1
PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PRODEO (Selayang Pandang Implementasi SEMA No. 10 Tahun 2010 Oleh : Firdaus Muhammad Arwan A. PENGANTAR Mahkamah Agung tidak henti-hentinya melakukan perubahan dalam upaya meningkatkan pelayanan hukum bagi masyarakat. Setelah kebijakan reformasi birokrasi dan keterbukaan informasi, kini Mahkamah Agung melakukan
terobosan
baru
memberikan
bantuan
hukum
kepada
masyarakat pencari keadilan yang dipandang tidak mampu secara ekonomi sebagaimana diatur dalam SEMA No. 10 Tahun 2010. Bantuan hukum dimaksud adalah pemberian jasa hukum bagi orang yang tidak mampu secara ekonomi dalam berperkara ke pengadilan, meliputi perkara perdata dan pidana di peradilan umum, perkara perdata dan jinayah di peradilan agama serta perkara tata usaha negara di peradilan tata usaha negara. Tata cara dan mekanisme pemberian bantuan hukum tersebut diatur dalam lampiran dari SEMA, dan khusus di lingkunagn peradilan agama diatur dalam lampiran B. Dalam lampiran B Pasal 1 ayat (4) disebutkan, bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum yang difasilitasi oleh negara melalui Peradilan Agama, baik dalam perkara perdata gugatan dan permohonan maupun perkara jinayat. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (5) dijelaskan, bantuan hukum
dalam
perkara
perdata
meliputi
pelayanan
perkara
prodeo,
penyelenggaraan sidang keliling dan penyediaan Pos Bantuan Hukum. Adapun
bantuan
hukum
dalam
perkara
jinayat
diberikan
melalui
penyediaan pos bantuan hukum dan advokat pendamping yang berlaku di mahkamah syar’iyah (Pasal 1 ayat 6). Yang dimaksud dengan prodeo adalah proses berperkara di pengadilan secara cuma-cuma dengan dibiayai negara melalui DIPA pengadilan (Pasal 1 ayat 7), sedangkan sidang keliling adalah sidang yang dilaksanakan secara tetap (berkala) atau sewaktu-waktu oleh pengadilan di suatu tempat
2
yang ada di dalam wilayah hukumnya tetapi di luar tempat kedudukan pengadilan (Pasal 1 ayat 8). Ada permasalahan yang perlu dicermati mengenai bantuan hukum perkara prodeo, yakni “Bagaimana mekanisme pemberian bantuan tersebut agar tidak bertentangan dengan hukum acara dan sejalan dengan administrasi perkara pola bindalmin”. Jika mencermati ketentuan pasal 8 ayat (4) dan pasal 9 ayat (3) lampiran B SEMA No. 10 tahun 2010, terdapat sedikit kontradiksi dalam penatatausahaan keuangan bantuan perkara prodeo. Pasal 8 ayat (4) menentukan, bantuan biaya perkara prodeo dibukukan di dalam jurnal, sementara pasal 9 ayat (3) menyatakan, dalam buku jurnal ditulis nihil, artinya dana dari DIPA tidak dibukukan dalam buku jurnal. Tulisan ini memberikan ulasan terhadap permasalahan tersebut untuk mencari jalan pemecahannya. B. ULASAN Beracara secara cuma-cuma atau yang lebih dikenal dengan pekara prodeo merupakan peristiwa yang sudah tidak asing di lingkungan peradilan agama, namun hal itu pada umumnya hanya terjadi pada pemeriksaan tingkat pertama, sedangkan pada pemeriksaan tingkat banding meskipun ada ketentuan yang mengaturnya, akan tetapi sangat jarang bahkan hampir
tidak
pernah
terjadi.
Barangkali
pada
pemeriksaan
tingkat
kasasipun belum pernah ditemukan. Sebelum terbitnya SEMA No. 10 Tahun 2010, beracara secara cumacuma dalam permeriksaan tingkat pertama diatur dalam pasal 237-239 HIR/273-275 R.Bg. sedangkan untuk pemeriksaan tingkat banding diatur dalam pasal 12-14 UU No. 20 Tahun 1947. Selain itu ditemukan pula pengaturannya dalam Buku II tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis
Peradilan
edisi
revisi
2009
halaman
77-79.
