PENGARUH METODE SEKOLAH LAPANGAN SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN KELOMPOK TANI MANDIRI DI DESA SELAAWI KECAMATAN SUKARAJA oleh Ir. Hj. Endah Lisarini, SE., MM* Erna Hermawati, SP**
RINGKASAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode Sekolah Lapangan (SL) terhadap tingkat pengetahuan petani dalam menerapkan konsep budidaya System of Rice Intensification (SRI) dan untuk menganalisis usahatani padi metode SRI tanam pertama terhadap kelayakan usahatani, dari hasil analisis tersebut kita dapat merekomendasikan kepada para petani padi sawah untuk menerapkan budidaya tanam padi metode SRI yang ramah lingkungan, hemat air dan hemat biaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif melalui quesioner (pre-test dan post test), data hasil pre-test dan post test diolah melalui statistik deskriptif yaitu dengan menetapkan nilai interval dari masing-masing hasil penilaian pre-test dan post-test terhadap petani mulai dari nilai 0 – 100 dengan interval masing-masing kelas 10. Dari nilai interval tadi didapatkan frekuensi (f) masing-masing distribusi responden, kemudian dari frekuensi distribusi responden dihitung prosentase dari masing-masing interval dan didapatkan modus (frekuensi) tertinggi. Dari hasil analisis dan pengolahan data dapat disimpulkan Metode SL - SRI dapat meningkatkan pengetahuan petani di Kelompok Tani Mandiri Desa Selaawi Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya peningkatan interval nilai sebanyak 6 tingkat interval yaitu dari tingkat interval nilai 11 – 20 dengan modus yang dihasilkan 86,67 prosen menjadi 56,67. Kata kunci : Sekolah Lapangan, SRI
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the effect of the Field School method on knowledge level of farmers in applying the concept of SRI cultivation and to analyze the SRI method of rice farming first planting on the feasibility of farm business, from the results of this analysis we can recommend to farmers for paddy rice cultivation implement SRI method of rice planting environmentally friendly, water efficient and cost effective. Research method used was descriptive method through quesioner (pre-test and post test), data of pre-test and post test are processed through descriptive statistics is to set the interval value of each of the assessment results pre-test and post-test of the farmers starting from value 0 to 100 with intervals of each class is 10. Then is furthermore from obtained frequency interval (f) of each distribution of respondents, the frequency distribution of respondents, the percentage of each interval is calculated and obtained the modus (highest frequency). From the results of the analysis and data processing methods can be concluded SL - SRI can increase the knowledge of farmers in the Village Independent Farmers Group Sukaraja Selaawi Sukabumi District. This can be proved by the increasing of the value intervals as much as 6 degrees from the interval value 11 to 20 with the modus is 86.67 % became 56,67 % in 61 – 100 value. Keyword : Field School, SRI *Dosen Faperta UNSUR **Alumni Faperta UNSUR Pengaruh Metode Sekolah Lapangan System of Rice Intensification (SRI) Terhadap Peningkatan Pengetahuan Kelompok Tani Mandiri di Desa Selaawi Kecamatan Sukaraja, Ir. Hj. Endah Lisarini, SE., MM & Erna Hermawati, SP
1
PENDAHULUAN Padi (Oryza sativa L.) di Indonesia merupakan bahan pangan pokok yang sangat strategis baik secara ekonomi, sosial maupun politik. Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan dan menjaga produksinya dalam memantapkan program swasembada beras. Varietas unggul padi yang saat ini banyak ditanam petani di antaranya IR 48, IR 64, Cisadane, Ciherang, Sintanur, Way Apoburu dan padi Hybrida (Purwono dan Purwati, 2007). Masyarakat Indonesia sudah cukup mengenal dalam melakukan usahatani/penanaman padi sawah secara turun temurun terutama untuk penanaman padi sawah non SRI, sedangkan untuk penanaman padi sawah System of Rice Intensification (SRI) merupakan yang relatif baru dengan cara dan teknologi yang berbeda. Karena SRI merupakan hal yang relatif baru (dikenal di Indonesia sekitar tahun 1990) maka dalam pelaksanaan di lapangan perlu dilakukan pelatihan petani/kelompok melalui sekolah lapangan agar memperoleh hasil yang memuaskan. Sekolah Lapangan (SL) adalah salah satu metode penyuluhan yang dilakukan untuk menambah/merubah pengetahuan, sikap dan keterampilan. Biasanya SL dilakukan satu musim tanam padi sawah (8 – 12 kali pertemuan) yang seluruh atau sebagian besar proses belajar mengajarnya dilakukan di lapangan yang dilaksanakan di lahan khusus petani peserta SL, dipandu oleh petugas Environmental Services Program (ESP) dan petugas pertanian setempat.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
Inti kajian dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh SL (Sekolah Lapangan) metoda SRI yang diselenggarakan oleh ESP terhadap tingkat pengetahuan petani dalam menerapkan konsep budidaya System of Rice Intensification (SRI). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui pengaruh metode Sekolah Lapangan (SL) terhadap tingkat pengetahuan petani dalam menerapkan konsep budidaya System of Rice Intensification (SRI) tanam pertama di kelompoktani Mandiri di Desa Selaawi Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi. Model pertanian budidaya System of Rice Intensification (SRI) didasarkan pada: 1. Pengelolaan tanah yang sehat serta pengelolaan bahan organik. 2. Pengelolaan tanaman secara optimal. 3. Pengelolaan air yang baik dan teratur. Metode Sekolah Lapangan (SL), merupakan salah satu metode penyuluhan yang paling tepat dalam penyampaian inovasi baru kepada petani dalam hal ini budidaya System of Rice Intensification (SRI). Pelaksanaannya berlangsung selama satu musim tanam, para petani belajar langsung pada sebidang lahan usahanya dengan “belajar lewat pengalaman” melalui tahapan mengalami – mengungkapkan – menganalisis – menyimpulkan – menerapkan. Proses tersebut merupakan tindakan aksi dan refleksi terhadap kegiatan yang dilakukan untuk menumbuhkan sikap kritis petani terhadap kondisi lingkungannya serta agar mampu mengambil keputusan yang tepat dalam mengelola lahannya.
2
Menurut Anugerah (2008), dikemukakan bahwa perubahan pengetahuan merupakan tahap awal yang perlu diberikan kepada petani / kelompoktani sebelum peningkatan sikap dan keterampilan yang pada gilirannya akan terjadi secara bertahap sehingga tujuan penyuluhan/pembinaan tercapai. Ruang lingkup penyuluhan/bimbingan petani dan kelompoktani dimaksudkan agar petani/kelompoktani berusahatani lebih baik (better farming), berusaha lebih menguntungkan (better business), hidup lebih sejahtera (better living), kehidupan masyarakat lebih merata, tertib serta tenteram (better community), dan terjaga kelestarian sumber alam/lingkungan hidup lebih terjamin (better environment) (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 1986). Selanjutnya dikemukakan oleh Atikah (2008), Sekolah Lapangan (SL) bukan sekedar “Learning by Doing” (belajar dari pengalaman sambil melakukan), melainkan suatu proses sehingga peserta dalam hal ini petani dapat menguasai suatu proses “Discovery Learning” (penemuan alam yang dinamis dan dapat diterapkan dalam manajemen lahan pertaniannya maupun dalam kehidupan sehari-hari). Metode SRI berdasarkan konsep pendekatan Berkelaar (2001), Kuswara (2003), Rochaedi (2005), Anugrah (2008) dan Dinas Pertanian Jawa Barat (2006) menitik beratkan pada komponen di antaranya persiapan benih, perlakuan tanam, umur bibit, jarak tanam, pengaturan air, jenis pupuk dan penyiangan. Menurut Anugrah (2008), pemerintah mengembangkan sekolah lapangan dimulai tahun 1989 – 1999
pada Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT) di tingkat petani. Sekolah Lapangan (SL) merupakan pendekatan pendidikan yang menggunakan metode ilmiah melalui penggalian daya kritis masyarakat/petani untuk mengumpulkan persoalan yang dihadapi terkait dengan penghidupannya. Pendekatan sekolah lapangan yang dilakukan ESP menggunakan metode partisipatif dan petani belajar sebagai subjek, mempelajari kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan sekitarnya. Peserta langsung mengungkapkan dan mengumpulkan data tentang pemasalahan utama yang dihadapi dalam usahataninya, melakukan analisis terhadap kondisi sosial, ekonomi sumber daya alam, sarana dan prasarana, sumber daya manusia yang kemudian menyusun rencana aksi yang realistis dan bias dilakukan oleh petani untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Rencana aksi ini terkait dengan usahatani padi sawah SRI termasuk di dalamnya pemeliharaan saluran air, pengelolaan Daerah Aliran Sungai, akses air bersih. METODE PENELITIAN Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, observasi, studi dokumentasi, wawancara dan penyebaran kuesioner. Kuesioner ini dimaksudkan untuk mendapatkan dan mengetahui peningkatan pengetahuan petani padi sawah System of Rice Intensification (SRI), setelah mengikuti Sekolah Lapangan (SL). Populasi penelitian adalah petani padi sawah dengan cara System of Rice Intensification (SRI) di Kelompoktani di Desa Selaawi Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi. Sampel diambil
Pengaruh Metode Sekolah Lapangan System of Rice Intensification (SRI) Terhadap Peningkatan Pengetahuan Kelompok Tani Mandiri di Desa Selaawi Kecamatan Sukaraja, Ir. Hj. Endah Lisarini, SE., MM & Erna Hermawati, SP
3
secara purposive random sampling sebanyak 30 orang petani melalui pencacahan (100%) diambil dari seluruh peserta sekolah lapangan. Pengolahan data atau analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui statistik deskriptif yaitu dengan menetapkan nilai interval dari masingmasing hasil penilaian pre-test dan post-test terhadap petani mulai dari nilai 0 – 100 dengan interval masingmasing kelas 10. Dari nilai interval tadi didapatkan frekuensi (f) masing-masing distribusi responden, kemudian dari frekuensi distribusi responden dihitung prosentase dari masing-masing interval dan didapatkan modus (frekuensi) tertinggi. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini mengikutsertakan sebanyak 30 orang petani di Desa Selaawi. Data primer tentang profil responden diperoleh melalui wawancara langsung dengan berpedoman pada kuesioner yang diberikan kepada responden, dan observasi atau pengamatan lapangan di lokasi sebelum dan sesudah pelaksanaan Sekolah Lapangan (SL) tentang System of Rice Intensification (SRI). Karakteristik responden berdasarkan luas lahan usaha dapat dilihat pada Gambar 1. di bawah ini.
Di dalam pelaksanaan Sekolah Lapangan (SL) semua petani peserta Sekolah Lapangan (SL) yang telah dilaksanakan, memiliki luas lahan usaha tani bervariasi yaitu antara 0,10 Ha sampai dengan 0,60 Ha dalam satu hamparan. Keterkaitan luas lahan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan Sekolah Lapangan (SL) sangat ditentukan oleh luas hamparan yang dikelola, luas lahan usaha tani per petani cenderung tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap hasil metoda Sekolah Lapangan (SL). Hal ini dibuktikan dengan nilai pre-test dan nilai post test. Keberhasilan Sekolah Lapangan (SL) System of Rice Intensification (SRI) sangat ditentukan oleh aktifitas petani yang bersangkutan dalam mengikuti proses pelaksanaan Sekolah Lapangan (SL). Nilai terendah pre-test yaitu 8 dengan luas lahan 0,40 Ha, dan nilai tertinggi pre-test yaitu 31 dengan luas lahan 0,10 Ha. Sedangkan hasil post-test nilai terendah yaitu 51 dengan luas lahan 0,40 Ha, dan nilai tertinggi post-test yaitu 97 luas lahan 0,50 Ha. Karakteristik responden berdasarkan umur dapt dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
4
Dilihat dari Gambar 2. di atas, komposisi umur sebagian besar responden sebanyak 21 orang atau 70 % adalah petani yang berusia tergolong usia produktif berkisar antara umur 21 – 50 tahun. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa responden masih cukup potensial berusahatani dan kecenderungan antusias dalam menerima pembinaan yang berkaitan dengan usahatani khususnya dalam menerima metode System of Rice Intensification (SRI). Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.
Dilihat dari Gambar 3 di atas, komposisi tingkat pendidikan responden tertinggi adalah tingkat pendidikan SD yaitu sebanyak 18 orang (60%), SLTP/SMP sebanyak 8 orang (26%) dan SLTA/SMA sebanyak 4 orang (14%). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pembinaan bagi petani di Desa Selaawi masih diperlukan melalui pendekatan-
pendekatan khusus yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan petani. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap daya serap atau respon seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin mudah baginya untuk menerima atau menolak sesuatu hal yang dianggap baru. Data distribusi hasil pre-test dan post-test Sekolah Lapangan (SL) System of Rice Intensification (SRI) terhadap tingkat pengetahuan petani di Kelompoktani Mandiri Desa Selaawi Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi dapat dilihat pada Tabel 1. di bawah ini : Tabel 1. Hasil Pre-Test dan Post-Test Sekolah Lapangan (SL) System of Rice Intensifikation (SRI) Tingkat Pengetahuan Kelompok Tani di Desa Selaawi Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi Interval Modus Nilai Frekuensi (%) skala 0 (orang) 100 Pre0 – 10 1 3,33 Test 11 – 20 26 86,67 21 – 30 3 10,00 30 Post51 – 60 3 10,00 Test 61 – 70 10 33,33 71 – 80 11 36,67 81 – 90 5 16,67 91 – 100 1 3,33 30
Tingkat pengetahuan petani pada Kelompok Tani Mandiri Desa Selaawi Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi sebelum pelaksanaan SL diperoleh interval nilai terendah 0 – 10 sebanyak 1 (satu) orang (3,33 %), interval nilai 11 – 20 sebesar 26 orang (86,67%), dan interval nilai 21 – 30 (tertinggi) sebanyak 3 (tiga) orang (10%), untuk nilai interval
Pengaruh Metode Sekolah Lapangan System of Rice Intensification (SRI) Terhadap Peningkatan Pengetahuan Kelompok Tani Mandiri di Desa Selaawi Kecamatan Sukaraja, Ir. Hj. Endah Lisarini, SE., MM & Erna Hermawati, SP
5
lebih tinggi berturut-turut dari interval nilai 30 – 40, 41 – 50, 51 – 60, 61 – 70, 71 – 80, 81 – 90, dan 91 – 100 tidak ada. Sedangkan tingkat pengetahuan petani pada Kelompok Tani Mandiri Desa Selaawi Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi setelah pelaksanaan SL metoda SRI diperoleh interval nilai terendah adalah 51 – 60 sebanyak 3 (tiga) orang (10%), 61 – 70 sebanyak 10 (sepuluh) orang (33,33%), 71 – 80 sebanyak 11 (sebelas) orang (16,67%), 81 – 90 sebanyak 5 (lima) orang (16,67%), dan 91 – 100 sebanyak 1 (satu) orang (3,33%). Hal ini menunjukkan terjadinya kenaikan interval nilai 5 (lima) tingkat dari 0 – 10 menjadi 51 – 60 (interval terendah), dan kenaikan interval tertinggi terjadi kenaikan interval nilai 7 tingkat dari interval nilai 21 – 30 menjadi 90 – 100. Sebelum pelaksanaan SL metoda SRI interval nilai 11 – 20 terbanyak yaitu modus 86,67 prosen (26 orang), dan setelah pelaksanaan SL SRI interval nilai terbanyak diperoleh pada interval nilai 71 – 80 yaitu modus 36,67 prosen (11 orang). Hal ini menunjukkan bahwa Sekolah Lapangan (SL) Metode System of Rice Intensification (SRI) dapat meningkatkan pengetahuan petani. Peningkatan tingkat pengetahuan petani cenderung dipengaruhi oleh umur petani yang sebagian besar usia produktif antara umur 21 – 50 tahun sebanyak 70 prosen, tingkat pendidikan SLTP/SLTA sederajat sebanyak 40 prosen, dan luas kepemilikan lahan antara 0,1 – 0,4 Ha sebanyak 80 prosen. Hal yang sangat penting yang menyebabkan terjadinya peningkatan pengetahuan petani terhadap Sekolah Lapangan (SL) metode System of Rice Intensifikation (SRI) adalah metode
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
Sekolah Lapangan (SL) merupakan metode yang sangat inovatif karena SL merupakan konsep pembelajaran yang memungkinkan terbukanya wawasan dan pola pikir petani. Sistem yang diterapkan di dalam Sekolah Lapangan (SL) untuk membuka wawasan petani melalui “Belajar Lewat Pengalaman” dengan tahapan proses mengungkapkan – menganalisis – menyimpulkan – menerapkan sehingga akan menumbuhkan partisipasi aktif para petani terhadap permasalahan, perwujudan keinginan dalam mencapai tujuan untuk meningkatkan hasil usahataninya. Setiap permasalahan diselesaikan dan disepakati solusinya melalui diskusi kelompok yang berkaitan dengan adopsi inovasi baru. Pengalaman di dalam pelaksanaan Sekolah Lapangan (SL) berupa pengetahuan dan keterampilan menjadikan dasar dalam aktualisasi dan implementasi teknik budidaya yang baik, efisien, efektif dan ramah lingkungan, sehingga dengan demikian peningkatan pengetahuan yang didapat di dalam Sekolah Lapangan (SL) dapat dengan segera dilaksanakan dan diterapkan dalam budidaya System of Rice Intensification (SRI). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Metode Sekolah Lapangan (SL) System of Rice Intensification (SRI) memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan pengetahuan petani di Kelompok Tani Mandiri Desa Selaawi Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi. Tingkat pengetahuan sebelum pelaksanaan Sekolah Lapangan (SL) System of Rice Intensification (SRI) sebagian besar pada interval nilai 11 – 20 dengan modus
6
yang dihasilkan 86,67 prosen dan setelah pelaksanaan Sekolah Lapangan (SL) System of Rice Intensification (SRI) terjadi kenaikan interval nilai menjadi 71 - 80 dengan modus 36,67 prosen. Hal ini menunjukkan terjadinya kenaikan interval nilai sebanyak 6 tingkat interval. Dapat disimpulkan Sekolah Lapangan (SL) System of Rice Intensification dapat meningkatkan pengetahuan petani di Kelompok Tani Mandiri Desa Selaawi Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi. Saran Peningkatan pengetahuan petani perlu terus dikembangkan melalui berbagai metode dalam mewujudkan ketahanan pangan khususnya tanaman padi yang ramah lingkungan, hemat air, pupuk, pestisida, sehingga dapat terwujud pertanian yang berkelanjutan (Sustainable Agriculture) dengan menghasilkan produk yang aman bagi konsumen dan bagi lingkungan melalui rekayasa teknologi yang tepat guna, efisien dan berdaya guna.
Berkelaar (2001). Sistem Intensifikasi Padi (The System of Rice Intensification – SRI). Buletin ECNO/ 2001 Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 1986. Managemen Penyuluhan Pertanian. Bandung. Dinas Pertanian Tanaman Pangan, (2007). Intensifikasi Tanaman Padi dengan Pendekatan PTT http://www.litbang.deptan.go.id/berit a/one/516/14 Agustus 2007 Rochaedi
(2005). Usaha Ramah Lingkungan , Air Hemat, Tanah Sehat, Produksi Meningkat Melalui Metode SRI. Lembaga Pengembangan SRI Jawa Barat
Sutrisno (1999). Pembangunan Pertanian, Sebuah Tinjauan Sosiologis, Kanisius Yogyakarta
DAFTAR PUSTAKA Anugrah, (2008) Budidaya Padi Ekologis Berbasis Partisipasi Masyarakat, Laporan Selayang Pandang Upaya Memotivasi Petani Dalam Menggerakan Pertanian Pedesaan, Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian Bogor. Atikah, (2008). Sekolah Lapang Untuk Para Petani, http://www.lampungpost.com/cetak/ cetak.php?id=20050502023 44811/2008
Pengaruh Metode Sekolah Lapangan System of Rice Intensification (SRI) Terhadap Peningkatan Pengetahuan Kelompok Tani Mandiri di Desa Selaawi Kecamatan Sukaraja, Ir. Hj. Endah Lisarini, SE., MM & Erna Hermawati, SP
7
PENGARUH WAKTU APLIKASI PEMBERIAN BIOKOMPLEK TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN JAGUNG MANIS ( Zea mays var. Saccharata ) Widya Sari, SP., MP. * Khalimi Thoha, SP **
Ringkasan Penelitian tentang pengaruh waktu aplikasi pemberian biokomplek terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jagung manis dilakukan di Rumah Kaca Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian (PPPPTK) Desa Sukajadi, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur. Penelitian dimulai pada bulan April sampai bulan Juni 2011. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu aplikasi pemberian biokomplek terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jagung manis. Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan enam perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan terdiri dari lima perlakuan dengan pemberian biokomplek 4 gr/liter air yaitu : A = 2 minggu sebelum tanam, B = 1 minggu sebelum tanam, C = saat tanam, D = 1 minggu setelah tanam, E = 2 minggu setelah tanam, dan F = kontrol (tanpa pemberian biokomplek). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian biokomplek 4 gr/liter air dengan perlakuan A = 2 minggu sebelum tanam merupakan perlakuan yang terbaik dan dapat berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman jagung manis, jumlah daun tanaman jagung manis, lebar daun tanaman jagung manis, berat basah tanaman jagung manis, dan berat kering tanaman jagung manis. Kata kunci : Biokomplek, jagung manis
Abstract
Research on the effect of granting the application bio-complek time to plant sweet corn vegetative growth. was conducted at the Greenhouse Development and Empowerment Center for Teachers and Education Personnel of Agriculture (PPPPTK) Sukajadi Village, District Karangtengah, Cianjur. The study began in April to June 2011. This study aims to determine the effect of granting the application bio-complek time to plant sweet corn vegetative growth. In this research used Completely Randomized Design (CRD), with six treatments and three replications. The treatment consisted of five treatments with the provision of bio-complek 4 g / liter of water that is: A = 2 weeks before planting, B = 1 week before planting, C = the time of planting, D = 1 week after planting, E = 2 weeks after planting, and F = control (without giving biokompleks). The results showed that administration of bio-complek 4 g / liter of water to the treatment of A = 2 weeks prior to planting is the best treatment and can significantly affect plant height of sweet corn, sweet corn leaf number, leaf width of sweet corn, sweet corn wet weight , and the dry weight of sweet corn plants. Key words : Bio-complek, sweetcorn
*Dosen Faperta Univ. Suryakancana, Cianjur **Alumni Faperta Univ. Suryakancan, Cianjur
Pengaruh Waktu Aplikasi Pemberian Biokomplek Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis ( zea mays var. saccharata ), Widya Sari, SP., MP dan Khalimi Thoha, SP
8
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Jagung manis merupakan komoditas pertanian yang sangat digemari terutama oleh penduduk perkotaan karena rasanya yang enak dan manis, banyak mengandung karbohidrat, sedikit protein an lemak. Budidaya jagung manis berpeluang memberikan keuntungan relatif tinggi bila diusahakan secara efektif dan efisien(http://www.ac.id/dat/pub/fro ntir/sudarsana pdf.2000 dalam Dongoran, 2009 ) Peningkatan produksi dan produktifitas tanaman pangan khususnya jagung manis masih tetap memegang peranan penting dalam mempertahankan stabilitas pangan nasional. Peningkatan produksi ini harus pula diikuti oleh peningkatan nilai jual dari produksi yang dihasilkan, untuk itu harus ada jaminan kontinuitas dan kualitas. Komoditi jagung manis telah terbukti mampu memenuhi syarat-syarat di atas sehingga dapat dijadikan sebagai komoditas unggulan. Data dari Subdin Bina Program Cianjur, (2004), memperlihatkan bahwa di Cianjur terdapat penurunan hasil produksi jagung, pada tahun 2003 adalah 5,013 ton/ha, sedangkan pada tahun 2004 adalah 4,847/ha ton Upaya peningkatan hasil tanaman Jagung manis dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan kesediaan unsur hara yang sesuai dengan kebutuhan tanaman Jagung manis. Untuk meningkatkan kesediaan unsur hara dengan pemberian tambahan pupuk pada tanah. Pemberian pupuk pada tanah adakalanya kurang efisien, karena unsur
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
hara yang diberikan dapat mempengaruhi pengerasan atau pemadatan tanah. Tanaman Jagung manis menghendaki media tanaman yang subur dan gembur. Tanah sebagai tempat tumbuh tanaman harus mempunyai kandungan hara yang cukup untuk menunjang proses pertumbuhan tanaman sampai berproduksi, artinya tanah yang digunakan harus subur. Ketersediaan hara dalam tanah sangat dipengaruhi oleh adanya bahan organik (Marvelia,dkk., 2006) Hakim dkk. (1986) menyatakan bahwa bahan organik merupakan bahan penting dalam menciptakan kesuburan tanah. Secara garis besar, bahan organik memperbaiki sifat-sifat tanah meliputi sifat fisik, kimia dan biologi tanah Salah satu bahan yang dapat mempercepat proses penyuburan tanah adalah biokomplek. Menurut Nurwadani (1996), biokomplek dapat mempercepat proses penguraian bahan organik, (C/N rasio) akan cepat menurun. Pengaruh biokomplek telah diteliti pada budidaya cabe, budidaya kentang dan budidaya strowbery, tetapi belum pernah diteliti aplikasinya pada tanaman jagung manis. Berdasarkan uraian di atas diharapkan pemberian dosis pupuk yang tepat dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman Jagung manis. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh waktu aplikasi pemberian biokomplek terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman Jagung manis. 2. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Mengetahui pengaruh waktu aplikasi pemberian biokomplek
9
2)
3) 4)
5)
terhadap tinggi tanaman Jagung manis Mengetahui pengaruh waktu aplikasi pemberian biokomplek terhadap jumlah daun jagung manis Mengetahui pengaruh waktu aplikasi pemberian biokomplek terhadap lebar daun jagung manis Mengetahui pengaruh waktu aplikasi pemberian biokomplek terhadap berat basah jagung manis Mengetahui pengaruh waktu aplikasi pemberian biokomplek terhadap berat kering jagung manis METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian (PPPPTK) Desa Sukajadi, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur., pada bulan April sampai bulan Juni 2011 (6 minggu). Pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa kegiatan sebagai berikut : 1) Penyiapan lahan : menyiapkan lahan penunjang penelitian berupa Green House (Rumah Kaca). 2) Pembersihan lahan: sebelum melakukan penelitian, maka lahan yang akan digunakan untuk penelitian dibersihkan dahulu dari hal-hal yang akan mengganggu. 3) Persiapan Media : media tanam yang digunakan adalah campuran tanah dengan pupuk kandang dengan komposisi 1:1. sebelum digunakan tanah diayak terlebih dahulu.
4) Penanaman : Penanaman dilakukan pada polibag dengan ukuran 20 cm x 30 cm . 5) Pemberian perlakuan : Perlakuan dilakukan sesuai dengan perlakuan sesuai rancangan percobaan. Pemberian biokomplek dilakukan dengan cara disiramkan ke dalam media tanam. Konsentrasi pencampuran biokomplek dengan air adalah 4 g/1 liter air (Laboratorium Bio-Produk Vedca, 2006). Dalam satu polibag menerima larutan biokomplek sebanyak 250 ml. Waktu pemberian dilakukan pada pagi hari. 6) Pemeliharaan : meliputi pemupukan, penyiraman, pengendalian hama penyakit dan sanitasi dilakukan sesuai dengan teknik budidaya yang umum. Penyiraman dilakukan 1 hari sekali. 2.Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak lengkap (RAL ) yang terdiri dari enam (6) perlakuan dan tiga (3) ulangan. Perlakuan terdiri dari : A = 2 minggu sebelum tanam B = 1 minggu sebelum tanam C = Saat tanam D = 1 minggu setelah tanam E = 2 minggu setelah tanam F = Kontrol (tanpa pemberian biokomplek)
Pengaruh Waktu Aplikasi Pemberian Biokomplek Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis ( zea mays var. saccharata ), Widya Sari, SP., MP dan Khalimi Thoha, SP
10
Tabel 5. Tata letak percobaan setelah diacak dengan bilangan acak sebagai berikut : CR1
BR3
AR3
BR2
BR1
ER2
AR1
FR3
ER3
DR3
ER1
DR1
CR3
DR2
FR2
FR1
CR2
AR2
Keterangan : A = 2 minggu sebelum tanam, B = 1 minggu sebelum tanam, C = Saat tanam D = 1 minggu setelah tanam, E = 2 minggu setelah tanam, F = Kontrol (tanpa pemberian biokomplek dan R1-R3 = Ulangan
Teknik Pengambilan Data Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu pengamatan penunjang dan pengamatan utama. Pengamatan penunjang adalah pengamatan yang datanya tidak dianalisis secara statistik, meliputi pengamatan terhadap hama dan penyakit, tumbuhan pengganggu dan suhu. Pengamatan suhu dilakukan setiap hari sebanyak 3 kali yaitu pagi jam 8.30 WIB, siang jam 13.30 WIB dan sore jam 16.00 WIB, kemudian hasil pendataan dirata-ratakan untuk mengetahui rata-rata suhu harian dan selama percobaan.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
Pengamatan utama merupakan pengamatan yang datanya dianalisis secara statistik. Parameter pengukuran dalam penelitian ini adalah : 1) Tinggi Tanaman Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang sampai ujung daun tertinggi. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan 1 minggu sekali selama percobaan. Tinggi tanaman merupakan ukuran yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Pengukuran tinggi tanaman pada tanaman tertentu seperti jagung, sorghum dan tebu serta tanaman tahunan disederhanakan berdasarkan pertimbangan praktis. Pada tanaman tersebut titik tumbuh tidak mudah didapatkan karena tersembunyi oleh lingkaran daun, sehingga ujung daun yang diluruskan ke atas sejajar batang, hal ini diterapkan sebagai bagian teratas dalam pengukuran tinggi tanaman (Harjadi, 1995). 2) Jumlah Daun Pengukuran jumlah daun tanaman dilakukan 1 minggu sekali selama percobaan dan dihitung mulai daun pertama sampai daun terakhir selama pengamatan percobaan. 3) Lebar Daun Pengukuran lebar daun tanaman dilakukan 1 minggu sekali selama percobaan. Teknik yang dilakukan dalam mengukur lebar daun adalah pertama panjang daun diukur dan pada posisi tengah-tengah dari panjang daun. Setelah itu pengukuran dilakukan dari tepi daun yang satu ke tepi daun yang lain.
11
4) Berat basah dan berat kering Pengukuran Berat basah dan berat kering dilakukan pada akhir penelitian. Penimbangan berat basah dilakukan dengan bantuan alat timbangan gram skala 10 gram. Cara penimbangannya adalah tanaman di cabut dari polibag dan dibersihkan atau dicuci dengan air, agar media tanam bersih. Penimbangan berat kering dilakukan dengan timbangan digital analitik dengan skala 0,000 (3 digit). Cara penimbangannya dengan cara tanaman yang sudah ditimbang berat basah, kemudian dioven selama 6 jam dengan suhunya 1210C. Kemudian dilakukan penimbangan dengan timbangan digital analitik dan diulang sebanyak 3 kali. Setelah itu didapat data berat tanaman yang diambil konstan. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Pengaruh biokomplek tanaman
waktu aplikasi terhadap tinggi
Tinggi tanaman (cm) pada Minggu ke Perlakuan
2
3
4
5
6
A
29,2 a
61,3 a
101,7 c
136 c
176 c
B
26,7 a
63,3 a
95 bc
132bc
172 bc
C
26,5 a
57,3 a
95 bc
127 ab
155 ab
D
26,3 a
55 a
82,5 ab
124,7 ab
151 ab
E
27,2 a
53,3 a
80 ab
106a
130 a
F
23,40 a
51,33 a
72,5 a
101,8 a
125,67 a
Rataan
26,52
56,94
87,78
121,29
151,67
Kk
6,20
12,03
8,67
10,63
10,46
Keterangan : A = 2 minggu sebelum tanam, B = 1 minggu sebelum tanam, C = Saat tanam D = 1 minggu setelah tanam, E = 2 minggu setelah tanam, F = Kontrol (tanpa pemberian biokomplek) TINGGI TANAMAN
cm
Hasil penelitian pada minggu ke 2, 3, 4, 5 dan 6 untuk parameter tinggi tanaman diperoleh hasil ratarata di bawah ini :
Tabel 7. Rata-Rata Tinggi Tanaman Minggu ke 2, 3, 4, 5 dan 6
200,00 180,00 160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00
A B C D E F
Minggu ke Minggu ke Minggu ke Minggu ke Minggu ke Minggu ke 1 2 3 4 5 6
Gambar 5. Grafik Tinggi Tanaman Minggu ke 1, 2, 3, 4, 5 dan 6
Pengaruh Waktu Aplikasi Pemberian Biokomplek Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis ( zea mays var. saccharata ), Widya Sari, SP., MP dan Khalimi Thoha, SP
12
Pada minggu ke 2 perlakuan A, B, C, D, E dan F tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Pada minggu 2 nilai P value 0,450 (di atas 0,05). Perlakuan A, B, C, D, E dan F tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada minggu 3. Pada minggu 3 nilai P value 0,577 (di atas 0,05). Pada minggu ke 4 perlakuan A, B, C, D, E dan F berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman. Pada minggu 4 nilai P value 0,007 (di bawah 0,05 dan 0,01). Perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan D, E dan F, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan B dan C. PPerlakuan A, B, C, D, E dan F berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada minggu ke 5. Pada minggu ke 5 nilai P value 0,017 (di bawah 0,05). Perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan C, D, E dan F, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan B. Pada minggu ke 6 perlakuan A, B, C, D, E dan F berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman. Pada minggu 6 nilai P value 0,002 (di bawah 0,05 dan 0,01). Perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan C, D, E dan F, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan B. Perlakuan yang terbaik adalah A (2 minggu sebelum tanam) yaitu 176,67 cm.
Tabel 8. Rata-Rata Jumlah Daun Minggu ke 2, 3, 4, 5 dan 6 Jumlah daun minggu ke Perlakuan
2
3
4
5
6
A
4a
7c
9b
11 b
14 c
B
4a
7c
9b
10 ab
13 bc
C
4a
6 ab
8 ab
10 ab
12 ab
D
4a
6 ab
9b
11 b
13 b
E
3a
5a
7a
9a
11 a
F
4a
6 ab
8 ab
10 ab
12 ab
Rerata
3,83
6,00
8,11
10,00
12,39
Kk
1,70
2,89
3,20
2,79
1,77
Keterangan : A = 2 minggu sebelum tanam, B = 1 minggu sebelum tanam, C = Saat tanam D = 1 minggu setelah tanam, E = 2 minggu setelah tanam, F = Kontrol (tanpa pemberian biokomplek) JUMLAH DAUN 16 14
A
12
B
10
C
8
2. Pengaruh waktu aplikasi biokomplek terhadap jumlah daun Hasil penelitian pada minggu ke 2, 3, 4, 5 dan 6 untuk parameter jumlah daun diperoleh hasil rata-rata di bawah ini :
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
D
6
E
4
F
2 0 Minggu ke 1 Minggu ke 2 Minggu ke 3 Minggu ke 4 Minggu ke 5 Minggu ke 6
Gambar 6. Grafik Jumlah Daun Minggu ke 1, 2, 3, 4, 5 dan 6
13
Pada minggu 2 nilai P value 0,136 (di atas 0,05). Perlakuan F (Kontrol) tidak berbeda nyata dengan perlakuan A, B, C, D, dan E dengan jumlah daun 4,00. Pada minggu ke 3 perlakuan A, B, C, D, E dan F berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman. Pada minggu 2 nilai P value 0,046 (dibawah 0,05). Perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan C, D, E dan F, tetapi tdak berbeda nyata dengan perlakuan B. Perlakuan A (2 minggu sebelum tanam) adalah perlakuan yang terbaik dengan jumlah daun 7. Pada minggu ke 4 perlakuan A, B, C, D, E dan F berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman. Pada minggu 2 nilai P value 0,042 (di bawah 0,05). Perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan E, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan B C, D, dan F. Perlakuan A (2 minggu sebelum tanam) dan D (1 minggu setelah tanam) adalah perlakuan yang terbaik dengan jumlah daun 9. Pada minggu ke 5 perlakuan A, B, C, D, E dan F tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman. Pada minggu 2 nilai P value 0,119 (di atas 0,05). Perlakuan F (kontrol) adalah perlakuan yang terbaik dengan jumlah daun 10. Pada minggu ke 6 perlakuan A, B, C, D, dan E berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun tanaman. Pada minggu 6 nilai P value 0,005 (dibawah 0,05 dan 0,01). Perlakuan A tidak berbeda nyata dengan perlakuan C, D, E dan F, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan B. Jadi perlakuan yang terbaik adalah Perlakuan A (2 minggu sebelum tanam) dengan jumlah daun 14.
Gambar 7. Perhitungan Jumlah Daun
3. Pengaruh waktu aplikasi biokomplek terhadap lebar daun Hasil penelitian pada minggu ke 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 untuk parameter lebar daun diperoleh hasil rata-rata di bawah ini : Tabel 9. Rata-Rata Lebar Daun Minggu ke 2, 3, 4, 5 dan 6 Data lebar daun Perlakuan
F
2 1,50 a 1,60 a 1,53 a 1,47 a 1,43 a 1,47 a
3 2,30 a 2,27 a 1,93 a 2,10 a 1,90 a 1,97 a
4 2,53 b 2,68 b 2,63 b 2,50 b 2,30 ab 2,23 a
5 3,00 c 3,00 c 2,87 bc 3,00 c 2,63 a 2,70 a
3,77b 3,17 ab 3,00 a 3,00 a
RATAAN
1,50
2,08
2,48
2,88
3,52
A B C D E
6 4,17 c 4,00 bc
Kk 0,77 1,55 0,88 0,48 1,51 Keterangan : A = 2 minggu sebelum tanam, B = 1 minggu sebelum tanam, C = Saat tanam D = 1 minggu setelah tanam, E = 2 minggu setelah tanam, F = Kontrol (tanpa pemberian biokomplek)
Pengaruh Waktu Aplikasi Pemberian Biokomplek Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis ( zea mays var. saccharata ), Widya Sari, SP., MP dan Khalimi Thoha, SP
14
cm
LEBAR DAUN 4,50 4,00 3,50 3,00 2,50
A B C
2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
D E F
Minggu ke Minggu ke Minggu ke Minggu ke Minggu ke Minggu ke 1 2 3 4 5 6
Gambar 8. Grafik Lebar Daun
Perlakuan A, B, C, D, E dan F tidak berpengaruh sangat nyata terhadap lebar daun pada minggu ke 1. Pada minggu ke 1 nilai P value 0,803 (di atas 0,05). Perlakuan yang terbaik adalah perlakuan F (kontrol) dengan lebar daun 1,37 cm. Perlakuan A, B, C, D, E dan F berpengaruh nyata terhadap lebar daun pada minggu ke 2. Pada minggu ke 2 nilai P value 0,366 (di atas 0,05). Perlakuan yang terbaik adalah perlakuan F (kontrol) dengan lebar daun 1,37 cm. Pada minggu ke 3 Perlakuan A, B, C, D, E dan F tidak berpengaruh nyata terhadap lebar daun. Pada minggu ke 3 nilai P value 0,186 (di atas 0,05). Perlakuan yang terbaik adalah F (Kontrol) dengan lebar daun 1,97 cm. Pada minggu ke 4 perlakuan A, B, C, D, E dan F berpengaruh nyata terhadap lebar daun. Pada minggu ke 4 nilai P value 0,010 (di bawah 0,05). Perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan F, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan B, C, D, dan E. Perlakuan yang terbaik adalah perlakuan B dengan lebar daun 2,68 cm. Pada minggu ke 5 perlakuan A, B, C, D, E dan F berpengaruh sangat nyata terhadap lebar daun. Pada minggu ke 5 nilai P value 0,000 (di bawah 0,05 dan 0,01). Perlakuan A
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
berbeda nyata dengan perlakuan E dan F. tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan B, C dan D. Jadi perlakuan yang terbaik adalah perlakuan A (2 minggu sebelum tanam) dan B (1 minggu sebelum tanam) dengan lebar daun 3,00 cm dan 3,00 cm. Pada minggu ke 6 perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap lebar daun.. Pada minggu ke 6 nilai P value 0,000 (di bawah 0,05 dan 0,01). Perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan C, D, E dan F, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan B. Jadi perlakuan yang terbaik adalah perlakuan A (2 minggu sebelum tanam) dengan lebar daun 4,17 cm.
Gambar 9. Pengukuran lebar daun
4.
Pengaruh waktu aplikasi biokomplek terhadap berat basah dan berat kering tanaman Hasil penelitian untuk parameter berat basah dan berat kering tanaman diperoleh hasil rata-rata di bawah ini :
15
Tabel 10. Rata-Rata Berat Basah dan Berat Kering Tanaman Berat kering
(ons)
(gram)
Penyusutan
120 100
BB-BK (gram)
A
99,3 c
12 c
978
B
87 bc
10,5 bc
850
C
86 b
10 bc
849,9
D
81 b
9,5 ab
800,6
E
78 ab
9a
771,7
80
gram
Perlakuan
Berat basah
BERAT BASAH TANAMAN
60
BB
40 20 0 A
B
C
D
E
F
Gambar 11 Grafik berat basah BERAT KERING TANAMAN 14 12
64 a
7a
633,8
RATAAN
82,9
9,8
814,1
Kk
8,6
3,3
10 gram
F
8 BK
6 4 2 0
Keterangan : A = 2 minggu sebelum tanam, B = 1 minggu sebelum tanam, C = Saat tanam D = 1 minggu setelah tanam, E = 2 minggu setelah tanam, F = Kontrol (tanpa pemberian biokomplek)
Perlakuan A, B, C, D, E dan F berpengaruh sangat nyata terhadap berat basah tanaman. Nilai P value 0,003 (di bawah 0,05 dan 0,01). Perlakuan A berbeda nyata dengan dengan perlakuan C, D, E dan F, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan B. Jadi perlakuan A (2 minggu sebelum tanam) adalah perlakuan terbaik sebesar 99,32 ons. Perlakuan A, B, C, D, E dan F berpengaruh sangat nyata terhadap berat kering tanaman. Nilai P value 0,000 (di bawah 0,05 dan 0,01). Perlakuan A berbeda nyata dengan dengan perlakuan D, E dan F, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan B dan C. Jadi perlakuan A (2 minggu sebelum tanam) adalah perlakuan terbaik sebesar 12,09 gram.
A
B
C
D
E
F
Gambar 12. Grafik berat kering
B. Pembahasan Dari hasil pengamatan yang dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, lebar daun, berat basah dan berat kering tanaman jagung manis, dapat dilihat bahwa perlakuan yang terbaik adalah dengan pemberian biokomplek 4 gr/liter air dengan aplikasi waktu 2 minggu sebelum tanam. Hal ini disebabkan dalam pertumbuhan vegetatif tanaman khususnya tinggi tanaman memerlukan unsur hara yang cukup. Ukuran tanaman dan tinggi tanaman ditentukan oleh jumlah dan ukuran sel. Tanaman memerlukan unsur hara untuk pertumbuhan (Bilman et. al, 2002). Salah satu bahan yang dapat mempercepat proses penyuburan tanah adalah biokomplek berbahan aktif Gliocladium. Menurut Nurwadani
Pengaruh Waktu Aplikasi Pemberian Biokomplek Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis ( zea mays var. saccharata ), Widya Sari, SP., MP dan Khalimi Thoha, SP
16
(1996), biokomplek dapat mempercepat proses penguraian bahan organik, sehingga (C/N rasio) akan cepat menurun dari 50 menjadi 20. Dari hasil pengamatan yang dilakukan terhadap jumlah daun tanaman jagung manis, dapat dilihat bahwa perlakuan yang terbaik adalah dengan pemberian biokomplek 4 gr/liter air dengan aplikasi waktu 2 minggu sebelum tanam. Hal ini diduga karena ketersedian unsur hara di dalam media cukup banyak. Gliocladium sp dapat memecahkan rantai C organik menjadi rantai-rantai pendek (rantai C sederhana) yang mudah dimanfaatkan oleh tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh dengan subur (Rosmahani , 2001 dalam Iskandar 2008). Dari hasil pengamatan yang dilakukan terhadap lebar daun tanaman jagung manis, dapat dilihat bahwa perlakuan yang terbaik adalah dengan pemberian biokomplek 4 gr/liter air dengan aplikasi waktu 2 minggu sebelum tanam. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosmahani (2001) dalam Iskandar (2008), bahwa aplikasi Gliocladium sp. dapat menyebabkan penambahan lebar tajuk pada tanaman tomat. Pertambahan lebar tajuk ini, menyebabkan tanaman dapat berproduksi dengan baik. Dari hasil pengamatan yang dilakukan terhadap berat basah dan berat kering tanaman jagung manis, dapat dilihat bahwa perlakuan yang terbaik adalah dengan pemberian biokomplek 4 gr/liter air dengan aplikasi waktu 2 minggu sebelum tanam. Bertambahnya umur tanaman juga menyebabkan semakin besarnya kemampuan tanaman menyerap hara dari dalam tanah untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Begitu juga
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
dengan bertambah umur tanaman juga berpengaruh terhadap proses fotosintesis semakin besar dalam pembentukan karbohidrat. Sebagian besar karbohidrat tersebut akan diuraikan melalui respirasi dan sebagian lainnya untuk pembentukan berat basah dan berat kering (Bilman et. al, 2002). Peranan gliocladium dapat menyediakan unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pembelahan sel dan pembesaran sel, tetapi yang paling umum dipakai adalah pertambahan berat basah dan berat kering yang meliputi diferensiasi sel (Kristanto, 2006). Dari hasil penelitian Iskandar (2002), pemberian Gliocladium berpengaruh positif terhadap tinggi, lebar daun, panjang akar, serta bobot segar dan bobot kering tanaman tomat. Pengomposan yang dilakukan oleh gliocladium merupakan salah satu manipulasi mutu masukan bahan organik dengan kondisi terkendali sehingga menghasilkan bahan organik dan unsur hara yang bermutu bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Dari hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa : 1) Waktu aplikasi pemberian biokomplek berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Perlakuan A (2 minggu sebelum tanam) yang terbaik terhadap tinggi tanaman jagung manis. 2) Waktu aplikasi pemberian biokomplek berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun. Perlakuan A (2 minggu sebelum tanam) yang terbaik
17
terhadap jumlah daun tanaman jagung manis. 3) Waktu aplikasi pemberian biokomplek berpengaruh sangat nyata terhadap lebar daun. Perlakuan A (2 minggu sebelum tanam) yang terbaik terhadap lebar daun tanaman jagung manis. 4) Waktu aplikasi pemberian biokomplek berpengaruh sangat nyata terhadap berat basah tanaman. Perlakuan A (2 minggu sebelum tanam) yang terbaik terhadap berat basah tanaman jagung manis. 5) Waktu aplikasi pemberian biokomplek berpengaruh nyata terhadap berat kering tanaman. Perlakuan A (2 minggu sebelum tanam) yang terbaik terhadap berat kering tanaman jagung manis. 2.
Saran
1) Dalam penelitian yang penulis laksanakan, pemberian biokomplek dengan waktu aplikasi 2 minggu sebelum tanam adalah perlakuan yang terbaik dalam pertumbuhan vegetatif jagung manis. 2) Untuk penelitian selanjutnya atau yang akan dilakukan oleh peneliti berikutnya, disarankan agar dilakukan dengan berbagai dosis biokomplek terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung manis. 3) Untuk melihat pengaruh biokomplek terhadap pertumbuhan, perkembangan dan hasil produksi, disarankan agar penelitian dilakukan sampai panen dan dilaksanakan di lahan.
DAFTAR PUSTAKA Bilman, W., et al., 2002. Peran Em4 Dan Pupuk NPK Dalam Meningkatkan Pertumbuahn Dan Hasil Jagung Manis Pada Lahan Alang-Alang, jurnal ilmu pertanian, volume 4 no 1 hal 56-61. (http://www.ac.id/dat/pub/frontir/sudars ana pdf.2000, dalam Dongoran, D. 2009. Skripsi. Iskandar. 2008. Pengaruh dosis biokomplek terhadap pertumbuhan bibit tanaman tomat varietas artaloka (Lycopersicum esculentum Mill.) Hakim, Nyakpa dan A.M Lubis. 1986.Dasar-dasar Ilmu Tanah. UniversitasLampung, Lampung Kristanto Heri, 2006. Pengaruh khitosan, Gliocladium sp Serta Kombinasi Gliocladium sp dan Khitosan Terhadap Perkecambahan dan Pembibitan Padi var. Pandanwangi, Skripsi Marvelia, A., dkk.2006. Produksi Tanaman Jagung Manis (Zea mays L. Saccharata) yang diperlukan dengan kompos dan kascing dengan dosis yang berbeda. Bulletin Anatomi dan Fisiologi, vol XIV No. 2. Oktober 2006. Nurwadani. 1996. Pengendalian Hayati Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysporum f.s.p melonis) pada Melon (Cucumis melo cv. Casntralupensisi NAUD) dan Perbanyakan Masal Gen Pengendali Hayati (Gliocladium s.p.), Tesis. Subdin Bina Program. 2004. Data Perbandingan Tanaman Jagung Tahun 2003 dan 2004. Dinas Pertanian. Cianjur.
Pengaruh Waktu Aplikasi Pemberian Biokomplek Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis ( zea mays var. saccharata ), Widya Sari, SP., MP dan Khalimi Thoha, SP
18
PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA TANI PENANGKARAN BENIH PADI BERSERTIFIKAT Studi Pada Petani Penangkar Benih Padi Bersertifikat Di Desa Cisarandi Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur Oleh: Ir.Hj. Megawati Shiddieqy MSi* Nanang Slamet SP**
RINGKASAN
Benih padi bersertifikat merupakan persyaratan penting dalam usahatani padi, namun ketersediaannya masih sangat kurang dibandingkan kebutuhan, sehubungan dengan hal tersebut peranan petani penangkar benih padi bersertifikat sangat membantu dalam pengadan benih bersertifikat di lapangan. Penelitian bertujuan: Melihat gambaran umum keadaan usahatani penangkaran benih padi bersertifikat di desa Cisarandi; menentukan kelayakan teknis, kelayakan pasar dan kelayakan ekonomi serta menentukan prospek pengembangan usahatani penangkatan benih padi bersertifikat di Desa Cisarandi. Metoda penelitian menggunakan metoda deskriptif dengan pengambilan sampel secara acak, tehnik pengolahan data kelayakan tehnis memakai skala Likert untuk setiap kegiatan sesuai Peraturan Dirjentan, kelayakan pasar dilihat dari data permintaan pasar terhadap benih padi bersertifikat serta menggunakan B/C ratio untuk kelayakan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prospek pengembangan penangkaran benih padi bersertifikat di Desa Cisarandi sangat baik, karena ditinjau dari kelayakan teknis, kelayakan pasar dan kelayakan ekonomi sudah memenuhi persyaratan serta didukung sumberdaya manusia yang berpengalaman dan terampil dalam bidangnya.
ABSTRACT
The objectives of this study were : (1). To get general view of farming industries certified paddy seeds in the village of Cisarandi; (2). To define technical feasibility of certified paddy seeds in the village of Cisarandi; (3). To define market feasibility of certified paddy seeds in the village of Cisarandi; (4). To define economical feasibility of certified paddy seeds in the village of Cisarandi; (5). To difine prospect development of certified paddy seeds in the village of Cisarandi. . The study used description methods and sample was sorted out by randomize sampling. and the study was conducted by applying Likert’s Summated Rating (LSR). Technical suitable using General Director of Food Crop Regulation about certified paddy seeds. The result of this study indicated that breeding of certified paddy seed has a good prospect in the future. It was feasible in technic of production , market and economic which skilled and experienced farmer supported also. *Dosen Faperta UNSUR **Alumni Faperta UNSUR Prospek Pengembangan Usaha Tani Penangkaran Benih Padi Bersertifikat : Studi pada Penangkar Benih Padi Bersertifikat di Desa Cisarandi Kecamatan Warung Kondang Kabupaten Cianjur, Ir. Hj. Megawati Shiddieqy, M.Si & Nanang Slamet, SP
19
PENDAHULUAN Penggunaan benih unggul bersertifikat di tingkat usahatani merupakan komponen penting dalam program intensifikasi padi. Melalui penggunaan benih padi bersertifikat dengan varietas Ciherang diharapkan produksi padi per satuan luas meningkat, adanya keseragaman tanaman dan mutu produk yang dihasilkan, tahan terhadap serangan hama penyakit. Peningkatan produksi diharapkan berdampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani padi. Peningkatan penggunaan benih bersertifikat di tingkat usahatani merupakan salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan petani, terutama bagi petani di Desa Cisarandi, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur. Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan produksi, melalui kegiatan intensifikasi yang dilaksanakan oleh para petani. Dari hasil budidaya padi menghasilkan produksi gabah yang dapat dibuat menjadi benih padi bersertifikat harus produktivitasnya tinggi, karena diharapkan ketersediaan benih bersertifikat banyak, cenderung permintaan benih padi bersertifikat akan meningkat sehingga akan mempunyai prospek yang lebih baik untuk dikembangkan usaha tani penangkaran benih bersertifikat. Dalam rangka meningkatkan ketersediaan benih padi unggul bersertifikat di tingkat usahatahi perlu memenuhi 6 (enam) tepat yaitu (1) tepat varietas sesuai kondisi setempat,
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
(2) tesedia dalam jumlah yang cukup, (3) mutu benih baik, (4)tersedia pada waktu yang dibutuhkan, (5) tepat lokasi, dan (6) harga terjangkau oleh petani. Pengadaannya lebih memungkinkan dan lebih mudah didapat apabila diproduksi oleh petani di wilayahnya sendiri sebagai penangkar benih (Simatupang, 2000). Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui studi pada petani penangkar benih padi bersertifikat di desa Cisarandi, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur. Penelitian bertujuan untuk melihat gambaran umum usaha tani padi didesa Cisarandi dan ingin mengetahui kelayakan teknis, kelayakan pasar dan kelayakan ekonomi serta prospek pengembangan usahatani penangkaran benih padi bersertifikat. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, permasalahan yang akan diamati dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah gambaran umum usahatani padi di Desa Cisarandi; 2. Bagaimanakah kelayakan teknis ; 3. kelayakan pasar; 4. kelayakan ekonomi dan bagaimanakah prospek pengembangan usahatani penangkar benih padi bersertifikat di desa Cisarandi. METODE PENELITIAN Proses pengumpulan data melalui beberapa cara antara lain: 1. Wawancara dan Observasi: dilakukan terhadap petani dengan cara mengumpulkan data dan informasi dengan panduan kuesioner pelaksanaan dan tahapan kegiatan
20
penangkaran benih padi bersertifikat dan untuk konsumsi. 2. Studi dokumen: dilakukan terhadap pustaka dan data dari Dinas instansi lingkup pertanian. Sampel penelitian adalah 20 orang petani penangkar benih padi bersertifikat dan 20 orang petani produksi konsumsi, dengan metode dipilih secara langsung (purposive sampling). ANALISIS DATA Dilakukan terhadap data yang terkumpul dengan metode deskriptif terhadap keadaan umum keadaan usahatani padi di desa Cisarandi. Kelayakan teknis, mengacu kepada Peraturan Direktur Jenderal Tanaman Pangan no. 01/ Kpts/ HK. 310/ C/ 1/ 2009 Tentang Sertifikasi Melalui Pengawasan Pertanaman dan/atau Uji Laboratorium menggunakan Skala Likert : 1.Sangat buruk; 2. Buruk; 3. Cukup baik; 4. Baik dan 5. Sangat baik. Untuk kelayakan pasar dilihat dari besarnya permintaan benih padi bersertifikat selama tiga tahun (20062008), sedangkan untuk kelayakan ekonomi menggunakan analisis B/C ratio.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Keadaan umum: a. Umur responden ; sebagian besar petani penangkar benih padi 34% berusia antara 36-45 tahun, 46% berusia antara 46-54 tahun, 16% berusia antara 26-35 tahun dan 4% berusia diatas 54 tahun. Secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1. Dari data tersebut ternyata kondisi umur petani penangkar benih padi 96% masih pada kisaran umur produktif, hal ini sesuai dengan pendapat Tohir (1983) yang menyatakan umur produktif dalam usaha pertanian berkisar antara 1554 tahun , dimana umur berkaitan dengan kemampuan bekerja, berfikir dan pengambilan keputusan. Berkaitan dengan hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar petani responden dalam kategori umur produktif, sehingga memungkinkan masih berpeluang meningkatkan kemampuan bekerja, berfikir jauh ke depan dan dapat mengambil keputusan yang tepat dalam meningkatkan usahataninya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
Gambar 1 : Grafik Persentase Penangkar Benih Padi Berdasarkan Umur
>54 4%
46 – 54 46%
26 – 35 16%
36 – 45 34%
Gambar 1. Diagram persentase penangkar benih padi berdasarkan umur.
Prospek Pengembangan Usaha Tani Penangkaran Benih Padi Bersertifikat : Studi pada Penangkar Benih Padi Bersertifikat di Desa Cisarandi Kecamatan Warung Kondang Kabupaten Cianjur, Ir. Hj. Megawati Shiddieqy, M.Si & Nanang Slamet, SP
21
b. Pengalaman Berusahatani Penangkaran Benih Padi Berdasarkan pengalaman berusahatani yang dihitung dari lamanya melaksanakan penangkaran benih padi, maka menunjukkan bahwa 54% berpengalaman selama 3-5 tahun, 34% berpengalaman antara 6-8 tahun dan berpengalaman lebih dari 8 tahun sebesar 12%, data lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar2. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani penangkar responden
berpengalaman 3-8 tahun dan sebagian kecil telah berpengalaman diatas 8 tahun. Dari hasil wawancara, seluruh petani responden awalnya adalah petani yang mengusahakan tanaman padi untuk konsumsi. Ketertarikan petani untuk beralih ke usahatani penangkaran benih padi, karena harga untuk benih lebih mahal dibandingkan dengan harga gabah untuk konsumsi, sedangkan teknik budidayanya tidak jauh berbeda.
Grafik Penangkar Benih Berdasarkan Lamanya Berusahatani Penangkar Benih Padi >8 tahun 12%
6 – 8 tahun 34%
3 – 5 tahun 54%
Gambar 2: Diagram persentase penangkar benih padi berdasarkan lamanya berusahatani penangkaran benih padi.
c.Tingkat pendidikan Data menunjukkan bahwa pendidikan formal petani responden, 52% berpendidikan SD, 34% berpendidikan SMP dan 14% berpendidikan SLTA, data lengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3. Walaupun pendidikan formal responden relatif rendah, petani penangkar benih tetap dapat melakukan usahanya karena sebagian besar telah mengikuti pendidikan non
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
formal berupa pendidikan dan pelatihan dibidang penangkaran benih padi serta mengikuti temu lapang penangkar benih yang diadakan Dinas Pertanian. Hal tersebut ditunjukkan dari data yang menyatakan 94 % petani responden telah mengikuti Sekolah Lapang Penangkar Benih Padi, dan 100% petani responden telah mengikuti Kursus Tani Penangkar Benih Padi serta 58% petani responden telah mengikuti Temu Lapang Penangkar Benih Padi, data lengkap dapat dilihat pada Tabel1 .
22
Grafik Persentase Petani Penangkar Benih Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal SLTA 14%
SLTP 34%
SD 52%
Gambar 3: Diagram persentase petani penangkar benih berdasarkan tingkat pendidikan formal Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penangkar Benih Berdasarkan Pendidikan non di Bidang Pertanian No.
Jumlah
Jenis Pelatihan
Orang
%
1
Sekolah Lapang Penangkar Benih Padi
47
94
2
Kursus Tani Penangkar Benih Padi
50
100
3
Temu Lapang Penangkar Benih Padi
29
58
Sumber : Dari data primer yang sudah diolah tahun 2009
4.2 Menentukan Kelayakan Teknis Usahatani Penangkar Benih Padi Bersertifikat Dari hasil analisis data kelayakan teknis yang mengacu kepada SK Mentan nomor : 01/Kpts/HK.310/C/1/2009, dapat dilihat pada Tabel 2.
Dari data Tabel 2, secara keseluruhan kelayakan teknis bagi petani penangkar benih padi dinilai rata-rata 3,64, hal itu menggambarkan bahwa petani di Desa Cisarandi cukup baik dan mentaati aturan yang ada.
Tabel 2. Kelayakan Teknis Sertifikasi Benih Padi.
Prospek Pengembangan Usaha Tani Penangkaran Benih Padi Bersertifikat : Studi pada Penangkar Benih Padi Bersertifikat di Desa Cisarandi Kecamatan Warung Kondang Kabupaten Cianjur, Ir. Hj. Megawati Shiddieqy, M.Si & Nanang Slamet, SP
23
4.3 Menentukan Kelayakan Pasar Usahatani Benih Padi Bersertifikat Penjualan benih padi dilaksanakan melalui : 1. Penjualan langsung ke petani di Warungkondang. 2.Penjualan langsung ke Kelompok Tani di Kecamatan Warungkondang 3. Penjualan langsung ke kios sarana produksi di Kecamatan Cianjur, Kecamatan Cilaku,
Permintaan petani pengguna benih padi bersertifikat setiap tahunnya semakin meningkat, untuk mengetahui besarnya permintaan benih padi bersertifikat kepada petani penangkar di Desa Cisarandi dan sekitarnya dapat dilihat pada tabel permintaan dari tahun 2006 sampai dengan 2008. Permintaan pasar terhadap benih padi bersertifikat selama tahun 2006, 2007, 2008 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Tabel Pemintaan benih padi bersertifikat di Gapoktan Citrasawargi No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Volume Permintaan (Kg) 2006 2.000 1.000 500 4.000 4.000 3.000 500 500 500 4.000 4.000 3.000
27.000 Jumlah Sumber : Gapoktan Citrasawargi tahun 2009
2007 2.000 1.000 500 5.000 5.000 3.500 500 500 500 5000 5000 4000
32.500
% 1 1 1 1,25 1,25 1,2 1 1 1 1,25 1,25 1,33
2008 2.000 930 500 8000 8000 400 500 500 500 7000 6000 4000
% 1 0,93 1 1,6 1,6 0,1 1 1 1 1,4 1,2 1
1,2
38.330
1,2
4.4 Menentukan Kelayakan Ekonomi Usahatani Benih Padi Bersertifikat Untuk mengetahui kelayakan ekonomi digunakan rasio biaya-manfaat, sebagai berikut :
Biaya Produksi terdiri dari kebutuhan benih untuk satu hektar, pupuk kimia untuk satu hektar, pupuk Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
organik, pestisida, sementara untuk biaya tenaga kerja adalah sebagai berikut: traktor, tanam, panen, pasca 24
panen, dan untuk biaya lain-lain adalah sebagai berikut : sewa lahan, uji laboratorium, kantong plastik, sertifikasi/labeling.
keuntungan petani yaitu hasil penjualan produksi dikurangi biaya produksi. Rata-rata analisa usahatani penangkaran benih bersertifikat dan usahatani padi untuk konsumsi dapat dilihat pada Tabel 4. berikut ini.
Pendapatan Petani adalah hasil penjualan produksi degan harga yang telah ditentukan di pasaran, sedangkan
Tabel 4. Analisa Usahatani Penangkar Benih Padi Bersertifikat dengan luas 12,5 hektar Usahatani Benih Padi Bersertifikat
Usahatani Padi Konsumsi
Uraian Unit
Vol (Kg/Ha)
Harga (Rp)
2
3
4
1 Produksi
Kg
Nilai (Rp)
37.500
3.500
131.250.000
25.000
2.200
55.000.000
Kg
312,5
5.000
a. Urea
Kg
1.250
b. NPK
Kg
3.750
a. Pupuk Organik
Kg
b. PPC
Liter
Unit
Vol
(Rp)
2
3
4
Nilai(Rp)
Kg
75.000
2.200
165.000.000
1.562.500
Kg
312,5
5.000
1.562.500
1.400
1.750.000
Kg
1,250
1.400
1.750.000
2.200
8.250.000
Kg
3.750
2.200
8.250.000
12.500
1.000
12.500.000
Kg
12.500
1.000
12.500.000
25
60.000
1.500.000
Liter
25
60.000
1.500.000
Kg
50
80.000
4.000.000
Kg
50
80.000
4.000.000
Liter
25
150.000
3.000.000
Liter
25
150.000
3.000.000
Produksi Konsumsi Biaya Produksi 1. Benih 2. Pupuk Kimia
3. Pupuk Lainnya
4. Pestisida : - Padat - Cair Biaya Total Saprodi
32.562.500
32.562.500
Tenaga Kerja 1. Traktor
Ha
5.000.000
5.000.000
Ha
-
5.000.000
5.000.000
2. Tanam
HOK
500
15.000
7.500.000
HOK
500
15.000
7.500.000
Rouging I
HOK
125
15.000
1.875.000
HOK
125
15.000
1.875.000
Rouging II
HOK
125
15.000
1.875.000
HOK
125
15.000
1.875.000
Rouging III
HOK
125
15.000
1.875.000
HOK
-
-
-
a. T.K Dalam Keluarga
HOK
125
15.000
1.875.000
HOK
125
15.000
1.875.000
b. T.K Luar Keluarga
HOK
250
15.000
3.750.000
HOK
250
15.000
3.750.000
a. Transportasi
HOK
125
15.000
1.875.000
HOK
125
15.000
1.875.000
b.Pengeringan
HOK
125
15.000
1.875.000
HOK
125
15.000
1.875.000
c. Pembersihan
HOK
125
15.000
1.875.000
HOK
-
-
-
d. Pengemasan
HOK
125
15.000
1.875.000
HOK
-
-
-
3. Panen
4. Pasca Panen
Biaya Total Tenaga Kerja
31.250.000
25.625.000
1. Biaya lain-lain a. Sewa lahan
Ha
-
6.250.000
6.250.000
Rp
-
6.250.000
6.250.000
b. Uji Laboratorium
Kg
38.500
6
231.000
-
-
-
-
c. Kantong Plastik (5 kg)
Ktg
7.500
200
1.500.000
-
-
-
-
d. Karung Plastik (50 kg)
Ktg
750
1.500
1.125.000
Ktg
750
1.500
1.125.000
-
-
100.000
-
-
100.000
7.500
100
750.000
-
-
-
e. Rapia dan Jarum d. Sertifikasi / Labeling Biaya lain-lain
Ktg
-
8.956.000
Prospek Pengembangan Usaha Tani Penangkaran Benih Padi Bersertifikat : Studi pada Penangkar Benih Padi Bersertifikat di Desa Cisarandi Kecamatan Warung Kondang Kabupaten Cianjur, Ir. Hj. Megawati Shiddieqy, M.Si & Nanang Slamet, SP
7.475.000
25
Biaya Total Produksi
72.768.500
65.662.500
Pendapatan Total Petani
Rp.
186.250.000
Rp.
165.000.000
Biaya Total Produksi
Rp.
72.768.500
Rp.
65.662.500
Pendapatan Bersih Petani
Rp.
113.481.500
Rp
99.337.500
Dari hasil perhitungan dalam semusim untuk 12,5 hektar, petani penangkar benih bersertfikat pendapatan total produksinya adalah : sebesar
Benih padi yang bersertifikat
12,5 Ha x 3.000 Kg x Rp. 3.500 = Rp. 131.250.000,Padi sisa benih bersertifikat (konsumsi)12,5 Ha x 2.000 Kg x Rp. 2.200 = Rp. 55.000.000
Jadi Nilai Produksi untuk lahan 12,5 hektar adalah Rp. 186.250.000,Biaya produksi untuk lahan 12,5 hektar adalah Rp 72.768.500,Keuntungan Petani pada usaha penangkaran benih padi bersertifikat adalah Pendapatan Total Produksi Rp. 186.250.000 – Biaya Total Produksi Rp 72.768.500 = Rp 113.481.500,- .
Untuk mengetahui B/C Ratio dari analisa penangkaran benih padi bersertifikat adalah :
Keuntungan = Keuntungan =
Nilai Produksi – Total Biaya Produksi 186.250.000 – 72.768.500 = 113.481.500
Dengan B/C Ratio 1,55 berarti nilainya lebih dari 1,0 ini menyatakan bahwa usahatani penangkaran benih padi bersertifikat di Desa Cisarandi menguntungkan, sehingga usaha tani penangkaran benih padi bersertifikat sangat berpotensi perkembanganya di masa yang akan.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan: 1. Potensi petani padi di Desa Cisarandi sangat mendukung untuk kegiatan usahatani penangkaran benih padi bersertifikat, hal ini ditunjukkan sebesar 96% petani dalam kisaran usia produktif, 88% petani penangkar sudah
26
berpengalaman menjadi penangkar diatas 3 tahun dan bahkan 12% berpengalaman diatas 8 tahun , walaupun tingkat pendidikan formal yang tamat SD 52% , SLTP dan SLTA 48%, tetapi sebagian besar telah mengikuti pendidikan non formal bidang penangkaran benih padi. 2. Analisis kelayakan teknis menunjukkan bahwa, petani sudah cukup baik (nilai ratarata 3.64) melaksanakan tahapan-tahapan penangkaran benih sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor: 01/Kpts/HK.310/C/1/2009, walaupun masih ada kegiatan yang belum dilaksanakan. 3. Analisis kelayakan pasar menunjukkan bahwa, usaha tani penangkaran benih padi bersertifikat sudah memenuhi persyaratan kelayakan pasar, karena kenaikan permintaan terhadap benih bersertifikat mulai dari tahun 2006 sampai dengan 2008 rata-rata mencapai 1,2 % setiap tahunnya. 4. Analisis kelayakan ekonomi menunjukkan bahwa, usahatani penangkaran benih padi bersertfikat sudah memenuhi standar kelayakan ekonomi, karena lebih menguntungkan dengan perbandingan B/C Ratio mencapai angka 1,55 . 5. Usahatani penangkaran benih padi bersertifikat mempunyai prospek sangat baik untuk
dikembangkan, karena sudah memenuhi persyaratan kelayakan teknis, kelayakan pasar, dan kelayakan ekonomi serta didukung sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang memadai. Saran 1. Sebaiknya petani penangkar benih padi bersertifikat melaksanakan semua persyaratan kelayakan teknis sesuai dengan Peraturan Dirjen Tanaman Pangan, Departemen Pertanian No.01/Kpts/HK.310/C/1/ 2009, dengan cara mempertahankan tahapan kegiatan yang sudah dilaksanakan dan memperbaiki kekurangan tahapan kegiatan yang belum dilaksanakan. 2. Agar semua stake holder yang berkaitan dengan kegiatan usahatani penangkaran benih padi bersertifikat seperti petugas lapangan sertifikasi benih, penyuluh pertanian, pedagang benih, petani pengguna benih, pihak lembaga keuangan serta pemerintah sampai ketingkat desa turut mendukung kegiatan tersebut demi tersedianya benih padi unggul yang berkualitas dalam rangka mngembangkan Agribisnis berbasis benih padi.
Prospek Pengembangan Usaha Tani Penangkaran Benih Padi Bersertifikat : Studi pada Penangkar Benih Padi Bersertifikat di Desa Cisarandi Kecamatan Warung Kondang Kabupaten Cianjur, Ir. Hj. Megawati Shiddieqy, M.Si & Nanang Slamet, SP Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
27
DAFTAR PUSTAKA Gapoktan Citrasawargi. 2009, Data Penangkaran Benih Padi Bersertifikat di Gapoktan Citrasawargi. Kecamatan Warungkondang. Cianjur Pemerintah Desa Cisarandi. 2006. Profil Desa Cisarandi. Peraturan Dirjen Tanaman Pangan No: 01/Kpts/HK.310/C/1/2009. 2009, Sertifikasi Melalui Pengawasan Pertanaman Dan/Atau Uji Laboratorium. Jakarta.
Pangan.
Naskah Kerja Seminar Pembangunan Pertanian, Potensi Teknologi dan Organisasi Produksi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Simatupang, P. 2000. Anatomi Masalah Produksi Beras dan Upaya Mengatasinya. Makalah pada Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan. Pusat Penelitian Ekonomi Pertanian Bogor. Tohir, K. 1983. Seuntai Pengetahuan tentang Usahatani Indonesia. PT. Bina Aksara. Jakarta.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
28
EVALUASI PENERAPAN SOP PANEN DAN PASCA PANEN PADI SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PENDAPATAN DI DESA KARANGWANGI KECAMATAN CIRANJANG KABUPATEN CIANJUR Oleh : Rosda Malia , S.P., M.Si * Rina Triana , S.P ** RINGKASAN Masalah utama yang dihadapi dalam penanganan panen dan pasca panen padi adalah tingginya kehilangan hasil (losses) baik secara kuantitatif maupun kualitatif, hal tersebut berdampak kepada tingkat pendapatan petani. Tujuan penelitian ini adalah : (1). Mengetahui tingkat penerapan penanganan panen dan pasca panen. (2). Mengetahui persentase kehilangan hasil dalam panen dan pasca panen serta dampaknya terhadap pendapatan petani. Metode yang digunakan adalah statistik deskriptif serta rumus menghitung kehilangan hasil . Penelitian dilakukan di Desa Karangwangi Kec. Ciranjang Kab. Cianjur. Hasil penelitian ini adalah : Persentase petani yang melaksanakan panen sesuai SOP sebesar 46,66 % dan pasca panen sesuai SOP sebesar 26,66 %. Rata-rata kehilangan hasil sebesar 10,11 %. Dampak penurunan pendapatan bagi petani berkisar antara Rp. 441.768 – 10.735.982,26. Kata Kunci : Penanganan panen dan pasca panen, SOP dan pendapatan.
ABSTRACT The main problem encountered in harvesting and post harvest handling of rice is the high yield loss (losses) both quantitatively and qualitatively, Things are given effect to the income levels of farmers. The purposes of this study are: (1). Knowing the level of the application of harvest and post harvest handling. (2). Knowing the percentage loss of the harvest and post harvest and its impact on the income of farmers. The method was used descriptive statistics and formula of loss of the harvest and post harvest. Survey respondents are farmers in the village area Karangwangi Ciranjang District. The results of this study are : Percentage of farmers who carry out the harvest according to the SOP which amounted to 46,66%. The results of the study the percentage of farmers who carry out post-harvest according to the SOP that is 26,66%. The average yield loss of 10,11%. The impact of a decline in income for farmers is between Rp. 441.768 to 10.735.982,26. * Dosen Faperta UNSUR ** Alumni Faperta UNSUR
Evaluasi Penerapan SOP Panen dan Pasca Panen Padi Serta Dampaknya Terhadap Pendapatan di Desa Karangwangi Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur, Rosda Malia , S.P., M.Si & Rina Triana , S.P
29
PENDAHULUAN Beras adalah bahan pangan, sumber karbohidrat yang penting dan merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Kestabilan stok beras sangat besar pengaruhnya terhadap ketahanan pangan dan kestabilan politik maupun bangsa. Usaha untuk meningkatkan produksi telah berhasil dilakukan oleh pemerintah, namun belum diikuti dengan penanganan panen dan pasca panen dengan baik. Masalah utama yang dihadapi dalam penanganan panen dan pasca panen padi adalah tingginya kehilangan hasil (losses) baik secara kuantitatif maupun kualitatif, hal tersebut berakibat kepada tingkat pendapatan petani. (Balai Besar Litbang Pasca Panen Pertanian, 2010). Kurangnya kesadaran dan pemahaman petani terhadap penanganan pasca panen mengakibatkan masih tingginya kehilangan hasil dan rendahnya mutu gabah/beras. Untuk mengatasi masalah ini maka perlu dilakukan penanganan pasca panen yang didasarkan pada prinsip-prinsip Standar Operasional Produksi (SOP) agar dapat menekan kehilangan hasil dan mempertahankan mutu hasil gabah/ beras. Pada tingkat produksi padi mencapai 50 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), dapat diperkirakan bahwa jumlah kehilangan gabah menjadi kurang lebih 10 juta ton tiap tahun. Proses kehilangan ini terjadi pada setiap tahapan produksi padi, mulai dari panen, perontokan, pengeringan, pengangkutan, penggilingan sampai penyimpanan.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
Persentase kehilangan hasil diperkirakan terjadi di tahap panen dan pasca panen lebih besar dari 9 % (Balai Pengembangan Sertifikasi Benih, 2006). Penelitian bertujuan : (1) Mengetahui tingkat penerapan SOP panen dan pasca panen padi di Desa Karangwangi Kec. Ciranjang. (2) Mengetahui persentase kehilangan hasil dalam panen dan pasca panen serta dampaknya terhadap pendapatan petani di Desa Karangwangi Kec. Ciranjang. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 di beberapa kelompok tani yang ada di Desa Karangwangi Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur. Jumlah responden penelitian sebanyak 30 orang petani. Penentuan responden menggunakan metode proporsional, karena populasi sampel tidak homogen dan bersetara secara proporsional (Sugyono, 2009). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan petani dan observasi lapangan . Data sekunder diperoleh dari instansi atau lembaga terkait dengan penelitian ini. Setelah data terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dan metode pengukuran kehilangan hasil. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif (descriptive research), yaitu jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti. (Kountur, 2004).
30
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Karangwangi berada di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur, terdiri dari dua dusun, sepuluh rukun warga dan dua puluh lima rukun tetangga dengan luas wilayah 229,187 ha. Lahan pertanian seluas 206 ha dengan komoditas yang dibudidayakan berupa : padi, palawija (jagung kedele) dan sayuran. Pola tanam padi-padi-palawija (Potensi Desa Karangwangi, 2010). Karakteristik Responden Klasifikasi usia terbagi menjadi tiga yaitu usia belum produktif ( kurang dari 20 tahun), usia produktif (20-55 tahun) dan usia tidak produktif (lebih dari 55 tahun) menurut Setjianingsih (2002). Berdasarkan hal tersebut karakteristik umur responden paling banyak pada umur 20-55 tahun yakni sebanyak 22 orang atau 73 % dari total responden. Mayoritas responden yang berpendidikan sekolah dasar (SD) yakni sebanyak 13 orang atau 43,33% dari total responden. Paling sedikit berpendidikan sarjana (SI) yakni sebanyak 2 orang atau 6 %. Tanggungan keluarga sangat mempengaruhi usaha tani, karena jumlah tanggungan keluarga berkaitan dengan tingkat kebutuhan keluarga petani. Jika hasil usaha tani banyak terserap untuk kebutuhan keluarga, maka kemampuan untuk menerapkan teknologi dan memperluas usaha taninya akan semakin terbatas.
Mayoritas responden memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 3-5 orang per keluarga. Tingkat pengalaman petani akan berpengaruh terhadap keberhasilan usaha tani. Mayoritas responden berpengalaman antara 31-40 tahun dalam berusaha tani. Evaluasi SOP Panen dan Pasca Panen Padi Tanaman padi termasuk golongan tanaman semusim. Bentuk batangnya bulat berongga, daunnya memanjang seperti pita yang berdiri pada ruas – ruas batang dan pelepah daun menyelubungi batang. Malai padi terdiri dari sekumpulan bunga - bunga padi yang keluar dari buku paling atas, ruas buku paling ujung merupakan sumbu utama dari malai, sedangkan bulir – bilir padi terdapat pada cabang cabang pertama maupun cabang kedua, pada waktu berbunga malai berdiri tegak kemudian terkulai bila bulir padi telah berisi dan matang (Departemen Pertanian, 2008). Tujuan dari penanganan pasca panen sesuai Standar Operasional Produksi (SOP) adalah untuk memperoleh gabah yang sebanyak - banyaknya. Tahapan proses penanganan pasca panen padi yang dilakukan oleh petani dimulai dengan penentuan umur panen pada hamparan sawah sampai tahapan penyimpanan . Hasil penelitian tentang tingkat penerapan penanganan panen dan pasca panen di Desa Karangwangi Kec. Ciranjang dapat dilihat dalam tabel 1.
Evaluasi Penerapan SOP Panen dan Pasca Panen Padi Serta Dampaknya Terhadap Pendapatan di Desa Karangwangi Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur, Rosda Malia , S.P., M.Si & Rina Triana , S.P
31
Tabel 1. Evaluasi SOP Panen dan Pasca Panen Padi Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Panen Tidak sesuai Sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Sesuai Sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Tidak sesuai sesuai Tidak sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Tidak sesuai Sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Sesuai Tidak sesuai
SOP Penanganan Pasca Panen Tidak sesuai Sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Sesuai Tidak sesuai Sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Sesuai Tidak sesuai Sesuai Tidak sesuai Sesuai Sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai
Sumber: Data Primer (Olahan) Tahun 2011
Penentuan waktu panen sudah sesuai dengan standar operasional produksi. Adapun permasalahan dilapangan kenapa panen belum sesuai dengan standar operasional karena kebanyakan yang melaksanakan panen bukan petani penggarap tetapi buruh tani. Buruh tani melaksanakan panen tidak hati-hati dan tidak menggunakan alat yang sesuai, contohnya tidak menggunakan sabit bergerigi dengan alasan alat-alat masih jarang dipasaran. Padahal dengan penggunaan sabit bergerigi bisa menekan kehilangan hasil
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
sampai 3 % (Darmadjati dan Wijandi , 1991). Tahapan berikutnya menentukan kenampakan malai, hal ini sudah dilaksanakan sesuai SOP. Gabah bernas tinggi juga menjadi patokan para petani di Desa Karangwangi Kec. Ciranjang dalam menentukan waktu panen dengan alasan agar kualitas gabah yang dihasilkan tinggi. Tahapan penentuan kadar air sebelum panen, belum dilaksanakan karena keterbatasan alat, waktu dan
32
biaya. Untuk mengetahui kadar air gabah harus dibawa ke laboraturium. Persiapan tenaga kerja sudah dilaksanakan, sebelum waktu panen penggarap sudah menghubungi pekerja, dengan alasan di Desa Karangwangi Kec. Ciranjang melaksanakan pola tanam serempak. Hal tersebut sudah sesuai SOP karena hasil penelitian menunjukkan terjadinya kerusakan dan kehilangan hasil panen akibat keterlambatan perontokan padi (Nugraha, 2011). Persiapan alat panen disiapkan sebagian oleh tenaga kerja panen seperti sabit dan terpal, meskipun kebanyakan alat belum sesuai dengan SOP. Seperti belum menggunakan sabit bergerigi dan ukuran terpal yang sangat kecil. Sedangkan untuk karung dan tali disiapkan oleh penggarap, dengan alasan agar buruh tani tidak memindahkan gabah sebelum diangkut ke tempat proses selanjutnya. Gambar 1. Alat pasca panen sabit bergerigi
Sumber BPTP Mekanisasi Pertanian, 2011
Pelaksanaan panen sudah sesuai dengan SOP dengan memotong bagian bawah batang padi, walaupun dalam pelaksanaan panen tidak hatihati karena buruh tani ingin segera selesai agar biasa panen di tempat lain. Cara memanen dengan sabit bergerigi terdapat pada gambar 2. Sedang alat sabit bergerigi terdapat pada gambar 1.
Gambar 2. Cara panen menggunakan sabit bergerigi
Sumber BPTP Mekanisasi Pertanian, 2011
Penumpukan hasil panen sudah dilakukan, tetapi dalam penumpukan terlalu tinggi. Akibat dari penumpukan yang terlalu tinggi maka banyak gabah yang rontok, gabah rontok menyebabkan kehilangan hasil. Karena dalam penumpukan tidak menggunakan alas sehingga gabah yang rontok tidak tertampun. Sedangkan dalam pengumpulan hasil panen, masih belum memasukkan ke dalam keranjang atau mengikat hasil panen. Kecuali petani yang menanam varietas ketan karena varietas ketan hanya ditanam di pinggir sebagai tanaman sisipan jadi gabah yang dipanen sedikit, supaya gabah tidak tercampur dengan varietas padi biasa maka di masukan ke dalam wadah. Sedangkan untuk padi, tidak dikumpulkan ke dalam keranjang dengan alasan terlalu banyak tempat yang harus disediakan. Proses pengangkutan ke tempat perontokan sudah dilaksanakan, tetapi dalam proses pengangkutan banyak buruh tani tidak melakukannya dengan hati- hati sehingga banyak hasil panen yang masih tertinggal.
Evaluasi Penerapan SOP Panen dan Pasca Panen Padi Serta Dampaknya Terhadap Pendapatan di Desa Karangwangi Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur, Rosda Malia , S.P., M.Si & Rina Triana , S.P
33
Persentase Kehilangan Hasil
Gambar 3. perontokan
Ceceran
gabah
saat
Dalam proses penjemuran petani masih membiarkan gabah banyak tercecer karena belum ada kesadaran berapa kehilangan yang diakibatkan dari kecerobohan mereka. Tempat penjemuran yang digunakan tidak sesuai, kebanyakan petani menggunakan alas yang sangat sempit jadi dalam proses penjemuran banyak gabah yang tercecer. Alasan petani tidak menggunakan alas penjemuran yang sesuai karena tidak mempunyai tempat yang luas. Hasil penelitian menunjukkan persentase penerapan panen sesuai SOP baru mencapai 46,66 %. Sedang persentase penerapan SOP pasca panen sebesar 26,66 %. Masih rendahnya tingkat penerapan SOP panen dan pasca panen tentunya akan berdampak pada tingkat kehilangan hasil pada panen dan pasca panen. Hal tersebut memerlukan penanganan yang segera, seperti meningkatkan frekuensi penyuluhan maupun pemberian bantuan alat panen.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kehilangan hasil saat panen dan pasca panen di Desa Karangwangi Kecamatan Ciranjang, sebesar : saat pemanenan 1,472 %, Penumpukan 1,025 %, Pengangkutan 1,021 % perontokan 4,17 %, Penundaan 1,015 % dan penjemuran 1,405 % . Sehingga petani kehilangan hasil rata-rata sebesar 10,11 % dari total gabah yang dihasilkan. Data persentase kehilangan hasil pada panen dan pasca panen terdapat dalam tabel 2. Kehilangan hasil tertinggi pada saat pemanenan adalah pada saat perontokan dengan kehilangan hasil sebesar rata – rata 4,17 %. Hal ini terjadi karena saat perontokan petani tidak menggunakan dinding bertirai , supaya tidak banyak gabah tercecer/terpelanting keluar terpal, perontokan dilakukan oleh petani sangat tergesa-gesa dan kurang hatihati. Angka kehilangan hasil terendah terjadi saat penundaan sebesar 1,015 %, karena dalam proses ini banyak terjadi kecerobohan petani seperti menggunakan terpal yang rusak atau berlubang. Hasil penelitian diatas dibawah hasil penelitian Nugraha, S. R. Thahir dan Sudaryono (2007) yang menunjukkan kehilangan hasil pada ekosistem lahan irigasi sebesar 13,35%, kehilangan pada ekosistem lahan tadah hujan sebesar 10,39 % dan kehilangan hasil pada ekosistem lahan pasang surut sebesar 15,26%.
34
Tabel 2. Persentase Kehilangan Hasil saat Panen dan Pasca Panen kehilangan hasil pada Responden
panen
penumpukan
pengangkutan
1 2,045 1,090 0,886 2 1,204 1,036 1,084 3 2,3 1,112 1,05 4 1,563 1,0242 1,068 5 1,344 0,956 1,075 6 1,379 1 0,850 7 1,315 0,978 0,894 8 1,58 0,9 0,81 9 1,265 0,938 0,979 10 1,188 1,011 0,944 11 1,569 1,081 1,267 12 1,45 1,1 1,187 13 1,436 1,057 0,965 14 1,252 0,957 1,021 15 1,238 1,035 1,107 16 1 0,9 0,95 17 1,828 1,051 1,017 18 1,325 1,165 1,104 19 2,044 1,088 0,944 20 1,124 1,124 1,053 21 1,08 0,93 0,95 22 1,111 1,088 1,055 23 1,588 1,082 1,058 24 1,348 0,972 0,939 25 1,094 1,006 1,181 26 1,92 0,98 0,92 27 1,522 0,934 1,055 28 2,367 1,113 1,113 29 1,123 1,011 1,067 30 1,555 1,044 1,055 Jumlah 44,167 30,776 30,659 Min 1 0,9 0,81 Max 2,367 1,165 1,267 Rata1,472 1,025 1,021 rata Sumber: Data Primer (Olahan) Tahun 2011
perontokan
penundaan
penjemuran
Total kehilangan
4,056 4 4,45 4,041 3,763 4,425 3,736 4,74 3,683 4,177 3,930 4,45 4,218 3,284 4,059 4,5 5,085 4,478 3,833 3,857 3,9 3,766 4,4 4,198 4,212 4,2 3,401 5,215 4,786 4,388 125,243 3,284 5,215
1,125 1,144 1,137 0,759 0,860 1,149 0,947 0,91 1,020 0,988 1,279 1,112 1,103 0,957 1,154 0,91 1,028 0,895 1 0,887 0,95 1,066 1,105 1,071 0,984 0,93 0,974 0,886 1,067 1,067 30,477 0,759 1,279
1,238 1,265 1,6 0,925 1,075 1,413 1,105 1 1,040 1,077 1,104 1,25 1,287 1,126 1,273 1,23 1,085 2,380 1,333 1,147 1,5 1,088 2,235 1,988 1,422 2,1 1,522 1,962 1,595 1,777 42,154 0,925 2,380
10,443 9,734 11,65 9,383 9,075 10,218 8,978 9,94 8,928 9,388 10,232 10,55 10,068 8,6 9,869 9,49 11,097 11,349 10,244 9,195 9,31 9,177 11,470 10,519 9,901 11,05 9,411 12,658 10,651 10,889 303,478 8,6 12,658
4,174
1,015
1,405
10,115
Evaluasi Penerapan SOP Panen dan Pasca Panen Padi Serta Dampaknya Terhadap Pendapatan di Desa Karangwangi Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur, Rosda Malia , S.P., M.Si & Rina Triana , S.P
35
Kehilangan Pendapatan petani Kehilangan hasil pada panen dan pasca panen sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang akan diterima petani. Untuk mendapatkan hasil analisa ini, dilakukan beberapa perhitungan. Pertama menghitung produktivitas didapat dengan menghitung jumlah bulir/gabah dalam m2. Sedangkan produksi didapat dengan mengalikan produktivitas dengan luas lahan, menghitung persentase kehilangan dengan mempersentasekan jumlah gabah yang hilangan per m2 dengan jumlah gabah yang didapat per m2. Mengitung kehilangan yaitu dengan mengalikan produksi dengan persentase kehilangan. Untuk mengetahui penurunan pendapatan atau kehilangan pendapatan yaitu dengan mengalikan kehilangan hasil dengan harga gabah (pada saat penelitian harga gabah kering pungut adalah Rp. 3600,00/kg). Luas kepemilikan lahan responden berkisar antara 1.400 30.000m2, dengan rata-rata kepemilikan lahan 5.437,5 m2. Mayoritas responden memiliki lahan kurang dari 5.000 m2 sehingga mereka termasuk petani gurem. Produktivitas/tingkat produksi berkisar antara 0,79 - 1 kg/m2, produktivitas untuk wilayah Kec. Ciranjang sudah di atas rata-rata karena petani sudah menerapkan teknologi budidaya padi yaitu dengan teknologi PTT (Pengelolaan tanaman secara terpadu).
responden dibawah rata-rata, karena produksi dipengaruhi oleh luas lahan yang di kelola petani. Persentase kehilangan hasil berkisar antara 8,6 – 12,658 %. Besar kecilnya kehilangan hasil sangat dipengaruhi oleh penanganan pada saat panen dan pasca panen. Kehilangan produksi berkisar antara 114,38 – 2.982 kg. Kehilangan produksi untuk petani Desa Karangwangi Kec. Ciranjang dalam setahun dua kali lipat, karena dalam setahun melaksanakan budidaya padi dua kali tanam. Kehilangan hasil sangat besar berkisar antara Rp. 411.768 – Rp. 10.735.200 permusim tanam. Rata- rata kehilangan hasil sebesar Rp. 1.787.982. Data kehilangan pendapatan akibat kehilangan hasil saat panen dan pasca panen selengkapnya terdapat pada tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan penanganan panen dan pasca panen yang perlu diperbaiki. Tanpa adanya perbaikan dalam teknologi penanganan pasca panen, ratusan ribu ton per tahun tanaman ini yang dapat dikatakan terbuang cuma – cuma tidak dapat dimanfaatkan dan bila dinilai dengan sebagian komoditas ekspor berarti ratusan juta US $, yang hilang sebagai devisa negara untuk menyambung kelancaran pembangunan (Kartasapoetra, 2009).
Produksi berkisar antara 1.185 - 30.000 kg, dengan rata-rata produksi 5.009,284 kg. Mayoritas produksi
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
36
Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Jumlah
Luas Lahan (M2) 4200 2000 2800 7000 4200 3500 10000 30000 1750 20000 2100 2100 3500 1400 3500 7500 2100 3500 12500 7000 2275 4200 2500 3000 3000 7000 1500 1500 4500 3000 199962, 5 1400 30000
Tabel 3. Kehilangan Pendapatan Petani Persentase Produksi Kehilangan Produktivitas Kehilangan Produksi Kg/ Kg/m2 (%) Musim Kg/Musim permusim 3696 385,97 0,88 10,44 1660 161,58 0,83 9,73 2240 260,96 0,80 11,65 6356 596,38 0,9 9,38 3906 354,46 0,93 9,07 3045 311,13 0,87 10,21 9500 852,91 0,95 8,97 30000 2982 1 9,94 1715 153,11 0,98 8,92 18000 1689,84 0,90 9,38 1806 184,78 0,86 10,23 1680 177,24 0,80 10,55 3045 306,57 0,87 10,06 1330 114,38 0,95 8,6 2940 290,14 0,84 9,86 7500 711,75 1 9,49 1837,5 203,90 0,87 11,09 2852,5 323,73 0,81 11,34 11250 1152,45 0,9 10,24 5915 543,88 0,84 9,19 2275 211,80 1 9,31 3780 346,89 0,9 9,17 2125 243,73 0,85 11,47 2715 285,59 0,90 10,51 2742 271,48 0,91 9,90 7000 773,5 1 11,05 1477,5 139,04 0,98 9,41 1185 149,99 0,79 12,65 4005 426,57 0,89 10,65 2700 294 0,9 10,88
150278,5 14899,85 Min 1185 114,38 Max 30000 2982 Ratarata 5437,5 5009,28 496,66 Sumber: Data Primer (Olahan) Tahun 2011
Kehilangan pendapatan Rp/Musim 1.389.503,808 581.703,84 939.456 2.146.980,528 1.276.090,2 1.120.097,16 3.070.476 10.735.200 551.214,72 6.083.424 665.243,712 638.064 1.103.654,16 411.768 1.044.534,96 2.562.300 734.066,55 1.165.428,81 4.148.820 1.957.983,3 762.489 1.248.806,16 877.455 1.028.127,06 977.347,512 2.784.600 500.571,09 539.990,28 1.535.661,18 1.058.410,8
26,93 0,79 1
334,84 8.6 12.65
53.639.464,83 411.768 10.735.200
0,89
10.11
1.787.982,26
Evaluasi Penerapan SOP Panen dan Pasca Panen Padi Serta Dampaknya Terhadap Pendapatan di Desa Karangwangi Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur, Rosda Malia , S.P., M.Si & Rina Triana , S.P
37
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian adalah sebagai berikut : 1.
2.
Persentase petani yang melaksanakan panen sesuai SOP yakni sebesar 46,66 %. Ketidaksesuaian terjadi dalam penggunaan alat panen yang belum seseuai dan cara panen yang tidak hati – hati. Sedangkan persentase petani yang melaksanakan pasca panen sesuai SOP sebesar 26,66 %, ketidaksesuaian terjadi dalam penggunaan terpal yang sempit, perontokan yang tidak hati-hati dan tidak menggunakan dinding bertirai. Rata-rata kehilangan hasil sebesar 10,11 % dengan perincian : kehilangan hasil pada saat pemanenan 1.47 %, penumpukan 1.03 %, pengangkutan 1.021 %, perontokan 4.17 %, penundaan 1.015 % dan penjemuran 1.4 %. Kehilangan hasil paling tinggi terjadi pada saat proses perontokan dan paling kecil kehilangan hasil pada saat proses penundaan. Dampak penurunan pendapatan bagi petani adalah berkisar antara Rp. 441.768 – 10.735.982,26. Rata-rata kehilangan pendapatan sebesar Rp. 1.787.982./musim.
Saran Sesuai dengan penelitian ini maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah: 1. Penanganan panen dan pasca panen yang dilakukan di Desa karangwangi Kec. Ciranjang
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
perlu adanya perbaikan dengan bantuan alat panen dan pasca panen yang sesuai SOP. Frekuensi penyuluhan penanganan panen dan pasca panen lebih ditingkatkan lagi. 2. Perlu adanya penyuluhan kepada petani penggarap/buruh tani tentang dampak dari kehilangan hasil akibat proses panen dan pasca panen terhadap pendapatan. DAFTAR PUSTAKA Balai Besar Litbang Pasca Panen pertanian. 2010. Data Pasca Panen. Jakarta Balai Pengembangan Sertifikasi Benih. 2006. Hasil – Hasil Penelitian BB Pasca Panen Berkenaan Dengan Kehilangan Hasil Padi pada Saat Panen dan Pasca Panen. Workshop Pengukuran Kehilangan Hasil Padi. Jakarta BPTP Mekanisasi Pertanian. 2011. Alat dan Mesin Pertanian. Bandung Broto, et al. 2006. Hasil – Hasil Penelitian BB Pasca Panen Berkenaan Dengan Kehilangan Hasil Padi pada Saat Panen dan Pasca Panen. Workshop Pengukuran Kehilangan Hasil Padi, Jakarta. Damardjati. D.S, H. Suseno dan S. Wijandi. 1991. Penentuan Umur Panen Optimum Padi Sawah (Oryza sativa L). Penelitian Pertanian . Jakarta.
38
Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Budidaya Padi Palawija dan Sayuran, Jakarta. Kartasaspoetra, 2009. Penelitian Kehilangan Hasil Panen dan Pasca Panen Padi Rineka Cipta. Jakarta. Kountur, R. 2004. Metode Penelitian, untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Penerbit PPM. Jakarta. Nugraha, S. 2011. Balai Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen. Jakarta Nugraha, S. R. Thahir dan Sudaryono. 2007. Keragaan Kehilangan Hasil Pascapanen Padi pada 3 (tiga) Agroekosistem. Buletin Teknologi Pasca panen Pertanian. Jakarta. Potensi Desa Karangwangi. 2010 Setijaningsih. 2002. Strategi Pengembangan Ekonomi Melalui Pengembangan Petanian. PT. Bina Rena pariwisata. Jakarta. Sugyono. 2009. Statistik Untuk Penelitian. Alpabeta. Jakarta
Evaluasi Penerapan Sop Panen dan Pasca Panen Padi Serta Dampaknya Terhadap Pendapatan di Desa Karangwangi Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur, Rosda Malia , S.P., M.Si & Rina Triana , S.P
39
STUDI TENTANG POLA MUSIM DAN TINGKAT UPAYA PENANGKAPAN BEBERAPA IKAN DEMERSAL YANG DIDARATKAN DI PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT Oleh
R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi * Diatri Martiani, S.Pi **
Ringkasan Ikan demersal merupakan ikan ekonomis penting yang didaratkan di Palabuhanratu, Jawa Barat. Ikan-ikan demersal yang terdapat di Palabuhanratu antara lain ikan cucut lanyam, ikan kakap merah, ikan layur, ikan manyung dan ikan swangi. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Palabuharatu untuk menangkap ikan demersal antara lain rawai dasar, pancing ulur dan gillnet. Produksi dan upaya penangkapan ikan demersal di perairan Palabuharatu selama kurun waktu lima tahun dari tahun 2004 hingga 2008 berfluktuasi setiap tahunnya, rata-rata hasil tangkapan yang dihasilkan ikan demersal mengalami penurunan dengan upaya penangkapan yang mengalami peningkatan.
