Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
PEMBEKUAN EMBRIO DENGAN BERBAGAI CRYOPROTECTANT DAN METODE PEMBEKUAN ENDANG TRnvuLANmNGsiH
Balai Penelitian Temak, P.O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN Pada akhir-akhir ini metode in vitro maturasi (IVM) dan in vitro fertilisasi (IVF) telah berkembang dengan pesat disamping metode koleksi in vivo embrio dengan menggunakan berbagai macam dan dosis pemberian hormon superovulasi. Perkembangan tersebut juga diikuti dengan metode penggunaan berbagai jenis cryoprotectant dan dosis cryoprotectant. Hal tersebut dimasuukkan untuk menyimpan embrio baik dari hasil fertilisasi in vivo maupun in vitro yang akan digunakan pada kesempatan yang lain baik untuk penelitian lebih lanjut seperti halnya teknik nuclear transfer, clonning maupun untuk dialihkan pada resipien yang berjumlah terbatas pada saat panen embrio . Walaupun teknik produksi embrio secara in vivo maupun in vitro telah berkembang pesat scat ini, namun masih diperoleli hasil yang sangat bervariasi terhadap persentase blastosis yang dihasilkan dari berbagai Laboratorium . Demikian pula berbagai teknik pembekuan embrio juga berkembang mengikuti perkembangan fertilisasi in vivo dan in vitro. Namun demikian ada beberapa kendala yang menghambat selama proses pendinginan embrio atau selama recovery embrio ataupun selama penyimpanan embrio yang disebabkan oleh berbagai faktor yang antara lain 1) keracunan (toxicity) cryoprotectant, 2) rusak karena proses pendinginan (chilling injury), 3) rusak karena faktor fisik sebab adanya es ekstraselular (physical injury by extra-cellular ice), 4) keracunan karena konsentrasi elektrolit (toxicity of concentrated electrolyte), 5) formasi dan pertumbuhan es intracelular (formation and growth of intracellular ice), 6) kerusakan karena retak (fracture damage) dan 7) pembengkakan karena adanya tekanan osmose (osmotic swelling). Dengan usaha menghindari penghalang tersebut di atas maka embrio mamalia dibektdcan (KANSAI, 1996) . Pembekuan embrio secara konvensional (Slow Freezing) Pembekuan konvensional adalah cars pembekuan embrio yang penurunan suhunya sangat lambat dan diperlukan waktu sekitar 2 jam sebelum dimasukkan ke dalam tank LNZ. KAS(RAJ et al. (1993) melaporkan dari 141 in vivo embrio yang di flushing dari 31 ekor kerbau yang di superovulasi dengan menggunakan NIH-FSH-PI, maka temyata didapat 66 embrio yang layak untuk dibekukan . Metode pembekuan dengan menggunakan 1,4 M gliserol. Embrio dimasukkan dalam media cryoprotectant selama 20 menit untuk equilibrasi, kemudian setiap embrio dimasukkan ke dalam mini straw dan dimasukkan kedalam ethanol bath, suhu diturunkan sampai -7 °C dan seeding dilakukan pada suhu tersebut dan dipertahankan selama 10 menu, kemudian suhu diturunkan hingga -33 "C dengan kecepatan 0,4 °C/menit kemudian setelah mencapai suhu 33 °C maka straw dimasukkan ke dalam LNZ. Setelah sekitar 1 tahun, 42 embrio beku di-thawing
359
Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997
dan di transfer secara nonsurgicallv. Adapun metode thawing adalah dengan mengambil langsung dari LNG dan ditahan di udara (24-28 °C) selama 10 detik dan sukrosa 0,3 M digunakan untuk menghilangkan cryoprotectant. Konsentrasi gliserol dalam media thawing adalah 0,93 M, 0,47 M dan 0, masing-masing pada step 1, 11 dan 111. Embrio dipertahankan selama 5 menit dalam setiap tahap . Embrio dicuci 3 kali dalam holding medium untuk dievaluasi sebelum di transfer. Dari 39 embrio beku yang layak transfer maka 11 resipien dideteksi bunting dan 9 ekor telah lahir hidup. Penganih kualitas embrio hasil fertilisasi in vitro yang dikultur dengan menggunakan media TCM-199 dengan granulosa monolaver dibandingkan dengan media SOF (Synthetic Oviduct Fluid) dan kemudian dibekukan dan di thawing kembali telah dilakukan oleh HAN, et al. (1994) . Dari hasil penelitian tersebut, ternyata bahwa persentase ova cleaved masing-masing 44% dan 49% untuk yang dikulnu dengan SOF dan Ko-kultur sel granulosa, tetapi persentase blastosis dari ova yang dikultur adalah 16 % dan 13 %, dari penelitian ini temyata penggunaan SOF media sedikit lebih baik dibandingkan ko-kultur sel granulosa dalam TCM . Kemudian embrio tersebut dibekukan dengan menggunakan freezing medium yang mengandung 10% gliserol dan 50% FBS yang sebelumnya di equilibrasi selama 10 merit sebelum dinrasukkan dalam mini straw (maximum 5 embrio per straw). Straw dimasukkan dalanr freezing machine suhu -S'C dan di equilibrasi selama 2 merit . kemudian dilakukan seeding 10 meat kemudivr suhu ditunnikan tungga -30 °C dengan kecepatan 0,5"Chuenit dan aklriniva dimasukkan ke dalatn LN, . Thawing embrio dilakukan dengan cara dimasukkan ke dalam air 37"C selama 20 detik, embrio direhidrasi secara step wise dengan larutan PBS yang mengandung 0,25 M sukrosa dan 0,5% BSA dan gliserol masing-masing 6%, 3% dan 0%, dimana pada setiap step embrio direhidrasi selama 5 menit . Embrio setelah di thawing dikultur kembali dengan menggunakan ko-kriltur sel granulosa dalam TCM-199 dan 10'% human serum selama 3 hari dalam 5% CO, inkubator dan diamati blastosis dan hatched blastosist. Survival