Adapun
dalam
pemeriksaan tingkat kasasi tidak ditemukan pengaturannya dan baru dikenal setelah terbitnya SEMA No.10 Tahun 2010.
3
Apabila dibandingkan antara beberapa ketentuan yang ada, terdapat perbedaan, antara lain: -
Permohonan beracara secara prodeo dalam tingkat pertama menurut Buku II diajukan terpisah dari gugatan dan diajukan sebelum gugatan didaftarkan, sementara menurut HIR/R.Bg. dan SEMA No. 10 Tahun 2010 diajukan bersama-sama pengajuan gugatan.
-
Permohonan beracara secara prodeo tingkat banding menurut SEMA No. 10 Tahun 2010 diajukan tersendiri sebelum diajukannya permohonan pemeriksaan perkara sementara dalam UU No. 20 Tahun 1947 dan Buku II diajukan bersama-sama dan sekaligus seperti yang lazim dalam praktik peradilan.
1) Permohonan Beracara Secara Prodeo Dalam Tingkat Pertama Di atas telah dikemukakan bahwa dalam Buku II, permohonan beracara secara cuma-cuma diajukan secara tersendiri terpisah dari gugatan dan diajukan sebelum gugatan didaftarkan. Setelah pengadilan memberi izin untuk beracara secara prodeo, barulah gugatannya didaftarkan. Ketentuan ini tidak sejalan dengan pasal 238 ayat (1) HIR/pasal 274 ayat (1) R.Bg. serta pasal 4 ayat (1) lampiran B SEMA No.10 Tahun 2010 yang mengatur bahwa permohonan beracara secara cuma-cuma
diajukan
bersama
gugatan.
Dengan
terbitnya
SEMA
tersebut, maka proses pengajuan perkara prodeo kembali kepada ketentuan HIR/R.Bg. Permasalahan yang muncul berkenaan dengan bantuan perkara prodeo adalah bagaimana tata cara dan mekanismenya agar tidak bertentangan dengan hukum acara, dan dapat dipertanggungjawabkan secara benar sesuai dengan ketentuan penggunaan keuangan negara karena dalam praktik terjadi perbedaan pendapat. Ada pendapat yang mengehendaki perlunya hakim mencampuri mekanisme penggunaan bantuan negara agar dapat dipertenggungjawabkan secara benar, sementara pendapat lain menghendaki agar hakim berpegang teguh
4
kepada HIR/R.Bg. tanpa ikut campur
dalam pertanggungjawaban
penggunaan dana DIPA. Pihak yang menghendaki campur tangan hakim menyatakan bahwa bantuan biaya prodeo dari dana DIPA merupakan amanah undang-undang untuk membantu masyarakat yang tidak mampu dalam berperkara sebagaimana diatur dalam pasal 60B dan 60C UU No.50 tahun 2009. Oleh karena itu diperlukan campur tangan hakim melalui putusan/penetapannya untuk dijadikan dasar dalam mempertanggung jawabkan penggunaan uang tersebut. Hakim dalam amar putusan akhirnya perlu mencantumkan secara tegas pembebanan biaya perkara kepada negara (DIPA) dengan menyebut jumlah uang yang digunakan. Campurtangan hakim ini bukan berarti melanggar hukum acara tetapi justeru dalam rangka melaksanakan undang-undang. Konsekuensi dicantumkannya beban biaya kepada negara dalam amar putusan, maka penyelenggaraan administrasi keuangan DIPA untuk perkara prodeo masuk ranah administrasi keuangan perkara sehingga seluruh kegiatan penerimaan dan pengeluaran dibukukan dalam jurnal biaya perkara dan buku keuangan perkara lainnya. Adapun pihak yang mengehendaki hakim berpegang kepada HIR/R.Bg menyatakan bahwa proses beracara di pengadilan harus tunduk
kepada
hukum
acara
dan
tidak
boleh
diintervensi
oleh
mekanisme di luar hukum acara. Hakim senantiasa harus berpegang teguh kepada HIR/R.Bg. yang telah mengatur tentang prodeo. Oleh sebab itu dalam putusannya cukup dengan membebaskan pihak berperkara
dari
membayar
biaya
perkara
tanpa
perlu
amar
membebankan kepada negara (DIPA). Hakim tidak perlu ikut campur tangan atau diikutkan dalam mempertanggungjawaban keuangan DIPA. Urusan bantuan terhadap perkara prodeo bukan ranah hukum acara
perdata
melainkan
pertanggungjawabannya
ranah
merupakan
kebijakan urusan
publik
administrasi
sehingga negara
(kesekretariatan) yang menjadi tanggung jawab pengelola DIPA, dan bukan urusan keuangan perkara. Karena termasuk keuangan negara,
5
maka penatausahaannya dilakukan secara tersendiri di luar keuangan perkara.
Kasir
sebagai
menyelenggarakan
pengelola
penatausahaan
bantuan keuangan,
DIPA
tetap
namun
harus
dilakukakan
tersendiri diluar keuangan perkara sebagai bagian dari penyelenggaraan penatausahaan keuangan DIPA. Perbedaan
pendapat
di
atas
timbul
akibat
belum
adanya
pengaturan yang jelas dan tegas yang dapat dijadikan rujukan dalam pelaksanaannya. Satu-satunya rujukan yang dapat dipedomani adalah surat Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama yang merujuk kepada kesepakatan Bandung yang isinya mirip dengan pendapat pertama, akan tetapi surat tersebut dipandang tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar karena sifatnya hanya himbauan bahkan oleh sebagian pendapat dianggap tidak sesuai dengan hukum acara. Menyikapi
permasalahan
dia
atas,
Mahkamah
Agung
telah
mengeluarkan SEMA No. 10 Tahun 2010 yang mengatur tentang Pemberian Bantuan Hukum. Dalam SEMA ini sudah diatur secara detail tata cara dan mekanisme pemberian bantuan biaya perkara prodeo di samping bantuan hukum lainnya. Namun demikian dalam SEMA tersebut masih ada kontradiksi yang perlu dicari peneyelesaiannya. Pasal 8 ayat (4). menyatakan ”Kasir kemudian membuat SKUM dan membukukan bantuan biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di dalam jurnal dan mempergunakannya sesuai kebutuhan selama proses perkara berlangsung”. Ketentuan ini memberi pengertian, bantuan negara untuk ongkos perkara prodeo dibukukan seperti panjar biaya perkara sehingga
seluruh proses berperkara yang dibayar dari
DIPA dicatat dalam buku jurnal, buku bantu dan buku induk keuangan perkara. Sementara dalam pasal 9 ayat (3) disebutkan “Dalam hal permohonan prodeo dikabulkan, pencatatan dalam buku jurnal ditulis nihil. Kata nihil berarti tidak ada penerimaan biaya sehingga bantuan ongkos perkara tersebut tidak dimasukkan dalam buku jurnal sebagai (panjar) pembayaran biaya perkara. Jika demikian halnya, maka
6
pembukuannya diselenggarakan secara tersendiri di luar buku keuangan perkara.
Oleh
dilakukan
di
karena luar
penyelenggaraan
buku
keuangan
administrasi
perkara,
maka
keuangannya pertanggung
jawabannya tidak berada pada ranah administrasi keuangan perkara (kepaniteraan),
melainkan
pada
administrasi
keuangan
DIPA
(kesekretariatan). Ada pendapat yang mencoba mengkombinasikan dua pasal di atas agar
tidak
terjadi
kontradiksi,
yakni
dengan
menafsirkan
bahwa
penulisan NIHIL (Rp.0) sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (3) adalah penulisan pada saat gugatan/permohonan didaftarkan, dan setelah memperoleh uang dari bendahara pengeluaran yang berasal dari DIPA, maka ditulislah besarnya uang tersebut dalam buku jurnal sebagai pembayaran biaya perkara (seperti panjar). Menurut pendapat ini penatausahaan keuangan perkara prodeo termasuk ranah keuangan negara sekaligus ranah keuangan perkara sehingga
seluruh
penerimaan
dan
pengeluaran
ongkos
perkara
dibukukan dalam buku keuangan perkara, di samping buku keuangan DIPA. Demikian pula dalam amar putusannya, juga menggabungkan antara pendapat pertama dan pendapat kedua sehingga berbunyi “Membebaskan Penggugat/Tergugat untuk membayar biaya perkara dan selanjutnya membebankan kepada negara melalui DIPA Pengadilan X. Adapun cara penatausahaan keuangan dalam buku jurnal dilakukan dengan cara: ketika gugatan/permohonan yang disertai permohonan beracara secara cuma-cuma didaftarkan, maka dalam buku jurnal ditulis panjar biaya NIHIL (Rp.0,-) kemudian setelah uang bantuan dari DIPA diserahkan kepada kasir, maka ditulis dibawahnya “biaya prodeo dari DIPA” dan selanjutnya dilakukan pembukuan sebagaimana perkara biasa. Memperhatikan argumen dari tiga pendapat di atas, masing-masing memberikan
argumen
yang
cukup
baik,
namun
tidak
mungkin
pengadilan dibebaskan memilih salah satu dari tiga pendapat tersebut, karena
jika
itu
terjadi
akan
mengakibatkan
ketidaktertiban
dan
7
ketidakpastian
penyelenggaraan
administrasi
perkara.
Sebuah
pengaturan administrasi yang baik haruslah bersifat konstan, konsisten dan berlaku secara universal. Oleh sebab itu harus dipilih pendapat yang paling tepat yang sejalan dengan ketentuan yang berlaku. Guna menentukan pendapat mana yang dipandang lebih tepat harus dikaji secara cermat berdasarkan hukum acara dan mekanisme penggunaan keuangan negara agar proses pemeriksaan tetap dalam koridor hukum acara serta bisa dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan penggunaan uang negara, dan bila dimungkinkan dilakukan modifikasi ke arah yang lebih sempurna. Memperhatikan argumentasi yang diajukan masing-masing pihak, dapat dikemukakan kelebihan dan kekurangannya. Pendapat pertama yang menghendaki dicantumkannya pembebanan biaya perkara kepada negara dalam amar putusan akhir merupakan cara yang aman dalam mempertanggungjawabkan
penggunaan
uang
negara.
Dengan
berlindung di bawah perintah pengadilan (hakim), maka pengelola DIPA tidak akan disalahkan. Akan tetapi di sisi lain, pendapat ini dipandang telah mengintervensi hukum acara dan tidak sejalan dengan ketentuan HIR/R.Bg. dan dalam penatausahaan keuangannya juga menyalahi ketentuan administrasi perkara. Adapun terhadap pendapat kedua, pendapat ini dipandang lebih sesuai dengan hukum acara, namun belum memberikan rasa aman dalam
mempertanggungjawabkan
penggunaan
keuangan
negara.
Panitera dalam memerintahkan bendahara untuk mengeluarkan dana DIPA tidak mempunyai landasan yuridis yang kuat karena putusan sela yang dijatuhkan hakim hanya memberi izin untuk beracara secara cuma-cuma bukan perintah untuk menggunakan dana DIPA. Tidak adanya
perintah
hakim
ini
menimbulkan
kekhawatiran
dalam
pertanggungjawabannya. Terhadap pendapat ketiga yang menghendaki dicantuman dua amar sekaligus, yakni membebaskan para pihak dari membayar baiaya perkarA dan membebankan biaya perkara kepada negara (DIPA),
8
dipandang berlebihan sekaligus tidak sejalan dengan hukum acara maupun administrasi perkara. Perkara prodeo yang sudah ditulis NIHIL dalam buku jurnal, dan hakimpun sudah memberikan izin berperkara secara cuma-cuma, tiba-tiba ada pembayaran tanpa perintah hakim. Perubahan dari pembayaran NIHIL menjadi TIDAK NIHIL tanpa ada perintah hakim dipandang tidak sejalan dengan hukum acara. Selain
itu
penyelenggaraan
administrasi
keuangannyapun
menimbulkan kerancuan di ketika bantuan biaya tersebut sudah habis sementara proses litigasi masih memerlukan ongkos. Menurut ketentuan pasal 8 ayat (6) lampiran B SEMA No. 10 Tahun 2010, apabila biaya yang
dsediakan
sudah
habis
sedangkan
proses
beracara
masih
memerlukan dana, maka proses selanjutnya dilaksanakan sebagaimana perkara prodeo murni (tanpa biaya). Jika terjadi demikian, maka penatausahaan keuangan perkara dalam buku jurnal menjadi aneh. Di awal pembukuan ditulis NIHIL (Rp.0,-), kemudian ada penerimaan dan pengeluaran secara riil, dan setelah itu NIHIL lagi. Penatausahaan yang berubah-rubah seperti itu sulit difahami, apalagi perubahan itu tidak atas perintah hakim. Berdasarkan analisis di atas, maka penulis cenderung memilih pendapat
kedua,
dengan
sedikit
modifikasi
yakni
perlunya
mencantumkan amar pembebanan biaya perkara kepada negara (DIPA) pada putusan sela, bukan pada putusan akhir. Hakim dalam putusan selanya, di samping memberi izin beracara secara cuma-cuma juga menjatuhkan putusan membebankan biaya kepada negara (DIPA). Dalam putusan akhir hakim cukup dengan membebaskan para pihak dari membayar biaya perkara tanpa ada amar pembebanan kepada negara. Berdasarkan amar putusan sela itu, Panitera memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengeluarkan dana dari DIPA, sedangkan proses penyelenggaraan
administrasi
keuangannya
berada
di
luar
ranah
keuangan perkara, Dengan cara itu pengelola DIPA tidak lagi gamang dalam mempertanggungjawabkan penggunaan keuangan negara dan
9
proses beracaranya maupun penyelenggaran keuangan perkaranya tidak menyalahi hukum acara dan administrasi perkara pola bindalmin. 2) Permohonan Beracara Secara Prodeo Dalam Tingkat Banding dan Kasasi Terdapat perbedaan antara apa yang diatur dalam dalam SEMA No. 10 Tahun 2010 dengan yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1947. Menurut pasal 5 ayat (5) dan (6) lampiran B SEMA tersebut, permohonan beracara secara prodeo dalam tingkat banding diajukan tersendiri terpisah dengan permohonan perkara dan diajukan sebelum dibuatnya akta banding. Sementara menurut UU No. 20 Tahun 1947 permohonan beracara secara prodeo diajukan bersama-sama dan sekaligus dengan permohonan banding. Perbedaan cara pengajuan ini membawa konsekuensi semakin bertambah lamanya proses berperkara. Setelah pengadilan tingkat banding memberi izin untuk beracara secara prodeo, pengadilan tingkat pertama tidak bisa serta merta meneruskan berkasnya ke tingkat banding karena belum ada permohonan pemeriksaan tingkat banding dan harus menunggu sampai diajukannya permohonn banding. Pembanding yang telah memperoleh izin untuk beracara secara cuma-cuma diberi tenggang waktu selama 14 hari (pasal 5 ayat (6) untuk pikir-pikir, apakah akan melanjutkan permohonannya untuk pemeriksaan pertama.
ulangan
Jika
saja
atau
menerima
pembanding
putusan
segera
pengadilan
mengajukan
tingkat
permohonan
banding, maka proses berperkara relatif bisa cepat, akan tetapi jika pembanding menggunakan haknya secara maksimal, maka proses berperkara bertambah lama 14 hari. Selain menjadikan semakin lamanya proses berperkara, cara ini memberi peluang kepada pihak yang tidak beriktikad baik untuk mengulur-ulur
waktu.
Pembanding
meskipun
pada
dasarnya
bisa
menerima putusan tingkat pertama, namun karena adanya kepentingan tertentu ia dapat berlindung di bawah hak yang diberikan guna
10
mengulur waktu. Hal seperti ini dipandang kurang sejalan dengan prinsip peradilan sederhana dan cepat dan dapat merugikan pihak lawan. Jika perkara tersebut bukan menyangkut sengketa rumah tangga, barangkali bertambahnya waktu selama 14 hari tidak begitu signifikan dampak negatifnya, tetapi jika perkara itu menyangkut sengketa rumah tangga dengan segala akibat hukumnya, hal ini akan membawa dampak yang tidak menguntungkan terutama dampak psikhis. Berbeda jika permohonan beracara secara prodeo itu diajukan secara sekaligus bersama-sama permohonan pemeriksaan perkara. pembanding tidak dapat mengulur-ulur waktu karena Pengadilan Agama segera akan mengirimkan berkasnya tanpa tergantung kepada kehendak siapapun. Terhadap tata cara sebagaimana diatur dalam SEMA di atas, tidak diperoleh keterangan maupun penjelasan mengenai latar belakang dipisahkannya antara permohonan beracara secara prodeo dengan permohonan pemeriksaan perkara di tingkat banding. Oleh sebab itu penulis mengalami kesulitan memberikan analisis. Kesulitan itu semakin bertambah ketika dibandingkan dengan permohonan beracara secara prodeo dalam pemeriksaan tingkat kasasi yang tidak dipisah. Ketentuan pasal 6 ayat (4) lampiran B SEMA N0. 10 Tahun menyatakan, berita acara hasil pemeriksaan permohonan berperkara secara prodeo dikirim oleh Pengadilan Agama ke Mahkamah Agung bersama bundel A dan bundel B. Kalimat dikirim bersama budel A dan bundel B memberi petunjuk bahwa permohonan berperkara secara prodeo diajukan secara bersamaan dan sekaligus dengan permohonan kasasi, sebab tidak ada dalam SEMA tersebut yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung memeriksa lebih dahulu permohonan prodeonya sebelum diajukannya permohonan pemeriksaan tingkat kasasi. Memperhatikan adanya perbedaan tata cara antara permohonan beracara secara prodeo dalam tingkat banding dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi ini, timbul pertanyaan, mengapa hal tersebut dibedakan dan manfaatnya. Terhadap masalah ini penulis tidak melihat
11
adanya kemaslahatan pengajuan permohonan beracara secara prodeo dipisahkan dengan permohonan pemeriksaan perkara, dan yang tampak justeru timbulnya kemadlaratan, lagi pula pemisahan seperti itu kurang sejalan dengan ketentuan UU No. 20 tahun 1947, kiranya akan lebih baik apabila permohonan beracara secara prodeo diajukan serentak dengan
permohonan
pemeriksaan
perkara
sebagaimana
telah
ditentukan oleh undang-undang dan yang telah berjalan dalam praktik selama ini. C. PENUTUP Patut diberikan apresiasi kepada Mahkamah Agung yang telah menerbitkan SEMA No. 10 Tahun 2010 sebagai upaya memberikan pelayanan hukum yang lebih baik kepada masyarakat. Dengan kebijakan yang memihak kepada rakyat akan memberikan dampak positif dalam upaya mewujudkan visi Mahkamah Agung sebagai peradilan yang agung. Rakyat akan semakin simpati, perduli dan hormat kepada lembaga peradilan sehingga citra lembaga peradilan akan semakin baik. Upaya yang sangat luhur itu harus dibarengi dengan pengaturan yang tepat yang sejalan dengan koridor hukum acara dan peraturan lainnya yang terkait sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam praktik yang justeru berakibat kontra produktif. Segala sesuatu yang menyangkut proses pemeriksaan perkara harus sejalan dengan hukum acara yang dibakukan dan hal-hal yang menyangkut penggunaan keuangan negara harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Oleh sebab itu agar keduanya berjalan dengan baik, tanpa ada yang terinterinvensi dan terkesampingkan perlu dicari solusi penyelesaiannya.
12
D. DAFTAR PUSTAKAN Harahap, M. Yahya, 2004, Hukum Acara Perdata, Jakarat, Sinar Grafika. Muhammad, Abdul Kadir, 1992, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti. Manan, Abdu,l 2000, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Yayasan Al-Hikmah Mertokusumo, Sudikno, 1979, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty. Prodjodikoro, R. Wiryono, 1992, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, Sumur Bandung. Soepomo R., 2005, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta, Pradnya Paramita. Sobekti R., 1989, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Bina Cipta. Susilo R., 1985, RIB/HIR Dengan Penjelasannya, Bogor, Pliteia Syahlani, Hensyah, 2007, Pembuktian Dalam Beracara Perdata dan Teknis Penyusunan Putusan Pengadilan Tingkat pertama, Yogyakarta. Sutantyo, Retnowulan, Iskandar Oerip Kartawinata, 1989, Hukum Acara Perdata, Bandung, Mandar Maju Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 50 Tahun 200 tentang perubahan kedua atas Undangundang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan Reglement Indonesia yang Diperbaharui (RIB/HIR) Rechstreglement Buitengewesten (R.Bg) / Reglement Hukum Acara untuk Tanah Seberang (luar Jawa dan Madura). Reglement op de Rechtsvordering (Rv) / Reglement Acara Perdata di Raad van Justitie dan Hooggerechtshoof SEMA Nomor 10 Tahun 2010 tantang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II