AKSELERASI AKTIVITAS KEPARIWISATAAN DI DKI JAKARTA MELALUI PERAN AKTIF PEMUDAa Basuki Antariksa Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Jalan Medan Merdeka Barat No. 17 Jakarta 10110 e-mail:
[email protected];
[email protected]
Pengantar Pemuda memiliki peran yang sangat strategis dalam hal apapun, termasuk pembangunan kepariwisataan. Oleh karena itu, keterlibatan mereka menjadi sangat penting bila diharapkan akan diwujudkan pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan. Hal tersebut menjadi lebih relevan ketika dikaitkan dengan berbagai upaya untuk percepatan aktivitas kepariwisataan dalam rangka mendukung proses pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk DKI Jakarta, sebagai “wajah” Indonesia dan pintu gerbang untuk mengenal Indonesia lebih dalam. Namun demikian, sebelum sampai kepada isu percepatan aktivitas kepariwisataan, perlu dipahami terlebih dahulu hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan, untuk mencegah terjadinya berbagai persoalan dalam jangka panjang yang justru akan merusak tujuan pembangunan kepariwisataan itu sendiri di wilayah ibu kota Republik Indonesia. Tulisan ini disusun sebagai salah satu media untuk mendorong pencapaian tujuan tersebut. Pariwisata dan Pembangunan di Negara Sedang Berkembang Pendapat mengenai peran kepariwisataan dalam pembangunan dan terlebih lagi untuk negara sedang berkembang – sudah seringkali diungkapkan di dalam berbagai literatur. Secara garis besar keuntungan-keuntungan dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, ada berbagai keuntungan yang dapat diraih, antara lain: terbukanya lapangan pekerjaan; peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar destinasi pariwisata; meningkatkan nilai/citra suatu wilayah geografis, termasuk yang miskin akan sumber daya ekonomi, dan mendorong revitalisasi suatu wilayah geografis yang telah kehilangan daya tariknya, misalnya kota tua atau wilayah bekas pertambangan (Ryan, 1991).1 Kedua, bagi negara sedang berkembang, industri pariwisata dapat dikatakan merupakan media pembangunan ekonomi yang tidak memerlukan investasi terlalu besar dalam jangka panjang sebelum dapat memberikan keuntungan. Daya tarik wisata yang merupakan salah satu modal utama untuk pengembangan kepariwisataan, sudah tersedia. Jika dibandingkan dengan misalnya pengembangan industri otomotif, dibutuhkan modal yang sangat besar dan waktu yang cukup lama sebelum keuntungan dapat diperoleh. Ketiga, dalam melaksanakan pembangunan dibutuhkan dana pendukung. Jika hal tersebut bergantung kepada teknologi dari negara lain, maka devisa untuk pembangunan akan tersedot ke luar negeri karena keharusan untuk mengimpor barang modal dan barang habis pakai (terjadi leakage atau a
Makalah yang disampaikan pada kegiatan Pembinaan Sadar Wisata bagi Organisasi Kepemudaan di DKI Jakarta, yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, tanggal 20-21 Desember 2011.
kebocoran devisa). Sektor pariwisata dapat mengurangi ketergantungan impor karena sebagian besar barang modal dan barang habis pakai dapat disediakan oleh destinasi pariwisata, seperti kerajinan tangan, makanan dan minuman, dan daya tarik wisata (Sasmojo, 2004).2 Keempat, sekedar untuk memperkuat nilai positif kepariwisataan, data statistik menunjukkan perannya yang sangat besar dalam perekonomian dunia. United Nations’ World Tourism Organization (UNWTO) melaporkan bahwa pada tahun 2010 jumlah kunjungan internasional telah mencapai angka 940 juta kali dan menghasilkan keuntungan sebesar US$ 919 milyar.3 Diperkirakan bahwa pada tahun 2020, jumlah kunjungan internasional akan mencapai angka 1,56 milyar kali, dengan peningkatan jumlah perjalanan jarak jauh (long-haul) dari 18% menjadi 24%.4 Sekedar catatan, perjalanan jarak jauh pada umumnya dilakukan oleh wisatawan dari negara-negara kaya menuju destinasi pariwisata di negara sedang berkembang. Dengan demikian, terdapat peluang yang lebih besar bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak segmen pasar tersebut. Kelima, berkaitan langsung dengan upaya pengentasan kemiskinan, sektor pariwisata memiliki peran yang sangat penting untuk mendukung perwujudannya. Industri pariwisata dapat mengurangi tingkat kemiskinan karena karakteristiknya yang khas sebagai berikut: 1.
Konsumennya datang ke tempat tujuan sehingga membuka peluang bagi penduduk lokal untuk memasarkan berbagai komoditi dan pelayanan;
2.
Membuka peluang bagi upaya untuk mendiversifikasikan ekonomi lokal yang dapat menyentuh kawasan-kawasan marginal;
3.
Membuka peluang bagi usaha-usaha ekonomi padat karya yang berskala kecil dan menengah yang terjangkau oleh kaum miskin; dan,
4.
Tidak hanya tergantung pada modal, akan tetapi juga tergantung pada modal budaya (cultural capital) dan modal alam (natural capital) yang seringkali merupakan asset yang dimiliki oleh kaum miskin (Tjokrowinoto, 2005).5
Mengapa Kepariwisataan Muncul dan Berkembang? Kepariwisataan adalah sebuah fenomena yang berkaitan dengan aktivitas perjalanan yang dilakukan seseorang keluar dari lingkungan tempat tinggalnya yang biasa, dalam jangka waktu sementara, untuk keperluan apapun kecuali bekerja. Konsekuensi dari fenomena ini adalah diperolehnya pengalaman ketika melakukan perjalanan (travel experience) dan diproduksinya infrastruktur, barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan para pelaku perjalanan tersebut, atau yang dikenal dengan istilah wisatawan.6 Pertanyaannya kemudian adalah mengapa orang melakukan perjalanan keluar dari lingkungan tempat tinggalnya yang biasa? Seseorang tidak akan mungkin melakukan perjalanan seperti itu jika tidak ada motivasi yang mendorongnya, baik secara sukarela ataupun tidak. Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, R.W. McIntosh7 mengungkapkan bahwa motivasi untuk berwisata adalah sebagai berikut: 1.
Pleasure (bersenang-senang), dengan tujuan “melarikan diri” untuk sementara dari rutinitas sehari-hari;
2.
Relaxation, rest and recreation (beristirahat untuk menghilangkan stress), dengan tujuan untuk menjaga kesehatan tubuh dan pikiran. Hal tersebut antara lain dilakukan dengan
2
mengunjungi lingkungan yang berbeda dengan yang dilihatnya sehari-hari, di mana lingkungan tersebut memberikan kesan damai dan menyehatkan; 3.
Health (kesehatan), yaitu berkunjung ke tempat-tempat yang dapat membantu menjaga kesehatan atau menyembuhkan penyakit;
4.
Participation in sports (olah raga yang bersifat rekreasi);
5.
Curiosity and culture (rasa ingin tahu dan motivasi yang berkaitan dengan kebudayaan), yang saat ini semakin meningkat kualitasnya karena perkembangan teknologi informasi dan peningkatan kualitas pendidikan. Motivasi yang menjadi latar belakang seseorang melakukan kunjungan seperti ini adalah keinginan untuk melihat destinasi pariwisata yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat tinggi atau yang menyelenggarakan aktivitas budaya yang sangat penting, seperti festival musik, festival seni, teater dan sebagainya;
6.
Ethnic and family (kesamaan etnik dan kunjungan kepada keluarga). Khusus berkaitan dengan kesamaan etnik, orang dapat termotivasi untuk mengunjungi suatu tempat karena dianggap sebagai tempat tinggal/kelahiran nenek moyangnya;
7.
Spiritual and religious (alasan yang bersifat spiritual dan keagamaan);
8.
Status and prestige (menunjukkan status sosial dan gengsi), dengan tujuan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa seseorang memiliki status sosial dan gengsi yang tinggi karena mampu berwisata ke suatu destinasi pariwisata tertentu; dan,
9.
Professional or business (melakukan aktivitas yang berkaitan dengan profesi/pekerjaan), misalnya aktivitas menghadiri suatu sidang atau konferensi.
Oleh karena itu, ketika kepariwisataan akan dikembangkan, maka yang harus dipahami adalah bahwa pengembangan tersebut ditujukan untuk “membantu” wisatawan mewujudkan motivasi-motivasi sebagaimana yang telah diuraikan. Pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan tidak didasarkan kepada paradigma bahwa wisatawan adalah “mangsa” yang akan untuk dikuras isi kantongnya. Paradigma semacam ini akan menyebabkan suatu destinasi pariwisata kehilangan pelanggan setia, karena wisatawan merasa dieksploitasi. Perlu dipahami pula bahwa kepariwisataan adalah suatu fenomena yang akan selalu mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar destinasi pariwisata. Hal ini disebabkan mereka membawa uang, memiliki latar belakang kebudayaan yang (mungkin) sangat berbeda, dan menggunakan sumber daya alam dan buatan yang juga dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Dengan demikian, penduduk setempat juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus dihormati dalam kaitannya dengan pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan, yaitu: 1.
tidak menjadi korban eksploitasi;
2.
jaminan akan kestabilan struktur kehidupan sosial masyarakat (misalnya untuk menghindari konflik antara generasi muda yang memiliki kompetensi lebih baik daripada golongan senior yang kurang memiliki keahlian, antara wanita dan pria, dan sebagainya);
3.
jaminan tidak terjadinya dampak negatif pemanfaatan elemen-elemen kebudayaan secara komersial;
4.
jaminan tidak terjadinya materialisme dan individualisme yang berlebihan;
5.
jaminan tidak hilangnya akses terhadap sumber daya alam; dan,
3
6.
jaminan keamanan dan kenyamanan (misalnya tidak terganggu atau terusir oleh para pendatang, tidak terjadi peningkatan prostitusi, penggunaan obat-obatan terlarang, dan sebagainya)(Beeton, 2006).8
Kemudian, bagaimana mengukur keberhasilan dalam pembangunan kepariwisataan? Pada umumnya yang digunakan sebagai parameter adalah jumlah kunjungan wisatawan dan uang yang dibelanjakannya. Dalam jangka pendek, parameter-parameter tersebut memang diperlukan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan kepariwisataan. Namun demikian, dalam jangka panjang, parameter-parameter tersebut dapat merusak tujuan pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan jika tidak dipahami dan dikelola dengan tepat. Sebagai contoh, sekitar 87% emisi gas rumah kaca dihasilkan oleh sektor transportasi. Walaupun belum diketahui seberapa besar kontribusi sektor transportasi udara di tingkat global terhadap volume emisi tersebut, diperkirakan jumlahnya paling besar. Sebagai contoh, di Eropa, pada tahun 2000, jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sektor transportasi udara telah mencapai angka 75% dari nilai total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh seluruh jenis sarana transportasi yang digunakan (L.E. Preston).9 Persoalan ini bersifat dilematis karena sektor transportasi udara memberikan sumbangan terbesar terhadap pergerakan wisatawan dari negara maju ke destinasi pariwisata di negara sedang berkembang (C.L. Jenkins dan B.M. Henry).10 Peran Kepariwisataan: Menjadi Sektor Pendukung Pembangunan atau Sektor Utama Pembangunan? Ada sebuah ungkapan yang menarik tentang inti peran kepariwisataan, yaitu bahwa: “tourism is doing business in a smart way”. Ungkapan ini dapat dikatakan sangat tepat untuk menggambarkan sektor pariwisata yang tidak dapat berdiri sendiri atau merupakan komposit dari berbagai elemen. Kepariwisataan adalah sebuah konsep, bukan suatu sektor kegiatan yang bersifat spesifik seperti sektor transportasi dengan unsur-unsurnya yang jelas seperti kendaraan, jalan raya, dan sebagainya. Dengan demikian, sektor pariwisata tidak perlu dipaksakan untuk menjadi sektor utama pembangunan, namun lebih baik berperan sebagai sektor pendukung bagi pembangunan sektor lainnya. Hal yang perlu dipahami adalah bahwa tidak ada yang salah dengan menjadi sektor pendukung. Ibarat permainan sepak bola, seorang penyerang utama tidak akan dapat menyelesaikan perannya mencetak gol atau membawa kemenangan bagi timnya jika tidak didukung oleh pemain belakang dan lapangan tengah. Berdasarkan uraian di atas, pariwisata dapat dijadikan sebagai suatu media “kemasan” yang lebih menarik untuk menjual sesuatu. Sebagai contoh, jika sekedar ingin menarik perhatian wisatawan untuk menikmati panorama di bawah laut, tentunya tidak akan mudah karena pemandangan di bawah laut terdapat di berbagai tempat di dunia. Namun, jika dikaitkan dengan “kemasan” daya tarik dalam bentuk keberadaan ikan purba jenis Coelacanth yang masih hidup di laut tersebut (yang diperkirakan seharusnya sudah punah 65 juta tahun yang lalu)11 sebagaimana terjadi di perairan Sulawesi, maka wilayah itu dapat menjadi destinasi pariwisata. Lebih dari itu, aktivitas ekonomi kemudian dapat diarahkan kepada penjualan berbagai macam suvenir (dan berbagai cerita, baik dalam bentuk mitos maupun yang memiliki landasan ilmiah) yang berkaitan dengan ikan purba tersebut (kaos, magnet, buku dan sebagainya) tanpa mengganggu kelestariannya dan ekosistem tempatnya hidup. Melalui daya tarik ikan Coelacanth, para pemangku kepentingan di sana dapat “menjual” Pulau Sulawesi dengan lebih baik, termasuk memberikan jalan bagi peningkatan penjualan produk-produk khas wilayah tersebut seperti Kopi Toraja, Minyak Tawon dan sebagainya. 4
Sebagai perbandingan, di negara maju, nampaknya fungsi pariwisata sebagai sektor pendukung penjualan produk-produk yang dihasilkan mereka telah dilaksanakan secara konsisten, antara lain melalui sektor perfilman. Beberapa contoh di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Sekuel film Transformer, yang antara lain bertujuan untuk lebih memperkenalkan kepada dunia, produk otomotif buatan AS, seperti General Motors, Chevrolet, Pontiac, dan sekaligus juga meningkatkan daya tarik wisata beberapa negara seperti Mesir (Pyramid Giza), Rusia (Chernobyl) dan Cina; 2. Sekuel film Harry Potter, yang antara lain bertujuan untuk lebih memberikan daya tarik Inggris – dan khususnya kota dan Universitas Oxford – sebagai destinasi pariwisata, karena salah satu aula universitas tertua di Inggris tersebut digunakan sebagai lokasi pembuatan film; dan 3. Universal Studio, seperti yang dibangun di Singapura, yang sebenarnya didasarkan kepada filmfilm Hollywood yang berhasil menjadi box office di seluruh dunia. Film-film tersebut tidak hanya menghasilkan keuntungan dari hasil penjualan tiket atau dikenalnya produk-produk atau lokasi sebagaimana diuraikan di atas, tetapi juga dari penjualan barang-barang lainnya seperti mainan, kaos, tas dan sebagainya. Sekedar contoh, keuntungan Hasbro, produsen mainan robot dalam film Transformers: Dark of the Moon, mencapai angka US$170,7 juta.12 Jika pariwisata dipaksakan untuk menjadi sektor utama pembangunan, berdasarkan pengalaman di lapangan, seringkali terjadi persoalan berupa tidak efektif dan efisiennya implementasi kebijakan yang ditetapkan. Penyebab utamanya adalah karena sektor pariwisata tidak memiliki kewenangan secara langsung untuk menentukan pergerakan manusia, seperti: membangun bandar udara, jalan raya, keimigrasian, kelayakan operasional kendaraan, dan sebagainya. Sehubungan dengan perannya sebagai sektor pendukung dan ungkapan tersebut di atas, maka dibutuhkan pola pikir yang sangat kreatif untuk dapat mewujudkannya secara optimal. Pariwisata di Wilayah Perkotaan Saat ini, persaingan untuk menjadi destinasi pariwisata tidak lagi hanya berada pada tataran antar negara, namun sudah sampai pada tataran antar kota. Dengan demikian, DKI Jakarta mungkin harus bersaing dengan Kuala Lumpur atau Singapura dalam rangka merebut perhatian wisatawan. Bahkan, DKI Jakarta juga harus bersaing dengan kota-kota yang ada di wilayah Indonesia sendiri. Ini berarti bahwa beban pembuat kebijakan di bidang kepariwisataan di wilayah perkotaan menjadi semakin berat dalam memenangkan persaingan sebagai destinasi pariwisata unggulan. Kemudian, pertanyaannya adalah apa saja yang menjadi daya tarik wisata sebuah kota? Di dalam bukunya yang berjudul Tourism and Regional Development, K.K. Sharma menyebutkan bahwa sebuah kota memiliki daya tarik wisata dalam bentuk: 1.
Primary Elements: a. Activity Place: cultural facilities; entertainment facilities; events and festivities; exhibitions, craftworks; b. Leisure Setting: 1) Physical setting: historical pattern; monuments; art objects; parks, green spaces; waterfronts, canals, harbour; 5
2. 3.
2) Social/cultural characteristics: liveliness of the place; language, local customs, folklore; way of life; Secondary Elements: catering facilities; shopping facilities; markets; dan, Conditional Elements: accesibility; parking facilities; touristic infrastructure (information bureau, signposts, guides).13
Namun demikian, mengingat persaingan yang semakin ketat sebagaimana telah diuraikan di atas, maka DKI Jakarta harus memiliki strategi memposisikan dirinya (positioning) dengan perbedaan yang jelas dibandingkan dengan kota-kota lainnya (differentiation). Dalam menciptakan strategi dimaksud, harus dipahami terlebih dahulu mengenai beberapa hal. Pertama, ketika DKI Jakarta menetapkan strategi positioning, itu sama artinya dengan membentuk citra tentang dirinya. Berkaitan dengan hal tersebut, para pakar di bidang komunikasi berpandangan bahwa “if you are going to sell your image, sell your reality first”. Dengan demikian, slogan yang akan dipilih sebagai ungkapan positioning tidak boleh terlalu berseberangan dengan kenyataan mengenai citra DKI Jakarta saat ini. Hal ini juga mengajarkan kepada kita untuk berupaya mengubah kondisi DKI Jakarta agar dapat menjual citra yang lebih baik di masa yang akan datang. Kedua, jika slogan yang telah dibuat kemudian tidak dapat dibuktikan dalam kenyataan, maka slogan tersebut akan menjadi bumerang bagi pembangunan kepariwisataan DKI Jakarta sendiri. Oleh karena itu, menetapkan slogan tentang kepariwisataan DKI Jakarta bukan akhir dari segalanya, melainkan justru awal dari pertaruhan jangka panjang untuk memajukan atau menghancurkan kepariwisataan di ibu kota Republik Indonesia. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Jack Trout dan Steve Rivkin: “If you have a product difference, then you should able to demonstrate that difference. The demonstration, in turn, becomes your credentials…Claims of difference without proof are really just claims”.14 Pengembangan kepariwisataan di wilayah perkotaan bukan tanpa tantangan yang besar. Di dalam berbagai tulisan mengenai pembangunan di kawasan perkotaan diungkapkan kerisauan tentang terabaikannya keseimbangan ekologis, kecenderungan dehumanisasi di daerah perkotaan, ketidakadilan dalam pendistribusian lahan atau ruang kota, dan melebarnya jurang kaya-miskin. Persoalan lainnya yang dihadapi perkotaan adalah tantangan menghadapi kecenderungan eksklusivisme yang menimbulkan kesan isolasi atau segregasi sosial. Akibat ikutannya adalah tumbuhnya rasa kecemburuan sosial karena kesenjangan yang terlalu lebar. Dengan tipisnya kohesi sosial, tidak pelak lagi merebaklah apatisme. Masyarakat perkotaan tidak lagi memiliki rasa memiliki yang kental terhadap lingkungan, dan angka kriminalitas pun meningkat karena tipisnya nuansa neighbourliness atau sense of community (Budihardjo, E. dan Sujarto, D. 2009).15 Untuk menciptakan sebuah kota yang mampu mewujudkan citra sebagai suatu wilayah yang bersahabat, maka segenap pihak yang terlibat dalam proses perencanaan dan pembangunan kota mesti bersepakat untuk memperlakukan kota sebagai ‘rumah’, bukan sebagai ‘hotel’. Bila rumah rusak, kita pasti berusaha memperbaikinya, sedangkan bila hotel yang rusak, pasti akan kita tinggalkan untuk kemudian mencari hotel lain yang lebih baik. Dengan demikian, maka akan dapat diwujudkan apa yang dinamakan sebagai kota yang berkelanjutan, yaitu suatu daerah perkotaan yang mampu berkompetisi secara sukses dalam pertarungan ekonomi global namun tetap mempertahankan vitalitas budaya serta keserasian lingkungan. Keberlanjutan itu sendiri pada hakikatnya adalah suatu etika, suatu perangkat prinsip-prinsip, dan pandangan ke masa depan (Budihardjo, E. dan Sujarto, D. 2009).16 Peter Lang menyebutkan bahwa kota-kota besar di dunia sekarang dapat diibaratkan sebagai ajang peperangan bisnis dan ekonomi. Pihak yang diuntungkan dalam peperangan, yang 6
disebutnya sebagai everyday war itu, adalah terutama para pengusaha kelas kakap. Merekalah yang berkesempatan memanipulasi demi keuntungan mereka sendiri. Sebagai contoh, diduga bahwa lobi para pengusaha mobil yang sangat kuat menyebabkan tersendatnya atau tertundanya pembangunan sistem transportasi massal. Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, dalam jangka panjang, kesemrawutan wilayah perkotaan dan keberingasan warganya akan berdampak negatif dalam wujud kekacauan suasana, rasa tidak aman penanam modal, terhambatnya lalu lintas, dan ketidakpastian masa depan ekonomi perkotaan. Oleh karena itu, untuk menanggulangi dan mencegah kemungkinan kota tertimpa musibah menjadi apa yang disebut sebagai necropolis (kota mayat), Donald McDonald17 merekomendasikan gagasan mengenai “Kota Demokratis”. Beberapa butir pokok dari konsep tersebut adalah sebagai berikut: 1. Setiap warga kota mesti diberi kesempatan ikut berbicara tentang nasib dan masa depan kotanya; 2. Keberagaman mosaik masyarakat perkotaan harus diwadahi dan tercermin dalam tata ruangnya; 3. Pusat-pusat lingkungan yang sekaligus merupakan simpul jasa transportasi (umum) seyogianya masih dalam jarak jangkau jalan kaki, dengan jalan-jalan yang ramping; 4. Perlu lebih digalakkan pelestarian taman atau pengadaan ruang-ruang terbuka untuk umum, sebagai wahana kontak sosial, dalam berbagai skala, mulai dari skala rukun tetangga sampai ke skala kota; 5. Perencanaan tata lingkungan perumahan dan pemukiman agar diarahkan untuk mendukung terciptanya rasa tempat dan semangat komunitas yang akan menumbuhkan rasa memiliki dan tekad untuk memelihara lingkungan karena solidaritas sosial yang tinggi; 6. Sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, kota memang membutuhkan peran serta aktif kalangan swasta, namun sepatutnya diarahkan dan dikendalikan dengan baik oleh manajer pembangunan kota; dan, 7. Pola-pola advokasi untuk menjembatani perbedaan kepentingan dan untuk menyelesaikan konflik seyogianya mulai dicoba untuk diterapkan (Budihardjo, E. dan Sujarto, D. 2009). Tantangan Bagi DKI Jakarta Untuk mewujudkan DKI Jakarta sebagai destinasi pariwisata unggulan yang berkelanjutan, nampaknya juga masih ada sejumlah tantangan yang harus diselesaikan. Beberapa di antaranya akan diuraikan secara singkat di dalam tulisan ini. Sekedar catatan, informasi mengenai hal ini pernah disampaikan di dalam kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Kepariwisataan Tingkat Lanjutan Tahun 2010, yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah DKI Jakarta, pada tanggal 8 Desember 2010, melalui makalah yang berjudul “Penegakan Hukum Kepariwisataan Dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing DKI Jakarta Sebagai Destinasi Pariwisata Internasional”. Hingga bulan Mei 2010, diperkirakan bahwa penduduk DKI Jakarta pada siang hari mencapai angka 20,7 juta orang, didasarkan kepada jumlah perjalanan yang dilakukan dengan kendaraan. Populasi kendaraan roda empat telah mencapai angka 3 juta unit dan jumlah sepeda
7
motor tercatat sebanyak 8 juta unit. Angka pertumbuhan kendaraan mobil adalah ±240 unit per hari dan sepeda motor mencapai angka ±890 per hari.18 Dikaitkan dengan polusi udara yang ditimbulkannya, sekitar 46% kasus penyakit di DKI Jakarta adalah penyakit yang berkaitan dengan saluran pernafasan.19 Jika situasi polusi udara tidak berubah, maka diperkirakan bahwa warga DKI Jakarta harus membelanjakan Rp. 4,3 triliun pada tahun 2015 untuk biaya penanggulangan penyakit yang berkaitan dengannya.20 Persoalan lingkungan hidup tidak hanya sampai di sana. Pakar lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Dr. Firdaus Ali, MSc, pada bulan Desember 2009 mengatakan bahwa kemacetan di seluruh pelosok Jakarta mengakibatkan kerugian mencapai Rp. 28,1 triliun per tahun. Dari total kerugian itu, kerugian akibat bahan bakar minyak yang terbuang percuma mencapai Rp. 10,7 triliun, waktu produktif yang hilang Rp. 9,7 triliun, kerugian pemilik angkutan umum Rp. 1,9 triliun, dan kerugian kesehatan Rp. 5,8 triliun.21 Mengenai masalah kualitas sumber daya air, Direktur Utama Perusahaan Daerah Pengolahan Air Limbah (PAL) Jaya Liliansari Loedin menyatakan bahwa 82 persen sungai di DKI Jakarta telah tercemar berat sepanjang tahun karena buruknya sanitasi di Jakarta. Dari 75 sumur yang dipantau di DKI Jakarta, kandungan bakteri ecoli 38 sumur melebihi baku mutu karena tercemar oleh septic tank milik warga. Selain itu, hingga kini, layanan pengolahan air limbah Perusahaan Daerah PAL Jaya baru menjangkau 196.600 jiwa warga DKI Jakarta. Sementara itu, limbah yang tidak terjangkau oleh layanan dibuang langsung ke saluran drainase dan ke sungai.22 Masalah sampah juga memiliki relevansi dengan kebijakan kepariwisataan, karena wisatawan berkontribusi terhadap jumlah sampah yang dibuang. Ditinjau dari kondisi pengelolaan sampah saat ini, menurut BPLHD Jakarta, total produksi sampah domestik di DKI Jakarta sekitar 6000 ton/hari, di mana sekitar 85% dari jumlah tersebut mampu diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sementara 15% sisanya tercecer di selokan, sungai, lahan kosong, dan jalan-jalan. Data lain dari Wakil Kepala Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2006 menunjukkan bahwa volume sampah yang masuk ke Teluk Jakarta mencapai 600 meter kubik (atau setara dengan 144 ton) per hari.23 Sementara itu, menurut data Firdaus Ali, hingga akhir 2008 total jumlah timbunan sampah DKI Jakarta mencapai 27.966 meter kubik per hari atau 6.663 ton per hari.24 Penegakan hukum kepariwisataan yang berkaitan dengan masalah keamanan terhadap kejahatan perlu mendapat perhatian serius karena data Polda Metro Jaya tahun 2008 menunjukkan bahwa kasus kejahatan di DKI Jakarta terjadi setiap 9 menit 21 detik. Adapun jenis kejahatan yang dilakukan antara lain pemerkosaan, pemerasan dan pengancaman, pembunuhan, perjudian, dan pencurian kendaraan bermotor.25 Tingginya frekuensi kejahatan yang terjadi di wilayah perkotaan antara lain disebabkan oleh perbedaan yang sangat tajam dari segi kekayaan26 dan kecenderungan eksklusivisme yang menimbulkan kesan isolasi atau segregasi sosial. Oleh karena itu, kebijakan di bidang kepariwisataan harus menyentuh pula masalah pengurangan kesenjangan sosial di antara anggota masyarakat DKI Jakarta. Meskipun demikian, DKI Jakarta dapat berbangga diri karena menurut buku pedoman wisata Lonely Planet: “For such a huge city with obvious social problems and an unhealthy reputation, Jakarta is surprisingly safe. Violent crime is very rare and tourists are very seldom targeted.”27 Namun, perlu dicatat bahwa persoalan kesenjangan sosial sewaktu-waktu dapat menjadi “bom waktu” yang dapat menyebabkan wisatawan menjadi korban, misalnya jika terjadi aksi massa karena konflik kepentingan antar warga.
8
Peran Pemuda Dalam Pengembangan Kepariwisataan di DKI Jakarta Kurang lebih 15 (lima belas) tahun yang lalu, La Rose pernah mengatakan bahwa di usia muda (kurang lebih hingga 30-an atau 40-an tahun), seseorang merasa bahwa dirinya mampu mengubah dunia. Di atas kelompok usia tersebut, seseorang mulai berpikir untuk melakukan perubahan dalam skala yang semakin lebih kecil, hingga pada suatu titik (di sekitar usia 60-an atau 70-an tahun) seseorang akan berkata: “saya tidak akan lagi berubah”. Hal tersebut mungkin disebabkan di usia muda seseorang masih memiliki kekuatan fisik dan kemampuan berpikir kreatif yang sangat tinggi. Oleh karena itu, usia muda adalah momentum yang sangat tepat untuk merencanakan dan melakukan hal-hal yang luar biasa, termasuk berkontribusi dan memperoleh keuntungan yang besar dalam aktivitas pembangunan. Pemikiran La Rose juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita bahwa seseorang tidak boleh terlambat untuk mewujudkan cita-cita atau idealismenya, karena jika terlambat maka dia akan kehilangan momentum untuk berkontribusi bagi kebaikan dirinya dan masyarakat luas. Seorang filsuf AS juga pernah mengatakan bahwa “salah satu cara untuk mengetahui masa depan adalah dengan menciptakannya”. Oleh karena itu, kalangan pemuda di DKI Jakarta harus mulai “menciptakan” masa depan kepariwisataan yang berkelanjutan di wilayahnya melalui pendekatan pola pikir yang bersifat komprehensif, terintegrasi dan kemudian mewujudkannya secara konsisten, dalam upaya mendukung pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan. Mereka tidak boleh terjebak di dalam suatu paradigma yang terlalu pragmatis sehingga menjadi pemalas dan tidak mempunyai mimpi dan semangat yang luar biasa untuk kemajuan kepariwisataan DKI Jakarta, karena hanya menyelesaikan suatu persoalan secara parsial dan hanya untuk kebutuhan jangka pendek. Pola pikir yang bersifat komprehensif dan terintegrasi akan memberikan kesadaran bahwa tidak ada resep yang bersifat “instan” untuk menyelesaikan suatu persoalan. Ibarat memproduksi sebuah mobil, kita tidak dapat memfokuskan hanya kepada mesin atau kerangkanya, melainkan harus dilihat secara keseluruhan agar mobil tersebut dapat berfungsi dengan baik. Hal yang sama berlaku dalam proses pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan, kita tidak dapat hanya memfokuskan diri kepada masalah pemasaran atau pendidikan tenaga kerja kepariwisataan, melainkan melihat kepariwisataan sebagai sebuah sistem sehingga dapat memberikan keuntungan yang optimal bagi pembangunan DKI Jakarta secara umum. Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, ada sebuah persoalan serius yang harus dihadapi oleh kalangan pemuda. Sebuah penelitian di bidang psikologi menunjukkan bahwa kalangan muda yang lahir sejak dekade 80-an tergolong sebagai “Generasi Z”. Tidak dipahami mengapa digunakan istilah tersebut, namun salah satu cirinya adalah bahwa mereka sangat cepat beradaptasi dengan teknologi, namun menjadi pribadi-pribadi yang bermental instan, tidak berorientasi kepada proses. Persoalan ini harus ditangani secara serius karena jika terus berkembang dapat berpotensi merusak pola pikir dan tindak para pemuda terutama dalam kaitannya dengan proses pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan. Kemudian, peran apa yang dapat dilakukan oleh kalangan pemuda? Dalam jangka pendek, kalangan pemuda di DKI Jakarta harus dapat membuktikan kepada para wisatawan bahwa slogan “Enjoy Jakarta” memang benar adanya. Selain harus dapat mendukung diferensiasi antara “menikmati” DKI Jakarta dibandingkan dengan “menikmati” Jawa Tengah, Bali, Bangkok, Singapura, Paris atau kota-kota lainnya, mereka juga harus dapat membuktikan bahwa wisatawan akan dapat benar-benar menikmati perjalanannya ketika berada di wilayah DKI Jakarta.
9
Kalangan pemuda juga harus dapat membantu meningkatkan kreativitas penduduk miskin di wilayah DKI Jakarta agar mampu menghasilkan sesuatu yang berkualitas yang dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata. Dengan demikian, tidak akan ada “wisata kemiskinan” dalam bentuk penyajian kemiskinan penduduk lokal sebagai daya tarik bagi wisatawan atau menjual paksa barang dan jasanya. Hal tersebut dapat diwujudkan jika kalangan pemuda mampu mengajarkan harga diri dan kepercayaan diri kepada masyarakat miskin. Jika tidak, maka kepariwisataan akan menjadi sekedar hubungan antara “orang kaya” (wisatawan) dengan “pengemis” (penduduk lokal penyedia barang dan jasa dengan kualitas yang rendah bagi wisatawan). Kalangan pemuda dianggap sebagai kelompok masyarakat yang memiliki wawasan luas dan terbuka terhadap sesuatu yang baru atau asing. Oleh karena itu, mereka diharapkan dapat menjadi “jembatan” yang dapat menghubungkan antara kearifan lokal dengan kebutuhan wisatawan. Sebagaimana diketahui, – apalagi berkaitan dengan wisatawan mancanegara – wisatawan beranggapan bahwa destinasi pariwisata adalah a home away from home. Artinya, mereka kemungkinan besar dalam kondisi tertentu akan menuntut agar mendapatkan barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan mereka berdasarkan latar belakang kebudayaannya, misalnya tersedianya café atau bar. Diharapkan bahwa kapasitas yang dimiliki oleh kalangan pemuda tersebut dapat menciptakan hubungan yang harmonis di antara penduduk lokal dan wisatawan. Dengan demikian, peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan kekerasan seperti penutupan tempat hiburan secara paksa oleh kelompok masyarakat tertentu pada waktu-waktu tertentu tidak lagi akan terjadi di masa yang akan datang. Dalam rangka mempertahankan jati diri masyarakat di wilayah DKI Jakarta, terutama di kalangan pemuda, perlu diterapkan suatu sistem yang akan melibatkan mereka secara intensif untuk menciptakan daya tarik wisata berbasis sumber daya budaya lokal. Hal tersebut akan dapat meningkatkan kebanggaan mereka terhadap budayanya sendiri. Dengan demikian, perilaku meniru karakter wisatawan di kalangan pemuda dapat diminimalisasi. Bahkan, akan menjadi lebih baik jika wisatawan kemudian pulang ke tempat tinggalnya dengan mengadaptasi kebudayaan lokal masyarakat DKI Jakarta (yang bersifat positif). Kalangan pemuda harus menjadi pelopor dalam pengembangan kepariwisataan berwawasan lingkungan. Pemanfaatan material yang dapat didaur ulang dan tidak merusak lingkungan, sistem transportasi berpolusi rendah dan sebagainya, harus menjadi perhatian utama mereka. Namun demikian, untuk mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara yang mudah. Persoalan perlindungan lingkungan hidup selalu merupakan pertarungan antara perusahaan besar yang memiliki kepentingan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka pendek melawan kepentingan jangka panjang (yang sebetulnya juga akan mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan tersebut). Di samping itu, perlindungan lingkungan hidup selalu berkaitan dengan ilmu pengetahuan tentang ekosistem yang bersifat teknis dan kompleks, sehingga membutuhkan proses pemahaman yang mendalam. Pada saat yang bersamaan, kalangan pemuda di DKI Jakarta juga harus mampu mendorong peningkatan kreativitas masyarakat di wilayah lainnya di tanah air, sehingga mereka tidak terdorong untuk melakukan urbanisasi ke DKI Jakarta. Hal ini sangat penting karena persoalan kemasyarakatan yang disebabkan oleh jumlah penduduk yang terlalu banyak tidak akan pernah dapat diselesaikan secara tuntas. Sekalipun dibayangkan bahwa tingkat pengangguran dapat ditekan hingga mencapai titik 0% melalui kepariwisataan, persoalannya tidak selesai sampai di situ. Lingkungan hidup memiliki aturan sendiri mengenai keterbatasan daya dukungnya. Di samping itu, berdasarkan penelitian antropologis, jika suatu wilayah terlalu banyak jumlah
10
penduduknya, maka akan terjadi peningkatan tindak kekerasan karena saling berebut lahan/mata pencaharian. Persoalan kemacetan dan banjir di DKI Jakarta juga menjadi tantangan besar yang harus dapat diselesaikan secara tuntas oleh kalangan pemuda (jika dikatakan sebagai persoalan “klasik”, seharusnya kedua persoalan ini sudah dapat diselesaikan sejak lama). Persoalan ini nampaknya tidak dapat diselesaikan dalam jangka pendek, karena ada berbagai faktor yang berperan di dalamnya. Namun demikian, apapun alasannya, tidak ada pilihan lain bagi DKI Jakarta untuk menyelesaikan kedua persoalan ini jika diharapkan akan menjadi destinasi pariwisata unggulan. Konsep Akselerasi Kegiatan Kepariwisataan Setelah memahami keseluruhan materi materi tulisan ini, maka akan menjadi jelas bagi kita pengertian akselerasi kegiatan kepariwisataan bukan berarti “upaya peningkatan jumlah kunjungan dan uang yang dibelanjakan wisatawan sebanyak-banyaknya dalam waktu relatif singkat”. Istilah akselerasi perlu dipahami sebagai upaya percepatan peningkatan pemahaman mengenai konsep kepariwisataan yang ideal dan implementasinya dalam mendukung proses pembangunan di wilayah DKI Jakarta. Dengan demikian, maka baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang tidak akan terjadi persoalan-persoalan besar ketika kebijakan pembangunan kepariwisataan telah dilaksanakan. Sementara itu, untuk meningkatkan daya tarik DKI Jakarta sebagai destinasi pariwisata unggulan secara berkelanjutan, telah tersedia begitu banyak informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan atau perbandingan, khususnya jika dikaitkan dengan kreativitas. Sebagai contoh, berbagai yang disiarkan oleh jaringan televisi seperti Travel and Living Channel (TLC), National Geographic Channel dan Discovery Channel misalnya, dengan mudah memberikan banyak informasi mengenai bagaimana menciptakan daya tarik wisata. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi kalangan pemuda yang penuh dengan ide dan kreativitas untuk melihat dan mengembangkannya setelah melalui penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi di DKI Jakarta. Namun demikian, sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan berarti harus mematuhi batas-batas tertentu untuk menjamin keberlanjutan dimaksud. Di sinilah letak pentingnya peran kaum muda untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang dalam kaitannya dengan pembangunan kepariwisataan di DKI Jakarta. Pandangan ini hampir serupa dengan analogi pendapat Charles Landry dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya budaya (cultural resources) untuk pembangunan ekonomi di wilayah perkotaan, yaitu bahwa: “The key problem was not how to identify them, but how to limit the imagination, as the possibilities were endless”. Kalangan pemuda tidak boleh didominasi oleh konsep quick yield strategy, karena telah banyak contoh rusaknya destinasi pariwisata yang disebabkan oleh pola pikir tersebut. Perlu dipahami bahwa pembatasan bukan dilakukan untuk mengurangi keuntungan yang dapat diraih, melainkan justru untuk menjamin bahwa keuntungan akan diperoleh dalam jangka waktu yang sangat panjang (atau mungkin selamanya). Sebagai penutup, perlu diingat bahwa sangat penting bagi kalangan pemuda untuk selalu bermimpi tentang DKI Jakarta sebagai sebuah destinasi pariwisata yang sangat didambakan oleh banyak orang, mungkin seperti kota Paris, London, Milan atau Jenewa. Mimpi itu harus sedemikian kuat sehingga mendorong keinginan untuk mewujudkannya secara konsisten. Tanpa mimpi seperti itu – yang sebenarnya berkaitan erat dengan karakter kepemimpinan (leadership) – 11
perkembangan kepariwisataan di DKI Jakarta tidak akan pernah berubah dari kondisi yang sekarang. Seberapa besar dan kuat daya tahan kalangan pemuda untuk berkontribusi dalam upaya mewujudkan mimpi tersebut, akan menentukan hasil akhirnya dalam beberapa tahun ke depan.
12
REFERENSI 1Antariksa,
B. 2011a. Peluang dan Tantangan Pengembangan Kepariwisataan di Indonesia. Makalah dalam Sosialisasi dan Gerakan Sadar Wisata. Solok, 12 Oktober 2011: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Barat: 2.
2Ibid, 2-3. 3Facts and Figures. (http://unwto.org/, diakses 10 Oktober 2011). 4World Tourism Organization. Tourism Vision 2020: Europe. 10. (http://pub.unwto.org/WebRoot/
Store/Shops/Infoshop/Products/1152/1152-1.pdf, diakses 10 Oktober 2011). 5Antariksa 2011a, ibid, 3. 6Muljadi, A.J. 2009. Kepariwisataan dan Perjalanan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada: 7-8. 1Ryan,
C. 1991. Recreational Tourism: A Social Science Perspective. London dan New York: Routledge: 5-6.
1Gunn,
C.A. 1994. Tourism Planning: Basic, Concepts, Cases. Washington, DC and London: Taylor & Francis: 5.
1Ramly, N. 2007. Pariwisata Berwawasan Lingkungan: Belajar dari Kawasan Wisata Ancol. Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu: 47. 7Antariksa,
B. 2011b. Penegakan Hukum Pariwisata Di DKI Jakarta Sebagai Destinasi Pariwisata Internasional. Makalah dalam Pendidikan dan Pelatihan Kepariwisataan Tingkat Dasar 2011. Jakarta, 8 November 2011. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta: 3.
8Ibid. 9Antariksa, B. 2011c. Analisis Awal Masalah Kerjasama Internasional Dalam Pengurangan Dampak
Perubahan Iklim Melalui Pariwisata: 2. (http://www.budpar.go.id/filedata/6153_2181 AnalisisAwalMasalahKerjasamaInternasional.pdf, diakses 1 Juni 2011). 10Antariksa,
B. 2011d. Peran Kerjasama Internasional di Bidang Kepariwisataan. Laporan Penelitian Individual, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata: 5.
11Coelacanth:
Latimeria Chalumnae. (http://animals.nationalgeographic.com/animals/fish/ coelacanth/, diakses 7 Desember 2011).
12Transformers
Sales Boost Hasbro 2Q Revenue. 2011. (http://finance.yahoo.com/news/ Transformers-sales-boost-apf-960443150.html, diakses 15 Desember 2011).
13Antariksa 2011b, ibid, 4. 14Trout,
J. and Rivkin, S. 2008. Differentiate or Die: Survival in Our Era of Killer Competition. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.: 78.
15Budihardjo, E. dan Sujarto, D. 2009. Kota Berkelanjutan (Sustainable City). Bandung: PT. ALUMNI:
3, 10, 53. 16Ibid, 14, 57. 17Ibid, 216-219.
13
18Jakarta
Macet, Kendaraan Pribadi Bertambah. 2010. (http://kabar.in/2010/indonesiaheadline/rilis-berita-depkominfo/10/11/jakarta-macet-kendaraan-pribadibertambah.html, diakses 6 Desember 2010).
19Addressing
Ambient Air Pollution in Jakarta, Indonesia. (http://www.esri.com/news/arcnews/ fall07articles/addressing-ambient-air.html, diakses 6 Desember 2010).
20Health
Costs of Jakarta Pollution to Rp. 4.3 Trillion in 2015. 2009. (http://thejakartaglobe.com/ city/health-costs-of-jakarta-pollution-to-rp-43-trillion-in-2015/329055, diakses 6 Desember 2010).
21Damardono,
H. 2010. Infrastruktur: Transportasi Massal Versus Kemacetan. (http://www.land policy.or.id/news/1/tahun/2010/bulan/02/tanggal/17/id/353/, diakses 6 Desember 2010).
22Sanitasi
Buruk, Kerugian Triliunan. 2010. (http://health.kompas.com/index.php/read/2010/10/ 21/07103458/Sanitasi.Buruk..Kerugian.Triliunan-12, diakses 6 Desember 2010).
23Berapa
Jumlah Sampah di Teluk Jakarta? 2007. (http://oseanografi.wordpress.com/2007/01/ 04/berapa-jumlah-sampah-di-teluk-jakarta/, diakses 6 Desember 2010).
24Sampah di DKI adalah “Bom Waktu”. 2009. (http://megapolitan.kompas.com/read/2009/09/29/
14351072/sampah.di.dki.adalah.bom.waktu, diakses 6 Desember 2010). 25Kejahatan
di Jakarta Terjadi Setiap 9 Menit. 2008. (http://www.lintasberita.com/go/366703, diakses 6 Desember 2010).
26Saleh,
I. 1998. Wajah Perkotaan. Dalam Djarab, H. Rizki, R.M. dan Irahali, L. (Ed.). Beberapa Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI: Mengenang Almarhum Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, SH., LL.M: 334. Bandung: Angkasa.
27Bekmoes,
R.V. 2010. Lonely Planet Indonesia. (http://books.google.co.id/books, diakses 7 Desember 2010).
14