PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI KESANTUNAN BERBAHASA GURU DI SD IMMERSION PONOROGO Heru Setiawan Syamsudin Rois STKIP PGRI Ponorogo
[email protected] Abstrak Polemik tentang pendidikan karakter semakin asik untuk diperbincangkan. Berbagai sektor mulai mencanangkan konsep tentang pendidikan karakter, termasuk juga dalam penyusunan kurikulum pendidikan nasional. Peran guru dalam menyukseskan tujuan kurikulum merupakan tombak utama yang tidak dapat dipungkiri. Guru sebagai model yang akan memberikan gambaran bagaimana bentuk karakter yang baik, seperti ungkapan Guru: digugu lan ditiru. Memahami dan menerapkan prinsip kesantunan serta strategi kesantunan berbahasa dalam tindak komunikasi akan menghindari kesalahpahaman antar peserta komunikasi serta dapat mewujudkan keharmonisan hidup bermasyarakat. Penggunaan bahasa yang santun dapat menghargai dan dihargai oleh orang lain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendekripsikan (1) bentuk kepatuhan maksim kesantunan berbahasa (2) alasan dan tujuan dari tuturan yang mengandung bentuk kepatuhan, dan (3) peranan kesantunan berbahasa dalam pendidikan karakter. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah enam guru SD Immersion Ponorogo. Data dikumpulkan melalui tenik simak dan teknik catat. Hasil penelitian menenjukkan bahwa terdapat bentuk kepatuhan maksim kesantunan berbahasa oleh guru serta hubungan dengan pembinaan karakter siswa. Penerapan kesantunan berbahasa menurut Geoffrey Leech terdapat 6 bentuk maksim kesantunan berbahasa yang dapat dipakai sebagai salah satu sarana pembinaan dan penentu tujuan dari pendidikan karakter Kata kunci: Maksim Kesantunan; Guru; Pendidikan Karakter
PEDAHULUAN Jika membahas manusia dan bahasa adalah dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan sarana berkomunikasi dengan sesamanya. Manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya karena mereka memiliki kepahaman yang sama dalam mengungkapkan pikirannya serta pesan yang ingin disampaikan. Bahkan orang bisu sekalipun tetap melakukan komunikasi dengan manusia lainnya, karena tidak ada seorang pun yang dapat hidup tanpa berkomunikasi. Melalui komunikasi manusia menyalurkan kebutuhan dalam menyampaikan gagasan dan menerima tanggapan atas gagasan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa proses komunikasi manusi pastinya membutuhkan bahasa, dengan bahasa kita dapat menyampaikan maksud dan gagasan, ide, maupun pendapat serta
melahirkan perasaan kita. Komunikasi dimaksud memungkinkan juga dapat menimbulkan kerja sama dengan lawan tutur dalam bentuk apapun sesuai dengan kesepakatan tuturan atau komunikasi Setiap saat manusia berinteraksi dengan sesamanya melalui komunikasi. Tanpa melibatkan diri dalam komunikasi, seseorang tidak akan tahu bagaimana makan, minum, berbicara sebagai manusia dan memperlakukan manusia lain secara beradab. Semua aktivitas manusia akan berjalan dengan baik apabila terjadi komunikasi secara baik. Oleh karena komunikasi adalah hubungan kontak antar manusia, baik individu maupun kelompok. (Pranowo, 2012:14). Bahasa dan komunikasi merupakan bahasan yang tidak bisa terlepas dari pengkajian dan penelitian. Proses komunikasi yang pasti kita akan menggunakan bahasa dan mempunyai
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
tujuan dari komunikasi yang dilakukan. Orang lain dapat memahami dan mengerti sesuai dengan keinginan kita sesuai dengan gagasan, maupun ide yang kita miliki. Menyakinkan orang lain tentang pandangan maupun pola pikir kita, dapat pula kita memengaruhi orang lain. Dan tujuan yang lebih jauh lagi agar orang lain dapat merespon apa yang menjadi pemikiran kita. Umumnya dalam sebuah percakapan partisipan yang terlibat dalam percakapan tersebut akan berusaha semampu mungkin untuk menjaga hubungan sosial yang baik, dengan cara menyapaikan maupun memberikan informasi secukup mungkin kepada lawan tuturnya. Sehingga makna yang diinginkan dalam berkomunikasi dapat tersampaikan dengan jelas serta tidak menimbukan kerancuan pranggapan. Setiap berkomunikasi seseorang memerlukan strategi-strategi dalam bertutur, mulai dari bentuk perhatian terhadap lawan tutur, bahasa tubuh sampai ranah penggunaan tutur bahasa. Strategi penggunaa tutur bahasa merupakan cara bertutur untuk menghasilkan tuturan yang dapat menyelamatkan muka lawan tutur agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Misalnya, dengan menggunakan ungkapan kesantunan. Strategi tersebut dilakukan oleh penutur dan lawan tutur agar proses komunikasi dapat berjalan dengan baik, seseuai dengan tujuan berkomunikasi. Dalam arti, pesan tersampaikan tanpa menimbulkan praanggapan yang bersebrangan sehingga dapat merusak hubungan sosial di antara kedua belah pihak. Dengan demikian, setelah proses komunikasi selesai, pembicara dan lawan bicara memperoleh kesan yang mendalam, misalnya, kesan santun. Sopan santun dapat ditunjukakan tidak hanya dalam bentuk tindakan, juga melainkan dapat juga dalam bentuk tuturan. Membukakan pintu bagi seseorang jauh lebih baik dan sopan dari padapada membanting pintu di hadapan seseorang. Demikian juga dalam tuturan
