UJME 2 (1) (2013)
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujme
PEMBELAJARAN TGT MELALUI PENDEKATAN PMRI BERBANTUAN PERMAINAN TRADISIONAL TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF Dheny Wawan Febrian, Wardono, Supriyono Jurusan Matematika FMIPA UNNES Gedung D7 Lt. 1 Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang
Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima Februari 2013 Disetujui Maret 2013 Dipublikasikan Mei 2013
Keywords: Creative Thinking PMRI TGT
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Apakah hasil belajar pada aspek kemampuan berpikir kreatif dengan pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI berbantuan permainan tradisional mencapai KKM (2) Apakah kemampuan berpikir kreatif siswa yang memperoleh pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI berbantuan permainan tradisional lebih baik dengan kemampuan berpikir kreatif siswa dengan model pembelajaran ekspositori, (3) Apakah rata-rata kemampuan berpikir kreatif siswa dengan pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI berbantuan permainan tradisional dapat dikategorikan dalam kategori berpikir kreatif tingkat atas, (4) Apakah kualitas pembelajaran pada pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI berbantuan permainan tradisional dalam kategori baik. Berdasarkan hasil tes kemampuan berpikir kreatif pada kedua sampel penelitian diperoleh hasil bahwa hasil belajar siswa pada kelas eksperimen memenuhi KKM secara individual maupun klasikal, kemampuan berpikir kreatif siswa kelas eksperimen lebih dari kemampuan berpikir kreatif siswa kelas kontrol, kemampuan berpikir kreatif siswa kelas eksperimen dalam kategori sangat kreatif, serta kualitas pembelajaran yang berlangsung dalam kategori baik
Abstra This research has purposes to know (1) do the study result of creative thinking ability with TGT learning by PMRI's classic-game-help approximation category reach minimum mastery criteria (KKM) (2) are the creative thinking of students which are getting TGT learning by PMRI's classic-game-help approximation better than the creative thinking of student using expository learning model (3) can the means value of creative thinking ability with TGT learning by PMRI's classic-game-help approximation be categorized in high level creative thinking category (4) is the quality of TGT learning by PMRI's classic-game-help approximation model in the good category. Based on the creativity thinking test result on both samples, gotten a result that student study result of experiment class reaches minimum mastery criteria for both individually and classically, student creative thinking ability of experiment class is higher than student creative thinking ability of control class, student creative thinking ability of experiment class includes to the very creative thinking category, and the learning quality runs at good category
© 2013 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6927
DW Febrian et al / Unnes Journal of Mathematics Education 2 (2) (2013)
yang telah diselaraskan dengan kondisi budaya, geografis, dan kehidupan masyarakat Indonesia (Suryanto, 2010). Dalam wawancara yang peneliti lakukan dengan guru, juga diutarakan bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa senang dan antusias jika diberikan sebuah pembelajaran yang didalamnya terkandung salah satu permainan. Karena sesuai dengan perkembangan siswa pada usia tersebut, siswa tersebut masih dalam fase anak-anak yang suka bermain. Kesukaan terhadap permainan tersebut tentunya akan lebih baik jika permainan tersebut dapat diarahkan dalam sebuah pembelajaran yang dilakukan anak tersebut di sekolah. Pemilihan permainan yang akan dilakukan harus sesuai dengan materi yang akan diajarkan dan hendaknya permainan tersebut mengandung nilai pengembangan karakter siswa. Berdasar hal tersebut tentunya diperlukan juga kreatifitas guru dalam penerapan model pembelajaran. Model pembelajaran yang dapat diterapkan diantaranya yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Team Game Tournament (TGT). Salah satu karakter yang bisa dikembangkan dari permainan yang dilakukan siswa dalam pembelajaran adalah karakter cinta tanah air, cinta terhadap kebudayaan daerah. Hal ini berdasarkan pada kebudayaan daerah merupakan sebuah hal yang wajib perlu dilestarikan. Pentingnya pelestarian budaya serta penanaman cinta akan kebudayaan daerah ini juga tidak lepas dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan serta tehnologi sehingga dikhawatirkan dapat melunturkan nilai-nilai kebudayaan daerah yang selama ini telah ada. Sebagai sasaran utama yaitu siswa di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal itu dapat di siasati dengan penyertaan pembelajaran yang berbasis pada penanaman karakter cinta kebudayaan daerah. Salah satunya yaitu dengan menggunakan permainan tradisional. Dengan penggunaan permainan tradisional ini diharapkan akan tercipta sebuah pembelajaran yang menyenangkan, juga di dalam prosesnya akan menanamkan karakter peduli terhadap pelestarian kebudayaan daerah serta dapat mencapai tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan model pembelajaran yang berbasis pemainan yang dalam penelitian ini peneliti memilih model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan dengan pendekatan PMRI berbasis konservasi budaya,
Pendahuluan Matematika merupakan ilmu utama yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, matematika mempunyai peranan penting dalam mengembangkan daya pikir manusia. Penguasaan matematika yang kuat akan melandasi perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi yang pesat di masa depan. Oleh sebab itu, mata pelajaran matematika perlu diajarkan kepada siswa agar mereka mempunyai bekal untuk menggunakan matematika secara fungsional dalam kehidupan sehari-hari dan mempunyai dasar dalam mempelajari bidang ilmu pengetahuan yang lain. Pada pembelajaran matematika dengan materi pokok Bilangan bulat kelas 7 Sekolah Menengah Pertama (SMP), mempunyai salah satu tujuan yaitu adanya sebuah pemahaman siswa serta kemampuan siswa menyelesaikan masalah dan kreatif mengelola permasalahan yang ada disekitar yang berhubungan dengan materi. Hal tersebut dikarenakan materi bilangan bulat merupakan materi dasar yang menjadi dasar dalam aplikasi ilmu matematika yang banyak digunakan dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya dibutuhkan penguasaan materi yang baik serta dengan kemampuan kreativitas siswa yang baik. Setelah wawancara dilakukan dengan salah seorang guru matematika pada SMP Negeri 1 Karangawen, peneliti mengetahui bahwa dalam pembelajaran matematika yang dilakukan selama ini di SMP tersebut menggunakan model pembelajaran ekspositori. Model pembelajaran tersebut menempatkan guru sebagai sumber informasi utama yang berperan dominan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas, untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematika siswa diperlukan suatu kreativitas guru dalam pembelajaran. Salah satu bentuk kreativitas tersebut adalah guru menggunakan suatu pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan keadaan siswa dalam proses pembelajaran. Berbagai pendekatan pembelajaran telah dikenal dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan matematika, salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI), yaitu pendidikan matematika sebagai hasil adopsi serta adaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME) 17
D W Febrian et al / Unnes Journal of Mathematics Education 2 (2) (2013)
serta pembelajaran akan dibantu dengan permainan tradisional diharapkan akan terciptanya sebuah kegiatan pembelajaran matematika efektif yang merupakan wujud pendidikan konservasi budaya dan tentunya kegiatan tersebut diharapkan dapat mencapai tujuan yaitu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa.
membandingkan hasilnya dengan suatu kelompok kontrol yang dikenai dengan perlakukan yang berbeda. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan PretestPosttest Control Group Design Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data yaitu dokumentasi digunakan untuk untuk memperoleh data mengenai nama-nama siswa anggota sampel penelitian, daftar nama siswa yang akan menjadi responden dalam uji coba instrumen, kriteria ketuntasan minimal nilai matematika. Metode selanjutnya yang digunakan oleh peneliti yaitu metode Observasi. Dalam metode ini digunakan lembar observasi untuk mendapatkan data tentang aktivitas siswa, aktivitas guru, kualitas pembelajaran, serta karakter siswa ketika kegiatan pembelajaran berlangsung. Lembar observasi disusun sesuai dengan indikator yang telah peneliti kemukakan didalam landasan teori. Pengisian lembar observasi dilakukan dengan menggunakan check list. Check list atau daftar cek terdiri dari daftar item yang berisi faktor-faktor yang diobservasi. Observasi dilakukan pada kelas eksperimen sebanyak 4 kali selama pembelajaran berlangsung. Observasi digunakan digunakan untuk mengetahui tingkat keaktifan siswa, kategori kinerja guru, serta kategori kualitas pembelajaran. Metode tes awal (pretest) digunakan untuk memperoleh data awal tentang kemampuan berpikir kreatif siswa pada kedua kelas sampel. Hasil tes ini kemudian di analisis untuk menunjukkan bahwa kedua tersebut mempunyai aspek kemampuan berpikir kreatif yang sama. Metode tes ini juga digunakan dalam tes akhir (postest) untuk menganalisis tentang kemampuan berpikir kreatif pada materi bilangan bulat yang melibatkan operasi penjumlahan serta operasi pengurangan pada kelas VII. Teknik tes ini dilakukan setelah perlakuan diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan tujuan mendapatkan data akhir. Tes diberikan kepada kedua kelompok dengan alat tes yang sama dan hasil pengolahan data digunakan untuk menguji kebenaran hipotesis penelitian Serta tes digunakan untuk mengetahui kondisi awal populasi penelitian dengan melakukan uji normalitas dan uji homogenitas dari hasil pre test, serta mengetahui nilai hasil belajar siswa pada aspek berpikir kreatif. Untuk mengetahui ketuntasan hasil
Metode Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Karangawen pada semester ganjil tahun pelajaran 2012/2013, yang terdiri dari 8 kelas. Sebelum pelaksanaan penelitian dilakukan uji normalitas dan homogenitas pada populasi terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah populasi tersebut berdistribusi normal dan homogen. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik cluster random sampling. Hal ini dilakukan setelah memperhatikan ciri-ciri antara lain: siswa mendapatkan materi berdasarkan kurikulum yang sama, siswa yang menjadi obyek penelitian duduk pada tingkat kelas yang sama, dan pembagian kelas tidak berdasarkan ranking. Jadi dapat dilakukan pengambilan sampel secara random. Dengan menggunakan teknik cluster random sampling diperoleh siswa dalam dua kelas sebagai kelas sampel, yaitu satu kelas eksperimen dan satu kelas kontrol. Dalam penggunaan teknik cluster random sampling, diperoleh dua sampel kelas yang dipilih oleh peneliti, yaitu satu kelas sebagai kelas eksperimen (kelas VII-A) dan satu kelas sebagai kelas kontrol (kelas VII-C). Kelas eksperimen diberikan suatu perlakuan yang dalam penelitian ini adalah menggunakan model pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI dan kelompok kelas kontrol menggunakan model pembelajaran ekspositori. Selain itu, untuk menguji coba instrumen diambil satu kelas yang bukan anggota sampel di atas tetapi masih dalam anggota populasi yaitu kelas VIIB. Variabel dalam penelitian ini meliputi (1) variabel bebas atau variabel independen adalah model pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI berbantuan permainan tradisional, (2) variabel terikat atau variabel dependen adalah tes kemampuan berpikir kreatif Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengenakan suatu perlakuan khusus pada suatu kelompok eksperimen yang kemudian 18
DW Febrian et al / Unnes Journal of Mathematics Education 2 (2) (2013)
belajar siswa serta mengetahui perbedaan ratarata hasil belajar, peneliti menggunakan uji proporsi serta menggunakan uji perbedaan ratarata. Untuk mengetahui model pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI berbantuan permainan tradisional dapat mencapai ketuntasan belajar secara klasikal pada aspek kemampuan kemampuan berpikir kreatif siswa, maka dilakukan uji proporsi satu pihak. Dalam penelitian ini, belajar dikatakan tuntas secara klasikal jika lebih dari atau sama dengan 80% hasil belajar siswa pada aspek kemampuan berpikir kreatif matematika mencapai nilai 75. Untuk mengetahui bahwa hasil belajar pada asperk berpikir kreatif pada kelas eksperimen lebih baik dari kelas control, maka peneliti melakukan uji perbedaan rata-rata. Uji tersebut dilakukan dengan t test satu pihak. Selain itu, kemampuan berpikir kreatif siswa didalam suatu kelas pada sebuah pembelajaran matematika dengan materi tertentu bisa dikatakan sangat baik jika rata-rata nilai prestasi belajar siswa mencapai nilai dengan kategori berpikir kreatif tingkat atas. Dalam penelitian ini, kemampuan berpikir kreatif dikatakan tingkat atas jika lebih dari atau sama dengan 80% hasil belajar siswa pada aspek berpikir kreatif matematika mencapai nilai 80.
Hasil analisis menunjukkan bahwa banyak siswa yang mendapat nilai lebih dari atau sama dengan 75 adalah 36 orang, artinya seluruh siswa pada kelas eksperimen telah mencapai ketuntasan belajar individual. Selanjutnya dari hasil uji proporsi diperoleh nilai zhitung = 3,09. Karena zhitung = 3,09 > ztabel = 1,74 maka kelas eksperimen yang dikenai pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI telah mencapai ketuntasan belajar klasikal. Untuk mengetahui apakah kemampuan berpikir kreatif siswa dengan pembelajaran TGT berpendekatan PMRI berbantuan permainan tradisional lebih baik dari kemampuan berpikir kreatif siswa dengan pembelajaran ekspositori, peneliti melakukan uji perbedaan rata-rata. Dalam hal ini digunakan uji t yaitu untuk menguji dua sampel yang datanya berdistribusi normal. Dari hasil perhitungan diperoleh thitung = 2,563 Nilai ttabel pada taraf signifikansi= 5% dan dk = 36 + 36 – 2 = 70 diperoleh nilai ttabel = 1,669. Karena thitung > ttabel maka rata-rata hasil belajar kelas eksperimen yang dikenai model pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI berbasis konservasi budaya berbantuan permainan tradisional lebih tinggi daripada rata-rata hasil belajar kelas kontrol yang dikenai pembelajaran ekspositori. Untuk mengetahui kategori tingkat berpikir kreatif, peneliti kembali menggunakan uji proporsi kembali untuk mengukur kategori tingkat berpikir kreatif siswa. Kategori tingkat berpikir kreatif, sesuai yang dikemukakan oleh Siswono (2007) yang membagi kategori berpikir kreatif menjadi 5 kategori, yaitu kategori tidak kreatif, kurang kreatif, cukup kreatif, kreatif, serta sangat kreatif. Peneliti mengajukan hipotesis bahwa kelas dengan kemampuan berpikir kreatif tinggi dapat dilihat jika lebih dari atau sama dengan 80% siswa dalam suatu kelas memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 80 dalam test kemampuan berpikir kreatif. Hasil analisis menunjukkan hasil uji proporsi diperoleh nilai zhitung = 2.037 Karena zhitung = 2,037 > ztabel = 1,64 maka siswa kelas eksperimen dengan model pembelajaran TGT
Hasil dan Pembahasan Analisis data hasil tes berpikir kreatif siswa dilakukan untuk menjawab hipotesis yang telah dikemukakan. Sebelum melakukan pengujian hipotesis, peneliti melakukan uji normalitas dan homogenitas untuk mengetahui populasi dalam keadaan berdistribusi normal dan homogen. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui kenormalan data dan untuk menentukan uji selanjutnya apakah memakai statistik parametrik atau non parametrik. Hasil Uji Normalitas Tahap Akhir dapat dilihat pada Tabel 1.
Dari hasil tersebut diperoleh bahwa kedua sampel berdistribusi normal. Setelah melakukan uji normalitas, peneliti juga melakukan uji homogenitas. Hasil uji homogenitas dapat dilihat pada Tabel 2. Selanjutnya peneliti melakukan uji proporsi untuk mengetahui ketuntasan siswa. 19
D W Febrian et al / Unnes Journal of Mathematics Education 2 (2) (2013)
dengan pendekatan PMRI berbasis konservasi budaya berbantuan permainan tradisional merupakan siswa dengan kriteria berpikir kreatif tingkat atas Berdasarkan hasil observasi aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung, diperoleh data yang dapat dilihat pada Tabel 3.
mengisi sebuah lembar pengamatan untuk mengetahui kualitas pembelajaran yang telah berlangsung selama tiga kali. Lembar pengamatan tersebut telah disusun sesuai dengan pengembangan indikator kualitas pembelajaran. Sesuai dengan yang dikemukakan Arifin (2011) bahwa dalam penilaian lembar pengamatan dilakukan dengan cara mengubah skor menjadi nilai dengan interval 0 – 100. Sesuai dengan perhitungan yang telah peneliti kemukakan pada bab sebelumnya maka diperoleh perhitungan hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase kualitas pembelajaran adalah sebesar 74,81%, yang artinya kualitas pembelajaran yang telah berlangsung selama tiga pertemuan di kelas eksperimen tergolong baik. Berdasarkan uji proporsi yang peneliti lakukan untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa dengan pembelajaran TGT berpendekatan PMRI berbasis konservasi budaya pada aspek berpikir kreatif, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa dalam aspek kemampuan berpikir kreatif siswa yang dikenai pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI mencapai ketuntasan secara individual maupun ketuntasan klasikal. Selanjutnya pengujian untuk mengetahui perbedaan ratarata yang telah dilakukan tentang penggunaan metode pembelajaran yang digunakan, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa pada kelas eksperimen yang dikenai pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI lebih dari kemampuan berpikir kreatif siswa pada kelas kontrol yang dikenai pembelajaran ekspositori. Untuk mengetahui kategori tingkat berpikir kreatif siswa juga dilakukan uji proporsi. Hasil uji proporsi menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas eksperimen pada aspek kemampuan berpikir kreatif dapat dikategorikan dalam tingkat atas, yaitu siswa yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 80 mencapai 80%. Hal itu menunjukkan bahwa model pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI baik untuk diterapkan dalam pembelajaran dengan aspek berpikir kreatif. Pada kelas eksperimen, dilakukan pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI berbasis konservasi budaya dengan berbantuan permainan tradisional yang dilakukan kedalam 3 tahapan, yaitu pendahuluan, inti, dan penutup. Sedangkan pada kelas eksperimen dilakukan pembelajaran ekspositori yang juga terdiri dari tiga tahapan yaitu pendahuluan, initi
Dari hasil pengamatan tampak bahwa persentase keaktifan siswa meningkat dari pertemuan satu ke pertemuan berikutnya, yang berarti bahwa siswa semakin aktif dalam mengikuti pembelajaran. Rata-rata persentase keaktifan siswa sebesar 72,23%, sehingga siswa kelas tersebut tergolong siswa yang aktif. Berdasarkan hasil observasi karakter siswa selama proses pembelajaran berlangsung, diperoleh data yang dapat silihat pada Tabel 4.
Dari hasil pengamatan tampak bahwa persentase karakter siswa meningkat dari pertemuan satu ke pertemuan berikutnya, yang berarti bahwa karakter siswa semakin baik. Rata-rata persentase karakter siswa sebesar 76,78%, sehingga karakter siswa kelas eksperimen tergolong baik. Berdasarkan hasil observasi kinerja guru selama proses pembelajaran berlangsung, diperoleh data yang dapat dilihat pada Tabel 5.
Dari hasil pengamatan tampak bahwa persentase kinerja guru meningkat dari pertemuan satu ke pertemuan berikutnya, yang berarti bahwa kinerja guru semakin membaik. Rata-rata persentase kinerja guru sebesar 80,67%, sehingga kinerja guru tergolong baik. Berdasarkan hasil pengamatan selama pembelajaran pada kelas eksperimen berlangsung, pada akhir pembelajaran observer 20
DW Febrian et al / Unnes Journal of Mathematics Education 2 (2) (2013)
dan penutup. Perbedaan dalam pembelajaran yang dilakukan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah tahapan kegiatan inti. Kegiatan pendahuluan meliputi guru menyiapkan kondisi fisik dan psikis siswa, menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, serta memberikan motivasi kepada siswa tentang manfaat mempelajari rumus luas permukaan dan volume kubus dan balok pada kehidupan sehari-hari (intertwining). Kegiatan inti dari pembelajaran diawali dengan siswa diminta untuk berkelompok secara heterogen (Team). Tiap kelompok terdiri dari empat orang siswa. Pembetukan kelompok ini meyakinkan siswa untuk bisa mengikuti pembelajaran yang akan dilaksanakan secara maksimal. Dalam pengelompokan ini siswa merasa bahwa pembelajaran yang akan mereka laksanakan akan dilaksanakan secara bersamasama itu lebih mudah, sehingga kecemasan siswa dapat berkurang. Siswa yang merasa memiliki kemampuan yang kurang merasa lebih tenang karena berada di situasi belajar yang heterogen dan memungkinkan untuk bertanya kepada teman sejawat satu kelompok yang memiliki kemampuan lebih baik. Di sisi lain, siswa yang memiliki kemampuan yang baik akan lebih mengembangkan kemampuannya dalam berbagi pengetahuan dengan teman sebayanya yang kemampuannya masih kurang. Dalam hal ini, teori Vygotsky tentang peranan zona perkembangan proksimal memiliki kontribusi dalam mengembangkan kemampuan siswa yang kemampuannya masih kurang melalui kegiatannya dalam kelompok dalam menyelesaikan masalah. Setelah tahapan pembentukan kelompok selesai dan siswa terkondisikan dengan baik, guru mempersiapkan alat peraga berupa permainan tradisional dakon. Desain , cara penggunaan serta cara pembuatan alat peraga tersebut dapat dilihat pada lampiran 45 halaman 202. Guru menjelaskan salah satu contoh penggunaan alat peraga tersebut dalam penyelesaian sebuah permasalahan dalam materi bilangan bulat (menggunakan konteks). Kemudian guru memberikan beberapa permasalahan dalam LTS yang harus diselesaikan kepada masing-masing kelompok serta memberi kebebasan untuk mengembangkan permainan menggunakan alat peraga tersebut dalam menyelesaikan masalah (game). Masing-masing kelompok menyelesaikan permasalahan yang diberikan oleh guru dengan pengembangan permainan
dengan bantuan alat peraga yang telah dipersiapkan (menggunakan model). Siswa berdiskusi dengan anggota kelompoknya untuk menyusun pengembangan permainan dakon dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan penyelesaian sesuai dengan ide mereka sendiri, guru hanya membimbing dan mendampingi siswa selama diskusi dan permainan berlangsung (kontribusi siswa). Setelah permainan dalam kelompok selesai, guru meminta masing-masing kelompok untuk menempel hasil dari pengembangan permainan mereka di papan tulis, kemudian masingmasing kelompok diminta untuk melihat hasil diskusi yang telah ditempel di papan tulis (format interaktif). Setelah pengamatan hasil permainan kelompok selesai, dilakukan sebuah kompetisi dengan beberapa buah permasalahan yang harus diselesaikan dengan tahapan seperti yang telah dilakukan siswa dengan menggunakan permainan alat peraga (tournament). Dalam pelaksanaan kompetisi ini, penilaian kelompok terbaik berdasarkan waktu pengerjaan dan hasil dari jawaban. Setelah didapatkan kelompok terbaik, guru beserta kelompok lain memberikan penghargaan kelompok kepada kelompok yang terbaik (penghargaan kelompok). Pada akhir kegiatan inti, guru memberikan pembenaran atau penguatan terhadap jawaban siswa. Kemudian guru memberikan lembar tugas untuk dikerjakan oleh siswa secara individu. Kegiatan penutup meliputi penarikan simpulan, pemberian tugas rumah, serta pemberian informasi tentang materi yang akan dipelajari pada pertemuan berikutnya. Pelaksanan kegiatan inti pada pertemuan kedua dan pertemuan ketiga sama seperti pada pertemuan pertama, perbedaan terletak pada materi yang diberikan. Pada pertemuan kedua siswa menyelesaikan masalah tentang operasi pengurangan bilangan bulat, sedangkan pada pertemuan ketiga diberikan materi operasi campuran pada bilangan bulat serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Pada pertemuan kedua dan ketiga juga masih menggunakan permainan tradisional dakon yang telah digunakan pada pertemuan pertama. Pada kelas kontrol pembelajaran berlangsung dengan menerapkan model pembelajaran yang biasa dipakai oleh guru, yaitu model pembelajaran ekspositori. Proses pembelajaran pada kelas kontrol juga terdiri dari tiga tahap kegiatan, yaitu kegiatan 21
D W Febrian et al / Unnes Journal of Mathematics Education 2 (2) (2013)
pendahuluan, inti dan penutup. Kegiatan pendahuluan meliputi guru menyiapkan kondisi fisik dan psikis siswa, menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, serta memberikan motivasi kepada siswa. Kegiatan inti meliputi guru memberikan penjelasan tentang pokok bahasan dan contoh soal serta cara penyelesaiannya dengan metode ceramah. Siswa mendengar dan membuat catatan-catatan penting dari penjelasan guru. Guru bersama siswa berlatih menyelesaikan soal latihan yang telah diberikan. Sedangkan kegiatan penutup meliputi penarikan simpulan, pemberian tugas rumah, serta pemberian informasi tentang materi yang akan dipelajari pada pertemuan berikutnya. Pada pembelajaran ekspositori, pada awalnya memang membuat siswa lebih tenang karena guru menjadi pusat pembelajaran dan mengendalikan siswa. Siswa memperhatikan penjelasan yang disampaikan oleh guru. Hal itu sesuai dengan definisi model pembelajaran ekspositori, yaitu model pengajaran ekspositori merupakan kegiatan mengajar yang terpusat pada guru (Dimyati, 2002). Tetapi hal itu hanya terjadi pada awal kegiatan pembelajaran. Selebihnya banyak siswa yang mengobrol sendiri dengan teman sebangku, bermain-main sendiri, serta sibuk dengan kegiatan masing-masing tanpa memperhatikan guru. Berdasarkan pembahasan hasil análisis tersebut peneliti menyimpulkan kemungkinan faktor-faktor yang menjadi penyebab perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa yang mendapat pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI dengan siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori sebagai berikut. Melalui pembelajaran yang telah dilaksanakan, pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI, pembelajaran lebih menarik dan menyenangkan karena siswa belajar matematika dari suatu permasalahan kontekstual dalam kehidupan sehingga siswa lebih bersemangat dan berminat dalam kegiatan pembelajaran. Siswa menjadi lebih aktif dalam menyampaikan pendapat serta menanggapi pendapat temannya. Jika dibandingkan pada pembelajaran secara ekspositori, guru hanya menerangkan dan membahas soal dengan metode satu arah dan satu sumber, sehingga cenderung membosankan dan menurunkan minat belajar siswa. Hal tersebut didukung dengan salah satu manfaat pendidikan matematika realistik menurut Asmin (2006) dalam (Tandiling, 2010), yaitu suasana dalam
proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan konteks masalah kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan belajar matematika. Pada pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI, guru memberi kesempatan pada siswa untuk belajar dalam bentuk kelompok. Siswa berdiskusi dan berinteraksi dengan anggota kelompok masing-masing untuk menemukan sebuah konsep sendiri dengan bantuan alat peraga, guru hanya sebagai fasilitator. Hal itu terjadi karena pembelajaran kooperatif atau cooperative learning merupakan pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas terstruktur (Kawuwung, 2011). Pada pembelajaran kooperatif, pembagian kelompok dilakukan secara merata. Artinya pada setiap kelompok terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan akademik yang tinggi hingga yang rendah sehingga siswa yang memiliki kemampuan tinggi dapat membantu siswa dengan kemampuan rendah. Hal itu sesuai dengan pendapat Suprijono (2011) Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar, berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman dan ketrampilan sosial. Selama proses pembelajaran pada kelas eksperimen berlangsung, guru juga melakukan pengamatan tentang aktivitas siswa, karakter siswa, kinerja guru, serta kualitas pembelajaran yang telah dilaksanakan guru. Berdasarkan hasil pengamatan pada pertemuan pertama pelaksanaan pembelajaran, masih terdapat siswa yang masih pasif. Namun, secara berangsur-angsur aktivitas siswa meningkat dari pertemuan satu ke pertemuan berikutnya. Siswa lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan karakter siswa diketahui bahwa pada awal pembelajaran karakter siswa cukup baik. Namun, hingga akhir pembelajaran karakter siswa meningkat menjadi sangat baik. Begitu pula untuk kinerja guru, pada awal pembelajaran guru belum memberikan motivasi kepada siswa sehingga kinerja guru pada awal pembelajaran tergolong cukup baik. Namun, pada pertemuan selanjutnya kinerja guru mengalami peningkatan menjadi baik. Sedangkan kualitas pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI dari awal pembelajaran hingga akhir pembelajaran berdasarkan hasil pengamatan tergolong baik. 22
DW Febrian et al / Unnes Journal of Mathematics Education 2 (2) (2013)
Dalam hasil pengamatan mengenai kualitas pembelajaran, observer yang dalam hal ini adalah guru mata pelajaran matematika telah melakukan pengamatan terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti. Pengamatan tersebut dengan memberikan nilai pada aspek-aspek pembelajaran yang telah memenuhi indikator penilaian kualitas pembelajaran. Penyusunan lembar pengamatan dapat dilihat pada lampiran 58 halaman 233. Daari hasil pengamatan tersebut diperoleh bahwa kualitas pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran dengan kualitas pembelajaran berkriteria baik yaitu dalam pembelajaran peneliti telah menyiapkan segala kebutuhan pembelajaran dengan baik, pelaksanaan pembelajaran berlangsung dengan baik, serta indikator-indikator kualitas pembelajaran telah tercapai. Berdasarkan uraian pembahasan yang telah peneliti paparkan, peneliti menyimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI membuat rata-rata nilai siswa kelas VII SMP 1 Karangawen pada aspek kemampuan berpikir kreatif pada materi balok menjadi lebih tinggi serta model pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI dapat digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran berpikir kreatif matematika khususnya pada materi pokok kubus dan balok. Meskipun demikian, kendala-kendala tetap dialami peneliti dalam pelaksanaannya. Kendala-kendala yang dialami peneliti dalam penerapan pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI berbantuan permainan tradisional pada kelas eksperiman adalah sebagai berikut. Penerapan model TGT memerlukan alokasi waktu yang cukup lama, karena proses pembelajaran TGT melalui proses pengelompokan (team), permainan (game), kompetisi (tournament) sehingga peneliti dituntut untuk lebih bisa membagi waktu kedalam tahapan-tahapan tersebut. Dalam tahap permainan (game), kompetisi (tournament) siswa dituntut untuk melakukan konstruksi pengetahuan siswa melalui permasalahan yang diberikan.Proses ini memerlukan langkahlangkah yang mengharuskan memberi waktu yang cukup bagi siswa untuk berpikir dan berdiskusi di kelompoknya. Pada pelaksanaan pembelajaran oleh peneliti, masalah yang diajukan kepada siswa untuk tiap pertemuan selama 80 menit sebanyak tiga buah. Siswa kadang meminta waktu yang lebih lama dari
waktu yang telah ditentukan peneliti dalam berdiskusi ataupun dalam menemukan solusi masalah yang diberikan. Karena itu, penerapan model ini harus diimbangi dengan manajemen waktu yang baik, sehingga selain tujuan pembelajaran pada pertemuan hari itu tercapai, siswa juga dapat mengembangkan kemampuan secara maksimal. Diskusi dan permainan yang terlaksana pada masing-masing kelompok kadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ada yang masih merasa menggantungkan diri pada rekan satu kelompoknya. Sehingga walaupun ada empat siswa dalam satu kelompok, siswa yang aktif dalam kegiatan pembelajaran hanya sebagian, terjadi karena siswa yang heterogen dalam satu kelompok yang seharusnya menjadi kesempatan belajar lebih baik bagi siswa yang kurang dapat memahami materi dengan maksimal, malah menjadi kesempatan bagi mereka untuk berlaku pasif. Hal tersebut mengharuskan peneliti untuk lebih sering melakukan bimbingan secara individu kepada anggota kelompok yang memiliki kelemahan seperti itu. Untuk kasus-kasus tertentu, strategi permainan dalam menyelesaikan masalah yang siswa ungkapkan tidak variatif atau hanya ada satu gagasan tunggal dalam satu kelas, hal ini menuntut peneliti perlunya menekankan kembali kepada siswa untuk mencari kemungkinan-kemungkinan strategi lain yang dapat digunakan pada masalah yang sama. Karena jika ide yang mereka ungkapkan hanya satu, maka aspek kebaruan dalam indikator berpikir kreatif tidak akan muncul. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian penerapan model pembelajaran Team Game Tournament (TGT) dengan pendekatan PMRI pada kemampuan berpikir kreatif siswa kelas VII SMP Negeri 1 Karangawen tahun pelajaran 2012/2013 diperoleh simpulan sebagai berikut, (1) Kemampuan berpikir kreatif siswa pada materi operasi bilangan bulat yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran TGT telah mencapai ketuntasan individual maupun klasikal, (2) Rata-rata kemampuan berpikir kreatif siswa pada materi operasi bilangan bulat yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI berbasis konservasi budaya dengan bantuan permainan tradisional lebih dari kemampuan berpikir kreatif siswa pada kelompok kontrol 23
D W Febrian et al / Unnes Journal of Mathematics Education 2 (2) (2013)
yang memperoleh pembelajaran ekspositori, (3) Kemampuan berpikir kreatif siswa pada materi operasi bilangan bulat yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran TGT dengan pendekatan PMRI berbasis konservasi budaya dengan bantuan permainan tradisional dapat dikategorikan dalam kemampuan berpikir kreatif tingkat atas, (4) Kualitas pembelajaran pada pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Team Game Tournament (TGT) dengan pendekatan PMRI berbasis konservasi budaya dengan bantuan permainan tradisional pada materi bilangan bulat dapat dikategorikan dalam kategori baik
Siswono, Tatag.Y.E. Desain Tugas untuk Mengidentifikasi kemampuan berpikir Kreatif Siswa dalam Matematika. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Siswono, Tatag.Y.E. Implementasi Teori tentang Tingkat kemampuan berpikir Kreatif dalam Matematika. Dipresentasikan dalam : Seminar Konferensi Nasional Matematika XIII dan Kongres Himpunan Matematika Indonesia di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang, 24-27 Juli 2006. Siswono, Tatag.Y.E. Konstruksi Teoritik tentang Tingkat kemampuan berpikir Kreatif dalam Matematika.Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Soeroso, A. dan Y. S. Susilo. 2009. Strategi Pelestarian Kebudayaan Lokal dalam Menghadapi Globalisasi. Jurnal Bappeda Yogyakarta. Vol 4. Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Suryanto, et al. 2010. Searah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. Yogyakarta: Tim PMRI Tandiling, E. 2010. Implementasi Realistic Mathematics Education (RME) di Sekolah. Pontianak: FKIP Universitas Tanjungpura. Uno, B. Hamzah. 2011. Model Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara Wijaya, A. 2009. Permainan (Tradisional) untuk Mengembangkan Interaksi Sosial, Norma Sosial dan Norma Sosiomatematik pada Pembelajaran Matematika dengan PendekatanMatematika Realistik, Dipresentasikan di Seminar Nasional Aljabar, Pengajaran dan Terapannya di Universitas Negeri Yogyakarta pada tanggal 31 Januari 2009. Wijaya, A. 2009. Manfaat Permainan Tradisional untuk PMRI. Dipresentasikan pada Seminar dan Workshop PMRI di Universitas Sanata Dharma. 28 April 2009. Zulkarnadi, N. 2009. Building Counting by Traditional Game A Mathematics Program for Young Children. Indo M.S J.M.E Vol.1 No. 1 Juli 2010, pp. 11-16.
Ucapan Terimakasih Peneliti menyadari bahwa dalam penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs. Arief Agoestanto, M.Si selaku ketua jurusan matematika yang telah membantu terbitnya artikel ini, Drs. Mahful, M.Pd., Kepala SMP N 1 Karangawen yang telah memberi izin penelitian. Kumaedi, S.Pd. yang telah memberikan bantuan, arahan, dan bimbingan kepada penulis selama proses penelitian. Daftar Pustaka Arifin, Z. 2011. Evaluasi Pembelajaran. Bandung : Remaja Rosdakarya Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta Kawuwung, F. 2011. Profil Guru, Pemahaman Kooperatif NHT, dan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Di Smp Kabupaten Minahasa Utara, Vol. 1. Munandar, U. 1999. Pengembangan Kreatifitas Anak. Jakarta : Kerjasama Pusat Perbukuan Depdiknas dan Rineka Cipta Siswono, Tatag.Y.E,et al. 2009. Dampak Pendidikan Matematika Realistik Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa SMP. Indo M.S J.M.E Vol.1 No. 1 Juli 2010 pp. 11-16.
24