Referat II
PEMERIKSAAN UNTUK MEMPREDIKSIKAN MATURITAS PARU JANIN
Penyaji : dr. M. Aerul Chakra Alibasya
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG Dipresentasikan : Kamis, 6 Oktober 2005 pukul 08.00 WIB
PEMERIKSAAN UNTUK MEMPREDIKSIKAN MATURITAS PARU JANIN
Penyaji : Dr. Firmansyah
Pemandu
Pembimbing
Dr. H. Agustria Zainu Saleh, SpOG
Dr. Marwansyah FM, SpOG
BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG Dipresentasikan : Senin, 7 Agustus 2000
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... II. FISIOLOGI PERNAPASAN PADA NEONATUS......................................... A. Komposisi surfaktan .................................................................................... B. Pengaturan Sistensis Surfaktan ................................................................... C. Gliserofosfolipid........................................................................................... D. Lesitin (Dipalmitoilfosfatidilkolin) .............................................................. E. Fosfatidilgliserol ...........................................................................................
1 2 4 5 5 6 7
III. AMNIOSINTESIS ..........................................................................................
7
IV. PEMERIKSAAN MATURASI PARU .......................................................... A. Rasio Lesitin- sfingomielin .......................................................................... B. Komponen-komponen minor surfaktan ....................................................... C. Fosfatidilglierol ........................................................................................... D. Phosphatidate phosphohydrolase (PAPase) ................................................. E. Palmitic acid/stearic acid Ratio (P/S ratio)................................................... F. Foam stability test (Shake test) ..................................................................... G. Test of Optical Density ................................................................................. H. Microviscosity............................................................................................... I. Tap Test ......................................................................................................... J. Amniotic fluid turbidity ................................................................................
8 9 11 13 14 15 15 17 18 19 21
V. PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI ........................................................
22
VI. RINGKASAN ................................................................................................
24
VII. RUJUKAN ....................................................................................................
25
PEMERIKSAAN UNTUK MEMPREDIKSIKAN MATURITAS PARU JANIN
I. PENDAHULUAN
Penggunaan analisis terhadap cairan amnion untuk memprediksi maturitas paru- paru janin telah diterima secara luas. Hasil analisis ini telah dimanfaatkan untuk menentukan saat yang tepat unutuk melakukan terminasi kehamilan secara elektif, misalnya pada kasus seksio sesar yang berulang dan merupakan faktor yang penting dalam penatalaksanaan kasus-kasus gestosis, diabetes militus, perdarahan antepartum, inkopabilitas rhesus dan komplikasikomplikasi lain kehamilan.1,2 Apabila karena sesuatu keadaan, kehamilan harus diakhiri atau menunda suatu persalinan, menjadi suatu persoalan untuk menentukan dengan tepat maturitas paru-paru janin. Maturitas paru-paru janin ini sangat erat hubungannya dengan terjadinya sindroma gawat napas (SGN). Pada SGN terdapat gangguan produksi dan sekresi bahan yang disebut surfektan, yang dihasilkan oleh pneumosit tipe II. Produksi bahan tersebut yang sangat cepat meningkat sesudah usia kehamilan 35 minggu. Surfektan akan menurunkan tekanan pada permukaan alveoli, sehingga kolaps alveoli tidak akan terjadi 1,2,3,4 Pemeriksaan maturitas paru sangat bermanfaat, untuk memprediksi terjadinya SGN pada bayi-bayi baru lahir. Di Amerika Serikat, berdasarkan hasil pemeriksaan maturitas paru secara luas, SGN telah diprediksi terjadinya pada 40.000 bayi-bayi yang baru lahir stiap tahun. Sindroma gawat napas mortalitasnya yang cukup tinggi yaitu sebesar 30% dan dalam jangka panjang dihubungkan dengan resiko yang bermakna untuk timbulnya gejala sisa, baik neurologis maupun pulmonologis. 2,4
II. FISIOLOGi PERNAPASAN PADA NEONATUS Saat bayi dilahirkan dan sirkulasi fetoplasenta berhenti berfungsi, bayi tersebut mengalami perubahan fisiologi yang besar sekali dan cepat. Dalam beberapa menit setelah lahir, sistem pernapasan harus mampu memberikan oksigen dan mengeliminasi karbondioksida kalau neonatus itu hendak bertahan hidup. Kelangsungan hidup bayitersebut tegantung pada cepat dan teraturnya
pertukaran oksigen dan korbondioksida antara lingkungan barunya dan sirkulasi paru-paru yang terisi cairan harus diisi dengan udara, udara harus dipertukarkan dengan gerakan pernapasan yang tepat, dan mikrosirkulasi yang kuat harus diciptakan di sekitar alveoli tersebut. 2,4 Segera setelah lahir, pola pernapasan bergeser dari satu inspirasi episodik dangkal, yang khas pada pernapasan janin, menjadi pola inhalasi lebih dalam dan teratur. Sekarang jelas bahwa aerasi paru-paru neonatus bukan inflasi dari suatu struktur yang kolaps, melainkan pergantian cepat cairan bronkhial dan alveoli dengan air. Pada biri-biri, dan diperkirakan pada bayi manusia, cairan alveoli yang tersisa setelah kelahiran dibersihkan melalui sirkulasi paru dan pada tingkat yang lebih kecil, melalui sistem limfatik paru.
2
Karena cairan digantikan dengan udara, terdapat pengurangan cukup besar kompresi vaskuler paru dan selanjut, menurunkan tahanan aliran darah. Dengan menurunnya aliran cairan darah arteri pulmonalis, duktus arteiosus normalnya menutup. Penutupan foramen ovale lebih variabel. 2 Tekanan negative pada toraks yang tinggi diperlukan untuk menghasilkan pemasukan udara pertama kali ke dalam alveoli yang penuh terisi air. Normalnya, dari pernapasan pertama setelah lahir ini, secara progesif lebih banyak udara residual berkumpul di dalam paru-paru, dan setiap pernapasan berikutnya, diperlukan tekanan pembukaan paru-paru, yang lebih rendah. 2,4 Berhasilnya pengisian paru-paru dengan udara dan cepatnya pembentukan pola fisiologi perubahan tekanan volume pada inspirasi dan ekspirasi memerlukan adanya bahan permukaan aktif yang akan merendahkan tegangan permukaan di dalam alveoli dan karena itu mencegah kolapsnya paruparu pada setiap ekspirasi. Tidak cukupnya surfaktan akan menyebabkan timbulnya sindroma gawat napas dengan cepat. 1,2,3,4,10,11 Pada tahun 1929, Von Neergard membandingkan kurva-kurva tekanan volume paru-paru yang dikembangkan dengan udara, dengan paru-paru yang dikembangkan dengan suatu larutan gum Arab. Dari hasil penelitian ini, ia menyimpulkan bahwa kekuatan yang meningkatkan deflasi atau kolapsnya
paru-paru yang mengandung udara adalah kekuatan yang terutama dihasilkan oleh tegangan permukaan pada sekat udara saringan pada alveolus. Clements pada tahun 1957, menemukan bahwa suatu bahan yang menghasilkan tegangan permukaan terdapat di dalam ekstraks-ekstraks salin dari bahan cucian paru. Kemudian ditemukan bahwa sifat-sifat permukaan aktif dari alveoli dapat dihubungkan dengan komponen-komponen suatu kompleks lipoprotein, yaitu surfektan. 1,2,5, Klaus dan rekan (1961) menetapkan bahwa koponen pemukaan aktif surfektan yang penting ada hubungannya dengan suatu lesitin spesifik, yaitu diplamitoilfostidilkolin. 1 Avery dan Mead (1959) adalah yang pertama kali menunjukan bahwa sindrom gawat napas disebabkan oleh defisiensi biosintesis surfaktan dalam paru-paru janin dan neonatus. Berikutnya , beberapa peneliti telah memperlihatkan pertambahan sintesis surfektan, normalnya tampak pada paruparu janin menurut jadual perjalanan waktu perkembangannya; dan, diketahui bahwa dari 40 tipe sel paru, surfaktan dibentuk khususnya pada pneumosit tipe II ini ditandai dengan badan-badan multiveskuler, progenitor seluler dari badan lamellar disekresi dari paru-paru. Dalam kehidupan janin lebih lanjut, pada saat alveolusnya ditandai dengan suatu interface air ke jaringan, badan-badan lamelar utuh disapu ke dalam cairan amnion dengan gerakan-gerakan semacam pernapasan, yaitu peernapasan janin. 2 Ini merupakan cirri yang sangat penting dari kehamilan manusia, karena surfaktan di dalam cairan amnion menunjukan mulainya pematangan fungsional paru-paru. Pada spesies lain, secret-sekret paru tidak perlu masuk ke cairan amnion; misalnya, pada janin biri-biri, interface air ke jaringan diproduksi dalam alveolus paru bayi baru lahir. Hal ini memungkinkan “penguraian” surfaktan dari bahan lamelar dan penurunan tegangan permukaan ini kemudian menyebar ke lapisan alveolus, dank arena itu mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi. Dengan demikian, kemampuan paru-paru janin
untuk memproduksi surfaktan inilah, dan bukan meletakkan badan lamellar ini in-utero, yang menandai kematangan paru sebelum lahir. 2,3
A. Komposisi Surfaktan Pengenalan peran penting surfaktan dalam pencegahan sindro gawat napas mengarahkan banyak peneliti untuk mempelajari komposisi lipoprotein ini. Sekitar 90% surfaktan (berat kering) adalah lipid; dan kira-kira 80% gliserofosfolipid-nya terdiri dari fosfatidilkolin (lesition); tetapi yang penting suatu fosfatidilkolin (disaturated phosphatidycholine atau disaturated lecitin), berjumlah hampir 50% diantara gliserofosfolipid dari surfaktan. Juga ada suatu kandungan yang luar biasa tinggi dari fosfatidilgliserol dalam surfaktan, yaitu 9 – 15 %, jumlah yang jauh lebih besar dari yang ditemukan diberbagai mamalia lainnya (Keidel dan Gluck, 1975). 2,4 Fosfatidilgliserol adalah komponen permukaan aktif surfaktan terbanyak kedua; tetapi lebih penting lagi, fosfatidilgliserol tampak memberikan suatu sifat yang unik pada bagian surfaktan tersebut, suatu sifat permukaan aktif yang melebihi dari apa yang dapat dihubungkan dengan sifatsifat penurunan tekanan permukaan itu sendiri. Kerja fosfotidilgliserol yang kurang diketahui ini, dipercaya dalam mencegah sindroma gawat napas karena bayi-bayi yang lahir sebelum munculnya fosfotidilgliserol dalam surfaktan akan semakin besar kemungkinan resiko terjadinya sindroma gawat napas, bahkan pada bayi-bayi baru lahir yang kandungan dipalmitoilfosfatidilkolin dalam surfaktan-nya normal untuk paru-paru matang. 2, 11, 13, 14
B. Pengaturan Sintesis Surfaktan Dalam suatu seri studi yang bagus sekali, Gluck dan rekan (1967, 1971, 1972, 1974) mendemonstrasikan konsentrasi dipalmitoilfosfatidilkholin (lesitin) yang semakin meningkat di dalam cairan amnion, relative terhadap konsentrasi sfingomielin (rasio lesitin-sfingomielin, atau L/S), merupakan penanda kematangan paru janin. Studi-studi ini berhasil karena gagasan yang
cemerlang untuk menetapkan konsentrasi sfingomielin sebagai acuan untuk sintesis gliserofosfolipid oleh paru-paru pada umumnya, sementara pengukuran dipalmitoilfosfatidilkholin (lesitin) merupakan suatu indeks spesifik dari sintesis surfaktan dalam pneumosit tipe II. Hallman dan kawan-kawan (1976) kemudian mendemonstrasikan bahwa identifikasi fosfatidilgliserol dalam cairan amnion juga merupakan indikastor untuk kematangan paru. 2, 11, 16 Dari banyak observasi yang saling melengkapi ini, menjadi jelas bahwa sintesis surfaktan yang bertambah banyak, khususnya yang kaya akan dipalmitoilfosfatidilkolin
dan
fosfatidilgliserol,
adalah
penting
untuk
berhasilnya persiapan paru janin untuk transisi dari interface air-alveolus ke interface udara-alveolus, peristiwa-peristiwa yang harus terjadi kalau kolaps alveolus pada waktu ekspirasi setelah lahir harus dicegah. Jadi, pengaturan kecepatan sintesis dipalmitoilfosfatidilkolin dan fosfatidilgliserol dalam paru janin merupakan tanda yang penting. 2,11
C. Gliserofosfolipid Biosintesis surfaktan terbatas di sel-sel paru tipe II. Apoprotein diproduksi di dalam retikulum endoplasmik. Komponen-komponen permukaan aktif surfaktan, yaitu gliserofosfolipid, disintesis dengan cara interaksi kooperatif antara beberapa organel seluler. Reaksi umum terlibat di dalam langkah-langkah awal dalam biosintesis fosfatidilkolin dan fosfatidilgliserol. Tulang punggung gliserol untuk sintesis fosfatidilkolin, dan fosfatidilinositol, dan fosfatidilgliderol (asam fosfatidat) disediakan oleh hidroksiaseton fosfat dari satu atau dua rangkaian reaksi. Glikogen, yang disimpan di dalam sel-sel paru tipe II ini sebelum waktu sintesis surfaktan cepat, digunakan dalam pembentukan gliserol-3-fosfat di paru janin (untuk tinjauan : Odom dan kawankawan, 1986). Glisrol-3-fosfat di-asilkan dengan suatu langkah dalam suatu proses yang menghasilkan asam fosfatidat dimana ada dua jenis asam lemak. Asam fosfatidat adalah precursor dari semua gliserolfosfolipid surfaktan. Donor asil untuk kerangka gliserol adalah asam lemak koenzim A (KoA). 2
Penting ditekankan bahwa asam fosfatidat adalah suatu subrstrat yang umum untuk pembentukan kedua gliserofosfolipid permukaan aktif utama tersebut,
yaitu
dipalmitoilfosfatidilkolin
dan
fosfatidilgliserol.
Jadi,
metabolisme asam fosfatidat merupakan suatu titik cabang kritis dalam pengaturan biosintesis gliserofosfolipid permukaan aktif utma pada surfaktan. 2,11
D. Lesitin (Dipalmitoilfosfatidilkolin) Dipalmitoilfosfatidilkolin, atau adalah gliserofosfolipid surfaktan utama. Dalam sintesis lesitin, asam fosfatidat di-hidrolisis, melalui kerja fosfohidrolase (PAPase) untuk menghasilkan sn-1,2- diasilgliserol bertindak sebagai ko-substrat dengan sitidin difosfat (CDP)-kolin dalam pembentukan fosfatidilkolin. Reaksi yang terakhir ini dikatalis oleh enzim kolin fosfotransferase (CPTase). Ko-substrat, CDP-kolin, dibentuk dalam suatu rangkaian reaksi; melalui kerja keras kinase, fosforikolin dibentuk. Fosforikolin, sebaliknya dikonversi menjadi CDP-kolin dalam suatu reaksi yang dikatalis sitidin trifosfat (CTP)-fosfokolin sitidilitransferase. 1,2,3
E. Fosfatidilgliserol Pengaturan sintesis Fosfatidilgliserol sangat penting karena Hallman dan kawan-kawan (1976) telah memperlihatkan bahwa meningginya konsentrasi fosfatidilgliserol, bersama menurunnya konsentrasi fosfatidilinositol dalam surfaktan juga menyatakan kematangan paru. Beberapa bayi yang lahir dari ibuibu
diabetik,
mengalami
sindroa gawat napas meskipun konsentrasi
dipalmitoilfosfatidilkolin didalam cairan amnion tinggi. Surfaktan di paru-paru dan cairan amnion pada janin-janin dan neonatus yang sakit tersebut ditandai dengan kadar fosfatidilgliserol yang rendah dan kadar fosfatidilinositol yang tinggi. Selanjutnya telah diperlihatkan bahwa fosfatidilgliserol juga bekerja meningkatkan enzim jaringan paru. Fosfokolinsitidiltransferase, suatu enzim
yang penting utuk biosintesis fosfatidilkolin. Jadi, pemahaman tentang pengaturan pembentukan fosfatidilgliserol menjadi penting dalam memikirkan peristiwa-peristiwa biokimiawi akhir pada pematangan paru janin. 2, 11
Sampai sekarang, pengaturan biosintesis fosfatidilinositol dan fosatidilgliserol tidak dipahami sepenuhnya (Bleasdale dan kawan-kawan, 1979). Pada berbagai peristiwa, diketahui bahwa pada pematangan paru janin pertama kali ada “lonjokan” sintesis fosfatidilgliserol bersamaan dengan penurunan fosfatidilinositol dalam surfaktan. 2
III. AMNIOSINTESIS Amniosintesis
pada
mulanya
terutama
dilakukan
untuk
memperkirakan konsentrasi bilirubin atau pigmen seperti seperti bilirubin dalam cairan amnion, untuk menemukan penyakit hemolitik pada janin. Sekarang, prosedur ini paling sering digunakan untuk menetapkan konsentrasi relatife fosfolipid surfaktan aktif untuk mengidentifiaksika apakah janin sudah atau belum mengalami kematangan paru. 1,2,3 Beberapa pemeriksaan yang digunakan untuk memprediksikan maturitas paru-paru janin umumnya memakai cairan amnion sebagai specimen pemeriksaan. Cairan amnioan ini yang terutama didapatkan dengan cara melakukan amniosentesis suprapublik. Disampnig itu juga mengguanak cairan amnion yang didapatkan dari vaginal pool, yaitu pada kasus-kasus dengan keuban pecah dini. 1,2,3,5, Caiaran amnion yang didapatkan dari aamniosentesis ini, apabila terkontaminasi darah, akan cukup mempersulit teknik pemeriksaan dan interpretasi hasilnya. Darah dapat merubah kadar berbagai kandungan dalam cairan amnion yang sedang ditelit. Gibbons dkk. (1974) meneliti efek-efek penambahan darah ibu ke dalam cairan amnion segar, yang kemudian disentrifugasi dengan baik. Penambahan darah dengan konsentrasi 1 persen atau lebih ke dalam cairan amnion, menyebabkan penurunan rasio lesitin-
sfngomielin (L/S Ratio), suatu perubahan yang akan menimbulkan dugaan janin kurang matur. Buhi dan Spellacy (1975) menemukan bahwa serum ibu mempunyai rasio lesitin-sfngomielin1:3 sampai 1:5, dan mereka menemukan bahwa penambahan serum ini ke cairan amnion akan mempengaruhi rasio lesitin-sfngomielin; mekonium juga menurunkan rasio lesitin-sfngomielin. 1,5
IV. PEMERIKSAAN MATURITAS PARU Surfaktan merupakan suatu senyawa yang kompleks yang terdiri dari protein dan fosfolipid. Telah diterima secara luas bahwa kadar fosfolipid dalam cairan amnion akan meningkat sesuai dengan usia kehamilan dan mempunyai korelasi dengan resiko terjadinya sindroma gawat napas. Tidak ada pemeriksaan cairan amnion yang betul-betul reliable, mudah dilakukan, dan secara universal dapat dilakukan untuk memprediksi maturitas paru-paru janin. Sebagai konsekuensinya. Dikembangkan banyak macam pemeriksaan meturitas paru janin yang telah dilakukan oleh peneliti.1,3,5,6,16 Beberapa uji yang digunakan untuk memperkirakan surfaktan paruparu, dan untuk meramalkan terjadinya sindroma gawat napas, telah ditinjau oleh O’Brien dan Cefalo. Mereka membagi berbagi metode pemeriksaan maturitas paru-paru tersebut ke dalam dua kelompok besar : 1 A. Secara kimiawi : 1. Rasio Lesitin-sfngomeilin (L/S Ratio) 2. Komponen-komponen minor surfaktan 3. Fosfatidigliserol 4. Phosphotidate phosphohydrolase 5. P/S Ratio
B. Secara biofisik : 1. Foam stability test 2. Test of optical density 3. Microviscosity
A. Rasio Lesitin-sfngomielin Pemeriksaan
untuk
menentukan
rasio
lesitin-sfngomielin
ini
merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk memprediksikan maturitas paru-paru janin, dan dianggap sebagai “gold standart method” . Pemeriksaan ini mempunyai beberapa hal yang kurang menguntungkan, yaitu memerlukan banyak waktu dalam proses pemeriksaannya, disamping itu pengukuran rasio lesitin-sfngomielin ini memerlukan laboratorium yang monitornya dengan baik karena variasi kecil dalam taknik dapat sangat mempengaruhi keakuratan hasilnya. 1,12 Borer dan dkk, yang pertama kali memperkenalkan pengukuran rasio lesitin-dfngomielin ini. Selanjutnya banyak penelitian dilakukan untuk mengevaluasi berbagai teknik pemeriksaan ini. 1,13,16,18,19 Metode Gluck dkk dimulai dengan melakukan sentrifugasi terhadap cairan amnion yang akan diperiksa dengan 5.400 rpm selama 5 sampai 10 menit, kemudian dilakukan ekstraksi fosfolipid dengan chloroform, presipitasi dalam asetor dingin, resuspensi dalam chloform separation dengan thin-layer chromatography (TLC), dan pengukuran rasio lesitin-sfngomeilin dengan menggunakan densitometry atau dilakukan pewarnaan dengan bromothymol blue dilanjutkan dengan planimetry. Apabila analisis tersebut tidak cepat dilakukan, spesimen hendaknya dimasukan dalam lemari pendingin. Metode ini juga dipakai oleh Donald dkk dan Aubrey dkk dalam penelitianpenelitiannya. 1 Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengukur rasio lesitin sfngomielin dengan menggunakan berbagai modifikasi dalam prosedur pemeriksaannya. Modifikasi yang paling sering adalah menghilangkan langkah pemeriksaan presitasi dalam aseton dingin. Gluck dkk menyatakan bahwa prespitasi dengan aseton akan memisahkan fosfolipid permukaa-aktif dari yang bukan permukaan aktif, tetapi peneliti-peneliti lain tidak menemukan pemisahan fosfolipid dalam dua fraksi tersebut. Penelitian
dengan menggunakan metode tanpa presipitasi aseton dilaporkan oleh Tuimala serta Morison dkk yang menyatakan prediktabilitas rasio lesitin sfngomielin pada level 1,5/1dan 2/1. 1 Sebelum kehamilan 34 minggu, lesitin dan sfingomielin terdapat didalam cairan amnion denga konsentrasi yang sama. Pada sekitar usia kehamilan 34 minggu, konsentrasi relative lesitin terhadap sfingomielin mulai naik. Gluck dkk, pada tahun 1971, melaporkan bahwa untuk kehamilan yang tidak diketahui umurnya tetapi tanpa komplikasi apaun, resiko terjadinya sindroma gawat napas pada bayi baru lahir sangat kecil kalau konsentrasi lesitin di dalam cairan amnion sedikitnya dua kali konsentrasi sfingomielin, sementara itu ada resiko yang semakin tinggi untuk terjadinya sindroma gawat napas kalau rasio lesitin-sfingomielin di bawah 2. hal ini segera dikonfirmasikan oleh peneliti lain. Pada tahun 1975, Harvey dkk menggabungkan 25 laporan yang rasio lesitin-sfingomielin diukur dengan teknik yang sama pada cairan amnion yang dikumpulkan dalam 72 jam setelah kelahiran. Bila rasio lesitin-sfingomielin lebih besar dari 2, resiko terjadi sindroma gawat napas ditemukan kecil sekali, kecuali bila ibu menderita diabetes. Kalau rasio lesitin-sfingomielin antara 1,5 sampai 2, maka sindroma gawat napas ditemukan pada 40% kasus, dan kalau dibawah 1,5 ditemukan pada 73% kasus. Meskipun 73 bayi mengalami sindroma gawat napas kalau rasio lesitin-sfingomielin dibawah 1,5 tetapi yang terbukti fatal hanya pada 14%. 1
B. Komponen-komponen minor surfaktan Pada tahun 1973, Nelson dan Lawson melaporkan hasil evaluasi terhadap konsentrasi total phospholipid phosphorus dalam cairan amnion dengan ekstrak lipid total yang dipresipitasi menggunakan aseton dingin. Hasil presipitasi ini dihancurkan dengan sulfuric acid yang menyebabkan lepasnya inorganic phosphorus, kemudian diukur dengan spectrophotometry.
Penelitian ini mendapatkan bahwa bila konsentrasi total
phospholipid
phosphorus lebih dari 0,140 mg/dl tidak satupun ditemukan terjadi sindroma gawat napas di antara 150 neonatus. Sementara biala konsentrasi total phospholipid phosphorus kurang dari 0,140 mg/dl ditemukan sindroma gawat napas pada 12 antara 37 neonatus. 1 Pada tahun 1972 dan 1973, Nelson dan Lawson melaporkan pemakaian konsentrasi lesitin dalam cairan amnion sebagai indeks untuk menilai maturitas paru-paru janin. Sampel cairan amnion disentrifugasi pada 1.500 rpm selama 10 menit supernatant yang diasilkan diperiksa dengan thinlayer chromatography (TCL). Bintik lesitin dan sfingomielin kemudian dianalisis dengan menggunakan Lechitin phosphorus. Pada penelitian awal dilaporkan bahwa didapatkan hasil dengan prediktabilitas yang akurat dimana konsentrasi lesitin 0,100 mg tidak satupun terjadi sindroma gawat napas dari 74 neonatus. Pada penelitian yang kedua dilaporkan bahwa pemeriksaan ini lebi prediktif untuk sindroma gawat napas daripada berat badan. Korelasi ini memberikan bukti bahwa pemeriksaan ini mempunyai korelasi yang lebih baik dengan tingkat maturitas paru-paru janin daripada dengan usia kehamilan. 1 Pada tahun 1974 dan 1976, Lindback dkk melaporkan penelitian mengenai pemeriksaan lesitin cairan amnion. Setelah dilakukan ekstraksi lipid dengan chloroform, lipid dipisahkan dengan thin-layer chromatography (TCL). Hasil pengukuran dinyatakan dalam micromole per desi liter. Pada pasien normal, diambil kadar lesitin sebesar 4,8 mikromole per desi liter sebagai nilai ambang prediktif. Pada pasien dengan hipertensi atau diabetes dan pertumbuhan janin terhambat, dari 48 neonatus dengan konsentrasi lesitin diatas nilai ambang sindroma gawat napas pada 6 neonatus. 1 Pada tahun 1976, Lindback melaporkan nilai predeksi utuk konsentrasi esterified palmitic acid dalam cairan amnion. Sampel cairan amnion tidak disentrifugasi, dieksrtaksi dalam chloroform dan di-transesterifikasi pada methylester. Sampel ini kemudian diperiksa dengan mengguanakan gas-liquid
chromatography (GLC) dan konsentrasi palmitic acid dinyatakan dalam milimole per liter. Nilai ambang ditentukan yaitu 0,072 milimole per liter. 1 Pada tahun 1977, Bichler dkk melaporkan pemeriksaan konsenrtasi pamitic acid cairan amnion. Setelah dilakukan sentrifugasi pada 1.500 g selama 10 menit, sampel cairan amnion dilihat apakah ada verniks, bila ada maka dilakukan filter. Dilakukan ekstraksi dengan chloroform, dilanjutkan dengan proses hidrolisasi dan metalisasi. Kemudian diperiksa dengan gas liquid chromatography (GLC),estimasi konsentrasi palmitic acid dibuat dengan membandingkan palmitic acid methyl ester standar. Ditentukan nilai ambang 5 gm/ml. 1 C. Fosfatidilgiserol Walaupun lesitin merupakan komponen utama fosfolipid surfaktan paru-paru, fosfolipid lain mungkin juga menambah aktif total surfaktan. Komponenminor fosfolipid yang terutama adalah fosfotidilglisrol dan fosfatidilinositol. Pada tahun 1976, Hallman dkk menemukan adanya korelasi antara persentase fosfatidilgliserol dan fosfatidilinositol dengan usia kehamilan dan rasio lesitin-sfingomielin pada 66 spesimen yang didapatkan dari kehamilan normal. Pada tahun 1977, peneliti lain dari kelompok ini juga mendapatkan bahwa dalam spesimen yang didapatkan dari aspirasi tracheal neonatus-neonatus yang mengalami sindroma gawat napas tidak ditemukan adanya fosfatidilgliserol. Setelah usia kehamilan 30 minggu, fosfatidilgliserol ini selalu teridentifikaasi pada neonatus yang tadak engalami sindroma gawat napas. 1 Pada
tahun
1977,
Cunningham
dkk
melaporkan
tidak
teridentifikasinya fosfatidilgliserol dan sampel cairan amnion yang didapatkan dari kehamilan resiko tinggi dengan usia kehamilan 34-37 minggu. 1, 11, 12, 16 Pada tahun 1978, Golde melaporkan hasil pemeriksaan terhadap fosfatidilgliserol pada sampel cairan amnion dari 215 pasien melahirkan bayi dalam 72 jam dari saat pemeriksaan. Pada sampel cairan amnion yang
mengandung fosfatidilgliserol tidak teridentifikasi, sindroma gawat napas terjadi pada 4 neonatus. 11, 20 Whittle dkk pada tahun 1982 melaporkan bahwa kerja surfaktan yang tidak cukup untuk mencegah sindroma gawat napas, sekaligus rasio lesitinsfingomielin adalah 2, dianggap disebabkan sebagaian oleh kurangnya fosfatidilgliserol
dan
peninggian
permukaan
aktif.
Ditemukannya
fosfatidilgliserol didalam cairan amnion memberikan jaminan yang cukup besar, tetapi tidak harus merupakan garansi absolut, bahwa sindroma gawat napas tidak akan timbul. 11 Fosfatidilgliserol belum ditemukan di dalam darah, mekonium, atau secret vagina, karena itu kontaminan-kontaminan ini tidak akan mengacaukan interpretasi. Tidak adanya fosfatidilgliserol idaklah harus merupakan indikator kuat bahwa sindroma gawat napas kemungkinan akan timbul setelah lahir, tidak adanya fosfolipid ini hanya menunjukan bahwa bayi tersebut mungkin akan mengalami sindroma gawat napas. 11 Uji aglutinasi iminologi cepat (dalam 15 menit) (Amniostat-FLM) untuk mendeteksi fosfatidilgliserol dalam sampel cairan amnion, mempunyai keakuratan yang tinggi, dan dengan demikian dapat dipakai untuk menemukan ketidakmungkinan neonatus akan mengalami sindroma gawat napas. Hal ini telah dibuktikan secara memuaskan oleh Garite dkk pada tahun 1983. 2
D. Phosphatidate Phosphohydrolase (PAPase) Herbert dkk melaorkan aktifitas spesifik dari enzim phosphatidate phosphohydrolase (PAPase) dalam cairan amnion. Enzim ini telah diketahui terdapatdalam badan-badan lamellar pada pneumosit tipe II peningkatan aktifitas enzim enzim phosphatidate phosphohydrolase berkaitan dengan sintesis surfaktan pada kehamilan. Enzim ini diduga merupakan faktor kritis dalam produksi lesitin dan fosfatidilgliserol. 20
Penelitian ini meliputi 223 kehamilan, sampel cairan amnion didapatkan melalui amniosentesis transabdominal dan bebas dari kontaminasi darah dan mekonium. Aktifitas enzim phosphatidate phosphohydrolase didapatkan seiring dengan usia kehamilan dan mempunyai korelasi dengan sindroma gawat napas. Dari 53 neonatus yang lahir beberapa waktu setelah pemeriksaan dengan level kurang dari 50, sepuluh diantaranya didapat terjadi sindroma gawat napas, sementara dari 170 neonatus dengan level 50 atau lebih, terjadi sindroma gawat napas pada 1 kasus. 20
E. P/S Ratio O’Ne’il dkk melaporkan hasil pemeriksaan palmitic acid / stearic acid ratio (P/S Ratio) pada sampel cairan amnion dari 64 pasien. Pada 31 diantara pasien-pasien ini, kehamilan dengan komplikasi diabetes mellitus. Setelah dilakukan ekstraksi lipid dan thin-layer chromatography (TLC), bintik lesitin diekstraksi, hidrolisasi, dan metilasi. Ester yang dihasilkan diekstraksi, redissolved, dan diperiksa dengan gas-liquid chromatography. Nilainya dibandingkan denagn metal ester asam lemak murni standar. 1,2
F. Foam Stability Test (Tes Busa) Metode pemeriksaan ini menawarkan hasil lebih yang cepat didapatkan, mudah dilakukan, reagensia yang mudah didapatkan Foam Stability Test atau uji stabilitas busa, metode pemeriksaan ii diperkenalkan pertama kali oleh Clements pada tahun 1972, disebut juga shake test atau uji kocok, sekarang dipakai secara luas. Kelemahan utama yang tampak pada pemeriksaan ini adalah tingginya hasil negatif palsu dan keakuratan-nya masih perlu dipertanyakan pada kehamilan-kehamilan resiko tinggi. Pemeriksaan ini tergantung pada kemampuan surfaktan dalam cairan amnion, kalau dicampur dengan etanol dalam jumlah cukup, untuk menimbulkan busa yang stabil pada interface udara-udara. Teknik ini memerlukan tidak lebih dari 30 menit untuk mengerjakannya. 1,2
Ke dalam tabung kaca 13x100 yang bersih secara kimiawi dengan tutup sekrup plastic berlapis Teflon, dimasukan 1,0 ml cairan amnion yang baru saja diambil dan 1,0 ml etanol 95% (dibuat dengan melarutkan 19,0 bagian alcohol absolute dan 1 bagian aquades). Cairan amnion 0,5 ml, saline 0,9% sebanayk 0,5ml, dan etanol 95% sebanayk 1ml dimasukan kedalam tabung lain. Masing-masing tabung dengan dikocok kuat selama 15 menit dan ditempatkan tegak di rak selama 15 menit. Bertahannya cincin utuh gelembung pada interface udara-cairan setelah 15 menit dianggap sebagai uji positif. 1,2 Kalau cincin busa bertahan selama 15 menit, resiko terjadinya sindroma gawat napas sangat rendah. Misalnya, Schlueter dkk (1975) hanya menemukan satu kasus sindroma gawat napas dari 205 kehamilan dengan uji positif untuk cairan amnion yang dilarutkan dengan volume salin yang sama. Tetapi ada 2 masalah pada uji coba ini : A.
Kontaminasi sedikit saja cairan amnion, reagen, atau alat kaca, atau kesalahan pengukuran, dapat merubah hasil ayng cukup jelas.
B.
Uji negative palsu agak sering terjadi, yaitu kegagalan cincin busa untuk tetap utuh selama 15 menit di dalam tabun berisi cairan amnion yang diencerkan, tidak perlu meramalkan sindroma gawat napas.
Pemeriksaan dengan shake test ini, penting diperhatikan kemurnian reagensia dan kontaminasi sampel cairan amnion dengan darah atau mekonium dapat menyebabkan hasil positif palsu. 1 Turnbull dkk pada pemeriksaan terhadap 96 pasien melaporkan bahwa lebih dari 80% pasien dengan hasil negatif atau intermediate ternyata tidak terjadi sindroma gawat napas. Pada suatu seri pemeriksaan terhadap 279 kehamilan normal dan 489 kehamilan abnormal yang dilakukan oleh Morrison dkk, mereka mengkonfirmasikan nilai prediksi terhadap tes positif pada kehamilan normal. Pada kehamilan abnormal,temasuk pasien dengan
dibetes mellitus, terjadi kurang lebih 4 kali lipat peningkatan prediksi positif palsu terhadap maturitas. Dalam review terhadap 11 laporan, meliputi 849 pasien, Harvey dkk mencapai kesimpulan hasil shake test ini sebagaimana yang dilaporkan oleh Clements dkk. Disin didapatkan bahwa prediksi terjadinya sindroma gawat napas pada hasil intermediate atau immatur tidak cukup reliable sebagaimana rasio lesitin-sfingomielin, namun demikian prediksi maturitas sangat reliable. 1
Pada tahun 1973, Edwards dan Baillie melaporkan pemeriksaan stabilitas busa (Foam stability = FS50) dengan konsentrasi akhir 50% (v:v) memakai etanol murni (100%). Dengan metode ini, busa yang timbul pada rasio 1:1 diklasifikasikan sebagai hasil positif. Pada penelitian terhadap 63 pasien, tidak ditemukan adanya positif palsu, dan 4 dengan hasil negative palsu. 2 Pada tahun 1978, dengan menggunakan metode pemeriksaan ini, Statland dkk melaporkan hasil pemeriksaan terhadap 104 pasien, 43 orang dengan kehamilan normal dan 61 orang dengan kehamilan abnormal. Pada 80 pasien dengan hasil tes positif, tidak satupun terjadi RDS, tetapi 2 pasien mengalami transient tachypnea. Pada penelitian dengan seri pemeriksaan yang lebih sedikit, FS50 dibandingkan dengan rasio lesitin/sfingomielin, RDS tidak ditemukan pada hasil tes positif, walaupun rasio lesitin-sfingomielin kurang dari 2.2
G. Test of Optical Density Pada tahun 1977,
Sbarra
dkk mendapatkan bahwa derajat penyerapan
cahaya denagn panjang gelobang 650 nm telah dilaporkan berkorelasi baik dengan rasio lesitin-sfingomielin di dalam cairan amnion. Pada tahun 1983, Tsai dkk melaporkan uji ini paling informative pada penyerapan tinggi; tetapi diantara kedua ekstrim tersebut, nilai positif palsu dan negatif palsu terbukti
mengganggu. Selain itu, Khouzami dkk (1983) melaporkan bahwa perbedaan sentrifugasi mengubah penyerapan cahaya cukup besar oleh cairan amnion. Yang paling sering dipakai adalah pengukuran optical density dari cairan amnion pada 650 nm. Walaupun pemeriksaan ini mudah dan cepat, hasil pemeriksaan dipengaruhi oleh variasi volume cairan amnion. 1,2 Pada tahun 1977, Sbarra dkk melaporkan adanya korelasi optical density cairan amnion pada 650 nm (OD 650) setelah disentrifugasi pada 2.000 x g selama 10 menit dengan rasio lesitin-sfingomielin.pada penelitian ini, hasil pengukuran dibandingkan dengan metode modifikasi Borer. Semua sampel dengan OD650 > 0,15 menunjukan rasio L/S < 2, dan 41 dari 59 pasien dengan 300 sampel, 2 dari 136 sampel dengan hasil > 0,15 mempunyai rasio L/S < 2 dan 13 dari 164 sampel dengan hasil < 0,15 mempunyai rasio L/S > 2,0. 1,2 Copeland dkk juga melaporkan hasil penelitian dengan metode pemeriksaan ini terhadap 87 sampel, dan menunjukan korelasi dengan rasio L/S. Tidak ditemukan hasil positif palsu, tetapi didapatkan negatif palsu sebesar 40%. 1,2
H. Microviscosity Metode pemeriksaan ini dapat memberikan hasil yang cepat, dan tekniknya sederhana dan mudah dilakukan, tetapi kekurangannya adalah instrument dan reagen-nya mahal. Pemeriksaan ini sering juga disebut pemeriksaan polarisasi fluoresen atau mikroviskometri. 1 Pada tahun 1976, Shinitzky dkk memperkenalkan pemeriksaan dengan mengukur microviscosity cairan amnion. Metode pemeriksaan ini didasarkan pada pengukuran jumalh depolarisasi oleh fluoresen spesifik yang dilarutkan dalam lipid cairan amnion. Sebagai suatu pengukuran dari viskositas, pemeriksaan ini merefleksikan aktifitas tegangan permukaan cairan dan dinyatakan sebagi nilai P. 1 Pada penelitian awal meliputi 47 sampel, nilai P sampel cairan amnion kurang lebih 0,400 sampai 0,200 dengan usia kehamilan lanjut. Pada publik
selanjutnya, nilai P ditentukan < 0,366 dipakai sebagai indikator maturitas, hasil ini dibandingkan dengan rasio L/S. Pada 153 dari 161 pemeriksaan, hasilnya sesuai. Pada 8 kasus, nilai polarisasi yang mengindikasikan maturitas paru berhubungan dengan rasio L/S kurang dari 2. 1 Pada tahun 1978, Gonen dkk melaporkan penggunaan teknik ini untuk memeriksa 47 sampel cairan amnion. Dengan analisis retrospeksi, nilai kritis ditentukan < 0,320 untuk maturitas dan > 0,340 untuk immaturitas, tidak didapatkan hasil prediksi yang salah pada penelitian ini. 1,2 Golde melaporkan pemeriksaan mikroviskositas yang dibandingkan dengan ratio L/S untuk memprediksi terjadinya sindroma gawat napas, meliputi 56 sampel. Semua neonatus dengan nilai P matur tidak terjadi sindroma gawat napas dan dari 12 neonatus dengan nilai P immature tidak terjadi sindroma gawat napas pada 4 neonatus. 1,2 Elrad dkk melaporkan penggunaan teknik ini untuk memeriksa 151 sampel. Hasilnya dibandingkan dengan rasio L/S dan dievaluasi juga outcome neonatal-nya. Lima sampel dengan nila P immatur (> 0,345), neonatus mengalami sindroma gawat napas. Pada 63 kasus dengan nilai P matur (< 0, 345), tidak satu pun mengalami gawat napas. 1,2 I. Tap test 5,17 Pada tahun 1984, Socol dkk melaporkan telah melakukan penelitian untuk menilai maturitas paru-paru janin dengan metode pemeriksaan baru yang disebut tap test. Metode pemerksaan ini hasilnya cepat, tidak mahal, dan hanya memerlukan 1 ml sampel cairan amnion. Cairan amnion didapatkan melalui amniosentesis atau dari vaginal pool. Tap test dilakukan denga cara mencampurkan kurang lebih 1 ml sampel cairan amnion dengan 1 tetes 6N hidrocloric acid (konsentrasi hidrocloric acid diencerkan 1:1) dan kemudian ditambahkan kurang lebih 1,5 ml diethyl ether. Campuran ini kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi, kemudian di-tapped tiga atau empat kali, dimana akan dihasilkan kira-kira
200-300 gelembung busa dilapisan ether. Pada cairan amnion dari janin yang matur, gelembun busa tersebut dengan cepat timbul dipermukaan dan pecah; pada cairan amnion dari janin yang immatur, gelembung busa tersebut stabil atau pecah dan lambat. Pada penelitian ini tap test dibaca pada 2,5 dan 10 menit. Jika tidak dari gelembung busa yang tinggal di lapisan ether, hasil tes dinyatakan matur. Pada penelitian mereka, tap test dibandingkan dengan phospholipid profile pada 88 fetus, dimana 70 diantaranya lahir sebelum aterm. Semua fetus lahir dalam 72 jam setelah specimen cairan amnion diambil. Hasil tes kemudian diambil korelasinya dengan terjadi tidaknya sindroma gawat napas pada neonatus. Ketika hasil tap test dievaluasi pada 2,5 dan 10 menit, nilai prediksi untuk hasil tes matur secara berturut-turut adalah 100%, 98% dan 98%; sedangkan nilai prediksi untuk tes immatur secara berturut-turut adalah 43%, 52% dan 58%. Pada phospholipid profile, nilai prediksi untuk hasil tes matur dan immature berturut-turut adalah 98% dan 37%. Penemuan ini memberikan indikasi kemampuan tap test untuk memprediksi maturitas paruparu janin adalah sebanding dengan phospholipid profile. Pada tahun 1993, Kassanos dkk melaporkan hasil penelitiannya dalam memprediksi maturitas paru-paru janin dengan tap test, menggunakan metode yang sama denagn yang dilakukan Socol dkk. Mereka mengambil sampel cairan amniondari 207 wanita dengan usia kehamilan antara 17-40 minggu dan hasilnya dibandingkan dengan pemeriksaan phospholipid profile. Didapatkan hasil, nilai prediktif untuk tap test immatur adalah 100 %, 99 % dan 98.2 %, sedangkan untuk tap test immatur adalah 45. 8 %, 50 % dan 56.4 % pada pembacaan 2,5 dan 10 menit. Nilai prediksi untuk rasio lesitin/sfingomielin matur dan immatur adalah 99,0% dan 47.8%. berdasarkan hasil penelitian tersebut mereka mengambil kesimpulan bahwa tap test merupakan pemeriksaan yang reliable, cepat, mudah dilakukan, tidak mahal dan metode yang akurat untuk memprediksi maturitas paru-paru janin.
J. Amniotic Fluid Turbidity 10 Suatu pemeriksaan yang cepat, dengan teknik pemeriksaan yang sangat sederhana untuk memprediksikan maturitas paru janin. Verniks kaseosa merupakan material lemak kompleks yang terdiri dari sebaseus dan epithelial, didapatkan pada kulit janin pada trimester III kehamilan. Seiring dengan matangnya epidermis, verniks akan menurun daya lekatnya pada kulit janin. Lepasnya lapisan verniks dari epidermis menyebabkan meningkatkan partikel-partikel free floating di dalam cairan amnion dan akibatnay meningkatkan turbiditas cairan amnion. Karena turbiditas cairan amnion meningkat dengan bertambah tuanya kehamilan, maka turbiditas cairan amnion ini dapat menjadi petunjuk tak langsung bagi maturitas paru-paru janin. Turbiditas cairan amnion dan maturitas paru-paru janin mempunyai hubungan yang saling berkait dengan usia kehamilan. Stong dkk, pada tahun 1992, melakukan pemeriksaan turbiditas cairan amnion pada 100 sampel yang didapatkan melalui amniosentesis. Prosedur pemeriksaan yang dilakukan : 2-5 ml cairan amnion segar ditempatkan pada sebuah tabung reaksi 7 ml (diameter 13 ml). tabung ini kemudian ditempatkan di depan sebuah kliping berita yang dipilih dan digunakan utuk seluruh 100 sampel. Apabila kliping berita tersebut dapat dibaca melalui sampel cairan amnion tersebut, maka diklasifikasikan sebagai clear (jernih). Apabila kliping tersebut tidak dapat dibaca, maka diklasifikasikan sebagai turbid (keruh). Seluruh sampel cairan amnion dinilai di dalam ruangan yang sama dan dengan lampu penerang yang sama. Kemudian dilakukan pemeriksaan rasio lesitinsfingomielin dan fosfotidilgliserol. Paru-paru dinyatakan matang bila rasio lesitin-sfingomielin > 2,0 atau fosfotidilgliserol terdeteksi. Strong dkk mendapatkan bahwa nilai prediksi positif turbiditas cairan amnion untuk janin matur adalah 97%, sensifitas dan spesifitas turbiditas cairan amnion adalah 59% dan 98%. Sensifitas dan spesifitas janin immatur 98% dan 59%. Nilai
prediksi positif dan negative untuk janin immatur adalah 71% dan 29%. Tidak satupun dari janin yang hasil pemeriksaan cairan amnion-nya keruh yang menderita sindroma gawat napas atau pun memerlukan bantuan oksigen setelah lahir. DiGiovanni dan Parsons, pada penelitian mereka dengan prosedur pemeriksaan yang kurang lebih sama dengan diatas, menyatakan bahwa 100% dari sampel cairan amnion yang diklasifikasikan keruh mempunyai rasio lesitin/sfingomielin > 2,0 dan atau fosfotidilgliserol terdeteksi. Hastwell menemukan bahwa 35 sampel dalam penelitiannya dengan hasil agak keruh mempunyai rasio lesitin/sfingomielin > 2,0.
V.
PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI 9,15 Kemajuan
teknologi
dalam
pemeriksaan
ultra-sonografi
telah
memungkinkan dilakukan observasi perubahan-perubahan yang terjadi pada plasenta dala rahim. Winsberg, Fisher dkk, Hobbins dan Winsberg, serta Stein dkk telah memperlihatkan gambaran ultra-sonografi pada plasenta yang matur. Secara logis, dapat diterima bahwa plasenta sebagai “fetal” organ akan menjadi matur sejalan dengan sistem organ fetal lainnya. Pada tahun 1979, Hobbins dkk mencoba membuat kategori fase-fase maturisasi plasenta, untuk itu mereka mengklasifikasikan variasi gambaran ultra-sonografi plasenta yang terjadi selama kehamilan dan kemudian mencari korelasinya dengan rasio lesitin/sfingomielin sebagai salah satu indeks maturitas paru-paru janin. Klasifikasi plasenta, dibuat mulai dari Derajat 0 sampai dengan Derajat III. Derajat 0 : chorionic plate tampak halus, dan dengan jelas tampak sebagai garis rata. Gambaran ini akan terlihat pada kehamilan kirakira 12 minggu. Substansi plasenta tampak homogen dan tidak tampak area ekhogenik. Lapisan basal juga tampak homogen dan tekstur yang sama seperti substansi plasenta. Fase ini tampak pada trimester I dan II. Derajat I : Plasenta menunjukan perubahan paling awal dari proses maturasi-nya, yaitu
chorionic plate tampak sebagai garis yang rata tetapi dengan beberapa undulasi. Beberapa ekhogenik area tampak pada substansi plasenta, sehingga tidak lagi tampak homogen. Tidak ada densitas yang terlihat di lapisan basal. Fase ini biasanya didapatkan mulai dari kehamilan 30-32 minggu dan terus sampai kehamilan aterm. Derajat II : perubahan terjadi pada tiga zona, yaitu chorionic plate lebih banyak tanda-tanda identitas. Substansi plasenta tampak terpisah dan tidak kompit oleh gambaran linear echogenic atau comma like echgenic densities. Pada fase ini linear echogenic densities tidak mencapai lapisan basal. Area ekhogenik dalam substansi plasenta tampak bertambah jumlahnya dan ukurannya lebih besar dari Grade I. Derajat III : merupakan gambaran plasenta yang matur. Chorionic plate tampak terputus-putus oleh identitas, dimana memanjang kelapisan basal dan mungkin memperlihatkan septa inter-kotiledon. Substansi plasenta menjadi terpisah dalam beberapa kompartemen yang mungkin adalah batas kotiledon. Bagian tengah dari kompertemen ini menunjukan area kosong, padat, bentuk tidak teratur, area ekhogenik tampak dekat ke chorionic plate. Area ekhogenik pada lapisan basal menjadi lebih besar, lebih padat, dan menyatu. Plasenta 129 pasien dilakukan gradasi plasenta. Delapan puluh enam pasien termasuk klasifikasi Derajat I atau lebih dan seluruhnya diukur rasio lesitin/sfingomielin. Didapatkan rasio lesitin/sfingomielin yang matur (2,0) pada 68% plasenta Derajat I (21/31), 88% plasenta Derajat II (28/23), dan 100% plasenta Derajat III (23/23). Hasil ini memperlihatkan korelasi antara perubahan dalam proses maturasi yang terlihat dengan pemeriksaan ultrasonografi dan maturasi paru-paru janin yang didasarkan pada rasio lesitin/sfingomielin.
VI. RINGKASAN Pada suatu keadaan dimana kehamilan harus diakhiri atau harus menunda persalinan, maka sangat penting untuk menentukan dengan tepat maturitas paru-paru janin. Maturitas paru-paru janin sangat erat kaitannya dengan terjadinya sindroma gawat napas. Penggunaan hasil analisis terhadap cairan amnion telah diterima secara luas. Pada dasarnya pemeriksaan tersebut untuk memeriksa maturitas surfaktan yang disekresikan ke dalam cairan amnion. Maturitas surfaktan dinilai berdasarkan komposisi komponen-komponen aktif surfaktan. Dari sekian banyak metode pemeriksaan untuk memprediksi maturitas paru-paru janin, yang dianggap sebagai “gold standard methode” adalah pemeriksaan rasio lesitin/sfingomielin. Tetapi pemeriksaan ini belum memenuhi criteria sebagai metode pemeriksaan yang ideal. Metode pemeriksaan yang ideal menurut para peneliti adalah cepat, tekniknay mudah dilakukan, tidak mahal, dan memberikan hasil dengan akurasi yang tinggi. Sampai saat ini masih terus dikembangkan berbagai metode pemeriksaan yang ideal untuk memprediksi maturitas paru-paru janin.
VII. RUJUKAN 1.
O’brien WF, Cefalo RC. Clinical applicability of amniotic fluid tests for fetal pulmonic maturity. Am J Obstet Gynecol 1980; 136; 135-144.
2.
Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Obstetri Wiliams. Edisi 18. Jakarta: EGC, 1995; 121-133.
3.
Lee W, Bell M, Novi MJ. Pulmonary lamellar bodies in human amniotic fluid: Their relationship to fetal age and the lechitin/spingomyelin ratio. Am J Obstet Gynecol: 1980; 136: 60-66.
4.
Ganong WF. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarat: EGC, 1979; 633-634.
5.
Kassanos D, Botsis D, Gregoriou O, Bezantakos Ch, Kontogeorgi Z, Zourlas PA. The tap test: A simple and inexpensive method for the diagnosis of fetal Pulmonary maturity. Int J Gynecol Obstet 1993; 41: 135-138
6.
Liu KZ, Dembinski TC, Mantsch HH. Rapid determination of fetal lung maturity from infrared spectra of amniotik fluid. Am J Obstet Gynecol 1988; 178 : 234-241.
7.
Almong R, Goldkrand JW, Saulsbery RA, Samsonoff C. Prediction of respiratory distress syndrome by a new coorimetric assay. Am J Obstet Gynecol 1992; 166: 1827-1834.
8.
Goldkrand JW, Varki A, Mc Clurg JE. Surface tension of amniotik fluid lipid extracts: .Prediction of pulmonary maturity Am J
9.
Grannum PAT, Berkowitz RL, Hobbins J. The ultrasonic changes in the maturing placenta and their relation to fetal Pulmonary
Obstet Gynecol 1977; 128: 591-922.
maturity. . Am J Obstet Gynecol 1979; 133: 915-922. 10.
Strong TH, Hayes AS, Sawyer AT, Folkkestad B, Mills S, Sugden P. amniotic fluid turbidity : A useful adjunct for assessing fetal Pulmonary maturity status. Int J Gynecol Obstet 1992; 38: 97-100.
11.
Bustos R, Gluck MVKL, Gabbe SG, Surat Evertson L, Vargas C, Lowenberg E. Significance of phosfatidylglycerol in amniotik fluid in complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1979; 133: 899-903.
12.
Morrison JC, Whybrew WD, Bucovaz ET, Wiser WL, Fish SA. the lechitin/spingomyelin ratio in cases associated with fetomaternal disease. Am J Obstet Gynecol: 1977; 127: 363-368.
13.
Laatikainen TJ, Raisanen IJ, Salminen KR. Certicotropin-releasing hormone in amniotic fluid during gestation and labor and in relation to fetal lung maturation. Am J Obstet Gynecol 1988; 159: 891-895.
14.
Hoffman DR, Truong CT, Johnstone JM. The role of platelet-activating factor in human fetal maturation. Am J Obstet Gynecol 1986; 155: 70-75.
15.
Kazzi GM, Gross TL, Rosen MG, Jaatoul NY. The relation ship of placental grade, fetal lung maturity, and neonatal outcome in formal and complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1984; 145: 54-58.
16.
Katal SL, Amenta JS, Singh G, Silverman JA. Deficient lung surfactant apoproteins in amniotic fluid with mature phosphohilid profile from diabetic pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1984; 148: 48-53.
17.
Socol ML, Sing E, Depp OR. The tap sest: A rapid indicator of fetal pulmonary maturity. Am J Obstet Gynecol 1984; 148: 445450.
18.
Goldstein AS, Fukunaga K, Malachowski N, Johnson JD. A comparison of lecithin/ sphingomyelin ratio and shake tewst for estimating fetal pulmonary maturity. Am J Obstet Gynecol 1974; 118: 1132-1135.
19.
Parker CR, Hauth JC, Hankins GDV, Leveno K, Rosenfeld CR, Porter JC, MacDonald PC. Endocrine maturation and lung function in premature neonates of women with diabetes. Am J Obstet Gynecol 1989; 160: 657-662.
20.
Herbert WNP, Johnston JM, MacDonald PC, Jimenez JM. Fetal lung maturation. Human amniotic fluid phosphatidate phosphohydrolase activity through normal gestation and its relation to the lecithin/spingomielin ratio. Am J Obstet Gynecol 1978; 132: 373-379.