LIFESTYLE POST MODERN PADA BANGUNAN DAN ACCENT DI BALI
Oleh :
Ida Ayu Dyah Maharani 197805102006042002
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA Denpasar 2012
DAFTAR ISI
Halaman judul……………………………………………………………………………. i Daftar Isi…………………………………………………………………………………. ii A. Latar Belakang………………………………………………………………………... 1 B. Bentuk Bangunan Bali……………………………………………….…..………….... 3 C. Bentuk Accent Bali…………….…….…………………………………………...…... 7 D. Kesimpulan…………………………...……………………………............................. 16
ii
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
A. LATAR BELAKANG Post Modernism adalah istilah untuk menyebut suatu masa atau jaman yang dipakai berbagai disiplin untuk menguraikan bentuk budaya dari suatu titik pandang berlawanan atau pengganti istilah modernisme. Salah satu ungkapan bentuk fisik dari kebudayaan, adalah seni termasuk arsitektur, oleh karena itu Post Modern lebih banyak digunakan dari aspek kebudayaan lainnya. Istilah ini dipakai sebagai istilah global bahwa modern tidak hanya di Barat saja, namun budaya dunia religius, rasional ataupun humanis sudah bercampur. Dalam arsitektur, titik pandang ini tidak biasa digunakan, namun sejak tahun 1970an, istilah ini mulai digunakan untuk menyebut gaya eklektik, memilih unsur-unsur lama dari berbagai periode yang dikombinasikan dengan bentuk-bentuk yang kelihatan aneh. Arsitektur modern dimana merupakan fungsional purism atau bentuk-bentuk murni yang mendewa-dewakan fungsi muncul sebagai akibat adanya kejenuhan terhadap arsitektur sebelumnya yang lebih bersifat seni di mana keindahan diutamakan lebih dari fungsi. Kemungkinan besar Post Modern berkembang oleh karena kejenuhan terhadap konsep fungsionalisme yang terlalu mengacu kepada fungsi.
Pemakaian elemen-elemen
geometeri, sederhana, terlihat sebagai suatu bentuk tidak fungsional, tetapi ditonjolkan sebagai unsur penambah keselarasan dalam komposisi ataupun sebagai dekor. Pada awal tahun 1980-an, gaya Post Modern juga lebih banyak dipakai untuk menggambarkan suatu bentuk dasar dalam berbagai anggapan tentang hubungan antara arsitektur dan masyarakat. Dalam hal ini moral yang dituntut Modernisme antara lain bahwa suatu bentuk dan penampilan bangunan, seharusnya merupakan hasil dari beberapa pendekatan logis dari program, sifat bahan bangunan dan prosedur konstruksi, dimana hal-hal ini sudah banyak diabaikan. Post Modern menjadi reaksi dari ilmu pengetahuan, konsentrasi manusia pada budaya rasionalisme yang berkembang. Bentuk lain dari ungkapan konsep Post Modern sebagai oposisi dari “gerakan modern” atau “modernitas”. Secara tidak langsung Post Modern lebih kurang seperti tujuan utama dari Avant Garde gerakan pelopor pembaharuan dan kembali berintegrasi dengan idealisme jaman pra modern.
Post Modern merombak
konsep modernisme yang berusaha memutus hubungan dengan masa seni dan arsitektur klasik.
Kadang-kadang Post Modern digambarkan seperti menganjurkan untuk
memperbaiki kembali arti arsitektur dengan kembali mengetengahkan elemen-elemen
1
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
arsitektur konvensional dan menjadi lebih pluralistik dengan memperluas gaya dan bentuk tersedia bagi perancang. Terkadang Post Modern menghadirkan konsep masa lampau, namun dalam bentuk lain dan menerapkan unsur-unsur tidak berfungsi tetapi semata-mata sebagai elemen penghias.
