Warokka, dkk., Sengketa Tanah: Suatu Bentuk Pertentangan…
PEMBERDAYAAN GOVERNANCE DESA DALAM MEWUJUDKAN OTONOMI MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Lidah Tanah, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai)
Victor Lumbanraja, M. Arif Nasution, Ridwan Rangkuti
Abstract: Rural community autonomy is expected to be an “intermediate concept” for in passing discussion of congenital autonomy, meaning as traditional autonomy, in this case, rural society autonomy means society who has authority to govern rural, not rural government. After more than 4 years of implementation of the Laws No. 22 of 1999 (the last revised with the Laws No. 32 of 2004), rural society autonomy was still not implemented yet. It was closely related to the two main factors; 1) Internal factor including human capital, physical, economical and social available in a system; and 2) External factor including rural bureaucracy government. As a reference for determinant of the direction of the study, the writer formulated an assumption as follows: First, rural bureaucracy intervention is very dominant. Second, the human capital owned by the rural government is the higher than civil society capital and economical performers in spite of the capital distribution into the rural government elite. The result of study indicated that rural society autonomy was still not realized yet as a result of the changes in rural level after the implementation of rural autonomy policy failed to provide the rural governance with chance for self-organization. The content of rural governance capital was significantly various either type of or amount. The capital content very determines the interaction pattern. Meanwhile, the economic performers (directed/guided by the rural government) considerably depended on the government and the self-organizations mechanism still not proceeds. The rural government is a channel or requirements between regency and society it means that the rural government is a channel of receiving capital out of the rural governance element system. In fact, however, the distribution of capital through this channel especially economic capital such as Rural/Country Development fund (DPDK/K) and the rural entrance project was still significantly elite. Keywords: advocacy, governance, rural society autonomy PENDAHULUAN Hubungan pemerintah dengan pemerintah daerah dan desa selama Orde Baru diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, yang ditandai pada pola hubungan yang sentralistis dan tingginya dominasi pemerintah atas daerah dan desa sehingga daerah dan desa sangat tergantung pada pemerintah. UU Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan penggabungan pengaturan hubungan antara pemerintah dengan daerah dan desa. UU ini merupakan wujud baru
bagi penataan hubungan di antara tingkatan pemerintahan. Diawal pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999, banyak pihak berharap akan terjadi perubahan mendasar dalam penyelenggaraan tata pemerintahan hingga ke tingkat desa. Harapan ini didasarkan atas pemihakan kebijakan tersebut pada desa yang sangat tinggi. Dalam UU Nomor 22 tahun 1999 disebutkan bahwa Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintah sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri.
Victor Lumbanraja adalah Staf Dinas Pendapatan Provinsi Sumatera Utara M. Arif Nasution dan Ridwan Rangkuti adalah Dosen MPS SPs USU
76
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
Dari rumusan tersebut, kata kunci yang perlu diperhatikan adalah 1) desa mempunyai susunan asli, hak asal-usul dan bersifat istimewa; 2) pengaturan desa didasarkan pada keanekaragaman bukan keseragaman, partisipatif bukan top down, otonomi asli, demokratisasi bukan otoriter, dan pemberdayaan masyarakat bukan memberdayakan masyarakat. Pemihakan Undang-Undang ini terhadap prakarsa masyarakat sangat tegas terutama dalam hal pengakuan desa sebagai sub-sistem otonom dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan. Artinya otonomi desa bukanlah sebagai akibat dari azas desentralisasi tapi merupakan kewenangan yang memang sudah ada karena asal usul pembentukan seperti diatur dalam pasal 99. Masyarakat desa pada masa Orde Baru sangat tergantung pada birokrat di atas desa. Intervensi pemerintah dalam kehidupan pribadi maupun dalam perubahan-perubahan di desa termasuk penggabungan, pemecahan ataupun penghapusan desa sangat tinggi. Intervensi pemerintah juga terjadi dalam wujud proyekproyek yang dirancang dan dipandu dari atas. Sikap masyarakat dalam menanggapi dominasi pemerintah terbelah antara sikap apatis atau pro-aktif mengambil manfaat yang sebesarbesarnya bagi kepentingan diri sendiri. Hal ini diperparah lagi dengan pendekatan keamanan yang diterapkan pemerintah untuk mengontrol dinamika desa. Hal-hal yang sejalan dengan kebijakan pemerintah tentunya mendapat perhatian meskipun tidak selamanya perhatian tersebut mampu menumbuh kembangkan sikap kemandirian. Sementara hal-hal yang kurang sejalan dengan tujuan pemerintah tidak diperhatikan, bahkan dalam berbagai kasus dilarang. Akibatnya, inisiatif dan kreativitas masyarakat menjadi terpuruk, kapital yang dimiliki tidak berkembang sehingga sikap kemandirian masyarakat menjadi rendah. Perdebatan yang belum usai terutama dalam pemaknaan kata “Otonomi Asli” yang dibedakan menjadi, Pertama, aliran pemikiran yang memaknai “Otonomi Asli” adalah “Otonomi Adat”. Sistem otonomi ini berakar pada masyarakat adat di desa dalam menimbulkan prakarsa membentuk otonomi desa yang didasarkan atas (kebudayaan) asal-usul (baca: adat). Perubahan di desa ataupun di aras (kabupaten dan kecamatan) akibat pelaksanaan
kebijakan desentralisasi maupun oleh karena pemekaran, penggabungan, penghapusan maupun pembentukan baru akan mempengaruhi satuan administratif, teritorial dan struktur sosial desa/kecamatan. Perubahan itu sekaligus berimplikasi terhadap kapital yang tersedia dalam elemen governance desa. Beberapa alasan penyebab mengapa otonomi masyarakat desa belum terwujud adalah 1) pemerintah desa belum efektif, 2) Badan Perwakilan Desa masih lemah dan 3) partisipasi masyarakat masih rendah. Dengan demikian peluang yang terkandung dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 belum dapat dimanfaatkan oleh governance desa untuk mengatur dirinya sendiri. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu: Faktor Esternal, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan luar elemen governance desa, seperti bentuk, jenis dan pola pengaturan birokrasi di atas desa yang bermuara pada distribusi kewenangan ditiap tingkatan pemerintahan. Penelitian ini menawarkan gagasan bahwa otonomi desa merupakan “otonomi masyarakat desa” yaitu suatu kondisi di mana pengaturan desa dilakukan oleh masyarakat melalui institusi/kelembagaan masyarakat; bukan oleh pemerintahan desa semata. Ini berarti yang otonom adalah masyarakatnya sehingga disebut sebagai otonomi masyarakat desa. Gagasan ini diharapkan mampu menjadi jalan tengah (aliran pemikiran ketiga) untuk mengatasi kebuntuan kedua pemikiran di atas. Hal ini tentunya menuntut berbagai perubahan di seluruh tingkatan pemerintahan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi tersebut. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah Perubahanperubahan apa saja yang telah terjadi di tingkat kabupaten dan kecamatan, baik yang menghambat maupun mendukng terwujudnya otonomi masyarakat desa? Dan bagaimana akumulasi kapital internal dan distribusi kapital eksternal terjadi dalam elemen governance desa? Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah dengan tujuan menjawab pertanyaan dasar yaitu ”Mengapa otonomi masyarakat desa belum terwujud?”. Pertanyaan tersebut diharapkan akan terjawab melalui penggambaran pola-pola intervensi terhadap desa oleh pemerintah di aras desa serta menggambarkan kondisi kapital governance desa.
77
Lumbanraja, dkk., Pemberdayaan Governance Desa…
Pola-pola intervensi tersebut digambarkan dengan cara mengidentifikasi jenis-jenis, bentuk dan pola pengaturan desa oleh birokrasi di aras desa; sementara kapital governance desa dibahas dengan cara mempelajari jenis, bentuk dan ketersediaan kapital dalam governance desa.Berdasarkan hal tersebut, maka akan dapat dirumuskan strategi pemberdayaan tiap elemen governance desa; yang diharapkan akan menjadi sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dalam merumuskan strategi terhadap upaya-upaya perwujudan otonomi masyarakat desa. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan harapan dapat menggambarkan kondisi kapital elemen governance desa sebagai landasan bagi penelitian berikutnya. Penelitian ini berlokasi di Desa Lidah Tanah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Teknik penentuan informan untuk penelitian ini dilakukan dengan Purposif, oleh karena itu informan terpilih didasarkan kriteria utama yaitu mewakili unsur yang diteliti dan dianggap mengetahui permasalahan yang diteliti. Informan tersebut bisa berupa ketua atau anggota dari elemen governance desa yaitu civil society, pemerintahan desa dan pelaku ekonomi. Data yang dikumpulkan peneliti berupa data sekunder seperti dokumen tertulis dari kabupaten, kecamatan dan desa baik yang bersifat pengaturan (kebijakan atau peraturan daerah) maupun informasi penting lainnya. Data primer yang dikumpulkan berupa hasil pengamatan (deskriptif rinci mengenai situasi, kejadian/peristiwa, orang-orang, interaksi, perilaku yang diamati), pembicaraan (kutipan langsung dari pembicaraan informan mengenai keyakinan, pendapat atau pemikirannya) maupun hasil diskusi. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengakses instansi pemerintah diberbagai level. Sementara itu pengumpulan data primer dilakukan dengan cara triangulasi metoda yaitu dengan wawancara dan diskusi kelompok terbatas. PEMBAHASAN Kini desa memasuki babak baru ketika desentralisasi dan demokrasi lokal mengalami kebangkitan, menyusul lahirnya UU Nomor 22
78
Tahun 1999. Bagaimanapun, desentralisasi dan demokrasi lokal merupakan solusi yang manusiawi bagi pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Keduanya secara normatif bisa mendorong tumbuhnya kemandirian masyarakat lokal, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mendekatkan pelayanan publik, meningkatkan pemerintahan lokal yang transparan dan akuntabel, dan memperkuat partisipasi masyarakat lokal. Tetapi praktek desentralisasi, mulai dari kebijakan sampai praktek empirik pengelolaan kekuasaan, mengandung sejumlah kelemahan yang ujungnya adalah ruang yang terbatas bagi otonomi daerah. Berbagai kelemahan praktek desentralisasi yang tidak berpihak pada desa dan sekaligus menguatnya tuntutan lokal atas otonomi desa, membawa konsekuensi bahwa desentralisasi harus ditinjau kembali dan di-desakan agar benar-benar sampai ke desa. Pemerintah di Indonesia telah lama tidak membutuhkan kultur terhadap leadership yang transformatif, melainkan hanya menumbuhkan budaya priyayi, perhambaan, klientelisme, birokratis, dan headship. (Suroto, Eko, 2003). Masalah ini merupakan tantangan serius bagi pembaharuan kepemimpinan dan kepemerintahan desa. Kepemimpinan di desa tidak lagi dimaknai sebagai priyayi benevolent maupun kepemimpinan yang birokratis, melainkan harus digerakkan menuju kepemimpinan transformatif. Yaitu para pemimpin desa yang tidak hanya rajin beranjangsana, melainkan para pemimpin yang mampu mengarahkan visi jangka panjang, menggerakkan komitmen warga desa, membangkitkan kreasi dan potensi desa. BPD dan masyarakat adalah aktor yang melakukan kontrol untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah desa. Ketika ruan BPD ini dimainkan dengan baik secara impersonal, maka akan memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap akuntabilitas pemerintah desa. Meskipun tidak ditegaskan dalam perangkat peraturan, menurut standar proses politik, masyarakat juga mempunyai ruang untuk melakukan kontrol dan meminta pertanggung jawaban pemerintah desa. Sebaliknya, pemerintah desa wajib menyampaikan pertanggung jawaban (Laporan Pertanggung Jawaban-LPJ) tidak hanya kepada BPD, melainkan juga kepada masyarakat. Sebuah pandangan dari masyarakat melihat demokratisasi bukan sekadar sebagai suatu
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
periode transisi terbatas dari suatu set aturanaturan rezim formal ke suatu set lainnya, tetapi lebih sebagai sebuah proses berkesinambungan, sebuah tantangan abadi, sebuah perjuangan yang terus berulang. Proses inilah yang menjadi domain masyarakat sipil. Dalam konteks pembangunan dan pemerintahan desa, partisipasi masyarakat terbentang dari proses pembuatan keputusan hingga evaluasi. Proses ini tidak semata-mata didominasi oleh elit-elit desa melainkan juga melibatkan unsur-unsur lain seperti perempuan, pemuda, kaum tani, buruh dan sebagainya. Forum-forum seperti forum RT, musbangdus, musbangdes maupun rembug desa, bisa digunakan bagi pemerintah desa untuk mengelola proses akuntabilitas dan transparansi, sementara bagi masyarakat bisa digunakan untuk berpartisipasi melalui voice, akses dan kontrol. Kontrol masyarakat terhadap elit lokal merupakan indikator penting dalam partisipasi, sebagai arena yang memungkinkan elit lokal itu bertanggung jawab dan tanggap terhadap kepentingan warga. Tentu saja ruang kontrol masyarakat harus dilegalkan dalam aturan main baik undang-undang, peraturan daerah maupun peraturan desa. Membangun civil society maupun masyaraat partisipatif di desa tidak harus berangkat dari titik nol. Meski sebagian besar organisasi di desa bersifat korporatis (bentukan dari atas secara seragam), tetapi organisasi itu bisa dibingkai ulang dengan bersandar pada prinsip partisipasi. Masyarakat dapat memanfaatkan organisasi-organisasi lokal bukan hanya untuk kegiatan seremonial atau untuk selfhelp tetapi juga bisa digunakan sebagai basis partisipasi dalam pembangunan dan pemerintahan desa. Peneliti menghantarkan diskusi dengan menyampaikan pengertian kapital manusia, kapital ekonomi, kapital fisik dan kapital sosial. Pertama, kapital manusia dibentuk melalui perubahan dalam individu yang berkaitan dengan keterampilan dan kemampuan yang memampukan mereka bertindak dengan cara-cara baru, (Schultz, 1961; Becker, 1964 dalam James S. Coleman, 1999). Dalam penelitian ini kapital manusia berkaitan dengan pengkaderan kepemimpinan, tingkat pendidikan pengurus dan anggota serta pengalamannya dalam pelatihan maupun kegiatas berorganisasi dan komposisi antara pria dan wanita baik sebagai anggota maupun sebagai pengurus.
Kedua, kapital ekonomi yang dikaji meliputi uang tunai, deposito, tabungan atau setara dengan uang yang dimiliki organisasi. Dalam studi ini kapital ekonomi mengacu pada upaya pemupukan modal dalam Kelompok Masyarakat maupun usaha perorangan. Upaya pemupukan modal di organisasi dapat dibedakan atas simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarala. Ada kalanya, organisasi menerapkan simpanan sosial yaitu tabungan dalam kelompok yang akan digunakan untuk bantuan sosial seperti anggota/keluarga meninggal, sakit dan lain-lain. Ketiga, kapital fisik dianalisis berdasarkan jenis-jenis sumberdaya fisik yang dimiliki elemen governance seperti tanah, bangunan, kantor dan peralatannya serta sarana dan prasarana lain yang mungkin ada. Untuk itu peneliti akan melakukan inventarisasi jenis kapital fisik yang ada. Keempat, kapital sosial menurut James S Coleman (1999) dalam Partha Dasgupta, dan Ismail Serageldi (1999) mengandunga aspek struktur sosial yang memfasilitasi tindakan tertentu dari seorang aktor yaitu manusia atau korporasi. Oleh karena definisi kapital sosial sangat beragam, peneliti mendefinisikan kapital sosial seperti yang dikemukakan oleh Michael Woolcock and Depa Narayan (1999) yaitu berkaitan dengan siapa yang kamu kenal bukan apa yang diketahui, berkaitan dengan normanorma dan relasi sosial yang melekat dalam struktur masyarakat yang memungkinkan orangorang mengkoordinasikan tindakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, serta dengan kepercayaan sosial (social trust), norma-norma dan jaringan kerjasama. Kemudian peneliti menerangkan hubungan keempat kapital tersebut dengan teori pertukaran sosial (cost and benefit) di mana dapat disimpulkan bahwa desa akan menjadi kuat atau otonomi masyarakat desa terwujud jika terdapat pelayanan yang diberikan desa kepada organisasi-organisasi civil society karena organisasi tersebut sudah memenuhi kewajibannya pada pemerintah desa. Pemerintahan Desa Badan Perwakilan Desa 1. Ketidak aktifan anggota BPD telah diatur dalam tatib BPD, di mana anggota BPD yang tidak aktif agar segera diganti, namun demikian, Peraturan Tata Tertib yang dibuat
79
Lumbanraja, dkk., Pemberdayaan Governance Desa…
2.
3.
4.
5.
oleh BPD masing-masing desa terbentur oleh adanya ketentuan tentang mekanisme Penggantian Antar Waktu (PAW) yang diterbitkan dalam bentuk Surat Keputusan Bupati. Pertanggungjawaban tugas BPD dalam bentuk penyaluran aspirasi masyarakat sudah disampaikan langsung kepada Pemdes. Kinerja BPD dinilai langsung oleh masyarakat. Mekanisme pertanggung jawaban BPD diatur melalui ketentuan; sehingga penyampaian pertanggung jawaban BPD bukanlah merupakan suatu “kewajiban” hukum; hanya didasari oleh tanggung jawab moril. Keseimbangan elemen governance desa (pemdes, pelaku ekonomi, civil society) masih relatif kurang baik, disatu sisi terlihat bahwa hubungan tersebut saling menguntungkan namun dalam beberapa hal hubungan tersebut belum menunjukkan manfaat karena masih jamak terlihat masyarakat tereksploitasi/ terpinggirkan. Kewenangan yang dimiliki desa hingga sekarang belum menghantarkan desa pada kondisi otonom. Musbangdes belum mengikutsertakan komponen-komponen penting desa dan penyusunan APBD masih dilaksanakan secara ”tertutup” ; sehingga transparansi keuangan belum berjalan.
Pemerintah Desa 1. Pemerintah desa menyikapi ketentuan yang diterbitkan dalam bentuk Surat Keputusan Bupati menjadi pedoman yang mengikat. Inisiatif dari masyarakat untuk tampil beda dari pedoman yang ditetapkan kabupaten juga tidak terlihat. Masyarakat tidak berani berimprovisasi. Bahkan produk hukum yang dibuat desa (dalam bentuk perdes maupun SK Kades) menempatkan masyarakat pada sisi yang tidak menguntungkan, sehingga produk hukum tersebut tidak dipatuhi oleh masyarakat. 2. Pemerintah kabupaten masih setengah hati dalam menyikapi ”otonomi masyarakat desa”. Padahal, UU Nomor 22 Tahun 1999, memberikan peluang yang cukup besar. Misalnya, dalam penyebutan BPD di mana UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan peluang terhadap sebutan lembaga ini, namun Perda Kabupaten dengan tegas menggunakan
80
3.
4.
5.
6.
7.
istilah “Badan Perwakilan Desa”, yang diikuti oleh seluruh desa. Peraturan Daerah yang dibuat oleh pemerintah kabupaten selama ini tidak dikomunikasikan kepada masyarakat secara luas, ironisnya, hanya disosialisasikan di lingkungan DPRD, bukan kepada masyarakat sebagai “konsumen”. Sejak pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999, banyak wacana yang timbul. Misalnya, Surat Keputusan Bupati yang direkomendasikan oleh DPRD tidak hanya mengatur pemerintahan saja. Sementara DPRD selain sebagai legislatif juga berfungsi sebagai pengawasan. Antara legislatif dan eksekutif memiliki hubungan kemitraan yang sejajar. Dalam Surat Keputusan Bupati dinyatakan bahwa kabupaten berkewajiban melakukan pembinaan, bukan penyeragaman. Namun, yang terjadi pada dasarnya Surat Keputusan Bupati membuat penyeragaman, bahkan sampai mengatur ke lencana KORPRI. Penyeragaman desa ini bukan di tingkat nasional tetapi di tingkat kabupaten. Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban pemdes, akar permasalahan terletak pada kewenangan desa yang tidak jelas. Misalnya dalam hal “tugas pembantuan” terdapat syarat-syarat yang telah diatur dalam Undang-Undang, dan untuk itu desa berhak menolak tugas pembantuan bila persyaratan tersebut tidak dipenuhi. Namun yang terjadi adalah desa tidak pernah menolak tugas pembantuan yang diserahkan oleh pemerintah aras desa, walaupun tidak memenuhi persyaratan. Peran Civil Society vertikal sangat penting untuk mengawasi pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999. Pada umumnya, civil society yang ada di desa bersifat vertical, baik dari kecamatan maupun dari kabupaten, dan cenderung sebagai organisasi “plat merah” sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya. Pada dasarnya Self Governing Community memberi pengertian bahwa masyarakat yang mengatur dirinya sendiri sedangkan kabupaten hanya memberikan pedoman. Berkenaan dengan hal ini masyarakat justru mempertanyakan pengertian desa sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum. Karena umumnya seluruh ketentuan mengenai desa
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
yang diterbitkan oleh pemerintah aras desa tidak menyentuh “kultur” masyarakat. 8. Laporan pertanggungjawaban Kepala Desa disampaikan kepada BPD bersamaan dengan pelaksanaan Musbangdes. Namun, karena peserta Musbangdes sangat terbatas maka Laporan tersebut tidak tersosialisasi-kan, di samping sebagian masyarakat belum mengetahui apa yang dimaksud dengan Musbangdes. Sesungguhnya proses diskusi kelompok terbatas di tiap elemen governance desa hingga diskusi pleno merupakan bagian dari strategi pemberdayaan itu sendiri sebab selama proses diskusi berlangsung telah terjadi saling tukar informasi antara peneliti dan peserta. Perubahan di aras desa dan pola hubungan antara desa dengan aras desa dalam kaitannya dengan otonomi masyarakat Kebijakan desentralisasi telah mengakibatkan terjadinya pola hubungan antara desa, kecamatan dan kabupaten. Hal ini terkait dengan distribusi kewenangan yang terjadi antara kabupaten, kecamatan dan desa. Kewenangan tersebut akan menentukan bentuk pengaturan hubungan di antara ketiga tingkatan pemerintah. Hubungan antara kabupaten, kecamatan dan desa dapat dipetakan seperti gambar berikut: Dari gambar dibawah ini terlihat telah terjadi pergeseran hubungan yang semula antara desa-kecamatan menjadi desa-kabupaten. Pengaturan kabupaten sebagai daerah otonom dilakukan Pemda Kabupaten dan DPRD tanpa kontrol dari civil society. Kemudian pengaturan hubungan antara kabupaten dan desa dilakukan melalui berbagai perda dan SK Bupati, demikian halnya pengaturan hubungan kabupaten dan kecamatan. Sementara pengaturan hubungan kecamatan dan desa tidak ada. Tapi dalam praktek pemerintahan, peran kecamatan masih tinggi dalam mengatur desa dalam bentuk surat rekomendasi dan koordinasi. Dari hasil penelitian tampaklah bahwa intervensi birokrat di atas desa sangat dominan. Intervensi merupakan bentuk dari kewenangan yang dimiliki kabupaten dan kesalahpahaman akan makna otonomi daerah dan otonomi desa. Bentuk-bentuk intervensi tersebut diwujudkan dalam berbagai pengaturan desa. Perubahan yang terjadi di desa hanya dipermukaan saja; belum prinsipil. Penyelenggaraan pemerintahan desa masih bersifat elistis, distribusi kapital eksternal
belum proporsional (hanya dikuasai pihak-pihak yang dekat dengan pemerintah desa), organisasi standard tidak terdorong untuk mengoptimalkan perannya karena sangat tergantung pada pemerintah desa. Perubahan-perubahan di aras desa dapat dalam kaitannya dengan perwujudan otonomi masyarakat desa, adalah: 1. Perubahan di tingkat kabupaten diawal pelaksanaan otonomi daerah didorong oleh kekeliruan penafsiran hakekat otonomi daerah. Otonomi daerah dipahami sebagai upaya-upaya meningkatkan pendapatan asli daerahh bukan mendekatkan pelayanan pada masyarakat. Akibatnya pembenahan di tingkat kabupaten terkonsentrasi pada upaya peningkatan pendapatan. 2. Pasca Pemekaran, terjadi perubahan administratif desa dalam lingkup kecamatan, di mana terjadi penambahan jumlah kecamatan yang semula 11 menjadi 13 kecamatan. Konsekuensinya adalah bertambahnya jumlah camat baru, di samping bertambahnya kebutuhan sarana dan prasarana kantor serta kebutuhan staf ataupun pembentukan cabangcabang dinas yang baru. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan anggaran rutin yang seharusnya dapat dialokasikan untuk belanja publik. 3. Pelimpahan sebagian kewenangan Bupati pada Camat tidak mengatur tentang KTP dan pemungutan PBB. Pada dasarnya, kedua hal tersebut bukanlah kewenangan kecamatan, namun dalam prakteknya penandatanganan KTP masih dilakukan oleh camat, di samping itu, camat senantiasa memantau desa dalam pemenuhan target-target pelunasan PBB sehingga desa terbebani dengan upaya-upaya pemenuhan target-target pelunasan PBB sehingga desa terbebani dengan upaya-upaya pemenuhan target PBB ini. 4. Di antara civil society yang ada di kabupaten ternyata belum mampu menjadi kekuatan penyeimbang di antara elemen governance pemerintah daerah (local governance). Hal ini disebabkan : 1) civil society yang ada pada umumnya adalah civil society horizontal ; 2) parpol pemenang pemilu bukanlah sebagai civil society karena mereka merupakan bagian dari pemerintah daerah. Sementara parpol bukan pemenang pemilu tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah.
81
Lumbanraja, dkk., Pemberdayaan Governance Desa…
5.
6.
7.
8.
82
Akibatnya peran civil society di kabupaten sangat kecil. Perubahan dalam pengalokasian anggaran desa yang selama ini bersifat Inpres didesentralisasikan dalam bentuk Dana Pembangunan Desa/Kelurahan. Perubahan ini merupakan basis bagi desa untuk menata kembali organisasinya dan membiayai kegiatannya dibantu oleh pendapatan asli yang berhasil mereka kumpulkan. Dalam hal ini, besaran dana tersebut perlu dikaji kembali karena justru setelah pelaksanaan otonomi daerah terjadi penurunan. Pelimpahan kewenangan yang jelas pada camat merupaka sumber rujukan yang pasti terhadap tugas dan fungsi kecamatan. Namun, dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari peran camat atas nama “koordinasi dan fasilitasi” masih dominan untuk mengatur jalannya pemerintahan desa. Padahal bila sungguhsungguh konsisten dalam batas kewenangan yang ada, maka peran kecamatan dalam mengatur desa adalah kecil. Pemerintah Kabupaten turut mendorong tumbuhnya civil society vertikal seperti Asosiasi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (Asosiasi LPM) Kabupaten. Civil Society yang berbentuk asosiasi sebenarnya memiliki peluang besar sebagai kekuatan penyeimbang pemerintah kabupaten bila mampu melepaskan kepentingannya dengan birokrasi dan memperkuat organisasi elemen pembentuknya. Bila ini dilakukan maka peluang terjadinya benturan kepentingan antara organisasi dibawahnya yaitu pemerintah desa dan LKMD menjadi kecil dan organisasi pembentuknya menjadi kuat. Salah satu pelaku ekonomi yang relatif potensial untuk dikembangkan oleh pemerintah kabupaten Serdang Bedagai adalah Badan Usaha Milik Desa. Badan usaha ini memiliki harapan untuk membantu kas desa dan juga mengembangkan usahausaha masyarakat yang tumbuh di desa tersebut. Namun demikian harapan tersebut sangat ditentukan oleh banyak faktor terutama bagaimana pengelolaan Badan Usaha tersebut, misalnya jenis usaha, akuntabilitas dan ketersediaan kapital dalam organisasi tersebut. Namun, upaya Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai
dalam menumbuhkembangkan Badan Usaha Milik Desa baik dalam pemberian bantuan perkapital maupun dukungan kebijakan sehingga menjadi badan usaha yang mandiri, belum ada. Selanjutnya, kewenangan merupakan kekuasaan untuk melakukan pengaturan. Kewenangan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk, pola dan jenis-jenis pengaturan. Oleh karenanya untuk mengidentifikasi pengaturan tersebut dilakukan dengan cara mempelajari distribusi kewenangan. Distribusi kewenangan yang terjadi dipetakan sebagai berikut : 1. Distribusi Kewenangan PemerintahKabupaten Distribusi kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten dilakukan melalui azas desentralisasi dan tugas pembantuan. Melalui azas desentralisasi sesuai pasal 7 dari pasal 11 UU Nomor 22 Tahun 1999, distribusi kewenangan ini menempatkan kabupaten sebagai daerah otonom yang memiliki ekonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Melalui kewenangan yang dimiliki tersebut, pemerintah kabupaten dan DPRD melakukan pengaturan di wilayah kabupaten. Jumlah produk peraturan daerah yang dihasilkan meningkat antara tahun 2001 dan 2002. Tahun 2001 peraturan daerah yang ditetapkan lebih terfokus pada bagaimana meningkatkan pendapatan asli daerah. Jumlah perda yang berkaitan dengan retribusi daerah meningkat hingga mencapai 35,1% dari seluruh produk perda yang ditetapkan. Sementara pengaturan desa ditetapkan melalui 13 (24,07%) peraturan daerah dan 20 % nya mengatur tentang organisasi pemerintah kabupaten. Menyikapi pelaksanaan otonomi daerah, perda-perda yang dihasilkan 40% di antaranya adalah tantang pendapatan asli daerah, 30% tentang anggaran, 10% tentang badan usaha daerah, dan 10% tentang program pembangunan daerah. Dari data di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa langkah-langkah Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dalam menyikapi otonomi daerah adalah diawali dengan upaya peningkatan pendapatan asli daerah, mengatur desa dan menata kelembagaan yang ada dalam organisasinya, pengukuhan badan usaha daerah dan penetapan program pembangunan daerah. Upaya peningkatan pendapatan asli daerah melalui peningkatan retribusi daerah dilatar-
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
belakangi oleh pemikiran yang bahwa dalam rangka otonomi daerah agar pemerintah daerah mampu membiayai dirinya sendiri maka pendapatan daerah harus ditingkatkan. Untuk itu masyarakat didorong membayar berbagai bentuk pajak dan retribusi. Padahal otonomi daerah pada hakekatnya mendekatkan pengambilan keputusan dan pengalokasian anggaran yang semula berada di pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten. Oleh karena itu, pengambilan keputusan akan menjadi lebih cepat dan didasarkan atas kebutuhan masyarakatnya. Bila demikian pemahaman birokrat di kabupaten maka upaya peningkatan pendapatan asli daerah seharusnya diiringi dengan upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Ini berarti bahwa desa memiliki kewenangan sendiri namun tidak secara jelas diatur oleh UU No. 22 Tahun 1999 maupun peraturan daerah Kabupaten Serdang Bedagai (d/h Kabupaten Deli Serdang). Jadi dapat disimpulkan bahwa pengaturan desa oleh kabupaten masih diwarnai oleh pemahaman akan pemaknaan otonomi desa sebagai otonomi adat bukan sebagai otonomi masyarakat. Pengaturan kabupaten terhadap desa menunjukkan bahwa intervensi (campur tangan) pemerintah kabupaten dalam pengaturan desa sangat dominan. Hal ini akan berdampak pada penyeragaman kembali pemerintah desa. Artinya tiap desa di Kabupaten Serdang Bedagai (d/h Kabupaten Deli Serdang) diatur oleh peraturan yang sama sehingga banyak hal-hal yang sama terdapat ditiap desa tersebut. 2. Distribusi Kewenangan Kabupaten ke Kecamatan Mengacu pada pasal 66 UU Nomor 22 Tahun 1999, Camat merupakan perangkat daerah otonom. Camat diangkat oleh Bupati atas usul sekretaris daerah. Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati. Di Kabupaten Serdang Bedagai (d/h Deli Serdang) sebagian kewenangan Bupati telah dilimpahkan pada camat. Tapi bila dicermati, kewenangan yang diberikan pada camat hanyalah sebatas menerbitkan surat izin, penandatanganan surat-surat tertentu termasuk persetujuan pengangkatan dan pelantikan pejabat Kepada Desa, pengajuan rekomendasi sebagai dasari pertimbangan bagi Bupati untuk mengambil keputusan, penilaian dan pekantikan pejabat tingkat kecamatan dengan pangkat maksimal sama dengan camat.
Dengan kewenangan yang ada tersebut, peran camat dalam mengkoordinasikan sumberdaya kecamatan agar pembangunan kecamatan sebagai basis pembangunan wilayah belum optimal karena belum mengoptimalkan peranan camat dalam urusan-urusan desa seperti penangaan kerjasama antar desa, optimalisasi pemanfaatan pelayanan lintas desa seperti puskesas, pembangunan jalan antar desa dan lainlain. 3. Kewenangan Desa yang Pernah Ada Kewenangan Desa dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun dalam peraturan daerah tidak jelas. Padahal kewenagan merupakan elemen bagi kekuasaan untuk melakukan pengaturan. Berdasarkan ketentuan, seyogianya kewenangan menandatangani KTP berada pada Kepala Desa karena camat bukan lagi atasan langsung dari Kepala Desa. Hasil wawancara maupun diskusi kelompok terbatas membuktian bahwa kewenangan desa sangat sumir. Padahal bila pemerintah kabupaten menelusuri kewenangan-kewenangan apa saja yang pernah dimilki desa sebagaimana Endang Suhendar (2002) mengutup pendapat Bayu Surjaningrat (1981) bahwa kerenagan tersebut sangat jelas. Manurutnya kewenangan desa pada masa kolonial di antaranya adalah menyelenggarakan seluruh urusan desa, mengelola sekolah desa, pemeliharaan jalan desa, saluran desa, jembatan, bangunan dan penambangan desa lainnya, bank desa, lumbung desa, pengaturan ketenaga-kerjaan desa dalam pertanian, dan ronda desa. Kandungan Kapital Elemen governance Desa Dalam Kaitannya Dengan Otonomi Masyarakat Bila ditinjau dari akumulasi kapital internal, tampak bahwa kondisi kapital elemen governance mulai terpupuk setelah terjadinya pergantian kepala desa. Akumulasi kapital internal bersifat fluktuatif, di mana pada masa pemerintahan kepala desa yang lama, kepercayaan masyarakat rendah, mengakibatkan menurunnya akumulasi kapital internal. Setelah kepemimpinan kepala desa yang baru, pemerintah desa dan BPD mulai dapat bekerja sama, hal ini mengindikasikan bahwa kapital sosial mulai tumbuh. Kapital ekonomi desa dicerminkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang secara garis besar dibagi atas pos
83
Lumbanraja, dkk., Pemberdayaan Governance Desa…
pendapatan dan pos pengeluaran. Data APBDes menunjukkan bahwa tiap tahun saldo kas akhir tahun nihil, seperti yang disajikan pada Tabel 1. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa desa tidak bisa menabung, proyeksi anggaran (rencana) tiap tahun terlalu optimis padahal realisasinya tiap tahun kurang dari 50% dan komitmen pemerintah kabupaten dalam membantu sumber pendapatan desa melalui Dana Pembangunan Desa/Kelurahan tidak terpola. Pada tahun anggaran berjalan, manakala realisasi pencapaian target terhadap proyeksi yang telah ditetapkan sangat rendah, APBDes tersebut tidak pernah direvisi atau ditinjau kembali hingga berakhirnya tahun anggaran. Hal ini sangat berbeda dengan Kabupaten dan Provinsi yang mengenal system “Perubahan APBD (P-APBD)” pada pertengahan tahun anggaran berjalan apabila prediksi pendapatan dan pengeluaran diperkirakan akan mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah desa tidak terbiasa untuk melakukan pengkajian terhadap APBDes yang telah ditetapkan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa peluang yang ditimbulkan UU Nomor 22
Tahun 1999 agar otonomi masyarakat desa dapat terwujud maupun peluang yang tersedia akibat terjadinya perubahan di kecamatan dan desa tidak mampu dimanfaatkan oleh komponen governance desa. Seyogianya peluang unuk menumbuhkembangkan civil society di desa di era UU Nomor 22 Tahun 1999 sangat besar. Pemikiran ini didasarkan pada alasan bahwa dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 telah terjadi perluasan ruang publik yang semula di antara keluarga dan pemerintah desa menjadi antara keluarga dengan pemerintah kabupaten, dan keberadaan civil society dijamin oleh pasal 106 UU No. 22 Tahun 1999. Ketidakmampuan untuk memanfaatkan peluang ini erat kaitannya dengan kondisi kapital yang dimiliki elemen governance desa yang sangat minim. Dari uraian di atas, belum terwujudnya otonomi masyarakat desa dalam hubungannya dengan kandungan kapital, disebabkan oleh: 1. Perbedaan Kapital Elemen Governance Desa 2. Akumulasi Kapital Internal belum terjadi 3. Sikap Kemandirian Civil Society rendah Perbedaan kandungan kapital terjadi di antara ketiga elemen governance desa menyebabkan interaksi di antara ketiganya
Tabel 1. Realisasi APBDes Lidah Tanah Tahun 2002-2004 No Uraian Tahun 2002 Tahun 2003 1 Pendapatan 38.000.000,36.000.000,2 Pengeluaran 38.000.000,36.000.000,3 Saldo 0 Sumber : Laporan Pertanggung Jawaban Kepala Lidah Tanah Tahun 2002-2004
belum seimbang. Dominasi pemerintah desa sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh kondisi kapitalnya yang lebih dominan dibandingkan dua elemen governance lainnya dan secara normatif, pemerintahan desa merupakan regulator di tingkat desa. Dengan demikian pemerintah desa mengatur organisasi di desa sesuai dengan pasal 106 UU No.22 Tahun 1999. Di samping itu, pemerintah desa juga dapat menetapkan berbagai peraturan desa yang mengatur tentang peningkatan sumbersumber pendapatan asli didesa. Akumulasi kapital internal melalui kesepakatan-kesepakatan terutama kapital ekonomi tidak berjalan dengan baik. Iuran, tabungan, sumbangan atau apapun namanya yang diharapkan organisasi dari anggotanya tidak berjalan dengan baik. Akibatnya organisasi tidak
84
Tahun 2004 37.940.000,37.940.000,0
0
memiliki kemampuan untuk menghidupi dirinya sendiri. Di samping itu, kapital eksternal seperti Dana Pembangunan Desa/Kelurahan maupun proyek masuk desa belum terdistribusikan secara proposional karena pemerintah desa sebagai regulator belum mampu menciptakan mekanisme yang “adil” di antara komponen governance lainnya. Pemerintah desa sebagai salah satu saluran kapital eksternal juga diliputi permasalahannya sendiri. Bila akumulasi kapital internal tidak terjadi di tiap elemen governance ditambah lagi distribusi kapital eksternal berlangsung hanya pada pemerintahan desa dan organisasi standar yang dekat dengannya, maka seiring dengan bertambahnya waktu, maka kapital yang dimiliki elemen governance desa akan semakin menyusut.
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
Hal tersebut secara berkaitan langsung dengan akumulasi dan distribusi kapital. Kandungan kapital internal civil society sangat lemah sementara potensi kapital dari luar tidak mampu diperoleh. Hal ini disebabkan karena civil society ini masih pada tahap konsolidasi internal sehingga lebih mementingkan dirinya sendiri. Selain itu kemandirian civil society organisasi standar sangat rendah. civil society yang ada pada umumnya sangat tergantung pada pemerintah desa. Kondisi civil society seperti ini jelas tidak dapat diharapkan sebagai penyeimbang interaksi di antara ketiga elemen governance desa. Pengaturan Desa oleh Governance Desa Hasil pengamatan menunjukkan bahwa masyarakat atau individu terkait langsung dalam proses pemerintahan desa dalam hal-hal tertentu saja. Masyarakat/individu pada pemilihan kepala desa berhak menentukan pilihannya sendiri. Namun setelah kepala desa terpilih, pengawasan oleh masyarakat dilakukan melalui wakilnya yang dipilih secara langsung dalam BPD. Sebaliknya masyarakat mendapatkan pelayanan dari pemerintah berupa jasa seperti pengurusan surat-surat, KTP, dll. Namun pelayanan tersebut tidaklah gratis, karena pelayanan tersebut oleh pemerintah desa dikategorikan sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa. Peran pemerintah desa sebagai regulator ditunjukkan dengan penetapan berbagai peraturan desa dan sebagai regulator ditunjukkan dengan penetapan berbagai peraturan desa dan keputusan kepala desa, termasuk yang mengatur kelembagaan sosial di desa, terutama organisasi standar. Surat Keputusan yang ditetapkan kepala desa mengatur tentang susunan organisasi LKMD, Karang Taruna, PKK, Kelompok Tani, P3A, dan panitia-panitia yang dibentuk untuk tugas-tugas tertentu. Salah satu penyebab timbulnya “konflik” antara kepala desa dengan BPD adalah karena BPD lebih mengedepankan peran dan fungsinya sebagai “pengawas” pemerintah desa dibanding tugas dan fungsi lainnya. Mekanisme penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat belum ada, sehingga laporan pertanggungjawaban kepala desa yang disampaikan pada masyarakat melalui BPD sesungguhnya hanya pada BPD saja.
Bila ini terus berlanjut, maka dikhawatirkan BPD akan “mendikte pemerintah desa” atas nama masyarakat. Itu berarti penyelenggaraan pemerintahan desa hanya oleh elite tertentu yang berbagi kekuasaan yaitu antara kepala desa dan elite BPD. BPD mempunyai kekuatan tinggi untuk mendorong pemerintah desa untuk mengalokasikan anggaran pada BPDes untuk peningkatan kesejahteraan mereka, karena hal inilah satu-satunya sumber kapital ekonomi bagi BPD. Posisi BPD yang kuat dibanding pemerintah desa secara politis dikhawatirkan akan menghambat proses pertanggung jawaban kepala desa kepada publik. Dengan kata lain, laporan pertanggungjawaban kepala desa sebagai pejabat publik berhenti pada sidang-sidang BPD. Disatu sisi, BPD memperoleh kapital ekonominya hanya dari APBDes. Bila demikian halnya maka penggunaan APBD cenderung untuk memenuhi kebutuhan biaya rutin dibandingkan biaya publik. Pola interaksi yang tidak berimbang dapat digunakan BPD untuk ”memaksa” pemerintah desa mengucurkan dana bagi kepentingan BPD. Hal ini tercermin dengan terjadinya peningkatan alokasi dana untuk BPD tiap tahunnya. Mekanisme yang menjamin partisipasi masyarakat dan demokratisasi sesungguhnya telah ditetapkan melalui Forum Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes). Hasil wawancara menyimpulkan bahwa peserta Musbangdes hanya organisasi yang dekat dengan pemerintah desa. Seandainya proses ini digunakan dengan melibatkan segenap unsur governance desa yaitu pemerintah desa, pelaku ekonomi dan civil society maka partisipasi dan kepedulian masyarakat terhadap urusan-urusan pemerintah desa (baca: urusan publik) akan semakin tinggi. Hasil wawancara maupun data dasar desa, menyimpulkan bahwa hampir seluruh organisasi yang ada merupakan organisasi yang telah terbentuk jauh sebelum reformasi. Berbeda halnya dengan organisasi sukarela yang ada sudah dibentuk jauh sebelum reformasi. Meskipun mereka tidak menerima Kapital Ekonomi dari pemerintah desa atau alokasi anggaran yang bersumber dari APBDes, di samping perhatian pemerintah desa dan kecamatan tidak kontinyu (hanya saat dibutuhkan untuk event tertentu saja), namun kegiatan sehariharinya tetap berjalan.
85
Lumbanraja, dkk., Pemberdayaan Governance Desa…
Akumulasi kapital ekonomi bersumber dari anggota dalam bentuk iuran, sumbangan ataupun simpanan (walaupun berjalan tersendat-sendat). Motivasi pengelola yang tinggi umumnya lebih mementingkan ”upah non finansial” seperti pengakuan diri oleh lingkungan sekitar (sebagai ustadz atau tokoh masyarakat) dan pengabdian pada sesama sesuai anjuran sesuatu yang diyakini (ajaran agama) diduga sebagai motor penggerak organisasi ini. Dari hasil penelitian terlihat bahwa hubungan organisasi standar civil society berlangsung dari atas kebawah. Artinya dinamika organisasi ini diatur oleh pemerintah desa. Oleh karena itu, organisasi ini merupakan bagian dari pemerintah desa untuk mengatur desa atau mendistribusikan kapital eksternal yang masuk melalui pemerintah desa, baik berupa proyek masuk desa, kesempatan mengikuti pelatihan atau kegiatan lain diluar desa yang ditujukan pihak luar pada pemerintah desa. Bahkan beberapa di antara organisasi standard ini mendapat kucuran dari APBDes. Dukungan anggota kurang optimal berkaitan dengan masih rendahnya kohesi organisasi yaitu kegiatan, aturan atau kesepakatan yang dirumuskan bersama dengan anggota untuk meningkatkan kinerja organisasi. Tampaknya hal tersebut tidak menjadi penting selama segala urusan tentang organisasi ini masih bisa dilayani oleh pimpinannya dan kapita eksternal masih mengalir pada organisasi ini. Tanpa itu maka aktivitas tidak ada, yang ada hanya papan nama saja. Disisi lain, kemandirian organisasi sukarela khususnya keagamaan dan keolahragaan sangat tinggi. Organisasi ini mampu bertahan hidup karena mempunyai sistem yang dapat mendistribusikan kapital ekonomi yang diperoleh dari anggotanya sendiri dalam bentuk iuran anggota. Namun demikian manajemen organisasi ini masih sangat tergantung pada tokoh pendirinya. Hal ini dimasa depan merupakan ancaman yang dapat menghancurkan keberadaan organisasi seperti ini. Pelaku ekonomi di desa baik bersifat peorangan maupun kolektif seringkali dijadikan sebagai sumber Pendapatan Asli Desa melalui berbagai bentuk pungutan resmi (berdasarkan Peraturan Desa) maupun pungutan lainnya seperti perayaan hari-hari besar, pembangunan sarana fisik desa dan lain-lain. Bentuk-bentuk pelayanan tersebut dijadikan desa sebagai salah satu sumber
86
PAD seperti pelayanan surat-menyurat, pembuatan KTP, dan sebagainya. Sementara timbal balik yang mereka peroleh sebagai konsekuensi telah memenuhi kewajibannya pada pemerintah desa tidak ada. Kemandirian pelaku usaha di Desa Lidah Tanah terutama kelompok-kelompok tani (organisasi standar) yang sudah ada masih sangat rendah. Meskipun organisasi ini sudah lama terbentuk namun belum mampu mengakumulasikan modal ekonomi maupun modal sosial dalam bentuk kerjasama dan gotong royong untuk membangun dirinya. Ketergantungan mereka terhadap pemerintah desa sangat tinggi. Inisiatif untuk mengatur dirinya sendiri melalui pertemuan-pertemuan rutin yang mendiskusikan permasalahan yang dihadapi tidak ada. Dalam arti bahwa organisasi ini yang ada hanya pengurusnya saja sementara anggotanya tidak aktif. Bila dikaji lebih lanjut interaksi antara pelaku ekonomi terhadap civil society lebih kuat disebabkan kondisi kapital yang dimilikinya. Pelaku ekonomi dapat memanfaatkan civil society sebagai klien atau konsumen dari berbagai produk dan jasa yang dihasilkan. Diduga hubungan yang terjadi hanya sebatas menempatkan civil society (secara individu) sebagai sasaran pemasaran produk dan jasa pelaku ekonomi. Meskipun secara normatif, BPD adalah mitra sejajar pemerintah desa. Dalam pelaksanaannya hubungan BPD dan pemerintah tidak sejajar. Dari hasil penelitian terlihat bahwa tidak ada mekanisme pengawasan dari masyarakat atau individu baik kepada BPD. BPD sebagai wakil individu atau masyarakat tidak bertanggung jawab pada masyarakat atau individu pemilihnya. Akibatnya tidak ada yang mengawasi BPD kecuali oleh dirinya sendiri. Hubungan langsung yang terjadi hanya pada tataran masa pemilihan kepala desa atau BPD serta pelayanan yang diberikan oleh pemerintah desa. Hasil studi menunjukkan bahwa sebagian dari tugas-tugas kepala desa sudah dilimpahkan pada lembaga lain seperti LKMD. Oleh karena itu sangat penting sebenarnya untuk memberikan peran pada organisasi yang ada di desa baik dari kalangan pelaku ekonomi maupun civil society. Namun mekanisme yang memastikan berlangsungnya pelimpahan tugas-tugas tersebut belum ada. Peran kepala desa masih dominan terutama mengatur elemen governance lainnya.
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
Hal ini menunjukkan bahwa paradigma pemerintahan desa belum berubah. Peran sentral kepala desa dalam pengaturan desa sudah seharusnya bergeser. Kepala desa bukan lagi penanggung jawab pemerintahan, ketertiban dan pembangunan desa. Peran-peran tersebut sudah seharusnya didistribusikan pada elemen governance lainnya. Kepala desa yang semula adalah pelaksana harusnya bergeser sebagai fasilitator. Tugas dan peran tersebut dilimpahkan pada organisasi yang ada selanjutnya Kades memfasilitasi agar tugas-tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Mekanisme tersebut harus diciptakan. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah Desa Lidah Tanah mengatur kehidupan masyarakatnya. Bersama dengan Badan Perwakilan Desa, pemerintah desa menetapkan berbagai peraturan desa. Untuk pelaksanaan peraturan ini, kepala desa menerbitkan Surat Keputusan Desa. Munculnya kelembagaan baru di desa, yaitu BPD dan LKMD sesungguhnya merupakan peluang yang cukup besar digunakan untuk mengatur kehidupan desa lebih demokratis. Pengawasan yang dilakukan BPD (tanpa adanya civil society vertikal di desa) seyogianya akan mendorong pemerintah desa mengelola kegiatan desa terutama keuangannya lebih transparan. Dominasi BPD tanpa disertai mekanisme yang melibatkan pengawasan masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan desa dikhawatirkan akan tergantung pada BPD. Meskipun di aras desa telah terjadi namun perubahan yang terjadi di desa sangat semu karena hanya di permukaan saja; sehingga belum mampu memfasilitasi terwujudnya otonomi masyarakat desa. KESIMPULAN Pembahasan hasil penelitian menyimpulkan bahwa otonomi masyarakat desa belum terwujud. Salah satu penyebabnya adalah intervensi birokrat di aras desa sangat dominan. Kewenangan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk, pola dan jenis-jenis pengaturan. Hal ini dapat dipelajari dari distribusi kewenangan yaitu Distribusi kewenangan Pemerintah ke Kabupaten, Distribusi kewenangan Kabupaten ke Kecamatan. (Sementara kewenangan desa belum jelas diatur). Padahal sebelum UU Nomor 5
Tahun 1979 diterapkan, desa memiliki kewenangan yang jelas, salah satunya adalah bahwa pada tahun 1973, penandatanganan KTP bisa dilakukan oleh Kades (disyahkan oleh Desa). Pengaturan desa tidak hanya oleh Perda tapi juga oleh Keputusan-keputusan Bupati. Namun bila ditelusuri lebih jauh, carut marutnya pengaturan desa juga disebabkan oleh sikap pemerintah yang kurang konsisten dalam penerapan kebijakan desentralisasi. Hal ini ditunjukkan dengan penetapan Kepmendagri Nomor 64 Tahun 1999, PP Nomor 76 Tahun 2001 dan Keppres Nomor 49 Tahun 2001. Penyebab lain mengapa otonomi masyarakat desa belum terwujud yaitu berkaitan dengan kandungan kapitalnya (faktor internal). Hasil penelitian menunjukkan elemen ini dipengaruhi oleh sistem akumulasi dan distribusi kapital internal dan eksternal. Faktor internal yang berkaitan langsung yaitu: 1. perbedaan kapital elemen governance desa 2. akumulasi kapital internal belum terjadi 3. sikap kemandirian civil society sangat rendah Kandungan kapital tiap elemen governance desa sangat bervariasi karena pemerintah desa sebagai tempat bertemunya urusan-urusan masyarakat dengan kepentingan negara dalam hal ini pihak kabupaten belum mampu menjadi saluran yang bersih, transparan dan bersikap adil. Penggunaan kapital eksternal terutama kapital ekonomi baik bersumber dari dana perimbangan maupun proyek yang masuk ke desa belum terdistribusikan secara merata. Kandungan kapital pemerintah desa jauh lebih memadai dibandingkan BPD dan civil society. Kapital Badan Perwakilan Desa belum memadai karena kapital yang dimilikinya masih terbatas dari segi kapital manusia sementara kapital fisik dan ekonomi masih bersumber dari pemerintah desa. Demikian pula kapital sosial terutama jaringan kerja, di mana jaringan kerja pemerintah desa masih jauh lebih baik. Peran pemerintah desa sangat dominan sebagai regulator ditunjukkan melalui penetapan berbagai peraturan desa dan keputusan desa yang mengatur kelembagaan sosial di desa terutama organisasi standard. Surat keputusan yang ditetapkan kepala desa mengatur tentang susunan organisasi dari LKMD, Karang Taruna, PKK, Kelompok Tani, P3A dan panitia yang dibentuk untuk tugas-tugas tertentu. Pemerintah desa menyikapi Keputusan Bupati sebagai pedoman yang mengikat. Inisiatif
87
Lumbanraja, dkk., Pemberdayaan Governance Desa…
dari masyarakat untuk tampil beda dari pedoman yang ditetapkan kabupaten juga tidak terlihat, dalam artian bahwa masyarakat tidak berani berimprovisasi. Peraturan Daerah yang dibuat oleh pemerintah kabupaten selama ini tidak dikomunikasikan kepada masyarakat secara luas, hanya disosialisasikan di lingkungan DPRD. Salah satu penyebabnya adalah kondisi civil society vertikal tingkat kabupaten masih tahap konsolidasi internal. Jadi pengaturan kabupaten sebagai daerah otonom hanya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dan DPRD tanpa kontrol dari civil society. Meskipun secara normatif, BPD adalah mitra sejajar pemerintah desa, dalam pelaksanaannya hubungan BPD dan Pemerintah tidak sejajar. BPD sebagai wakil individu atau masyarakat seyogianya bertanggung jawab pada masyarakat atau individu pemilihnya. Namun hal ini belum terlaksana. Akibatnya tidak ada yang mengawasi BPD kecuali oleh dirinya sendiri. Hubungan langsung yang terjadi hanya pada tataran masa pemilihan anggota BPD tersebut. Setelah BPD terbentuk melalui pemilihan BPD secara langsung oleh penduduk desa, mekanisme kontrol antara masyarakat desa terhadap BPD sebagai wakilnya tidak jelas diatur. Hal ini mengakibatkan posisi BPD semakin kuat, mekanisme pencabutan dukungan bila ada wakil masyarakat di BPD yang menyimpang tidak ada fungsinya sebagai pengontrol pemerintah desa sangat dominan dibandingkan tugas dan fungsi lainnya. Hubungan kelembagaan antara elemen civil society baik secara vertikal maupun horizontal belum ada, yang ada hanyalah hubungan individual. Adanya pengakuan bahwa keterlibatan seluruh elemen governance desa dalam Musbangdes juga penting. Pelaksanaan kegiatan musbangdes juga harus aspitatif, ada tanggung jawab moril dalam musbangdes tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi ditingkat kabupaten maupun kecamatan sesungguhnya memperluas ruang publik tapi tidak dapat dimanfaatkan governance desa untuk mewujudkan otonomi masyarakat desa. Hal ini disebabkan 1) civil society yang terdapat di desa mayoritas adalah civil society I horizontal, 2) perubahan yang terjadi di desa hanya permukaan saja, 3) penyelenggaraan pemerintah desa masih bersifat elitis, 4) distribusi kapital eksternal
88
belum merata. Akumulasi dari keempat penyebab tersebut mengakibatkan masyarakat menjadi apatis dan pengaturan desa berlangsung hanya oleh pemerintah desa. SARAN Mengacu pada hasil penelitian yang telah dilaksanakan peneliti menyusun upaya-upaya yang perlu ditindak lanjuti agar otonomi masyarakat desa dapat diwujudkan meliputi: 1. Berkaitan dengan intervensi birokrat diaras desa maka diberbagai tindakan perlu dikaji ulang. Kebijakan desentralisasi yang perlu dikaji ulang antara lain revisi kebijakan desentralisasi dan turunan UU Nomor 22 Tahun 1999 Pengaturan di Tingkat Kabupaten dengan mencabut keputusankeputusan Bupati. Pengaturan desa oleh pemerintah kabupaten diupayakan seminimal mungkin. Hal ini akan memberikan kesempatan pada elemen governance desa untuk mengatur dirinya sendiri. Meskipun tahap awal ini akan menimbulkan kebingungan bagi governance desa karena mereka sudah terbiasa bekerja berdasarkan aturan atau pedoman atau petunjuk dari birokrat di atasnya. Proses pengaturan sendiri yang dilalui dengan benturan, permasalahan maupun konflik-konflik (sepanjang tidak bersifat kekerasan) merupakan tahapan yang harus dilalui agar elemen governance desa mampu mengatur dirinya sendiri. Kemudian pengaturan di tingkat kecamatan. Meskipun camat bukan lagi kepala wilayah dan merupakan aparat daerah otonom namun peran kecamatan dalam rangka mendekatkan pelayanan bagi mengkoordinasikan aktivitas pembangunan diwilayahnya yang bersifat lintas desa. Di samping itu, kecamatan hendaknya memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengoptimalkan Kapital manusia bagi cabang dinas, program kerja dan anggaran yang cukup. Aparat keamanan diperkuat dengan memutasikan sebagian dari aparat kabupaten. 2. Berkaitan dengan Pemberdayaan Governance Desa. Upaya pemberdayaan governance desa memerlukan strategi dan arah program. Mengacu pada Friedman dalam Rapahela, pemberdayaan dibedakan atas pemberdayaan politik, sosial dan psikologis. Pemberdayaan politik diarahkan agar intervensi birokrat
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
diaras desa menjadi minimal dan membangkitkan animo governance desa untuk melakukan pengaturan sendiri (self regulation). Pemberdayaan politik dapat ditempuh dengan cara menyeimbangkan interaksi di antara ketiga elemen governance desa. 3. Pemberdayaan sosial diarahkan pada upayaupaya membangun organisasi modern di desa dilakukan dengan cara merubah modus orientasi organisasi standar dan sukarela yang ada didesa yang semula bersifat tradisional dan subsistem menjadi organisasi modern dengan cara: a. Menetapkan Tujuan Organisasi. Tujuan, Visi, Misi yang terkait dengan kewenangan yang ada dirumuskan oleh organisasi elemen governance berdasarkan mandat atau kewenangan tersebut. b. Membangun Sistem Akumulasi Kapital Intern. Akumulasi kapital internal terutama kapital ekonomi dibangun untuk menyusun aturan yang memungkinkan terjadinya pertukaran hak dan kewajiban secara adil. Sebagai contoh, Kapital sosial terutama kepercayaan telah mampu memperlancar transaksi yang terjadi di KWP.
c. Membangun Sistem Distribusi Kapital Eksternal. Sistem distribusi kapital eksternal yaitu bagaimana memanfaatkan jaringan kerja yang ada untuk mengembangkan kapital internal secara merata. Perencanaan partisipatif, kesepakatan aturan main yang jelas di antara kapital eksternal melalui pemerintah desa sebagai saluran bertemunya negara (kabupaten) dengan masyarakat tidak tersumbat atau menumpuk pada oknum tertentu. Penajaman Arah Program Pemberdayaan. Manajemen pemerintah desa masih pada tahap tradisional. Dalam kasus organisasi standard, banyak hal yang diatur oleh birokrat kabupaten. Dengan demikian kinerja pemerintah desa belum dapat diukur, kondisi pemerintah desa relatif seragam di seluruh desa dalam satu kabupaten. Untuk itu, manajemen pemerintahan desa membutuhkan perubahan dengan manajemen yang lebih terukur, mekanisme kerja yang baik, uraian tugas yang jelas, insentif yang memadai sesuai dengan kondisi desa tersebut. Hanya saja hal tersebut dapat tercapai bila kewenangan desa sudah jelas.
89
Lumbanraja, dkk., Pemberdayaan Governance Desa…
DAFTAR PUSTAKA
Coleman S, James. 1992. Social Capital, Foundation of Social Theory. Cambridge. Mars and London, England. Harvard University Press. Dasguptha, Partha and Ismail Serageldin. 2000. Social Capital, A Multifaceted Perspective. The World Bank. Washington DC. Narayan, Deepa and Michael Cassidy, 1999. A Dimensional Approach to Measuring Social Capital. Development and Validation of A Social Capital Inventory. Dalam Woolclok, Michael and Deepa Narayan. Social Capital, Implications for Development Theory, Research and Policy. World Bank Research Observer. Vol 15 (2) (2000). Washington DC.
90