-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DI SEKOLAH DAN PERGURUAN TINGGI Muji Universitas Negeri Jember
[email protected]
Abstract The impact of choosing inappropriate language and literature learning materials in the need of learning and national identity building leads to the Indonesian young generations’ behavior shifts away from the principles written in Pancasila. Shifting deviant behavior is seen obvious when the Indonesian young generation did immoral acts that occur everywhere without considering the age and the degree of honor which is girded. This is the need in this seminar ascertains the discussion about “How to empower language and literature learning in schools and universities?”
Abstrak Dampak pemilihan materi pembelajaran bahasa dan sastra yang kurang tepat kebutuhannya dalam pembelajaran dan pembentukan kepribadian bangsa mengakibatkan perilaku generasi muda bangsa Indonesia bergeser jauh dengan sila-sila yang tertulis dalam Pancasila. Pergeseran perilaku menyimpang yang terlihat jelas ketika generasi muda penerus bangsa Indonesia melakukan tindakan amoral yang terjadi di mana-mana tanpa pandang usia dan derajat kehormatan yang disandangnya. Inilah perlunya dalam kegiatan seminar ini mengetengahkan bahasan tentang, “Bagaimanakah memberdayakan pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi?”
Pendahuluan Ditengarai oleh perilaku yang mengenaskan beberapa tahun yang lalu bahwa bangsa Indonesia dinilai mengalami kemerosotan moral yang luar biasa hebatnya. Petanda yang menjadi bukti kejadian saat itu adalah adanya perilaku kolusi, korupsi, dan nepotisme yang menjadi-jadi terjadi di Indonesia. Kondisi yang memprihatinkan ini terjadi, disponsori oleh kalangan terdidik yang memiliki posisi penting dalam pemerintahan. Akibat kesalahan perilaku yang diperbuat oleh para oknum ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI mencanang program pendidikan karakter. Program ini diberlakukan pada lembaga pendidikan di semua jenjang, sejak dari SD sampai Perguruan Tinggi. Sebenarnya sebelum mencuat kabar kemerosotan moral yang begitu mengenaskan ini terjadi, tempo dulu saat penulis duduk di bangku Sekolah Dasar (masuk SD tahun 1968, tamat SD 1973) pendidikan karakter ini sudah ada, yang saat itu dilekatkan inklusif dengan pelajaran Agama, Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. Tetapi, entahlah mengapa pendidikan karakter saat itu lenyap dari peredaran dan hilang tanpa suara. Kejadian sebagaimana dikemukakan di atas tentu perlu dicegah, tujuannya agar tidak terulang untuk dilestarikan dan dibudayakan para generasi muda penerus bangsa Indonesia. Terkait itu melalui kegiatan seminar ini penulis mempermasalahkan, “Bagaimanakah memberdayakan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah dan Perguruan Tinggi yang tepat konteks kebutuhan dalam hidup dan kehidupan?” Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang diberlakukan di lembaga pendidikan dapat dibedakan menjadi 3 kajian, yaitu kajian tentang: (i) aspek kebahasaan, (ii) aspek 469
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
keterampilan, dan (iii) apresiasi bahasa dan sastra. Ketiga kajian ini tidak didiskusikan semua dalam kegiatan seminar ini, pembelajaran apresiasi bahasa dan sastra yang dijadikan bahasan utama pada kesempatan ini. Mengenai letak pentingnya bahasan apresiasi bahasa dan sastra didiskusikan dalam seminar didasari oleh kejadian perilaku berbahasa pengguna bahasa Indonesia ditemukan kurang lazim untuk ditiru dan dilestarikan oleh generasi penerus bangsa Indonesia. Jelasnya isi paparan yang dimaksud di sini, para peserta seminar yang budiman disilahkan mengikuti isi uraian pada bagian berikut ini. 1. Apresiasi Bahasa Beberapa waktu lalu, para peserta seminar tentu masih ada yang ingat saat pemerintah Indonesia