PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM
Dipublikasikan oleh Satgas PMH dengan dukungan UNDP Cetakan pertama : Mei 2010
ISBN: 978-602-96539-0-8
ii
MAFIA HUKUM
PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM
KATA PENGANTAR Terungkapnya praktik mafia hukum beberapa waktu belakangan ini mendorong Presiden Republik Indonesia mengambil langkah tegas dengan membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (“Satgas PMH”) melalui Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009. Berdasarkan Kepress tersebut, Satgas PMH diberi tugas melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi, dan pemantauan agar pemberantasan mafia hukum, khususnya di institusi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan (“institusi penegak hukum”), dapat dilakukan secara efektif. Tersirat dari Keppres tersebut, Satgas PMH tidak hanya ditugaskan melakukan upaya-upaya yang bersifat represif semata, namun juga upaya-upaya preventif. Untuk melaksanakan tugas penting dan besar ini bukanlah sesuatu yang mudah. Praktik mafia hukum di Indonesia telah berlangsung lama dan dilakukan dengan berbagai modus operandi yang semakin hari semakin ‘canggih’. Karena itu Satgas PMH menganggap penting untuk melakukan penelitian guna memetakan modus operandi mafia hukum di berbagai institusi penegak hukum serta akar permasalahan yang membuat praktik tersebut dapat tumbuh subur. Melalui pemahaman modus operandi dan akar permasalahan mafia hukum tersebut Satgas PMH akan mengembangkan strategi perbaikan system untuk mencegah, meminimalisir serta menanggulangi masalah mafia hukum pada lembaga penegak hukum. Buku ini adalah hasil penelitian di atas. Buku ini merupakan hasil kerja Satgas PMH dengan dukungan penuh berbagai pihak. Atas berbagai dukungan tersebut, Satgas PMH mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu penyusunan buku ini: Rifqi S. Assegaf, SH, LL.M, Wiwiek Awiati, SH, MA, Aria Suyudi, SH, LL.M Hasril Hertanto, SH, MH, Ilian Deta
MAFIA HUKUM
iii
Sari, SH, Sukma Violetta, SH, LL.M Taufik Basari, SH, LL.M, dan Adnan Pandupraja, SH., Sp.N, LL.M. Terima kasih pula kepada United Nations Development Programmes (UNDP) yang telah mendukung proses penyusunan dan penerbitan buku ini. Kami sadar bahwa hasil penelitian ini belum final dan tidak akan pernah final mengingat, sebagaimana disinggung sebelumnya, modus operandi mafia hukum selalu berkembang. Karenanya penyempurnaan-penyempurnaan pasti diperlukan dan masukan dari berbagai pihak tentu dengan terbuka kami harapkan. Namun kami yakin bahwa dengan arahan yang telah dibuat ini Satgas PMH telah dapat memulai langkah awal untuk melakukan upaya-upaya mencegah, meminimalisir serta menanggulangi masalah mafia hukum pada lembaga penegak hukum, tentunya dengan bekerjasama dengan seluruh instansi penegak hukum, pemerintah, lembaga Negara lain dan masyarakat. Jakarta, 23 April 2010
Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto Ketua Satgas PMH
Sekretariat: Jl. Veteran No. 14 Jakarta Pusat 10110 Telp. 021-23545001 ex. 8395, 8359 Fax. 021-3859783
iv
MAFIA HUKUM
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
v
A. Pendahuluan 1. Pengantar dan Tujuan Penelitian 2. Definisi Mafia Hukum 3. Metodologi dan Batasan Penelitian 4. Sistematika Penulisan
1 1 5 7 8
B. Modus Mafia Hukum 1. Pengantar 2. Sebelum Ada Perkara: Membangun Hubungan Baik dengan Aparat Penegak Hukum dan Hakim 3. Tahap Pra Penyelidikan dan Penyelidikan 4. Tahap Penyidikan 5. Tahap Pra Penuntutan dan Penuntutan 6. Tahap Persidangan dan Pemutusan Perkara 7. Tahap Eksekusi Putusan 8. Tahap Pemasyarakatan
9 9 9 11 13 15 16 20 21
C. Akar Masalah serta Strategi untuk Mencegah, Meminimalisir dan Menanggulangi Mafia Hukum 1. Penyebab Mafia Hukum bukan Sekedar Masalah Teknis atau Karena Minimnya Pengawasan 2. Kepemimpinan (Leadership) 3. Manajemen SDM dan Reformasi Birokrasi Secara Umum 4. Gaji dan Tunjangan 5. Anggaran dan Prasarana 6. Pengawasan dan Pendisiplinan Aparat 6.1. Pengawasan Internal 6.2. Pengawasan Eksternal (Komisi Pengawas) 6.3. Pengawasan Masyarakat 6.4. Sanksi
MAFIA HUKUM
24 24 29 32 34 36 37 37 40 42 44
v
7. 8.
Standar Prosedur Operasional (SPO) Penanganan Perkara & Akses Informasi Undang-undang dan Peraturan lain
LAMPIRAN 1 Matriks Akar Masalah Mafia Hukum dan Strategi untuk Mencegah, Meminimalisir serta Menanggulanginya
45 50 52
LAMPIRAN 2 58 Matriks Modus Operandi Lengkap Mafia Hukum di Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Pemasyarakatan LAMPIRAN 3 Sekilas Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH)
vi
MAFIA HUKUM
83
A. PENDAHULUAN
1. Pengantar dan Tujuan Penelitian Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa penegakan hukum dan pengadilan adalah salah satu kunci utama untuk memberantas praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Karenanya agenda mewujudkan negara yang bebas KKN harus dimulai lebih dahulu dari pembenahan sektor penegakan hukum dan pengadilan. Aparat penegak hukum dan hakim harus mampu bersikap tegas terhadap pelaku pelaku tindak pidana KKN agar dapat menciptakan deterrent effect terhadap siapapun yang berpikir untuk melakukan KKN. Sedemikian sentralnya peran lembaga penegak hukum dan pengadilan dalam proses pemberantasan KKN, seorang profesor ternama, Taverne, menyatakan “give me good judges, good supervisory judges, good prosecutors, and good police officers, I can have good law enforcement, although with a poor criminal code”1 untuk menekankan bahwa law in action yang dijalankan oleh para aparat penegak hukum dan pengadilan merupakan faktor utama dalam menentukan keberhasilan penegakan hukum daripada kerangka formal dalam bentuk undang-undang. Kendala yang dihadapi Indonesia saat ini adalah lembaga penegakan hukum dan pengadilan bukan merupakan jawaban untuk memastikan adanya penegakan hukum dan keadilan, namun menjadi salah satu permasalahan tersendiri. Proses penegakan hukum diselimuti oleh praktik KKN, penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan dan sebagainya,
Praktik Mafia Hukum terjadi di sepanjang proses penegakan hukum, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan sampai dengan proses di lembaga pemasyarakatan
1 ‘Berikan aku hakim yang baik, hakim pengawas yang baik, jaksa penuntut yang baik, dan polisi yang baik, saya akan mampu menegakkan hukum, meskipun aturan pidananya kurang baik, sebagaimana disebut dalam Winarta, “Suara Rakyat Hukum Tertinggi”, Kompas (2009).
MAFIA HUKUM
1
yang dikenal dengan istilah mafia peradilan atau mafia hukum. Meski upaya memerangi KKN di lembaga penegak hukum telah dimulai sejak lebih dari tiga dasawarsa yang lalu, namun proses tersebut masih jauh dari selesai. Penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch pada tahun 2002 yang dilakukan di enam wilayah di Indonesia secara detail telah mengklasifikasikan tahapan dan pihak yang terlibat serta modus mafia peradilan (mafia hukum).2 Praktik tersebut terjadi di sepanjang proses penegakan hukum, dari hulu, yaitu proses penyelidikan, sampai hilir, yaitu proses pemasyarakatan. Praktik mafia hukum melibatkan anggota korps penegak hukum dan hakim, selain pihak eksternal. Pada lembaga Kepolisian dan Kejaksaan sebagai contoh, praktik tersebut meliputi permainan status penahanan, penggelapan perkara, permintaan uang jasa/operasional untuk menindaklanjuti laporan yang masuk, komersialisasi upaya paksa (penahanan dan penyitaan), rekayasa berita acara pemeriksaan, jual-beli Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau Penuntutan dan sebagainya. Di pengadilan praktik mafia peradilan meliputi jual beli vonis, penentuan majelis hakim yang mau bekerjasama dengan salah satu pihak, rekayasa berita acara persidangan, sampai penundaan eksekusi. Di Lembaga Pemasyarakatan, praktik yang umum terjadi adalah pemberian fasilitas di luar ketentuan bagi Narapidana atau Terdakwa yang mampu membayar, pemberian “ijin” keluar rumah tahanan dengan meminta imbalan, dan seterusnya. Praktik di atas barulah meliputi modus yang terkait langsung dengan penyelesaian perkara yang sedang berjalan. Modus mafia hukum yang tidak terkait langsung dengan perkara yang sedang berjalan juga tidak kalah banyaknya. Cukup sering disinggung misalnya peran aparat penegak hukum yang mem-backing berlangsungnya tindakan-tindakan ilegal, seperti narkoba, perjudian, illegal logging dan sebagainya. 2
Wasingatu Zakiyah, et.al. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, (Jakarta, Indonesian Corruption Watch, 2002).
2
MAFIA HUKUM
Aktor mafia hukum tidak hanya dilakukan oleh oknum aparat pada lembaga penegak hukum negara. Advokat, sebagai bagian dari penegak hukum, juga ditengarai sebagai salah satu aktor penting dalam praktik tersebut. Mereka aktif membujuk kliennya untuk melakukan suap ataupun menggunakan uang dan kekuasaan guna memenangkan perkara.3 Sedemikian parahnya praktik mafia hukum di Indonesia, sampai Sudjono, ketua Ikadin (pada waktu itu), dalam suatu diskusi soal mafia hukum di awal 2003, menganggap bahwa fenomena mafia hukum sebagai suatu ‘no cure disease’. 4 Belakangan, istilah mafia hukum kembali naik daun seiring dengan Satgas PMH bertugas untuk ramainya kasus kriminalisasi dua melakukan koordinasi, evaluasi, pimpinan KPK, Bibit S Riyanto dan koreksi, dan pemantauan agar Chandra M Hamzah pada medio pemberantasan mafia hukum 2009. Sebagai suatu perkara dapat dilakukan secara efektif. yang menarik perhatian publik, proses perkara ini berkembang sedemikian rupa dan mengakibatkan terpaparnya secara gamblang kepada masyarakat indikasi betapa proses penegakan hukum telah sedemikian jauh terjebak dalam gurita mafia hukum.5 Muncul fakta tak terbantahkan bahwa seorang sipil yang bukan penegak hukum bisa dengan mudah menghubungi para pejabat senior di lembaga-lembaga penegak hukum dan mengatur proses hukum yang tengah berjalan.
3
Amir Syamsudin, “Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa Polisi, dan Pengacara”, Kompas (2008). 4 Ketua IKADIN, Sudjono dalam diskusi di sekretariat Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) 12 Maret 2003, menyatakan bahwa ‘hanya tuhan lah yang bisa memperbaiki’ (masalah mafia peradilan). Lihat http://www.hukumonline.com/ berita/baca/hol7609/ketua-ikadin--hanya-tuhan-bisa-selesaikan-masalah-mafiaperadilan 5 Terutama setelah rekaman hasil penyadapan pembicaraan telepon Anggodo Widjojo diputar di Mahkamah Konstitusi 3 November 2009.
MAFIA HUKUM
3
Salah satu langkah yang diambil Presiden untuk menyikapi kondisi di atas adalah dengan membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) melalui Keppres Nomor 37 Tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Satgas PMH bertugas untuk melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi, dan pemantauan agar pemberantasan mafia hukum dapat dilakukan secara efektif. Demi menjalankan tugas tersebut, Satgas PMH diberi kewenangan bekerja sama dengan berbagai lembaga negara yang ada untuk melakukan penelaahan dan penelitian atas segala informasi yang dibutuhkan dari semua instansi, baik di pusat maupun daerah, BUMN dan BUMD, serta pihak lain yang dianggap perlu. Untuk memastikan proses pemberantasan mafia hukum mampu menjawab secara mendasar masalah mafia hukum, penting bagi Satgas PMH untuk melakukan penelitian untuk memetakan modus operandi mafia hukum serta akar permasalahan yang membuat praktik tersebut dapat tumbuh subur di berbagai institusi penegak hukum dan pengadilan. Dari pemetaan tersebut Satgas PMH akan mengembangkan serangkaian strategi untuk mencegah, meminimalisir serta menanggulangi mafia hukum.
6
Misalnya Prof Satjipto Rahadjo menyatakan bahwa istilah mafia peradilan/mafia hukum telah memperkaya kosa kata bahasa Indonesia sejak tahun 1970 an. Salah satu kasus mafia hukum pada tahun 1970an terjadi dalam proses peradilan perkara korupsi yang melibatkan Budiadji, petinggi Depot Urusan Logistik Kalimantan Timur. Advokat Sunarto Surodibroto, Ketua Peradin DPC Jakarta yang kebetulan merupakan kuasa hukum Budiadji pada Februari 1978 dipecat sementara dari keanggotaannya di Peradin akibat dituding melakukan praktik mafia peradilan dalam perkara tersebut. Praktiknya meliputi usaha mengumpulkan dana untuk dibagi-bagikan di antara hakim, jaksa dan pembela dengan tujuan mempengaruhi putusan pengadilan. Lihat Tjipta Lesmana, ‘Kiamatkah Penegakan Hukum Kita?’ http://www.suarapembaruan. com/News/2007/10/01/Editor/edit01.htm baca juga ‘Kasus Soenarto dan Bisnis Baru: dagang hukum! http://majalah.tempointeraktif.com/id/email/1979/03/17/HK/ mbm.19790317.HK56009.id.html
4
MAFIA HUKUM
2. Definisi Mafia Hukum Istilah mafia hukum atau juga kerap disebut mafia peradilan mulai dikenal setidaknya sejak tiga puluh tahun yang lalu.6 Istilah ini setara dengan terminologi judicial corruption yang dikenal di negara-negara barat untuk menjelaskan praktik KKN di dalam sistem peradilan. Hingga saat ini belum ada definisi yang disepakati bersama mengenai istilah mafia peradilan atau mafia hukum. Namun ada beberapa definisi yang bisa membantu memahami mafia peradilan atau mafia hukum. Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) mendefinisikan mafia hukum sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif, dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor tertentu (aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan) untuk memenangkan kepentingannya melalui penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi dan perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga menyebabkan rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan.7 Di sisi lain, Daniel S. Lev menjelaskan bahwa ”the mafia peradilan is after all a working system that benefits all its participants. In some ways, in fact, for advocates, who otherwise are excluded from the collegial relationships of judges and prosecutors, it works rather better and more efficiently than the formal system”.8 Selain itu kita mengenal pula istilah makelar kasus (markus) yang juga populer untuk mengilustrasikan orang yang menjalankan praktik mafia hukum. Kesan yang muncul dari pengertian markus adalah praktik yang
7
Siti Aminah, Katakan Tidak: Panduan Melawan Mafia Peradilan (Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme Jawa Tengah, 2006, hal 5). Bandingkan juga definisi yang ditawarkan oleh ICW dalam upaya menjelaskan Mafia Peradilan dengan ‘tidak terorganisir secara rapi. Mereka berhubungan satu sama lain secara tertutup dan tidak dikoordinasikan, bahkan hubungan mereka yang menjadi bagian mafia peradilann- hakim, jaksa, advokat, polisi, panitera dan pihka-pihak lain diwarnai degngan saling ketidakpercayaan. 8 Daniel S Lev sebagaimana dikutip oleh Frans Hendra Winarta pada “Sejarah dan Modus Operandi Mafia Hukum di Indonesia” Sinar Harapan, 26 Agustus 2002
MAFIA HUKUM
5
dilakukan oknum selain aparat penegak hukum yang menjanjikan dapat menjembatani (menjadi perantara) kepentingan pihak pencari keadilan dengan oknum penegak hukum yang melacurkan hukum dan keadilan dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang diwakilinya. Apa yang terlihat dalam kasus kriminalisasi pimpinan KPK dan penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan oleh Arthalyta Suryani merupakan fenomena mafia hukum yang berwujud markus. Namun pemahaman itu seakan menegasikan fakta bahwa yang kerap menjadi perantara bahkan pelaku dalam praktik mafia hukum adalah aparat penegak hukum sendiri yang bertugas atau tidak sedang bertugas dalam penanganan perkara. Tidak semua pihak sepakat dengan definisi-definisi yang ada. Beberapa pengamat bahkan menganggap istilah mafia peradilan untuk menggambarkan fenomena yang ada tidaklah tepat.9 Memang secara umum, praktik mafia hukum atau mafia peradilan yang dipahami publik tidak hanya praktik yang menjurus pada praktik mafia pada umumnya, begitu terorganisir dan sistematis. Walau banyak praktik mafia hukum yang memang terorganisir atau
9
Mafia Hukum: praktik menjualbelikan atau menyalahgunakan kedudukan dan kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum dan hakim, baik yang sifatnya terorganisir dan sistematis maupun yang tidak, yang dilakukan atas inisiatif aparat penegak hukum dan hakim atau atas bujukan pihak lain, sehingga hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya
Misalnya mantan hakim agung Benyamin Mangkudilaga menyatakan bahwa istilah mafia hukum tidak tepat. Menurutnya “Unsur mafia itu harus ada pimpinannya dan terorganisir. Saya lebih melihat itu tindakan tercela yang dilakukan oleh aparat di tingkat pengadilan” sebagaimana dapat dilihat di Antara, ‘Benyamin Tidak Setuju Istilah Mafia Peradilan’ 18 Juni 2009 http://www.antaranews.com/ view/?i=1245324730&c=NAS&s=HUK
6
MAFIA HUKUM
setidaknya sistematis –dimana para pelaku, baik calo perkara yang berasal dari aparat penegak hukum atau hakim sendiri maupun pihak ketiga (non penegak hukum/hakim), memiliki jaringan kerja, hubungan dan komunikasi yang intensif dan erat serta siap ‘mengamankan’ perkara yang muncul–bagi banyak pihak mafia hukum juga termasuk segala bentuk praktik dimana aparat penegak hukum dan hakim menjualbelikan atau menyalahgunakan kedudukan dan kewenangan yang mereka miliki, baik atas inisiatif sendiri maupun atas bujukan/dorongan pihak lain, sehingga hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. 3. Metodologi dan Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan kombinasi tiga metode yaitu, penelusuran literatur yang telah ada mengenai modus operandi mafia peradilan, wawancara mendalam dengan beberapa narasumber, ditambah dengan pengetahuan anggota tim yang menyusun laporan penelitian ini mengenai praktik mafia hukum berdasarkan informasiinformasi yang diperoleh selama ini dari berbagai sumber. Setidaknya ada dua literatur pokok yang menjadi referensi utama dalam studi ini, yaitu ‘Menyingkap Tabir Mafia Peradilan’ terbitan ICW tahun 2002 dan ‘Katakan Tidak-Panduan Melawan Mafia Peradilan oleh Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah 2006. Pada prinsipnya penelitian ini dimaksudkan untuk memeriksa dan memperbaharui data yang tersaji dalam dua publikasi tersebut untuk keperluan Satgas PMH. Khusus mengenai narasumber, informasi dikumpulkan dari beberapa nara sumber primer yang mengetahui/ mengalami langsung praktik-praktik mafia hukum di masing-masing lembaga penegak hukum. Tujuan dilakukannya wawancara mendalam adalah untuk mendapatkan informasi yang tidak ditemukan dalam riset sebelumnya dan garis penghubung (korelasi) antara fakta-fakta yang ditemukan dalam penelitian ini.
MAFIA HUKUM
7
Penelitian ini dihadapkan kepada kendala keterbatasan waktu dan sumber daya. Untuk mengoptimalkan hasil penelitian, tim membatasi proses pemetaan hanya pada proses penegakan hukum pada lembagalembaga penegak hukum utama, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan, baik dalam proses penanganan perkara pidana maupun perdata. 4. Sistematika Penulisan Tulisan ini terdiri dari 3 (tiga) bagian. Bagian pertama, pendahuluan, berisikan latarbelakang dan tujuan penelitian, definisi mafia hukum dan metodologi serta batasan penelitian. Bagian kedua berisikan paparan umum modus operandi mafia hukum di seluruh proses penegakan hukum. Bagian ketiga merupakan analisis akar masalah mafia hukum dan strategi yang perlu dilakukan untuk mencegah, meminimalisir serta menanggulangi problem mafia hukum. Tulisan ini juga dilengkapi dengan dua lampiran. Lampiran pertama berisi ringkasan akar masalah mafia hukum dan strategi yang perlu dilakukan untuk menjawab masalah tersebut. Lampiran kedua berisi matriks pola dan modus mafia hukum yang lebih detail yang disusun berdasarkan tahapan berperkara di setiap institusi penegak hukum dan pengadilan.