Abstract Demersal fish is an economically important fish landed in Palabuhanratu, West Java. Demersal fish are found in Palabuhanratu include lanyam swordfish, red snapper, layur fish, manyung fish and swangi fish. Fishing gear used by Palabuharatu fishermen to catch demersal fish include longlines basic, elongation and gillnet fishing. Production and effort demersal fishing in waters Palabuharatu over a period of five years from 2004 to 2008 fluctuated each year, on average produced catches of demersal fish decreased with increasing fishing effort. *Dosen Faperta UNSUR **Alumni Faperta UNSUR
Studi Tentang Pola Musim dan Tingkat Upaya Penangkapan Beberapa Ikan Demersal yang Didaratkan di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi & Diatri Martiani, S.Pi
40
PENDAHULUAN
Tujuan Penelitian
Latar Belakang
Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah :
Palabuhanratu merupakan daerah teluk dan menjadi bagian dari perairan Indonesia yang berhubungan langsung dengan Samudera Hindia. Berdasarkan peta, teluk ini berada pada koordinat 07 0 00’- 070 12’ LS dan 1060 21’-1060 31’ BT dengan luas wilayah sekitar 27.210,13 ha. Palabuhanratu memiliki perairan dengan produktivitas cukup tinggi, sebagaimana perairan tropis lain pada umumnya, yang ditandai dengan perairan yang berwarna hijau sebagai indikasi melimpahnya plankton. Ikan demersal adalah ikan yang umumnya hidup di daerah dekat dasar perairan, umumnya hidup tidak berkelompok (soliter). Ikan demersal ekonomis penting yang paling umum antara lain adalah kakap merah, bawal putih, manyung, kuniran, gulamah, layur dan peperek. Masalah yang dihadapi nelayan Palabuhanratu yaitu sangat terbatasnya data dan informasi mengenai ikan-ikan demersal yang mendukung terhadap waktu dan musim penangkapannya. Oleh karena itu, perlu diketahui secara lengkap mengenai hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan demersal yang berada di perairan Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
1. Mengetahui hasil tangkapan ikanikan demersal yang didaratkan di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi, 2. Mengetahui upaya penangkapan ikan-ikan demersal yang didaratkan di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi, 3. Mengetahui pendugaan musim ikan-ikan demersal di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi, 4. Mengetahui efektivitas penangkapan ikan-ikan demersal di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat pada bulan Desember 2011. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: data primer dan data sekunder. Alat yang digunakan yaitu Komputer, Alat tulis, dan Kalkulator. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif, dengan menggunakan data yang diperoleh dari PPN Palabuhanratu tahun 2004 s.d 2008, kemudian dianalisis terlebih
41
dahulu dengan menghitung data hasil tangkapan dan upaya penangkapannya. Variabel Penelitian dan Pengukurnya Tabel 1. Variabel Penelitian dan pengukurnya. Variabel
Hasil Tangkapan
Upaya Penangkapan
Konsep Variabel
Indikator
Jumlah / banyaknya
Hasil Tangkapan
Hasil Tangkapan
per bulan (kg)
Jumlah / banyaknya
Upaya Penangkapan
Upaya Penangkapan
per bulan (trip)
Analisis Data 1. Produksi dan Upaya Penangkapan Pertama membuat tabel tahunan dan bulanan ikan demersal catch dan effort, kemudian menghitung total catch dan effort setelah menghitung totalnya dikelompokan menurut bulan antara catch dan effort, dibuatkan grafiknya setelah itu baru menganalisis hasil grafik produksi dan upaya penangkapan. 2. Pendugaan Musim Menggunakan indek musim dihitung dengan teknik nilai bahu (Z), yaitu nilai indek musim antara selisih nilai pengamatan tabel nilai rata rata dibagi dengan standardeviasi.
z Keterangan :
xi x s
Z : Indek musim yang dihitung berdasarkan X Xi : Nilai pengamatan penangkapan ikan pada musim rata-rata X : Rata-rata hasil penangkapan periode tahun 2004-2008 S : Standar deviasi dari hasil tangkapan Dikatakan musim ikan apabila nilai Z > 1. Dalam standar dized dapat menentukan scatter diagram yang tepat untuk melakukan operasi penangkapan ikan dan dapat menghilangkan kecenderungan yang biasa dijumpai pada metode deret waktu (time series). Menghitung pola musim penangkapan sampai pada tahun terakhir data yang ada. Pola musim pada penelitian ini menggunakan asumsi : a) Data hasil tangkapan rata-rata bulanan mencerminkan fluktuasi hasil tangkapan di sekitar perairan Palabuhanratu. b) Jenis ikan demersal besar yang didaratkan merupakan hasil tangkapan yang bisa mewakili perairan Palabuhanratu. c) Stock ikan dalam keadaan seimbang. 3. Efektivitas Penangkapan Membandingkan hasil tangkapan ikan demersal pada setiap level upaya, nilai upaya yang dilakukan setiap bulannya setelah itu dibandingkan dengan upaya yang maksimum. Penentuan musim ikan ialah jika indeks musim lebih dari 1 (lebih dari 50 %) atau di atas ratarata, dan bukan musim jika indeks musim kurang dari 1 (kurang dari 50
Studi Tentang Pola Musim dan Tingkat Upaya Penangkapan Beberapa Ikan Demersal yang Didaratkan di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi & Diatri Martiani, S.Pi
42
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
hasil tangkap
Upaya (trip)
6 5 4 3 2 1 0 12
10000
8
8000
6
6000
upaya (trip)
hasil tangkap
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 bulan Produksi dan Upaya ikan cucut lanyam tahun 2005
4
4000
2
2000 0
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
bulan Produksi dan Upaya ikan cucut lanyam tahun 2006 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
10 8
Upaya (trip)
hasil tangkap
6 4 2
P r o d u U p a y a
P r o d U p a y
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Produksi dan Upaya ikanbulan cucut lanyam tahun 2007
P r o d u k U p a y a (
200 150 100
1500 1000 500 0
50
Upaya (trip)
3500 3000 2500 2000
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Produksi dan Upaya ikan cucut lanyam tahun 2008 Upaya (trip rawai)
Produksi
4000
150
3000
100
2000 50
1000 0
Upaya (trip)
1. Produksi dan Upaya Penangkapan Hasil tangkapan ikan-ikan demersal di Perairan Palabuhanratu selama kurun waktu lima tahun dari tahun 2004 hingga 2008 berfluktuasi dalam setiap tahunnya. Pada operasi penangkapan ikan demersal ini alat tangkap yang digunakan ada 3 macam antara lain: alat tangkap Gillnet untuk menangkap ikan swangi, alat tangkap pancing ulur untuk menangkap ikan layur dan rawai dasar untuk mengkap ikan cucut lanyam, kakap merah dan manyung. Yang dimaksud hasil tangkapan adalah hasil yang diperoleh dari tangkapan ikan-ikan yang ditangkap, sedangkan upaya penangkapan adalah hasil yang diperoleh dari trip atau frekuasi kapal yang melakukan penangkapan ikan.
Produksi dan Upaya ikan cucut lanyam tahun 2004
hasil tangkap
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Produksi dan Upaya Ikan Cucut Lanyam 2004-2008
hasil tangkap
%). Apabila IM = 1 (50 %), nilai ini sama dengan harga rata-rata bulanan sehingga dapat dikatakan dalam keadaan normal atau berimbang.
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
bulan
Gambar 1. Produksi ikan cucut lanyam dan upaya tahun 2004-2008 Tabel 2. Kondisi kesesuaian puncak musim dan puncak upaya penangkapan ikan cucut lanyam di Palabuhanratu tahun 2004-2008 Puncak Musim
Puncak Upaya
2004
Desember
September
Tidak Sesuai
2005
September dan Oktober
Sepanjang Tahun
Tidak Sesuai
2006
Mei
September
Tidak Sesuai
2007
Januari dan November
Agustus s/d November
Tidak Sesuai
2008
April dan September
Juni – September
Tahun
Kesesuaian
Sesuai
43
Kondisi operasi penangkapan ikan cucut lanyam dalam kurun waktu lima tahun mulai dari tahun 2004 sampai dengan 2008, puncak musimnya terjadi di bulan Januari, April, Mei sampai dengan bulan Desember sedangkan trend upaya maksimumnya terjadi pada bulan Juni sampai dengan bulan November. Dimana terdapat satu tahun yang trend upayanya stabil yaitu tahun 2008 dalam artian tahun tersebut antara hasil dan upayanya stabil, sementara tahun-tahun lainnya tidak sesuai karena hasil tangkapan dan upaya penangkapannya tidak ada keselarasan. Analisis Produksi dan Upaya Ikan Kakap Merah 2004-2008 6 5 4
300
3
200
2
100
1
-
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Upaya (trip Rawai)
12
6 5
400
4
300
3
200
2
100
1
-
0 2
3
4
5
6 7 8 9 10 11 bulan Produksi dan Upaya ikan kakap me rah tahun 2006
2006
September
Stabil
Sesuai
2007
Juni
Sepanjang tahun
Tidak Sesuai
2008
Maret dan Juli
Juni s/d September
Tidak sesuai
Kondisi operasi penangkapan ikan kakap merah dalam kurun waktu lima tahun mulai dari tahun 2004 sampai dengan 2008, puncak musimnya terjadi di bulan Februari, Maret, Juni, Juli dan September sedangkan trend upaya maksimumnya terjadi pada bulan Juni sampai dengan November. Dimana terdapat dua tahun yang trend upayanya stabil yaitu tahun 2004 dan 2006 dalam artian antara puncak musim dan trend upayanya sesuai.
12
700 600 500 400 300 200 100 -
10 8 6 4 2 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
200
1,000
150
800 600
100
400
50
200 -
Upaya (trip Rawai)
Produksi da n Upa ya ikabulan n ka ka p me ra h ta hun 2007 1,200
hasil tangkap
Tidak Sesuai
Analisis Produksi dan Upaya Ikan layur 2004-2008
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Produksi dan Upaya ikan layur 2004
hasil tangkap
Upay a (trip raw ai)
120 100 80
150
60 100
40
50
20
-
Hasil Tangkap
Produks i
250 200
Upaya (trip Rawai)
Produks i dan Upay a ikan kakap bulanmerah tahun 2008
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
40,000 35,000
350 300
30,000 25,000
250 200
20,000 15,000 10,000
150 100 50
5,000 -
bulan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Produksi da nbulan Upa ya ika n la yur 2005
hasil tangkap
Gambar 2. Produksi ikan kakap merah dan upaya tahun 2004-2008
Upaya (trip Pancing Ulur)
hasil tangkap
1
Upaya (trip Rawai)
500
Upaya (trip Rawai)
hasil tangkap
bulan Produksi da n Upa ya ika n ka ka p me ra h ta hun 2004
Sepanjang tahun
60,000
700
50,000
600 500
40,000
400
30,000
300
20,000
200
10,000
100
-
Upaya (trip pancing ulur)
hasil tangkap
Produksi da n Upa ya ika n ka ka p me ra h ta hun 2004 500 400
2005
Februari dan September
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
bulan
400 300 200 100
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Pr oduk s i bulan dan Upaya ik an layur 2007 60,000
1,000
50,000
800
40,000
600
30,000 400
20,000
200
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
50,000
produksi
1,000
Upaya (trip pancing ulur)
40,000
800
30,000
600
20,000
400 200
-
Juli dan September
Sesuai September
12
bulan Produksi da n Upa ya ika n la yur 2008
10,000
2004
12
10,000
Kesesuaian
Upaya (trip Pancing ulur)
600 500
40,000 30,000
Upaya (trip Pancing ulur)
hasil tangkap
50,000
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Upaya (trip Pancing Ulur)
Puncak Upaya
700
10,000
hasil tangkap
Tahun
Puncak Musim
60,000
20,000
hasil tangkap
Tabel 3. Kondisi kesesuaian puncak musim dan puncak upaya penangkapan ikan kakap merah di Palabuhanratu tahun 2004-2008
Produksi dan Upaya ikan layur 2006
12
bulan
Gambar 3. Produksi ikan layur dan upaya tahun 2004-2008
Studi Tentang Pola Musim dan Tingkat Upaya Penangkapan Beberapa Ikan Demersal yang Didaratkan di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi & Diatri Martiani, S.Pi
44
Tabel 4. Kondisi kesesuaian puncak musim dan puncak upaya penangkapan ikan layur di Palabuhanratu tahun 2004-2008
Analisis Produksi dan Upaya Ikan Swangi 2004-2008
100
Kesesuaian
1
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
200 150 100 50 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
bulan Produksi da n Upa ya ikan sw angi tahun 2006
14,000
250
12,000
200
10,000 150
8,000 6,000
100
4,000 50
2,000 -
Februari
Tidak Sesuai
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
bulan swangi tahun 2007 Produksi dan Upaya ikan
hasil tangkap
2005
Januari dan Oktober
2,500
250
2,000
200
1,500
150
1,000
100
500
Juli
Mei dan November
2007
Januari
Mei dan November
2008
Juni
Januari
Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai
Kondisi operasi penangkapan ikan layur dalam kurun waktu lima tahun mulai dari tahun 2004 sampai dengan 2008, puncak musimnya terjadi pada bulan Januari, Februari, April, Agustus, dan Desember. Sedangkan puncak upaya yang dihasilkan terjadi pada bulan Januari, Februari, April, September dan Desember. Dimana antara puncak musim dan puncak upaya terdapat 3 tahun yang stabil yaitu tahun 2005, 2006, dan 2008.
50
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Produksi da n Upa ya ika n sw a ngi ta hun 2008
hasil tangkap
2006
Upaya (trip gillnet)
hasil tangkap
Tidak Sesuai
2
Produksi da n Upa ya ika n sw a ngi ta hun 2005 160 140 120 100 80 60 40 20 -
Upaya (trip gillnet)
Januari
200
Upaya (trip gillnet)
Februari
Puncak Upaya
300
Produksi
1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 -
Upaya (trip gillnet )
1,000 800 600 400
Upaya (trip)
2004
Puncak Musim
hasil tangkap
Tahun
700 600 500 400 300 200 100 0
400
Upaya (trip gillnet)
hasil tangkap
Produksi da n Upa ya ika n sw a ngi ta hun 2004 500
200 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
bulan
Gambar 4. Produksi ikan swangi dan upaya tahun 2004-2008 Tabel 5. Kondisi kesesuaian puncak musim dan puncak upaya penangkapan ikan swangi di Palabuhanratu tahun 2004-2008
Tahun
Puncak Musim
Puncak Upaya
Kesesuaian
2004
April dan Desember
Februari dan Desember
Tidak sesuai
2005
Ferbruari
Februari dan Desember
Sesuai
2006
Agustus
Agustus dan September
Sesuai
2007
Desember
April
Tidak sesuia
2008
Januari
Januari
Sesuai
Kondisi operasi penangkapan ikan swangi dalam kurun waktu lima tahun mulai dari tahun 2004 sampai dengan 2008, puncak musimnya terjadi pada bulan Januari, Februari, Juni dan Juli. Sedangkan trend upaya maksimalnya terjadi pada bulan Januari, Februari, Mei, Oktober dan November.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
45
Analisis Produksi dan Upaya Ikan Manyung 2004-2008
puncak musimnya terjadi pada bulan Januari, Februari, September dan Oktober. Sedangkan trend upaya maksimum terjadi pada bulan Juni dan September. Dimana terdapat satu tahun trend upaya yang stabil yaitu tahun 2006.
6
1,200
5
1,000
Upaya (trip Rawai)
Hasil tangkap
Produksi dan Upaya ikan manyung tahun 2004 1,400
4
800
3
600
2
400
1
200 -
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
100 90 80
7
70 60 50 40 30
5
6
Upaya (trip Rawai)
hasil tangkap
Produksi dan Upaya ikan manyung tahun 2005
4 3 2
20 10 -
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
10
500
8
400
Upaya (trip Rawai)
hasil tangkap
Produksi dan Upaya ikan manyung tahun 2006 600
6
300 4
200
2
100 -
2. Pendugaan Musim Pro duk si 20 05
1
Up ay a (tri p ra
Indek Musim Ikan Cucut Lanyam 2004-2008
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Musim dan Upaya Ikan Cucut Lanyam
12
7
8.00
6
1,000
5
800
4
600
3
400
2
200
1
-
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Produksi dan Upaya ikan bulan manyung tahun 2008 Produksi
600
100
500
80
400
60
300
40
200
20
100 -
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
bulan
Gambar 5. Produksi ikan manyung dan upaya tahun 2004-2008 Tabel 6. Kondisi kesesuaian puncak musim dan puncak upaya penangkapan ikan manyung di Palabuhanratu tahun 2004-2008
Tahun
Puncak Musim
Puncak Upaya
Kesesuaian
2004
Februari
September
Tidak Sesuai
2005
Januari
Juni dan Oktober
Tidak Sesuai
2006
September
Stabil
Sesuai
2007
Oktober
September
Tidak Sesuai
2008
Februari
Juni
Tidak Sesuai
4.00 3.00
4.00
2.00
2.00
1.00
-
0.00
(2.00) 120
Upaya (trip raw ai)
Upaya (trip Rawai)
hasil tangkap
700
Musim Upaya Tangkap
6.00
2004
2005
2006
2007
Upaya Tangkap
1,200
Indek Musim
8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
9
1,400
Upaya (trip Rawai)
hasil tangkap
Produksi dan Upaya ikan manyung tahun 2007 bulan 1,600
-1.00
2008
Tahun/Bulan
Gambar 6. Musim dan Upaya ikan Cucut Lanyam 2004-2008
Dari gambar grafik di atas terlihat bahwa musim ikan Cucut lanyam dalam kurun waktu 5 tahun mulai dari tahun 2004-2008 puncak musimnya terjadi pada tahun 2004 s/d 2006, dimana tahun 2007 dan 2008 relatif rendah. Pada tahun 2004 puncak musimnya terjadi pada bulan Desember sedangkan bulanbulan lainnya relatif rendah, pada tahun 2005 puncak musimnya terjadi pada bulan September dimana bulan-bulan lainya relatif rendah sedangkan pada tahun 2006 puncaknya terjadi pada bulan Mei dan bulan-bulan lainya relatif rendah.
Kondisi operasi penangkapan ikan manyung dalam kurun waktu 5 tahun mulai tahun 2004 sampai dengan 2008,
Studi Tentang Pola Musim dan Tingkat Upaya Penangkapan Beberapa Ikan Demersal yang Didaratkan di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi & Diatri Martiani, S.Pi
46
3.00 2.00 1.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 20 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0.00 -1.00
2004
2005
2006 Tahun/Bulan
2007
4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 -0.50 -1.00
2008
Gambar 7. Musim dan Upaya ikan kakap merah 2004-2008
Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa musim ikan Kakap merah dalam kurun waktu 5 tahun mulai dari tahun 2004-2008 puncak musimnya terjadi pada tahun 2007, dimana tahun 2004, 2005, 2006 dan 2008 relatif rendah. Pada tahun 2007 puncak musimnya terjadi pada bulan Juni sedangkan bulan-bulan lainnya relatif rendah. Pada tahun 2004 hasil tangkapan yang diperoleh menurun dan upaya pun menurun sama halnya dengan tahun 2005 hasil menurun dan upaya menurun. Pada tahun 2006 mengalami peningkatan walaupun tidak terlalu tinggi dan pada tahun 2008 hasil tangkapan yang diperoleh menurun sedangkan upaya penangkapan meningkat. Indek Musim Ikan Layur 2004-2008
Musim Upaya Tangkap
2.0 1.0 0.0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Indek Musim
3.0
2004
2005
2006
2007
2008
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -2.0
Upaya Tangkap
Musim dan Upaya Ikan Layur
-2.0
Musim dan Upaya Ikan Swangi 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 -1.00
4.00
Musim Upaya Tangkap
3.00 2.00 1.00 0.00 -1.00
2004
2005
2006 Tahun/Bulan
2007
-2.00
2008
Gambar 9. Musim dan Upaya ikan Swangi 20042008
4.0
-1.0
Indek Musim Ikan Swangi 2004-2008
Upaya Tangkap
Indek Musim
4.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Musim Upaya Tangkap
5.00
Upaya Tangkap
Musim dan Upaya Ikan Kakap Merah 6.00
Indek Musim
Indek Musim Ikan Kakap Merah 2004-2008
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa puncak musim ikan layur dalam kurun waktu 5 tahun mulai dari tahun 2004-2008, mengalami peningkatan dari tahun 2004, 2005, 2006, dan 2008, dimana antara hasil tangkapan dan upaya penangkapannya relatif stabil meningkat. Pada tahun 2004 puncak musimnya terjadi pada bulan April dimana bulanbulan lainnya relatif rendah, tahun 2005 puncak musim terjadi pada bulan Februari, bulan-bulan lainya relatif rendah, tahun 2006 puncak musimnya terjadi pada bulan September dan bulanbulan lainnya relatif rendah dan pada tahun 2008 puncak musimnya terjadi pada bulan Januari dan bulan lainnya relatif rendah. Sedangkan pada tahun 2007 tidak ada singkronisasi antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan, dimana hasil yang diperoleh menurun sedangkan upaya penangkapannya meningkat.
Tahun/Bulan
Gambar 8. Musim dan Upaya ikan Layur 20042008
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa puncak musim ikan swangi dalam kurun waktu 5 tahun mulai dari tahun 2004-2008 terjadi pada tahun 2006, dimana puncaknya terjadi pada bulan Juli sedangkan bulan-bulan lainya
47
relatif rendah. Pada tahun 2004, 2005, 2007, dan 2008 mengalami penurunan hasil tangkapan dan upaya penangkapannya relatif meningkat tinggi. Jadi antara hasil produksi dan upaya penangkapan yang diperoleh ini tidak adanya singkronisasi, dimana upaya yang meningkat tidak bisa meningkatkan hasil produksi. Indek Musim Ikan Manyung 20042008
3. Efektifitas Penangkapan Indek Musim (persen) Ikan Cucut Lanyam 2004-2008 Tabel 7. Kategori Indek Musim (persen) Ikan Cucut Lanyam 2004-2008 Tahun
Kategori
Bulan
0-50%
Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, November
≥ 50%
September, Oktober, Desember
0-50%
April, Mei, juni, Juli, Agustus, November, Desember
≥ 50%
Januari, Februari, Maret, September, Oktober
0-50%
Januari, Februari, Maret, April, November, Desember
≥ 50%
Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober
0-50%
Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember
≥ 50%
Tidak ada indek musim persen
0-50%
Januari, Februari, Maret, April, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember
≥ 50%
Mei
2004
Musim
4.00
Upaya Tangkap
3.00 2.00 1.00 0.00
2004
2005
2006
2007
Upaya Tangkap
6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 -1.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 20 11 12
Indek Musim
Musim dan Upaya Ikan Manyung
2005
-1.00
2008
Tahun/Bulan
Gambar 10. Musim dan Upaya ikan Manyung 2004-2008
Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa musim ikan manyung dalam kurun waktu 5 tahun mulai dari tahun 2004-2008 puncak musimnya terjadi pada tahun 2004 dan 2007. Pada tahun 2004 puncak musimnya terjadi pada bulan Februari sedangkan bulan-bulan lainnya relatif rendah. Pada tahun 2007 puncak musimnya terjadi pada bulan Oktober sedangkan pada bulan-bulan lainnya relatif rendah. Pada tahun 2005, 2006 dan 2008 antara hasil tangkapan dan upaya penangkapan tidak ada singkronisasi, dimana upaya yang meningkat tidak bisa meningkatkan hasil produksi.
2006
2007
2008
Keterangan :
0-50% Bukan musim puncak ≥ 50% Musim puncak
Pada tahun 2004-2008, tahun yang menggambarkan kesamaan bulan puncak musim persen terjadi pada bulan
Studi Tentang Pola Musim dan Tingkat Upaya Penangkapan Beberapa Ikan Demersal yang Didaratkan di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi & Diatri Martiani, S.Pi
48
September, Oktober, Desember. Dimana bulan-bulan tersebut merupakan puncak musim untuk ikan cucut lanyam.
Indek Musim (persen) Ikan Kakap Merah 2004-2008 Tabel 8. Kategori Indek Musim (persen) Ikan Kakap Merah 2004-2008
Upaya Tangkap Musim
50.00% 0.00% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Indek Musim (persen)
Musim dan Upaya Ikan Cucut lanyam 100.00%
-50.00% 2004
2005
2006
2007
2008
-100.00% Tahun/Bulan
Gambar 11. Efektifitas Penangkapan ikan Cucut Lanyam 2004-2008
Dari grafik di atas terlihat bahwa ikan Cucut Lanyam yang didaratkan di PPN Palabuhanratu pada tahuin 2007 dan 2008 mengalami penurunan, antara hasil produksi dan upaya penangkapan yang diperoleh tidak ada singkronisasi, dimana upaya yang dihasilkan ini cenderung meningkat di atas 100% sedangkan hasil yang di dapat rata-rata kurang dari 50%.
Keterangan :
0-50% Bukan musim puncak ≥ 50% Musim puncak
Pada tahun 2004-2008, tahun yang menggambarkan kesamaan bulan puncak musim persen terjadi pada bulan September. Dimana bulan tersebut merupakan puncak musim untuk ikan kakap merah.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
49
Upaya Tangkap Musim
Musim dan Upaya Ikan Kakap Merah
≥ 50%
April, Desember
0-50%
Januari, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember
≥ 50%
Februari, Maret
0-50%
Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Oktober, November, Desember
≥ 50%
Agustus, September
0-50%
Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November
≥ 50%
Januari, Desember
0-50%
Februari, Maret, Mei, Juni, Juli, September, Oktober, Desember
≥ 50%
Januari, April Agustus, November
50.00% 0.00% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 20 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Indek Musim (persen)
100.00%
-50.00%
2004
2005
2006
2007
2008
2005
-100.00% Tahun/Bulan
Gambar 12. Efektifitas Penangkapan ikan Kakap Merah 2004-2008
Indek Musim (persen) Ikan Layur 2004-2008 Tabel 9. Kategori Indek Musim (persen) Ikan Layur 2004-2008 Tahun
Kategori
Bulan
2007
2008
Keterangan :
Pada tahun 2004-2008, tahun yang menggambarkan kesamaan bulan puncak musim persen terjadi pada tahun bulan Desember. Dimana bulan tersebut merupakan puncak musim untuk ikan layur.
0-50%
Januari, Februari, Maret, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November
Upaya Tangkap Musim
Musim dan Upaya Ikan Layur 100.00% 50.00% 0.00% -50.00%
2004
0-50% Bukan musim puncak ≥ 50% Musim puncak
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pada tahun 2007 terlihat jelas bahwa pada bulan Juli s/d Desember upaya yang dilakukan hampir mencapai 100%, berarti upaya yang dilakukan sangat maksimum meningkat sedangkan hasil yang didapat tidak seimbang dengan upaya yang dilakukan, dimana hasil tangkapan ikan kakap merah kurang dari 50%.
2006
Indek Musim (persen)
Dari tahun 2004, 2005, 2006 dan 2008 terlihat jelas bahwa antara hasil tangkapan dan upaya penangkapan tidak ada keselarasan, hasil yang diperoleh kurang maksimal karena upaya yang dihasilkan kurang dari 50%. Pada tahun 2004, 2005 dan 2006 hasil yang ditangkap hampir mencapai 50% sedangkan upaya yang dilakukan kurang dari 50%.
2004
2005
2006
2007
2008
-100.00% Tahun/Bulan
Gambar 13. Efektivitas penangkapan ikan layur 2004-2008
Studi Tentang Pola Musim dan Tingkat Upaya Penangkapan Beberapa Ikan Demersal yang Didaratkan di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi & Diatri Martiani, S.Pi
50
Dari grafik di atas terlihat jelas bahwa pada tahun 2004 pada bulan Januari s/d Nopember, upaya yang dilakukan kurang memuaskan atau kurang dari 50% sedangkan hasil tangkapan pada April hampir mencapai 50% walaupun tidak terlalu tinggi. Pada tahun 2005, terlihat bahwa pada bulan Oktober s/d Desember upaya yang dilakukan hampir mencapai 100%, antara upaya dan hasil tidak ada singkronisasi atau tidak adanya keseimbangan, upaya yang dilakukan meningkat tetapi hasil yang didapat mengalami penurunan. Sedangkan pada tahun 2007 upaya yang dilakukan pada bulan Januari s/d Juni meningkat hampir mencapai 100%, dimana upaya yang meningkat itu tidak diikuti dengan hasil tangkapan yang maksimum.
0-50%
Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember
≥ 50%
Januari
0-50%
Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, September November, Desember
≥ 50%
Agustus
2007
2008
Keterangan :
0-50% Bukan musim puncak ≥ 50% Musim puncak
Pada tahun 2004-2008, tahun yang menggambarkan kesamaan bulan puncak musim persen terjadi pada bulan Agustus. Dimana bulan tersebut merupakan puncak musim untuk ikan swangi.
Indek Musim (persen) Ikan Swangi 2004-2008
Upaya Tangkap Musim
Tahun
Kategori
Bulan
50% 0% -50%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tabel 10. Kategori Indek Musim (persen) Ikan Swangi 2004-2008
Indek Musim (persen)
Musim dan Upaya Ikan Swangi 100%
2004
2005
2006
2007
2008
-100% Tahun/Bulan
0-50%
Sepanjang tahun
≥ 50%
Tidak ada puncak musim persen
0-50%
Sepanjang tahun
≥ 50%
Tidak ada puncak musim persen
0-50%
Januari, Februari, maret, April, Mei, Juni, September, November
≥ 50%
Juli, Agustus, Oktober, Desember
2004
2005
2006
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
Gambar 14. Efektifitas Penangkapan ikan Swangi 2004-2008
Dari grafik di atas terlihat bahwa pada tahun 2004, upaya yang dilakukan meningkat 100%, tetapi hasil tangkapan menurun atau kurang dari 50%. Pada tahun 2008 upaya yang dilakukan hampir mencapai 50%, dimana upaya yang dilakukan meningkat, tetapi hasil tangkapan menurun atau kurang dari 50%.
51
Ikan
Tahun
Kategori
0-50% 2004
Bulan Januari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember
≥50%
Februari
0-50%
Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember
≥ 50%
Januari
0-50%
Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, Oktober, November
2005
2006 ≥ 50%
September, Desember
0-50%
Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, November, Desember
≥ 50%
Januari, Oktober
0-50%
Januari, Maret, April, Mei, Juli, September, Oktober, November, Desember
≥ 50%
Februari, Juni, Agustus
2007
2008
Keterangan :
0-50% Bukan puncak musim ≥ 50% Puncak musim
Pada tahun 2004-2008, tahun yang menggambarkan kesamaan bulan puncak musim persen terjadi bulan Januari. Dimana bulan tersebut merupakan puncak musim untuk ikan manyung.
100% 50% 0% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 20 11 12
Tabel 11. Kategori Indek Musim (persen) Ikan Manyung 2004-2008
Upaya Tangkap Musim
Musim dan Upaya Ikan Manyung
Musim Indek (persen)
Indek Musim (persen) Manyung 2004-2008
-50%
2004
2005
2006
2007
2008
-100% Tahun/Bulan
Gambar 15. Efektifitas Penangkapan Manyung 2004-2008
ikan
Dari grafik di atas, terlihat jelas bahwa pada tahun 2007 upaya yang dilakukan mencapai 100% tetapi hasil tangkapan menurun atau kurang dari 50%. Pada tahun 2008 upaya yang dilakukan meningkat hampir di atas 50% tetapi hasil yang didapat tidak sesuai dengan upaya yang meningkat. KESIMPULAN Produksi dan upaya penangkapan ikan demersal di perairan Palabuharatu selama kurun waktu lima tahun dari tahun 2004 hingga 2008 berfluktuasi setiap tahunnya, rata-rata hasil tangkapn yang dihasilkan ikan demersal seperti ikan cucut, ikan kakap merah, ikan layur, ikan swangi dan ikan manyung mengalami penurunan jauh dibandingan dengan upaya yang dihasilkan alat tangkap gilnet, rawai dan pancing ulur ini mengalami peningkatan. Berdasarkan grafik pendugaan musim dapat diketahui bahwa rata-rata puncak musim untuk ikan Cucut lanyam terjadi pada bulan Januari, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, dan Desember. Untuk ikan kakap merah terjadi pada bulan Februari, Maret, Juni, Juli, dan September. Ikan layur terjadi pada bulan
Studi Tentang Pola Musim dan Tingkat Upaya Penangkapan Beberapa Ikan Demersal yang Didaratkan di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi & Diatri Martiani, S.Pi
52
Januari, Februari, April, September dan Desember. Ikan swangi puncaknya pada bulan Januari, Februari, Juni, dan Juli. Ikan manyung puncaknya terjadi pada bulan Januari, Februari, September, dan Oktober. Saran Dari penelitian yang telah dilakukan disarankan perlu adanya penelitian yang lebih lanjut mengenai pendugaan musim atau pendugaan stock ikan-ikan demersal (MSY). Untuk memberikan informasi tentang pola musim ikan-ikan demersal yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, yang nantinya dapat menjadi acuan bagi nelayan Palabuhanratu untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan-ikan demersal yang ada di daerah Palabuhanratu secara efektif dan efesien.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
DAFTAR PUSTAKA Ayodhya, A , U. 1981. Metode Penangkapn ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu 2008. Profil PelabuhanPerikanan Nusantara Palabuhanratu Menuju Pelabuhan Perikanan Samudera Internasional. Sukabumi: Departemen Kelautan dan Perikanan. Subani, W dan Barus, HR. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang di Indonesia. Balai Penelitian laut. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Sudirman, H dan Mallawa, A. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. PT. Rineka Citra. Jakarta.
53
KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDONSCHAEFER Oleh : Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM* Yogi Bachtiar, S.Pi**
RINGKASAN Penelitian ini mengkaji tingkat kelayakan penangkapan perikanan ikan dengan jaring payang di Palabuhanratu menggunakan model bioekonomi Gordon-Schaefer selama 2006-2010 ditinjau dari analisis penangkapan dan ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengestimasi laju pertumbuhan intrinsik (γ), koefisien kemampuan tangkap (q) dan daya dukung lingkungan (K); 2) Mengestimasi Maximum Sustainable Yield (MSY) menggunakan model Schaefer; 3) Mengestimasi kelayakan bioekonomi jaring payang menggunakan model bioekonomi GordonSchaefer. Hasil penelitian model bioekonomi menggunakan model surplus produksi Schaefer menunjukan bahwa hasil tangkapan dan upaya pada tingkat Maximum Sustainable Yield (MSY) sebesar 4.437.605.179 kg/tahun dan 1.400 trip/tahun. Sedangkan rata-rata aktual tingkat produksi sebesar 807.603 kg/tahun dengan trip sebesar 1.337 trip/tahun. Sementara hasil analisis dengan Model Bioekonomi Gordon-Schaefer menghasilkan batasan produksi perikanan jaring payang lestari (MSY) sebanyak 243.7605.179 kg/tahun dan E MSY 1800 trip/tahun. Sedangkan penangkapan optimum (MEY) 14.022.657.311 kg/tahun.
ABSTRACT
This study examines the feasibility of capture fisheries in Palabuhanratu payang nets during 2006-2010 in terms of catching and economic analysis. This study aims to 1) estimate the intrinsic growth rate (γ), the coefficient of fishing capacity (q) and the environmental carrying capacity (K), 2) Estimating Maximum Sustainable Yield (MSY) using the Schaefer model, 3) estimate the feasibility using Gordon-Schaefer bioeconomy model with payang net. The results of bioeconomy method using Schaefer’s surplus production model showed that the catch and effort at the level of Maximum Sustainable Yield (MSY) of 4,437,605,179 kg/year and 1,400 trips/year. While the actual average production rate of 807,603 kg/year with a trip of 1337 trips/year. While the results of the analysis with the Gordon-Schaefer Model bioeconomy payang net constraints sustainable fishery production (MSY) of 243.7605.179 kg/ year and EMSY 1800 trips/year. While the optimum capture (MEY) 14,022,657,311 kg/year. Key words: Bioeconomy, Gordon-Schaefer, Schaefer, Payang Nets Fishing, MSY, MEY, Palabuhanratu Sukabumi. *Dosen Faperta UNSUR **Alumni Faperta UNSUR
Kelayakan Penangkapan Ikan dengan Jaring Payang di Palabuhanratu Menggunakan Model Bioekonomi Gordon-Schaefer, Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM & Yogi Bachtiar, S.Pi
54
PENDAHULUAN Dari segi potensi wilayah, laut selatan Jawa relatif kecil dibandingkan wilayah lain, namun armada penangkapan perikanan pada daerah ini sangat banyak hal ini mengindikasikan pemanfaatan perikanan di Palabuhanratu Sukabumi semakin besar sehingga pihak yang berwenang harus mengontrol eksploitasi sumberdaya ikan di laut dan mengarahkan ke wilayah pengelolaan perikanan yang masih bisa dikembangkan serta melakukan tindakan pengelolaan yang rasional melalui pembatasan hasil tangkapan dan upaya penangkapan. Jaring payang banyak digunakan oleh usaha kecil menengah, karena jaring payang memerlukan biaya yang relatif kecil sehingga terjangkau oleh nelayan kecil dan dioperasikan cukup dengan satu perahu dan 10 orang anak buah kapal (ABK). Sebagian besar pengguna jaring payang adalah nelayan tradisional dan berpendidikan rendah. Dari potensi tersebut maka produksi dan nilai produksi perikanan tangkap dari tahun 2006-2010 di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Sukabumi dapat dilihat pada tabel berikut :
Gambar 1. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Payang Pelabuhan PerikananNusantara Palabuhanratu (PPNP) Sukabumi Tahun 2006-2010
Sukabumi mencapai produksi tertinggi pada tahun 2006 yaitu 1.687.489 kg per tahun dan mengalami penurunan produksi dari tahun ke tahun. Penurunan produksi yang paling rendah pada tahun 2010 dengan produksi 504,323 kg. Nilai produksi tertinggi dicapai pada tahun 2007 yaitu Rp.7.488.633.854 dan nilai produksi terendah pada tahun 2008 yaitu Rp.1.326.837.400. Data ini menunjukan bahwa produksi dan nilai produksi perikanan tangkap di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP) Sukabumi mengalami fluktuasi yang dipengaruhi oleh penurunan sumberdaya perikanan serta besar kecilnya peningkatan produksi perikanan laut sangat ditentukan oleh unit usaha penangkapan yang digunakan. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi perikanan yang diarahkan pada usaha yang menguntungkan bagi nelayan sehingga kesejahteraan dapat meningkat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan mengkaji pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan bioekonomi. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengestimasi laju pertumbuhan intrinsik (γ), koefisien kemampuan tangkap (q) dan daya dukung lingkungan (K). 2. Mengestimasi Maximum Sustainable Yield (MSY) sumberdaya ikan di Palabuhanratu Sukabumi menggunakan model Schaefer. 3. Mengestimasi kelayakan bioekonomi jaring payang di Palabuhanratu Sukabumi menggunakan model bioekonomi Gordon-Schaefer.
Dapat dilihat bahwa produksi perikanan tangkap Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP)
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
55
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kecamatan Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi, dengan waktu penelitian sekitar 1 (satu) bulan, dari tahap persiapan survey sampai pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada bulan Oktober 2011. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, peneliti hendak menggambarkan dan memberikan informasi relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana. Unit analisis adalah individual regional dan populasi untuk desain pengambilan contoh (sampling) tidak ada karena data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data times series. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif (descriptive research). Penelitian deskriptif ini dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi yang sedang berlangsung pada masa sekarang berdasarkan penjelasan dan penafsiran yang tampak dan data sebagaimana adanya. Teknik Analisis Data Model bioekonomi merupakan salah satu cara pendekatan yang paling mudah dan sederhana untuk mengetahui γ, q, K, MSY, EMSY, dan EMEY. Selain itu pendekatan bioekonomi adalah pendekatan yang memadukan kekuatan ekonomi yang mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologis yang menentukan produksi dan suplai. Teknik Pengolahan Data Parameter penangkapan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: koefisien kemampuan tangkap (q), daya dukung lingkungan (K), dan laju
pertumbuhan intrinsik (γ). Model biologi Schaefer (1957) yang digunakan untuk menentukan parameter penangkapan. HASIL DAN PEMBAHASAN Estimasi Daya Dukung Lingkungan, Laju Pertumbuhan Intrinsik dan Koefisien Kemampuan Tangkap. Faktor penangkapan pada perikanan jaring payang di Palabuhanratu Sukabumi dianalisis menggunakan pendekatan model pertumbuhan dan fungsi produksi Schaefer (1957). Model ini menitik beratkan pada faktor input, yaitu upaya penangkapan (effort) untuk menghitung potensi lestari (MSY) dengan menganalisa hubungan antara upaya
tangkap (E) dengan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE). Parameter penangkapan diestimasi dengan menggunakan model estimator CYP (Clark, Yoshimoto, dan Pooley). Adapun parameter yang di estimasi dalam hal ini meliputi: tingkat pertumbuhan intrinsik (γ), koefisien kemampuan tangkap (q) dan daya dukung lingkungan (K). Hasil estimasi ketiga parameter penangkapan ini akan digunakan dalam menentukan tingkat produksi lestari (MSY). Tabel 1 menyajikan hasil variabel regresi untuk mengestimasi parameter penangkapan dengan menggunakan estimator CYP. Tabel 1. Hasil Regresi Model CYP Untuk Perikanan Jaring Payang di Palabuhanratu Sukabumi Tahun 2006-2010.
Sumber: Data Primer Setelah Diolah
Kelayakan Penangkapan Ikan dengan Jaring Payang di Palabuhanratu Menggunakan Model Bioekonomi Gordon-Schaefer, Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM & Yogi Bachtiar, S.Pi
56
Data tersebut kemudian diolah dengan model estimator CYP (1992) untuk mengestimasi parameter penangkapan sumberdaya perikanan jaring payang di Palabuhanratu Sukabumi. Tabel 2. Hasil Estimasi Parameter Penangkapan Jaring Payang di Palabuhanratu Sukabumi tahun 2006-2010
Sumber: Data Primer Setelah Diolah
Hasil estimasi parameter penangkapan (q, γ, dan K) digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan populasi dengan menggunakan persamaan (1). Sehingga didapat bentuk kurva pertumbuhan logistik perikanan jaring payang di Palabuhanratu Sukabumi seperti pada Gambar 2.
capacity (K = 4.875.318.42). Sedangkan maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity tersebut (K/2 = 2.437.659.00) kondisi ini juga disebut sebagai keadaan maksimum potensi lestari (Maksimum Sustainable Yield) atau MSY. Estimasi MSY untuk Perikanan Jaring Payang di Palabuhanratu Menggunakan Model Schaefer Hasil tangkapan per upaya penangkapan atau catch per unit effort (CPUE) sepanjang tahun 2006-2010 juga menunjukkan grafik yang berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Nilai CPUE dipergunakan untuk mengetahui kecenderungan produktivitas suatu alat tangkap dalam kurun waktu tertentu. CPUE dipengaruhi oleh tingkat pemanfaatan (produksi) dan tingkat upaya yang diterapkan.
0
Gambar 2. Kurva pertumbuhan logistik perikanan jaring payang di Palabuhanratu Sukabumi tahun 2006 – 2010
Dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) dimana laju pertumbuhan sama dengan nol (dx/dt = 0), maka tingkat populasi (x) akan sama dengan carrying
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
Gambar 3. Grafik hubungan CPUE dengan effort perikanan jaring payang menggunakan Model Schaefer di Palabuhanratu tahun 2008-2010 Korelasi antara CPUE dengan (Diolah dari Statistik Perikanan PPNP, effort menunjukkan hubungan yang 2011)
negatif sebagaimana yang tercermin dalam Gambar 3 di atas mengindikasikan bahwa dengan bertambahnya effort, maka produktivitas alat tangkap juga akan menurun dimana setiap penambahan 57
effort sebesar satuan E akan menurunkan CPUE satuan E. Berdasarkan hal ini, tercermin perlunya perhatian mengenai pengendalian effort yang terkontrol sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan jaring payang dapat terus memberikan manfaat. Hasil analisis maximum sustainable yield menunjukkan bahwa usaha unit penangkapan payang di Palabuhanratu sudah tidak efisien dalam arti tidak layak untuk dilanjutkan karena pemanfaatan sumberdaya telah melewati batas lestari. Tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan jaring payang telah melewati kondisi maximum sustainable yield. Pengembangan usaha unit penangkapan payang harus dipertimbangkan benarbenar, karena grafik hubungan antara CPUE dengan effort menunjukkan garis trend yang menurun. Garis trend menurun dapat merupakan indikator bagi pemanfaatan sumberdaya yang berlebih. Estimasi Kelayakan Bioekonomi Perikanan Jaring Payang di Palabuhanratu Menggunakan Model Bioekonomi Gordon-Schaefer
mengetahui fungsi produksi lestari (hMSY) perikanan jaring payang, dan menghasilkan effort pada tingkat produksi lestari maksimum (EMSY) payang sebesar 1.800 trip per tahun berdasarkan nilai EMSY, dilakukan perhitungan secara matematis untuk mengetahui hasil tangkapan yang akan diperoleh pada kondisi MSY (hMSY), yaitu 2.437.605 kg per tahun. Berdasarkan Gambar 4 di atas, terlihat bahwa produksi hasil tangkapan yang diperoleh dan upaya penangkapan yang dilakukan sepanjang tahun 2010 telah mendekati upaya penangkapan MSY, bahkan pada tahun 2006-2007, produksi dan upaya tersebut telah melampaui batasan maksimum penangkapan lestari. Prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada di Palabuhanratu sudah seharusnya diterapkan karena jika tidak dilakukan pengelolaan yang bijaksana, maka sumberdaya perikanan yang ada akan terkuras. Bentuk pengelolaan tersebut dapat berupa pengendalian effort dan menjaga lingkungan tetap lestari.
Gambar 4. Hubungan antara hasil tangkapan lestari dengan upaya penangkapan lestari perikanan jaring payang menggunakan Model Gordon-Schaefer di Palabuhanratu Sukabumi 2006 – 2010 (Diolah dari Statistik Perikanan PPNP, 2011)
Gambar 5. Pengaruh tangkap terhadap stok (biomas) pada perikanan jaring payang di Palabuhanratu Sukabumi tahun 2006 – 2010 (Diolah dari Statistik Perikanan PPNP, 2011)
Nilai intercept dan koefisien independent ini selanjutnya digunakan dalam program Microsoft Excel untuk
Dari gambar tersebut terlihat beberapa hal yang menyangkut aktivitas
Kelayakan Penangkapan Ikan dengan Jaring Payang di Palabuhanratu Menggunakan Model Bioekonomi Gordon-Schaefer, Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM & Yogi Bachtiar, S.Pi
58
penangkapan terhadap stok. Pertama, pada saat tingkat upaya E1 sebesar 3100 diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah h1 tangkapan sebesar 1.194.553 kg, (garis vertikal). Kemudian jika upaya diturunkan E2 sebesar 2500, dimana E2 < E1, hasil tangkapan akan meningkat h2 sebesar 2.081.294.102 (h2 < h1). Namun kita lihat selanjutnya bahwa jika upaya terus diturunkan E3 sebesar 1150 (E3 > E2 > E1), akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya dimana E3 < E2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar (dalam hal ini h3 < h2). Eksploitasi semacam ini tidak efisien secara ekonomis karena tingkat produksi yang lebih sedikit harus dilakukan dengan tingkat upaya yang lebih besar. Analisis bioekonomi dengan pendekatan secara biologi dan ekonomi merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang dapat diterapkan demi upaya optimalisasi pengusahaan sumberdaya secara berkelanjutan. Optimalisasi bioekonomi yang dilakukan dalam penelitian ini mengikuti Model Gordon-Schaefer. Keseimbangan Bioekonomi Gordon Schaefer Dalam penelitian ini, keseimbangan bioekonomi didapatkan pada produksi (h) sebesar 2.437.605.179 kg/thn dengan tingkat upaya (E) 1800 trip/thn. Total biaya (TC) yang dikeluarkan untuk penggunaan effort tersebut adalah Rp. 801.900.000 per tahun yang menghasilkan total penerimaan (TR) Rp. 14.037.041.116 per tahun, sehingga rente ekonomi yang diperoleh adalah Rp. 13.235.141.116 per tahun.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
Gambar 6. Keseimbangan bioekonomi GordonSchaefer untuk perikanan jaring payang di Palabuhanratu Sukabumi tahun 2006-2010 (Diolah dari Statistik Perikanan Keseimbangan bioekonomi PPNP, 2011)
merupakan konsep pengelolaan yang diperlukan untuk memanfaatkan perikanan jaring payang di Palabuhanratu dengan penerapan model keseimbangan ini. Sumberdaya perikanan dapat terjaga kelestariannya oleh masyarakat, khususnya nelayan payang tetap mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari penjualan hasil tangkapannya. Pada daerah sebelah kanan biaya produksi lebih besar dari pendapatan sehingga nelayan merugi. Pada titik ini umumnya orang tidak mau untuk berusaha disektor penangkapan karena tidak diperoleh keuntungan sehingga secara ekonomi disebut misallocation. Pada saat mencapai produksi maksimum sebaiknya nelayan berhenti mengembangkan upaya penangkapan sehingga sumberdaya akan lestari dan pemanfaatan sumberdaya secara biologis berada pada tingkat yang optimum dimana keuntungan yang maksimum berada pada titik MEY dimana secara ekonomis dan fisik berada pada tingkat yang optimum.
59
Gambar
Gambar
7.
Keseimbangan Gordon-Schaefer dalam Biomasa (Diolah dari Statistikbahwa Perikanan PPNP,2011) Menunjukan tingkat
pemanfaatan mengalami fluktuasi dengan pemanfaatan tertinggi tahun 2006 yaitu 1.687.489 dan terendah tahun 2008 yaitu 189.809. Selanjutnya pada tahun 2009 dan 2010 tingkat pemanfaatan mengalami peningkatan meskipun belum secara signifikan hal ini diduga kelayakan secara ekonomi perikanan jaring payang di Palabuhanratu masih layak untuk menjadi usaha penangkapan ikan meskipun hasil pendapatan nelayan kecil dikarenakan tingkat pemanfaatan yang tinggi tidak seimbang dengan hasil tangkapan.
Perbandingan Maximum Yield (MSY) model Gordon-Schaefer, dengan Model Schaefer, pada saat Effort Maximum Perikanan Jaring Payang di Palabuhanratu, tahun 2006-2010
2011)
8. Perbandingan hasil tangkapan perikanan jaring payang di Palabuhanratu pada tahun 2006-2010 (Diolah dari Statistik Perikanan PPNP,
Memperlihatkan bahwa produksi hasil tangkapan pada kondisi aktual sebesar 807.603 kg/tahun masih jauh dari batasan produksi di tingkat MSY Schaefer sebesar 4.437.605.179 kg/tahun, pada kondisi pengelolaan MSY Gordon-Schaefer, produksi yang diperoleh sebesar 2.437.605.179 Rp/tahun dan pada kondisi ini dipengaruhi oleh penurunan jumlah effort sehingga eksploitasi sumberdaya yang tidak berlebihan akan dapat membantu laju pertumbuhan ikan serta didukung dengan kondisi lingkungan yang membaik, maka stok ikan akan terus bertambah dengan sendirinnya sehingga ikan yang dapat ditangkap akan lebih banyak.
Analisis
Sustainable
Optimalisasi bioekonomi pemanfaatan jaring payang pada kondisi pengelolaan rata-rata aktual, Maximum Sustainable Yield, dan Maximum Economic Yield untuk lebih memperjelas hasil analisis bioekonomi dalam Gambar 8 di bawah ini, maka data hasil analisis bioekonomi tersebut juga disajikan dalam bentuk gambar seperti di bawah ini:
Gambar 9. Perbandingan tingkat upaya penangkapan jaring payang di Palabuhanratu Tahun 2006-2010 (Diolah dari Statistik Perikanan PPNP, 2011)
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa Nilai MSY tersebut merupakan nilai tangkapan lestari yang menunjukan besarnya tangkapan dan jumlah trip yang
Kelayakan Penangkapan Ikan dengan Jaring Payang di Palabuhanratu Menggunakan Model Bioekonomi Gordon-Schaefer, Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM & Yogi Bachtiar, S.Pi
60
diperbolehkan agar tidak terjadi overfishing. Maka dapat diketahui bahwa nilai MSY untuk model Schaefer ialah sebesar 477.3152.166 kg pertahun dengan effort sebesar 1400 trip. Sedang nilai MSY untuk model Gordon-Schaefer ialah sebesar 243.7605.179 kg pertahun dengan effort sebesar 1800 trip. Hal tersebut mengindakasikan bahwa belum ada pengelolaan yang baik dalam perikanan jaring payang. Dapat dilihat pada tahun 2008 sampai tahun 2010 produksi perikanan jaring payang di Palabuhanratu mengalami penurunan. Maka perlu diperhatikan daya dukung lingkungan sumberdaya ikan dan dilakukan pengelolaan terhadap upaya penangkapan agar hasil tangkapannya meningkat. Model yang bisa digunakan dalam kelayakan jaring payang di Palabuhanratu ialah dengan menggunakan model GordonSchaefer, dimana Gordon-Schaefer memperhitungkan aspek ekonomi dan aspek biologinya hingga akhirnya nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan jaring payang akan terlihat tingkat keuntungan secara ekonomi, dan secara biologi (tingkat eksploitasi) sumberdaya ikan di Palabuhanratu akan tetap terjaga kelestariannya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Aplikasi model bioekonomi Gordon-Schaefer yang telah dilakukan pada perikanan jaring payang di Palabuhanratu Sukabumi, dapat disimpulkan bahwa hasil estimasi parameter penangkapan untuk tingkat pertumbuhan intrinsik ( ) sebesar 2.000000002, koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar 0.00055294 dan daya dukung lingkungan (K) sebesar 4875318.416. Dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) dimana laju pertumbuhan sama dengan nol Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
(𝜕𝑥/𝜕𝑡=0) maka tingkat populasi akan sama dengan carrying capacity tersebut diatas (K = 4875318.416), sedangkan maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity tersebut (K/2=2.437.659). Berdasarkan hasil analisis model Schaefer, maka diperoleh hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) ikan di Palabuhanratu sebesar 4.773.152.166 kg/tahun dan Effort Maximum Sustainable Yied (EMSY) yakni 1400 trip/tahun, Catch Per Unit Effort (CPUE) tertinggi pada tahun 2007 sebesar 695.0346487 ton/trip sedangkan terendah tahun 2010 yakni 358.4385.217 ton/trip. Sedangkan hasil analisis dengan model Gordon-Schaefer maximum economic yield (MEY), secara bioekonomi masih layak meskipun hanya menghasilkan marjin yang sangat kecil bagi nelayan. Tingkat optimum untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan jaring payang yang menjadi target penangkapan payang secara bioekonomi di Palabuhanratu diperoleh pada produksi sebesar 2.437.605.179 kg/tahun dengan jumlah total effort optimum 1.800 trip per tahun nelayannelayan jaring payang masih dapat dikembangkan dengan peningkatan effort yang lebih efektif dalam menangkap stok. Saran Sebaiknya dilakukan pengelolaan terhadap penangkapan perikanan jaring payang di Palabuhanratu sesuai dengan nilai MSY Gordon-Schaefer dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan pada produksi sebesar 2.437.605.179 kg/tahun dengan jumlah total effort optimum 1.800 trip per tahun, guna menjaga kelangsungan dan kelestarian sumberdaya perikanan jaring payang di Palabuhanratu, sehingga tidak terjadi lagi overfishing dan perikanan jaring payang dapat di manfaatkan secara berkelanjutan (Sustainable). 61
DAFTAR PUSTAKA Agustin, Rufina. 2009. Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gilnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Suryakancana Cianjur. .Anderson, LG. (1985) The Economcs of Fisheries Management. Altimore and London: The John Hopkins University Press. Alat Tangkap Payang Mendownload di Internet Http://Rustadi29.Blogspot.Com/ Search/Label/Perikanan%20tang kap. 2011.Cianjur Artikel
mengenai Pukat kantong. Wikipedia Indonesia Mendownload di Internet. 2011. Cianjur
Ayodya.1975.Fishing Methods Diktat Kuliah Ilmu Tehnik Penangkapan Ikan. Fakultas Perikanan IPB.Bogor. Clark R.P, Yosimoto SS dan Pooley SG. 1992. A Bioeconomi Analysis of the North-Western Hawaiian Island Lobster Fishery. Marine Resource Ecomomic. FAO, 1997. FAO Technical Guedelines for Responsible Fisheries No.4. Fisheries Management, FAO. Rome. Fauzi. A, dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Gordon HS. 1954. The Economic Theory of a Common Property Resource: The Fishery. Jurnal of Polytical Economy. Schaefer M. 1954. Some Aspects of the Dynamics of Populations important to the Management of Commercial Marine Fisheries. Bull.
Ayodhyoa, A. U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Kelayakan Penangkapan Ikan dengan Jaring Payang di Palabuhanratu Menggunakan Model Bioekonomi Gordon-Schaefer, Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM & Yogi Bachtiar, S.Pi
62
PENGARUH PERBEDAAN DOSIS BIOAKTIVATOR Gliocladium sp. TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN KACANG TANAH (Arachis hypogea L.) Oleh : Melissa Syamsiah, S.Pd., M.Si* Denny Firmansyah, SP** RINGKASAN Pertumbuhan tanaman Kacang Tanah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara pada media tanam. Unsur hara dapat diberikan melalui pemberian pupuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dosis bioaktivator Gliocladium sp, dosis terbaik Gliocladium sp terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman kacang tanah yang meliputi tinggi tanaman kacang tanah, jumlah daun tanaman kacang tanah, lebar daun tanaman kacang tanah, berat basah dan berat kering tanaman kacang tanah. Penelitian dilaksanakan di Net House Fakultas Pertanian Universitas Suryakancana Cianjur dimulai pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2011. Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan tersebut yaitu: A= Kontrol (Tanpa pemberian bioaktivator Gliocladium sp) tanaman, B=10 gram per tanaman, C=20 gram per tanaman, D=30 gram per tanaman, E=40 gram per tanaman dan F=40 gram per tanaman memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman kacang tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dosis sebesar 30 gram per tanaman merupakan dosis terbaik untuk pertumbuhan tanaman kacang tanah.
ABSTRACT Peanut plant growth is strongly influenced by the availability of nutrients in growing media. Nutrients can be provided through the provision of fertilizer. This study aims to determine the effect of dosage bioactivator Gliocladium sp., the best dose of Gliocladium sp. to vegetative growth of peanut plants including height of peanut plant, number of peanut plant’s leaves, width of peanut leaf, fresh weight and dry weight of peanut plants. Research conducted at the Net House Faculty of Agriculture, University Suryakancana Cianjur began in June to August 2011. This study used Completely Randomized Design (CRD), with six treatments and four replications. The treatments are: A = Control (Without giving bioactivator Gliocladium sp) plant, B = 10 grams per plant, C = 20 grams per plant, D = 30 grams per plant, E = 40 grams per plant and F = 40 grams per plant provide real impact on vegetative growth of peanut plants. The results showed that dose of 30 grams per plant is the best dose for the growth of peanut plants. Keyword : Peanut plant, Gliocladium sp., biaktivator, vegetative growth *Dosen Faperta UNSUR **Alumni Faperta UNSUR
Pengaruh Perbedaan Dosis Bioaktivator Gliocladium sp. Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kacang Tanah (arachis hypogea l.), Melissa Syamsiah, S.Pd., M.Si & Denny Firmansyah, SP
63
PENDAHULUAN Kacang tanah (Arachis hypogeae) merupakan jenis tanaman polongpolongan kedua terpenting setelah kedelai di Indonesia. Kacang tanah sejak dulu banyak disukai masyarakat Indonesia. Permintaan kacang tanah (A. hypogeae) sebagai salah satu produk pertanian tanaman pangan, diduga masih mengalami peningkatan sejalan dengan kenaikan pendapatan dan jumlah penduduk. Produksi komoditi kacang tanah (A. hypogeae) per hektarnya di Indonesia belum mencapai hasil yang maksimum, sebagai contoh di Cianjur produktivitas mencapai 1.2 ton/ha dikembangkan pada lahan seluas 11.107 ha. (Dinas Pertanian Cianjur. 2008). Hal ini tidak terlepas dari pengaruh faktor tanah yang semakin keras (rusak) dan miskin unsur hara terutama unsur hara mikro serta hormon pertumbuhan. Kerusakan tanah disebabkan adanya ketidakseimbangan unsur hara ditanah dan aktifitas/jumlah mikroba di dalam tanah akibat pemakaian pupuk kimia yang berlebihan. Disamping permasalahan di atas, hama dan penyakit tanaman, iklim, serta pemeliharaan lainnya menjadi faktor yang menghambat produksi tanaman kacang tanah. Sehingga produksi yang dihasilkan oleh tanaman dari waktu ke waktu mengalami penurunan hasil. Upaya peningkatan produksi tanaman kacang tanah (A. hypogeae) dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan kesediaan unsur hara, yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara adalah dengan pemberian pupuk pada tanah. Pemberian pupuk kimia dapat memberikan dampak yang negatif pada tanah, karena penggunaan pupuk kimia yang berlebihan akan menyebabkan pengerasan atau pemadatan pada tanah dan adakalanya bila diberikan secara berlebihan kurang efisien. Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
Tanaman kacang tanah (A.hypogeae) memiliki bintil akar yang mempunyai kemampuan untuk melakukan fiksasi nitrogen bebas dari udara karena adanya aktifitas bakteri Rhizobium di dalam bintil akar (Fahrudin 2000). Hal ini merupakan satu keunggulan yang berhubungan dengan keterlibatan aktifitas pupuk bagi tanaman tersebut. Media tanam yang sesuai bagi tanaman kacang tanah adalah tanah gembur / bertekstur ringan dan subur, pH antara 6,0-6,5, drainase dan aerasi baik. Kekurangan air akan menyebabkan tanaman kurus, kerdil, layu dan akhirnya mati (Adisarwanto 2000). Salah satu alternatif penekan dari dampak negatif pupuk kimia adalah pemberian pupuk organik pada tanaman, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, telah ditemukan Bioaktivator Gliocladium sp yang merupakan jamur yang dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik di alam. Sehingga Bioaktivator gliocladium sp mampu mengurai bahan organik dalam tanah menjadi pupuk organik. Bioaktivator adalah inokulum campuran berbagai jenis mikroorganisme (mikroba lignolitik, selulolitik, proteolitik, lipolitik, amilolitik, dan mikroba fiksasi nitrogen non simbiotik) untuk mempercepat laju pengomposan bahan organik (Onggo 2000). Gliocladium sp. merupakan bahan alami yang dibuat dari sumber hayati tanah berupa antagonis penyakit tanaman. Bioaktivator Gliocladium sp. ini berbahan aktif Gliocladium sp.. yang bersifat sebagai anti-fungi alami, merangsang aktifitas enzim ketahanan tanaman, mendorong pertumbuhan tanaman, memperbaiki vigor tanaman, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, dan ramah lingkungan. Biokomplek dapat menurunkan C/N rasio bahan organik dari 50 menjadi 20, meningkatkan 64
pertumbuhan dan vigor tanaman di lapangan dan mendegradasi bahan organik di dalam tanah (Nurwadani, 1996). Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh dosis biokomplek terhadap pertumbuhan vegetatif kacang tanah (A. hypogeae) dan menemukan dosis Bioaktivator Gliocladium sp yang tepat untuk pertumbuhan kacang tanah (A.hypogeae). Adapun pertumbuhan vegetatif yang dimaksud meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, lebar daun, berat basah dan berat kering tanaman kacang tanah (A.hypogeae).
3.
4. 5.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan mulai dari bulan Juni sampai dengan Agustus 2011 di Net House Fakultas pertanian, Universitas Suryakancana Cianjur. Lokasi tersebut memiliki temperatur 280-320C dengan ketinggian 400 dpl, sehingga sesuai untuk tanaman kacang tanah. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kacang tanah, bioaktivator Gliocladium sp.., tanah, arang sekam dan pupuk kandang. Sedangkan Alat yang digunakan yaitu : meteran, ember, timbangan, baskom, penggaris, ayakan, cangkul, tali rafia, tugal, papan nama dan alat tulis serta kamera. Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian terdiri beberapa kegiatan sebagai berikut : 1. 2.
dari
Penyiapan lahan : menyiapkan lahan penunjang penelitian berupa net house Pembersihan lahan: sebelum melakukan penelitian, maka lahan yang akan digunakan untuk penelitian
6.
dibersihkan dahulu dari faktor-faktor yang akan mengganggu hasil pengamatan penelitian. Persiapan Media : media tanam yang digunakan adalah campuran tanah, pupuk kandang, arang sekam dan pasir dengan komposisi 2:1:1:1 sebelum digunakan tanah diayak terlebih dahulu. Baru diberikan Biokomplek sesuai dengan perlakuan. Penanaman : Penanaman dilakukan pada polibag dengan ukuran 20 cm x 30 cm . Pemberian perlakuan : Perlakuan dilakukan sesuai rancangan percobaan. Pemberian biokomplek dilakukan dengan cara ditanam langsung dalam media. Setelah itu dibiarkan selama ± 2 minggu. (Toha, 2008) Pemeliharaan : meliputi, penyiraman, pengendalian hama penyakit dan sanitasi dilakukan sesuai dengan teknik budidaya yang umum. Penyiraman dilakukan 1 hari sekali. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari enam (6) perlakuan, tiga (3) ulangan dan setiap ulangan terdiri dari lima (5) tanaman Perlakuan terdiri dari lima perlakuan yaitu : A B C D E F
= Kontrol (tanpa perlakuan) = 10 gr / tanaman = 20 gr / tanaman = 30 gr / tanaman = 40 gr / tanaman = 50 gr / tanaman
Setiap perlakuan terdiri tiga (3) ulangan dan setiap unit perlakuan terdiri dari dari 5 tanaman, sehingga total
Pengaruh Perbedaan Dosis Bioaktivator Gliocladium sp. Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kacang Tanah (arachis hypogea l.), Melissa Syamsiah, S.Pd., M.Si & Denny Firmansyah, SP
65
tanaman dalam penelitian ini sebanyak 90 tanaman.
4. Berat basah tanaman kacang tanah Berat basah dihitung dengan cara mencabut tanaman dari polybag, kemudian membersihkannya. Setelah itu tanaman ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. 5. Berat kering tanaman kacang tanah Berat kering dihitung dengan cara mengeringkan tanaman dengan menggunakan oven selama 8 jam dengan suhu 120 0C, setelah itu ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Berat kering didapat setelah dilakukan 3 kali penimbangan dengan hasil yang konstan (tetap).
Tata letak tanaman
Pengamatan dilakukan 1 minggu sekali selama 1 bulan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf alpha 0.05 serta uji beda nyata dengan uji Tukey.
Parameter Pengamatan
Adapun parameter pengamatan meliputi: 1. Tinggi tanaman kacang tanah Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap 1 minggu sekali dengan menggunakan mistar. Tanaman diukur dari permukaan tanah sampai pucuk tanaman paling atas. 2. Jumlah daun tanaman kacang tanah Untuk mendapat hasil jumlah daun maka dilakukan perhitungan terhadap semua jumlah daun yang tumbuh (per tangkai daun) setiap 1 minggu sekali. Perhitungan jumlah daun tidak dilakukan per helai karena daun kacang kacang tanah memiliki 4 helai daun dalam setiap tangkainya. 3. Pengukuran lebar daun tanaman kacang tanah Untuk pengukuran lebar daun dilakukan 1 minggu sekali selama percobaan. Teknik yang dilakukan dalam mengukur lebar daun adalah pertama panjang daun diukur dan pada posisi tengah-tengah dari panjang daun. Setelah itu pengukuran dilakukan dari tepi daun yang satu ke tepi daun yang lain. Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh
Uji
dosis Bioaktivator Terhadap Tinggi Tanaman Kacang Tanah
Gliocladium sp.
