Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Program Pengembangan Kawasan Agropolitan di Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro Joko Supriyanto
[email protected] Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya Abstrak Pemberdayaan masyarakat desa merupakan suatu pembangunan dalam hal kemandirian pada komponen masyarakat paling kecil di suatu negara. Pemberdayaan masyarakat desa dapat meningkatkan pendapatan masyarakat desa, bahkan dapat menyumbang pendapatan daerah yang berada diatasnya. Pemberdayaan desa yang baik dilakukan dengan kerjasama antara masyarakat desa, pemeritan, dan pihak swasta. Pemberdayaan yang bertujuan untuk kemandirian desa juga mampu mengunggulkan desa dalam berbagai bidang. Salah satu contoh pemberdayaan masyarakat desa adalah melalui pemberdayaan pertanian. Dalam hal ini dapat berbentuk pengembangan kawasan agropolitan yang memberdayakan masyarakat melalui peningkatan produk pertanian setempat. Contoh studi kasus pada Desa Ngringinrejo Kecamatan kalitidu, Kabupaten Bojonegoro. Pemberdayaan yang dilakukan oleh warga desa, pemerintah daerah, dan pemerintah desa ini memiliki tujuan untuk kemandirian desa. Desa yang mandiri dapat menghasilkan pendapatan yang tinggi bagi masyarakatnya dan juga mampu menyumbang pendapatan daerah. Pemberdayaan masyarakat desa melalui program pengembangan kawasan agropolitan di Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten bojonegoro menorehkan prestasi dengan menjadi juara dalam ajang wisata buatan tingkat provinsi. Bukan hanya dapat mengenalkan desa agropolitan keluar, namun pengembangan ini juga sangat menguntungkan bagi pihak yang berkepentingan yang terlibat didalamnya. Kata Kunci: Pemberdayaan, Mandiri, Masyarakat, Desa, Agropolitan, Kebun Belimbing.
Pendahuluan Latarbelakang Alam menjadi sumber kekayaan penting bagi negara manapun, termasuk Indonesia yang merupakan negara agraris, dengan jumlah penduduk kurang lebih 75% hidup di perdesaan dan sebagian besar (54%) menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Sebagai negara tropis dengan dua musim, Indonesia dilimpahi berkah kesuburan tanah yang mendukung tumbuhnya berbagai macam jenis tumbuhan. Secara geografis, alam Indonesia sangat potensial untuk kegiatan pertanian. Salah satu penyebabnya adalah Indonesia memiliki banyak gunung berapi yang tersebar di berbagai pulau. Sumatera,
1
Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku merupakan pulau-pulau yang memiliki konsentrasi gunung berapi yang relatif tinggi. Resiko dari letusan gunung berapi memang tidak dapat dihilangkan, namun debu vulkanik dari letusan tersebut pada umumnya membuat daerah di sekitar gunung berapi menjadi sangat subur untuk bercocok tanam. Kondisi ini menguntungkan masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Selain di wilayah pegunungan yang kaya akan unsur vulkanik, wilayah dataran rendah, dan perairan Indonesia seperti laut, sungai maupun danau juga memiliki potensi pertanian yang tidak kalah. Keberagaman alam dan variasi kandungan hara antar wilayah Indonesia menciptakan keberagaman potensi pertanian antar wilayah di Indonesia. Secara alamiah, dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam produksi pertanian. Apabila mampu dikelola secara optimal, keunggulan ini menjadi pondasi yang menopang kemandirian pangan nasional. 1 Sektor pertanian juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam menunjang Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sampai dengan tahun 2013, kontribusi sektor ini berada pada urutan kedua setelah sektor Industri Pengolahan. Menurut data BPS, pada tahun 2013, kontribusi sektor pertanian terhdap PDB Indonesia yakni sebesar 14,4 persen di bawah sektor Industri Pengolahan sebesar 23,70 persen. Tidak hanya berkontibusi pada PDB Indonesia, sektor pertanian sudah menjadi penopang kegiatan ekonomi masyarakat kebanyakan. Sebagian besar masyarakat Indonesia di perdesaan bergantung dari sektor ini. Tidak kurang dari sepertiga tenaga kerja nasional berada di sektor ini (BPS, 2013). Artinya, sektor pertanian masih menjadi penyedia lapangan yang sangat potensial bagi Indonesia. Berikut ini adalah struktur penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utamanya.2
1
Yulistyo Suyatno. 2008. Penguatan Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peningkatan Daya Saing Produk Agribisnis Unggulan Di Kabupaten Semarang. Universitas Diponegoro. Semarang. Hlm. 26.
2
BPS. 2013. Potensi Pertanian Indonesia: Analisis Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian. www.bps.go.id. Diakses pada 31, Oktober 2016, pukul 19.36.
2
Grafik I. 1. Struktur Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2013
Pertanian
30.79%
34.36%
Industri dan Pengolahan
Perdagangan 13.43%
13.43% Lainnya
Sumber : BPS, Potensi Pertanian Indonesia : Analisis Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2013 Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa sektor pertanian masih menjadi penyedia lapangan pekerjaan terbesar yakni sebesar 34,46% dari angkatan kerja berusia 15 tahun ke atas. Kemudian diikuti dengan 21,42% pada sektor perdagangan dan 13,43% di industri pengolahan, serta 30,79% sisanya di lapangan pekerjaan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian mampu menjadi penyedia lapangan pekerjaan yang cukup menjanjikan bagi Indonesia. Berbanding terbalik dengan jumlah lapangan kerja di sektor pertanian, tingkat kesejahteran pelaku pertanian itu sendiri justru sangat memprihatinkan. Hal ini terlihat dalam data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2013. Sebanyak 68,7 % rumah tangga miskin yang ada di perdesaan adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian, sedangkan 8,7 % adalah mereka yang tidak bekerja dan 4,8 % bekerja pada sektor Industri, serta 17,8 % sisanya adalah pekerjaan lainnya. Artinya, meskipun sektor pertanian mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang begitu luas, bukan berarti kesejahteraan dari pelaku pertanian sendiri masih memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif rendah.3 Berikut adalah datanya:
3
Ibid.
3
Grafik I. 2. Persentase Rumah Tangga Miskin di Perdesaan menurut Lapangan Pekerjaan Utama Kepala Rumah Tangga Tahun 2013
Pertanian
30.79%
Industri 8.70%
68.70%
Tidak Bekerja Lainnya
4.80%
Sumber : BPS, Potensi Pertanian Indonesia : Analisis Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2013 Pembangunan sektor usaha pertanian di Indonesia masih terkendala berbagai persoalan. Di antaranya adalah, rendahnya kualitas sumber daya manusia, kecilnya skala usaha, serta lahan pertanian yang semakin menyempit sejak 1999. Di sisi lain, hilirisasi usaha pertanian untuk mendorong penciptaan nilai tambah baru pun masih terbatas. Ditambah lagi dengan adanya ketimpangan yang terjadi antar daerah di Indonesia, utamanya di kawasan timur Indonesia. Hal ini menjadi landasan bagi pemerintah untuk melakukan berbagai upaya untuk mencapai kesetaraan pembangunan ekonomi. Pada dasarnya, pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan segala sumberdaya yang ada, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia.
Pada saat yang sama,
pembangunan juga memunculkan adanya kesenjangan, baik itu secara individu maupun secara kelompok masyarakat, bahkan kesenjangan juga terjadi antar wilayah atau kawasan. Seperti halnya yang sering terjadi adalah kesenjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Pada umumnya, wilayah perkotaan lebih maju dalam
berbagai aspek dibandingkan dengan wilayah pedesaan, misalkan secara infrastruktur, akses informasi dan lain sebagainya. Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect),
4
tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah di sekitarnya (backwash effect), dimana sumberdaya-sumberdaya yang ada di perdesaan terserap menuju ke daerah perkotaan, baik itu sumberdaya alam, tenaga kerja bahkan modal sekalipun. Hal ini yang kemudian menjadikannya konsentrasi penduduk miskin lebih banyak di perdesaan daripada di perkotaan.4 Seperti halnya di dalam tabel di bawah ini. Tabel I. 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Kota dan Desa Tahun 2011-2013 Tahun Kota Maret 2011 September 2011 Maret 2012 September 2012 maret 2013 September 2013
Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang) Desa Kota+Desa
Persentase Penduduk Miskin (%) Desa Kota+Desa
Kota
11,05
18,97
30,02
9,23
15,72
12,49
10,95
18,94
29,89
9,09
15,59
12,36
10,65
18,49
29,13
8,78
15,12
11,96
10,51
18,09
28,59
8,60
14,70
11,66
10,33
17,74
28,07
8,39
14,32
11,37
10,63
17,92
28,55
8,52
14,42
11,47
Sumber: BPS (diolah) Pada kenyataannya, kesenjangan yang terjadi antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan serta banyaknya kemiskinan di perdesaan telah mendorong upaya-upaya untuk melakukan pembangunan di kawasan perdesaan. Namun, seringkali pendekatan pembangunan perdesaan yang digunakan selalu memisahkan secara pemisahan yang jelas antara pembangunan kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Pengembangan wilayah pada kawasan perdesaan harus dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan kawasan perkotaan. Pemahaman yang menyeluruh dan tidak dipisahkan antara keduanya ini menjadi penting dan mendasar dalam penyusunan peraturan atau aturan main yang berkaitan dengan perdesaan maupun perkotaan, agar terjadi sinergi dan keseimbangan perlakuan wilayah khususnya oleh pelaku pembangunan. Demi mewujudkan pembangunan nasional yang merata,
4
Ibid.
5
keseimbangan pembangunan antara desa dan kota harus dilakukan supaya kesenjangan yang terjadi antar keduanya minimal dapat terkurangi. Pembangunan perdesaan sangat diperlukan bagi Indonesia. Pasalnya, sebagian besar penduduk Indonesia, yaitu sekitar 60% tinggal di pedesaan dan memiliki mata pencaharian sebagai petani (Jayadinata, 2006: 1). Menurut Mosher dalam Jayadinata (2006), pembangunan atau pengembangan perdesaan (rural development) mempunyai tujuan yaitu: (1) Pertumbuhan sektor pertanian; (2) Integrasi nasional, yaitu membawa seluruh penduduk ke dalam pola utama kehidupan yang sesuai; (3) Keadilan ekonomi, yakni bagaimana pendapatan itu dibagi-bagi ke seluruh penduduk.5 Berkaitan dengan permasalahan ketimpangan desa-kota di atas maka salah satu ide yang dikemukakan adalah mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri, dimana keterkaitan dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan. Menyikapi berbagai tantangan dalam pembangunan pertanian yang sejalan dengan upaya percepatan pembangunan perdesaan, diperlukan komitmen yang kuat dan kerjasama yang erat antara pemerintah, masyarakat maupun swasta. Untuk hal tersebut, Pengembangan Kawasan Budidaya Agropolitan merupakan salah satu pendekatan pembangunan perdesaan berbasis pertanian dalam artian luas (termasuk kegiatan agrowisata, minapolitan dan sebagainya), dengan
menempatkan
‘kota-tani’
sebagai
pusat
kawasan
dan
ketersediaan
sumberdayanya, sebagai modal tumbuh dan berkembangnya kegiatan saling melayani dan mendorong usaha agrobisnis antar desa-desa kawasan (hinterland) dan desa-desa sekitarnya. Sehingga terwujudnya sistem usaha agribisnis antara perkotaan dan perdesaan untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah. Melihat kondisi tersebut, konsep Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang menjadi mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. Otoritas perencanaan dan pengambilan keputusan akan didesentralisasikan sehingga
5
Johara Jayadinata, T. & I.G.P. Pramandika. 2006. Pembangunan Desa dalam Perencanaan. ITB. Bandung. Hlm. 1.
6
masyarakat yang tinggal di perdesaan akan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap perkembangan dan pembangunan daerahnya sendiri. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat pedesaan sangat diperlukan baik untuk menunjang perekonomian masyarakat setempat, maupun menyumbang pendapatan daerah dari hasil perolehan pemberdayaan tersebut. Rumusan Masalah Dari permasalahan diatas maka akan memunculkan pertanyaan, yaitu bagaimana pemberdayaan masyarakat desa melalui program pengembangan kawasan agropolitan di Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro? Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberdayaan masyarakat desa melalui program pengembangan kawasan agropolitan di Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro. Manfaat Dalam kalangan akademisi penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian-penelitian serupa yang akan datang. Selanjutnya juga dapat menjadi acuan untuk desa lain dalam mengembangkan potensi desa guna meningkatkan pendapatan masyarakat desa maupun guna meningkatkan sumbangan pendapatan daerah.
Tinjauan Pustaka Desa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
7
Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.6 Desa merupakan komponen masyarakat terkecil yang ada pada sebuah negara. Pemerintah desa berada pada posisi paling dasar dalam struktur pemerintahan Negara indonesia yang berada dibawah pemerintahan daerah Kabupaten/ kota. Desa adalah komponen terpenting dalam membangun perekonomian masyarakat dasar. Membangun desa yang mandiri melalui pemberdayaan masyarakat desa diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat desa. Selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan menambah pendapatan masyarakat desa, pemberdayaan desa juga dapat membantu meningkatkan pendapatan daerah yang berada diatasnya. Desa Membangun Kata pembangunan menjadi diskursus yang jamak diperbincangkan manakala pemerintahan Orde baru menggalakannya. Bahkan, kata pembangunan menjadi trade mark kabinet pemerintahan di bawah kepemimpinan Soeharto. Pembangunan sebagai diskursus sejatinya berkait dengan diskursus developmentalisme yang dikembangkan negara-negara barat. Dilihat secara mendalam, pengertian dasar pembangunan adalah istilah yang dipakai dalam berbagai konteks berbeda. Hanya saja ia lebih sering dipakai dalam konotasi politik dan ideologi tertentu. Ada yang menyetarakan pembangunan dengan perubahan sosial, pertumbuhan, modernisasi dan rekayasa sosial. Dalam konteks pemerintahan Orde Baru, implementasi konsep pembangunan syarat dengan menjadikan desa sebagai obyek pembangunan, bukan subyek.7 Dalam kerangka ini, maka desa tidak lebih menjadi lokasi bagi pemerintah untuk mengambil dan membelanjakan sumber daya negara. Hanya saja bukan untuk memenuhi kebutuhan dan kemajuan desa.Pemerintah Orde Baru merubah birokrasi menjadi mesin
6 7
UU Tahun 2014 Nomor 6 Tentang Desa. Borni Kurniawan. 2015. Desa Mandiri, Desa Membangun. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia. Jakarta. Hlm 17.
8
politik kekuasaan yang minim orientasi pemberdayaan dan penghormatan terhadap hakhak dasar yang melekat pada masyarakat lokal. Sumber daya ekonomi lokal dieksploitasi sedemikian
rupa
hanya
sekadar
memenuhi
target
pertumbuhan.
Sementara
kesejahteraan masyarakat desa sebagai subyek sekaligus pemilik sumber daya terpinggirkan. Akhirnya, kata pembangunan lekat pada tubuh pemerintah sebagai subyek pelaku, sementara desa hanya sebagai oyek pembangunan yang dilakukan pemerintah.8 Konsep kunci pembangunan untuk memahami frasa “membangun desa” dan “desa membangun” tidak dikenal dalam wacana dan teori pembangunan. Konsep pembangunan desa sebenarnya tidak dikenal dalam literatur pembangunan. Secara historis, pembangunan desa merupakan kreasi dan ikon Orde Baru, yang muncul pada Pelita I (1969-1974) yang melahirkan Direktorat Jenderal Pembangunan Desa di Departemen Dalam Negeri.Namun pada pertengahan 1980-an pembangunan desa kemudian diubah menjadi pembangunan masyarakat desa, sebab pembangunan desa sebelumnya hanya berorientasi pada pembangunan fisik, kurang menyentuh masyarakat. Direktorat Jenderal Bangdes juga berubah menjadi Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa, namun arus pemberdayaan yang hadir pada tahun 1990-an nomenklatur juga berubah menjadi Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, yang bertahan sampai sekarang. Ditjen ini masih akrab dengan nomenklatur pembangunan desa, karena pembangunan desa tertuang dalam PP No. 72/2005. Baik RPJMN maupun institusi Bappenas dan kementerian lain sama sekali tidak mengenal pembangunan desa, melainkan mengenal pembangunan perdesaan dan pemberdayaan masyarakat (desa). Pembangunan desa tidak lagi menjadi agenda nasional tetapi dilokalisir menjadi domain dan urusan desa.9 Prinsip dan Dasar Pemberdayaan Prinsip utama dalam mengem-bangkan konsep pemberdayaan masya-rakat menurut Drijver dan Sajise ada lima macam, yaitu:
8 9
Ibid. Hlm 18. Ibid.
9
1.
Pendekatan dari bawah (buttom up approach): pada kondisi ini pengelolaan dan para stakeholder setuju pada tujuan yang ingin dicapai untuk kemudian mengembangkan gagasan dan beberapa kegiatan setahap demi setahap untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya.
2.
Partisipasi (participation): dimana setiap aktor yang terlibat memiliki kekuasaan dalam setiap fase perencanaan dan pengelolaan.
3.
Konsep keberlanjutan: merupakan pengembangan kemitraan dengan seluruh lapisan masyarakat sehingga program pembangunan berkelanjutan dapat diterima secara sosial dan ekonomi.
4.
Keterpaduan: yaitu kebijakan dan strategi pada tingkat lokal, regional dan nasional.
5.
Keuntungan sosial dan ekonomi: merupakan bagian dari program pengelolaan.10
Pengembangan Kawasan Agropolitan Konsep pembangunan kawasan agropolitan bukanlah konsep baru tetapi merupakan optimalisasi hasil-hasil pembangunan kawasan andalan, seperti Kawasan Sentra Produksi (KSP), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) dan kawasan prioritas tertentu lainnya. Selain itu juga menyertakan optimalisasi hasil-hasil program sejenis yang lebih dahulu diimplementasikan seperti program Bimas, Program Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK), Program Penyediaan Prasarana Dan Sarana Perdesaan (PPSD), dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Dengan demikian pengembangan kawasan agropolitan harus komplementer dan sinergis dengan berbagai program baik yang berasal dari pusat, provinsi maupun Kabupaten/ Kota. Maka mekanisme pengembangan kawasan agropolitan merupakan kesatuan kegiatan sosialisasi dengan aspek-aspek sebagai berikut: Ciri-Ciri Kawasan Agropolitan a. Sebagian besar kegiatan masyarakat di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian (dalam arti luas) dan atau agribisnis dalam suatu kesisteman yang utuh dan terintegrasi mulai dari:
10
Ita Ulumiyah, dkk. “Jurnal Administrasi Publik, Vol. 1, No. 5. Universitas Brawijaya. Malang. Hlm 892.
10
1) Subsistem usahatani/ pertanian primer (on farm agribusiness) yang mencakup usaha: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan peternakan. 2) Subsistem agribisnis hulu (up stream agribusiness) yang mencakup usaha penyediaan: mesin, peralatan pertanian, pupuk, dan lain-lain. 3) Subsistem agribisnis hilir (down stream agribusiness) yang meliputi: industriindustri pengolahan dan pemasarannya termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor. 4) Subsistem jasa-jasa penunjang (kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis) seperti: perkreditan, asuransi, transportasi, penelitian dan pengembangan,
pendidikan,
penyuluhan,
infrastruktur,
dan
kebijakan
pemerintah. b. Adanya keterkaitan antara kota dengan desa (urban-rural linkages) yang bersifat interdependensi/timbal balik dan saling membutuhkan. Dalam kondisi tersebut, diharapkan kawasan pertanian di perdesaan mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm) sementara itu kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budi daya dan agribisnis, seperti penyediaan sarana pertanian antara lain: modal, teknologi, informasi, peralatan pertanian, dan lain sebagainya. c. Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan sama dengan suasana kehidupan di perkotaan, karena prasarana dan infrastruktur yang ada di kawasan agropolitan diusahakan tidak jauh berbeda dengan di kota.11 Manajemen Pengembangan Kawasan Agropolitan a. Perencanaan Pengembangan Kawasan Agropolitan Menurut Nugroho dan Dahuri (2012), agropolitan merupakan pendekatan perencanaan pembangunan tipe bottom-up yang berkeinginan mencapai
11
Bappeda Provinsi Jawa Timur. 2015. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Minapolitan Provinsi JawaTimur. Hlm 15-16.
11
kesejahteraan dan pemerataan pendapatan. Kunci keberhasilan dari konsep agropolitan ini adalah menetapkan setiap distrik (desa) sebagai suatu unit tunggal yang otonom dan mandiri yang mampu mengatur perencanaan serta pelaksanaan secara mandiri namun tetap terintegrasi secara sinergis dengan sistem pengembangan wilayah kabupaten atau diatasnya. Dengan kata lain, keberhasilan pengembangan Kawasan Agropolitan membutuhkan sebuah kesiapan, komitmen, konsistensi, serta perubahan mendasar dalam sistem pelaksanaan pembangunan daerah. Di samping itu, Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten harus memiliki kesanggupan untuk meneruskan pengembangan kawasan budidaya agropolitan secara berkelanjutan demi tercapai kawasan yang mandiri melalui kemampuan sumberdaya yang dimiliki. b. Pendanaan Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Terdapat dua aspek utama yang menjadi perhatian dalam pendanaan pada pengembangan kawasan agropolitan. Pertama adalah fakta bahwa sumber dana yang terdapat pada pemerintah pusat yang diberikan kepada daerah. Dan yang kedua adalah biaya penggunaan teknologi dan kecocokannya dengan kondisi masyarakat dan lokasi desa (Douglass, 1981). Pembiayaan program yang, ada di desa pada dasarnya dilakukan oleh masyarakat, dalam hal ini masyarakat petani, pengelola hasil, pemasar, dan penyedia jasa. Selain itu, dana stimultans yang difasilitasi Pemerintah Kabupaten bertujuan untuk membiayai prasarana dan sarana yang bersifat publik dan strategis. c. Monitoring dan Evaluasi dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Pengembangan kawasan budidaya agropolitan membutuhkan komitmen nasional untuk mengubah pola yang awalnya tergantung kepada permintaan eksternal, teknologi eksternal, informasi eksternal, pemenuhan komoditi dari luar atau dalam hal ini mengubah kondisi yang awalnya toward looking menjadi inward-looking dan self-substaining development. Sehingga dalam hal ini, pemerintahan pusat memegang peranan untuk mengawasi dan memberikan arahan terhadap pelaksanan pengembangan kawasan budidaya agropolitan. Selain itu, pemerintah
12
pusat juga menjadi sumber legitimasi bagi pelaksanaan kebijakan daerah. Sedangkan kawasan agropolitan memiliki kewenangan untuk mengalokasikan dan menggunakan sumberdaya untuk tujuan pembangunan daerah .12 Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan Ada 5 (lima) strategi/ upaya pokok sebagai kunci keberhasilan dalam membangun agropolitan, yaitu: (1) sumber daya manusia yang unggul; (2) terbangunnya sistem dan usaha agribisnis yang kuat; (3) berkembangnya investasi dan permodalan agribisnis; (4) terbangunnya sarana dan prasarana yang memadai dan mendukung kegiatan agribisnis; dan (5) adanya keserasian tata ruang dan regulasi yang kondusif bagi terciptanya sistem dan usaha agribisnis. Oleh karena itu pengembangan kawasan agropolitan haruslah mampu melihat kedepan dan melakukan pembangunan yang berkelanjutan melalui: a. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Pengembangan SDM pertanian dapat ditempuh melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan pertanian, pendampingan kelompok, pengembangan kelembagaan masyarakat yang diarahkan dan terfokus untuk pengembangan kawasan agropolitan, dan lain sebagainya. Pengembangan SDM di kawasan agropolitan menjadi tangungjawab bersama, antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. b. Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis Strategi pengembangan agribisnis yang utuh dan bertahap di setiap daerah memerlukan pendekatan berbeda untuk setiap kawasan agropolitan. Para pelaku agribisnis dan petani di kawasan agropolitan harus mampu menganalisis keuntungan usahataninya dengan mengembangkan model usahatani terpadu dan berkelanjutan, pengolahan produk pertanian yang mampu memiliki nilai tambah dan daya saing, dll.
12
Khoirul Fatihin. 2016. “Studi Perbandingan Tentang Ketimpangan Hasil Kebijakan Pengembangan Kawasan Budidaya Agropolitan”. Universitas Airlangga. Surabaya. Hlm 35-36.
13
c. Pengembangan Investasi dan Permodalan Strategi ini dapat diterapkan melalui bantuan modal dan kredit yang dilakukan dengan prinsip mendidik terstruktur, dan sistematis. Bantuan langsung dalam bentuk bergulir atau cuma-cuma dalam bentuk uang/ modal kerja yang diberikan haruslah berdasarkan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat kawasan agropolitan dan mengarah kepada masyarakat. Untuk itu, sebelumnya harus dilakukan identifikasi dan analisis kebutuhan masyarakat kawasan. Kredit ini hendaknya tidak dibatasi untuk usaha budidaya saja, tetapi dapat digunakan untuk segala macam usaha baik on farm maupun off farm. d. Pengembangan Sarana dan Prasarana Pengembangan sarana prasarana yang perlu dikembangkan harus berwawasan lingkungan pertanian, dengan demikian perlu memperhatikan aspek kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik tingkat provinsi maupun kabupaten. Sarana dan prasarana yang dikembangkan perlu diarahkan untuk menunjang: (1) peningkatan produktivitas pertanian (on farm); (2) pengolahan hasil, sebagai upaya untuk mendapatkan nilai tambah atas produk hasil pertanian (off farm); dan (3) pemasaran hasil, sebagai upaya menunjang pemasaran hasil yang dapat memperpendek mata rantai tata niaga hasil pertanian. e. Pengembangan Keserasian Tata Ruang Dan Regulasi Yang Kondusif Keserasian tata ruang kawasan dapat dicapai melalui pengembangan kawasan agropolitan yang mengacu pada masterplan yang pembuatannya disesuaikan dengan RTRK (Rencana Tata Ruang Kawasan)/ RDTRK (Rencana Dasar Tata Ruang Kawasan). Dampak dari keserasian tata ruang kawasan agropolitan diharapkan terjadinya peningkatan efisiensi seluruh proses kegiatan agribisnis dan agroindustri, sehingga nilai tambah yang lebih tinggi akan dicapai. Selain itu, regulasi yang sederhana namun sesuai dengan tujuannya sangat diperlukan demi kondusifitas pengembangan sistem dan usaha agribisnis/agroindustri, khususnya dalam melindungi kepentingan petani.
14
Di era informasi dan globalisasi ini, kelima strategi tersebut perlu didukung dengan pemanfaatan sistem informasi berbasis TI (Teknologi Informasi). Pemanfaatan TI digunakan untuk memperkenalkan dan mempromosikan potensi masing-masing kawasan agropolitan secara lebih luas, akurat, cepat, dan efisien. Pemberdayaan sarana tersebut memberikan keuntungan bagi masyarakat dalam memperoleh informasi perkembangan komoditi unggulan, misalnya informasi tentang harga, volume, waktu, lokasi, kontak personal untuk berbagai komoditi tertentu. Selain itu juga, memberi peluang untuk berkomunikasi dengan pelaku usahatani di kawasan lain serta mempromosikan dan bertransaksi secara online. Hal tersebut, akan memberikan nilai tambah bagi kelompok masyarakat yang memanfaatkanya dengan waktu transaksi yang relatif singkat, sehingga likuiditas berjalan cepat dan keuntungan per satuan waktu menjadi lebih tinggi. 13
Pembahasan Pengembangan Kawasan Budidaya Agropolitan Desa Ngringinrejo A. Manajemen Pengembangan Kawasan Budidaya Agropolitan Desa Ngringinrejo Manajemen pengembangan kawasan budidaya agroplitan dapat dilihat dari 3 aspek, yakni : (1) Perencanaan dalam pengembangan kawasan budidaya agropolitan; (2) Pendanaan atau pembiayaan kegiatan-kegiatan dalam rangka melaksanakan kebijakan pengembangan kawasan budidaya agropolitan; dan (3) kegiatan monitoring dan evaluasi. 1)
Perencanaan Pengembangan Kawasan Agropolitan Desa Ngringinrejo Pengembangan kawasan agropolitan merupakan pendekatan perencanaan pembangunan tipe dari bawah ke atas
yang berkeinginan mencapai
kesejahteraan dan pemerataan pendapatan. Dalam Kebijakan Pengembangan Kawasan Budidaya Agropolitan di Desa Ngringinrejo, proses perencanaan yang terjadi adalah perpaduan antara desa dan kabupaten. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten menyatakan bahwa seharusnya yang lebih berperan di sini adalah pihak desa yang secara sadar dan mandiri mengelola desanya untuk menjadi 13
Bappeda Provinsi Jawa Timur, op.cit. Hlm 19-21.
15
kawasan agropolitan. Sedangkan pihak Kabupaten membantu mengarahkan dalam perencanaan tersebut dan menyiapkan regulasinya. Pada dasarnya, perencanaan yang dilakukan di Desa Ngringinrejo terkait pengembangan kawasan agropolitan sudah dilakukan secara mandiri sesuai dengan arahan dari Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Dalam hal ini di Desa Ngringinrejo juga diadakan pertemuan bulanan yang disebut kemis pon-an atau yang dilaksanakan setiap hari kamis pon (kalender jawa) di setiap bulannya. Terkait dengan proses perencanaan tersebut Desa Ngringinrejo dituntut untuk dapat mandiri mengelola pengembangan kawasan agropolitan. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro juga sudah membantu mendatangkan tamu dari luar yang kemudian diajak untuk masuk melihat kawasan agropolitan yang ada di Desa Ngringinrejo. Kerja sama antara pemerintah desa dengan masyarakat juga diperlukan untuk lebih mengembangkan kawasan agropolitan yang ada dan sebagai bekal untuk membenahi kekurangan yang ada demi kemandirian yang sudah menjadi tanggung jawab pengelola kawasan agropolitan. Senada dengan hal tersebut, Pemerintah Desa juga mengakui bahwa inisiatif perencanaan adalah dari pihak desa, dalam hal ini pemerintah bersama-sama dengan masyarakat desa dan pihak-pihak lain yang terkait seperti dari pihak Kabupaten dan dilakukan melalui pertemuan yang diadakan di desa. 2)
Pembiayaan dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Desa Ngringinrejo Dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Bojonegoro, pembiayaan dilakukan berdasarkan sistem sharing anggaran. Pembiayaan dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan Desa Ngringinrejo dapat diperoleh melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) maupun diperoleh melalui pihak swasta. Sementara dari pihak desa sendiri dana yang digunakan untuk pengembangan kawasan agropolitan mayoritas berasal dari swadaya, dalam artian setiap petani belimbing memiliki andil yang cukup besar dalam menyumbang dana tersebut. Selain itu, dana juga banyak berasal dari kas
16
Pokdarwis yang diperoleh melalui tiket masuk sebesar Rp. 1000,- yang dibebankan kepada setiap pengunjung yang masuk kawasan agrowisata tersebut. Di samping itu, pemerintah desa juga memberikan kontribusi dana melalui alokasi dari APBDes. Sedangkan dari pihak Kabupaten juga memberikan pendanaan dalam bentuk fasilitas-fasilitas seperti gazebo, pemavingan, ataupun memberikan semacam pelatihan-pelatihan kepada pihak desa. Disamping memberikan pendanaan dalam bentuk pelatihan dan sebagainya, pemerintah Kabupaten Bojonegoro juga membantu mempromosikan kawasan agrowisata Desa Ngringinrejo melalui media sosial yang dimiliki oleh Pemkab. 3)
Pengawasan terhadap Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Desa Ngringinrejo Pemerintahan Kabupaten memegang peranan untuk mengawasi dan memberikan arahan terhadap pelaksanan Kebijakan Pengembangan Kawasan Budidaya Agropolitan. Selain itu, Pemerintah Kabupaten juga menjadi sumber legitimasi bagi pelaksanaan kebijakan daerah. Sedangkan kawasan agropolitan memiliki kewenangan untuk mengalokasikan dan menggunakan sumberdaya untuk tujuan pembangunan daerah. Terkait hal tersebut, pengwasan dilakukan oleh pihak Kabupaten Bojonegoro melalui rapat koordinasi yang diadakan secara berkala. Tidak hanya sebagai sarana koordinasi, rapat ini juga sebagai sarana monitoring dan evaluasi kegiatan-kegiatan yang diadakan di desa-desa yang ditetapkan menjadi lokasi pengembangan kawasan agropolitan. Sebagai sarana evaluasi pada setiap bulannya Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) membuat laporan kepada Dinas Pariwisata. Selain itu setiap masyarakat juga melakukan pengawasan dan evaluasi melalui pertemuan yang diadakan setiap kamis pon.
B. Aspek Kritis dalam Pelaksanaan Kebijakan Agropolitan Desa Ngringinrejo 1)
Kondisi Fisik Kawasan Budidaya Agropolitan Desa Ngringinrejo Kondisi fisik kawasan budidaya agropolitan berkaitan dengan potensi komoditas yang ada di wilayah yang menjadi lokasi pengembangan kawasan budidaya agropolitan, yakni mulai dari tingkat kecocokannya dengan kondisi
17
tanah desa. Kecocokan ini tidak hanya terkait dengan kecocokannya dengan aspek budidaya (on-farm) melainkan juga kegiatan off-farm, yaitu mulai pengadaan sarana dan prasarana pertanian, kegiatan pengolahan hasil pertanian, sampai dengan kegiatan pemasaran hasil pertaian dan juga kegiatan penunjang lainnya seperti pasar hasil agrowisata. Selain kecocokannya dengan kondisi tanah, hal lain yang harus menjadi perhatian adalah ketahanan komoditi tersebut dengan faktor cuaca. Di Kabupaten Bojonegoro sendiri hanya terdapat dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan dan intensitasnya bervariasi di tiap wilayah. Selain berbicara mengenai komoditas, kondisi fisik kawasan agropolitan juga tidak terlepas dari ketersediaan sarana dan prasarana fisik, seperti jalan, penerangan, serta fasilitas pendukung lainnya. Pertama adalah kecocokan komoditi dengan kondisi tanah desa. Dalam hal ini desa Ngringinrejo memiliki komoditi utama yaitu buah belimbing. Dalam sejarahnya pohon belimbing yang sudah ada sejak puluhan tahun di Desa Ngringinrejo, dahulu belimbing bukan tanaman utama desa tersebut. Sama dengan pertanian desa pada umumnya, padi dan palawija menjadi tanaman pokok warga desa. Namun, kondisi ini dirasa kurang cocok oleh warga pada masa itu, Karena seringkali hasilnya kurang maksimallantaran desa ini dikelilingi oleh aliran sungai Bengawan Solo, dimana dulu seringkali tertimpa banjir pada saat musim penghujan. Tanaman belimbing yang dirasa cocok dengan kondisi geografis dengan dapat lebih produktif menghasilkan buah, dimana setiap tahunnya belimbing dapat dipanen sebanyak 4 kali. Tanaman belimbing yang dirasa jauh lebih produktif daripada pohon jati yang memiliki waktu lama untuk mendapatkan hasilnya. Namun, tanaman lain seperti kelengkeng, jambu merah, dan jambu air juga dapat menghasilkan keluaran yang dirasa lumayan sebagai variasi selain tanaman belimbing. Selain itu, tanaman belimbing juga termasuk tanaman yang cocok di segala cuaca, dalam hal ini cocok dengan dua musim yang ada di Indonesia, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Bahkan Kabupaten
18
Bojonegoro merupakan salah satu Kabupaten yang dikenal dengan cuaca ekstrim dimana ketika musim penghujan akan tergenang banjir di beberapa wilayah, dan ketika musim kemarau juga terjadi kekeringan di banyak wilayah. Selain dikenal sebagai tanaman yang tahan terhadap musim hujan dan musim kemarau, tanaman belimbing di desa tersebut juga berfungsi untuk menahan erosi yang disebabkan oleh aliran sungai Bengawan Solo. Serta keberadaan sungai Bengawan Solo yang mengalir di pinggiran desa juga menguntungkan jika terjadi musim kemarau, yakni sebagai sumber air yang melimpah, ditambah dengan adanya bendungan di desa tersebut. Sedangkan terkait dengan ketersediaan sarana dan prasarana, di Desa Ngringinrejo sendiri, sarana dan prasarana pendukung hanya ada pemavingan, penerangan, gapura dan gazebo yang berasal dari Kabupaten. Selain itu, adanya sarana dan prasarana lain yang ditemui ketika berada di lokasi seperti papan penunjuk jalan, pagar, dan kemudian ada semacam tugu yang menandakan bahwa desa tersebut berhasil mendapatkan prestasi berupa “Anugerah Wisata Jawa Timur” merupakan hasil dari swadaya desa, dalam hal ini semua stakheholder, mulai dari pemerintah desa, lembaga-lembaga seperti Pokdarwis dan kelompok tani, serta masyarakat Desa Nringinrejo.
Penutup Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat diperoleh beberapa kesimpulan mengenai pemberdayaan masyarakat kawasan agropolitan Desa Ngringinrejo, yaitu sebagai berikut: 1.
Pemberdayaan masyarakat kawasan agropolitan Desa Ngringinrejo memiliki tanaman belimbing sebagai komoditas produk yang dihasilkan untuk menunjang dan menambah perekonomian warga desa sebagai suatu konsep desa mandiri.
2.
Pemberdayaan masyarakat kawasan agropolitan Desa Ngringinrejo melibatkan campur tangan masyarakat setempat, Pemerintah Desa, dan Pemerintah Kabupaten, namun hal tersebut belum memenuhi konsep Good Governance, Karena belum
19
melibatkan pihak swasta didalamnya. Namun dalam hal pelaksanaanmaupun hasil yang didapat merupakan suatu kemajuan dalam mewujudkan desa mandiri. 3.
Kerja sama antara berbagai pihak yang terlibat dalam mewujudkan desa mandiri pada kawasan agropolitan Desa Ngringinrejo antara lain adalah warga sekitar dan kelompok tani sebagai pelaksana (pengolah sumber daya yang ada) dan memiliki kontribusi atas sebagian dana yang digunakan; Pemerintah Desa sebagai penyumbang dana yang didapat dari APBDes; Pemerintah Kabupaten sebagai pengawas maupun pembantu dalam hal pelatihan dan promosi dari kawasan agrowisata Desa Ngringinrejo yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat desa dengan tujuan desa mandiri.
Saran 1.
Pemberdayaan kawasan agropolitan Desa Ngringinrejo harus dapat ditiru oleh desadesa lainnya supaya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa maupun menambah penghasilan masyarakat desa dan dapat pula menambah pendapatan daerahnya.
2.
Kerja sama antara masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta sangat diperlukan untuk lebih memaksimalkan pemberdayaan desa demi terwujudnya desa mandiri.
Daftar Pustaka Bappeda Provinsi Jawa Timur. 2015. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Minapolitan Provinsi JawaTimur. Borni Kurniawan. 2015. Desa
Mandiri, Desa
Membangun. Kementerian
Desa,
Pembangunan Daerah tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia. Jakarta. BPS. 2013. Potensi Pertanian Indonesia: Analisis Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian. www.bps.go.id. Diakses pada 31, Oktober 2016, pukul 19.36. Ita Ulumiyah, dkk. “Jurnal Administrasi Publik”, Vol. 1, No. 5. Universitas Brawijaya. Malang.
20
Johara Jayadinata, T. & I.G.P. Pramandika. 2006. Pembangunan Desa dalam Perencanaan. ITB. Bandung. Khoirul Fatihin. 2016. “Studi Perbandingan Tentang Ketimpangan Hasil Kebijakan Pengembangan Kawasan Budidaya Agropolitan”. Universitas Airlangga. Surabaya. UU Tahun 2014 Nomor 6 Tentang Desa. Yulistyo Suyatno. 2008. Penguatan Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peningkatan Daya Saing Produk Agribisnis Unggulan Di Kabupaten Semarang. Universitas Diponegoro. Semarang.
21