“Silahkan masuk” lebih sopan daripada tuturan “masuk” (Rihan, 2015:35) Kesantunan berbahasa terkait langsung dengan norma yang dianut oleh masyarakatnya. Jika masyarakat menerapkan norma dan nilai secara ketat, maka berbahasa santun pun menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat. Dalam kaitan dengan pendidikan, maka masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kesantunan akan menjadikan berbahasa santun sebagai bagian penting dari proses pendidikan, khususnya pendidikan persekolahan. Kesantunan berbahasa sangat perlu untuk dikaji, karena kegiatan berbahasa tidak luput dari kehidupan manusia. Kesantunan merupakan sebuah istilah yang berkaitan dengan ’kesopanan’, ’rasa hormat’ ’sikap yang baik’, atau ’perilaku yang pantas’ (Gunawan, 2013:8) Kesantunan dalam berbahasa di lingkungan masyarakat dan sekolah sangatlah penting, karena dengan bertutur dalam berkomunikasi yang santun dapat menjaga nilai diri sebagai makhluk sosial, yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Agar kita dapat hidup bersama-sama dalam masyarakat dan diterima oleh masyarakat tersebut, maka kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial dan saling menghormati yang dianut oleh masyarakat tersebut termasuk diantaranya nilai kesantunan dalam berbicara. Penggunaan bahasa yang santun merupakan salah satu ciri manusia yang berkarakter baik. Kalau kita menengok budaya sopan khususnya dalam bertutur bahasa diera saat ini sudah mulai pudar, bahkan penggunaan bahasa yang memegang prinsip kesantunan jarang sekali kita temui dikalangan remaja. Pudar dan menghilangnya bahasa yang mempunyai tingkat kesantunan ini salah satunya disebabkan dampak globalisasi dan westernisasi yang sangat terasa dalam kehidupan kaum remaja atau anak-anak.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Tak jarang pula kita lihat budaya barat dengan leluasa keluar masuk dan dipergunakan oleh kau remaja, mereka mengadopsi berbagai bentuk budaya asing tanpa memikirkan dapat yang dihasilkan, baik dampak positif maupun negative. Walaupun pada hakekatnya arus globalisasi memberikan keuntungan yang positif jika dapat dimanfaatkan dengan baik. Dampak positif memberikan kontribusi dalam berbagai perkembangan teknologi, informasi, dan sains akan tetapi tampaknya masih belum dimanfaan dan diterima dengan pemikiran yang bijak oleh sebagian masyarakat Indonesia. Bahakan yang paling menakutkan kita dapat menemukan berbagai penyimpangan perilaku yang di lakukan oleh kaum muda, berbagai aksi geng motor dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang notabene menjadi kebiasaan artis/aktor besar dunia. Seseorang yang memiliki karakter yang baik dapat di lihat dari bentuk prilaku verbal maunpun nonverbal (Rohali: 2011:75) JURNAL. Prilaku ini bisa ditunjukan dengan tindak tanduk dalam bergaul, bagaimana menghargai yang lebih tua merupakan salah satu contoh prilaku non verbal, sedangkan prilaku verbal dengan menunjukkan bahasa yang sopan dengan orang yang lebih tua maupun bagaimana menggunakan bahasa yang baik dan sopan agar tidak menyinggung perasaaan orang lain. Menumbuhkembangakan karakter yang baik tidak lepas dengan dunia pendidikan. Peranan pendidikan dalam pembentukan karakter merupakan ujung tombak yang tidak dapat dihindari. Kecenderungan anak/siswa menyimak dan meniru sesuai dengan jenjangnya merupakan ladasan utama dirumuskannya kurikulum berbasis karakter, kurikulum yang menjadi acuan para pendidik dalam membentuk karakter siswa. Siswa yang notabene mempunyai kecenderungan meniru apa yang dilakukan oleh pendidik/guru merupakan dasar pemikiran bahwasana
pendidik/guru harus juga mempunyai karakter yang baik pula. Keteladanan menjadi sangat penting untuk mengatasi masalah karakter dan memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mendidik dan membina karakter. Keteladanan lebih mengedepankan aspek perilaku dalam bentuk tindakan nyata daripada sekedar berbicara (Prasetyo dan Marzuki, 2016:217) Saat ini pembahasan tentang pendidikan karakter mulai menjadi pembahasan yang dianggap penting, pembahasan tersebut sehubungan dengan kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini, dengan berbagai masalah nasional yang timbul akibat melemahnya karakter bangsa. Dengan masalah tersebut pemerintah mulai berbenah untuk menfungsikan berbagai peran untuk mengembangkan dan membina karakter diberbagai sektor salah satunya pada konsep kurikulum yang merumuskan tentang aspek-aspek pendidikan karakter. Dalam dunia pendidikan pembentukan karakter masuk ke dalam kurikulum pendidikan nasional yang dirumuskan oleh pusat kementrian pendidikan nasional yang terangkum dalam 18 aspek-aspek sebagai berikut: (1) religius, (2) jujur, (3) toleran, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab (Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional, 2011:10) Dari aspek-aspek pendidikan untuk membentuk karakter yang tercantum dikurikulum diperlukan berbagai strategi guna menyukseskan tujuan dari perumusan dimaksud. Pembentukan karakter siswa hendaknya dimulai sejak dini, jenjang awal (PAUD/TK/Sekolah Dasar) pembentukan ini bisa menjadi pertimbangankan bahwasan pada masa-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
masa ini siswa/anak berada pada fase menyimak atau merekam apa yang diperoleh. Masa ini anak-anak merupakan masa penentuan anak dalam membentuk kepribadian dasar pada seseorang. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang, penanaman moral melalui pendidikan karakter sedini mengkin kepada anakanak adalah kunci utama membangun bangsa. Dan Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter ini terwujud jika anak tumbuh dilingkungan yang berkarakter, fitrah anak yang terlahir suci dapat dikembangakan secara optimal, ini memerlukan peran serta semua pihak keluarga, sekolah dan seluruh komponen yang ada dalam masyarakat contoh lembaga pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Senada dengan pernyataan, Sulistyowati dalam bukunya yang berjudul Implementasi Kurikulum Pendidikan Karakter, menuturkan ada dua alasan mengapa pendidikan karakter penting yaitu: (1) Karakter merupakan hal yang sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara. Hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa. Karakter berperan sebagai kemudi dan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing, (2) karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Hal ini dapat dilaksanakan salah satunya melalui pendidikan karakter (2012:5). Pada saat inilah diharapkan peran seorang guru, orangtua dan masyarakat dalam memberikan suatu pendidikan karakter yang baik bagi anak usia dini, menanamkan nilai-nilai moral dan lain sebagainya dan juga suatu bangsa akan terlihat maju, jika dipandang dari karakter setiap individunya yang menginginkan kemajuan, sehingga pendidikan karakter ini sangatlah penting dibentuk pada anak usia dini karena saat usia inilah anak menyerap dan menerima informasi secara cepat, sehingga apa yang diberikan pada anak
akan ia serap dengan baik dan akan ia terapkan dalam kehidupannya, jika pendidikan karakter tidak diberikan kepada anak, jelas akan terlihat suatu perbedaan antar anak yang diberikan pendidikan karakter dengan baik dan tidak sama sekali. Pengembangan nilai karakter merupakan sebuah proses panjang dimulai dari awal siswa masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Proses tersebut dimulai dari TK/RA berlanjut ke kelas satu SD/MI dan berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau kelas terakhir SMP/MTs. Proses pengembangan karakter dan nilai budaya dilakukan melalui setiap mata pelajaran, setiap kegiatan kurikuler, ekstrakurikuler, kokurikuler, pengembangan diri, dan satuan pendidikan (Irawati dan Zaim, 2014:82) Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang, penanaman moral melalui pendidikan karakter sedini mengkin kepada anakanak adalah kunci utama membangun bangsa. Penerapan pendidikan karakter bagi seorang anak hendak tidak menunggu kapan waktunya, akan tetapi pada masa anak-anak merupakan saat yang tepat untuk membina karakter. Saat usia inilah anak menyerap dan menerima informasi secara cepat, sehingga apa yang diberikan pada anak akan ia serap dengan baik dan akan ia terapkan dalam kehidupannya, jika pendidikan karakter tidak diberikan kepada anak, jelas akan terlihat suatu perbedaan antar anak yang diberikan pendidikan karakter dengan baik dan tidak sama sekali. Suyatno menguraikan beberapa alasan pentingnya pendidikan karakter untuk segera dilaksanakan yaitu (1) pendidikan karakter dapat dijadikan landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional yaitu terwujudnya masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan Pancasila. (2) Pendidikan karakter penting diupayakan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
terutama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dengan meningkatknya kualitas SDM dengan sendirinya dapat menentukan kemajuan suatu bangsa. (3) Pendidikan karakter penting dilakukan karena akhir-akhir ini Bangsa Indonesia mulai mengalami kehilangan jati diri dan karakter bangsa. Semuanya itu bermuara pada (1) isorientasi dan belum dihayatinya nilainilai Pancasila sebagai filosofi dan ideoligi bangsa, (2) keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila, (3) bergesernya nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (4) memudarnya kesadaran terhadap nilainilai budaya bangsa, (5) ancaman disintegrasi bangsa, dan (6) melemahnya kemandirian bangsa (2012:29). Dalam pembentukan karakter, ada tiga hal yang berlangsung secara terintegrasi. Pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan apa yang harus diambil, mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik. Kedua, mempunyai kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci perbuatan buruk. Kecintaan ini merupakan obor atau semangat untuk berbuat kebajikan. Misalnya, anak tak mau berbohong. Karena tahu berbohong itu buruk, ia tidak mau melakukannya karena mencintai kebajikan. Ketiga, anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melakukannya. Pembentukan karakter salah satunya dengan penggunaan bahasa, kesantunan dalam berbahasa merupakan salah satu ciri seseorang yang berkarater. Seseorang yang berbicara santun memungkinkan menghindari diri dari kesalahpahaman dan menyakiti perasaan orang lain. Penggunaan bahasa yang santun seharusnya di lakukan oleh seorang guru, ada istilah “Guru: digugu lan ditiru” ungkapan tersebut melekat jelas di benak masyarakat. Kesantunan berbahasa yang digunakan oleh guru secara tidak langsung memberikan dan menanamkan karakter anak dalam perencanaan berbahasa anak.
Untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa peneliti menggunakan prinsip kesantunan berbahasa menurut Geoffrey Leech, pada prinsip kesantunan ini melibatkan dua perserta dalam berkomunikasi yaitu diri sendiri dan orang lain. Diri sendiri adalah penutur, orang lain adalah lawan tutur, dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Dalam penggunaan bahasa santun oleh guru dan dianalisis menurut Geoffrey Leech, akan dideskripsiakan pendidikan karakter yang terkadung dalam tuturan tersebut. Ada enam prinsip (maksim) kesopanan menurut Geoffrey Leech yang digunakan dalam berkomunikasi (dalam Rahardi, 2005:59-66) sebagai berikut: Pertama, maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim), Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif, para peserta tutur hendak memegang pripsip merugi, artinya selalu memikirkan kepentingan orang lain. Gagasan dasar maksim kebijaksanaan adalah setiap peserta pertuturan harus berpegang teguh dengan prinsip untuk mengurangi keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain (Rahardi, 2005:60) Kedua, maksim Kedermawanan (Generosity Maxim), Maksim disebut juga dengan maksim kemurahan hati. Prinsip utama dalam maksim kedermawanan ini mengharapkan peserta tutur mengurangi keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan kerugian atau pengorbanan diri sendiri. Apabila maskim kebijaksanaan berpusat pada orang lain, maksim kedermawanan berpusat pada diri sendiri. Contoh berikut dapat dijadikan pertimbangan untuk memperjelas maksim kedermawanan (Rahardi,2005:61) Ketiga, maksim Penghargaan (Approbation Maxim), Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. Maksim ini mengharapkan para peserta pertuturan untuk dapat menghargai orang lain,
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Karena tindakan mengejek merupakan tindakan yang tidak sopan dan harus dihindari dalam pergaulan (Rahardi, 2005:63). Keempat, maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim), Maksim kesederhanaan berpusat pada diri sendiri, megurangi sikap sombong, congkak terhadap diri sendiri. Rahardi menambahkan bahwa di dalam maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri, dengan begitu peserta tutur tidak dikatakan sombong (2005:64). Kelima, maksim Permufakatan (Agreement Maxim), Jika ada seseorang yang bertutur (berbicara) seseorang tidak boleh memenggal dan membantah secara langsung orang yang sedang bertutur (berbicara). Banyak fakor yang dapat dijadikan pertimbangan seperti faktor usia, jabatan, atau bahkan status sosial. Budaya jawa dulunya melarang seorang wanita menentang kata-kata atau perintah dari suami/kaum pria. Rahardi menyatakan bahwa apabila terdapat kecocokan antara diri penutur dan lawan tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap sopan. Maksim kesepakatan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan persetujuan di antara mereka (Rahardi, 2005:64-65). Keenam, maksim Kesimpatian (Sympath Maxim) Wijana (1996:60) memaknai maksim kesimpatian mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipasti kepada lawan tuturnya. Penutur wajib memberikan ucapan selamat apabila lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan. Penutur layak turut berduka atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian apabila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah. Rahardi menyatakan bahwa dalam maksim simpati, antipati pada lawan tutur harus dikurangi hingga sekecil mungkin dan
simpati kepada lawan tutur harus diperbesar (2005:65). Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesantunan bahasa guru serta unsur pendidikan karakter yang terkadung di setiap tuturannya, bentuk kesantunan berbahasa yaitu kepatuhan terhadap maksim kesopanan yang terdapat pada tuturan yang di ucapkan guru. Tutur bahasa yang digunakan guru merupakan tombak utama dalam penentuan karakter serta pemilihan penggunaan bahasa oleh siswa/anak pada masa yang akan datang.
METODE Jenis metode penelitian yang dipakai oleh penulis, yaitu metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif, yaitu metode paparan hasil temuan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang diperoleh berdasarkan data yang dikumpulkan dari lapangan. Data yang digunakan dalam tulisan ini berasal dari hasil observasi, kuesioner, dan rekaman di lapangan secara langsung dalam bentuk catatan yang memuat tentang informasi, situasi serta kejadian dari responden. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini metode deskriptif. Kuntoro (dalam Jauhari, 2009:35) mengatakan bahwa metode deskriptif adalah metode penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti. Metode deskriptif ini dilakukan adalah untuk mendapatkan data serta dapat mengklasifikasikan data, misalnya kondisi sesuatu, kejadian atau faktorfaktor terjadinya sesuatu. Sedangkan adapun teknik/metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak. Metode simak yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan menyimak sumber data. Metode simak dalam penelitian ini terdiri atas tiga teknik,
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
yaitu simak bebas libat cakap (SBLC), teknik rekam, dan teknik catat. Analisis data yang digunaka dengan cara: (1) memilah data sesuai dengan kategori kesantunan berbahasa baik kepatuhan dan pelanggaran, (2) memberikan analisis indeksal dari masing-masing data, dan (3) mendeskiripsikan wujud pembinaan karakter bagi siswa. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan latarbelakang yang telah diuraikan dalam penelitian ini, peneliti menemukan bentuk-bentuk kesantunan berbahasa, bentuk kepatuhan maksim kesantunan berbahasa yang dituturkan oleh guru. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori kesantunan menurut Geoffrey Leech (Rahardi, 2010:59-65). Geoffrey Leech mengemukan prinsip/maksim kesantunan terdiri dari enam kategori, yakni: (1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim), (2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim), (3) Maksim Penghargaan (Approbation Maxim), (4) Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim), (5) Maksim Permufakatan (Agreement Maxim), dan (6) Maksim Kesimpatisan (Sympath Maxim), dari keenam maksim yang ditentukan dapat di jabarkan sebagai berikut: Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) Kurangi kerugian orang lain, Tambahi keuntungan orang lain (Leech dalam Rahardi, 2010:59) Maksim menuntut penutur untuk sedapat mungkin untuk mengurangi keuntungan untuk diri sendiri dan menambahi keuntungan orang lain, dengan kata lain semakin panjang tuturan seseorang dapat di katakakan sebuah tuturang sopan. Dalam bertutur seseorang harus dengan menunjukan sikap yang arif. Tuturan tidak langsung bisa di kategorikan tuturan yang lebih sopan. Pada saat akan berbicara dengan orang lain, penutur harus bersikap santun, bijaksana, tidak memberatkan lawan tutur, dan menggunakan diksi yang halus dalam bertutur. Untuk bentuk maksim kebijaksanaan tidak memandang status