Hasil pengamatan menunjukan adanya peningkatan tinggi tanaman kacang tanah setiap minggunya. Unsur hara yang cukup menyebabkan pertumbuhan vegetatif tanaman khususnya tinggi tanaman cukup optimal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bilman et al dalam Toha (2008). Tanaman memerlukan unsur hara untuk pertumbuhan. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada minggu terakhir pengamatan (minggu ke 5). Minggu ke 5 menunjukan bahwa nilai rata-rata tinggi tanaman kacang tanah terendah adalah pada perlakuan tanpa pemberian dosis Gliocladium sp. (perlakuan A= Kontrol) dengan nilai sebesar 29.75 cm. Hasil 66
tersebut berbeda nyata dengan perlakuan pemberian dosis Gliocladium sp. C (20 gr), D (30 gr) dan E (40gr) dengan nilai ratarata tinggi tanaman berturut-turut adalah 31.56 cm, 32.31 cm, dan 32.65 cm. Tetapi kontrol menunjukan tidak berbeda nyata dengan perlakuan pemberian dosis Gliocladium sp. (B = 10 gr) dengan nilai rata-rata 30.75 cm dan perlakuan F (50 gr) dengan nilai rata-rata 30.83 cm. Hal ini karenakan pada perlakuan (B = 10 gr) mendapat sedikit tambahan bioaktivator Gliocladium sp. dan untuk perlakuan F (50 gr) tinggi tanaman memiliki populasi Gliocladium sp. sangat tinggi. Perkembangan Gliocladium sp. mempengaruhi cadangan unsur hara yang dibutuhkan tanaman, karena unsur hara dibutuhkan Gliocladium sp. untuk berkembang biak. Sehingga terjadi persaingan nutrisi dikarenaka jumlah nutrisi terbatas. Perlakuan terbaik yang ditunjukkan nilai rata-rata tinggi tanaman terbesar = 32.65 cm terjadi pada perlakuan E (40 gr Gliocladium sp.) yang berbeda nyata dengan perlakuan A (kontrol = tanpa pemberian Gliocladium sp.) dengan nilai rata-rata 29.75 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan B (10 gr Gliocladium sp.), C (20 gr Gliocladium sp.), D (30 gr Gliocladium sp.) dan F (50gr Gliocladium sp.) dengan nilai rata-rata berturut-turut 30.75 cm, 31.56 cm, 32.31 cm dan 30.83 cm. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pemberian Gliocladium sp. dapat mendorong peningkatan tinggi tanaman yang karenakan Gliocladium sp. memiliki sifat merangsang aktifitas enzim pertumbuhan pada tanaman dan mempercepat proses penguraian bahan organik, sehingga C/N Ratio akan cepat menurun dari 50 menjadi 20 (Nurwardani, 1996).
Tabel 1. Rata-rata Umum Tinggi Tanaman Kacang tanah
Keterangan : A = Kontrol (tanpa pemberian Gliocladium sp.), B = 10 gram Gliocladium sp., C = 20 gram Gliocladium sp., D = 30 gram Gliocladium sp. E = 40 gram Gliocladium sp., F = 50 gram Gliocladium sp., Notasi sesudah angka menunjukan uji statistik pada taraf 5 % Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata.
Pengukuran Tinggi Tanaman Kacang Tanah
Hasil uji F menunjukan perbedaan perlakuan dosis Gliocladium sp. berpengaruh sangat nyata (signifikan) terhadap pertumbuhan tinggi tanaman kacang tanah. Hal ini dikarenakan F hitung
Pengaruh Perbedaan Dosis Bioaktivator Gliocladium sp. Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kacang Tanah (arachis hypogea l.), Melissa Syamsiah, S.Pd., M.Si & Denny Firmansyah, SP
67
sebesar 24.06 lebih besar dari F tabel sebesar 1.92 untuk taraf 5%. Pengaruh Uji dosis Bioaktivator Gliocladium sp. Terhadap Jumlah daun Kacang Tanah Hasil pengamatan menunjukan adanya peningkatan jumlah daun kacang tanah setiap minggunya (Tabel2). Hal ini diduga karena ketersediaan unsur hara dalam media cukup banyak karena Gliocladium sp. dapat memecah rantai C organik menjadi rantai-rantai pendek (rantai C sederhana) yang mudah dimanfaatkan oleh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan subur (Rosmahani et al 2001 dalam Toha 2008). Pengamatan tertinggi didapat pada minggu terakhir pengamatan (minggu ke 5). Pengamatan jumlah daun kacang tanah pada minggu ke 5 yang menunjukkan nilai rata-rata jumlah daun kacang tanah terendah terdapat pada perlakuan tanpa pemberian dosis Gliocladium sp. (perlakuan A= Kontrol) dengan nilai rata-rata yaitu 17.67 berbeda nyata dengan perlakuan pemberian dosis Gliocladium sp. C (20 gr), D (30 gr) dan E (40gr) dengan nilai ratarata jumlah daun berturut-turut adalah 20.47, 22.20, dan 23.47. Tetapi hasil pengamatan menunjukan tidak berbeda nyata antara kontrol dengan perlakuan pemberian dosis Gliocladium sp. (B = 10 gr) dengan nilai rata-rata 18.67 dan perlakuan F (50 gr) dengan nilai rata-rata 18.27. Hal ini dikarenakan pada perlakuan A (Kontrol) hanya mengandalkan pertumbuhan yang diatur oleh zat pengatur tumbuh yang terdapat pada tanaman itu sendiri. Sedangkan untuk perlakuan terbaik adalah perlakuan E (40 gr Gliocladium sp.) yang menunjukan nilai rata-rata jumlah daun terbesar = 23.47 yang tidak berbeda dengan perlakuan D (30 gr Gliocladium sp.) dengan nilai rata-rata 22.20, akan tetapi berbeda nyata dengan Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
perlakuan B (10 gr Gliocladium sp.), F (50 gr Gliocladium sp.) dan A (kontrol = tanpa pemberian Gliocladium sp.) dengan nilai rata-rata jumlah daun berturut-turut 18.67, 18.27 dan 17.67. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pemberian Gliocladium sp. dapat mendorong peningkatan jumlah daun. Sesuai dengan pernyataan Semangun (1993) dalam Toha (2008) bahwa aplikasi Gliocladium sp. dapat menyebabkan lebar tajuk daun lebih baik dibanding dengan tidak memakai Gliocladium sp., karena Gliocladium sp. dapat mengendalikan berbagai macam jamur yang merusak daun. Tabel 2. Rata-rata Umum Jumlah daun Kacang tanah
Keterangan : A = Kontrol (tanpa pemberian Gliocladium sp.), B = 10 gram Gliocladium sp., C = 20 gram Gliocladium sp., D = 30 gram Gliocladium sp. E = 40 gram Gliocladium sp., F = 50 gram Gliocladium sp.. Notasi sesudah angka menunjukan uji statistik pada taraf 5 % Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata.
Jumlah daun tanaman kacang tanah dalam pengolahan data dengan menggunakan ANOVA atau tabel sidik ragam dari pengamatan minggu ke 1 sampai dengan minggu ke 5 dengan perbedaan perlakuan dosis Gliocladium sp. berbeda nyata (signifikan). Hal ini dikarenakan F hitung lebih besar dari F tabel sebesar 1.92 untuk taraf 5%.
68
Pengaruh Uji dosis Bioaktivator Gliocladium sp. Terhadap Lebar daun Kacang Tanah Hasil pengamatan menunjukan adanya peningkatan lebar daun kacang tanah setiap minggunya (Tabel3). Pertumbuhan vegetatif tanaman khususnya lebar daun memerlukan unsur hara yang cukup, tetapi tidak berlebihan. Lebar daun ditentukan oleh jumlah dan ukuran sel. Tanaman memerlukan unsur hara untuk pertumbuhan (Bilman et al dalam Toha, 2008). Nilai tertinggi tercapai pada minggu terakhir pengamatan (minggu ke 5). Pengamatan lebar daun kacang tanah pada minggu ke 5 menunjukan bahwa nilai ratarata lebar daun kacang tanah terendah terdapat pada perlakuan C (20 gr Gliocladium sp.) dengan nilai yaitu 3.16 cm berbeda nyata dengan perlakuan pemberian dosis Gliocladium sp. D (30 gr), E (40gr) dan F (50gr) dengan nilai rata-rata lebar daun berturut-turut adalah 3.95 cm, 4.05 cm, dan 3.46 cm. Hasil pengamatan menunjukan perlakuan C (20 gr Gliocladium sp.) tidak berbeda nyata dengan perlakuan pemberian dosis Gliocladium sp. (B = 10 gr) dengan nilai rata-rata 3.27 cm dan A (kontrol) dengan nilai rata-rata 3.27 cm. Hal ini diduga bahwa perlakuan C (20 gram Gliocladium sp.) mengalami kemunduran pertumbuhan karena material-material tidak dapat diubah sehingga proses tumbuh tanaman terhambat (Alam, 2008). Sedangkan untuk perlakuan terbaik yang menunjukkan nilai rata-rata tinggi tanaman terbesar = 4.05 cm yang berbeda nyata dengan perlakuan B (10 gr Gliocladium sp.), C (20 gr Gliocladium sp.) dan A (kontrol = tanpa pemberian Gliocladium sp.) dengan nilai rata-rata berturut-turut 3.27 cm, 3.16 cm dan 3.27 cm, akan tetapi tidak berbeda dengan perlakuan D (30 gr Gliocladium sp.) dan F (50 gr Gliocladium sp.). Dengan hasil penelitian ini membuktikan bahwa
pemberian Gliocladium sp. dapat mendorong peningkatan lebar daun. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Nurwardani (1996) Gliocladium sp. memiliki sifat merangsang aktifitas enzim pertumbuhan pada tanaman dan mempercepat proses penguraian bahan organik, sehingga C/N Ratio akan cepat menurun dari 50 menjadi 20 (Nurwardani , 1996). Sesuai pula dengan hasil penelitian Rosmahani et al (2001) dalam Toha (2008) bahwa aplikasi Gliocladium sp. dapat menyebabkan lebar tajuk lebih baik yang mengakibatkan tanaman dapat berproduksi lebih baik objek penelitian tanaman tomat .
Tabel 3. Rata-rata Umum Lebar Daun Kacang tanah
Keterangan : A = Kontrol (tanpa pemberian Gliocladium sp.), B = 10 gram Gliocladium sp., C = 20 gram Gliocladium sp., D = 30 gram Gliocladium sp. E = 40 gram Gliocladium sp., F = 50 gram Gliocladium sp.. Notasi sesudah angka menunjukan uji statistik pada taraf 5 % Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata.
Pengukuran Lebar daun Tanaman Kacang tanah
Pengaruh Perbedaan Dosis Bioaktivator Gliocladium sp. Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kacang Tanah (arachis hypogea l.), Melissa Syamsiah, S.Pd., M.Si & Denny Firmansyah, SP
69
Hasil uji berdasarkan data ANOVA dari pengamatan minggu ke 1 sampai dengan minggu ke 5 menunjukan perbedaan perlakuan dosis Gliocladium sp. berpengaruh nyata (signifikan) terhadap lebar daun kacang tanah. Pengaruh Uji dosis Gliocladium sp. Terhadap Berat basah dan kering tanaman Kacang Tanah Hasil pengamatan untuk berat basah dan berat kering tanaman kacang tanah dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Rata-rata Umum Berat Basah dan Kering tanaman Kacang tanah Berat Berat Kadar Perlaku Basah Kering Air an (gr) (gr) (%) A 19,72a 2,91a 85,49 B
19,91a
3,21b
83,89
C
20,07a
3,19b
83,81
D
22,29c
4,01c
82,03
E
22,59c
4,19c
81,44
F 21,34b 3,29b 84,60 Keterangan : A = Kontrol (tanpa pemberian Gliocladium sp.), B = 10 gram Gliocladium sp., C = 20 gram Gliocladium sp., D = 30 gram Gliocladium sp. E = 40 gram Gliocladium sp., F = 50 gram Gliocladium sp.. Notasi sesudah angka menunjukan uji statistik pada taraf 5 % Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata. Kadar air (%) = Kehilangan bobot (penyusutan) / Bobot contoh asal x 100 % Sumber : (Sulaeman et al, 2005) Balitbang Pertanian.
Berat Basah Tanaman Kacang Tanah Pengamatan berat basah tanaman kacang tanah (Tabel 4) menunjukan bahwa nilai rata-rata terendah adalah perlakuan C (20 gram Gliocladium sp.) dengan nilai ratarata yaitu 19.72 gr yang berbeda nyata dengan perlakuan D (30 gram Gliocladium sp.) E (40 gram Gliocladium sp.) dan F(50 Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
gram Gliocladium sp.) dengan nilai rata-rata berturut-turut 22.29 gr, 22.59 gr dan 21.34 gr. Akan tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan A (Kontrol = tanpa pemberian Gliocladium sp.) dan B (10 gram Gliocladium sp.) dengan nilai rata-rata berturut-turut 20.07 gr dan 19.91 gr. Hal ini diduga bahwa perlakuan C (20 gram Gliocladium sp.) mengalami kemunduran pertumbuhan sehingga material-material tidak dapat diubah sehingga proses tumbuh tanaman terhambat (Alam 2008). Perlakuan terbaik untuk berat basah tanaman kacang tanah adalah perlakuan E (40 gram Gliocladium sp.) dengan nilai rata-rata 22.59 gr yang berbeda nyata dengan perlakuan B (10 gram Gliocladium sp.), C (20 gram Gliocladium sp.), F (50 gram Gliocladium sp.) dan A (Kontrol = tanpa pemberian Gliocladium sp.) dengan nilai rata-rata berturut-turut 19.91 gr, 20,07 gr, 21.34 gr dan 19,72 gr . Akan tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan D (30 gram Gliocladium sp.) dengan nilai rata-rata 22.29 gr. Hal ini diduga karena pengaruh kemampuan tanaman menyerap hara dari dalam tanah untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Peranan Gliocladium sp. dapat menyediakan unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pembelahan sel dan pembesaran sel, akan tetapi yang paling umum dipakai adalah pertambahan berat basah dan berat kering yang meliputi diferensiasi sel (Kristanto 2006). Berdasarkan ANOVA atau tabel sidik ragam untuk berat basah tanaman kacang tanah menunjukan bahwa nilai F hitung = 38.16 lebih besar dari nilai F tabel pada taraf kepercayaan 5% yaitu 1.92, maka dapat disimpulkan bahwa berat basah tanaman kacang tanah berbeda nyata. Begitu pula dengan analisis menggunakan P Value = 0.000 yang lebih kecil dari 0.05 (taraf kepercayaan 95%) sehingga disimpulkan berat basah tanaman 70
kacang tanah berbeda nyata. Hasil tersebut menunjukan terdapat pengaruh pemberian dosis Gliocladium sp. terhadap berat basah tanaman kacang tanah. Berat Kering Tanaman Kacang Tanah Pengamatan berat kering tanaman kacang tanah (Tabel 4) menunjukan bahwa nilai rata-rata terendah terdapat pada perlakuan A (Kontrol = tanpa pemberian Gliocladium sp.) dengan nilai rata-rata yaitu 2.91 gr yang berbeda nyata dengan D (30 gram Gliocladium sp.) dan E (40 gram Gliocladium sp.) dengan nilai rata-rata berturut-turut 4.01 gr dan 4.19 gr. Dimana perlakuan terbaik adalah pada perlakuan E (40 gram Gliocladium sp.) dengan nilai ratarata paling tinggi yaitu 4.19 gr. Hal ini diduga karena pengaruh kemampuan tanaman menyerap hara dari dalam tanah untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Sesuai dengan pernyataan Kristanto (2006) Peranan Gliocladium sp. dapat menyediakan unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pembelahan sel dan pembesaran sel, akan tetapi yang paling umum dipakai adalah pertambahan berat basah dan berat kering yang meliputi diferensiasi sel. Dari hasil penelitian Yudi (2002) dalam Toha (2008), pemberian Gliocladium sp. dapat meningkatkan bobot kering akar, bobot kering bagian atas tanaman, jumlah polong total, bobot biji tanaman dan serapan P biji. Pengomposan yang dilakukan oleh Gliocladium merupakan salah satu manipulasi mutu masukan bahan organik dengan kondisi terkendali sehingga menghasilkan bahan organik dan unsur hara yang bermutu bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Pengukuran Berat Kering Tanaman Kacang Tanah
Berdasarkan ANOVA atau tabel sidik ragam untuk berat kering tanaman kacang tanah menunjukan bahwa nilai F hitung = 52.76 lebih besar dari nilai F tabel pada taraf kepercayaan 5% yaitu 1.92, maka dapat disimpulkan bahwa berat kering tanaman kacang tanah sangat berbeda nyata. Begitu pula dengan analisis menggunakan P value = 0.000 yang lebih kecil dari 0.05 (taraf kepercayaan 95%) sehingga disimpulkan berat kering tanaman kacang tanah berbeda nyata. Dengan data tersebut menunjukan bahwa terdapat pengaruh pemberian dosis Gliocladium sp. terhadap berat kering tanaman kacang tanah. Gliocladium sp. merupakan Bioaktivator yang tidak saja penting untuk pertanian, selain untuk membantu petani menanggulangi masalah patogen tular tanah dan dapat mengendalikan layu Fusarium sp. pemberian Gliocladium sp. dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman kacang tanah. Untuk pemberian Gliocladium sp. taraf 50 gr pada penelitian ini menurun disebabkan karena keterbatasan media yang digunakan terbatas yaitu media dalam polibag sesuai pernyataan Sinaga, (1986) dalam Toha, (2008). Pertumbuhan dan sporulasi Gliocladium sp. sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Gliocladium sp. akan tumbuh baik pada lingkungan yang menguntungkan. Jadi perlu dikaji ulang
Pengaruh Perbedaan Dosis Bioaktivator Gliocladium sp. Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kacang Tanah (arachis hypogea l.), Melissa Syamsiah, S.Pd., M.Si & Denny Firmansyah, SP
71
pada pemberian Gliocladium sp. di lapangan (lahan terbuka). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian perbedaan dosis bioaktivator Gliocladium sp. berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman kacang tanah baik dilihat dari tinggi tanaman, jumlah daun, lebar daun, berat basah maupun berat kering tanaman Pada penelitian pemberian dosis bioaktivator Gliocladium sp. yang terbaik untuk pertumbuhan vegetatif tinggi tanaman, jumlah daun, lebar daun, berat basah dan berat kering tanaman kacang tanah adalah 40 gr per tanaman. Sedangkan dosis 30 gr merupakan dosis yang optimal untuk pertumbuhan vegetatif kacang tanah yang artinya dengan dosis yang lebih sedikit dari 40 gr per tanaman tetapi memberikan pengaruh yang baik bagi pertumbuhan vegetatif tanaman kacang tanah Saran Untuk mencapai produktifitas tanaman kacang tanah disarankan memakai dosis pemberian Gliocladium sp. 30 gr. Karena memiliki pengaruh yang sama dengan perlakuan dengan dosis 40 gr. Penelitian yang dilakukan hanya didisain sampai pada fase vegetatif kacang tanah maka perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat pengaruh Bioaktivator Gliocladium sp. terhadap hasil produksi yang dilakukan sampai panen dan di sejumlah area lahan pertanian yang berbeda.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T. Meningkatkan Produksi Kacang Tanah di Lahan Sawah dan Lahan Kering, Penebar swadaya. Jakarta Alam, A. S. 2008 Pengaruh Perendaman Benih Dengan Gibrellin, Auksin dan KhitosanTerhadap Pertumbuhan Dan Perkembangan Bibit Kubis Bungga. Skripsi Fahrudin, L. 2000. Budidaya kacangan, Kanisius. Jakarta.
Kacang-
Gomez, A. G. 1995. Prosedur Statistik Untuk Pertanian Edisi Kedua, terjemahan oleh Syamsuddin Endang dan Baharsjah, J. S. Universitas Indonesia. Jakarta Hardaningsih, Sri. 1995. Efektifitas Gliocladium roseum Untuk Mengendalikan Penyakit Terbawa Benih Pada Tanaman Kacang-kacangan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Malang. Hardiyanto, R. 1998. Pemanfaatan Mikroorganisme Efektif dan Bahan Organik untuk Pemulihan Kesuburan Tanah dan Peningkatan Produktifitas Usahatani di Lahan Kering. Higa, T. 1995. Studies of the application of the effective microorganisme in nature farming in Japan. Kyusci Nature Farming. Saraburi Center-Thailand. Kartasapoetra. A.G, 1988. Pengantar Anatomi Tumbuh-Tumbuhan (Tentang Sel dan Jaringan), Bina Aksara. Jakarta. Kristanto Heri, 2006. Pengaruh khitosan, Gliocladium sp Serta Kombinasi Gliocladium sp dan Khitosan Terhadap
72
Perkecambahan dan Pembibitan Padi var. Pandanwangi, Skripsi Nurwadani. 1996. Pengendalian Hayati Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysporum f.s.p melonis) pada Melon (Cucumis melo cv. Casntralupensisi NAUD) dan Perbanyakan Masal Gen Pengendali Hayati (Gliocladium s.p.), Tesis Onggo. T M, 2001 Aplikasi Bioaktivator dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan dan Hasil Berbagai Sayuran, Skripsi Sulaeman et al, 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Balitbang Pertanian : Bogor Toha. 2008 Pengaruh Aplikasi Pemberian BiokomplekTerhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis (Zea mays var). Skripsi
Pengaruh Perbedaan Dosis Bioaktivator Gliocladium sp. Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kacang Tanah (arachis hypogea l.), Melissa Syamsiah, S.Pd., M.Si & Denny Firmansyah, SP
73
KONTRIBUSI PENANGANAN PASCA PANEN WORTEL TERHADAP PENDAPATAN PETANI SAYURAN BINAAN SUB TERMINAL AGRIBISNIS (STA) CIGOMBONG DESA CIHERANG KABUPATEN CIANJUR Oleh : Ir. Hj. Megawati Shiddieqy, M.Si* Wiwin Widiani, SP**
Ringkasan
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pelayanan pasca panen, penanganan pasca panen yang dilakukanoleh petani binaan serta kontribusi penanganan pasca panen terhadap pendapatan petani wortel binaan STA Cigombong, desa Ciherang Kabupaten Cianjur. Metoda analisis deskriptif dilakukan terhadap pelayanan pasca panen di STA dan penanganan pasca panen yang dilakukan petani wortel binaan STA Cigombong, sedangkan analisis kontribusi penanganan pasca panen terhadap pendapatan petani menggunakan analisis R/C ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan pasca panen yang ada di STA Cigombong, terdiri dari pelayanan jasa klinik agribisnis, pembinaan on farm dan off farm, informasi harga, magang dan pelatihan. Sarana fisik areaa parkir, los penerimaan dan bongkar muat dan sarana transprtasi distribusi produk untuk tujuan pasar tradisional, serta untuk tujuan pasar modern tersedia sarana los penerimaan, bongkar muat, gudang packing house, sortasi dan grading dan sarana transportasi distribusi produk. Penanganan pasca panen untuk tujuan pasar tradisional adalah mulai dari proses bongkar muat/ pengangkutan dari kebun, proses sortasi, pengemasan dan proses pengangkutan ke pasar tujuan, sedangkan untuk tujuan pasar modern terdiri dari proses bongkar muat, pencucian , sortasi dan grading, pengemasan dan pelabelan, penyimpanan serta pengangkutan kepasar tujuan. Kontribusi penanganan pasca panen untuk tujuan pasar modern lebih besar dari tujuan pasar tradisional dengan selisih sebesar Rp. 1.535.000,- untuk setiap 15 ton wortel yang dipasarkan.
Abstract
This reaserch was carried out to study are to find out the services of post harvest handling, post harvest handling and contribution post harves handling to ward founding carrot farmer income in STA Cigombong,Ciherang Village, sub District of Pacet, Cianjur district. Descriptive analysed method on post harvest handling services and post harvest handling to do by farmers. While TR, TC and R/C Ratio formal are used to analyze the contribution of post harvest handling toward the farmers income. The result of the research about post harvest handling services are fisical and non fisical , post harvest handling proces to do by farmers for tradisonal market are: transportion from field, sortasion, packaging and transportation to market, for modern market are: trnasportation from field, washing, sortasion and grading, packaging , labelling, storage and tranportation to modern market. The highest income is ocoured to farmers who have modern market purpose, with difference income between traditional market and modern market is about 1.535.000 rupiah. Keywords : handling STA, Farm Business, Revenue Profit, Return Cost Ratio
Kontribusi Penanganan Pasca Panen Wortel Terhadap Pendapatan Petani Sayuran Binaan Sub Terminal Agribisnis (STA) Cigombong Desa Ciherang Kabupaten Cianjur, Ir. Hj. Megawati Shiddieqy, M.Si & Wiwin Widiani, SP
74
*dosen Faperta Unsur **alumni Faperta Unsur PENDAHULUAN Hasil pertanian umumnya belum bermutu tinggi, berbagai kasus ditolaknya produk pertanian Indonesia di luar negeri disebabkan rendahnya mutu hasil , sehingga menyebabkan daya saing produk lokal dengan impor akan melemah (Gunawan, 2000) Kegiatan pascapanen bertujuan mempertahankan mutu produk segar agar tetap prima sampai ke tangan konsumen, menekan losses atau kehilangan karena penyusutan dan kerusakan, memperpanjang daya simpan dan meningkatkan nilai ekonomis hasil pertanian. Diperkirakan, kehilangan hasil sayuran masih relatif tinggi melebihi 20% (Lisdiana, 1994). Melalui penanganan pasca panen, diharapkan mutu hasil pertanian akan lebih meningkat, sehingga daya tahan dan harga jual lebih meningkat. Upaya perbaikan penanganan pasca panen hasil pertanian sangat diperlukan paling tidak untuk untuk dua hal, yaitu meningkatkan pendapatan dan mengurangi terbuangnya hasil pertanian, baik hasil utama maupun sampingan dengan penggunaan teknologi panen dan pasca panen. Produk holtikultura merupakan produk yang mudah rusak (perisable) sehingga butuh penanganan khusus pada tahapan pasca panen. Penanganan pasca panen buah dan sayuran di Kabupaten Cianjur belum mendapat perhatian yang cukup. Hal ini terlihat dari kerusakan-kerusakan pasca panen sebesar 25%-28%. Oleh sebab itu agar produk hortikultura terutama sayuran dapat sampai ke tangan konsumen
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
dalam kondisi baik perlu penanganan pasca panen yang benar dan sesuai. Bila pasca panen dilakukan dengan baik, kerusakan-kerusakan yang timbul dapat diperkecil bahkan dihindari, sehingga kerugian di tingkat konsumen dapat ditekan (Lisdiana, 1994). Disadari bahwa aksesibilitas petani terhadap teknologi panen dan pasca panen sangat terbatas, sehingga perlu adanya keterlibatan swasta dan pemerintah agar dapat membantu dan mendorong dalam meningkatkan teknologi panen dan pasca panen agar mutu hasil pertanian di Indonesia dapat meningkat. Upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu hasil pertanian terutama sayuran adalah dengan didirikannya STA Cigombong yang berfungsi sebagai tempat pembelian, pendidikan, latihan, promosi dan transaksi sayuran di Kabupaten Cianjur maupun Jawa Barat umumnya, selanjutnya pihak swasta adalah sebagai mitra usaha bagi petani yang lebih dibina baik teknis maupun operasional dalam bisnis sayuran. Di STA Cigombong, kemitraan petani dengan pasar tradisional dan pasar modern / swalayan, dengan perlakuan pasca panen yang berbeda. Proses penanganan pasca panen untuk pasar tradisional antara lain, proses pengepakan, sortasi, pembersihan, pengemasan dan pengangkutan. Sedangkan untuk pasar modern / swalayan adalah : proses pengumpulan, sortasi dan pembersihan, grading, proses pengemasan dan pelabelan, penyimpanan, dan proses pengangkutan. Untuk efisiensi maka penelitian ini hanya difokuskan kepada komoditas
75
wortel yang merupakan produk sayuran terbanyak diproduksi dan dipasarkan melalui STA Cigombong. Penelitian ini ditujukan untuk melihat perbandingan proses pasca panen wortel untuk pasar tradisional dan pasar modern / swalayan serta untuk mengetahui kontribusi perlakuan pasca panen komoditas wortel untuk pasar tradisional dan pasar modern / swalayan terhadap pendapatan petani wortel serta mengetahui effisiensi perlakuan pasca panen tersebut pada masing-masing proses penangan pasca panen serta untuk mengetahui fasilitas pelayanan yang tersedia di STA Cigombong. Perumusan Masalah Berdasarkan latarbelakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu: 1.Fasilitas pelayanan yang tersedia dan gambaran umum STA Cigombong. 2. Penanganan pasca panen yang dilakukan oleh petani wortel binaan STA Cigombong, 3. Besarnya kontribusi penanganan pasca panen terhadappendapatan petani wortel binaan STA Cigombong dan 4.. Effisiensi perlakuan pasca panen dari masing-masing tujuan pasar. METODE PENELITIAN Pengumpulan data: Proses pengumpulan data diperoleh dengan cara: 1. Wawancara: dilakukan kepada petani wortel binaan STA Cigombong 2. Survey: dengan cara mengumpulkan data dan informasi pelaksana kegiatan pasca panen yang
dilakukan petani binaan STA Cigombong 3. Observasi: dengan mencari data dan informasi ke instansi-instansi terkait yang menangani STA Cigombong Sampel penelitian : Sampel penelitian terdiri dari 30 orang petani wortel dengan metode purposive sampling (dipilih dengan sengaja), yang terdiri dari 15 orang petani wortel tujuan pasar tradisional dan 15 orang petani wortel tujuan pasar modern / swalayan. Analisis data: Data yang dikumpulkan dianalisis dengan metode deskriptif dan analisis biaya dan pendapatan. Untuk menganalisis kelayakan usaha dengan menggunakan analisis R/C ratio dan kontribusi penanganan pasca panen terhadap pendapatan petani MR = TR – TC HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Fasilitas Pelayanan dan Gambaran Umum Lokasi Penelitian Keberadaan STA Cigombong mulai tahun 2002 difungsikan sebagai pusat transaksi sayuran, khususnya Kabupaten Cianjur dan secara umum untuk Jawa Barat, dimana sebelumnya hanya sebagai pangkalan penjualan sederhana. Di samping itu STA juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, latihan, bagi petani dan pelaku bisnis, transaksi jual beli, promosi serta pelayanan sarana prasarana pasca panen sayuran. Manajemen pengelolaan STA Cigombong terdiri dari Badan Musyawarah yang terdiri dari perwakilan petani / kelompok tani, assosiasi pedagang dan pemerintah (dinas instansi terkait), sedangkan
Kontribusi Penanganan Pasca Panen Wortel Terhadap Pendapatan Petani Sayuran Binaan Sub Terminal Agribisnis (STA) Cigombong Desa Ciherang Kabupaten Cianjur, Ir. Hj. Megawati Shiddieqy, M.Si & Wiwin Widiani, SP
76
pengelola STA dari perwakilan kelompok petani serta pelaku usaha komoditas sayuran. Pelayanan yang dilakukan STA antara lain dari sarana prasarana pasca panen seperti: kantor, klinik agribisnis, tempat pengumpulan produk, tempat pencucian, gudang pendingin, tempat sortasi, pengemasan dan pelabelan serta parkir. Disamping itu terdapat juga kantor pusat informasi harga pasar sayuran. 2. Karakteristik Responden Karakteristik responden yang diteliti antara lain seperti berikut: a. Umur responden Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dari kelompok umur 31-40 tahun sebesar 43,33% dan umur 41-50 tahun sebesar 36,67% dan 20% dari kelompok umur 50 tahun. Secara Tabel 2. Tingkat Pendidikan Responden Jumlah Tingkat Persentase Petani Pendidikan (%) (orang) SD 18 60,00 SLTP 6 20,00 SLTA 5 16,67 S1 1 3,33 Jumlah 30 100,00 Sumber: Data Primer (olahan) Tahun 2009.
lengkap pengelompokkan umur responden dapat dilihat pada tabel 1. Menurut Setijaningsih (1998) bahwa usia kerja produktif dalam usaha pertanian pada kisaran antara 20 – 55 tahun, dimana usia berkaitan dengan kemampuan bekerja, berfikir dan dalam rangka pengambilan keputusan. Berdasarkan hal tersebut ditinjau dari umur menunjukkan bahwa lebih dari 80.00% responden tersebut kategori
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
usia kerja produktif, sehingga memungkinkan masih perpeluang meningkatkan produktifitas mereka. b. Tingkat Pendidikan dan pengalaman berusaha tani Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 60.8% responden berpendidikan SD, 20% berpendidikan SLTP, 16.67% berpendidikan SLTA dan hanya 3.33% berpendidikan S1. Kalau dikaitkan dengan pendidikan yang mayoritas tamat SD, namun dengan pengalaman berusaha tani waktu 5 tahun, diharapkan pola pikir serta kemampuan responden dalam mengelola usaha taninya dapat mengikuti perubahan teknologi dan dapat diterapkan Secara lengkap tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada tabel 2. Menurut Martono (1995), bahwa Tabel 1. Kelompok Umur Responden Kelompok Jumlah Persentase Umur Petani (%) (tahun) (orang) 31-40 13 43,33 41-50
11
36,67
51-60
4
13,33
61-70
2
6,67
30
100,00
Jumlah Sumber: Data
Primer (olahan) Tahun
2009 tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap pola pikir serta kemampuan seseorang dalam mengelola suatu usaha, serta dapat mengubah dan menerima sikap perubahan serta bagaimana menerapkannya. Pengalaman berusaha tani dari responden yang diteliti adalah berpengalaman 5-10 tahun yaitu
77
26.67%, 11-15 tahun 46.67%, 16-20 tahun 6.67%, 21-25 tahun sebesar 10
%, 26-30 tahun 6.67% dan >30 tahun sebesar 3.33%.
Walaupun mayoritas responden berpengalaman berusaha tani antara 11-15 tahun dan 5-10 tahun, namun secara keseluruhan sama dengan responden telah berpengalaman diatas 5 tahun.
c. Penanganan Pasca Panen yang dilaksanakan oleh Petani Binaan STA Cigombong.
Tabel 3.Pengalaman Berusaha tani Sayuran penelitian Pengelaman Jumlah Persentase Berusahatani Petani (%) (tahun) (orang) 5-10 8 26,67 11-15 14 46,67 16-20 2 6,67 21-25 3 10,00 26-30 2 6,67 >30 1 3,33 Jumlah 30 100,00
1. Tujuan Pasar Tradisional Untuk tujuan pasar tradisional penanganan pasca panen yang dilakukan oleh petani adalah : proses pengumpulan sayuran dengan wadah karung plastik, kantong plastik atau keranjang pikulan bambu yang dilakukan pagi hari. Kemudian proses sortasi dan pembersihan, pengemasan dengan wadah waring atau kantong plastik dengan volume 25kg atau 50 Kg. lalu kemudian diangkut ke pasar tradisional. Secara jelas alur penanganan pasca panen untuk tujuan pasar taradisional dapat terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Alur penanganan pasca panen di petani binaan STA Cigombong Tujuan Pasar Tradisional
2. Tujuan pasar modern / swalayan Penanganan pasca panen yang dilakkan petani adalah sebagai berikut :
proses pengumpulan sayuran dengan kontainer plastik, proses sortasi, pembersihan, gradding (pengelompokkan sesuai ukuran),
Kontribusi Penanganan Pasca Panen Wortel Terhadap Pendapatan Petani Sayuran Binaan Sub Terminal Agribisnis (STA) Cigombong Desa Ciherang Kabupaten Cianjur, Ir. Hj. Megawati Shiddieqy, M.Si & Wiwin Widiani, SP
78
pengemasan dengan volume kecil(0.25 Kg, 0.5 Kg) dengan menggunakan baru kemudian diangkut ke pasar tujuan. 3. Tujuan pasar modern / swalayan Penanganna pasca panen yang dilakkan petani adalah sebagai berikut : proses pengumpulan sayuran dengan kontainer plastik, proses sortasi, pembersihan, gradding (pengelompokkan sesuai ukuran), pengemasan dengan volume kecil(0.25 Kg, 0.5 Kg) dengan menggunakan
stryrofoam ditutup plastik kedap udara, penyimpanan dalam gudang pendingin, stryrofoam ditutup plastik kedap udara, penyimpanan dalam gudang pendingin, baru kemudian diangkut ke pasar tujuan. Untuk lebih jelas, alur penanganan pasca panen untuk tujuan pasar modern/swalayan dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Alur penanganan pasca panen di petani binaan STA Cigombong Tujuan Pasar Modern
d. Penanganan Pasca Panen terhadap Pendapatan Petani Sayuran Binaan STA Cigombong Kabupaten Cianjur. Analisis mengenai kontribusi penanganan pasca panen untuk tujuan pasar tradisional dan pasar modern
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
terhadap pendapatan petani wortel binaaan STA Cigombong, diperoleh dari hasil analisis perhitungan total biaya,total penerimaan, pendapatan dan analisis effiisiensi usaha (R/C ratio), yang dapat dilihat pada Tabel 4, Tabel 5, Tabel 6.
79
Tabel 4. Analisis Usaha Komoditas Wortel dalam 1 Hektar dengan Penjualan Langsung ke Tengkulak (tanpa perlakuan penanganan pasca panen) Harga Satuan Jumlah Total Uraian Volume (RP) (Rp) Biaya Tenaga Kerja 12
HOK
20.000
240.000
Pemupukan I
5
HOK
20.000
100.000
Pemupukan II
5
HOK
20.000
100.000
Perawatan
3
HOK
20.000
60.000
Panen
5
HOK
20.000
100.000
Pengolahan Lahan
600.000
Jumlah Biaya Tenaga Kerja
-
Biaya Pupuk 10.000
Kg
100
1.000.000
Urea
100
Kg
1.600
160.000
Za
200
Kg
3.000
600.000
10
Kg
10.000
1
Ha
Pupuk Kandang
1.760.000
Jumlah Biaya Pupuk Biaya Benih Biaya Sewa Lahan/Musim
4.500.000 6.960.000
Total Biaya (TC) Penerimaan (TR)
100.000
15.000
Kg
550
8.250.000 1.290.000
Pendapatan (I)
1,19
Analisis R/C ratio Sumber data: Data Primer (diolah) Tahun 2009
Dari data Tabel 4, ternyata bahwa wortel yang dijual setelah panen tanpa penanganan pasca panen memberikan kontribusi pendapatan terbesar Rp.
1.290.000 dengan R/C ratio sebesar 1.19, yang berarti usaha tani wortel tersebut sudah effisien.
Tabel 5. Analisis Usaha Komoditas Wortel dalam 1 Hektar dengan Penjualan ke Pasar Tradisional Kramat Jati Jakarta. Harga Satuan Uraian Volume Jumlah Total (RP) Biaya Tenaga Kerja 12
HOK
20.000
240.000
Pemupukan I
5
HOK
20.000
100.000
Pemupukan II
5
HOK
20.000
100.000
Perawatan
3
HOK
20.000
60.000
Panen
5
HOK
20.000
100.000
Pengolahan Lahan
600.000
Jumlah Biaya Tenaga Kerja
-
Pengelolahan Pasca Panen Pengumpulan Sortasi
3 2
HOK
20.000
60.000
HOK
20.000
40.000
Kontribusi Penanganan Pasca Panen Wortel Terhadap Pendapatan Petani Sayuran Binaan Sub Terminal Agribisnis (STA) Cigombong Desa Ciherang Kabupaten Cianjur, Ir. Hj. Megawati Shiddieqy, M.Si & Wiwin Widiani, SP
80
Pembersihan
2
HOK
20.000
40.000
Pengemasan
3
HOK
20.000
60.000
Angkut
2
HOK
20.000
40.000 240.000
Jumlah Biaya Pasca Panen 1
Sewa Mobil
Kali (PP)
300.000
300.000 -
Biaya Pembelian Bahan 10
Plastik 60 x 85 cm
Kg
18000
180.000 -
Biaya Pupuk 10.000
Kg
100
1.000.000
Urea
100
Kg
1.600
160.000
Za
200
Kg
3.000
Pupuk Kandang
10
Kg
1
Ha
15.000
Kg
Biaya Benih Biaya Sewa Lahan/Musim
10.000
100.000 4.500.000 7.680.000
Total Biaya (TC) Penerimaan (TR)
600.000 1.760.000
Jumlah Biaya Pupuk
620
Pendapatan (I)
9.300.000 1.620.000
Analisis R/C ratio
1,21
Sumber data: Data Primer (diolah) Tahun 2009
Dari data pada tabel 5, ternyata bahwa dengan penanganan pasca panen untuk tujuan pasar tradisional dengan penambahan biaya sebesar Rp. 240.000,- , dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 1.620.000,-
dengan analisis R/C ratio sebesar 1.21 yang berarti usaha tani dengan perlakuan pasca panen lebih efisien bila dibandingkan dengan tanpa perlakuan pasca panen
Tabel 6. Analisis Usaha Komoditas Wortel dalam 1 Hektar dengan Penjualan ke Pasar Modern Supermarket Jogja Mangga Dua Jakarta. Harga Satuan Uraian Volume (RP) Jumlah Total Biaya Tenaga Kerja Pengolahan Lahan
12
HOK
20.000
240.000
Pemupukan I
5
HOK
20.000
100.000
Pemupukan II
5
HOK
20.000
100.000
Perawatan
3
HOK
20.000
60.000
Panen
5
HOK
20.000
100.000
Jumlah Biaya Tenaga Kerja
600.000
Pengelolahan Pasca Panen
-
Pengumpulan
3
HOK
20.000
60.000
Sortasi
2
HOK
20.000
40.000
Pembersihan
2
HOK
20.000
40.000
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
81
Pengemasan
3
HOK
20.000
60.000
Pelabelan
2
HOK
20.000
40.000
Angkut
2
HOK
20.000
40.000
1
Kali (PP)
Jumlah Biaya Pasca Panen
280.000
Biaya Sewa Mobil
300.000
300.000
Biaya Pembelian Bahan
-
Plastik 60 x 85 cm
10
Kg
18000
180.000
10.000
Kg
100
1.000.000
Urea
100
Kg
1.600
160.000
Za
200
Kg
3.000
600.000
10
Kg
10.000
1
Ha
Biaya Pupuk Pupuk Kandang
-
Jumlah Biaya Pupuk
1.760.000
Biaya Benih Biaya Sewa Lahan/Musim
4.500.000
Total Biaya (TC) Penerimaan (TR)
100.000 7.720.000
15.000
Pendapatan (I)
Kg
725
10.875.000 3.155.000
Analisis R/C ratio
1,41
Sumber data: Data Primer (diolah) Tahun 2009
Dari data pada tabel 6, ternyata penanganan pasca panen lebih lengkap untuk tujuan pasar modern, menunjukkan bahwa dengan penambahan biaya sebesar Rp. 280.00,petani mendapatkan pendapatan sebesar Rp. 3.155.000,- dengan analisis R/C ratio 1.41, yang berarti usaha tani wortel dengan penanganan pasca panen yang lebih lengkaptersebut lebih efisien dibandingkan dengan tujuan
pasar tradisional yang tanpa penanganan pasca panen maupun dengan pasca panen yang lengkap tujuan pasar tradisional. e. Kontribusi dan selisih pengelolaan pasca panen antara tujuan pasar tradisional dan tujuan pasar modern
Kontribusi Penanganan Pasca Panen Wortel Terhadap Pendapatan Petani Sayuran Binaan Sub Terminal Agribisnis (STA) Cigombong Desa Ciherang Kabupaten Cianjur, Ir. Hj. Megawati Shiddieqy, M.Si & Wiwin Widiani, SP
82
Dari data tabel 7, menunjukkan bahwa selisih pendapatan penanganan pasca panen tujuan pasar tradisional dengan pasar modern adalah sebesar Rp. 1.535.000 atau sebesar 0.94%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penanganan pasca panen lengkap untuk tujuan pasar odern dan dengan penambahan biaya yang relatif kecil (sebesar Rp. 280.000) memberikan kontribusi pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan petani dengan tujuan pasar tradisional. KESIMPULAN 1. Fasilitas pelayanan yang tersedia di STA Cigombong antara lain sarana dan prasarana penanganan pasca panen seperti : kantor, klinik agribisnis, tempat pengumpulan produk, tempat pencucian, gudang pendingin, tempat
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
sortasi, pengemasan dan pelabelan, sarana parkir serta pusat informasi harga pasar sayuran. 2. Penanganan pasca panen yang dilakukan petani wortel binaan STA Cigombong yaitu: untuk tujuan pasar tradisional meliputi proses : pengumpulan wortel dengan wadah karung/ kantong plastik atau keranjang bambu, sortasi dan pembersihan, pengemasan dalam karung/ kantong plastik volume di atas 25 Kg dan angkutan / transportasi; sedangkan penanganan pasca panen untuk tujuan pasar modern meliputi proses pengumpulan dengan wadah kontainer plastik, sortasi, pembersihan, gradding, pengemasan dengan wadah styrofoam ditutup plastik, pelabelan dan angkutan / transportasi. 1. Kontribusi pendapatan petani yang melakukan penanganan pasca panen untuk tujuan pasar modern
83
paling besar dengan selisih sebesar Rp. 1.535.000,- bila dibandingkan dengan tujuan pasar tradisional. Saran 1. Agar penanganan pasca panen sayuran yang dilakukan petani binaan STA Cigombong lebih ditingkatkan dan memperhatikan kaidah-kaidah kesehatan. 2. Agar pembinaan maupun pendidikan dan pelatihan bagi petani binaan STA Cigombong lebih ditingkatkan diperluas tidak hanya petani binaan STA Cigombong tetapi juga untuk petani lainnya. 3. Aktifitas pelayanan di STA Cigombong juga perlu Cara Penanganan Pascapanen Hortikultura. Deptan. Jakarta.
ditingkatkan demi keberlangsungan fungsinya sebagai STA. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Pangan dan Kesehatan. IPTEK. Jakarta. Gunawan S. 2000. Pengaruh Pengelolaa Pasca Panen Sayuran Pakcoy terhadap Lisdiana. 1994. Memilih dan Mengolah Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta. Martono, S. 1995. Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Produktifitas . Duta Rimba. Jakarta Setijaningsih. 1998. Strategi Pembangunan Ekonomi Melalui Pengembangan Pertanian, PT.Bina Rena Pariwisata, Jakarta.
Kontribusi Penanganan Pasca Panen Wortel Terhadap Pendapatan Petani Sayuran Binaan Sub Terminal Agribisnis (STA) Cigombong Desa Ciherang Kabupaten Cianjur, Ir. Hj. Megawati Shiddieqy, M.Si & Wiwin Widiani, SP
84
PEMANFAATAN SAMPAH SAYURAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI DI KELOMPOK TANI AGRO SEGAR DESA CIHERANG KECAMATAN PACET KABUPATEN CIANJUR Oleh : Rosda Malia, S.P.,M.Si * R.M. Mamun, S.P **
RINGKASAN
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatan pendapatan petani yaitu dengan memanfaatkan sampah sayuran. Selain mengurangi masalah-masalah yang disebabkan oleh sampah, petani juga akan merasakan keuntungan dari kegiatan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui potensi dan pemanfaatan sampah sayuran, mengetahui biaya dan pendapatan usaha pemanfaatan sampah sayuran, mengetahui efisiensi biaya pupuk yang diperoleh dari pemanfaatan sampah sayuran dan mengetahui peningkatan pendapatan dari penjualan pupuk organik di Kelompok Tani Agro Segar Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif (descriptive research), dengan teknik pengambilan data menggunakan wawancara, observasi dan kajian pustaka. Responden yang terlibat sebanyak 30 orang yang diperoleh dengan metode sensus. Hasil penelitian diperoleh bahwa potensi sampah sayuran di kelompok tani Agro Segar sangat melimpah pada tahun 2011 mencapai 564.593 kg. Hasil pengolahan sampah sebanyak 564.593 kg/tahun diperoleh penerimaan sebesar Rp. 1.475.394.593 dan dikeluarkan biaya produksi mencapai Rp.797.092.232. Sehingga hasil perhitungan B/C rasio diperoleh sebesar 2. Kata Kunci : sampah organik, biaya dan pendapatan.
ABSTRACT One way that can be done in order to increase farmers income is by using vegetable wast. In addition to reducing the problems coused by waste, farmers will also benefit from these activities.The purpose of this research is to know the potential and utilzation of vegetable waste, knowing the cost and income of vegetable waste utilization busines, knowing the efficiency of fertilizer cost from the use of waste vegetable and know the increase in revenue from the sale of organic fertilizer in Agro Segar Farmers Group. Kind of reserarch is descriptive research, with data retrieval techinques using interviews, observation and literature review. Respondents who are involved as many as 30 people who obtained the census method. The results obtaned that the potential for waste vegetable Agro Segar Farmer Groups very aboundent in the year 2011 reached 564.593 kg. The results of processing as much as 564.593 kg of waste/ year the total profits derived from the use of vegetable waste in Agro Segar Farmer Groups is Rp. 1.475.394.593. and the procution cost reaches Rp.797.092.232. So that the calculated B/C rasio obtained for 2. * Dosen Faperta UNSUR ** Alumni Faperta UNSUR
Pemanfaatan Sampah Sayuran Untuk Meningkatkan Pendapatan Petani di Kelompok Tani Agro Segar Desa Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur, Rosda Malia, SP.,M.Si & R.M. Ma’mun, SP
85
PENDAHULUAN Sumber daya alam Kecamatan Pacet sangat potensial untuk pengembangan berbagai jenis komoditi sayuran dataran tinggi yang bernilai komersial, juga ditunjung oleh kedekatan geografis terhadap sentrasentra konsumen di kota yaitu kawasan Bojabek (Bogor, Jakarta, dan Bekasi). Oleh karena itu Kecamatan Pacet mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga terbuka peluang usaha sektor petanian yang bernuansa agribisnis. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan petani yaitu dengan memanfaatkan sampah sayuran. Selain akan mengurangi masalah-masalah yang disebabkan oleh sampah, petani juga akan merasakan keuntungan dari kegiatan tersebut Bentuk kongkrit dari pemanfaatan sampah yaitu dibuat menjadi kompos dan biogas. Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses pembusukan zat organik secara anaerob (Prihanto, 1996). Menurut Adiningsih dan Soepartini (1995), secara umum yang banyak dijual dalam volume banyak adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran sapi, domba, ayam serta sampah organik dari sayuran. Sumber bahan-bahan untuk pupuk organik tersebut secara ekonomi dapat dihitung sesuai dengan harga umum di pasaran. Selain teknologi, aspek ekonomi, tentu peran serta petani dalam pengelolaan sampah sayuran sangat dibutuhkan untuk peningkatan pendapatan petani. Pengelolaan sampah sudah dilakukan oleh Kelompok Tani Agro Segar Desa Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur terutama
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
dimanfaatkan untuk kompos dan bokhasi Tujuan penelitian ini adalah mengetahui potensi dan pemanfaatan sampah sayuran, mengetahui biaya dan pendapatan usaha pemanfaatan sampah sayuran, mengetahui efisiensi biaya pupuk yang diperoleh dari pemanfaatan sampah sayuran dan mengetahui peningkatan pendapatan dari penjualan pupuk organik di Kelompok Tani Agro Segar Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan mulai tanggal 1 Februari 2012 sampai dengan 1 Maret 2012 di Kelompok Tani Agro Segar Desa Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur. Pengumpulan data penelitian yang berupa data primer dan data sekunder, diperoleh melalui : wawancara, observasi dan studi pustaka. Responden penelitian yakni 30 orang anggota Kelompok Tani Agro Segar Desa Ciherang Kecamatan Pacet. Pengolahan data penelitian ini menggunakan perangkat lunak komputer dengan aplikasi Microsoft Office Excel dan yang lainnya yang bisa membantu dalam pengolahan data praktek ini. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif (descriptive research), yaitu jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti. Dengan ciri-ciri sebagai berikut : berhubungan dengan keadaan yang terjadi saat ini, menguraikan satu variabel saja atau beberapa variabel
86
namun diuraikan satu persatu dan variabel yang diteliti tidak dimanipulasi atau tidak ada perlakuan (treatment) (Kountur, 2004). HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kelompok Tani Agro Segar Kelompok Tani Agro Segar berada di Desa Ciherang Kecamatan Pacet dengan alamat sekretariat kelompok di Jl. Raya Cipanas-Cianjur Km 5 Kampung Cigombong Desa Ciherang. Kelompok Tani Agro Segar dibentuk pada tanggal 16 Maret 2006 atas inisiatif para petani yang ada di Kampung Cigombong RT. 02 RW. 04. Karakteristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini dianalisis dari segi : umur, pendidikan dan pengalaman usahatani responden. Responden dalam penelitian ini mempunyai umur terendah 21 tahun dan umur tertinggi adalah 60 tahun. Sebagian besar responden berada pada usia kerja produktif yaitu antara 25 tahun sampai dengan 55 tahun. Mayoritas responden (73.33%) berpendidikan sekolah dasar (SD). Bila dianalisis dari pendidikan formal yang ditempuh responden, maka perlu ditambah lagi dengan berbagai pendidikan yang bersifat non formal khususnya dalam peningkatan pengetahuan dan keterampilan bidang pengelolaan dan pemanfaatan sampah. Dengan peningkatan pendidikan dan keterampilan tersebut, diharapkan responden lebih mudah menerima inovasi teknologi dan teknik-teknik
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sampah. Pengalaman usahatani khususnya dalam usahatani padi sawah, responden mempunyai pengalaman mulai dari 10 tahun sampai dengan 33 tahun. Potensi sampah sayuran di Kelompok Tani Agro Segar Menurut kamus lingkungan (1994) sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga, bahan yang ditolak atau buangan, barang rusak atau cacat. Menurut Azwar (1990) sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, umumnya berasal dari kegiatan manusia dan bersifat padat. Sampah bila dibiarkan menumpuk tentu akan menjadi masalah, namun hal tersebut tidak terjadi pada anggota Kelompok Tani Agro Segar karena mereka mengumpulkan sampah sayuran setiap harinya di tempat khusus yang dikenal dengan rumah kompos, yaitu bangunan milik Kelompok Tani Agro Segar yang dilengkapi mesin-mesin pengolah sampah sayuran (gambar 1).
Gambar 1. Mesin Pengolah Sampah Sayuran Kelompok Tani Agro Segar
Pemanfaatan Sampah Sayuran Untuk Meningkatkan Pendapatan Petani di Kelompok Tani Agro Segar Desa Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur, Rosda Malia, SP.,M.Si & R.M. Ma’mun, SP
87
Potensi sampah sayuran di Kelompok Tani Agro Segar dapat
dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Potensi Sampah Sayuran Di Kelompok Tani Agro Segar Tahun 2011 Sumber : Buku Produksi Sampah Kelompok Tani Agro Segar, 2011
Gambar 2 di atas dapat dijelaskan bahwa potensi sampah sayuran di Kelompok Tani Agro Segar selama tahun 2011 mencapai 564.593 kg, dengan rata-rata potensi sampah perbulan mencapai 47.049 kg. Potensi sampah tersebut secara umum diperoleh dari luas kebun yang dijadikan usaha tani oleh anggota Kelompok Tani Agro Segar, dimana jumlah total dari 30 orang anggota mencapai 10,78 ha dengan rata-rata per anggota mempunyai luas kebun usaha tani mencapai 0,36 ha.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
Pemanfaatan sampah sayuran di Kelompok Tani Agro Segar Sampah sayuran diolah menjadi kompos dan pupuk bokhasi. Kompos adalah bahan organik yang telak lapuk, seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dadak padi, batang jagung dan lain-lain (Murbandono, 1991). Sementara pupuk bokhasi adalah pupuk organik cair ( gambar 3 ). Potensi sampah yang dimanfaatkan untuk kompos mencapai 86,96% dan sisanya 13,04% dimanfaatkan untuk pupuk bokhasi. Hal ini karena alat atau mesin pengolah sampah untuk pembuatan pupuk bokhasi belum ada, selain itu mayoritas
88
permintaan kepada Kelompok Tani
Agro Segar berupa kompos.
Gambar 3. Hasil Pembuatan Pupuk Bokhasi yang Sudah Dikemas
Analisis Biaya Usaha Pemanfaatan Sampah Sayuran Analisis mengenai biaya usaha pemanfaatan sampah sayuran di
Kelompok Tani Agro Segar Tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini
Tabel 1. Biaya Usaha Pemanfaatan Sampah Sayuran di Kelompok Tani Agro Segar Bulan Biaya Kompos Biaya Bokhasi Total Biaya Januari 18.832.040 2.824.806 21.656.846 Februari 24.891.140 3.733.671 28.624.811 Maret 41.632.120 6.244.818 47.876.938 April 44.496.900 6.674.535 51.171.435 Mei 66.508.000 9.976.200 76.484.200 Juni 67.202.000 10.080.300 77.282.300 Juli 71.050.000 10.657.500 81.707.500 Agustus 88.303.000 13.245.450 101.548.450 September 84.249.000 12.637.350 96.886.350 Oktober 67.243.000 10.086.450 77.329.450 Nopember 71.417.280 10.712.592 82.129.872 Desember 47.299.200 7.094.880 54394.080 Jumlah Total 693.123.680 103.968.552 797.092.232 Sumber: Buku Produksi Sampah Kelompok Tani Agro Segar, 2011
Dari Tabel 1. terlihat persentase biaya pembuatan pupuk kompos mencapai 86,96% dari total
biaya pemanfaatan sampah sayuran di Kelompok Tani Agro Segar
Pemanfaatan Sampah Sayuran Untuk Meningkatkan Pendapatan Petani di Kelompok Tani Agro Segar Desa Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur, Rosda Malia, SP.,M.Si & R.M. Ma’mun, SP
89
Tabel 2.
Rincian Biaya Pemanfaatan Sampah Sayuran untuk Pembuatan Kompos di Kelompok Tani Agro Segar Tahun 2011. Biaya (Rp) Bulan Kantong dan Pengomposan Pengemasan Angkut Karung Januari 5.744.440 5.022.000 3.624.800 4.440.800 Februari 7.486.640 6.380.200 4.576.800 6.447.500 Maret 12.387.980 10.727.000 7.964.040 10.553.100 April 12.713.400 14.126.000 7.063.000 10.594.500 Mei 19.098.000 21.020.000 10.700.000 15.690.000 Juni 18.720.000 19.106.000 12.528.000 16.848.000 Juli 19.524.000 20.919.000 13.420.000 17.187.000 Agustus 25.884.000 27.384.000 14.100.000 20.935.000 September 23.504.000 24.820.000 15.490.000 20.435.000 Oktober 18.028.000 19.910.000 11.610.000 17.695.000 Nopember 19.522.080 21.691.200 12.795.600 17.408.400 Desember 13.633.200 15.068.000 7.594.000 11.004.000 Jumlah Total 196.245.740 206.173.400 121.466.240 169.238.300 Rata-rata Biaya 16.353.812 17.181.117 10.122.187 14.103.192 Persentase Biaya (%) 28,31 29,75 17,52 24,42 Sumber: Buku Produksi Sampah Kelompok Tani Agro Segar, 2011
Tabel 2. di atas menjelaskan bahwa total biaya pembuatan pupuk kompos selama tahun 2011 untuk pembelian kantong dan karung mencapai Rp. 196.245.740, biaya pengomposan mencapai
Rp.206.173.400, biaya pengemasan mencapai Rp. 121.466.240 dan biaya angkut yang dibebankan baik untuk tenaga kerja maupun sarana angkut seperti kendaraan pengangkut hasil kompos mencapai Rp. 169.238.300.
Tabel 3.
Rincian Biaya Pemanfaatan Sampah Sayuran untuk Pembuatan Bokhasi di Kelompok Tani Agro Segar Tahun 2011. Biaya (Rp) Bulan Total Biaya Tenaga Kerja Bakteri EM4 Kemasan Januari 1.111.843 718.348 994.614 2.824.806 Februari 1.469.572 949.472 1.314.626 3.733.671 Maret 2.457.960 1.588.057 2.198.800 6.244.818 April 2627.096 1.697.334 2.350.104 6.674.535 Mei 3.926.632 2.536.947 3.512.620 9.976.200 Juni 3.967.606 2.563.420 3.549.274 10.080.300 Juli 4.194.792 2.710.202 3.752.506 10.657.500 Agustus 5.213.409 3.368.317 4.663.723 13.245.450 September 4.974.060 3.213.678 4.449.611 12.637.350 Oktober 3.970.026 2.564.984 3.551.439 10.086.450 Nopember 10.712.592 4.216.476 2.724.212 3.771.904
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
90
Desember 2.792.544 1.804.227 Total 40.922.022 26.439.202 Persentase 39,36 25,43 Sumber: Buku Produksi Sampah Kelompok Tani Agro Segar, 2011
2.498.107 36.607.327 35,21
7.094.880 103.968.552 100
Tabel 3. di atas terlihat bahwa pada pembuatan pupuk bokhasi, biaya terbesar dialokasikan untuk tenaga kerja. Analisis Pendapatan Usaha Pemanfaatan Sampah Sayuran Menurut Hadisapoetro dalam Ken Suratiyah (2006) penerimaan adalah seluruh pendapatan kotor yang diperoleh dari suatu Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah
usaha dalam periode tertentu. Penerimaan dari penjualan kompos dan bokhasi terdapat pada tabel 4.
Tabel 4. Penerimaan dari Penjualan Pupuk Organik Tahun 2011 Penjualan Kompos (Rp) Penjualan Pupuk Bokhasi (Rp) Jumlah (Rp) 39.159.460 55.202.860 81.487.380 79.105.600 119.867.000 115.498.000 160.300.000 163.347.000 132.926.000 143.982.000 118.380.720 73.695.800 1.282.951.820
Karena penerimaan sebesar Rp. 1.475.394.593 dan biaya produksi mencapai Rp.797.092.232 maka diperoleh pendapatan sebesar Rp 678.302.361. Sehingga hasil perhitungan B/C rasio diperoleh sebesar 2, ini berarti bahwa usaha pemanfaatan sampah sayuran di Kelompok Tani Agro Segar tersebut sangat menguntungkan. Penerimaan dari penjualan pupuk kompos mencapai Rp. 1.282.951.820/tahun, sedangkan
5.873.919 8.280.429 12.223.107 11.865.840 17.980.050 17.324.700 24.045.000 24.502.050 19.938.900 21.597.300 17.757.108 11.054.370 192.442.773
45.033.379 63.483.289 93.710.487 90.971.440 137.847.050 132.822.700 184.345.000 187.849.050 152.864.900 165.579.300 136.137.828 84.750.170 1.475.394.593
penerimaan dari pupuk bokhasi hanya mencapai Rp. 192.442.777. Efisiensi biaya pupuk yang diperoleh dari pemanfaatan sampah sayuran di Kelompok Tani Agro Segar Pemanfaatan sampah sayuran di Kelompok Tani Agro Segar selain dibuatkan kompos untuk dijual dan dipakai sendiri oleh anggota kelompok tani. Adapun persentase pemanfaatan pupuk organik kompos yang dijual
Pemanfaatan Sampah Sayuran Untuk Meningkatkan Pendapatan Petani di Kelompok Tani Agro Segar Desa Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur, Rosda Malia, SP.,M.Si & R.M. Ma’mun, SP
91
mencapai 67% dan sisanya 33% dipakai sendiri. Perhitungan mengenai efisiensi biaya pupuk antara sebelum dan sesudah pemanfaatan sampah sayuran di Kelompok Tani Agro Segar hasil observasi dan wawancara secara langsung. Mayoritas petani memanfaatkan lahan perkebunannya secara tumpangsari atau istilah petani di Desa Ciherang “Gendong Rewok” Tabel 5. Uraian
yaitu dalam satu bedeng ditanami ratarata 2-3 jenis tanaman seperti wortel dengan bawang daun, bawang daun dengan caisin dan seledri. 20 orang dari 30 responden (65%) bertanam wortel, sehingga peneliti hanya menganalisis biaya pupuk sebelum dan sesudah pemanfaatan sampah sayuran pada sayuran wortel. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Efisiensi Biaya Usahatani Wortel Setelah Menggunakan Pupuk Organik Sebelum Pemanfaatan Sesudah Pemanfaatan Volume Kg/ha
Biaya Sewa Lahan
Biaya (Rp)
1 ha/musim
Volume Kg/ha
1.700.000
Biaya (Rp)
1 ha/musim
1.700.000
Biaya Tenaga Kerja
850.000
850.000
Biaya Benih
100.000
100.000
Biaya Pupuk a. Urea
497
994.000
100
200.000
b. SP 36
311
933.000
0
-
c. KCl
224
784.000
30
105.000
-
-
1500
1.500.000
d. Pupuk Kompos Jumlah Biaya Pupuk Efisiensi Biaya Pupuk Jumlah Biaya (C) Jumlah Produksi
2.711.000
1.805.000 906.000
5.361.000 15.000
-
Harga per-Kg Penerimaan (R)
4.455.000 16.000
-
800
800
12.000.000
12.800.000
6.639.000
8.345.000
1,24
1,87
Pendapatan (B) Efisiensi Usaha (B/C) Sumber: Hasil Olah Data, 2012
Tabel 5. di atas terlihat sebelum memakai pupuk organik, biaya pupuk menanam wortel di lahan 1 ha mencapai Rp. 2.711.000 dan sesudah memakai pupuk organik, petani hanya mengeluarkan biaya pupuk sebesar Rp. 1.805.000. Jumlah produksi wortel sebelum pemanfaatan sampah sayuran sebesar 15.000 kg, sedangkan setelah
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
adanya pemanfaatan sampah mencapai 16.000. Karena harga wortel pada saat penelitian mencapai Rp. 800/kg maka terdapat peningkatan penerimaan sebesar Rp. 800.000. Setelah memanfaatkan pupuk sampah sayuran buatan sendiri, akan diperoleh peningkatan pendapatan sebesar Rp 1.706.000. Artinya pemanfaatan sampah sayuran
92
membantu petani meminimalkan biaya pupuk dan meningkatkan produksi sayuran. Hasil penelitian tersebut sama dengan hasil penelitian Sudaryanto (2008) dan Suryono (2006) yang menunjukan bahwa pemanfaatan pupuk organik dari sampah sayuran dapat meningkatkan produksi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Potensi sampah sayuran di Kelompok Tani Agro Segar sangat melimpah pada tahun 2011 mencapai 564.593 kg. Pemanfaatan sampah sayuran di Kelompok Tani Agro Segar dimanfaatkan untuk pupuk kompos dan pupuk bokhasi, yang hasilnya dipakai dikebun sendiri dan dijual ke PT. Greenland Agro Persada. 2. Hasil pengolahan sampah sebanyak 564.593 kg/tahun diperoleh penerimaan sebesar Rp. 1.475.394.593 dan biaya produksi mencapai Rp.797.092.232 maka diperoleh pendapatan sebesar Rp 678.302.361. Hasil perhitungan B/C rasio diperoleh nilai sebesar 2. Artinya usaha pemanfaatan sampah sayuran sangat menguntungkan. 3.
Penerimaan dari penjualan pupuk kompos mencapai Rp. 1.282.951.820/tahun, sedangkan penerimaan dari pupuk bokhasi hanya mencapai Rp. 192.442.777.
4.
Sesudah memakai pupuk organic buatan sendiri, petani anggota kelompok tani Agro Segar hanya mengeluarkan biaya pupuk sebesar Rp. 1.805.000. Selain itu pemanfaatan pupuk organik dari sampah sayuran dapat meningkatkan produksi sebesar 1.000 kg sehingga penerimaan meningkat sebesar Rp. 800.000.
Saran 1. Pemanfaatan sampah sangat menguntungkan petani sayuran karena dapat menambah penghasilan. Hal ini perlu terus ditingkatkan, melalui penyuluhan dan pembinaan yang lebih baik dari intansi-intansi terkait. 2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan sampah khususnya sampah sayuran, yang dapat meningkatan produksi sayuran. 3. Potensi pengolahan sampah sayuran untuk dibuat pupuk organic perlu dikembangkan dan diterapkan, terutama di kelompok – kelompok tani lainnya. DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, J.S. dan M. Soepartini. 1995. Pengelolaan Pupuk pada Sistem Usahatani Lahan Sawah. Makalah Apresiasi Metodologi
Pemanfaatan Sampah Sayuran Untuk Meningkatkan Pendapatan Petani di Kelompok Tani Agro Segar Desa Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur, Rosda Malia, SP.,M.Si & R.M. Ma’mun, SP
93
Pengkajian Sistem Usahatani Berbasis Padi dengan Wawasan Agribisnis. Bogor 7-9 September 1995. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Anonim. 1994. Kamus Lingkungan. Cet. 3. Balai Pustaka. Jakarta. Azwar. 1990. Hubungan Kesehatan dan Pengelolaan Sampah di Lingkungan Masyarakat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Ken Suratiyah. 2006. Ilmu Usahatani. Swadaya. Jakarta Kountur, R. 2004. Metode Penelitian, untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Penerbit PPM. Jakarta.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
Murbandono. 1991. Membuat Kompos. Jakarta: Penebar Swadaya. Prihanto, D. dkk. 1996. Sampah dan Pengelolaannya. Malang: PTPGT VEDC Malang. Sudaryanto P. 2011. Analisis Kontribusi Pemanfaatan Sampah Terhadap Peningkatan Produksi Sayuran Studi Kasus di Daerah Lembang Bandung. Pusat Kajian Sosial dan Ekonomi Pertanian. Bogor. Suryono R. 2006. Analisis Ekonomi Aplikasi Pupuk Kompos Dari Sampah Sayuran (Studi Pada Komoditas Bawang Daun di Kabupaten Bandung). Pusat Kajian Sosial dan Ekonomi Pertanian. Bogor.
94
KAJIAN PENGARUH ASPEK TEKNIS DAN OPERASIONAL PENANGKAPAN IKAN MENGGUNAKAN PAYANG (DANISH SEINE) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU SUKABUMI Oleh : R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi * Pagiyar, S.Pi **
Ringkasan Prosentase keberhasilan pada penangkapan payang yang ada di PPN Palabuhanratu lebih kecil dibandingkan dengan prosentase kegagalannya dengan rasio 3:10 atau 22.7% berhasil dan 77.3% gagal berdasarkan jumlah setting yang dilakukan. Sedangkan prosentase keberhasilan penangkapan payang berdasarkan waktu setting adalah terjadi pada pukul 10.21–11.30 WIB sebesar 26.7% dan selanjutnya pukul 12.41–13.50 WIB sebesar 20.0% dari total keberhasilan setting. Variabel bebas sebagai aspek teknis yang signifikan pada taraf nyata (α = 0.15) secara parsial mempengaruhi jumlah hasil tangkapan ikan adalah jumlah ABK (X 1), kebutuhan BBM (X2), dalamnya payang (X4), lamanya waktu setting (X5), dan jumlah setting (X7). Adapun pada taraf nyata 0.15 tersebut variabel yang tidak signifikan adalah panjang alat tangkap payang (X 3), dan lama waktu pada saat hauling (X6).
Abstract Percentage of success in catching payang in PPN Palabuhanratu smaller than the percentage of failures with the ratio of 3:10 or 22.7% succes and 77.3% had failed by the setting made. While the percentage of successfull arrests payang based on the time setting is occurring at 10:21 to 11:30 am at 26.7% and then at 12:41 to 13:50 pm for 20.0% of the total success of the setting. Independent variables as significant technical aspects of the real level (α = 0:15) in partially affect the number of catches is the number of ABK (X1), the need for fuel (X2), the depht of payang (X4), the length of time setting (X5), and the number of setting (X7). As for the real level of 0:15 is not a significant variable is the length of fishing gear payang (X3), and the length of time during hauling (X6). *Dosen Faperta UNSUR **Alumni Faperta UNSUR
Kajian Pengaruh Aspek Teknis dan Operasional Penangkapan Ikan Menggunakan Payang (danish seine) di Perairan Teluk Palabuhanratu Sukabumi, R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi & Pagiyar, S.Pi
95
PENDAHULUAN Latar Belakang Payang merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap gerombolan ikan-ikan permukaan. Di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, alat tangkap payang merupakan alat tangkap yang sangat produktif dan menempati urutan ketiga, setelah bagan dan pancing ulur. Pada tahun 2007, alat tangkap payang mencapai jumlah 159 unit yang beroperasi (PPNP, 2007). Keberhasilan operasi penangkapan payang dapat diketahui dengan semakin banyaknya hasil tangkapan yang diperoleh. Hasil tangkapan yang diperoleh selalu mengalami fluktuasi yang besar. Hal ini dikarenakan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor teknis yang secara langsung memberikan dampak terhadap keberhasilan jumlah produksi tangkapan alat tangkap payang. Secara umum nelayan di Palabuhanratu belum dapat memberikan identifikasi dan mengetahui aspek teknis yang mana yang memberikan dampak paling besar terhadap jumlah produksi tangkapan payang. Kecenderungan hasil tangkapan payang yang didaratkan di PPN Palabuhanratu cenderung meningkat sebesar 165,750 kg pertahun dengan R2 = 0.4381 (Gambar 1) sejak tahun 19982007 (Statistik PPN Palabuhanratu, 2007). Keberhasilan peningkatan penangkapan payang tersebut, selain disebabkan oleh faktor-faktor non teknis seperti biaya operasional yang dikeluarkan dalam satu operasi penangkapan maka masih ada beberapa
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
faktor teknis yang diduga mempunyai pengaruh terhadap kuantitas dari hasil tangkapan payang tersebut. Hal inilah yang mendasari penulis tertarik untuk mengkaji beberapa faktor teknis yang akan memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan payang yang diperoleh dengan judul penelitian ”Kajian Pengaruh Aspek Teknis dan Operasional Penangkapan Ikan Menggunakan Payang (Danish seine) di Perairan Teluk Palabuhanratu Sukabumi”. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian penelitian ini adalah untuk: 1) Menentukan tingkat keberhasilan pada penangkapan payang di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. 2) Menentukan hubungan dan pengaruh aspek-aspek teknis terhadap jumlah hasil tangkapan payang di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan bulan Pebruari 2012 di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Adapun lokasi penangkapan payang berada di perairan Teluk Palabuhanratu Sukabumi.
96
Alat dan Bahan Dalam penelitian ini digunakan alat sebagai berikut : a) Stopwacth; digunakan untuk menghitung lamanya waktu pada saat setting payang dan hauling payang. b) Kamera digital; digunakan untuk melakukan proses dokumentasi kegiatan penelitian sebagai bukti fisik. c) Buku dan alat tulis; digunakan untuk bahan catatan peneliti pada saat melakukan pengumpulan data seperti pengamatan langsung dan wawancara. d) Unit penangkapan payang sebagai bahan dalam penelitian ini. Jenis Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode survei pada unit penangkapan payang yang beroperasi di perairan Teluk Palabuhanratu. Tujuan dalam penelitian ini akan dicapai melalui proses pengumpulan data di lapangan. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dukumpulkan adalah data teknis unit penangkapan ikan yang mencakup metode atau cara yang diterapkan dalam operasi penangkapan ikan. Pengumpulan data ada dua macam, yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung operasi penangkapan dengan payang sebanyak 20 trip untuk kapal yang berbeda. Sedangkan data sekunder dapat diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan, PPN Palabuhanratu, dan Tempat Pelelangan Ikan.
Penentuan Variabel
dan
Pengukuran
Variabel tak bebas/terikat (dependent variable) atau (Y) pada penelitian ini adalah jumlah hasil tangkapan, yaitu hasil tangkapan yang diperoleh dalam penangkapan payang/trip dengan satuannya adalah kilogram. Variabel bebas (independent variable) atau (X) yang digunakan sebagai faktor teknis dalam penangkapan ikan dengan payang yaitu jumlah ABK (X1), jumlah bahan bakar (X2), panjang payang (X3), dalam payang (X4), lamanya setting (X5), lamanya hauling (X6) dan jumlah setting yang dilakukan (X7). Analisis Data Analisis Payang
Teknis
Penangkapan
Analisis data untuk aspek teknis adalah untuk mengetahui input-input penangkapan ikan dengan menggunakan payang yang berpengaruh terhadap output. Output merupakan hasil yang diperoleh dari kegiatan produksi, kemudian input merupakan hal-hal yang terkait dengan penangkapan ikan dengan alat tangkap payang. Input yang digunakan meliputi faktor-faktor teknis yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan. Uji Multikoloniearitas Menurut Ghazali (2005) uji multikoloniearitas harus dilakukan pada model persamaan regresi berganda dengan tujuan untuk mengetahui apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar
Kajian Pengaruh Aspek Teknis dan Operasional Penangkapan Ikan Menggunakan Payang (danish seine) di Perairan Teluk Palabuhanratu Sukabumi, R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi & Pagiyar, S.Pi
97
variabel bebasnya (independent variable). Dikarenakan model regresi yang baik dan layak seharusnya tidak terjadi multikoloniearitas di antara variabel bebasnya. Adapun untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikoloniearitas pada model regresi yang ada adalah dengan melakukan analisa pada : 1) nilai tolerance yang mengukur variabilitas pada variabel bebas yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Nilai yang umum dipakai untuk menunjukan adanya multikoloniearitas adalah jika nilai tolerance < 0.10. 2) nilai pada Variance Inflation Factor (VIF) dengan keputusan bahwa jika nilai VIF > 10.0 maka disimpulkan bahwa pada model regresi terdapat multikoloniearitas di antara variabel bebasnya. Sehingga untuk menentukan model regresi yang bebas dari multikoloniearitas, maka nilai VIF yang diperoleh harus kurang dari 10.0 (Ghazali, 2005).
Adapun taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah α = 0.15 dengan keputusannya adalah sebagai berikut: Jika P-value < α, maka tolak Ho Jika P-value > α, maka terima Ho Pengaruh dan Hubungan Aspek Teknis Analisa yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor teknis atau input yang dapat mempengaruhi kuantitas hasil tangkapan payang dapat digunakan metode regresi berganda. Adapun untuk melakukan analisis regresi digunakan program software SPSS 12.0 dengan persamaan regresi berganda tersebut adalah sebagai berikut: y = βo + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β5x5 + β6x6 + β7x7 + εi keterangan:
Uji Kolmogorov-Smirnov Untuk mendeteksi normalitas data dapat dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan software SPSS akan diperoleh hasil normal tidaknya suatu data (Ghazali, 2005). Sebelum melakukan uji kenormalan dengan KolmogorovSmirnov, maka ditentukan terlebih dahulu hipotesis pengujiannya untuk menentukan kenormalan dari suatu data tertentu, yaitu : Ho = data dengan normal
Ha = data tidak terdistribusi dengan normal
terdistribusi
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
y = Hasil tangkapan payang (kg) x1 = Jumlah ABK (orang) x2 = Jumlah bahan bakar (liter) x3 = Panjang payang (m) x4 = Lebar/dalamnya payang (m) x5 = Lama waktu setting (det) x6 = Lama waktu hauling (det) x7 = Jumlah setting (kali) β1,2,...7 = koefisien regresi βo = nilai konstanta εi = galat/residu Adapun untuk mengetahui apakah persamaan yang dihasilkan baik untuk mengestimasi nilai variabel dependen, maka diperlukan persyaratan sebagai
98
berikut; menentukan koefisien regresi dengan uji parsial artinya dengan melakukan pengujian terhadap koefisien regresi semua variabel bebas (independent variable) secara masingmasing terhadap variabel terikatnya (dependent variable) dengan menggunakan uji-t. Selanjutnya menentukan pengaruh semua variabel bebas secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel terikat yaitu hasil tangkapan payang dengan menggunakan uji-F. Menurut Sunyoto (2007) pengujian terhadap hubungan faktor-faktor produksi secara bersama-sama (simultan) terhadap hasil tangkapan yang dihasilkan dalam persamaan regresi adalah: 1) Pengujian faktor-faktor teknis secara bersama-sama (simultan) terhadap hasil tangkapan (Y) dilakukan dengan uji statistik – F, yaitu: Ho : bi = 0 (untuk semua i= 1,2,3,.........,n) hal ini berarti bahwa faktor-faktor teknis produksi (Xi) yang bersangkutan secara bersamasama tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan produksi (Y). Dengan kata lain, persamaan yang dihasilkan tidak signifikan. Ho : bi ≠ 0 (untuk semua i= 1,2,3,.........,n) hal ini berarti bahwa faktor-faktor teknis produksi (Xi) yang bersangkutan secara bersamasama berpengaruh nyata terhadap perubahan produksi (Y). Dengan kata lain, persamaan yang dihasilkan signifikan.
Jika : Fhitung > ditolak; dan
Ftabel
→
Ho
Fhitung < diterima
Ftabel
→
Ho
2) Pengujian masing-masing faktor teknis (parsial) terhadap hasil tangkapan (Y) dilakukan dengan uji statistik – t, yaitu: Ho : bn = 0 (untuk semua n= 1,2,3,....) hal ini berarti bahwa faktor-faktor teknis produksi (Xn) yang bersangkutan secara bersamasama tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan produksi (Y). Ho : bn ≠ 0 (untuk semua n= 1,2,3,....) hal ini berarti bahwa faktor-faktor teknis produksi (Xn) yang bersangkutan secara bersamasama berpengaruh nyata terhadap perubahan produksi (Y). Jika : thitung > ttabel → Ho ditolak; thitung < ttabel → Ho diterima Adapun untuk menentukan besar kecilnya angka korelasi menentukan kuat atau lemahnya hubungan antara kedua variabel bebas dan terikat dapat kriteria interval dari korelasi tersebut. Menurut Sarwono (2006) patakon angka interval untuk mengetahui hubungan (correlation) antara variabel bebas dengan variabel terikatnya adalah sebagai berikut: 0.00 – 0.25 artinya korelasi sangat lemah (dianggap tidak ada) > 0.25 – 0.50
artinya korelasi cukup
> 0.50 – 0.75
artinya korelasi kuat
Kajian Pengaruh Aspek Teknis dan Operasional Penangkapan Ikan Menggunakan Payang (danish seine) di Perairan Teluk Palabuhanratu Sukabumi, R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi & Pagiyar, S.Pi
99
> 0.75 – 1.00 kuat
artinya korelasi sangat
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tangkapan Payang
Gambar 2. Frekuensi jumlah setting penangkapan payang di Teluk Palabuhanratu
Gambar 1. Jumlah hasil tangkapan alat tangkap payang (ton) yang didaratkan di PPN Palabuhanratu (1998–2007)
Hasil tangkapan dari alat tangkap payang yang didaratkan di PPN Palabuhanratu tertinggi pada tahun 2005 sebesar 3.106,3 ton, sedangkan hasil tangkapan payang terendah pada tahun 1998 yaitu sebesar 500,3 ton. Kemungkinan disebabkan oleh perubahan teknologi penangkapan yang berpengaruh langsung terhadap keterampilan nelayan payang tersebut. Keberhasilan Penangkapan Payang Dalam penelitian ini dilakukan sampel sebanyak 20 sampel kapal payang yang melakukan operasi penangkapannya. Hasil dari sampel yang diperoleh menunjukkan bahwa kegiatan setting pada penangkapan payang berkisar antara 4–8 kali dalam setiap tripnya. Hasil perhitungan diperoleh kapal payang yang melakukan setting sampai kedelapan kali hanya sebanyak enam unit, sedangkan semua sampel melakukan setting hingga pada setting yang keempat (Gambar 2).
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
Adapun untuk mengetahui prosentase keberhasilan dan kegagalan dalam operasi penangkapan payang, digunakan analisis tabulasi silang (crosstabs) dengan menggunakan software SPSS 12.0. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh bahwa keberhasilan operasi penangkapan payang hanya sebesar 22.7% atau 30 kali setting dari 132 kegiatan setting yang dilakukan oleh 20 sampel kapal payang, sedangkan sisanya sebesar 77.3% atau 102 dinyatakan gagal atau nihil tanpa ikan hasil tangkapan. Pada tabel Chi-square tests diperoleh nilai sebesar 8.722 dengan probabilitas signifikansi sebesar 0.273. Dikarenakan nilai signifikansi tersebut lebih besar dari taraf nyata 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa antara variabel setting dan keberhasilan tidak ada hubungan atau asosiasi yang signifikan (P-value > 0.05).
100
Gambar 3.Periode waktu setting penangkapan payang di Teluk Palabuhanratu
Prosentase keberhasilan penangkapan payang terhadap waktu setting yang dilakukan maksimal delapan kali dalam satu trip dengan interval antara setting awal dengan setting berikutnya selama satu jam 10 menit, maka diperoleh prosentase keberhasilan penangkapan terjadi pada setting ke-3 yaitu pada pukul 10.20 – 11.30 WIB sebesar 26.1%, kemudian disusul pada pukul 12.41 – 13.50 WIB sebesar 20.0% (Gambar 3). Hal ini diduga karena pada saat-saat tersebut terjadi peningkatan suhu permukaan air laut yang akan berakibat pada proses fotosintesa. Dikarenakan suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses pembentukan dan penyebaran organisme.
faktor, yaitu jumlah ABK (X1) dalam satuan orang, pemakaian bahan bakar (X2) dalam satuan liter, panjang jaring payang (X3) dalam satuan meter, dalamnya jaring payang (X4) dalam satuan meter, waktu tempuh saat pelaksanaan setting (X5) dalam satuan detik, waktu tempuh saat pelaksanaan hauling (X6) dalam satuan detik, dan jumlah setting yang dilakukan (X7) dalam satuan kali. Tabel 1. Distribusi kuantitatif faktor-faktor teknis penangkapan payang di PPN Palabuhanratu Sukabumi No Resp
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
1
10
150
175. 0
60
270. 0
2350 .0
6
2
9
140
175. 5
55
274. 3
2331 .4
7
3
11
170
175. 5
55
270. 0
2200 .0
6
4
12
175
175. 0
60
270. 0
2100 .0
4
5
14
150
160. 0
50
248. 6
1971 .4
7
6
11
150
171. 0
48
262. 5
2287 .5
8
7
17
150
175. 0
48
257. 1
2185 .7
7
8
9
190
174. 0
58
255. 0
2100 .0
8
9
9
160
170. 0
52
262. 5
2062 .5
8
10
10
150
160. 0
60
270. 0
2000 .0
6
11
11
140
175. 0
55
276. 0
2256 .0
5
12
13
120
155. 0
60
270. 0
2250 .0
8
13
9
130
165. 0
61
265. 7
2271 .4
7
14
10
120
160. 0
60
265. 7
2185 .7
7
15
9
60
175. 0
55
274. 3
2271 .4
7
16
16
170
175. 0
58
262. 5
2137 .5
8
Aspek Teknis Penangkapan Payang Keberhasilan suatu penangkapan ikan selain disebabkan oleh faktor kondisi perairan dan ketersediaan ikan yang menjadi target penangkapan, maka beberapa faktor-faktor teknis juga diduga dapat mempengaruhinya jumlah hasil tangkapan ikan. Beberapa aspek teknis yang dijadikan faktor penduga tersebut terdiri dari tujuh
Kajian Pengaruh Aspek Teknis dan Operasional Penangkapan Ikan Menggunakan Payang (danish seine) di Perairan Teluk Palabuhanratu Sukabumi, R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi & Pagiyar, S.Pi
101
17
9
160
170. 0
57
285. 0
2250 .0
8
payang
18
9
170
175. 0
58
270. 0
2100 .0
4
Dalam payang
0.879
0.423
0.05
Normal
19
11
105
170. 0
59
300. 0
2184 .0
5
Lama setting
0.958
0.317
0.05
Normal
20
12
150
175. 0
60
300. 0
2330 .0
6
Lama hauling
0.692
0.725
0.05
Normal
Jml
221. 0
2910 .0
3406 .0
1129. 0
5409 .2
4382 4.6
132. 0
145. 50
170. 30
2191 .23
0.05
Normal
6.60
Jumlah setting
0.290
56.45
270. 46
0.982
Rata
11.0 5
Produksi
0.696
0.717
0.05
Normal
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah anak buah kapal payang berkisar antara 9–17 orang ABK dengan rata-rata 11 orang. Kebutuhan bahan bakar yang diperlukan dalam tiap tripnya adalah berkisar antara 60 – 190 liter dengan rata-rata 145.5 liter. Kegiatan setting yang dilakukan dalam penelitian ini berkisar antara 4 – 8 kali setting dengan rata-rata 7 kali setting, dimana lamanya waktu tempuh setting berkisar antara 248.6 – 300.0 detik dengan rata-rata waktu tempuh setting 270.46 detik. Adapun waktu hauling yang dilakukan berkisar antara 1971.4 – 2350.0 detik dengan rata-rata 2191.23 detik. Panjang alat tangkap dan dalamnya jaring payang rata-rata sebesar 170.30 meter dan 56.45 meter. Uji Kolmogorov-Smirnov Tabel 2. Uji kenormalan variabel bebas dan variabel terikat perikanan payang
Variabel
Nilai K-S
Taraf nyata Sig.
Kesimpulan (α = 0.05)
Jumlah ABK
0.932
BBM
0.949
0.329
0.05
Normal
Panjang
1.175
0.127
0.05
Normal
0.350
0.05
Normal
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
Hasil uji kenormalan dari output SPSS 12.0 tersebut menunjukkan bahwa semua variabel bebas terdistribusi dengan normal, dikarenakan nilai P-value semua variabel tersebut lebih besar dari taraf nyata 0.05, artinya dapat dinyatakan bahwa pada variabel bebas yang diduga mempengaruhi jumlah hasil tangkapan payang dinyatakan berdistribusi secara normal. Uji Multikolinieritas Tabel 3. Hasil output SPSS untuk uji multikolinieritas aspek teknis penangkapan payang di PPN Palabuhanratu Sukabumi Collinierity Statistics
Keterangan
Variabel
Multikolinieritas Tolerance
VIF
Tolerance
VIF
Jumlah ABK (X1)
0.860
1.66 2
> 0.10
< 10.0
Tdk ada
Kebutuhan BBM (X2)
0.621
1.61 1
> 0.10
< 10.0
Tdk ada
Panjang payang (X3)
0.601
1.66 4
> 0.10
< 10.0
Tdk ada
Dalam payang (X4)
0.508
1.96 9
> 0.10
< 10.0
Tdk ada
Lama setting (X5)
0.578
1.73 1
> 0.10
< 10.0
Tdk ada
Lama hauling (X6)
0.495
2.02 1
> 0.10
< 10.0
Tdk ada
Jumlah setting (X7)
0.497
2.01 2
> 0.10
< 10.0
Tdk ada
102
Hasil perhitungan SPSS menunjukan bahwa ke tujuh variabel bebas tersebut tidak saling berkorelasi antara satu variabel dengan variabel lainnya atau tidak ada multikolinieritas antara variabel bebas dalam model regresi berganda tersebut. Hal ini terlihat pada output SPSS tersebut yaitu pada Tolerance menunjukan nilai yang yang kurang dari 0.10 artinya tidak ada korelasi antar variabel bebas yang nilainya lebih dari 95%. Kemudian indikasi lainnya ditunjukan pada Variance Inflation Faktor (VIF) tidak ada nilai yang lebih dari 10.0 pada masing-masing variabel bebasnya. Uji Simultan Regresi Berganda Hasil output SPSS diperoleh pada tabel Model Summary nilai R = 0.892 artinya semua variabel bebas sebagai aspek teknis payang yang diprediksi akan mempengaruhi jumlah hasil tangkapan mempunyai hubungan sangat kuat (0.75–1.00) secara simultan dengan arah hubungan kedua variabel tersebut positif. Hal ini memberikan indikasi bahwa, semakin bertambah nilai variabel bebasnya maka akan semakin menambah pula jumlah hasil tangkapan ikan pada alat payang. Koefisien determinasi (R2) sebesar 0.795 artinya bahwa variabel bebas (jumlah ABK, kebutuhan BBM, panjang payang, dalamnya payang, lamanya waktu setting, lamanya waktu hauling, dan jumlah setting) memberikan penjelasan terhadap variabel tak bebas (hasil tangkapan ikan) sebesar 79.5% sedangkan sisanya (100 – 79.5% = 20.5%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak masuk ke dalam model regresi berganda. Kemungkinan
faktor-faktor lain yang tidak masuk ke dalam model adalah faktor cuaca, kualitas perairan, musim penangkapan, keadaan sumberdaya ikan atau faktorfaktor lainnya. Uji Parsial Koefisien Regresi (Βi) Tabel 4. Uji parsial koefisien regresi (βi) aspek teknis penangkapan payang di PPN Palabuhanratu Sukabumi Nilai
Variabel
Koefisien regresi (bi)
Produksi hasil tangkapan (Y)
1267.115
2.886
Jumlah ABK (X1 )
-8.175
-1.772
0.102 ***
Kebutuhan BBM (X2 )
0.709
1.584
0.139 ***
Panjang payang (X3)
-1.410
-0.652
0.528
Dalam payang (X4)
-5.025
-1.551
0.147 ***
Lama setting (X5)
-2.439
-2.175
0.050 **
Lama hauling (X6)
0.167
1.266
0.229
-58.126
-5.832
0.000 *
Jumlah setting (X7)
Sig.
T hitung
0.014
Keterangan : * = nyata pada selang kepercayaan 95% ** = nyata pada selang kepercayaan 90% *** = nyata pada selang kepercayaan 85%
Berdasarkan hasil output SPSS, menunjukkan pada variabel jumlah ABK (X1) pada penangkapan payang secara parsial berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan payang pada
Kajian Pengaruh Aspek Teknis dan Operasional Penangkapan Ikan Menggunakan Payang (danish seine) di Perairan Teluk Palabuhanratu Sukabumi, R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi & Pagiyar, S.Pi
103
selang kepercayaan 85% karena nilai Pvalue (0.102) < α (0.15) koefisien regresi sebesar minus 8.175 artinya setiap penambahan satu satuan pada variabel jumlah ABK akan menurunkan jumlah hasil tangkapan sebesar 8.175 satuan. Pada variabel konsumsi bahan bakar yang diperlukan dalam satu trip penangkapan (X2) secara parsial berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan payang pada selang kepercayaan 85% karena nilai P-value (0.139) < α (0.15). Koefisien regresi sebesar 0.709 artinya setiap penambahan satu satuan pada variabel BBM akan menambah jumlah hasil tangkapan sebesar 0.709 satuan. Tabel 5. Korelasi koefisien regresi (βi) aspek teknis terhadap hasil tangkapan penangkapan payang di PPN Palabuhanratu Sukabumi Correlations Variabel
Zero order
Partial
Jumlah ABK (X1)
-0.156
-0.455
Kebutuhan BBM (X2)
0.299
0.416
Panjang payang (X3)
0.281
-0.185
Dalam payang (X4)
-0.018
-0.409
Lama setting (X5)
-0.090
-0.532
Lama hauling (X6)
-0.172
0.343
Jumlah setting (X7)
-0.724
-0.860
Variabel bebas panjang jaring payang (X3) dari hasil SPSS diperoleh nilai P-value (0.528) > α (0.15) pada selang kepercayaan 85%, sehingga keputusannya adalah Ho diterima artinya variabel pada panjang jaring payang (meter) tidak berpengaruh
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
secara signifikan terhadap jumlah hasil tangkapan payang. Selanjutnya pada variabel dalamnya jaring payang (X4) pada selang kepercayaan 85% (α = 0.15), maka aspek dalamnya jaring payang tersebut berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan payang dengan koefisien regresinya sebesar minus 5.025 artinya setiap penambahan dalam jaring payang maka akan menurunkan hasil tangkapan dan sebaliknya dengan pengurangan dalamnya jaring diduga akan menambah jumlah hasil tangkapan payang. Pada variabel lamanya waktu setting alat tangkap payang dalam satu trip penangkapan (X5) secara parsial berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan payang pada selang kepercayaan 95% karena nilai P-value (0.050) < α (0.15) koefisien regresi sebesar minus 2.439 artinya setiap penambahan satu satuan pada variabel lamanya waktu setting, maka akan menurunkan jumlah hasil tangkapan sebesar 2.439 satuan. Hal ini dikarenakan waktu tempuh harus dilakukan secepat mungkin untuk menghindari dan mengurangi peluang ikan meloloskan diri. Pada variabel lamanya waktu setting alat tangkap payang dalam satu trip penangkapan (X6) secara parsial tidak berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan payang pada selang kepercayaan 85% karena nilai P-value (0.229) > α (0.15) koefisien regresi sebesar 0.167 artinya setiap penambahan satu satuan pada variabel lamanya waktu hauling, maka akan
104
menambah jumlah hasil tangkapan sebesar 0.167 satuan. Variabel aspek teknis penangkapan payang terakhir adalah jumlah setting alat tangkap (X7) secara parsial sangat berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan payang pada selang kepercayaan 99% karena nilai P-value (0.000) < α (0.01) koefisien regresi sebesar minus 58.128 artinya setiap penambahan satu satuan pada variabel jumlah setting, maka akan menurunkan jumlah hasil tangkapan sebesar 58.128 satuan. KESIMPULAN Secara simultan bahwa hubungan semua variabel bebas dengan variabel tak bebas adalah sangat kuat (89.2%) positif dan nilai R2 = 79.5% berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan payang dengan nilai F hitung sebesar 6.665 (P-value < 0.01). Sehingga model persamaan regresi berganda akhir untuk penangkapan payang di Teluk Palabuhanratu adalah: Y = 1267.115 – 8.175 X1 + 0.709 X2 – 5.025 X4 – 2.439 X5 – 58.126 X7. Prosentase keberhasilan pada penangkapan payang yang ada di PPN Palabuhanratu lebih kecil dibandingkan dengan prosentase kegagalannya dengan rasio 3:10 atau 22.7% berhasil dan 77.3% gagal berdasarkan jumlah setting yang dilakukan. Sedangkan prosentase keberhasilan penangkapan payang berdasarkan waktu setting adalah terjadi pada pukul 10.21–11.30 WIB sebesar 26.7% dan selanjutnya pukul 12.41–13.50 WIB sebesar 20.0% dari total keberhasilan setting.
SARAN Agar hasil tangkapan payang yang dioperasikan di perairan Teluk Palabuhanratu mengalami peningkatan, maka harus mempertimbangkan aspekaspek teknis, pada jumlah ABK harus dikurangi sesuai dengan kebutuhan, jumlah BBM harus ditambah agar jangkauan dan lamanya operasi penangkapan relatif lama, dalamnya jaring disesuaikan dengan kedalaman perairan, lamanya waktu setting dipercepat agar ikan semakin cepat pula terkurung jaring, dan jumlah setting dilakukan seminimal mungkin tapi target sasaran ikan yang akan ditangkap dapat diduga keberadaannya. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 1993. Penangkapan Ikan Dengan Jaring Payang. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. Ghozali, I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS Edisi Ketiga. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Lipsey, R.G and O. Steiner. 1987. Ekonomi Mikro. Bahan Kuliah Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lubis et al. 2002. Atlas perikanan Tangkap dan Pelabuhan Perikanan di Pulau Jawa. Program kajian Kepelabuhan Perikanan dan Transportasi Maritim
Kajian Pengaruh Aspek Teknis dan Operasional Penangkapan Ikan Menggunakan Payang (danish seine) di Perairan Teluk Palabuhanratu Sukabumi, R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi & Pagiyar, S.Pi
105
18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8
(PK2PTM) Lembaga Penelitian. Institus Pertanian Bogor. Bogor.
Subri, M.. 2005. Ekonomi Kelautan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Nomura, M. and T. Yamazaki. 1977. Fishing Techniques (1). Japan International Cooperation Agency. Tokyo. Japan.
Sudirman dan Mallawa, A. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Rineka Cipta. Jakarta.
Olkhovsky, V., A. Tanstura., V. Yakovlev. 1969. Navigation for Fisherman. MIR. Publishers. Moscow.
Sunyoto, D. 2007. Analisis Regresi dan Korelasi Bivariat, Ringkasan dan Kasus. Amara Books. Jakarta.
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2007. Statistik Perikanan Tahun 2007. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Sainsbury. J.C. 1996. Commercial Fishing Methods. An Introduction to Vessels and Gears. Third Edition. Fishing News Books Ltd. Farnham, Surrey. P. England. Sarwono, J. 2006. Analisis Data Penelitian dengan Menggunakan SPSS 13. Penerbit Andi. Yogyakarta. 218-219 hal. Subani, W. dan H.R. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Departemen pertanian. Jakarta.
Journal of Agroscience, Vol. 4 Th. 5 Juli - Desember 2012
106