e-Journal Volume : Vol: 2 No: 1 Tahun:2014 Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2014
PEMBERITAAN KASUS KORUPSI DI BALI PADA MEDIA CETAK BALI POST DAN JAWA POS: SUATU KAJIAN TEORI ROGER FOWLER, DKK. A.A. Sg. Dian Chandradewi, Nengah Suandi, I Wayan Artika Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
e-mail: {
[email protected],
[email protected],
[email protected]}@undiksha.ac.id Abstrak Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk (1) mendeskripsikan dan menganalisis cara media Bali Post dan Jawa Pos dalam mengonstruksikan kasus korupsi di Bali dan (2) mendeskripsikan dan menganalisis kecenderungan sikap Bali Post dan Jawa Pos dalam mengonstruksikan kasus korupsi di Bali ditinjau dari teori Roger Fowler, dkk. Subjek dalam penelitian ini adalah media cetak Bali Post dan Jawa Pos. Sementara itu, objek penelitian ini adalah pemberitaan kasus korupsi di Bali. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi yang berupa pustaka. Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kartu data. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis wacana kritis Roger Fowler, dkk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Bali Post dan Jawa Pos lebih banyak menggunakan kosakata dalam mengontruksikan kasus korupsi di Bali, (2) Bali Post dan Jawa Pos lebih banyak menggunakan praktik pemakaian bahasa disfemisme (pengasaran) untuk mengonstruksikan kasus korupsi di Bali dengan tujuan memarjinalkan para pelaku korupsi dan berpihak pada masyarakat. Kata kunci: kasus korupsi, Bali Post, Jawa Pos, analisis wacana kritis, teori Roger Fowler, dkk. Abstract This research is a qualitative descriptive study aimed to (1) describe and analyze how Bali Post and Jawa Pos constructing corruption cases in Bali and (2) to describe and analyze attitudes of Bali Post and Jawa Post in constructing corruption cases in Bali in terms of Roger Fowler, et al theory. The subjects in this study is the Jawa Pos and Bali Post newspaper. Meanwhile, the object of this study is the reporting of corruption cases in Bali. Data collected by the documentation method in the form of clippings. Data collection instrument in this study using the data card. Data was obtained and analyzed using the technique of critical discourse analysis by Roger Fowler, et al. The results showed that (1) Bali Post and Jawa Pos using more vocabulary for constructing a news with various goals/interests, (2) Bali Post and Jawa Post using more disfemisme practice language (coarsening) to construct the corruption cases in Bali in order to marginalize one of the parties' attention in the news and the public. Keywords: corruption cases, Bali Post, Jawa Pos, critical discourse analytic, Roger Fowler, et al theory
e-Journal Volume : Vol: 2 No: 1 Tahun:2014 Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2014 PENDAHULUAN Banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa sesungguhnya media massa memainkan peranan penting dalam mengonstruksikan realitas sosial. Media massa sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang penuh dengan kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Dalam media massa keberadaan bahasa tidak lagi hanya sebagai alat untuk menggambarkan sebuah realitas. Bahasa dalam media massa dapat menentukan gambaran mengenai suatu realitas yang akan muncul di benak khalayak (DeFleur dalam Badara, 2012: 9). Bahasa dapat membatasi persepsi dan mengarahkan pembaca untuk memikirkan kebenaran suatu peristiwa. Media massa memiliki kemampuan dalam mempermainkan bahasa dan makna; mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya; memperluas makna dari istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama sebuah istilah dan makna baru; memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa. Selain itu, sebagai suatu sarana yang digunakan untuk menyampaikan informasi, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, media massa juga memiliki kemampuan sebagai institusi yang dapat membentuk dan memengaruhi opini publik. Media massa sering kali dengan sengaja menggunakan bahasa yang bersifat sensasional atau hiperbolis dengan tujuan mengikuti selera pasar. Media juga kerap memunculkan maknamakna ganda dalam pemberitaan sehingga mengaburkan realitas yang terjadi. Karena kemampuan tersebutlah, media massa bukan lagi merupakan sesuatu yang independen, tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Sesuatu yang disajikan media massa sesungguhnya merupakan akumulasi dari pengaruh yang beragam sehingga ada saja faktor-faktor yang memengaruhi proses pembentukan beritanya (newsroom). Newsroom di sini tidak lagi dipandang sebagai ruang yang hampa, netral, dan seakan-akan hanya menyalurkan informasi yang didapat. Kenyataannya, pemberitaan di media
massa dipengaruhi oleh berbagai faktor (agama, bisnis, ideologi, politik, dan lain sebagainya). Dalam banyak kasus, dapat ditemukan peran media massa sebagai “mesin politik” para petinggi negeri ini. Media massa mulai dilirik oleh para petinggi untuk saling menyebarkan pengaruhnya ataupun untuk membentuk citra diri yang baik di masyarakat. Lazarsfeld dan Merton (dalam Rivers, 2004: 39) mengatakan “Kelompokkelompok kuat kian mengandalkan teknik manipulasi melalui media untuk mencapai apa yang diinginkannya, termasuk agar mereka bisa mengontrol secara lebih halus”. Dengan peran tersebut, media massa -dengan permainan bahasa- dapat menjadi sebuah agen dalam membentuk citra di masyarakat. Dalam pemberitaan di media massa –terutama yang berhubungan dengan peristiwa yang melibatkan pihak dominanselalu disertai penggambaran buruk pihak yang kurang dominan. Hal ini karena masing-masing media massa turut beropini dan melakukan penilaian (judgement) terhadap suatu kasus yang sedang dibicarakan sehingga tidak dapat menyembunyikan keberpihakannya. Akibatnya, lahirlah deskripsi yang bersifat memarjinalkan suatu pihak. Namun, tidak semua awak media melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, masyarakat tidak dapat serta merta mengikuti berita yang disajikan oleh suatu media massa tanpa melihat keberimbangan antara realitas yang terjadi dengan esensi pemberitaannya. Banyak berita yang sesungguhnya telah dipublikasikan tanpa keberimbangan tersebut. Tidak terkecuali pada pemberitaan kasus korupsi di Bali yang rutin diberitakan menjelang akhir tahun 2013. Selama bulan September sendiri, harian Bali Post menampilkan kasus korupsi di Bali sebanyak lebih kurang 41 berita dengan pemberitaan yang didominasi tentang kasus korupsi rektor IHDN dan kasus-kasus korupsi di daerah, seperti di Denpasar, Tabanan, Gianyar, dan Jembrana. Di bulan yang sama, harian Jawa Pos juga mengangkat kasus korupsi di Bali ini sebanyak lebih kurang 39 berita dengan pemberitaan yang
e-Journal Volume : Vol: 2 No: 1 Tahun:2014 Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2014 didominasi pula oleh kasus korupsi rektor IHDN dan kasus-kasus korupsi di Tabanan dan Jembrana. Pada pemberitaan ini, ketidakberimbangan juga terjadi. Contoh nyata salah satunya dapat dilihat pada berita ini “Kasus Besar Lolos, Penegak Hukum Mandul” (Bali Post, 13 September 2013). Dari judul itu, dapat kita lihat bahwa Bali Post memiliki sikap kontrapenegak hukum. Dalam memberitakan kasus tersebut, Bali Post terlihat cenderung bersikap langsung memojokkan penegak hukum yang gagal dalam mengurus kasus korupsi yang terjadi di Bali. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya kata “mandul” dalam menyebut kinerja penegak hukum. Jika dianalisis lebih dalam, di sinilah pemilihan kata-kata oleh media terlihat turut mengendalikan bagaimana realitas dikontruksikan. Pemberitaan mengenai kasus korupsi ini memiliki intensitas tinggi sehingga menyita banyak perhatian masyarakat Bali. Di samping itu, pemberantasan korupsi merupakan salah satu program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya dilakukan. Diangkatnya pemberitaan mengenai kasus korupsi yang marak terjadi dewasa ini membuat masyarakat mengetahui secara luas aneka fenomena korupsi yang terjadi. Dengan begitu, logikanya masyarakat akan menghindarkan diri dari tindak pidana korupsi. Atas dasar itulah, peneliti mengangkat kasus korupsi sebagai fokus penelitian. Adapun dua media massa yang rutin memublikasikan berita tersebut adalah Bali Post dan Jawa Pos. Pada harian Bali Post, kasus korupsi diberitakan setiap hari, dari saat masih hangathangatnya yaitu di awal September, hingga kini, namun dengan intensitas yang berkurang. Pada harian Jawa Pos, pemberitaan kasus korupsi di Bali tidak sebanyak pada harian Bali Post. Namun, pemberitaan ini juga dilakukan secara berkala dan menempati kolom yang luas pada rubrik harian tersebut terutama pada bulan September, saat kasus ini sedang menjadi perhatian publik. Dari beberapa pemberitaan yang diangkat ke publik, ternyata kedua media cetak tersebut tidak sepenuhnya netral. Padahal, sebuah media dituntut untuk (1) bersikap
independen, (2) menghasilkan berita yang akurat, (3) berimbang, dan (4) tidak beritikad buruk. Dalam menganalisis sebuah berita, ada beberapa model analisis yang dapat digunakan. Salah satunya adalah model analisis kritis Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew (yang selanjutnya disingkat dengan Teori Roger Fowler, dkk). Kajian teori Roger Fowler, dkk. ini dapat digunakan untuk melihat secara kritis sudut pandang media terhadap suatu pemberitaan yang diangkat. Berdasarkan kajian teori Roger Fowler, dkk. ini pula, kecenderungan sikap media terhadap suatu pemberitaan yang diangkat dapat dilihat dari pemilihan kata oleh media maupun dari cara media tersebut menghilangkan pelaku dalam pemberitaan yang ia angkat ke publik. Penelitian yang mengkaji pemberitaan di media sebenarnya sudah pernah dilakukan sebelumnya. Tahun 2011, Nurul Hasfi melakukan penelitian berjudul “Analisis Framing Pemberitaan Melinda Dee di Detikcom, Majalah Tempo, dan MetroTV”. Pada tahun 2012, Aneke Alone Harefa meneliti tentang kritik sosial di media yang berjudul “Kritik Sosial Media dalam Perspektif Jurnalisme Komunitas (Analisis Wacana Rubrik Intro Indonesia dalam Koran Slank)”. Selanjutnya, di tahun 2013, Muhammad Iqbal Damanik mengangkat penelitian serupa yang berjudul “Upah Minimum dalam Politik Media Massa (Studi Analisis Wacana Kritis Keberpihakan Koran Tempo dan Harian Kompas dalam Pemberitaan Polemik Penentuan Upah Minimun Kawasan Industri Bekasi–Jawa Barat)”. Ketiga penelitian ini pada dasarnya samasama meneliti tentang cara media mengonstruksikan suatu kasus yang terjadi, namun sikap media dalam memberitakan kasusnya tidak difokuskan lebih mendalam. Keterbaruan dalam penelitian ini terletak pada tujuan penelitian yang dirancang. Penelitian ini tidak hanya mengkaji tentang cara media mengonstruksikan suatu berita, namun juga menganalisis kecenderungan sikap media dari cara media itu dikonstruksikan. Dengan demikian, penelitian ini
e-Journal Volume : Vol: 2 No: 1 Tahun:2014 Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2014 berkedudukan sebagai pelengkap penelitian yang telah ada sebelumnya. Terlahir dari kasus yang telah dipaparkan di atas, disusunlah rancangan penelitian yang berjudul “Pemberitaan Kasus Korupsi di Bali pada Media Cetak Bali Post dan Jawa Pos: Suatu Kajian Teori Roger Fowler, dkk.” Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis cara dan sikap media cetak Bali Post dan Jawa Pos dalam menghadirkan berita mengenai kasus korupsi di Bali dengan menggunakan pisau analisis dari Roger Fowler, dkk. Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu: (1) mendeskripsikan dan menganalisis cara media Bali Post dan Jawa Pos dalam mengonstruksikan kasus korupsi di Bali. dan (2)mendeskripsikan dan menganalisis kecenderungan sikap Bali Post dan Jawa Pos dalam mengonstruksikan kasus korupsi di Bali ditinjau dari teori Roger Fowler, dkk. METODE Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode dokumentasi dengan teknik pustaka. Untuk mendapatkan dokumen tersebut, peneliti mengumpulkan berita seputar kasus korupsi di Bali yang dimuat dalam surat kabar Bali Post dan Jawa Pos selama bulan September 2013. Data tersebut akan dipaparkan secara kualitatif, yaitu dengan cara menggunakan uraian narasi disertai dengan pemaparan data. Subjek dalam penelitian ini adalah media cetak Bali Post dan Jawa Pos. Dipilihnya media cetak Bali Post dan Jawa Pos karena intensitas pemberitaan kasus korupsi di Bali yang cukup tinggi pada kedua media tersebut. Selain itu, pemberitaan kasus korupsi di Bali pada kedua media cetak ini menempati kolom yang cenderung lebih luas dibanding media cetak lainnya. Di sisi lain, peran media yang diharapkan untuk menjadi alat pemberi informasi yang netral sepertinya mulai tidak berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, media cetak Bali Post dan Jawa Pos dipilih sebagai subjek penelitian.