sosial dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Bentuk pematuhan maksim kebijaksanaan sebagai berikut Perhatikan data berikut: 1. Guru : “Hebat, anak-anak Ibu, semua sehat dan kuat, tetap semangat, hari ini piketnya siapa? ayo silahkan papan tulisnya dihapus terlebih dahulu” Siswa : “hayo, sopo seng piket” Guru : “ayo silahkan dihapus dulu papan tulisnya” Siswa : “jan ra sregep blas” Siswa : “Saya yang piket Bu” Informasi indeksal: dituturkan seorang guru kepada siswa ketika melihat papan tulisnya kotor belum dihapus dan menyuruh siswa yang piket untuk menghapus papan tulis. 2. Guru : “Iya..iya. kan sahabat masa harus bertengkar, mas bayu mana punya kamu” Siswa : “Ini Bu, tapi kurang bagus loo Bu” Guru : “Tidak apa-apa, Ibu lihat dulu nanti.” Informasi indeksal: dituturkan seorang guru kepada siswa ketika siswanya sedang berseteru disaat diminta untuk mengumpulkan tugasnya. Menurut ukuran bahasa pendidikan, tuturan (1) “ayo silahkan papan tulisnya dihapus terlebih dahulu” masih dalam batas kewajaran dalam mendidik seorang siswa, berdasarkan ukuran kesantunan menurut Leech dalam percakapan antara guru dan siswa dapat dikategorikan tuturan yang santun karena mematuhi maksim kebijaksanaan dimana penutur memaksimalkan keuntungan pada mitra tutur karena penutur adalah guru yang memunyai status lebih tinggi dibandingkan dengan mitra tutur.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Tuturan selanjutnya juga mengandung maksim kebijaksanaan, “ayo silahkan dihapus dulu papan tulisnya?” tuturan guru yang kedua kalinya dengan bentuk turan yang sama dengan tujuan agar anak mengapus papan tulis dengan nada yang rendah dengan sikap yang bijak dan proses pembelajaran akan segera di mulai. Sikap guru dalam menyuruh siswa akan memunyai dampak yang positif bagi siswa, anak akan menirukan bentuk tuturan guru yang santun dalam meminta tolong atau menyuruh sesuai dengan harapan penutut. Anak/siswa akan memunyai karakter yang baik dalam bertutur khususnya dalam menyuruh dengan nada yang arif dan santun, seakan-akan bukan nada perintah yang notabene mempunyai nada yang keras. Pada tuturan (2) juga memunyai tingkat kesantunan yang cukup “Iya..iya. kan sahabat masa harus bertengkar, mas bayu mana punya kamu” tuturan guru yang melihat siswa sedang berseteru dengan temannya. Guru secara tidak langsung memberikan contoh bagaimana menyelesaikan masalah. Anak akan merekam sikap guru yang baik sehingga anak akan menerapkan sikap yang baik dalam menyelesaikan permasalahan yang akan dihadapinya. Pemilihan kata yang halus dan bijak yang digunakan oleh guru kepada siswa memberikan gambaran bagaimana bertutur secara bijaksana dengan tidak menyakiti hati lawan tuturnya. Maka disinilah bentuk pendidikan karakter yang diberikan kepada anak terkait dengan pemilihan kata-kata yang bijak dalam bertutur. Anak juga dapat mengunakan bahasa yang santun dengan orang lebih tua atau dengan sebayanya sehingga tidak menimbulkan pranggapan dari proses komunikasi yang di lakukan. Selain itu terdapat sikap yang berkarakter yaitu bertanggung jawab atas sesuatu yang telah menjadi tugas piket harian siswa “hari ini piketnya siapa”
Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) Kurangi keuntungan diri sendiri, Tambahi pengorbanan diri sendiri (Leech dalam Rahardi, 2010:59). Maksim kesedermawanan mempunyai prinsip sebagai maksim kemurahan hati, maksim ini berusaha memberikan keuntungan terhadap lawan tutur dan diharapkan dapat bersikap rendah hati, dengan kata lain menghidari pujian untuk diri sendiri dan bersikap tidak sombong. Prinsip tersebut dapat dimaknai lain dengan ditunjukkannya sebuah sikap oleh penutur terhadap lawan tutur atas sebuah kesedian memberikan sesuatu yang menjadi milik penutur kepada mitra tutur dengan tujuan agar mitra tutur dapat terpenuhi segala kebutuhanya. Perhatikan data berikut: 3. Siswa : “Bu Pensil saya patah” Guru : “Sini ibu bantu untuk merautkanya” Siswa : “ini Bu terima kasih” Guru : “Iya sama2” Informasi indeksal: dituturkan seorang guru kepada siswanya yang mendengar keluhan bahwa alat tulis (pensil) patah dan guru menawarkan 4. Guru : “Sini Ibu bantu geser kursinya” Siswa : “iya ibu, terima kasih” Guru : “Duduk Dekat Amanda ya” Informasi indeksal: dituturkan seorang guru yang sedang menawarkan bantuan kepada siswanya untuk memindahkan kursi karena akan melaksanakan belajar secara diskusi. Pada contoh data nomor 3 termasuk pematuhan maksim Kedermawanan, ditunjukan dengan tuturan sebagai berikut: “Sini ibu bantu untuk merautkanya”. guru berkata secara halus dan membantu siswa untuk merautkan pesil yang sedang patah, selain tujuan merautkan terseirat tidakan yang berkarakter yaitu saling tolong
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
menolong, besar kemungkinan sang anak akan juga menerapkan sikap ini kepada temannya maupun kepada orang lain tentang sikap tolong menolong. Sedangkan data nomor 4 guru mencoba menawarkan diri untuk membantu siswa memindahkan kursi “Sini Ibu bantu geser kursinya”. Disini guru rasa baik hati mau memindahkan kursi agar siswa lebih dekat dengan temannya karena akan melaksanakan belajar secara diskusi. Sikap tolong menolong juga tercermin dalam hasil tuturan yang disampaikan oleh guru. Karena pada hakekatnya manusia hidup harus juga menerapkan sikap saling tolong menolong antar sesama manusia.
