimaksud menjadi nomor identitas tunggal untuk semua urusan pelayanan publik. Dalam KTP-elektronik tersimpan cip yang memuat rekaman elektronik data perseorangan. KTP-elektronik untuk Warga Negara Indonesia masa berlakunya seumur hidup, sedangkan untuk Orang Asing masa berlakunya disesuaikan dengan masa berlaku Izin Tinggal Tetap. Dalam hal terjadi perubahan elemen data, rusak, atau hilang, Penduduk pemilik KTP-elektronik wajib melaporkan kepada Instansi Pelaksana untuk dilakukan perubahan atau penggantian. Dalam hal KTP-elektronik rusak atau hilang, Penduduk pemilik KTP-elektronik wajib melapor kepada Instansi Pelaksana melalui camat atau lurah/kepala desa paling lambat 14 (empat belas) hari dan melengkapi surat pernyataan penyebab terjadinya rusak atau hilang. g. Kutipan Akta Pencatatan Sipil terdiri atas kutipan akta; Pengaturan mengenai kutipan akta pencatata sipil mengalami perubahan, yakni sebagai berikut: Kutipan Akta Pencatatan Sipil terdiri atas kutipan akta: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
kelahiran; kematian; perkawinan; perceraian; pengakuan anak; dan pengesahan anak.
Kutipan Akta Pencatatan Sipil memuat: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
jenis Peristiwa Penting; NIK dan status kewarganegaraan; nama orang yang mengalami Peristiwa Penting; tempat dan tanggal peristiwa; tempat dan tanggal dikeluarkannya akta; nama dan tanda tangan Pejabat yang berwenang; dan pernyataan kesesuaian kutipan tersebut dengan data yang terdapat dalam Register Akta Pencatatan Sipil.
h. pembebasan biaya kependudukan
pengurusan
dan
penerbitan
dokumen
Pengurusan dan penerbitan Dokumen Kependudukan tidak dipungut biaya. Yang dimaksud dengan “pengurusan dan penerbitan” meliputi penerbitan baru, penggantian akibat rusak atau hilang, pembetulan akibat salah tulis, dan/atau akibat perubahan elemen data. i. mekanisme usulan pengangkatan dan pemberhentian Pejabat struktural pada unit kerja yang menangani Administrasi Kependudukan di daerah Pejabat struktural pada unit kerja yang menangani Administrasi Kependudukan di daerah diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas usulan Bupati melalui gubernur.
PENJELASAN ATAS KONSEPSI RANCANGAN PERDA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERDA NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN 1. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan Lahirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, memberikan kewenangan kepada daerah untuk melakukan pungutan atas retribusi izin usaha perikanan yang diterbitkan. Sesuai Pasal 141 huruf e Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Retribusi Izin Usaha Perikanan merupakan salah satu jenis retribusi perizinan tertentu yang dapat dipungut oleh daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka di Kabupaten Buton telah diterbitkan Perda Nomor 24 Tahun 2013 tentang Retribusi izin Usaha Perikanan, sesuai kewenangan yang dimiliki daerah. Kewenangan tersebut sesuai ketentuan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, meliputi: a. pelaksanaan dan koordinasi perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut; b. pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan sampai dengan 10 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing; c. pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah daerah; dan d. pelaksanaan kebijakan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di daerah. Dalam perkembangannya, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, beberapa kewenangan perizinan di bidang perikanan yang dimiliki daerah tersebut diatas mengalami perubahan drastis, dimana daerah kabupaten/kota hanya diberikan kewenangan menerbitkan Izin Usaha Perikanan di bidang Pembudidayaan Ikan yang usahanya dalam 1 (satu) daerah, sedang selebihnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Perubahan kewenangan yang dimiliki daerah tersebut tentunya berdampak pada pengaturan Perda tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan, dimana jenis izin yang termuat dalam perda harus segera dilakukan penyesuaian. Penyesuaian Perda Nomor 24 Tahun 2013 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan tersesbut diatas tidak hanya pada penyesuaian beberapa pasal, namun ketentuan dalam Perda tersebut mengalami perubahan yang sangat signifikan dan persentase perubahannya lebih dari 50% (lima puluh persen), sehingga lebih tepat jika dilakukan pengaturan kembali selanjutnya dilakukan pencabutan perda. Dari latar belakang tersebut diatas, maka penyusunan Rancangan Perda tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan pada prinsipnya bertujuan untuk:
a. menyesuaikan jenis perizinan di bidang perikanan sesuai kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. memberikan jaminan kepastian hukum atas besarnya tarif Retribusi Izin Usaha Perikanan; dan c. memberikan pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan, dan penggunaan sumber daya perikanan. 2. Sasaran Yang Akan Diwujudkan Adapun sasaran yang akan diwujudkan dengan disusunnya Rancangan Perda tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan adalah: a. terselenggaranya kegiatan perizinan di bidang perikanan sesuai kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; b. adanya kepastian hukum atas besarnya tarif Retribusi Izin Usaha Perikanan; c. tertibnya kegiatan, pemanfaatan, dan penggunaan sumber daya perikanan; dan d. kelestarian lingkungan hidup. 3. Pokok Pikiran, Ruang Lingkup, dan Objek Yang Akan Diatur a. Pokok Pikiran 1) Landasan Filosofis Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional. 2) Landasan Sosiologis Kabupaten Buton sebagai sebuah daerah kepulauan, memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang dimiliki merupakan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan daerah. Pemanfaatan secara optimal diarahkan pada pendayagunaan sumber daya ikan dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil, meningkatkan pendapatan daerah, menyediakan perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing hasil perikanan serta menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan serta tata ruang.
3) Landasan Yuridis Penyusunan Rancangan Perda tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan ini sebagai pelaksanaan Pasal 141 huruf e UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dimana Retribusi Izin Usaha Perikanan merupakan salah satu jenis Retribusi Daerah. Selanjutnya jenis izin tersebut disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. b. Ruang Lingkup Izin 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19) 20)
Ruang lingkup pengaturan Rancangan Perda tentang Retribusi Usaha Perikanan, meliputi: Ketentuan umum; Nama, objek, dan subjek retribusi; Golongan retribusi; Cara mengukur tingkat penggunaan jasa; Prinsip dan sasaran penetapan struktur dan besaran tarif retribusi; Struktur dan besarnya tarif retribusi; Wilayah pemungutan; Masa retribusi dan saat retribusi terutang; Pemungutan; Tata cara pembayaran; Tata cara penagihan; Keberatan; Pengembalian kelebihan pembayaran; Kedaluwarsa; Pemeriksaan; Pemanfaatan; Insentif pemungutan; Penyidikan; Ketentuan pidana; Ketentuan penutup.
c. Objek Yang Akan Diatur Objek yang akan diatur dalam Rancangan Perda tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan, meliputi pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan untuk melakukan kegiatan usaha pembudidayaan ikan yang wilayahnya dalam daerah. 4. Jangkauan dan Arah Pengaturan Jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Perda tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan adalah sebagai berikut: a. Ketentuan umum Di dalam ketentuan umum ini, dimuat beberapa definisi/batasan pengertian terhadap istilah-istilah yang akan digunakan dalam batang tubuh rancangan Perda. Adapun beberapa istilah yang harus diberikan batasan pengertian antara lain: 1) Retribusi Izin Usaha Perikanan; 2) Perizinan tertentu; 3) Perikanan; 4) Usaha Perikanan; 5) Perusahaan Perikanan;
6) Usaha Pembudidayaan Ikan; 7) Usaha Pengangkutan Ikan; 8) Izin Usaha Perikanan (IUP); 9) Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI); 10) Masa Retribusi; 11) Wajib Retribusi; 12) Surat Ketetapan Retribusi Daerah; 13) Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar; 14) Surat Tagihan Retribusi Daerah; dan 15) Surat Setoran Retribusi Daerah. Pembatasan istilah tersebut diatas, bertujuan untuk menghindari adanya salah penafsiran terhadap istilah yang digunakan dalam batang tubuh.
b. Nama, objek, dan subjek retribusi Nama Retribusi yang diatur harus disebutkan dengan jelas, dalam hal ini Retribusi Izin Usaha Perikanan. Retribusi Izin Usaha Perikanan merupakan salah satu jenis retribusi perizinan tertentu. Sesuai ketentuan Pasal 140 UU Nomor 28 Tahun 2009, objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, maka objek Retribusi Izin Usaha Perikanan adalah pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan untuk melakukan kegiatan usaha pembudidayaan ikan yang wilayahnya dalam daerah, sedangkan Subjek Retribusi Izin Usaha Perikanan adalah orang pribadi atau Badan yang mendapatkan Izin dari Pemerintah Daerah untuk melakukan kegiatan usaha pembudidayaan ikan yang wilayahnya dalam daerah. c. Golongan retribusi Berdasarkan ketentuan Pasal 141 huruf e Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Retribusi Pelayanan Izin Usaha Perikanan digolongan ke dalam Retribusi Perizinan Tertentu. d. Cara mengukur tingkat penggunaan jasa Tingkat penggunaan jasa adalah jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan perizinan di bidang pembudidayaan ikan.
e. Prinsip dan sasaran penetapan struktur dan besaran tarif retribusi Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Izin Usaha Perikanan didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin dimaksud meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut. f. Struktur dan besarnya tarif retribusi Tarif Retribusi adalah nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang. Struktur dan besarnya tarif Retribusi Izin Usaha Perikanan ditetapkan berdasarkan jenis budidaya usaha perikanan dan luas tempat usahanya, meliputi namun tidak terbatas pada: -
Budidaya Mutiara; Budidaya udang; Budidaya bandeng; Budidaya Ikan Air Tawar; Budidaya Ikan Air Laut; dan termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya
g. Wilayah pemungutan Retribusi dipungut Perikanan diberikan.
di
wilayah
daerah
tempat
Izin
Usaha
h. Masa retribusi dan saat retribusi terutang Masa Retribusi adalah jangka waktu yang lamanya ditetapkan dalam Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. i. Pemungutan Retribusi Pemungutan Retribusi terutang dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan yang diterbitkan oleh Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Bupati. Dokumen lain yang dipersamakan dimaksud dapat berupa karcis, kupon, dan kartu langganan. j. Tata Cara Pembayaran Retribusi Pembayaran Retribusi yang terutang dilunasi sekaligus secara tunai. Retribusi yang terutang dilunasi paling lambat 15 (lima belas) hari sejak diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan yang merupakan tanggal jatuh tempo pembayaran Retribusi. Dalam hal Wajib Retribusi tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD. Bupati atas permohonan Wajib Retribusi setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Retribusi untuk mengangsur atau menunda pembayaran Retribusi, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
Pembayaran Retribusi yang terutang dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain yang ditetapkan oleh Bupati. Pembayaran Retribusi dimaksud dilakukan dengan menggunakan SSRD. k. Tata cara penagihan Untuk melakukan penagihan Retribusi, Bupati dapat menerbitkan STRD jika Wajib Retribusi tidak membayar Retribusi Terutang tepat pada waktunya atau kurang membayar. Penagihan Retribusi terutang dimaksud didahului dengan Surat Teguran. Jumlah kekurangan Retribusi yang terutang dalam STRD tersebut diatas ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar. l. Keberatan Wajib Retribusi dapat mengajukan keberatan kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. Keberatan tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD diterbitkan, kecuali jika Wajib Retribusi tertentu dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya, yakni suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan Wajib Retribusi. Pengajuan keberatan tersebut tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan penagihan Retribusi. Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dengan menerbitkan Surat Keputusan Keberatan. Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang. Apabila jangka waktu dimaksud telah lewat dan Bupati tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. Jika pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, Bupati menerbitkan SKRDLB untuk mengembalikan kelebihan pembayaran Retribusi dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 12 (dua belas) bulan. Imbalan bunga dimaksud dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB. m. Pengembalian kelebihan pembayaran Atas kelebihan pembayaran Retribusi, Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati. Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi dimaksud, harus memberikan keputusan. Apabila jangka waktu dimaksud telah dilampaui dan Bupati tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Retribusi dianggap dikabulkan dan SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. Apabila Wajib Retribusi mempunyai utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Retribusi tersebut langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Retribusi tersebut.
Pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKRDLB. Jika pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Bupati memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Retribusi. n. Kedaluwarsa Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kadaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi. Kadaluwarsa penagihan Retribusi tersebut diatas tertangguh jika diterbitkan Surat Teguran atau adanya pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung. Pengakuan utang Retribusi secara langsung adalah Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah, sedangkan pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi. Dalam hal diterbitkan Surat Teguran, kadaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut. Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan. Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kadaluwarsa. o. Pemeriksaan Bupati berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Retribusi dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan Retribusi Daerah. Wajib Retribusi yang diperiksa wajib memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Retribusi yang terutang, memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan dan/atau memberikan keterangan yang diperlukan. p. Pemanfaatan Hasil penerimaan Retribusi merupakan pendapatan daerah yang harus disetorkan seluruhnya ke Kas Daerah. Sebagian hasil penerimaan Retribusi digunakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan tera/tera Ulang. Pengalokasian sebagian penerimaan Retribusi dimaksud ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. q. Insentif pemungutan Instansi yang melaksanakan pemungutan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. Pemberian insentif dimaksud ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pemberian dan pemanfaatan insentif dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
r. Penyidikan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. s. Ketentuan pidana Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan Daerah diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar. t. Ketentuan penutup. Pada ketentuan ini harus disebutkan secara tegas saat mulai berlakunya Peraturan dan memuat ketentuan peruntah pengundangan peraturan yang akan ditetapkan. Ketentuan Penutup ini ditempatkan dalam bab terakhir.
PENJELASAN ATAS KONSEPSI RANCANGAN PERDA TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN 1. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan Dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, khususnya pembangunan di bidang industri, semakin meningkat pula jumlah limbah yang dihasilkan termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dapat membahayakan lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Agar pengelolaan limbah B3 tidak mencemari lingkungan hidup dan untuk mencapai derajat keamanan yang tinggi, dengan berpijak pada prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kualitas hidup manusia, maka diperlukan peningkatan upaya pengelolaannya dengan lebih baik dan terpadu. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, salah-satu urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah di bidang lingkungan hidup adalah pengelolaan limbah B3, yang meliputi penyimpanan sementara limbah B3 dan pengumpulan limbah B3 dalam 1 (satu) daerah. Kebijaksanaan pengelolaan limbah B3 yang ada di daerah saat ini masih diselenggarakan secara parsial oleh stkae holder yang ada, sehingga dalam penerapannya masih banyak menemukan kendala. Oleh karena itu, maka semakin disadari perlunya Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Limbah B3 secara terpadu. Dari latar belakang tersebut diatas, maka penyusunan Rancangan Perda tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun pada prinsipnya bertujuan untuk: a. mencegah dan mengurangi terjadinya kemungkinan resiko pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3; b. menanggulangi pencemaran dan melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali; c. memberikan pedoman yang jelas dalam pelaksanaan kegiatan penyimpanan sementara limbah B3 dan pengumpulan limbah B3 di daerah; dan d. mewujudkan pembangunan daerah yang berkelanjutan. 2. Sasaran Yang Akan Diwujudkan Adapun sasaran yang akan diwujudkan dengan disusunnya Rancangan Perda tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun adalah: a. berkurangnya resiko pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3; b. terjaganya fungsi lingkungan hidup; c. tertib dan terkoordinasinya kegiatan penyimpanan sementara limbah B3 dan pengumpulan limbah B3 di daerah; dan d. terwujudnya pembangunan daerah yang berkelanjutan.
3. Pokok Pikiran, Ruang Lingkup, dan Objek Yang Akan Diatur a. Pokok Pikiran 1) Landasan Filosofis Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain. Salah-satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah guna memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut diatas adalah dengan melakukan pengaturan mengenai pengelolaan limbah B3 di daerah sesuai dengan kewenangan yang dimiliki daerah. 2) Landasan Sosiologis Laju kegiatan pembangunan di Kabupaten Buton dapat mendorong peningkatan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di berbagai sektor seperti industri, pertambangan, pertanian dan kesehatan yang apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik, maka akan dapat menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, mahluk hidup lainnya dan lingkungan hidup, seperti pencemaran udara, pencemaran tanah, pencemaran air, dan pencemaran laut. 3) Landasan Yuridis Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, salah-satu urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah di bidang lingkungan hidup adalah pengelolaan limbah B3, yang meliputi penyimpanan sementara limbah B3 dan pengumpulan limbah B3 dalam 1 (satu) daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengaturan mengenai pengelolaannya. b. Ruang Lingkup Ruang lingkup pengaturan Rancangan Perda tentang Pengelolaan Limbah B3, meliputi: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10)
Ketentuan Umum Tujuan dan Ruang Lingkup Jenis/Klasifikasi Limbah B3 Kegiatan Pengelolaan Perizinan Pengawasan Peningkatan Kesadaran dan Peran Serta Masyarakat; Ketentuan Administrasi; Penggantian Kerugian; dan Ketentuan Pidana.
c. Objek Yang Akan Diatur Objek yang akan diatur Pengelolaan Limbah B3, meliputi
dalam
Rancangan
Perda
tentang
1) penyimpanan sementara limbah B3; dan 2) pengumpulan limbah B3 di daerah. 4. Jangkauan dan Arah Pengaturan Jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Perda tentang Pengelolaan Limbah B3 adalah sebagai berikut: a. Ketentuan Umum Pada bagian ketentuan umum akan diatur tentang defenisi dari berbagai hal yang terdapat dalam substansi Perda tentang Pengelolaan limbah B3. b. Tujuan dan Ruang Lingkup Pada bagian tujuan dan ruang lingkup, akan diatur tentang tujuan dari pengelolaan limbah B3 dan ruang lingkup yang diatur dalam Perda. Ruang lingkup yang akan diatur dalam Perda pengelolaan limbah B3 adalah sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yakni meliputi penyimpanan sementara limbah B3 dan pengumpulan limbah B3 dalam daerah. c. Jenis/Klasifikasi Limbah B3 Pada bagian jenis/klasifikasi limbah B3 akan diatur tentang pembagian berbagai sifat limbah B3 dan klasifikasi dari limbah B3 yang dapat atau tidak dapat digunakan. Penentuan jenis/klasifikasi limbah B3 ini merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas PP Nomor 18 Tahun 1999. d. Pengelolaan Pada bagian kegiatan pengelolaan akan diatur tentang kewajiban dan tanggung jawab Pelaku Pengelolaan serta jenis kegiatan pengelolaan limbah B3. e. Perizinan Pada bagian perizinan akan diatur tentang jenis perizinan, pihak yang wajib memiliki izin, persyaratan dan tata cara memperoleh izin, pihak yang berwenang mengeluaran izin, dan jangka waktu izin. f. Pengawasan Pada bagian pengawasan akan diatur tentang instansi/unit kerja yang melakukan pengawasan, kegiatan limbah B3 yang perlu diawasi, kewenangan dan kewajiban pengawas, serta tata kerjanya. g. Peningkatan Kesadaran dan Peran Masyarakat Pada bagian peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat akan diatur tentang lembaga yang bertanggungjawab untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, bentuk peningkatan kesadaran masyarakat, hak untuk berperan serta dalam pengelolaan limbah B3 dan cara peran serta masyarakat.
h. Sanksi Administrasi Pada bagian sanksi administrasi akan diatur tentang mekanisme dan bentuk sanksi yang diberikan kepada penggungjawab usaha dan atau kegiatan yang tidak mematuhi ketentuan yang ada dalam Perda Pengelolaan limbah B3. i. Penggantian Kerugian Pada bagian penggantian kerugian akan diatur tentang kewajiban penanggungjawab usaha dan atau kegiatan limbah B3, untuk memberikan penggantian kerugian kepada masyarakat. yang mengalami kerugian. j. Sanksi Pidana Pada bagian sanksi pidana akan diatur tentang berbagai sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada penggungjawab usaha dan atau kegiatan yang melakukan tindak pidana bidang pengelolaan limbah B3.
PENJELASAN ATAS KONSEPSI RANCANGAN PERDA TENTANG IZIN LINGKUNGAN 1. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan Pemanfaatan sumber daya alam merupakan modal dasar pembangunan di Kabupaten Buton saat ini dan masih diandalkan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam tersebut harus dilakukan secara bijak. Pemanfaatan sumber daya alam tersebut hendaknya dilandasi oleh tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu menguntungkan secara ekonomi (economically viable), diterima secara sosial (socially acceptable), dan ramah lingkungan (environmentally sound). Proses pembangunan yang diselenggarakan dengan cara tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan generasi masa kini dan yang akan datang. Aktivitas pembangunan yang dilakukan dalam berbagai bentuk Usaha dan/atau Kegiatan pada dasarnya akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Dengan diterapkannya prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam proses pelaksanaan pembangunan, dampak terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh berbagai aktivitas pembangunan tersebut dianalisis sejak awal perencanaannya, sehingga langkah pengendalian dampak negatif dan pengembangan dampak positif dapat disiapkan sedini mungkin. Perangkat atau instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan hal tersebut adalah Analisi Menganai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Pasal 22 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan bahwa setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal. Amdal tidak hanya mencakup kajian terhadap aspek biogeofisik dan kimia saja, tetapi juga aspek sosial ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat. Sedangkan untuk setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang tidak berdampak penting, sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diwajibkan untuk memiliki UKL-UPL. Pelaksanaan Amdal dan UKLUPL harus lebih sederhana dan bermutu, serta menuntut profesionalisme, akuntabilitas, dan integritas semua pihak terkait, agar instrumen ini dapat digunakan sebagai perangkat pengambilan keputusan yang efektif. Amdal dan UKL-UPL juga merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan Izin Lingkungan. Pada dasarnya proses penilaian Amdal atau pemeriksaan UKL-UPL merupakan satu kesatuan dengan proses permohonan dan penerbitkan Izin Lingkungan. Dengan dimasukkannya Amdal dan UKL-UPL dalam proses perencanaan Usaha dan/atau Kegiatan Bupati sesuai dengan kewenangannya mendapatkan informasi yang luas dan mendalam terkait dengan dampak lingkungan yang mungkin terjadi dari suatu rencana Usaha dan/atau Kegiatan tersebut dan langkah-langkah pengendaliannya, baik dari aspek teknologi, sosial, dan kelembagaan. Berdasarkan informasi tersebut, pengambil keputusan dapat mempertimbangkan dan menetapkan
apakah suatu rencana Usaha dan/atau Kegiatan tersebut layak, tidak layak, disetujui, atau ditolak, dan Izin Lingkungannya dapat diterbitkan. Dari latar belakang tersebut diatas, maka penyusunan Rancangan Perda tentang Izin Lingkungan pada prinsipnya bertujuan untuk: a. memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan; b. meningkatkan upaya pengendalian Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak negatif pada lingkungan hidup; c. memberikan kejelasan prosedur, mekanisme dan koordinasi antarinstansi dalam penyelenggaraan perizinan untuk Usaha dan/atau Kegiatan; dan d. memberikan kepastian hukum dalam Usaha dan/atau Kegiatan. 2. Sasaran Yang Akan Diwujudkan Adapun sasaran yang akan diwujudkan Rancangan Perda tentang Izin Lingkungan adalah:
dengan
disusunnya
a. terciptanya lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan; e. terkendalinya Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak negatif pada lingkungan hidup; f. terciptanya prosedur, mekanisme dan koordinasi antarinstansi dalam penyelenggaraan perizinan untuk Usaha dan/atau Kegiatan; dan g. adanya kepastian hukum dalam Usaha dan/atau Kegiatan. 3. Pokok Pikiran, Ruang Lingkup, dan Objek Yang Akan Diatur a. Pokok Pikiran 1) Landasan Filosofis Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain. 2) Landasan Sosiologis Pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Buton pada umumnya masih bergantung pada pemanfaatan sumberdaya alam, seperti kegiatan industri, pertambangan, pertanian dan perkebunan yang apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik, maka akan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. 3) Landasan Yuridis Permasalahan lingkungan hidup merupakan permasalahan kompleks yang memberikan ekses pada sendi-sendi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan hidup
didefinisikan sebagai Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Ketentuan Pasal 1 angka 1 apabila dikaitkan dengan Ekologi sebagai salah satu bidang ilmu, memang lingkungan hidup tidak mengenal batas wilayah, baik wilayah negara maupun wilayah administrasi. Namun apabila lingkungan hidup itu dikaitkan dengan pengelolaan sebagai suatu kegiatan (aktivitas), maka batas wilayah itu harus jelas, karena akan menyangkut kewenangan pengelola. Batas kewenangan pengelolaan ini harus jelas karena berkaitan dengan tanggung jawab pengelola. Berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUD Tahun 1945 diketahui bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Berdasarkan hal tersebut, secara eksplisit bisa ditegaskan bahwa pada dasarnya pemerintah daerah dapat membuat suatu peraturan sendiri dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Pada prinsipnya, peraturan perundang-undangan telah cukup banyak mengakomodir permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Peraturan perundang-undangan tersebut diantaranya adalah UU Nomor 5 Tahun1960 tentang Peraturan tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria dan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Selain peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan, terdapat juga peraturan teknis pelaksana Undang-Undang berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri seperti PP 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Mengingat adanya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah pada dasarnya diberikan kewenangan secara luas untuk mengatur daerahnya sendiri. Pengaturan tersebut secara yuridis dapat berupa produkproduk hukum seperti Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati. Sejumlah bentuk peraturan daerah sebagaimana yang telah disebutkan adalah salah satu wujud konkrit dari pemerintah untuk menyelenggarakan sistem pembangunan yang merata. Dalam Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa materi muatan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa pada prinsipnya pembuatan peraturan daerah lebih menitik beratkan kepada hak eksklusif pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya sendiri dengan tetap pada platform peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. b. Ruang Lingkup Ruang lingkup Lingkungan, meliputi:
pengaturan
Rancangan
1) Kewajiban Memiliki Izin Lingkungan 2) Penyusunan AMDAL dan UKL-UPL 3) Penilaian AMDAL dan Pemeriksaan UKL-UPL
Perda
tentang
Izin
4) 5) 6) 7) 8)
Permohonan dan Penerbitan Izin Lingkungan Komisi Penilai AMDAL; Pendanaan; Sanksi Administratif; dan Ketentuan Pidana.