Pada jaman Modern, dalam setiap ungkapan karyanya
memberikan satu formula yang diasumsikan bersifat universal, bahwa pada setiap obyek ada satu petanda atau makna yang bersifat determinan dan obyektif, yaitu fungsi. Bagaimanapun
beranekaragamnya
bentuk,
elemen,
khasanah
kata
dan
pengkombinasiannya, namun semuanya pada akhirnya akan bermuara pada makna tunggal yaitu fungsi. Namun sebaliknya, pada karya-karya Post Modern, apa yang disebut tanda itu bersifat sangat mendua dan mempunyai hubungan tidak harmonis dengan fungsi, bisa merupakan bentuk ironis dari fungsi, merupakan penopengan, pemutarbalikan, pelecehan atau plesetan dari fungsi. Demikian pula yang terjadi dalam Arsitektur Bali, baik yang berupa bentuk bangunan maupun accentsnya.
Merupakan hal yang universal bahwa kebudayaan
merupakan hasil hubungan antara manusia dengan alamnya.
Demikian pula halnya
menurut kepercayaan orang Bali yang berlandaskan agama Hindu dengan “Panca Srada” yang melahirkan filsafat “Tattwam Asi” yakni mengakui bahwa manusia adalah ciptaanNya yang memiliki rasa kesucian dan kesujudan terhadap Tuhan Yang Maha Pencipta, rasa manunggalnya manusia dengan alam semesta. Rasa kesucian dan kesujudan ini dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat adati Bali dimana dalam kehidupan sehari-harinya mereka selalu hidup bersatu dengan lingkungan dan alam sekelilingnya dengan berbagai upacara ritual dan bentuk-bentuk keindahan yang dimanivestasikan ke dalam bentuk keseniannya.
Sehingga dengan demikian, banyak terdapat karya dan salah satunya
merupakan bentuk-bentuk dalam Arsitektur Bali yang diciptakan dengan makna dan nilai sakral tertentu. Seni
adati
dalam
perkembangan
seni
masa
kini,
nampak
menunjukkan
kecenderungan untuk menggali kembali nilai-nilai adati sebagai sumber inspirasi. Usaha menggali nilai-nilai adati pada umumnya dilakukan sesuai dengan tuntutan modernisasi. Penemuan-penemuan baru dalam perkembangan teknologi dipaksakan untuk dipergunakan dalam usaha tersebut.
Fenomena ini juga terjadi dalam karya arsitekturnya. Bentuk-
bentuk dalam Arsitektur Bali, baik bentuk struktural hingga ragam hiasnya yang diyakini memiliki makna dan nilai yang sakral, kini seakan kesakralan itu sudah tidak ada lagi. Hal 2
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
ini dapat dilihat, banyak pemakaian bentuk-bentuk tersebut pada peniruan bentuk baru yang tidak semestinya, pada tempat dan juga dengan maksud atau tujuan yang sangat bertentangan dengan yang pada awalnya. Kenyataan seperti ini banyak bisa ditemukan pada proses pembangunan di pulau Bali sebagai daerah wisata.
