PEMBIAYAAN AKAD JUAL BELI DENGAN SISTEM MURABAHAH DI BMT ALIKHLAS YOGYAKARTA SitiHuriah,1 Prof. Dr. Abdul GhofurAnshori, S.H., M.H2
ABSTRAC The research objective of this thesis is to discuss the implementation of murabahah financing in BMT Al-Ikhlas Yogyakarta and discusses the constraints faced by BMT AlIkhlas in implementing murabahah financing agreement on a partner. Types of research conducted in this thesis is to discuss the normative empirical study using a qualitative approach. Data source is the source of primary data and secondary data sources. The results of the study are presented descriptively. The results showed that the murabahah financing in BMT Al-Ikhlas is a favorite financing with percentage of 60%, 27% and Ijarah mudarabah as much as 13%. This occurs because murabahah financing more simple and modest in akadnya and murabahah financing included in the natural contract certainty contracts that providea definite advantage to the BMT. It is different with or Musyarakah financing is requiring supervision to partners, in order to avoid fraud. Methods used BMT Al-Ikhlas in determining the selling price (margin) is a way to add the desired benefits to the cost of the above agreement of both parties. Constraints faced by BMT Al-Ikhlas Yogyakarta in implementing murabahah financing in the form of financing problems. Financing problemsoccur due to internal factors and external factors BMT alone. The approach taken BMT in anticipating the problems of financing in the form of preventive measures (prevention). When financing problems already to occur, BMT perform familia approaches to partner with Islamic ways. Keywords=BMT, Financing, Murabah
1
Bausasran DN 3/756 Yogyakarta 2. Faculity of Law,University of GadjahMada Yogyakarta.
1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Membahas Baitul Māal Wa Tamwil atau lebih populer di tengah masyarakat dengan singkatan BMT, tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kelahiran bank syariah pada abad ke-20. Sedangkan lahirnya bank syariah, juga tidak bisa dilepaskan dari dua gerakan renaisans Islam modern, yaitu gerakan neorevivalis dan gerakan modernisme Islam. Dua gerakan renaisans Islam tersebut, sekitar tahun 1940-an, melalui tulisan-tulisan cendikiawan Islam seperti Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952) mengemukakan konsep dasar bagi hasil, yang notabene sesuai dengan syariat Islam.1 Pemaparan yang lebih lengkap mengenai konsep-konsep dasar tentang perbankan syariah ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi dan Muhammad Hamidullah.2 Di Indonesia sendiri, sebenarnya sistem perekonomian yang sesuai dengan prinsip syariah telah dipraktikkan dan melembaga sejak lama. Masyarakat Indonesia telah mengenal ekonomi syariah bahkan jauh sebelum sistem kapitalis dikenal bangsa Indonesia, yaitu dengan praktik bagi hasil antara petani penggarap dengan pemilik lahan. Dalam perkembangannya 1
Gemala Dewi, 2004, Aspek-aspek hukum dalam perbankan dan perasuransian syariah di Indonesia, Predana Media, Jakarta, hlm. 55. 2 Fakhrudin, “Sekilas Bank Syariah”. http//www.banksyariah1.blogspot.com, diakses tanggal 10 September 2014, jam 10.00 WIB
2
bahkan memiliki peran secara nasional terbukti dengan didirikannya Syarikat Dagang Islam pada tahun 1909. Kekuatan para pedagang Islam tersebut telah menjadi simbol perlawanan masyarakat terhadap kolonial Balanda. Secara kelembagaan resmi, baru pada tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI), mulai memprakarsai ide mengenai bank syariah, ditandai penyelenggaraan lokakarya tentang bunga bank dan perbankan. Hasil lokakarya tersebut dilanjutkan dan dibahas dalam Musyawarah Nasional IV (MUNAS IV) MUI tanggal 22-25 Agustus 1990 di Hotel Sahid Jaya Jakarta. Hasil Munas merekomendasikan kepada MUI untuk segera membentuk Tim Perbankan MUI yang bertugas mensosialisasikan rencana pendirian bank syariah di Indonesia. Selanjutnya tahun 1991, tim yang dibentuk MUI, berhasil mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang mulai beroperasi sejak September 1992. Perkembangan bank syariah dalam dunia perbankan di Indonesia menunjukkan prospek yang lebih baik sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Penyempurnaan landasan hukum beroperasinya perbankan syari’ah nasional merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Hal ini ditandai dengan penyempurnaan peraturan perbankan syari’ah dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1998 tentang perbankan dinyatakan dengan jelas mengenai penggolongan kegiatan usaha bank menjadi dua jenis, yakni bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah.
3
Berdasarkan
Undang-Undang
ini
dimungkinkan
bagi
bank
konvensional membuka kantor cabang syari’ah yang merupakan tonggak penting dimulainya awal sistem perbankan di Indonesia, yaitu sebuah bank yang dapat beroperasi dengan dua sistem yang berbeda (dual banking system), namun
dapat
melengkapi
pelayanan
yang
baik
pada
masyarakat.
Penyempurnaan tentang Undang-Undang tersebut tidak berhenti di situ, dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 yang mengatur secara terpisah tentang perbankan syari’ah telah memberikan angin segar bagi perbankan yang beroperasi dengan sistem syari’ah untuk terus melaju dalam dunia perbankan di Indonesia. Lembaga keuangan syari’ah merupakan lembaga keuangan yang tidak hanya mengedepankan profit oriented saja, melainkan suatu lembaga keuangan yang juga mengedepankan kemaslahatan masyarakat sesuai dengan tuntutan syari’ah yang menjadi landasan dari semua lembaga keuangan syari’ah. Salah satu aplikasinya adalah menerapkan pelayanan (service) yang berbasis moral dan spiritual. Secara filosofis, orientasi dasar ekonomi syari’ah dilandaskan pada Asas Ketuhanan (tauhid ), yaitu adanya hubungan dari aktivitas ekonomi, tidak saja dengan sesama manusia, tetapi juga dengan Tuhan sebagai Pencipta. Dari landasan tauhid ini timbul prinsip–prinsip dasar bangunan kerangka sosial, hukum, dan tingkah laku, yang diantaranya adalah prinsip khilafah, keadilan (‘adalah ), kenabian ( nubuwwah ), persaudaraan ( ukhuwwah ), kebebasan yang bertanggung jawab ( Al huriyah wal mas’uliyyah ).
4
Disamping itu ada nilai-nilai instrumental, yaitu larangan riba, zakat, kerjasama ekonomi, jaminan sosial dan peran negara.3 Bank syari’ah merupakan lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan yang bekerja berdasarkan etika dan sistem Islam, khususnya yang bebas dari bunga (riba), bebas dari kegiatan spekulatif dan perjudian (maysir), bebas dari hal-hal yang tidak jelas (gharar), berprinsip keadilan, dan hanya membiayai kegiatan usaha yang halal yang kesemuanya merupakan prinsipprinsip perbankan syari’ah. Bank syari’ah sering dipersamakan dengan bank tanpa bunga. Bank tanpa bunga merupakan konsep yang lebih sempit dari bank syari’ah, dimana sejumlah instrumen atau operasinya bebas dari bunga. Bank syari’ah selain menghindari bunga, juga secara aktif ikut berpartisipasi dalam mencapai sasaran dan tujuan dari ekonomi Islam yang berorientasi pada kesejahteraan sosial.4 Pada awalnya kehadiran BMI belum mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun industri perbankan. Namun dalam perkembangannya, ketika BMI dapat tetap eksis ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997, memaksa pihak pemerintah untuk memberikan perhatian dan mengatur secara luas dalam undang-undang, serta memacu segera berdirinya bank-bank syariah lain baik dalam bentuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) maupun Windows Syariah untuk bank umum.5
3 Naskah Akademik Rencana Undang-Undang tentang Perbankan Syariah Disusun oleh Law Office of Remy & Darus, Jakarrta, Oktober 2002, hlm. 60 4
Muhammad Fauzi, 2008, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keinginan Migrasi Nasabah Bank Umum Syari’ah di Kota Semarang, IAIN Walisongo, Semarang, 2008, hlm. 11. 5
Muhammad, 2003, Manajemen Bank Syariah, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, hlm. 23.
