Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 PENGUATAN FUNGSI PENGAWASAN DALAM SISTEM PENEGAKAN HUKUM PIDANA SEBAGAI UPAYA MENEKAN PRAKTIK MAFIA HUKUM47 Agus Budianto, Velliana Tanaya, Yosephus Mainake Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
[email protected];
[email protected];
[email protected] Abstract In an ideal criminal justice system, with a comparison of France, the Netherlands, Britain and Russia,Police and Prosecutors are controlled by the Ministry of Home Affairs andJustice, thus achieving harmonious coordination between investigators and prosecutors; Evaluate cases, which may or may not be brought to court and there is more than one external supervisory agencies. In addition, there is a need to strengthen the substance of the Draft Police Act Amendment (in the national legislation in 2014) and the Draft Amendments to Law Attorney who is being discussed in the House of Representatives Commission III regarding the position and authority of the National Police Commissions and ProsecutorialCommissions. One of them is that the National Police Commission and ProsecutorialCommissions can do research on complaints, investigations and make recommendations or proposals to the Chief of Police and the Attorney General for the imposition of sanctions against the police or the prosecutor who allegedly committed the offense. Chief of Police and the Attorney General shall automatically carry out the recommendation or suggestion if it is not executed within 60 (sixty) days. Strengthening legislation can also be done through the composition of bill draft as to the bill Institute of the State Police. Keywords: external supervision, ideal criminal justice system, strengthening legislation Abstrak Dalam sistem peradilan pidana yang ideal, dengan melihat perbandingan negara Perancis, Belanda, Inggris dan Rusia, bahwa Kepolisian dan Kejaksaan berada dibawah Menteri Dalam Negeri dan Kehakiman, sehingga koordinasi antara penyidik dan penuntut dapat harmonis karena berada dibawah satu kordinasi; Dapat menilai perkara-perkara yang dapat atau tidak diajukan ke pengadilan dan terdapat lebih dari satu lembaga pengawasan eksternal. Selain itu, perlu dikuatkan substansi kedudukan dan kewenangan Kompolnas dan Komjak dalam Rancangan Perubahan Atas UU Kepolisian (dalam prolegnas tahun 2014) dan Rancangan Perubahan Atas UU Kejaksaan yang sedang dibahas di Komisi III DPR RI. Salah satu diantaranya adalah bahwa Kompolnas dan Komjak dapat melakukan penelitian atas aduan, penyelidikan dan mengajukan rekomendasi atau usul kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk penjatuhan sanksi terhadap Polisi atau Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran. Apabila rekomendasi atau usul tersebut tidak dilaksanakan dalam waktu 60 (enam puluh) hari, maka secara otomatis wajib dilaksanakan oleh Kapolri dan Jaksa Agung. Penguatan legislasi dapat juga dilakukan melalui rancangan draft RUU tersendiri sebagaimana dalam RUU Lembaga Kepolisian Negara. Kata Kunci: pengawasan eksternal, sistem peradilan pidana ideal, penguatan legislasi 47
Sebagai bagian tak terpisahkan dari Penelitian Hibah Bersaing Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berdasarkan Surat Perjanjian Penugasan Program Penelitian tahun 2013, Nomor : 007/K3.KMN/SPK/2013, tahun pembiayaan 2014 (Tahun Kedua dari rencana 2 tahun). Sebagai kelanjutan dari artikel tahun pertama, yang dipublish dalam Jurnal Masalah-Masalah Hukum No. 2, April 2014.
189
Agus Budianto, Velliana Tanaya, dan Yosephus Mainake : Penguatan Fungsi Pengawasan… A.
Pendahuluan Sebagaimana dalam laporan hasil penelitian tahun pertama (2013) dalam penelitian
ini, diketemukan fakta atau fenomena terkendalanya praktik penegakan hukum di Indonesia, yaitu dipengaruhi oleh 2 faktor, faktor internal antara lain human error dan faktor eksternal antara lain political and money pressure. Human error antara lain lemahnya integritas dan pengetahuan Aparat Penegak Hukum (APH), baik dalam tahapan penyelidikan, penyidikan oleh Kepolisian, tahap penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, tahap pemeriksaan perkara diperadilan oleh Hakim dan tahap pelaksanaan peradilan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Lemahnya integritas APH ini pun juga banyak dipengaruhi oleh peran dari Advokat itu sendiri, baik secara langsung maupun secara tidak langsung mempengaruhi proses penegakan hukum pidana. Sementara human error yang lain, terdapat pada kurangnya pengetahuan, pendidikan dan ketrampilan APH dalam menguasai kasus hukum. Sebagai contohnya adalah dalam kasus-kasus penggelapan, penipuan yang menggunakan media internet, tindak pidana lingkungan yang memerlukan pembuktian yang kompleksitas, tindak pidana trans-organized crimes, dan lain-lain yang secara teknis membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan khusus dalam membuktikan adanya unsur-unsur kejahatan tersebut. Sedangkan faktor eksternal, seperti political and money pressure, tidak perlu diperdebatkan kembali, meskipun merupakan alasan klasik tetapi sampai sekarang masih menjadi trend terkendalanya penegakan hukum di Indonesia. faktor ini berpengaruh sekali dengan integritas APH itu sendiri. Ibarat dua sisi dalam satu keping mata uang, meskipun godaan/tawaran dari political and money pressure itu tinggi, jika integritas APH mampu untuk mencegah atau menangkal, makapolitical and money pressure tidak akan menjadi hambatan secara internal. Hal menarik dalam hambatan political and money pressure¸ adalah pada penegakan tindak pidana korupsi pada KPK48, dimana dengan gaji dan tunjangan yang relatif lebih tinggi dengan APH lainnya (kepolisian dan kejaksaan), penyidik dan penuntut KPK mementingkan penegakan hukum daripada menanggapi godaan dan tawaran, baik dari kekuasaan/politik dan uang untuk memenangkan koruptor dari jerat hukum. Apabila dalam tindak pidana yang lain yang diselesaikan melalui integrated criminal justice, godaan dan tantangan berupa political and money pressure begitu besar dan sifatnya masif sehingga tercipta sebuah jaringan yang sering disebut sebagai jaringan mafia peradilan. 48
Dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
190
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 Berkaitan dengan hal tersebut, secara langsung dampak dari jaringan mafia peradilan tidak dirasakan oleh masyarakat Indonesia, namun secara tidak langsung akan menjatuhkan pondasi rule of law yang sudah ditanamkan oleh founding father’s dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia. Selain itu, jaringan praktik mafia peradilan ini akan membuat negara menuju jurang kebangkrutan dan memperburuk bahkan mempercepat proses pembusukan lembaga peradilan yang pada akhirnya akan menumbuhkan sikap antipasti kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan. Apabila antipasti masyarakat sudah terbentuk maka dikhawatirkan terjadinya main hakim sendiri dalam menyelesaikan sengketa di masyarakat. Contoh dari hal tersebut adalah upaya pembacokan seorang hakim yang terlibat kasus korupsi oleh seorang aktivis LSM karena sang pelaku geram dengan pelaku korupsi yang selalu merugikan negara ini49. Dari temuan hasil penelitian tahun pertama tersebut, kami mempersempit kembali untuk membahas salah satu indikator penyebab praktik mafia hukum, yaitu indikator nomor 4: “lemahnya pengawasan internal”. Bahwa dalam intergrated criminal justice system di Indonesia, masing-masing lembaga dalam sub sistem peradilan pidana mempunyai lembaga pengawasan sendiri-sendiri, yaitu: Kepolisian dengan Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) dan Propam; Kejaksaan dengan Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan (Jamwas); dan Pengadilan dengan Hakim Agung Muda Bidang Pengawasan dan Pembinaan. Meskipun sudah menerapkan good government governance, namun semangat satu korps menjadi alasan untuk membersihkan lembaga dari praktik suap di lembaga APH tersebut. Dalam era reformasi institusi, maka ada tuntutan untuk melahirkan lambaga pengawasan eksternal dalam lingkungan APH, dimana pada sub sistem Kepolisian dan Kejaksaan diserahkan kepada Kompolnas dan Komjak yang didirikan dengan Peraturan Presiden, yaitu Peraturan Presiden No. 18 tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan dan Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2005 sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional. Kedua peraturan dasar pembentukan Kompolnas dan Komjak ini secara sistematika hukum tidak dapat mengimbangi lembaga yang diawasinya, yaitu dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, sehingga perlu adanya penguatan legislasi.