mengadakan pesta demokrasi yang lazim disebut pemilu, para bakal calon pemimpin melakukan kegiatan kampanye. Pada saat ini para bakal calon pemimpin bangsa saling jual beli program kerja yang kesannya dapat dipercaya apa saja yang dikerjakan pada saat nantinya menjabat menjadi pimpinan. Segala upaya untuk meyakinkan calon pemilih, para bakal calon pemimpin mengekspresikan isi pikiran, perasaan, dan gagasannya luar biasa hebatnya. Marilah disimak perilaku berbahasa mereka pada pernyataan berikut ini, (i) Korupsi, katakan tidak! (ii) Jika terbukti korupsi, saya siap digantung di tugu Monas. (iii) Bersama kita bisa ….. Apabila diapresiasi secara kritis, kreatif, dan inovatif pernyataan perilaku berbahasa (i) dan (ii) isi pesan yang disampaikan sangat baik. Karena, penulis/pembicara diperhitungkan nantinya benar-benar melakukan tindakan yang sesuai antara yang diucapkan dengan yang diperbuatnya. Artinya, antara fakta dan realita benar-benar terbukti tidak menyimpang/tidak menyalahi keadaan. Namun, realita berbicara lain ketika yang diucapkan/ditulis menyimpang dari keadaan yang sebenarnya diharapkan. Munculnya penafsiran yang berada di luar harapan menjadi tanda tanya besar dari pihak pendengar/pembacanya, “Ada apa terjadi seperti ini?” Para cerdik pandai mengapresiasinya, itu perilaku muna ik. Permasalahannya, “Bagaimanakah kalau perilaku berbahasa seperti ini dilestarikan?” Jawaban yang dapat diajukan salah satunya, “Dimanakah sebenarnya letak kebermaknaan perilaku berbahasa (i) dan (ii) ini?” Munculnya pertanyaan ini dapat diindikasikan bahwa perilaku berbahasa yang diekspresikan pembicara/ penulis ada masalah. Masalah apakah itu? Kemuna ikan sikap dan pelanggaran etika moral. Perilaku berbahasa (iii) apabila diapresiasi maksud maknanya memiliki pemahaman maksud semu/multitafsir. Mengapa? Karena, “Bersama kita bisa!” Pertanyaan yang muncul, “Bisa apa?” Jawaban dapat saja bisa ini – bisa itu, atau bisa apa saja. Jawaban yang semu ini dapat disikapi bahwa penulis/pembicaranya dapat berlaku apa saja, dengan pernyataan kasar mereka tidak mempunyai pendirian yang dapat dipertanggungjawabkan. Dimanakah letak kelayakannya perilaku berbahasa semacam ini dibudayakan? Perilaku berbahasa lain yang penting diapresiasi adalah perilaku berbahasa yang diekspresikan melalui media elektronik, misalnya di facebook. Para peserta seminar yang budiman tentu tercengang memahami maksud makna perilaku berbahasa yang dikirim oleh seseorang seperti berikut ini.
470
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
“Ketika melihat anak-anak didik kita menjengkelkan dan melelahkan, maka hadirkanlah gambaran bahwa satu di antara mereka kelak akan menarik tangan kita menuju surga”. Bagi peserta seminar yang memahami isi pesan perilaku berbahasa ini bertanya. Pertanyaan yang dikemukakan (i) apakah benar demikian, (ii) apakah betul begitu, (iii) dasar hukumnya apa perihal itu dibenarkan atau disalahkan, dan masih ada sejumlah pertanyaan lain yang dapat dikemukakan oleh orang tentang hal ini. Menurut sepengetahuan penulis tidak ditemukan Allah SWT dalam kitab suci Agama Islam ber irman yang isinya, “Anak-anak yang menjengkelkan dan melelahkan, mereka kelak akan menarik tangan kita menuju surga”. Tetapi, anak-anak yang bertakwa dan berimanlah, mereka kelak akan menarik tangan kita menuju surga. Perilaku berbahasa di atas jika tidak disikapi secara kritis dan kreatif tentu akan menjerumuskan pembaca ke arah jalan pikiran yang sesat. 