5
Mengaju pada saat perekonomian nasional mengalami krisis dan dunia perbankan belum tampak akan pulih, perbankan Islam menunjukkan fenomena baru yang perkembangannya telah mengejutkan para pengamat perbankan konvensional. Bank-bank besar dari negara non muslim telah memasuki pasar perbankan Islam dengan membuka Islamic Window, tidak kurang dari City Bank, Manhattan Bank, ANZ Bank dan Jardin Fleming telah membuka Islamic window agar dapat berkiprah memberikan jasa-jasa perbankan Islam. Sahril Sabirin mengatakan bahwa pengalaman selama krisis ekonomi ini memberikan suatu pelajaran berharga bagi kita bahwa prinsip risk sharing (berbagi risiko) atau profit and los sharing (bagi hasil) merupakan prinsip yang dapat meningkatkan ketahanan satuan-satuan ekonomi.6 Kehadiran BMI pada awalnya diharapkan mampu untuk membangun kembali sistem keuangan yang dapat menyentuh kalangan bawah (grass rooth). Akan tetapi pada prakteknya BMI mengalami banyak hambatan, terutama sebagai bank umum BMI terikat dengan prosedur perbankan yang telah
dibakukan
oleh
undang-undang.
Jalan
tengahnya,
pemerintah
memprakarsai berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat bawah. Namun dalam realitasnya, sistem bisnis BPRS terjebak pada pemusatan kekayaan hanya pada segelintir orang, yakni para pemilik modal. Sehingga komitmen untuk membantu dan mengangkat derajat kehidupan masyarakat bawah mendapat kendala, baik dari sisi hukum maupun teknis. 6
Sutan Remy Syahdaeni, 1999, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Perbankan Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm. Xvii.
6
Dari segi hukum, prosedur peminjaman bank umum dengan BPRS sama, begitu juga dari sisi teknis. 7 Persoalan-persoalan yang Penulis sebut diatas, mendorong munculnya lembaga keuangan syariah alternatif. Yakni sebuah lembaga yang tidak saja berorientasi bisnis tetapi juga sosial. Sebuah lembaga yang tidak melakukan pemusatan kekayaan pada segelintir orang, yakni pemilik modal (pendiri), tetapi lembaga yang kekayaannya terdistribusi secara merata dan adil. Lembaga yang mampu mendorong kesadaran umat dan diupayakan mampu menolong kaum mayoritas, yakni pengusaha kecil/mikro. Lembaga yang tidak terjebak pada permainan bisnis untuk keuntungan pribadi, tetapi membangun kebersamaan untuk mencapai kemakmuran bersama. Lembaga tersebut adalah Baitul Māal Wa Tamwil (BMT).8 BMT adalah lembaga keuangan yang pernah dipraktekkan Rasullullah. Saat itu, operasional BMT lebih banyak berkaitan dengan perhimpunan maupun penyaluran dana serta mengelola dana-dana sosial seperti zakat, infaq, shodaqah, hibah, kharaj, kaffarah, jizyah dan lain sebagainya.9 Di Indonesia, BMT merupakan lembaga keuangan mikro syariah yang digerakkan oleh para aktivis muslim yang resah terhadap gerakan ekonomi negara yang tidak berpihak pada masyarakat kecil (grass rooth). Menurut Abdul Ghofur Anshori, penggerakan gerakan BMT berasal dari berbagai kalangan aktivis muslim, mulai dari dompet Dhuafa, Baitul Maal Muamalat, 7
Ibid, hal. 72 Ibid hal. 73 9 Abdul Ghofur Anshori, 2008, Hukum Islam, Dinamika dan perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, hlm. 290. 8
7
dan kelompok perorangan seperti BMT Bina Insan Kamil, BMT Binama Semarang dan BMT Tamziz di Wonosobo. Gerakan ini mulai tahun 1992 menyebar dari Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jakarta. Tahun 1995, Dr Amin Aziz memprakarsai pendirian BMT secara massal melalui PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil)10 Baitul Maal wat-Tamwil (BMT) adalah salah satu Lembaga Keuangan Syariah yang memiliki perkembangan cukup pesat saat ini. Secara bahasa Baitul Maal berarti rumah usaha. Baitul Maal pada masa Nabi Muhammad dahulu berfungsi untuk mengumpulkan sekaligus menyalurkan dana sosial. Sedangkan Baitul Tamwil merupakan lembaga bisnis yang bermotif laba.11 BMT diharapkan, disamping sebagai unit bisnis, juga mampu memainkan peran-peran sosial. Sebagai lembaga bisnis, BMT lebih mengembangkan usahanya pada sektor keuangan yakni simpan pinjam. Usaha ini seperti usaha perbankan, yakni menghimpun dana anggota dan calon anggota (nasabah) serta menyalurkannya pada sektor ekonomi yang halal dan menguntungkan. Namun demikian, BMT, karena bukan institusi perbankan, diperbolehkan mengembangkan lahan bisnisnya pada sektor riil maupun sektor keuangan lain, yang notabene dilarang dilakukan oleh institusi perbankan. Karena BMT bukan bank, BMT tidak tunduk pada aturan perbankan.12 10
hlm. 126
Ibid,
11
Muhammad Ridwan, 2004, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwii, UII Perss, Yogyakarta,
12
Ibid, hlm. 126
8
BMT sebagai salah satu lembaga keuangan mikro Syari’ah yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip Syari’ah, secara etimologis terdiri dari dua istilah baitul Maal dan baitut tamwil. Pertama, baitul maal yang berarti rumah dana, dan kedua, baitut tamwil berarti rumah usaha. Artinya, dalam diri BMT ada dua peran sekaligus, yaitu peran sebagai institusi bisnis dan institusi sosial. BMT dalam konteks sebagai baitut tamwil merupakan institusi keuangan yang kegiatan utamanya menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan (simpanan) maupun deposito dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan yang didasarkan pada prinsip syariah. Kegiatan ini lazim dilakukan oleh institusi keuangan, khususnya perbankan.13 Disamping itu BMT Juga memiliki karakteristik sebagai lembaga keuangan yang memadukan antara fungsi baitul maal (social) berupa kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana umat Islam seperti: zakat, infaq, Shodaqoh. Disisi lain BMT juga berfungsi sebagai institusi bisnis (tamwil) yakni mencari keuntungan dengan menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dalam bentuk jasa simpanan dan pembiayaan berdasarkan konsep Syari’ah.14 Dengan adanya usaha komersil dengan menghimpun dan mengelola dana masyarakat, maka seperti halnya perbankan syariah, kegiatan 13
Makhalul Ilmi SM, 2002, Teori Dan Praktek Mikro Keuangan Syariah, UII Press, Yogyakarta, hlm,. 67 14 Mohaammd Ridwan, Manajemen Baitul, Op.,Cit, hlm.126
9
menghimpun dana BMT menggunakan prinsip wadiah, mudharabah, dan musyarakah. Sedangkan dalam kegiatan penyaluran dana BMT menggunakan prinsip bagi hasil, jual beli (Murabahah, Bai Bistaman Ajil, salam istishna) dan sewa (ijarah) kepada masyarakat.15 Salah satu akad fiqih yang paling popular digunakan oleh perbankan syari’ah adalah skema jual beli murabahah. Transaksi murabahah ini lazim dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati16 Di Indonesia, dari berbagai produk dan jasa yang ditawarkan oleh BMT maupun Bank Syariah, produk murabahah yang paling banyak dipraktekkan dalam memberikan pembiayaan kepada nasabah. Ada sekitar 60% dari produk perbankan syariah menggunakan transaski akad murabahah. Sisanya sebanyak 40% menggunakan skema akad mudharabah.17 Menurut Choudury, dominannya pembiayaan murabahah terjadi karena pembiayaan ini cenderung memiliki risiko yang lebih kecil dan lebih mengamankan bagi shareholder.18 Dalam dunia perbankan, murabahah biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan seperti pembiayaan konsumtif, investasi maupun produktif. Dana untuk kegiatan murabahah diambil dari simpanan tabungan 15
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah 12, Bandung: PT Al-Maarif, 1998, hlm, 82. Adiwarman A Karim, 2007, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 113 17 http://republika.co.id, diakses tanggal 8 September 2014 Jam. 23.00 WIB 18 Wiroso, 2005, Jual Beli Murabahah, UII Press, Yogyakarta, hlm. 1. 16
10
berjangka seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan nasabah untuk usaha tertentu.19 Fungsi BMT dalam pembiayaan murabahah ini adalah sebagai penyedia barang untuk kepentingan nasabah, Singkatnya, BMT membeli barang kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga jual yang setara dengan harga beli ditambah keuntungan. Dengan kata lain, murabahah adalah akad penjualan barang oleh bank kepada nasabah dilakukan atas dasar costplus profit.20 Dalam akad ini, pihak BMT harus memberitahukan secara jujur harga pokok barang berikut biaya yang diperlukan.21 Namun, dalam prakteknya sebagaimana observasi Penulis terhadap beberapa BMT di Yogyakarta, banyak BMT dalam akadnya menyebutkan bahwa pembelian obyek murabahah diwakilkan kepada nasabah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam transaksi murabahah pihak BMT tidak menyerahkan barang, melainkan menyerahkan uang kepada nasabah. Alasan yang populer, BMT memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli barangnya sendiri. Praktek ini berdampak pada anggapan masyarakat bahwa bank syariah atau BMT tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Dalam hukum Islam, salah satu ketentuan dasar penjualan adalah barangnya harus dimiliki oleh penjual ketika penjualan tersebut berlangsung. 19
Kasmir, 2005, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo Persada, Yogyakarta, hlm.184-185 20 Sutan Remy Sjahdeini, 2005, Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, hlm.64. 21 Abduallah Saeed, 2003, Bank Islam dan Bunga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 147.
11
Ketentuan ini juga berlaku dalam penjualan dengan cara murabahah.22 Sedangkan, menjual barang yang tidak dimiliki adalah tindakan yang dilarang syariah karena termasuk bai’al-fuduli. Para ulama syariah terdahulu telah memberikan alasan secara rinci mengenai pelarangan tersebut. Akan tetapi, Menurut M. Syafi’i Antonio, beberapa ulama syariah modern, dalam konteks jual beli murabahah membedakan antara menjual “belum ada barang” dengan “menjual tanpa kepemilikan barang.”23 Apabila diperhatikan ketentuan fatwa Dewan Syariah Nasional No.4/DSN- MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000 tentang Murabahah, ketentuan pertama, butir 9 disebutkan bahwa “Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang dibeli, jadi secara prinsip barang tersebut menjadi milik bank. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa akad murabahah dapat dilakukan jika barang tersebut secara prinsip telah menjadi milik bank, jadi harus ada barangnya dahulu baru dilakukan akad murabahah, tidak diperkenankan melakukan akad murabahah jika tidak ada barangnya.24 Berdasarkan uraian yang telah Penulis paparkan di atas, dalam penyusunan tesis ini penulis tertarik untuk meneliti tentang “PEMBIAYAAN AKAD JUAL BELI DENGAN SISTEM MURABAHAH DI BMT ALIKHLAS YOGYAKARTA.” 22
http://www.accountancy.com.pk/docs/islam_murabahah.pdf, diakses pada 13September 2014, Jam 22.00 WIB 23 . M. Syafi’i Antonio, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, hlm. 104 24 Wiroso, Op.,Cit, hlm. 68
12
B. IDENTIFIKASI MASALAH Berdasarkan pada uraian yang telah Penulis paparkan pada latar belakang di atas, maka Penulis membatasi permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: a. Apakah pelaksanaan pembiayaan akad jual beli dengan sistem murabahah di BMT Al-Ikhlas Yogyakarta sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI? b. Apa kendala yang dialami BMT Al-Ikhlas dalam melaksanakan pembiayaan akad jual beli dengan sistem murabahah? C. KEASLIAN PENELITIAN Materi pokok yang menjadi fokus penelitian Penulis dalam tesis ini adalah transaksi akad jual beli dengan sistem murabahah di BMT Al-Ikhlas Yogyakarta. Disamping itu, Penulis juga akan mengkaji tentang kendalakendala yang dialami BMT Al-Ikhlas Yogyakarta dalam melaksanakan akad jual beli dengan sistem murabahah dan keuntungan apa yang didapat nasabah maupun BMT dalam melaksanakan pembiayaan tersebut. Tema yang menjadi fokus Penulis, sepanjang penelusuran Penulis, khususnya di BMT Al-Ikhlas belum ada yang membahas. Walaupun harus diakui, bahwa banyak sekali penelitian yang mengambil lokasi di BMT AlIkhlas. Misalnya Penelitian tesis yang dilakukan saudara Setyo Adi Tri Pranantyo yang membahas tema tentang peranan notaris dan kedudukan jaminan dalam pembiayaan murabahah pada BMT Al-Ikhlas di Yogyakarta. Pendekatan yang dipakai Setyo Adi dalam penelitian tersebut adalah yuridis
13
normatif, yaitu meneliti peranan notaris dalam pembiayaan murabahah yang dilakukan BMT Al-Ikhlas menggunakan aturan hukum yang sudah ada. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tugas notaris hanya sebatas melegalisasi transaksi dibawah tangan yang dilakukan BMT Al-Ikhlas dengan nasabah Mitra.25 Penelitian lain yang mengambil lokasi di BMT Al-Ikhlas adalah penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Nasir, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Muhammad
Nasir
dalam
penelitiannya
lebih
memfokuskan pada manajemen sumber daya manusia yang ada di BMT AlIkhlas. Muhammad Nasir dalam penelitiannya tidak menyinggung transaksi pembiayaan akad jual beli yang ada di BMT Al-Ikhlas. Nasir hanya fokus membahas tentang manajemen Sumber daya manusia yang dikembangkan BMT Al- Ikhlas. Sebagai BMT yang cukup besar dan beroperasi cukup lama, berdiri tahun 1995, tentu banyak peneliti yang tertarik meneliti di BMT AlIkhlas Yogyakarta. Namun dari semua penelitian yang ada, sepengetahuan Penulis belum ada yang fokus membahas tentang akad jual beli dengan sistem murabahah. Ini berarti, penelitian yang akan Penulis lakukan sangat berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, baik dari segi tema maupun sudut pandang yang diambil. D. KEGUNAAN PENELITIAN Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi umat Islam dan lembaga keuangan syariah pada khususnya dan BMT pada umumnya. 25
www.etd.ugm.ac.id di akses tanggal 5 Oktober 2014 Jam 16.00 WIB.
14
Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan berguna bagi konsumen atau nasabah BMT, sehingga mereka lebih memahami dan mengerti tentang transaksi yang mereka lakukan di BMT, dalam hal ini transaksi dengan akad Jual beli dengan sistem murabahah. Di sisi lain, penelitian ini sangat berguna bagi dunia perbankan syariah, khususnya BMT. Karena penelitian ini nantinya akan mengungkapkan apakah transaksitransaksi yang banyak dilakukan BMT, khususnya akad akad Jual beli dengan sistem murabahah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah digariskan oleh Islam.
E.
TUJUAN PENELITIAN Suatu penelitian ilmiah harus memiliki tujuan dan pedoman yang jelas. Hal ini untuk menunjukkan kualitas dari penelitian tersebut. Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan pembiayaan akad jual beli dengan sistem murabahah di BMT Al-Ikhlas Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala yang dihadapi BMT AlIkhlas dalam melaksanakan transaksi pembiayaan akad jual beli dengan sistem murabahah?