B. BENTUK BANGUNAN BALI Beberapa bangunan di Bali terutama yang berupa bangunan adat, dalam desainnya selalu dibuat dengan “arti-arti” tertentu atau dengan tujuan pengungkapan makna tertentu, yang sering dikaitkan dengan hal-hal keagamaan. Beberapa bangunan adat itu seperti meru, kori, bale kulkul, lumbung atau jineng dan sebagainya. Namun dalam masyarakat Post Modern sekarang ini, dimana konsumsi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penciptaan ‘gaya hidup’ (lifestyle) yaitu pola penggunaan waktu, ruang, uang dan barang yang dimuati dengan makna simbolik tertentu, maka demikian halnya juga yang terjadi pada beberapa bentuk bangunan adat di Bali. BENTUK ATAP MERU Bentuk meru menonjolkan keindahan atap bertingkat-tingkat yang disebut dengan atap tumpang. Jumlah tumpang atap selalu ganjil, dimulai dari meru tumpang telu (berjumlah tiga) hingga tumpang 11 sebagai tingkat yang tertinggi. Pada pembagian bentuknya, terdiri atas tiga bagian yaitu bagian kepala (merupakan atap), badan (ruang pemujaan) dan bagian kaki (bebaturan). Fungsi meru itu sendiri adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, para Dewa dan leluhur, yang terdapat di Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat, Kahyangan Tiga dan Pamerajan Agung. Lalu bagaimana halnya jika bentuk meru tersebut diadopsi dalam gaya hidup Post Modern yang dicirikan oleh pergerakan citra, gaya, identitas yang cair, dimana di dalamnya terdapat kontradiksi yang dibiarkan hidup? Beberapa fasilitas hiburan di Bali banyak yang mengadopsi bentuk atap meru ini sebagai bentuk atap bangunannya demi mengejar ‘simbol’ ke-Bali-annya, sebagai point of view atau daya tarik agar wisatawan tertarik berkunjung ke tempatnya. Pendekatan Post Modern terhadap gaya, lebih berkaitan dengan penyanggahan terhadap konsep form follows function dan pendekatan formalisme, melalui pengembangan bentuk-bentuk yang bersifat ironik, skizofrenik dan sinkretik.
3
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
Gambar 1 Bentuk meru di Pura Ulun Danu, Bedugul yang berfungsi sebagai tempat pemujaan
Beberapa bentuk atap pada beberapa fasilitas hiburan di Bali yang mengadopsi bentuk atap meru, seperti pada hotel Legian (Kuta) dan Planet Hollywood Bali, seakan-akan mempermainkan keseriusan eksplorasi formal dan estetika yang baku.
Gambar 2 Bentuk meru yang dimanfaatkan pada atap salah satu sudut di Hotel Legian, Kuta
Gambar 3 Bentuk meru yang juga dimanfaatkan di Planet Hollywood, Bali
4
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
Karena memang demikianlah pendekatan utama Post Modernisme terhadap gaya, yang memperlakukan gaya sebagai salah satu bentuk komunikasi yang dapat disebut sebagai ‘komunikasi ironis’ yaitu bentuk komunikasi yang di dalamnya terdapat bukan maknamakna dari pesan-pesan yang dijunjung tinggi, melainkan kegairahan dalam permainan bebas dari tanda-tanda dan kode-kode. JINENG Sebagai salah satu contohnya adalah bangunan jineng (lumbung) di Bali yang selama ini dikenal sebagai bangunan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi, namun kini justru banyak yang memanfaatkannya sebagai bentuk bangunan untuk penginapan atau bungalow. Hal itu tentu saja sudah sangat jauh melenceng dari fungsi jineng semula sebagai tempat penyimpanan padi, sehingga dapat dikatakan bahwa kini bentuk jineng tidak lagi hanya sebagai penanda sebuah lumbung padi namun juga telah lahir fungsi baru yaitu sebagai penginapan.
Gambar 4 Jineng sebagai tempat penyimpanan padi Gambar 5 Bentuk jineng yang dimanfaatkan sebagai bangunan penginapan
5
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
BALE KULKUL Selain meru dan kori, perubahan juga dapat dilihat pada bale kulkul. Kulkul atau yang lazim dikenal dengan sebutan kentongan merupakan alat komunikasi yang disepakati setiap Banjar atau kelompok masyarakat tertentu. Dengan suara-suara tertentu dari kulkul yang dipukul dapat memanggil anggota Banjar untuk datang ke Banjar atau menuju ke tempat-tempat yang telah ditentukan. Kode-kode tertentu dari suara kulkul dapat pula memberikan informasi-informasi tertentu seperti bencana, kematian, perkawinan dan informasi lainnya kepada anggota Banjar. Untuk menjalani fungsinya menyampaikan informasi jarak jauh, kulkul digantungkan pada bangunan tinggi semacam menara beratap yang disebut Bale Kulkul.
Kulkul dengan Bale Kulkulnya adalah sarana informasi
musyawarah Banjar. Untuk memudahkan pencapaiannya dan untuk memudahkan Bale Kulkul sebagai pengenal Balai Banjar maka biasanya Bale kulkul ditempatkan di sudut depan pekarangan Balai Banjar tersebut. Selain itu Bale Kulkul juga ditempatkan di sudut pekarangan Pura atau tempat-tempat musyawarah lainnya. Namun kini Bale Kulkul sudah banyak terdapat di hotel-hotel sebagai salah satu daya tarik yang berbau Bali agar wisatawan mau menginap di tempatnya.
(a)
(b)
Gambar 6 Bale kulkul yang masih berfungsi sebagai sarana informasi (a) dan yang hanya sebagai dekorasi saja (b) yang terdapat di sudut halaman sebuah hotel
6
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
C. BENTUK ACCENTS BALI Dalam Post Modern terdapat beberapa idiom estetik seperti pastiche, parodi, kitsch, camp dan skizofrenia. Pastiche menjadikan karya atau gaya masa lalu sebagai rujukan atau titik berangkat dari duplikasi, revivalisme atau rekonstruksi sebagai ungkapan simpati, penghargaan atau apresiasi. Sedangkan parodi, hampir sama dengan pastiche, yaitu samasama menggunakan karya atau gaya masa lalu sebagai rujukan atau titik berangkatnya namun menjadikannya sebagai titik berangkat kritik, sindiran dan kecaman, sebagai ungkapan ketidakpuasan atau sekedar ungkapan rasa humor. Sedangkan kitsch merupakan sebuah bentuk rentetan palsu yang lebih didasarkan pada semangat reproduksi, adaptasi, simulasi dan semangat memaksakan seni yang tinggi. Terdapat beberapa cara karya-karya menjadi kitsch yaitu pengalihan satu atau totalitas elemen dalam karya seni, peminjaman elemen tertentu, imitasi bahan, transformasi dan idolisasi ikon, simbol atau lambang, serta obyektifikasi obyek. Dalam bahasan ini, mengambil contoh beberapa accents yang ada di Bali yaitu duarapala, karang boma, patung dewa Ganesha sebagai simbol dewa ilmu pengetahuan dan simbol Ida Sang Hyang Widhi sebagai sebutan Tuhan dalam agama Hindu. DUARAPALA PADA KORI Fenomena seperti di atas juga terjadi pada pintu masuk pekarangan yang disebut dengan kori atau kori agung untuk tempat-tempat yang diagungkan. Dahulu, bentuk awal dari kori berupa bentuk pintu masuk ke suatu pekarangan yang menggunakan berbagai ragam hias atau ornamen-ornamen sebagai simbolik makna-makna tertentu. Di depan kori biasanya terdapat apit lawang yang berada di depan sisi kanan dan kiri dari kori, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terlepas dari kori. Apit lawang ini merupakan simbol penjaga pintu yang bersenjata, bertugas menjaga, mengawasi dan mengijinkan siapa saja tamutamu yang boleh atau tidak masuk untuk menemui penghuni. Simbol penjaga pintu ini pada umumnya berwujud patung Duarapala (duara berarti pintu, pala berarti bahu atau pundak) yaitu patung kala (raksasa) yang membawa senjata gada dalam posisi badan siap siaga. Selain patung Duarapala, terkadang juga digunakan patung Candra Bang-Bang Perkasa serta patung Nakula-Sahadewa. Ini memperlihatkan bahwa dengan adanya penjaga pintu di sisi kanan dan kirinya, terdapat makna untuk menjaga keamanan penghuninya. Namun jika diamati lebih lanjut, di tempat-tempat yang 7
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
sifatnya komersial ternyata sepasang patung itu seringkali diganti berupa patung seorang pria dan wanita, atau patung menyerupai “bagong” yang sedang duduk bersila dengan tangan mengepal jari jempol mengarah ke bagian dalam pekarangan, seakan-akan sedang mempersilahkan masuk. Lalu apakah itu bisa dikatakan sebagai patung penjaga seperti yang telah ada sebelumnya? Memang jika melihat dari posisinya, seakan-akan kedua pasang patung tersebut selayaknya patung penjaga seperti Duarapala, hanya kini dalam wujud yang berbeda.