8
MAFIA HUKUM
B. MODUS MAFIA HUKUM
1. Pengantar Untuk memahami akar masalah mafia hukum serta mengembangkan model penanganan yang tepat, maka perlu diketahui terlebih dahulu modus-modus yang kerap dilakukan oleh para pelaku mafia hukum tersebut. Upaya untuk memahami modus mafia hukum tidak mudah mengingat berbagai tindakan mafia hukum dilakukan secara tersembunyi, tertutup dan cenderung saling melindungi. Beberapa modus yang berhasil digali memberikan gambaran bahwa kegiatan mafia hukum ini terjadi di berbagai lapisan/tahapan penegakan hukum, bahkan dari sebelum adanya perkara. Bagian ini akan mengelaborasi secara umum modus operandi mafia hukum yang kerap terjadi, baik sebelum ada perkara, dalam tahap pra penyelidikan, penyelidikan dan penyidikan, tahap pra penuntutan dan penuntutan, tahan pemeriksaan perkara di persidangan dan pemutusan perkara, tahap eksekusi putusan serta tahap di lembaga pemasyarakatan. Elaborasi secara rinci modus operandi di setiap tahapan ini dapat dilihat di bagian lampiran (Lampiran 2). 2. Sebelum Ada Perkara: Membangun Hubungan Baik dengan Aparat Penegak Hukum dan Hakim Dalam berbagai kasus modus operandi mafia hukum sudah dimulai sejak sebelum adanya perkara konkrit dimana para pihak yang berperkara membutuhkan “bantuan” dari aparat penegak hukum atau hakim untuk memenangkan perkaranya. Hal yang umum dilakukan adalah pihak-pihak yang terlibat aktif dalam praktik mafia hukum, misalnya calo perkara atau advokat, jauh-jauh hari sudah
Jauh sebelum ada perkara, calo perkara, advokat, pengusaha dan pihak lain berusaha membangun hubungan erat dengan polisi, jaksa, hakim serta pegawai di institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dengan cara memberi hadiah, fasilitas, bahkan tunjangan bulanan, dengan harapan adanya balas budi saat mereka membutuhkan bantuan
MAFIA HUKUM
9
membangun hubungan baik dengan aparat penegak hukum, panitera dan hakim sehingga jika nanti mereka akan mewakili pihak yang memiliki permasalahan hukum, mereka sudah memiliki orang-orang di setiap instansi penegak hukum dan pengadilan tersebut yang siap membantu. Cara yang dilakukan untuk membangun hubungan baik tersebut sangat beragam, mulai dari memberikan hadiah-hadiah mahal atau membiayai acara-acara khusus sang aparat penegak hukum, pegawai di kepolisian atau kejaksaan, panitera, pegawai pengadilan atau hakim (misalnya perkawinan, acara serah terima jabatan, dan seterusnya, membiayai pendidikan tinggi anak-anak mereka, membiayai saat aparat penegak hukum atau hakim hendak bepergian, dan sebagainya. Praktik ini juga dilakukan oleh aparat penegak hukum, pegawai kepolisian/kejaksaan, panitera, pegawai pengadilan atau hakim yang lebih rendah pangkat/ posisinya terhadap pejabat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan yang lebih tinggi. Strategi membangun hubungan baik dengan aparat penegak hukum dan hakim serta pegawai di institusi penegak hukum dan pengadilan kepolisian atau kejaksaan, panitera, pegawai pengadilan atau hakim dilakukan pula oleh pengusaha-pengusaha, baik yang menjalankan bisnis, terutama bisnis-bisnis illegal/semi illegal, seperti perjudian, illegal logging, narkoba, prostitusi, tempat hiburan, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk memastikan bisnisnya tidak ‘diganggu’ oleh aparat penegak hukum atau, jika mereka karena satu dan lain hal memiliki perkara maka mereka dapat menagih/menerima balasan dari hutang budi tersebut. Praktik yang dilakukan dalam konteks ini mirip dengan praktik sebelumnya, yakni dengan pemberian hadiah, fasilitas, dan sebagainya. Sebagian dari mereka bahkan memberikan semacam ‘tunjangan rutin’ kepada aparat penegak hukum dalam jumlah yang beragam, mulai beberapa juta hingga milyaran rupiah per bulan.10 Mereka juga umumnya memberikan dukungan finansial atau lobi guna mendorong aparat penegak hukum 10
Lihat penjelasan PPATK mengenai masalah rekening 15 polisi dalam http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/07/27/brk,20050727-64493,id.html.
10
MAFIA HUKUM
atau hakim yang menjadi ‘teman’ mereka untuk dipromosikan ke jabatanjabatan strategis di instansinya. Dalam batas tertentu, praktik-praktik di atas dilakukan pula oleh pejabat pemerintah, khususnya di daerah, misalnya dengan memberikan berbagai tunjangan atau fasilitas bagi pimpinan aparat penegak hukum.11 3. Tahap Pra Penyelidikan dan Penyelidikan Dalam proses penegakan hukum Dengan membayar sejumlah pidana, praktik mafia hukum uang atau jika pelapor adalah mulai terjadi pada saat awal maorang kuat, sengketa perdata syarakat yang menjadi korban –yang semestinya diselesaikan tindak pidana melaporkan dugadi pengadilan- dapat dilaporkan an tindak pidana, terutama ke ke kepolisian (dijadikan kasus kepolisian. Praktik yang umum pidana) untuk menakut-nakuti terjadi adalah adanya permintaan pihak lawan biaya ‘dinas’ oleh oknum kepolisian ke pelapor, misalnya dengan alasan untuk biaya transport dan biaya lain dalam menindaklanjuti laporan.12 Kepada pihak terlapor, aparat kepolisian dapat pula meminta uang atau menawarkan bantuan (dengan meminta imbalan) kepada terlapor dengan janji penanganan
11 Memang praktek ini umum terjadi dan dalam batas tertentu ada justifikasi yang lebih dapat dipertanggungjawabkan, misalnya untuk memastikan aparat penegak hukum atau hakim di daerahnya dapat menjalankan fungsi penegakan hukum secara maksimal –misalnya dengan pemberian tambahan biaya operasi, tunjangan, dan seterusnya. Namun hal tersebut jelas membawa implikasi aparat penegak hukum dan hakim yang telah mendapat fasilitas menjadi sulit bersikap profesional dan mandiri saat mengadili perkara di mana pimpinan Pemda atau Pemda sebagai institusi terlibat perkara. 12 Bahasa yang umum dipakai di kepolisian untuk menjelaskan praktik tersebut adalah “Susu Tante” atau (SU)mbangan (SU)karela (TAN)pa (TE)kanan.
MAFIA HUKUM
11
kasus tersebut akan menguntungkan terlapor. Praktek terakhir dapat pula terjadi dalam hal kepolisian mendapatkan laporan dugaan tindak pidana dari instansi negara, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Penyidik PPNS, dan seterusnya.13 Penentuan jenis kasus (perdata atau pidana) pun dapat dijadikan sebagai alat bagi para mafia hukum untuk mengais keuntungan. Bilamana pelapor telah memberikan sejumlah uang atau pelapor adalah seorang yang kuat, memiliki kekuasaan ataupun kedekatan tertentu dengan pejabat kepolisian, maka sengketa perdata dapat dilaporkan ke kepolisian dan dijadikan kasus pidana.14 Hal yang sebaliknya terjadi pula dimana perkara yang sebenarnya merupakan tindak pidana diangggap sebagai perkara perdata sehingga laporan/pengaduan ditolak –tentu atas “pesanan” dari terlapor. Dalam tahap pra penyelidikan dan penyelidikan pihak-pihak yang terlibat mafia hukum cukup luas, mulai dari polisi, terlapor/calon tersangka, pelapor, advokat ataupun mereka yang memang berprofesi sebagai calo perkara. Dalam kasus-kasus tertentu, praktik mafia hukum di tahap ini dilakukan pula oleh jaksa, khususnya jaksa bidang intelijen. Modus yang dilakukan adalah dengan melakukan pemanggilan terhadap seseorang yang diduga terlibat perkara pidana tertentu dan mengancam akan melanjutkan perkaranya ke tahap penyidikan.
13 Sebagai ilustrasi, dalam kasus dugaan tindak pidana Gayus Tambunan –pegawai Ditjen Pajak- oknum kepolisian diduga kuat telah meminta uang kepada Gayus -untuk meringankan (atau bahkan membuat kasus terhadapnya menjadi lemah)dengan menggunakan informasi dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang oleh Gayus dari PPATK. 14 Sebagai ilustrasi, terlapor memiliki hutang kepada pelapor namun tidak membayar hutang tersebut. Agar proses mendapatkan hutangnya kembali lebih cepat, pelapor melaporkan kasus tersebut ke kepolisian dan memberi uang agar laporan diproses dan terlapor ditahan. Biasanya tujuannya lebih untuk memaksa penghutang melunasi hutang sehingga kasus pidananya bisa dihentikan.
12
MAFIA HUKUM
4. Tahap Penyidikan Dalam tahap penyidikan moAparat kepolisian atau dus operandi dan para pihak kejaksaan meminta uang pada yang terlibat praktek mafia pelapor agar tersangka tidak hukum tidak terlalu jauh berditahap atau memberikan beda dengan dalam tahap penangguhan penahanan penyelidikan. Bedanya, praktik atau tidak perpanjangan masa mafia hukum di tahap ini lebih penahanannya. kerap dilakukan karena dalam melakukan penyidikan, kepolisian dan kejaksaan (dalam konteks tindak pidana khusus)15 memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa, seperti penahanan, penyitaan, dan seterusnya. Secara umum modus operandi di tahap penyidikan adalah oknum polisi maupun jaksa melakukan pemerasan, meminta atau menerima suap dari pihak-pihak yang terlibat tindak pidana maupun pihak-pihak lain terkait. Aparat, misalnya, meminta uang pada saksi korban/pelapor agar kasusnya ditindak lanjuti atau diprioritaskan. Atau, dalam hal ada penahanan, maka aparat dapat memeras tersangka untuk memberikan penangguhan penahanan atau tidak memperpanjang masa penahanan. Meski tidak ada tindak pidana, polisi atau jaksa tetap dapat melakukan praktik mafia hukum dengan cara mencari kesalahan pidana seseorang sehingga dapat diproses lebih lanjut –hal mana umumnya dilakukan berdasarkan “pesanan”. “Pesanan” tersebut bisa jadi diterima dari atasan aparat atau pihak yang memiliki kepentingan (baik secara langsung maupun melalui calo). Prinsip yang dipergunakan adalah dipilih dahulu target operasinya dan kemudian dicari-cari kesalahan pidananya, serta aturan hukum yang mendukung. Tidak jarang untuk melakukannya, kepolisian atau kejaksaan secara sengaja merekayasa bukti (membuat 15
Dalam tindak pidana khusus, seperti tindak pidana korupsi, jaksa memiliki kewenangan menyidik perkara.
MAFIA HUKUM
13
bukti tindak pidana yang sebenarnya tidak ada atau kerap disebut planting evidence). Modus lain yang kerap dilakukan adalah penyidik kepolisian atau kejaksaan melakukan pemanggilan seseorang tanpa menjelaskan statusnya atau mengancam akan mengubah status orang yang dipanggil dari “saksi” atau “terperiksa” menjadi tersangka jika tidak memberikan sejumlah uang. Penyidik dapat pula mengulur-ulur waktu proses pemeriksaan dengan maksud untuk melakukan negosiasi apakah perkara akan dilanjutkan atau dihentikan. Atau, cara lain yang mirip adalah dengan menggantungkan status seorang tersangka. Seseorang dapat dijadikan tersangka untuk waktu yang tidak ditentukan. Selama statusnya masih menjadi tersangka, oknum kepolisian dan kejaksaan dapat terus memeras orang tersebut dengan ancaman jika uang tidak diberikan maka kasusnya akan diteruskan dan yang bersangkutan akan menjadi terdakwa dan diproses ke pengadilan. Korban-korban inilah yang kerap disebut sebagai automatic teller machine (ATM)-nya polisi dan jaksa. Proses pemerasan atau penerimaan suap kerap pula terjadi dengan iming-iming agar penyidikan dihentikan, yakni dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), misalnya dengan alasan tidak ada bukti yang memadai atau perbuatan yang dilakukan bukanlah tindak pidana. Tidak jarang dilakukan pula penggelapan perkara, yaitu penyidik kepolisian tidak membuat Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke kejaksaan agar kasus tidak diketahui sehingga terbuka berbagai peluang untuk melakukan pemerasan ataupun permintaan imbalan. Kadang suatu perkara bahkan tidak dicatat atau dihilangkan dari catatan di kepolisian. Penggeledahan dan penyitaan juga merupakan upaya paksa yang kerap dijadikan lahan pemerasan, yakni dengan ancaman bahwa akan dilakukan penggeledahan atau penyitaan. Penyidik kadang menyita barang-barang yang tidak terkait perkara, menawarkan pengembalian barang sitaan,
14
MAFIA HUKUM
rekayasa barang bukti yang disita, penyitaan tidak dicatat, penggelapan barang sitaan dan pinjam pakai barang bukti serta melakukan sita akan tetapi tidak secara menyeluruh atau tidak lengkap. Seluruh praktikpraktik di atas dapat pula dilakukan atas inisitif tersangka atau pelapor (baik secara langsung maupun melalui perantaranya), yakni dengan menjanjikan sejumlah imbalan jika oknum kepolisian dan kejaksaan mau melakukan hal-hal yang mereka inginkan. 5. Tahap Pra Penuntutan dan Penuntutan Modus yang tidak jarang dilakukan oleh oknum jaksa pada tahap pra Modus mafia hukum yang penuntutan adalah menyatakan umum dipergunakan adalah BAP belum lengkap serta bertawar menawar pasal yang akan ulang kali mengembalikan BAP didakwakan. kepada penyidik, sampai pada akhirnya perkara tersebut tidak berlanjut.16 Hal ini tentunya dilakukan ber-dasarkan pesanan tersangka. Bila-mana ternyata kasusnya tidak bisa dihentikan di kepolisian, peluang menghentikan perkara di kejaksaan masih terbuka lebah, yakni dengan mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2). Atau, jika perkara tetap akan diproses ke tahap selanjutnya, modus mafia hukum yang umum dipergunakan adalah tawar menawar atas pasal yang akan didakwakan, dimana jika tersangka sepakat maka jaksa akan mendakwa dengan pasal yang paling meringankan. Hal tersebut dapat pula dilanjutkan dengan “kesepakatan” lain dimana jaksa akan dengan sengaja menyusun dakwaan yang lemah dengan cara membuat celah hukum dalam Surat Dakwaannya agar nantinya terdakwa dibebaskan oleh hakim dalam proses persidangan. Dalam tahap ini, para aktor mafia
16 Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa setiap jaksa mengembalikan berkas ke kepolisian pasti disebabkan karena praktik mafia. Kerap terjadi memang hasil penyidikan kepolisian masih belum cukup kuat secara hukum untuk diproses lebih jauh oleh kejaksaan ke pengadilan.
MAFIA HUKUM
15
hukum yang terlibat adalah jaksa penuntut umum, atasan jaksa penuntut umum (yang menyetir dakwaan jaksa), advokat, tersangka dan calo/ perantara. 6. Tahap Persidangan dan Pemutusan Perkara Di tingkat pengadilan, praktek mafia hukum mulai terjadi pada tahap awal, yakni pendaftaran perkara di pengadilan,17 termasuk pendaftaran perkara untuk proses banding, kasasi dan peninjauan kembali (PK). Modus yang umum terjadi di tahap ini adalah adanya permintaan biaya tidak resmi dalam proses pendaftaran perkara sampai dengan menawarkan penggunaan advokat tertentu yang memiliki hubungan baik dengan para hakim (termasuk advokat yang memiliki hubungan keluarga dengan hakim yang akan menangani perkara). Dalam perkara kepailitan, praktek di tahap awal ini misalnya menunjuk kurator tertentu yang dekat dengan hakim ataupun meminta diprioritaskan atau ditundanya registrasi perkara tertentu, dengan memberikan imbalan. Setelah proses pendaftaran perkara, modus mafia hukum berikutnya adalah pengaturan majelis hakim yang akan mengadili perkara tersebut. Dalam tahap ini pihak berperkara/advokatnya, baik secara langsung ataupun melalui makelar/calo, dapat meminta Ketua Pengadilan untuk menunjuk Hakim tertentu yang dianggap mudah atau mau diajak “bekerja sama”. Bahkan tidak jarang dalam kasus-kasus dengan nilai finansial besar Pimpinan Pengadilan yang berwenang mendistribusikan perkara akan menjadikan dirinya sebagai ketua majelis. Seperti halnya dalam tahap sebelumnya, kewenangan penahanan yang dimiliki oleh hakim dalam menangani perkara pidana juga rentan terhadap praktek mafia hukum. Tidak jarang hakim menangguhkan penahanan atau merubah status tahanan (misal tahanan rutan menjadi tahanan rumah) dengan meminta atau mendapatkan imbalan dari 17
Khusus untuk perkara Perdata, Tata Usaha Negara dan Agama.
16
MAFIA HUKUM
terdakwa, advokat atau calo perkara. Di sisi lain, korban (pelapor) juga dapat meminta hakim untuk menahan/melanjutkan penahanan terdakwa dengan memberi imbalan. Pada proses persidangan, para mafia hukum bekerja untuk melakukan rekayasa persidangan, misalnya mendorong sidang maraton (termasuk memotong tahap-tahap tertentu atau langsung memeriksa perkara di sidang pertama saat tergugat tidak hadir-dalam perkara perdata), “mengatur” saksi, barang bukti, pertanyaan hakim, jawaban serta putusan, menyelenggarakan sidang di sore hari atau hari Jum’at (sehingga sulit diamati publik), menyelenggarakan sidang di luar ruang persidangan18, dan sebagainya. Modus lain yang tidak jarang dilakukan adalah merekayasa pembuktian, misalnya mengakui bukti-bukti fiktif, dan mengabaikan bukti-bukti kuat dengan berkedok pada alasan formil atau pencatatan/pendokumentasian sidang tidak dilakukan semestinya sehingga sulit untuk dilacak. Pratik-praktik di atas dapat dilakukan oleh hakim, jaksa, advokat dan pihak-pihak lainnya. Praktik lain yang kerap dilakukan pula oleh oknum jaksa dalam tahap persidangan adalah melalui ketidakaktifannya memperjuangkan dakwaannya perkara, misalnya dengan tidak aktif bertanya, tidak berusaha mempertahankan argumentasinya, tidak menghadirkan saksi atau ahli yang dapat memperkuat dakwaannya, atau menghadirkan saksi atau ahli yang melemahkan dakwaannya karena memang sudah ada skenario pelemahan dakwaan. Tidak jarang pula oknum jaksa sengaja mengajukan tuntutan yang rendah karena telah melakukan negosiasi dengan terdakwa.
18 Tidak seluruh praktek semacam ‘persidangan’ yang dilakukan Hakim dengan salah satu pihak adalah bentuk modus mafia hukum. Bisa jadi hal tersebut merupakan proses mediasi yang memang menjadi salah satu tugas hakim dalam perkara perdata.
MAFIA HUKUM
17
Untuk perkara perdata, salah satu proses yang seringkali “diperdagangkan” adalah penetapan atau pencabutan sita jaminan. Sedangkan untuk melakukan sidang di tempat, tidak jarang panitera meminta biaya tidak resmi. Proses menjelang musyawarah hakim dan sidang ucapan (pembacaan putusan) merupakan titik yang paling rawan. Pada tahap ini pihak yang berperkara atau advokatnya ataupun melalui perantara/calo seringkali berusaha menawarkan imbalan agar hakim memutuskan perkara sesuai dengan harapan mereka.19 Atau oknum hakim, baik secara langsung maupun melalui perantara, menawarkan kepada salah satu pihak atau advokatnya untuk memenangkan perkara mereka dengan meminta imbalan tentunya. Cara yang lebih halus yang kadang dilakukan adalah oknum hakim memperlambat proses pengambilan keputusan sebagai isyarat agar para pihak/terdakwa menghubungi hakim. Dalam beberapa kasus, oknum hakim bahkan ‘melelang’ amar putusan dan ia akan memenangkan pihak membayar paling tinggi.20 Untuk perkaraperkara kecil atau perkara dimana permasalahan hukum yang ditangani sangat terang benderang, umumnya hakim memutus perkara sesuai hukum yang ada namun meminta “uang terima kasih” kepada pihak yang dimenangkan (atau pihak yang dimenangkan secara sukarela memberikan hadiah atau uang sebagai ungkapan terima kasih). Hal yang juga kerap terjadi di pengadilan adalah oknum jaksa/advokat/ calo menipu salah satu pihak/para pihak (pada perkara perdata) atau terdakwa/korban (pada perkara pidana) seolah-olah hakim me-minta uang dengan jumlah tertentu padahal hakim tidak meminta, atau
19
Hal yang ditawarkan bisa sangat beragam mulai dari membebaskan terdakwa/ terpidana atau memutus dengan hukuman yang ringan (untuk perkara pidana), memenangkan pengugat/tergugat, mengatur besar ganti rugi, memutus perkara tidak dapat diterima, dsb. 20 Dalam praktek terjadi pula hakim menerima suap dari kedua belah pihak sekaligus.
18
MAFIA HUKUM
kalaupun meminta jumlahnya tidak setinggi yang disebutkan. Saat menjelang musyawarah Setelah putusan dibacakan, tidak hakim dan pembacaan putusan berarti praktik mafia hukum semerupakan titik yang rawan lesai. Untuk mendapatkan salinan dimana pihak berperkara/ putusan pengadilan, para pihak advokat/ calo berusaha umumnya harus membayar biaya menawarkan imbalan agar di luar ketentuan yang diminta hakim memutus perkara sesuai oleh para petugas pengadilan. Di dengan harapan mereka atau MA, setelah putusan dibacakan, hakim meminta uang untuk proses hingga putusan dapat memenangkan perkara salah sampai ke tangan para pihak satu pihak masih panjang karena harus melalui tahap pengetikan putusan (minutasi), koreksi, pencatatan dan pengiriman ke pengadilan asal –yang kemudian akan memberikan ke para pihak/penuntut umum. Dalam tahap ini, modus mafia hukum yang terjadi, antara lain, oknum MA meminta uang untuk mempercepat proses-proses tersebut atau bahkan untuk memperlambatnya (umumnya hal ini dilakukan atas permintaan pihak yang kalah). Penipuan sampai pada pemalsuan putusan kadang terjadi di tahap ini. Dengan modal mengintip advisblaad hakim agung (sebelum putusan bulat diambil) atau setelah putusan dibacakan namun belum dikirim ke para pihak, oknum pengadilan dapat mengaku bisa membantu memenangkan perkara yang sebenarnya telah putus atau sudah dapat diduga hasilnya. Bahkan yang lebih berani dan nekat, oknum pengadilan memalsukan isi putusan dengan mencabut dan mengganti lembar yang berisi amar putusan. Pada saat putusan telah dijatuhkan, penuntut umum -yang telah menerima imbalan tertentu dari pihak yang kalah- tidak jarang sengaja tidak melakukan upaya hukum atas putusan pengadilan tersebut atau terlambat mengajukan Memori Banding atau Memori Kasasi atau mengajukan Memori Banding atau Memori Kasasi yang lemah secara hukum, tentunya atas permintaan pihak yang kalah.
MAFIA HUKUM
19
7. Tahap Eksekusi Putusan Persoalan eksekusi dari putusan merupakan persoalan tersendiri. Walaupun hakim telah memenangkan perkara seseorang, tanpa memberikan sejumlah uang kepada petugas, maka proses eksekusi putusan dapat diterlantarkan atau juru sita tidak ditunjuk hingga proses eksekusi tidak dapat dilakukan. Jurusita dapat memeras pihak tersita, dengan imbalan penundaan eksekusi atau penggelapan barang yang akan dieksekusi. Pada masa lalu, penundaan ini juga dapat menggunakan “tangan” MA, yaitu meminta Pimpinan MA untuk mengeluarkan “surat sakti” guna menangguhkan eksekusi. Di sisi lain oknum jaksa dapat dengan sengaja menunda atau tidak melakukan eksekusi atas putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Jaksa dapat pula melakukan eksekusi, misalnya merampas barang bukti (berupa uang, gedung atau barang) akan tetapi tidak menyetorkan sama sekali atau hanya menyetor sebagian saja kepada negara. Jaksa dengan bersekongkol dengan pihak lain tidak jarang melakukan penjualan atas barang rampasan tidak melalui prosedur yang seharusnya. Terjadi pula pratik menggelapkan barang sitaan/rampasan. Atau, kerap terjadi pula oknum jaksa hanya akan memberikan putusan pengadilan/extract vonis kepada terdakwa/terpidana setelah terdakwa/ terpidana memberi imbalan. 21 Khususnya dalam proses pemberesan perkara kepailitan, praktik yang umum terjadi adalah Kurator bekerjasama dengan Hakim Pengawas melakukan keputusan penjualan ataupun penggelapan aset dengan menjual dibawah harga pasar yang berakibat kerugian bagi budel pailit.
21
Putusan/extract vonis penting artinya bagi terdakwa/terpidana karena itu merupakan alat bagi mereka untuk mengetahui status mereka (bersalah atau tidak) atau berapa lama hukuman yag mereka terima. Hanya dengan adanya putusan/ exctract vonis itu terdakwa yang dibebaskan/masa tahanannya sudah lewat dapat meminta pembebasan (atau hak-haki lain) ke Pemasayarakatan.
20
MAFIA HUKUM
Disamping pratik mafia hukum dalam tahapan-tahapan di atas, hampir terjadi di semua tahapan adalah perilaku pejabat/petugas MA memperlambat atau mempercepat proses perkara (proses pemberian berkas awal ke Ketua MA untuk dibagikan, proses pemberian berkas ke majelis, proses minutasi, proses administrasi setelah putusan) dengan meminta imbalan pada advokat/salah satu pihak yang berkepentingan. Selain itu petugas pengadilan kerap meminta biaya kepada orang yang ingin mengetahui status perkara, supaya informasi bisa diperoleh cepat. Apabila pihak yang dimintai tidak membayar, maka ia tidak dibantu atau dipersulit untuk mengetahui status informasi perkara. 8. Tahap Pemasyarakatan Praktik mafia hukum di Pemasyarakatan terjadi baik ketika terdakwa (tahanan) dititipkan di Rumah Tahanan (Rutan), maupun ketika putusan telah dijatuhkan dan terpidana (napi) harus menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Modus yang umumnya terjadi di sini adalah aparat Pemasyarakatan menawarkan berbagai fasilitas di luar standar yang ditentukan kepada tahanan/napi dengan meminta imbalan atau melakukan pu-ngutan liar, khususnya kepada keluarga tahanan/ napi untuk mendapatkan hak-haknya. Pungutan liar umum dilakukan oleh Petugas Rutan atau Lapas kepada keluarga tahanan/napi ketika mengunjungi mereka di setiap pintu masuk ke Rutan atau Lapas. Jika keluarga berkenan membayar lebih besar, maka pertemuan dengan tahanan/ napi dapat dilakukan di tempat yang lebih nyaman dan privat (tidak bercampur dengan yang lain) serta di dalam ruangan
Praktik yang umum terjadi adalah petugas Pemasyarakatan menawarkan berbagai fasilitas kepada tahanan/napi dengan meminta imbalan atau melakukan pungutan liar atau memeras keluarga tahanan/napi untuk mendapatkan hakhaknya
MAFIA HUKUM
21
yang memiliki fasilitas pendingin (AC). Dalam masa penahanan, waktu kunjungan ditentukan yakni pada waktu-waktu tertentu saja. Namun dengan membayar sejumlah uang maka dispensasi dapat diberikan. Napi atau tahanan dapat pula membayar kepada aparat Lapas/Rutan untuk memperoleh fasilitas khusus yang berbeda dengan napi/tahanan lainnya dalam ruangan tahanan/lembaga pemasyarakatan, misalnya ruangan berpendingin udara, TV, dispensasi untuk menggunakan telepon seluler, akses internet, dan sebagainya. Selain pungutan liar dan fasilitas fisik sebagaimana dijelaskan di atas, hal yang kerap menjadi komoditi petugas Lapas adalah “fasilitas non fisik” atau hak-hak napi, seperti Remisi, Cuti Menjelang Bebas (CMB), Pembebasan Bersyarat (PB), asimilasi, ijin menjenguk keluarga atau ijin berobat/rawat inap di rumah sakit diluar Rutan/Lapas. Dalam kasus-kasus yang mencuat, apabila tidak ada uang pelicin, maka akan ada beberapa konsekwensi yang harus ditanggung napi: dipersulit birokrasi untuk memperoleh hak-hak tersebut, hak-hak tersebut tidak diberikan atau hanya diberikan sebagian. Lebih jauh lagi, untuk dapat dikeluarkan dari Rutan atau Lapas –jika ternyata hakim membebaskan terdakwa atau setelah masa hukuman dijalani- tidak jarang tahanan atau napi juga harus mengeluarkan uang pelicin.22 Pihak-pihak yang terlibat dalam modus di atas beragam, mulai dari Sipir, Kepala Keamanan dan Tim penilai kelakuan napi/tahanan, Jaksa, Panitera pengadilan serta Kepala Lapas.
22
Sebagai ilustrasi, jika terdakwa diputus bebas oleh pengadilan maka diperlukan ekstrak vonis. Namun masalahnya, seringkali pemberian ekstrak vonis ini lambat atau dimainkan oleh oknum pengadilan atau kejaksaan. Karenanya, bila tahanan atau napi ingin cepat dapat surat ini, maka ia harus memberikan uang kepada pihak Lapas/ rutan untuk mengurus berkas, dan sekaligus memberikan uang pada panitera.
22
MAFIA HUKUM
Akar Masalah Mafia Hukum
Kelemahan Pengawas Internal & Eksternal serta Sanksi
Kelemahan Peraturan Kelemahan Manajemen SDM (Rekrutmen, Mutasi Promosi, Evaluasi Kinerja, dsb)
Gaji /Tunjangan & Anggaran Kurang Memadai Kelemahan Kepemimpinan p p (kurang: integritas, ketegasan, kemampuan dorong perubahan)
K l Kelemahan h Sistem Si t Penanganan P Perkara (minim: checks and balances, batas waktu, akses informasi
MAFIA HUKUM
23
C. AKAR MASALAH SERTA STRATEGI UNTUK MENCEGAH, MEMINIMALISIR DAN MENANGGULANGI MAFIA HUKUM
1. Penyebab Mafia Hukum bukan Sekedar Masalah Teknis atau Karena Minimnya Pengawasan Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, di setiap tahapan berperkara, bahkan sebelum proses tersebut dimulai, praktik mafia hukum telah terjadi dengan beragam modus operandinya. Pertanyaan besar yang perlu dijawab adalah mengapa praktik tersebut dapat begitu marak terjadi? Bagaimana cara untuk mencegah, meminimalisir dan menanggulanginya? Jika kita hanya terfokus pada melihat modus yang ada kita mungkin tergoda untuk memetakan masalah yang menyebabkan praktik tersebut di tingkat yang sifatnya teknikal. Sebagai ilustrasi, salah satu penyebab modus operandi penentuan “favorable judges” –yakni praktik dimana advokat/salah satu pihak (atau calo perkara atau Ketua Pengadilan) mengatur/memesan hakim yang akan memeriksa suatu perkara (sehingga putusannya dapat diatur)- adalah karena diskresi yang besar dari Ketua Pengadilan untuk menentukan majelis hakim dalam suatu perkara. Dengan cara pemahaman demikian, problem ini seakan dapat dengan mudah dijawab melalui, misalnya, mengintrodusir model pendistribusian perkara secara acak/random, baik secara manual maupun dengan sistem komputer, sebagaimana diterapkan di negara lain. Rasionya: model tersebut membuat diskresi Ketua Pengadilan dalam penentuan majelis hakim lebih sempit (misalnya hanya untuk perkara yang membutuhkan keahlian khusus).23 Namun permasalahannya, sistem demikian dengan mudah dapat disimpangi oleh Ketua Pengadilan sendiri. 23
Dalam kasus tertentu adalah ideal bagi Ketua Pengadilan untuk secara khusus menentukan siapa hakim yang tepat untuk mengadili perkara yang memiliki kompleksitas tertentu atau membutuhkan keahlian tertentu yang tidak dimiliki setiap hakim. Sebagai ilustrasi, untuk mengadili kasus hukum lingungan, idealnya hakim yang menangani perkara tersebut adalah hakim yang memiliki kemampuan dan pemahaman yang baik mengenai isu hukum lingkungan, misalnya hakim yang telah mengikuti pelatihan khusus hukum lingkungan. Dalam kasus demikian, model pendistribusian perkara secara acak perlu disimpangi.
24
MAFIA HUKUM
Hal di atas disebabkan karena akar masalah dalam kasus seSebagian besar akar masalah macam ini bukanlah sematayang menyebabkan suburnya mata teknikal, namun sistemik: praktek mafia hukum bukanlah (a) integritas Ketua Pengadilan semata-mata masalah yang rendah –karena sistem teknikal, namun sistemik dan penentuan pimpinan pengadilan berhubungan dengan masalah yang memang belum obyektif;24 kepemimpinan, budaya, dan (b) tidak adanya kontrol dari sebagainya rekan kerja (hakim dan pegawai) yang pada umumnya paham praktik negatif semacam ini –atau mungkin juga menikmati praktik tersebut; (c) tidak ada sistem kontrol yang efektif untuk memantau hal tersebut –misalnya data tentang berapa banyak perkara yang dipegang seorang hakim dengan advokat tertentu tidak terekam dalam sistem pendataan perkara yang ada di pengadilan saat ini (meski andai data tersebut ada praktik semacam ini tetap sulit terbongkat karena minimnya pengawasan -misalnya untuk mengolah data yang ada). Bahkan jika pola distribusi perkara akan dilakukan secara acak oleh komputer maka pengintrodusiran sistem canggih tersebut belum tentu dapat menjawab masalah di atas. Pengalaman membuktikan bahwa penerapan teknologi canggih di pengadilan (dan di institusi penegak hukum lain) umumnya hanya berjalan sesaat –yakni saat awal program tersebut dilakukan. Seiring dengan waktu, sistem komputer tidak akan digunakan lagi atau tidak berguna karena, antara lain, : sistem tidak dirawat (alat dibiarkan rusak dan kerusakan sengaja tidak diperbaiki atau tidak ada dana perbaikannya), sistem tidak dapat dioperasionalkan (misal karena pengelola sistem komputer sudah tidak ada dan tidak ada yang bisa menggantikannya), data tidak diinput (sehingga tidak ada data yang dapat dimanfaatkan), dan sebagainya. 24 Hal ini terjadi baik karena data kepegawaian yang dimiliki MA tidak memadai untuk dapat memberikan kesimpulan mengenai integritas dan kualitas seorang hakim, adanya praktik KKN dalam penentuan promosi, tidak adanya sistem mutasi dan promosi berbasiskan kinerja, dsb.
MAFIA HUKUM
25
Dengan memahami berbagai akar masalah tersebut, maka solusi untuk membuat sistem pendistribusian perkara secara acak –bahkan dengan sistem komputer secanggih apapun- sulit diharapkan akan menjawab permasalahan yang ada. Dalam batas tertentu, pemahaman dan ‘jawaban’ langsung atas permasalahan yang dipetakan dari modus operandi mafia hukum dapat membantu kita untuk mencegah, atau setidaknya meminimalisir praktik tersebut. Sebagai ilustrasi, dalam beberapa kasus di MA, calo perkara dapat “bermain” bebas karena masalah ketiadaan akses informasi. Berbeda dengan persidangan di pengadilan tingkat pertama, sidang di MA tidak dihadiri para pihak. Karenanya, saat majelis memutus perkara hingga putusan tersebut di terima para pihak, ada kesenjangan waktu yang sangat lama –dapat mencapai hitungan tahun- karena setelah diputus, putusan masih harus dikonsep pertimbangan hukumnya oleh panitera pengganti,25 diketik, dikoreksi, ditandatangani, diberikan ke bagian administrasi perkara untuk dicatat dan dikirim ke pengadilan tingkat pertama dan baru diberikan oleh pengadilan tingkat pertama ke para pihak. Sebelum perkara sampai ke tangan para pihak, mereka tidak tahu apakah perkara telah putus dan apa putusannya. Kesenjangan informasi ini kerap dipergunakan pihak yang telah mengetahui isu putusan tersebut (pengetik, panitera pengganti, petugas administrasi perkara, dan lain-lain) untuk berpura-pura menawarkan jasa ke pihak yang sebenarnya telah menang untuk seolah-olah dapat membantu mereka memenangkan perkara. Masalah teknis ini sebenarnya dapat diselesaikan jika jadwal sidang hakim agung untuk memutus suatu perkara diinformasikan ke para pihak atau setidaknya para pihak bisa mengetahui kapan perkaranya akan diputus sehingga jika ada pihak yang berusaha menipu (setelah putusan diputus) mereka mengetahuinya. Meski solusi modus mafia hukum dalam bentuk “penipuan” sebagaimana dijelaskan di atas sebenarnya sederhana, dalam praktik pelaksanaan 25
26
Berdasarkan advisblad (pendapat hukum) yang dibuat oleh para hakim agung.
MAFIA HUKUM
solusi tersebut tidak mudah. Solusi semacam itu telah dijadikan rencana pembaruan dalam cetak biru pembaruan MA. Bahkan dalam SK KMA No. 144/2007 tentang keterbukaan informasi, jadwal sidang hakim agung merupakan informasi yang harus diumumkan oleh MA. Masalahnya, hingga kini, hal tersebut tidak pernah dilakukan. Kalaupun MA sudah mengumumkan jadwal sidang dalam situsnya, dengan kinerja mereka saat ini, publik tetap sulit untuk diyakinkan bahwa hal tersebut dapat dilakukan secara konsisten (jadwal diinput secara terus menerus, tepat waktu, dan seterusnya). Sekali lagi hal ini menunjukkan bahwa meski ada cara penanggulangan praktik mafia hukum secara teknikal, solusi semacam ini kerap kandas karena ada masalah-masalah mendasar lain di instituti penegak hukum dan pengadilan, bukan semata-mata ketiadaan pemahaman akan modus atau ketidaktahuan tentang cara meminimalisir praktik mafia hukum tersebut. Pengawasan eksternal kerap dianggap sebagai solusi utama untuk mencegah, meminimalisir serta menanggulangi masalah mafia hukum. Meski jelas peran lembaga pengawas eksternal diperlukan, dalam beberapa hal pengawas eksternal baru dapat menjalankan fungsinya dengan optimal jika ada pengaduan masyarakat yang berbobot atau dalam hal adanya kasus-kasus yang menarik perhatian publik. Pengawas eksternal sulit untuk melakukan pengawasan melekat seperti yang seharusnya dilakukan oleh setiap level pimpinan lembaga penegak hukum dan pengadilan karena besarnya lingkup kerja tersebut. Permasalahannya, pengaduan masyarakat umumnya dilakukan jika ada pihak yang dirugikan. Dalam konteks pengadilan, pengaduan masyarakat cukup banyak karena hampir selalu ada pihak yang dirugikan atas putusan pengadilan. Mereka yang melihat ada indikasi permainan dalam pemeriksaan perkara di pengadilan memiliki ‘peluru’ untuk mengadukan hal tersebut. Selain itu, proses persidangan dilakukan secara terbuka sehingga publik –khususnya media massa- mudah untuk mengikuti persidangan sehingga kejanggalan-kejanggalan yang muncul di persidangan dapat disiarkan dan mungkin akan menjadi perhatian publik.
MAFIA HUKUM
27
Permasalahannya, dalam konKarena proses persidangan teks mafia hukum di kepolisian dilakukan secara terbuka dan dan kejaksaan, kondisinya berdalam putusan pengadilan beda. Umumnya praktek mafia kerap ada pihak yang kalah, hukum di kepolisian dan kejakbanyak pengaduan masyarakat saan dilakukan atas dasar saatas dugaan praktik mafia ling menguntungkan, terutama hukum terhadap hakim. dalam kasus-kasus dimana tidak Dalam konteks kepolisian dan ada korban langsung (individual) kejaksaan, pengaduan praktik dari masyarakat, misalnya kamafia hukum relatif tidak terlalu sus perjudian, narkoba, korupsi, besar karena umumnya para illegal logging, dan seterusnya. pelaku sama-sama diuntungkan Jika pelaku tindak pidana judi, dan proses di kepolisian dan narkoba, korupsi atau dapat berkejaksaan sifatnya tertutup negosiasi dengan kepolisian atau kejaksaan, maka besar kemungkinan kasus tersebut akan “selesai”: oknum polisi dan jaksa mendapatkan imbalan dan pelaku tindak pidana dilepaskan/tidak diproses. Semua diuntungkan dan tidak akan ada laporan/pengaduan yang akan masuk. Hanya dalam kasus-kasus tertentu saja mungkin proses tersebut tidak lancar, misalnya jika ada publikasi gencar di media atau ada LSM yang mengetahui adanya dugaan mafia hukum dan melakukan upaya-upaya advokasi agar kasus diproses terus. Selain itu, berbeda dengan pengadilan, proses di kepolisian dan kejaksaan dilakukan secara tertutup sehingga peluang media massa untuk ikut mengawal/mengawasi penyelesaian kasus relatif lebih kecil. Berangkat dari pemahaman atas masalah-masalah di atas, bagian ini akan mengidentifikasi hal-hal mendasar yang menjadi akar masalah praktik mafia hukum serta menawarkan strategi untuk mencegah, meminimalisir dan menanggulanginya. Meski demikian, beberapa ‘jawaban-jawaban” teknikal tetap akan ditawarkan selama dianggap jawaban-jawaban tersebut relatif dapat dijalankan oleh lembaga penegak hukum dan pengadilan tanpa biaya yang besar dan tingkat keberhasilan yang
28
MAFIA HUKUM
cukup besar jika dijalankan. Selain itu, dengan menyadari keterbatasan yang dimiliki lembaga pengawas eksternal, bagian ini tetap akan mengelaborasi peran penting lembaga pengawas eksternal untuk menjawab permasalahan yang ada. Berdasarkan analisis yang dilakukan, ada beberapa akar masalah yang mendorong suburnya praktik mafia hukum, yakni: (a) kepemimpinan (leadership) di lembaga penegak hukum yang lemah; (b) sistem manajemen SDM yang kurang baik –termasuk sistem rekrutmen, mutasi, promosi dan evaluasi kinerja aparat penegak hukum dan hakim; (c) terbatasnya anggaran lembaga penegak hukum untuk menjalankan fungsinya secara efektif; (d) gaji dan tunjangan aparat penegak hukum dan hakim yang relatif kurang memadai; (e) kelemahan sistem pengawasan, baik eksternal maupun internal serta sanksi bagi pelanggar yang tidak tegas; (f) kelemahan dalam standard operation procedur (SOP), termasuk di dalamnya SOP yang masih memberikan diskresi yang terlalu besar tanpa sistem checks and balances serta akuntabilitas yang memadai, tidak adanya/tidak dijalankankan standar minimum waktu pelayanan, dan seterusnya; (g) minimnya akses informasi bagi publik dan pencari keadilan; dan (h) kelemahan dalam Undang-undang dan peraturan pendukung lain untuk mencegah dan memberantas mafia hukum. 2. Kepemimpinan (Leadership) AKAR MASALAH. Akar masalah utama mafia hukum pada lembaga penegak hukum dan pengadilan adalah kelemahan kepemimpinan (leadership) lembaga-lembaga tersebut karena sebagian orang-orang yang berada di posisi-posisi strategis adalah mereka yang kurang memiliki integritas yang kokoh, tidak memiliki kemauan politik atau kemampuan dan keberanian untuk mendorong perubahan. Mereka bisa jadi merupakan salah satu unsur pimpinan pada lembaga penegak hukum dan pengadilan atau pejabat setingkat eselon III di bagian yang strategis (misalnya pimpinan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan di kota-kota besar). Masalah ini yang menyebabkan sebagian dari rencana
MAFIA HUKUM
29
pembaruan yang telah disusun, usulan-usulan konkrit perubahan yang telah ditawarkan berbagai pihak serta laporan-laporan atau berita-berita dugaan pelanggaran yang dilakukan aparat penegak hukum dan hakim/ pegawai pengadilan, tidak diimplementasikan sebagaimana diharapkan. Problem leadership memiliki impak sangat besar karena unsur sebagian orang-orang yang pimpinan memiliki kewenangan berada di posisi-posisi strategis untuk mengangkat pejabatadalah mereka yang kurang pejabat di posisi strategis. memiliki integritas yang kokoh, Umumnya unsur pimpinan tidak memiliki kemauan atau lembaga penegak hukum dan kemampuan dan keberanian pengadilan mengakui bahwa untuk mendorong perubahan praktik mafia hukum benar adanya, namun tidak mudah diberantas. Istilah yang kerap digunakan adalah “baunya tercium namun sulit membuktikannya”. Masalahnya, dalam praktik, kita menemukan bahwa pejabat-pejabat yang “bau” KKN-nya (atau setidaknya praktik ketidakprofesionalannya) tercium kuat justru ditempatkan dalam posisiposisi penting. Dengan kondisi demikian, sulit bagi masyarakat untuk dapat percaya unsur pimpinan lembaga penegak hukum dan pengadilan serius untuk memberantas mafia hukum dan untuk memastikan pengawasan melekat -yang seharusnya dilakukan para unsur pimpinan tersebut- dapat berjalan optimal. Perlu dipahami bahwa masalah-masalah yang menyelimuti lembaga penegak hukum dan pengadilan bukanlah masalah yang mudah diselesaikan karena begitu kompleks –apalagi dengan minimnya dukungan SDM yang ada- sehingga untuk mencegah, meminimalisir atau menanggulanginya dibutuhkan kepemimpinan yang bukan hanya berintegritas tinggi, namun juga memiliki visi, pemahaman atas masalah, memiliki dukungan yang kuat serta berani.
30
MAFIA HUKUM
STRATEGI PERBAIKAN. Strategi untuk mencegah, meminimalisir atau menanggulangi permasalah di lembaga penegak hukum dan pengadilan, khususnya mafia hukum, tidak dapat dilakukan dalam waktu pendek dan tanpa dukungan berbagai pihak. Karena itu, Satgas PMH perlu mendukung peletakan dasar pembaruan sistemik dan memperluas dukungan langkah pembaruan dari dalam lembaga penegak hukum dan pengadilan, yakni dengan memfasilitasi proses evaluasi rekam jejak integritas dan kinerja unsur-unsur pimpinan lembaga-lembaga serta individu-individu yang berpotensi menjadi pimpinan untuk mendapatkan agen perubahan (agents of change) di setiap institusi penegak hukum dan pengadilan. Proses sebagaimana dijelaskan di atas dapat dilakukan dengan, Aparat yang diduga kuat tidak antara lain: berintegritas (meski tidak ada • melakukan evaluasi pemenudata keras untuk membuktikan han kewajiban pelaporan kehal tersebut untuk dilakukan kayaan pejabat, evaluasi kese pendispilinan), atau setidaknya suaian harta yang dilaporkan jelas-jelas tidak berprestasi, perlu dalam LHKPN dengan kondisi diidentifikasi dan dicatat dalam riil serta sumber pemasukan suatu daftar sehingga karirnya mereka, kejanggalan aset,26 harus dianggap “selesai”. dan seterusnya. • evaluasi kinerja unsur pimpinan dan pejabat yang memegang posisi strategis di lembaga penegak hukum (keberhasilan dalam menjalankan Reformasi Birokrasi, ketegasan dalam melakukan pengawasan dan penjatuhkan sanksi atau merespon kasus-kasus menarik perhatian publik, keberhasilan/ 26 Dalam beberapa kasus diketahui bahwa ada kecederungan beberapa aparat penegak hukum dan hakim misalnya memiliki tanah di tempat ia pernah bertugas, bukan (hanya) dengan membelinya, namun juga dengan memeras/meminta aset pencari keadilan atau hadiah dari pencari keadilan/Pemda di wilayah tugasnya. 27 Misalnya Polisi, Jaksa dan Hakim -terutama yang menjadi Pimpinan- yang produk kerjanya dinilai tidak baik (misal dakwaannya atau putusannya sangat lemah dan diduga ada “sesuatu” dibaliknya –meski tidak bisa dibuktikan kebenarannya) harus dicatat dan karirnya tidak diperjuangkan kembali.
MAFIA HUKUM
31
•
kualitas penanganan perkara,27 dan seterusnya). Melakukan cross check dengan kelompok yang kerap berinteraksi dengan aparat penegak hukum dan hakim, misalnya advokat atau aparat yang dikenal luas berintegritas tinggi (karena pada dasarnya informasi mengenai siapa polisi, jaksa dan hakim “putih”, “abu-abu” atau “hitam” cukup diketahui luas di kalangan tersebut).
Database rekam jejak unsur pimpinan dan pejabat penting di atas dijadikan bahan monitoring kebijakan promosi dan mutasi aparat penegak hukum dan hakim. Aparat yang diduga kuat tidak berintegritas baik (meski tidak ada data keras untuk membuktikan hal tersebut guna dilakukan proses pendispilinan), perlu dicatat dalam “daftar hitam” sehingga karirnya harus dianggap “selesai”. Selain itu data tersebut dapat pula dijadikan alat ukur pelaksanaan Reformasi Birokrasi –seberapa sungguh-sungguh unsur pimpinan lembaga penegak hukum dan pengadilan memastikan orang terbaik untuk menempati posisi-posisi strategis. 3. Manajemen SDM dan Reformasi Birokrasi Secara Umum AKAR MASALAH. Maraknya praktik mafia hukum tidak dapat Evaluator Reformasi Birokrasi dilepaskan dari rusaknya sistem pada Pengadilan mengaku tidak pengelolaan (manajemen) aparat diberitahu alat ukur yang harus penegak hukum dan hakim. Sejak dipakai untuk menilai kinerja aparat penegak hukum dan hakim pembaruan pengadilan dan mendaftar ke lembaga penegak evaluator pada Kejaksaan hanya hukum dan peradilan, mereka menilai pemenuhan check list sudah harus mengeluarkan pembaruan kejaksaan tanpa uang suap dengan mereka yang menilai substansi dan impaknya. menentukan hasil rekrutmen. Faktor utama untuk menentukan siapa yang akan memegang pos-pos tertentu kerap bukanlah kinerja aparat penegak hukum dan hakim, namun hubungan baik dengan
32
MAFIA HUKUM
atasan maupun uang pelicin.28 Karena itu mustahil untuk menyelesaikan masalah mafia hukum tanpa adanya perbaikan total sistem manajemen SDM lembaga penegak hukum dan pengadilan. Sebenarnya hampir setiap institusi penegak hukum sudah memiliki rencana perbaikan pengelolaan sumber daya manusia. Permasalahnya, rencana-rencana tersebut tidak dijalankan secara baik dan konsisten sehingga tidak dapat menjawab masalah secara mendasar. Beberapa tahun terakhir, pemerintah mendorong dilaksanakannya reformasi birokrasi –yang salah satu fokus utamanya adalah perbaikan sistem manajemen SDM- di beberapa institusi negara, termasuk kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dengan janji peningkatan tunjangan (remunerasi). Namun pelaksanaan program Reformasi Birokrasi terkesan kuat tanpa agenda yang jelas karena tidak ada indikator yang jelas untuk mengukur keberhasilan program reformasi birokrasi serta mekanisme penilaian yang kredibel. Tunjangan hakim misalnya, telah dinaikkan sebenar 70% tanpa adanya peningkatan kinerja dari pengadilan secara riil.29 Belum lama ini Menpan menunjuk evaluator independen untuk menilai capaian reformasi birokrasi di instistusi kejaksaan dan pengadilan. Namun evaluasi tersebut dilakukan hanya bersifat proforma30 tanpa arahan dan alat ukur yang jelas.31 28
Lihat misalnya Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pengelolaan SDM Pengadilan (MA, 2003), beberapa rencana Program Pembaruan Kejaksaan yang sudah disahkan dalam bentuk Peraturan Jaksa Agung. 29 Salah satu kinerja pengadilan yang dianggap baik sehingga layak mendapatkan kenaikan tunjangan adalah dengan menetapkan SK 144 tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Meski langkah tersebut jelas positif, langkah tersebut sangat kecil dibandingkan agenda besar reformasi yang harus dilakukan pengadilan. Bahkan evaluasi pelaksanaan SK 144 sendiri menyatakan bahwa hingga tahun 2009 praktis SK tersebut masih sulit diimplementasikan. 30 Misalnya saat evaluator menilai reformasi birokrasi di kejaksaan, mereka hanya melihat apakah, sesuai check list, kejaksaan sudah melakukan program-program yang direncanakan. Jika program sudah dilakukan, maka program reformasi dinilai sukses, walau sangat mungkin substansi perubahannya tidak ada atau tidak mampu menjawab masalah.
MAFIA HUKUM
33
STRATEGI PERBAIKAN. SATGAS PMH diharapkan dapat membantu pelaksanaan Reformasi Birokrasi agar dapat mencapai tujuannya, misalnya dengan mendukung Menpan dan lembaga terkait dalam memperbaiki konsep Reformasi Birokrasi yang berjalan saat ini serta membantu evaluasi penilaian kinerja lembaga penegak hukum dan pengadilan dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi. 4. Gaji dan Tunjangan AKAR MASALAH. Secara umum, gaji dan tunjangan aparat Perlu dipastikan agar kenaikan penegak hukum relatif kurang gaji dan tunjangan aparat memadai, kecuali bagi hakim penegak hukum tidak dilakukan yang baru-baru ini mendapatkan sebelum ada reformasi birokrasi peningkatan tunjangan yang yang nyata (adanya peningkatan relatif lebih baik. Hal ini menkinerja) oleh institusi mereka. dorong sebagian aparat penegak hukum –yang mungkin awalnya cukup berintegritas- “terpaksa” melakukan praktik mafia hukum dan kemudian hal tersebut terus menjadi budaya. Memang peningkatan gaji atau tunjangan mungkin tidak akan berpengaruh besar dalam jangka pendek karena tidak mungkin peningkatan gaji/tunjangan dapat “bersaing” dengan pemasukan sebagian (besar) aparat penegak hukum/ hakim yang mereka peroleh dari praktik KKN. Namun diharapkan dalam jangka panjang, hal ini dapat mencegah aparat penegak hukum/hakim khususnya yang baru menjabat untuk tidak memulai praktik tercela ini karena masalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar mereka, serta merangsang mahasiswa hukum terbaik untuk mau bekerja di lembaga penegak hukum/pengadilan. 31
Evaluasi yang dilakukan terhadap pengadilan lebih tidak jelas lagi. Salah satu penulis kebetulan dimintakan tanggapan oleh evaluator independen tentang hasil reformasi pengadilan. Saat penulis menanyakan apa alat ukur yang akan dipakai untuk melakukan evaluasi, sang evaluator mengaku tidak tahu karena tidak ada arahan yang jelas dari Menpan mengenai hal itu.
34
MAFIA HUKUM
STRATEGI PERBAIKAN. Perlu dilakukan peningkatan gaji/tunjangan polisi, jaksa dan petugas Pemasyarakatan. Peningkatan gaji dan tunjangan tersebut HARUS diimbangi dan dibarengi dengan peningkatan kinerja mereka. Hal ini penting karena sulit bagi publik untuk menjustifikasi peningkatan gaji dan tunjangan jika prestasi aparat penegak hukum dan hakim masih seperti sekarang. Penegak hukum dan hakim seringkali membandingkan dengan gaji di perusahaan swasta tanpa mau menyadari bahwa pegawai di lembaga swasta (untuk level menengah, bukan level rendah) mendapat gaji dan tunjangan yang relatif lebih besar karena kinerjanya. Bukan mustahil jika peningkatan gaji/tunjangan di lembaga penegak hukum dan pengadilan diikuti dengan tuntutan perbaikan kinerja, maka akan berimplikasi pada pengurangan jumlah SDM aparat penegak hukum tertentu, khususnya jaksa dan hakim.32 Dalam konteks ini, Satgas PMH dapat berperan aktif untuk mendorong peningkatan gaji dan tunjangan berbasis kinerja, khususnya melalui pemberian dukungan terhadap pelaksanaan Reformasi Birokrasi sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Target terpenting adalah kenaikan gaji dan tunjangan aparat penegak hukum hanya diberikan setelah ada reformasi yang nyata dijalankan oleh institusi mereka. Jangan sampai senjata pamungkas untuk mendorong reformasi birokrasi (kenaikan tunjangan aparat dan anggaran institusi penegak hukum) dikeluarkan tanpa ada hasil konkrit dari pelaksanaan reformasi birokrasi.
32 Studi terhadap jumlah hakim di pengadilan menghasilkan kesimpulan sementara bahwa jumlah hakim terlalu banyak namun kinerja mereka lemah. Bukan mustahil masalah yang sama ada di lembaga kejaksaan. Untuk kepolisian dan Pemasyarakatan hasil sementara menunjukkan bahwa memang jumlah SDM mereka masih belum memadai baik dari segi jumlah maupun kualitasnya.
MAFIA HUKUM
35
5. Anggaran dan Prasarana AKAR MASALAH. Secara umum, anggaran dan prasarana di Keterbatasan anggaran dan lembaga penegak hukum, terprasarana membuat aparat utama kepolisian, kejaksaan dan kadang harus melakukan KKN Pemasyarakatan masih belum untuk menjalankan tugasnya. memenuhi kebutuhan untuk dapat menjalankan fungsinya. Keterbatasan anggaran dan prasarana yang paling sering didengar terdapat di kepolisian dan kejaksaan, khususnya dalam konteks kebutuhan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.33 Hal ini tidak jarang mendorong polisi dan jaksa harus mengutip uang dari pelapor/ pihak yang berkepentingan atau melakukan KKN secara umum untuk membuat roda organisasi berjalan dan fungsi-fungsi penegakan hukum dapat dilakukan, meski ada pula praktik-praktik dimana aparat penegak hukum justru mengkorupsi uang penanganan perkara yang sudah minim tersebut. Hal ini berlangsung demikian lama hingga akhirnya pungli atau KKN untuk kepentingan pribadi juga menjadi suatu hal yang dianggap wajar. Masalah serupa juga terjadi di Pemasyarakatan –terutama dalam hal prasarana (jumlah rutan dan lapas) serta anggaran belanja kebutuhan penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan.34 Keterbatasan sarana ini pada akhirnya membuat sarana/fasilitas yang ada diperdagangkan.35
33 Anggaran penuntasan kasus untuk kejaksaan misalnya, hanya tersedia untuk sekitar 50.000 perkara sedang perkara yang mereka tangani mencapai kira-kira 150.000 perkara, meski memang berat ringannya perkara berbeda-beda sehingga jumlah anggaran yang dibutuhan tiap perkarapun tidak selalu sama. 34 Anggaran, prasarana, dan sarana Pengadilan dalam beberapa tahun ini sudah membaik yang dapat dilihat dari penambahan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 35 Misalnya, terdakwa atau napi yang mampu membayar dapat ditempatkan di sel dengan terdakwa atau napi yang jumlah sedikit atau bahkan mendapatkan fasilitas mewah.
36
MAFIA HUKUM
STRATEGI PERBAIKAN. Untuk menjawab hal ini tentunya perlu dilakukan peningkatan anggaran dan prasarana lembaga penegak hukum sesuai kebutuhan36 dan dihubungkan dengan program Reformasi Birokrasi. Karena itu, Satgas PMH dapat berperan aktif untuk mendorong hal ini, khususnya melalui pemberian dukungan terhadap pelaksanaan Reformasi Birokrasi sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Seperti halnya gaji dan tunjangan, peningkatan anggaran perlu dikaitkan dengan keberhasilan program reformasi birokrasi dan peningkatan kinerja. Selain itu perlu dilakukan penguatan pengawasan penggunaan anggaran agar dimanfaatkan secara efektif. 6. Pengawasan dan Pendisiplinan Aparat 6.1. Pengawasan Internal AKAR MASALAH. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Mereka yang ditempatkan sebenarnya kalangan internal sebagai Pengawas tidak jarang di lembaga penegak hukum adalah oknum penegak hukum dan pengadilan mengetahui atau hakim yang tengah dihukum. (setidaknya dari berbagai rumor yang berkembang) siapa oknum-oknum di lembaganya yang diduga kuat terlibat praktik mafia hukum. Namun upaya pencarian bukti-bukti untuk mendukung informasi tersebut jarang sekali dilakukan secara proaktif. Hal ini secara umum disebabkan karena lembaga pengawas internal di setiap institusi lemah, karena berbagai alasan yang relatif seragam: (a) pimpinan lembaga pengawas maupun unsur pimpinan institusi penegak hukum dan pengadilan bukanlah orang yang berintegritas tinggi atau tidak 36
Peningkatan anggaran perlu dicermati agar peningkatan tersebut tidak menjadi masalah korupsi baru, misalnya pengadaan barang/jasa atau pemborosan anggaran (misalnya penggunaan anggaran untuk studi banding yang tidak jelas, kunjungan kerja yang tidak produktif, pembangunan gedung/sarana IT yang diluar kebutuhan riil, dst).
MAFIA HUKUM
37
mampu bersikap profesional (tidak tegas dan memiliki semangat korps yang salah);37 (b) lembaga pengawas tidak didukung staf yang baik (bahkan tidak jarang pengawas adalah mereka yang tengah dijatuhi sanksi); (c) mereka baru bekerja jika ada laporan yang masuk sehingga pelanggaran yang muncul dipermukaan (misal ada dalam pemberitaan di media massa) atau pengetahuan umum di kalangan internal tentang praktik mafia hukum oknum tertentu, tidak ditindaklanjuti secara proaktif –kecuali jika ada tekanan publik yang kuat; (d) kecuali untuk pengadilan, sistem pengawasan yang ada tidak didukung mekanisme akuntabilitas dan transparansi sehingga sulit bagi pelapor untuk mengetahui sejauh mana lembaga pengawas telah menindaklanjuti laporan mereka;38 (e) sistem pengawasan melekat yang seharusnya dilakukan oleh pimpinan satuan kerja tidak berjalan karena tidak adanya kesungguhan dalam menjalankannya. STRATEGI PERBAIKAN. Hingga saat ini sulit untuk dapat mendorong lembaga pengawas internal agar dapat berfungsi secara optimal, kecuali dengan melakukan reposisi unsur pimpinan lembaga penegak hukum dan pengadilan serta pimpinan lembaga pengawas internal. Meski demikian, dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki sistem pengawasan di institusi penegak hukum, yakni dengan mengatur kewajiban pengawas untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran/ kejanggalan tindakan aparat penegak hukum yang mencuat di 37
Semangat korps sebenarnya penting jika diartikan bahwa segala bentuk pelanggaran yang dapat merusak citra korps harus ditindak tegas. Namun umumnya semangat korps diartikan salah, yakni melindungi rekan kerja yang salah. 38 Khusus untuk MA, belakangan ini mereka sudah memiliki sistem pengawasan yang baik, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 076/KMA/SK/VI/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengaduan di Lingkungan Lembaga Peradilan. Kelemahan SK ini adalah karena kesimpulan dan rekomendasi hasil laporan pemeriksaan dikategorikan sebagai informasi rahasia (hanya diperuntukan bagi Pimpinan MA yang berwenang untuk mengambil keputusan). Hal ini tidak mendorong akuntabilitas dari pimpinan MA dalam mengambil keputusan. Hal ini juga dapat diartikan bertentangan dengan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
38
MAFIA HUKUM
media massa (tanpa perlu ada laporan dari korban/pencari keadilan), penetapan batas waktu maksimum penanganan pengaduan masyarakat dan membuka akses informasi bagi pengadu untuk mengetahui tindaklanjut dari pengaduannya (termasuk –dalam batas tertentu- mengetahui rekomendasi lembaga pengawas kepada pimpinannya), dan lain-lain. Satgas PMH dapat berperan untuk mendorong reposisi unsur pimpinan lembaga penegak hukum dan pengadilan, khususnya yang bertanggungjawab di bidang pengawasan, serta mendorong perbaikan sistem pengawasan sebagaimana dijelaskan dan menjadikannya sebagai salah satu agenda reformasi birokrasi. Selain itu, sebagai solusi sementara, Satgas PMH dapat mendorong efektivitas lembaga pengawas internal dengan melakukan koordinasi rutin bersama aparat pengawasan di masing-masing lembaga penegak hukum. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana mereka telah menjalankan fungsinya untuk memeriksa dan menindaklanjuti laporan/pengaduan yang masuk. Koordinasi rutin ini perlu pula melibatkan lembaga pengawas eksternal. Sebagai bentuk terapi Meski terapi kejut diperlukan, kejut, Satgas PMH perlu pengalaman membuktikan pula melakukan berbagai bahwa praktik ini umumnya upaya, sesuai dengan kehanya efektif membuat para wenangannya, untuk turut oknum mafia hukum “tiarap” serta membongkar beberapa sesaat karena sistem yang praktik kasus mafia hukum, mendorong tumbuhsuburnya baik berdasarkan laporan praktik mafia hukum tidak pengaduan yang diterimanya pernah secara serius diperbaiki atau secara proaktif. Hal ini perlu dilakukan dengan bekerjasama dengan lembaga pengawas yang telah ada, khususnya lembaga pengawas ekternal, dan ditujukan untuk menjadi pintu masuk perbaikan sistem yang lebih komprehensif.
MAFIA HUKUM
39
6.2. Pengawasan Eksternal (Komisi Pengawas) AKAR MASALAH. Meski hampir seluruh lembaga penegak hukum dan pengadilan -kecuali pemasyarakatan- memiliki lembaga pengawas eksternal, dalam praktiknya lembaga tersebut kerap tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Hal tersebut disebabkan karena berbagai hal. Lembaga pengawas kepolisian misalnya –yakni Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)- tidak memiliki kedudukan dan kewenangan yang kuat dalan konteks pengawasan karena memang tidak di-design untuk hal tersebut.39 Selain itu komposisi keanggotaan dan beberapa personil Kompolnas dianggap memiliki kelemahan.40 Berbeda dengan Kompolnas, Komisi Kejaksaan (Komja) memiliki kewenangan di bidang pengawasan yang kuat dan rinci.41 Namun permasalahannya, kedudukan komisi ini relatif lemah42 dan keanggotaannya juga lemah.43 Beberapa kelemahan-kelemahan tersebut menjadikan lembaga penegak hukum kurang memperhatikan rekomendasi dari komisi eksternal tersebut. 39
Komisi Kepolisian Nasional misalnya tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa polisi yang diduga melakukan pelanggaran. Kewenangan yang diatur dalam UU No. 2/2002 dan Keppres hanyalah semacam lembaga penerus komplain dari masyarakat. 40 Pimpinan serta beberapa anggota Kompolnas adalah ex officio menteri yang notabene memiliki waktu yang relatif terbatas bagi Kompolnas. Selain itu ada anggota Kompolnas yang dianggap kurang memiliki integritas serta profesionalitas yang tinggi. 41 Komja bahkan berwenang mengambilalih proses pemeriksaan atas pelanggaran kedinasan seorang Jaksa/Pegawai yang tengah dilakukan oleh pengawas internal Kejaksaan jika dianggap proses tersebut berlarut-larut, tidak tepat atau terjadi kolusi. 42 Keberadaan Komisi Kejaksaan bukanlah suatu kewajiban (karena UU hanya menegaskan Komisi tersebut dapat dibentuk jika ada kebutuhan). Memang dalam praktik akhirnya Jaksa Agung Abdurrahman Saleh kala itu mendorong dibentuknya Komja dan dikeluarkanlah Kepres yang mengatur hal tersebut. Namun mandat tersebut dapat dicabut jika Jaksa Agung –dengan persetujuan Presiden tentunya, menganggap keberadaannya tidak lagi diperlukan. 43 Beberapa pihak menganggap dalam praktiknya Komja dan Kompolnas tidak efektif, terutama karena anggotanya yang kurang berbobot, bahkan ada yang integritasnya dipertanyakan.
40
MAFIA HUKUM
Komisi Yudisial (KY), lembaga pengawas hakim, sebenarnya Perlu dilakukan penguatan tugas memiliki kedudukan yang dan kewenangan pengawasan kuat karena dimandatkan eksternal serta dipastikan oleh konstitusi. Namun karena bahwa anggota pengawas pendekatan KY, terutama eksternal berintegritas tinggi dan dimasa awalnya dianggap profesional. kurang tepat 44, kewenangan pengawasan lembaga ini “dicabut sementara” oleh Mahkamah Konstitusi dan hingga kini belum diatur ulang secara tegas. Kondisi-kondisi di atas pula yang mendorong cukup banyaknya temuan KY atas dugaan pelanggaran yang dilakukan hakim dan rekomendasi mereka ke MA tidak direspon sebagaimana diharapkan.45 Selain itu tidak seluruh anggota KY memiliki kredibilitas yang tinggi.46 STRATEGI PERBAIKAN. Keberadaan lembaga pengawas eksternal mutlak diperlukan karena memang pada dasarnya sulit untuk mengharapkan lembaga pengawas internal dapat menjalankan fungsinya secara optimal, tanpa semangat membela korps. Keberadaan lembaga 44 Pada awal berdirinya, KY melakukan beberapa hal yang mengakibatkan hubungan yang tidak harmonis dengan pengadilan, misalnya mengusulkan seleksi ulang hakim agung, dsb. 45 Masalah ini sudah relatif membaik sejak adanya revisi UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA yang memberikan ruang lebih besar bagi KY dalam melakukan pengawasan dan dalam bekerjasama dengan pengadilan, misalnya UU telah mengatur bahwa kode etik dan perilaku hakim diatur bersama oleh kedua lembaga tersebut, pengawasan putusan oleh KY dimungkinkan dalam konteks sebagai bahan usulan mutasi/promosi, dsb. Selain itu Ketua MA saat ini terkesan lebih kooperatif untuk bekerjasama dengan KY. 46 Lihat misalnya mantan anggota Komisi Yudisial yang kemudian dipecat, Irawadi Joenoes karena terbukti KKN dalam pengadaan tanah untuk pendirian gedung Komisi Yudisial.
MAFIA HUKUM
41
pengawas eksternal semacam itu jamak diatur di berbagai negara lain. Ada dua agenda penting yang harus didorong untuk menguatkan lembaga pengawas eksternal ini. Pertama, mendorong revisi UU dan peraturan terkait (antara lain, UU Kepolisian, UU Kejaksaan dan UU Komisi Yudisial) untuk memastikan lembaga pengawas ekternal memiliki kedudukan dan kewenangan yang memadai serta didukung dengan mekanisme akuntabilitas yang jelas. Bagaimana kedudukan lembaga pengawas eksternal ini harus dipetimbangkan secara matang. Ada beberapa alternatif model yang dapat dipertimbangkan, misalnya menggabungkan fungsi lembaga pengawas ekternal bagi kepolisian dan kejaksaan (bahkan bagi Pemasyarakatan dan advokat) ke dalam suatu lembaga khusus atau mengatur keberadaan lembaga pengawas tersebut secara terpisah. Khusus untuk KY, mengingat UUD memandatkan lembaga ini khusus untuk mengawasi hakim, maka yang perlu didorong adalah revisi UU KY, kecuali jika akan dilakukan amandemen UUD. Kedua, harus dipastikan bahwa mereka yang menjadi pimpinan dan anggota lembaga pengawas ini adalah orangorang terbaik. Dalam konteks ini, Satgas PMH dapat berperan aktif untuk mendorong hal-hal di atas. Selain hal di atas, untuk memastikan pengawasan eksternal yang lebih efektif, Satgas PMH perlu melakukan koordinasi rutin dengan lembaga pengawas eksternal dan internal untuk membahas tindaklanjut penanganan pengaduan masyarakat yang masuk sehingga jika ada kendala berupa hubungan yang kurang kooperatif antara lembaga pengawas eksternal dan internal, Satgas PMH dapat membantu menjembataninya. 6.3. Pengawasan Masyarakat AKAR MASALAH. Pengawasan masyarakat menjadi penting karena pengaduan dugaan pelanggaran perilaku oknum penegak hukum dan hakim merupakan salah satu penggerak bagi pengawas internal dan eksternal untuk menjalankan fungsinya. Permasalahannya,
42
MAFIA HUKUM
pengawasan oleh masyarakat (pelapor) kerap kurang efektif Masyarakat/pencari keadilan karena berbagai kendala, takut untuk melaporkan antara lain: (a) tidak jarang dugaan pelanggaran karena mereka tidak tahu cara metidak ada jaminan bahwa mantau dan melapor yang tidak akan ada upaya balas efektif karena tidak paham dendam dari korps aparat kode etik aparat penegak yang dilaporkan terhadap hukum/hakim dan kasus atau individu pelapor/ mekanisme pengaduan jika terpidana –misalnya perkara ada pelanggaran. Selain itu, dilanjutkan, tuntutan dan tidak mudah bagi mereka hukuman diperberat,penahanan untuk membuktikan dugaan diperpanjang, pengurangan pelanggaran yang terjadi; hukuman (di LP) (b) pelapor takut untuk tidak diberikan, dsb). melapor karena perkara dapat dihambat, hal mana berhubungan dengan standar pelayanan yang tidak jelas; (c) umumnya mereka yang memiliki bukti kuat tentang dugaan pelanggaran aparat penegak hukum dan hakim adalah mereka yang juga terlibat praktik mafia hukum (misalnya menyuap tapi tidak puas dengan ‘layanan yang dijanjikan’). Ketiadaan jaminan perlindungan hukum bagi mereka yang melaporkan dugaan mafia peradilan –dan juga pelaku mafia hukum- menjadi penyebab keengganan untuk melapor; (d) pengawasan dari kelompok stakeholders lembaga penegak hukum dan pengadilan, misalnya LSM dan kampus, relatif terbatas. Banyak informasi dari lembaga penegak hukum dan pengadilan, misalnya putusan pengadilan, data statistik penanganan perkara, keputusan penghentian penyidikan/penuntutan -yang sebenarnya dapat dianalisis untuk memberikan informasi kejanggalan-kejanggalan penanganan perkara- tidak dimanfaatkan dengan baik (walau hal ini berhubungan pula dengan kendala mereka untuk mengakses informasi pada lembaga penegak hukum dan pengadilan –sebagaimana akan dijelaskan kemudian).
MAFIA HUKUM
43
STRATEGI PERBAIKAN. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mendorong pengawasan masyarakat yang lebih baik. • Presiden perlu mengambil kebijakan bahwa negara (kepolisian dan kejaksaan) akan “menjamin” keselamatan dan dari adanya tuntutan hukum bagi setiap pelapor yang mengetahui pihak/pelaku mafia hukum yang besar –namun juga pelaku mafia hukum - untuk tidak akan diproses secara hukum atau diringankan tuntutannya. • Kerjasama dengan lembaga pengawas internal dan eksternal untuk menyebarluaskan tata cara pengaduan yang efektif dan halhal yang bisa diadukan ke lembaga pengawas (internal/eksternal) ke para pencari keadilan; • Mendorong MA utuk membuat aturan yang membolehkan proses persidangan untuk direkam untuk memudahkan pembuktian dugaan pelanggaran; • Perbaikan SPO penanganan perkara dan membuka akses informasi bagi masyarakat (lihat bagian lain); • Mendorong peran LSM dan kampus untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga penegak hukum dan pengadilan. Sebagian dari strategi-strategi di atas dapat difasilitasi oleh Satgas PMH. 6.4. Sanksi AKAR MASALAH. Karena seOknum polisi, jaksa, hakim atau mangat korps dan kerancuan pemasyarakatan yang terbukti dalam cara pandang atas melakukan pelanggaran kerap masalah, umumnya oknum hanya diberi sanksi ringan dan penegak hukum atau hakim setelahnya dapat dipromosikan yang terbukti bersalah hanya ke posisi-posisi strategis. dijatuhi hukuman ringan. Mereka yang diduga kuat atau jelas-jelas terbukti memeras atau menerima uang tidak jarang hanya diberi sanksi teguran atau dicopot sementara dari jabatannya. Bahkan dalam beberapa kasus,
44
MAFIA HUKUM
setelah ‘sanksi’ yang dijatuhkan –yang kadang hanya dimaksudkan untuk meredam opini yang berkembang- oknum tersebut dipromosikan ke posisi penting lainnya. Akar dari masalah ini, kembali adalah ketidakseriusan dari unsur pimpinan lembaga penegak hukum dan pengadilan untuk meminimalisir praktik mafia hukum serta lemahnya sistem manajemen SDM yang ada. STRATEGI PERBAIKAN. Solusi yang dapat menjawab masalah di atas adalah, kembali, dengan melakukan reposisi unsur pimpinan lembaga penegak hukum dan pengadilan serta melakukan upaya reformasi birokrasi secara total. Untuk sementara waktu, SATGAS PMH dapat meminimalisir masalah ini dengan melakukan evaluasi praktik penjatuhan sanksi bagi oknum yang terbukti bersalah untuk memastikan adanya sanksi yang tegas bagi mereka dan sebagai bentuk kontrol atas kinerja unsur pimpinan lembaga penegak hukum/ pengadilan. 7. Standar Prosedur Operasional (SPO) Penanganan Perkara & Akses Informasi AKAR MASALAH. Korupsi terjadi karena adanya (M)onopoli kekuasaan dan (D)iskresi yang luas tanpa (A)kuntabilitas yang memadai (M+D-A). Rumus sederhana ini valid saat kita berbicara tentang mafia hukum. Aparat penegak hukum dan hakim memiliki monopoli kekuasaan yang memang sulit untuk diganggu gugat. Namun idealnya standar kerja mereka dapat membatasi diskresi yang besar dan mendorong akuntabilitas
SPO penanganan perkara memberikan diskresi yang besar kepada aparat tanpa checks and balances dan akuntabilitas yang memadai, tidak mengatur tegas batas waktu pelaksanaan tugas dan kewenangan serta tidak menjamin keterbukaan dan akses informasi kepada publik dan pencari keadilan. Selain itu, SPO yang telah ada pun kerap tidak dipatuhi
MAFIA HUKUM
45
pelaksanaan kewenangan yang besar tersebut. Masalahnya, saat ini Standar Prosedur Operasional (SPO) penanganan perkara yang ada masih memiliki kelemahan, khususnya karena masih memberikan diskresi yang besar kepada aparat tanpa checks and balances dan akuntabilitas yang memadai (atau jika ada, disimpangi), batas waktu pelaksanaan tugas dan kewenangan masih belum diatur tegas (atau jika sudah diatur, tidak dilaksanakan) serta minimnya keterbukaan dan akses informasi kepada publik dan pencari keadilan. Sebagai ilustrasi, polisi memiliki kewenangan yang besar dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Polisi dapat menetapkan seseorang menjadi saksi atau tersangka, menahan atau tidak menahan, menangguhkan atau tidak menangguhkan penahanan, melakukan penyitaan atau pengeledahan tanpa adanya checks and balances yang memadai –kecuali dari atasannya (yang seringkali menjadi bagian dari praktik mafia hukum pula) atau mekanisme praperadilan yang tidak efektif. Pelaksanaan upaya paksa tersebut juga tidak didukung standar penilaian yang obyektif.47 Selain itu, status saksi dan tersangka dapat dibuat sampai batas waktu yang tidak terbatas sehingga muncul istilah ATM bagi polisi (yakni orang yang bisa dipanggil dan dimintai uang oleh polisi kapan saja karena kasusnya terus digantung). Problem yang mirip terjadi pula di kejaksaan, dalam konteks pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan perkara tindak pidana khusus (dan pelaksanaan fungsi intelejen) serta fungsi penuntutan. Isu penahanan terjadi pula di pengadilan. Memang sebagian dari masalah di atas bersumber dari kelemahan KUHAP,48 KUHP dan UU lain.49 Namun beberapa kelemahan dalam UU tersebut dapat diminimalisir andai kedua lembaga tersebut memiliki SPO
47 Sebagai ilustrasi, proses penahanan terhadap Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto hanya didasarkan pada alasan yang bersangkutan mempersulit proses penyidikan dengan sering melakukan konferensi pers, hal mana bertentangan dengan KUHAP.
46
MAFIA HUKUM
yang baik (misal membatasi diskresi atau mengatur checks and balances di internal lembaganya, memperjelas syarat dan kondisi suatu upaya paksa dapat dilakukan, dan sebagainya). Tentunya SPO yang baik juga hanya dapat efektif jika diterapkan secara konsisten (dan pelaksanaannya diawasi oleh pimpinan, maupun masyarakat/pencari keadilan). Permasalahan lain yang berhubungan adalah keterbatasan akses informasi bagi masyarakat, pencari keadilan/para pihak dan atasan/lembaga pengawas, untuk memantau pelaksanaan tugas dan kewenangan aparat penegak hukum, hakim dan pegawai institusi penegak hukum dan pengadilan, meminimalisir upaya penipuan serta untuk memastikan pemenuhan hak-haknya. Sebagai ilustrasi, dokumen Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) dan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2) bukan merupakan dokumen yang dapat diakses publik sehingga kontrol terhadap kinerja kepolisian dan kejaksaan sulit dilakukan. Kendala yang sama ditemui masyarakat untuk mengakses Berita Acara Persidangan (BAP) maupun putusan pengadilan.50 Dan sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, keterbatasan akses informasi mengenai biaya perkara atau proses perkara yang sedang berjalan mengakibatkan praktik pungli sulit dicegah. Selain itu, sistem informasi berbasis elektronik yang dikembangkan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan untuk memudahkan pelayanan 48
Yakni karena KUHAP tidak memberikan mekanisme checks and balances yang tegas antar aparat penegak hukum dan hakim serta diskresi yang luas untuk menafsirkan pelaksanaan kewenangan melakukan upaya paksa (misalnya kapan seseorang boleh ditahan). 49 Karena KUHP dan UU lain (misal UU Narkoba) memungkinkan tindak pidana yang relatif ringan dapat ditahan (sehingga lingkup kewenangan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam penahanan sangat luas). 50 Bahkan para pihak tidak dapat mengkopi BAP, hanya dapat melihat dan menyalinnya di ruang panitera.
MAFIA HUKUM
47
publik serta memudahkan kontrol atasan dan lembaga pengawas internal terhadap pelaksanaan fungsi aparat penegak hukum, hakim dan pegawai institusi penegak hukum dan pengadilan tidak berjalan optimal. Hal tersebut terjadi karena beberapa hal, antara lain: sistem yang dikembangkan dan perangkat keras yang digunakan tidak/kurang sesuai dengan kebutuhan, data tidak diinput secara rutin dan akurat, peralatan dan sarana pendukung (misalnya listrik, jaringan telpon) tidak dipelihara/dipastikan keberlangsungannya, staf pengguna tidak memiliki kecakapan untuk menggunakan sistem yang ada, dan sebagainya. Akar masalah dari hal tersebut di antaranya adalah ketiadaan kesungguhan dari unsur pimpinan institusi serta pejabat penanggungjawab informasi secara umum untuk memastikan keberhasilan investasi besar tersebut (baik dengan melakukan pantauan pelaksanaannya, penyediaan anggaran dan petugas yang memadai, dan sebagainya), resistensi dari petugas yang kehilangan pencaharian dengan adanya sistem tersebut, dan lain-lain. STRATEGI PERBAIKAN. Salah satu langkah konkrit yang perlu dilakukan adalah melakukan revisi terhadap seluruh SPO penanganan perkara untuk memastikan adanya sistem checks and balances, dibatasinya diskresi aparat yang terlalu besar serta diintrodusirnya mekanisme akutabilitas publik, yakni dengan membuka akses informasi tertentu dalam proses penanganan perkara. Mengingat SPO yang baik-pun belum tentu dijalankan (sebagaimana terjadi saat ini atas SPO yang ada -meski belum ideal), maka perlu ditegaskan kembali pentingnya reposisi unsur pimpinan di setiap institusi negara. Satgas PMH dapat berperan untuk mendorong revisi SPO sebagaimana dijelaskan di atas. Selain itu, Satgas PMH perlu pula melakukan semacam compliance audit secara acak untuk melihat ketaatan aparat penegak hukum, hakim dan pegawai di lingkungan mereka dalam menerapkan SPO yang telah ada saat ini (dan SPO baru nantinya, jika ada).
48
MAFIA HUKUM
Revisi terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya Sistem IT yang dikembangkan KUHAP dan KUHP (serta tidak/kurang sesuai beberapa UU materiil lain) dengan kebutuhan, data perlu dilakukan. Sementara tidak diinput secara rutin menunggu revisi tersebut, dan akurat, peralatan dan Presiden perlu memerintahkan sarana pendukung tidak kepada Kapolri dan Jaksa Agung dipelihara, staf pengguna tidak untuk mengatur bahwa dalam memiliki kecakapan untuk penanganan perkara-perkara pimenggunakannya, dsb. Selain dana tertentu yang sederhana itu, rekomendasi hasil audit (misalnya pencurian ringan, peindependen atas sistem IT tidak nganiayaan ringan, pengguna sepenuhnya dijalankan narkoba, dan sebagainya) tidak perlu/tidak boleh dilakukan penahanan sehingga mempersempit ruang bermain aparat penegak hukum.51 Dalam konteks penguatan sis-tem penanganan/pemantauan perkara berbasis teknologi, saat ini sulit diharapkan pengembangan sistem baru mengingat sistem yang lama kerap tidak dipelihara dengan baik, khususnya jika kita berbicara penerapan sistem tersebut di institusi penegak hukum di daerah. Namun mengingat pentingnya perbaikan sistem tersebut, khususnya di tingkat kantor pusat, maka Satgas PMH dapat menfasilitasi langkah untuk merevitalisasi sistem penanganan/ pemantauan perkara berbasis teknologi. Hal ini dapat dilakukan, misalnya, dengan melakukan audit compliance secara random akurasi data dan pemanfaatan sistem tersebut. Mengingat telah adanya audit independen terhadap sistem IT di Kejaksaan dan Pengadilan –yang rekomendasinya belum dilakukan sepenuhnya- Satgas PMH perlu pula mendorong pemenuhan pelaksanaan rekomendasi audit tersebut oleh kejaksaan dan 51
Perlu dibuat aturan yang jelas mengenai hal ini sehingga tidak menjadi lahan permainan baru, misalnya pengedar narkoba diselundupkan kasusnya hanya menjadi pemakai.
MAFIA HUKUM
49
pengadilan. Keberhasilan (dan atau kegagalan) pembenahan sistem IT ini seharusnya menjadi bagian yang diperhitungkan pula dalam program reformasi birokrasi. 8. Undang-undang dan Peraturan lain AKAR MASALAH. Problem mafia hukum tidak lepas dari kelemahan berbagai peraturan perundang-undangan- meski kelemahan-kelemahan tersebut dalam batas tertentu seharusnya dapat diminimalisir dengan berbagai pengaturan dan/atau kebijakan internal. Secara umum kelemahan tersebut melahirkan suasana yang kurang kondusif untuk mencegah/meminimalisir mafia hukum serta membuat proses penegakan hukum yang anti korupsi secara umum menjadi lemah. Beberapa UU yang memiliki kelemahan, antara lain: • UU No. 28 tahun 1999 tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN—yang, misal: (a) tidak mengatur sanksi bagi pejabat negara yang tidak lapor kekayaan; (b) pemberlakukan kewajiban pelaporan kekayaan hanya pada waktu tertentu (sebelum jabat, setelah jabat dan sesudah- dan tidak ada mengenai kewajiban pelaporan berkala setiap beberapa tahun); (c) tidak adanya kewenangan bagi KPK untuk mengecek sumber pemasukan; (d) tidak adanya kewajiban pelaporan harta atas nama keluarga inti, khususnya anak sampai usia tertentu, yang namanya kadang dipergunakan untuk mendaftarkan aset-aset tertentu; (e) perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan kepada lembaga pengawas internal dan eksternal untuk dapat memeriksa kekayaan aparat penegak hukum, hakim dan panitera.52 • UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum mengatur tindak pidana peningkatan harta kekayaan yang tidak wajar (illicit enrichment) yang menurut United Nations Convention againts Corruption (UNCAC) merupakan 52 KPK terlihat tidak mampu menangani banyaknya LHKPN yang perlu diperiksa. Karena ini pemberikan kewenangan kepada lembaga pengawas eksternal dapat membantu menutupi kelemahan ini.
50
MAFIA HUKUM
•
• •
•
•
tindak pidana dan mekanisme pembuktiannya seharusnya menggunakan mekanisme pembuktian terbalik. KUHAP memungkinkan polisi dan jaksa untuk melakukan upaya paksa (melakukan penahanan, penggeledahan, penyitaan dan sebagainya) tanpa metode checks and balances yang kuat serta tanpa dukungan alasan yang obyektif.53 KUHP dan beberapa UU Pidana lain memungkinkan penahanan untuk kasus pidana yang ringan. 54 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Korupsi yang menghapuskan kewajiban penggunaan Hakim ad hoc untuk menangani perkara korupsi serta desentralisasi pengadilan Korupsi secara luas sehingga menyulitkan kontrol terhadap penanganan perkara korupsi dan menyulitkan untuk penempatan hakim karir dan hakim ad hoc yang berintegritas tinggi.55 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang tidak mengatur kedudukan, tugas dan kewenangan lembaga pengawas eksternal secara memadai. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi & Korban yang tidak memungkinkan kepolisian dan, terutama, kejaksaan untuk tidak memproses perkara atau memperingan tuntutan bagi saksi dan korban yang juga merupakan pelaku tindak pidana dengan berkoordinasi dengan LPSK.
STRATEGI PERBAIKAN. Satgas PMH perlu mendorong/memfasilitasi proses revisi UU terkait sebagaimana dijelaskan di atas. Perlu dilakukan kajian mendalam mengenai arah revisi UU tersebut yang ideal.
53
Model checks and balances yang dikenal dalam KUHAP, yakni praperadilan, dianggap kurang efektif karena beberapa hal, antara lain, pertama, sifatnya tidak preventif (hanya dilakukan setelah ada pelanggaran), penafsiran atas tepat tidaknya alasan upaya paksa hanya dinilai secara normatif (apakah alasan yang dipakai sesuai dengan KUHAP, tidak melihat, misalnya urgensi upaya paksa), tidak dikenal checks and balances pelaksanaan penyelidikan, dsb. 54 Lihat penjelasan sebelumnya mengenai SPO Penanganan Perkara. 55 Sebagaimana disadari bersama, sangat sulit untuk memperoleh hakim-hakim terbaik yang dapat diharapkan untuk mengadili perkara korupsi dengan adil.
MAFIA HUKUM
51
LAMPIRAN 1 Matriks Akar Masalah Mafia Hukum dan Strategi untuk Mencegah, Meminimalisir serta Menanggulanginya.
Akar Masalah
Rekomendasi
A. UPAYA REPRESIF Pengawasan Internal Tidak Efektif
Penguatan Pengawas Internal
•
•
•
•
•
Kurang progresifnya sebagian unsur pimpinan lembaga pengawas internal dan pimpinan institusi penegak hukum dan pengadilan dalam menangani dugaan pelanggaran yang ada; pimpinan dan staf lembaga pengawas internal tidak selalu orang yang berintegritas atau memiliki kompetensi yang tinggi; sistem pengawasan memiliki kelemahan, antara lain: pengawasan cenderung pasif, minimnya mekanisme akuntabilitas dan transparansi dalam penanganan pengaduan/dugaan pelanggaran, dsb; adanya esprit de corps• kode etik kurang memadai (kurang rinci, tidak mengatur sanksi jika suatu pelanggaran etik dilakukan, dsb).
•
•
• •
Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi penanganan laporan pengaduan masyarakat yang dilakukan oleh Pengawas Internal (dan Pengawas Eksternal); Perlu dilakukan evaluasi terhadap proses penanganan dugaan pelanggaran penanganan perkara yang menarik perhatian publik; Perlu dilakukan perbaikan sistem pengawasan untuk memastikan adanya akses informasi bagi pelapor atas progres laporannya, kewajiban pengawas untuk proaktif memeriksa dugaan pelanggaran, dsb; Mendorong perbaikan kode etik; Satgas PMH perlu melakukan “investigasi” bersama dengan institusi penegak hukum terhadap dugaan praktik mafia hukum yang muncul, baik dari pengaduan yang masuk ke Satgas PMH maupun pemberitaan media massa.
Pengawasan Eksternal Lemah
Penguatan Pengawas Eksternal
•
•
•
Kedudukan dan kewenangan pengawas eksternal (Komisi Yudisial [KY], Komisi Kepolisian Nasional [Kompolnas] dan Komisi Kejaksaan [Komjak]) relatif lemah; Komposisi serta profesionalitas dari sebagian personel belum sesuai harapan.
•
52
MAFIA HUKUM
Perlu disusun dan diundangkan UU Pengawas Eksternal Kepolisian, Kejaksaan dan Pemasyarakatan (lembaga pengawas dan penindakeksternal) yang berfungsi melakukan pengawasan dan pendisiplinan. ATAU dilakukan revisi UU dan peraturan terkait untuk penguatan lembaga pengawas eksternal (UU Kepolisian, Komisi Yudisial, Kejaksaan dan Pemasyarakatan); Perbaikan sistem seleksi anggota pengawas eksternal, misalnya dengan “menjemput bola” (mendorong calon terbaik untuk mendaftar).
Akar Masalah
Rekomendasi
Pengawasan Masyarakat Lemah
Penguatan Pengawas Masyarakat
•
•
• • •
Tidak ada insentif bagi pihak terlibat atau pelaku mafia hukum yang tertangkap untuk melapor/ membuka jaringan mafia yang ada (karena mereka tetap dapat dihukum tanpa keringanan); Sebagian masyarakat tidak tahu cara melapor yang tepat; Masyarakat takut melapor karena kasusnya dapat dipersulit; Peran serta LSM dan kampus dalam melakukan pengawasan terbatas.
•
•
Presiden perlu mengambil kebijakan bahwa negara akan “menjamin” pihak terlibat/pelaku mafia hukum yang mau membongkar kasus mafia hukum skala besar agar tidak akan diproses secara hukum atau diringankan tuntutannya. Perlu dilakukan sosialisasi cara pengaduan/pelaporan masyarakat yang lebih baik; Perlu dilakukan penguatan peran serta LSM dan kampus dalam melakukan pengawasan, misalnya mendorong kampus-kampus melakukan kajian-kajian tentang produk aparat penegak hukum (surat dakwaan, putusan, statistik perkara, dst).
Sistem Pendisiplinan Lemah dan Sanksi tidak Tegas
Perbaikan Sistem Pendisiplinan serta Penguatan Penjatuhan Sanksi
•
•
•
Aparat yang terbukti melakukan pelanggaran serius umumnya tidak dijatuhi sanksi yang tegas; Mekanisme penjatuhan sanksi lemah, misalnya penjatuhan sanksi dilakukan oleh kalangan internal semata dan prosesnya tidak terbuka.
•
Perlu dilakukan evaluasi terhadap sanksi yang telah dijatuhkan selama ini. Perlu dilakukan perbaikan sistem pendisiplinan agar lebih terbuka dan obyektif (misal dengan melibatkan pihak luar yang kredibel).
B. UPAYA PREVENTIF Manajemen SDM dan Organisasi Lemah
Penguatan Reformasi Birokrasi
•
•
•
Integritas sebagian aparat penegak hukum dan hakim lemah (karena proses manajemen SDM –mulai dari rekrutmen s/d evaluasi) tidak berjalan semestinya (tidak berbasiskan kompetensi dan kinerja); Program Reformasi Birokrasi di lembaga penegak hukum dan pengadilan berjalan tanpa
Perlu mendorong Menpan dan lembaga terkait untuk memperbaiki konsep Reformasi Birokrasi serta membantu evaluasi penilaian kinerja lembaga penegak hukum dan pengadilan dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi sehingga peningkatan remunerasi dan anggaran hanya diberikan setelah ada reformasi yang berarti dan terukur.
MAFIA HUKUM
53
Akar Masalah
Rekomendasi
agenda yang jelas karena tidak ada indikator yang jelas untuk mengukur keberhasilan program reformasi birokrasi serta mekanisme penilaian yang kredibel. Peningkatan remunerasi diberikan walau lembaga penerima tidak meningkatkan kinerjanya. Gaji dan Tunjangan Tidak Memadai
Peningkatan Gaji dan Tunjangan
Gaji dan tunjangan aparat penegak hukum dan hakim relatif minim sehingga aparat mudah tergiur praktik KKN dan lama-lama praktik KKN menjadi budaya.
Perlu didorong adanya peningkatan gaji dan tunjangan aparat penegak hukum yang rasional dengan diiringi Reformasi Birokrasi (termasuk di dalamnya restrukturisasi dan pengurangan pegawai di beberapa lembaga penegak hukum, khususnya pengadilan dan kejaksaan). Perlu dipastikan bahwa tidak ada kenaikan gaji dan tunjangan sebelum adanya capaian dalam Reformasi Birokrasi yang lebih jelas.
Anggaran dan Sarana/Prasarana Kurang Memadai
Peningkatan Anggaran dan Sarana/ Prasarana
Anggaran dan sarana/prasarana institusi penegak hukum (kecuali pengadilan) minim sehingga tidak jarang untuk menjalankan fungsinya mereka harus melakukan KKN (meski tidak jarang pula anggaran yang ada dikorupsi oleh oknum di lembaga tersebut).
•
SPO Penanganan Perkara Tidak Memadai
Perbaikan SPO Penanganan Perkara
•
•
•
54
Standar Prosedur Operasional (SPO) Penanganan Perkara yang ada kurang memadai karena membuka diskresi yang luas bagi aparat tanpa mekanisme checks and balances dan akuntabilitas serta transparansi yang jelas. SPO yang ada kerap tidak dijalankan dan tidak diketahui publik.
MAFIA HUKUM
•
•
Perlu dilakukan peningkatan anggaran bagi lembaga penegak hukum diiringi dengan hasil pencapaian dalam program Reformasi Birokrasi. Perlu dilakukan pengawasan penggunaan anggaran yang lebih serius.
Perlu dilakukan perbaikan SPO Penanganan Perkara, misalnya setiap tahap pelayanan/penanganan perkara harus ada batas waktu dan biaya yang jelas, diskresi perlu diperkecil dan perlu ada checks and balances; Perlu dibuat transparansi SPO tersebut (ditempel di tiap kantor polisi, kantor kejaksaan, pengadilan
Akar Masalah
Rekomendasi •
dan Lapas/Rutan); Perlu dilakukan Sidak tertutup untuk mengetahui kepatuhan pelaksanaan SPO penanganan perkara (misalnya untuk melihat penyimpangan batas waktu, pencatatan yang tidak jelas, penundaan pengiriman berkas, dst).
Akses Informasi Terbatas
Mendorong Keterbukaan Informasi
Tidak adanya jaminan akses informasi bagi masyarakat terhadap informasi yang dikelola lembaga penegak hukum dan pengadilan. Jaminan hukum yang ada di pengadilan, yakni SK KMA 144, tidak efektif karena masyarakat tetap sulit mendapat akses informasi di pengadilan.
Perlu diupayakan agar Komisi Informasi membantu lembaga penegak hukum dan pengadilan serta lembaga pengawas eksternal untuk mengimplementasikan (UU KIP), termasuk untuk menerbitkan aturan internal tentang pelaksanaan UU KIP, serta menjadikan lembaga penegak hukum dan pengadilan sebagai pilot project pelaksanaan UU KIP.
Sistem IT dan website yang dimaksudkan untuk mendorong keterbukaan di lembaga penegak hukum tidak dikelola secara serius (substansi informasi tidak di up date, setelah proyek penyusunan sistem IT selesai biasanya sistem tersebut tidak dipelihara sehingga terbengkalai, tidak ada SDM yang mampu mengelola sistem IT secara memadai, dst (sebagian masalah ini diakui pula dalam hasil audit sistem IT di MA dan Kejaksaan).
•
Kelemahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Hukum
Perbaikan UU Terkait
Banyak kelemahan di tingkat UU yang tidak kondusif untuk mencegah/ meminimalisir mafia hukum serta menyebabkan upaya penegakan hukum anti korupsi secara umum lemah. Ilustrasi: • UU Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN—misal tidak mengatur sanksi tegas bagi yang tidak lapor kekayaan, kewajiban pelaporan hanya pada waktu tertentu (sebelum menjabat, setelah menjabat dan
Perlu segera didorong revisi UU terkait, a.l: • KUHAP, a.l: untuk memperinci syarat pelaksanaan upaya paksa, mekanisme pengawasan upaya paksa, dst; • KUHP & UU Terkait, khususnya dalam rangka membatasi kemungkinan penahanan untuk perkara pidana ringan; • UU Perlindungan Saksi & Korban, a.l: untuk memungkinkan kepolisian
•
Perlu dilakukan Sidak untuk melihat berfungsi/tidaknya sistem informasi di MA (SIMARI) dan di Kejaksaan (SIMKARI) serta sistem informasi di Kepolisian dan Pemasyarakatan; Perlu dilakukan evaluasi terhadap tindaklanjut MA dan Kejagung untuk menjalankan rekomendasi hasil audit SIMARI dan SIMKARI.
MAFIA HUKUM
55
Akar Masalah
•
•
•
•
•
sesudah-tidak ada kewajiban rutin), tidak ada kewenangan mengecek sumber pemasukan, tidak ada kewenangan pengawas internal dan eksternal untuk mengklafirikasi LHKPN, dsb; UU korupsi belum mengatur tindak pidana peningkatan kekayaan yang tidak wajar (illicit enrichment) serta mekanisme pembuktian terbalik untuk membuktikan tindak pidana tersebut; KUHAP memungkinkan polisi dan jaksa untuk melakukan upaya paksa (penahanan, penyitaan, dst) tanpa metode checks and balances yang kuat (selain praperadilan) serta tanpa dukungan alasan yang obyektif. KUHP dan beberapa UU Pidana lain memungkinkan penahanan untuk kasus pidana yang ringan; UU Perlindangan Saksi dan Pelapor yang tidak memungkinkan adanya perlindungan yang efektif bagi saksi yang juga merupakan pelaku tindak pidana; UU Pengadilan Korupsi memperlemah kedudukan pengadilan korupsi.
Rekomendasi
•
•
•
dan, terutama, kejaksaan untuk tidak memproses perkara atau memperingan tuntutan bagi saksi dan korban yang juga merupakan pelaku tindak pidana dengan berkoordinasi dengan LPSK. UU Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, a.l untuk mewajibkan laporan kekayaan secara berkala, pemberian kewenangan pada KPK (atau lembaga pengawas internal dan eksternal) untuk memeriksa sumber kekayaan, pemberian sanksi bagi aparat yang tidak melaporkan kekayaan, tidak melaporkan secara benar, dsb. UU Korupsi untuk mengatur saksi pidana atas peningkatan kekayaan yang tidak wajar (illicit enrichment) serta mekanisme pembuktian terbalik untuk membuktikan tindak pidana tersebut. UU Pengadilan Tipikor, a.l: untuk kewajiban adanya hakim ad hoc dalam memeriksa dan memutus perkara, sentralisasi keberadaan pengadilan khusus korupsi, dsb.
C. MENDORONG LAHIRNYA AGEN PERUBAHAN Kepemimpinan Lemah
Mendorong Lahirnya Agen Perubahan
Sebagian unsur pimpinan hingga pejabat yang memegang jabatan/posisi kunci kurang berintegritas/tidak pro perubahan/tidak tegas/tidak didukung jajarannya/tidak mampu mengelola perubahan.
Perla dilakukan berbagai upaya untuk mendorong lahirnya agen perubahan di lembaga penegak hukum dan peradilan, yakni dengan memastikan orang-orang di posis-posis kunci adalah mereka yang memiliki integritas tinggi, memiliki komitmen serta kemampuan untuk mendorong perubahan. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk memastikan hal di atas, a.l: • menjaring dan memverifikasi masukan masyarakat dan serta
56
MAFIA HUKUM
Akar Masalah
Rekomendasi
•
•
•
•
melakukan evaluasi terhadap rekam jejak (integritas dan kinerja) para pimpinan dan pejabat kunci di lembaga penegak hukum serta pejabat yang dalam waktu dua tahun ke depan berpeluang menduduki jabatan di atas. Melakukan evaluasi dan verifikasi Laporan Harta Kekayaan unsur pimpinan dan pejabat kunci di lembaga penegak hukum yang janggal. Melakukan evaluasi kinerja unsur pimpinan dan pejabat kunci di lembaga penegak hukum (termasuk evaluasi keberhasilan mereka dalam menjalankan Reformasi Birokrasi, ketegasan dalam jatuhkan sanksi, merespon kasus-kasus menarik perhatian publik, performance dalam penanganan perkara-perkara besar, dsb). Mengajukan pengangkatan agenagen perubahan di lembaga penegak hukum dan pengadilan. Membuat database rekam jejak unsur pimpinan dan pejabat kunci berdasarkan kegiatan di atas sebagai bahan monitoring kebijakan promosi dan mutasi.
MAFIA HUKUM
57
LAMPIRAN 2 Matriks Modus Operandi Lengkap Mafia Hukum di Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Pemasyarakatan
1. MODUS OPERANDI UMUM MAFIA HUKUM PADA SELURUH LEMBAGA PENEGAK HUKUM 56 NO.
TAHAP
POLA
1.
Sebelum adanya kasus dan tidak terkait dengan kasus tertentu
Membina hubungan baik dengan pejabat penegak hukum
MODUS
PELAKU
Pengusaha atau Calo perkara - Pengusaha menerapkan politik balas jasa - Calo Perkara dengan berupaya mendekatkan - Penegak diri dengan pimpinan lembaga hukum lain penegak hukum di tingkat pusat atau daerah melalui pemberian fasilitas fisik atau non fisik, misalnya melalui acara bermain golf, tenis ataupun aktivitas sosial lainnya. Pemberian hadiah dan fasilitas, - Pengusaha misalnya pemberian tiket perjalanan - Advokat dinas/pribadi, pembiayaan - Penegak pengobatan pejabat penegak Hukum Lain hukum/keluarganya, pemberian keanggotaan klub sport, hadiah pada acara-acara tertentu, dst. Melakukan transaksi ”legal” dengan - Pengusaha imbalan yang tidak wajar, misalnya - Advokat memberikan honorarium yang berlebihan kepada penegak hukum yang menjadi nara sumber seminar atau pelatihan, atau menjual barang dengan diskon yang tidak wajar atau konsesi tidak wajar lainnya. Dukungan atau sponsor dalam - Pengusaha proses promosi mutasi pejabat - Advokat penegak hukum, dengan - Penegak memanfaatkan budaya relasi, setor Hukum Lain dan upeti dalam proses promosi mutasi pejabat penegak hukum. Praktek pemberian rumah dinas, - Pemerintah bantuan kendaraan dinas, tunjangan Daerah Muspida, peralatan, dst pada pimpinan lembaga penegak hukum.
56 Diolah dari Penelitian ICW dengan berbagai penambahan, baik melalui pengetahuan pribadi, pendapat beberapa pihak di media massa maupun wawancara beberapa pihak terkait.
58
MAFIA HUKUM
NO.
TAHAP
2.
Intervensi Terhadap Proses Penegakan Hukum
POLA Intervensi Atasan terhadap pelaksana penegak hukum
MODUS
PELAKU
Para pihak dalam perkara perdata - Advokat atau Tersangka/Terdakwa dalam - Pimpinan perkara pidana secara sendiri atau Atasan ataupun melalui perantara Penegak melakukan loby kepada pimpinan Hukum baik pimpinan pengadilan, - Calo kejaksaan maupun kepolisian untuk menekan/memaksa / mengintervensi proses penegakan hukum yang berjalan pada lembaga masing-masing untuk melakukan/ tidak melakukan sesuatu dalam proses penanganan perkara.
2. MODUS OPERANDI MAFIA HUKUM DI LINGKUNGAN KEPOLISIAN 1.
Pra kasus (sebelum terjadinya kasus)
Meminta biaya ‘dinas’ atau operasional
Meminta biaya ‘dinas’ atau biaya - Aparat operasional kepada pihak-pihak Kepolisian tertentu dengan dalih agar pemberi - Masyarakat aman dari tindakan kepolisian - Calo atau akan dilindungi apabila ada permasalahan hukum. Biasanya aparat, meminta kepada pihak-pihak tertentu dukungan dana dengan alasan operasional dan terkesan seperti resmi atau legal karena tidak memaksa. Pihak yang diminta akan secara ‘sukarela’ menyetorkan uang karena ‘uang dinas’ yang diberikan tersebut diharapkan akan berbuah pada pemberian perlindungan khusus dan sebaliknya jika tidak diberikan tidak akan mendapat perlindungan. Bahkan pihak pemberi dikesankan sebagai pihak yang berjasa kepada Kepolisian karena membantu ‘operasional’ kepolisian. Biasanya yang menjadi objek adalah tempat-tempat hiburan, restoran, ataupun perusahaanperusahaan yang rentan dengan masalah keamanan atau hukum.
MAFIA HUKUM
59
NO.
TAHAP
POLA Melakukan pungutan liar dan atau menjadi pelindung atas bisnisbisnis ilegal
MODUS
PELAKU
Aparat kepolisian meminta uang - Aparat kepada masyarakat sebagai imbalan Kepolisian tidak akan diproses kalau ada kasus - Masyarakat atau sebagai uang ‘setoran’ untuk - Calo perlindungan jalannya usaha-usaha yang melanggar hukum. Biasanya pihak kepolisian secara aktif memungut dengan cara mendatangi tempat-tempat tertentu, baik itu tempat usaha maupun tempat-tempat di pinggir jalan seperti pangkalan angkutan umum, terminal, pasar dsb. Usaha melanggar hukum yang seringkali dilindungi/dibiarkan oleh polisi meliputi perdagangan DVD/CD bajakan, prostitusi, perjudian (togel), angkutan umum dan lainnya.
Melakukan pemerasan
2.
60
Pembuatan Permintaan biaya ‘dinas’ Laporan Polisi (LP Model A oleh petugas maupun LP Model B Pengaduan Masyarakat)
MAFIA HUKUM
Melakukan ‘ancaman’ atau ‘jebakan’ - Aparat yang berujung ‘damai’ (bisa Kepolisian berbentuk pemerasan). - Masyarakat Biasanya aparat akan mempersiapkan - Calo penjebakan untuk berbagai kasus mulai dari yang ringan seperti lalu lintas sampai kasus narkoba hingga. Jadi kasusnya diciptakan oleh aparat. Setelah sang korban terjebak maka aparat akan melakukan pemerasan agar kasus tidak dilanjutkan. Polisi meminta biaya pada pelapor misalnya: - Biaya administrasi - B iay a p enunjukan b i la menginginkan kasus ditangani penyidik tertentu - Biaya transport untuk menindaklanjuti laporan - Biaya penyidik yang akan memproses laporan untuk nantinya melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan tersangka.
- Petugas jaga - Penyidik/ atasan penyidik - Pelapor - Terlapor - calo perkara
NO.
TAHAP
POLA
MODUS
PELAKU
Kondisi yang dibangun: tanpa uang tiada hasil. Menerima gratifikasi dengan dalih untuk menambah ‘uang dinas’
Masyarakat/pelapor memberi uang Petugas jaga ‘dinas’ agar penanganan laporan Penyidik/ berjalan lancar atau diprioritaskan. atasan penyidik
Memeras terlapor atau menerima uang dari terlapor agar laporan tidak diproses.
Modusnya memperlambat proses, Petugas jaga menggantungkan proses, dan Penyidik/ mengeluh tidak ada biaya operasional. atasan penyidik
Dalam hal ini aparat lebih pasif, Pelapor artinya tidak aktif meminta, namun Terlapor membuka peluang agar diberi Calo perkara secara sukarela dari pelapor.
Ketika laporan diproses, pihak aparat memeras terlapor untuk membayar agar laporan tidak diproses, baik itu untuk kasus yang memang layak dilanjutkan maupun kasus yang sebenarnya sejak awal lemah.
Pelapor Terlapor Perantara / calo perkara
Ketika laporan diproses, terlapor memberi uang dengan imbalan laporan tidak diproses sementara aparat tidak menolak pemberian tsb. Kedua hal di atas dapat dilakukan secara langsung maupun melalui perantara. Menerima laporan Perkara Perdata untuk dijadikan perkara pidana baik dengan imbalan uang maupun bukan uang
Petugas SPK tetap menerima Petugas SPK laporan polisi untuk perkara Penyidik/ yang sebenarnya masuk kategori atasan penyidik perdata. Hal ini dilakukan baik dengan Advokat imbalan materi berupa pemberian Masyarakat uang oleh pelapor, maupun non Calo materi berbentuk fasilitas atau karena pelapor memiliki kekuasaan tertentu atau kedekatan tertentu.
MAFIA HUKUM
61
NO.
TAHAP
POLA Menolak perkara pidana dengan alasan bahwa perkara tersebut adalah perkara perdata
MODUS
PELAKU
Menolak perkara pidana dengan alasan perdata karena diberi uang oleh terlapor maupun karena terlapor adalah orang yang memiliki hubungan khusus dengan aparat tersebut atau dengan institusi Kepolisian.
- Petugas SPK - Penyidik/ atasan penyidik - Advokat - Masyarakat - Calo
Petugas SPK menolak suatu laporan dengan dalih bahwa kasusnya perdata meskipun pada faktanya memenuhi kualifikasi sebagai perkara pidana. Sama dengan diatas latar belakangnya bisa berbentuk materi atau karena kekuasaan atau kedekatan tertentu.
Menolak atau mempersulit laporan
Menolak/mempersulit laporan - Petugas SPK apabila pihak terlapor adalah orang - Penyidik/ yang berpengaruh atau memiliki atasan hubungan tertentu dengan penyidik petugas atau atasan petugas. - Advokat - Masyarakat Jika suatu kasus terkait dengan - Calo tokoh tertentu atau seseorang yang memiliki kedekatan tertentu dengan petugas, atasan petugas, petinggi kepolisian, maka laporan akan dipersulit dengan berbagai alasan seperti kurang bukti, kasus kurang kuat dan sebagainya. Penolakan ini bisa disertai imbalan atau sekedar karena tekanan.
Menghambat/ tidak menindaklanjuti proses penanganan laporan
62
MAFIA HUKUM
Menghambat/tidak menindaklanjuti proses penanganan laporan apabila pihak terlapor adalah orang yang berpengaruh atau memiliki hubungan tertentu dengan petugas atau atasan petugas atau apabila pihak terlapor telah memberikan uang.
- Petugas SPK - Penyidik/ atasan penyidik - Advokat - Masyarakat - Calo
NO.
TAHAP
POLA
Memberikan perlakuan berbeda khusus pada pelapor tertentu (diskriminasi)
MODUS
PELAKU
Hampir serupa dengan modus di atas, namun hal ini berlangsung pada proses tindak lanjut laporan. Proses penanganannya dihambat, digantungkan, tidak ada progress dan sebagainya hingga pelapor merasa upayanya melaporkan tindak pidana menjadi sia-sia.
- Petugas SPK - Penyidik/ atasan penyidik - Advokat - Masyarakat - Calo
Mempermudah laporan apabila - Petugas SPK pihak pelapor adalah orang - Penyidik/ yang berpengaruh atau memiliki atasan hubungan tertentu dengan penyidik petugas atau atasan petugas. - Advokat - Masyarakat Aparat memberikan perlakuan yang - Calo berbeda apabila pelapor adalah orang-orang ‘khusus’, yakni orang yang berpengaruh atau memiliki kedekatan-kedekatan tertentu dengan aparat ataupun petinggi kepolisian.
Mengarahkan Mengarahkan kasus misalnya, - Polisi menentukan pihak yang akan - Calon kasus dijadikan target dalam perkara Tersangka pidana. - Pelapor - Advokat Aparat membalik logika proses - Calo hukum, yang seharusnya berawal dari tindak pidana tetapi dalam hal ini berawal dari subjek kemudian dicari-cari tindak pidana apa yang dapat dikenakan. Biasanya karena mendapat ‘pesanan’ maka aparat kepolisian mencari-cari kesalahan seseorang yang telah ditarget. Kemudian ketika ditemukan kesalahan meskipun ringan kesalahan tersebut dibuat sedemikian rupa agar dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana.
MAFIA HUKUM
63
NO. 3.
TAHAP
POLA
Penyelidikan Meminta uang dan/ atau memeras korban, pelapor, terlapor, atau calon tersangka agar kasusnya dilanjutkan/ dihentikan/ diprioritaskan
MODUS
PELAKU
Dalam tahapan penyelidikan, - Polisi aparat kepolisian meminta dan/ - Calon atau memeras pihak-pihak yang Tersangka terlibat. - Pelapor - Advokat Untuk korban dan/atau pelapor, - Calo aparat memeras agar kasusnya ditindak lanjuti atau diprioritaskan Untuk terlapor atau calon tersangka, aparat memeras agar penyelidikan kasusnya dihentikan atau tidak diproses.
Membocorkan Membocorkan rencana-rencana operasi operasi kepolisian kepada target kepolisian operasi sehingga pelaku kejahatan dapat lolos atau perbuatannya lepas dari proses.
- Polisi - Calon Tersangka - Pelapor - Advokat - Calo
Aparat biasanya akan menghubungi dahulu pihak-pihak terkait sebelum melakukan tindakan operasi. Kemudian informasi ini dapat dinilai dengan imbalan uang atau fasilitas. Melepas calon tersangka dengan imbalan uang atau bukan uang
Petugas kepoilisian sudah menangkap calon tersangka lalu dilepaskan setelah calon tersangka ini memberi uang, baik karena diperas ataupun inisiatif dari calon tersangka. Atau pelepasan ini dilakukan karena mendapatkan tekanan tertentu karena calon tersangka merupakan orang berpengaruh atau memiliki kedekatan dengan orang berpengaruh.
64
MAFIA HUKUM
- Polisi - Calon Tersangka - Pelapor - Advokat - Calo - Masyarakat
NO.
TAHAP
POLA Tidak meningkatkan status ke penyidikan dengan imbalan uang atau non materi
MODUS
PELAKU
Penyelidik yang telah mendapatkan - Polisi uang tidak melanjutkan perkara ke - Calon tingkat penyidikan. Tersangka - Pelapor Sama dengan di atas, pemberian - Advokat uang baik karena diperas atau - Calo inisiatif dari calon tersangka - Masyarakat ataupun karena tekanan dari pihak tertentu yang memiliki pengaruh/ kekuasaan. Modus lainnya dilakukan dengan cara penggelapan perkara (tidak dicatat, dihilangkan dari catatan, tidak dilaporkan, dibuatkan/ dikesankan bukti lemah, fabrikasi bukti, dsb) dengan imbalan materi atau karena tekanan tertentu.
4.
Penyidikan Meminta uang dan/atau memeras saksi korban, saksi pelapor, terlapor, atau tersangka agar kasusnya dilanjutkan/ dihentikan/ diprioritaskan Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3)
Dalam tahapan penyidikan, - Polisi aparat kepolisian meminta dan/ - Calon atau memeras pihak-pihak yang Tersangka terlibat. - Pelapor - Advokat Untuk saksi korban dan/atau - Calo pelapor, aparat memeras agar kasusnya ditindak lanjuti atau diprioritaskan. Untuk tersangka, aparat memeras agar penyelidikan kasusnya dihentikan atau tidak diproses.
Mengeluarkan Surat Penghentian - Polisi Penyidikan (SP3) dengan imbalan - Calon uang, fasilitas atau karena tekanan Tersangka tertentu. - Pelapor - Advokat Penyidik akan menawarkan SP-3 - Calo dengan imbalan tertentu, atau pihak - Masyarakat tersangka meminta agar penyidik mengeluarkan SP-3 dengan imbalan materi atau non materi atau dengan mempergunakan tekanan kekuasaan.
MAFIA HUKUM
65
NO.
66
TAHAP
MAFIA HUKUM
POLA
MODUS
PELAKU
Menggelapkan Penggelapan perkara dilakukan perkara agar kasusnya dihentikan. Caranya perkara tersebut tidak dicatat, dihilangkan dari catatan, tidak dilaporkan, dibuatkan/dikesankan bukti lemah, fabrikasi bukti, dsb. Hal ini dilakukan baik dengan imbalan uang, non materi atau karena tekanan tertentu.
- Polisi - Calon Tersangka - Pelapor - Advokat - Calo
Menawarkan Penyidik akan menawarkan jasa advokat penggunaan advokat tertentu tertentu untuk mendampingi. Selanjutnya penyidik akan mendapat komisi dari advokat tersebut. Kadangkala karena ada hubungan mutualisme maka proses kasus-pun dapat diatur.
- Polisi - Calon Tersangka - Pelapor - Advokat - Calo
Membiarkan status tersangka dalam status quo dengan harapan diberi uang oleh tersangka
Penyidik menggantungkan status tersangka sedemikian lamanya dengan harapan ada tindakan aktif dari tersangka untuk memberi sesuatu kepada penyidik.
- Polisi - Calon Tersangka - Pelapor - Advokat - Calo
Membuat/ memproses perkara yang sebenarnya tidak merupakan tindak pidana dengan tujuan memeras tersangka
Penyidik memproses perkara yang sebenarnya bukan tindak pidana. Dalam proses tersebut Penyidik melakukan pemerasan, sehingga ketika berhasil diperas kasus dapat dihentikan dengan mudah karena sejak awal memang sebenarnya lemah atau bukan tindak pidana
- Polisi - Calon Tersangka - Pelapor - Advokat - Calo
NO.
TAHAP
POLA
MODUS
PELAKU
Membuat/ Sama modusnya dengan di atas, menciptakan namun tujuannya bukan memeras perkara atas melainkan karena pesanan tertentu. pesanan tertentu dari pelapor dengan imbalan uang padahal perkara tersebut bukanlah tindak pidana
- Polisi - Calon Tersangka - Pelapor - Advokat - Calo - Masyarakat
Memeras saksi atau menakutnakuti saksi dengan ancaman pidana
Penyidik memanggil saksi untuk diperiksa kemudian menakutnakuti akan dijadikan tersangka. Kemudian penyidik melakukan pemerasan.
- Polisi - Calon Tersangka - Pelapor - Advokat - Calo
Melakukan pemerasan saat penangkapan
Setelah melakukan penangkapan penyidik melakukan pemerasan. Penangkapan bisa saja dilakukan secara prosedural ataupun tidak prosedural.
- Polisi - Calon Tersangka - Pelapor - Advokat - Calo
Menggunakan kewenangan penahanan untuk mendapatkan imbalan uang
Penyidik menggunakan kewenangan penahanan untuk mendapatkan imbalan uang dengan cara mengancam tersangka untuk ditahan.
- Polisi - Calon Tersangka - Pelapor - Advokat - Calo
Atau bisa saja ancaman penahanan tersebut dilakukan atas pesanan pelapor atau pihak tertentu. Penyidik akan mendapat imbalan dari pihak yang memesan.
MAFIA HUKUM
67
NO.
68
TAHAP
MAFIA HUKUM
POLA
MODUS
PELAKU
Men ggunakan kewenangan memberikan penanggguhan penahanan atau pengalihan status penahanan atau pemindahan tahanan dengan imbalan uang
Penyidik mengkomersilkan kewenangan memberikan penanggguhan penahanan atau pengalihan status penahanan atau pemindahan tahanan.
Memberikan fasilitas tertentu dalam tahanan kepolisian ataupun melakukan pungutan kepada tahanan/ keluarga tahanan
Penyidik menawarkan fasilitas- - Polisi fasilitas khusus untuk tahanan di - Calon kepolisian. Tersangka - Pelapor Atau, pihak tersangka, keluarga - Advokat atau advokat memberi imbalan - Calo kepada penyidik agar memberi fasilitas tertentu.
Menggunakan kewenangan melakukan penggeledahan untuk melakukan pemerasan
Penyidik melakukan penggeledahan kemudian memeras baik dengan ancaman kasus akan diproses berdasarkan hasil penggeledahan maupun tawaran agar tempat tidak digeledah.
- Polisi - Calon Tersangka - Pelapor - Advokat - Calo
Penyidik dapat bertindak aktif dengan cara meminta atau pasif namun membuka atau menciptakan peluang.
- Polisi - Calon Tersangka - Pelapor - Advokat - Calo
NO.
5.
TAHAP
POLA
MODUS
Menggunakan kewenangan melakukan penyitaan untuk melakukan pemerasan
Penyidik menggunakan kewenangan melakukan penyitaan untuk melakukan pemerasan baik dengan cara menyita barang-barang yang tidak terkait perkara, mengancam akan melakukan penyitaan, menawarkan pengembalian barang sitaan, rekayasa barang bukti yang disita, penyitaan tidak dicatat, penggelapan barang sitaan (misalnya dengan mencatat lebih sedikit jumlah barang sitaan dan menjual selisihnya) dan pinjam pakai barang bukti.
- Penyidik/ atasan penyidik - Tersangka - Advokat - Calo
Tidak membuat Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke kejaksaan dengan kompensasi sejumlah uang/materi
Penyidik tidak membuat Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke kejaksaan agar kasus tidak diketahui sehingga terbuka berbagai peluang untuk melakukan pemerasan ataupun permintaan imbalan lainnya.
- Penyidik/ atasan penyidik - Tersangka - Advokat - Calo
Pelimpahan Bertindak tidak Berkas profesional Perkara dalam menangani perkara
PELAKU
Penggelapan perkara (tidak dicatat, dihilangkan dari catatan, tidak dilaporkan, dibuatkan/dikesankan bukti lemah, fabrikasi bukti, dsb) berdasarkan pesanan. Penyidik sengaja memperlemah perkara atau mengarahkan perkara sesuai keinginan penyidik atau pesanan pihak tertentu dengan cara: • Tidak mencantumkan seluruh berkas dalam berkas perkara. • Tidak mencamtumkan seluruh saksi yang diperiksa dalam berkas perkara. • Tidak mencantumkan seluruh bukti atau mengurangi barang bukti dalam berkas perkara.
- Penyidik/ atasan penyidik - Tersangka - Advokat - Calo
MAFIA HUKUM
69
NO.
TAHAP
POLA
MODUS
Menggunakan kewenangan melakukan penyitaan untuk melakukan pemerasan
Membuka peluang untuk dikeluarkannya SP3. Sengaja membuat bukti menjadi lemah agar kasus bolak balik antara kejaksaan dan Kepolisian sehingga terjadi peluang untuk meminta uang ataupun SP3.
PELAKU - Penyidik/ atasan penyidik - Tersangka - Advokat - Calo
3. MODUS OPERANDI MAFIA HUKUM DI LINGKUNGAN KEJAKSAAN 1.
2.
70
Penyelidikan Menyalahgunakan kewenangan fungsi intelijen dari mengumpulkan bahan dan keterangan menjadi Penyelidikan menurut KUHAP
• Jaksa bidang intelijen melakukan Jaksa di bidang
Penyidikan
Pemanggilan seseorang tanpa kejelasan mengenai tujuan pemanggilan tersebut dan tidak disebutkan tindak pidana apa yang dituduhkan
Melakukan pemanggilan seseorang Jaksa (sebagai tanpa menjelaskan statusnya penyidik) dalam pemanggilan tersebut. Hal ini memungkinkan Jaksa melakukan pemerasan dengan cara mengancam akan mengubah status dari saksi menjadi tersangka.
Mengulurulur waktu penyidikan
Tim penyidik akan mengulur-ulur Jaksa (sebagai waktu proses pemeriksaan dengan penyidik) maksud untuk melakukan negosiasi perkara termasuk negosiasi apakah perkara akan dilanjutkan atau dihentikan.
MAFIA HUKUM
• •
pemanggilan terhadap Intelijen seseorang dan mengancam akan melanjutkan perkaranya ke tahap penyidikan. Hasil penyelidikan tidak diserahkan ke bidang yang berwenang melakukan penyidikan. Apabila dalam tahap pengumpulan bahan dan keterangan terdapat indikasi tindak pidana, khususnya korupsi maka hal itu akan dipergunakan untuk memeras.
NO.
TAHAP
POLA
MODUS
PELAKU
Pemerasan Jaksa melakukan pemerasan Jaksa (sebagai dengan dengan cara: penyidik) memanfaatkan • Mengancam dilakukannya penahanan kewenangan atau diperpanjangnya masa penahanan terhadap tersangka penahanan • Melakukan negosiasi ketika Tersangka meminta penangguhan penahanan atau dengan menawarkan penangguhan penahanan. • Melakukan negosiasi ketika Tersangka meminta pengalihan jenis penahanan atau dengan menawarkan penangguhan penahanan, misalnya menjadi tahanan kota. Semakin berat bobot kasusnya akan semakin besar biaya yang harus dikeluarkan oleh tersangka. Negosiasi barang bukti yang disita
• Jaksa sengaja tidak melakukan - Penyidik •
sita atas barang bukti dengan - Jaksa - advokat imbalan tertentu. Jaksa melakukan sita akan tetapi tidak secara menyeluruh atau tidak lengkap.
Pengelolaan Menggelapkan atau merubah - Jaksa barang bukti barang bukti dan/atau alat bukti - Advokat untuk kepentingan sendiri atau - Penyidik tersangka. Melepaskan tersangka
• Mengeluarkan Surat Keterangan - Jaksa
•
Penghentian Penyidikan (SKP2) (sebagai dengan menyatakan suatu perkara penyidik) dihentikan penuntutannya karena - Advokat alasan tidak cukup bukti. Melepaskan tersangka yang seharusnya bertanggungjawab secara hukum dan menetapkan orang lain yang terkait dengan perkara tersebut sebagai tersangka, misalnya bawahan atau penerima perintah dari tersangka yang sebenarnya.
MAFIA HUKUM
71
NO.
TAHAP
POLA
MODUS
PELAKU
3.
Pra Menghambat Setelah menerima uang, Jaksa (sebagai Penuntutan proses/ menyatakan BAP belum lengkap penuntut) dan Penggelapan baik melalui pemberian petunjuk penyidik perkara atau dalam gelar perkara (dalam tahap P 19) serta berulang kali mengembalikan BAP kepada penyidik, sampai pada akhirnya perkara tersebut tidak berlanjut.
4.
Penuntutan Negosiasi Dakwaan
Melakukan tawar menawar atas - Jaksa pasal yang akan didakwakan. - Terdakwa/ Advokat Apabila sudah melakukan - Calo negosiasi, jaksa sengaja menyusun dakwaan yang lemah dengan cara membuat celah hukum dalam Surat Dakwaannya.
Negosiasi Tuntutan
Jaksa melakukan negosiasi dengan - Jaksa terdakwa/advokatnya dengan janji - Terdakwa/ untuk membuat tuntutan yang Advokat rendah. - Calo
Tidak menjalankan fungsinya secara profesional di persidangan
Di persidangan Jaksa tidak - Jaksa aktif menggali perkara, tidak - Terdakwa/ aktif bertanya, tidak berusaha Advokat mempertahankan argumentasinya, tidak menghadirkan saksi atau ahli yang dapat memperkuat dakwaannya, menghadirkan saksi atau ahli yang melemahkan dakwaannya karena memang sudah ada skenario pelemahan dakwaan.
Penyalahgunaan kewenangan dalam melakukan upaya hukum
Tidak melakukan upaya hukum atas - Jaksa putusan pengadilan dalam perkara - Terdakwa/ Advokat yang ditanganinya apabila diyakini terdakwa bersalah atau putusan - Calo tidak adil. • Jaksa sengaja tidak mengajukan upaya hukum banding, kasasi atau Peninjauan Kembali. • Jaksa sengaja tidak mengajukan atau terlambat mengajukan Memori Banding atau Memori Kasasi.
5.
72
Upaya Hukum
MAFIA HUKUM
NO.
TAHAP
POLA
MODUS
PELAKU
• Mengajukan Memori Banding atau Memori Kasasi yang lemah secara hukum. 6.
Eksekusi
Penyalahgunaan kewenangan melakukan eksekusi
• Jaksa sengaja menunda-nunda - Jaksa
•
•
•
atau tidak melakukan eksekusi - Terdakwa atas putusan pengadilan yang - Advokat sudah berkekuatan hukum tetap, - Calo Jaksa melakukan eksekusi, misalnya merampas barang bukti (berupa uang, gedung atau barang) akan tetapi tidak menyetorkan sama sekali atau hanya menyetor sebagian saja kepada negara Jaksa menjual barang rampasan tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku, misal tidak melalui lelang Jaksa menggelapkan barang sitaan/rampasan dan lain-lain.
4. MODUS OPERANDI MAFIA HUKUM DI LINGKUNGAN PENGADILAN PENGADILAN TINGKAT PERTAMA DAN TINGKAT BANDING 1.
Pendaftaran Pungutan Perkara liar pendaftaran perkara (perdata)
Permintaan biaya tidak resmi - Petugas registrasi dalam proses pendaftaran perkara, meliputi legalisir surat kuasa, biaya panjar perkara, biaya map dan lain sebagainya.
Penawaran penggunaan advokat tertentu
Penawaran penggunaan advokat - Ketua tertentu (termasuk yang memiliki Pengadilan hubungan keluarga dengan hakim - Hakim yang menangani perkara) atau - Panitera dalam perkara kepailitan, menunjuk kurator tertentu.
Negosiasi penahanan (pidana)
Menawarkan terdakwa (atau atas permintaanAdvokat/Jaksa/Calo)dengan meminta imbalan, untuk merubah status penahanan terdakwa, misal dari ditahan menjadi ditangguhkan penahanannya, diubah status tahanannya (tahanan rutan menjadi tahanan rumah, dan lain sebagainya).
-
Hakim Jaksa Calo Advokat
MAFIA HUKUM
73
NO.
TAHAP
POLA
MODUS
PELAKU
Korban meminta hakim untuk - Korban menahan/melanjutkan penahanan - Hakim terdakwa dengan memberi - Calo imbalan. Pengaturan majelis hakim tertentu
2.
Persidangan Rekayasa proses sidang
Negosiasi penetapan sita jaminan/ mencabut sita jaminan
74
MAFIA HUKUM
Ketua Pengadilan menunjuk - Ketua dirinya sendiri sebagai ketua Pengadilan majelis perkara yang memiliki nilai finansial tinggi. Meminta Ketua Pengadilan untuk menunjuk hakim tertentu yang diketahui mau diajak melakukan kolusi dalam perkaranya.
-
Advokat Para Pihak Calo Jaksa Ketua Pengadilan
Rekayasa persidangan, misalnya sidang marathon (termasuk memotong tahap-tahap tertentu atau langsung memeriksa perkara di sidang pertama saat tergugat tidak hadir-dalam perkara perdata), semua unsur sudah “diatur” (saksi, barang bukti, pertanyaan hakim, jawaban, putusan), sidang sore hari (sehingga sulit untuk diamati publik), sidang di luar ruang persidangan (biasanya untuk perkara perdata), dst.
- Hakim - Jaksa - Panitera Pengganti - Advokat - Para pihak - Terdakwa
Rekayasa proses pembuktian, misalnya mengakui bukti-bukti fiktif, dan mengabaikan bukti-bukti kuat dengan menggunakan alasanalasan formil belaka, pencatatan/ pendokumentasian sidang tidak dilakukan semestinya sehingga sulit untuk dilacak, dst.
- Hakim - Jaksa - Panitera Pengganti - Advokat - Para pihak - Terdakwa - Calo
Permintaan biaya tidak resmi untuk - Ketua PN menetapkan atau mencabut sita - Panitera jaminan pada perkara perdata. Pengganti - Advokat - Calo
NO.
TAHAP
POLA
MODUS
PELAKU
Pungutan Permintaan biaya tidak resmi - Hakim liar dalam untuk melaksanakan pemeriksaan - Panitera pemeriksaan setempat. Pengganti setempat 3.
Pembuatan Negosiasi Putusan/ Putusan Penetapan
Hakim atau melalui perantara meminta uang kepada salah satu pihak/para pihak (pada perkara perdata) atau terdakwa/korban (pada perkara pidana) dengan imbalan memutus perkara yang penguntungkan salah satu pihak/ terdakwa/korban (keringanan hukuman atau membebaskan terdakwa, menghukum terdakwa, memenangkan pengugat/ tergugat, mengatur besar ganti rugi, memutus perkara tidak dapat diterima [Niet ontvankeljk verklaardNO], dst).
- Hakim - Panitera Pengganti - Calo - Advokat - Terdakwa - Korban
Jaksa/Terdakwa/Advokat/Korban secara aktif menegosiasikan putusan ke majelis hakim (dengan imbalan sama dengan di atas). Hakim menunda-nunda sidang - Hakim pembacaan putusan sebagai - Panitera isyarat agar para pihak/terdakwa Pengganti menghubungi hakim. - Advokat Hakim (sendiri/melalui perantara) - Hakim ‘melelang’ amar putusan dengan - Panitera memeras kedua belah pihak Pengganti dan memenangkan yang pihak membayar paling tinggi. Meminta uang lelah atau uang terimakasih
Hakim (sendiri/melalui perantara) - Hakim minta uang ‘lelah’ kepada salah - Panitera satu pihak/para pihak (pada perkara Pengganti perdata) atau terdakwa/korban (pada perkara pidana) yang dalam perkara tersebut secara hukum kuat atau kepada kedua belah pihak dalam perkara perdata yang berhasil selesai secara mediasi.
MAFIA HUKUM
75
NO.
4.
TAHAP
Pasca Putusan
POLA
MODUS
PELAKU
Penipuan
Jaksa/Advokat/Calo menipu salah - Calo satu pihak/para pihak (pada perkara - Advokat perdata) atau terdakwa/korban - Jaksa (pada perkara pidana) seolah-olah Hakim meminta uang dengan jumlah tertentu (padahal hakim tidak meminta/kalaupun meminta jumlahnya tidak setinggi yang disebutkan).
Pungutan liar untuk memperoleh salinan putusan
Meminta biaya di luar ketentuan - Panitera untuk memberikan salinan putusan Pengganti apabila tidak, penyelesaian minutasi - Staf putusan akan diperlambat. Kepaniteraan
Pungutan liar Meminta biaya di luar ketentuan - Petugas pengajuan kepada pemohon kasasi untuk Banding/ upaya hukum memproses upaya hukum. kasasi
5.
Eksekusi Putusan
Korupsi Uang Panjar Biaya Perkara
Secara ilegal menggunakan uang - Panitera sisa panjar biaya perkara untuk - Juru sita keperluan lain, tidak mengembalikan - Advokat sisa uang panjar kepada pihak yang berhak atau menyimpan uang konsinyasi di rekening pribadi dan mengambil bunganya.
Pungutan Liar
Permintaan biaya di luar ketentuan memproses eksekusi, apabila tidak dibayar, proses akan ditelantarkan, juru sita tidak ditunjuk dan proses eksekusi berhenti.
Pemerasan
Jurusita memeras pihak tersita, dengan imbalan penundaan eksekusi atau penggelapan barang yang akan dieksekusi. Jurusita memeras pihak tersita, dengan imbalan penundaan eksekusi atau penggelapan barang yang akan dieksekusi.
76
MAFIA HUKUM
NO.
TAHAP
POLA
MODUS
Persekongkolan Khususnya dalam proses pemberesan perkara kepailitan, Kurator bekerjasama dengan Hakim Pengawas melakukan keputusan penjualan ataupun penggelapan aset dengan menjual dibawah harga pasar yang berakibat kerugian bagi budel pailit.
PELAKU - Hakim Pengawas - Kurator - Debitor - Advokat
MAHKAMAH AGUNG 1.
Pra perkara
Idem dengan proses di Pengadilan Idem dengan Tingkat Pertama. proses di Pengadilan Tingkat Pertama
2.
Pendaftaran Mengatur Perkara proses administrasi pendaftaran perkara
Memprioritaskan atau menunda - Petugas registrasi perkara dengan meminta registrasi - Pemohon imbalan. kasasi/PK - Termohon kasasi/PK - Korban
Penawaran penggunaan advokat tertentu
Penawaran penggunaan advokat - Petugas MA khusus yang dekat (termasuk - Hakim Agung memiliki hubungan keluarga) dengan hakim yang menangani perkara.
Negosiasi Idem dengan proses di Pengadilan Petugas MA perpanjangan Tingkat Pertama. penahanan (pidana) Pimpinan MA/Pihak yang Pimpinan MA Penentuan majelis hakim mendistribusikan perkara menunjuk tertentu dirinya sendiri sebagai ketua majelis perkara yang memiliki nilai finansial tinggi.
MAFIA HUKUM
77
NO.
3.
TAHAP
POLA
Pemeriksaan Mengatur isi Perkara dan putusan Putusan
MODUS
PELAKU
Proses urutan registrasi perkara baru diatur sedemikian rupa, supaya jatuh ke majelis-majelis tertentu, baik melalui pengkondisian usulan distribusi kepada Ketua Mahkamah Agung, supaya perkara seolaholah secara tidak sengaja jatuh ke Tim/majelis tertentu, ataupun dengan mengaturnya langsung dengan pimpinan yang berwenang membagi perkara ke majelis.
- Panitera Muda di MA - Pimpinan MA - Calo - Advokat
Advokat atau para pihak - Panitera menawarkan imbalan kepada Panitera Muda Hakim Agung (baik langsung - Asisten maupun melalui perantara) mencari Koordinator sendiri celah yang tersedia di MA. - Hakim Agung - Advokat - Para Pihak Calo menghubungi advokat atau melalui jaringannya di daerah untuk menawarkan jasa sebagai perantara ke hakim agung yang memeriksa dan memutus perkara (sudah terbangun jaringan kerja informal dengan pihak-pihak di daerah).
- Petugas kepaniteraan/ non kepaniteraan MA - Asisten Hakim - Pengetik - Advokat - Staf pengadilan tingkat pertama - Calo
- Petugas Petugas menghadap langsung kepaniteraan/ hakim agung yang memeriksa non perkara tertentu dan meminta kepaniteraan bantuan untuk memenangkan MA pihak tertentu dengan dalih - Asisten Hakim masih kerabat/kenalan dan lain - Pengetik sebagainya. - Advokat - Staf pengadilan tingkat pertama
78
MAFIA HUKUM
NO.
TAHAP
POLA
MODUS
PELAKU
Hakim Agung meminta imbalan - Hakim kepada para pihak dengan mem- - Panitera / perlambat proses pemeriksaan Panitera perkara. Muda - Asisten Koordinator - Pengetik - Staf Hakim - Calo 4.
Pasca Putusan
Penipuan seolah-olah mampu mengatur putusan
Dengan modal mengintip informasi - Pengetik dari advisblaad yang sudah diisi oleh - Asisten dua hakim pembaca, maka sudah Hakim dapat diperkirakan hasil akhir dari - Pegawai perkara, kemudian menghubungi kepaniteraan pihak yang sudah dimenangkan oleh 2 pembaca pertama dengan mengatakan ia bisa membantu memenangkan perkara. Mengetahui isi putusan yang sudah - Pengetik putus, namun sedang minutasi/ - Asisten proses administrasi lain, kemudian Hakim menghubungi pihak yang menang - Pegawai dan mengatakan ia bisa membantu kepaniteraan memenangkan perkara.
5.
Eksekusi
Pungutan Liar (pungli)
Menahan naskah putusan yang - Pegawai MA dikirim via kantor pos dan kemudian - pegawai menghubungi pihak yang menang pengadilan dan meminta pihak yang menang pengaju untuk membawa uang agar proses - Calo pengiriman berkas dipercepat.
Pemalsuan putusan
Memalsukan isi putusan dengan - Pengetik mencabut dan mengganti lembar - Pegawai yang berisi amar putusan. kepaniteraan - Calo
Menangguhkan Meminta Mahkamah Agung pelaksanaan untuk mengeluarkan surat guna eksekusi menangguhkan eksekusi untuk waktu tertentu.
-
Ketua MA Ketua PN Advokat Calo Para pihak
MAFIA HUKUM
79
NO. 6.
TAHAP Semua Tahap
POLA
MODUS
PELAKU
Memperlambat atau mempercepat proses perkara
Pejabat/petugas MA memperlambat - Pengetik atau mempercepat proses perkara - Asisten (proses pemberian berkas awal ke Hakim Ketua MA untuk dibagikan, proses - Pegawai pemberian berkas ke majelis, proses kepaniteraan minutasi, proses administrasi setelah putusan) dengan meminta imbalan pada advokat/salah satu pihak (yang berkepentingan).
Menjual informasi status perkembangan perkara
Meminta biaya kepada orang yang Semua ingin mengetahui status perkara, pegawai MA supaya informasi bisa diperoleh cepat, apabila tidak membayar, tidak dibantu dan dipersulit untuk mengetahui status informasi perkara.
5. MODUS OPERANDI MAFIA HUKUM DI LINGKUNGAN PEMASYARAKATAN 1.
Pungutan untuk pengunjung LP
Pungutan liar dan komersialisasi fasilitas Lapas/ Rutan bagi pengunjung ketika mengunjungi terdakwa atau terpidana yang berada di LP atau dititipkan di rutan
Melakukan pungutan liar di setiap - Petugas tahap pintu masuk ke tempat lapas mengunjungi. - Napi/ Tahanan Saat pengunjung sudah didalam, pungutan liar tetap terjadi agar petugas memanggilkan napi atau tahanan yang bersangkutan. Komersialisasi fasilitas LP/Rutan - Petugas untuk digunakan oleh pengunjung lapas dalam mengunjungi napi/ tahanan, - Napi/ misalnya menggunakan ruang Tahanan rapat ber AC yang sangat private.
Memberikan dispensasi kunjungan - Petugas warga binaan di luar jam besuk. lapas Misal malam hari, atau Sabtu dan - Napi/ Minggu disaat Lapas/ rutan tutup. Tahanan (Dalam beberapa kasus yang ramai di mata publik, para napi/ tahanan bahkan dapat memesan perempuan penghibur panggilan).
80
MAFIA HUKUM
NO. 2.
3.
TAHAP
POLA
MODUS
PELAKU
Komersialisasi Napi atau tahanan bisa membayar - Kepala fasilitas LP/ kepada aparat Lapas/Rutan untuk Lapas, Rutan memperoleh fasilitas khusus Kepala yang berbeda dengan warga Keamaan lainnya, dalam bentuk ruangan Lapas berpendingin udara, TV layar datar, - Petugas dan fasilitas mewah lainnya, juga lapas dispensasi untuk menggunakan - Napi/ telepon seluler, akses internet, tahanan bahkan akses ke ruang karaoke dan lain sebagainya. Pembinaan Petugas Warga menetapkan tarif untuk fasilitas nonfisik bagi napi/ tahanan
Sebenarnya fasilitas non fisik adalah hak bagi napi, tapi seringkali menjadi ‘komoditas dagangan”. Dalam kasus-kasus yang mencuat, apabila tidak memberikan uang, maka ada beberapa kemungkinan yang akan di peroleh napi yang bersangkutan: a. Dipersulit birokrasinya. b. Hak tersebut tidak diberikan. c. Apabila menyangkut potongan hukuman, hak diberikan tetapi dimainkan pada besaran potongan (tanpa uang, potongan sedikit).
- Kepala Lapas - Kepala Keamanan - Tim penilai kelakuan napi/ tahanan - Lapas - Petugas lapas - Napi/ tahanan - Panitera pengadilan
Hak-hak yang seringkali jadi komodiatas: 1. Remisi (khusus maupun umum) 2. Cuti Menjelang Bebas (CMB) 3. Pembebasan Bersyarat (PB) 4. Asimilasi 5. Ijin menjenguk keluarga 6. Ijin berobat/rawat Inap di rumah sakit diluar Rutan/ Lapas 7. Dikeluarkan dari rutan/ lapas setelah masa hukuman dijalani.
MAFIA HUKUM
81
NO.
TAHAP
POLA
MODUS
PELAKU
Negosiasi ditahap ini seringkali berhubungan dengan extract vonis. Tanpa extract vonis, napi tidak bisa dibebaskan. Tetapi kenyataannya, seringkali pemberian extract vonis ini telat atau berpotensi besar dimainkan oleh pihak pengadilan. Apabila ingin cepat dapat surat ini, maka terpidana harus memberikan uang kepada pihaK LP/ rutan untuk mengurus berkas, dan sekaligus memberikan uang pada panitera. Pemberian extract vonis yang terlambat sehingga tahanan semakin lama untuk bisa mendapatkan kepastian status hukumnya. Selain itu, Terpidana juga bisa keluar masuk dari penjara apabila memberikan uang kepada petugas. Hanya saja cara ini bisa dilakukan kalau terpidana punya hubungan baik dan bisa meyakinkan petugas bahwa dirinya tidak akan lari. Tentu petuga juga tidak mau bermasalah apabila si narapidana lari.
4.
82
Tender pengadaan kebutuhan Lapas/ Rutan
MAFIA HUKUM
Melakukan kolusi dengan supplier kebutuhan lapas
mengatur pemenang supplier Kalapas/ bahan-bahan kebutuhan operasional Karutan Lapas/Rutan, untuk memperoleh keuntungan finansial. Mengingat pengadaan kebutuhan lapas/rutan merupakan kebutuhan rutin yang bernilai besar. Keuntungan finansial yang diperoleh dari transaksi didistribusikan di kalangan pimpinan.
SEKILAS MENGENAI Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH)
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) dibentuk oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 30 Desember 2009 melalui Keputusan Presiden Nomor 37 tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (“Keppres No. 37/2009). Tujuan pembentukan Satgas PMH adalah untuk mempercepat pemberantasan praktik mafia hukum yang semakin lama dianggap semakin mengkawatirkan dan merusak upaya penegakan hukum di Indonesia. Tugas, Wewenang dan Tanggungjawab Berdasarkan Keppres No. 37/2009, Satgas PMH bertugas untuk melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi dan pemantauan agar pemberantasan mafia hukum dapat dilakukan secara efektif. Dalam menjalankan tugas tersebut, Satgas PMH diberi kewenangan bekerja sama dengan berbagai lembaga negara serta melakukan penelaahan, penelitian serta hal-hal lain yang dianggap perlu untuk memperoleh segala informasi yang dibutuhkan dari semua instansi, baik di Pusat maupun Daerah, BUMN, BUMD dan pihak lain. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Satgas PMH bertanggungjawab langsung kepada Presiden melalui Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pembangunan (UKP4). Satgas PMH melaporkan pelaksanaan tugasnya sewaktu-waktu kepada Presiden disamping memberikan laporan secara rutin setiap 3 (tiga) bulan.
MAFIA HUKUM
83
Keanggotaan Keanggotaan Satgas PMH berjumlah 6 (enam) orang dengan komposisi keanggotaan dari unsur pemerintah, lembaga penegak hukum dan masyarakat. Susunan keanggotaan Satgas PMH adalah sebagai berikut: Ketua merangkap Anggota : Sekretaris merangkat Anggota : Anggota :
Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D 1. Dr. Darmono, S.H., M.M 2. Irjen. Pol. Drs. Herman Effendi 3. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M 4. Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M.
Dalam menjalankan tugasnya, Satgas PMH dibantu oleh Tim Asistensi. Kegiatan dan Strategi Kerja Koordinasi Melakukan koordinasi dengan berbagai lembaga negara, khususnya Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, Pemasyarakatan, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Kejaksaan dalam rangka mempecepat perbaikan sistem yang dapat mencegah dan meminimalisir praktik mafia hukum serta menindaklanjuti penanganan pengaduan masyarakat yang terkait dengan lembaga-lembaga tersebut. Pengaduan Masyarakat, Koreksi dan Monitoring Menerima dan memproses pengaduan masyarakat, melakukan koreksi dan monitoring sebagai tindak-lanjut hasil analisis pengaduan masyarakat maupun informasi-informasi lain tentang dugaan praktik mafia hukum serta memantau perkara-perkara yang menarik perhatian publik. Fokus kegiatan koreksi dan monitoring adalah pada mafia hukum
84
MAFIA HUKUM
dalam kasus tindak pidana korupsi, perpajakan, kepailitan, narkotika dan obat terlarang, perbankan dan pasar modal, pembalakan liar (illegal logging), penangkapan ikan liar (illegal fishing), penambangan liar (illegal mining), dan perkara lain yang secara langsung menyentuh rasa keadilan masyarakat. Kajian dan Riset Melakukan kajian dan riset dalam rangka memperbaiki sistem di lembaga penegak hukum dan pengadilan yang selama ini memungkinkan praktik mafia hukum. Perbaikan sistem difokuskan dalam rangka membangun keterbukaan informasi, pengawasan internal dan eksternal serta sistem pendisiplinan yang efektif, peningkatan akuntabilitas serta checks and balance dalam sistem penanganan perkara, melahirkan agenagen perubahan pada lembaga penegak hukum dan pengadilan serta penguatan peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan mafia hukum. Komunikasi dan Informasi Melakukan kegiatan-kegiatan untuk menginformasikan hasil kerja serta kegiatan-kegiatan lain untuk mendorong partisipasi masyarakat untuk mendukung upaya pemberantasan mafia hukum. Tata Cara Pengaduan Pengaduan masyarakat berhubungan dengan mafia hukum dapat dikirimkan ke: Sekretariat Satgas PMH PO BOX 9949 Jakarta 10000 (GM) atau melalui situs resmi dengan alamat: www.satgas-pmh.go.id (ada formulir pengaduan online). Pengaduan yang akan ditindaklanjuti adalah pengaduan yang berhubungan dengan dugaan kuat praktik mafia hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisian, kejaksaan, advokat, petugas pemasyarakatan
MAFIA HUKUM
85
serta hakim. Yang dimaksud dengan praktik mafia hukum adalah praktik dimana aparat di atas tidak menjalankan tugas dan kewajibannya atau menyalahgunakan kedudukan dan kewenangan yang mereka miliki, baik karena adanya kolusi atau nepotisme dengan salah satu pihak atau karena tekanan dari pihak yang memiliki kedudukan kuat. Setiap pengaduan harus disertai penjelasan ringkas dan padat mengenai duduk perkara dan dugaan kuat praktik mafia hukum yang diadukan serta lampiran berisi bukti-bukti yang memadai.
86
MAFIA HUKUM