c. Objek Yang Akan Diatur Objek yang akan diatur dalam Rancangan Perda tentang Izin Lingkungan, meliputi 1) AMDAL; 2) UKL-UPL; dan 3) Izin Lingkungan 4. Jangkauan dan Arah Pengaturan Jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Perda tentang Izin Lingkungan adalah sebagai berikut: a. Kewajiban Memiliki Izin Lingkungan Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal, sedangkan setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal wajib memiliki UKL-UPL. b. Penyusunan AMDAL dan UKL-UPL Amdal disusun oleh Pemrakarsa pada tahap perencanaan suatu Usaha dan/atau Kegiatan. Lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan dimaksud wajib sesuai dengan rencana tata ruang. Dalam hal lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dokumen Amdal tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada Pemrakarsa. Penyusunan Amdal dituangkan ke dalam dokumen Amdal yang terdiri atas Kerangka Acuan, Analisis Dampak Lingkungan (Andal), serta Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemanatauan Lingkungan Hidup (RKL-RPL). Kerangka Acuan dimaksud menjadi dasar penyusunan Andal dan RKL-RPL. Selanjutnya Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) disusun oleh Pemrakarsa pada tahap perencanaan suatu Usaha dan/atau Kegiatan. Lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan dimaksud wajib sesuai dengan rencana tata ruang. Dalam hal lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan tidak sesuai dengan rencana tata ruang, UKL-UPL tidak dapat diperiksa dan wajib dikembalikan kepada Pemrakarsa. Penyusunan UKL-UPL dilakukan melalui pengisian formulir UKL-UPL dengan format yang telah ditentukan, paling sedikit memuat identitas pemrakarsa, rencana Usaha dan/atau Kegiatan, dampak lingkungan yang akan terjadi, dan program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. c. Penilaian AMDAL dan Pemeriksaan UKL-UPL 1) Penilaian AMDAL Kerangka Acuan disusun oleh Pemrakarsa sebelum penyusunan Andal dan RKL-RPL. Kerangka Acuan yang telah disusun diajukan kepada Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal Kabupaten. Berdasarkan pengajuan tersebut, sekretariat Komisi Penilai Amdal memberikan pernyataan tertulis mengenai kelengkapan administrasi Kerangka Acuan. Kerangka Acuan yang telah dinyatakan lengkap secara
administrasi, dinilai oleh Komisi Penilai Amdal. Untuk melakukan penilaian, Komisi Penilai Amdal menugaskan tim teknis untuk menilai Kerangka Acuan. Tim teknis dalam melakukan penilaian, melibatkan Pemrakarsa untuk menyepakati Kerangka Acuan. Tim teknis menyampaikan hasil penilaian Kerangka Acuan kepada Komisi Penilai Amdal. Dalam hal hasil penilaian tim teknis menyatakan Kerangka Acuan dapat disepakati, Komisi Penilai Amdal menerbitkan persetujuan Kerangka Acuan. Selanjutnya pemrakarsa menyusun Andal dan RKL-RPL berdasarkan Kerangka Acuan yang telah diterbitkan persetujuannya. Andal dan RKL-RPL yang telah disusun diajukan kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk melalui sekretariat Komisi Penilai Amdal kabupaten. Berdasarkan pengajuan tersebut, sekretariat Komisi Penilai Amdal memberikan pernyataan tertulis mengenai kelengkapan administrasi dokumen Andal dan RKL-RPL. Komisi Penilai Amdal melakukan penilaian Andal dan RKL-RPL sesuai dengan kewenangannya.Komisi Penilai Amdal menugaskan tim teknis untuk menilai dokumen Andal dan RKL-RPL yang telah dinyatakan lengkap secara administrasi oleh sekretariat Komisi Penilai Amdal. Tim teknis menyampaikan hasil penilaian atas dokumen Andal dan RKL-RPL kepada Komisi Penilai Amdal. Komisi Penilai Amdal, berdasarkan hasil penilaian Andal dan RKL-RPL, menyelenggarakan rapat Komisi Penilai Amdal. Komisi Penilai Amdal menyampaikan rekomendasi hasil penilaian Andal dan RKL-RPL Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk sesuai kewenangannya. Rekomendasi hasil penilaian Andal dan RKL-RPL tersebut dapat berupa rekomendasi kelayakan lingkungan atau rekomendasi ketidaklayakan lingkungan. Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk berdasarkan rekomendasi penilaian atau penilaian akhir dari Komisi Penilai Amdal menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup. 2) Pemerikasaan UKL-UPL Formulir UKL-UPL yang telah diisi oleh Pemrakarsa disampaikan kepada Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk, untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang berlokasi pada 1 (satu) wilayah kabupaten dan di wilayah laut paling jauh 1/3 (satu pertiga) dari wilayah laut kewenangan provinsi. Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk melakukan pemeriksaan kelengkapan administrasi formulir UKL-UPL. Apabila hasil pemeriksaan kelengkapan administrasi formulir UKL-UPL dinyatakan tidak lengkap, Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk mengembalikan UKL-UPL kepada Pemrakarsa untuk dilengkapi. Apabila hasil pemeriksaan kelengkapan administrasi formulir UKL-UPL dinyatakan lengkap, Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk melakukan pemeriksaan UKL-UPL. Berdasarkan pemeriksaan tersebut, Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk menerbitkan Rekomendasi UKL-UPL, dapat berupa persetujuan atau penolakan. d. Permohonan dan Penerbitan Izin Lingkungan Permohonan Izin Lingkungan diajukan secara tertulis oleh penanggungjawab Usaha dan/atau Kegiatan selaku Pemrakarsa kepada Bupati atau pajabat lain yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya. Permohonan Izin Lingkungan dimaksud disampaikan bersamaan dengan pengajuan penilaian Andal dan RKL-RPL atau pemeriksaan UKL-UPL. Permohonan izin lingkungan harus dilengkapi dengan
dokumen Amdal atau formulir UKL-UPL, dokumen pendirian Usaha dan/atau Kegiatan, dan profil Usaha dan/atau Kegiatan. Setelah menerima permohonan Izin Lingkungan Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk wajib mengumumkan permohonan Izin Lingkungan untuk mendapatkan saran, masukan, dan tanggapan dari masyarakat. Selanjutnya setelah dilakukannya pengumuman permohonan Izin Lingkungan, Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk Bupati menerbitka Izin Lingkungan bersamaan dengan diterbitkannya Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL. Dalam hal Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan Pemrakarsa wajib memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Izin Lingkungan mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan. Izin Lingkungan berakhir bersamaan dengan berakhirnya izin Usaha dan/atau Kegiatan. Izin Lingkungan yang telah diterbitkan wajib diumumkan melalui media massa dan/atau multimedia. Setiap terjadi perubahan usaha dan/atau kegiatan dan/atau kepemilikan Usaha dan/atau kegiatan, Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan wajib mengajukan permohonan perubahan Izin Lingkungan. e. Komisi Penilai AMDAL Komisi Penilai Amdal Kabupaten dibentuk oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya. Komisi Penilai Amdal dimaksud berwenang menilai dokumen Amdal untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang bersifat strategis kabupaten dan tidak strategis dan/atau di wilayah laut paling jauh 1/3 (satu pertiga) dari wilayah laut kewenangan provinsi. Susunan Komisi Penilai Amdal terdiri atas ketua, sekretaris, dan anggota. Ketua dan Seretaris berasal dari instansi lingkungan hidup kabupaten, sedangkan anggota berasal dari unsur: 1) SKPD yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang; 2) SKPD yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; 3) SKPD yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal; 4) instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan kabupaten; 5) instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan kabupaten; 6) SKPD yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan; 7) wakil instansi Pusat, instansi provinsi, dan/atau kabupaten/kota yang urusan pemerintahannya terkait dengan dampak Usaha dan/atau Kegiatan; 8) ahli di bidang yang berkaitan dengan rencana Usaha dan/atau Kegiatan; 9) ahli di bidang yang berkaitan dengan dampak dari rencana Usaha dan/atau Kegiatan; 10) wakil dari organisasi lingkungan yang terkait dengan Usaha dan/atau Kegiatan yang bersangkutan; 11) masyarakat terkena dampak; dan 12) unsur lain sesuai kebutuhan.
f. Pendanaan Penyusunan dokumen Amdal atau UKL-UPL didanai oleh Pemrakarsa, kecuali untuk Usaha dan/atau Kegiatan bagi golongan ekonomi lemah. Dana kegiatan penilaian Amdal yang dilakukan oleh komisi Penilai Amdal, tim teknis, dan sekretariat Komisi Penilai Amdal, atau pemeriksaan UKL-UPL yang dilakukan oleh instansi lingkungan hidup kabupaten dialokasikan dari APBD sesuai dengan peraturan perundangundangan. Jasa penilaian dokumen Amdal dan pemeriksaan UKL-UPL yang dilakukan oleh Komisi Penilai Amdal dan tim teknis dibebankan kepada Pemrakarsa sesuai dengan peraturan perundang-undangan. g. Sanksi Administratif Pemegang Izin Lingkungan yang tidak memenuhi kewajibannya sebagai pemegang izin dikenakan sanksi administratif yang meliputi teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan Izin Lingkungan, atau pencabutan Izin Lingkungan. h. Ketentuan Pidana Dalam perda ini dapat memuat mengenai ketentuan pidana, dapat berupa pidana kurungan dan/atau pidana denda. Penerapan sanksi pidana tersebut diberikan atas pelanggaran terhadap ketentuan Perda. Penerapan sanksi pidana tersebut mengacu pada peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.
PENJELASAN ATAS KONSEPSI RANCANGAN PERDA TENTANG PEDOMAN STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA 1. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan Ketentuan mengenai Organisaasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa di Kabupaten Buton sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Buton Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa. Namun setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka Peraturan Daerah tersebut perlu segera dilakukan penyesuaian. Pengaturan mengenai organisasi dan tata kerja pemerintah desa secara khusus mengatur mengenai perangkat desa yang merupakan unsur pembantu kepala Desa dalam menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Secara umum, ketentuan mengenai Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa telah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan peraturan pelaksanaannya yakni dalam PP Nomor 43 Tahun 2014, sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 47 Tahun 2015. Namun demikian, mengingat kondisi daerah Kabupaten Buton yang memiliki karakteristik budaya dan sejarah, sehingga dipandang perlu dilakukan pengaturan yang lebih spesifik mengenai pemerintah desa, dengan senantiasa berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan tersebut antara lain mengenai persyaratan pengangkatan perangkat desa, dimana dalam Pasal 65 ayat (2) PP Nomor 43 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa syarat lain pengangkatan perangkat Desa yang ditetapkan dalam peraturan daerah kabupaten/kota harus memperhatikan hak asal usul dan nilai sosial budaya masyarakat. Dari latar belakang tersebut diatas, maka penyusunan Rancangan Perda tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa ini pada prinsipnya bertujuan untuk: a. menyesuaikan pengaturan mengenai organisasi dan tata kerja pemerintah desa di daerah dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi; b. memberikan pedoman kepada desa mengenai mekanisme pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa serta prosedur dan tata cara penyusunan organisasi dan tata kerja pemerintah desa; dan c. memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asal usul dan nilai sosial budaya masyarakat.; d. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; dan e. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum.