Gambar 7 Bentuk kori yang masih asli pada suatu bangunan dengan dua patung”penjaga”Duarapala di sisi kanan dan kirinya
Namun beberapa tahun terakhir ini, lahir sebuah bentuk baru kori yang lebih sederhana. Dari segi bentuk hingga proporsinya masih tetap sama dengan bentuk dan proporsi semula, namun ada beberapa hal yang membedakannya.
Pada bentuk kori baru kini tidak
ditemukan lagi satu pun ragam hias atau ‘bersih dari ornamen’. Dari segi bahan, mulai digunakan bahan baru yang sedang booming yaitu paras kerobokan. Dan seperti yang telah dibahas sebelumnya, yang menarik adalah adanya sepasang patung masing-masing di sisi kanan dan kiri dari kori seperti halnya patung Duarapala, namun berwujud sepasang penari.
Sehingga dapat dilihat disini bahwa gaya Post Modern seringkali meminjam
bentuk-bentuk maupun ide-ide dari masa lalu hanya saja kini dalam perwujudannya yang berbeda.
8
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
Gambar 8 Bentuk kori yang telah bertransformasi dalam bentuk lebih sederhana dengan sepasang patung ” duarapala” penarinya
KARANG BOMA Karang boma merupakan salah satu ragam hias yang berbentuk kepala raksasa dan dilukiskan dari leher ke atas lengkap dengan hiasan dan mahkotanya.
Bentuk ini
diturunkan dari cerita Baomantaka. Karang Boma ada yang tanpa tangan, dan ada pula yang lengkap dengan tangan dari pergelangan ke arah jari dengan jari-jarinya yang mekar. Karang Boma umumnya dilengkapi dengan patra bun-bunan atau patra punggel. Biasanya Karang Boma ditempatkan sebagai hiasan di atas pintu dari Kori Agung atau pada bade (wadah), dan dipercaya sebagai pengusir roh jahat agar tidak masuk ke dalam bangunan atau ruangan yang telah dijaga oleh adanya karang boma tersebut yang dipasang di atas pintu atau kori.
Gambar 9 Karang boma di atas kori sebagai pengusir dan pencegah roh jahat masuk ke pekarangan atau rumah 9
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
Namun kini yang terjadi adalah bahwa karang boma hanya dimanfaatkan sebagai unsur dekorasi saja seperti salah satunya adalah karang boma yang dipasang di pintu masuk Planet Hollywood, Bali. Bila dilihat dari sudut pandang dimana karang boma diletakkan yaitu di atas pintu masuk, mungkin saja hal tersebut juga bertujuan untuk sebagai pengusir atau pencegah roh jahat agar tidak masuk ke dalam ruangan yang dijaga oleh karang boma. Namun jika dilihat dengan seksama bentuknya, seringkali timbul rasa ‘lucu’ atau ‘geli’. Bagaimana tidak? Bentuk ornamen hias karang boma yang biasanya dibuat sedemikian anggun dan seramnya, tiba-tiba dapat ditemukan di Planet Hollywood yang merupakan tempat hiburan dan dalam bentuk yang tidak proporsional.
Karang boma di Planet
Hollywood tampil dengan ‘sedikit gemuk’, pipi yang lebih besar (cubby) demikian pula dengan deretan giginya. Sehingga ketika berjalan melintas di bawahnya, kesan magis serta kesan agung itu sudah tidak ada lagi. Bisa dikatakan, yang muncul adalah ‘kesan biasabiasa saja’.
Gambar 10 Karang boma di Planet Hollywood Bali sebagai bentuk pastiche, parodi dan camp
Selain karang boma berbentuk ‘lucu’ walaupun masih diletakkan pada posisi yang benar yaitu di atas pintu, namun dalam konteks yang bertolak belakang sama sekali dengan nilai atau citra yang dimiliki karang boma, terkadang bentuk ini juga dimanfaatkan sebagai 10
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
unsur dekorasi pada etalase pertokoan bahkan sebagai unsur dekorasi pada sebuah tempat tidur. Terbalik dengan fenomena yang sebelumnya, pada kedua contoh berikut merupakan karang boma dalam bentuk yang ‘normal’ atau sesungguhnya, namun dalam pemakaiannya diletakkan pada ‘tempat’ dan konteks yang tidak lazim. Tujuan pemakaian karang boma pada etalase dan dekorasi tempat tidur sangatlah tidak jelas. Apakah karang boma yang dipasang pada etalase berfungsi sebagai pencegah atau penghalang roh jahat agar tidak merusak barang-barang di dalam etalase atau pertokoannya? Apakah karang boma yang dipasang pada dekorasi tempat tidur dimaksudkan agar selalu dilindungi pada saat tidur oleh karang boma sang penjaga?
Gambar 11 Karang Boma yang dipergunakan sebagai unsur dekorasi
Gambar 12 Karang Boma sebagai unsur dekorasi tempat tidur 11
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
Dapat dikatakan bahwa kedua contoh ini merupakan karya yang bersifat kitsch, dimana sebenarnya kitsch itu hidup bersamaan dengan kebudayaan tinggi meskipun ditolak oleh diskursus modern. Dapat dikatakan bahwa pada seni Post Modern jika dibandingkan dengan seni pada era pra Modern dan Modern, relasi pertandaan bersifat lebih ironis. Post Modern tidak saja menolak mengacunya penanda pada makna ideologis yang konvensional, akan tetapi juga menolak menjadikan fungsi sebagai referensi dominan dalama pertandaan, sebagaimana yang terdapat pada Modernisme.
Post Modernisme
mengambil tanda-tanda dari periode klasik maupun modern, bukan dalam rangka menjunjung tinggi makna-makna ideologis dan spiritualnya, akan tetapi untuk menciptakan satu rantai pertandaan yang baru dengan menanggalkan makna-makna konvensional tersebut dan lalu menghanyutkan diri dalam ajang permainan bebas penandapenanda. Post Modernisme mengembangkan satu prinsip baru pertandaan yaitu form follows fun, di dalam diskursus seni Post Modernisme. Bukan makna-makna ideologis yang ingin dicapai, melainkan kegairahan dalam bermain dengan penanda. DEWA GANESHA Selain karang boma, fenomena yang seperti itu juga terjadi pada wujud Ganesha yang merupakan lambang dewanya ilmu pengetahuan.
Wujud sebenarnya adalah Ganesha
dalam posisi duduk, yang bertangan empat dan belalainya masuk ke cawan sebagai simbol menyerap sumber ilmu pengetahuan yang tidak habis-habisnya dan tidak pernah berhenti.
Gambar 13 Ganesha yang sebenarnya dalam posisi duduk dan bertangan empat
12
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
Lalu kini, banyak sekali wujud Ganesha yang ‘diplesetkan’ seperti salah satunya yang terdapat di Tanah Gajah dimana wujud Ganesha tidak lagi bertangan empat tetapi hanya bertangan dua, dan berdiri dalam posisi membusungkan dada (posisi seperti orang yang sedang membanggakan dirinya). Lalu terdapat juga wujud Ganesha dalam patung koin, dalam posisi berdiri, bertangan empat namun warna mukanya merah (seakan-akan sedang marah).
Gambar 14 Ganesa di Tanah Gajah dalam posisi berdiri, hanya bertangan dua dan membusungkan dada Gambar 15 Ganesha dalam kostum koin dan berwajah merah
Pada kedua wujud Ganesha tersebut (foto 14 dan 15), pada bagian bawahnya, tepatnya di depan kakinya diberi sesajen bunga. Seakan-akan terjadi ‘kebingungan’ disini, karena wujud Ganesha pada kedua contoh tersebut adalah wujud ‘barunya’ yang tidak sakral lagi namun hal tersebut dibantah dengan adanya sesajen bunga pada bagian kakinya. Wujud Ganesha bahkan dimanfaatkan sebagai accent patung pancuran di kolam renang. Selain itu, wujud Ganesha juga digunakan sebagai bentuk dekorasi kaki meja. Padahal, masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat yang mempercayai dewa-dewa 13
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
(termasuk Ganesha) sebagai manifestasi Tuhannya, Ida Sang Hyang Widhi, namun justru fenomena yang seperti ini dapat ditemukan di Bali.
Gambar 16 Ganesha bukan sebagai simbol ilmu lagi karena telah berubah fungsi sebagai ‘alat pancur’ di kolam renang
Gambar 17 Ganesha yang agung kini justru ada yang memanfaatkannya hanya sebagai kaki meja
14
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
IDA SANG HYANG WIDHI Dan contoh terakhir, yang sempat menimbulkan perdebatan di Bali sendiri adalah pemanfaatan wujud Ida Sang Hyang Widhi sebagai sebutan Tuhan bagi agama Hindu yang merupakan mayoritas agama di Bali, sebagai bagian dari patung Dewa Ruci di kawasan Simpang Siur, Kuta. Hal ini sempat menciptakan konflik, adu pendapat bahwa sebenarnya wujud Ida Sang Hyang Widhi hanya boleh dipergunakan untuk kepentingan agama.
Gambar 18 Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sebutan Tuhan dalam agama Hindu Gambar 19 Bahkan simbol Ida Sang Hyang Widhi yang sangat sakral pun dipergunakan sebagai point of interest di tengah kota
Gambar 20 Tampak dekat dari wujud Ida Sang Hyang Widhi yang dipergunakan sebagai point of interest kota
15
Lifestyle Post Modern pada Bangunan & Accents di Bali
D. KESIMPULAN Dari fenomena-fenomena yang terjadi pada beberapa bangunan di Bali seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, apa yang tampak di dalam kekayaan warna, bentuk dan nuansa seni Post Modern ini adalah sebuah dilema. Diskursus Post Modernisme tersebut telah menyediakan kawasan yang sangat luas bagi seni Post Modern untuk mengembara di dalam
keanekaragaman,
kekayaan
budaya,
idiom
estetik
dan
makna-makna;
keanekaragaman kemungkinan-kemungkinan dari ketidakmungkinan-kemungkinan yang ada sebelumnya; memasuki kawasan-kawasan yang sebelumnya ‘terlarang’, tabu, sakral, mitologis, abnormal, irasional, stereotip, sampah artistik, kriminal. Namun di lain pihak, seni Post Modrnisme sangat rentan terhadap tuduhan-tuduhan subversif, anarkis, amoral, ekstasi, skizofrenik, miskin kreatifitas dan inovasi. Akan tetapi, terlepas dari tuduhan-tuduhan tersebut, setidak-tidaknya ada satu titik terang yang dipancarkan oleh seni Post Modrnisme yaitu sebuah kawasan baru meskipun dengan segala dilemanya. Titik terangnya adalah bahwa seni Post Modernisme telah mampu menjauhkan seni dari segala sifat kemapanan, kebutuhan, keangkuhan, imperialisme; dari cengkeraman logosentrisme, etnosentrisme, erosentrisme dan orientalisme yang mewarnai seni dominan dan hegemonik sebelumnya. Seandainya segala tuduhan tersebut diambil hikmahnya dan dijadikan sebagai satu pijakan dalam merestruktur apa yang didekonstruksi oleh seni Post Modern maka seni Post Modernisme akan dapat memberikan tawaran-tawaran kehidupan yang lebih sarat makna.
16