PEMBELAJARAN MENEMUKAN NILAI-NILAI CERITA PENDEK DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING LEARNING (C T L) PURBA ABIMANYU (10210096) Email :
[email protected]
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) SILIWANGI BANDUNG ABSTRAK Menemukan nilai nilai merupakan salah satu keterampilan bidang apresiasi sastra. Melalui pembelajaran keterampilan tersebut diharapkan dapat terbentuk kepribadian siswa. Kandungan ajaran moral akan dapat mengajarkan pembaca bagaimana bertingkah laku yang baik guna membentuk kepribadian yang berakhlak. Akan tetapi kenyataan dilapangan menunjukkan pembelajaran menemukan nilai - nilai pada cerpen merupakan salah satu genre sastra yang kurang diminati siswa Berdasarkan observasi dalam proses pembelajaran di SMA PASUNDAN 1 CIANJUR , penyusun menemukan beberapa permasalahan yang didapat oleh siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia terutaman siswa kelas X-5 , salah satu hambatan tersebut adalah dalm proses pembelajaran menentukan sebuah nilai moral yang terkandung dalam sebuah cerpen, hal ini diperkuat oleh keterangan guru bahasa dan sastra Indonesia guru bahasa yang menyatakan bahwa siswa kelas X-5 mempunyai sedikit kesulitan dalam memahami nilai yang terkandung dalam sebuah cerita pendek apabila disampaikan dengan metode ceramah dan tugas. Sehingga siswa merasa cepat bosan dan jenuh yang berakibat susahnya pemahaman siswa dalam menentuhan sebuah nilai moral yang terkandung dalam sebuah cerpen. Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, pembatasan masalah dalam laporan penelitian ini adalah hambatan yang dihadapi siswa kelas X – 5 SMA Pasundan 1 Cianjur dalam mempelajari mencari nilai – nilai yang terkandung dalam sebuah cerita pendek apabila menggunakan metode ceramah dan tugas. untuk itu penulis menggunakan model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam proses pembelajaran menentukan nilai – nilai yang terkandung dalam cerpen, sebagai metode yang diharapkan dapat meningkatkan keterampilan siswa kelas X – 5 SMA Pasundan 1 Cianjur dalam mencari nilai – nilai yang terkandung dalam sebuah cerpen Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga para peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan mereka akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang mereka pelajari. Pembelajaran kontekstual ini memungkinkan proses belajar yang tenang dan menyenangkan, karena pembelajaran dilakukan secara alamiah, sehingga peserta didik dapat mempraktekkan secara langsung apa yang telah mereka pelajari. Pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk memahami hakikat, makna, dan manfaat belajar, sehingga memungkinkan mereka rajin, dan termotivasi untuk senantiasa belajar, bahkan kecanduan untuk belajar. Kondisi ini akan terwujud, ketika siswa menyadari tentang apa yang mereka perlukan untuk hidup, dan bagaimana cara untuk menggapainya. Maka dapat disimpulkan pembelajaran kontekstual ini merupakan pembelajaran yang menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. (3) Komponen Pembelajaran CTL. Pembelajaran kontekstual mempunyai tujuh komponen utama pembelajaran, diantaranya yaitu (1) kontruktivisme (contructivism), (2) bertanya (questioning), (3) menemukan (inquiry), (4) masyarakat belajar (learning community), (5) pemodelan (modeling), (6) refleksi (reflection), dan (7) penilaian sebenarnya (authentic assessement) Kata kunci: nilai-nilai, cerpen, CTL
Bahasa tidak dapat dipisahkan kehidupan manusia. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Bahasa mempunyai fungsi intelektual, sosial, dan emosional. Selain itu, pelajaran bahasa akan membuat siswa mampu menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif kita .Salah satu keberhasilan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah melahirkan individu yang mampu belajar secara mandiri.Dalam hal ini, siswa mampu menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Kemampuan siswa dalam mengembangkan aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pembelajaran bahasa Indonesia ini bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan Sebagai berikut. (1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. (2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara. (3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.