2. Apresiasi Sastra Pujangga besar Yunani, Horatius dalam bukunya Ars Poetica (dalam Teeuw, 1984:183) menyatakan bahwa tujuan penyair menulis sajak adalah memberi nikmat dan berguna (dulce et utile). Sesuatu yang memberi nikmat atau kenikmatan berarti sesuatu itu dapat memberi hiburan, menyenangkan, menenteramkan, dan menyejukkan hati yang susah. Sesuatu yang berguna adalah sesuatu yang dapat memberi manfaat, kegunaan, dan kehikmahan. Atas dasar pengertian bahwa sastra memberi nikmat dan berguna, Effendi (1982:232—238) menyebut sastra sebagai “kenikmatan dan kehikmahan”, yaitu kenikmatan dalam arti sastra memberi hiburan yang menyenangkan dan kehikmahan dalam arti sastra memberi sesuatu atau nilai yang berguna bagi kehidupan (http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1132, diakses Senin, 5 oktober 2015). Intinya, perilaku berbahasa yang diekspresikan dalam kemasan karya sastra memiliki salah satu karakteristik yang lazim disebut dulce et utile. Oleh karena, memiliki karakteristik seperti ini perilaku berbahasa yang dikemas dalam karya sastra ada yang dapat dikenali secara nyata/kongkret, tetapi ada juga yang tidak dapat dikenali secara nyata/kongkret. Uraian ini dapat dicontohkan pada perilaku berbahasa yang digunakan dalam bahasa bentuk prosa dan puisi. Secara rasional ketika pembaca membaca maksud makna bait puisi yang berbunyi, “Aku mau hidup seribu tahun lagi” rasanya khayal manusia biasa dapat hidup berusia sampai 1000 tahun. Dikatakan demikian, karena penulis sajak ini berusia 45 tahun sudah meninggal. Apakah yang unik dalam hal ini? Jawabnya kurang lebih adalah nilai-nilai perjuangannya. Perihal yang kurang lebih sama ketika pembaca yang budiman menyikapi isi tema novel Siti Nurbaya, “Kawin Paksa”. Sejak ditulis karya sastra ini hingga kini masih tetap dilestarikan budaya kawin paksa. Anehnya, saat di sekolah anak-anak dan mahasiswa tidak pernah diajak diskusi yang mempersoalkan tentang itu. Artinya, pengajar saat itu belum mampu menyentuh nilai guna apa yang didapat ketika mempelajari karya sastra tersebut. Dengan kata lain, nilai guna dari karya sastra ini dapat difungsikan untuk tontonan dan tuntunan untuk diterima atau ditolak kehadirannya. Memberdayakan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Pembelajaran Bahasa dan Sastra di lembaga pendidikan dapat diberdayakan untuk kepentingan (i) tontonan dan tuntunan, (ii) asal sumber pendidikan karakter dan jati diri, dan (iii) membina rasa kesatuan dan persatuan. Uraian jelasnya dapat dibaca pada bagian berikut ini. 1. Tontonan dan Tuntunan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di sekolah dan Perguruan Tinggi sebenarnya dapat diberdayakan untuk tontonan dan tuntunan dalam hidup dan kehidupan. Misalnya pembelajaran bahasa dan sastra yang dikemas dalam lirik syair lagu berikut ini. 471
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Andai Ku Tahu (Ungu) Andai ku tahu, kapan tiba ajalku Ku akan memohon, Tuhan tolong panjangkan umurku Andai ku tahu, kapan tiba masaku Ku akan memohon, Tuhan jangan Kau ambil nyawaku Aku takut, akan semua dosa-dosaku Aku takut, dosa yang terus membayangiku Andai ku tahu, malaikatMu kan menjemputku Izinkan aku, mengucapkan kata taubat padaMU Aku takut, akan semua dosa-dosaku Aku takut, dosa yang terus membayangiku Ampuni aku, dari segala dosa-dosaku Ampuni aku, menangisku bertobat padaMu Aku manusia Yang takut neraka Namun aku juga Tak pantas di surga Peserta seminar sudah tidak asing lagi mengenal lirik syair lagu ini, karena sering dinyanyikan penyanyinya, berkali-kali dipentaskan di berbagai tempat di Indonesia, dan penggemarnya diketahui jumlahnya tidak sedikit. Tuntunan apakah yang dapat dipetik dari isi lirik lagu ini? Pesan isi yang disampaikan pencipta lagu ini sebenarnya sederhana yaitu penyesalan dan permohonan maaf kepada Sang Pencipta ‘Tuhan’. 2. Pendidikan Karakter dan Jati Diri Ketika melihat anak-anak di daerah tertentu sedang bermain dan mendendangkan lirik lagu Andhong Apa Becak, teringat dalam benak pikir bahwa lirik lagu yang didendangkan anak-anak itu sesungguhnya pelajaran yang isinya mengenalkan karakter yang ada pada tiap diri orang tertentu. Lirik lagu yang dimaksudkan adalah sebagai berikut (http://basicartikel. blogspot.com/2013/04). Dhondhong apa salak Dhuku cilik-cilik Ngandhong apa becak Mlaku thimik-thimik Lirik lagu ini isinya menerangkan dua pilihan. Buah kedondong bagian luarnya halus, tetapi bagian dalamnya kasar dan tajam, sebaliknya buah salak bagian luarnya kasar, tetapi bagian dalamnya halus. Di sini anak dihadapkan pada tiga karakter, lebih terhormat berbuat baik secara lahir dan batin seperti buah duku, daripada berbuat dari luar kelihatan bagus, tetapi di dalamnya kasar dan tajam seperti buah kedondong. Sebaliknya, lebih baik berbuat terlihat kasar dari luar, tetapi dalamnya halus seperti buah salak. Lirik lagu Andhong Apa Mbecak, mlaku thimik-thimik mempunyai maksud memilih salah satu makna yang dimaksud dalam syair tersebut . Andong (dhokar) adalah kendaraan angkutan yang menggunakan tenaga kuda sebagai penariknya, sedangkan becak adalah kendaraan angkut yang memanfaatkan tenaga manusia sebagai pendorongnya. Lirik lagu ini mempunyai nilainilai budi pekerti kemandirian. Artinya, seseorang dalam hidup ini tidak boleh menyusahkan orang lain, tetapi harus hidup mandiri, berjalan di atas kaki sendiri meskipun pelan-pelan dan tertatih-tatih.
472
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
3. Pembinaan Rasa Kesatuan dan Persatuan Di jaman pemerintahan Orde Baru, para pemimpin bangsa ketika sedang jaya-jayanya berkuasa, menggubah lagu luar biasa hebat nilai kebermaknaannya. Salah satu lirik lagu yang terkenal berjudul Pemilihan Umum. Isi lengkapnya lirik lagu yang dimaksud dapat disimak pada bagian berikut ini. Lagu Pemilihan Umum (Harapan dan Kenyataan) Pemilihan umum telah memanggil kita S’luruh rakyat menyambut gembira Hak demokrsi Pancasila Hikmah Indonesia merdeka Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya Pengemban Ampera yang setia Di bawah Undang-Undang Dasar Empat Lima Kita menuju ke Pemilihan Umum Idealnya pesta demokrasi diselenggarakan sesuai isi lirik lagu ini, tetapi setelah fakta diketahui tidak sesuai harapan, berubahlah pemaknaan lirik lagu ini seperti berikut, Pemilihan umum telah memanggil kita S’luruh rakyat menyambut (kurang) gembira Hak demokrsi (bukan) Pancasila Hikmah Indonesia merdeka Pilihlah wakilmu yang (kurang) dapat dipercaya Pengemban Ampera yang (kurang) setia Di bawah Undang-Undang Dasar Empat Lima (yang lain) (misalnya ‘UUD 1945’ yang telah diamandemen) Kita menuju ke Pemilihan Umum Perubahan penyikapan isi pesan ini terjadi, karena bukan kebenaran yang diperjuangkan, tetapi realita yang dirasakan adalah kebohongan. Sesungguhnya jika tetap berpegang teguh pada prinsip semula, kecil kemungkinan terjadi saling menjatuhkan harga diri antar bangsa dalam satu negara ‘Indonesia’. Penutup Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah dan Perguruan Tinggi saat ini belum dibermaknakan untuk kepentingan yang tepat konteks kebutuhan dalam hidup dan kehidupan. Secara operasional, Pembelajaran Bahasa dan Sastra dapat dibermaknakan untuk kepentingan (i) tontonan dan tuntunan, (ii) pendidikan karakter dan jati diri, dan (iii) membina rasa kesatuan dan kesatuan.
Daftar Pustaka Damono, Sapardi Djoko. 1999. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus. Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikian Nasional. Effendi, S. 1982. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam. Huizinga, Johan. 1990. Homo Ludens. Jakarta: LP3ES. 473
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Sastra dalam Tanya-Jawab. Ende-Flores: Nusa Indah. Santosa, Puji dkk. 2007. Menulis 2. Jakarta: Universitas Terbuka. Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Sumardjo, Jakob. 1979. Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik. Yogyakarta: CV Nur Cahaya. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
474