GERAKAN PEMBARUAN DESA DI GADINGSARI
Pembaruan Desa: Harapan dan Falsafat Kekuatan Lokal Proses pembaruan desa merupakan suatu kerja menggunakan kerangka dasar yang mengarahkan perubahan desa ke arah yang lebih demokratis, partisipatif dengan berdasar atas keadilan untuk masyarakat desa yang terorganisir menjadi lebih baik. Walaupun dalam bentuk wacana pembaruan sudah dapat digambarkan tetapi pada kondisi demokratisasi dan desentralisasi menuju otonomi adalah suatu ha1 yang tidak mungkin kalau kita pada akhirnya membuat kondisi desa yang terseragamkan dalam kacamata yuridis dan akademis. Penulis tidak memberikan sLatu arahan yang pasti tentang bagaimana desa menjadi lebih baik. Pada kesempatan ini digambarkan beberapa pendapat dari para tokoh masyarakat yang dianggap mempunyai visi dan misi ke arah pembangunan desa yang lebih baik. Pertanyaannya adalah desa yang lebih baik adalah desa yang seperti apa? Kondisi masyarakat desa yang seperti apa? Inilah yang akan diutarakan pada sub bab berikut ini. Masyarakat desa adalah suatu kumpulan dari komunitas yang berdiri atas dasar kesamaan tempat tinggal dan hubungan yang intensif dalam komunitas tersebut. Untuk mencapai suatu komunitas desa yang maju hams ada suatu instrumen yang dapat menggerakan kolnunitas pedesaan pada suatu aras yang nlemberikan ruang toleransi yang besar pada usaha dan kemajuan komunitas di desa. Arah pembangunan yang dilakukan pada kesempatan terbesar diberikan kepada mnsynrakat scbngni komunitns icl.hcsnr tli desn. Walaupun kitn n~enyadnri bahwa bangunan desa tidak hanya pada tingkatan masyarakatnya saja, melainkan bagaimana kelompok elit desa yang terdiri dari para pamong desa dan lembaga yang sederajat dengannya, seperti BPD, LKMD. Penulis menganggap bahwa para elit lebih bersifat sebagai instrumen yang masifuntuk melakukan perubahan atau setidaknya menjadi stimulan perubahan masyarakat desa yang dicitakan. Kekuatan masyarakat terbentuk ketika kelompok berdasarkan pada kepentingan yang sama dalam suatu wadah untuk bergerak sebagai organisasi dan secara formal mendapat pengakuan legalitas dari pemerintah. Ada beberapa
perilaku yang diperoleh bahwa kemajuan dan kekuatan masyarakat atau civil society sebagai penggerak pembangunan masyarakat Desa Gadingsari yang memperhatikan pandangan dasar organisasi (organisatoris) tersebut yaitu: selep helep (self help), individualiied (keniandirian), solidariied (kebersamaan yang tidak memihak), dan integrated (besama-sama, manunggal). Keempat sikap tersebut dapat dijelaskan dalam pandangan niasyarakat desa sebagai berikut: Pertama, selep helep yang disebutkan sebagai suatu kekuatan yang berasal dari diri sendiri untuk melakukan selep koreksi (selfcoreciion) atau melakukan koreksi atas diri sendiri. Koreksi yang dimaksud dalam kacamata masyarakat Gadingsari adalah biso rumonso (bisa memahamiherempati) bukan rumongso biso (merasa bisalsok tahu) atau yang dapat diartikan sebagai prilaku masyarakatlindividu yang bisa memahami diri sendiri apa adanya tidak arogan (merasa bisa). Orang dalam kacamata ini mengatur dirinya sendiri untuk melakukan pergaulan dengan anggota masyarakat lainnya yang berdasarkan pada tata krama adat istiadat masyarakat setempat. Atau dalam pepatah disebutkan sebagai: dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Masyarakat Gadingsari dapat menempatkan diri pada berbagai tingkat tata nilai dan tata kelakuan yang dimiliki masyarakat. Dalam pandangan ini masyarakat dapat menempatkan diri dengan tepat pada setiap kesempatan. Masyarakat tidak merasa mempunyai kuasa atas setiap kondisi yang dihadapi, tetapi dapat meresponnya dengan sangat hatiliati terhadap gejolak dan dinamika perubahan. Kedua, individualiied (kemandirian) dapat dimaknai sebagai suatu kekuatan yang bcrasal dari diri scndiri yang diharapkan dapnt menciptakan suatu energi
untuk melakukan pelnbangunan yang dicitakannya. Kemandirian dapat dilihat dari pandangannya tentang diri sendiri dan kemampuamya memberikan potensi yang dimiliki pada lembaga dan organisasi, terutama dilihat dari kemampuannya memberikan sumbangan material dan tenaga kepada masyarakat. Dalam bentuk organisasi yang dikelola bersama menciptakan kemandirian pada kemampuannya
untuk melakukan respon terhadap kondisi anggotanya. Ketiga, solidariied merupakan suatu perilaku yang dapat menempatkan (diri sendiri) individu dalam masyarakat menurut porsinya yang sama, tidak membedabedakan,
berdasarkan
keadilan
masyarakat
yang
mencerminkan
watak
kehumanisan masyarakat desa. Dalam pandangatl ini diharapkan dapat tercipta masyarakat yang lebih egaliter mensikapi pertnasalahan sosial di sekitarnya. Sehingga, tingkatan masyarakat yang terstruktur secara sosial budaya dapat terrefleksikan menjadi tata struktur menghargai dan menghormati eksistensi individu/masyarakat lainnya. Keernpat, integrated merupakan suatu cita-cita mengkoordinasikan berbagai potensi yang dimiliki untuk menjadi suatu kemanunggalan (kesatuan), terutama kemanunggalan dalam bentuk cipta, rasa, karsa, dan karya. Integrated dapat menciptakan masyarakat yang kreatif dalam mendukung kemandirian masyarakat. Untuk merediasikan keempat komponen tersebut dapat diciptakan suatu organisasi masyarakat yang dalam bentuknya dikehendaki oleh masyarakat sendiri. Karakter masyarakat merupakan potensi penggerak organisasi yang secara akademis dapat disebut sebagai potensi lokal (local wisdom). Seperti, masyarakat Gadingsari yang mempunyai ciri khas dan karakter kebersamaan yang masih kuat, walaupun disebutkan di Gadingsari bahwa menurunya nilai gotong-royong sudah mulai terkikis. Karakter masyarakat yang seperti itu dapat dipergunakan untuk menjadikan proses perubahan menjadi semakin dapat dipercepat, terutama ketika perubahan yang dilakukan adalah perubahan yang dikehendaki oleh masyarakat desa sendiri. Pembentukan kelompok tani dan koperasi usaha tani di Gadingsari terbentuk atas usaha bersama masyarakat atas kebersamaan dan kehendak untuk melembagakan masyarakat tani dalam suatu wadah koordinasi, arisan, dan tulungtinulung (tolong-menolong) antar sesama masyarakat tani khususnya.
