TESIS
PEMBERIAN POLYALKYLIMIDE SUBKUTAN DOSIS KECIL MENGINDUKSI PEMBENTUKAN KAPSULA KOLAGEN PADA TIKUS
TEGUH TANUWIDJAJA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2 0 11
TESIS
PEMBERIAN POLYALKYLIMIDE SUBKUTAN DOSIS KECIL MENGINDUKSI PEMBENTUKAN KAPSULA KOLAGEN PADA TIKUS
TEGUH TANUWIDJAJA NIM. 0890761022
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2 0 11
PEMBERIAN POLYALKYLIMIDE SUBKUTAN DOSIS KECIL MENGINDUKSI PEMBENTUKAN KAPSULA KOLAGEN PADA TIKUS
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
TEGUH TANUWIDJAJA NIM. 0890761022
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2 0 11
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 8 Desember 2011
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr dr Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS NIP. 194612131971071001
Dr.dr. Ida Iswari, SpMK, M.Kes NIP. 196105051990022001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS Sp.S(K) NIP. 194612131971071001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, NIP. 19590215985102001
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 22 Nopember 2011
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No.: 1906/UN14.4/HK/2011, Tanggal 31 Oktober 2011
Ketua: Prof. Dr dr Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS
Anggota: 1. Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes 2. Prof.Dr.dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And 3. Prof.Dr.dr. N Adiputra, MOH 4. Prof.dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK
UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya tesis ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr dr Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS, pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr.dr. Ida Iswari, SpMK, M.Kes, pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS, Ketua Program Studi Anti-Aging Medicine. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu Prof. Dr dr Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS, Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes, Prof.Dr.dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And, Prof.Dr.dr. N Adiputra, MOH, Prof.dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK yang telah memberi masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh dosen yang telah membimbing penulis. Juga penulis mengucapkan terima kasih kepada istri dan anak-anak tercinta, Ibu dan Ayah yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, memberikan dasar-dasar berpikir logik,
dan suasana demokratis sehingga tercipta lahan yang baik untuk berkembangnya kreativitas. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada para staf administrasi Program Pascasarjana Universitas Udayana, Laboratorium Biokimia dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, serta semua pihak yang telah membantu tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmatnya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.
ABSTRAK PEMBERIAN POLYALKYLIMIDE SUBKUTAN DOSIS KECIL MENGINDUKSI PEMBENTUKAN KAPSULA KOLAGEN PADA TIKUS Penuaan jaringan kulit mempunyai manifestasi berupa kulit kendor, berkerut, tekstur kasar, warna kulit berubah, dan atrofi. Dermal filler adalah salah satu cara noninvasiv yang digunakan untuk soft tissue augmentation pada kasus atrofi kulit. Dermal filler dapat mengisi volume jaringan kulit dan menginduksi pembentukan kolagen. Polyalkylimide adalah senyawa polimer yang termasuk kategori dermal filler permanen. Polyalkylimide telah digunakan secara luas. Saat ini dosis yang digunakan adalah dosis besar, sedangkan dosis kecil, yaitu 1 mL, masih belum diketahui efeknya dalam menginduksi pembentukan kapsula kolagen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suntikan subkutan polyalkylimide dosis kecil dapat menginduksi pembentukan kapsula kolagen pada tikus. Rancangan penelitian ini adalah pretest-posttest control group design. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Tikus (Rattus norwegicus) jantan galur Wistar yang sesuai dengan kriteria eligibilitas sebanyak 34 tikus, yang dipilih secara randomisasi sederhana sebagai kelompok pretest sebanyak 4 tikus, kelompok kontrol sebanyak 15 tikus, dan kelompok perlakuan sebanyak 15 tikus. Kelompok kontrol mendapat suntikan subkutan aquadest 0,018 mL sedangkan kelompok perlakuan mendapat suntikan subkutan polyalkylimide (Bio-AlcamidTM) 0,018 mL (setara 1 mL pada dosis manusia). Suntikan dilakukan pada regio frontalis. Sesudah 5 minggu tikus dikorbankan dan diambil jaringan kulit sampai bawah kulit untuk dibuat sediaan histologi pewarnaan hematoxyllin-eosin. Sediaan histologi diamati dengan mikroskop cahaya pembesaran 100x. Data dinyatakan dalam persentase (%). Analisis statistik dengan analisis deskriptif, uji normalitas ShapiroWilk, dan uji X2 menggunakan SPSS 17.0 for Windows dan nilai signifikan p < 0,05. Kapsula kolagen tidak terbentuk pada sediaan histologi kelompok kontrol, sedangkan semua sediaan histologi kelompok perlakuan terdapat kapsula kolagen (100%), tidak ada sel-sel radang (leukosit), dan berbeda bermakna (p=0,0001). Rerata tebal kapsula kolagen yang terbentuk adalah 7,45 ± 0,78 µm, dan berdistribusi normal (p=0,995). Polyalkylimide dosis kecil menginduksi pembentukan kapsula kolagen pada tikus tanpa infiltrasi sel-sel radang. Kapsula kolagen merupakan hasil reaksi imunologis terhadap benda asing. Reaksi inflamasi benda asing bersifat akut namun mengalami reduksi dan akhirnya terbentuk jaringan ikat. Polyalkylimide dapat mengisi volume kulit dan menginduksi produksi kolagen. Polyalkylimide dapat digunakan pada wajah dan badan, serta aman sebab bersifat nontoksik, nonkarsinogenik, nonalergenik, biokompatibilitas tinggi, stabil dan permanen secara fisik dan kimia, tidak larut air meskipun pada suhu tinggi, memiliki derajat elastisitas tinggi, lunak, pH 6,9, permeabel terhadap oksigen, tidak berintegrasi dengan jaringan sekitar, dan dapat membentuk kapsula pada lokasi subkutan. Polyalkylimide bermanfaat sebagai terapi antipenuaan kulit dan jaringan lunak bawah kulit. Kata kunci: polyalkylimide, kapsula kolagen, dermal filler
ABSTRACT LOW DOSE SUBCUTANEOUS POLYALKYLIMIDE INDUCE COLLAGEN CAPSULE FORMATION IN RATS Manifestations of skin tissue aging are skin laxity, wrinkle, rough texture, skin color change, and atrophy. Dermal filler is one of noninvasive procedure for soft tissue augmentation in case of skin atrophy. Dermal filler can fill skin tissue volume and induce collagen formation. Polyalkylimide is polymer compound which is classified as permanent dermal filler. Polyalkylimide has been used widely. Present procedures use high dose polyalkylimide, whereas the effect of low dose, 1 mL, to induce collagen capsule formation is still unknown. This study aim to find low dose polyalkylimide subcutaneous injection induce collagen capsule in rats. Study design was pretest-posttest control group design. This study did in Biochemistry Laboratory and Histology Laboratory, Medical Faculty, Airlangga University, Surabaya. Thirty four male rats (Rattus norwegicus) strain Wistar which were eligible, were divided by simple randomization into pretest group, 4 rats; control group, 15 rats; and treatment group, 15 rats. Control group had aquadest subcutaneous injection 0.018 mL and treatment group had polyalkylimide (Bio-AlcamidTM) subcutaneous injection 0.018 mL (equal to 1 mL human dose). Injections were done in frontal region. After 5 weeks rats were sacrified and done skin to subcutaneous sampling. Tissues were made onto histologic preparation with hematoxyllin-eosin staining and examined by light microscope. Data were performed as percentage (%). Statistic analysis used descriptive analysis, Saphiro-Wilk normalitas test, and X2 test using SPSS 17.0 for Windows with significant value p < 0.05. Histology preparats of control group did not show collagen capsule, whereas histology preparats of treatment group showed collagen capsule (100%), there were not inflammatory cells (leucocytes), and significant difference (p=0.0001). Collagen capsule thickness mean was 7,45 ± 0,78 µm, and had normal distribution (p=0.995). Low dose polyalkylimide induce collagen capsule formation in rats without inflammatory cells. Collagen capsule is formed as result of foreign body immunologic reaction. Foreign body inflammatory reaction is acute process then reduce until forming fibrous tissue. Polyalkylimide can fill skin volume and induce collagen production. Polyalkylimide can be used in face and body, and safe because of nontoxic, noncarcinogenic, nonallergenic, high biocompatibility, stable and permanent in physical and chemical property, nonwater soluble in high temperature, high elasticity, soft, pH 6.9, oxygen permeable, disintegration with surround tissues, and form capsule in subcutaneous implantation. Polyalkylimide is beneficial compound in skin and subcutaneous soft tissue antiaging therapy. Keywords: polyalkylimide, collagen capsule, dermal filler
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DEPAN .....................................................................................................
i
SAMPUL DALAM ....................................................................................................
ii
PRASYARAT GELAR ..............................................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...........................................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................................
vi
ABSTRAK ................................................................................................................
viii
ABSTRACT ..............................................................................................................
ix
DAFTAR ISI .............................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ......................................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................
xiv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................
xv
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................................
5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................
6
1.4 Manfaat penelitian .............................................................................................
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ....................................................................................
7
2.1 Penuaan (Aging) dan Anti Penuaan (Anti Aging) ...............................................
7
2.2 Kulit ............... ......................................................................................................
9
2.3 Kolagen ........ ......................................................................................................
9
2.4 Penuaan Kulit .....................................................................................................
12
2.5 Dermal Filler ........... ............................................................................................
15
2.6 Polyalkylimide ( Bio-AlcamidTM )........... .............................................................
22
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ........................................................................................................
29
3.1 Kerangka Berpikir .............................................................................................
29
3.2 Konsep
........................................................................................................
31
3.3 Hipotesis Penelitian ............................................................................................
31
BAB IV METODE PENELITIAN ...........................................................................
32
4.1 Rancangan Penelitian .........................................................................................
32
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................................
33
4.2.1 Lokasi penelitian .............................................................................................
33
4.2.2 Waktu penelitian .............................................................................................
33
4.3 Penentuan Sumber Data ....................................................................................
33
4.3.1 Populasi
........................................................................................................
33
4.3.2 Sampel
............. ............................................................................................
33
4.3.3 Teknik pengambilan sampel ...........................................................................
33
4.3.4 Besar sampel ....................................................................................................
34
4.3.5 Kriteria eligibilitas............................................................................................
35
4.3.5.1 Kriteria inklusi ...............................................................................................
35
4.3.5.2 Kriteria drop out ..............................................................................................
35
4.4 Variabel Penelitian ..............................................................................................
35
4.4.1 Jenis variabel ....................................................................................................
35
4.4.2 Definisi operasional variabel ............................................................................
36
4.5 Bahan Penelitian..................................................................................................
37
4.6 Instrumen Penelitian ...........................................................................................
37
4.7 Prosedur Penelitian .............................................................................................
38
4.8 Analisis Data ........................................................................................................
40
BAB V HASIL PENELITIAN .................................................................................
42
5.1 Data Pretest ........................................................................................................
42
5.2 Kelompok Kontrol...............................................................................................
42
5.3 Kelompok Perlakuan...........................................................................................
43
BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................................
45
6.1 Pembentukan Kapsula Kolagen ..........................................................................
45
6.2 Dermal Filler Polyalkylimide Sebagai Terapi Antipenuaan ......................
46
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
50
7.1 Simpulan...... ........................................................................................................
50
7.2 Saran............ ........................................................................................................
50
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
51
LAMPIRAN
55
........................................................................................................
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Filler sementara, indikasi, dan lokasi penempatan ............................
17
Tabel 2.2 Filler semipermanen, indikasi, dan lokasi penempatan .....................
17
Tabel 2.3 Filler permanen, indikasi, dan lokasi penempatan .............................
18
Tabel 2.4 Volume Bio-AlcamidTM yang disuntikkan berdasarkan lokasi .........
28
Tabel 2.5 Sediaan Bio-Alcamid™ ....................................................................
28
Tabel 5.1 Data Kelompok Kontrol dan Perlakuan………………………… ......
42
Tabel 5.2 Tabulasi silang kelompok dan kapsula kolagen …………………………
43
Tabel 5.3 Chi-Square Tests ………………………… .......................................
44
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Ketegangan mekanik (stretching) oleh injeksi dermal filler menginduksi produksi kolagen .....................................................
21
Gambar 3.1 Skema konsep ..............................................................................
31
Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian .........................................................
32
Gambar 4.2 Alur penelitian .............................................................................
41
DAFTAR SINGKATAN
AAM
= Anti Aging Medicine
AIDS
= Acquired Immunodeficiency Syndrome
CTGF
= Connective Tissue Growth Factor
DNA
= Deoxyribonucleic Acid
HIV
= Human Immunodeficiency Virus
ROS
= Reactive Oxygen Species
TGF- β
= Transforming Growth Factor-β
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Setelah mencapai usia dewasa, secara alami seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi. Sebaliknya terjadi penurunan akibat proses penuaan. Pada umumnya menjadi tua dianggap sebagai hal yang wajar sehingga semua masalah yang muncul dianggap memang seharusnya dialami. Penuaan adalah suatu takdir yang harus diterima. Proses penuaan sebenarnya sudah mulai terjadi sejak usia 25 tahun (Pangkahila, 2007). Banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses penuaan. Faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah radikal bebas, hormon yang berkurang, dan genetik. Faktor eksternal yang utama adalah pola hidup yang tidak sehat, polusi lingkungan dan stres. Faktor-faktor ini dapat dicegah, diperlambat bahkan mungkin dihambat sehingga kualitas hidup dapat dipertahankan. Lebih jauh lagi usia harapan hidup dapat lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Kulit juga seperti organ lain yang dapat mengalami perubahan seiring dengan pertambahan usia. Kulit adalah organ terbesar pada manusia yang selalu terpapar lingkungan sehingga mudah mengalami penuaan. Kulit dapat mengalami penuaan oleh faktor intrinsik namun dapat diperberat oleh faktor ekstrinsik. Penuaan kulit
menampilkan perubahan warna kulit, tekstur yang kasar, kendor dan berkerut. Kulit mempunyai matriks ekstraseluler yang mayoritas terdiri dari kolagen. Matriks ekstraseluler dapat mengalami gangguan keseimbangan sintesis dan degradasi pada penuaan, dimana degradasi matriks ekstraseluler lebih dominan pada penuaan (Fisher dkk., 2008). Berdasarkan paradigma antiaging medicine, penuaan dapat dideteksi lebih dini, dicegah, diobati dan diperbaiki ke keadaan sebelumnya. Dengan konsep antiaging medicine ini, setiap orang dapat tetap hidup sehat dan berada dalam kualitas hidup yang optimal meskipun dengan pertambahan usia. Proses penuaan dapat diperlambat, ditunda atau dihambat dan usia harapan hidup akan meningkat disertai kesehatan dan kebugaran tubuh serta kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Manusia berusaha menghambat penuaan kulit dan memelihara kulit agar tampak muda. Banyak cara yang telah digunakan meliputi prosedur infasif, misalnya dengan operasi face lifting, dan prosedur noninvasiv, misalnya peeling, dermabrasi, laser resurfacing, atau injectable materials seperti dermal filler dan botulinum toxin. Pada penuaan kulit terjadi atrofi kulit sehingga dibutuhkan prosedur augmentation. Dermal filler adalah salah satu cara noninfasif yang digunakan untuk soft tissue augmentation. Dermal filler adalah suatu senyawa yang dapat digunakan untuk mengganti jaringan lunak bawah kulit dengan cara dimasukkan ke dalam jaringan lunak bawah kulit melalui suntikan. Dermal filler bermanfaat untuk mengisi volume kulit akibat proses atrofi penuaan dan untuk menginduksi pembentukan matriks
ekstraseluler khususnya kolagen. Sifat dermal filler yang mampu bertahan lama menjadi kelebihan prosedur ini (Burgess, 2006). Dermal filler memberikan efek ketegangan mekanik (strecthing) pada jaringan akibat volumenya yang mengisi jaringan. Efek ketegangan ini memicu fibroblas untuk memproduksi kolagen baru. Adanya massa dermal filler juga memicu peningkatan senyawa growth factors seperti connective tissue growth factor (CTGF), transforming growth factor-β1 (TGF- β1), TGF- β2, TGF- β3. Senyawa growth factors ini menginduksi produksi kolagen. Kolagen baru yang terbentuk akan mengelilingi massa filler sehingga terbentuklah kapsul (Wang dkk., 2007). Dermal filler dibedakan berdasarkan jangka waktu bertahannya, yaitu sementara, semipermanen, dan permanen. Yang termasuk golongan dermal filler sementara adalah hyaluronic acid filler, sedangkan yang termasuk semipermanen adalah poly-L-lactic acid, calcium hydroxyapatite, dan polyvinyl alcohol. Hyaluronic acid adalah jenis filler yang populer di dunia dan juga di Indonesia. Hyaluronic acid filler telah digunakan sejak tahun 1989. Hyaluronic acid filler berasal dari matriks ekstraseluler jaringan hewan sehingga berisiko tinggi terjadi reaksi imunologis atau alergi. Hyaluronic acid filler bersifat sangat hidrofilik sehingga efek hidrasi dapat menghasilkan volume yang lebih besar ketika diimplantasi daripada volume filler yang sesungguhnya.
Efek hidrasi ini dapat memperberat edema jaringan yang
disebabkan penyuntikan filler. Hyaluronic acid filler yang dikembangkan sekarang berasal dari fermentasi bakteri Streptococcus equine. Meskipun memiliki konsentrasi
hyaluronic acid yang lebih tinggi daripada hyaluronic acid hewani, filler jenis ini berisiko tinggi menyebabkan infeksi. Hyaluronic acid filler hanya mampu bertahan 1 tahun sebab mengalami biodegradasi. Untuk mempertahankan efek filler, dibutuhkan konsentrasi hyaluronic acid lebih tinggi atau dilakukan penambahan volume filler dengan sesi penyuntikan berikutnya (Gold, 2009). Polyalkylimide (Bio-AlcamidTM) adalah senyawa polimer yang termasuk kategori dermal filler permanen. Polyalkylimide adalah filler yang mendekati ideal sebab
bersifat
nontoksik,
nonkarsinogenik,
nonalergenik,
nonimunogenik,
nonpirogenik, nonmigrasi, inert, mampu bertahan lama, dan mudah diimplantasi. Polyalkylimide telah digunakan sejak tahun 2000. Polyalkylimide disebut juga endoprosthesis sebab bahan yang disuntikkan akan menginduksi pembentukan kapsula sehingga mencegah migrasi. Bio-AlcamidTM terdiri dari 96% air bebas pirogen dan 4% polyalkylimide polimer (pH 6,8-7,2). Penelitian yang dilakukan pada 34 penderita dengan berbagai macam defek yang mendapat injeksi Bio-AlcamidTM pada tahun 2003-2005 menunjukkan bahwa ketika disuntikkan pada subkutan, BioAlcamidTM akan dibungkus oleh kapsula kolagen tipis (0,02 mm). Kapsula ini terbentuk mulai beberapa hari sampai 6 minggu sesudah penyuntikan. Volume BioAlcamidTM untuk injeksi subkutan pada penderita yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1,5-110 mL (Lahiri dan Waters, 2007). Injeksi subkutan Bio-AlcamidTM 0,1 mL pada mencit (setara dengan dosis 38,4615 mL pada manusia, faktor konversi = 0,0026) menghasilkan pembentukan kapsula sesudah 2 minggu (Ramires dkk., 2005). Dosis besar Bio-AlcamidTM dapat menginduksi pembentukan kapsula lebih
cepat yaitu kurang dari 6 minggu. Kapsula terbentuk sebagai hasil reaksi akut terhadap benda asing, namun dalam jangka panjang tidak menyebabkan inflamasi atau nekrosis jaringan. Implantasi subkutan polyalkylimide menunjukkan edema, hiperemi ringan, infiltrasi leukosit, dan pembentukan jaringan granulasi tanpa reaksi giant cells pada hari ke-7; reaksi inflamasi menurun dan terbentuk kapsula jaringan ikat di sekeliling material implantasi pada hari ke-14; dan tidak ada inflamasi, nekrosis, atau granuloma pada hari ke-30 (Ramires dkk., 2005). Hingga saat ini pembentukan kapsula kolagen dengan dosis kecil BioAlcamidTM yaitu 1 mL masih belum jelas dan belum pernah diteliti. Penelitian ini dilakukan sebab dibutuhkan penyesuaian dosis untuk orang Asia sedangkan penelitian sebelumnya dilakukan pada orang ras Kaukasia. Penuaan kulit orang Asia terjadi lebih lambat dan lebih ringan daripada orang Kaukasia (Farage dkk., 2008). Penggunaan polyalkylimide dosis besar berisiko terjadi komplikasi baik berupa reaksi akut maupun kronik (Loutfy dkk., 2007). Dengan penelitian ini diharapkan penggunaan polyalkylimide meskipun dengan dosis kecil tetapi dapat memberikan efek filler yang memuaskan yaitu terbentuknya kapsula kolagen. Penelitian ini dilakukan pada tikus dengan menggunakan Bio-AlcamidTM 0,018 mL yang diinjeksikan pada regio frontalis seluas diameter 1 mm.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
Apakah pemberian polyalkylimide subkutan dosis kecil dapat menginduksi pembentukan kapsula kolagen pada tikus ?
1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui bahwa pemberian polyalkylimide subkutan dosis kecil dapat menginduksi pembentukan kapsula kolagen pada tikus.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat ilmiah: Memberikan pengetahuan tentang dosis kecil polyalkylimide yang dapat menginduksi pembentukan kapsula kolagen.
Manfaat aplikasi: Memberikan informasi penggunaan dosis kecil polyalkylimide sebagai dermal filler untuk mengatasi masalah penuaan kulit.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan (Aging) dan Anti Penuaan (Anti Aging) Setelah mencapai usia dewasa, secara alami seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi. Sebaliknya terjadi penurunan akibat proses penuaan. Pada umumnya menjadi tua dianggap sebagai hal yang wajar sehingga semua masalah yang muncul dianggap memang seharusnya dialami. Padahal terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses penuaan. Faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah radikal bebas, hormon yang berkurang, dan genetik. Faktor eksternal yang utama adalah pola hidup yang tidak sehat, polusi lingkungan dan stres. Faktor-faktor ini dapat dicegah, diperlambat bahkan mungkin dihambat sehingga kualitas hidup dapat dipertahankan. Lebih jauh lagi usia harapan hidup dapat lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Usia harapan hidup yang lebih panjang disertai kualitas hidup yang optimal inilah konsep baru dari ilmu kedokteran anti penuaan atau Anti Aging Medicine (AAM). AAM ini didefinisikan sebagai bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuaan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat. Dengan definisi AAM
tersebut, tampak bahwa terdapat paradigma yang baru. Yakni di antaranya manusia bukanlah orang terhukum yang terperangkap dalam takdir genetik dan penuaan dapat dianggap sama dengan penyakit yang dapat dicegah, diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula (Pangkahila, 2007). Dengan mengingat faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses penuaan, dapatlah ditentukan faktor mana yang perlu dihindari atau diatasi sehingga proses penuaan dapat dicegah atau dihambat. Bermodalkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan dan menghindari berbagai faktor penyebab proses penuaan dilengkapi dengan pengobatan, masyarakat memiliki kesempatan untuk hidup lebih sehat dan berusia lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat proses penuaan antara lain adalah menjaga kesehatan tubuh dan jiwa dengan pola hidup sehat meliputi berolahraga teratur, makanan sehat dan cukup, atasi stres; jangan merasa sehat dan normal hanya karena tidak ada keluhan serius; melakukan pemeriksaan kesehatan berkala yang diperlukan dan disesuaikan dengan kondisi; menggunakan obat dan suplemen yang diperlukan sesuai petunjuk ahli untuk mengembalikan fungsi berbagai organ tubuh yang menurun. Namun, terdapat pula hambatan atau kesulitan melakukan upaya menghambat proses penuaan, antara lain karena lingkungan tidak sehat, pengetahuan rendah dan budaya yang tidak benar (Pangkahila, 2007).
2.2 Kulit Kulit adalah organ terbesar manusia. Penampilan kulit menjadi media komunikasi yang memberi informasi tentang individu tersebut seperti kesehatannya secara umum, etnis atau ras, gaya hidup dan usia.
Kualitas penampilan kulit
ditentukan oleh warna kulit, tektur dan bentuk (Fisher dkk., 2008). Kulit terdiri dari 3 lapisan berturut-turut dari luar ke dalam yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis (subkutan). Epidermis terdiri dari 5 lapisan berturut-turut dari luar ke dalam yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum spinosum, stratum granulosum, dan stratum basalis. Epidermis adalah struktur yang dinamis dimana 95% tersusun oleh keratinosit yang terdiferensiasi. Sel-sel lain pada epidermis yaitu melanosit, sel Langerhans, dan sel Merkel. Melanosit adalah sel penghasil melanin, yaitu pigmen kulit. Sel Langerhans memiliki fungsi imunologis dan sel Merkel berperan pada persepsi sensoris (Edmondson dkk., 2003). Dermis terdiri dari 2 lapisan yaitu papillary dermis di bagian superfisial dan reticular dermis di bagian dalam. Di papillary dermis terdapat kolagen, elastin, fibrous dan ground substance (mukopolisakarida, asam hyaluronat, kondroitin sulfat), serta kaya akan mikrosirkulasi. Di reticular dermis terdapat kumpulan kolagen yang lebih kasar dengan serabut-serabut elastin yang tersebar (Khazanchi dkk., 2007).
2.3 Kolagen Kolagen adalah triple helical protein yang tersebar di seluruh tubuh dan mempunyai berbagai fungsi seperti pengikat jaringan, adesi sel, migrasi sel,
pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis), morfogenesis jaringan dan perbaikan jaringan. Kolagen adalah elemen yang membentuk matriks ekstraseluler jaringan, yang berguna untuk kekuatan tegang jaringan seperti tendon, tulang, tulang rawan dan kulit. Kolagen juga mempunyai fungsi yang berkaitan dengan lokasinya, misalnya membran basalis pada glomerulus ginjal yang berfungsi untuk filtrasi molekul (Kadler dkk., 2007). Kolagen terdiri dari 3 rantai polipeptida (α) dengan konformasi poliprolin yang panjang. Setiap rantai polipeptida memiliki pengulangan Gly-X-Y triplet dimana residu glycyl menempati setiap posisi ketiga dan posisi X dan Y ditempati oleh prolin dan 4-hidroksiprolin. Ketiga rantai α saling berikatan melalui ikatan rantai hidrogen. Ada 28 jenis kolagen pada vertebrata yang diberi nomor I-XXVIII. Kolagen dihasilkan oleh sel fibroblast.
Kolagen tipe I adalah jenis yang paling
banyak di jaringan ikat kulit. Selain itu, kulit juga mengandung kolagen (III, V, VI), elastin, proteoglikan dan fibronektin (Kadler dkk., 2007). Kolagen dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi genetik dan hormon, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi sinar ultraviolet, polusi, dan diet. Faktor ekstrinsik dapat memperberat kerusakan kolagen yang disebabkan oleh faktor intrinsik. Pengaruh faktor genetik tampak pada studi penuaan kulit pada berbagai etnis. Etnis dengan pigmentasi lebih gelap, seperti ras AfrikaAmerika, memiliki daya perlindungan yang lebih tinggi terhadap ultraviolet photodamaged daripada ras Kaukasia. Sinar ultraviolet memicu pembentukan radikal
bebas sehingga merusak kolagen kulit. Kulit ras Afrika-Amerika mengandung lipid interseluler lebih banyak daripada ras Kaukasia sehingga lebih resisten terhadap penuaan. Kerutan wajah pada ras Asia terjadi lebih lambat dan lebih ringan daripada ras Kaukasia (Farage dkk., 2008). Produksi kolagen dipengaruhi oleh hormonhormon. Estrogen dapat meningkatkan sintesis kolagen. Penurunan kolagen kulit tampak signifikan pada wanita menopause. Kolagen kulit orang dewasa berkurang 1% setiap tahun. Penurunan kolagen ini lebih tampak pada wanita daripada pria. Hormon seks wanita lebih dominan pada kolagen daripada hormon seks pria (Sator, 2006). Sinar ultraviolet mengaktifkan matriks metalloprotease, yaitu enzim yang mendegradasi kolagen. Akumulasi paparan sinar ultraviolet mengakibatkan penuaan kulit berupa kulit kendor dan kerutan wajah sebab akumulasi kerusakan kolagen. Sinar ultraviolet juga memicu pembentukan radikal bebas, yang dapat bereaksi dengan protein seperti kolagen sehingga terjadi kerusakan kolagen. Polusi seperti rokok merusak kulit termasuk kolagen. Rokok memicu pembentukan radikal bebas sehingga terjadi kerusakan kolagen. Rokok juga mengurangi aliran darah kapiler kulit sehingga terjadi penurunan oksigen dan nutrisi ke kulit, maka produksi kolagen juga berkurang. Diet yang memicu pembentukan radikal bebas juga dapat mempercepat penuaan sebab radikal bebas bereaksi dengan sel dan matriks ekstraseluler kulit termasuk kolagen (Farage dkk., 2008).
2.4 Penuaan Kulit Penuaan kulit adalah proses biologi kompleks yang merupakan konsekuensi dari faktor intrinsik (penuaan terprogram genetik) dan faktor ekstrinsik (lingkungan). Penuaan intrinsik atau disebut juga penuaan kronologis mengakibatkan perubahan di semua lapisan kulit. Epidermis mengalami perlambatan regenerasi. Pada kulit usia muda, epidermal turnover membutuhkan waktu 28 hari, tetapi pada usia tua membutuhkan waktu 40-60 hari. Perlambatan ini mengakibatkan penipisan epidermis sehingga kulit
tampak
translusen.
Perlambatan regenerasi epidermis
juga
mengganggu fungsi pertahanan dan perbaikan kulit. Korneosit berkumpul di permukaan kulit sehingga kulit tampak kasar dan bersisik. Pada histologi kulit tua akan tampak penipisan dermal-epidermal junction sehingga meningkatkan kerapuhan kulit dan penurunan transfer nutrisi pada epidermis dan dermis. Populasi melanosit di epidermis semakin berkurang dan melanosit yang ada akan mengalami penurunan aktivitas. Kulit tua mengalami perubahan diskromik seperti bintik-bintik pigmentasi, freckles dan lentigines. Kulit tua juga mudah terbakar sinar matahari sebab kulit menipis dan sedikit melanosit. Penuaan kulit juga mempengaruhi sel-sel Langerhans, Penurunan jumlah sel-sel Langerhans sampai 50% sehingga terjadi penurunan imunitas kulit dan peningkatan risiko kanker kulit (McCullough dan Kelly, 2006). Pada dermis terjadi penurunan jumlah sel fibroblast, produksi kolagen dan elastin sehingga kulit tua menunjukkan kerutan dan elastisitas kulit berkurang. Kulit tua mengalami kehilangan mikrovaskuler dermis dan penurunan suplai darah ke kulit sehingga terjadi atrofi kulit. Penurunan kelenjar sebasea sebagai penghasil minyak
mengakibatkan
kulit
kering.
Penurunan
jaringan
lemak
hypodermis
juga
mengakibatkan kerutan dan kekendoran kulit (McCullough dan Kelly, 2006). Penuaan ekstrinsik disebabkan oleh faktor lingkungan seperti sinar ultraviolet, polusi, cuaca dan merokok. Penuaan ekstrinsik dapat memperberat penuaan intrinsik. Paparan akut sinar ultraviolet mengakibatkan inflamasi, sunburn, pigmentasi, hiperproliferasi epidermis dan supresi imunitas. Paparan kronis sinar ultraviolet mengakibatkan kerutan halus, kulit kasar, bintik-bintik hiperpigmentasi, dilatasi pembuluh darah dan kehilangan tonus kulit. Sinar ultraviolet B (panjang gelombang 290-320 nm) hanya mencapai epidermis, tetapi sinar ultraviolet A dapat mencapai dermis sebab panjang gelombang lebih besar. Sinar ultraviolet A terdiri dari sinar ultraviolet A1 (panjang gelombang 340-400 nm) dan sinar ultraviolet A2 (panjang gelombang 320-340 nm). Sinar ultraviolet A1 dengan panjang gelombang yang lebih besar daripada uultraviolet A2 lebih merusak sebab dapat mencapai lapisan kulit paling dalam (McCullough dan Kelly, 2006). Radikal bebas berperan pada penuaan kulit. Radikal bebas adalah molekul dengan elektron tidak berpasangan. Radikal bebas dapat bereaksi dengan DNA, protein dan lipid sehingga mengubah struktur berbagai senyawa tersebut. Perubahan komponen sel seperti DNA, protein maupun lipid mengakibatkan kerusakan sel yang dapat berakhir pada kematian sel. Akumulasi kerusakan oksidatif ini yang mengakibatkan penuaan kulit. Radikal bebas meliputi reactive oxygen species (ROS) yang terdiri dari superoksida, radikal hidroksil, hydrogen peroksida dan singlet oxygen. Sumber produksi ROS berasal dari mitokondria sebagai sumber utama dari
proses respirasi aerobik, proses fagositosis, sintesis prostaglandin, enzim sitokrom P450, reaksi nonenzimatik oksigen dan radiasi ionisasi. Radikal bebas dapat dinetralisir dengan senyawa antioksidan. Antioksidan enzimatik meliputi superoxide dismutase, catalase, glutathione peroxidase, glutathione transferase, peroxidase dan enzim antioksidan spesifik thiol. Antioksidan nonenzimatik meliputi asam askorbat, β-caroten dan α-tocopherol (Callaghan dan Wilhelm, 2008). Mitokondria sebagai organel sel untuk respirasi adalah produsen dan sasaran stres oksidatif. Paparan radikal bebas pada DNA mitokondria mengakibatkan akumulasi mutasi somatik sehingga terjadi gangguan pada polipeptida yang dikode DNA mitokondria, defek aktivitas transfer elektron dan fosforilasi oksidatif. Pada proses penuaan, enzim-enzim respirasi mitokondria mengalami penurunan aktivitas sehingga integritas mitokondria menurun. Penurunan fungsi mitokondria sel-sel kulit menyebabkan penuaan kulit (Callaghan dan Wilhelm, 2008). Sel diploid termasuk sel-sel kulit mempunyai keterbatasan proliferasi. Setelah mencapai jumlah pembelahan tertentu, sel mengalami penghentian replikasi, yang dikenal dengan batasan Hayflick. Pembatasan proliferasi sel disebabkan oleh pemendekan telomer. Telomer adalah urutan rantai DNA pada akhir rantai DNA. Enzim telomerase dihasilkan oleh sel normal untuk memperbaiki pemendekan telomer sehingga kematian sel dapat dicegah (Callaghan dan Wilhelm, 2008). Apoptosis adalah kematian sel terprogram dimana penuaan merupakan hasil peningkatan apoptosis. Apoptosis terjadi karena program genetik atau stres oksidatif.
Diet juga mempengaruhi penuaan. Penelitian restriksi kalori pada berbagai hewan dapat memperpanjang umur hidup. Restriksi kalori dapat menurunkan laju metabolisme sehingga produksi ROS berkurang. Sebaliknya, obesitas meningkatkan metabolisme sehingga meningkatkan proses penuaan. Penuaan dapat disebabkan faktor genetik. Penuaan berhubungan dengan perubahan gen seperti mutasi DNA. Perubahan ekspresi gen mengakibatkan kecacatan sel sehingga memicu kematian sel (Callaghan dan Wilhelm, 2008).
2.5 Dermal Filler Dermal filler adalah suatu senyawa yang dapat digunakan untuk mengganti kehilangan atau berkurangnya jaringan lunak bawah kulit, dengan cara dimasukkan ke dalam jaringan lunak bawah kulit secara suntikan (injeksi). Dermal filler ideal adalah harus mudah disuntikkan, memberikan hasil optimal, dapat bertahan dalam jangka waktu lama, tidak mengakibatkan reaksi alergi, tidak teratogenik, tidak karsinogenik, tidak migrasi dan mampu memuaskan pasien dan dokter (Gold, 2010). Dermal filler diklasifikasikan berdasarkan jangka waktunya dan jenis bahan (sumber). Berdasarkan jangka waktu bertahannya dibedakan menjadi sementara, semipermanen dan permanen. Filler sementara dapat bertahan hingga kurang dari 1 tahun, filler semipermanen 1-2 tahun, sedangkan filler permanen lebih dari 2 tahun. Berdasarkan
sumbernya
dibedakan
(Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008).
menjadi
manusia,
hewan
dan
sintetis
Yang termasuk filler sementara adalah hyaluronic acid. Hyaluronic acid adalah jenis filler yang populer di dunia dan juga di Indonesia. Hyaluronic acid filler telah digunakan sejak tahun 1989. Hyaluronic acid atau hyaluronan adalah glikosaminoglikan yang mengandung unit disakarida nonsulfat berulang dari asam glukuronat dan N-asetilglukosamin. Hyaluronic acid
filler berasal dari matriks
ekstraseluler jaringan hewan sehingga berisiko tinggi terjadi reaksi imunologis atau alergi. Hyaluronic acid filler bersifat sangat hidrofilik sehingga efek hidrasi dapat menghasilkan volume yang lebih besar ketika diimplantasi daripada volume filler yang sesungguhnya.
Efek hidrasi ini dapat memperberat edema jaringan yang
disebabkan penyuntikan filler. Hyaluronic acid filler yang dikembangkan sekarang berasal dari fermentasi bakteri Streptococcus equine. Meskipun memiliki konsentrasi hyaluronic acid yang lebih tinggi daripada hyaluronic acid hewani, filler jenis ini berisiko tinggi menyebabkan infeksi. Hyaluronic acid filler hanya mampu bertahan 1 tahun sebab mengalami biodegradasi. Untuk mempertahankan efek filler, dibutuhkan konsentrasi hyaluronic acid lebih tinggi atau dilakukan penambahan volume filler dengan sesi penyuntikan berikutnya (Gold, 2009).
Table 2.1 Filler sementara, indikasi, dan lokasi penempatan (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008) Produk
Deskripsi
Indikasi
Lokasi penempatan
Restylane
Hyaluronic acid Wrinkles
Mid-dermis
SubQ
Hyaluronic acid Volume filler
Subcutis
Touch
Hyaluronic acid Fire lines
Superficial dermis
Vital
Hyaluronic acid Hydration
Indradermal
Lipps
Hyaluronic acid Lip enhancement
Lips
Perlane
Hyaluronic acid Deep folds
Deep dermis
Esthelis
Hyaluronic acid
Soft
Hyaluronic acid Fire wrinkles and lines
Basic
Hyaluronic acid
Medium to deep wrinkle volume enhancement
Superficial dermis Superficial to middermis
Fortelis extra
Hyaluronic acid Folds and deep wrinkles
Deep dermis
IAL system
Hyaluronic acid Skin rejuvenation
Dermis
Revanesse
Hyaluronic acid Wrinkles
Mid-dermis
Table 2.2 Filler semipermanen, indikasi, dan lokasi penempatan (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008) Produk
Deskripsi
Indikasi
Lokasi penempatan
Sculptra
Poly-L-Lactic acid
Volume filler
Deep dermis, subcutis
Radiesse
Calcium hydroxylapatite
Volume enhancement
Deep dermis
Bioin blue
Polyvinyl alcohol
Volume enhancement
Hypodermis Deep dermis intramuscular subfascial
Table 2.3 Filler permanen, indikasi, dan lokasi penempatan (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008) Produk
Deskripsi
Indikasi
Lokasi penempatan
Aquamid
Polyacrylamide
Deep folds, wrinkle volume correction
Subcutis
Amazingel
Polyacrylamide
Deep folds, wrinkle volume correction
Subcutis
Volume enhancement for large defects
Subcutis
BioAlcamid Polyalkylimide
Filler digunakan terutama untuk peremajaan daerah wajah, tetapi juga dapat digunakan untuk daerah selain wajah dan pada kelainan kulit (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008). Indikasi filler untuk daerah wajah: 1.
Kerutan dan lipatan wajah
2.
Lip Augmentation
3.
Jaringan parut cekungan (depressed scars) – pasca bedah, trauma, pasca jerawat, cacar, dan penyakit lainnya
4.
Perbaikan facial contour
5.
Periocular melanoses dan sunken eyes
6.
Penyakit kulit – angular cheilitis, dermal atrophy, AIDS lipodystrophy
7.
Earring ptosis, atrophic earlobes
8.
Depresi hidung
Kontraindikasi filler dibedakan menjadi kontraindikasi absolut dan relatif (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008). Kontraindikasi absolut yaitu: 1.
Hipersensitivitas terhadap produk
2.
Harapan yang tidak realistis
Kontraindikasi relatif yaitu: 1.
Kecenderungan keloid
2.
Pasien dengan penyakit otoimun
Teknik penyuntikan filler tergantung pada indikasi, lokasi, bahan filler, ukuran jarum, dan pengalaman operator (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008). Teknik penyuntikan meliputi: 1. Linear threading technique 2. Serial puncture 3. Fanning 4. Cross-hatching 5. Depot 6. Cone Empat teknik yang pertama adalah teknik penyuntikan yang sering digunakan sedangkan 2 teknik berikutnya hanya digunakan pada situasi khusus. Untuk mendapatkan hasil yang baik, dibutuhkan manajemen yang baik sesudah penyuntikan filler. Pasien sebaiknya menghindari suhu terlalu dingin atau
panas selama 48 jam sesudah penyuntikan filler. Pemijatan daerah penyuntikan dan aktivitas fisik berat sebaiknya dihindari selama 6 jam. Pasien sebaiknya tidur dengan posisi kepala lebih tinggi selama 1 malam. Perawatan kulit rutin sebaiknya dilakukan sesudah 24 jam (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008). Filler dapat memberikan komplikasi. Filler sementara mempunyai komplikasi lebih sedikit dan ringan daripada filler semipermanen dan permanen. Komplikasi dapat berhubungan dengan teknik penyuntikan atau bahan filler. Komplikasi dapat timbul segera atau terlambat (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008). Komplikasi segera meliputi: 1.
Reaksi hipersensitivitas
2.
Hematoma dan ekimosis
3.
Infeksi – reaktivasi herpes simplex
4.
Pembengkakan nonhipersensitivitas
5.
Erupsi acneiform
6.
Erythema – sementara atau permanen
7.
Nekrosis kulit
8.
Embolisme (kebutaan)
9.
Tyndall effect
Komplikasi terlambat meliputi: 1.
Migrasi implan
2.
Telangiectasia
3.
Granuloma
4.
Lipoatrofi
5.
Jaringan parut hipertrofi
6.
Abses steril
Dermal filler berfungsi dalam peremajaan kulit dengan menginduksi pembentukan kolagen baru. Adanya massa di bawah kulit menimbulkan ketegangan mekanik akibat penambahan volume filler. Stimulus ketegangan ini memicu fibroblast untuk memproduksi kolagen baru. Injeksi dermal filler meningkatkan prokolagen I dan III, kolagen I dan III, connective tissue growth factor (CTGF), transforming growth factor-β1 (TGF- β1), TGF- β2, TGF- β3 (Wang dkk., 2007).
Gambar 2.1 Ketegangan mekanik (stretching) oleh injeksi dermal filler menginduksi produksi kolagen (Wang dkk., 2007) Keterangan: kolagen baru (garis merah)
2.6 Polyalkylimide ( Bio-AlcamidTM ) Bio-Alcamid (Polymekon, Italia) adalah senyawa polimer derivate acryl nonreabsorbable yang terdiri dari kelompok alkylimide-amide tanpa monomer bebas. Tidak adanya kandungan monomer bebas bermanfaat untuk mencegah risiko toksik, benjolan atau pembengkakan, dan perubahan pigmen kulit (Pacini dkk., 2002). BioAlcamid adalah translucent gel, biopolymer hidrofilik dengan komposisi 4% polyalkylimide dan 96% air steril (nonpirogen), yang bersifat nontoksik, nonkarsinogenik, nonalergenik, biokompatibilitas tinggi, stabil dan permanen secara fisik dan kimia, tidak larut air meskipun pada suhu tinggi, memiliki derajat elastisitas tinggi, lunak, pH 6,9, permeabel terhadap oksigen, tidak berintegrasi dengan jaringan sekitar, dan dapat membentuk kapsula pada lokasi subkutan (Claoue dan Rabineau, 2004; Ramires dkk., 2005). Ketika disuntikkan di bawah kulit, terbentuk kapsula fibrous 0,02 mm setelah 2-6 minggu penyuntikan. Kapsula terbentuk lengkap sesudah 45 hari dan polyalkylimide akan tetap berada di lokasinya. Bila diperlukan koreksi, kapsula bisa dipungsi dan polyalkylimide dapat dikeluarkan. Studi sediaan histologi dengan mikroskop cahaya tampak area implantasi dengan dikelilingi fibroblast dan matriks ekstraseluler pada daerah subkutan, tanpa tanda-tanda inflamasi (Formigli dkk., 2004). Studi dengan mikroskop elektron, tampak senyawa implantasi dikelilingi oleh fibroblast yang berisi fibril kolagen dan ground substance, tidak ada infiltrasi neutrofil atau monosit di sekeliling implan (Formigli dkk., 2004; Ellis dan Sardesai, 2008). Rumus kimia polyalkylimide (R-CO-NH-CO-R) membuat sifat fisikokimia
Bio-Alcamid lebih stabil sebab gugus imide yang mempunyai karakteristik berupa amide sekunder yang berikatan dengan 2 gugus karbonil (Ramires dkk., 2005). Indikasi penggunaan Bio-AlcamidTM terdiri dari untuk wajah dan badan. Indikasi untuk wajah meliputi penambahan volume pipi, rahang, dagu, hidung, bibir, lipoatrofi, kerutan wajah. Indikasi untuk badan meliputi perbaikan defek muskuler akibat trauma, betis postpoliomyelitis amyotrophy, pectus excavatum atau malformasi tulang lainnya, penambahan volume glutea, koreksi akibat liposculpture, jaringan parut cekungan dan atrofi subkutan pasca trauma. Kontraindikasi penggunaan BioAlcamid yaitu kerutan halus di sekitar mata atau mulut, jaringan parut jerawat, payudara, area terinfeksi, viral load positif pada pasien Human Immunodeficiency Virus+, sudah ada produk nonreabsorpsi di area yang akan disuntik (Claoue dan Rabineau, 2004). Bio-Alcamid telah digunakan sejak tahun 2000, pada 2000 penderita dengan berbagai kelainan sepeti pectus excavatum, trauma pascaoperasi, defek estetik (jaringan parut yang dalam, kerutan wajah, hipovolumetri bibir, pipi, dan dagu). Dermal filler merupakan pilihan terapi yang lebih baik untuk defek tersebut sebab termasuk tindakan noninvasiv dan prosedurnya mudah dilakukan. Polyalkylimide merupakan filler yang mendekati ideal. Filler ideal yaitu senyawa yang nontoksik, nonkarsinogenik, nonalergenik, nonimunogenik, nonpirogenik, nonmigrasi, inert, menyerupai jaringan tubuh, mampu bertahan lama, mudah diimplantasi dan tidak nyeri. Jenis filler yang lain seperti crosslink-stabilized collagen dan asam hyaluronat termasuk jenis filler sementara dan naturally-derived filler. Jenis filler ini memiliki
kerugian yaitu tidak mampu bertahan lama, alergenik, dan imunogenik (Ramires dkk., 2005). Berbagai uji tentang keamanan polyalkylimide sebagai filler telah dibuktikan pada studi uji toksisitas, uji mutagenesitas, uji iritasi kulit, uji sensitisasi, dan uji implantasi subkutan. Uji sitotoksisitas dan mutagenesitas secara in vitro membuktikan bahwa polyalkylimide bersifat nontoksik dan nonmutagenik. Uji iritasi kulit dengan implantasi subkutan 0,5 mL Bio-Alcamid (setara dengan dosis 7,14 mL pada manusia, faktor konversi = 0,07) pada punggung kelinci albino Selandia Baru yang dibandingkan kontrol NaCl 0,9%, membuktikan bahwa tidak ada iritasi kulit pada kelompok implantasi Bio-Alcamid. Uji sensitisasi juga membuktikan tidak ada reaksi sensitisasi pada kelompok Bio-Alcamid. Uji implantasi polyalkylimide untuk mengetahui reaksi inflamasi yaitu dengan injeksi subkutan Bio-Alcamid 0,1 mL pada mencit Swiss (setara dengan dosis 38,4615 mL pada manusia, faktor konversi = 0,0026) yang dibandingkan dengan kontrol 0,1 mL air nonpirogen, lalu dievaluasi pada hari ke-7, 14, dan 30. Reaksi jaringan secara makroskopik dan mikroskopik dengan pewarnaan hematoxylin-eosin dan pembesaran mikroskop 100 kali, menunjukkan edema, hiperemi ringan, infiltrasi leukosit, dan pembentukan jaringan granulasi tanpa reaksi giant cells pada hari ke-7; reaksi inflamasi menurun dan terbentuk kapsula jaringan ikat di sekeliling material implantasi pada hari ke-14; tidak ada inflamasi, nekrosis, atau granuloma pada hari ke-30 (Ramires dkk., 2005). Saat ini Bio-Alcamid telah digunakan di 20 negara dan telah mendapat sertifikat CE0123-market product. Bio-Alcamid dapat diinjeksikan sampai dengan
200 mL pada 1 sesi injeksi, Hasil studi melaporkan bahwa tidak ada migrasi, tidak ada dislokasi implant, tidak ada granuloma, tidak ada respons alergi, dan tidak ada intoleransi. Dua belas orang dari 2000 penderita mengalami komplikasi infeksi Staphiloccus (Pacini dkk., 2002; Treacy dan Goldberg, 2006). Pada pemeriksaan dengan ultrasonografi dan mikroskop elektron tidak didapatkan granuloma inflamasi atau difusi polyalkylimide ke jaringan sekitar (Claoue dan Rabineau, 2004). Obat HIV memberikan efek samping sindroma lipodistrofi. Terapi filler adalah tindakan noninvasiv untuk mengatasi lipodistrofi. Penelitian pada 73 penderita HIV yang mendapat Bio-Alcamid, dengan pemantauan selama 3 tahun, menunjukkan bahwa Bio-Alcamid dapat memperbaiki defek, hasil secara estetik memuaskan menurut dokter dan penderita, tidak ada dislokasi implan, tidak ada migrasi, tidak ada granulasi, tidak ada alergi, dan tidak
ada intoleransi (Protopapa dkk., 2003).
Penelitian pada 11 penderita HIV positif dengan lipodistrofi wajah, berusia 31-73 tahun, yang mendapat injeksi subkutan polyalkylimide 15-30 mL di area buccal, malar, dan temporal, selama evaluasi 3 dan 18 bulan menunjukkan toleransi yang baik. Hanya 3 penderita yang mengalami pembengkakan dan memar ringan (Treacy dan Goldberg, 2006). Penelitian pada 13 penderita HIV dengan lipoatrofi wajah, yang mendapat injeksi subkutan Bio-Alcamid 5-13 mL, melaporkan bahwa penderita puas dengan hasil terapi Bio-Alcamid, hasil secara estetik baik, dan tidak ada komplikasi (Ramon dkk., 2007). Penelitian pada 34 penderita usia 21-50 tahun (rerata 43,6 tahun), di 57 area anatomi, waktu evaluasi 1-18 bulan, injeksi subkutan BioAlcamid 5-10 mL untuk lipoatrofi wajah, 50-100 mL untuk deformitas dinding dada
dan rekonstruksi payudara, memakai jarum 16-18G, menunjukkan bahwa BioAlcamid mudah diinjeksikan, mudah dibentuk, mudah dikoreksi, tidak migrasi, terlihat alami karena kandungan air yang tinggi dan struktur cross-linking imide, dapat disimpan pada suhu ruang, stabil secara fisik dan kimia, nontoksik, nonalergenik, nonreaktif, biokompatibilitas, dan nonbiodegradasi (Lahiri dan Waters, 2007). Studi tentang keamanan dan efikasi Bio-AlcamidTM pada koreksi lipoatrofi wajah akibat HIV menunjukkan bahwa pengamatan selama 96 minggu setelah terapi dengan Bio-AlcamidTM dapat memperbaiki fisik dan psikologis pasien (Antoniou dkk., 2009). Implantasi polyalkylimide menghasilkan reaksi radang akut benda asing tetapi reaksi ini dapat berhenti dengan sendirinya dalam waktu 2 bulan dan diikuti dengan pembentukan kapsula. Pemberian antiinflamasi dapat memperlambat pembentukan kapsula. Injeksi subkutan polyalkylimide 16 mL pada 31 penderita lipoatrofi wajah HIV positif, menimbulkan reaksi akut berupa pembengkakan, kemerahan, dan nyeri ringan yang bisa hilang dalam waktu 3 hari. Sesudah evaluasi selama 48 minggu pasca implantasi tidak didapatkan komplikasi, ada penurunan kecemasan dan depresi, dan ada peningkatan kualitas hidup menemukan
komplikasi
akibat
injeksi
(Loutfy dkk., 2007). Suatu penelitian polyalkylimide
meskipun
penelitian
sebelumnya melaporkan tidak ada reaksi imunologis. Injeksi Bio-Alcamid pada 25 penderita menimbulkan reaksi imunologis tipe lambat. Rerata periode laten untuk timbul gejala adalah 13,4 bulan. Penderita mengalami nodul inflamasi. Delapan penderita telah diinjeksi implan sebelumnya sehingga ini menjadi penyebab nodul
inflamasi. Setelah dilakukan terapi dan pemantauan selama jangka waktu rerata 21,3 bulan, 11 penderita bebas komplikasi sedangkan 10 penderita tetap mengalami komplikasi (Reig dkk., 2008). Penelitian retrospektif yang dilakukan di Belanda menemukan bahwa pada 3.196 penderita yang diterapi polyalkylimide, telah dilakukan 4.738 injeksi polyalkylimide dan terdapat 154 komplikasi (tingkat komplikasi penderita 4,8%, dan tingkat komplikasi terapi 3,3%). Komplikasi yang terjadi berupa inflamasi, akumulasi produk, penebalan dan pengerasan jaringan, migrasi. Komplikasi terjadi dalam beberapa tahun sesudah implantasi polyalkylimide. Inflamasi adalah komplikasi tersering, yang tidak berhubungan langsung dengan prosedur injeksi dan tidak terjadi dalam beberapa hari atau minggu, tetapi yang terjadi dalam beberapa tahun umumnya sesudah prosedur pembedahan, prosedur dental, atau infeksi pada area implantasi polyalkylimide. Migrasi terjadi terutama pada implantasi area pipi dan garis marionette sehingga berpindah ke area bawah mata. Migrasi ini disebabkan aktivitas otot wajah (Schelke dkk., 2009).
Table 2.4 Volume Bio-AlcamidTM yang disuntikkan berdasarkan lokasi (Claoue dan Rabineau, 2004) Nasolabial wrinkles Cheek bones Cheeks Chin HIV_ lipodystrophy Jaw profile Depressive scars Pectus excavatum Buttocks Lip line
1 to 3 mL each one 2 to 4 mL each one 2 to 4 mL each one 3 to 7 mL 10 to 24 mL 3 to 10 mL 0.5 to 20 mL or more for large scars linked to an accident 40 to 120 mL 100 to 500 mL each one 1 to 2 mL
Table 2.5 Sediaan Bio-Alcamid™ (Claoue dan Rabineau, 2004) BIO-ALCAMID LIPS BIO-ALCAMID FACE BIO-ALCAMID BODY
2 syringes containing 1 mL fluid 1 syringe containing 3 mL 2 syringes containing 5 mL
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Penuaan mengakibatkan perubahan pada kualitas kulit. Kulit mengalami perubahan warna, menjadi kasar dan kering, kendor dan berkerut. Matriks ekstraseluler adalah komponen utama dermis yang terdiri dari beberapa protein seperti kolagen, proteoglikan dan glikosaminoglikan yang dihasilkan oleh sel fibroblast. Pada proses penuaan jumlah fibroblast semakin berkurang sehingga produksi matriks ekstraseluler juga menurun. Turn over kolagen yang semakin lambat mengakibatkan terbentuknya akumulasi fragmentasi kolagen. Penumpukan fragmentasi kolagen mengurangi mechanical tension, sehingga produksi kolagen semakin menurun dan matriks metaloprotease semakin meningkat. Kolagen dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi genetik dan hormon, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi sinar ultraviolet, polusi, dan diet. Faktor ekstrinsik dapat memperberat kerusakan kolagen yang disebabkan oleh faktor intrinsik. Dermal filler adalah suatu senyawa yang dapat digunakan untuk mengganti kehilangan atau berkurangnya jaringan lunak bawah kulit, dengan cara dimasukkan ke dalam jaringan lunak bawah kulit secara suntikan (injeksi). Berdasarkan jangka waktu bertahannya dibedakan menjadi sementara, semipermanen dan permanen. Salah satu filler permanen adalah polyalkylimide, yang mampu bertahan hingga lebih
dari 2 tahun. Polyalkylimide adalah translucent gel, biopolymer hidrofilik dengan komposisi 4% polyalkylimide dan 96% air steril (nonpirogen), yang mendekati filler ideal,
sebab
sifatnya
yang
nontoksik,
nonkarsinogenik,
nonalergenik,
biokompatibilitas tinggi, stabil dan permanen secara fisik dan kimia, tidak larut air meskipun pada suhu tinggi, memiliki derajat elastisitas tinggi, lunak, pH 6,9, permeabel terhadap oksigen, tidak berintegrasi dengan jaringan sekitar, dan dapat membentuk kapsula pada lokasi subkutan. Mekanisme kerja dermal filler yaitu melalui stimulus regangan (stretch) akibat volume filler yang mengisi jaringan. Stimulus regangan dapat menginduksi fibroblast untuk mensintesis kolagen baru. Molekul-molekul sinyal seperti transforming growth factor-β (TGF- β)
dan
connective tissue growth factor (CTGF) juga meningkat akibat efek regangan dermis, yang juga dapat menstimulasi produksi kolagen. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa polyalkylimide dosis besar menginduksi pembentukan kapsula kolagen, dan dilakukan pada ras Kaukasia. Struktur kulit orang Asia berbeda dengan Kaukasia. Penuaan kulit orang Asia lebih lambat dan lebih ringan daripada Kaukasia pada usia yang sama. Untuk soft tissue augmentation pada orang Asia, dibutuhkan dosis yang lebih kecil. Efek polyalkylimide dosis besar memberikan volume massa yang sangat besar pada jaringan sehingga terjadi regangan berlebihan (overstretcthing) dan pasti terbentuk kapsula kolagen, tetapi dengan dosis kecil masih belum diketahui pembentukan kapsula kolagen.
3.2 Konsep
Suntikan subkutan polyalkylimide Faktor ekstrinsik: Sinar ultraviolet Polusi Diet
Faktor intrinsik: Genetik Hormonal
Tikus Pembentukan kapsula kolagen Gambar 3.1 Skema konsep
3.3 Hipotesis Penelitian Pemberian polyalkylimide subkutan dosis kecil menginduksi pembentukan kapsula kolagen pada tikus.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digulonnakan adalah penelitian eksperimental prestest-posttest control group design (Pocock, 2008). P0 R P
O1
O2
S P1 O3
O4
Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian
Keterangan: P = Populasi S = Sampel R = Randomisasi O1 = Pemeriksaan pretest pada kelompok kontrol O2 = Pemeriksaan posttest pada kelompok kontrol O3 = Pemeriksaan pretest pada kelompok perlakuan O4 = Pemeriksaan posttest pada kelompok perlakuan P0 = perlakuan dengan diberikan aquadest 0,018 mL P1 = perlakuan dengan diberikan polyalkylimide 0,018 mL
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia. Pembuatan dan pembacaan slide preparat histologi di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
4.2.2 Waktu penelitian Penelitian dilakukan selama 6 minggu. Adaptasi tikus dilakukan selama 3 hari. Perlakuan tikus dilakukan selama 5 minggu. Pembuatan sediaan preparat dan pembacaan histologi selama 1 minggu.
4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah tikus (Rattus norwegicus). 4.3.2 Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah tikus jantan yang memenuhi kriteria eligibilitas. 4.3.3 Teknik pengambilan sampel Jumlah kelompok yang digunakan sebanyak 2 kelompok, yaitu kontrol dan perlakuan. Sampel yang memenuhi kriteria eligibilitas dipilih secara randomisasi sederhana untuk dimasukkan dalam kelompok kontrol dan perlakuan.
4.3.4 Besar sampel Dalam penelitian ini digunakan rumus estimasi besar sampel Pocock (2008):
2 σ2 f(α, β)
n= ( μ2- μ1)2 Keterangan: n = jumlah subyek tiap kelompok α = type I error = 0,05 β = type II error = 0,20 f(α, β) = 7,9
σ = simpangan baku tebal kapsula kolagen = 2 µm (Lahiri dan Waters, 2007) μ1= rerata tebal kapsula kolagen = 20 µm (Lahiri dan Waters, 2007) μ2 = rerata tebal kapsula kolagen menghasilkan perbedaan klinis yang diinginkan = 17,5 µm 2 x 22 n=
x 7,9
= 10,112
( 17,5 – 20 )2 Untuk mengantisipasi drop out, dilakukan koreksi besar sampel dengan rumus: n’ = n / (1-f) f = perkiraan proporsi drop out = 30% = 0,3 n’ = 10,112 / (1- 0,3) = 14,4457
Untuk pemeriksaan posttest digunakan 15 ekor tikus setiap kelompok, sedangkan untuk pretest digunakan 4 ekor tikus (2 ekor tikus setiap kelompok).
Pemeriksaan pretest digunakan sebagai pembanding kondisi awal sebelum perlakuan diberikan.
4.3.5 Kriteria eligibilitas 4.3.5.1 Kriteria inklusi 1. Tikus (Rattus norwegicus) jantan galur Wistar. 2. Berat 200 gram. 3. Umur 6 bulan. 4. Kondisi sehat, yang ditandai dengan tidak ada kerontokan bulu, tidak ada keradangan dan atau pus pada mata, telinga, badan, dan ekor.
4.3.5.2 Kriteria drop out Mati saat penelitian berlangsung.
4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Jenis variabel 1. Variabel bebas adalah polyalkylimide subkutan dosis kecil. 2. Variabel tergantung adalah kapsula kolagen. 3. Variabel kendali adalah jenis kelamin, umur, diet, kondisi kandang.
4.4.2 Definisi operasional variabel 1. Suntikan subkutan polyalkylimide adalah suntikan secara subkutan Bio-AlcamidTM (Polymekon, Italia) yang mengandung 4% polyalkylimide dan 96% air, dengan dosis 0,018 mL (setara dengan dosis 1 mL pada manusia, faktor konversi = 0,018) (Kusumawati, 2004), yang disuntikkan 1 kali pada regio frontalis tikus seluas diameter 1 mm. Regio frontalis adalah daerah yang tidak banyak mobilisasi bila dibandingkan regio toraks, abdomen, dan punggung, sehingga mencegah migrasi polyalkylimide. Dosis manusia (berat 70 kg) x faktor konversi = dosis tikus (berat 200 g) 1 mL x 0,018 = 0,018 mL 2. Kapsula kolagen adalah kapsula kolagen yang terbentuk di sekeliling implan polyalkylimide (Bio-AlcamidTM), yang terdapat pada sekeliling bagian tepi polyalkylimide (Bio-AlcamidTM), pada sediaan histologi kulit tikus pewarnaan hematoxylin-eosin dengan pembesaran mikroskop 100 kali, yang menggunakan mikroskop cahaya binokuler (Olympus®). 3. Jenis kelamin adalah jenis kelamin jantan tikus, sebab efek hormon seks sangat berpengaruh pada produksi kolagen, dimana hormon seks betina/wanita yaitu estrogen lebih berperan dominan daripada hormon seks jantan/pria (Sator, 2006). 4. Diet adalah makanan dan minuman standar tikus (Lampiran 2) yang diberikan secara ad libitum. 5. Kondisi kandang adalah kondisi kandang tikus dengan siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap, suhu 25±2°C, kelembaban 50±10%.
4.5 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan adalah: 1.
Tikus (Rattus norwegicus) jantan galur Wistar
2.
Polyalkylimide (Bio-AlcamidTM)
3.
Buffer formalin 10%
4.
Xylol
5.
Paraffin
6.
Hematoxylin-eosin
7.
Ether
8.
Diet tikus
9.
Alkohol 70%, 80%, 96%, dan absolut (100%)
10. Campuran etanol 50% dan xylene 50% 11. Xylene 100% 12. Campuran 50% xylene dan 50% paraffin 13. Parafin 100% 14. Albumin telur
4.6 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan adalah: 1. Kandang tikus 2. Termometer 3. Hygrometer
4. Syringe 1 ml 5. Jarum 23G 6. Pisau scalpel 7. Mikroskop cahaya (Olympus®, Jepang) 8. Slide preparat 9. Kamera (Canon Digital IXUS, Jepang)
4.7 Prosedur Penelitian 1. Tikus yang sesuai dengan kriteria eligibilitas ditempatkan di kandang untuk adaptasi selama 3 hari, dan makanan serta minuman standar diberikan ad libitum. Pemeliharaan tikus dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. 2. Tikus sebanyak 4 ekor dipilih secara randomisasi sederhana, dan dimasukkan dalam kelompok kontrol dan perlakuan sebanyak 2 ekor tiap kelompok, untuk dijadikan sebagai data pretest. Dilakukan pengambilan jaringan kulit sampai otot dengan ukuran 10 mm (panjang) x 10 mm (lebar) x 5 mm (tebal) pada regio frontalis.
Dilakukan
pembuatan
sediaan
histologi
jaringan
pewarnaan
hematoxylin-eosin (HE) dan foto mikroskop di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. 3. Tikus yang tersisa sebanyak 30 ekor dipilih secara randomisasi sederhana untuk dimasukkan dalam kelompok kontrol dan perlakuan, dengan jumlah 15 ekor tiap kelompok. Kelompok kontrol mendapat 1 kali suntikan subkutan aquadest 0,018
mL pada regio frontalis, sedangkan kelompok perlakuan mendapat 1 kali suntikan subkutan polyalkylimide (Bio-AlcamidTM) 0,018 mL pada regio frontalis. Regio frontalis yang menjadi daerah penyuntikan diberi tanda. 4. Setelah 5 minggu dilakukan pengambilan jaringan kulit sampai otot dengan ukuran 10 mm (panjang) x 10 mm (lebar) x 5 mm (tebal). Tikus dikorbankan dengan anestesi ether, dengan cara meneteskan ether pada kapas, lalu ditempatkan pada mulut dan hidung tikus dalam ruang kaca yang tertutup dan transparan. Pembuatan sediaan histologi jaringan pewarnaan hematoxylin-eosin (HE) dan foto mikroskop dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. 5. Pembuatan sediaan histologi kulit melalui tahap fiksasi, dehidrasi, clearing, infiltrasi (embedding), pemotongan (sectioning), penutupan (mounting) dan pewarnaan (staining). Sampel kulit difiksasi dengan buffer formalin 10% selama 24 jam. Dehidrasi jaringan dengan alkohol 70%, 80%, 96%, dan absolute(100%) dalam 5 kali proses selama 1 jam untuk tiap proses dehidrasi. Proses clearing menggunakan xylene, diawali dengan pengunaan campuran 50% etanol dan 50% xylene selama 1 jam, lalu dilanjutkan dengan 100% xylene selama 1 jam. Proses infiltrasi (embedding) diawali dengan menggunakan campuran 50% xylene dan 50% paraffin selama 30 menit, lalu dilanjutkan 100% paraffin sebanyak 2 kali proses yaitu proses pertama selama 2 jam dan proses kedua selama 3 jam, dengan pemanasan 58-60°C. Sesudah menjadi paraffin block, diiris dengan microtome ketebalan 5-6 mikron, irisan ditempelkan ke microscope slide, lalu ditutup dengan
albumin telur, dan dibiarkan kering selama 1 malam. Pewarnaan diawali dengan meletakkan slide dalam xylene selama 20 menit, slide direhidrasi dengan aquadest, diletakkan dalam hematoxylin selama 3-5 menit, lalu diletakkan dalam etanol 70% selama 2-5 menit, lalu diletakkan dalam eosin selama 2-5 menit, didehidrasi dan dibersihkan dengan xylene, ditutup dengan slide cover, dan dibiarkan kering (Bancroft dan Gamble, 2002). 6. Kapsula kolagen yang terbentuk diamati dari tepi polyalkylimide (Bio-AlcamidTM) dan difoto pada pembesaran mikroskop 100 kali. 7. Data dianalisis dengan analisis deskriptif, uji Shapiro-Wilk untuk normalitas data, uji X2 untuk komparasi kelompok kontrol dan perlakuan.
4.8 Analisis Data 1. Analisis deskriptif Kapsula kolagen
yang
terbentuk
dinyatakan
dengan proporsi dalam
persentase (%). 2. Uji normalitas Uji normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk sebab n < 50, dan karena nilai p=0,995 ( p > 0,05 ) maka data berdistribusi normal. 3. Uji komparasi Uji X2 untuk komparasi pembentukan kapsula kolagen kelompok kontrol dan perlakuan.
Data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 17.0 for Windows dengan nilai signifikan p < 0,05. Tikus sesuai kriteria eligibilitas
Adaptasi 34 tikus selama 3 hari
Randomisasi sederhana
Kelompok kontrol 2 ekor tikus
Kelompok perlakuan 2 ekor tikus
Tikus dikorbankan dengan anestesia ether, dibuat sediaan histologi pewarnaan hematoxylin-eosin dan foto mikroskop, sebagai data pretest
Randomisasi sederhana
Kelompok kontrol 15 tikus
Kelompok perlakuan 15 tikus
Injeksi subkutan Aquadest 0,018 mL
Injeksi subkutan Bio-AlcamidTM 0,018 mL
5 minggu pasca penyuntikan, tikus dikorbankan dengan anestesi ether. Pembuatan sediaan histologi jaringan pewarnaan hematoxylin-eosin dan foto mikroskop.
Pengamatan kapsula kolagen
Analisis data
Gambar 4.2 Alur penelitian
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Data Pretest Sediaan histologi pretest dari keempat ekor tikus dengan pembesaran mikroskop 100x menunjukkan bahwa tidak ada jaringan ikat pada bagian hipodermis (subkutan).
5.2 Kelompok Kontrol Sediaan histologi kelompok kontrol dari 15 ekor tikus yang mendapat suntikan subkutan aquadest, dengan pembesaran mikroskop 100x menunjukkan bahwa semuanya tidak terdapat jaringan ikat pada bagian hipodermis (subkutan).
Tabel 5.1 Data Kelompok Kontrol dan Perlakuan Kelompok
Kontrol
Perlakuan
Tidak ada
15 (100%)
0 (0%)
Ada
0 (0%)
15 (100%)
Jumlah
15
15
Kapsula kolagen
5.2 Kelompok Perlakuan Sediaan histologi kelompok perlakuan dari 15 ekor tikus yang mendapat suntikan
subkutan
polyalkylimide,
dengan
pembesaran
mikroskop
100x
menunjukkan bahwa pada semua sediaan histologi terdapat massa polyalkylimide di bagian hipodermis (subkutan), jaringan ikat (sel-sel fibroblast dan serabut-serabut kolagen) di sekeliling implan polyalkylimide, dan tidak terdapat sel-sel radang (leukosit). Rerata tebal kapsula kolagen yang terbentuk adalah 7,45 ± 0,78 µm. Data tebal kapsula kolagen berdasarkan uji Saphiro-Wilk diperoleh distribusi normal (p = 0,995).
Tabel 5.2 Tabulasi silang kelompok dan kapsula kolagen kapsula kolagen tidak ada kelompok
Kontrol
Count % within kapsula kolagen
perlakuan
Count % within kapsula kolagen
Total
Count % within kapsula kolagen
Ada
Total
15
0
15
100.0%
.0%
50.0%
0
15
15
.0%
100.0%
50.0%
15
15
30
100.0%
100.0%
100.0%
Tabel 5.3 Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2sided) sided)
Exact Sig. (1sided)
Pearson Chi-Square 30.000a 1 .000 b Continuity Correction 26.133 1 .000 Likelihood Ratio 41.589 1 .000 Fisher's Exact Test .000 Linear-by-Linear 29.000 1 .000 Association N of Valid Cases 30 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.50. b. Computed only for a 2x2 table
.000
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Pembentukan Kapsula Kolagen Berdasarkan
hasil
penelitian
ini,
suntikan
subkutan
polyalkylimide
menginduksi pembentukan kapsula kolagen. Pemeriksaan dengan sediaan histologi menunjukkan jaringan ikat di sekeliling implantasi polyalkylimide. Terdapat sel-sel fibroblast dan serabut-serabut kolagen di sekeliling bahan polyalkylimide. Dalam kondisi normal, pada sediaan histologi pretest, tidak terdapat jaringan ikat di bagian subkutan. Berbagai penelitian sebelumnya juga telah membuktikan pembentukan kapsula kolagen dengan implantasi subkutan polyalkylimide (Claoue dan Rabineau, 2004; Formigli dkk., 2004; Ramires dkk., 2005; Ellis dan Sardesai, 2008). Dosis rendah polyalkylimide menginduksi pembentukan kapsula kolagen sama seperti dosis besar yang biasanya digunakan selama ini. Kapsula kolagen terbentuk 2-6 minggu sesudah implantasi subkutan polyalkylimide, dengan tebal 20 µm (Formigli dkk., 2004). Pada penelitian ini kapsula kolagen terbentuk dalam waktu 5 minggu dengan tebal 7,45 ± 0,78 µm. Kapsula kolagen dengan implantasi dosis rendah polyalkylimide lebih tipis daripada kapsula kolagen dengan dosis besar polyalkylimide. Jaringan ikat yang terbentuk di sekeliling polyalkylimide merupakan reaksi imunologis terhadap benda asing.
Pada sediaan histologi penelitian ini tidak didapatkan sel-sel radang (leukosit) di sekeliling implan polyalkylimide. Penelitian sebelumnya dengan mikroskop elektron juga menunjukkan bahwa implan polyalkylimide tidak mengakibatkan infiltrasi leukosit (Ellis dan Sardesai, 2008). Reaksi inflamasi yang terjadi akibat implantasi polyalkylimide bersifat akut namun reaksi inflamasi ini mengalami reduksi sampai akhirnya yang tersisa adalah jaringan ikat. Reaksi jaringan secara makroskopik dan mikroskopik dengan pewarnaan hematoxylin-eosin dan pembesaran mikroskop 100 kali, menunjukkan edema, hiperemi ringan, infiltrasi leukosit, dan pembentukan jaringan granulasi tanpa reaksi giant cells pada hari ke-7; reaksi inflamasi menurun dan terbentuk kapsula jaringan ikat di sekeliling material implantasi pada hari ke-14; tidak ada inflamasi, nekrosis, atau granuloma pada hari ke-30 (Ramires dkk., 2005).
6.2 Dermal Filler Polyalkylimide Sebagai Terapi Antipenuaan Penuaan jaringan kulit adalah suatu proses biologi yang kompleks dengan dipengaruhi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi genetik dan epigenetik. Faktor ekstrinsik meliputi sinar ultraviolet, polusi, cuaca, dan merokok (McCullough dan Kelly, 2006). Faktor ekstrinsik dapat memperberat faktor intrinsik penuaan. Mekanisme penuaan meliputi radikal bebas, kerusakan mitokondria,
pemendekan
telomere,
terprogram), dan restriksi kalori.
peningkatan
apoptosis
(kematian
sel
Kemampuan regenerasi jaringan kulit mengalami penurunan pada penuaan sehingga kerusakan struktur jaringan kulit dan bawah kulit tidak dapat dikembalikan ke kondisi sebelumnya. Kondisi ini dapat dikoreksi dengan dermal filler. Dermal filler adalah suatu senyawa yang dapat digunakan untuk mengganti kehilangan atau berkurangnya jaringan lunak bawah kulit, dengan cara dimasukkan ke dalam jaringan lunak bawah kulit secara suntikan (injeksi). Dermal filler ideal adalah harus mudah disuntikkan, memberikan hasil optimal, dapat bertahan dalam jangka waktu lama, tidak mengakibatkan reaksi alergi, tidak teratogenik, tidak karsinogenik, tidak migrasi dan mampu memuaskan pasien dan dokter (Gold, 2010). Polyalkylimide adalah filler yang bersifat permanen dengan durasi hingga lebih dari 2 tahun (Vedamurthy dan Vedamurthy, 2008). Polyalkylimide adalah filler yang mendekati kriteria filler ideal. Bio-Alcamid (Polymekon, Italia) adalah senyawa polimer derivate acryl non-reabsorbable yang terdiri dari kelompok alkylimideamide tanpa monomer bebas. Tidak adanya kandungan monomer bebas bermanfaat untuk mencegah risiko toksik, benjolan atau pembengkakan, dan perubahan pigmen kulit (Pacini dkk., 2002). Bio-Alcamid adalah translucent gel, biopolymer hidrofilik dengan komposisi 4% polyalkylimide dan 96% air steril (nonpirogen), yang bersifat nontoksik, nonkarsinogenik, nonalergenik, biokompatibilitas tinggi, stabil dan permanen secara fisik dan kimia, tidak larut air meskipun pada suhu tinggi, memiliki derajat elastisitas tinggi, lunak, pH 6,9, permeabel terhadap oksigen, tidak berintegrasi dengan jaringan sekitar, dan dapat membentuk kapsula pada lokasi subkutan (Claoue dan Rabineau, 2004; Ramires dkk., 2005).
Polyalkylimide dapat menginduksi pembentukan kolagen baru. Adanya massa di bawah kulit menimbulkan ketegangan mekanik akibat penambahan volume filler. Stimulus ketegangan ini memicu fibroblast untuk memproduksi kolagen baru. Injeksi dermal filler meningkatkan prokolagen I dan III, kolagen I dan III, connective tissue growth factor (CTGF), transforming growth factor-β1 (TGF- β1), TGF- β2, TGF- β3 (Wang dkk., 2007). Polyalkylimide bermanfaat untuk peremajaan kulit yaitu berupa perbaikan regenerasi kulit sehingga penuaan kulit dapat dikoreksi. Polyalkylimide dapat digunakan pada area wajah dan badan. Indikasi untuk wajah meliputi penambahan volume pipi, rahang, dagu, hidung, bibir, lipoatrofi, kerutan wajah. Indikasi untuk badan meliputi perbaikan defek muskuler akibat trauma, betis postpoliomyelitis amyotrophy, pectus excavatum atau malformasi tulang lainnya, penambahan volume glutea, koreksi akibat liposculpture, jaringan parut cekungan
dan
atrofi
subkutan
pasca
trauma.
Kontraindikasi
penggunaan
polyalkylimide yaitu kerutan halus di sekitar mata atau mulut, jaringan parut jerawat, payudara, area terinfeksi, viral load positif pada pasien Human Immunodeficiency Virus+, sudah ada produk nonreabsorpsi di area yang akan disuntik (Claoue dan Rabineau, 2004). Polyalkylimide aman digunakan pada pasien. Keamanan polyalkylimide telah dibuktikan dengan studi uji toksisitas, uji mutagenesitas, uji iritasi kulit, uji sensitisasi, dan uji implantasi subkutan (Ramires dkk., 2005). Polyalkylimide dapat dimanfaatkan sebagai terapi antipenuaan bahkan dengan dosis kecil. Penelitian ini
masih perlu dilanjutkan dengan subyek manusia sebab kompleksitas yang lebih tinggi daripada dengan subyek hewan coba tikus.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 SIMPULAN Pemberian polyalkylimide subkutan dosis kecil menginduksi pembentukan kapsula kolagen pada tikus.
7.2 SARAN Penelitian polyalkylimide dosis kecil dengan subyek manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Antoniou, T., Raboud, J. M., Kovacs, C., Diong, C., Brunetta, J., Smith, G., Halpenny, R., Beninger, F., Loutfy, M. R. 2009. Long-term Efficacy and Safety of Polyalkylimide Gel for the Treatment of HIV-associated Lipoatrophy. AIDS Care, 21(10):1247-1252.
Bancroft, J. D., Gamble, M. 2002. Theory and Practice of Histological Techniques. 5th edition. Churchill Livingstone, Elsevier.
Burgess, C. M. 2006. Principle of Soft Tissue Augmentation for the Aging Face. Clinical Intervention in Aging, 1(4):349-355.
Callaghan, T. M., Wilhelm, K. P. 2008. A Review of Ageing and An Examination of Clinical Methods in the Assessment of Ageing Skin. Part I: Cellular and Molecular Perspectives of Skin Ageing. International Journal of Cosmetic Science, 30:313-322.
Claoue, B. L., Rabineau, P. 2004. The Polyalkylimide Gel: Experience with BioAlcamidTM. Semin Cutan med Surg, 23:236-240.
Edmondson, S. R., Thumiger, S. P., Werther, G.A., Wraight, C. J. 2003. Epidermal Homeostasis: the Role of the Growth Hormone and Insulin-Like Growth Factor Systems. Endocr Rev, 24(6):737-764.
Ellis, D., Sardesai, M. G. 2008. Bio-Alcamid: An Alternative to Fat Transfer. Facial Plast Surg Clin N Am, 16:429-433.
Farage, M. A., Miller, K. W., Elsner, P., Maibach, H. I. 2008. Intrinsic and Extrinsic Factors in Skin Ageing: A Review. International Journal of Cosmetic Science, 30:87-95.
Fisher, G. J., Varani, J., Voorhees, J. J. 2008. Looking Older: Fibroblast Collapse and Therapeutic Implications. Arch Dermatol, 144(5):666-672.
Formigli, L., Zecchi, S., Protopapa, C., Caporale, D., Cammarota, N., Lotti, T. M. 2004. Bio-Alcamid: An Electron Microscopic Study After Skin Implantation. Plastic Reconst. Surg. mar, 113(3):1104-1106.
Gold, M. H. 2010. Soft Tissue Augmentation in Dermatology. J Cutan Aesthet Surg, 3(1):2-10.
Kadler, K. E., Baldock, C., Bella, J., Handford, R. P. B. 2007. Collagen at A Glance. J Cell Sci, 120:1955-1958.
Khazanchi, R., Aggarwal, A., Johar, M. 2007. Anatomy of Aging Face. Indian J Plast Surg, 40(2):223-229.
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lahiri, A., Waters, R. 2007. Experience with Bio-Alcamid, A New Soft Tissue Endoprosthesis. Journal of Plastic, Reconstructive and Aesthetic Surgery, 60:663-667.
Loutfy, M. R., Raboud, J. M., Antoniou, T., Kovacs, C., Shen, S., Halpenny, R., Ellenor, D., Ezekiel, D., Zhao, A., Beninger, F. 2007. Immediate Versus
Delayed Polyalkylimide Gel Injections to Correct Facial Lipoatrophy in HIVpositive Patients. AIDS, 21:1147-1155.
McCullough, J. L., Kelly, K. M. 2006. Prevention and Treatment of Skin Aging. Ann. N. Y. Acad. Sci., 1067:323-331.
Pacini, S., Ruggiero, M., Morucci, G., Cammirota, N., Protopapa, C., Gulisano, M. 2002. Bio-Alcamid: A Novelty for Recontructive and Cosmetic Surgery. Ital J Anat Embryol, 107(3):209-214.
Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine: Memperlambat Penuaan Meningkatkan Kualitas Hidup. Penerbit buku Kompas. Halaman 94-99.
Pocock, S. 2008. Clinical Trials: A Practical Approach. Wiley-Blackwell.
Protopapa, C., Sito, G., Caporale, D., Cammarota, N. 2003. Bio-Alcamid in DrugInduced Lipodystrophy. J Cosmet Laser Ther, 5(3-4):226-230.
Ramires, P. A., Miccoli, M. A., Panzarini, E., Dini, L., Protopapa, C. 2005. In Vitro and In Vivo Biocompatibility Evaluation of A Polyalkylimide Hydrogel for Soft Tissue Augmentation. J Biomed Mater Res Part B: Appl Biomater, 72B:230-238.
Ramon, Y., Fodor, L., Ullmann, Y. 2007. Preliminary Experiences with Bio-Alcamid in HIV Facial Lipoatrophy. Dermatology, 214(2):151-154.
Reig, J. A., Gimenez, V. G., Mur, F. M., Tarrés, M. V. 2008. Delayed ImmuneMediated Adverse Effects of Polyalkylimide Dermal Filler. Clinical Findings and Long Term Follow-up. Arch Dermatol, 144(5):637-642.
Sator, P. G. 2006. Skin Treatments and Dermatological Procedures to Promote Youthful Skin. Clin Interv Aging, 1(1):51-56.
Schelke, L. W., van den Elzen, H. J., Canninga, M., Neumann, M. H. A. 2009. Complications After Treatment with Polyalkylimide. Dermatol Surg., 35:16251628. Treacy, P. J., Goldberg, D. J. 2006. Use of A Biopolymer Polyalkylimide Filler for Facial Lipodystrophy in HIV-Positive Patients Undergoing Treatment with Antiretroviral Drugs. Dermatol Surg, 32:804-808.
Vedamurthy, M., Vedamurthy, A. 2008. Dermal Fillers: Tips to Achieve Successful Outcomes. J Cutan Aesthet Surg, 1(2):64-67.
Wang, F., Garza,L., Kang, S., Varani, J., Orringer, J.S., Fisher, G. J., Voorhees, J. J. 2007. In Vivo Stimulation of De Novo Collagen Production Caused by Crosslinked Hyaluronic Acid Dermal Filler Injections in Photodamaged Human Skin. Arch Dermatol, 143:155-163.
LAMPIRAN 1
Area implantasi (Regio frontalis)
Suntikan subkutan
Suntikan subkutan aquadest
Pengambilan sa
LAMPIRAN 2 Dermis Epidermis
Epidermis
Dermis
Hipodermis (subkutan)
LAMPIRAN 3
Hipodermis (subkutan) Dermis Hipodermis (subkutan)
Epidermis
LAMPIRAN 4
Hipodermis (subkutan)
polyalkylimide
Kapsula kola
polyalkylimide Kapsula kolagen
Dermis
Epidermis Jaringan kulit posttest kelompok perlakuan (polyalkylimide) Pembesaran 40x
Jaringan kulit Kelompok perlakuan ( Pembesaran
LAMPIRAN 5 kelompok * kapsula kolagen Crosstabulation kapsula kolagen tidak ada kelompok
Kontrol
Count % within kapsula kolagen
perlakuan
Count % within kapsula kolagen
Total
Count % within kapsula kolagen
ada
Total
15
0
15
100.0%
.0%
50.0%
0
15
15
.0%
100.0%
50.0%
15
15
30
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2sided) sided)
Exact Sig. (1sided)
Pearson Chi-Square 30.000a 1 .000 b Continuity Correction 26.133 1 .000 Likelihood Ratio 41.589 1 .000 Fisher's Exact Test .000 Linear-by-Linear 29.000 1 .000 Association N of Valid Cases 30 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.50. b. Computed only for a 2x2 table
LAMPIRAN 6
.000
a
Descriptives kelompok kapsula kolagen
perlakuan
Statistic Mean
Std. Error
7.4533
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
7.0184
Upper Bound
7.8883
5% Trimmed Mean
7.4537
Median
7.4000
Variance
.20281
.617
Std. Deviation
.78546
Minimum
6.10
Maximum
8.80
Range
2.70
Interquartile Range
1.30
Skewness
-.007
.580
Kurtosis
-.726
1.121
a. kapsula kolagen is constant when kelompok = kontrol. It has been omitted. b
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov Kelompok kapsula kolagen
Perlakuan
Statistic
df
.064
a
Shapiro-Wilk
Sig. 15
Statistic *
.200
df
.986
Sig. 15
.995
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. b. kapsula kolagen is constant when kelompok = kontrol. It has been omitted.
LAMPIRAN 7 TABEL KONVERSI PERHITUNGAN DOSIS (Kusumawati, 2004)
Mencit 20 gr Tikus 200 gr Marmot 400 gr
Mencit 20 gr 1.0
Tikus 200 gr 7.0
Marmot 400 gr 12.25
Kelinci Kucing 1,5 kg 2 kg 27.8 29.7
Kera 4 kg 64.1
Anjing Manusia 12 kg 70 kg 124.2 387.9
0.14
1.0
1.74
3.9
4.2
9.2
17.8
56.0
0.08
0.57
1.0
2.25
2.4
5.2
10.2
31.5
Kelinci 1,5 kg Kucing 2 kg Kera 4 kg Anjing 12 kg Manusia 70 kg
0.04
0.25
0.44
1.0
1.08
2.4
4.5
14.2
0.03
0.23
0.41
0.92
1.0
2.2
4.1
13.0
0.016
0.11
0.19
0.42
0.45
1.0
1.9
6.1
0.008
0.06
0.1
0.22
0.24
0.52
1.0
3.1
0.0026
0.018
0.031
0.07
0.076
0.16
0.32
1.0
LAMPIRAN 8
MAKANAN STANDAR TIKUS (CP593, PT. CHAROEN POKPHAND INDONESIA)
BAHAN: jagung, dedak, tepung ikan, bungkil kedelai, bungkil kelapa, tepung daging dan tulang, pecahan gandum, bungkil kacang tanah, canola, tepung daun, vitamin, kalsium, fosfat, trace mineral.
ANALISIS: Kadar air
13%
Protein
13-15%
Lemak
3%
Serat
8%
Abu
6%
Kalsium
0,8%
Fosfor
0,6%