rate embrio setelah proses pembekuan dan thawing kembali yang dikultur dalam SOF untuk blastosis kualitas A, B dan C berlunit-turut adalah 92%, 67% dan 29%; sedangkan yang menggimakan ko-kultur sel granulosa dalatn TCM-199 adalah 95%, 80% dan 31% masing-masing untuk blastosis berkualitas A, B dan C. Namlm 51% (20/39) blastosist yang tidak dibekukan dan tents dikultur dalatn SOF media berkembang jadi hatched blastosist. Sedangkan blastosis yang dibekukan pada hari ke-7 dan 8 survival rate-n ,a setelah thawing kembali masing-masing 62% dan 45%. Tetapi survival rate earlv (awal) blastosis lebih rendah (30%) dibandingkan mid (51%) don expanded (80%) blastosis . Disini inembuktikan bainva salah satu faktor yang mempenganihi survival rate embrio hasil fertilisasi in vitro setelah perlakuan .freezing dan thawing kembali adalah kualitas dan status embrio sebelum dibekukan . Pada penelitivr penggunaan 1,5 M ethylene glycol. (EG) dibandingkan dengan 1,5 M propylene glycol (PG), 1,5 M DMSO dan 1,4 M gliserol (G) sebagai cryoprotectant telah dilakukan oleh VOEIKEL dan Hu (1992) terhadap in vivo embrio yang dikoleksi dari sapi yang telah di superovulasi dengan menggunakan FSH yang diinjeksikan secara decreasing dosage dua kali sehari, dan 25 mg PGF, diinjeksikan 48 jam setelah mulai diberi FSH lalu dilakukan inseminasi buatan 12 dan 24 jam setelah estrus . Recoverv/koleksi embrio dilakukan pada hart ke-7 - 7,5 setelah estrus. Embrio kemudivr dibekukan dengan larutan cryoprotectant dalam M-PBS ditambah 4 g/1 BSA. Sebelumnya embrio dipapar (exposed) dalatn lautan cryoprotectant selama 20 merit sementara dimasukkan dalatn mini straw. Setelah equilibrasi dengan larutan cryoprotectant, embrio ditempatkan dalam alcohol bathfreezer yang bersuhu -7 °C selama 1-2 menit, lalu dilakukan induksi kristal es (seeding) dan suhu dipertahankan selama 5 menit lalu suhu diturunkan menjadi -35 °C dengan kecepatan 0,5 °C/ menit . Setelah mencapai suhu -35 "C dipertahankan selama 15 menit dan kemudian dimasukkan ke dalam teng LNG. Setelah beberapa hari disimpan dalam LN2, lalu di thawing dengan memindahkan 360
Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997
straw ke dalam air yang bersuhu 30 °C selama 10 detik. Setelah thawing embrio di transfer dari < 5 ~1 larutan cryoprotectant ke dalam 0,5 ml PBS selama 5 menit untuk rehidrasi, kemudian pindahkan embrio ke dalam kokultur sel frbroblast uterine (BUC) yang telah dipersiapkan dan sebagian embrio di transfer langsung ke resipien. Dari penelitian pertama ini ternyata viabilitas embrio yang dikultur dalam BUC selama 72 jam setelah dibekukan dan thawing kembali masingmasing untuk embrio dengan perlakuan 1,5 M EG (70%), 1,5 M PG (11%), 1,5 M DMSO (25%) dan 1,4 MG (30%), berarti EG adalah yang terbaik dibandingkan cryoprotectant yang lain. Pada percobaan berikutnya hal yang sama dilakukan dengan cryoprotectant 1,5 M EG, 2,0 M EG dan 1,4 G, tetapi untuk embrio yang diberi perlakuan 1,4 M G rehidrasi dilakukan secara step wise ke larutan 0,7 M G + 0,5 M sukrosa, lalu transfer ke 0,5 -M sukrosa dan terakhir ke 0,5 ml PBS masing-masing tahap selama 7 menit sebelum di transfer ke dalam ko-kultur BUC atau langsung ke resipien secara nonsurgically . Dari percobaan kedua diperoleh hasil bahwa viabilitas embrio setelah dibekukan dengan 1,4 M G sebagai cryoprotectant dan rehidrasi dilakukan dengan step wise dan di kultur dalam BUC selama 72 jam ternyata viabilitasnya meningkat menjadi 73% (11/15), sementara bila dilakukan pembekuan dengan 2,0 M EG, viabilitasnya menurun jadi 32% (8/25) dibandingkan dengan 1,5 M EG 88% (22/25) . Penelitian ketiga membandingkan antara 1,0 M EG dan 1,5 M EG, dengan prosedur yang sama langsung di transfer ke dalam PBS untuk rehidrasi dan di kultur selama 72 jam dalam BUC setelali freezing dan thawing maka diperoleh hasil bahwa viabilitas embrio 55% (11/20) dan 80% (16/20) bertunit-tuna untuk cryoprotectant 1,0 M EG dan 1,5 M EG. Dari ketiga penelitian tersebut.di atas maka 1,5 M EG adalah yang terbaik untuk prosedur direct transfer secara in vitro . Derajad kebuntingan untuk resipien yang menerima embrio beku yang dengan cryoprotectant 1,5 M EG (direct) dibandingkan 1,5 M EG/PBS (direct) dan 1,4 M G dengan rehidrasi step wise berturut-tunit 39 % (10/26), 50 %(12/24) dan 56 %(28/50) . Derajad kebuntingan selain dipenganihi oleh viabilitas embrio jugs oleh resipien dan ketrampilan individu . Penambahan kolom PBS dalam straw hanya untuk mengurangi konsentrasi cryoprotectant dalam uterus resipien yang mungkin mempengandu lingkungan uterus . HASLER et al. (1995) melaporkan bahwa koleksi oocytes sapi betina dengan USG (ultrasoundguided) setiap minggu menghasilkan rataan oocytes yang dapat digunakan untuk lVF sekitar 4,1. Semua oocytes dicuci dengan media TALP yang diberi 3% BSA sebelum dimaturasi dalam TCM-199 yang ditambah 10% FCS, 41 wg FSH dan 6 pg LH/ml selama 24 jam. Fertilisasi dengan menggunakan Percoll gradient 45% dan 90 %, inkubasi selama 18 jam lalu dicuci dua kali dengan media TALP dan divortex 2 menit untuk menghilangkan sel kumulus yang masih menempel sebelum dimasukkan dalam media kultur TCM-199 yang diberi 10% FCS dan lOg/1 BSA atau dalam Menezo's B2 medium yang diberi 10% FCS pada monolayer of Buffalo Rat Liver Cells (BRLS) dengan konsentrasi kira-kira 200 .000, 100 .(K)O dan 50.000 sel masing-masing pada hari ke-1, 2 dan 3. Pada hari ke-4 embrio dipindahkan ke media kokkultur yang segar. Blastosis yang dihasilkan dibekukan dengan menggiuiakan 10% gliserol (G) dalain PBS yang diberi 0,4% BSA sebagai cryoprotectant. Embrio dipapar dalarn larutan cryoprotectant selama 15 menit dalam ministraw, seeding pada suhu -6 °C dan dipertahankan selama 15 merit dan sulxi dihuunkan sampai -32,5 °C dengan keoepatan 0,6 "C/merit lalu masukkan ke LN2 . Embrio di thawing 10 detik di udara langsung straw dimasukkan ke dalam air bersuhu 35 °C. Rehidrasi secara step wise dengan mentransfer embrio ke media PBS yang diberi 6,6% G + 0,3 M sukrosa; lalu media PBS + 3,3% G + 0,3 M sukrosa ; lalu ke PBS + 0,0% G + 0,3'-M sukrosa dan terakhir PBS + 10% NCS (Newbom Calf Serum).Embrio ditransfer ke resipien dan palpasi rektal pads hari ke-50-60 untuk mendeteksi kebuntingan . Dari hasil
36 1
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner
1997
penelitian ini ternyata embrio yang dikultur dengan BRLs lebih cepat perkembangannya dibandingkan yang dikultur dengan media TCM-199 . Deraiad-kebuntingan IVF embrio beku yang bertunur 7 hari lebih tinggi dibanding embrio yang berumur 8 hari (42% vs 20%), namun bila IVF embrio ditransfer segar derajad kebuntingan berturut-turut 56% (7 hari), 43% (8 hari) dan 41% (9 hari) . Penggunaan sapi dara sebagai resipien memberikan keuntungan dalam derajad kebuntingan dibandingkan dengan sapi induk . Embrio in vivo yang berasal dari sapi FH yang disuperovulasi dengan menggunakan 2500 IU PMSG (Intergonan, Vemie, Germany) atau 40 mg FSH (FSH-P ; Burns Biotec) digunakan untuk penelitian microsurgical bisection. Satu bagian dikembalikan pada zona pelusida aslinya, dan sebagian lain dimasukkan pads zona pelusida yang berasal dari unfertized ova yang telah disimpan dalam freezer yang bersuhu -18 °C sampai saatnya diperlukan atau pada degenerated embryos. Demi dan intact embrio dikultur pads Whitten's, Ham's F 10 dan PBS yang diberi 29% NBCS sebagai perlakuan media kultur yang efisien untuk perkembangan embrio (HAHN dan NIEMANN, 1991). Dari percobaan ini teinyata embrio _yang di kultur dalam media Whitten's memperlihatkan perkembangan yang terbaik dibandingkan dalam media PBS maupun Ham's F 10 (label 1 .) pads 24 jam dan 48 jam setelah kultur. Tabel 1. Kapasitas perkembangan in vitro demi dan intact embrio dalam media Whitten's, Ham's F 10 dan PBS (HAHN dan NIEMANN, 1991) Medium
Jumlah embrio
Whitten's Intact Ham's F10 Embrio PBS
14 16 13
Whitten's Deini Ham's F10 Embrio PBS
26 19 16
Perkembangan n 13 9 9 24 12 7
24 jam (%) 92,9 56,3 69,3 92,3 63,2 43,8
Perkembangan n 13 7 7 19 5 2
48 jam (%) 92,9 43,8 53,8 73,1 26,3 12,5
Pada percobaan kedtta, denti embrio ditanam (embeding) pada agar untuk merapatkan zona pelusida . Kemudian intact dan demi embrio dibekukan dengan 1,4 M gliserol sebagai crypprotectant . Embrio dipapar dalam 1,4 M glycerol selama 20 menit pada suhu ruangan dan dimasukkan dalam mini straw. Pindahkan straw ke dalam ethanol bath freezing machine pada suhu -7 °C. Seeding pada suhu -7 °C dan dipertahankan selama 5 menit dan suhu diturunkan sampai -28 °C dengan kecepatan 0,30 °C/merit sebelum dimasukkan kedalam teng LN2. Beberapa waktu kemudian embrio beku dithawing kembali pada suhu ruangan dan rehidrasi dilakukan dalam dua tahap, yaitu 0,7 M gliserol + 0,7 M sukrosa (tahap 1) dan 0.7 M sukrosa (tahap II) teasing-masing selama 5-10 menit, lalu transfer ke media PBS yang diberi 20%, NBCS dan dikultur secara in vitro untuk dievaluasi viabilitasnya sampm 48 jam (Tabel 2). Pada percobaan ketiga, 1,5 M PROH (1,2 propanediol) sebagai cryoprotectant . Intact dan demi embrio dipapar dalain larutan 1,5 M PROH selama 15 menit dan ditransfer ke larutan 1,5 M PROH + 0,2 M sukrosa selama 5 merit kemudian dimasukkan ke dalam mini straw, pembekuan dilakukan dalam ethanol bathfreezing machine (suhu -7 °C). Seeding dilakukan pada suhu tersebut dan dipenahankan selama 5 merit, lalu suhu diturunkan dari -7 °C sampai ke -30 °C dengan kecepatan 0,3 °C/merit . Setelah dipertaliankan pada suhu -30 °C selama 15 menit, straw dimasukkan ke 362
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1997
dalam teng LN:. Thawing embrio dilakukan pada temperatur ruangan dan rehidrasi dilakukan dalam dua tahap . Pada tahap I embrio dimasukkan ke dalam larutan yang mengandung 0,75 M PROH + 0,7 M sukrosa lalu pindahkan ke larutan 0,7 M sukrosa teasing-masing selama 5 - 10 menit sebelum dipindahkan ke larutan PBS + 20% NBCS an dilailtur secara in vitro tuttuk diamati viabilitasnya selama 48 jam (Tabel 2). Tabel 2. Perkembangan intact dan demi embrio setelah di freezing dan thawing NIEMANN, 1991)
Cryoprotectant
Iumlah embrio Recovery Rate (%)
dan
Piablitas embrio setelah dikultur (%) 4 jam 24jam 48 jam thawing
Gliserol: Intact Demi embrio
62 57
PROM Intact Demi embrio
39
60(96,8) 56(98,2) 35(89,7)
60(100) 51(91,1) 34(97,1)
45(75) 39(76,5) 27(79,4)
51 4!
46(90,2) 35(85,4)
35(76;1) -- 25571-4)
26(74,3)
Demi-agar
(HAHN
1-5(60)
20(33,3) 10(19,6) 15(44,1)
10(17) 6(11,8) 6(17,6)
14(40)
3(8,6) (IM
-7(28 _.
Dari penelitian di atas maka temyata demi embrio lebih sensitif dibandingian intact embrio terutama setelah 24 jam dan 48 jam dikultur media. Pada percobaan kedua dan ke tiga, intact zona pelusida tidak terlalu penting untuk survival rate embrio setelah perlakuan freezing and thawing. Survival rate demi embrio yang dirapatkan dengan agar-agar meningkat dibandingkan tanpa agar (RORIE et al., 1986 dan TSIJNOD k et al., 1987) sebab zona akan dapat menjaga supaya tiidak ada blastomer yang hilang atau mempertahankan blastomer dari kerusakan akibat proses fisik selama pembentukan kristal es saat pembekuan berlangsung, tapi pada penelitian di atas ternyata tanpa penggunaan agar-agar tidak berpengaruli besar terhadap kentsakan demi embrio setelah freezing and thawing. Survival rate tetap tinggi segera setelah thawing namun segera menurun setelah dikultur 4 jam, 24 jam dan 48 jam, hal ini mungkin karena waktu yang singkat dalam kultur media setelah splitting dan sebelum :fteezing. Selama reorganisasi blastomer setelah splitting berlangsung, blastomer yang rusak dilemparkan dan tertinggal dalam sel yang dibentuk oleh intact sel yang baru. Pada penelitian ini temyata penggunaan gliserol sebagai cryoprotectant nampaknya lebih baik dibandingkan dengan 1 ;2 propanediol (PROH) . Pernbekuan embrio secara vitrifikasi Penggunaan metode pendinginan yang lambat (slow freezing) seperti yang biasa dilakukan, yaitu embrio diequilibrasi pada cryoprotectant 1-1,5 M, ants didinginkan perlahan-lahan sehingga terjadi dehidrasi isi sel secara gradual karena adanya pertumbuhan es extraselular . Bila embrio didinginkan dalam LN2, sitoplasma embrio bersama cairan extraselular membentuk frtksi yang konsentrasinya tinggi, akan menjadi kristal yang solid tanpa formasi es trleh karma elevasi viscosity yang ekstrem sehingga akan menjadi sangat tajam seperti kaca (vitrify). Bila perlakuan pembektian lambat membutuhkan waktu yang lama dan alai pengontrol suhu yang lebih soAisticated
1 Bila embrio ditunda perkembangannya pada suhu sekitar O OC atau sedikit diatasnya, konsentrasi larutan aksn menjadi vitrify dalam LNz, diharapkan aribrio tetap hidup (survive) dalam LNZ dimana cairan extraselular dan sitoplasma menjadi vitrified. Berdasarkan ide ini maka 363
Sendnar Nasional Peternakan don Veteriner 1997
RALL dan FAHY (1985), yang dikutip oleh KAsAi (1996) melakukan metode vitrifikasi embrio tikus. Metode ini tidak hanya simple, tetapi juga mengurangi semua faktor fisik dan kimia yang dapat merusak embrio oleh karena adanya kristal es extrasellular, juga mengurangi resiko kerusakan karena pendinginan (chilling injury), yang diobservasi pada embrio beberapa spesies adalah sulm kritis yang sangat cepat. Walaupun embrio dapat rusak karena keracunan, formasi es intrasellular, retak dan osmosis, dengan meminimumkan penibahan yang merusak embrio karena faktor mekanis . cara vitrifikasi adalah simple dan efisien dapat dikembangkan terutama untuk menghindarkan keracunan cryoprotectant . Larutan vitrifikasi yang bersifat racun terhadap embrio dibedakan atas beberapa kategori 1. Sifat penyerapan cryoprotectant Komponen yang penting dalam vitrifikasi adalah sifat penyerapan cryoprotectant ke dalam embrio . RALL clan FAHY (1985) dalam KAsAi (1996) menggunakan larutan yang berisi 6,5 M dimethyl sulphoxide (DM.SO), acetamide dan propylene glycol sebagai larutan penyerap (permeating agent). Karena permeating agent sebagai yang bertanggung jawab terhadap keracunan, maka lalu dilaktdcan pengujian terhadap sifat keracunan relatif pada morula tikus dengan memaparkan embrio dalam larutan PBS (Phosphate Buffer Saline) yang berisi 30% (v/v) cryoprotectant selama 20 menit pada sulm 20 "C . Survival rate diukur dengan potensi perkembangan secara in vitro, maka ternyata bahwa ethylene glycol adalah yang paling tidak beracun (98%), diikuti gliserol (88%), kemudian DMSO (68%), propylene glycol (16%) dan acetamide (0%) adalah yang paling beracun . Karakteristik yang penting untttk mengevaluasi cryoprotectant adalah sifat penyerapan . Pada umumnya kecepatan menyerap ; sebab waktu pemaparan sebelum pendinginan cepat dapat diperpendek seperti difusi cairan intraselular keluar dan cryoprotectant masuk secara cepat untuk menjaga kenisakan karena perbedaan tekanan osmotik . Untuk membandingkan kecepatan menyerap suatu cryoprotectant, maka diobservasi pada morula tikus selama 5 menit dipaparkan pada larutan yang mengandung cryoprotectant (ethylene glycol, acetamide, DMSO, propylene glycol, gliserol) masing-masing mengandung sebanyak 10% . Ternyata bahwa embrio dalam ethylene glycol mengkenit paling cepat dan cepat kembali menjadi seperti semula, berarti ethylene glycol paling mudah menyerap dibandingkan cryoprotectant yang lain diikuti oleh gliserol sebagai komponen cryoprotectant pada metode vitrifikasi . 2. Makro molekul Makro molekul perlu dipertimbangkan dalam memitih cryoprotectant untuk vitrifikasi . Walaupun pada umumnya makro molekul kurang bersifat toksik, tetapi ditemukan bahwa pada uji toxicity frcoll 70 ternyata kurang bersifat toksik dibandingkan dengan propylene glycol bila dicampur dengan 40% (v/v) ethylene glycol. Makro molekul yang lain seperti polyvinyl pyrrolidone dan BSA (bovine serum albumin) jugs digunakan sebagai component larutan cryoprotectant . 3. Sakarida yang berat molekulnya kecil Sebagai zat yang tidak menyerap, sukrosa berperan dalam pengaruh osmotik . Pada larutan vitrifikasi yang berisi 40% (vlv) ethylene glycol dan 18% (w/v) Ficoll ditemukan bahwa penggabungan sukrosa mengurangi toxisitas, mungkin disebabkan sejumlah cryoprotectant intraselular dikurangi .
364
SeminarNasional Peternakan dam Yeteriner 7997
Pengaruh yang menguntungkan tidak-spesifik pada sukrosa, sakarida yang lain seperti trehalose juga efektif Glukosa, fruktosa dan galaktosa juga sebenarnya tidak toksik . 4. Komposisi dari larutan vitrifikasi Setelah memperhatikan Otrbedaan ~sifat : lari setiap rryoprotectant, maka dikembangkan larutan vitrifikasi, .seperti, halnya EFS40, yang `berisi 40%(vtv) ethylene glycol + l$% {w/v) Ficoll + 0,3 1v1 sukrosa . Larutan yang n'urip adalah'GFS40 yang terdiri dari 40% (v/v) gliserol + 18% (w/v).-Ffcoll + 0;3 . M -sukiosa. Larutan yang ;sedikit -toksik adalah EFS30, dimana Aigunakan ethylene glycol 30 -"f«dmr- tetap menggunakan Ficoll dan sukrosa. Toxicity Iarutan vitriflkasi 1.
Waktu pemaparai
dan pembentukan es iintraselular
~Strategi . untuk menghindari toxicity lanttan vitrifikasi adalah memperpendek waktu pennaparan embrio dalam ianitan. Jika waktu pemaparan terlalu pendek, maka penyerapan cryoprotectant tidak akan cukup dan es intraselular dapat dibentuk walaupun tidak ada es exfraselular: .Jadi,wakiu . .pemaparan yang optimal dipedukan untuk keberhasdan vitrifkasi, seh ngga .lixrus ada kompromi antara mempertahankan jangan sampai tedadi toksik dan menjaga trdak',terbentuk es intraselular ." Pada vitrifikasi morula xikus, setelah dipapar pada EFS40 pada suhu 20 °C menghasilkan survival rate lebih : fnggi : dengan 'waktu pemaparan antara 30 detik -5 mehit. Hasil yang
betlawarlan ;:deng"toxrciiy Y409 tingg bits lamtan mengandung DMSO, asetaniide dan prlpylfne glyco('dimana embro hanya survive setelah 10 detik pemaparan.
'Pad's, penggunaan EFS40 sebagai cryoprotectant maka terlihat .sitoplasma morula tikus dapat
cepat-concentraied dan sei'ini "rang sensitif terhadap toxicity. ;Pada expanded blastosist dengan menggunakaii prospdur,vitrifkasi yang satxta maka survival rate hanya 57°0; .-,mungkin toksik
karena Whim: cukty :menyerap ethylene glycot pada blastocoel:: Pada cara ini tiiuingkin dua tahap . prpsedurperlu`di1Akukan: dengaa memaparkan blastosis ke dalatf ethylene glycol dulu supaya tedadi eguilibrasi dengan ethylene glycol'sebelum masuk ke E,FS40 dan ternyata dengan metode tersebut survival rate meningkat. Jadi waktu yang optimal dan -prosedur pemapafn berbeda pada setup' ahap perke ribangan embrio yang akan divitrifiltasi . Kecuali itu sifat penyerapan cryoprotectant .berbeda `dimana 'sifat penyerapan zat pada umumnya rendah; tergantung status pe> liekfbangan embrio yang AAA divitrifikasi .
Kondisi . yang optimal untuk vitrifikasi embrio juga berbeda antar spesies, sebab karakter embrio, misalnya-,ukuran; shape, sifat membran dan sensitivitas terhadap toxicity cryoprotectant akan betbeda . EtTicacy (kemanjuran) EFS40 telah dikonfirmasi pada vitrifikasi embrio tikus satu sel sampai blastosts, monila kelinci, entbrio sapi,hasil fertilisa~k in vitro dan blastosis kuda. 2. Temperatur pemaparan
Fenyerapan, dan toxicity .umurnnya dipeng ruhi oleh tel peratur . Salah a u strategi untuk mengurangi toxicity adalah . sou diturumcaa:M~Suhu pemaparan yang optimal EFS40 untuk vitrifikasi monda tikus adalah 5 ° C, walaupuri pada expanded blastosia fkus survival rate tidak meningkat dengan penurunan suhu pemaparan munglan disebabkan penyerapaCi-ethylene glycol sudah cukup . Pada kasus ini pemaparan yang singkat pada suhu tinggi lebih disukai sebab 93% 365
SeminarNasional Peternakan dan Peteriner 1997
(108/116) blastosis survive setelah divitrifikasi dengan waktu pernaparan selama 30-detik pada suhu 30 °C, walaupun survival rate menurun dengan makin lamanya waktu pemaparan. 3. Larutan vitrifikasi selain EFS40 Bila morula tikus divitrifkasi dengan menggunakan EFS30 setelah dipapar selanta 2 menit pada suhu 20 °C, menghasilkan survival rate yang sama dengan EFS40 . Seperti yang diharapkan EFS30 bersifat tidak toksik dibandingkan EFS40 tetapi memerlukan waktu pemaparan lebih lama atau iebih tinggi suhu yang diperlukan untuk mendapatkan survival rate yang-tinggi . Pada FS40, yang pada dasamya waktu penyerapannya lebih lambat dibanding EFS40, diperoleh hasil yang mirip dengan EFS30. Kerusakan karena retak Seteiah embrio dikriopreservasi (dibekukan), terkadang ditemukan embrio yang retak. Kerusakan secara fisik mungkin disebabkan oleh ketidakseragaman perubahan volume selama phase pertukaran dan ini disebut retak (fracture damage) . Pada metode pembekuan secara konvensional, lebih 50 % embrio dapat rusak secara fisik (damage physically), karena itu usaha untuk mengurangi kerusakan fisik terus dilakukan . Pada metode vitrifikasi, kejadian kerusakan fisik sangat rendah dibandingkan pembekuan secara konvensional walaupun pendinginan yang sangat ekstrim cepat dan penghangatan, mungkin disebabkan ketidak beradaan es. Pada percobaan pembekuan dengan menggunakan EFS40, kerusakan zona pelusida 1 .6% pada morula tikus dan 3,6% pada morula kelinci. Pada penelitian kerusakan karena retak selama proses vitrifikasi, blastosis tikus dilakukan 10 siklus vitrifikasi cepat dan dihangatkan, maka ternyata 75% embrio ditemukan rusak pada zona pelusidanya karena perubahan yang cepat pendinginan dan penghangatan mengakibatkan kerusakan zona