2. Sasaran Yang Akan Diwujudkan Adapun sasaran yang akan diwujudkan dengan disusunnya Rancangan Perda tentang Pedomana Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa adalah: a. terciptnya harmonisasi peraturan daerah tentang organisasi dan tata kerja pemerintah desa desa dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi; b. terlaksananya proses pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa, serta penyusunan organisasi dan tata kerja pemerintah desa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. terakomodirnya karakteristik daerah berdasarkan hak asal usul dan nilai sosial budaya masyarakat; d. terselenggaranya Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; dan f. terwujudnya kesejahteraan masyarakat desa. 3. Pokok Pikiran, Ruang Lingkup, dan Objek Yang Akan Diatur a. Pokok Pikiran 1) Landasan Filosofis Desa atau sebutan lainnya telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam kaitan susunan dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan Desa atau disebut dengan nama lain dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam undangundang”. Hal itu berarti bahwa Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membuka kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas melalui ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. 2) Landasan Sosiologis Kabupaten Buton merupakan daerah otonom yang sebagian besar wilayah administrasinya terdiri dari desa. Jumlah desa yang ada di Kabupaten Buton saat ini adalah sebanyak 83 (delapan puluh tiga) desa yang tersebar di 7 (tujuh) kecamatan. Sebagai daerah kesultanan yang pernah berjaya dimasa lalu, Kabupaten Buton menyimpan berbagai peninggalan-peninggalan warisan budaya dan sejarah yang masih berdiri kokoh, seperti Benteng Takimpo di Pasarwajo, Benteng Bombonawulu dan beberapa makam tua. Hasil warisan budaya lain, dalam bentuk tradisi-tradisi nilai kegotong
royongan dan kekeluargaan yang masih tetap dipertahankan sampai sekarang, seperti pesta kampung cia-cia, pesta panen, serta suguhan tarian-tarian tradisonal yang tersaji dalam setiap kegiatan pesta adat. 3) Landasan Yuridis Dengan lahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan peraturan pelaksanaannya yakni dalam PP Nomor 43 Tahun 2014, sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 47 Tahun 2015, maka pengaturan mengenai organiasi dan tata kerja pemerintah desa di Kabupaten Buton perlu segera dilakukan penyesuaian. Perintah untuk melakukan pengaturan mengenai organisasi dan tata kerja pemerintah desa, secara eksplisit dapat dilihat dalam Pasal 26 ayat (3) huruf a UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menyatakan bahwa "dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Desa berhak mengusulkan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa". Dari ketentuan tersebut, dipandang perlu dilakukan pengaturan yang lebih terinci mengenai pengaturan organisasi dan tata kerja pemerintah desa melalui dengan Perda, untuk memberikan acuan yang lebih jelas kepada Pemerintah Desa di Kabupaten Buton. Selanjtunya, dalam ketentuan Pasal 65 ayat (2) PP Nomor 43 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa syarat lain pengangkatan perangkat Desa yang ditetapkan dalam peraturan daerah kabupaten/kota harus memperhatikan hak asal usul dan nilai sosial budaya masyarakat. b. Ruang Lingkup Ruang lingkup pengaturan Rancangan Perda tentang Pedoman Organiassi dan Tata Kerja Pemerintah Desa, meliputi: 1) Struktur organisasi dan Tata Kerja pemerintah desa; 2) Prosedur Penyusunan dan Penetapan Struktur Organisaasi Pemerintah Desa; 3) Kedudukan, tugas, fungsi, hak, dan kewajiban perangkat desa; 4) Pengisian Perangkat Desa; 5) Masa Jabatan Perangkat Desa; 6) Pembinaan Perangkat Desa; 7) Larangan dan Sanksi; 8) Pemberhentian Perangkat Desa; 9) Ketentuan Peralihan. c. Objek Yang Akan Diatur Objek yang akan diatur dalam Rancangan Perda tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa, meliputi 1) Kepala Desa; 2) Sekretariat Desa; 3) Pelaksana Kewilayahan; dan 4) Pelaksana Teknis. 4. Jangkauan dan Arah Pengaturan Jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Perda tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa adalah sebagai berikut:
a. Struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa Pemerintah Desa adalah Kepala Desa yang dibantu oleh perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri atas: 1) Sekretariat Desa, dipimpin oleh sekretaris Desa dibantu oleh unsur staf sekretariat paling banyak terdiri atas 3 (tiga) bidang urusan; 2) Pelaksana Kewilayahan, yang jumlahnya ditentukan secara proporsional antara pelaksana kewilayahan yang dibutuhkan dan kemampuan keuangan Desa; dan 3) Pelaksana Teknis, paling banyak 3 (tiga) seksi. Kepala Desa dan Perangkat Desa dalam menyelenggarakan pemerintahan berkewajiban melakukan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi. Setiap pimpinan satuan organisasi Pemerintah Desa mengadakan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan fungsi dan tugasnya serta melaporkan hasil pelaksanaan fungsi dan tugasnya kepada atasannya secara tertulis, rutin dan/atau berkala. Selain kewajiban tersebut, setiap pimpinan satuan organisasi Pemerintah Desa bertanggung jawab memimpin dan mengoordinasikan bawahannya serta memberikan bimbingan dan petunjuk-petunjuk bagi pelaksanaan tugas masing-masing. b. Prosedur Penyusunan dan Penetapan Struktur Organisaasi Pemerintah Desa Kepala Desa menyusun rancangan Peraturan Desa tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa, yang paling sedikit memuat ketentuan yang mengatur tentang pembentukan, kedudukan, tugas pokok, fungsi, struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa. Rancangan Peraturan Desa dimaksud wajib disosialisasikan kepada masyarakat desa sebelum disampaikan kepada BPD untuk mendapatkan persetujuan bersama. Kepala Desa mengajukan rancangan Peraturan Desa tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa kepada BPD untuk mendapatkan persetujuan. Rancangan Peraturan Desa dimaksud dibahas bersama Kepala Desa dengan BPD dalam rapat BPD, sesuai dengan peraturan tata tertib BPD, untuk ditetapkan menjadi Peraturan Desa. Rancangan Peraturan Desa tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa terlebih dahulu dievaluasi oleh Bupati dan/atau pejabat yang ditunjuk oleh Bupati. Kewenangan evaluasi rancangan Peraturan Desa dimaksud dapat dilimpahkan kepada Camat. c. Kedudukan, tugas, fungsi, hak, dan kewajiban perangkat desa Perangkat Desa berkedudukan sebagai unsur pembantu Kepala Desa. Sekretaris Desa berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa, sedangkan unsur staf sekretariat (bidang urusan) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Sekretaris Desa. Sekretaris Desa mempunyai tugas: 1) mengkoordinasikan penyusunan kebijakan dan program kerja pemerintahan desa; 2) pengoordinasian pelaksana teknis dan pelaksana kewilayahan; 3) mengoordinasikan evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemerintahan desa; 4) menyelenggarakan kesekretariatan desa; 5) menjalankan administrasi desa;
6) memberikan pelayanan teknis administrasi kepada seluruh satuan organisasi pemerintah desa; 7) melaksanakan urusan rumah tangga, dan perawatan sarana dan prasarana fisik pemerintah Desa; dan 8) melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Desa. Dalam melaksanakan tugas tersebut diatas, Sekretaris Desa mempunyai fungsi : 1) pelaksanaan penyusunan program kerja, evaluasi dan pelaporan kegiatan pemerintahan desa; 2) pelaksanaan kegiatan kesekretariatan desa; 3) pelaksanaan urusan personalia Perangkat Desa; 4) pelaksanaan urusan perlengkapan dan rumah tangga desa; 5) pelaksanaan pelaporan keuangan desa; 6) pelaksanaan pelayanan administrasi pemerintahan desa; 7) pengelolaan perpustakaan desa; 8) pengelolaan aset desa; dan 9) penyusunan rancangan Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa. Unsur staf sekretariat desa melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan bidang urusan yang ditetapkan, misalanya urusan umum, urusan keuangan, dan urusan perencanaan. Pelaksana kewilayahan merupakan unsur pembantu Kepala Desa sebagai satuan tugas kewilayahan. Pelaksana kewilayahan dipimpin oleh seorang kepala pelaksana kewilayahan yang disebut Kepala Dusun, berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Desa melalui Sekretaris Desa. Kepala pelaksana kewilayahan/Kepala Dusun mempunyai tugas : 1) membantu pelaksanaan tugas Kepala Desa diwilayah Dusun; 2) melaksanakan kegiatan dan administrasi pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan serta membina ketentraman dan ketertiban di wilayah Dusun; 3) melaksanakan Peraturan Desa, Peraturan dan Keputusan Kepala Desa; 4) melaksanakan pelayanan kepada masyarakat; 5) menyampaikan informasi tentang ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku didesa dan di wilayah Dusun; 6) memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Desa mengenai kebijakan dan tindakanyang akan diambil di bidang tugasnya; dan 7) melaksanakan tugas lain yang diberikan Kepala Desa. Dalam melaksanakan tugas tersebut diatas, Kepala Pelaksana Kewilayahan/Kepala Dusun mempunyai fungsi : 1) pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan; 2) pelaksanaan peraturan desa, peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa; 3) pelaksanaan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat; 4) peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat; 5) peningkatan partisipasi dan gotong royong masyarakat dalam pembangunan; 6) pelaksanaan keamanan, ketertiban dan perlindungan masyarakat; 7) pelaksanaan pengembangan dan pembinaan kebudayaan; dan 8) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Kepala Dusun.
Selanjutnya Pelaksana Teknis merupakan unsur pembantu kepala Desa sebagai pelaksana tugas operasional. Pelaksana Teknis dipimpin oleh Kepala Seksi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa melalui Sekretaris Desa. Pelaksana Teknis melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai seksi yang ditetapkan, misalnya Seksi Pemerintahan, Seksi Pembangunan dan Pemberdayaan, ddan Seksi Kemasyarakatan. d. Pengisian Perangkat Desa Pengisian Perangkat Desa dilakukan melalui cara ujian tertulis.Pengisian Perangkat Desa sebagai mana dimaksud pada ayat (1) melalui tahapan penjaringan, penyaringan, dan pengangkatan. Pada proses penjaringan diatur mengenai persyaratan Calon Perangkat Desa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan kebijakan daerah berdasarkan karakteristik kedaerahan. Paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Perangkat Desa yang bersangkutan, Kepala Desa memproses pengisian Perangkat Desa dengan membentuk Panitia Pengisian Perangkat Desa yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. Selanjutnya dilakukan pendaftaran Bakal Calon, dimana Panitia Pengisian Perangkat Desa melakukan penelitian persyaratan administrasi masing masing Bakal Calon. Bakal Calon yang telah melalui penelitian dan memenuhi persyaratan administrasi oleh Panitia Pengisian Perangkat Desa ditetapkan sebagai Calon yang dituangkan dalam Berita Acara Penetapan Calon, selanjutnya diumumkan kepada masyarakat untuk memberikan kesempatan masyarakat menilai masing-masing Calon. Tahap selanjutnya adalah Panitia Pengisian Perangkat Desa mengusulkan calon kepada Kepala Desa dengan dilampiri berita acara penetapan calon dan/atau berita acara penelitian keberatan masyarakat untuk ditetapkan sebagai calon yang berhak mengikuti seleksi. Kepala Desa setelah menerima usulan panitia pengisian perangkat desa, menetapkan calon yang berhak mengikuti seleksi dengan mempertimbangkan berita acara penetapan calon dan/atau berita acara penelitian keberatan masyarakat, yang dituangkan dengan Keputusan Kepala Desa. Keputusan Kepala Desa tersebut, disampaikan kepada ketua panitia pengisian perangkat desa. e. Penyaringan/Seleksi Calon Perangkat Desa Calon yang Berhak Mengikuti Ujian wajib mengikuti seleksi yang dilaksanakan oleh Panitia Pengisian Perangkat Desa. Pelaksanaan seleksi dituangkan dalam berita acara seleksi oleh panitia pengisian perangkat desa serta dapat dilengkapi tandatangan calon yang berhak mengikuti. Calon yang Berhak Mengikuti Ujian yang lulus dan memperoleh nilai tertinggi dituangkan dalam Berita Acara Penetapan Calon yang Lulus dan Memperoleh Nilai Tertinggi. Nama calon yang berhak mengikuti seleksi dan lulus diajukan kepada Kepala Desa. f. Pengangkatan Perangkat Desa Panitia Pengisian Perangkat Desa melaporkan hasil seleksi Pengisian Perangkat Desa kepada Kepala Desa. Setelah menerima laporan hasil seleksi pelaksanaan Pengisian Perangkat Desa dimaksud, Kepala Desa menyampaikan hasil seleksi Pengisian Perangkat Desa kepada Camat untuk mendapat penetapan dan rekomendasi. Camat
memberikan rekomendasi dalam hal proses pengisian Perangkat Desa sudah sesuai ketentuan. Berdasarkan identifikasi Camat, apabila proses pengisian Perangkat Desa tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, Camat tidak memberikan rekomendasi dan memerintahkan kepada Kepala Desa untuk melakukan proses pengisian ulang atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Rekomendasi tertulis Camat menjadi dasar Kepala Desa dalam pengangkatan Calon Yang Lulus untuk menjadi Perangkat Desa dengan Keputusan Kepala Desa. Sebelum memangku jabatannya, Perangkat Desa dilantik oleh Kepala Desa atau Pejabat lain yang ditunjuk setelah mengucapkan sumpah/janji sebagai berikut : “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanjibahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Perangkat Desa dengan sebaikbaiknya, sejujur-jujurnya dan seadil adilnya ; Bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai Dasar Negara ; Bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang undangan dengan seluruslurusnya yang berlaku bagi Desa, Daerah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pelaksanaan pelantikan Perangkat Desa dituangkan dalam Berita Acara Pengambilan Sumpah/Janji dan ditandatangani oleh pejabat yang melantik, pejabat yang dilantik, para saksi dan rohaniwan. Serah terima jabatan dari pejabat lama kepada pejabat baru dilaksanakan pada saat setelah pelantikan dengan Berita Acara Serah Terima Jabatan dan penyerahan Memori Serah Terima Pelaksanaan Pengambilan Sumpah/Janji dan Pelantikan Perangkat Desa dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan Keputusan Pengangkatan Perangkat Desa oleh Kepala Desa. Biaya Pengisian Perangkat Desa sampai dengan pelantikan Perangkat Desa bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. g. Masa Jabatan Perangkat Desa Pada prinsipnya masa jabatan perangkat desa tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun demikian, masa Jabatan Perangkat Desa perlu diatur secara tegas dalam perda, misalnya masa jabatan perangkat desa berakhir pada usia 60 (enam puluh) tahun. h. Pembinaan Perangkat Desa Pembinaan perangkat desa dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat desa, tingkat kecamata, dan tingkat kabupaten. Pembinaan Perangkat Desa dapat dilakukan melalui pemberian bimbingan teknis. i. Larangan dan Sanksi Perangkat Desa dilarang : 1) merugikan kepentingan umum; 2) membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu; 3) menyalahgunakan wewenang, tugas, kewajiban, dan/atau haknya; 4) melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu; 5) melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat desa;
6) melakukan tindakan makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara; 7) melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; 8) menjadi pengurus partai politik; 9) menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang; 10) merangkap jabatan sebagai Ketua Lembaga Kemasyarakatan Desa, anggota BPD, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan; 11) ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan Kepala Daerah, dan/atau pemilihan Kepala Desa; 12) melanggar sumpah/janji jabatan; 13) meninggalkan tugas selama 60 (enam puluh) hari kerja berturutturut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan; dan 14) melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan dangan, bertentangan dengan norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat atau melakukan perbuatan lain yang dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat. Dalam hal Perangkat Desa melakukan pelanggaran tersebut diatas, maka akan dikenakan sanksi sesuai jenis pelanggaran yang dilakukan. Sanksi tersebut dapat berupa teguran tertulis oleh Kepala Desa, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap, dan/atau sanksi pidana. j. Pemberhentian Perangkat Desa Perangkat Desa berhenti karena : 1) meninggal dunia; 2) atas permintaan sendiri; atau 3) diberhentikan Perangkat Desa diberhentikan karena: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun; tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan; tidak lagi memenuhi syarat sebagai Perangkat Desa; melanggar sumpah/janji jabatan; tidak melaksanakan kewajiban sebagai Perangkat Desa; melanggar larangan; dan/atau terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kepala Desa menyampaikan usul pemberhentian Perangkat Desa kepada Camat untuk mendapat mendapat rekomendasi tertulis. Camat wajib memberikan rekomendasi dalam hal proses pemberhentian Perangkat Desa sudah sesuai ketentuan peraturan perundang Berdasarkan identifikasi Camat, apabila proses pemberhentian Perangkat Desa tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, Camat tidak memberikan rekomendasi. Rekomendasi tertulis Camat menjadi dasar Kepala Desa dalam pemberhentian Perangkat Desa dengan Keputusan Kepala Desa.
k. Ketentuan Peralihan Ketentuan peralihan memuat penyesuaian tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada sebelum diterbitkannya Perda ini. Pada prinsipnya ketentuan peralihan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak dari diterbitkannya Perda, serta untuk mengatur hal-hal yang bersifat transisional.
PENJELASAN ATAS KONSEPSI RANCANGAN PERDA TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA 1. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah lembaga yang melakukan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. BPD merupakan badan permusyawaratan di tingkat Desa yang turut membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Pengaturan mengenai BPD di Kabupaten Buton sebelum telah diatur dengan Perda Nomor 3 Tahun 2008 tentang Badan Permusyawrata Desa. Dasar pertimbangan dibentuknya Perda tersebut adalah sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang memerintahkan pengaturan mengenai BPD di daerah dengan Perda. Disamping itu, dibentuknya Perda tersebut juga didasarkan pada pemikiran bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan desa yang dilakukan berdasarkan nilai-nilai demokrasi sebagai perwujudan dari aspirasi masyarakat desa, harus melalui suatu perwakilan BPD. Dalam perkembangannya, lahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014tentang Desa, telah mencabut ketentuan PP Nomor 72 Tahun 2015 tentang Desa tersebut diatas. Dengan lahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tersebut, ketentuan mengenai BPD mengalami beberapa perubahan, diantaranya mengenai fungsi BPD yang sebelumnya hanya berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, maka dengan lahirnya UU tersebut BPD juga berfungsi melakukan pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa. Selain itu, perubahan lainnya dapat dilihat pada unsur-unsur BPD, tata cara pengangkatan, persyaratan, masa jabatan, dan ketentuan lainnya. Olehnya itu, pengaturan BPD di daerah sebagaimana dimuat dalam Perda Nomor 3 Tahun 2008 tersebut diatas, perlu segera dilakukan penyesuaian dan pengaturan kembali. Dari latar belakang tersebut diatas, maka penyusunan Rancangan Perda tentang Badan Permusyawaratan Desa ini pada prinsipnya bertujuan untuk: a. menyesuaikan pengaturan mengenai BPD di daerah dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; b. memberikan pedoman mengenai mekanisme pengangkatan dan pemberhentian, serta pelaksanaan tugas dan fungsi BPD di Desa; dan c. meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat Desa, memperkuat kebersamaan, serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; d. membentuk Pemerintahanan Desa yang demokratis; dan e. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum.
2. Sasaran Yang Akan Diwujudkan Adapun sasaran yang akan diwujudkan dengan disusunnya Rancangan Perda tentang Pedomana Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa adalah: a. terciptnya harmonisasi peraturan daerah tentang organisasi dan tata kerja pemerintah desa desa dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi; b. terlaksananya proses pengangkatan dan pemberhentian anggota BPD secara demokratis sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. meningkatnya fungsi dan kinerja BPD; d. terciptanya sinergitas kelembagaan di tingkat Desa; e. terselenggaranya Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; dan f. terwujudnya kesejahteraan masyarakat desa. 3. Pokok Pikiran, Ruang Lingkup, dan Objek Yang Akan Diatur a. Pokok Pikiran 1) Landasan Filosofis Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat di tingkaat Desa berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat di tingka Desa, yang mampu mengejewantahkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat desa agar sesuai dengan tuntutan perkembangan dan aspirasi masyarakat desa. 2) Landasan Sosiologis Dengan adanya perubahan regulasi mengenai desa di tingkat pusat, maka penyelenggaraan pemerintahan desa di daerah mengalami masa transisi, dimana terdapat beberapa Anggota BPD yang telah berakhir masa jabatannya, namun belum dilakukan pengisian kembali karena pengaturan mengenai mekanisme pengangkatan dan pemberhentian yang baru melalui Perda belum ditetapkan. Kondisi demikian apabila tidak segera disesuaikan, maka dikhawatirkan akan menghambat penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan di daerah. Hal ini mengingat bahwa Kabupaten Buton merupakan daerah otonom yang sebagian besar wilayah administrasinya terdiri dari desa, yaitu sebanyak 83 (delapan puluh tiga) desa yang tersebar di 7 (tujuh) kecamatan.
3) Landasan Yuridis Secara umum ketentuan mengenai BPD telah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tetang Desa. Namun untuk menampung hak asal usul dan kesejarahan serta aspirasi masyarakat di daerah, pengaturan mengenai BPD selanjutnya diperintahkan untuk diatur dengan Perda. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menyatakan bahwa "ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Permusyawaratan Desa diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota". b. Ruang Lingkup Ruang lingkup pengaturan Rancangan Perda tentang BPD, meliputi: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11)
Susunan organisasi BPD; Kedudukan; Mekanisme Pengisian Keanggotaan Masa Jabatan Tugas, Wewenang, Hak dan Kewajiban, serta Larangan; Keuangan BPD; Pengisian Keanggotaan Antar Waktu Peraturan Tata Tertib Rapat BPD Musyawarah Desa Ketentuan Peralihan
c. Objek Yang Akan Diatur Objek yang akan diatur dalam Rancangan Perda tentang BPD adalah Badan Permusywaratan Desa yang merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. 4. Jangkauan dan Arah Pengaturan Jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Perda tentang BPD adalah sebagai berikut: a. Susunan Organisasi Susunan organisasi BPD terdiri Pimpinan dan Anggota BPD. Pimpinan BPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris. Pimpinan BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD secara langsung dalam rapat Badan Permusyawaratan Desa yang diadakan secara khusus. Rapat pemilihan pimpinan BPD untuk pertama kali dipimpin oleh anggota tertua dan dibantu oleh anggota termuda. Jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan Keuangan Desa.
b. Kedudukan Anggota BPD merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis. BPD berfungsi membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa, dan melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. c. Mekanisme Pengisian Keanggotaan Pengisian keanggotaan BPD dilaksanakan secara demokratis melalui proses pemilihan secara langsung atau musyawarah perwakilan dengan menjamin keterwakilan perempuan. Dalam rangka proses pemilihan secara langsung atau musyawarah perwakilan dimaksud, kepala Desa membentuk panitia pengisian keanggotaan BPD dan ditetapkan dengan keputusan kepala Desa. Panitia pengisian anggota BPD terdiri atas unsur perangkat Desa dan unsur masyarakat lainnya dengan jumlah anggota dan komposisi yang proporsional. Seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai Anggota BPD, minimal harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika; 3) berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah/pernah menikah; 4) berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat; 5) bukan sebagai perangkat Pemerintah Desa; 6) bersedia dicalonkan menjadi anggota BPD; 7) wakil penduduk Desa yang dipilih secara demokratis; dan 8) sehat jasmani, rohani dan bebas narkoba yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter. Panitia pengisian melakukan penjaringan dan penyaringan bakal calon anggota BPD dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum masa keanggotaan BPD berakhir. Panitia pengisian menetapkan calon anggota BPD yang jumlahnya sama atau lebih dari anggota BPD yang dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa keanggotaan BPD berakhir. Dalam hal mekanisme pengisian keanggotaan BPD ditetapkan melalui proses pemilihan langsung, panitia pengisian menyelenggarakan pemilihan langsung calon anggota BPD. Dalam hal mekanisme pengisian keanggotaan BPD ditetapkan melalui proses musyawarah perwakilan, calon anggota BPD dipilih dalam proses musyawarah perwakilan oleh unsur masyarakat yang mempunyai hak pilih. Hasil pemilihan langsung atau musyawarah perwakilan disampaikan oleh panitia pengisian anggota BPD kepada kepala Desa paling lama 7 (tujuh) Hari sejak ditetapkannya hasil pemilihan langsung atau musyawarah perwakilan. Selanjutnya hasil pemilihan langsung atau musyawarah perwakilan disampaikan oleh kepala Desa kepada Bupati paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya hasil pemilihan dari panitia pengisian untuk diresmikan oleh Bupati. Peresmian anggota BPD tersebut diatas ditetapkan dengan Keputusan Bupati paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak diterimanya laporan hasil pemilihan langsung atau musyawarah perwakilan dari
kepala Desa. Selanjutnya pengucapan sumpah janji anggota BPD dipandu oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak diterbitkannya Keputusan peresmian anggota BPD. Adapun biaya penyelenggaraan pengisian keanggotaan BPD berasal dari APBDesa dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat. d. Masa Jabatan Masa keanggotaan BPD selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji sampai dengan pengucapan sumpah/ janji keanggotaan masa bakti berikutnya. Anggota BPD dapat dipilih kembali untuk masa keanggotaan berikutnya paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. e. Tugas dan Wewenang, Hak, Kewajiban, serta Larangan BPD mempunyai tugas dan wewenang : 1) membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; 2) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; 3) melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa, terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa; 4) membentuk panitia pemilihan kepala desa; 5) memproses pemilihan penetapan dan pemberhentian kepala desa sesuai peraturan yang berlaku; 6) menyusun tata tertib BPD; 7) pelaksanaan fungsi lain yang disesuaikan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. BPD berhak: 1) mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa; 2) menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan 3) mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. 1) 2) 3) 4) 5)
Pimpinan dan Anggota BPD mempunyai hak untuk : mengajukan usul rancangan Peraturan Desa; mengajukan pertanyaan; menyampaikan usul dan/atau pendapat; memilih dan dipilih; memperoleh tunjangan pelaksanaan tugas dan fungsi dan tunjangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Selain mempunyai hak tersebut diatas, BPD berhak : 1) memperoleh biaya operasional; 2) memperoleh pengembangan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, pembimbingan teknis, dan kunjungan lapangan.
BPD mempunyai kewajiban menyampaikan laporan kinerja minimal satu kali dalam satu tahun kepada masyarakat yang dilaksanakan dalam rapat desa, ynag dihadiri oleh unsur pemerintah desa, lembaga kemasyarakatan desa, unsur masyarakat dan disampaikan secara tertulis kepada Bupati. 1)
2) 3) 4) 5) 6) 7)
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12)
Anggota BPD berkewajiban : memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika; melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa; menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat Desa; mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan; menghormati nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat Desa; dan menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan Desa; Memproses pembentukan panitia pemilihan kepala desa. Pimpinan dan Anggota BPD dilarang: merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat Desa, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat Desa; melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; menyalahgunakan wewenang; melanggar sumpah/janji jabatan; merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa; merangkap jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; sebagai pelaksana proyek Desa; menjadi pengurus partai politik; menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang; menjadi panitia pemilihan Kepala Desa dan Pengisian Perangkat Desa; menjadi panitia pengisian Anggota BPD; dan menjadi panitia lelang aset desa.
f. Keuangan BPD Keuangan BPD meliputi : 1) tunjangan pimpinan dan anggota BPD serta penghasilan lainnya;dan 2) biaya operasional BPD. Keuangan BPD dianggarkan delam APBDesa yang diatur dalam Peraturan Desa. Tunjangan Pimpinan dan Anggota BPD, penghasilan lainnya, serta biaya operasional diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
g. Keuangan BPD Anggota BPD berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Anggota BPD diberhentikan karena: 1) berakhir masa keanggotaan; 2) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; 3) tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota BPD; atau 4) melanggar larangan sebagai anggota BPD. Pemberhentian anggota BPD diusulkan oleh pimpinan BPD kepada Bupati melalui Camat atas dasar hasil musyawarah BPD. Peresmian pemberhentian anggota BPD ditetapkan dengan Keputusan Bupati. h. Pengisian Keanggotaan Antar Waktu Pengisian keanggotaan BPD antar waktu ditetapkan dengan keputusan Bupati atau pejabat yang ditunjuk atas usul pimpinan BPD melalui kepala Desa. i. Peraturan Tata Tertib BPD BPD menyusun peraturan tata tertib Badan Permusyawaratan Desa. Peraturan tata tertib BPD paling sedikit memuat: 1) waktu musyawarah BPD; 2) pengaturan mengenai pimpinan musyawarah BPD; 3) tata cara musyawarah BPD; 4) tata laksana dan hak menyatakan pendapat BPD dan anggota BPD; dan 5) pembuatan berita acara musyawarah BPD. j. Rapat BPD Rapat BPD diprakarsai oleh pimpinan BPD dan/atau anggota BPD. Rapat BPD dipimpin oleh Pimpinan BPD. Rapat BPD harus dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang pimpinan BPD. Rapat BPD dinyatakan sah dan memenuhi kuorum apabila dihadiri 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota BPD. Keputusan rapat BPD dinyatakan sah apabila disetujui oleh suara terbanyak dari anggota BPD yang hadir. k. Musyawarah Desa Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh BPD, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Hal yang bersifat strategis tersebut meliputi: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
penataan Desa; perencanaan Desa; kerja sama Desa; rencana investasi yang masuk ke Desa; pembentukan BUM Desa; penambahan dan pelepasan Aset Desa; kejadian luar biasa; dan pemilihan kepala desa antar waktu.
Musyawarah Desa dilaksanakan paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun. Musyawarah Desa dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Musyawarah Desa diselenggarakan oleh BPD yang difasilitasi oleh Pemerintah Desa. Musyawarah Desa diikuti oleh Pemerintah Desa, BPD, dan unsur masyarakat, terdiri atas:
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10)
tokoh adat; tokoh agama; tokoh masyarakat; tokoh pendidikan; perwakilan kelompok perwakilan kelompok perwakilan kelompok perwakilan kelompok perwakilan kelompok perwakilan kelompok
tani; nelayan; perajin; perempuan; pemerhati dan pelindungan anak; dan masyarakat miskin.
Selain unsur masyarakat terebut diatas, musyawarah Desa dapat melibatkan unsur masyarakat lain sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat di desa. l. Ketentuan Peralihan Ketentuan peralihan memuat penyesuaian tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada sebelum diterbitkannya Perda ini. Pada prinsipnya ketentuan peralihan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak dari diterbitkannya Perda, serta untuk mengatur hal-hal yang bersifat transisional. Beberapa hal yang perlu diatur dalam ketentuan peralihan terkait rancanga Perda ini antara lain: 1) Anggota BPD yang ada tetap melaksanakan tugas sampai dengan berakhirnya masa keanggotaannya. 2) BPD yang ada sebelumnya dan jumlah keanggotaannya tidak memenuhi jumlah anggota BPD sebagaimana diatur dalam Rancangan Perda, wajib melaksanakan pengisian keanggotaan BPD antar waktu 3) Periodesasi masa jabatan Anggota BPD menyesuaikan Peraturan Daerah yang baru.
PENJELASAN ATAS KONSEPSI RANCANGAN PERDA TENTANG KERJASAMA DAERAH 1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelengaraan pemerintahannya menganut azas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Dengan Azas Desentralisasi kewenangan pemerintah diserahkan kepada daerah otonom diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kewenangannnya sesuia dengan kepentingan masyarakat. Dalam penyelengaraan pemerintahannnya daerah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kerjasama. Amanat bagi daerah-daerah di Indonesia untuk melakukan kerjasama antar daerah dengan daerah lain dan daerah dengan pihak ketiga sudah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 363 menyatakan bahwa Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, Daerah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan. Kerja sama dapat dilakukan oleh Daerah dengan Daerah lain, pihak ketiga; dan/atau, lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian kerjasama daerah juga telah datur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Daerah, dimana tercakup kerjasama antar daerah dan kerjasama daerah dengan pihak ketiga, termasuk badan usaha swasta. Kerja sama daerah merupakan sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan keterikatan daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyerasikan pembangunan daerah, mensinergikan potensi antardaerah dan/atau dengan pihak ketiga serta meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi dan kapasitas fiskal. Melalui kerja sama daerah diharapkan dapat dikurangi kesenjangan daerah dalam penyediaan pelayanan umum, ditingkatkan efisiensi pengelolaan dan optimalisasi pemanfaatn sumberdaya daerah, ditingkat cakupan pelayanan, dan akhirnya meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Kerja sama daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan sumber pendapatan asli daerah. Oleh karena itu, kerja sama daerah yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan masyarakat harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Objek yang dapat dikerjasamakan meliputi seluruh urusan yang menjadi kewenangan daerah otonom, aset daerah dan potensi daerah serta penyediaan pelayanan umum. Pelaksanaan kerja sama harus berpegang pada prinsip efisiensi, efektivitas, sinergi, saling menguntungkan, kesepakatan bersama, itikad baik, mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, persamaan kedudukan, transparansi, keadilan dan kepastian hukum. Objek kerja sama merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan kerja sama untuk selanjutnya menentukan pilihan bentuk kerja sama yang akan dilaksanakan. Kerjasama membutuhkan landasan ‘kepercayaan’ (trust) yang bisa diwujudkan, salah satunya, melalui adanya kepastian hukum. Untuk menjamin adanya kepastian hukum itu, adanya pergantian kepala daerah pada dasarnya tidak boleh/ dapat mempengaruhi pelaksanaan kerja sama yang telah disepakati oleh kepala daerah sebelumnya.
Hasil Kerjasama daerah yang diperoleh dapat berupa uang yang harus distor kepada kas daerah, sedangkan yang berupa barang harus dicatat sebagai asset daerah. Sebagai suatu “perjanjian”, kerjasama antar daerah dan kerjasama daerah dengan pihak ketiga, termasuk badan usaha swasta juga harus tunduk kepada ketentuan perundang-undangan tentang perjanjian atau kontrak sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan/atau peraturan perundangundangan yang menggantikannya dan atau yang merupakan turunannya. Karena itu, “perjanjian kerjsama” antar daerah dan kerjasama daerah dengan pihak ketiga tetap harus memperhatikan dan mematuhi kaidahkaidah yang berlaku umum bagi suatu perjanjian/ kontrak. Sehubungan dengan kewajiban pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pelayanan umum/kualitas pelayanan publik kepada masyarakat sesuai kewenangannya pemerintah daerah, maka untuk dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif diperlukan Kerja Sama antar daerah, kerjasama daerah dengan pihak ketiga, dan kerjasama daerah dengan badan usaha swasta juga harus tunduk kepada ketentuan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana amanat Pasal 363 Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengisyaratkan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pelayanan publik daerah dapat mengadakan Kerjasama daerah yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas serta saling menguntungkan. Bahwa untuk lebih tertibya pelaksanaan kerjasama daerah, Pemerintah daerah perlu mengatur tentang tata cara kerja sama daerah dengan daerah lainnya, kerjasama daerah dengan pihak ketiga/swasta dengan mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi. Beberapa permasalahan yang menjadi kendala pemerintah daerah dalam pelaksanaan kerjasama daerah antara lain sebagai berikut : 1. Kurangnya pemahaman/pengetahuan tentang pentingnya kerjasama daerah; 2. Belum efektifnya peran Tim Koordinasi Kerjasama Daerah/TKKSD 3. Belum optimalnya hubungan koordinasi antar SKPD dalam pelaksanaan perjanjian; 4. Tersebarnya regulasi yang mengatur kerjasama daerah; 2. Maksud dan Tujuan Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan permaasalahan diatas, maka tujuan pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah yang mengatur kerja sama daerah dengan daerah lainnya, kerjasama daerah dengan pihak ketiga/swasta/luar negeri adalah sebagai berikut : a. Maksud Penyusunan/pembentukan: 1. Untuk mengembangkan potensi Daerah, mensinergikan potensi antara daerah dan/atau dengan Pihak Ketiga / Pihak Luar Negeri dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik dan pendapatan Daerah. 2. Sebagai acuan/pedoman yang jelas bagi pemerintah daerah dalam melakukan Hubungan Kerjasama dengan daerah lainnya, kerjasama daerah dengan pihak ketiga/swasta/luar negeri; b. Tujuan Penyusunan/pembentukan 1) meningkatkan pelayanan dan kesejahtraan masyarakat di Daerah; 2) meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemanfaatan sumber daya; 3) mewujudkan tujuan pembangunan di Daerah melalui kerjasama;
4) meningkatkan kebersamaan dalam memecahkan permasalahan antar daerah; 5) mempercepat akselarasi ilmu pengetahuan dan tekhnologi; 6) mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan dalam Penyediaan Infrastruktur melalui pengerahan dana swasta; 7) meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat; dan 8) meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam Penyediaan Infrastruktur. 3. Sasaran Yang Akan Diwujudkan Adapun sasaran yang akan diwujudkan melalui pembentukan peraturan daerah yang mengatur yang mengatur kerja sama daerah dengan daerah lainnya, kerjasama daerah dengan pihak ketiga/swasta/luar negeri adalah sebagai berikut : a. Terlaksananya kerjasama daerah yang efisien dan efektif serta tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; b. Terciptanya acuan/pedoman yang jelas bagi pemerintah daerah dalam melakukan Hubungan Kerjasama dengan daerah lainnya, kerjasama daerah dengan pihak ketiga/swasta/luar negeri; c. Terciptanya pelayanan dan kesejahtraan masyarakat di Daerah; d. Terwujudnya pemanfaatan sumber daya daerah melalui kerjasama; e. Terciptanya kebersamaan dalam memecahkan permasalahan antar daerah; 4. Pokok Pikiran, Ruang Lingkup, dan Obyek Yang Akan Diatur a. Pokok Pikiran Secara filosofis, dasar penyusunan/pembentukan peraturan daerah ini adalah sebagai upaya daerah untuk memenuhi kewajibannya dalam rangka pelayanan publik dan peningkatan kesejahtraan masyarakat melalui kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi, efektivitas dan saling menguntungkan yang dilakukan pemerintah daerah dengan daerah lain, pihak ketiga; dan/atau, lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. Secara sosiologis penyusunan/pembentukan peraturan daerah ini perlu dilakukan karena masih terdapat kendala-kendala pemerintah daerah dalam pelaksanaan kerjasama daerah seperti, kurangnya pemahaman/pengetahuan tentang pentingnya kerjasama daerah, belum efektifnya peran Tim Koordinasi Kerjasama Daerah/TKKSD, belum optimalnya hubungan koordinasi antar SKPD dalam pelaksanaan perjanjian dan tersebarnya regulasi yang mengatur kerjasama daerah sehingga perlu dirumuskan dalam bentuk peraturan daerah untuk memudahkan pemerintah daerah dalam melaksanakan kerjasama daerah dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan dalam pelaksanaan kerjasama daerah; Secara yuridis penyusunan/pembentukan peraturan daerah ini perlu dilakukan karena merupakan amanat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 363 yang menyatakan bahwa Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, Daerah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan. Sehubungan dengan maksud Pasal tersebut maka perlu pembentukan peraturan daerah tentang Kerja sama Daerah dengan mengacu ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Ruang Lingkup Ruang Lingkup yang akan diatur dalam peraturan daerah ini adalah sebagai berikut : 1. kerjasama daerah antar daerah; 2. kerja sama Pemerintah Daerah dengan kementerian/ pemerintah non kementerian; 3. kerja sama daerah dengan badan hukum/swasta; dan 4. kerja sama daerah dengan pihak luar negeri.
