Ardianto
PEMBELAJARAN SASTRA SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN DAYA NALAR SISWA Oleh: Ardianto∗ Abstrak ∗ Salah satu aspek yang dinilai kurang maksimal dalam proses pendidikan di sekolah dewasa ini adalah pembelajaran sastra. Padahal sejatinya, pembelajaran sastra dapat menjadi sarana pengembangan penalaran, kreativitas, kematangan pribadi, dan keterampilan sosial siswa. Untuk mewujudkan idealisme pembelajaran sastra itu diperlukan perubahan paradigma pembelajaran sastra, baik secara teoretis-konseptual, maupun segi teknis implementasinya, seperti metode, strategi, materi, langkah-langkah penyajian, media pembelajaran, evaluasi, dan lebih penting lagi tentang perumusan tujuan pengajaran. Keseluruhan komponen teknis tersebut haruslah didesain sedemikian rupa sehingga pembelajaran sastra yang sejatinya dapat menjadi sarana peningkatan daya nalar dan kreativitas siswa dapat diwujudkan. Kata Kunci: Pembelajaran Sastra, Daya Nalar Pendahuluan Masalah pembelajaran sastra di sekolah/madrasah dewasa ini banyak mendapat sorotan dari kalangan pakar, khususnya pakar di bidang sastra, termasuk kalangan sastrawan. Taufik Ismail1 misalnya, merasa prihatin dengan realitas sastra dan pengajarannya di sekolah. Diungkapkannya bahwa pelajaran sastra dan mengarang di sekolah-sekolah di Indonesia sangat ketinggalan. Memang, pada kenya-taannya hampir 50 tahun, siswa-siswa di Indonesia tidak diberikan pelajaran sastra, dan kalaupun diberikan, hal itu hanya terbatas pada pengetahuan sastranya saja, dan bukan pada apresiasinya. Akibatnya siswa kurang bahkan tidak berminat membaca karya-karya sastra. Pada hal dengan membaca karya sastra, siswa dapat menggali nilai-nilai sosial, kebudayaan, agama, dan nilai-nilai kemanu-siaan yang dapat mengantarkan siswa menuju kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) hidup. Selain itu dengan membaca karya sastra, siswa dapat mengembangkan daya nalarnya. Menurut Tarigan2, sastra merupakan salah satu sarana untuk merangsang serta menunjang perkembangan kognitif atau penalaran anak-anak. Hal ini juga diakui oleh Sumardjo3, di mana dinyatakan bahwa pembelajaran sastra (apresiasi) adalah salah satu sarana pengembangan intelektual siswa. ∗
Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Tarbiyah Prodi PAI STAIN Manado. Meraih gelar Magister Pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Manado dalam bidang Pendidikan Bahasa Indonesia. 1 Surat Kabar Harian Kompas, edisi 12 Februari 2002 2 H.G. Tarigan, Dasar-dasar Psikosastra (Bandung: Angkasa, 1995), h. 11 3 Jacob Sumardjo, Sastra dan Massa (Bandung: ITB, 1995), h. 31.
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 57
Ardianto Bahasa (sebagai medium sastra) berkorelasi positif dengan penalaran dan pikiran anak-anak. Tentang hubungan bahasa dan pikiran ini memang telah banyak diteliti oleh para pakar, salah satunya adalah yang dilakukan oleh Sapir dan Whorf, yang kemudian terkenal dengan hipotesis Sapir-Whorf, yaitu bahwa bahasa menentukan pikiran. Jelaslah bahwa perkembangan kognitif atau daya nalar siswa dapat ditumbuh-kembangkan melalui pembelajaran sastra. Persoalannya adalah model atau disain pembelajaran sastra yang bagaimana yang dapat mengantarkan siswa untuk mengembangkan daya nalarnya? Apakah pembelajaran sastra selama ini sudah merepresentasikan tujuan pengembangan daya nalar siswa yang dimaksud? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang hendaknya selalu direfleksikan oleh guru (bahasa dan sastra) atau pihak-pihak yang terkait dan concern dengan pendidikan (pengajaran) sastra. Pembelajaran Sastra Pembelajaran sastra pada umumnya akan berhadapan dengan dua kemungkinan yaitu pembelajaranteori sastra --termasuk sejarah sastra--, dan pembelajaranapresiasi sastra. Tampaknya kedua hal itu penting, hanya saja pada tingkat sekolah tekanannya harus pada apresiasi. Jika teoriteori termasuk pada kawasan kognitif, maka apresiasi menitikberatkan pada kawasan afektif (sesuai dengan taksonomi Bloom). Untuk menguraikan pembelajaran sastra, menurut Waluyo4, kita berhadapan dengan berbagai disiplin ilmu, yaitu di antaranya: 1) Sastra; 2) Ilmu Jiwa (Psikologi); 3) Metode Pembelajaran Sastra; 4) Tujuan dan Evaluasi; dan 5) Aspek Kurikulum. Selain itu, disiplin ilmu yang juga relevan dalam menangani masalah-masalah pembelajaran sastra yaitu kebudayaan, ilmu-ilmu sosial, filsafat, semiotika, dan linguistik. Disiplin-disiplin ilmu tersebut harus menjadi pertimbangan dalam mendisain pembelajaran sastra. Seorang guru (sastra), dengan demikian harus menguasai disiplin-disiplin ilmu yang relevan dengan masalah pembelajaran sastra. Sebagai misal, guru harus mengetahui psikologi terutama yang berkaitan dengan karakteristik perkembangan usia anak, teori belajar, teori kepribadian, psikologi sosial, maupun psikoanalisis dari Sigmund Freud. Tujuannya agar dalam merumuskan dan memilih materi tepat dengan kebutuhan perkembangan anak. Selain permasalahan disiplin ilmu yang terkait dengan pembelajaran sastra, masalah tujuan dan bahan pembelajaran sastra, dan metode pembelajaranjuga menjadi bagian penting dalam pembelajaran sastra. Dalam pembelajaran apa pun, tujuan harus diketahui secara jelas dan operasional, sebab bagaimana mencapai tujuan jika tidak diketahui secara jelas dan terperinci. Menurut Pinontoan5, tujuan akan merupakan isi dan strategi pengajaran, serta bentuk evaluasi yang akan dijalankan. Lebih lanjut dikatakan, jika tujuan pembelajaran tidak jelas atau tidak terarah, maka besar kemungkinan pelaksanaan pembelajaran juga akan tidak jelas atau tidak terarah. Demikian pula metode mengajar, menjadi penentu keberhasilan pembelajaran sastra. Kegagalan pembelajaran sastra di sekolah selama ini salah satunya disebabkan oleh metode yang digunakan. Misalnya, guru lebih banyak berorientasi pada metode klasik yang justru tidak meransang minat dan memacu kreativitas siswa dalam bernalar. Masalah tujuan dan bahan pengajaran, metode pembelajaran sastra akan dibahas secara khusus berikut ini. 4
Herman J. Waluyo 2002, Drama, Teori, dan Pengajarannya (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2002), h.153. 5 Aaltje Tallei-Pinontoan, (Peny.), Antologi Pengajaran Sastra (Manado: Program Pascasarjana UNIVERSITAS NEGERI MANADO), h. 1.
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 58
Ardianto
1. Tujuan dan Bahan Pembelajaran Sastra Rusyana6 membedakan tujuan pembelajaran sastra yakni tujuan pembelajaran sastra untuk kepentingan ilmu sastra dan tujuan pembelajaran sastra untuk kepentingan pendidikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa untuk kepentingan ilmu pengetahuan (ilmu sastra), tujuan pembelajaran sastra lebih diorientasikan pada pengetahuan tentang teori sastra, sejarah sastra, sosiologi sastra dan kritik sastra. Sedangkan untuk kepentingan pendidikan, tujuan pembelajaran sastra merupakan bagian dari tujuan pendidikan pada umumnya yakni mengantarkan anak didik untuk memahami dunia fisik dan dunia sosialnya, dan untuk memahami dan mengapresiasi nilai-nilai dalam hubungannya dengan kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan7. Jadi, dalam perspektif pendidikan, tujuan pembelajaran sastra lebih diarahkan pada kemampuan siswa mengapresiasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sastra. Menurut Nurgiyantoro8, tujuan pembelajaran sastra secara umum ditekankan, atau demi terwujudnya, kemampuan siswa untuk mengapresiasi sastra secara memadai. Sedangkan, Semi9 secara khusus menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran sastra di sekolah menengah (SMA/MA/SMK) adalah untuk mencapai kemampuan apresiasi kreatif. Karya sastra adalah miniatur kehidupan yang digali dalam spektrum kebudayaan yang mengakar dari suatu komunitas masyarakat. Karya-karya sastra dengan demikian mengandung nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan. Persoalannya bagaimana merumuskan tujuan pembelajaran sastra secara lebih operasional sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra dapat diapresiasi oleh siswa secara kreatif. Untuk itu dibutuhkan rumusan tujuan pembelajaran sastra yang lebih terbuka, yang lebih memungkinkan siswa menggunakan daya nalarnya secara bebas. Kejelasan rumusan tujuan pembe-lajaran sastra dengan demikian sangat penting, karena tujuan yang dirumuskan itu akan dijadikan pedoman bagi pemilihan bahan yang sesuai. Pemilihan bahan pembelajaran harus, termasuk bahan yang akan diteskan, harus menopang tercapainya tujuan pembelajaran secara maksimal, yaitu membimbing dan meningkatkan kemampuan mengapresiasi sastra siswa. Untuk merumuskan tujuan pem-belajaran sastra sebagaimana disebutkan di atas, kita berhadapan dengan berbagai tokoh pembelajaran yang telah memberikan macam-macam tujuan pembelajaran yang berbeda-beda. Salah satu tokoh yang sangat populer yaitu Benjamin S. Bloom. Bloom memberikan sebuah konsep rumusan tujuan pembelajaran secara lebih rinci dan contoh nyata kerja operasional yang berguna untuk menyusun tujuan (objective) pembelajaran sastra dalam tiga domain, yaitu: domain kognitif, afektif dan psikomotor. Ketiga domain tujuan mengajar menurut Bloom10 adalah sebagai berikut : a. Domain kognitif, yang meliputi aspek: 1) Pengetahuan; 2) Pemahaman; 3) penerapan; 4) Analisis; 5) sintesis; dan 6) evaluasi. 6
Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan (Bandung: CV. Diponegoro, 1984), h. 313. 7 ibid. 8 Burhan Nurgiyantoro, Penilaian dalam PembelajaranBahasa dan Sastra. (Yogyakarta: BPFE, 2001), h. 321. 9 M. Atar Semi, Rancangan PembelajaranBahasa dan Sastra Indonesia. (Bandung: Angkasa, 1993) h.153. 10 Nurgiyantoro, op. cit., h. 325
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 59
Ardianto b.
Domain Afektif, yang meliputi aspek: 1) menerima; 2) Responding (menjawab, mereaksi); 3) menaruh penghargaan (valuing); 4) mengorganisasikan sistem nilai; dan 5) mengadakan karakterisasi nilai. c. Domain Psikomotorik, yang meliputi aspek: 1) persepsi (stimulasi, menyentuh bentuk sesuatu, merasakan sesuatu, membau dan memegang, dan mendiskriminasi tanda-tanda); 2) Kesiapan (kesiapan mental, kesiapan, fisik, dan kesiapan emosional dalam merespons); 3) respons terpimpin (imitasi, trial and error, mengikuti, mengadakan eksperimen); 4) mekanisme (memilih, merencanakan, melatih, dan merangkaikan); dan 5) respons yang kompleks (adaptasi, penggunaan skill untuk profesi, dan melaporkan atau menjelaskan). Tujuan pembelajaran sastra lainnya H.L.B. Moody dalam bukunya The Teaching of Literature (1971). Tujuan pembelajaran sastra dikemukakan oleh Moody tampaknya merupakan rumusan tujuan yang “khas sastra”. Apa yang dikemukakan oleh Moody di sini hanya meliputi kawasan afektif dan kognitif. a. Informasi. Yang dimaksud di sini agar siswa mengenal informasi yang memadai tentang apa itu sastra (prosa, puisi, dan atau drama), unsur apa yang membangun, siapa pengarang, kapan dikarang, termasuk pengarang angkatan mana, dan sebagainya. Dengan kata lain, apa yang disampaikan lewat pembelajaran sastra di sini adalah hal-hal yang bersifat hapalan. b. Konsep. Yang dimaksud konsep di sini adalah pengertian-pengertian pokok tentang suatu hal. Terminologi dari setiap aspek dikenal oleh siswa. Dalam hal konsep tidak hanya berarti tahu akan konsep, tetapi juga dapat menerapkan konsep tertentu dalam suatu pembahasan karya sastra. Sebagai contoh, konsep-konsep tentang aliran drama, macam drama, apa yang disebut komedi, tragedi, dan tragikomedi, dan sebagainya. Dalam konsep tentang drama, siswa juga harus tahu bagaimana sebuah drama dibangun. Jika dinyatakan termasuk zaman manakah drama itu ditulis, maka siswa menjawab bukan karena menghapalkan (informasi), tetapi karena memahami konsep yang ada di balik pengertian-pengertian itu. c. Perspektif. Misalnya, bagaimana siswa memandang sebuah karya sastra menurut perspektif pikirannya sendiri. Bagaimana sikap siswa sekiranya dia menjadi pengarang? Dalam drama Macbeth, misalnya, bagaimanakah sekiranya siswa mempunyai isteri yang selalu memompakan nafsu serakah kepada suami? Bagaimanakah jika pembunuhan demi pembunuhan harus dilakukan demi memenuhi kehendak istrinya? Jadi, aspek perspektif ini sudah jauh ke arah daya apresiasi siswa. Di dalamnya terdapat evaluasi (kognitif) dan unsur penghargaan yang termasuk aspek apresiasi. d. Apresiasi. Pengertian apresiasi di sini, sama dengan yang dinyatakan Bloom, termasuk kawasan afektif, jika diberi pengertian secara sederhana maka perkataan ini berarti: pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan penghargaan kepada karya sastra. 2. Metode Pembelajaran Sastra Dalam berhadapan dengan istilah “metode” perlu diperhatikan pendapat Edward M. Anthony, yang membedakan pendekatan, metode, dan teknik dalam proses belajar mengajar. Pendekatan adalah landasan untuk menyusun metode. Di dalamnya berisi seperangkat teori dan asumsi tentang sesuatu yang sudah tidak dapat diubah lagi. Pendekatan dikatakan bersifat aksiomatik, karena berisi aksioma, atau dalil yang harus diikuti. Metode berisi prosedur-prosedur tentang bagaimana suatu mata pelajaran yang diajarkan. Metode dijabarkan ke dalam teknik mengajar, yaitu langkah-langkah yang benar-benar dilakukan oleh guru di kelas. Atau mengacu pada pendapat
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 60
Ardianto Mackey11, metode adalah keseluruhan peristiwa mengajar dan belajar yang meliputi hal-hal, yakni: a) Seleksi; b) Grasi; c) Presentasi; d) Repetisi; dan 5) Evaluasi Belajar. a. Seleksi Seleksi materi ditentukan oleh tujuan pengajaran, untuk melatih keterampilan mana, konsep, informasi, perspektif, apresiasi. Hal ini memerlukan seleksi materi, dalam hal jenis, panjang, mutu, dan tingkat kesulitan. Secara umum, pemilihan (selection) materi, harus mempertimbangkan aspek bahasa (language), tingkat perkembangan psikologi (psychology) anak, dan latar belakang (background) sosial budaya siswa yang bersangkutan12. Ketiga aspek ini harus dipertimbangkan dalam menentukan bahan pembelajaran sastra. b. Gradasi (Urutan Pentahapan) Prinsip penting dalam pembelajaran sastra sebagaimana dikemukakan Moody adalah masalah pentahapan. Bahan yang disajikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswa pada suatu tahapan pembelajarantertentu. Urutan pentahapan harus direncankan. Biasanya dari yang mudah ke yang sulit, dari yang sederhana ke yang rumit (kompleks atau sophisticated), dari yang umum ke yang khusus. c. Presentasi (Teknik Penyampaian) Presentasi adalah unsur yang turut menentukan keberhasilan pembelajaran sastra. Teknik penyampaian bahan (materi) dapat berupa hal-hal sebagai berikut: mendiskusikan materi (teks sastra), baik berupa prosa (novel, cerpen), puisi, atau drama. Dari diskusi itu akan dihasilkan kesimpulan tentang struktur, seperti: tema, plot, setting, tokoh, perwatakan, point of view, dan sebagainya. Kalau bahan itu berupa drama (naskah) guru dapat memberi tugas menyiapkan adegan pendek kurang lebih lima menit, kemudian secara bergiliran mementaskannnya di depan kelas. Kegiatan ini dapat dilanjutkan dengan kegiatan pementasan sebuah lakon, yang dapat dilakukan tiga bulan sekali, dalam waktu yang tersendiri. Dapat pula siswa diberi tugas menonton pertunjukan drama kemudian dibahas bersama. Dapat juga mendiskusikan pementasan drama di TV, di mana semua siswa diberi tugas untuk menonton. Dalam presentasi, guru juga dapat memberikan penjelasan, ceramah, tetapi lebih banyak memberikan tugas kepada siswa untuk membaca puisi atau prosa, berdiskusi, menulis, mendengarkan dan menonton pementasan drama. Tergantung dari bahan yang dipilih apakah prosa, puisi, atau drama. d. Repetisi Materi yang sudah diberikan harus diulangi dalam bentuk ulasan guru atau tanya jawab, dapat pula berwujud resensi terhadap karya sastra yang sudah dibaca, dilihat (drama), atau ditulis. Dalam hal repetisi atau pengulangan ini guru harus secara sistematis membuat rencana untuk seluruh siswa, baik yang berminat maupun yang tidak, agar semuanya dapat menguasai materi dalam tahap penguasaan yang tidak terlalu jauh bedanya. 11 12
Waluyo, op. cit., h.171. H.L.B. Moody, The Teaching of Literature (London: Longman, 1971), h. 15.
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 61
Ardianto Jadi, dalam pengulangan, guru dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan bahan yang telah diajarkan. Pengulangan bertujuan untuk mengukuhkan pemahaman siswa terhadap materi-materi yang ada. e. Evaluasi Pembelajaran Untuk evaluasi pembelajaran sastra pada umumnya dapat mengacu pada pendapat Moody, yang menyatakan bahwa evaluasi pembelajaranharus meliputi pertanyaan-pertanyaan tentang: Informasi, Konsep, Perspektif, dan Apresiasi. Tes informasi merupakan tingkat tes yang paling rendah, oleh karena itu butir soal dapat lebih banyak. Misalnya dinyatakan siapa tokoh, latar atau tempat kejadian di mana, siapa pengarangnya, dan sebagainya. Tes konsep tingkatannya lebih tinggi, karena siswa harus telah memahami penarapan dan pemahaman terhadap sesuatu. Misalnya, siapa pelaku utama, di mana terletak klimaks cerita, siapa tokoh antagonis, watak tokohnya, dan sebagainya. Pertanyaan yang menyangkut tes perspektif lebih mendalam lagi, misalnya latar belakang penciptaan sebuah karya, aliran filsafat, bagaimana hubungan dengan kejadian sosial yang sesungguhnya. Sedangkan, tes apresiasi merupakan tes yang paling tinggi tingkatannya, yaitu sudah menyangkut penghayatan secara mendalam terhadap sebuah karya. Tes ini biasanya berupa tes esai, dan disarankan agar waktunya tidak disamakan dengan tes lainnya. Pengembangan Daya Nalar Siswa Pembinaan kecakapan berfikir atau daya nalar selama ini sering dianggap hanya dapat dilakukan dalam bidang-bidang tertentu seperti matematika atau fisika. Singkatnya, pengembangan daya nalar dianggap bukan bagian garapan pembelajaran sastra. Pendapat seperti ini tentulah sangat keliru, sebab pengembangan daya nalar termasuk di antaranya adalah proses interpretasi, yang adalah bagian dari aktivitas pembelajaran sastra. Jadi, walaupun benar bahwa pelajaran matematika itu menuntut proses berfikir tepat, logis serta terkendali, tapi hendaknya juga disadari bahwa bukan matematika saja yang menuntut proses berpikir demikian. Dewasa ini baik di negara berkembang maupun di negara maju banyak diterapkan metodemetode logis dan rasional untuk memecahkan masalah-masalah di luar jangkauan matematika. Menurut Moody (1971), proses berfikir logis --yang adalah bagian dari penalaran-- banyak ditentukan oleh hal-hal seperti ketepatan pengertian, ketepatan interpretasi kebahasaan, klasifikasi dan pengelompokan data. Dijelaskannya, bahwa pembelajaran sastra akan sangat membantu para siswa melakukan latihan dalam memecahkan masalah-masalah berfikir logis itu, karena pembelajaran sastra juga meliputi kecakapan-kecakapan pilihan seperti dugaan, kebiasaan, tradisi, dorongan, dan sebagainya. Tentu saja, siswa di sekolah menengah (SMA/MA/SMK) tidak dapat langsung diharapkan mempertanggung-jawabkan pemecahan masalah yang meliputi seluruh proses pemikiran sebagaimana disebutkan oleh Moody. Akan tetapi, sejak awal para guru sastra hendaknya melatih mereka memahami fakta-fakta, membedakan mana yang pasti dan mana yang dugaan, memberikan bukti tentang suatu pendapat, serta mengenal metode argumentasi yang betul dan yang sesat dan sebagainya. Piaget menyatakan, bahwa remaja tingkat SMA/MA/SMK yang berusia sekitar 16-19 tahun, berada dalam tingkat perkembangan yang disebut tahap operasi formal, suatu tahap perkembangan kognitif (daya nalar) di mana struktur kognitif anak mencapai tingkat perkembangan paling besar dan anak menjadi cakap untuk mengaplikasikan logikanya pada semua persoalan. Dan perkembangan
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 62
Ardianto kognitif ini akan mencapai tingkat yang sempurna, bila ditunjang oleh semua perkembangan kognitif lain, seperti kematangan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), interaksi sosial, dan kemajuan secara menyeluruh dan berimbang. Perkembangan kognitif ini akan menjadi landasan perkembangan kognitif yang lebih meningkat, yang oleh Cowan disebut kreativitas, psikedelia (psychedelia), dan iluminasi (illumination). Namun, perkembangan kognitif pada tingkat seperti ini belum terjadi pada anak usia sekolah menengah. Ditinjau dari segi Ilmu Jiwa Perkembangan, maka anak usia SMA/MA/ SMK sedang mengalami masa pubertas atau adolesen, di mana diperlukan aktivitas yang positif yang dapat menyalurkan derai badai dan topan jiwa dan perkembangan kognitif anak. Di sinilah letak relevansi dan signifikansi pembahasan tentang pengembangan daya nalar dalam pembelajaran sastra. Sistem pembelajaran sastra yang dikembangkan harus menyediakan kesempatan-kesempatan bagi siswa untuk menjelajahi masalah, berekspresi dan mengungkapkan pendapat dengan bebas agar daya nalar dapat berkembang secara normal. Dalam konteks pengajaran, fungsi utama sastra bagi anak-anak adalah bahwa sastra memberi kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan. Namun lebih jauh lagi, menurut Tarigan13, anak-anak (siswa) dapat memperoleh berbagai manfaat dan nilai baik nilai intrinsik maupun nilai ekstrinsik dari pergaulannya dengan sastra. Nilai intrinsik yang dapat diperoleh, yaitu sastra dapat: 1) memberikan kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan; 2) memupuk dan mengembangkan imajinasi; 3) memberi pengalaman-pengalaman baru; 4) mengembangkan wawasan menjadi perilaku insani; 5) memperkenalkan kesemestaan pengalaman; dan 6) memberi harta warisan sastra dari generasi terdahulu. Sedangkan nilai ekstrinsik, yaitu sastra dapat berpengaruh terhadap: 1) perkembangan bahasa; 2) perkembangan kognitif; 3) perkembangan kepribadian; dan 4) perkembangan sosial14. Jacob Sumardjo, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, juga secara khusus menyatakan bahwa sastra dapat menjadi sarana pembinaan intelektual. Hal ini sangat beralasan, karena sastra merupakan sebuah karya intelektual yang imajinatif dan estetik. Sebagai sebuah karya intelektualimajinatif-estetik, memahami karya sastra dengan demikian membutuhkan kerja intelektual, proses penalaran atau pemikiran. Pada konteks inilah pembicaraan tentang pembelajaran sastra dan pengembangan daya nalar siswa menjadi sangat relevan. Artinya, pengembangan daya nalar siswa dapat dilakukan melalui sarana pembelajaran sastra. Pengembangan daya nalar hubungannya dengan pembelajaran sastra dapat dilakukan antara lain dengan proses membandingkan, mengklasifikasikan, meng-hipotesiskan, mengorganisasikan, merangkum, menerapkan, dan mengkritik. Sebagaimana diketahui bahwa dalam pergaulan sastra secara ilmiah, orang akan selalu berhubungan dengan tiga proses yang utama, yaitu: understanding, interpretation, dan criticism15. Dalam ketiga lingkaran proses pergumulan terhadap sastra ini mutlak dibutuhkan proses penalaran.
13
H.G. Tarigan, Dasar- dasar Psikosastra (Bandung: Angkasa, 1995), h. 6 Penjelasan lebih rinci tentang nilai intrinsic dan extrinsic sastra bagi anak-anak dapat dilihat dalam ibid., h. 6-12. 15 Hirsch Jr, E.D. 1979. Validity in Interpretation (New Haven dan London: Yale University Press, 1979), h. 127. 14
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 63
Ardianto Dapat dikatakan bahwa pengalaman-pengalaman sastra merupakan salah satu sarana untuk merangsang serta menunjang perkembangan kognitif atau penalaran anak-anak. Atau menurut Tarigan, bahasa berhubungan erat dengan penalaran dan pikiran anak-anak. Dikatakannya, bahwa kian terampil anak-anak berbahasa kian sistematis pula cara mereka berpikir. Itulah sebabnya, rancangan pembelajaranbahasa (sastra) harus berfokus dan diorientasikan sebagai sarana pengembangan penalaran. Nalar dan bahasa (sastra) merupakan dua hal yang tak mungkin dipisahkan. Penalaran tak mungkin tanpa menggunakan bahasa, sebaliknya bahasa muncul (digunakan) dalam bentuk-bentuk yang sangat logis atau sesuai dengan nalar. Oleh karena itu, sangatlah penting segi penalaran ditanamkan dalam pembelajaran bahasa dan sastra. Penekanan pada penalaran harus ditampakkan secara jelas dalam caracara penyajian yang sangat terarah dan terfokus, melalui suatu lingkaran proses bergaul dengan sastra yaitu penikmatan (apresiasi) terhadap karya sastra. Siswa diajak berdiskusi mengenai berbagai aspek karya sastra, dari unsur-unsur intrinsik sampai unsur-unsur ekstrinsik karya sastra. Kaitannya dengan penikmatan atau apresiasi sastra siswa dilibatkan dalam berbagai proses, antara lain: 1) persepsi, 2) ingatan, 3) pertimbangan, 4) refleksi, dan 5) wawasan. Kelima proses ini merupakan aktivitas penalaran. Di sinilah relevansi pembelajaran sastra hubungannya dengan pengembangan daya nalar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masalah pengembangan daya nalar merupakan salah satu tujuan pembelajaran sastra di sekolah. Dan, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan beberapa usaha berupa perubahan paradigma pembelajaran sastra, baik secara teoritis-konseptual, maupun dari segi teknis implementasinya di lapangan (kelas) seperti: metode, strategi, materi, langkah-langkah penyajian, kegiatan guru dan siswa, media pembelajaran, evaluasi, dan lebih penting lagi tentang perumusan tujuan pengajaran. Realitas Pembelajaran Sastra di Sekolah Pembelajaran sastra di sekolah selama ini, termasuk di SMA/MA/SMK, tampaknya memang masih sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya minat baca dan lemahnya kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Lemahnya pembelajaran sastra di sekolah sebagaimana juga dikeluhkan kalangan sastrawan dapat dilacak dari beberapa segi. Pertama, komitmen pemerintah terlihat kurang serius. Seperti terlihat pada kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia, porsi pembelajaran sastra sangat minim dibanding pembelajaranbahasa. Secara terminologis, penamaan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia --bukan sebaliknya, Sastra dan Bahasa Indonesia-- cukup menjelaskan hal di atas. Bisa jadi hal itu memang sekadar istilah, tetapi sesungguhnya membawa implikasi luas bagi pembelajaran sastra. Lebih-lebih di sekolah menengah kejuruan (SMK), sastra telah lama menjadi anak tiri. Ibarat orang memanjat batang pohon, sastra merupakan dahan yang patah. Kedua, secara teknis guru-guru bahasa umumnya, tidak otomatis, juga mampu menjadi guru sastra. Bila pembelajaran sastra memerlukan bakat, maka sedikit saja yang memenuhi kualifikasi guru sastra. Akibatnya, pembelajaranapresiasi sastra, akan cenderung bersifat teknis-teoritis, dan dengan demikian menjadi kegiatan menghafal. Misalnya, sebuah novel itu bertema A, berplot B, berlatar C dan seterusnya. Lebih ironis lagi, novel yang sering dibicarakan itu belum pernah dibaca, karena memang tidak tersedia di perpustakaan, sehingga kebenaran dalam menafsirkan karya sastra bersifat tunggal. Guru hanya sekadar menyampaikan keterangan dari “buku pegangan”, sedangkan siswa sekadar
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 64
Ardianto menerima informasi, tanpa reserve. Singkatnya, kegiatan apresiasi sastra tereduksi oleh kepentingan praktis belaka, yaitu demi dan untuk menjawab soal ujian-ujian akhir. Ketiga, ada kesenjangan antara karya sastra dan daya pemahaman siswa, bahkan juga guru nonsastrawan. Karya-karya puisi-- seperti ciptaan Danarto, Budi Darma, Sutardji C. Bachri termasuk jenis karya sastra yang sulit dipahami. Karya-karya mereka ibarat menara gading, tampak indah di kejauhan, tetapi sulit didekati. Kalau kegiatan apresiasi sastra menuntut pemahaman siswa dan guru, sementara sastrawan tetap menjaga jarak, baik terhadap karyanya maupun masyarakat pembacanya, maka hal menjadi fakta dari arogansi sastrawan. Keempat, implikasi lebih jauh dari kondisi di atas, siswa cenderung mejauhi karya-karya sastra, apalagi terhadap karya sastra yang dianggap “aneh’. Tak heran bila siswa lebih menyukai sastra popular, meminjam istilah Jakob Sumardjo (1984)-- seperti karya Mira W, Ashadi Siregar, bahkan karya Fredy S., misalnya. Akibat dari kondisi pembelajaran sastra sebagaimana diuraikan di atas, mengakibatkan siswa kurang terlibat dalam proses berpikir (bernalar) secara bebas. Artinya, siswa tidak dilibatkan secara aktif dalam menggunakan daya nalarnya. Sedangkan, pembelajaran sastra pada dasarnya harus lebih melibatkan siswa secara aktif dalam proses-proses berpikir logis. Langkah yang dapat ditempuh, agar siswa dapat secara terbuka terlibat dalam proses pembelajaran, yang memungkinkan daya nalar mereka berkembang melalui sarana sastra adalah melalui penerapan suatu strategi pembelajarandengan prosedur-prosedur yang sistematis dan konsisten. Alternatif Pemecahan Masalah Pembelajaran Sastra Berangkat dari permasalahan pem-belajaran sastra di SMA/SMK dan teori-teori yang telah diuraikan, maka upaya perbaikan nasib pembelajaran sastra setidaknya memerlukan beberapa strategi. Pertama, sastrawan harus mendekati massa pembacanya. Tujuannya, untuk membuka diri agar proses kreatif sastrawan dapat ditangkap oleh apresian. Pada kata pengantar yang ditulis oleh Pamusuk Eneste (1983) ia memberi contoh menarik betapa sulit menafsir sebuah puisi. Puisi Sitor Situmorang yang terdiri dari judul dan sebaris kalimat //Malam Lebaran/Bulan di atas Kuburan// ternyata mampu mengacuh para sastrawan sekaliber Subagio Sastrowardojo. Bila kita setuju dengan E.D. Girsch Jr. (1979), yang menyebutkan, bahwa penafsiran yang paling tepat tidak dapat bersumber dari orang lain, kecuali kehendak (intention) pengarang itu sendiri, maka terasa adil keharusan itu dilakukan oleh sastrawan. Oleh karena itu acara safari yang bertajuk “Sastrawan Bicara Siswa Bertanya”16 perlu diperluas medan garapannya. Ini merupkan prasyarat agar siswa dapat menikmati sastra dengan membaca karya-karya sastra, dan bukan menghafal sinopsis, sebagaimana realitas sekarang ini di SMA. Kedua, kalaupun pemerintah tak hendak mengubah komitmen dengan menyeimbangkan proporsi kurikulum bahasa dan sastra, guru dapat mengubah tekanan dan orientasi pengajarannya. Bila pembelajaran sastra bertujuan mengasah daya estetik dan daya nalar siswa, maka guru cukup berperan sebagai “penjaga gerbang bahasa” (control language), dengan strategi sebagai berikut: 1) berikan kebebasan pada siswa untuk menangkap, memahami, dan mengekspresikan nilai keindahan di sekitarnya dalam bentuk karangan; 2) guru menyediakan “jalan masuk” bagi siswa guna menangkap keindahan itu, sambil membetulkan kesalahan-kesalahan bahasa yang dilakukan siswa. 16
Surat Kabar Harian Kompas, Edisi 3 April 2002.
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 65
Ardianto Ketiga, perlu perubahan paradigma pembelajaran sastra di sekolah, yaitu pembelajaran sastra yang mencerdaskan, yang membuka peluang baik pengembangan kreativitas penalaran siswa. Misalnya, penerapan multitafsir terhadap karya sastra, bukan monotafsir. Sebab dengan menerapkan multitafsir maka kreativitas berpikir siswa dalam mengapresiasi sastra akan semakin berkembang. Keempat, dalam bentuknya yang lebih konkret perlu perbaikan strategi belajar mengajar sastra, mulai dari pemilihan materi, cara pentahapan, cara penyajian, dan cara pengulangan bahan pengajaran. Tentang hal ini akan dibahas tersendiri melalui sebuah contoh penerapan pemecahan masalah pembelajaran sastra dalam rangka pengembangan daya nalar melalui suatu strategi belajar mengajar. Penutup Pembelajaran sastra dapat menjadi sarana pengembangan daya nalar siswa. Dalam rangka menumbuhkembangkan daya nalar dan kreativitas berpikir siswa, penekanan pembelajaran sastra di sekolah harus dapat menumbuhkan, melatih, dan meningkatkan kemampuan apresiasi keratif secara langsung, dalam arti langsung memperlakukan karya sastra. Karenanya, pembelajaranyang bersifat tak langsung, umumnya bersifat teoritis dan historis, hanya merupakan alat bantu untuk menunjang kemampuan apresiasi kreatif secara langsung. Pemilihan bahan (materi) dan pemberian tugas hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan kejiwaan dan kognitif siswa. Sedangkan penilaian hasil belajar kesastraan hendaknya tak hanya mencakup ranah kognitif saja, melainkan juga afektif dan psikomotoris. Atau dalam evaluasi, tes harus mencakup aspek informasi, konsep, perspektif, dan apresiasi, sebagaimana dikemukakan Moody. Dalam pembelajaran sastra, guru hendaknya sudah merencanakan persiapan dengan matang bahan atau materi serta prosedur-prosedur apa yang akan ditempuh dalam pengajaran. Dan, dalam pengajaran, pendekatan yang digunakan haruslah pendekatan apresiasi, yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan belajar siswa. Daftar Pustaka Eneste, Pamusuk. 1987. H.B. Jassin: Paus Sastra Indonesia. Jakarta: Djambatan. Hirsch Jr, E.D. 1979. Validity in Interpretation. New Haven dan London: Yale University Press. Moody, H.L.B. 1971. The Teaching of Literature. London: Longman Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam PembelajaranBahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE Pinontoan, Aaltje Tallei (Penyunting). 2002. Antologi Pembelajaran sastra. Bahan Perkuliahan pada Mata Kuliah Pembelajaran sastra PPs S-2 UNIMA. Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV. Diponegoro Semi, M. Atar. 1993. Rancangan PembelajaranBahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. Sumardjo, Jakob. 1995. Sastra dan Massa. Bandung: ITB Tarigan, H.G. 1995. Dasar- dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa.
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 66
Ardianto Waluyo, Heman J. 2002. Drama, Teori, dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 67