pelusida . Pada sample percobaan yang lain dimana dilakukan pendinginan yang amat lambat, temperatur zona pads phase perubaltan antara -110 °C sampai -130 °C dengan menunda sample masuk ke LN,, (3 menit) atau dalam temperatur ruangan (15 detik) ; dengan pendinginan lambat dan penghangatan cepat atau pendinginan cepat dan penghangatan lambat maka kali ini akan mengakibatkan kerusakan zona pelusida setelah 10 siklus vitrifkasi penghangatan sampai 41% dan 16%, dan kerusakan zona ini akibat faktor pendinginan dan atau penghangatan. Akhimya .bila dilakukan pendinginan dan penghangatan lambat, maka 100% embrio terlihat intact zona walaupun dilakukan 10 siklus vitrifikasi-penghangatan. Jadi kerusakan zona pelusida dapat dihindari dengan pemberian buffer cooling and warming velocity selama passage yang dilalui pada suhu kritis untuk zona. Metode ini terutama efektifuntuk embrio kelinci dimana zona yang intact penting untuk perkembangan in vivo. Kerusakan karena tekanan osmotik (Osmotic injury) Larutan yang bersifat toksik, dilarutkan cepat pada larutan vitrifikasi setelah penghangatan diperlukan . Bila embro diserap oleh cryoprotectant langsung diambil dari larutan yang isotonic, maka embrio diancam kerusakan karena osmotic swelling (pembengkaan karena perbedaan tekanan osmotik), sebab air meresap lebih cepat dibandingkan difusi keluar cryoprotectant . Untuk menetralkan ekses air yang masuk ini, embrio terkadang ditunda dalam larutan sukrosa. Walaupun molalitas sukrosa cukup tinggi untuk mencegah swelling. Metode yang efektif digunakan untuk pencegahan embrio mengkerut sebelum ditransfer ke lanitan sukrosa dengan menundanya dalam 366
SeminarNasional Peternakan don Veteriner 1997
larutan larutan yang berisi cryoprotectant dan sukrosa . Pada vitrifikasi -.dengan menggunakan larutan EFS, sukrosa diberikan dalam larutan umuk mencegah mengkerut -dan mengurangi sejumlah larutan intraselular (ethylene glycol) sebelum dicampur karena sifat kecepatan ethylene glycol meresap :dan kecepatan -difusi keluar .sel. Jadi embrio vfektif dicegah dari swelling :bila langsung dimasukkan kedalam larutan 0,5 M sukrosa. Pada percobaan yang dilakukan MAzUR dan SCHNIDER (1986) yang dikutip KASAi (1996) menyatakan bahwa embrio tikes yang segar dapat survive swelling sampai 200% bila dimasukkan dalam larutan yang isotonik. Pada pengamatan KAsAi (1996) berikutnya dimana diobservasi blastosis tikus segar, 80% dapat bertaban hidup ketika dipaparkan selama 30 menit dalam larutan isotonik pada suhu 25 °C. Bila vicrifkasi blastosis tikus setelah 'berhasil dari larutan isotonik ditunda dalam larutan yang hipotonik, -maka hanya 12% yang dapat bertahan hidup (survive) . Hacil ini memperl hatkan bahwa cryopreservated embryo (embrio beku) lebih sensitif terhadap osmotic swelling dibandingkan embrio ogar. Sel telur (oocytes) lebih -sensitif dibandingkan embrio terhadap . pembekuan . Kerusakan karena osmotic injury rupanya yang mendorong kesulitan dalam keberhasilan vitrifikasi embrio dan oocytes, sebab -pada sel normal begitu diambil dari larutan yang isotonik terkadang hilang lapisan luarnya dan degenerasi . Ltu et al. (1991) melaporkan kombinasi tip konsentrasi gliserol (2,1 M, 2,8 M dan 3,5 M) dan empat konsentrasi sukrosa (0,25 M, 0,5 M, 0,75 M dan 1 OM) sehingga terbentuk 12 macam media cryoprotectant yang fnggi tekanan osmotiknya yang akan digunakan untuk pembekuan cepat (quick freezing method) . Lalu dilakukan peroobaan dengan menggunakan 3770 embrio tikes dan secara random dibagi menurut 12 group larutan cryoprotectant tersebut. Dari basil penelitian didapat bahwa kombinasi antara 3,5 M gliserol dan 0,25 M sukrosa adalah yang paling baik survival rate setelah pembekuan cepat dan thawing (84,3 % atau 269/319), expanding dan bathing rate sekitar 78,3% (250/319) . Pada penelitian ini juga didapat bahwa makin tinggi konsentrasi sukrosa, maka inakin rendah survival rate embrio setelahfreezing and thawing . Embrio sapi hasil fertilisasi in vitro dengan kualitas bagus sebanyak 572 digunakan untuk penelitian yang membandingkan antara pembekuan secara konvensional (slow freezing) dan vitrifikasi (MAHmouDZADEH et al., 1994). Pada group slow freezing digunakan giiserol 10% (v/v) sebagai medium cryoprotectant. Equilibrasi selama 20 menit, lalu dimasukkan dalam French straw, dan ditempatkan pada freezing machine LN2, suhu -70 °C setelah 5 menit, dilakukan seeding selama 5 menit, suhu diturunkan dari -7 °C sampai -30 °C dengan cooling rate 0,3 °C/menit, kemudian dimasukkan dalam tang LN2. Thawing dilakukan diudara 5-10 detik kemudian dimasukkan dalam water bath yang bersuhu 20 t 1°C selama 10 detik. Pindahkan embrio kedalam lanitan yang mengandung 6,6% v/v giiserol + 10.26% wlv sukrosa, lalu ke larutan 3,3% v/v gliserol + 10,26% w/v sukrosa kemudian ke larutan 10,26% w/v sukrosa dan akhirnya dikultur pada 50 pl Menezo-B2 yang diberi 10% ECS dan 2,5 On-1 fungizone, setiap droplet diberi 2 lil BOEC (Bovine Oviduct Epithelial Cells) dan ditutup dengan parafin oil kemudian diamati setup 24 jam untuk mendeteksi viabilitas embrio selama 72 jam setelah thawing . Pada group percobaan vitrifkasi digunakan lartuan cryoprotectant yang mengandung 40'/0 v/v ethylene glycol + 18% w/v ficoll + 10,26% w/v sukrosa dalam MPBS yang diberi Na pyrwvate (0,33 m"; glukosa (5,6 W dan BSA (0,4%) serta kanamycin sulphate (0,025 mg/ml) . Embrio ditempakan dalam larutan PBS yang mengandung 20% ethylene glycol dan dipapar selama 3 menit, lalu ditransfer ke media vitrifikasi dan ditempakan dalam French straw dengan seminimum
Seminar Nasional Peternakan dan Veieriner /997
mungkin lanitan vitrifikasi, kemudian dipapar di LNZ selama 30-45 detik dan sebagian straw diisi 17,1% w/v larutan sukrosa lalu masukkan dalam teng LN2.' Thawing dilakukan di waterbath bersuhu 201 ± 1 "C selama 10 detik . Embrio ditempatkan dalam 8,5% w/v sukrosa selama 5 menit kemudian dikultur dalam 50 td droplet Menezo-B2 yang diberi 10% ECS dan 2,5 1tg/ml fungizone serta 2 ltl BOEC dan ditutup dengan parafin oil . Pengamatan dilakukan setiap 24 jam selama 72 jam . Hasil penelitian ini tertera pada Tabel 3 berikut . embrio in vitro (MAHMOUDZADEH et al., 1994)
Tabel3 . Survival
Metode Pembekuan Vitrit1kasi
Slow Freezing
rate
m 39,4 11,2
setelah
Survival Rate (%)
B 81,9 34,9
EB 96,7 72,3
dibekukan
dan
dithawing
kembali
% Hate/led/Survival Rate
m 17,9 30,0
B 32,6 24,3
EB 71,3 43,3
Dari penelitian tersebut . ternyata survival rate perlakuan vitrifikasi dengan 40% v/v ethylene glycol + 18% w/v ficoll + 10,26% w/v sitkrosa lebih baik dibandingkan dengan perlakuan slow freezing (konvensional), namun persentase monfa dan blastosis yang hatching dari embrio yang survive lebih baik pada perlaku in konvensional . Disini terbukti bahwa keadaan embrio sebelum dibekukan sangat menentukan survival rate sebab embrio yang masib muda amat fragile dan mudah rusak karena proses pembekuan . Mungkin rendahnya survival rate pada pembekuan slow freezing bukan disebabkan cara/metode pembekuan tetapi mungkin embrio hasil fertilisasi in vitro yang sensitif terhadap proses pembekuan lambat (slow freezing) . Tingginya variabilitas hasil fertilisasi in vitro antar laboratorium mungkin disebabkan metode yang digunakan untuk produksi in vitro embrio dan berakibal terhadap bervariasinya sensitifitas dan survival rate embrio terhadap proses pembekuan yang sama. Dari berbagai laporan terbukti bahwa expanded blastosis lebih resisten terhadap proses pembekuan . Tabel 4. Survival rate dan hatching embrio setelah perlakuan vitrifikasi dan thawing kembali serta dikultur dalam media Hani's F10 selama 48 jam dan 96 jam (SAITO et al., 1994) %Survival setelah 48 jam EB BL XB 23,5 33,3 65,8 90,5 55,6 71,9 84,6 83,3 95,8 GE = 25% gliserol + 25% ethylene glycol GES = 20% gliserol + 25% ethylene glycol + 3/4 M sukrosa GESD = 20% gliserol + 20% ethlene glycol + 318 M sukrosa + EB = blastosis awal BL = blastosis XB = expanded blastosis
Jenis media Vitrifikasi GE GES GESD Keterangan
% Hatching setelah BL EB 17,6 20,8 53,7 54,7 69,2 73,6
96 jam 1XB 53,4 85,7 85,9
3/8 M dextrose
Pengaruh penambahan sukrosa pada media vitrifikasi dilaporkan oleh SAITO et al. (1994), dimana embrio hasil fertilisasi in vitro dibagi menjadi tiga kriteria yaitu blastosis awal, blastosis dan expanded blastosis. Adapun media vitrifikasi yaitu 1) 25% gliserol + 25% ethylene glycol (GE), 2) 20% gliserol+ 20% ethylene glycol + 3/4 M sukrosa (GES) dan 3) 20% gliserol + 20% ethylene glycol + 318 M sukrosa + 3/8 M dextrose (GESD). Embrio dipapar dalam tiga tahap larutan vitrifikasi sebelunl dimasukkan ke dalam ministraw dan dimasukkan dalam teng LNZ. 368
SeminarNaaional Peternakandan Veteriner 1997
Penyimpanandalam LNZ lebih dari sehari dan thawing dilakukan dengan memasukkan dalam air bersuhu 20 °C selama 10 detik. Kemudian straw dikocok pelan-pelan sebelum embrio dipindahkan kedalam petri dish 1/2 M sukrosa + 20% FCS (S-PBS) selama 5 menit, lalu transfer embrio ke larutan 1/4 M sukrosa + 20% (S-PBS) selama 5 menit dan dicuci dua kali dalam media D-PBS + 20% FCS. Embrio kemudian dikultur dalam droplet Ham's FIO + 0,1 mM a-mercap-toethanol + 20% FSC dan ditutup dengan mineral oil dan disimpan dalam C02 incubator selama 96 jam (4 hari) untuk diamati perkembangannya sampai hatching., Dari penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penambahan sukrosa dan dextrose dapat memperbaiki kuahtas embro sapi hash fertilisasi in vitro yang divitrifikasi, karena penambahan sukrosa ke dalam media cryoprotectant dapat mengurangi permiabilitas cryoprotectant dalam embrio dan memperbaiki vitrifikasi inirasclular dengan meningkatkan konsentrasi protein sitoplasma. Dextrose dan sukrosa dapat mengurangi critical cooling rate dalam vitrifikasi disamping dapat mempertahankan penyerapan cryoprotectant yang berlebihan ke dalam embrio baik pada waktu sel mengkerut dan -sedikit penyerapan ke dalam sel . Disamping itu penambahan dextrose dan sukrosa dalam media vitrifikasi temyata lebih baik dibandingkan bila hanya sukrosa saja. Hampir semua prosedur ini dikedakan pada suhu ruangan sehingga amat memudahkan pekerjaan di lapangan. KESIMPULAN
1 . Survival rate embrio hasil fertilisasi in vitro maupun in vivo setelah perlakuan pembekuan dan thawing kembali tergantung kualitas/viabilitas embrio sebelum dibekukan .
2. Ethylene glycol (EG) adalah cryoprotectant terbaik dibandingkan dengan propylene glycol (PG), DMSO maupun gliserol (G) . Penggunaan 1,5 M EG adalah terbaik dibandingkan dengan 1.0 M EG maupun 2,0 M EG untuk prosedur direct transfer. 3. Derajad kebuntingan selain dipengaruhi oleh viabilitas embrio juga oleh kondisi endometrium uterus resipien dan ketrampilan individu dalam mentransfer embrio dan penambalian PBS dalam kolom/ straw yang berisi 1,5 M EG hanya untuk mengurangi konsentrasi cryoprotectant di uterus resipien.
4. Penggunaan kultur BRLs (Buffalo Rat Liver Cells) dalam media . Menezo's-B2 lebili baik dibandingkan dengan TCM- 199 . Persentase kebuntingan resipien yang menerima embrio segar umur 7 hari lebih baik dibandingkan yang 8 hari maupun 9 hari, demikian juga untuk resipien yang menerima embrio beku umur 7 hari lebih baik dibandingkan embrio 8 hari. 5. ' Penggunaan media Whitten's lebih baik dibandingkan Ham's FIO maupun PBS dalam kultur intact maupun demi embrio. Kecuali itu demi embrio lebih sensitif dibandingkan intact embrio terhadap proses pembekuan dan thawing kembali . 6. Pembekuan embrio dengan vitrifikasi lebih sederhana dibandingkan dengan slowfreezing dan survival rate einbrio yang divitrifikasi ternyata lebih baik dibandingkan slowfreezing setelah thawing tapi sebaliknya setelah dikultur selama 72 jam terutama untuk blastosis dan expanded blastosist 7. Panambahan sukrosa dan dextrosa dalam media vitrifikasi ternyata lebih baik dibandingkan hanya sukrosa saja terutama untuk mengurangi critical cooling rate dalam vitrifikasi dan menjaga supaya tidak teijadi penyerapan cryoprotectant yang berlebihan sehingga memperbaiki vitrifikasiintraselular .
SeminarNasional Petermkan dan keteriner1997
DAFTAR PUSTAKA RAN, Y . M ., H . YAMASHINA, N . KOYAMA, K. K . LEE, and Y . 'FuKui . 1994 . Effects of quality and developmental stage on the survival of IVF-derived bovine blastoeyst cultured in vitro after freezing and thawing . Theriogenology 42 :645-654 . HASLER, J .F ., W .B . HENDERSON, P .J . HURTGEN, Z.Q. JiN, A .D . McCAtn+EY, S .A . MowER, B . NEELY, L . S . SHUEY, J . E . STOKES, and S . A. TRIMMER . 1995 . Production, freming and transfer of bovine IVF embryos and subsequent calving result.Therio-genology 43 :141-152 . HAHN, A .L . and H . NmmANN . 1991 . In vitro survival of fresh and frozen/thawed bovine demi embryos . Theriogenology 36 :619-627 . KAsmAj, R ., A .K . MISRA, M .M. RAO, R .S . JAiswAL, and N .S . RANGAREDDi . 1993 . Successful culmination of pregnancy and live birth following the transfer of frozen-thawed buffalo embryos . Theriogenology 39 : 1187-1192 . KASAi, M . 1996 . Simple and efficient methods for vitrification of mammalian embryos . Animal Reproduction
Science 42 :67-75 .
Ltu, Y .H., Z .O . ZHU, Y .R . Luo, and C .K . ZHU. 1991 . The study on quick freezing method of mouse embryos. Animal Biotechnology Bulletin . ANBAPH-FAO . MAHMOuDzADEH, A .R ., A . VAN Soom, M .T . YsEBAERT, A. DE KRuw . 1994 . Comparison of two -step vitrification versus controlled freezing on survival of in vitro produced cattle embryos. Theriogenology 42 :1389-1397 . RORm, R .W ., PENDLETON, R .J ., YOUNGS, C .R., and R .A . GODKE . 1986 . Viability of demi embryos produced before vs after deep freezing . Theriogenology 25 :192 . Abstract . SArro, N ., K. IMAl, and M . TOMIZAWA. 1994 . Effect of sugars-addition on the survival of vitrified bovine blastocist produced in vitro . Theriogenology 41 :1053-1060 . TSUNODA, Y ., T . ToKMAGY, Y . OKUBo, and T . SUGIE . 1987 . Beneficial effect of agar for the frozen storage of bisected embryos . Theriogenology 28 :317-322 . VOELKEL, S .A ., and Y .X . Hu . 1992 . Use of ethylene glycol as a cryoprotectant for bovine embryos allowing direct transfer of frozen-thawed embryos to recipient females . Theriogenology 37 :687-697 .
TANYA JAWAB Argono R. Setioko : Penyimpanan embrio sampai dengan 8 tahun, apakah tidak sama dengan semen? . Karena semen dapat disimpan selama beberapa tahun. Endang Triwulanningsih : Lama 8 tahun itu umur dari fertilisasi sampai menjadi 6ltrstosis.