Orgnnizntoris: Tinoto, Tinrrlis, Tirinliti, Tir~rrtrrp Untuk menggerakan potensi lokal yang dimiliki masyarakat perlu diperhatikan langkah-langkah yang perlu dilasksanakan secara konkrit dan memenuhi sasaran organisatoris. Langkah-langkah yang dilakukan berdasarkan ngelmu (ilmu pengetahuan) sekolah yang tidak semua orang dapat berkesempatan dan dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, inilah yang memberikan karakter pada suatu kelompok masyarakat tersebut. O~ganisatorisdilaksanakan dengan
baik dan benar, jika dapat memberikan pengharapan atas anggota masyarakat yang lain. Organisatoris sebagai suatu kekuatan masyarakat yang diakui dan mengakar di masyarakat dan bergerak dengan empat kekuatan yaitu: tinoto, tinulis, tinaliti dan tinutup. Pada prinsipnya, keempat kekuatan tersebut merupakan suatu prinsip keorganisasian yang secara m u m juga dilakukan oleh setiap organisasi formal. Pertama, tinoto (ditata atau diatur) dimaksudkan sebagai suatu kekuatan untuk mengatur diri sendiri dengan norma-norma organisasi yang termanifestasi dalarn bentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADIART). Seperti, nama organisasi, tujuan organisasi dan pelaksanaan harian. Kedua, tinulis (ditulis) merupakan pencatatan segala aktivitas kegiatan organisasi. Pencatatan yang dilakukan sebagai suatu dokumentasi kegiatan dan tra~sparansipertanggungjawaban hepada para anggota, terutama para pihak yang berkepentingan dalam kemajuan dan berkembangya organisasi masyarakat di Gadingsari. Para pihak yang berkepentingan adalah bagi mereka yang memberikan dukungan baik berupa dana, data dan dukungan politik untuk setiap gerakan yang dilakukan. Pencatatan dilakukan pada pertanggungjawaban keuangan dan kegiatan harian. Seperti, surat-surat tembusan kepada para pihak, mengadakan pertemuan atau rapat anggota selalu menggunakan absensi atau c"afiar hadir peserta, notulensi dan lain-lain. Hal ini dilakukan untuk menciptakan suatu dokumentasi kegiatan yang terukur dan dapat dikontrol oleh para pihak tersebut di atas. Ketiga, tinaliti (diteliti) merupakan kegiatan yang dilakukan untuk meneliti atau mengecek ulang setiap distribusi kegiatan dari mulai perencanaan, prapelaksanaan, pelaksanaan, dan pasca-kegiatan. Setiap tahapan dari runtutan kegiatan yang terjadi selalu terawasi dengan bantuan para pihak sehingga, proses "kontrol" terjadi tanpa ada yang terlewati di setiap tahapannya. Sebenarnya, kekuatan tinaliti merupakan suatu para meter terhadap kecenderungan bahwa suatu organisasai dapat terkontrol dan terawasi. Para pihak dapat melakukan kontrol, walaupun, pada kekuatan rinaliti dapat dilakukan dari dalam organisasi oleh para anggota ataupun para pihak yang berasal dari luar organisasi yang mempunyai kepentingan seperti di sebutkan di atas.
Keempat,
disebut
sebagai
tinutup
(ditutup atau
diakhiri)
adalah
dimaksudkan bahwa setiap kegiatan yang dilakukan hams dilakukan dengan proses penutupan. Pada tahap keempat inilah setiap kegiatan aktivitas organisasi yang telah direncanakan diakhiri dan mempakan proses penyelesaian yang harus dilaksanakan. Konsistensi menyelesaikan masalah yang dihadapi ditekankan sehingga pencapaian tujuan hams tercapai pada kehendak bersama masyarakat. Seperti logika pembukuan, keempat kekuatan yang hams dimiliki untuk mencapai masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera adalah sama uengan logika pekerja akuntan yaitu hams tercatat dengan baik, kemdudian dilakukan koreksi dengan teliti, kemudian disatukan pada laporan keuangan, selanjutnya adalah penutupan buku besar. Keempat kekuatan prinsip keorganisasian hams bisa dilakukan oleh kelembagaan masyarakat dan terutama sekali adalah kelembagaan pemerintahan desa. Hubungan sosial organisasi dapat dijalankan dengan baik dan diarahkan pada arus bawah dan arus atas. Hubungan organisasi yang baik tersebut seperti dimaknai oleh Grarnsci tentang hubungan yang seimbang antara masyarakat politik dan masyarakat sipil menciptakan hegemoni bam untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan keberadilan yang teratur. Potensi kekuatan pembaruan masyaraat Gadingsari dapat dilihat dari beberapa gerakan sosial pembaruan desa yang dilakukan mulai dari tahun 1998 hingga sekarang. Temtama dapat dilihat dari berlangsungnya proses demokratisasi tanpa konflik dan anarkis yang telah dilakukan pada pemilihan Kepala Desa (Kades) pada awal tahun 2004. selain itu, beberapa gerakan sosial politik yang muncul memberikan aspirasi masyarakat dan proses partisipasi terhadap pemerintahan yang baik (good governance) di desa Gadingsari. Seperti Sosial Politik Masyarakat Gadingsari (SPMG), LIMG (Lembaga Inisiatif Masyarakat Gadingsari) dan Lembaga Ekonomi Masyarakat yang termanifestasikan dalam bentuk koperasi partisipatif. Hal tzrsebut yang difokuskan oleh peneliti untuk lebih melihat proses pembaruan desa di Gadingsari, dan beberapa proses sosial yang mendukungnya, seperti relasi-relasi sosial dari beberapa elemen pembaman desa yang turut serta dalam proses yang telah dilakukan.
Demokratisasi Masyarakat Gndingsari Perkembangan wacana demokratisasi yang berkembang di dunia kampus oleh akademisi tidak hmya kembali menjadi suatu wacana an sich. Perkembangan selanjutnya adalah menu~rIkanpada dataran realitas yang sehamsnya dilakukan untuk membebaskan keterpumkan yang tidak berkeadilan. Karena wacana demokratisasi adalah identik dengan partisipasi, pengambilan keputusan, kebersamaan, dan kemufakatan. Pengambilan putusan menyangkut masyarakat termasuk di dalamnya adalah hajat hidup sangat relefan dilakukan secara demokratis. Demokratisasi pada masyarakat desa sesunggulmya diakui sudah berkembang lebih lama dari pada perkembangan wacana demokratisasi yang digulirkan di dalam lembaga pendidikan tinggi dan para akademisi kampus. Sebagai contoh adalah pemberian aspirasi masyarakat yang dilakukan di depan kantor desa, pemilihan kepala desa yang dilakukan rnasyarakat, dan pertanggunjawaban kepala desa kepada masyarakat yang dilakukan secara terbuka di depan kantor desa. Ketiga contoh di atas mencerminkan partisipasi masyarakat dalam demokratisasi desa. Perkembangan demokratisasi di Gadingsari mulai tahun 1999 sudah berangkat pada konsolidasi menuju gerakan sosial. Temtama, support yang dilakukan oleh NGOs dengan mengadakan kepelatihan politik dan hukum kepada masyarakat temtama pada para tokoh masyarakat yang dianggap memiliki komitment pada perjuangan gerakan sosial pembaruan dan keadilan. Hal ini juga berdampak pada proses pemilihan Kepala Desa di Gadingsari pada tahun 2004 yang dilakukan secara demokratis dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Walaupun, pada kenyataamya, masyarakat melihat dampak pemilihan kepala desa pada tahun 2004 yang lalu belum berdasarkan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Karena pada kesempatan sekarang, masyarakat menyesali pilihan yang mereka lakukan pada dua tahun yang lalu. Mereka menganggap bahwa pemilihan kepala desanya adalah suatu kesalahan. Kesalahan memilih dirasakan pada kenyataan bahwa sekarang Kepala Desa sudah tidak memberikan perhatian secara adil kepada masyarakat Gadingsari. Penyesalan ini, pernah dikatakannya secara terbuka oleh seorang tokoh masyarakat di depan Kepala Desa (Ngadiran) yang dua tahun yang lalu terpilih. Dan Ngadiran yang mempunyai kebiasaan
responsif
-
pada lawan bicaranya
-
tidak memberikan banyak tanggapan atas
komentar warganya. Artinya, Ngadiran sebagai seorang Lurah merasakan kegagalan kepemimpinan yang dijalankan, terutama yang berdampak kepada masyarakat. Atau dapat dikatakan, bahwa benar, masyarakat sebenarnya mengalami kesalahan dalam memilih seorang kepala desanya. Dan dapat dimaknai bahwa apa yang dikatakan oleh warganya dengan terang-terangan merupakan pengakuan yang sebenarnya. Penjelasan tentang demokratisasi dan gerakan masyarakat akan dimulai dari sini. Proses pemilihan kepala desa pada hari Minggu, tanggal 11 Januari 2004 yang dimenangkan oleh Ngadiran adalah sebuah proses demokratisasi di Gadingsari. Walaupun, masih menjadi pertanyaan bahwa tingkat partisipasi seperti apa yang menjadi dasar warga masyarakat Gadingsari untuk memberikan hak suaranya kepada Ngadiran tersebut. Ngadiran yang kini berusia 50 tahun pada saat itu, mengalahkan dua calon lainya yaitu Purwito dan Mardjuki. Purwito adalah kepala Padukuhan .... sedangkan Mardjuki adalah seorang pejabat Badan Perwakilan Desa (BPD) yang saat ini menjabat sebagai seorang Ketua BPD Gadingsari. Pemilihan yang dipusatkan di Balai Desa Gadingsari diikuti oleh 6.083 orang dari 6.882 jumlah pemilih. Pemilihan suara dilakukan dalam dua tahap pemilihan, pertama pemilihan yang diikuti oleh ketiga orang peserta calon Kepala Desa. Kedua, pemilihan dilakukan setelah dua orang pemenang dengan perolehan suara tertinggi untuk mendapatkan seorang pemenang. Pada tahappertama pemilihan suara diikuti oleh ketiga perserta calon yaitu, Ngadiran, Purwito, dan Mardjuki. Pemungutan suara dilakukan di setiap padukuhan. Artinya, setiap padukuhan terdapat satu buah Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pemilihan tahap pertama dimenangkan oleh Ngadiran memperoleh 2.750 suara, Punvito 1.950 suara dan Marjuki 1.033 suara. Pada tahap kedua pemilihan diambil dua perserta di atas yang nlemperoleh suara terbanyak yaitu Ngadiran dan Purwito. Melalui tahapan kedua atau final, pemilihan dimenangkan oleh Padukuhan Wonorejo 11 dengan suara yang diperolehnya sebanyak 3.109 suara. Menurut masyarakat bahwa pe~nilihanKepala Desa dimenangkan oleh Padukuhan Wonorejo 11, karena Ngadiran adalah warga Dukuh Wonorejo 11.
Proses pemilihan Kepala Desa yang disebutkan di atas dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: pertama, konsolidasi para calon yang memberikan pengaruhnya kepada pemilih. Konsolidasi dilakukan oleh Ngadiran adalah mengajak para Dukuh (Kepala Padukuhan) sebagai tim sukses Pilkades. Pengakaran yang kuat masing-masing Dukuh di nlasyarakat membuat penyebaran image baiknya menjadi cepat tersebar dan mendapatkan aspirasi masyarakat.
"Kampanye" yang dilakukan oleh Dukuh tidak hanya dirasakan oleh masyarakat disekitar tempat tinggal Dukuh dan Calon Kades. Ada beberapa tokoh masyarakat yang sebelumnya mempunyai calon atau jagonya sendiri, juga mendapatkan pengaruh dari masukkan para Dukuh untuk memilih Ngadiran sebagai Kades Gadingsari. Kedua, selain kuatnya tim sukses yang di dukung tujuhbelas orang Kepala Dukuh di Gadingsari, Ngadiran juga sempat membagi-bagikan uang dan menyambut tamu yang bekunjung ke rumahnya dengan jamuan yang menarik. Kondisi yang demikian, dilakukan sebelum pemilihan berlangsung di setiap distrik. Sehingga, suara terbanyak dapat diperoleh dengan mudah untuk mengantarkannya menjadi Kepala Desa Gadingsari. Ketiga, aktifnya Ngadiran memperjuangkan kegiatan masyarakat sebelum perencanaan pemilihan. Pada kondisi yang demikian dikarenakan posisi dan kedudukannya pada saat itu menjadi pejabat sebagai Kepala Dukuh Wonorejo 2. Aktivitasnya di masyarakat selalu mendapatkan perhatian dan simpatik, terutama dengan keduduknnya sebagai Kepala Padukuhan memberikan "pertolongan" kepada masyarakat di padukuhannya
untuk
~nendapatkan pclayanan
pengurusan
administrasi
kependudukan sampai di tingkat desa. Perkembangan demokratisasi di Gadingsari tidak menunjukkan peningkatan perbaikan, terutama di lapisan masyarakat terbawah, gressroots. Menurut mantan Kades bahwa demokrasi nlasyarakat Gadingsari masih urung dong (belum mengerti masyarakat), waton wani, wani, Ian wani, durung manut jalure atau hanya bisa berani, berani, dan berani belum mengikuti jalumya yang benar. Berani mengajukan perbedaan,
yang tidak rasional, dan belum tentu
kebenarannya. Dalam proses demikian, masyarakat Gadingsari mendapatkan support wacana demokratisasi dari NGOs yang konsem terhadap pemberdayaan
demokratisasi masyarakat desa, seperti yang dilakukan oleh 1.appera Indonesia
mulai tahun 1998 hingga 2005 dalam hentuk pelatihan dan lokakarya serta seminar-seminar hingga dalam bentuk pendanlpingan aksi yang menyertakan beberapa tokoh masyarakat. Pelaksanaan pemberdayaan yang dilakukan kepada tokoh masyarakat membuahkan hasil menuju gerakan sosial dan politik masyarakat yang selanjutnya dipaparkan pada penjelasan di bawah ini.
Gerakan Sosial Politik Masyarakat Gatlingsari (SPMG) Masyarakat
Gadingsari merupakan masyarakat
guyub
dan d u n
(gemeinschafien) yang solid dalam melakukan gerakan sosial. Gerakan sosial yang dilakukan selalu berdasarkan pada aspirasi dan kepentingan masyarakat. Artinya, gerakan sosial dilakukan tanpa mempertimbangkan issue politik yang terdapat di Gadingsari. Bahkan, gerakan sosial secara langsung dapat memberikan dampak pada munculnya issue politik dan pemerintahan. Perjuangan yang dilakukan selalu mendasarkan pada kepentingan yang bersangkutan langsung dengan kehidupan warga masyarakat. Seperti, keberadaan akses terhadap wedi kengser di Kelurahan Poncosari (sebelah Barat Kelurahan Gadingsari), dan bantuan rekonstruksi dan rehabilitasi pasca gempa. Walaupun, ada isu yang direspon secara bersama atas dasar kepentingan politik a k z :etapi ha1 ini biasanya mertdapatkan support dari NGOs dari luar desa. Sumbangan NGOs terhadap penyadaran politik masyarakat dilakukan melalui memberikan pendidikan kepelatihan politik dan hukum kepada masyarakat. Seperti yang pemah dilakukan oleh Lappera di Padukuhan Ketalo Gadingsari, hingga terbentuknya Sosial Politik Masyarakat Gadingsari (SPMG). Kepelatihan yang pemah dilakukan juga telah menciptakan aktor-aktor demokrasi. Akto-&tor yang terbentuk dalam SPMG beberapa diantaranya masih tetap konsiten dengan proses pembelajaran den~okratisasidan gerakan rakyat. Aktor demokrasi tersebut selalu siap melakukan respon pada tindakan-tindakan atau kegiatan yang tidak berkeadilan kepada masyarakat Gadingsari, walaupun masih dalam tahap yang relative pasif. Dalam artian, bahwa para aktor yang telah menj~ditokoh masyarakat melakukan gerakan merespon ketika ada pengaduan dari masyarakat. Dalan~kondisi seperti ini, bukan berarti para tokoh masyarakat
tidak mengetahui gejolak sosial yang terjadi di masyarakat, akan tetapi melakukan respon tanpa suatu dasar dari bawah adalah suatu usaha yang elegan golek
momongan (cari-cari kerjaan saja). Sifat pasif tokoh masyarakat yang seakan tidak memberikan perhatian kepada masyarakat atas kondisi yang menimpanya, ketika tanpa pengaduan, akan tetapi menjadi respon balik yang bersifat aktif ketika masyarakat sudah memberikan informasi secara langsung kepada tokoh masyarakat. Mereka akan memberikan respon dengan menampung informasi yang diberikan masyarakat dengan menerimanya di rumah-rumah tempat tinggalnya. Terutama sekali, meraka melanjutkan kepada para tokoh masyarakat yang lain, sehingga issue yang sudah mencuat di masyarakat menjadi kesepahaman bersama di antara tokoh masyarakat. Artinya, perjuangan yang dilakukan tidak dilakukannya sendiri. Sehingga, mereka tidak akan melakukan aksi secara langsung kepada para pihak yang menjadi "lawan" politik dari pada masyarakat yang menuntut keadiliui. Gerakan yang dilakukan untuk merespon gejolak di masyarakat adalah
pertama, masifikasi gagasan dari peramasalahan yang di alami oleh masyarakat. Pada kondisi ini biasanya masyarakat banyak yang berkumpul di rumah tokoh masyarakat yang dianggap mampu memberikan perhatian dan masukkan untuk menyelesaikan permasalahan. Koordinasi yang dilakukan oleh masyarakat di rumah tersebut tidak hanya terjadi dalam beberapa hari saja, akan tetapi hampir setiap malam mereka akan terus berkoordinasi hingga masifikasi gagasan tentang permasalahan mengkristal dan diperoleh akar masalahan dari semua fenomena atau gejala sosial yang terjadi di masyarakat.
Kedua, setelah akar permasalahan ditemukan dan mencapai suatu kesepahaman kondisi yang sebenarnya, tokoh masyarakat melakukan koordinasi dengan anggota NGOs (LSM) yang telah mempunyai hubungan baik di tingkat Kabupaten Bantul dan Yogyakarta. Konsultasi yang dilakukan adalah mengenai strategi penyelesaian masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat, dengan memberikan informasi permasalahan secara bersama dalam forum FGD (Forum
Groups Disscution) yang dipandu oleh anggota LSM. FGD dalam pandangan masyarakat disebut sebagai rembug-rembug warga. Konsultasi dilakukan oleh tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat biasanya berangl~;: inengendarai sepeda
motor atau mobil yang dimiliki oleh warga masyarakat untuk melakukan konsultasi dengan tokoh-tokoh NGOs. Walaupun, dalam kondisi tertentu tokoh masyarakat berusaha untuk berangkat sendiri tanpa menyertakan anggota masyarakal lainnya untuk szgera bertemu dengan LSM, karena informasi yang didapat dari LSM merupakan suatu yang sangat prestisius. Tokoh masyarakat setidaknya mendapatkan pengakuan ketika masyarakat menerima informasi hasil konsultasi dengan tokoh LSM. Tokoh masyarakat lebih menyukai jika masyarakat menerima informasi langsung dari dirinya, sehingga keberadaan tokoh masyarakat mendapat pengakuan dari masyarakat atas informasi yang diberikannya. Seseorang disebut sebagai tokoh masyarakat dengan pertimbangan bahwa: 1) memiliki keberpihakan kepada masyarakat, 2) netraiitas yang obyektif, 3) tanpa tendesi dan kepentingan material, dan 4) perjuangannya hanya kepada keadilan masyarakat. Hubungan antara tokoh masyarakat dan tokoh LSM di dasarkan pada kekeluargaan yang secara tidak langsung mengaburkan kepentingan politik masing-masing pihak. Hal ini dapat dilihat dari rasa penghormatan dari para tokoh LSM kepada tokoh masyarakat di Gadingsari. Biasanya, mereka sowan ke rumah tokoh masyarakat yang sudah dianggapnya sebagai tetua atau orang tuanya. Sebaliknya, tokoh masyarakat di Gadingsari biasanya memberikan "imbalan" dalam bentuk barang-barang atau makanan, seperti memberikan Kelaps Muda Kopyor, seolah ini dianggapnya sebagai oleh-oleh yang secara tidak langsung merupakan ucapan terimakasih, dan rasa persaudaraan atas hubungan yang terjalin selama ini, terutama atas masukkan dan kosultasi permasalahan gerakan massa di desanya. Ketiga, koordinasi di tingkatan masyarakat Gadingsari untuk memberikan
informasi penyelesaian yang telah dilakukan bersama LSM. Dalam forum tersebut berkumpul masyarakat yang jumlahnya lebih banyak dari hari-hari sebelumnya pada tahapan pertama dan kedua, mereka biasanya memberikan informasi secara lebih detail dan mencatat informasi yang diperoleh sebagai bahan untuk tindak lanjut gerakan. Forum ini sifatnya sangat sederhana tanpa format acara yang formal akan tetapi anggota inasyarakat berbicara bergantian menanggapi informasi yang diperoleh. Pada diskusi yang dilakukan masyarakat bebas memberikan informasi yang dimilikinya mengenai semua kondisi di lapangan
yang diketahuinya berdasarkan pendapat dirinya sendiri maupun pendapat dari masyarakat lainnya yang tidak sempat datang berkumpul. Hasil dari kepelatihan itu terarah pada suatu kesadaran atas kepentingan politik ketenvakilan masyarakat di lembaga legislative desa (BPD). Pada saat itu, pembentukan BPD diatur berdasarkan Peraturan Daerah yang mensyaratkan penvakilan berdasarkan jumlah penduduk di setiup desa. Sumbangan masyarakat untuk merespon Peraturan Daerah No. 20 Tahun 2002 tentang Pembentukan BPD (Badan Penvakilan Desa) dilakukan dengan melakukan dialog dengan DPRD Kabupaten Bantul. Wacana pembentukan BPD pada tahun 2002 menjadi menarik bagi masyarakat Gadingsari terjadi karena beberapa pertimbangan yaitu: pertama, proses sejarah pemerintahan di Gadingsari tahun 1946 pemah dilakukan otonomi desa dengan berdasar pada Instruksi atau Maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono IX tentang Pemberian Otonomi Kepada Pemerintahan Desa, yang utamanya pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Kelurahan (DPRK). DPRK sebagai lembaga legislatif di tingkat desa mempunyai kedudukan yang sama (sejajar) dengan Kepala Desa (Lurah). DPRK beberapa hngsi sosial-politik yaitu:
1) untuk menampung dan memberikan aspirasi masyarakat kepada pemerintahan desa sebagai lembaga eksekutif; 2) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan desa. Ketiga, penytrsunan anggaran perencanaan belanja desa (APBDes); 3) DPRK juga mempunyai fungsi penting menangani masalah pertanahan, kasus pertanahan harus dibahas bersarna antara DPRK dan Lurah. Dalam Maklumat tersebut, pembentukan DPRK merupakan penvakilan dari setiap dusun (l'adukuhnn). Tatn cara ynng dilakukan adalah setiap dusun mengirimkan satu orang wakilnya untuk duduk di pemerintahan desa sebagai anggota DPRK. Setiap anggota DPRK dari masing-masing dusun dipilih secara langsung oleh masyarakat. Perubahan keanggotaan DPRK terjadi pada tahun 1955, dimana yang duduk di dewan legislatif desa di Gadingsari yaitu, setelah terjadi pemilu, pewakilan DPRK ditentukan berdasarkan partai politik yang memenangkan pemilu, sehingga bahwa netralitas DPRK menjadi pemasalahan tersendiri di intern kelembagaan. Proses menuju otonomi kembali menjadi kabur setelah menguatnya DPRK pra pemilu '55.
Kedua, penvakilan pembentukan BPD sebagai lembaga legislatif seperti
DPRK yang dijelaskan di atas, tidak ditentukan berdasakan penvakilan di masingmasing padukuhan, melainkan perwakilan distrik, yang terdiri dari beberapa padukuhan (dusun). Kalau pembentukan DPRK diwakilkan oleh masing-masing padukuhan sehingga anggota DPRK sejumlah padukuhan yang ada di Gadingsai yaitu 18 orang, maka dengan sistem penvakilan distrik anggota BPD menjadi hanya terdiri dari 13 orang, dilengkapi dengan satu orang sekretariss7 BPD. Pemilihan sekretaris BPD dilakukan dengan proses rekruitmen dan pendaftaran setelah dilakukan pengumuman kepada masyarakat. Ada dua calon sekretaris BPD mendaftarakan diri. Proses pemilihan dilakukan secara langsung oleh anggota pemerintah desa, sebagai representasi pemerintah, karena secara struktural sebenarnya sekretaris BPD adalah pegawai pemerintah desa yang digaji berdasakan tanah lungguh atau tanali bengkok. Ketiga, tidak adanya proses ketenvakilan dalam penentukan anggota BPD,
karena proses keterwakilannya mengingkari struktur ketenvakilan pemerintahan desa yang seharusnya ditentukan berdasarkan masing-masing padukuhan. Penentuan keanggotaan BPD yang jumlahnya 13 orang adalah berdasarkan pada kuantitas jumlah penduduk Gadingsari. Berdasakan peraturan pemerintah daerah tentang pembentukan BPD pada pasal 32 bahwa jumlah anggota BPD ditentukan berdasarkan jumlah penduduk desa yang bersangkutan yang ditentukan sebagai berikut, jika: 1) jumlah penduduk sampai dengan 1.500 jiwa, maka jumlah BPD terdiri dari 5 orang; 2) jumlah penduduk antara 1.501 sampai dengan 2.000 jiwa, maka jumlah anggota BPD 7 orang; 3) jumlah penduduk antara 2.001 sampai h BPD ada 9 orang; 4) jumlah penduduk dengan 2.500 jiwa, maka j ~ ~ m l aanggota antara 2.501 jiwa sampai dengan 3.000, maka jumlah anggota BPD adalah 11 orang; dan 5) jun~lahpcnduduk lebih dari 3.000 jiwa, maka jumlah anggota BPD maksimal adalah 13 orang. Di Gadingsari mungkin hanya berkurang hingga 8 orang penvakilan dari 8 padukuhan yang "tidak dapat ikut serta" dalam pencalonan pemilihan, akan tetapi kalau kita melihat tetangga desa Gadingsari, terutama di Desa Poncosari yang memiliki 24 padukuhan, sehingga jumlah anggota RPD tidak dapat terwakili dari 6 orang dari jumlah padukuhan yang ada.