(4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. (5)Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.(6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Cerpen terdiri atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.Unsur intrinsik cerpen di antaranya adalah tema, alur (plot), latar atau setting, penokohan, sudut pandang (point of view), dan amanat. Untuk mengetahui unsur-unsur intrinsic sebuah cerpen, kita harus membacanya secara keseluruhan, bila perlu diulang hingga cerita cerpen tersebut benar-benar dapat kita pahami. Kemudian lihatlah hubungan antar struktur yang membangun cerita tersebut. Nilai sebuah cerita tidak hanya ditentukan oleh keindahan bahasa dan kompleksitas jalinan cerita.Nilai atau sesuatu yang berharga dalam cerpen juga berupa pesan atau amanat.Wujudnya seperti yang dikemukakan di atas, ada yang berkenaan dengan masalah budaya, sosial, atau moral.Untuk menafsirkan nilai-nilai tertentu, kita dapat melakukannya dengan jalan mengajukan sejumlah pertanyaan, misalnya; (1) Mengapa pengarang membuat jalan cerita seperti itu? (2) Mengapa seorang tokoh dimatikan sementara yang lain tidak? Pernafsiran-penafsiran itu akan membawa kepada kesimpulan akan nilai tertentu yang disajikan
pengarang. Berdasarkan observasi dalam proses pembelajaran di SMA PASUNDAN 1 CIANJUR , penyusun menemukan beberapa permasalahan yang didapat oleh siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia terutaman siswa kelas X-5 , salah satu hambatan tersebut adalah dalm proses pembelajaran menentukan sebuah nilai moral yang terkandung dalam sebuah cerpen, hal ini diperkuat oleh keterangan guru bahasa dan sastra Indonesia guru bahasa yang menyatakan bahwa siswa kelas X-5 mempunyai sedikit kesulitan dalam memahami nilai yang terkandung dalam sebuah cerita pendek apabila disampaikan dengan metode ceramah dan tugas. Sehingga siswa merasa cepat bosan dan jenuh yang berakibat susahnya pemahaman siswa dalam menentuhan sebuah nilai moral yang terkandung dalam sebuah cerpen. Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, pembatasan masalah dalam laporan penelitian ini adalah hambatan yang dihadapi siswa kelas X – 5 SMA Pasundan 1 Cianjur dalam mempelajari mencari nilai – nilai yang terkandung dalam sebuah cerita pendek apabila menggunakan metode ceramah dan tugas. untuk itu penulis menggunakan model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam proses pembelajaran menentukan nilai – nilai yang terkandung dalam cerpen, sebagai metode yang diharapkan dapat meningkatkan keterampilan siswa kelas X – 5 SMA Pasundan 1 Cianjur dalam mencari nilai – nilai yang terkandung dalam sebuah cerpen. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menentukan nilai – nilai suatu cerpen pada siswa, Penelitian ini ditujukan supaya pembelajaran membaca dan menulis subuah cerpen merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan bagi siswa, sehingga mereka menjadi mampu membaca dan menulis cerpen . Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi banyak pihak.Berikut deskripsi kontribusi hasil penelitian yang diharapkan melalui penelitian tindakan kelas ini. (a) Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat meningkatkan keterampilan mencari nilai – nilai cerpen menjadi lebih baik. Di samping itu, dapat menumbuhkan sikap dan rasa percaya diri siswa.(b) Bagi para guru di SMA PASUNDAN 1 CIANJUR yang terlibat, khususnya guru Bahasa Indonesia. Penelitian tindakan ini adalah suatu usaha untuk meningkatkan dan memperbaiki kondisi pembelajaran yang ada. Guru dapatmenjadikan penelitian ini sebagai salah satu contoh penelitian tindakan guna meningkatkan mutu pembelajaran yang
mereka lakukan. Mereka juga mendapatkan pengalaman untuk meneliti sebagai upaya meningkatkan profesionalisme guru(c)Bagi peneliti, hasil penelitian ini adalah bagian dari pengabdian yang dapat dijadikan refleksi untuk terus mencari dan mengembangkan inovasi dalam hal pembelajaran menuju hasil yang lebih baik. Melalui penelitian ini, peneliti mengembangkan kinerjanya sebagai peneliti yang profesional. (d) Bagi pihak sekolah, kontribusi penelitian ini secara konkrit untuk meningkatkan kualitas proses belajar dan luaran siswa. Melalui penelitian seperti ini, pembelajaran dapat dikaji, diteliti, dan dituntaskan.Dengan demikian, kualitas sekolah diharapkan menjadi lebih baik. Di lain pihak, dengan adanya penelitian ini di sekolah, budaya meneliti di lingkungan sekolah dapat dibina dalam usaha meningkatkan keprofesionalan Menurut kamus besar bahasa Indonesia, cerpen adalah akronim dari cerita pendek, yaitu kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi. Biasanya, cerpen itu jumlah halamannya berkisar 2-20 halaman yang memiliki beberapa kategori, di antaranya: (a.)Kisahan memberi kesan tunggal dan dominan satu tokoh, latar dan situasi dramatik, bentuknya sangat sederhana. Semuanya bersifat imajinatif;(b) Mengungkapkan satu ide sentral dan tidak membias pada ide sampingan. Biasanya berisi hal-hal yang tidak rutin terjadi setiap hari, misalnya tentang suatu perkenalan, jatuh cinta, atau suatu hal yang sulit dilupakan; (c) Dimensi ruang waktu lebih sempit dibandingkan novel. Akan tetapi, walaupun singkat, cerpen selalu sampai dalam keadaan selesai; (d) Mengungkapkan suatu kejadian yang mampu menghadirkan impresi tunggal. Cerpen sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun di dalamnya, yakni oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik.Cerpen memiliki unsur peristiwa, alur, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain.Karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada deti ldetil khusus "kurang penting" yang lebih bersifat memperpanjang cerita.Cerpen sebagai karya sastra prosa memiliki unsur-unsur dalam (intrinsik) yang membangunnya.Hal yang pelu diperhatikan adalah unsur-unsur tersebut membentuk kesatuan yang utuh. Dalam hal ini, satu unsur akan mempengaruhi unsur lainnya. Upaya memahami karya sastra dapat dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur dalam
(intrinsik).Unsur-unsur dalam sebuah karya sastra memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Berikut ini unsur-unsur intrinsik yang ada dalam karya sastra. (1) Tema, tema dapat kita peroleh setelah kita membaca secara menyeluruh (close reading) isi cerita.Tema yang diangkat biasanya sesuai dengan amanat/pesan yang hendak disampaikan oleh pengarangnya. Tema menyangkut ide cerita.Tema menyangkut keseluruhan isi cerita yang tersirat dalam cerpen Tema dalam cerpen dapat mengangkat masalah persahabatan, cinta kasih, permusuhan, dan lain-lain.Hal yang pokok adalah tema berhubungan dengan sikap dan pengamatan pengarang terhadap kehidupan Pengarang menyatakan idenya dalam unsur keseluruhan cerita.(2) Jalan Cerita dan Alur, Alur tersembunyi di balik jalan cerita.Alur merupakan bagian rangkaian perjalanan cerita yang tidak tampak.Jalan cerita dikuatkan dengan hadirnya alur.Sehubungan dengan naik turunnya jalan cerita karena adanya sebab akibat, dapat dikatakan pula alur dan jalan cerita dapat lahir karena adanya konflik.Konflik tidak harus selalu berisikan pertentangan antara orang per orang. Konflik dapat hadir dalam diri sang tokoh dengan dirinya maupun dengan lingkungan di sekitarnya. Hal yang menggerakkan kejadian cerita adalah plot.Suatu kejadian baru dapat disebut cerita kalau di dalamnya ada perkembangan kejadian.Dan suatu kejadian berkembang kalau ada yang menyebabkan terjadinya perkembangan konflik. (3) Tokoh dan Perwatakan, cara tokoh dalam menghadapi masalah maupun kejadian tentunya berbeda-beda. Hal ini disebabkan perbedaan latar belakang (pengalaman hidup) mereka.Dengan menggambarkan secara khusus bagaimana suasana hati tokoh, kita lebih banyak diberi tahu latar belakang kepribadiannya. Penulis yang berhasil menghidupkan watak tokoh-tokoh ceritanya berarti berhasil pula dalam menghidupkan tokoh Dalam perwatakan tokoh dapat diamati dari hal-hal berikut: a) apa yang diperbuat oleh para tokoh; b) melalui ucapanucapan tokoh; c) melalui penggambaran fisik tokoh; d) melalui pikiran-pikirannya; e.)melalui penerangan langsung. (4)Latar (Setting), latar (setting) merupakan salah satu bagian cerpen yang dianggap penting sebagai penggerak cerita. Setting mempengaruhi unsur lain, semisal tema atau penokohan. Setting tidak hanya menyangkut lokasi di mana para pelaku cerita terlibat dalam sebuah kejadian.Adapun penggolongan setting dapat dikelompokkan dalam setting tempat, setting waktu, dan setting sosial. (5) Sudut Pandang (Point of View), point of view berhubungan dengan siapakah yang menceritakan kisah dalam cerpen? Cara yang dipilih oleh pengarang akan menentukan sekali gaya dan corak cerita. Hal ini dikarenakan watak dan pribadi si
pencerita (pengarang) akan banyak menentukan cerita yang dituturkan pada pembaca. Adapun sudut pandang pengarang sendiri empat macam, yakni sebagai berikut.; a) Objective point of view, Dalam teknik ini, pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi, seperti Anda melihat film dalam televisi. Para tokoh hadir dengan karakter masing-masing. Pengarang sama sekali tidak mau masuk ke dalam pikiran para pelaku; b) Omniscient point of view, dalam teknik ini, pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia tahu segalanya. Ia bisa menciptakan apa saja yang ia perlukan untuk melengkapi ceritanya sehingga mencapai efek yang diinginkannya; c) Point of view orang pertama, Teknik ini lebih populer dikenal di Indonesia. Teknik ini dikenal pula dengan teknik sudut pandang "aku". Hal ini sama halnya seperti seseorang mengajak berbicara pada orang lain; d)Point of view orang ketiga, Teknik ini biasa digunakan dalam penuturan pengalaman seseorang sebagai pihak ketiga. Jadi, pengarang hanya "menitipkan" pemikirannya dalam tokoh orang ketiga. Orang ketiga ("dia") dapat juga menggunakan nama orang. (6) Gaya, gaya menyangkut cara khas pengarang dalam mengungkapkan ekspresi berceritanya dalam cerpen yang ia tulis. Gaya tersebut menyangkut bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan, dan menceritakannya dalam sebuah cerpen. (7) Amanat, Amanat adalah bagian akhir yang merupakan pesan dari cerita yang dibaca. Dalam hal ini, pengarang "menitipkan" nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil dari cerpen yang dibaca. Amanat menyangkut bagaimana sang pembaca memahami dan meresapi cerpen yang ia baca. Setiap pembaca akan merasakan nilai-nilai yang berbeda dari cerpen yang dibacanya. Hal lain yang termasuk unsur sastra adalah unsur ekstrinsik. Unsur ini berada di luar karya sastra itu sendiri. Misalnya, nama penerbit, tempat lahir pengarang, harga buku, hingga keadaan di sekitar saat karya sastra tersebut ditulis. (8) Nilai-nilai dalam cerpen Saat selesai membaca sebuah karya sastra, mungkin kita pernah merasakan ada nilai-nilai yang sesuai untuk dijalankan dalam keseharian. Bisa juga isi cerita tersebut mengandung nilai kehidupan yang menyentuh hati dan membawa pengalaman batin.Hal tersebut merupakan keunikan sastra yang memiliki fungsi sebagai bahan pembelajaran bagi pembacanya.Jadi, selain sebagai hiburan, sastra pun berfungsi sebagai penyampai nilainilai moral.moral pada karya sastra merupakan unsur yang disampaikan pengarang dan merupakan makna terdalam dari sebuah karya sastra.Secara umum, moral menyaran pada pengertian ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya.Moral pun berhubungan
dengan akhlak, budi pekerti, ataupun susila.Sebuah karya fiksi ditulis pengarang untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkannya.Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh, pembaca dapat memetik pelajaran berharga.Dalam hal ini, pesan moral pada cerita fiksi berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan.Sifat-sifat luhur ini hakikatnya bersifat universal.Artinya, sikap ini diakui oleh dunia.Jadi, tidak lagi bersifat kebangsaan, apalagi perseorangan.Wujud moral dalam karya fiksi dapat berupa hal-hal berikut: (a) Hubungan manusia dengan dirinya sendiri; (b). Hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial; (c). Hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya; (d). Hubungan manusia dengan tuhannya. Pesan moral yang sampai kepada pembaca dapat ditafsirkan berbeda - beda oleh pembaca. Hal ini berhubungan dengan cara pembaca mengapresiasi isi cerita. Pesan moral tersebut dapat berupa cinta kasih, persahabatan, kesetiakawanan sosial, sampai rasa takjub kepada tuhan. Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)(1) Pembelajaran Kontekstual Sumber daya manusia yang semakin maju, maka dunia pendidikan sangat menuntut untuk menciptakan lingkungan belajar yang alamiah sesuai dengan pola pikir siswa. Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan hanya sekedar mengetahuinya saja. Oleh karena itu, melalui pembelajaran kontekstual diharapkan target penguasaan materi akan lebih berhasil dan siswa dapat semaksimal mungkin untuk mengembangkan kompetensinya. (2) Pengertian Pembelajaran Kontekstual. Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar di mana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat (Nurhadi dan Senduk 2003:13). Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan
dalam pembelajaran seumur hidup. Banyak manfaat yang dapat diambil oleh siswa dalam pembelajaran kontekstual yaitu terciptanya ruang kelas yang di dalamnya siswa akan menjadi peserta aktif bukan hanya pengamat yang pasif, dan mereka akan lebih bertanggung jawab dengan apa yang mereka pelajari. Pembelajaran akan menjadi lebih berarti dan menyenangkan. Siswa akan bekerja keras untuk mencapai tujuan pembelajaran, mereka menggunakan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya untuk membangun pengetahuan baru. Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual ini adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Selain itu guru juga memberikan kemudahan belajar kepada siswa, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru tidak hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk belajar. Lingkungan belajar yang kondusif sangat diperlukan, maksudnya belajar dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari “guru akting di depan kelas, siswa menonton” ke “siswa aktif bekerja dan berkarya guru mengarahkan”. Pengajaran harus berpusat pada “bagaimana cara” siswa menggunakan pengetahuan baru mereka sehingga strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan dengan hasilnya. Guru bukanlah sebagai yang paling tahu, melainkan guru harus mendengarkan siswa-siswanya dalam berpendapat mengungkapkan ide atau gagasan yang dimiliki oleh siswa. Guru bukan lagi sebagai penentu kemajuan siswa-siswanya, tetapi guru sebagai seorang pendamping siswa dalam pencapaian kompetensi dasar. Menurut Zahorik (dalam Mulyasa 2006:219) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual yaitu (1) Pembelajaran harus memperhatikan, pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik; (2) Pembelajaran dimulai dari keseluruhan menuju bagian-bagiannya secara khusus; (3) Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara : menyusun konsep sementara, melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain, merevisi dan mengembangkan konsep; (4) Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekkan secara langsung apa-apa yang dipelajari; (5) Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari. Pendekatan kontekstual maksudnya adalah suatu konsep belajar di mana menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan keluarga dan masyarakat. Hasil pembelajaran diharapkan akan lebih bermakna bagi anak untuk memecahkan persoalan, berpikir kritis, dan melaksanakan observasi serta menarik kesimpulan dalam kehidupan jangka panjang (Nurhadi dan Senduk 2003:4). Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga para peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan mereka akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang mereka pelajari. Pembelajaran kontekstual ini memungkinkan proses belajar yang tenang dan menyenangkan, karena pembelajaran dilakukan secara alamiah, sehingga peserta didik dapat mempraktekkan secara langsung apa yang telah mereka pelajari. Pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk memahami hakikat, makna, dan manfaat belajar, sehingga memungkinkan mereka rajin, dan termotivasi untuk senantiasa belajar, bahkan kecanduan untuk belajar. Kondisi ini akan terwujud, ketika siswa menyadari tentang apa yang mereka perlukan untuk hidup, dan bagaimana cara untuk menggapainya. Maka dapat disimpulkan pembelajaran kontekstual ini merupakan pembelajaran yang menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. (3) Komponen Pembelajaran CTL. Pembelajaran kontekstual mempunyai tujuh komponen utama pembelajaran, diantaranya yaitu (1) kontruktivisme (contructivism), (2) bertanya (questioning), (3) menemukan (inquiry), (4) masyarakat belajar (learning community), (5) pemodelan (modeling), (6) refleksi (reflection), dan (7) penilaian sebenarnya (authentic assessement) (Nurhadi dan Senduk 2003:31) Kontruktivisme (contructivism) merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit).Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide ide.Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide
bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan satu informasi komplek ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik sendiri. Bertanya (questioning) adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi gagasangagasan.Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis kontekstual.Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai keterampilan berpikir siswa. Hal ini merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, menginformasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan pada aspek yang belum diketahuinya. Menemukan (inquiry) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual.Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengikat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Dalam inkuiri terdiri atas siklus yang mempunyai langkahlangkah antara lain (1) merumuskan masalah, (2) mengumpulkan data melalui observasi, (3) menganalisi dan menyajikan hasil tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya, (4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, atau audiens yang lain. Masyarakat belajar (learning community), hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antar mereka yang tahu ke mereka yang sebelum tahu.Dalam masyarakat belajar, anggota kelompok yang terlibat dalam kegiatan masyarakat memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan juga meminta informasi yang diperlukan dari teman bicaranya. Pemodelan (modeling) yaitu dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaiman guru menginginkan para siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswa-siswanya melakukan. Pemodelan dapat berbentukdemonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar.
Refleksi (reflection) adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima.Kunci dari itu semua adalah, bagaimana pengetahuan mengendap dibenak siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru. Penilaian yang sebenarnya (authentic assessement), merupakan prosedur penilaian pada pembelajaran konekstual yang memberikan gambaran perkembangan belajar siswanya. Assessement adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bias memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Jika data yang dikumpulkan oleh guru mengidentifikasi bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera mengambil tindakan tepat agar siswa terbebas dari kemacetan tersebut. Melalui penelitian ini, peneliti mencoba untuk menerapkan pembelajaran kontekstual komponen pemodelan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menentukan nilai nilai yang terkandung dalam cerpen DAFTAR PUSTAKA Elaine B, …[et. al.]. 2004, CTL Contextual Teaching &Learning : Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasikan dan Bermakna, Kaifa Learning Nas Haryati, …[et. al.]. 2008,--Contextual Teaching and Learning Bahasa Indonesia: Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah Kelas IX Edisi 4/ Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Nurgiantoro Burhan, 1994 Teori Pengkajian Fiksi,Yogyakarta, Gajah Mada University Press, Rusman, Dr, M.Pd, 2004,Pendekatan Dan Model Pembelajaran