PEMBEBASAN PERMOHONAN VISA SCHENGEN DAN KEPENTINGAN PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DI INDONESIA* Basuki Antariksa Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Jalan Medan Merdeka Barat No. 17 – Jakarta 10110 e-mail:
[email protected] ABSTRACT Following the signing of Partnership and Cooperation Agreement between Indonesia and European Union in 2009, an important effort is conducted to call for a lift of Schengen visa obligation for Indonesian citizens. One of the prerequisite requirements is that Indonesia must implement a reciprocity principle to all 25 member countries of Schengen Protocol. Through a library research, it can be preliminary concluded that the lift of Schengen visa obligation and vice versa could benefit Indonesia’s tourism development, particularly in an increase of number of visitors. However, it should be further examined whether national security and sustainable tourism development could be ensured once Indonesia implements a visa-free policy for those countries. Keywords: Schengen visa, reciprocity principle, tourism development ABSTRAK Sebagai tindak lanjut atas penandatanganan Partnership and Cooperation Agreement antara Indonesia dan Uni Eropa pada tahun 2009, sebuah upaya penting dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menghapuskan kewajiban memperoleh visa bagi Warga Negara Indonesia yang akan berkunjung ke negara-negara anggota Protokol Schengen. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu syarat yang harus dipenuhi Indonesia adalah pemberian fasilitas yang sama berdasarkan azas resiprositas kepada 25 negara anggota Protokol Schengen. Melalui sebuah penelitian kepustakaan, diperoleh kesimpulan awal bahwa pencabutan kebijakan pemberian visa oleh kedua pihak dapat memberikan keuntungan bagi pembangunan kepariwisataan Indonesia, khususnya dalam peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara. Namun demikian, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai apakah keamanan nasional dan prinsip pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan dapat dijamin setelah Indonesia menerapkan kebijakan bebas visa bagi negara-negara tersebut. Kata kunci: Visa Schengen, azas resiprositas, pembangunan kepariwisataan. Pendahuluan Pada tanggal 9 November 2009 telah ditandatangani suatu perjanjian kerjasama yang bersifat komprehensif antara Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa yang disebut Partnership and Cooperation Agreement (PCA). Salah satu unsur kerjasama yang dikembangkan adalah sektor pariwisata.1 berkaitan *
Makalah yang disampaikan sebagai masukan dalam rangka diskusi bertema “Kebijakan Visa Schengen dan Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI)/Badan Hukum Indonesia (BHI) di Luar Negeri”, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa – Kementerian Luar Negeri RI, di Jakarta, 17 Februari 2011.
dengan hal tersebut, Kementerian Luar Negeri RI berinisiatif untuk mengupayakan agar Indonesia dapat diberikan fasilitas bebas visa jika warga negaranya akan berkunjung ke negara-negara anggota Protokol Schengen (selanjutnya disebut visa Schengen).2 Sehubungan dengan hal tersebut, ada kewajiban bagi Indonesia untuk antara lain memberikan perlakuan sama kepada seluruh negara anggota Protokol Schengen (25 negara). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pembebasan Indonesia dari kewajiban untuk melakukan permohonan visa Schengen dan pemberian perlakuan yang sama oleh Indonesia akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan kepariwisataan Indonesia? Hingga saat ini belum ada penelitian yang bersifat komprehensif mengenai hubungan kausal antara kebijakan pembebasan visa dengan kualitas pembangunan kepariwisataan berkelanjutan di Indonesia. Melalui tulisan berdasarkan hasil desk research ini, akan diuraikan mengenai sejauh mana potensi keuntungan yang dapat diraih Indonesia dalam rangka pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk dapat memberikan prediksi yang lebih akurat berkaitan dengan masalah ini. Kebijakan Pemberian/Pembebasan Visa dan Pembangunan Kepariwisataan Kebijakan pemberian visa, menurut Bernd Martenczuk, merupakan sesuatu yang bersifat sensitif dan kompleks. Di satu sisi, visa merupakan instrumen pertama yang ditujukan untuk mencegah migrasi ilegal dan menjaga keamanan nasional. Namun di sisi lain: “…visa policy is also a tool for promoting tourism, commerce and people-to-people exchanges”.3 Di samping itu, pada umumnya kebijakan pembebasan visa bersifat resiprokal. Dapat pula dimaklumi bahwa negara-negara maju yang tingkat kesejahteraannya sangat tinggi pada umumnya hanya memberlakukan kebijakan bebas visa kepada negara lain yang juga setara dalam hal kesejahteraan. Sementara itu, bagi negara-negara miskin, tetap diberlakukan kebijakan pemberian visa.4 Secara umum, kebijakan pembebasan visa yang diterapkan oleh suatu negara memang ditujukan untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman). Sejumlah negara bahkan meyakini bahwa hal tersebut adalah suatu keniscayaan. Sebagai contoh, negara-negara seperti Rusia, Turki, Filipina, Jepang, Ukrania, dan Thailand, dianggap telah meraih keberhasilan di sektor kepariwisataan antara lain karena penerapan kebijakan tersebut. Dalam kasus kerjasama pembebasan visa antara Rusia dan Turki, pada tahun 2010 telah terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisman dari Rusia ke Turki hingga sebesar 10% dan volume perdagangan yang dihasilkan mencapai angka US$40 milyar.5 Seorang ilmuwan AS bahkan memberikan sebuah pandangan filosofis yang menarik berkaitan dengan masalah kebijakan pembebasan visa bagi wisman. J.H. Van Vleek menyatakan bahwa: “…it seems axiomatic that the aim of our visa policy should be to help make America strong and secure, and I propose to look at the question solely from the selfish standpoint of our national interests…we cannot have a free world without a free America…In my opinion a less wooden and more understanding policy on visitors’ visa
2
would materially strengthen our security because of the better understanding it would provide abroad of the American way of life.” (…nampak jelas bahwa tujuan penerapan kebijakan visa seharusnya membuat Amerika menjadi lebih kuat dan aman, dan saya mengusulkan untuk melihatnya hanya dari cara pandang kepentingan nasional kita yang bersifat egois…kita tidak akan dapat memiliki dunia yang bebas tanpa Amerika yang bebas…Dalam pandangan saya kebijakan visa yang lebih luwes dan mampu “memahami” akan mendukung penguatan keamanan nasional kita dikarenakan pemahaman yang lebih baik yang kita berikan mengenai cara pandang Amerika kepada dunia luar).6 Pandangan lain menyatakan bahwa kebijakan bebas visa justru akan memberikan keuntungan bagi wisman yang termasuk dalam katagori kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke atas.7 Tidak dijelaskan apa yang menjadi alasan pandangan tersebut, namun kemungkinan disebabkan antara lain oleh keinginan “orang-orang kaya” yang tidak ingin dipusingkan oleh persoalan-persoalan yang menurut mereka adalah persoalan kecil terkait dengan aktivitas perjalanan antar negara. Namun demikian, ada pandangan lain yang menyatakan bahwa kebijakan pembebasan visa bukanlah faktor yang sangat menentukan peningkatan jumlah wisman. Sebuah pandangan dilontarkan bahwa penerapan kebijakan visa yang rigid sebenarnya hanya akan “menimbulkan persoalan” dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, orang akan terbiasa dengan keadaan tersebut sehingga semuanya akan kembali berjalan dengan normal.8 Pernyataan menarik juga pernah disampaikan oleh Menteri Pariwisata Thailand pada saat berlangsungnya 2004 APEC Tourism Ministerial Meeting (Punta Arenas, Chili). Dikatakan bahwa faktor penentu utama bagi seseorang untuk berkunjung ke sebuah negara adalah karena negara tersebut sangat menarik untuk dikunjungi, betapapun sulitnya memperoleh visa. Hal ini dibuktikan dari tetap tingginya antusiasme masyarakat untuk berkunjung ke Amerika Serikat (AS), sekalipun kebijakan pemberian visa oleh negara tersebut dapat dikatakan sangat rigid (terlebih lagi sejak terjadinya serangan teroris pada 11 September 2001[Serangan 11/9]). Jika ditinjau secara lebih mendalam, daya saing kepariwisataan sebuah negara – yang mempengaruhi jumlah kunjungan wisman – sebenarnya sangat ditentukan oleh banyak faktor yang satu sama lain saling berkaitan. World Economic Forum (WEF) menyebutkan bahwa Tourism Competitiveness Index suatu negara ditentukan oleh 14 (empat belas) parameter, yaitu: (1) Policy Rules and Regulation; (2) Environmental and sustainability; (3) Safety and Security; (4) Health and Hygiene; (5) Prioritization of Travel and Tourism; (6) Air Transport Infrastructure; (7) Ground Transport Infrastructure; (8) Tourism Infrastructure; (9) ICT Infrastructure; (10) Price Competitiveness in the Travel and Tourism Industry; (11) Human Resources; (12) Affinity for Travel and Tourism; (13) Natural Resources; dan, (14) Cultural Resources.9 Oleh karena itu, sebenarnya bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk menilai hubungan kausal antara jumlah kunjungan wisman dan kebijakan pembebasan visa.
3
Kebijakan Pembebasan Visa dan Pembangunan Kepariwisataan Indonesia† Pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan yang disebut dengan Bebas Visa Kunjungan Singkat (BVKS) bagi 11 (sebelas) negara berdasarkan azas resiprositas melalui Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2003 tentang Bebas Visa Kunjungan Singkat. Adapun kesebelas negara dimaksud adalah: Brunei Darussalam, Chili, Filipina, Hongkong Special Administration Region (Hongkong SAR), Macao Special Administration Region (Macao SAR), Malaysia, Maroko, Singapura, Thailand, Peru dan Vietnam. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah menerapkan kebijakan yang disebut dengan Visa Kunjungan Saat Kedatangan (VKSK) kepada 64 negara melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-01.GR.01.06 Tahun 2010 tentang Visa Kunjungan Saat Kedatangan (VKSK). Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, seluruh negara anggota Protokol Schengen telah memperoleh fasilitas VKSK. Ini berarti sebenarnya Indonesia telah memberikan perlakuan yang “lebih baik” kepada negara-negara anggota Protokol Schengen dibandingkan dengan yang dilakukan negara-negara tersebut kepada Indonesia. Jika ditinjau dari aspek keberhasilan kinerja sektor pariwisata Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, khususnya antara tahun 2007-2010, jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia terus mengalami peningkatan, yaitu masing-masing: 5,5 juta kunjungan (2007); 6,42 juta (2008); 6,45 juta (2009); dan, 7 juta kunjungan (2010). Di samping itu, dari 16 pasar utama wisman Indonesia, hanya Belanda, Jerman dan Perancis, yang merupakan negara anggota Protokol Schengen.10 Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan awal bahwa tanpa kebijakan BVKS bagi negara-negara anggota Protokol Schengen sekalipun, tidak terjadi dampak negatif yang berarti bagi pembangunan kepariwisataan Indonesia. Kesimpulan awal tersebut juga didukung oleh fakta bahwa kebijakan BVKS belum terbukti secara otomatis meningkatkan jumlah kunjungan wisman. Berdasarkan data statistik tahun 2009, jumlah wisman yang berasal dari beberapa negara yang memperoleh fasilitas BVKS hanya sedikit, yaitu: Macao SAR (508); Peru (1.154); Maroko (1.240); dan, Chili (1.255).11 Sementara itu, Brunei Darussalam, sebagai negara yang sangat dekat dengan Indonesia dan menurut Central Intelligence Agency (CIA) memiliki pendapatan per kapita US$50.300,12 hanya memberikan kontribusi jumlah kunjungan wisman sebesar 13.668. Negara-negara penerima fasilitas BVKS yang memberikan kontribusi wisman dalam jumlah besar berdasarkan data tahun 2010 adalah: Singapura (1.128.906); Malaysia (1.034.642); Filipina (107.014); Hongkong (59.279); dan, Thailand (67.968).13 Namun demikian, sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh L. Mariana pada tahun 1999 menunjukkan bahwa sebagian besar wisman yang berkunjung ke Indonesia menggunakan fasilitas BVKS.14 †
Ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada Sdr. Siti Qomariana dan Sdr. Rayinda Citra Utami, staf pada Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jaringan (P2DSJ), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, dalam penyediaan data statistik kunjungan wisatawan mancanegara.
4
Selain itu, I Gde Wiratha, mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bali, menyampaikan bahwa alasan keamanan nasional sebagai landasan pemberian visa tidak sepenuhnya dapat diterima. Alasannya, dalam banyak kasus, ancaman terhadap keamanan nasional – seperti tindakan terorisme – ternyata justru dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) sendiri, bukan oleh orang asing.15 Dikaitkan dengan persoalan tersebut juga, saat ini perkembangan teknologi dan prosedur keamanan keimigrasian telah memungkinkan dilakukanya berbagai tindakan preventif yang lebih baik untuk menghindari ancaman terhadap keamanan nasional, seperti: teknologi identifikasi biometrik, smart passport, Milimeter Wave (MMW) Scanner, low-level X-ray, di samping penggunaan magnometer.16 Satu hal yang seringkali tidak menjadi perhatian adalah mengenai kebocoran devisa (leakage) yang disebabkan oleh jumlah orang Indonesia yang berlibur ke luar negeri, khususnya ke Benua Eropa. Perlu diketahui bahwa hingga saat ini, Benua Eropa masih merupakan destinasi pariwisata utama dunia. Berdasarkan data UNWTO mengenai perbandingan per benua, hingga tahun 2010 Eropa masih merupakan destinasi pariwisata paling menarik dengan jumlah kunjungan wisman sebanyak 471,5 juta kunjungan, dibandingkan dengan Asia dan Pasifik (203,8 juta), Amerika (151,2 juta), Afrika (48,7 juta).17 Selain itu, berdasarkan data tahun 2010, dari 10 negara tujuan utama pariwisata berdasarkan jumlah kunjungan, 6 negara berasal dari Eropa yaitu: Perancis (1), Spanyol (3), Italia (5), Inggris (6), Turki (7), dan Jerman (8). Dari aspek perolehan devisa, data yang sama menunjukkan bahwa 7 negara berasal dari Eropa, yaitu: Spanyol (2), Perancis (3), Italia (4), Jerman (6), Inggris (7), Turki (9), dan Austria (10).18 Sejumlah informasi yang dapat diperoleh menunjukkan bahwa orang Indonesia sangat senang berlibur ke Benua Eropa. Sebagai contoh, kondisi badai salju yang terjadi di Eropa tidak mengurangi minat orang Indonesia untuk melaksanakan liburan akhir tahun di benua tersebut. Bukti mengenai hal tersebut juga dapat dilihat dari pengembangan taktik baru oleh sejumlah Biro Perjalanan Wisata (BPW) untuk tetap menawarkan paket perjalanan ke Eropa Barat namun dengan jumlah negara yang lebih sedikit dikunjungi dalam satu kali perjalanan. Taktik ini digunakan pada saat banyak negara maju memperketat pemberian visa setelah terjadinya Serangan 11/9. Di samping itu, BPW juga lebih senang menawarkan paket perjalanan ke Eropa karena tingkat keuntungan yang dapat diperoleh jauh lebih besar (dengan usaha yang lebih ringan dibandingkan jika membuat paket wisata domestik. Hal ini disebabkan pengelolaan para wisatawan pada saat berada di luar negeri sepenuhnya ditangani oleh mitra BPW yang berada di destinasi pariwisata.19 Persoalan tersebut sebenarnya sulit untuk diatasi mengingat Pemerintah Indonesia tidak menerapkan kebijakan yang membatasi WNI untuk melakukan perjalanan ke luar negeri, kecuali ke negara Israel dan Taiwan (karena alasan politis). Oleh karena itu, walaupun H Kodhyat menyatakan bahwa kemungkinan kebocoran devisa dari aktivitas pariwisata dapat mencapai angka 80% - jika data tersebut akurat, berarti yang terbesar di dunia - persoalan tersebut lebih merupakan “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan melalui kebijakan pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan secara komprehensif dan 5
terintegrasi. Kebijakan tersebut hanya akan berhasil jika diterapkan melalui landasan suatu penelitian yang mendalam dan ditujukan untuk mendukung strategi pembangunan kepariwisataan dalam jangka panjang. Penutup Hasil analisis sementara terhadap upaya Indonesia untuk memperoleh fasilitas bebas visa dari negara-negara anggota Protokol Schengen dapat memberikan dampak positif terhadap pembangunan kepariwisataan di tanah air. Hal ini disebabkan adanya kewajiban memberikan perlakuan serupa kepada negara-negara tersebut, sehingga diperkirakan akan terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisman ke Indonesia. Namun demikian, kebijakan pemberian fasilitas BVKS kepada negara-negara anggota Protokol Schengen sendiri sebenarnya bukan merupakan suatu persoalan yang sangat serius mengingat jumlah kunjungan wisman secara keseluruhan dalam beberapa tahun terakhir (2007-2010) terus menunjukkan kecenderungan peningkatan yang signifikan. Bahwa ada potensi kebocoran devisa (leakage) melalui outbound tourism dari Indonesia ke Eropa, hal tersebut memang tidak dapat dengan mudah dihindarkan. Hal ini disebabkan ada begitu banyak faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan wisata dan kebijakan nasional Indonesia tidak membatasi WNI untuk melakukan wisata ke luar negeri (kecuali ke negara Israel dan Taiwan). Persoalan kebocoran devisa nampaknya lebih merupakan “pekerjaan rumah” bagi Indonesia untuk – melalui kerjasama seluruh pemangku kepentingan – berusaha meningkatkan daya tariknya sebagai destinasi pariwisata di tingkat internasional. Persoalan yang jauh lebih besar dalam menyikapi masalah ini adalah yang berkaitan dengan kualitas keamanan pemeriksaan keimigrasian dan kesiapan institusi-institusi yang berwenang untuk menjamin keamanan nasional, khususnya setelah wisman berada di dalam wilayah Indonesia. Di samping itu, dalam konsep pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan (sustainable tourism development), seharusnya bukan jumlah kunjungan yang menjadi parameter keberhasilan pembangunan kepariwisataan. Strategi yang jauh lebih penting untuk disusun adalah meningkatkan jumlah pembelanjaan oleh wisman tanpa peningkatan pemanfaatan sumber daya oleh wisman secara berlebihan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan daya dukung lingkungan (carrying capacity) fisik maupun non-fisik suatu destinasi pariwisata. ΩΩ
6
REFERENSI 1Council
of the European Union. 2009. Joint Press Statement: Signing of the Partnership and Cooperation Agreement (PCA) at the Ministerial Troika Meeting Opens New Era for Indonesia-EU Relations. (http://www.consilium.europa.eu/uedocs/cms_data/docs/pressdata/en/er/111114.pdf, diakses 10 Februari 2011).
2Negara-negara
yang merupakan anggota Protokol Schengen adalah: Austria, Belgia, Belanda, Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Hongaria, Islandia, Italia, Jerman, Latvia, Lithuania, Luxemburg, Malta, Norwegia, Perancis, Polandia, Portugal, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss dan Yunani.
3Martenczuk,
B. 2008. Visa Policy and EU External Relations. Dalam Martenczuk, B. van Thiel, S. (Ed.). Justice, Liberty, Security: New Challenges for EU External Relations: 21. Brussels: Vubpress Brussels University Press.
4Koslowski, R. 2008. Global Mobility and the Quest for an International Migration Regime. Dalam Chamie,
J., Dall’Oglio, L. (Ed.). International Migration and Development: Continuing the Dialogue: Legal and Policy Perspectives: 105, 114-115. Geneva: International Organization for Migration. 5Department
of Tourism. 2009. More Tourists to Enjoy Visa Free Stay in the Philippines. (http://mytrip. logpose.com/advisory/more-tourists-to-enjoy-visa-free-stay-in-the-philippines, diakses 10 Februari 2011).
5UNESCAP. 2001. Managing Sustainable Tourism Development. New York: United Nations: 58. 5Kalyta,
5Li,
T. Tourism Development in Ukraine: 15-16. (http://znze.wsiz.rzeszow.pl/z02/2_Tanya%20Kalyta_ Tourism.pdf, diakses 10 Februari 2011).
T. 2010. Visa-Free Tourism: The World Becomes a Real Global Village. (http://www.tourism-master.nl /2010/09/24/visa-free-tourism-the-world-becomes-a-real-global-village/, diakses 9 Februari 2011).
5Japan
Liberalizes Visa Policy for Indian Tourist Groups. 2007. (http://www.rxpgnews.com/travel/Japanliberalises-visa-policy-for-Indian-tourist-groups_25939.shtml, diakses 10 Februari 2011).
6Van Vleek, J.H. 1953. Visa Policy and the Duty of Scientists. Bulletin of the Atomic Scientists, 9(6): 228. 7OECD.
2010. OECD Tourism Trends and Policies 2010: 74. (http://books.google.co.id, diakses 9 Februari 2011).
8Do
You Think Making Visa Policy Stricter Will Adversely Affect Indian Tourism? 2011. (http://travel. hindustantimes.com/discussion-forum/do-you-think-making-visa-policy-stricter-will-adversely-affect-indiantourism.php, diakses 10 Februari 2011).
9Blanke,
J. Chiesa, T. 2009. The Travel and Tourism Competitiveness Report 2009: Managing in a Time of Turbulence. Geneva: World Economic Forum: 4.
10Data
diperoleh dari Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jaringan (P2DSJ), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
11Data
diperoleh dari Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jaringan (P2DSJ), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
12Central
Intelligence Agency. 2010. The World Factbook. (https://www.cia.gov/library/publications/theworld-factbook/rankorder/2004rank.html#top, diakses 16 Februari 2011).
13Data
diperoleh dari Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jaringan (P2DSJ), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
14Mariana, L. 1999. Peran Pariwisata Dalam Neraca Pembayaran Indonesia. Jurnal Ilmu Pariwisata, 4(1): 79.
7
15Time
to Abolish Indonesia’s Visa-on-Arrival Policy? 2010. (http://www.balidiscovery.com/messages/message. asp?Id=6387, diakses 9 Februari 2011).
16Biometric Definition: The Basics About Biometrics. (http://www.questbiometrics.com/biometric-definition.html,
diakses 16 Februari 2011). 12Magnetometers,
X-Rays, and More: Airport Security Technology. 2009. (http://www.foxnews.com/scitech/ 2009/12/29/magnetometers-x-rays-airport-security-technology/, diakses 16 Februari 2011).
12OECD, loc. cit. 17UNWTO. 2011. International Tourism 2010: Multi-speed Recovery. (http://85.62.13.114/media/news/en/
press_det.php?id=7331&idioma=E, diakses 14 Februari 2011). 18UNWTO.
2010. Tourism Highlights: 2010 Edition. (http://www.unwto.org/facts/eng/pdf/highlights/ UNWTO_Highlights10_en_HR.pdf, diakses 11 Februari 2011).
19Sulistyo,
H.S. 2010. Badai Salju Eropa Tak Hambat Wisatawan Indonesia. (http://www.bisnis.com/ ekonomi/jasa/2976-badai-salju-eropa-tak-pengaruhi-minat-wisatawan-indonesia, diakses 14 Februari 2011).
12Gurihnya
Bisnis Jalan-jalan ke Negeri Orang. 2009. (http://bayuhari.blogspot.com/2009/07/gurihnya-bisnisjalan-jalan-ke-negeri.html, diakses 14 Februari 2011) – Sebuah informasi menyebutkan bahwa dari satu paket liburan, dapat diperoleh keuntungan hingga sebesar 10%. Sementara itu, paket wisata yang dijual untuk perjalanan ke Eropa dapat mencapai US$2.000, sedangkan perjalanan domestik untuk tujuan Bali, hanya Rp. 2.000.000.
12Sulit
Mendapat Visa, Bukan Berarti Bencana. 2007. (http://eurekatraveler.wordpress.com/2007/05/13/sulitmendapat-visa-bukan-berarti-bencana/, diakses 14 Februari 2011).
8