Maksim Penghargaan (Approbation Maxim) Kurangi cacian kepada orang lain, Tambahai pujian pada orang lain (Leech dalam Rahardi, 2010:59). Maksim penghargaan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat pada diri sendiri. Peserta tutur dapat dianggap santun apabila berusaha menghargai orang lain. Peserta tutur harus memaksimalkan pujian kepada orang lain dan meminimalkan cacian atau kerugian pada orang lain. Maksim ini dapat berupa memberikan pujian ataupun penghargaan kepada mitra tutur atas sebuah keberhasilan maupun yang kelebihan yang dimiliki oleh mitra tutur. Penyimpangan dalam maksim ini ditandai dengan adanya sikap tidak mau menghargai pendapat orang lain, memberikan kritik yang menjatuhkan orang lain, dan berbicara yang merendahkan orang lain. Perhatikan data berikut: 5. Siswa : “Bu saya sudah selesai” Guru : “Wah hebat sekali,
pintar anak Ibu” : “Tapi Kelihatanya kok Salah ya buu” Guru : “Ah, belum tentu, coba ibuk lihat dulu pasti banyak benar” Informasi indeksal: dituturkan seorang guru yang sedang melihat siswa selesai mengerjakan tugas yang di berikan oleh guru 6. Guru : “Warnanya” Siswa : “Merah” Guru : “Bagus, pandai sekali, Yang ini?” Siswa : “Gambar desa” Informasi indeksal: dituturkan seorang guru yang sedang melihat siswa yang berhasil menjawab pertanyaan yang dei berikan oleh oleh guru. Siswa
Kepatuhan maksim penghargaan terwujud pada data nomor 5, data tersebut mengandung makna pujian dari seorang guru kepada siswanya yang selesai mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Tuturan dari siswa juga mendapatkan tanggapan yang baik dari ibu guru dengan tuturan “Wah hebat sekali, pintar anak Ibu”, selain itu juga sang Ibu guru sekaligus memberikan dukungan serta apresiasi terhadap hasil pekerjaan sang anak dengan tuturan “Ah, belum tentu, coba ibuk lihat dulu pasti banyak benar”, dan menghargai apa yang dilakukan oleh mitra tutur dalam hal ini siswa, yaitu hasil siswa yang belum tentu benar akan tetapi tetap menghargai proses mengerjakan tugas. Tidak jauh berbeda dengan contoh data nomor 6 yaitu “Bagus, pandai sekali”, guru memuji siswa atas usaha menjawab benar dari pertanyaan yang disampaikan oleh guru. Bentuk apresiasi guru ini dapat juga berbentuk motivasi dengan tujuan anak agar tetap semangat untuk merespon dan aktif dalam proses pembelajaran. Selain itu juga bentuk motivasi agar siswa dapat lebih giat dalam mengerjakan tugas-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
tugas yang lain karena merasa dapat sebuah penghargaan. Proses pendidikan karakter anak tersirat dalam contoh data tersebut, bagaimana anak/siswa diajarkan bagaimana menghargai hasil/proses yang dilakukan seseorang. Kesantunan berbahasa pada maksim penghargaan bertujuan agar kita mampu menghargai sesama dan mampu mengakui kelebihan orang lain. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim) Kurangi pujian pada diri sendiri, Tambahai Pujian pada diri sendiri (Leech dalam Rahardi, 2010:59). Pada maksim ini peserta pertuturan diharapkan dapat bersikap rendah hati, mengurangi pujian terhadap diri sendiri dan memaksimalkan kehormatan pada orang lain. serta tidak menunjukkan prestasi yang telah diraih di hadapan banyak orang ketika menjalin konteks sosial. Penyimpangan dalam maksim ini ditandai dengan sikap penutur yang berprasangka buruk terhadap lawan tutur dan penutur yang menonjolkan kelebihannya di depan orang lain. Maksim kesederhanaan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri (Wijana, 1996:58). Maksim ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila maksim kemurahan berpusat pada orang lain, maksim kesederhanaan berpusat pada diri sendiri. Rahardi (2005:64) menambahkan bahwa di dalam maksim kesederhanaan, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Perhatikan data berikut: 7. Siswa : “Bu sari hari ini cantik sekali” Guru : “Masa ya, tidaklah lebih cantik kamu kok, pintar. Dan tidak pernah terlambat”
Informasi indeksal: dituturkan seorang guru yang sedang merima pujian dari siswa yang menyatakan gurunya canti, konteks tuturan dalam keadaan nonformal 8. Guru : “Okey semua perhatikan ibu, ini Ibu punya wayang suku kata” Siswa : “Wih apikmen bu, Ibu sangat pandai membuatnya” Guru : “Ah tidak Biasa saja, kalian semua juga pasti bisa membuatnya, ini gambar apa? (sambil menunjukan salah satu media)” Siswa : “Tidak Bu masih pintar Bu guru” Informasi indeksal: dituturkan seorang guru yang sedang merima pujian terkait pembuatan media pembelajaran yang dibuat oleh guru. Data pada nomor 7 merupakan bentuk kepatuhan maksim kesederhanaan, guru merasa dirinya tidak begitu cantik dan berlawanan seperti apa yang di ucapkan oleh siswanya yang mengapresiasi gurunya yang cantik, guru meredahkan diri dan bersikap tidak sombong walaupun mendapatkan pujian dari siswanya. Kemudian sang guru mengurangi pujian untuk dirinya sendri dengan “Masa ya, tidaklah lebih cantik kamu kok, pintar. Dan tidak pernah terlambat” guru merendahkan diri dan memberikan apresiasi kepada siswa yang lebih cantik. Guru menghindari bentuk kesombongan dan mencoba memberikan pujian kepada siswa agar siswa juga merasa senang. Kesederhanaan guru juga tersirat pada data nomor 8, ada pujian yang disampaikan oleh siswa bahwa media yang dibuat oleh gurunya sangat bagus (“Wih apikmen bu, Ibu sangat pandai membuatnya”). Akan tetapi guru mengelak dengan menjawab “Ah tidak
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Biasa saja, kalian semua juga pasti bisa membuatnya, ini gambar apa”, tuturan yang disampaikan oleh guru juga tersirat bahwasana siswa juga dapat membuat media pembelajaran yang sama baik seperti apa yang guru buat. Kalau ikut dikaji apa yang disampaikan oleh siswa tersebut juga mengandung kepatuhan maksim kesederhanaan, siswa juga tidak membagakan diri setelah mendapat pujian dari sang guru, seperti kutipan berikut: ““Tidak Bu masih pintar Bu guru”. Pada hakekat kepatuhan pada maksim ini bagaimana kita menjadi rendah hati serta tidak memamerkan kelebihan kita sendiri dibanding dengan mitra tutur kita. Tujuan tuturan yang disampaikan guru merupakan tuturan yang bermakna agar kita (siswa) jangan menjadi sombong atas apa yang kita miliki. Tuturan yang disampaikan guru juga mempunyai makna agar anak mempunyai sikap yang rendah hati sehingga tidak melukai perasan orang lain dan berkarakter baik. Maksim Permufakatan (Agreement Maxim) Kurangi ketidaksesuaian diri sendiri dengan orang lain, Tingkatkan persesuaian pada diri sendiri dengan orang lain (Leech dalam Rahardi, 2010:59). Dalam maksim permufakatan peserta tutur ditekankan dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur, yang berarti menghendaki agar setiap penutur dan mitra tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka; dan meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka. Di dalam maksim kesepakatan ini ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masingmasing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun.