Sementara itu, objek penelitian ini adalah pemberitaan kasus korupsi di Bali. Metode dokumentasi dengan teknik pustaka merupakan metode pengumpulan data yang dirasa paling tepat dan sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan data penelitian ini berupa dokumen tertulis yang terdapat dalam surat kabar. Hal pertama yang dilakukan dalam proses pengumpulan data penelitian ini adalah membaca secara cermat setiap berita yang telah dikumpulkan berdasarkan rentang waktu yang telah ditetapkan. Pembacaan data secara cermat ini bertujuan untuk menentukan ada tidaknya pemilihan kosakata dan struktur tata bahasa yang mengonstruksi pemberitaan pada wacana berita tersebut. Hal yang dilakukan selanjutnya, yaitu mencatat data yang sudah dibaca ke dalam kartu data yang sudah disiapkan. Setelah dilakukan pencatatan dalam kartu data, data tersebut kemudian dianalisis dengan melewati tiga tahapan analisis data dalam penelitian deskriptif kualitatif, yaitu (1) pereduksian data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan simpulan/pembuktian. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini mencakup (1) cara Bali Post dan Jawa Pos dalam mengonstruksikan kasus korupsi di Bali dan (2) kecenderungan sikap Bali Post dan Jawa Pos dalam mengonstruksikan kasus korupsi di Bali ditinjau dari teori Roger Fowler, dkk. Pada bagian ini akan diuraikan hasil yang telah peneliti peroleh setelah melakukan analisis data terhadap 14 judul berita seputar kasus korupsi di Bali dalam harian Bali Post dan Jawa Pos selama bulan September 2013. Melalui tabel, hasil penelitian tersebut dapat digambarkan seperti di bawah ini. Tabel 1. Cara Bali Post dalam Mengonstruksi Kasus Korupsi di Bali Cara No. Konstruksi Jml Persen Kosakata (%) 1. Membuat 12 40% Klasifikasi 2. Membatasi 7 23,3%
e-Journal Volume : Vol: 2 No: 1 Tahun:2014 Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2014 Pandangan 3. Pertarungan Wacana 4. Marjinalisasi Jumlah Cara No. Konstruksi Tata Bahasa 1. Pemasifan 2. Nominalisasi Jumlah Jumlah Total
0
0%
6 25
20% 83,3%
Jml
Persen (%) 16,7% 0% 16,7% 100%
5 0 5 30
Tabel 2. Cara Jawa Pos dalam Mengonstruksi Kasus Korupsi di Bali Cara No. Konstruksi Jml Persen Kosakata (%) 1. Membuat 7 29,2% Klasifikasi 2. Membatasi 3 12,5% Pandangan 3. Pertarungan 2 8,3% Wacana 4. Marjinalisasi 9 37,5% Jumlah 21 87,5% Cara No. Konstruksi Jml Persen Tata Bahasa (%) 1. Pemasifan 2 8,3% 2. Nominalisasi 1 4,2% Jumlah 3 12,5% Jumlah Total 24 100% Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa konstruksi pemberitaan kasus korupsi di Bali yang paling banyak digunakan oleh Bali Post adalah membuat klasifikasi. Ditemukan 12 data dari 30 data sehingga persentasenya menjadi 40%. Bali Post cenderung menggunakan kosakata ini dalam pemberitaan untuk menggiring pembaca ke arah pemikiran tertentu yang diinginkan media tersebut dengan memanfaatkan kosakata klasifikasi tertentu yang maknanya mendekati pemikiran media. Kosakata tertentu mampu menggiring pembaca untuk membuat klasifikasi tertentu pula dari suatu realitas seperti yang disajikan media cetak berdasarkan klasifikasi/golongan kata-kata yang maknanya dapat
membentuk pemikiran yang sama dengan media tersebut. Contoh kosakata: membuat klasifikasi yaitu “Telusuri Oknum PNS ‘Bermain’ di Buangga Residence” (Telusuri Oknum PNS “Bermain” di Buangga Residence, Bali Post, 4 September 2013). Kata bermain memiliki arti melakukan aktivitas atau kegiatan untuk menyenangkan hati (KBBI, 2012: 857). Pengertian tersebut menjadi lain jika dikaitkan dengan judul berita di atas. Bentuk “bermain” menjadi bermakna negatif terhadap objek pemberitaan, dalam hal ini adalah oknum PNS. Bentuk “bermain” seolah-olah sengaja dikonstruksikan media cetak untuk memberitahu adanya ketidakberesan pengeluaran izin di Buangga Residence yang disebabkan oknum PNS tersebut. Judul berita di atas dapat bermakna lain jika media menggunakan kosakata dengan klasifikasi lain seperti pembantu pengeluaran izin untuk menggantikan bentuk “bermain” yang bermakna penggelap izin. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa suatu realitas dapat dikonstruksikan dengan menggunakan golongan kata-kata tertentu yang maknanya mendekati hal yang diinginkan media itu sendiri. Pemakaian kosakata membatasi pandangan juga digunakan oleh Bali Post walaupun dengan intensitas yang lebih kecil daripada penggunaan kosakata: membuat klasifikasi. Ditemukan 7 data dari 30 satuan data yang masuk dalam kriteria ini sehingga persentasenya menjadi 23,3%. Berdasarkan temuan, Bali Post rata-rata menggunakan kosakata membatasi pandangan dalam pemberitaan untuk membatasi informasi dan pemikiran pembaca mengenai suatu realita yang tengah terjadi. Hal ini menjadi mudah karena khalayak tidak mengalami atau mengikuti peristiwa secara langsung (Eriyanto, 2001: 137). Contoh kosakata: membatasi pandangan yaitu “’Logikanya, seorang bawahan tidak mungkin membebaskan lahan seluas itu,’ sindirnya” (SP3 Kejati Dituding Janggal, Bali Post, 4 September 2013). Kata sindir memiliki arti celaan, ejekan (KBBI, 2012: 1311). Penggunaan
e-Journal Volume : Vol: 2 No: 1 Tahun:2014 Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2014 keterangan sindirnya ini dipilih oleh media dengan tujuan membentuk pemikiran pembaca bahwa narasumber dalam pemberitaan ini terlihat menyindir/mencela/mengejek pihak lain saat diwawancarai. Penggunaan kata ini memiliki dua kemungkinan maksud: (1) narasumber memang melakukan penyindiran, (2) media cetak dengan mengatasnamakan narasumber melakukan penilaian buruk terhadap objek pemberitaan. Kalimat pada data di atas dapat berbeda maknanya jika sindirnya diganti dengan kosakata katanya yang cenderung netral dalam memandang narasumber. Karena itu, media cetak memiliki kemampuan untuk mengontruksikan kembali realita yang terjadi melalui penggunaan kata-katanya. Kosakata untuk mempertarungkan wacana sepertinya tidak menjadi prioritas untuk digunakan oleh Bali Post dalam pemberitaannya. Penggunaan permainan kata-kata yang bertujuan mengklaim pembenaran suatu pihak yang sedang bertarung wacana di media tidak ditemukan dalam Bali Post pada bulan September. Namun, bukan berarti semua media cetak tidak menjadikan kosakata sebagai piranti pengklaiman pembenaran. Beberapa media menggunakannya untuk menarik perhatian pembaca. Jadi, persentase data kosakata: pertarungan wacana adalah sebanyak 0%. Kosakata: marjinalisasi ditemukan sebanyak 6 data dari 30 satuan data sehingga persentasenya adalah 20%. Kosakata marjinalisasi ini cenderung digunakan untuk mengucilkan pelaku korupsi (koruptor) di Bali. Dengan begitu, terlihat bahwa pemilihan kosakata dapat digunakan untuk membentuk pendapat umum, meneguhkan, dan membenarkan pihak sendiri dan mengucilkan pihak lain (Eriyanto, 2001: 149). Contoh kosakata: marjinalisasi yaitu “Sayangnya, Kepala UPT Taman Budaya Ketut Mantara Gandi ketika diminta konfirmasinya terkait sikap cuci tangan Kadisbud Bali Ketut Suastika, memilih tutup mulut” (Tiga Kontraktor Art Centre dan Saksi IHDN Diperiksa, Bali Post, 17 September 2013). Dalam hal ini, kosakata cuci tangan tidak lagi bermakna
membersihkan tangan namun mengandung makna konotatif yaitu membersihkan diri dari dugaan kejahatan. Dengan begitu, ditulisnya kata cuci tangan, secara tidak langsung menimbulkan konotasi (makna negatif) bagi objek pemberitaan ini, yaitu Kadisbud Bali. Dengan begitu, dapat dilihat bahwa kata cuci tangan dikonstruksikan oleh media untuk membentuk pendapat umum bahwa Kadisbud Bali, Ketut Suastika membersihkan diri dari dugaan kejahatan. Selanjutnya, kata tutup mulut juga tergolong kosakata yang berkonstruksi marjinalisasi. Dalam hal ini, kosakata tutup mulut mengandung makna tidak berkomentar. Namun, klasifikasi kosakata ini cenderung mengarah ke konotatif, berbeda dengan tidak berkomentar yang cenderung netral. Dengan begitu, ditulisnya kata tutup mulut, secara tidak langsung menimbulkan konotasi (makna negatif) bagi objek pemberitaan ini, yaitu Kepala UPT Taman Budaya, Ketut Mantara Gandi. Dipasifkannya suatu kalimat oleh media yang berdampak pada penghilangan pelaku ditemukan pada beberapa pemberitaan yang diangkat Bali Post di bulan September ini. Terdapat 5 data dari 30 satuan data yang masuk dalam kriteria konstruksi berita tata bahasa, pemasifan: penghilangan pelaku sehingga persentasenya menjadi 16,7%. Berdasarkan analisis, harian ini cenderung menggunakan bentuk pemasifan untuk menekankan sasaran pelaku dalam pemberitaan. Contoh tata bahasa, pemasifan: penghilangan pelaku yaitu “Giliran Pengurus Subak Dibidik Kejaksaan” (Giliran Pengurus Subak Dibidik Kejaksaan, Bali Post, 4 September 2013). Kata dibidik memiliki sinonim diincar, diarahkan (KBBI, 2012: 189). Penggunaan kalimat dalam bentuk pasif seperti pada judul berita di atas, secara tidak langsung mengarahkan fokus pemberitaan pada pengurus subak. Sebagai lembaga yang bertugas mengadili, suatu pihak yang menjadi target (bidikan/incaran) kejaksaan selalu dianggap memiliki skandal yang besar. Oleh karena itu, target kejaksaan yaitu
e-Journal Volume : Vol: 2 No: 1 Tahun:2014 Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2014 pengurus subak, dirasakan oleh media dapat menjadi tokoh yang penting dalam pemberitaan sehingga perlu untuk ditonjolkan kali ini. Pemasifan pada kutipan data di atas dilakukan dengan tujuan menekankan sasaran pelaku atau tindakan. Hal ini karena dalam kalimat aktif yang ditekankan adalah subjek pelaku dari suatu kegiatan, dalam kalimat pasif yang ditekankan adalah sasaran dari suatu pelaku atau tindakan tersebut (Eriyanto, 2001). Penominalisasian kalimat tidak digunakan pada pemberitaan kasus korupsi pada Bali Post di bulan September ini. Hal ini karena tidak semua media ingin mengarahkan fokus pemberitaan pada peristiwa yang terjadi. Hal ini kembali lagi pada tujuan/kepentingan media cetak dalam menampilkan pemberitaan. Dengan begitu, persentase data dalam Bali Post yang mengandung konstruksi tata bahasa, nominalisasi: penghilangan pelaku adalah sebanyak 0%. Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa dalam mengonstruksikan kasus korupsi di Bali, Jawa Pos lebih banyak menggunakan kosakata: marjinalisasi. Ditemukan 9 data dari 24 satuan data sehingga persentasenya menjadi 37,5%. Jawa Pos lebih banyak menggunakan kosakata ini untuk menyusun suatu citra tertentu dalam memberikan gambaran atau pandangan tentang realitas ke khalayak. Di samping itu, kosakata marjinalisasi yang dikonstruksikan media cetak ini juga banyak digunakan untuk memperlihatkan cara suatu kosakata membahasakan pelaku maupun korban sekaligus menggambarkan peristiwa yang memengaruhi pemaknaannya. Contoh kosakata: marjinalisasi adalah “Developer Buangga Plin-plan” (Developer Buangga Plin-plan, Jawa Pos, 5 September 2013). Kata plin-plan memiliki arti berpendirian tidak tetap, mudah dipengaruhi (KBBI, 2012: 1085). Kosakata plin-plan ini cenderung mengarah ke konotatif. Otomatis dipilihnya kata plin-plan dapat memberikan makna negatif terhadap objek pemberitaan, developer Buangga. Dengan begitu, dapat dilihat bahwa kosakata plin-plan sengaja dikontruksikan oleh media dengan tujuan
membentuk pendapat umum atau berusaha mengucilkan developer Buangga yang terkait dengan pemberitaan mengenai Buangga Residence. Berbeda halnya, jika media menggunakan kata berikan penegasan berbeda untuk mengganti kata plin-plan. Dengan kata ini, pembaca tidak lagi menilai Developer Buangga dengan sebelah mata. Karena itu, pilihan kosakata merepresentasikan cara kata-kata tertentu membahasakan aktor-aktor dan juga menggambarkan peristiwa yang memengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh khalayak (Eriyanto, 2001: 149). Pemilihan kosakata oleh Jawa Pos yang berdampak pada pengklasifikasian pemikiran pembaca juga ditemukan pada beberapa pemberitaan kasus korupsi ini. Berdasarkan data yang terkumpul, terdapat 7 data dari 24 satuan data yang masuk dalam kriteria konstruksi berita kosakata: membuat klasifikasi sehingga persentasenya adalah 29,2%. Kosakata: membuat klasifikasi ini cenderung digunakan Jawa Pos untuk mengonstruksi realitas sekaligus memberikan penilaian melalui pemilihan kata-kata dengan golongan tertentu. Oleh karena itu, dipilihlah golongan kata-kata yang maknanya mendekati hal yang ingin direpresentasikan oleh media itu sendiri. Contoh kosakata: membuat klasifikasi yaitu: “Developer Buangga Plinplan” (Developer Buangga Plin-plan, Jawa Pos, 5 September 2013). Pemilihan kata plin-plan pada berita di atas memiliki dua jenis konstruksi. Salah satunya adalah membuat klasifikasi. Kata plin-plan memiliki arti berpendirian tidak tetap, mudah dipengaruhi (KBBI, 2012: 1085). Namun, kosakata plin-plan ini cenderung mengarah ke konotatif. Hal ini menyebabkan pemilihan kosakata plinplan dapat menggiring pembaca ke arah pemikiran negatif sesuai keinginan media dengan tujuan tertentu. Dengan begitu, dipilihnya kata plin-plan dapat memberikan makna konotasi terhadap objek pemberitaan, dalam hal ini adalah developer Buangga. Berbeda halnya, jika media menggunakan kata berikan penegasan berbeda untuk mengganti plin-plan. Dengan kata ini, pembaca tidak
e-Journal Volume : Vol: 2 No: 1 Tahun:2014 Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2014 lagi menilai Developer Buangga dengan negatif. Dapat dilihat bahwa kata-kata mampu menggambarkan realitas sekaligus memberikan penilaian dengan menggunakan klasifikasi/golongan katakata yang maknanya mendekati hal yang ingin direpresentasikan media. Pemakaian kosakata membatasi pandangan juga digunakan oleh Jawa Pos. Berdasarkan data yang terkumpul, terdapat 3 data dari 24 satuan data yang masuk dalam kriteria konstruksi berita kosakata: membatasi pandangan sehingga persentasenya adalah 12,5%. Berdasarkan temuan, Jawa Pos rata-rata menggunakan kosakata membatasi pandangan dalam pengonstruksian berita untuk membatasi informasi dan pemikiran pembaca mengenai suatu realita yang tengah terjadi. Bahasa pada dasarnya bersifat membatasi -kita diajak berpikir untuk memahami seperti itu, bukan yang lain. Contoh kosakata: membatasi pandangan yaitu “’Itu saja. Jadi, kami memastikan bahwa klien kami tidak terlibat dalam pengadaan itu,’ sergahnya, bernada mencokot Mantara Gandhi yang sudah duluan menjadi tersangka” (Diperiksa, Suastika Cokot Mantara Gandhi, Jawa Pos, 13 September 2013). Dengan keterbatasan informasi yang dimiliki oleh pembaca, media cetak menjadi memiliki kemampuan untuk mengontruksikan kembali realita yang terjadi melalui penggunaan kata-katanya (Fowler dalam Eriyanto: 2001). Dengan begitu, penggunaan keterangan bernada mencokot ini dapat dikatakan dipilih oleh media dengan tujuan membentuk pemikiran pembaca bahwa narasumber dalam pemberitaan ini terdengar menuduh pihak lain dalam memberikan pernyataan mengenai kasus dugaan korupsi di Art Centre saat diwawancarai media. Pemilihan kosakata oleh media yang bertujuan mempertarungkan wacana ditemukan pada Jawa Pos bulan September ini. Berdasarkan data yang terkumpul, terdapat 2 data dari 24 satuan data yang masuk dalam kriteria konstruksi berita kosakata: pertarungan wacana sehingga persentasenya adalah 8,3%. Kosakata: pertarungan wacana ini
cenderung digunakan oleh Jawa Pos untuk mengklaim pembenaran suatu pihak yang sedang bertarung wacana. Adakalanya, suatu pihak menggunakan media untuk mengklaim pembenarannya. Kemudian, pihak lain turut memberikan penegasan kebenaran yang lain. Inilah yang membuat media cetak menjadi piranti untuk bertarung argumen. Contoh kosakata: pertarungan wacana yaitu: “Diperiksa, Suastika Cokot Mantara Gandhi” (Diperiksa, Suastika Cokot Mantara Gandhi, Jawa Pos, 13 September 2013) dan “Gandhi Kerja Atas Arahan Kadisbud” (Gandhi Kerja Atas Arahan Kadisbud, Jawa Pos, 14 September 2013). Kata cokot digunakan oleh media untuk menggambarkan bahwa Suastika, Kadisbud Bali, menunjuk Mantara Gandhi sebagai pelaku atas kasus dugaan korupsi Art Centre. Di terbitan selanjutnya, kata atas arahan digunakan oleh media untuk menggambarkan bahwa Gandhi, menunjuk Kadisbud sebagai pelaku atas kasus dugaan korupsi Art Centre. Oleh sebab itu, dalam suatu pemberitaan, setiap pihak mempunyai versi atau pendapat sendiri-sendiri atas suatu masalah (Eriyanto, 2001). Pemasifan kalimat untuk menghilangkan pelaku juga ditemukan pada beberapa pemberitaan yang diangkat harian Jawa Pos di bulan September ini. Terdapat 2 data dari 24 satuan data yang masuk dalam kriteria konstruksi berita tata bahasa, pemasifan: penghilangan pelaku sehingga persentase datanya adalah 8,3%. Berdasarkan analisis, Jawa Pos tidak jauh berbeda dengan Bali Post yang cenderung menggunakan bentuk pemasifan untuk menekankan sasaran pelaku dalam pemberitaan. Contoh pemasifan ini yaitu: “Oknum PNS Diduga ‘Bermain’” (Oknum PNS Diduga “Bermain”, Jawa Pos, 3 September 2013). Penggunaan kalimat bentuk di atas, mengarahkan fokus pemberitaan pada Oknum PNS. Bentuk pemasifan ini digunakan untuk menyembunyikan pelaku pendugaan dan berusaha memfokuskan pemberitaan ke objek/pihak yang disebutkan dalam
e-Journal Volume : Vol: 2 No: 1 Tahun:2014 Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2014 pemberitaan, yaitu Oknum PNS. Dengan begitu, ada dua kemungkinan tujuan yang diinginkan oleh media dalam mengontruksikan pemberitaan ini, yaitu ingin menyembunyikan pelaku tindakan pendugaan atau memfokuskan objek/pihak yang dikenai tindakan pendugaaan. Pengarahan fokus pemberitaan pada peristiwa yang terjadi juga digunakan oleh Jawa Post. Berdasarkan data yang terkumpul, terdapat 1 data dari 24 satuan data yang masuk dalam kriteria konstruksi berita tata bahasa, nominalisasi: penghilangan pelaku sehingga persentase datanya sebanyak 4,2%. Berdasarkan temuan, Jawa Pos menggunakan bentuk ini dengan tujuan menyembunyikan subjek dan objek dalam pemberitaan dengan suatu tujuan/kepentingan. Bentuk ini sekaligus mengarahkan titik perhatian pembaca ke peristiwa/tindakan itu sendiri. Contoh tata bahasa, nominalisasi: penghilangan pelaku yaitu: “Pakai Dana Tanpa Konsultasi” (Pakai Dana Tanpa Konsultasi, Jawa Pos, 12 September 2013). Media cetak menggunakan bentuk ini dengan tujuan menyembunyikan subjek dan objek dalam pemberitaan. Bentuk ini sekaligus mengarahkan titik perhatian pembaca ke peristiwa itu sendiri. Dari kedua media cetak itu, jenis konstruksi yang paling banyak digunakan dalam menghadirkan pemberitaan ke khalayak adalah jenis konstruksi kosakata. Hal ini karena pemilihan suatu kosakata seminimal apapun dapat memengaruhi persepsi pembaca. Menurut Fowler (dalam Eriyanto, 2001), pemilihan suatu kosakata dapat memengaruhi penerimaan suatu pemberitaan. Ini karena bahasa yang berbeda akan menghasilkan realitas yang berbeda pula ketika diterima oleh khalayak. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa kosakata mampu membahas suatu peristiwa yang sama dengan penggunaan kosakata/bahasa yang berbeda. Hal inilah yang menyebabkan kedua media cetak ini lebih banyak menggunakan jenis pengonstruksian dengan kosakata daripada dengan tata bahasa. Di sisi lain, Bali Post dan Jawa Pos juga menggunakan praktik pemakaian bahasa yang selanjutnya dapat dianalisis
untuk melihat kecenderungan sikap media dibalik pemilihan kosakata dan tata bahasanya. Melalui tabel, hasil penelitian tersebut dapat digambarkan seperti di bawah ini. Tabel 3. Sikap Bali Post dalam Mengonstruksi Kasus Korupsi di Bali Praktik No. Pemakaian Jml Persen Bahasa (%) 1. Eufemisme 4 18,2% (Penghalusan) 2. Disfemisme 16 72,7% (Pengasaran) 3. Labelisasi 2 9,1% (Labeling) Total 22 100% Tabel 4. Sikap Jawa Pos dalam Mengonstruksi Kasus Korupsi di Bali No. Jenis Jml Persen Konstruksi (%) 1. Eufemisme 0 0% (Penghalusan) 2. Disfemisme 16 94,1% (Pengasaran) 3. Labelisasi 1 5,9% (Labeling) Total 17 100% Di bulan September, Bali Post lebih banyak menggunakan praktik pemakaian bahasa disfemisme (pengasaran) dalam mengonstruksikan kasus korupsi di Bali. Berdasarkan data yang terkumpul, terdapat 16 data dari 22 data yang tergolong memiliki sikap disfemisme sehingga persentasenya adalah 72,7%. Dari analisis yang ditemukan, Bali Post cenderung menggunakan disfemisme untuk menimbulkan keberpihakan terhadap suatu pihak dalam proses pembuatan beritanya baik secara sadar maupun tidak sadar. Kepentingan inilah yang melahirkan suatu kecenderungan sikap media -dalam bentuk bahasa- dalam memberitakan kasus korupsi di Bali. Dalam kasus ini, Bali Post lebih banyak menggunakan disfemisme untuk memojokkan para pelaku korupsi. Gaye Tuchman (dalam Severin, 2005: 400) pernah mengatakan
e-Journal Volume : Vol: 2 No: 1 Tahun:2014 Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2014 bahwa berita merupakan konstruksi realitas sosial. Menurutnya, tindakan membuat berita adalah tindakan mengonstruksi berita itu sendiri, bukan penggambaran realita. Contoh penggunaan disfemisme pada pemberitaan kasus korupsi di Bali Post yaitu “Bidik Kongkalikong di Teluk Benoa” (Bidik Kongkalikong di Teluk Benoa, Bali Post, 17 September 2013). Kata kongkalikong dapat pula diartikan sembunyi-sembunyi, melakukan sesuatu yang tidak baik, sekongkol (KBBI, 2012: 723). Berdasarkan rasa bahasa, kata kongkalikong cenderung digunakan untuk menyebutkan telah dilakukannya sesuatu yang buruk sehingga kerap diartikan negatif. Oleh karena itu, penggunaan kata kongkalikong tergolong disfemisme. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa dalam pemberitaan ini media cenderung tidak berpihak pada objek pemberitaan, yaitu kasus di Teluk Benoa. Praktik pemakaian bahasa eufemisme (penghalusan) juga digunakan beberapa kali oleh Bali Post. Ditemukan 4 data dari 22 satuan data pada Bali Post yang menggunakan eufemisme. Dengan demikian, persentase data dalam Bali Post yang tergolong mengandung sikap eusfemisme adalah sebanyak 18,2%. Dari analisis data ditemukan bahwa eufemisme cenderung digunakan oleh Bali Post untuk menghaluskan peristiwa yang diberitakan sehingga membuat khalayak tidak melihat kenyataan yang sebenarnya. Contoh penggunaan eufemisme pada pemberitaan kasus korupsi di Bali Post yaitu “Karena ditolak, yang bersangkutan bersama beberapa kawannya memisahkan diri dengan membentuk pengurus baru” (Giliran Pengurus Subak Dibidik Kejaksaan, Bali Post, 4 September 2013). Kata memisahkan diri memiliki arti menceraikan, meleraikan (KBBI, 2012: 1081). Berdasarkan rasa bahasa, kata memisahkan diri cenderung masuk ke rasa bahasa penghalusan. Kata memisahkan diri dirasa lebih halus dari kata menceraikan, meleraikan. Oleh karena itu, penggunaan kata memisahkan diri tergolong eufemisme.
Karena tergolong penghalusan, dapat diasumsikan bahwa dalam pemberitaan ini media berpihak pada subjek pemberitaan. Labelisasi (labeling) juga digunakan beberapa kali oleh Bali Post namun dengan intensitas yang jauh lebih sedikit. Ditemukan 2 data dari 22 satuan data pada Bali Post yang menggunakan labelisasi. Dengan demikian, persentase data dalam Bali Post yang tergolong mengandung sikap labelisasi (labeling) adalah sebanyak 9,1%. Dari analisis data ditemukan bahwa labelisasi (labeling) cenderung digunakan oleh Bali Post dengan tujuan menjuluki suatu peristiwa yang tengah terjadi dan sedang naik daun. Pada akhirnya, labelisasi ini dapat memengaruhi pikiran khalayak dan membentuk citra tertentu. Contoh penggunaan labelisasi yaitu “Sebab kedua kasus tersebut menjadi sorotan publik karena menuai kontroversi di masyarakat” (Bidik Kongkalikong di Teluk Benoa, Bali Post, 17 September 2013). Kata kontroversi dapat pula diartikan perdebatan, persengketaan, pertentangan (KBBI, 2012: 730). Digunakannya kata kontroversi memiliki kesan bahwa kedua kasus korupsi yang disebutkan dalam pemberitaan sedang diperdebatkan sehingga menjadi sorotan publik. Dalam hal ini, golongan kata-kata seperti kontroversi, pertentangan, perdebatan, dan persengketaan berusaha ditampilkan oleh media dalam pemberitaan dengan tujuan membentuk pemikiran bahwa kasus rencana reklamasi dan RSI Tabanan yang di-SP3-kan sedang hangat-hangatnya menjadi konsumsi publik. Oleh karena itu, penggunaan kata kontroversi tergolong labelisasi (labeling). Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa dalam pemberitaan ini media cenderung memiliki tujuan menjuluki kasus rencana reklamasi dan RSI Tabanan yang di-SP3-kan sebagai kasus kontroversial. Tidak jauh berbeda dengan Bali Post, Jawa Pos juga lebih banyak menggunakan praktik pemakaian bahasa disfemisme (pengasaran) dalam mengonstruksikan kasus korupsi di Bali selama bulan September. Ditemukan 16 data dari 17 data yang tergolong memiliki
e-Journal Volume : Vol: 2 No: 1 Tahun:2014 Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2014 sikap disfemisme sehingga persentase datanya adalah 94,1%. Jawa Pos cenderung menggunakan disfemisme untuk menunjukkan keberpihakan terhadap suatu pihak -disadari ataupun tidak- dalam proses pembuatan beritanya. Sama seperti Bali Post, Jawa Pos juga cenderung menggunakan disfemisme (pengasaran) untuk memarjinalkan para pelaku korupsi. Di samping itu, Jawa Pos juga menggunakan disfemisme untuk memancing perhatian masyarakat. Oleh karena itu, tampaknya media cetak ini menyadari bahwa masalah yang bersifat pertentangan atau konflik lebih memancing keingintahuan dan perhatian masyarakat. Contoh penggunaan disfemisme yaitu “Pengawas SD Caplok Dana Monitoring” (Pengawas SD Caplok Dana Monitoring), Jawa Pos, 5 September 2013). Kata caplok dapat pula diartikan ambil, tangkap (KBBI, 2012: 245). Berdasarkan rasa bahasa, kata caplok tergolong ke rasa bahasa pengasaran. Kata caplok dirasa lebih kasar dan menyindir dari kata ambil ataupun tangkap. Oleh karena itu, penggunaan kata caplok tergolong disfemisme (pengasaran). Karena tergolong pengasaran, dapat dikatakan bahwa dalam pemberitaan ini media tidak berpihak pada pelaku dalam pemberitaan yaitu Pengawas SD. Selanjutnya, berdasarkan data yang dianalisis tidak ditemukan praktik pemakaian bahasa eufemisme (penghalusan) pada Jawa Pos. Dengan demikian, persentase data dalam Jawa Pos yang tergolong mengandung sikap eusfemisme (penghalusan) adalah 0%. Jadi, tidak semua media cetak menggambarkan kembali suatu realitas yang buruk agar menjadi halus. Begitu pula dengan Jawa Pos. Labelisasi (labeling) digunakan sekali dari 17 satuan data oleh Jawa Pos sehingga persentase datanya adalah 5,9%. Dari analisis data ditemukan bahwa tujuan Jawa Pos menggunakan praktik pemakaian bahasa labelisasi sama dengan tujuan Bali Post yaitu untuk menjuluki suatu peristiwa yang tengah terjadi dan sedang naik daun. Pemakaian
labelisasi ini dapat memengaruhi pikiran khalayak dan membentuk citra tertentu. Contoh penggunaan labelisasi yaitu “Terjadi perkembangan mengejutkan terkait kasus proyek Buangga Residence” (Developer Buangga Plin-plan, Jawa Pos, 5 September 2013). Kata perkembangan dapat pula diartikan perihal berkembang (berubah menjadi sempurna) (KBBI, 2012: 662). Penggunaan keterangan perkembangan dipilih oleh media untuk membentuk pemikiran bahwa kasus proyek Buangga Residence telah mengalami kemajuan yang pesat ke arah positif. Oleh karena itu, penggunaan kata perkembangan tergolong labelisasi (labeling). Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa dalam pemberitaan ini media cenderung memiliki tujuan menjuluki perkembangan kasus proyek Buangga Residence yang mengalami kemajuan pesat sebagai perkembangan yang mengejutkan. Dari kedua media cetak tersebut dapat dilihat bahwa praktik pemakaian bahasa yang lebih banyak digunakan adalah disfemisme (pengasaran). Hal ini dikarenakan selain berita yang bersifat pertentangan atau konflik lebih memancing keingintahuan dan perhatian masyarakat lebih bernilai jual, peristiwa kehidupan manusia yang memiliki daya tarik manusiawi (human interest) juga akan memiliki nilai berita. Oleh karena itu, selain bertujuan memengaruhi pembaca, kedua media cetak ini juga menggunakan praktik pemakaian bahasa berupa disfemisme (pengasaran) dengan tujuan lebih menjual berita tersebut ke khalayak. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan temuan yang didapat, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai penelitian ini. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut. Cara mengonstruksi pemberitaan kasus korupsi di Bali yang paling banyak digunakan oleh Bali Post adalah dengan kosakata: membuat klasifikasi. Sementara itu, pada Jawa Pos, konstruksi pemberitaan kasus korupsi yang paling banyak digunakan adalah kosakata: marjinalisasi.
e-Journal Volume : Vol: 2 No: 1 Tahun:2014 Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2014 Berdasarkan temuan pada permasalahan pertama, kecenderungan sikap media cetak Bali Post dan Jawa Pos dalam mengonstruksikan kasus korupsi di Bali ditinjau dari teori Roger Fowler, dkk. dapat dikatakan tidak berimbang atau cenderung menampilkan keberpihakannya. Hal ini dapat dilihat dari cara kedua media cetak ini dalam menampilkan keberpihakannya baik itu ke subjek pemberitaan maupun objek pemberitaan. Dalam memberitakan kasus korupsi di Bali, sikap kedua media tersebut dapat dilihat dari makna yang timbul melalui pemilihan kata-katanya. Berdasarkan temuan yang didapatkan, penggunaan makna yang cenderung kasar mengakibatkan subjek pemberitaan menjadi termarjinalkan. Di sisi lain, penggunaan disfemisme (pengasaran) oleh media menunjukkan keberpihakannya pada masyarakat. Selain itu, kedua media cetak ini cenderung menggunakan praktik pemakaian bahasa disfemisme (pengasaran) untuk membuat realitas menjadi kasar. Oleh karena itu, akibat lain dari penggunaan disfemisme (pengasaran) adalah memojokkan subjek pemberitaan dalam hal ini adalah koruptor. Adapun saran yang dapat disampaikan, antara lain (1) mengingat banyaknya strategi komunikasi wacana yang ada dan mulai digunakan oleh banyak media massa dewasa ini, pembaca hendaknya dapat memilah informasi secara kritis dan cermat, tidak hanya menelan informasi tersebut secara mentah-mentah; (2) pekerja media juga hendaknya selalu berusaha bersikap netral, menciptakan berita yang akurat, tepat, dan jelas sehingga tidak menimbulkan ambiguitas maupun kesimpangsiuran dari suatu peristiwa yang dapat membingungkan khalayak pembaca; (3) penelitian ini dilakukan hanya terhadap dua harian di Bali dan hanya berfokus pada pemberitaan seputar kasus korupsi di Bali. Oleh karena itu, peneliti lain dapat melakukan penelitian sejenis pada media lain, baik media cetak atau elektronik maupun media lokal atau nasional, dan juga terhadap fokus pemberitaan yang lain; (4) penelitian ini dilakukan oleh peneliti yang bergelut pada
bidang bahasa, padahal penelitian ini juga melibatkan bidang-bidang lainnya, seperti komunikasi, sosial, bahkan politik. Dengan demikian, tentu akan lebih baik jika penelitian pada masa mendatang dilakukan oleh pihak-pihak dari berbagai interdisipliner sehingga analisis dan hasil penelitian yang diperoleh bisa lebih akurat, tajam, dan mendalam. DAFTAR PUSTAKA Badara, Aris. 2012. Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta: Kencana. Damanik, Muh. Iqbal. 2013. Upah Minimum dalam Politik Media Massa (Studi Analisis Wacana Kritis Keberpihakan Koran Tempo dan Harian Kompas dalam Pemberitaan Polemik Penentuan Upah Minimun Kawasan Industri Bekasi–Jawa Barat). Skripsi (tidak diterbitkan). Medan: Univ. Sumatra Utara. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Harefa, Aneke Alone. 2012. Kritik Sosial Media dalam Perspektif Jurnalisme Komunitas (Analisis Wacana Rubrik Intro Indonesia dalam Koran Slank). Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga: Univ. Kristen Satya Wacana. Hasfi,
Nurul. 2011. Analisis Framing Pemberitaan Melinda Dee di Detikcom, Majalah Tempo, dan MetroTV. Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: Univ. Diponegoro.
Pusat
Bahasa. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Rivers, William dkk. 2004. Media Massa & Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana.