Pembicara Prof. Dr. Rahayu Supanggah, S.Kar. Shahanum Mohd. Shah, PhD. Dr. Guntur, M.Hum. Dr. Tisna Sanjaya, M.Sch. Melati Suryodarmo, S.I.P, M.Sch. ARTISTIC RESEARCH Di balik tampilan karya seni, riset artistik kerap dianggap senyap. Malah, jarang pernah diungkap. Senyatanya, riset artistik menghubungkan jejak kompleks pergulatan seniman. Antara mengalami dan memandang “dunia” yang dialami. Persilangan gairah, perasaan, dan kehendak mengolah “dunia di dalam proses khayalan kreatif dan rumit. Serta, penyatuan sikap, nilai, dan makna menyatakan kembali “dunia” ke dalam bahasa seni yang mempribadi. Riset artistik mengurai pengetahuan seni dan praktik mengolah seni. Menawarkan temuan artistik baru. Mengkritisi kembali hubungan pengetahuan dan praktek seni. Juga menegaskan, nalar dan praksis seni itu unik, selalu terbuka, relatif, holistik, dan kompleks.
TJ Sesi 1. Moderator: Sebuah paparan yang cukup mendalam, cukup njimet. Semula saya temui Pak Guntur mengatakan bahwa apa yang disampaikannya akan memiliki persamaan dengan apa yang disampaikan Dr. Shahanum, tapi ternyata setelah beliau memaparkan agak mendalam ternyata ada perbedaan yang cukup signifikan. Kalau tadi Dr. Shahanum menenkankan bahwa bagaimana penelitian artistik itu memiliki prosedur standar sebagaimana penelitian-penelitian yang lain. Tetapi pak Guntur menekankan bahwa penelitian artistik berbeda dengan penelitian-penelitian yang lain, terutama kaitannya dengan posisi peneliti, kalau posisi peneliti di dalam penelitian artistik itu berbeda dengan posisi peneliti dalam tradisi penelitian-penelitian ilmiah. Dan ini menekankan penelitian artistik selalu bermuara pada penciptaan-penciptaan karya seni, sehingga saya tidak bisa membayangkan kalau Pak Halim itu enggak bisa melakukan artistik, yang melakukan penelitian artistik itu nanti Atik. Terus seperti mba Fafa (?) tidak bisa melakukan, Pak Budiono tidak bisa melakukan penelitian artistik, yang bisa melakukan penelitian artistik itu Fafa sebagai penari. Karena Pak Budiono sebagai seorang antropolog tadi tidak mengarah penelitiannya ke penelitian penciptaan, Pak Halim juga begitu, filsuf, jadi penelitiannya untuk menemukan kebenaran renungan-renungan yang kontemplatif.
Sementara yang mengarah pada penciptaan adalah Melati Suryodarmo, yang akan melakukan penelitian artistik. Itu bayangan kami setelah mendengar paparan dari Pak Guntur. Oleh karena itu marilah kita lanjutkan diskusi, kita masih punya waktu cukup panjang. Ada waktu 1 jam untuk berdiskusi, untuk itu kami buka pertanyaan sesi pertama, mungkin empat orang yang bisa memberikan tanggapan, bertanya, atau akan memberikan masukan-masukan sehingga bisa memperkaya diskusi ini. Monggo sinten ingkang? Wa ini dari sana ada Bli Cahya, Pak Tasman, Rene, kemudian Pak Wahyu Santoso. Monggo kita mulai dari yang paling sepuh dulu, Pak Tasman. Pak Tasman: yang pertama kali saya mengucapkan syukur. Mungkin baru saya sendiri yang tahu bahwa kampus sudah perhatian pada artistik riset yang sebelumnya kelihatannya kok rodo asing, begitu. Mudah-mudahan ini makin berkembang. Pertanyaan saya atau pendapat saya, saya cenderung pada – karena telinga saya rada ndak tajem, saya memperhatikan pembicaraannya pak Guntur tadi. Memang menurut saya bener bahwa disiplin seni lebih banyak mendapat perhatian di kampus ini daripada disiplin tentang seni. Kalau tidak salah menurut pendapat saya, apakah itu sebabnya sumbangan kampus tidak begitu kuat pada perkembangan kehidupan seni di dalam masyarakat? Semoga ini tidak benar, tetapi dengan dimulainya seminar dengan tema seperti ini akan mengembangkan masalah – menurut saya, yang lebih dasar. Disiplin seni saya kira, kita tidak bisa menutup mata, karena kesenian itu hidupnya pada seniman, dan seniman itu mempunyai cara dan teknis yang khas, karena pengamatannya dan pemahamannya langsung, dan dicerna langsung, diungkapkan verbal. Sedangkan beberapa tempo yang lalu kok mesti dibawa ke disiplin ilmu, kok disiplinnya seni kok dianaktirikan, atau ditinggal, begitu. Dalam hal ini saya mempunyai pengalaman ketika saya ujian akhir ASKI (?), saya sebagai penyaji rebab, gendingnya gethuk (?) empat kerep, gending iling (?), oleh pembimbing saya digarap lain, lepas dari pathet, jadi rumusan pathet sudah di, jadi kalau pathet ini, selehnya ya ini, kenongnya ini, gongnya ini, sudah dirumuskan dalam pathet itu. Tapi oleh pembimbing saya, lepas dari itu. Ketika rapat dipertengkarkan itu. Pembimbing saya enak jawabnya. “Lha sebetulnya kalau itu salah, enak apa ndak?” pembimbing yang lainnya tidak bisa menjawab, akhirnya didesak-desak ya enak, ya sudah selesai. Jadi menurut saya, seperti yang dikatakan Humardhani(?) almarhum, ilmu itu ngikuti seni, tidak dibalik. Jadi cara seni dilihat dari cara ilmu. Yang selama ini saya kira, itulah. Menurut pengamatan saya, mudah-mudahan salah. Dan saya berharap mulai detik ini, semoga kampus yang kita banggakan ini, tema ini berkembang lebih cepat, lebih dasyat, lebih berhasil. Karena sumbangan kita terhadap perkembangan seni terlalu kurang, menurut saya. Seperti apa yang kita harapkan di dalam budaya yang lain. Saya kira contoh-contohnya sangat banyak. Ini pengalaman, ketika ada seorang calon doktor wawancara dengan saya, saya ditarik pada dunia disiplin sastra, disiplin sosial, dsb. Saya juga ndak bisa njawab, tapi akhirnya bekerja sendiri, ya hasilnya bukan dari saya. Sebab menurut saya, lha dia bicara sendiri begitu. Didalam kesenian ada istilah garap (?) – istilahnya profesor Panggah, itu tidak dikembangkan dalam kesenian. Padahal itu sumber teknis
estetika didalam bahan. Inilah yang menurut pengalaman saya di kampus juga begitu. Saya melatih ya begitu. Jadi saya sendiri sangat sedih. Jadi ini kok tidak masuk pada dunianya, begitu. Saya kira, sebenernya masih banyak, tapi saya sulit untuk ngomong yang baik, mudah-mudahan pertanyaan saya ini tadi bisa ditanggapi dengan bagaimana. Apakah pendapat saya ini salah, saya ya ndak tahu. Sekian. Terimakasih. Moderator: maturnuwun pak Tasman yang telah memberikan, sebenarnya masukan ya yang disampaikan pak Tasman, tapi ada sedikit pertanyaan yang memang perlu dijawab oleh pak Guntur nampaknya. Tetapi kita kumpulkan dulu ya pertanyaan-pertanyaannya. Monggo bli Cahya. Bli Cahya: Terima kasih atas waktu yang diberikan pada saya, terlebih dahulu saya mohon maaf nanti kalau yang saya ungkapkan mungkin agak semacam ikut-ikutan karena pak Tasman mendahului pemikiran saya. Yang pertama, saya mencoba menduga-duga, ternyata dugaan saya ada benernya, tendensi seminar ini sebenarnya, apa yang saya tangkap dari pembicaraan terakhir, ada persoalan mau memperjuangkan wilayah-wilayahnya seni, yang sejajar dengan penelitian-penelitian yang lain. Nanti di diskusi bapak-bapak yang lain akan lebih banyak memberikan masukan. Mudah-mudahan perjuangan ini – tadi sudah disinggung, perjuangan-perjuangan yang ada kaitannya dengan mencari dana penelitian, perjuangan-perjuangan yang ada kaitannya dengan kenaikan pangkat, tadi kan sudah disinggung itu. Yang satu lagi ada, yang sifatnya untuk menyelesaikan studi S3, S2 – tadi kan sudah disinggung, mudah-mudahan nanti bisa dirumuskan dalam rangka ending yang digapai oleh penyelenggara seminar ini. Namun izinkan kami juga mencoba ikut berbicara, yang nadanya mungkin hampir sama. Saya juga menangkap ketika SKAR (?) saya ini bukan sarjana karawitan, saya ini seniman karawitan. Itu gelar yang diberikan ketika kami menempuh di ASKI. Kami masih ingat – sekarang sudah profesor – mas Santoso, yang berbicara tentang ilmu dan seni. Ketika tadi disinggung istilah disiplin, kalau disiplin ilmu yang logos-logos itu, kemudian disiplin seni. Ini dari dulu juga saya dalam kebimbangan terus ketika – mungkin saya salah, domain ilmu ini lebih kuat daripada domain dunia seni. Jadi ada istilah S1, S2, S3, sarjana, sarjana, sarjana. Saya masih ingat, jadilah sarjana yang sujana, dibegitukan oleh pak Gendon. Jadi yang namanya riset juga itu artinya penelitian itu wilayahnya ilmu dalam artian yang ilmiah itu. Yang empirik-empirik itu. Nah ketika tadi ada cerita, wa sing penting penak, ya wes, nah ilanglah itu. Disinilah persoalan kalau menggunaan istilah disiplin seni. Kalau ilmu punya filsafatnya, filsafat ilmu, ontologinya, epistemologinya, oksiologinya. Rupanya tadi “seakan-akan memaksakan” disiplin ilmu ini, yang tidak salah orang-orang ilmu ini meneliti seni, atau melihat seni dari disiplin. Saya melihat contoh ketika membaca di W. Parker (?) dulu, sarjana botani melihat bunga matahari kemudian dia menyampaikan matahari dari hasil pengamatan “penelitian”nya, berbeda ketika dia melukis meneliti atau mengamati bunga matahari, lain hasilnya. Itu di “prisip of aestetic” (?) itu kalau enggak salah bukunya. Betul-betul saya menggarisbawahi pandangan saya – yang mungkin salah sampai hari ini, seni itu jangan
disamakan dengan ilmu. Persoalannya juga saya dapat dari pak Gendon ini. Semua punya cara, tukang becak punya cara. Ketika ngomong metode, gagah banget. Ilmuan juga punya cara, cara, cara, cara, cara. Nah, ungkapannya, caranya kalau ilmuan itu yang ilmiah itu ketat-ketat. Ini ada semacam ini, rumuskan. Ketat-ketat, empirik betul-betul ini dibuktikan, diakui. Sedangkan cara seniman, dirinya masuk di dalamnya itu. Ini yang logika rasional penuh, ini yang logika imaginer – jangan lupa, dia juga rasional. Tetapi ada tambahan yang bisa membuat sesuatu yang tidak terpikirkan, sehingga dia dikatakan pencipta. Langit bumi dihubungkan oleh bambu, konyol banget pikirannya itu. Ini sedang sekarang kita banyak membaca ada hal yang sifatnya hyper, hyper, hyper. Ini dunianya disiplin seni, tidak berkiprah hanya masalah-masalah rasional. Sehingga kalau dikatakan penelitian seni, saya sangat dicerahkan oleh ibunda dari Malaysia, research on art, research in art, research trought art, dsb. Pengalaman-pengalaman prof. Panggah yang sudah banyak sekali, sehingga ditekankan tadi, saya juga masih penelitian yang bagaimana. Saya menanggap. Hasil penelitian seni itu, sebenarnya intinya pada – tadi sudah disinggung, siapa yang mendidik, siapa yang membuat karya seni. Kalau boleh saya utarakan, keyakinan, ideologi yang sudah terakumulasi sampai sekarang itu terungkap. Lain dengan penelitian ilmiah, dataanya itu lho. Tapi penelitian seni, seniman bekerja sangat dipengaruhi oleh ideologi dalam arti keyakinan, jangan ideologi oleh politik kekuasaan ya. Kalau Crussor (?) mengatakan, sejak dalam buaian manusian itu sudah ada ideologi yang tertanam. Itu akumulasi. Saya mempunyai pengalaman tahun 2002 sudah dipaksa, padahal bodoh banget, mendampingi pak Sal (?), mendampingi mengajar di S2. Saya masih ikut, waktu itu terlibat – tidak seperti sekarang pengkajian dewe. Dulu penciptaan dadi siji dengan pengkajian. Ingat proses yang diminta oleh pengajar – waktu itu pak Sal. Eh mahasiswa semester 1- S2, ceritakan pengalamanmu sejak kecil. Begitu caranya. Jadi ceritakan, kowe seneng sambel kek, kowe mandi di sawah kek, semua suruh ceritakan satu semester didiskusikan. Menurut saya seniman punya ideologi yang mengerucut dalam dirinya yang paling dalam. Ya kecuali memang dipesan anda harus berkarya seni, anda bikin ini dalam rangka umpamanya natalan. Seniman-seniman yang sebetulnya ada misi. Misi yang diberikan tentunya untuk pencerahan kemanusiaan. Saya kira itu, kalau saya boleh mengatakan disiplin seni ada disiplin ilmu, filsafatnya ilmu sudah jelas, filsafatnya seni estetika, cari itu. Kedalaman-kedalaman, kemantapan rasa, yang wilayahnya logika imaginer itu lebih tebal, kita harus rumuskan. Tapi saya tetap berdoa semoga ending dari tujuan ini kan bagaimana usulan-usulan penelitian karya seni itu bisa diterima sejajar dengan penelitian-penelitian ilmiah yang notabene-nya dananya timpang banget. Kan begitu perjuangannya. Sebab saya yakin apapun yang muncul, baik dalam bentuk cerita, epos, dsb membawa misi. Tadi disinggung. Nah akhirnya saya bertanya juga, Prof Panggah saya minta esensi roh yang dipesankan oleh ilagaligo ketika dibandingkan “ini sangat tebal 6 ribu halaman” penceritaannya. Tapi saya minta, kalau saya menangkap esensi mahabarata itu tradisi ini harus dibuang, akhir dari mahabarata. Di dalam 1 farua (?) ada pesan, ada pesan, ada pesan, tentang kehidupan secara umum. Dan misinya, karena itu bernuansa esensi kehidupan lepas dari keduniawaian, sehingga keluarga barata itu harus dihapus dulu dari tradisi itu. Saya menangkap
– ini kan pribadi tafsir saya, kehidupan ini harus terbebas dari keberadaan dunia yang kita kira ini sebenarnya. Sehingga baik pandawa maupun kurawa, bibit-bibitnya harus dihanguskan dulu. Sehingga parikesit itu bukan anaknya pandawa, gitu. Saya ingin bertanya, roh apa sebenarnya yang dititipkan sehingga ilagaligo ini menjadi karya besar yang dikumandangkan dan diwujudkan kembali lewat wujud baru dari prof. Panggah. Maturnuwun, ada kurangnya mohon maaf, terima kasih atas perhatiannya. Moderator: terimakasih bli Cahya, teput tangan untuk bli Cahya. Mudah-mudahan pak Tasman tidak cemburu, aku tadi ra dikeploki kok bli Cahya dikeploki. Paparan pak Cahya sebenarnya sudah setara dengan makalah. Sudah menarik. Jadi sebenarnya kalau pak Cahya duduk disini sudah cocok. Dan nampaknya pak Guntur akan memberikan tanggapan-tanggapan mengenai apa yang disampaikan kepada pa Cahya. Saya tidak akan mengulas apa yang disampaikan pak Cahya, cukup panjang dan ada pertanyaan yang cukup menggelitik ditujukan kepada prof. Panggah dengan membuat perbandingan dengan mahabarata. Kalau mahabarata itu rohnya, dunia itu jangan sampai terkungkung oleh tradisi yang kalau ilagalego kaya apa. Monggo mbak Rene, dikenalkan dari mana mbak aslinya. Rene: maturnuwun saya Rene, tinggalnya di Jogja, tetapi latar belakang saya antropologi tari IKJ. Gini, jadi sepanjang kebersamaan saya dengan teman-teman seniman, terutama koreografer, mereka sangat tidak gagap dengan proses riset. Karena artistik riset itu menjadi bagian dari proses kreatif mereka, dimana eksplorasi itu kan sudah menjadi tuntutan. Sudah menjadi hal dasar yang memang menjadi patokan mereka ketika mereka membuat karya. Ada proses kreatif ada unsur artistik riset disana. Yang gagap adalah soal penulisannya. Karena memang tidak semua teman-teman seniman itu nyaman ketika harus mengkomunikasikan karyanya dalam bentuk tulisan. Dan itu masih saya jumpai sampai hari ini. Ketika mereka menempuh jenjang D3 atau S1, segala keterbatasan itu masih bisa diampuni, tetapi sangat berbeda halnya ketika mereka harus menempuh S2 dan S3, karena secara implisit ada tuntutan bahwa tulisan itu harus setingkat lebih daripada tulisan mereka di D3 dan S1. Ada beberapa seniman – termasuk mas Don, yang mendukung bahwa untuk tulisan teman-teman ini bisa dibantu pihak lain, sehingga wes sing penting S2mu selesai S3mu selesai, nanti tulisanmu dibantu oleh si X atau si Y gitu. Cuma masalahnya kan itu akan mudah ketika proses ini terjadi di luar ruang akademik, sehingga seperti waktu pengalaman perhelatan Indonesia ____ Festival kemarin. Ada mbak Melati yang didampingi oleh mas Seno dalam proses dramaturginya dan menurut saya penting mbak, tolong disampaikan ke mas Seno, karena kita kepingin tahun hasil dari dialog mbak Melati dan mas Seno ketika proses itu berlangsung, dan itu saya kira enggak sulit untuk mas Seno membuat tulisan tentang proses komunikasi dan dialog itu. Demikian juga ketika proses itu terjadi dengan mas Garin dan Rianto. Saya juga malah kepengen mas Garin juga menuliskan hasil hasil dialog dan komunikasi ketika dia mendampingi Rianto menghasilkan karyanya. Tapi bagaimana ketika itu ada di ruang akademik? Seberapa fleksibel lembaga akademi memiliki
ruang untuk bisa mengakomodasi keterbatasan teman-teman seniman tadi. Saya tertarik dengan apa yang disampaikan oleh bu Shahanum tentang kolaborasi tadi. Cuma memang masalahnya, seberapa ketat institusi keakademian kita bisa mengakomodasi itu? Sementara sih memang yang terpikirkan dari hasil diskusi saya dengan beberapa teman, yang pertama akademik memberikan ruang bagi mereka untuk bisa mempresentasikan itu secara lisan, karyanya. Yang kedua, memang mungkin ada proses kolaborasi. Gimana teman-teman seniman didampingi oleh seseorang lain yang memang memiliki kompetensi penulisan yang lebih baik asalkan itu disampaikan secara terbuka bahwa tulisan ini dibuat oleh seniman dan penulis. Atau memang disebutkan saja bahwa untuk karya ini penulisannya dibuat oleh si X berasarkan ide dari seniman ini. Kalau bagi saya itu tidak masalah sepanjang disebutkan secara terbuka. Bagi saya sendiri penulisan tetap penting karena ini menjadi media untuk bisa mengkomunikasikan proses kreatif termasuk artistik riset yang terjadi dalam sebuah proses kesenian kepada masyarakat luas, sehingga mereka bisa memahami bahwa artistik riset itu juga memiliki posisi yang penting diantara proses riset disiplin ilmu yang lain. Saya kira itu, saya perlu tanggapan, terima kasih. Moderator: terima kasih mbak Rene. Pertanyaan yang menggelitik dan bagus sekali. Yaitu bagaimana mengakomodasi keterbatasan kompetensi akademik writing di ruang akademi ini. Ini persoalan yang cukup penting barangkali nanti ketiga pemrasaran akan mamaparkan. Terakhir monggo pak Wahyu kula aturi ngendika. Agak panjang juga enggak papa, waktunya masih cukup lama, sehingga membawa makalah sendiri juga enggak papa, monggo. Pak Wahyu: terima kasih kesempatan yang diberikan pada saya. Saya tidak akan menggebu-gebu, cuma ada satu keraguan pada diri saya, ketika tadi panitia itu ketika membuka acara ini menyampaikan bahwa kegiatan siang hari ini untuk menuju kesejajaran ilmu dan seni. Ini agak ragu-ragu, maka ada satu pertanyaan. Benarkan kesenian itu jauh di bawah atau belum setara dengan ilmu? Ini satu pertanyaan, mungkin nanti bisa ditanggapi oleh 3 pembicara. Hal ini ada alasannya karena dalam berbagai kesempatan, beberapa tokoh itu menyampaikan bahwa ada logika, tetapi ada logika imaginatif. Concrussion (?) pernah dalam satu kesempatan menyampaikan ada rasionalitas masuk akal tapi ada rasionalitas masuk rasa. Kemudian pak Sartono Kartadi tadi sudah menyampaikan, logika itu situasional. Tentu ini harus ada penjelasan lebih jauh ya. Tapi dengan menangkap ini, saya melihat bahwa kesenian itu sebenarnya sudah setara. Tentu saya sangat mendukung artistik riset ini bagi seniman-seniman. Bahkan ada satu tokoh yang menyebutkan juga, saya sebut, misalnya pak Gendon, kesenian itu ada di garis depan. Dari karya-karya seni itu justru akan melampaui perkembangan keilmuan, tentu dalam hal ini kalau kita runut, karena memang ada titik yang sama. Awal-awal aktivitasnya itu ada kesamaan, semua juga didasarkan atas pemikiran-pemikiran filosofis. Meskipun karakter filosofisnya bisa berbeda. Dan itu semu dibangun atas kesadaran manusia atas ketakjuban, kekaguman yang luar biasa atas kekuatan keilahian. Jadi dari sumber yang sama ini kemudian bisa jadi berbeda. Mengapa kok itu kemudian dikatakan belum setara dengan ilmu. Lha ini mungkin jadi satu hal ingin tanggapan dari pembicara. Terima kasih.
Moderator: njih, terima kasih untuk pak Wahyu. Tepuk tangan lagi untuk pak Wahyu yang lebih meriah. Ini pertanyaannya cukup dalam, cukup filosofis, membutuhkan perenungan. Monggo. Ini nampaknya dari empat penanya ini yang lebih kami dahulukan yang sepuh dulu. Monggo prof. Panggah kula aturi malih. Prof. Panggah: Saya tidak akan menjawab, tapi saya akan memutar salah satu contoh adegan di ilagalego yang depan. Ini adalah salah satu karya yang kontroversial menurut orang banyak, termasuk tokoh teater Indonesia, menulis kritik yang sangat pedas terhadap karya ini, mungkin karena pendekatan yang berbeda. (Putar film). Robert Willson ini tokoh pembuat karya yang sangat lambat. Ini gerakannya sangat sangat lambat sekali. Bagian prolog itu 45 menit hanya begini, berjalan dengan – kalau orang jawa mungkin tidur melihat ini. Tapi memang itulah, dari penelitian dia terhadap karya-karya seni yang lalu dia mendapat kesimpulan bahwa inilah gaya dia. Dia menamakan karya dia tablo movement (?). Dia adalah seorang arsitek dan senirupawan. Kalau misal gerak ini cepat maka detail dari bentuk ini enggak akan kelihatan. Tapi ketika karya ini lambat sekali, maka akan kelihatan konturnya, kelihatan e. Jadi justru letak keindahanya pada kelambatan itu. Karena orang bisa menikmati bentuk, detail dari misalnya ini, bentuk ini, kalau dia jempalitan enggak akan kelihatan bentuk dari gerakan itu. Ini keindahan tersendiri. Dan dia tidak menggunakan lampu dan lampunya sangat efektif sekali. Ini muncul lampu dari bawah yang sangat pelan sekali, ini menggambarkan bahwa ada perubahan waktu dari malam kemudian menjadi matahari terbit, kemudian siang, kemudian matahari terbenam, dan lain sebagainya. Musiknya juga sangat sederhana sekali. Jadi kelambanan dan kesederhanaan menjadi hal yang penting ketika Robert Willson melihat bahwa sekarang dunia sudah begitu cepat hingga orang tidak lagi memperhatikan soal kontemplasi, tidak lagi orang punya waktu untuk merenung, jadi ini semacam terapi buat dia. Di NY, Jepang orang sudah lari semua. Maka orang banyak pergi ke Jawa, pergi ke mbah Prapto untuk belajar meditasi dsb. Ini 40 menit begini ini. Dalam cerita belum ada manusia, yang ada binatang, dan menurut nalar kami karena belum ada manusia, disini belum ada vokal dalam garapan musiknya. Tadi pertanyaannya pak Cahya sangat susah untuk dijawab, apa sebenarnya roh dari ilagaligo itu. Ilagaligo sangat panjang sekali dan cerita ini tidak seperti mahabarata mengambil satu episode, misalnya begawagita (?) atau apa, sehingga kita tahu apa yang dibicarakan dalam adegan. Ini baru mengenalkan ilagaligo sendiri ke masyarakat dunia luas. Tapi saya kira kita tahu sekali nanti unjung-ujung kesenian adalah apresiasi, bagaimana Robert Willson bisa membawa masyarakat dunia bisa mengapresiasi budaya Sulawesi. Yang Sulawesi belum pernah dikenal, menjadi terkenal. Dulu Indonesia hanya dikenal Jawa dan Bali, tapi dengan Ilagaligo ini kemudian Sulawesi menjadi terkenal, termasuk nilai-nilai yang terkadung di sana. Misalnya nilai tentang gender, dimana wanita Sulawesi perkasa sekali, seperti terlihat dalam tari Pakarena itu, musiknya sangat keras sekali tapi tarinya sangat pelan sekali dan tenang. Karena memang wanita Sulawesi tahan banting, seperti karang yang diterpa oleh ombak tetap teguh. Jadi saya menyarankan kalau yang belum punya istri, carilah istri orang-orang Makassar, karena tahan
banting. Tadi sudah digarisbawahi oleh pak Wahyu bahwa nilai kesenian bukan hanya, apa. Tapi di dalam pemahaman itu sangat holistik, sangat menyeluruh, tidak hanya dilihat dari – misalnya kalau melihat manusia, dari segi fisiknya, dari segi kromosomnya, tapi semua hal. Maka pemahaman di sini harus dari berbagai hal. Dan ada cara pemahaman yang berbeda dan ada kebenaran yang berbeda. Pak Gendon sangat gamblang memberikan contoh ketika kebenaran kesenian itu beda dengan kebenaran sehari-hari atau kebenaran dalam agama. Ketika mas Bambang marah ingin berkelahi dengan orang, enggak usah ditanya, langsung aja ditempeleng. Tapi kalau dalam kesenian enggak, marahnya malah nembang, ini apa, kaya gini enggak – seperti tadi disebutkan langit dihubungkan dengan bambu ke – tapi itulah kesenian, itu memperkaya pada apa ya, memperkaya jiwa kita terhadap pemahaman terhadap apapun, terhadap dunia, manusia, dan terhadap persitiwa. Tidak sekedar melihat satu wilayah. Jadi apresiasi, penghargaan itulah yang sangat penting dan memperbagiki kualitas hidup manusia. Saya kira sama saja di Jawa, di Bali, di Malaysia, di India, intinya adalah kehidupan itu tidak seperti matematik, dua tambah dua ada empat, tapi disini misalnya ada film yang sangat menarik, kalau boleh saya putarkan. Di sini ada film dari negeri Iran yang memenangkan, mendapat award film pendek terbaik. Itu judulnya aneh, 2+2=5, bukan empat. Ini dalam perkuliahan sering saya putarkan ketika saya memprovokasi mahasiswa membuat karya yang simple tapi punya makna yang bagus dan membuat karya ini enggak sampai dua juta, tapi memenangkan film terbaik di festival film Khan di Perancis. Silahkan dilanjutkan dulu pak Guntur atau bu Shahanum. Moderator: Njih, bu Shahanum mungkin.. Bu Shahanum: mungkin saya memberikan jawaban untuk persoalan yang terakhir. Bapak saya rasa ini bukan isu ilmu mendahului seni. Sebab saya rasa dalam artistik riset juga sebagian daripada apa yang perlu kita terima juga adalah artistik riset itu berbentuk subjektif. Sebab masih seniman itu sendiri yang menjalankan. Dan kita juga, apakah riset itu? Yang kita tahu bahwa ilmu itu boleh datang daripada sebagai sensori tesit (?) kita, itu yang saya sebut tadi, adakah tesit knowledge. Kita tahu ilmu itu tapi cuma belum dikeluarkan dalam perkataan saja, bukan declarity. Tapi mungkin dalam konteks ini untuk dianggap sebagai artistik riset perlu ada penulisan, kalau di Eropa misalnya, di consevetoar (?) untuk dianggap artistik riset, bagian penulisan itu mesti ada. Tetapi boleh buat artistik produk yang tidak memerlukan penelusian, tetapi tidak dianggap sebagai artistik riset. Saya rasa itu bukan isu ilmu mendahului seni, itu cuma isu bagaimana kita boleh tuliskan atau memberi kepahaman dan menyampaikan bagaimana proses yang kita lalui untuk menghasilkan produk artistik itu. Dan mungkin soalan ibu mengenai kolaborasi. In the end, saya rasa dia akan bergantung pada institusi juga. Ada yang membantu dan boleh membantu menulis, tetapi akhirnya karya itu masih saja siswa yang menjalankan. Artinya kolaborasi itu perlu dijawab oleh institusi itu. Moderator: Njih, monggo pak Guntur. Pak Tasman kan tadi belum ada yang menyinggung. Pak Guntur:
Baik, terima kasih. Kan kalau yang mendahului jawab itu kan profesor, maka yang dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan diatasnya. Jadi itulah jawabannya. Terima kasih pak Tasman, yang adalah empu. Apresiasinya saya ucapkan terimakasih. Tapi kalau toh sampai hari ini pak Tasman masih merasa ada yang belum, maka ini bagian dari usaha untuk bagaimana seni itu memperoleh posisi, memperoleh marwahnya sendiri. Ya kalau contoh-contoh bagaimana aspek-aspek teknik. Jadi kalau saya mengatakan bahwa teknik itu juga penemuan, jadi toh kalau ada sesuatu yang baru yang bisa diinformasikan dan itu sebagai sebuah pengetahuan, maka itu juga bagian dari pengetahuan. Keterampian kemudian teknik-teknik tertentu itu juga bagian dari pengetahuan. Karena itu baik itu yang sifatnya teknis maupun juga yang konseptual. Kemudian yang untuk ibu Rene, jadi ada problem kalo di luar institusi ya enggak apa-apa, tapi kalau di institusi itu pengertian kolaborasi dalam konteks penulisan itu berbeda. Jadi bukan sebagai co-author tapi individu. Jadi seorang mahasiswa memang idealnya, proses kerja kreatif dan karya seni itu dituangkan dalam sebuah riport. Problemnya, apakah problem penulisannya? Saya kira memang ada asistensi yang selain pada tim mungkin ada agen yang memang di insitusi itu bertanggungjawab untuk melakukan supervisi terhadap itu, saya kira. Itu kaitannya kemudian dengan model seperti apa tulisan itu, kan begitu. Saya kira ini bisa ditindaklanjuti dengan seminar yang kemudian – kalau ini sudah dirumuskan apa sih artistik riset dan bagaimana melakukannya, maka pertemuan berikutnya saya kira khusus, misalnya mempersoalkan tentang aplikasi penelitian artistik itu, nah masing-masing nanti berbeda. Kalau saya lebih mengatakan bidang ilmu saja, pak Cahya ya. Terlepas dari setuju atau tidak bahwa pemerintah telah melegalisasi dalam sebuah peraturan, dalam regulasi ada bidang ilmu yang itu kemudian manifesnya adalah di program studi. Kemudian itu juga aka nada bagian-bagian pengembangan dari program studi itu. Kemudian saya kembalikan ke ibu Rene, artinya begini, interaksi antara seniman dengan proses itu kan mediumnya berbeda-beda, tergantung latar dari senimannya. Ini saya kira menarik untuk dibahas di berikutnya, aplikasi-aplikasi yang kemudian ada semacam template untuk dirumuskan lebih jauh. Contohnya barangkali begini, jadi seniman itu kalau berkarya seni kan tidak, bukan didasarkan semata-mata karena ada sebuah fenomena yang sudah sangat kritis, sehingga itu penting untuk diteliti. Seorang seniman karena kekaguman karena penghargaan, itu juga bisa berkarya seni. Jadi kalau dilukisan itu ada aliran-aliran lukisan, misalnya mooi-indie, misalnya, itu karya-karya yang kemudian semuanya molek. Kemudian karyanya Basuki Abdulah, itu juga seperti itu. Karena kagumnya, bukan karena ada fenomena yang karena kritis. Nah itu kalau di penelitian yang diluar penelitian artistik itu dianggap krusial, salah satu apa? Karena kesenian ini mau punah. Saya kira yang juga perlu dilakukan adalah pasca kalau memang mau menempatkan penelitian artistik ini sebagai core, menurut saya memang kemudian perlu melihat dan menelaah disertasi atau tesis penciptaan seni. Itu nanti dibuatkan peta tentang model. Jadi darimana pun tesis yang di Indonesia yang fokus di penciptaan, itu nanti ditelaah, dikaji secara serius, kemudian akan kelihatan. Jadi ada model-model. Nah apakah model yang ada itu kemudian sudah kita anggak representative atau kah belum, nah itu nanti ditindaklanjuti berikutnya.
Prof. Panggah: ini salah satu contoh yang berbeda dengan pak Guntur bahwa karya seni itu bisa timbul karena keadaan kritis. Ini Cuma 2 menit, jadi enggak (memutar film). Kita lihat bahwa kebenaran itu bisa dipaksakan oleh kekuasaan. Ini kritik dari masyarakat Iran dari pemerintahnya yang dulu, bahwa sangat otoriter bahwa ya semua bisa dibenarkan atas dasar kekuasaan. Filemnya sangat sederhana tapi misinya sangat dalam dan tidak ada dalam kesenian kita mencari benar salah, tapi manfaat enggak, itu memberi pesan yang bermanfaat untuk kita atau enggak. Terima kasih. Moderator: njih bapak-bapak ibu-ibu terimakasih atas kehadirannya, dengan tekun menghadiri, mengikuti paparan dari pemrasaran dan paparan dari para penanggap. Terakhir saya hanya ingin menengaskan bahwa – sebenarnya banyak ide yang bersliweran di dalam diskusi kita ini, tetapi pada intinya memang seni bukan ilmu, ilmu bukan seni tetapi studi penciptaan seni itu artinya adalah studi ilmunya bagaimana mencipta seni, oleh arena itu akademi writing itu menjadi sebuah keniscayaan di sebuah dunia akademik dan kompetensi itu menjadi problem yang memang perlu kita geluti. Yang jelas seoarang pencipta seni bisa melakukan penciptaan seni karena dia tahu ilmunya mencipta seni. Dan selama ini memang di dalam dunia penciptaan seni, rata-rata ilmu dari penciptaan seni itu masih ada di kepala itu sendiri. Di dalam dunia filsafat disebutkan sebagai, masih tersembunyi. Oleh karena itu dunia akademik adalah bagaimana mengeksplisitkan filsafat tersembunyi itu menjadi sebuah pengetahuan yang eksplisit. Dan ini nampaknya jadi upaya kita bagaimana dunia seni berkembang karena aktivitas-aktivtas. Mudah-mudahan artistik riset itu menjadi pintu masuk tumbuhnya pengetahuan-pengetahuan baru sehingga dunia penciptaan seni menjadi lebih semarak. Saya kira itu yang nampaknya diskusi siang hari ini sesungguhnya masih belum tuntas. Nampaknya mungkin pasca sarjana masih memerlukan sebuah sesi lagi untuk mematangkan ide-ide penciptaan, tentang artistik riset, dsb sehingga menjadi disiplin yang kokoh. Kita akhiri dan kita tunggu sesi berikutnya, sesi yang sangat kita nanti-nantikan, dua pembicara lulusan Jerman, yaitu kang Tisna Sanjaya dan Melati Suryodarmo
TJ sesi 2 Moderator: Kita akan lebih banyak menggali tentang bagaimana problem-problem riset artistik. Ada beberapa benang merah yang bisa dan tampak di dalam pembicaraan ini saya kira bahwa riset memang itu harus dilakukan secara personal, karena yang paling tahu adalah seniman itu sendiri. Tapi catatan penting untuk riset, sebetulnya tadi selalu diingatkan bahwa sebetulnya pengalaman biografis kesenimannya itu menjadi sangat penting. Itu yang mendasari pada proses-proses berikutnya. Dan ini saya kira sebetulnya sama yang sedang dilakukan di solo pun seperti itu. Karena ini juga berkaitan sebenarnya dengan tadi yang ada kata-kata “tidak tergesa-gesa” mungkin ini yang mendasari problem, terutama bagi teman-teman yang masuk ke ranah studi S3, ada batasan studi. Sementara dua pembica mengingatkan, berkarya atau melakukan riset itu tidak harus tergesa-gesa. Butuh kematangan, butuh pemahaman, butuh renungan, butuh refleksi yang akhirnya mengantarkan ke seperti apa karya itu. Karena tadi juga dicatatkan oleh kedua pembicara bahwa ok, bahwa itu memang sebuah pernyataan sikap disisi
lain di ingatkan masalah berbagi. Menghasilkan karya seni, meriset karya seni bukan untuk kepuasan si pengkarya sendiri, tapi itu ada dimensi berbagi. Kalau artis menyebutkan dimensi etik estetik pedagogi. Itu yang bisa saya catat sementara dari point-point ini. Monggo, waktu kita masih cukup, sampai jam 3. Ini 14.08, silahkan dari forum. Ok, pak Saba, Yola, dari UNES, kemudian nanti tolong sebutkan satu persatu. Empat dulu, njih. Monggo. Pak Sabe dulu, mohon 3 menit kira-kira, supaya bisa lebih efektif, biar ada kesempatan tanya-jawabnya lebih ini lagi, njih. Pak Sabe: terima kasih, akhirnya saya mendapat juga kesempatan walaupun tadi yang pertama tidak diizinkan karena memang waktu. Terima kasih waktu yang diberikan pada saya, pada session ini. Saya sebenarnya ingin, nyorowedhekke yo (?), ingin mengunsultasikan, ingin sharing, ingin menyampaikan beberapa hal yang berhubungan dengan pengalaman yang telah saya lakukan beberapa saat. Saya baru saja menyelesaikan karya music yang hasilnya telah saya tumpuk tanggal 10 November kemarin. Berhubungan dengan itu, tema artistik riset yang diwacanakan dari pagi, terkait dengan penciptaan karya. Saya masih ingat proses saya untuk melahirkan karya, walaupun tidak lebih dari 6 bulan prosesnya. Itu adalah proses pengkaryaan yang cukup singkat, barang tentu karya ini terkait dengan persoalan proyek. Harus dituntut tanggal sekian deadline dan seterusnya. Berbeda dengan karya-karya para empu kita dahulu adalah fundamental sekali. Konon mereka berkarya berpuluh-puluh tahun sampai karyanya itu tidak tertulis siapa pengkarya sebenarnya. Saya telah melakukan proses berkarya, nanti akan saya tanyakan langsung kepada pembicara, kedua-duanya tentunya, apakah proses saya ini sudah menyentuh hal-hal yang bersifat artistik riset dalam pembentukan karya. Ceritanya begini, pertama kali saya ingin berkarya, saya melakukan perenungan. Perenungan itu cukup lama dan sulit untuk ditrangjelaskan. Karena perenungan itu adalah sangat pribadi sifatnya. Kemudian setelah perenungan itu, munculah ide saya untuk mendekati beberapa instrument, yang tentunya ada di sekitar saya, di kampus saya, di rumah dan seterusnya. Mencoba-coba untuk menjelajahi bunyi, potensi suara atau bunyi yang ada di beberapa instrument tersebut. Selanjutnya menentukan instrument, oh ini yang akan saya gunakan, oh garap ini yang akan saya pakai. Dan akhirnya saya melakukan eksplorasi bersama teman-teman sesame pendukung karya. Begitu selanjutnya, selalu ada perubahan setiap bereksplorasi. Setiap melakukan latihan itu tidak pernah tidak, perubahan itu selalu ada. Kemarin begini, ditulis dengan baik dan teratur, dilakukan, ternyataang bukan itu, bukan itu, bukan itu dan seterusnya, berlanjut sampai beberapa bulan, itu prosesnya. Hal-hal yang semacam itu menurut para pembicara ini, apakah, sejauh mana saya sudah melakukan sesuatu artistik riset yang yang terkait dengan kaidah-kaidah penelitian kekaryaan seni. Apakah aktivitas yang semacam itu sudah dapat dikatakan, bahwa saya berkarya seni sudah melalui proses artistik riset itu sendiri. Terima kasih. Moderator: terimakasih pak Saba. Selanjutnya, Yola. Yola: selamat siang. Saya Yolla, mahasiswa ISI Surakarta. Saya sebenarnya pengen menggali dapur lebih jauh ni ke pak Tisna dan mbak Melati. Dari tahap riset menuju karya seni itu pasti
ada trasnformasi sampai akhirnya, nah ini nih, pasti laku, istilahnya begitu. Tapi dalam konteks pendidikan pasti diterima di akademisi. Moderator: selanjutnya bapak dari Jember, silahkan pak. Didik : terima kasih atas kesempatannya, saya Didik dari Jember, UNED. Para pembicara, saya hadir kesini memang tertarik untuk - dalam rangka mendapatkan lebih jelas antara bagaimana saya seoranis, pencipta dan juga akademisi, karena saya mengajar. Bagaimana supaya antara seniman dan peneliti itu nyambung, begitu. Karena kenyataannya saya sendiri sebagaimana umumnya masyarakat Indonesia, adalah hasil dari budaya lisan yang cenderung kurang bisa menulis. Lebih bisa melakukan hal-hal karya yang bukan tulis, begitu. Tapi saya berkompromi dengan isu-isu di luar, bahwa mereka yang diluar pun pada khawatir gitu kalau hal ini berlangsung akan mengalami nasib seperti kita, dimana kita tidak pernah tau bagaimana misalnya prambanan itu diciptakan, apakah pakai lem atau bagaimana. Bagaimana, katakanlah perahu yang indah yang dibawa Laksamana Nala di dalam ekspedisi Pamalayu itu diciptakan, kok pada waktu itu sudah bisa tercipta seperti itu. Saya kemudian menyadari sebagai seniman bahwa saya harus mengubah diri dari kebiasaan tidak mau menulis, yang akibatnya anak cucu ini hanya bisa menjadikan hal-hal yang sebenarnya bisa ditiru itu menjadi mitos, karena tidak ada dokumentasinya. Prambanan itu karena saya tidak tahu, tidak pernah ada catatan bagaimana batu-batu itu di lem, maka yang saya percayai dan juga orang lain hanyalah mitos-mitos. Batu itu di lem ada yang bilang pakai putih telur, banyak itu. Dan kemudian saya tahu, oh mengapa pada tahun 2000 berapa itu UNESCO mencetuskan Convention for the Save Guarding of the Intangible Cultural Heritage. Mungkin kebanyakan kita itu yang kebiasaannya tidak mau menulis prilaku. Tidak mau menulis proses, seniman termasuk saya, cenderung begitu, memuaskan keinginan berkarya sementara tidak sadar bahwa karya-karya kita ini pelru menjadi jembatan bagi generasi-generasi berikutnya. Kedatangan saya ke sini, sebenarnya terus terang, kami ingin mendapatkan itu. Artistik research itu bagaimana saya sebagai seniman yang dilahirkan dibentuk oleh budaya lisan ini menjadi bisa menulis supaya generasi saya berikutnya itu tidak senasib seperti kita. Negara kita ini mungkin dulu pernah hebat, ya yang saya sebutkan Laksamana Nalla, bisa membuat kapal yang bisa mengangkat ribuan pasukan dalam ekspedisi Pamalayu tetapi kemudian kita kapal saja beli rongsokan, misalnya. Beli bekas, misalnya. Atau teknologi perkapalan kita tidak cukup berkembang. Di dalam seni kira-kira senasib seperti itu. Kita begitu bangga sebagai seniman sementara seakan-akan mengejek teman-teman yang memburu penelitian karena diilok-olokne. Seniman gak tulus iki, golek pangkat tok, nguber penelitian tok, begitu. Nah kedatangan kami sebenarnya ingin kita dengan sadar mau berubah bahwa ada kepentingan transfer karya-karya seni, sehebat apapun, atau sekecil apapun, supaya bisa menjadi dikembangkan. Tadi penanya di sesi berikutnya juga menanyakan, ini mungkin yang menyebabkan istitusi seni kita tidak bisa memberikan sumbangan kepada perkembangan kesenian, atau tidak cukup memberi sumbangan pada kesenian. Ya masalahnya budaya itu. Andai ada artistic research itu, kita bisa ciptakan musikologi, filmologi, dll. Andai suatu saat nanti ada workshop lagi, bisa mengarah ke situ, hal-hal semacam itu, saya sangat ingin sekali
mengubah kami seniman yang terlahir dalam budaya lisan ini bisa mengubah menjadi memiliki semangat, memiliki ketidakalergian terhadap aktivitas menulis, terima kasih. Moderator: terima kasih pak Dedi. Selanjutnya, monggo. FPi: terima kasih, selamat siang. Saya dari FPI, Front Pembela ISI jogja. Sebelum sertanya saya ingin mengucapkan selamat hari raya lebaran kuda. Meneruskan pertanyaan dari beberapa rekan sebelumnya, dari mbak Yola dan mas ini. Mungkin saya tidak akan bertanya tapi menajamkan pertanyaan. Dadi corone iku ono sik wis takon njuk aku ngasah. Pertanyaannya seperti ini pak, kira-kira kalau bicara artistic research kita bicara metode kan, maka yang saya tanyakan adalah metode perwujudan karya. Mungkin bisa dari langkah gagasan, seleksi gagasan, analisis gagasan, kemudian proses bagaimana mempertimbangkan ketika terjadi konflik antara gagasan yang satu dengan yang lainnya, pasti ada proses menyeleksi gagasan. Kemudian ada proses memutuskan ini saatnya aku berhenti sejenak dan memilih gagasan yang satunya lagi untuk diteruskan, itukan menarik. Sebenarnya kita bicara artistic research adalah kita mereset proses yang terjadi di dalam perwujudan. Opo meneh yo? Wes iku wae pak, bu. Moderator: iya, terima kasih. Monggo mbak Melati dulu bisa dijawab. Rata-rata memang persoalan tentang riset artistik tentang transformasi, klarifikasi, tentang seperti apa riset artistik dan metode itu. Melati: ini pertanyaannya mirip-mirip sebenarnya ya. Ada teman saya zaman ngampar di lantai, perform di pinggir jalan, dsb. Dia sekarang menjadi salah satu perupa yang sangat disegani, mendapatkan golden lion dari Venice biennale beberapa waktu lalu, dia dalam bejual beli karyanya, karya performance – itu bisa dikoleksi ya oleh Museum. Ketika dia memperjualbelikan karyanya itu dia tidak mau menggunakan transaksi tertulis, artinya dia hanya mengundang, misalnya kang Tisna mau beli karya saya, saya hanya mengundang mas Aton sebagai saksi hidup untuk melakukan transaksi itu. Yang mengejutkan itu diterima di lingkungan contemporary art, itu Tino Sega (?). Ada semacam refleksi kepada kita yang hidup di dunia yang tidak mencatat, dunia bahasa tutur. Saya pikir – saya enggak tahu kebenarannya itu. Dan saya sebenarnya seneng kalau dosen-dosen dipaksa ambil S3. Karena dengan begitu ada semangat menulis, paling tidak ya. Dan saya pikir kesulitan membuat artistic research ini ketika justru sebelumnya itu tidak punya karya yang cukup, itu sebetulnya hambatan paling besarnya. Karena untuk memilih metode untuk menjadi alat atau tools pendukung yang kita bisa pinjam dari luar. Untuk menemukan apa sih sebetulnya metode yang bisa kita tawarkan, keilmuan apa dari proses penciptaan itu sendiri, ya susah kalau tidak ada fakta-fakta yang cukup mendukung itu. Dan itu adalah sangat dilematik tentunya, dan saya pikir mungkin daripada penciptaan, lebih baik pengkajian sekalian karena dipenciptaan itu lebih kompleks tantangannya. Jadi ada semacam subjektivitas atas keabsahan atas ilmu yang ditawarkan sebagai ilmu yang baru. Karena bagaimana menguji subjektivitas anda. Itu mbolak-mbalik, mbolak-mbalik lagi. Itu abasah karena muncul dari prakteknya sendiri dengan argument fakta-fakta yang terkumpulkan itu. Dan ketika dia menjadi sebuah tawaran baru itu sah-sah saja. Jadi memang tidak dibikin terlalu stress, ini seni science yang diutamakan dan segala macam. Saya pikir belum sampai
harus khawatir semacam itu. Karena yang di seni sendiri juga sebenarnya sudah mempunyai kesempatan lebih banyak. Bertahun-tahun lalu kan belum ada, ini kan program S3 riset seni kan baru, selama ini penciptaan yang lebih diutamakan. Saya pikir bagaimana metode ditawarkan sebagai ilmu yang bisa dibagikan, itu sebagai seorang seniman. Oh ngapain saya ini nawar-nawarin ilmuku, metodeku, lain-lain segala macem. Tapi perkembangan zaman, saya sebenarnya ingin sekali belajar dari pak Wahyu SP. Ilmunya yang wahhh begitu dia – saya mengaguminya dari saya kecil. Bagaimana ilmu itu tertuliskan, gitu. Karena pada prinsipnya kalau tari tradisi yang penciptanya adalah anonymous itu tadi memang penularannya ilmunya memang dari pertemuan, pengajaran, nyantrik di padepokan, dari tubuh yang terus berlangsung dan ditularkan itu, terus, terus, terus. Nah itu kekuatan, justru saya mempelajari itu, bagaimana bahasa tutur itu bisa menularkan ilmu. Karena saya sendiri tertarik pada anonymous. Itu sebagai filosofi tersendiri ya, bagaimana kita sebagai seniman dan nama, dan kepemilikan atas hak metode penciptaannya ini. Itu agak kontradiktif sebenarnya, tapi juga untuk perkembangannya mungkin memang perlu. Dan itu bisanya dulu tugasnya filsuf mengamati, membongkar, segala macem. Nah ini bagaimana seniman itu sendiri menempatkan diri sebagai peneliti sekaligus sebagai seorang yang menawarkan ilmu baru, berat sekali. Kalau sebagai -tentunya dengan segala respect- art historian, pengkaji melihat sebuah fenomena, meneliti, dan melakukan kegiatannya seperti layaknya seoarang peneliti, ya itu sudah ada di framenya, gitu. Saya pikir untuk memasuki artistic research S3 ini, pak Ketut Sabe saya yakin bertahun-tahun pasti, apa ya pak, saya tidak ragu bahwa perjalanan pak Saba itu semuanya ada benang merahnya. Jadi menurut saya kegelisahan untuk menciptakan yang baru itu sebenarnya lebih, porsinya itu sudah ternetralkan dengan sendirinya atas apa yang pak Saba selama ini lakukan dari muda sampai sekarang. Tapi memang menciptakan karya baru memang sangat exciting ya. Ini bener atau enggak. Tidak ada yang bener, tidak ada yang salah kalau saya. Jadi yang menjebak itu justru karena kita di frame untuk menuliskan dengan benar dan baik segala macam, itu memang tantangan. Kalau enggak mau belajar nulis ya jangan bikin artistic research, gitu. Saya galak, nganyelke ya? Tapi memang harus begitu. Saya tidak setuju dengan adanya pendampingan dalam penulisan untuk artistic research Phd. Karena memang itu adalah dia, gitu. Nanti fungsinya juga sulit si pendamping itu, bagaimana eksistensi dia? Kalau misalkan membayar orang untuk mengedit, sebagai editor tulisannya atau mengoreksi grammar segala macem silahkan. Tapi penulisan memang butuh proses, semuanya mau cepat, bagi saya, saya ragu. Saya ragu karena meragukan ke absahannya juga, apakah si doctor itu mungkin layak mendapatkan, sebagai seorang yang menawarkan ilmu baru jika dituliskan oleh orang lain. Karena penulisan itu proses yang sangat rumit. Makanya, sederhana, urut, diurutkan walaupun sederhana enggak besar-besar teorinya segala macam tapi menguasai itu malah lebih menarik bagi saya karena ada niat untuk membagikan Ilmu itu adalah niat baik. Terima kasih. Moderator: selanjutnya, kang Tisna. Tisna: kalau menurut saya, menulis itu bisa belajar, karena takdir kita bukan tidak bisa menulis. Takdir saya orang Sunda, Ahok Cina. Nah itu tidak bisa dirubah saya jadi cina. Tapi saya belajar
agama Ahok, saya bisa. Dia juga bisa belajar agama saya. Dan saya bisa belajar untuk kerja keras kaya dia, itu. Dan juga dalam menulis, jangan takdir seniman tidak bisa menulis. Jadi saya menyelesaikan S3 saya di Jogja, tulisan saya banyak sekali, dan saya suka sekali pada waktu proses kreatif menulis ketika di Jogja. Suka banget. Dan juga kalau sudah suka kan – seperti kita ketahui disini – seniman serius kan pasti itu ada respect terhadap apa yang kita kerjakan. Percaya deh. Kalau sudah menulis, pasti seneng. Dan juga saya tidak menyangka sebelumnya ke Jogja. Saya S1 di ITB, S2 di Braunschweig Jerman, saya ingin belajar lagi ke Jogja. Terus di sana memang saya tidak, saya praktisi, pencipta karya seni, maka dari itu saya mengambil penciptaan karya seni di Jogja. Tapi diharuskan menulis. Dan saya belajar pada orang yang suka menulis, pada prof. dwi marianto, pada teman-teman di Jogja yang para penulis. Gimana cara menulis itu ya? Oh gitu. Sampai sekarang saya suka sekali menulis. Kalau sudah berhadapan dengan, ini saya tadi tuh, saya persiapkan ini tadi ya. Dimana-mana saya menulis. Juga saya, banyak sekali karya-karya yang sudah dicetak. Saya bawa ke sini, saya serius membawa persiapan ke sini tuh supaya honornya agak gede. (forum terbahak). Pokoknya menulis sudah dijawab ya. Pokoknya takdir kita bukan tidak bisa menulis. Bisa menulis. Tapi kalau etnik dsb, tidak bisa dirubah ya, saya jadi Cina enggak mungkin, saya jadi Arab enggak mungkin, gitu. Tapi kalau belajar untuk bisa kerja keras, pasti bisa. Terus untuk Yola, saya kira menarik ini pertanyaannya. Momentum kapan mencipta karya, transformasi seperti apa ketika proses sepanjang berbelit-belit menjadi karya seni dari katakanlah riset-riset itu. Itu juga kadang enggak terduga ya, karya seni itu ujuk-ujuk jadi aja. Ada contoh misalnya terakhir saya diundah oleh Erasmus Huis Jakarta, terus penciptaan karya seninya tu ujuk-ujuk, seperti ini. Jadi karyanya tu seperti ini (I jang, kesana-kemari, reset dsb. Tapi hanya dalam seminggu ketemu. Ketemunya itu ya di rumah karena di rumah suka pakai galon air, terus saya ingat kalau masak pakai yang seperti itu. Nah ini, jadinya seperti ini. Ketika dipamerkan juga karena ketemunya momentum yang tidak bisa diduga, terus jadi, kesananya enggak bisa dihentikan. Sampai galeri di Erasmus Huisnya itu bingung, “kamu harus pulang, pulang, pulang pulang sana” kata Michael Leiner (?) pimpinannya. Saya ingat Affandi kalau sudah berkarya itu sulit dijelaksan, tapi kita bisa menjelaskan karena kita takdirnya bukan hanya itu. Tapi kita bisa merenung, eksplorasi, bisa belajar, baca, dsb. Saya pelajari hikmah belajar di Jerman. Sunset, lihat Ancent Caver (?), ada boys yang punya sikap dalam berkarya seni. Saya baca itu, terus jadi salah satu panduan pada karya ini. Ya ini, Yola ya. Kadang enggak tahu harus kapan dan dimana. Tapi kalau sudah ketemu, wah udah, jadi terus. Seperti Ronaldo ya, kalau main bola itu ya kadang-kadang dia bilang enggak latihan, tapi kalau sudah ketemu, main bola jadi. Dan juga tergantung lingkungan. Lingkungan itu mempengaruhi juga, kalau lingkungannya enggak suka nulis, lingkungannya menganggap enteng pada karya seni, pada etik, pro pada hal yang tidak berpikir, gitu ya. Kalau Bois (?) bilang “kalau tidak ikut berpikir, kamu terbuang”. Jadi kalau kamu tidak mau ikut berpikir, ya udah, pergi aja sana. Nah itu yang jadi – menarik ini, basic pelatih Liverpool, dia itu prosesnya kuat dan suka baca filsafat, dan kalau melatihnya itu ada kebebasan di Liverpool itu. Siapa? Jurgen Klopp ya, saya suka baca itu ya, bisa ada hubungan antara olah raga, seni. Jadi
riset saya tidak hanya satu, pada seni, pada air, pada kharuhun (?), dsb, pada televisi juga. Saya lihat Jurgan Klof saya baca prosesnya, kenapa ini? Liverpool ketika dia pindah dari dorkmoon (?) bisa jadi, dan Jorgen Klopp memberikan kebebasan pada kelompoknya. Jadi kalau kamu disini ya, sekolahnya dimana dek(?), yang nulis itu ya, di jember. Kalau komunitasnya tidak mendukung untuk itu, hijrah. Dulu pernah Ronaldo hijrah dari MU ya, pindah ke Barcelona, karena di MU itu dia tidak dapat ini, dia cadangan terus. Dia tidak diberikan kebebasan seperti di Madrid. Eh kesana-kemari, cukup dulu lah FPI: Pak pertanyaan saya ora? Moderator: metode Tisna: dari Front Pembela ISI Jogja. Kamu sudah menistakan FPI ya…, ya memang tadi itu. Apa namanya – barusan sudah dijawab sebetulnya. Enggak bisa diprediksi resep-resep itu ini dulu, ini dulu dalam berkarya seni itu. Tapi masing-masing seniman punya metode penciptaan sendiri, jadi saya tidak bisa mendesakkan proses kreatif saya ini dilakukan oleh mahasiswa. Enggak. Sebab masing-masing itu seperti tadi disampaikan oleh pembicara sebelumnya, itu coba ceritakan dulu, kamu tu darimana? Saya di kelas sama, punya 20 mahasiswa. Ketika masuk, ceritakan satu per satu. Yang dari Jember, gimana kelakuan kamu wakyu kecil, ayahnya gimana, tapi sebelumnya saya bercerita dulu, lama sampai sore, jadi jangan tergesa-gesa. Melati: sampai sore Tisna: iya, sampai sore. Jadi kalau sudah saling memahami antara saya dan mahasiswa, jadi kita enak, tinggal bermain wa aja dengan grup mereka. Pergunakan semua teknologi baru sekarang secara barokah. Ya? Itu… yang barokah. Jadi saya punya grup ini, grup ini, yang jelas hatinya dapet dulu. Karena professor di Jerman mengajarkan itu. Di awal semester mereka menuliskan, di tembok itu di tulis, siapa yang mau belajar pada saya, tulis disini, ada 15, terus dia dilihatin CVnya yang paling update apa, prosesnya gimana, akan dibawa kemana, dsb. Rebutan mahasiswa datang kesana. Kalau disini kan kita seperti membeli kucing dalam karung,, maaf ya.. ha dosen enggak pernah berkarya, datang ke pameran juga enggak, nulis juga enggak, riset juga enggak. Kayanya enggak suka kesenian, hanya suka gaji aja gitu. FPI: Proyek pak Tisna: ya proyek, maap ya. kalau ada reformasi, menurut saya bukan hanya riset artistik aja. Tapi artistik dari pemangku-pemangkunya. Itu harus didorong, kalau enggak hanya blablabla aja begini. Harus ada proses perubahan. Di sini, sudah konstruksi yang sudah salah, di negeri ini. Mulai dari perguruan tinggi, ambil dosen-dosen kaya Melati, langsung jadikan professor, mas prapto jadikan professor. Ini sulit sekali jadi professor di Indonesia. Padahal professor itukan kaum marifah (?), kalau sudah tangkat marifat jangan pakai yang gini-gini, skopus (?)-skopus an. Udah sesame marifat, kamu jadi profesior. Kelihatan tu, di masyarakat udah kelihatan karyanya, fungsinya, dampaknya pada masyarakat udah kelihatan. Ini sulit sekali. Aduh menurut saya harus ada keberanian dari institusi seni untuk menempatkan pentingnya satu kelompok komunitas yang punya aura itu. Kalau enggak terus aja birokrasi, birokrasi bikin kaya ginian terus, capek-capek. Kita kan tahu, para professor itu kan udah tahu ini harus jadi, pangkatnya
naik. Tinggal kasih tau aja sama dikti kesana. Karena orang-orang dikti kan enggak begitu paham proses kreatif disini. Betul, memang betul tapi susah. Susah sekali membenahi Indonesia ini saudara-saudara sekalian. Moderator: baik, saya kira memang kalau kasus itu. Indonesia pun mengajarkan kasusnya pengangkatan prof. sardono, jadi berdasarkan kepakarannya. Tapi mudah-mudahan ini tidak terjadi sebagai alat perjuangan kang Tisna untuk meraih gelar professor lewat itu. Tapi saya kira ini sekaligus mengingatkan, ada pertanyaan di sesi awal tadi, bahwa seminar ini seolah-olah untuk melegalkan bahwa riset artistik itu untuk kenaikan pangkat. Saya kira bukan itu persoalan kita. Tisna: salah satunya. Moderator: itu salah satunya. Ada beberapa point yang menjadi masukan bagi kami bahwa tentang creative writing, persoalan-persoalan menuliskan, bagaimana menuliskan karya seni, misalkan. Juga tadi persoalan-persoalan yang dicatat juga disitu. Dalam proses, misalkan ada dimensi flow yang tadi kang Tisna juga, itu kadang tidak terduga, kadang bisa juga cepat, dan tidak bisa ditentikan. Jadi ada penikmatan arus pengalaman, gitu. Monggo, apakah ini mau dielaborasi atau kembali ke yang persoalan yang besar tadi tentang metode, sikap, orientasi, misalkan. Masih ada cukup waktu. Masih ada 15 menit lagi. Monggo. Arham: terima kasih, nama saya Arham dari Jogja, mudah-mudahan saya tidak keliru, tapi dalam beberapa literature perdebatan awal yang muncul adalah dalam persoalan riset artistik, bagaimana caranya menggabungkan antara medium ekspresi dengan medium ilmiah, ini memang dikotomi yang sangat banal, tapi demikianlah adanya. Tapi kemudian di elaborasi terus dan melahirkan satu genre penelitian yang masih dalam tahap perdebatan, saya kira. Dan masalahnya adalah kalau untuk kasus kita, saya kira bukan sekedar dalam penulisannya, tapi penerimaan tentang kebenaran dari penelitian yang menekankan pada subyektifitas itu sendiri. Kadang kala, penggunaan kata saya saja dalam ruang-ruang akademik itu dilarang, padahal dalam beberapa model penelitian, misalnya dalam riset sosial humaniora dikenal satu istilah metode penelitian autoetnografi dimana kita lebih bisa dialogis dan bisa lebih eksploratif dan naratif dalam menampilkan data-data penelitian. Saya kira ini mungkin bisa digunakan dalam praktik riset artistik, karena pada kenyataannya kita juga tidak baru-baru banget dengan hal seperti ini. Mungkin surat-surat malamnya Nashar bisa menunjukkan itu, bagaimana dia dengan jeli setiap praktiknya dia tuliskan dengan sangat bebas dan sangat menarik dan itu menjadi satu produk pengetahuan baru. Karena ini kan orientasinya adalah pengetahuan baru, saya kira model-model seperti itu yang bisa kita lirik tanpa terjebak untuk terus menerus memberhalakan gaya tulis ilmiah, nah gaya-gaya naratif itu yang mungkin bisa menjembatani kecemasan kita tentang praktik tulis menulis yang sangat kaku itu, seolah-olah seniman itu tidak bisa menulis, tidak juga. Menulis dengan gaya yang sangat naratif itu barangkali bisa diajukan, hanya saja mungkin ya belum diterima secara umum. Dan kemudian yang kedua, barangkali ini bisa dijawab oleh kedua pembicara karena dari tadi saya tidak menemukan, barangkali saya juga melewatkan, cara untuk menemukan falidasi, uji falidasi terhadap
kebenaran yang disampaikan oleh hasil sebuah penelitian artistik. Kalau dalam penelitian ilmiah kan kaedah-kaedahnya jelas, nah kalau misalnya dalam kasus riset artistik, bagaimana kita melakukan semacam uji falidasi, terima kasih. Cukup. Akmo: saya Akmo dari Jogja. Saya kurang tahu ini isu artistik riset ini untuk tatanan S2 atau S3, saya enggak tahu karena setahu saya temanya hanya artistik riset. Yang mau saya sampaikan disini adalah tentang artistik riset mengenai ranah daripada pengkajian dan penciptaan, tadi sudah disinggung bu Melati juga seperti apa artistik riset di penciptaan itu, bahwasannya artistik riset di penciptaan itu akhirnya orientasinya akan berujung di karya, nah bagaimana pengkajiannya. Seperti itu, apakah kaidah-kaidah tentang metode artistik yang sudah disampaikan tadi pagi sama dengan yang dipenciptaan dan pengkajian. Mungkin itu. Selanjutnya saya kaitkan di penciptaan, yang saya dapat sependek sepemahaman saya, di dalam penciptaan itu ada dua model, yang pertama penciptaan yang bersifat analogi dan yang kedua bersifat interpretatif. Contohnya yang analogi itu adalah seperti yang disinggung oleh pak Panggah tadi, bawasanya kita mengindentifikasi cerita. Jadi dari cerita itu kita berangkat meneliti sebuah cerita dan itulah yang akan kita sajikan nanti di penciptaan kita, kira-kira seperti itu. Dan yang kedua, model interpretatif, ini sudah tatanan pasca sarjana yang tadi analogi mungkin masih bersifat S1 atau seperti apa. Tapi yang interpretatif lebih menjelaskan tentang konsep atau teori-teori yang akan kita pertajam di tulisan kita nantinya. Jadi seperti apa tatanan untuk yang strata 2 dan seperti apa tatanan artistik riset untuk yang memperoleh gelar doctor. Pak Prapto: selamat siang, terima kasih. Artistik riset ini akan sangat menolong bagi dunia tradisi di dalam dunia penciptaannya, yang sekarang mungkin saat langka diriset betul secara sungguh-sungguh. Dan itu akan membantu bahwa dunia tradisi tidak hanya sekedar nanti menjadi dunia pariwisata atau pun dunia yang dikategorikan klenik atau mistik. Menarik untuk umpamanya Narto Sapto yang karyanya ribuan, musik. Pak Marto pengrawit, tari, dsb. Tapi cara-cara mereka untuk mencipta itu sepertinya kok -saya lho dengar-dengar, belum ada yang ke sana. Kemudian yang kedua – disamping tanpa meniadakan pentingnya sebuah tulisan, tapi seperti waktu kita ngomong-ngomong di Candi Kimpulan. Candi Kimpulan itu menarik karena direngkuh oleh perpustakaan UII disana. Kita pentas disana, waktu itu juga ada diskusi dari brolbrutu (?) Mas Kris Budiman, dan itu pembicaraanya bahwa ada satu bentuk riset yang tanpa kata. Nah ini mungkin juga, saya pikir, kalau tadi tekanannya pada tulisan-tulisan, karena juga umpamanya di Borobudur, relief-relief yang berjajaran, itu sebenarnya buat saya sebuah pelajaran untuk juga kita melakukan sebuah riset, gerak yang tidak harus menjadi sebuah bentuk pentas, itu juga salah satu bahasa untuk riset. Ini saya Cuma ingin ada bentuk lain dalam dunia riset. Karena dulu waktu penciptaan-penciptaan tari tradisi mereka tidak mungkin lewat kata, gimana-gimana gitu. Mungkin lewat nglakoni gini, pengalaman ini, pengalaman itu. Saya berterimakasih sekali sama karyanya mas Tisna, luar biasa, tentunya sama Atik. Ini saya perlu sampaikan Melati untung tidak mengikuti anjuran saya. Anjuran saya dulu begini, kalau kamu ingin jadi seniman, ndak usah sekolah. Kamu sekolah saja di biasa-biasa gitu lho, dia masuk di
Hubungan Internasional. Tapi untung dia enggak ngikuti saya, dia masuk Braunschweig, terima kasih. Moderator: terima kasih mbah Prapto. Langsung saja, kang Tisna. Tisna: saya kira memang, mas Arham dari Jogja, harus ada alternative lain dalam penulisan itu tidak hanya tulisan-tulisan yang sudah biasa, formal dalam metode penulisan. Tapi alternatif yang disampaikan tadi seperti tulisan-tulisan seniman, sebagai contoh Nashar ya, surat-surat malam Nashar itu bisa jadi salah satu metode dalam penciptaan karya dan harus ada tulisan. Menarik. Di seni rupa ITB pernah ada mahasiswa namanya Tanto, Tanto sekarang pelukis. Dulu lukisan, tapi tulisannya itu seperti esai, panjang. Menarik sekali tulisannya itu. Jadi sebetulnya tulisan diberikan kebebasan juga, tidak harus metodenya sama dengan cara-cara yang sudah formal. Amrizal Salayan juga, seorang pematung Bandung, S2nya tulisannya kaya novel. Tapi dia memang di pengantar menyampaikan, antara bentuk-bentuk yang dia ciptakan prosesnya, dsb dituliskan dengan cara seperti itu. Jadi sebetulnya kalau di seni rupa ITB – enggak tahu ditempat lain – diberikan kebebasan. Selain tentu saja diajarkan, tidak hanya dibebaskan, tapi diajarkan cara menulis, ada mata kuliahnya. Saya kira itu gayung bersambut dengan apa yang disampaikan oleh mas Prapto tadi bahwa tulisan riset itu juga Nampak di sekitar kita, antara lain di Borobudur, secara gestur, bentuk, rangkaiannya, cerita itu kita bisa membaca dari secara semiotik bisa kita baca dari patung-patung itu. Dan kita bisa memperlebar inspirasi pembacaan mas Prapto itu terhadap keseharian tadi. Misalnya saya membaca, karena saya sangat fokus dengan Bandung, dengan kota saya tercinta, dari proses sejak mahasiswa, baik secara kultur maupun apa yang terjadi di lingkungan, pembacaannya ya itu, tidak hanya pada text sejarah bandung, tapi kita bisa melihat pada gestur, kontur, bentu dsb. Ketika saya menumbuk jengkol di sepanjang jalan Pasteur, pada tahun 2003 saya membawa jengkol kesana 1 kwintal, saya menumbuk di jalan Pasteur karena waktu itu ada proses teks dan konteks dari kota bandung yang berjejer itu ratusan pohon mahoni di sepanjang jalan Pasteur itu ditebangi dan akan dijadikan jembatan laying yang menembus dari Jakarta ke pusat kota. Si gestur itu kan sudah terbaca kalau itu langsung ke cekungan bandung, saya bilang itu bahaya, akan masuk ke situ, dan dari sana aka nada alasan nanti, kota ini tuh, capital yang masuk ke situ untuk membuat jalan-jalan ke tempat lain, seperti yang terjadi sekarang. Dan waktu itu saya menyampaikan secara tekstual, konsepnya dan bentuk pada DPR, pada walikota, pada publik, dsb, Bandung ini jaga, suatu saat akan punya penyakit jengkolan dan saya tumbuk dan saya laburkan ke jalan, terus digilas oleh mobil. Juga tidak mungkin saya memakai itu kalau saya tidak proses belajar ke Jerman. Di ITB, seni grafis, karena mesin-mesin, yang membawa cetakan itu ke kota Bandung. Jadi Bandung itu pada waktu itu ada 100 kg / 1kw jengkol. Ada dua hal metaphor dari fakta jengkol, medium lokal itu. Satu, buah jengkol ada ketika pohon sudah tua. Jadi itu pohon hutan, saya research barengan orang biologi di ITB. Dan Jengkol itu tradisi di sunda atau di tempat lain, kalau makan jengkol satu, dua, tiga buah jadi energi, spirit, bagus. Tapi kalau kita rakus banyak mengkonsumsi jengkol, kita bakal kencing bernanah, bau busuk, sekarang terjadi di kota Bandung. Sebetulnya sudah terbaca itu oleh intuisi kita ya. Sudah diingatkan, oleh beberapa
seniman. Tapi kalau sudah seperti ini seniman tidak boleh marah. Seniman itu selalu energinya seperti spirit Yesus Kristus, cinta kasih, penuh pemaafan dan bekerja membantu pemerintah kota untuk membenahi. Jangan dimarahi, karena memang sudah terjadi. Sekarang saya disana dengan prof. Indratmo, ahli air. Bagaimana ini prof kejadian seperti ini? Dia bikin sumur-sumur resapan di kota Bandung, secara indah. Peresapan, drainase, memberikan saran pada walikota. Sebelumnya enggak mau denger. Walikota senengnya selfie. Sudah diingatkan, pusat kota itu jangan dengan plastic. Alun-alun itu plastic. Hijau, dari jauh memang indah, tapi pas didekati plastic. Jadi kalau kena hujan enggak nyerap, kalau kena panas bau. Tapi kalau selfie indah, hijau ya. Tempat berkumpul para orang-orang bahagia. Tapi itu fakta dari proses yang terjadi. Kalau sudah seperti itu kita enggak boleh lagi maki-maki atau mempermalukan. Seniman itu punya daya untuk menutupi itu, bukan untuk menutupi jadi busuk, tapi hal lain, supaya itu jadi lebih baik. Dan itu yang harus disampaikan pada FPI di Jakarta. Itu yang harus disampaikan dari energy seniman ini ya. Supaya negeri ini tidak tercabik-cabik nanti. Harus disampaikan, bagaimana caranya. Kita jangan seperti mereka juga, kita dengan doa. Aduh kalau sudah tingkatnya seniman makrifat (?), doa. Yang kedua, karena saya itu seniman tendensius, kesana terus. Tapi sekarang sedang ada dalam situasi seperti itu. Bagaimana, apa yang, nah itu, validitas. Tadi siapa yang tanya validitas? Tisna: Ukuran ya. Kalau menurut saya seni punya daya untukmelakukan perubahan. Bentuk apapun. Tidak hanya seperti tadi. Sekecil apapun berubah, asal niatnya untuk kebaikan. Nah ukurannya seperti apa? Kalau inputnya seperti ini, outputnya seperti apa? Yaitu kejujuran. Saya tidak bisa menyampaikan ini yang bisa memberikan dampak dsb. Kalau lihat juga prosesnya panjang. Apa yang dikerjakan seniman-seniman tadi, yang disampaikan prof. Sapto. Yang ratusan dari Ki Narto Sabda, itu panjang, bahwa ini ada energy yang luar biasa, yaitu bentuk-bentuk. Tapi ini bisa dipercepat, yaitu anak-anak muda sekarang dengan medium baru. Sampaikan proses itu pada dunia. Kebenaran-kebenaran yang ada di Narto Sabda, Asep Sunandar Sunarya di Mirasinah, Ronggeng Gunung Bi Raspi, sampaikan kebenaran energi itu melalui media-media baru, dieksplorasi terus. Karena ini sangat cepat. Terutama merek xhiomi. Merek xhiomi itu murah, bagus, warnanya tajam, dan bisa untuk merekam apapun. Sampaikan. Dan gampang itu untuk bikin ke youtube, kemana, kemana. Sampaikan kebenaran dari negeri ini dari medium global surobal ini. Kita jaman mencaci-maki ini tapi kita harus mencapai titk kearifan lokal dari medium global ini. Kan kearifan lokalnya pasti ada kan mbak ya? Masak kearifan lokal di Asep Sunandar Sunarya juga. Kata Afrizal Malna, kekuasaan itu adanya di mic. Jadi mic-nya matikan dulu. Sudah cukup. Moderator: yang pertanyaan S2, S3. Tisna: kalau yang S2, S3, S1 memang kita akumulatif sekali. Karena SMA, SMP, SDnya tidak melakukan prosesnya jadi ujungnya ke sana. Kalau di Jerman. Lagi-lagi Jerman ya. Maaf. Karena ada tatanan yang baik, yang baiknya harus diambil. Jadi sudah kelihatan sejak SMA ini ke sekolah yang bisa lanjut ke mana. Jadi dia punya file untuk masuk ke perguruan tinggi itu. Dan juga S1nya tidak mungkin profesornya meloloskan untuk masuk ke Master Sule (?) kalau tidak
ada intensitas bekarya. Jadi kalau di sini M. Sch itu falid, dua orang ini falid (menunjuk Melati dan dirinya). Insya Allah. Karena banyak – maaf, yang tidak bisa masuk di HBK itu banyak ya mbak Melati ya yang nangis, waduh saya enggak dapet. Jadi memang ada proses Curriculum Vitae untuk masuk S2, S1nya juga di interview dsb. Apalagi S3. Jadi jangan hanya banyaknya saja ISI atau ITB itu nerima, tapi harus berkualitas. Supaya nanti bisa tahu mana yang berkualitas S2 dan S3. Jadi memang ini kait terkait sejak itu ya, akumulatif. Karena saya ngajar juga di S3 ya. Ini teh lulusan mana, ya mahasiswa saya itu ya. Terus Curriculum Vitae-nya enggak ada lagi. Tapi keterima di S3. Jadi kita dihadapkan pada satu bahan yang di kelas itu bingung sendiri, jadi saling menyalahkan. Juga di S2. Begitu. Moderato: silahkan mbak Melati. Melati: saya enggak akan berbicara terlalu banyak. Tapi Arham-nya masih ada enggak? Ok. Ini yang tadi ya, medium ekspresi dan medium ilmiah. Sebenarnya kalau sebagai praktisi yang mencipta karya kita pasti juga sadar, apalagi yang di sekolahan. Kita enggak langsung ujug-ujug jadi begini punya style yang begini, ini style gue ni, kah enggak mungkin. Jadi ada semacam proses reporduksi pengetahuan yang entah datang dari mana ke tubuh anda itu. Kemudian ada apropriasi tentang, enggak mungkin anda itu dari kecil kemudian menjadi dewasa mendapatkan pemikiran – walaupun pemikiran baru pasti ada sejarah yang membawa anda untuk menghadirkan pemikiran baru itu. Jadi saya pikir kalau sadar betul apa yang dilakukan, sesederhana apapun, walaupun yang masih awam atau asing segala maca. Kalau memang – pertama yang falid masuk artistik riset itu 25 karya, minimal. Biasanya kalau yang di Stockholm atau Amsterdam itu yang dipilih biasanya karya-karya yang punya urutan, artinya bisa dipertaruhkan sebagai bahan untuk perjalanan dalam proses riset artistik PhD itu nanti. Biasanya mahasiswa S2 belum sampai kesana. Yang kita omongkan tadi lebih pada education PhD, tapi kalau S2 ya harus tahu kalau pengen naik pangkat kira-kira bikin karya 25. Tapi jangan buru-buru, karena nanti pasti terjebak antara berkarya dengan menemukan posisi sendiri sebagai pencipta. Jadi tidak ada yang datang tiba-tiba. Dalam ilmu pasti pun kalau masih terlalu muda itu masih banyak ditantang oleh promotor-promotornya, lama lulusnya. Jadi yang saya ngasih tutorial calon doctor artistic research yang di Stockholm itu tahun 2011, kemarin saya bulan Oktober ke Swedia beberapa datang nonton performance saya dan masih belum lulus. Karena memang membutuhkan, dalam membuat artistic researchnya valid itu karya sebagai alat pengujian. Jadi bukan tujuannya karya akhir yang maha karya, salah sekali karena mahakarya yang menentukan bukan anda. Bukan membuat karya besar, berbiaya besar. Tapi karya-karya ini dibutuhkan sebagai preparat yang paling bisa saya tawarkan untuk menguji ke-valid-tan research saya. Karena lama, pasti. Jadi seperti yang saya ungkapkan setengah jam yang lalu memang tantangannya lebih sulit ya untuk menawarkan validitas yang sifatnya eksperimental. Artistic research itu berhubungan sekali dengan hal-hal yang eksperimental. Dan hal yang eksperimental itu membutuhkan waktu untuk diuji validitasnya. Moderator: baik, waktunya cukup. Beri applause dulu untuk dua pembicara. Sedikit saya catat beberapa hal penting dalam pembicaraan ini. Ada garis besarnya bahwa riset artistik itu basisnya
empirik, jadi pengalaman ketubuhan menjadi sangat penting, terutama dari sisi pengkarya. Memang ini sangat subjektif awalnya karena ini pergulatan dari senimannya sendiri. Namun dibalik itu sebetulnya ada cara-cara, teknik-teknik, metode yang memang tidak bisa diseragamkan. Karena khasusnya, jangankan diantara pengkarya yang berbeda, dari pengkarya yang sama pun terhadap karya berikutnya pun berbeda-beda. Jadi sangat unik. Hal yang lain beberapa metode, memang ada pengamatan, pencermatan, refleksi, tetapi memang tidak bisa dipisahkan dari tradisi literasi, tradisi membaca, membaca fenomena atau informasi-informasi tertulis atau apa. Ada perubahan besar memang dari budaya kita, dari oralitas ke literasi dan sekarang ke ranah virtual. Persoalannya mungkin kedepan itu apakah tulisan masih cukup dibutuhkan atau tidak, ketika objek-objek informasi sekarang berpindah. Saya kira waktu yang akan menjawab itu, dan mungkin kami juga akan selalu mempersoalkan itu. Karena prinsipnya memang, kembali lagi bahwa riset artistik bahwa satu sisi mendasari studi penciptaan penuh dengan keterbukaan, penuh pertanyaan-pertanyaan, istilah kang Tisna adalah misteri. Tapi di sisi lain ada catatan penting juga, bahwa riset artistik tidak lagi berhenti menjadi sebuah arsip, kang Tisna tadi mencantumkan, museum hidup. Saya kira persoalannya adalah bagaimana itu menjadi sebuah gerakan, bukan lagi arsip pasif, sebuah gerakan, sebuah arsip yang aktif, yang bisa dibaca kembali, yang bisa dikaryakan kembali. Demikian yang bisa saya sampaikan, terima kasih