49
http://anisaalwiyahtaha.blogspot.com/2012/03/tugas-1-masalah-penegakan-hukum-di.html, diakses 11 November 2013
191
Agus Budianto, Velliana Tanaya, dan Yosephus Mainake : Penguatan Fungsi Pengawasan… Dalam penelitian lanjutan ini, dapat dirumuskan masalah antara lain: 1) Bagaimana format sistem peradilan pidana yang ideal?; 2) Bagaimana penguatan kedudukan dan kewenangan lembaga pengawasan eksternal, khususnya Kompolnas dan Komjak dalam kebijakan perubahan terhadap UU Kepolisian dan UU kejaksaan? Metode yang digunakan dalam penelitian lanjutan tahun kedua ini tidak jauh berbeda dengan metode penelitian yang digunakan pada tahun pertama, yaitu menggunakan metode penelitian hukum normatif. Namun, metode yang digunakan pada tahun kedua ini menambahkan data yang bersifat wawancara mendalam (in–depth interview) dengan menggunakan teknik purposive non-random sampling dalam group diskusi atau Focus Group Discussion (FGD). Dalam penelitian tahun kedua ini, meskipun jenis data penelitian yang digunakan adalah normative dengan data sekunder yang diperoleh melalui studi literature, namun karena sifat ilmu hukum yang kontekstual dan living in society, maka tidak selamanya data yang digunakan bersifat sekunder. Sehingga perlu data yang sifatnya primair (data yang didapat langsung dari narasumber melalui wawancara mendalam). Menurut Hariwijaya50, dalam penelitian juga dikenal teknik wawancara-mendalam, teknik ini biasanya melekat erat dengan penelitian kualitatif. Pengambilan data kualitatif melalui FGD dikenal luas karena kelebihannya dalam memberikan kemudahan dan peluang bagi peneliti untuk menjalin keterbukaan, kepercayaan, dan memahami persepsi, sikap, serta pengalaman yang dimiliki informan. FGD merupakan salah satu metode penelitian kualitatif yang secara teori mudah dijalankan, tetapi praktiknya membutuhkan ketrampilan teknis yang tinggi. Sebagai alat penelitian, FGD dapat digunakan sebagai metode primer maupun sekunder. FGD berfungsi sebagai metode primer jika digunakan sebagai satu-satunya metode penelitian atau metode utama (selain metode lainnya) pengumpulan data dalam suatu penelitian. FGD sebagai metode penelitian sekunder umumnya digunakan untuk melengkapi riset yang bersifat kuantitatif dan atau sebagai salah satu teknik triangulasi. Dalam kaitan ini, baik berkedudukan sebagai metode primer atau sekunder, data yang diperoleh dari FGD adalah data kualitatif.
50
Hariwijaya, M. Metodologi Dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi. (Yoyakarta:Elematera Publishing, 2007), hal 45.
192
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 B.
Pembahasan
B.1.
Pengawasan Sistem Peradilan Pidana yang Ideal dengan Studi Perbandingan Banyaknya kasus penyuapan (tindak pidana korupsi), yang terjadi pada tahap
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di tingkat pengadilan menunjukan bahwa kesadaran aparat penegak hukum untuk menghadirkan praktik penegakan hukum yang sehat dan berkualitas dengan bercermin pada aspek keadilan dan kemanfaatan tidak terlaksana dengan baik. Berbagai usaha dan upaya, baik dari lembaga internal itu sendiri dengan membangun sistem pengawasan kinerja yang akuntable, transparan, sistematis dan terstruktur sampai pada akhirnya terbentuk lembaga pengawasan eksternal dalam sistem peradilan pidana terpadu, toh praktik suap di aparat penegak hukum masih ada. Dalam penelitian ini, tim peneliti juga akan mencoba mencari jalan keluar atau solusi lain dengan mencoba melakukan analisa perbandingan pelaksaan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), khususnya dalam hal Penyidikan dan Penuntutan dengan Negara Perancis, Negara Belanda, Negara Inggris dan negara Rusia.
B.2.1. Sistem penyidikan dan penuntutan pidana di Perancis Sistem peradilan pidana Perancis berbeda dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, meskipun antara Perancis dengan Indonesia masuk dalam sistem hukum civil law. Penyidikan Kepolisian Perancis, secara umum terdiri dari: 1) Polisi Yudisial (menangani kasus), 2) Polisi Intelijen, 3) Polisi yang menangani soal kemanan umum, dan 4) ada juga polisi perbatasan, ada juga skuadron Republik untuk Keamanan, tujuannya khusus untuk menjaga keamanan (Brimob). Polisi Yudisial Perancis, melakukan tugas penegakan hukum terkait dengan 3 (tiga) kategori pelanggaran, yaitu; a) pelanggaran ringan (contraventio) seperti pelanggaran lalu lintas; b) pelanggaran menengah (delit) seperti pencurian, penipuan, perampokan dan c) kejahatan (crime) seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penyanderaan. Polisi Nasional menangani 70%-80% pelanggaran yang terjadi di Perancis. Ada 2 unit polisi yudisial: 1) unit brigade teritorial (seluruh wilayah perancis); ada juga unit pusat (menangani hal-hal khusus), contohnya pembuatan uang palsu. Dalam membedakan tugas unit kepolisian yudisial tersebut, tergantung pada bentuk kejahatan dan jaringan kejahatannya. Gendarmerie dapat menjalankan tugas Kepolisian Nasional tetapi dalam tingkat yang lebih rendah. Ketua Kepolisian Nasional Perancis di Indonesia (Kapolri), berada dan ditunjuk langsung Menteri Dalam Negeri. Didalam struktur Kepolisian Prancis, terdapat IPGN
193
Agus Budianto, Velliana Tanaya, dan Yosephus Mainake : Penguatan Fungsi Pengawasan… (Inspektorat Generale Polisi Nasional) di Indonesia disebut Irwasum, dimana tugas utama IGPN adalah melakukan penyelidikan terhadap oknum polisi yang masih aktif berdinas serta melakukan audit dan inspeksi semua kantor polisi, penyelidikan yang dilakukan oleh IGPN semuanya adalah independen. IGPN tahun lalu (2012) telah melakukan penyelidikan terhadap 32 Polisi yang diduga melakukan korupsi. Ketika tindak pidana dilakukan oleh seorang polisi, maka derajat kesalahan dapat dinaikan satu tingkat, yaitu jika melakukan contrvention maka dapat dianggap sebagai delit, dan jika melakukan delit maka dapat dianggap sebagai crime. Penyelidikan terhadap Polisi yang melakukan pelanggaran, apabila masalahnya adalah masalah hukum, maka dapat dituntut di pengadilan yang sama dengan semua warga Perancis biasa, dan penjaranya juga sama dengan semua warga. Dalam masalah pelanggaran berat (pemerkosaan, narkoba, pembunuhan, penembakan tanpa dibenarkan - bisa selama 3 bulan, sebelum dibawa ke pengadilan). Dalam sistem peradilan pidana di Perancis, Kejaksaan mengkoordinasi Polisi dalam melakukan penyelidikan. Jaksa langsung dihubungi oleh Polisi ketika Polisi melakukan penyelidikan. Untuk contravention, jaksa mengajukan kasus ke pengadilan dibawah 24 jam dan sambil menunggu proses peradilan, tersangka dapat bebas. Namun untuk delit dan crime, hakim komisaris (juge’ instruction) sebelumnya menyeleksi kelayakan kasus tersebut. Seorang hakim kebebasan (juge des liberte et de la detention/JLD) menentukan apakah seorang tersangka dilanjutkan penahanan sementara selama penyelidikan berlangsung serta menetapkan apakah tersangka dapat bebas atau tidak jika kurang barang buktinya. Untuk delit dan crime, batas waktunya tergantung pada kejahatannya, bisa sampai 2-3 tahun sebelum diadili (tetapi tersangka tidak ditahan). Kepolisian selain mendapat pengawasan internal dari Kepalanya sendiri dan IGPN juga diawasi oleh lima pihak luar (eksternal), yaitu Kementrian Kehakiman, Jaksa, Komisi Informasi dan Kebebasan, Komisi Nasional Penyadapan (commission des interceptions descurite), Ombudsman (ledefenseur desdroits) dan Parlemen. Parlemen juga sebagai institusi yang melakukan pengawasan kepada Kepolisian, yaitu parlemen yang mengintograsi kepada pemerintah. Sebagai contoh Polisi melempar batu kepada demonstran. Parlemen menanyakan kepada Mendagri, apakah lumrah seorang polisi melempar batu kepada demonstran, dan dilakukan penyelidikan kepada polisi tersebut. Ketika melakukan penyidikan, maka terhadap kejahatan sedang dan berat, dapat dilakukan perekaman. Di
194
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 Perancis, baik hakim maupun jaksa berada dibawah satu koordinasi, kemudian disebut sebagai magistrate.
B.2.2. Sistem penyidikan dan penuntutan pidana di Belanda Terdapat kesamaan antara sistem peradilan pidana di Perancis dan di Belanda, bahwa Menteri Kehakiman bertanggung jawab di bidang penegakan hukum. Kantor Kementerian kehakiman bertanggung jawab untuk mengatur kantor Jaksa Agung dan Kepolisian Belanda. Menteri bertanggungjawab menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Parlemen Belanda. Apabila jawaban tidak memuaskan Parlemen, maka menteri bisa diberhentikan. Di Belanda, terdapat dualisme pertanggungjawaban kepolisian lokal. Kepolisian lokal bertanggungjawab kepada walikota dimana kantornya berada, dalam bentuk finansial dan administrasi. Juga, bertanggungjawab kepada Menteri Kehakiman dalam hal penegakan hukum. Dalam pemeriksaan suatu kasus yang tidak diketahui pelakunya, maka Polisi menjadi leading. Tetapi apabila pelaku diduga lebih dari satu orang, maka kepolisian dan penuntut umum bekerjasama untuk menentukan tersangka utama. Untuk menghadirkan ahli merupakan kewenangan hakim karena kalau penuntut umum yang menghadirkan ahli bisa dianggap tidak obyektif. Dalam penuntutan di Belanda, diskresi dari jaksa dan hakim masih besar, bersifat luas untuk tidak mengadili berdasarkan dakwaan. Adanya instrumen alternatif dalam penegakan hukum yang dibuat oleh Jaksa, tidak hanya berupa hukuman pidana, tetapi bisa berupa denda dengan membayar sejumlah uang. Dilakukan transaksi untuk hal itu, apabila tidak terjadi kesepakatan, maka proses peradilan berlanjut. Dengan transaksi ini, akan mengembalikan uang negara; dalam kaitan dengan bidang kebijakan, hukum pidana Belanda mengacu pada hukum campuran, penegakan hukum, dan kovenan. Dalam sistem peradilan pidana di Belanda, Kejaksaan Agung memiliki jaksa-jaksa khusus yang menangani perkara pidana atau perdata, dan yang bisa menetapkan apakah suatu kasus layak diajukan kasasi atau tidak. Selain itu, Jaksa Agung akan bekerjasama dengan kamar-kamar hukum yang ada di Mahkamah Agung (pidana, perdata, pajak), dimana di setiap kamar ada staf yang memeriksa, apakah berkas sudah lengkap. B.2.3. Sistem penyidikan dan penuntutan pidana di Inggris Berbeda dengan di negara Inggris yang menganut sistem Common Law. Di negara Inggris, jaksa penuntut yang paling utama disebut dengan Crown Prosecutor Service. Kasus195
Agus Budianto, Velliana Tanaya, dan Yosephus Mainake : Penguatan Fungsi Pengawasan… kasus yang diselidiki oleh polisi dan serious crime unit diajukan kepada CPS untuk mendapatkan persetujuan apakah kasus ini bisa diajukan atau tidak. Kinerja CPS bersifat independen, meskipun bagian dari pihak kepolisian, namun antara CPS dan kepolisian tetap saling bekerjasama dengan erat. Polisi penyelidik bisa datang ke CPS untuk meminta nasehat mengenai misalnya bagaimana suatu proses penyelidikan bisa dilakukan apakah perlu tes DNA, sidik jari, atau wawancara secara mendalam dengan tersangka. Namun demikian, Polisi penyidik tidak ada kewajiban untuk mengikuti segala saran yang diberikan CPS tapi sangat dianjurkan untuk bisa memastikan apakah kasus tersebut layak atau tidak untuk diajukan ke pengadilan.
Dalam perkara-perkara yang ringan yang dianggap tidak
membahayakan ketertiban dan keamanan masyarakat, para tersangka dapat hanya diinterview dan dicatat keterangannnya dan bisa dibebaskan atas jaminan, tapi dalam proses tersebut polisi tetap membangun kasus untuk proses selanjutnya. Hanya Jaksa yang bisa menentukan apakah kasus ini bisa diajukan ke pengadilan. Hakim hanya memutuskan bersalah atau tidak. Hakim hanya memiliki wewenang apakah seorang tersangka bisa dibebaskan atas jaminan atau tidak. Hakim memutuskan pakah perlu untuk dibebaskan baik dengan jaminan atau tidak. Di dalam sistem peradilan criminal di Inggris, melibatkan pihak-pihak: Kementerian Dalam Negeri, Penjara, Kepolisian, Jaksa Penuntut, Kementerian Kehakiman, dan Probation. Probation adalah kantor yang mengawasi seseorang yang dibebaskan berdasarkan jaminan atau seseorang yang sudah kembali ke masyarakat dari penjara. Terdapat 5 fungsi utama CPS: 1) memberi nasehat kepada polisi, 2) mereview kasus yang dimasukan polisi ke CPS, 3) menentukan apakah proses penuntutan itu dapat dilakukan kecuali pada kasus-kasus kecil, 4) mempersiapkan bahan-bahan untuk pengadilan, 5) menjadi jaksa di Pengadilan. Keberhasilan kinerja CPS selama ini adalah 85%, dimana kunci kesuksesan disini adalah karena adanya kerjasama erat antara Polisi penyidik dengan kantor CPS. CPS sangat menekankan pentingnya mereview kasus, proses pengumpulan barang bukti dan analisis barang bukti sehingga kasus yang diajukan sangat kuat. Dalam sistem peradilan pidana, dimana korban dapat jadikan dalam satu proses komunikasi yang harus dijaga. Misalnya kasus kejahatan kekerasan, jika tuduhannya dikurangi maka jaksa harus memberitahukan kepada korban mengapa memutuskan seperti itu. Demikian halnya dengan proses penghentian penyelidikan. Contoh lainnya juga, dalam kasus pembunuhan misalnya ketika korban tidak puas terhadap putusan maka akan ada sesi tatap muka dengan korban dan Jaksa. Jika korban tidak puas terhadap hal tersebut, maka bisa judicial review ke pengadilan
196
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 lebih tinggi untuk meleihat apakah proses tersebut cacat hukum atau tidak. Dalam mekanisme ini ada tingkatan tertentu dimana ketika keputusan diambil penuntut pada tingkat bawah dirasakan tidak pas maka senior dapat meminta direktur untuk dilakukan investigasi atau review terhadap kasus tersebut sebelum diajukan judicial review. Kuncinya adalan trasparansi dan kerjasama.
B.2.4. Sistem penyidikan dan penuntutan pidana di Rusia Hukum Acara Pidana Rusia dilaksanakan berdasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan konstitusi Negara Federasi Rusia disamping itu prinsip-prinsip dan norma hukum internasional dan perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Rusia merupakan bagian dari Hukum Federasi Rusia. Bahkan bila sebuah perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Federasi bertentangan dengan KUHAP Rusia, maka ketentuan dalam perjanjian internasional tersebut dapat diterapkan. Tujuan dari proses beracara pidana adalah untuk melindungi hak dan kepentingan hukum orang dan organisasi yang menderita akibat sebuah tindak pidana dan melindungi seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dari tindakan yang tidak berdasarkan hukum yang mengancam hak dan kebebasannya. KUHAP Rusia mengenal penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process). Hal baru ini didasarkan pada praktek penerapan asas oportunitas di Belanda, Perancis, Jepang, Korea, Israel, dan beberapa negara lainnya. Hal ini dipandang sebagai salah satu perwujudan dari prinsip peradilan cepat, biaya murah, dan sederhana. Asas oportunitas secara global diartikan “The public prossecutor may decide conditionally or unconditionally to make prossecution to court or not” (penuntut umum boleh menentukan menuntut atau tidak menuntut ke pengadilan dengan syarat atau tanpa syarat). Pada Pasal 25 KUHAP negara Federasi Rusia disebutkan bahwa perkara bertindak pidana ringan atau tidak serius dapat dikesampingan bila antara tersangka dan korban telah terjadi perdamaian dengan ganti kerugian. Tindak pidana ringan atau tidak serius yang dimaksud, menurut Pasal 76 KUHP Federasi Rusia, adalah tindak pidana berancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara. KUHAP Rusia, mengenal sistem atau lembaga penuntutan swasta atau korban atau private prosecution. Sistem atau lembaga penuntutan ini berbeda dengan lembaga penuntutan konvensional yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum (public prosecutor). Melalui lembaga atau proses penuntutan swasta atau korban ini, maka korban bisa langsung melakukan penuntutan ke pengadilan, tanpa melalui penyidik ataupun jaksa. Biasanya, hanya
197
Agus Budianto, Velliana Tanaya, dan Yosephus Mainake : Penguatan Fungsi Pengawasan… untuk perkara ringan, seperti penghinaan, penganiayaan ringan, ataupun penipuan. Peradilan pidana dipimpin oleh hakim baik berbentuk majelis atau hakim tunggal dimana proses beracara pidana harus dilaksanakan dalam tenggang waktu yang wajar dan beralasan sebagaimana ditentukan dalam KUHAP Rusia. Didalam proses peradilan pidana segala tindakan dan keputusan yang dilakukan terhadap pelaku tidak pidana dengan tujuan untuk merendahkan kehormatan dan menghina atau mengancam keselamatan dari pelaku pidana. Atau dengan kata lain, tidak boleh seorang pun dalam proses peradilan pidana mengalami kekerasan, penyiksaan, atau jenis dari perlakuan kejam, memalukan dan merendahkan martabatnya.
B.2.
Penguatan Legislasi Pengawasan Eksternal Sebagaimana telah diuraikan tersebut diatas, bahwa konsep sistem peradilan pidana
yang diberlakukan di Indonesia berbeda dengan konsep sistem peradilan pidana yang ada di Negara Perancis, Negara Inggris dan Negara Rusia. Perbedaan krusial pada kedudukan lembaga penegak hukum dalam sistem peradilan pidana, bahwa antara Kepolisian dengan Jaksa adalah berada dalam satu institusi, yaitu Departemen Dalam Negeri. Bahwa di Negara Perancis dan Inggris, peran Jaksa dalam memonitor dan berkoordinasi dengan Polisi sangat jelas. Di Indonesia, hal ini tampak berbeda, karena di Indonesia, antara tugas penyidikan kasus pada Kepolisian dengan tugas penuntutan pada kejaksaan berada pada institusi yang berbeda, meskipun sama-sama bertanggungjawab kepada Presiden. Selain itu, meskipun di Indonesia, Perancis, Inggris dan Belanda terdapat pengawasan internal pada lembaga kepolisian dan kejaksaannya, dan terdapat juga pengawasan eksternal disetiap negara tersebut, namun hanya di Negara Perancis saja, selain ada pengawasan internal juga dilakukan pengawasan oleh 5 (lima) lembaga eksternal, yaitu Kementrian Kehakiman, Jaksa, Komisi Informasi dan Kebebasan, Komisi Nasional Penyadapan (commission des interceptions descurite), Ombudsman (ledefenseur desdroits) dan Parlemen. Mirip di Indonesia, bahwa Parlemen juga dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja Kepolisian, melalui UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, yaitu tugas DPR dalam hal: 1) Anggaran; 2) Legislasi; dan 3) Pengawasan. Untuk kinerja kepolisian, kejaksaan dan kehakiman berada pada pengawasan Komisi III DPR RI yang membidangi Hukum, HAM dan Keamanan. Namun, pengawasan oleh DPR terhadap kinerja sistem peradilan pidana ini belum maksimal dan belum menyentuh akar permasalahan secara langsung.
198
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 Pimpinan lembaga aparat penegak hukum lebih cenderung menutup-nutupi perkara yang menyangkut kelalaian dan pelanggaran hukum dan/atau kode etik bawahannya, karena kalaupun perkara tersebut dibuka dalam sidang terbuka di dalam Parlemen, maka taruhannya adalah kredibilitas dan nama baik pimpinan lembaga tersebut dalam melakukan pembinaan kepada anak buahnya. Terlebih lagi, dibuka dihadapan media massa, akan berdampak buruk bagi nama baik lembaga negara aparat penegak hukum tersebut. Oleh karena itu, peran Parlemen tidak saja berhenti pada bidang pengawasan saja, melalui legislasi, maka dibentuk (created) sebuah lembaga eksternal yang memiliki kewenangan yang kuat dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas dalam sistem peradilan pidan di Indonesia. Terlebih lagi dalam hal ini, Komisi III DPR RI telah melakukan penguatan lembaga Kompolnas dan Komjak dalam perubahan RUU Induk ataupun mendalami dan mempelajari usulan Kompolnas yang kedudukan lembaganya sudah didraftkan dalam RUU LKN Lembaga Kepolisian Nasional tahun 2013. RUU Kepolisian Negara Republik Indonesia yang saat ini dibahas di Baleg (Badan Legislasi) dan RUU Kejaksaan yang saat ini dibahas di Komisi III DPR RI akan diuraikan dalam sub bab berikut ini.
B.2.1. Kedudukan Komisi Pengawasan Eksternal yang dilekatkan dalam Perubahan Rancangan Undang-Undang Induk 1. RUU Perubahan Atas UU Kepolisian Negara Republik Indonesia Reformasi kepolisian bersifat kompleks dan fleksibel, semenjak diatur dengan UU No. 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan Pokok Polri; UU No. 28 Tahun 1997 tentang Polri dan terakhir dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menunjukkan, bahwa Polri terbuka untuk reformasi. Perubahan UU No. 2 Tahun 2002 merupakan inisiatif DPR dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas 2014), bersama dengan 69 RUU lainnya. Saat ini pembahasan Draft dan Naskah Akademik ada pada Baleg DPR RI. Perubahan atas UU Kepolisian dimaksudkan, adanya perubahan paradigma kepolisian, yaitu dari prespektif state police ke perspektif civilian police. Polisi sipil dalam arti civilian police yang dekat dan bermitra dengan masyarakat, jujur, disiplin, santun, ramah, tidak arogan dan tidak menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya. Berdasarkan grand strategy Polri (2005-2025), saat ini seharusnya Polri sdh melewati tahap trust building, dan memasuki tahap partnership, akan tetapi pelayanan
199
Agus Budianto, Velliana Tanaya, dan Yosephus Mainake : Penguatan Fungsi Pengawasan… publik bidang kepolisian dan kepercayaan-harapan masyarakat terhadap Polri masih rendah. Rendahnya penilaian masyarakat ini tidak terlepas dari lemahnya fungsi Polri dalam melakukan penegakan hukum yang berperspektif HAM. Banyak penegakan hukum oleh Polri yang justru melanggar hak-hak masyarakat sipil, meskipun didalam UU Kepolisian 2002 sudah diatur adanya lembaga Kompolnas beserta tugas dan kewenangannya, namun pelaksanaan tugas dan kewenangan Kompolnas ini masih dipandang lemah atau dilemahkan oleh Polri sendiri. Oleh karenanya, paradigma demikian menjadi substansi perubahan dalam UU Kepolisian tahun 2002, yang didalamnya juga diamanatkan penguatan lembaga kompolnas sebagai lembaga pengawasan eksternal terhadap kepolisian. Pokok-pokok Perubahan Atas UU Kepolisian tahun 2002, antara lain: salah satunya yang berkaitan dengan penelitian ini adalah point 6 (Pengawasan terhadap Kepolisian); dan point 7 (Penguatan kelembagaan pengawas Kepolisian). Keberadaan lembaga Kompolnas dan penguatan kewenangan Kompolnas yang diatur dalam UU Kepolisian dan Perubahan RUU Kepolisian mengindikasikan masalah: Pertama, bahwa Kompolnas masih belum sebanding atau setingkat dengan organisasi Polri yang diawasinya. Kompolnas yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hukum dan kode etik anggota Polri, selama ini tidak diberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi, namun hanya berupa rekomendasirekomendasi atas hasil penyidikan Kompolnas tersebut kepada Kapolri. Dalam UU Kepolisian tahun 2002, kelembagaan Kompolnas diatur dalam Pasal 37 UU No. 2 Tahun 2002, yang berbunyi: (1) Lembaga kepolisian nasional yang disebut sebagai Komisi Kepolisian Nasional berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden; (2) Komisi Kepolisian Nasional sebagaimana dumaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Keputusan Presiden.
Meskipun keberadaan lembaga Kompolnas terdapat dalam UU Kepolisian, namun pembentukan lembaganya sendiri, berikut tugas dan kewenangannya diatur lebih lanjut dalam Keputusan Presiden (vide Perpres No. 17 Tahun 2011), mengakibatkan kedudukan kedua lembaga ini berbeda atau tidak setingkat. Permasalahan kedua, meskipun samasama berada dan bertanggung jawab kepada Presiden, namun secara tidak langsung
200
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 terdapat perbedaan yang signifikan antara Kepala Kepolisian (Kapolri) dengan Pimpinan Kompolnas. Jika Kepala Kepolisian langsung berada dan bertanggung jawab kepada Presiden, sedangkan pimpinan Kompolnas tidak secara langsung bertanggung jawab kepada Presiden, melainkan melalui Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan secara ex officio sebagai Ketua merangkap anggota Kompolnas. Konsep demikian, mendudukan Kompolnas sebagai Lembaga Negara Non-Kementrian51. Melihat pada konsepsi demikian, baik DPR sebagai pemegang inisiatif perubahan RUU Kepolisian dengan Kepolisian dan Kompolnas sendiri yang sama-sama diatur dalam perubahan UU Kepolisian tersebut, membuat draft yang dapat dipakai sebagai persandingan atau bahan pembahasan terhadap draft RUU Perubahan nantinya. Dalam prespektif Kompolnas, beberapa usul perubahan terhadap RUU Kepolisian tersebut antara lain: a) Pasal 1 angka 15: Lembaga Kepolisian Nasional yang selanjutnya disingkat LKN adalah Lembaga Negara yang berkedudukan di bawah Presiden dan bersifat independen. b) Pasal 8 (6): Dalam pembinaan kepolisian dilaksanakan oleh Kapolri dibawah koordinasi LKN. c) Pasal 38 (1) Lembaga Kepolisian Nasional berfungsi: (huruf b) Sebagai lembaga pengawas fungsional Polri. d) Pasal 39 kewenangan LKN (huruf d): Memantau dan mengevaluasi kinerja dan perilaku anggota Polri dalam rangka pemberian rekomendasi kepada Kapolri; (huruf e): Menerima, meneruskan melakukan klarifikasi dan menginvestigasi pengaduan masyarakat (public complaint) atas kinerja dan perilaku anggota Polri kepada pimpinan Polri serta menerima dan mengevaluasi laporan penyelesaiannya; (huruf f): Melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran etika dan/ atau dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Polri (cold cases); (huruf l): Dalam hal ada dugaan pelanggaran peraturan disiplin, kode etik dan pidana oleh anggota Polri yang tidak ditindak lanjuti, LKN mengusulkan kepada Kapolri untuk dilakukan sidang disiplin dan atau sidang kode etik dan proses hukum pidana.
51
Diatur dalam UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara, bahwa Kompolnas didudukan sebagai Lembaga Pemerintah Non-Kementrian sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dan (2).
201
Agus Budianto, Velliana Tanaya, dan Yosephus Mainake : Penguatan Fungsi Pengawasan… Usulan dalam Prespektif Kompolnas ini setidaknya memberikan ruang penguatan tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Kompolnas sebagai lembaga independen yang tugasnya selain mengusulkan calom pimpinan Kepolisian, arah kebijakan Kepolisian juga melakukan pengawasan terhadap anggota Kepolisian yang lebih baik dan independen. 2. RUU Perubahan Atas UU Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Rapat Paripurna DPR RI, 12 April 2012, mengambil keputusan terhadap 4 RUU inisiatif DPR RI, salah satunya adalah RUU Perubahan terhadap UU Kejaksaan. Kemudian, berdasarkan Surat Ketua DPR RI Nomor LG.01.01/04140/DPR RI/IV/2012 tertanggal 20 April 2012 yang menugaskan Komisi III DPR RI untuk melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Seperti halnya dengan Kompolnas, Komisi Kejaksaan (Komjak) dibentuk dan diberikan tugas dan kewenangan di dalam UU Kejaksaan, yakni dalam Pasal 38 yang berbunyi, “Untuk meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden”. Selanjutnya, kelembagaan, susunan, tugas dan kewenangan Komjak diatur dalam Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia. Bahwa sampai saat ini pembahasan terhadap Perubahan Rancangan UU Kejaksaan masih ada di Komisi III DPR RI, dimana berkaitan dengan penguatan kelembagaan dan kewenangan Komjak, ditempatkan dalam Bab IIIA, Pasal 37A sampai dengan Pasal 37I, beberapa substansi penguatan kedudukan dan kewenangan Komjak antara lain: a) Pasal 37D: Komisi Kejaksaan mempunyai wewenang: a. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Jaksa; b. menetapkan kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa bersama-sama dengan Kejaksaan Agung; dan c. menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa. b) Pasal 37E ayat (1): Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Jaksa, Komisi Kejaksaan berpedoman pada kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa; c) Pasal 37E ayat (2) huruf (c): menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa; huruf (d): melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa secara tertutup; huruf (e): memutuskan benar-
202
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa; dan (huruf f): mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat Jaksa; d) Pasal 37E ayat (4): Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Jaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Komisi
Kejaksaan dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa oleh Jaksa; ayat (5): Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4); ayat (6): Dalam hal dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa dinyatakan terbukti, Komisi Kejaksaan mengusulkan penjatuhan sanksi kepada Kejaksaan Agung terhadap Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran; dan (ayat 7): Kejaksaan Agung menjatuhkan sanksi terhadap Jaksa yang melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa yang diusulkan oleh Komisi Kejaksaan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal usulan diterima. e) Pasal 37F ayat 1 dan 3: (ayat 1): Dalam hal Kejaksaan Agung belum menjatuhkan sanksi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (7) maka maka usulan Komisi Kejaksaan berlaku secara otomatis dan wajib dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung; (2) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan Agung mengenai usulan Komisi Kejaksaan tentang penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (6), dilakukan pemeriksaan bersama antara Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan Agung terhadap Jaksa yang bersangkutan; dan (3) Dalam hal Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (7) tidak mencapai kata sepakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka usulan Komisi Kejaksaan sepanjang memenuhi ketentuan dalam Pasal 37E ayat (6), berlaku secara otomatis dan wajib dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung. Namun demikian, berdasarkan hasil FGD (focus group discussion) yang diadakan dalam rangka pemantapan hasil penelitian tahun kedua ini, berdasarkan pernyataan dari salah satu anggota Komisioner Komjak, bahwa penguatan sebagaimana yang ada dalam
203
Agus Budianto, Velliana Tanaya, dan Yosephus Mainake : Penguatan Fungsi Pengawasan… Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 sudah cukup, dan apabila akan dikuatkan dalam Perubahan UU Kejaksaan, sepanjang tidak melemahkan yang sudah ada dalam Peraturan Presiden tersebut, tidak menjadi masalah. Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Komjak dalam Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2011 sebagaimana sudah kami uraikan dalam Bab II Penelitian ini.
B.2.2. Kedudukan Komisi Pengawasan Eksternal yang diatur dalam UU Tersendiri Terdapat keinginan dari Pimpinan Kompolnas periode 2012 -2016 untuk menguatkan kedudukan, tugas dan kewenangan Kompolnas dalam bentuk Undang-Undang tersendiri. RUU Kompolnas tersebut dinamakan dengan RUU Lembaga Kepolisian Negara (RUU LKN). Adapun keinginan Kompolnas diatur secara tersendiri dalam sebuah UU disebabkan peran strategis lembaga ini dalam sebuah penegakan hukum yang terbuka, akuntable dan profesional, terlepas dari tugas mengusulkan calon pimpinan Polri dan arah kebijakan Polri kepada Presiden. Dalam rangka melaksanakan tugas pengawasan dalam bidang penegakan hukum tersebut, Kompolnas merasa perlu untuk ditempatkan sama tinggi (sederajat) dengan lembaga Kepolisian yang diawasinya. Hal ini berkaitan dengan kelemahan tugas Kompolnas sendiri, yang dalam hal meminta data dan keterangan kepada anggota dan pejabat di lingkungan Polri, instansi pemerintah, masyarakat dan/pihak lain yang dipandang perlu, selalu mendapat hambatan dari anggota Polri itu sendiri. Sedangkan dalam kewenangannya untuk menerima saran dan keluhan masyarakat, Kompolnas dapat melakukan kegiatan: menerima dan meneruskan saran dan keluhan masyarakat kepada Polri untuk ditindaklanjuti; meminta/dan atau bersama Polri untuk menindaklanjuti saran dan keluhan masyarakat; melakukan klarifikasi dan monitoring terhadap proses tindak lanjut atas saran dan keluhan masyarakat yang dilakukan Polri; mengikuti gelar perkara, sidang disiplin dan sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian; dan mengikuti pemeriksaan dugaan pelanggaran disiplin dan kode etik anggota/pejabat Polri. Peran Kompolnas yang lemah ini, berbeda dengan peran Kompolnas yang ada di Irlandia Utara, misalnya, ada Ombudsman Kepolisian yang posisinya terlepas dari kepolisian atau mandiri. Tugasnya menerima pengaduan, melakukan investigasi yang dilakukan oleh non petugas dan melaporkan penemuannya kepada polisi. Juga, yang terdapat di Negara Perancis, bahwa pengawasan kepolisian dilakukan oleh 5 (lima) instansi. Demikian halnya
204
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 dengan apa yang disampaikan oleh Brigjen. Pol. (purn) Syafriadi Cut Ali52, bahwa pengawas fungsional terhadap kinerja Kepolisian RI, melakukan pemantauan, melakukan penilaian terhadap kinerja dari pejabat atau anggota Kepolisian oleh Kompolnas belum optimal, yaitu terkait kekuatan yuridis dari Kompolnas sendiri. Hal yang sama juga disampaikan oleh Andrianus Meliala, bahwa usulan Pertama: dalam Perubahan Atas UU Kepolisian perlu ditambahkan 1-2 bab dan pasal, dari bab dan pasal yang selama ini sudah ada, tentang hal sebagai berikut: pertama, Pengawasan kepolisian (mulai dari politik, operasional hingga keuangan) dan; kedua, Kompolnas sebagai pengawas fungsional ekstern yang juga internal. Demikian juga dengan usulan Kedua:, bahwa kedudukan kepolisian nantinya dibawah Kementerian Kepolisian atau Kementerian Keamanan Dalam Negeri (tergantung Presiden terpilih) dengan pilihan: 1) Kementerian Non-Portofolio (Kementerian Negara) – atau; 2) Kementerian Portofolio (Kementerian Teknis-mengacu Kemhan). Usulan Ketiga, dibuat Undang-undang baru Kompolnas sebagai pengawas kinerja dengan opsi sebagai berikut: Hanya sebagai public complaint board (model; USA, Great Britania), atau; Hanya sebagai police authority (model Jepang, New Zealand, Great Britania), atau; Kedua-duanya (model Indonesia). Pada kesempatan ini, pimpinan Kompolnas sudah membuat Draft RUU Lembaga Kepolisian Negara sebagaimana kami lampirkan dalam penelitian ini.
C.
Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan tersebut diatas, pada prinsipnya kelemahan tugas dan
kewenangan yang terdapat dapat Kompolnas dan Komjak disebabkan oleh banyak faktor, sehingga pelaksanaan pengawasan dalam penegakan hukum sebagai wujud menegakkan sistem peradilan pidana terpadu menjadi terganggu. Kesimpulan dalam penelitian tahun kedua ini, hanya dikhususkan pada penguatan kedudukan dan kewenangan yang ada pada Kompolnas dan Komjak saja karena penyebabkan tidak terlaksananya tupoksinya adalah adanya kelemahan legislasi pada Kompolnas dan Komjak. Tidak demikian dengan Komisi Yudisial yang kewenangannya sudah setara dengan Mahkamah Agung sebagai puncak pimpinan tertinggi lembaga peradilan. Tidak juga dengan profesi advokat yang sampai saat ini masih ditangani oleh Dewan Kehormatan Profesi sebagaimana diatur dalam UU Advokat. Dengan demikian, dalam penelitian diambil kesimpulan atas dua pertanyaan, yaitu:
52
Disapaikan pada saat wawancara dengan Tim Peneliti pada tanggal 23 Juli 2014.
205
Agus Budianto, Velliana Tanaya, dan Yosephus Mainake : Penguatan Fungsi Pengawasan… 1.
Untuk dapat menciptakan model atau format sistem peradilan pidana yang ideal, dalam penelitian ini menggunakan studi banding atau kajian perbandingan dengan Negara Perancis, Negara Belanda, Negara Inggris dan Negara Rusia. Hasil dari kajian perbandingan ini antara lain: Lembaga Kepolisian dan Lembaga Kejaksaan di Perancis, Belanda dan Inggris berada dibawah Menteri Dalam Negeri, sehingga koordinasi antara penyidik dan penuntut dapat harmonis karena berada dibawah satu kordinasi. Sementara Indonesia sebagai lembaga yang berdiri sendiri. Di Perancis lembaga Kepolisian selain mempunyai lembaga pengawasan Internal, juga memliki lembaga pengawasan eksternal oleh 5 lembaga, antara lain: Kementrian Kehakiman, Jaksa, Komisi Informasi dan Kebebasan, Komisi Nasional Penyadapan (commission des interceptions descurite), Ombudsman (ledefenseur desdroits) dan Parlemen. Di Belanda, Kepolisian mempunyai dua pertanggungjawaban, yaitu bertanggung jawab secara administrasi dan anggaran kepada walikota, juga bertanggungjawab kepada Menteri Kehakiman dalam hal penegakan hukum. Dalam sistem hukum Inggris, terdapat 5 fungsi utama jaksa Penuntut utama (CPS), yaitu: 1) memberi nasehat kepada polisi, 2) mereview kasus yang dimasukan polisi ke CPS, 3) menentukan apakah proses penuntutan itu dapat dilakukan kecuali pada kasus-kasus kecil, 4) mempersiapkan bahan-bahan untuk pengadilan, 5) menjadi jaksa di Pengadilan. Sistem peradilan pidana di Rusia, mengenal sistem atau lembaga penuntutan swasta atau korban atau private prosecution. Sistem atau lembaga penuntutan ini berbeda dengan lembaga penuntutan konvensional yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum (public prosecutor). Melalui lembaga atau proses penuntutan swasta atau korban ini, maka korban bisa langsung melakukan penuntutan ke pengadilan, tanpa melalui penyidik ataupun jaksa.
2.
Berkaitan dengan permasalahan kedua, yaitu penguatan kedudukan dan kewenangan Kompolnas dan Komjak dalam legislasi nasional, dalam penelitian ini kami tawarkan 2 (dua) formula legislasi sebagai penguatan tersebut, antara lain: Pertama, penguatan legislasi yang ditempatkan dalam Draft Perubahan Atas UU Kepolisian dan Draft Perubahan Atas UU Kejaksaan. Dalam draft Perubahan Atas UU Kepolisian, sampai saat ini RUU Perubahan Atas UU Kepolisian tersebut sudah masuk dalam Prolegnas 2014 DPR RI yangmana draft dan naskah akademiknya sedang dimatangkan di Badan Legislasi DPR RI. Namun, Kompolnas sudah memberikan rumusan perubahan penguatan Kedudukan dan kewenangan Kompolnas dalam Draft Perubahan Atas UU
206
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 Kepolisian antara lain yang tercantum dalam Pasal 8 ayat (3) dan (6), (7); Pasal 37; Pasal 38 dan Pasal 39. Penguatan legislasi yang ditempatkan dalam Draft Perubahan Atas UU Kejaksaan mengalami penguatan yang krusial, yang semula hanya diatur dalam satu pasal saja (Pasal 38 UU Kejaksaan), dengan Draft Perubahan Atas UU Kejaksaan ini, kedudukan dan kewenangan Komjak diatur dalam Pasal 37A sampai dengan Pasal 37I. Namun demikian, keberadaan Kompolnas dan Komjak yang masih berada sebagai Lembaga Negara Non Kementrian tersebut, secara tidak langsung berada dibawah lembaga yang diawasinya. Meskipun bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden, tetapi melalui UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara, Pertanggung jawaban Kompolnas dan Komjak melalui Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Keamanan yang ex officio sebagai Ketua dari lembaga tersebut. selain itu, di dalam UU Kepolisian dan UU Kejaksaan, organisasi Kompolnas dan Komjak akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden, ini menadakan bahwa organisasi Kompolnas dan Komjak tidak sejajar dengan organisasi Kepolisian dan Kejaksaan yang diatur dengan UU. Kedua, penguatan legislasi dalam Draft RUU tersendiri. Dalam hal ini Draft RUU yang sudah disiapkan adalah Draft RUU Lembaga Kepolisian Negara sebagai pengganti dari Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional. DAFTAR PUSTAKA Buku Afandi, Wahyu. Hakim dan Penegakkan Hukum. Bandung: Alumni, 1981 Anwar, Saiful. Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Glora Madani Press, 2004 Asshiddiqie, Jimly. Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2004 Hamid, H. Hamrat dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan. Jakarta: Sinar Grafika, 1992 Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Grafika, 2000 ___________. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1994 Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid 1. Jakarta: Pustaka Kartini, 1988
207
Agus Budianto, Velliana Tanaya, dan Yosephus Mainake : Penguatan Fungsi Pengawasan… Hariwijaya, M. Metodologi Dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Yogyakarta:Elematera Publishing, 2007 Husaini, Usman dan R. Purnomo Setiady Akbar. Pengantar Statistik. Jakarta: Bumi Aksara, 2003 Kadafi, Binziad, Aria Suyudi, dan Bani Pamungkas. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2001 Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005 Mathis, Robert L. dan John H. Jackson. Human Resources Management, Edisi Sepuluh. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2006 Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni, 1997 Mulyadi, Lilik. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Tehnik Penyusunan dan Permasalahannya. Bandung: Citra Adtya Bakti, 2010 Priyatno, Dwija. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2006 Samosir, Djisman. Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. Jakarta: Binacipta, 1992 Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 2006 Sujanto. Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986 Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : PT.Rajagrafindo Persada, 2005 Tisnawati, Ernie dan Saefullah, Kurniawan. Pengantar Manajemen Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005 Hasil Penelitian dan Jurnal Thohari, A. Ahsin. “Demokrasi Sekaligus Nomokrasi”. Harian Kompas, Edisi Jumat, 7 November 2003 Soerjono. “Hakim Sebagai Pemegang Mandat Yang Sah Menerapkan, Menafsirkan dan Melaksanakan Tegaknya Hukum”. Keynote Speech. Diskusi Panel: Kebebasan Hakim Dalam Negara Indonesia yang Berdasarkan atas Hukum. Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, Departemen Kehakiman. Jakarta: 27 dan 28 Maret 1995 MD, Muh. Mahmud. “Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik”. Makalah. Seminar: Saatnya Hati Nurani Bicara. Diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA. Jakarta: 8 Januari 2009 208
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 “Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman”. Position Paper. Jakarta: ICEL & LeIP, 2005 Martin, Robert and Estelle Feldman. “Working Paper: Access to Information in Developing Countries (A Study Prapered for Transparency International)”, http://www.transparency.org/working_papers/martin-feldman/, seperti dikutip oleh Rifqi S. Assegaf dan Josi Khatarina dalam “Membuka Keterpurukan Pengadilan”, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), 2005 Shetreet, Shimin and J. Deschenes (eds). Judicial Independence. Netherland: Martinus Nijhoff Publisher, 1985. Dikutip dalam Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung, 2003 Hartono, Sunaryati. “Peran State Auxillary Bodies dalam Rangka Konsolidasi Konstitusi Menuju Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional”. Makalah. Konvensi Hukum Nasional tentang Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional. Diselenggarakan oleh BPHN. Jakarta: 15-16 April 2008 Internet http://anisaalwiyahtaha.blogspot.com/2012/03/tugas-1-masalah-penegakan-hukum-di.html, diakses 11 November 2013
209