lembaga
c. Subyek dan Obyek Yang Akan Di Atur Subyek yang akan diatur dalam peraturan daerah ini adalah sebagai berikut : 1. Bupati/Walikota; 2. Pihak Ketiga; dan 3. Pihak Luar Negeri. Obyek yang akan diatur dalam peraturan daerah ini adalah seluruh urusan Pemerintahan yang telah menjadi kewenangan Daerah Otonom dan dapat berupa penyediaan pelayanan publik dan peningkatan pendapatan daerah guna kesejahteraan masyarakat. 5. Jangkauan dan Arah Pengaturan a. Bentuk Kerjasama Bentuk Kerja Sama dimaksud meliputi : 1) Bentuk kerja sama antara daerah, seperti; pelayanan bersama, pelayanan antar daerah, pengembangan sumbar daya manusia, pertukaran layanan, pemanfaatan peralatan, kebijakan dan pengaturan; dan kerja sama lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 2) Bentuk kerja sama Pemerintah Daerah dengan kementerian/ lembaga pemerintah non kementerian, seperti; pengembangan pengetahuan dan teknologi,pertukaran budaya, peningkatan kemampuan teknis dan menajemen pemerintahan, promosi potensi daerah,teknik bantuan kemanusian, penyertaan modal, dan kerja sama lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan. 3) Bentuk kerja sama daerah dengan badan hukum/swasta dan Bentuk kerja sama daerah dengan pihak luar negeri selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. b. Tata Cara Kerjasama Daerah Tata Cara Kerjasama Daerah dikelompokan atas 2 (dua) yaitu : 1) Tata cara Kerja Sama Daerah Dalam Negeri dan 2) Tata cara Kerjasama Luar Negeri: Tata cara Kerja Sama Daerah dalam negeri dan luar negeri tersebut dilaksanakan dengan berpedoman pada regulasi/peraturan terkait Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah dan Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah. c. Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah Pemerintah Daerah Membentuk Tim TKKSD yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati terdiri dari; 1) 2) 3) 4)
Ketua : Sekretaris Daerah. Wakil Ketua I : Asisten yang membidangi kerjasama daerah. Wakil Ketua II : SKPD yang membidangi perencanaan. Sekretaris : Kepala Bagian pada SKPD yang membidangi kerjasama.
5) Anggota Tetap; - Kepala Bagian Hukum; - Kepala SKPD yang membidangi pemerintahan; - Kepala SKPD yang membidangi keuangan; - Kepala SKPD yang membidangi Pengelolaan Aset. 6) Anggota Tidak Tetap; - Kepala SKPD yang melaksanakan kerjasama; - Tenaga ahli/pakar
Pemerintah Daerah membentuk Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah (TKKSD) untuk menyiapkan Kerja Sama Daerah dengan tugastugas sebagai berikut : 1) melakukan inventarisasi dan pemetaan bidang/potensi daerah yang akan dikerjasamakan; 2) menyusun prioritas objek yang akan dikerjasamakan; 3) memberikan saran terhadap proses pemilihan daerah dan pihak ketiga; 4) menyiapkan kerangka acuan/proposal objek Kerja Sama Daerah; 5) membuat dan menilai proposal dan studi kelayakan; 6) menyiapkan materi kesepakatan bersama dan rancangan Perjanjian Kerja Sama; dan 7) memberikan rekomendasi kepada Bupati untuk penandatanganan Kesepakatan Bersama dan Perjanjian Kerja Sama; d. Persetujuan DPRD Rencana Kerja Sama Daerah yang membebani Daerah dan masyarakat harus mendapat persetujuan dari DPRD dengan ketentuan apabila biaya Kerja Sama belum teranggarkan dalam APBD tahun anggaran berjalan dan/atau menggunakan dan/atau memanfaatkan Aset Daerah. e. Pembiayaan Dan Hasil Kerja Sama Pembiayaan dan hasil kerja dapat bersumber dari : 1) APBD ;dan/atau 2) sumber lain yang sah dan telah disepakati para pihak dalam Kesepakatan Bersama Perjanjian Kerja Sama atau Memorandum saling pengertian. Hasil Kerja Sama Daerah dapat berupa uang, surat berharga dan aset, atau berupa keuntungan non material dan Hasil Hasil Kerja Sama yang menjadi hak Daerah yang berupa uang, harus disetor ke Kas Daerah dan dicatat sebagai aset pada Pemerintah Daerah sebagai pendapatan asli daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. f. Penyelesaian Perselisihan Apabila Kerja Sama Daerah dengan Pihak Ketiga terjadi perselisihan, diselesaikan sesuai kesepakatan penyelesaian perselisihan yang diatur dalam perjanjian Kerja Sama dan Apabila penyelesaian perselisihan tidak terselesaikan, perselisihan diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. g. Pembinaan Dan Pengawasan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur/Bupati melakukan Pembinaan dan Pengawasan Kerjasama Daerah Dalam Negeri. Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Gubernur melakukan Pembinaan dan Pengawasan Kerja Daerah Luar Negeri.
h. Pelaporan Bupati menyampaikan laporan pelaksanaan Kerja Sama paling sedikit dua kali dalam 1 (satu) tahun sebagai berikut : 1) dengan Badan Hukum kepada DPRD; 2) antar daerah dalam satu provinsi kepada Gubernur; 3) antar daerah dalam provinsi yang berbeda kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur; dan 4) dengan pihak Luar Negeri kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menterian/Lembaga Pemerintah non Kementerian terkait melalui Gubernur.
PENJELASAN ATAS KONSEPSI RANCANGAN PERDA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERDA NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI IZIN GANGGUAN 1. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan Berdasarkan Undang-Undang Staatsblad Nomor 228 Tahun 1926 tentang Gangguan (HO) yang telah diubah dan disempurnakan terakhir dengan stb. Tahun 1940 Nomor 14 dan 450, gangguan adalah segala perbuatan dan/atau kondisi yang tidak menyenangkan atau mengganggu kesehatan, keselamatan, ketentraman dan/atau kesejahteraan terhadap kepentingan umum secara terus menerus. Selanjutnya berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Izin Gangguan adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau Badan yang dapat menimbulkan ancaman bahaya, kerugian dan/atau gangguan, termasuk pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. Lahirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, memberikan kewenangan kepada daerah untuk melakukan pungutan atas retribusi Izin Gangguan. Berdasarkan Pasal 141 huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Retribusi Izin Gangguan merupakan salah satu jenis retribusi perizinan tertentu yang dapat dipungut oleh daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka di Kabupaten Buton telah diterbitkan Perda Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Gangguan, sesuai kewenangan yang dimiliki daerah. Dalam Perda tersebut diatas, tingkat penggunaan jasa terhadap Izin Gangguan yang diberikan Pemerintah Daerah diukur dari tingkat gangguan yang didasarkan atas indeks usaha, indeks tingkat bahaya, indeks waktu kegiatan, indeks skala usaha serta indeks luas dan tempat usaha yang dimintakan izin, sedangkan struktur dan besarnya tarif retribusi ditetapakan berdasarkan tingkat penggunnaan jasa sesuai Indeks jenis kegiatan atau usaha yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, pengaturan mengenai struktur dan besarnya tarif retribusi tersebut diatas, tidak sesuai lagi dengan jenis usaha dan kegiatan yang berkembang di daerah saat ini, sehingga perlu dilakukan penyesuaian. Dari latar belakang tersebut diatas, maka penyusunan Rancangan Perda tentang Perubahan Atas Perda Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Gangguan pada prinsipnya bertujuan untuk: a. menyesuaikan pengaturan struktur dan besarnya Tarif Retribusi Izin Gangguan dengan perkembangan di daerah; b. memberikan kepastian hukum dalam pemungutan Retribusi Izin Gangguan; dan c. mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum yang dapat ditimbulkan dari kegiatan usaha di daerah.
2. Sasaran Yang Akan Diwujudkan Adapun sasaran yang akan diwujudkan dengan disusunnya Rancangan Perda tentang Perubahan Atas Perda Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Gangguan adalah: a. terbentuknya peraturan tentang Izin Gangguan yang sesuai dengan perkembangan di daerah; b. adanya kepastian hukum dalam pemungutan Retribusi Izin Gangguan; dan c. terciptanya ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, serta terpeliharanya norma keselamatan dan kesehatan kerja dalam penyelenggaraan kegiatan usaha di daerah. 3. Pokok Pikiran, Ruang Lingkup, dan Objek Yang Akan Diatur a. Pokok Pikiran 1) Landasan Filosofis Dalam arti luas, Izin Gangguan sangat erat kaitannya dengan lingkungan hidup. Lingkungan hidup mempunyai sifat dan karakter yang sangat kompleks dan memenuhi semua unsur yang terdapat dalam isi alam ini dan merupakan aset untuk mensejahterakan masyarakat. Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pada dasarnya, setiap bentuk pelayanan kepada masyarakat memerlukan adanya pengaturan dari Pemerintah yang diberi kewenangan untuk mengaturnya. Semua itu menuntut adanya campur tangan dari negara dalam pengaturannya. Pemberian Izin Gangguan, pada dasarnya mempunyai manfaat ganda. Disamping memberikan pelayanan kepada orang atau badan yang akan melakukan kegiatan usaha, lebih jauh pelayanan yang diberikan pada dasarnya memberikan jaminan keselamatan kepada masyarakat agar terhindar dari gangguan ketertiban, keselamatan atau kesehatan umum, dan juga sekaligus memelihara ketertiban lingkungan dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. Kualitas lingkungan yang b aik merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Landasan Sosiologis Penetapan Retribusi Izin Gangguan merupakan bagian kebijakan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan sumber pendapatan daerah yang lebih berorientasi pada nilai keadilan dan meningkatkan kesejateraan masyarakat daerah melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas kerja, hal tersebut dapat dilakukan dengan pembangunan kualitas sumber daya manusia dan pembagunan teknologi yang tepat guna. Semua persoalan yang terkait dengan kualitas lingkungan dan peluang untuk dapat hidup sehat bagi masyarakat, tetap harus merupakan pemikiran dan tanggung jawab bersama, baik pemerintah maupun masyarakat, karena bagaimanapun kondisi kehidupan yang jauh lebih baik harus senantiasa menjadi cita-cita bersama.
Dalam mewujudkan kebersamaan, mutlak harus adanya peran aktif dari para pengambil kebijakan untuk merumuskan kebijakankebijakannya yang sesuai dengan Prinsip keadilan sosial harus mampu dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat melalui pemberdayaan potensi masyarakat dalam mendukung terciptanya kualitas lingkungan di Kabupaten Buton melalui pembayaran retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah. Penetapan Retribusi Izin Gangguan hanya untuk memberikan kesadaran masyarakat bahwa setiap warga negara juga turut bertanggung jawab untuk terwujudnya lingkungan yang prima bagi masyarakat. Karena itu, penetapan Retribusi Izin Ganguan harus dilakukan dengan prinsip berkeadilan. Kemajuan teknologi dan perkembangan pembangunan di daerah saat ini perlu diikuti dengan perkembangan regulasi yang ada. Terkait dengan keberadaan Perda tentang Retribusi Izin Gangguan, dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan jenis kegiatan dan usaha yang ada di daerah. 3) Landasan Yuridis Penyesuaian tarif Retribusi pada dasarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Pasal 155 UU tersebut dinyatakan bahwa Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. Peninjauan tarif Retribusi dimaksud dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian. Penetapan tarif Retribusi dimaksud dengan Peraturan Kepala Daerah. Dari ketentuan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa penyesuaian tarif retribusi ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Akan tetapi, penyesuaian terhadap Retribusi Izin Gangguan dalam Rancangan Perda ini bukan hanya pada penyesuaian tarif, namun termasuk struktur tarif. Di dalam Pasal 156 ayat (3) huruf e UU Nomor 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa salah-satu ruang lingkup pengaturan dalam Perda tentang Retribusi adalah mengatur tentang Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi. b. Ruang Lingkup Ruang lingkup pengaturan Rancangan Perda tentang Perubahan Atas Perubahan Perda Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Gangguan, meliputi: 1) indeks jenis usaha; 2) indeks tingkat bahaya pencemaran dan kebakaran; 3) indeks waktu kegiatan usaha; 4) indeks skala usaha; 5) indeks luas tempat usaha; 6) indeks lokasi usaha; 7) tarif dasar Izin Gangguan; dan 8) besarnya tarif retribusi. c. Objek Yang Akan Diatur Objek yang akan diatur dalam Rancangan Perda tentang Perubahan Atas Perda Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Gangguan, meliputi penyesuaian Struktur Indeks dan Besarnya Tarif Dasar Retribusi Izin Gangguan.
4. Jangkauan dan Arah Pengaturan Jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Perda tentang Perubahan Atas Perda Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Gangguan adalah sebagai berikut: a. indeks jenis usaha Pada indeks jasa usaha, besarnya indeks ditetapkan berdasarkan klasifikasi jenis usaha, antara lain namun tidak terbatas pada kegiatan: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Usaha Pertambangan; Industri/Pabrik; Pergudangan; Usaha Bahan Bakar Minyak; Usaha Pariwisata; perhotelan; restoran/warung makan, dan sebagainya.
b. indeks tingkat bahaya pencemaran dan kebakaran Pada indeks tingkat bahaya pencemaran dan kebakaran, besarnya indeks ditetapkan berdasarkan klasifikasi tingkat bahaya kecil, bahaya sedang, dan bahaya besar. c. indeks waktu kegiatan usaha Pada indeks waktu kegiatan usaha, besarnya indeks ditetapkan berdasarkan klasifikasi waktu kegiatan, yaitu kegiatan yang dilakukan pada malam hari, siang hari, atau malam dan siang hari. d. indeks skala usaha Pada indeks Skala Usaha, besarnya indeks ditetapkan berdasarkan klasifikasi nilai investasi usahan yang bersangkutan, yaitu usaha besar, usaha menengah, atau usaha kecil. e. indeks luas tempat usaha Pada indeks luas tempat usaha, besarnya indeks ditetapkan berdasarkan klasifikasi luas tempat usaha yang digunakan, yaitu sangat luas, sedang, atau sempit yang ditunjukan dengan ukuran dalam satuan luas. f. indeks lokasi usaha Pada indeks lokasi usaha, besarnya indeks ditetapkan berdasarkan klasifikasi lokasi tempat usaha berada, yaitu berada di di tepi jalan, dalam perumahan, dan sebagainya g. tarif dasar Izin Gangguan. Tarif Dasar Izin Gangguan ditetapkan berdasarkan nilai investasi usaha, yang ditunjukan dengan nilai rupiah. h. besarnya tarif retribusi Besarnya tarif retribusi dihitung dengan cara mengalikan tarif dasar dan setiap indeks usaha/kegiatan.
PENJELASAN ATAS KONSEPSI RANCANGAN PERDA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERDA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RTRW KABUPATEN BUTON TAHUN 2013-2033 1. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal serta pelaksanaan pemanfaatan ruang. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang wilayah dalam waktu kurang dari 5 (lima) tahun dilakukan apabila strategi pemanfaatan ruang dan struktur ruang wilayah kabupaten menuntut adanya suatu perubahan yang mendasar akibat dari penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan /atau Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan dinamika pembangunan diwilayah kabupaten yang bersangkutan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Tengah di Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara, dimana kedua daerah otonom tersbut merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton, telah menyebabkan perubahan batas administrasi di Kabupaten Buton sebagai daerah induk. Perubahan administrasi tersebut berdampak pada luasan wilayah, sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan yang secara drastis menurun di Kabupaten Buton. Perubahan tersebut juga berpengaruh terhadap struktur dan pola ruang di Kabupaten Buton. Sejalan dengan perubahan mendasar tersebut di atas, maka daerah dalam hal ini Kabupaten Buton menilai perlu adanya penyesuaian terhadap rencana tata ruang yang diatur dalam Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang RTRW Kabupaten Buton Tahun 2013-2033, yaitu dengan melakukan peninjauan kembali atau review tata ruang agar sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Review RTRW Kabupaten Buton diharapkan menjadi acuan pelaksanaan pembangunan Kabupaten Buton yang lebih konfrehensif, harmonis, serasi, selaras, seimbang, dan sinergis antar sektor, antar wilayah, maupun antar pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan. Pada akhirnya diharapkan akan semakin mendorong peningkatan kualitas ruang dan kualitas kehidupan masyarakat Kabupaten Buton secara berkelanjutan. RTRW akan menjadi alat penyusun program dan pengendalian pemanfaatan ruang serta menjadi perangkat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan berwawasan tata ruang. Dari latar belakang tersebut diatas, maka penyusunan Rancangan Perda tentang Perubahan Atas Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang RTRW Kabupaten Buton Tahun 2013-2033 pada prinsipnya bertujuan untuk:
a. mewujudkan tatanan ruang wilayah daerah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan dan berdaya saing regional dengan basis sektor pertanian dalam arti luas, pertambangan, perikanan dan kelautan serta pariwisata ; dan b. mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. 2. Sasaran Yang Akan Diwujudkan Adapun sasaran yang akan diwujudkan dengan disusunnya Rancangan Perda tentang Perubahan Atas Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang RTRW Kabupaten Buton Tahun 2013-2033 adalah: a. terwujudnya tatanan ruang wilayah daerah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan dan berdaya saing regional; b. meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang selaras dengan lingkungan; c. menciptakan keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota; dan d. menciptakan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antara wilayah kabupaten dan wilayah kecamatan di wilayah Kabupaten Buton, dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. 3. Pokok Pikiran, Ruang Lingkup, dan Objek Yang Akan Diatur a. Pokok Pikiran 1) Landasan Filosofis Ruang wilayah, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta makna yang terkandung dalam falsafah dan dasar negara Pancasila. Untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, maka negara menyelenggarakan penataan ruang, yang pelaksanaan wewenangnya dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan tetap menghormati hak yang dimiliki oleh setiap orang. 2) Landasan Sosiologis Pemerintah Kabupaten Buton telah menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Tahun 2013-2033, melalui Nomor 1 Tahun 2014. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pemekaran wilayah di jazirah Provinsi Sulawesi Tenggara, mempengaruhi batas administrasi dan luasan wilayah Kabupaten dan Kota, dimana pada Tahun 2014 Kabupaten Buton telah memekarkan wilayahnya dan membentuk menjadi 2 daerah otonom yakni Kabupaten Buton Tengah dan Kabupaten Buton Selatan. Kabupaten Buton sebelumnya terdiri dari 21 Kecamatan dengan luas wilayah daratan ± 3.007,29 Km2, akibat pemekaran wilayah atau pembentukan DOB maka, saat ini wilayah Kabupaten Buton hanya terdiri dari 7 Kecamatan dengan luas wilayah daratan keseluruhan ± 1.675,04 Km2. Materi substansi peruntukan ruang
juga mengalami perubahan signifikan sehingga diperlukan suatu review dan kajian guna menyelaraskan fungsi pemanfaatan lahan berdasarkan luas wilayah Kabupaten Buton saat ini. Berdasarkan kondisi itu maka perlu dilakukan perbaikan dan penyesuaian subtansi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Buton. 3) Landasan Yuridis Adapun landasan yuridis penyusunan perda ini berdasarkan pada Pasal 26 ayat (6) UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mentakan bahwa dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara, wilayah provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan dengan Undang-Undang, rencana tata ruang wilayah kabupaten ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Dengan terjadinya pemekaran wilayah di Kabupaten Buton, yakni lahirnya daerah otonom baru Kabupaten Buton Tengah dengan UU Nomor 15 Tahun 2014, dan Kabupaten Buton Selatan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014, maka untuk memenuhi ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2007 tersebut diatas, perlu dilakukan perubahan atas Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang RTRW Kabupaten Buton Tahun 2013-2033. b. Ruang Lingkup Ruang lingkup pengaturan Rancangan Perda tentang Perubahan Atas Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang RTRW Kabupaten Buton Tahun 2013-2033, meliputi: 1) Peningkatan dan pengembangan pusat-pusat kegiatan dan infrastruktur wilayah; 2) Pengembangan kawasan pertanian; 3) Peningkatan dan pengembangan sektor kelautan dan perikanan serta pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; 4) Perwujudan pengelolaan pertambangan rakyat dan swasta menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ramah lingkungan; 5) Peningkatan kawasan lindung; 6) Pengembangan pariwisata; dan 7) Peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan Negara. c. Objek Yang Akan Diatur Objek yang akan diatur dalam Rancangan Perda tentang Perubahan Atas Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang RTRW Kabupaten Buton Tahun 2013-2033, adalah ruang lingkup wilayah Kabupaten Buton setelah pemekaran Kabupaten Buton Tengah dan Kabupaten Buton Selatan yang mencakup 7 Kecamatan yaitu Kecamatan Pasarwajo, Kecamatan Kapuntori, Kecamatan Lasalimu, Kecamatan Lasalimu Selatan, Kecamatan Siotapina, Kecamatan Wolowa, Kecamatan Wabula.
4. Jangkauan dan Arah Pengaturan Jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Perda tentang Perubahan Atas Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang RTRW Kabupaten Buton Tahun 2013-2033 adalah sebagai berikut: a. Strategi peningkatan dan pengembangan pusat-pusat kegiatan dan infrastruktur wilayah, terdiri atas: 1) penataan dan pengembangan PKWp, PPK dan PPL; 2) pengembangan sistem sarana dan prasarana transportasi meliputi jaringan jalan, angkutan umum dan pelabuhan; 3) penataan dan pembangunan jaringan jalan desa pada pusat-pusat produksi pertanian dan perikanan; 4) pengembangan prasarana air bersih untuk meningkatkan kualitas dan cakupan pelayanan air bersih; 5) peningkatan kapasitas pembangkit tenaga listrik guna keberlangsungan pertumbuhan ekonomi daerah; 6) peningkatan jaringan distribusi minyak dan gas bumi untuk mendukung pertumbuhan perekonomian daerah; 7) pemanfaatan sumber-sumber energi baru terbarukan untuk mendukung diversifikasi energi ; 8) pengambangan jaringan telekomunikasi yang menjangkau seluruh wilayah; dan 9) pengambangan sistem sanitasi lingkungan permukiman, persampahan dan pengolahan air limbah. b. Strategi pengembangan kawasan pertanian, terdiri atas: 1) peningkatan kualitas dan produktifitas kawasan pertanian dalam arti luas; 2) peningkatan jaringan irigasi; dan 3) peningkatan teknologi pertanian secara tepat guna. c. Strategi peningkatan dan pengembangan sektor kelautan dan perikanan serta pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, terdiri atas: 1) penetapan pusat kawasan pengembangan sektor perikanan dan kelautan berupa kawasan pengembangan budidaya perairan dan kawasan perikanan tangkap secara terintegrasi dengan usahausaha ekonomi wilayah sekitar; dan 2) perlindungan dan pengelolaan sumberdaya kelautan untuk kebutuhan perlindungan plasma nutfah , terumbu karang dan sumberdaya hayati d. Strategi pengelolaan pertambangan yang ramah lingkungan, terdiri atas: 1) penataan dan penetapan kawasan peruntukan pertambangan; 2) pengembangan pusat industri pertambangan nasional dan provinsi sebagai suatu kawasan pertambangan dan pengolahan bahan tambang secara terpadu; 3) pengembangan sarana dan prasarana pendukung guna menunjang aksesibilitas pusat kawasan industri pertambangan dengan usaha ekonomi pada wilayah sekitar; 4) pengembangan sarana dan prasarana pelabuhan untuk menunjang aksesibilitas perdagangan antar pulau dan ekspor; 5) pengembangan sistem pengelolaan lingkungan secara preventif maupun kuratif sebelum dan sesudah eksplorasi bahan tambang dan limbah pabrik pengolahan; dan 6) pengendalian perizinan melalui aturan yang jelas dan tegas.
e. Strategi peningkatan kawasan lindung, terdiri atas: 1) peningkatan fungsi kawasan lindung melalui upaya rehabilitasi lahan; 2) pengendalian kegiatan budidaya yang berpotensi merusak atau mengganggu kawasan lindung; dan 3) peningkatan peran serta masyarakat dalam menjaga kawasan lindung. f. Strategi pengembangan pariwisata, terdiri atas: 1) 2) 3) 4)
identifikasi dan pengelolaan potensi ekowisata; pengembangan kawasan wisata alam pantai dan bahari; pengembangan wisata sejarah dan budaya; dan pengembangan potensi wisata alam hutan dan pegunungan.
g. Strategi peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan Negara, terdiri atas: 1) penetapan kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan; 2) pengembangan kegiatan budidaya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan pertahanan dan keamanan untuk menjaga fungsi dan peruntukannya; 3) pengembangan kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya tidak terbangun di sekitar kawasan pertahanan dan keamanan negara sebagai zona penyangga; dan 4) turut serta memelihara dan menjaga aset-aset pertahanan dan keamanan.
TIM PENYUSUN PROLEGDA TAHUN 2016 KETUA, Cap/ttd K A S I M,
S.H.