Tuturan dikatakan santun jika antara penutur dan lawan tutur bisa memaksimalkan kecocokan di antara mereka. Pelanggaran maksim permufakatan biasanya ditandai dengan adanya minimal ketidakcocokan antar diri penutur dan lawan tutur, sehingga dapat menimbulkan salah paham dalam komunikasi atau praanggapan yang berbeda. Perhatikan data berikut: 9. Guru : “ayo silahkan dihapus dulu papan tulisnya” Siswa : “jan ra sregep blas” Siswa : “Saya yang piket Bu” Informasi indeksal: dituturkan seorang guru saat di kelas yang mencoba menawarkan kesepatan untuk yang piket mengapus papan tulis. 10. Siswa : “Bu suara dari luar bising sekali, pintunya di tutup ya Bu?” Guru : “Iya Silahkan ditutup, pelan-pelan ya.” Siswa : “Begini ya bu” Guru : “Iya, terima kasih” Informasi indeksal: dituturkan seorang guru saat di kelas yang menerima pengaduan bahwa siswa mendengar suara bising dari luar kelas dan meminta ijin kepada guru untuk menutup pintunya. Kepatuhan terhadap maksim Permufakatan dapat di tandai dengan tuturan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur kesepahaman, baik dalam kondisi dan pemikiran yang sama. Pada data nomor sembilan terlihat bagaimana guru mencoba menawarkan sebuah kesepahaman untuk yang piket agar melaksanakan tugasnya yitu menghapus papan tulis, dengan tuturan sebagai berikut “ayo silahkan dihapus dulu papan tulisnya”, siswa yang piket pada hari tersebut merespon dan menyepakati untuk mengapus papan tulis, selain munculnya kesepahaman antara siswa
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
yang piket dengan guru, ada pesan lain yaitu guru mengajarkan siswanya untuk bertanggungjawab atas apa yang sudah menjadi kewajiban dan kesepakatan diawal semester tentang pembagian piket harian. Bentuk kesepahaman dan mufakat akibat timbulnya perasaan yang sama juga terdapat pada data 10 Guru mengiyakan/setuju bahwa terdengar suara bising dari luar sehingga mengijinkan siswanya untuk menutup pintu ruang kelas, pernyataan tersirat dalam kutipan berikut “Iya Silahkan ditutup, pelan-pelan ya.”. Guru yang mendukung pernyataan siswa yang terdengar suara bising tersebut indetik dengan pematuhan maksim Permufakatan, hasil tindakan pemufatan tersebut siswa menutup pintu ruang kelas setelah mendapatkan intruksi dari sang guru. Penutur (guru) mampu membina kecocokan pendapat dengan mitra tutur (siswa). Dalam data 10 juga tersirat adanya maksim pujian atas prilaku siswa yang sudah menutup pintu “Iya, terima kasih”. Kedua data tersebut menyiratkan agar mampu menghargai pendapat dan usulan orang lain, akan tetapi tetap dalam ranah positif. Menghagai pendapat dan usulan orang lain sehingga muculnya kesepahaman merupakan sala satu sikap yang berkarakter sehingga menghindari sikap egoisme. Maksim Kesimpatisan (Sympath Maxim) Kurangi antipati diri sendiri dengan orang lain, Perbesar simpati pada diri sendiri dengan orang lain (Leech dalam Rahardi, 2010:60). Dalam maksim Kesimpatisan, diharapkan para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Sikap antipasti terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan
santun di dalam masyarakat (Rahardi, 2005:65). Bila mitra tutur memperoleh keberuntungan atau kebahagiaan penutur wajib memberikan ucapan selamat. Jika mitra tutur mendapat kesulitan atau musibah penutur sudah sepantasnya menyampaikan rasa duka atau bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Menurut Wijana (1996:60), jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan, atau musibah, penutur layak turut berduka, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Perhatikan data berikut: 11. Guru : “Siapa hari ini yang tidak masuk” Siswa : “Rahma dan wahyu Bu, sakit Bu” Guru : “Ohya, sakit apa? mari kita doakan semoga lekas sembuh dan bisa masuk lagi” Siswa : “Aaminn, tidak Bu” Informasi indeksal: dituturkan seorang guru saat mendengarkan ada siswanya yang tidak masuk karena sakit, dan mengajak siswa yang ikut mendoakan. 12. Siswa : “Bu guru andi hari ini ulang tahun” Guru : “Iya, selamat ya andi, semoga panjang umur sehat, dan diberi kesuksesan. Tatap belajar yang rajin” Informasi indeksal: dituturkan seorang guru saat mendengarkan keluhan siswanya bahwa tulisananya jelek. Data pada nomor 11 menujukan sikap simpati dari seorang guru yang mengetahui siswa yang tidak masuk dikarekan sakit, informasi tersebut didapatkan dari teman satu kelas.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Tuturan guru “Ohya, sakit apa? mari kita doakan semoga lekas sembuh dan bisa masuk lagi” terindikasi bentuk kepatuhan terhadap maksim Kesimpatisan, karena guru memberi respon bahwasana ada siswanya yang tidak masuk karena sakit dengan memintakan doa kepada teman se-kelas agara anak yang sakit segera sembuh. Sikap dan tuturan guru dapat dijadikan contok sikap simpatik bagi siswa, jika ada teman atau orang lain yang tertimpa musibah hendaknya kita juga turut prihatin atau menghidari sikap antipati. Sikap simpati guru juga ditunjukan dengan tuturan guru “Iya, selamat ya andi, semoga panjang umur sehat, dan diberi kesuksesan. Tatap belajar yang rajin” (data 12), tuturan tersebut diucapkan guru ketika mengetahui ada siswanya yang sedang berulang tahun, ibu guru mendoakan supaya siswa sukses dan tetap semangat belajar. Rasa simpati atas kesenangan atau kegembiraan yang dirasakan orang lain dapat juga menghindari rasa iri hati dan dengki. Mitra tutur (guru) menunjukkan sikap ikut merasakan kebahagian seseorang karena orang lain merasa bahagia atas sesuatu yang telah dilakukanya dalam hal ini siswa. Rasa kesimpatian mitra tutur (guru) kepada siswa yang sedang berulang tahun. Terseleip pendidikan karakter dalam tuturan guru yang dapat di jadikan contoh bagi siswa yaitu sikap simpati kepada orang lain yang sedang mengalami kebahagian dan kesusahan sehingga akan menghidari sikap iri dan dengki di hati siswa atas apa yang dimiliki oleh orang lain. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terkait dengan wujud kesantunan berbahasa guru SD Immersion lab. School STKIP PGRI Ponorogo sebagai alternative pendidikan karakter dan telah dilakukan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut
Ditemukan bentuk kepatuhan maksim kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh guru, wujud tersebut beraneka ragam situasi dan kondisi baik kondisi formal (di dalam kelas saat pelajaran berlangsung) dan kondisi nonformal (di luar kelas/tidak saat proses pembelajaran). Kepatuhan maksim kessantunan berbahasa yang dilakukan oleh guru merupakan bentuk motovasi yang dilakukan guru agar sang anak dapat lebih semangat dalam segala hal, bukan sebagai bentuk ngelulu yang nantinya akan berdampak kurang baik. Pola penggunaan bahasa yang santun merupakan salah satu wujud terlaksananya visi dan misi dari Sekolah Dasar Immersion Ponorogo, yaitu Memanusiakan Manusia dan tumbuh kembangya seorang anak terpengarung terkait dengan apa yang meraka rasakan (pengalaman) serta di pelajari. Dari keenam masim kesantunan berbahasa dapat dihubungkan dengan bentuk pendidikan karakter. Bentuk pendidikan karakter dari masing-masing maksim dapat dijadikan pembelajaran bagi siswa.
DAFTAR PUSTAKA Aznawi, Mualiyah dan Safriwana Aras, 2015. “Strategi Kesantunan Bahasa Bugis dalam Tindak Tutur Memerintah di Desa Lamata Kecamatan Gilireng kabupaten Wajo”. KONFIKS: Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia Vol. 2, No. 2, Desember 2015 Gunawan, Fahmi, “Wujud Kesantunan Berbahasa Mahasiswa Terhadap Dosen di STAIN Kendari: Kajian Sosiopragmatik”. ARBITRER: Jurnal Bidang Bahasa, Pengajaran Bahasa, dan Linguistik, Vol. 1 No. 1 Oktober 2013 Irawati, Retno Purnama dan Zaim Elmubarok. “Pengembangan Buku Ajar Bahasa Indonesia Tematik Berkarakter Bagi Siswa
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Sd Melalui Sastra Anak”. Jurnal Pendidikan Karakter UNY. No. 2, Vol 1 Februari 2014, Jauhari, Heri. 2009, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: CV Pustaka Setia Kementerian Pendidikan Nasional, Badan penelitian dan pengembangan, Pusat Kurikulum. 2011. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Pedoman Sekolah. Jakarta: Depdiknas. Nurjamily, Wa Ode. 2015. “Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Lingkungan Keluarga (Kajian Sosiopragmatik)”. HUMANIKA: Jurnal Kajian pendidikan, bahasa Sastra dan Seni. No. 15, Vol. 3, Desember 2015 Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Prasetyo, Danang dan Marzuki. 2016. “Pembinaan Karakter Melalui Keteladanan Guru Pendidikan Kewarganegaraan Di Sekolah Islam Al Azhar Yogyakarta”. Jurnal Pendidikan Karakter UNY, Tahun VI, Nomor 2, Oktober 2016 Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga Rihan, Eka K. 2015. “Kesantunan Pengungkapan Kalimat Perintah dalam Perkuliahan Bahasa Indonesia Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)”. DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, No. 2, Vol.1, Juni 2015. Rohali. 2011. “Kesantunan Berbahasa Sebagai Pilar Pendidikan Karakter: Perspektif Sosiopragmatik”. Jurnal Pendidikan Karakter UNY. No. 1, Vol. 2, Oktober 2011. Sulistyowati, Endah. 2012. Implementasi Kurikulum
Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Citra Aji Pratama. Suyatno. 2012. Peran Pembelajaran Bahasa dan Sastra dalam Pendidikan Karakter. Jakarta: UHAMKA Press. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasardasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi