JURNAL INFORMASI KESEHATAN INDONESIA (JIKI), VOLUME 1, NO. 1, MEI 2015: 42-57
PEMBUATAN FORMULA ENTERAL GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) MENGGUNAKAN TEPUNG MOCAF, TEPUNG IKAN GABUS DAN KONSENTRAT PROTEIN KECAMBAH KEDELAI Fitria Dhenok Palupi, Yohanes Kristianto, Agus Heri Santoso Poltekkes Kemenkes Malang, Jl. Besar Ijen No. 77C Malang Email :
[email protected] Abstract: The purpose of this research was to study the effect of mocaf, snakehead fish flour, and sprouts soybean protein concentrate on the physical quality, energy density, nutritional content, and nutritional quality enteral formula for CKD patients. This type of research is laboratory experiment with experimental design completely randomized design using 4 level of treatment are F-G1 (enteral nutrition devepment 1), FG-2 (enteral nutrition development 2), FG-3 (enteral nutrition development 3); FG-4 (enteral nutrition development 4). The research was implemented in May-July 2013. Enteral nutrition FG-2 is a best treatment for enteral nutrition product to CKD patients. Further research can be done using intervention for formula FG-2 in animal experiments to determine the effect of the formula in preventing renal function decline. Keywords: cronic kidney disease, enteral formula, snakehead fish, soybean sprouts protein concentrate, Mocaf Abstrak: Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh proporsi tepung ikan gabus, konsentrat protein kecambah kedelai, dan mocaf terhadap mutu fisik, kepadatan energi, kadar dan mutu gizi formula enteral bagi penderita GGK. Jenis penelitian adalah penelitian eksperimen laboratorium dengan desain percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan 4 taraf perlakuan yaitu FG1 (formula enteral pengembangan 1); FG-2 (formula enteral pengembangan 2); FG-3 (formula enteral pengembangan 3); FG-4 (formula enteral pengembangan 4). Penelitian dilaksanakan Bulan Mei – Juli 2013. Formula enteral pengembangan FG-2 merupakan taraf perlakuan terbaik dalam produk formula enteral bagi penderita GGK. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan intervensi menggunakan formula FG-2 pada hewan percobaan untuk mengetahui efek pemberian formula dalam mencegah penurunan fungsi ginjal Kata Kunci: formula enteral, ikan gabus, konsentrat protein kecambah kedelai, penyakit ginjal kronis
PENDAHULUAN
di Amerika Serikat prevalensi penyakit GGK meningkat sebesar 20-25% setiap tahunnya (Bhetesda, 2008). Di Kanada insiden penyakit GGK meningkat rata-rata 6,5% setiap tahun (Canadian Institute for Health Information / CIHI, 2005), dengan peningkatan prevalensi 69,7 % sejak tahun 1997 (CIHI, 2008). Sedangkan di Indonesia prevalensi penderita GGK hingga kini belum ada yang akurat karena belum ada data yang lengkap mengenai jumlah penderita GGK di Indonesia (Raka W., 2007). Di RSUD dr. Saiful Anwar pasien GGK yang menjalani rawat inap mencapai 1390 jiwa pada tahun 2010. Jumlah penderita ini akan terus meningkat, karena WHO memperkirakan di Indo-
Perkembangan teknologi dan pembangunan berdampak pada perubahan pola hidup dan pola makan yang menyebabkan peningkatan beban metabolik sehingga terjadi peningkatan beban ginjal. Bila ginjal terganggu akan terjadi gangguan ekskresi metabolisme dan zat-zat toksik tidak dapat dikeluarkan, akibatnya terjadi penurunan fungsi ginjal dan bila terus-menerus akan terjadi kegagalan ginjal yang bersifat kronik atau menahun. GGK merupakan permasalahan global di negara maju maupun berkembang. Menurut United State Renal Data System (USRDS, 2008) 42
ISSN 2460-0334
42
Palupi, Formula enteral untuk GGK
nesia terjadi peningkatan penderita gagal ginjal antara tahun 1995-2025 sebesar 41,4%. Penatalaksanaan penanganan fungsi ginjal untuk pasien GGK terdiri dari 2 terapi yaitu terapi medis dan terapi gizi. Terapi medis untuk penderita GGK melalui obat-obatan, dialisis dan transplantasi ginjal. Dukungan dari segi gizi melalui diet rendah protein dengan protein bernilai biologis tinggi (Lippincott W. dan Wilkins, 2012). Penderita GGK mengalami mual, muntah, dan selera makan kurang sehingga asupan makanan menjadi berkurang. Asupan gizi yang kurang menyebabkan terjadinya undernutrition sehingga diperlukan pemberian formula enteral (Stratton et al., 2005 dalam Abbott, 2007). Formula enteral GGK di Indonesia pada umumnya tersedia dalam bentuk formula enteral komersial, dimana harganya relatif mahal dibandingkan formula enteral lain per gram protein. Harga formula yang mahal dapat memperbesar biaya perawatan penderita GGK. Inovasi dalam penanganan GGK perlu dilakukan untuk mengurangi biaya perawatan penderita GGK. Salah satu inovasi dengan formulasi-formula rumah sakit (hospital made), dengan bahan baku pangan lokal yang tersedia melimpah, murah, dan sesuai syarat diet untuk penderita GGK sehingga dapat terjangkau masyarakat. Menurut Cano (2006) syarat untuk diet gagal ginjal adalah rendah protein, diutamakan mengandung asam amino ketogenik (lysine dan leusine) dan BCAA (lysine, isoleusin, dan valin). Menurut Ria B., (2004) penambahan asam amino ketogenik dapat mempertahankan keseimbangan asam basa nitrogen sehingga terjadi perbaikan asidosis metabolik pada GGK. Syarat lain formula enteral GGK menurut Malone A. (2005) adalah kepadatan energi mencapai 2 Kkal/ml. Kepadatan energi yang tinggi pada formula GGK diperlukan karena adanya pembatasan atau retensi cairan dan mencegah pemecahan protein menjadi energi. Sumber protein berbasis pangan lokal yang sesuai dengan syarat diet GGK adalah ikan gabus dan kedelai. Kandungan asam amino BCAA dan Ketogenik pada ikan gabus lebih tinggi bila dibandingkan dengan putih telur (Annasari M., ISSN 2460-0334
2012). Selain itu, pada ikan gabus juga mengandung 6,2% albumin dan 0,001741% zinc (Eddy, 2003). Kandungan albumin pada ikan gabus diperlukan penderita GGK karena sering mengalami keadaan hipoalbumin. Kandungan zinc pada ikan gabus diperlukan untuk meningkatkan nafsu makan pada penderita GGK. Protein pada kedelai selain tinggi asam amino ketogenik dan BCAA juga membantu menghambat penurunan fungsi ginjal dengan cara menurunkan proteinuria, hiperfiltrasi, dan proinflamato cytokines (Triyani, K., 2004). Kedelai memang mengandung zat gizi yang diperlukan penderita GGK, namun kedelai juga mengandung senyawa anti gizi. Salah satu upaya menginaktifkan zat anti gizi tersebut adalah dengan cara perkecambahan. Perkecambahan juga akan mengaktifkan zat gizi pada biji yang sebelum perkecambahan berada dalam bentuk terikat (tidak aktif) sehingga akan neningkatkan mutu cerna bagi tubuh (Made A., 2004). Sumber karbohidrat berbasis pangan lokal yang dapat dimanfaatkan agar mencapai kepadatan energi yang tinggi pada formula GGK adalah ubi kayu. Namun ubi kayu memiliki beberapa kelemahan yaitu adanya linamarin yang dapat berubah menjadi HCN bila melalui proses pemotongan atau pengirisan pada ubi. Untuk itu diperlukan proses untuk mengurangi HCN sampai batas yang tidak beracun yaitu <10 ppm. Berdasarkan penelitian Sri, Budi W. (2012) proses fermentasi 72 jam pada ubi kayu varietas Daplang umur 11 bulan mempunyai kadar HCN 5 mg dengan penurunan kadar HCN mencapai 97,21%. Keunggulan lain mocaf daripada ubi kayu menurut Sri S., (2011) adalah kandungan serat terlarut lebih tinggi dan kandungan oligosakarida penyebab flatulensi sudah terhidrolisis. Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, suatu penelitian perlu dikaji untuk menganalisis pengaruh formulasi dari tepung ikan gabus, konsentrat protein kecambah kedelai, dan mocaf terhadap mutu fisik, kepadatan energi, kadar dan mutu gizi sesuai syarat diet formula enteral GGK. Tujuan umum penelitian ini menganalisis pengaruh proporsi tepung ikan gabus, konsentrat protein kecambah kedelai, dan mocaf terhadap 43
JURNAL INFORMASI KESEHATAN INDONESIA (JIKI), VOLUME 1, NO. 1, MEI 2015: 42-57
mutu fisik, kepadatan energi, kadar dan mutu gizi formula enteral bagi penderita GGK Tujuan khusus penelitian: 1) menganalisis mutu fisik (daya larut air, viskositas, osmolaritas); 2) menganalisis kepadatan energi; 3) menganalisis kadar gizi (kadar air, protein, lemak, karbohidrat, dan abu); 4) penentuan taraf perlakuan terbaik 5) menganalisis mutu gizi (SAA, C, NPU, dan BV). METODE PENELITIAN Jenis penelitian eksperimen laboratorium, desain percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 taraf perlakuan, yaitu proporsi bahan penyusun formula enteral dengan asam amino ketogenik dan BCAA sebagai dasar penyusunan proporsi. Masing-masing taraf perlakuan dilakukan 3 kali replikasi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2013 di : 1) Laboratorium Ilmu Teknologi Pangan (ITP) Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang untuk pengolahan konsentrat protein kecambah kedelai, tepung ikan gabus, tepung mocaf, pembuatan formula enteral GGK, dan analisis viskositas, 2) Laboratorium Kimia Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang untuk analisis kadar air, abu, dan protein formula enteral GGK, 3) Laboratorium Pengujian Mutu dan Keamanan Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya untuk analisis kadar lemak dan
daya larut air formula enteral GGK, 4) Laboratorium Kimia Universitas Muhammadiyah untuk analisis osmolaritas dan asam amino formula enteral GGK. Tahapan penelitian: Pengolahan konsentrat protein kecambah kedelai melalui 2 tahap yaitu pengolahan tepung kecambah kedelai (Modifikasi dari Made A., 2004) dan konsentrat protein kecambah kedelai (Modifikasi Deddy M., 2009). Pengolahan tepung ikan gabus (Modifikasi Apriliani, 2010 dalam Fauzi, 2012). Pengolahan tepung mocaf (Modifikasi Sri S., 2011). Mencampur bahan formula enteral sesuai dengan masing-masing taraf perlakuan dan unit eksperimen dengan mix dough sebagai formula enteral instan. Formula enteral instan dikemas untuk masingmasing unit. Formula enteral memiliki proporsi bahan penyusun sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Deskripsi produk oleh Tim Peneliti, analisis mutu fisik (Daya Larut Air dianalisis menggunakan metode sentrifugasi Anderson; Viskositas dianalisis menggunakan alat Viskometer; Osmolaritas dianalisis menggunakan alat Osmometer), analisis Kepadatan Energi secara empiris, kadar gizi (Protein dianalisis dengan metode semi mikro kjeldahl; Lemak dianalisis dengan metode soxhlet extraction; KH dianalisis menggunakan metode By Difference; Kadar Air dianalisis dengan menggunakan metode oven; Kadar Abu dianalisis dengan metode dry ashing), Mutu gizi
Tabel 1. Proporsi bahan penyusun formula enteral tiap taraf perlakuan Bahan Penyusun Konsentrat Protein Kecambah Kedelai (%) Tepung Ikan Gabus (%) Tepung Mocaf (%) Minyak Kelapa (%) Minyak Kedelai (%) Gula (%) Maltodekstrin (%)
FG-1 7,2 4,8 10.0 16,0 2,0 30,0 30,0
Taraf Perlakuan FG-2 FG-3 6.0 4,8 6.0 7,2 10.0 10.0 16,0 16,0 2,0 2,0 30,0 30,0 30,0 30,0
FG-4 3,6 8,4 10,0 16,0 2,0 30,0 30,0
Keterangan : FG-1 : Formula enteral GGK Pengembangan 1 FG-2 : Formula enteral GGK Pengembangan 2 FG-3 : Formula enteral GGK Pengembangan 3 FG-4 : Formula enteral GGK Pengembangan 4
44
ISSN 2460-0334
Palupi, Formula enteral untuk GGK
yaitu SAA, C, BV, dan NPU diperoleh dari data analisis profil asam amino formula enteral dengan perlakuan terbaik menggunakan metode HPLC dan penentuan taraf perlakuan terbaik dengan metode indeks efektifitas. Pengolahan dan analisis data secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel, gambar, serta analisis multivariat. Analisis mutu fisik, kepadatan energi, dan kadar gizi formula enteral menggunakan analisis Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% (Suntoyo, 1993). HASIL PENELITIAN Formula enteral GGK instan yang dihasilkan berbentuk serbuk, dengan gumpalan kecil bertekstur lembut. Warna formula enteral GGK berwarna putih kekuningan seiring dengan bertambahnya proporsi tepung ikan gabus, beraroma khas ikan gabus dengan rasa manis. Karakteristik formula enteral GGK instan disajikan pada Gambar 1. Tingkat kelarutan dari masing-masing formula enteral GGK seduhan relatif sama dengan kecenderungan viskositas meningkat dari formula FG-1 ke FG-4 dan warna berubah kecoklatan. Karakteristik hasil seduhan formula enteral GGK disajikan pada Gambar 2. Daya larut air formula enteral GGK berkisar antara 87,73-89,51% dengan rata-rata sebesar 88,54 ± 0,56% . Formula enteral GGK memiliki daya larut air relatif sama sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa proporsi tepung ikan gabus dan konsentrat protein kecambah kedelai memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p = 0,634) terhadap daya larut air formula enteral
FG-1
FG-2
FG-3
FG-4
Gambar 1. Karakteristik formula enteral GGK serbuk
ISSN 2460-0334
GGK. Viskositas formula enteral GGK berkisar antara 40-50 cp dengan rata-rata sebesar 42,92 ± 3,34 mPas. Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung meningkatkan viskositas formula enteral GGK, sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Namun demikian, berdasarkan hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa proporsi tepung ikan gabus dan konsentrat protein kecambah kedelai memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p = 0,055) terhadap viskositas formula enteral GGK. Hal ini berarti viskositas formula enteral GGK tiap taraf perlakuan relatif seragam. Osmolaritas formula enteral GGK berkisar antara 405-482,5 mOsm/L dengan rata-rata sebesar 438,09 ± 23,90 mOsm/L. Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung meningkatkan osmolaritas formula enteral GGK, sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Namun demikian, berdasarkan hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa proporsi tepung ikan gabus dan konsentrat protein kecambah kedelai memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p = 0,382) terhadap osmolaritas formula enteral GGK. Hal ini berarti osmolaritas formula enteral GGK tiap taraf perlakuan relatif sama. Nilai energi formula enteral GGK berkisar antara 466,24-472,13 Kalori/100g dengan rata-rata sebesar 469,75 ± 2,0 Kalori/100g. Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung menurunkan nilai energi formula enteral GGK, sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Formula FG-4 memiliki rata-rata nilai energi terendah. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat
FG-1
FG-2
FG-3
FG-4
Gambar 2. Karakteristik formula enteral GGK cair
45
JURNAL INFORMASI KESEHATAN INDONESIA (JIKI), VOLUME 1, NO. 1, MEI 2015: 42-57
Tabel 2. Rata-rata daya larut air formula enteral GGK tiap taraf perlakuan Taraf Perlakuan FG-1 FG-2 FG-3 FG-4
Rata-rata Daya Larut Air (%) 88,60 ± 0.35a 87,90 ± 0,20a 88,99 ± 0,54a 88,67 ± 0,57a
Tabel 3. Rata-rata viskositas formula enteral GGK tiap taraf perlakuan Taraf Perlakuan FG-1 FG-2 FG-3 FG-4
Rata-rata Viskositas (cp) suhu 30oC 46,67 ± 2,87a 43,33 ± 2,87a 41,67 ± 2,87a 40,00 ± 0,00a
Tabel 4. Rata-rata osmolaritas formula enteral GGK tiap taraf perlakuan Taraf Perlakuan FG-1 FG-2 FG-3 FG-4
Rata-rata Osmolaritas (mOsm/L) 422,7 ± 5,48a 428,7 ± 20,71a 449,7 ± 34,06a 451,3 ± 23,82a
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa proporsi tepung ikan gabus dan konsentrat protein kecambah kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0,014) terhadap nilai energi formula enteral GGK. Analisis lebih lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan nilai energi formula FG-4 berbeda secara signifikan dengan formula enteral GGK lainnya. Kepadatan energi formula enteral GGK berkisar antara 2,10-2,12 Kalori/ml dengan ratarata sebesar 2,11 ± 0,01 Kalori/ml. Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung menurunkan kepadatan energi formula enteral GGK, sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Formula FG4 memiliki rata-rata kepadatan energi terendah. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa proporsi tepung ikan gabus dan konsentrat protein kecambah kedelai memberikan pengaruh yang
46
Tabel 5. Rata-rata nilai energi formula enteral GGK tiap taraf perlakuan Taraf Perlakuan FG-1 FG-2 FG-3 FG-4
Rata-rata Nilai Energi (Kalori/100g) 471,4 ± 1,01a 470,8 ± 0,32a 469,7 ± 2,01a 467,2 ± 0,96b
Tabel 6. Rata-rata kepadatan energi formula enteral GGK tiap taraf perlakuan Taraf Perlakuan FG-1 FG-2 FG-3 FG-4
Rata-rata Kepadatan Energi (Kalori/ml) 2,12 ± 0,00a 2,12 ± 0,00a 2,11 ± 0,01a 2,10 ± 0,01b
Tabel 7. Rata-rata kadar air formula enteral GGK tiap taraf perlakuan Taraf Perlakuan FG-1 FG-2 FG-3 FG-4
Rata-rata Kadar Air (g/100g) 2,12 ± 0,18a 2,12 ± 0,07a 2,11 ± 0,19a 2,10 ± 0,07b
signifikan (p = 0,019) terhadap kepadatan energi formula enteral GGK. Analisis lebih lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa kepadatan energi formula FG-4 berbeda secara signifikan dengan taraf perlakuan lainnya. Kadar air formula enteral GGK berkisar antara 4,01-4,64 g/100g dengan rata-rata sebesar 4,37 ± 0,18 g/100g. Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung meningkatkan kadar air formula enteral GGK, sebagaimana disajikan pada Tabel 7, namun hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa proporsi tepung ikan gabus dan konsentrat protein kecambah kedelai memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p = 0,071) terhadap kadar air formula enteral GGK. Hal ini berarti kadar air formula enteral GGK tiap taraf perlakuan relatif sama.
ISSN 2460-0334
Palupi, Formula enteral untuk GGK
Tabel 7. Rata-rata kadar air formula enteral GGK tiap taraf perlakuan Rata-rata Kadar Air Taraf Perlakuan (g/100g) FG-1 2,12 ± 0,18a FG-2 2,12 ± 0,07a FG-3 2,11 ± 0,19a FG-4 2,10 ± 0,07b
Tabel 10. Rrata-rata persentase protein formula enteral ggk tiap taraf perlakuan Rata-rata Taraf Perlakuan Persentase Protein (%) FG-1 6,97 FG-2 7,25 FG-3 7,46 FG-4 7,98
Tabel 8. Rata-rata kadar abu formula enteral GGK tiap taraf perlakuan
Tabel 11. Rata-rata kadar lemak formula enteral ggk tiap taraf perlakuan
Taraf Perlakuan FG-1 FG-2 FG-3 FG-4
Rata-rata Kadar Abu (g/100g) 0,95 ± 0,02a 0,91 ± 0,01ab 0,89 ± 0,02b 0,87 ± 0,04b
Tabel 9. Rata-rata kadar protein formula enteral GGK tiap taraf perlakuan Taraf Perlakuan FG-1 FG-2 FG-3 FG-4
Rata-rata Kadar Protein (g/100g) 8,21 ± 0,13a 8,52 ± 0,46b 8,76 ± 0,19b 9,31 ± 0,18c
Kadar abu formula enteral GGK berkisar antara 0,82-0,96 g/100g dengan rata-rata sebesar 0,9 ± 0,39 g/100g. Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung menurunkan kadar abu formula enteral GGK, sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa proporsi tepung ikan gabus dan konsentrat protein kecambah kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0,032) terhadap kadar abu formula enteral GGK. Analisis lebih lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan kadar abu formula FG-1 berbeda secara signifikan dengan formula FG-3 dan FG-4, sedangkan formula FG-3 berbeda tidak signifikan dengan formula FG-4. Kadar protein formula enteral GGK berkisar antara 8,07-9,43 g/100g dengan rata-rata sebesar 8,70 ± 0,44 g/100g. Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung menurunkan kadar protein formula enteral GGK, sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Hasil analisis statistik Oneway Anova
ISSN 2460-0334
Taraf Perlakuan FG-1 FG-2 FG-3 FG-4
Rata-rata Kadar Lemak (g/100g) 18,42 ± 0,18a 18,29 ± 0,10a 18,19 ± 0,23a 17,76 ± 0,19b
Tabel 12. Rata-rata persentase lemak formula enteral ggk tiap taraf perlakuan Rata-rata Taraf Perlakuan Persentase Lemak (%) FG-1 35,20 FG-2 34,99 FG-3 34,87 FG-4 34,25
pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa proporsi tepung ikan gabus dan konsentrat protein kecambah kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0,000) terhadap kadar protein formula enteral GGK. Analisis lebih lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa kadar protein formula FG-1 dan FG-4 berbeda secara signifikan dengan formula lainnya, sedangkan kadar protein formula FG2 dan FG-3 berbeda tidak signifikan. Rata-rata persentase protein dari total kalori formula enteral GGK hasil penelitian disajikan pada Tabel 10. Kadar lemak formula enteral GGK berkisar antara 17,55-18,63 g/100g dengan rata-rata sebesar 18,17 ± 0,30 g/100g. Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung menurunkan kadar lemak formula enteral GGK dengan rata-rata terendah pada formula FG-4, sebagaimana disajikan pada Tabel 11. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa proporsi tepung ikan gabus dan konsentrat protein kecambah kedelai
47
JURNAL INFORMASI KESEHATAN INDONESIA (JIKI), VOLUME 1, NO. 1, MEI 2015: 42-57
Tabel 13. Rata-rata kadar karbohidrat formula enteral ggk tiap taraf perlakuan Taraf Perlakuan FG-1 FG-2 FG-3 FG-4
Rata-rata Kadar Karbohidrat (g/100g) 68,19 ± 0,40a 68,02 ± 0,13a 67,74 ± 0,20a 67,51 ± 0,40a
Tabel 14. Rata-rata persentase karbohidrat formula enteral ggk tiap taraf perlakuan Taraf Perlakuan FG-1 FG-2 FG-3 FG-4
Rata-rata Persentase Karbohidrat (%) 57,86 57,80 57,69 57,81
Tabel 15. Karakteristik Formula FG-2 Karakteristik Daya Larut Air (%) Viskositas (cp) Osmolaritas (mOsm/L) Kepadatan Energi (Kalori/ml) Kadar Air (g/100 g) Kadar Abu (g/100 g) Kadar Protein dari Total Energi (%) Kadar Lemak Total Energi (%) Kadar Karbohidrat dari Total Energi (%) Mutu protein/ SAA (%) Sumber :
a
Formula FG-2 87,90 43,33 428,70 2,12
>2
c
6 – 8a
34,99
±30d
AsDi (2005) Malone (2005) SNI 01-7111.1-2005 Triyani (2004)
e)
Hardinsyah dan Drajat M. (1989)
Asam aspartat Threonin Serin Asam glutamat Prolin Glisin Alanin Valin Metionin Isoleusin Leusin Tirosin Fenilalanin Histidin Lisin Arginin Triptofan
Profil Asam Amino (mg/g protein) 50,27 12,89 9,87 95,84 21,10 60,24 55,94 74,03 22,81 69,14 136,90 70,40 83,32 37,53 95,23 78,00 26,47
Tabel 17. Mutu gizi formula FG-2 dibandingkan standar Mutu Protein
b
7,25
) ) c ) d ) b
100 >400a
<4 <3,5c
10,00
Asam Amino
Standar
4,26 0,91
57,80
Tabel 16. Profil asam amino formula FG-2
50 – 60a 100e
memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0,011) terhadap kadar lemak formula enteral GGK. Analisis lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan kadar lemak formula FG-4 berbeda secara signifikan dengan taraf perlakuan lainnya. Rata-rata persentase lemak dari total kalori formula enteral GGK hasil penelitian disajikan pada Tabel 12.
SAA (%) Mutu Cerna teoritis (%) NPU teoritis (%) BV teoritis (%)
Formula FG-2 100 89,97 89,97 100,00
Standar 100*) > 85*) 70**) 70**)
Sumber : *) Hardinsyah (1989) **) Sunita, A. (2003)
Kadar karbohidrat formula enteral GGK berkisar antara 67,26-68,59 g/100g dengan ratarata sebesar 67,87 ± 0,38 g/100g. Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung menurunkan kadar karbohidrat formula enteral GGK, sebagaimana disajikan pada Tabel 13. Berdasarkan hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa proporsi tepung ikan gabus dan konsentrat protein kecambah kedelai memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p = 0,101) terhadap kadar karbohidrat formula enteral GGK. Hal ini berarti kadar karbohidrat formula enteral GGK tiap taraf perlakuan relatif sama. Rata-rata persentase karbohidrat dari total kalori formula enteral GGK hasil penelitian disajikan pada Tabel 14.
48
ISSN 2460-0334
Mutu Protei n SAA (%) Mutu Cerna teorit is
Formula FG-2 100 89,97
Standa r *)
100 > 85* )
Palupi, Formula enteral untuk GGK
Tabel 18. Tingkat kecukupan asam amino ketogenik dan BCAA pada formula enteral FG-2 Asam Amino Lisin Isoleusin Valin Leusin
Formula FG-2 (mg/g protein) 95,23 69,14 74,03 136,90
Pola Kecukupan Asam Amino 16 13 13 19
Hasil analisis penentuan taraf perlakuan terbaik menunjukkan bahwa mutu protein merupakan variabel terpenting yang mempunyai rata-rata tertinggi. Formula FG-2 dengan proporsi konsentrat protein kecambah kedelai dan tepung ikan gabus sebesar 50 : 50 memiliki total nilai hasil tertinggi yaitu 0,559. Karakteristik mutu fisik, kepadatan energi, kadar gizi, dan mutu gizi formula enteral FG-2 disajikan pada Tabel 15. Cara pemberian formula enteral dengan mempertimbangkan jenis diet dan berat badan. Profil asam amino formula enteral FG-2 disajikan pada Tabel 16. Berdasarkan profil asam amino tersebut, dapat dihitung mutu protein yaitu SAA, BV, NPU dan PER yang disajikan pada Tabel 17. Formula FG-2 telah memenuhi tingkat kecukupan asam amino ketogenik dan BCAA yang penting untuk pasien GGK yang disajikan pada Tabel 18. PEMBAHASAN Warna formula enteral GGK berwarna putih kekuningan seiring dengan bertambahnya proporsi tepung ikan gabus (Gambar 1). Warna tersebut berasal dari warna bahan penyusun yaitu tepung ikan gabus, konsentrat protein kecambah kedelai, dan tepung mocaf, gula, dan maltodekstrin. Warna putih disebabkan karena formula enteral GGK mengandung maltodekstrin dan gula sebesar 60%. Warna kuning berasal dari tepung ikan gabus yang diduga mengalami perubahan warna saat pengeringan. Menurut Rosdaneli (2005) bahan pangan yang dikeringkan akan mengalami pencoklatan (browning) yang disebabkan oleh reaksi non enzimatis. Pernyataan tersebut sesuai dengan Moeljanto (1992), tepung ikan yang bermutu baik memiliki warna kuning kecoklatan setelah mengalami penyimpanan.
ISSN 2460-0334
Tingkat Kecukupan Asam Amino (%) 595,22 531,83 569,44 720,53
Aroma formula enteral GGK adalah khas tepung ikan yaitu amis. Aroma tersebut berasal dari bahan penyusun yaitu tepung ikan gabus, sedangkan bahan penyusun yang lain yaitu gula, maltodekstrin, mocaf, dan konsentrat protein kecambah kedelai cenderung beraroma netral. Penyebab aroma khas tepung ikan diduga berkaitan dengan terbentuknya trimethylamine dalam otot ikan. Menurut KKP (2008) daging ikan mengandung banyak nitrogen nonprotein. Enzim alami ikan menghasilkan perubahan otolisis yang meningkatkan persediaan makanan bernitrogen, seperti amines dan asam amino, dan glukosa untuk perkembangbiakan bakteri. Bakteri tersebut kemudian mengubah senyawa ini menjadi trimethylamine (TMA), amonia, amines, dan aldehida. Ciri dari reaksi ini adalah terbentuknya bau amis pada ikan. Rasa formula enteral secara keseluruhan memiliki kemanisan yang cukup. Hal ini disebabkan karena formula enteral GGK menggunakan maltodekstrin sebesar 50% dari total gula yang digunakan. Tingkat kemanisan maltodekstrin relatif rendah dibandingkan gula sehingga tidak meningkatkan kemanisan formula enteral GGK. Sebagaimana dijelaskan Rouqette (2004) tingkat kemanisan dari maltodekstrin adalah 0,2 dari kemanisan sukrosa. Warna formula enteral GGK seduhan berubah warna menjadi cokelat. Hal ini diduga karena terjadi reaksi Maillard yang terjadi karena pemanasan bahan penyusun yaitu protein dan gula reduksi. Formula enteral GGK tinggi akan gula dan asam amino lisin. Menurut Winarno (2008) menyebutkan ada lima sebab yang dapat menyebabkan suatu bahan makanan berwarna, salah satunya yaitu warna gelap yang timbul karena adanya reaksi Maillard antara gugus amino protein dengan gugus karbonil gula pereduksi. Secara 49
JURNAL INFORMASI KESEHATAN INDONESIA (JIKI), VOLUME 1, NO. 1, MEI 2015: 42-57
keseluruhan, perbedaan proporsi tepung ikan gabus dan konsentrat protein kecambah kedelai tidak berdampak pada perubahan warna formula enteral GGK seduhan (Gambar 2). Daya larut Air pada formula enteral GGK relatif sama, sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Kelarutan bahan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti temperature, tekanan, jenis pelarut, ukuran partikel, kadar air, dan komponen penyusun bahan (Permatasari, 2007 dalam Sri, A., 2009). Bentuk dan ukuran partikel dapat mempengaruhi kelarutan, karena semakin kecil partikel rasio antara luas permukaan dan volume meningkat. Semakin besar ukuran partikel, maka semakin berkurang kelarutan suatu senyawa (Hudayana, 2010). Bahan penyusun formula enteral GGK memiliki ukuran partikel relatif sama, sehingga daya larut air tidak mengalami perubahan. Faktor lain yang memengaruhi daya larut air adalah temperatur dan jenis pelarut. Kenaikan temperature akan meningkatkan kelarutan zat yang proses melarutnya melalui reaksi endotermik (Hudayana, 2010). Setiap peningkatan suhu, reaksi kimia akan berlangsung lebih cepat. Kelarutan formula enteral GGK diukur pada suhu yang sama dengan jenis pelarut adalah air. Kadar air pada formula enteral GGK juga relatif sama, sebagaimana disajikan pada Tabel 7. Kadar air pada bahan berhubungan dengan kemampuan bahan dalam mengikat air, dimana semakin tinggi kadar air dalam bahan kemampuannya dalam mengikat air semakin berkurang. Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung membuat viskositas formula enteral GGK menjadi encer, sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Menurut Bird (1994) viskositas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain temperatur, ukuran partikel, komponen penyusun bahan, berat molekul, dan konsentrasi partikel. Peningkatan viskositas diduga disebabkan karena perbedaan fraksi protein pada bahan yang berbeda, sehingga mempengaruhi kemampuan membentuk ikatan hidrogen. Protein mampu berikatan hidrogen dengan molekul air sehingga membentuk gel. Lebih lanjut Scmidt (1981) dalam Andri (2003) menyatakan mekanisme pembentukan gel terjadi karena pemanasan melalui tahap reaksi asosiasi 50
dan agregasi, sehingga mengakibatkan terbentuknya formasi gel. Sekitar 90% protein kedelai adalah globulin (Kinsela, 1979 dalam Andri, 2003). Menurut Winarno (2004), globulin merupakan protein yang tidak larut air dan mudah terkoagulasi karena pemanasan. Berdasarkan hal tersebut diduga sebagian besar protein yang terkandung dalam kedelai adalah globulin dan membentuk gel dengan pemberian panas. Semakin rendah proporsi konsentrat protein kecambah kedelai akan membuat viskositas formula enteral GGK menjadi encer. Faktor lain yang yang diduga memengaruhi viskositas adalah kadar air. Peningkatan konsentrasi larutan dipengaruhi oleh kadar air dalam bahan, dimana semakin tinggi kadar air maka konsentrasi larutan semakin menurun sehingga viskositasnya menjadi encer. Peningkatan proporsi ikan gabus cenderung meningkatkan kadar air formula enteral GGK, sebagaimana disajikan pada Tabel 7. Menurut Bird (1994) viskositas berbanding lurus dengan konsentrasi larutan. Konsentrasi larutan menyatakan banyaknya partikel zat terlarut tiap satuan volume. Semakin banyak parttikel zat terlarut, gesekan antar partikel semakin tinggi dan viskositasnya akan semakin meningkat. Osmolaritas merupakan salah satu parameter yang penting dalam suatu formula enteral. Osmolaritas formula enteral ditentukan oleh konsentrasi gula, asam amino dan elektrolit. Osmolaritas formula enteral akan meningkat jika kandungan asam amino, monosakarida, disakarida, dan elektrolit bertambah (Andry, H., 2012). Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung meningkatkan osmolaritas formula enteral GGK, sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Hal ini diduga disebabkan karena peningkatan proporsi tepung ikan gabus juga cenderung meningkatkan asam amino formula. Pernyataan tersebut membuktikan bahwa asam amino memengaruhi nilai osmolaritas formula. Osmolaritas formula enteral GGK berkisar antara 405-482,5 mOsm/L. Osmolaritas formula enteral GGK belum memenuhi syarat osmolaritas formula enteral berdasarkan ketentuan AsDi ISSN 2460-0334
Palupi, Formula enteral untuk GGK
(2005) yaitu 400 mOsm/L. namun masih dibawah osmolaritas Nepro Abbott (formula enteral komersial GGK) yaitu 491 mOsm/L. Formula hiperosmolar dapat memperlambat pengosongan lambung dan menyebabkan mual, muntah, serta diare. Menurut Jones dan Barlett (2012) bila formula hiperosmolar akan menciptakan gradien osmosis yang menarik air ke dalam usus, sehingga kram dan diare dapat terjadi. Tingginya osmolaritas juga dapat menyebabkan oedema yang dapat memperburuk kondisi penderita gagal ginjal kronik. Penderita gagal ginjal kronik mengalami gangguan elektroklit sehingga formula enteral yang diberikan harus rendah natrium. Hal ini disebabkan karena natrium merupakan elektrolit yang mampu meningkatkan osmolaritas formula enteral. Menurut Sunita (2003), natrium merupakan kation utama dalam cairan ekstraseluler yang mengatur sebagian besar tekanan osmosis sehingga menjaga cairan tidak keluar dari darah dan masuk ke dalam sel-sel. Bila jumlah natrium di dalam sel meningkat secara berlebihan, air akan masuk ke dalam sel, akibatnya sel akan membengkak. Hal ini yang menyebabkan terjadinya pembengkakan atau oedema dalam jaringan tubuh. Osmolaritas yang tinggi disebabkan karena bahan penyusun formula enteral GGK 30% tersusun dari bahan yang mudah cerna yaitu gula pasir yang merupakan monosakarida dan tepung mocaf yang mengalami hidrolisa. Semakin mudah cerna partikel dalam formula enteral, maka semakin tinggi osmolaritasnya. Pemberian formula enteral secara perlahan dapat mengimbangi osmolaritas yang cukup tinggi. Hal ini sesuai pernyataan Andry H., (2012) bahwa osmolaritas bukan masalah jika formula enteral diberikan secara perlahan-lahan atau dengan cara tetesan yang konstan (model infus). Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung menurunkan kepadatan energi formula enteral GGK, sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Penurunan kepadatan energi dapat dikaitkan dengan kadar lemak dalam formula yang cenderung menurun seiring dengan peningkatan proporsi tepung ikan gabus. Kadar lemak berbanding lurus dengan kepadatan energi suatu ISSN 2460-0334
formula. Hal ini didukung dengan pernyataan Sunita (2003) bahwa kandungan karbohidrat, lemak, dan protein suatu bahan makanan menentukan nilai energinya. Lemak menghasilkan 9 Kalori tiap gram, dimana lebih tinggi daripada karbohidrat dan lemak yang menghasilkan 4 Kalori tiap gram. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diartikan bahwa penurunan kadar lemak pada formula akan sangat berdampak pada penurunan kepadatan energi. Kepadatan Energi Formula enteral GGK telah memenuhi standar, dimana kepadatan energi sebuah formula merupakan parameter penting untuk standar GGK. Kepadatan energi formula enteral GGK berkisar antara 2,10-2,12 Kalori/ml, sehingga sudah memenuhi syarat kepadatan energi untuk penderita GGK menurut Malone (2005) yaitu minimal 2 Kalori/ml. Stratton et al. (2005) dalam Abbott (2007) menjelaskan bahwa disyaratkan tinggi energi pada formula enteral GGK untuk mencegah katabolisme protein. Katabolisme protein menyebabkan keadaan undernutrition yang dapat meningkatkan angka kematian pada penderita GGK. Selain itu kepadatan energi diperlukan karena adanya pembatasan atau retensi cairan sehingga jumlah cairan yang diberikan menjadi terbatas. Katabolisme pada protein juga menyebabkan tingginya kadar amonia dalam tubuh. Dalam kondisi kelaparan atau kurang energi, tingkat enzim meningkat sebagai protein yang terdegradasi. Kerangka karbon asam amino digunakan untuk menyediakan energi melalui siklus urea dan siklus asam trikarboksilat yang digabungkan bersama-sama melalui fumarat dan aspartat, sehingga menghasilkan piruvat. Produk akhir siklus ini, juga menghasilkan amonia yang bersifat racun dan harus diekskresikan dari tubuh melalui ginjal. Pada saat terjadi kerusakan ginjal proses penjernihan urea terganggu, sehingga kondisi amonia yang tinggi dalam darah dapat berbahaya (King, 2013). Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung meningkatkan kadar air formula enteral GGK, namun hasil statistik one way anova menunjukkan kadar air formula relatif sama, sebagaimana disajikan pada Tabel 7. Hal ini diduga 51
JURNAL INFORMASI KESEHATAN INDONESIA (JIKI), VOLUME 1, NO. 1, MEI 2015: 42-57
dikaitkan dengan komponen gula dan maltodekstrin dalam formula masing-masing sebesar 30%, dengan kadar air 5,4% (Mahmud dkk, 2009). Komponen tersebut diberikan dalam jumlah yang sama dalam formula, sehingga kadar air pada formula relatif sama. Kadar air formula enteral GGK yang dihasilkan berkisar antara 4,01-4,64 g/100g bahan. Kadar air formula enteral yang dihasilkan masih belum memenuhi persyaratan kadar air standar MP-ASI bubuk instan dalam SNI 01-7111.1-2005 yaitu 4 g/100 g. Kadar air yang tinggi diduga dikaitkan dengan adanya jarak 2 minggu antara proses formulasi dengan analisis kadar air. Namun demikian, kadar air formula enteral GGK masih tergolong stabil dalam penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan deMan (1997) bahwa makanan yang dikeringkan akan mempunyai kestabilan tinggi pada penyimpanan apabila kandungan air berkisar antara 5-15%. Kadar air formula enteral GGK yang relatif kecil akan berdampak pada produk yaitu bersifat higroskopis (mudah menyerap air). Produk dengan kadar air rendah harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Bahan pengemas diperlukan untuk menghambat atau mencegah masuknya uap air. Menurut Rizal (1993), umumnya produk-produk dengan kadar air rendah memiliki keseimbangan relatif rendah, maka bahan pengemas harus mempunyai nilai permeabilitas air yang rendah. Kadar abu formula enteral GGK yang dihasilkan berkisar antara 0,82-0,96 g/100g bahan. Kadar abu formula enteral GGK yang dihasilkan sudah memenuhi persyaratan kadar abur standar MP-ASI bubuk instan dalam SNI 01-7111.1-2005 yaitu 3,5 g/100 g. Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung menurunkan kadar abu formula enteral GGK, sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Hal ini disebabkan karena kadar abu tepung ikan gabus lebih rendah dibandingkan dengan konsentrat protein kecambah kedelai yaitu masingmasing sebesar 4,8g / 100g (Nuraida, 2009) dan 3,7g / 100g (Muchtadi, 2009). Besarnya kadar abu dalam suatu bahan pangan menunjukkan tingginya kandungan mineral dalam bahan pangan tersebut. Kandungan mineral total dalam Formula enteral GGK dapat diperkirakan sebagai kandungan abu 52
yang merupakan residu anorganik yang tersisa setelah bahan-bahan organik terbakar habis, semakin banyak kandungan mineralnya maka kadar abu menjadi tinggi begitu juga sebaliknya (Slamet S., 2006). Kedelai mengandung mineral kalsium dan besi, dimana dengan proses perkecambahan akan dilepas menjadi bentuk yang lebih bebas sehingga lebih mudah dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan (Made A., 2004). Fe diperlukan bagi penderita GGK untuk mengatasi keadaan anemia. Anemia pada penderita GGK disebabkan karena kegagalan ginjal dalam memproduksi hormon eritropeitin. Selain itu, mineral kalsium juga diperlukan untuk mengatasi hipokalsemia pada penderita GGK (Sidabutar R., 1994). Asupan kalium pada penderita GGK harus dibatasi karena adanya gangguan elektrolit dalam tubuh yang menyebabkan kondisi hiperkalemia pada penderita GGK. Kondisi hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal (Andry H., 2012). Mineral kalium terkandung dalam formula enteral GGK yang berasal dari tepung mocaf. Singkong merupakan bahan makanan tinggi kalium, namun dengan proses pengecilan ukuran, perendaman, dan proses fermentasi selama 3 hari akan menurunkan kandungan kalium pada singkong. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Tautua A., et.al (2009) menyatakan bahwa proses perendaman dan fermentasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar kalium pada singkong. Kadar kalium pada bubur singkong setelah difermentasi mengalami penurunan dari 45,43 ppm menjadi 9,83 ppm. Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung meningkatkan kadar protein formula enteral GGK, sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Hal ini diduga dikaitkan dengan kadar protein tepung ikan gabus lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrat protein kecambah kedelai yaitu masingmasing sebesar 79,35 g/ 100g (Nuraida, 2009) dan 69g / 100g (Muchtadi, 2009). Persen protein formula enteral GGK berkisar antara 6,97-7,98% dari total kalori formula enteral, sebagaimana disajikan pada Tabel 10. Formula ini telah memenuhi persyaratan protein GGK dimana ketentuan AsDi (2005) yaitu 6-8% dari total energi ISSN 2460-0334
Palupi, Formula enteral untuk GGK
formula enteral. Rendahnya kadar protein pada penderita GGK berfungsi untuk memperbaiki gejala uremia. Menurut Khosla (2007), jika asupan protein diberikan berlebihan, akan dikonversikan ke dalam urea dan limbah nitrogen lainnya yang mengakibatkan gejala uremia. Hal ini didukung dengan pernyataan Ria B. (2004) bahwa diet rendah protein akan mengurangi potensi terbentuknya metabolik nitrogen yang toksis sehingga mengurangi gejala uremia dan menurunkan kejadian komplikasi metabolik. Protein pada diet GGK juga harus mempunyai nilai biologis tinggi, artinya protein memiliki susunan asam amino yang menyerupai susunan asam amino pada manusia (Sidabutar, 1994). Hal ini diperlukan untuk mengurangi sisa metabolisme protein berupa urea dalam tubuh. Jenni (2011) menyatakan bila blood urea nitrogen didapatkan pada tingkat yang tinggi akan menyebabkan rasa mual, muntah, dan nafsu makan menurun. Sumber protein pada formula enteral GGK berasal dari tepung ikan gabus dan konsentrat protein kecambah kedelai, dimana merupakan protein bernilai biologis tinggi. Protein ikan gabus kaya akan asam amino essensial dengan kandungan albumin. Albumin ikan gabus memiliki kualitas jauh lebih baik dari albumin pada telur (Eddy, 2003). Albumin pada ikan gabus diperlukan untuk penderita gagal ginjal yang sering mengalami hipoalbuminemia. Keadaan hipoalbuminemia merupakan akumulasi dari kurangnya asupan energi dan protein, uremia, asidosis metabolik, dan albuminuria (NKDEP, 2011). Selain itu, penurunan serum albumin juga disebabkan karena sitokin-sitokin di sirkulasi darah dan adanya inflamasi pada penderita GGK (Ria, B., 2004). Protein pada konsentrat protein kecambah kedelai merupakan protein bernilai biologis tinggi, dimana memenuhi syarat diet untuk gagal ginjal. Nilai Protein Digestibility Corrected Amino Acid Score (PDCAAS) kedelai senilai dengan kasein, telur dan susu yaitu 1 (CBS, 2010 dalam Henderson, 2010). Penambahan protein nabati pada formula enteral GGK ini sesuai dengan syarat diet GGK yaitu sumber protein hewani dapat disubstitusi dengan protein nabati yang berasal dari ISSN 2460-0334
olahan kedelai (Triyani K, 2004). Hal ini didukung oleh pernyataan Viberti,et.al, (1987) dalam Anderson (2008) bahwa profil asam amino protein kedelai berbeda dari kebanyakan protein hewani, khususnya dapat mempengaruhi aliran darah ginjal dan laju filtrate glomerulus pada penderita GGK. Kedelai memang mengandung berbagai zat gizi yang diperlukan bagi pasien GGK namun kedelai juga mengandung senyawa anti gizi. Asam fitat yang merupakan tripsin inhibitor ditemukan dalam kedelai yang menghambat enzim tripsin dan lainnya yang diperlukan untuk pencernaan protein. Hal ini dapat menyebabkan kekurangan asam amino kronis, terutama ketika seseorang dalam keadaan diet rendah protein (Brath, et.al dalam Henderson 2010). Proses germinasi selama 1-2 hari telah dapat menurunkan kadar asam fitat sampai ke tingkat yang tidak berbahaya bagi kesehatan (Made A., 2004). Persentase lemak formula enteral GGK berkisar antara 34,25-35,20% dari total kalori formula enteral. Formula ini telah memenuhi persyaratan lemak GGK dimana ketentuan Triyani (2004) yaitu ± 30% dari total kalori formula enteral, sebagaimana disajikan pada Tabel 12. Peningkatan proporsi tepung ikan gabus cenderung menurunkan kadar lemak formula enteral GGK, sebagaimana disajikan pada Tabel 11. Hal ini diduga dikaitkan dengan kadar lemak ikan gabus relatif rendah dibandingkan dengan jenis ikan lainnya (Muchtadi, 2009). Selain itu, diduga rendahnya kadar lemak pada tepung ikan gabus disebabkan karena proses pengukusan dan perendaman dengan air jeruk nipis. Menurut Winarno (2004), dengan adanya air lemak dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Reaksi ini dapat dipercepat dengan penambahan asam. Sumber lemak yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak kelapa dan minyak kedelai. Minyak kelapa kaya akan kandungan asam lemak rantai sedang atau disebut dengan MCT (Medium Chain Triglycerides) yang didominasi oleh asam lemak laurat 48,2%. MCT sangat stabil pada suhu yang sangat rendah dan tinggi, misalnya MCT tetap tidak mengental meskipun dalam waktu yang lama (Babayan, 1991 dalam Andi dan 53
JURNAL INFORMASI KESEHATAN INDONESIA (JIKI), VOLUME 1, NO. 1, MEI 2015: 42-57
Djayeng, 2000). Jenis lemak ini tidak membutuhkan kerja garam empedu dan lipase pankreas untuk dapat diserap dibandingkan dengan LCT. Selain itu transportasi MCT langsung ke pembuluh darah melalui sistem portal (AsDi, 2005). MCT juga dapat menghasilkan energi lebih cepat dibandingkan dengan LCT. Menurut Andi dan Djayeng (2000), MCT dimetabolisme seperti halnya karbohidrat. MCT lebih cepat terhidrolisisa dan diserap. Sifat kelarutan MCT di dalam yang lebih tinggi sehingga MCT dapat memasuki sistem sirkulasi, masuk ke dalam liver secara langsung melalui pembuluh darah balik (vena). MCT dengan cepat dibakar menjadi energi, sehingga tidak tertimbun di dalam jaringan tubuh. Penambahan minyak kedelai 2% dalam formula enteral GGK berfungsi sebagai penguat sistem imunitas tubuh. Pada kondisi pasien kritis atau parah terjadi penurunan kemampuan untuk menbentuk antigen karena berkurangnya interaksi dan adanya gangguan monosit dan limfosit T. Hal ini dapat menyebabkan kerentanan terhadap infeksi nosokomial dan disfungsi organ internal yang mengakibatkan kematian (Czechowicz dan Kowalski, 2011). Asam lemak linoleat dan linolenat memberikan dampak pada peningkatan sistem imunitas tubuh. Winarsi (2010) menyatakan bahwa lemak kedelai didominasi asam lemak tak jenuh yaitu asam lemak linoleat (53%) dan linolenat (78%). Asam lemak linoleat dan linolenat bekerja secara antagonis sebagai antiinflamasi dan proinflamasi, sebagaimana disajikan pada Gambar 4. Asam lemak ini dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh melalui beberapa mekanisme. Mekanisme pertama melibatkan penggabungan lipid ke dalam struktur sel membran sehingga mempengaruhi fluiditas membran sel, permeabilitas saluran ion dan fungsi reseptor membran. Mekanisme kedua dikaitkan dengan penetrasi asam lemak ke sel di mana mereka dapat mempengaruhi produksi eikosanoid, resolvins, sitokin, jalur yang berperan untuk transduksi sinyal ke dalam sel, dan ekspresi gen. Selain itu, asam lemak dapat mengubah apoptosis pada sel (Czechowicz dan Kowalski, 2011).
54
Persentase karbohidrat formula enteral GGK berkisar antara 57,69-57,86% dari total kalori formula enteral, sebagaimana disajikan pada Tabel 14. Formula ini telah memenuhi persyaratan karbohidrat formula berdasarkan ketentuan AsDi (2005) yaitu 50-60% dari total kalori. Kadar karbohidrat pada formula enteral relatif sama, hal ini dikaitkan dengan sumber karbohidrat formula enteral GGK yang bertumpu pada gula, maltodekstrin, dan tepung mocaf. Penggunaan gula dan maltodekstrin pada formula enteral GGK sudah sesuai syarat formula enteral. Menurut Andry H., (2012), sumber karbohidrat dalam formula enteral dapat berasal dari berbagai sumber seperti glukosa, sukrosa, maltodekstrin, corn syrup dan sebagainya. Penggunaan maltodekstrin pada formula enteral GGK berfungsi untuk mengurangi osmolalitas dan kemanisannya. Tepung mocaf pada formula enteral GGK digunakan sebagai sumber karbohidrat. Tepung mocaf digunakan, karena memiliki kandungan pati yang tinggi yaitu 87.6%, sehingga akan meningkatkan kepadatan energi formula enteral GGK. Keuntungan lain menggunakan tepung mocaf karena kandungan pati terhidrolisis yang lebih mudah dicerna oleh tubuh, sehingga tidak memerlukan energi yang tinggi untuk pemecahannya. Perubahan struktur karbohidrat. Menurut Subagio (2009) tepung mocaf telah mengalami proses hidrolisis pati selama proses fermentasi yang disebabkan aktivitas enzim-enzim mikrobial, sehingga daya cernanya akan meningkat. Mutu protein merupakan variabel terpenting yang mempunyai rata-rata tertinggi. Pentingnya variabel mutu protein sesuai dengan sasaran formula enteral untuk penderita GGK. Protein pada penderita GGK harus diperhatikan yaitu rendah protein dengan diutamakan protein bernilai biologis tinggi. Protein bernilai biologis tinggi, artinya protein memiliki susunan asam amino yang menyerupai susunan asam amino pada manusia sehingga tidak ada asam amino pembatas (Sidabutar, 1994). Hal ini diperlukan untuk mengurangi sisa metabolisme protein berupa urea dalam tubuh. ISSN 2460-0334
Palupi, Formula enteral untuk GGK
Formula enteral FG-2 merupakan taraf perlakuan terbaik dalam produk formula enteral bagi penderita gagal ginjal kronik dengan total nilai hasil sebesar 0,559. Tabel 15 menunjukkan bahwa mutu fisik, kepadatan energi, kadar gizi, dan mutu gizi telah mendekati standar formula enteral GGK. Tabel 17 menunjukkan bahwa SAA pada formula enteral FG-2 formula enteral bernilai diatas 100. Hal ini menunjukkan bahwa asam amino pada formula enteral sangat lengkap (tanpa asam amino pembatas) dan telah melebihi dari angka kecukupan. Tidak adanya asam amino pembatas pada formula enteral FG-2 diduga disebabkan karena sumber protein pada formula bernilai biologis tinggi. Selain itu mutu cerna formula FG2 juga sudah diatas standar yang ditetapkan Hardinsyah (1989) yaitu minimal 85%. Perhitungan Mutu Cerna (C) secara teoritis menurut Hardinsyah (1989) untuk menghampiri atau menaksir nilai atau mutu cerna yang dilakukan melalui penelitian bio-assay. Mutu cerna menunjukkan bagian dari protein atau asam amino yang dapat diserap tubuh dibandingkan yang dikonsumsi. Nilai BV dan NPU formula enteral FG-2 yang disajikan pada Tabel 30 dikategorikan tinggi karena nilai BV dan NPU bahan makanan lebih dari 70% (Sunita A., 2003). Semakin tinggi nilai BV dan NPU formula enteral maka semakin besar protein yang dapat diserap dan dimanfaatkan tubuh. Tingginya BV dan NPU pada formula enteral tergantung dari bahan penyusunnya. Proses hidrolisis akan meningkatkan mutu cerna bahan makanan. Konsentrat protein kecambah kedelai telah mengalami proses hidrolisis sehingga diduga mutu cerna protein tepung tersebut tinggi. Menurut Made A. (2004), perkecambahan meningkatkan daya cerna karena perkecambahan merupakan proses katabolis. Hidrolisis protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana terjadi pada saat perkecambahan. Protein dari selsel penyimpanan akan dirombak oleh sekumpulan enzim proteolitik untuk menghasilkan suatu campuran asam amino bebas yang lebih mudah diserap dan digunakan oleh tubuh. Perkecambahan akan meningkatkan mutu cerna asam amino, yaitu
ISSN 2460-0334
lisin 24%, treonin 19%, alanin 29%, dan fenilalanin 7%. Formula enteral GGK telah memenuhi persyaratan protein GGK dimana tidak ada limited amino acid, sebagaimana disajikan pada Tabel 18. Formula ini tinggi akan BCAA dan asam amino ketogenik, dimana pada penderita GGK terjadi kelainan dalam konsentrasi asam amino tersebut. Kelainan dalam konsentrasi asam amino plasma terjadi pada gagal ginjal. Kelainan pola ini tetap terlihat walaupun intake energi sudah dipenuhi yang diduga terjadi akibat gangguan metabolisme asam amino pada gagal ginjal. Kadar plasma asam amino rantai panjang (BCAA) seperti valline, leusine, dan iso leusine menurun. Penurunan ini terjadi akibat oksidasi BCAA pada otot sebagai konsekuensi dari asidosis metabolik (Ria B., 2004). Pada penderita gagal ginjal, kelainan metabolisme BCAA merupakan konsekuensi dari: 1) hilangnya peran normal ginjal dalam metabolisme asam amino, 2) dampak dari gagal ginjal pada kedua metabolisme nitrogen perifer dan hepatosplanchnic, dan 3) kemungkinan efek yang mendasari penyakit ginjal pada protein dan metabolisme asam amino (Cano, 2006). Penderita gagal ginjal, selain terjadi kelainan metabolisme BCAA juga terjadi kelainan rantai asam amino ketogenik. Hal ini disebabkan karena asidosis pada seluruh metabolisme nitrogen di dalam tubuh. Asam amino ketogenik yang abnormal merupakan hasil metabolisme dari deplesi BCAA seperti terlihat pada asam amino rantai cabang plasma yang rendah dan valin seluler. Gangguan metabolisme BCAA dapat mengubah aktivitas jaringan, khususnya fungsi otak, dan status gizi (Cano, 2006). Pemberian asam amino ketogenik pada penderita GGK dapat mempertahankan keseimbangan asam basa nitrogen sehingga terjadi perbaikan asidosis metabolik pada GGK (Ria B., 2004). Disamping itu, suplementasi BCAA dan asam amino ketogenik pada pasien dialisis telah direkomendasikan untuk mengurangi asupan protein lebih lanjut saat mempertahankan status gizi yang optimal (Cano, 2006)
55
JURNAL INFORMASI KESEHATAN INDONESIA (JIKI), VOLUME 1, NO. 1, MEI 2015: 42-57
PENUTUP Kesimpulan penelitian ini adalah: 1) kepadatan energi, kandungan gizi, dan mutu gizi formula enteral GGK pengembangan telah sesuai dengan syarat diet untuk penderita gagal ginjal kronik, dengan formula FG-2 merupakan taraf perlakuan terbaik dalam produk formula enteral untuk penderita gagal ginjal kronik; 2) bahan penyusun formula enteral FG-2 yaitu tepung ikan gabus dan konsentrat protein kecambah kedelai tinggi asam amino ketogenik dan BCAA. Kadar protein relatif rendah dengan protein bernilai biologis tinggi dan kepadatan energi tinggi sesuai dengan syarat diet untuk gagal ginjal kronik; 3) osmolaritas formula enteral FG-2 masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan formula komersial (Nephrisol) Saran penelitian : 1) osmolaritas formula enteral FG-2 yang relatif tinggi dapat diatasi dengan pemberian secara perlahan (tetesan) atau dengan porsi kecil namun sering; 2) formula enteral FG-2 dapat digunakan untuk formula untuk penanganan gagal ginjal kronik dengan saran penyajian sesuai dengan berat badan dan jenis diet; 3) penelitian lebih lanjut dapat dilakukan intervensi menggunakan formula FG-2 pada hewan percobaan untuk mengetahui efek pemberian formula dalam mencegah penurunan fungsi ginjal DAFTAR PUSTAKA Abbott, N. 2007 Improving Outcomes in Chronic Disease With Specialized Nutrition Intervention. (Online). Tanggal Akses : 14 Februari 2013. http:/ /abbottnutrition.com/DownloadsResourceCenter/ HCPLitReview_ Final_20(printer_20friendly).pdf Anderson, J. W. 2008. Beneficial effects of soy protein consumption for renal function. Asia Pacific Journal Clinical Nutrition. Tanggal Akses : 20 November 2012 http//www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/18296369 Andi, N.A. dan Djayeng, S., 2000, Medium Chain Triglyceride (MCT) : Trigliserida pada Minyak Kelapa dan Pemanfaatannya. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. (jurnal online). Tanggal Akses 12 Juli 2013. http// www. digilib.litbang.deptan. go.id /repository /index.../ 5502
56
Andri, I. 2003. Mempelajari Pengaruh Penambahan Isolat Protein Kedelai Sebagai Bahan Pengikat Terhadap Mutu Fisik dan Organoleptik Meat Loaf. Fakultas Teknologi Pertanian IPB : Bogor (Skripsi Online). Tanggal Akses 24 Juli 2013. Annasari, M. dkk. 2011., Albumin And Zinc Content Of Snakehead Fish (Channa striata) Extract and Its Role in Health. IJSTE, Vol 1 No 2. (Jurnal Online). Tanggal Akses : 24 November 2012 http/ /www.ieese.org /archieves/vol1n2.1.pdf AsDI, 2005. Panduan Pemberian Makanan Enteral. Jakarta: Jaya Pratama Bird, T. 1994. Kimia Fisik Untuk Universitas.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Canadian Institute for Health Information / CIHI Numbers of Canadians living with kidney failure triples over 20 years. Last update Juni 2011 (Online). Tanggal Akses : 15 November 2012. www.cihi. ca/ CIHI-ext-portal /internet/en/ Cano, N. J. M. 2006. Application of Branched-Chain Amino Acids in Human Pathological States : Renal Failure. Journal nutrition January 2006 vol 136 no. 1 299S-307S. (online). Tanggal Akses : 22 Oktober 2012 http//:www.jn.nutrition.org/ content/ 136/1/331S.full Czechowicz, M. dan Kowalski. Effects of Parenteral Lipid Emulsions on Immune System Response. Department of Clinical Immunology, Rheumatology and Allergies, Medical University of £ódŸ. (Online).Tanggal Akses 19 Juli 2013. http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22343444 Deddy, M. 2009. Prinsip Teknologi Pangan Sumber Protein. Bandung: Alfabeta deMan, J.M. 1997. Kimia Makanan. Padmawinata K, penerjemah. Penerbit ITB : Bandung. Terjemahan dari: Principles of Food Chemistry. Eddy, S. 2003. Potensi Serum Albumin dari Ikan Gabus. Tanggal Akses : 11 November 2012 www. kompas.com Fauzi, I. 2012. Pembuatan Fish Flake dari Ikan lele (Clarias sp.) Sebagai Makanan Siap Saji. Marine Sience and Technology IPB (Skripsi Online) Tanggal Akses 22 Januari 2013 http://repository. ipb.ac.id/handle/ 123456789/54302 Henderson, J. 2010. Dietary Considerations in Chronic Kidney Disease. Natural Medicine Jurnal. Tanggal Akses : 20 November 2012 www.naturalmedicine journal.net Hudayana, Y. 2010. Faktor yang mempengaruhi kelarutan. (Online). Tanggal akses 15 Juli 2013.
ISSN 2460-0334
Palupi, Formula enteral untuk GGK
http://akmsmkn1pas.blogspot.com/2010/05/ faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html. Jones and Bartlett, 2012. Fluid and Eelectrolyte Balance : Chapter 12 Fluid and Electrolyte Disturbances Associated with Tube Feedings (online). Diakses 5 September 2013. Khosla, U.M. Mitch WE., 2007. Dietary Protein Restriction in The Management of Chronic Kidney Disease. European Renal Disease 2007;41-45 King, Michael W. 2013. Nitrogen Metabolism and the Urea Cycle. (online). Tanggal Akses 17 Juli 2013. http://themedicalbiochemistrypage.org/ nitrogenmetabolism.php KKP. 2008. Bantuan Teknis untuk Industri Ikan dan Udang Skala Kecil dan Menengah di Indonesia : Teknik Pasca Panen dan Produk Perikanan. (online). Tanggal Akses 24 Juli 2013. http:// docjax.com/ document/view. Lippincoltt, W. dan Wilkins. 2011. Ilmu Gizi menjadi Sangat Mudah.Jakarta: EGC Made, A. 2004. Sehat Bersama Aneka Serat Pangan Alami. Tiga Serangkai: Solo Mahmud, dkk. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta : PT Elex Media Computindo Malone, A. 2005. Enteral Formula Selection : A Review of Selected Product Categories. (Jurnal Online). Tanggal Akses 24 November 2012 . www.medicine.virginia.com Moeljanto, 1992. Moorjani, M.N., 2005. Fish Protein Concentrate, Fish Flour, Fish Hydrolyzate. Research and Development Work on Fish Enriched Protein Foods From Inexpensive Varieties of Fish. (online). Tanggal Akses 14 Juli 2013 http:// www.fao.org/WAICENT/FaoInfo/Agricult/agA/ AGAP/ FRG /AFRIS/Data/334.HTM Nuraida. 2009. Pengaruh Substitusi Tepung Ikan Gabus Terhadap Mutu Biskuit sebagai Makanan Tambahan pada Anak Gizi Kurang. Skripsi .FKM Universitas Hasanudin. Raka, W. 2007. Distribusi Geografis Penyakit Ginjal Kronik di Bali : Komparasi Formula CockcroftGault dan Formula Modification of Diet in Renal Disease, Tanggal akses : 7 November 2012. (Jurnal Online) http://www.ojs.unud.ac.id/ index.php/jim/3834 Ria, B. 2004. Should we still Prescribe a reduction in Protein intake for CKD patients. Journal online.
ISSN 2460-0334
Tanggal Akses : 1 November 2012. http:// www.pustaka.unpad.ac.id Rosdaneli, Hasibun. 2005. Proses Pengeringan. Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Sumatra Utara Sidabutar, R. P. dkk. 1994. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II : Gagal Ginjal Kronik. Gaya Baru : Jakarta Slamet, S. 2006. Analisis Bahan Makanan dan Produk Pertanian. Yogyakarta: Liberty. Sri B. W. 2012. Kajian Penurunan HCN selama Proses Fermentasi Alami pada Pembuatan Tepung Mocaf. (Jurnal Online). Tanggal akses 20 Januari 2013.www.journal.usm.ac.id/ jurnal/teknologipangan-dan-hasil pertanian Sri, A. 2009. Studi Sifat Fisiko-Kimia, Sifat Fungsional Karbohidrat, dan Aktivitas Antioksidan Tepung Kecambah Kacang Komak. Bogor. Tanggal akses : 11 September 2011 http://www.repository. ipb.ac.id/pdf Sri, S. dkk. 2011. Memanfaatkan Singkong Menjadi Tepung Mocaf untuk Pemberdayaan Masyarakat Sumberejo. (Jurnal Online) Tanggal Akses 30 Oktober 2012. http://www. ippmbantara.com/ pros_01306310.pdf Subagio, Ahmad, 2009, Modified Cassava Flour (MOCAF) : Sebuah Masa Depan Ketahanan Pangan Nasional Berbasis Potensi Lokal. ITP Universitas Jember : Jember Sunita, A., 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Suntoyo, Y. 1993 Percobaan Perancangan Analisis dan Interpretasinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Tautua, Amos, Bamidele Martin Woriweinpre, Madukosiri and Chinyelu Helen, 2009. The Effect of Processing on the Sodium, Potassium and Phosphorus Content of Six Locally Consumed Varieties of Manihot esculenta Grown in Bayelsa State. Pakistan Journal of Nutrition, 8: 1521152. (online) Tanggal Akses 15 Juli 2013. http:// www.pjbs.org /pjnonline/fin1080.pdf Triyani, K. 2004. Diet Rendah Protein dan Penggunaan Protein Nabati pada Penyakit Ginjal Kronik (Jurnal Online) .Tanggal Akses : 22 Oktober 2012. http://www.gizi.depkes.go.id Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Winarno, FG. 2008. Teknologi Pangan. Bogor: Mbrio Press
57