" Sekretaris BPD dipilih secara Lerpisah oleh perangkat desa Gadingsari dari tigu calon yang rnengajuka" lamaran.
139
Walaupun, secara organisatoris kegiatan gerakan masyarakat dalam forum SPMG dikatakan sudah maju dan terorganisir, akan tetapi pada tahun 2000 pengakuan terhadap lembaga seperti itu, tidak mendapatkan perhatian secara penuh dari pemerintah. Terutama, respon dari pemerintah desa yang menggangap SPMG sebagai lembaga yang tidak dapat bekerjasama dengan pemerintah desa, karena tidak sepakat dengan kebijakan pemerintahan yang jauh dari semangat pejuangan partisipasi masyarakat. Seperti, kekosongan kepala dusun (Dukuh) di Padukuhan Ketalo yang sudah tiga tahun lebih belum ada penggantinya, karena Dukuhnya ditun~nkanoleh masyarakat atas inisiasi dari SPMG karena tidak dapat membawa aspirasi masyarakat Ketalo. Artinya, pemerintah masih secara formal menerima masukkan dari masyarakat. Pendapat masyarakat yang tergabung dalam SPMG memberikan aspirasinya kurang diperhatikan dalam tindak lanjut penyelesaian pengaduan. Masukkan pendapat atau pengaduan segera mandapat respon ketika dilakukan oleh kelembagaan formal yang secara legal diakui keberadaannya. Hal ini terlihat dari pendapat pemerintah desa Gadingsari yang selalu memberikan sikap yang apiori terhadap kelompok SPMG, yang dikatakannya bahwa SPMG hanya memberikan kerusakan pada sistem pemerintah desa. SPMG dianggap selalu kontra dengan pemerintah desa, dan mempunyai potensi untuk menghambat tata pemerintahan yang sedang dijalankan oleh Lurah. Sampai di sini, gerakan masyarakat Gadingsari dalam bentuk SPMG menjadi tidak maksimal.
LIMG: Kekuatan Terorganisir Masyarakat Gadingsari
Untuk mempertegas gerakan masyarakat sebagai formasi civil sociev yang memiliki legalisasi maka masyarakat Gadingsari didukung banyak pihak melakukan pengorganisasian hingga terbentuknya Lembaga Inisiatif Masyarakat Gadingsari (LIMG). Pengorganisasian LIMG merupakan tindak-lanjut dari gerakan yang dilakukan oleh SPMG. Munculnya LIMG juga dimotori oleh penyadaran untuk membentuk kekuatan civil society yang kuat dan diakui oleh pemerintah. Hasil pertemuan masyarakat desa seluruh Indonesia di Kali Urang Yogyakarta, masyarakat Gadingsari berkehendak melembagakan secara legal
formal SPMG dalam bentuk dan naina baru seperti tersebut di atas, yaitu LIMG. Secara otomatis, tokoh masyarakat yang tergabung dalam SPMG memberikan dukungan dalanl memperlancar kepengumsan kelembagaan LIMG. Gerakan LIMG dilakukan untuk mendorong penemuan permasalahan sosial politik hingga tercapai suatu solusi dan penyelesaian oleh masyarakat. Inisiasi diberikan melalui sumbangan tercapainya solusi kepada banyak pihak di Gadicgsari. Dorongan LIMG yang kuat addah menciptakan anggota BPD pada
tahun 2001. LIMG mendorong anggota BPD yang menurut mereka dapat memperkuat lembaga tersebut dalam fungsinya mewakili aspirasi masyarakat. Kernudian usaha yang dilakukan adalah mengajukan tiga anggota LIM yang merupakan representasi tokoh masyarakat dan dapat dipercaya untuk menjalankan tugas penvakilamya di BPD. Seperti, SPMG, kondisi LIMG masih dianggap sebagai musuh yang berseberangan dan tidak mendukung pemerintah desa. Pada kondisi tertentu perjuangan LIMG secara ektrim dicap sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada tahun 2002, kondisi yang demikian mendapat sambutan dinamis dan menjadikan semangat gerakan LIMG terhadap pemerintah desa. Kegiatan yang dilakukan menuntut pemerintah desa dengan melakukan kritik dan demonstrasi terhadap kebijakan desa yang masih mengabaikan aspirasi dan kepentingan masyarakatnya. Kegiatan sosial politik yang dilakukan oleh LIMG tidak semua masyarakat dan perangkat desa menganggapnya sebagai suatu aktivitas yang buruk. Masyarakat masih ada yang menganggap kegiatan sosial politik scpcrti tcrscbut scbagai suatu yiu~grcsponsif, karena ~nasihada masyarakat yang melakukan pengawasan langsung terhadap pemerintahan desa. Akan tetapi, kegiatan tersebut tidak mendapat snmbutan dari pelnerintahan desa, karena ketidaknyambungan paradigma atas pandangan yang mendasari gerakan yang dilakukan oleh LIMG sebagai lembaga sosial masyarakat (LSM lokal). Kelanjutan gerakan LIM di Gadingsari mulai melemah pada tahun 2005. Indikasi yang perlu diperlihatkan adalah bahwa: perfama, LIMG tidak lagi mengikuti wacana dan perkembangan demokratisasi dan otonomi di tingkat Kabupaten yang menjadi salah satu agenda dari misi kelembagaannya. Hal ini diakui oleh Ketua LIMG yang masih menjabat: bahwa apresiasi secara kelembagaan LIMG sudah tidak dapat mengikuti ritme gerakan demokratisasi.
LIMG sebagai organisasi formal tidak dapat rnenjalankan fungsi dan visinya sebagai lembaga dan mendorong gerakan masyarakat Gadingsari. Narnun secara personal dan individual Icetua LIM masih aktif rnenggerakan masyarakat dalam bentuknya yang lain. Terutama sekali kegiatan LIMG secara personal dialihkan menuju gerakan masyarakat tradisi dalam bentuk pemberdayaan di bidang kesenian dan koperasi. Kedua, kepengurusan LIMG sudah tidak lagi berjalan secara maksimal. Kepengurusan LIMG hanya dilaksanakan oleh Ketua LIMG dengan melakukan koordinasi kepada anggota-anggota yang masih konsern terhadap organisasi. Anggota organisasi yang sudah tidak lagi aktif dalam orgrrisasi dapat dikatakan sebagai orang yang murtad, menghilang dari organisasi. Sehingga, mereka yang murtad tidak mendapatkan informasi kegiatan organisasi LIMG. Kelompok yang "murtad" disebutkan adalah mereka yang sudah masuk dalam kelembagaan desa di BPD, namun tidak lagi melakukan misi dan visi LIMG seperti yang telah diagendakan sebelumnya. Padahal perencanaan awal terhadap masuknya anggota LIMG di dalam kelembagaan BPD memberikan masukkan kritis agar kebijakan pemerintah desa berpihak pada kepentingan masyarakatnya. Kenyataannya, mereka tidak lagi dapat melakukan gerakan yang berpihak secara politis, melainkan hanya dilakukan secara teknis memenuhi kebutuhan persyaratan administrasi pelaporan tahunan Lurah Gadingsari kepada Bupati Bantul. Ketiga, tidak adanya koordinasi internal dengan pemerintah desa. Hubungan yang berawal dari kecurigaan antara pemerintah desa dengan lembaga masyarakat belum dapat teratasi, sehingga kondisi ideal untuk saling menguatkan belum terealisasi. Posisi anggota LIMG yang duduk di BPD tidak dapat menjalin silaturahmi kelembagaan untuk mendekatkan kelonggaran (barrier) hubungan tersebut. Anggota LIMG yang disusupkan menjadi anggota BPD ada tiga orang yang memulai proses SPMG hingga terbentuknya LIMG menjadi lembaga kemasyarakatan yang legal. Namun dari ketiga sumber daya yang dimiliki tidak dapat menggerakan pemerintahan desa untuk menjaga image LIM dan mensinergikan kekuatan politik di kedua pihak. Pada proses rekonstmksi dan rehabilitasi rumah pasca gempa ketidakharmonisan keduanya dapat terlihat jelas. Gerakan LIMG menuju proses penguatan pemerintahan desa menyelesaikan
bantuan pasca gempa tidak berjalan dengan baik. Bahkan ini bukan menjadi prioritas utama sebagai instrumen ~ l n t ~ i kken~bali melakukan pendekatan penguatan pemerintd~andcsa, yang sehnrusnya dilakuan oleh gerakan pembaruan desa. Ada tuduhan yang dilontarkan pihak pemerintahan desa bahwa Ketua BPD (sebagai anggota LIM) melaporkan ltetidak becusan Kepala Desa dalarn penanganan pasca gempa untuk pembentukan Pokmas (Kelompok Masyarakat). Anggapan tersebut masuk pada ranah politik bahwa laporan yang dilakukan oleh Ketua BPD adalah salau satu cara untuk menggulingkan jabatan Kepala Desa. Padahal kondisi yang sebenarnya adalah bahwa Ketua BPD-sebagai
masyarakat-menghantarkan
wakil
masyarakat desa yang mengalami ketidakadilan
pendataan dan distribusi bantuan yang diturunkan oleh pemerintah desa. Alasan pemerintah desa bahwa pendataan dan distribusi bantuan hams berdasarkan pada data korban gempa by name yang sudah diturunkan dari Pemerintah Kabupaten. Keempat,
bahwa
tidak
adanya
pendampingan
dari
NGOsILSM.
Pendampingan yang diberikan biasanya adalah proses diskusi dan wacana perkembangan politik di luar desa dan pendampingan penyelesaian masalah. Proses pendampingan biasanya dilakukan untuk mencapai jalan demokrasi. Hal ini juga diusulkan oleh mantan Kades Gadingsari agar para pihak yang n~engetahui proses jalur demokrasi penyelesaian masalah rekonstruksi dan rehabilitasi dapat memberikan masukkan dan menuntun masyarakat mencapai tujuan keadilan. Terutama, keadilan bantuan kepada masyarakat yang sangat membutuhkan, karena kondisi di lapangan ternyata masih banyak masyarakat yang tidak sesuai dengan kriteria penerima bantuan terdaftar di data penerima bankan by name yang digunakan sebagai rujukan pembentukan Pokmas.
Kopcrz~si:Gcralcnn Orgnnis Ekononli Msndiri
Organisasi yang baik dapat mencapai suatu tingkatan yang disebut oleh masyarakat sebagai kelembagaan yang organis. Artinya bahwa suatu organisasi yang sudah terbentuk tidak hanya berlambangkan adanya jumlah keanggotaan, melainkan tercipta juga suatu karya. yang terstruktur clan tersistematis agar dapat terukur ole11 setiap anggotanya. Gerakan organis yang hingga sekarang dilakukan
dengan membentuk kelembagaan koperasi. Koperasi menjadi rujukan masyarakat dalam menjalankan kehidupan usahanyn. Sejarah perkembangan koperasi atau kelompok usaha masyarakat di Gadingsari selama Orde Baru dapat dikatakan berkembang karena banyak bantuan dan suntikan dana yang dimasukkan kepada koperasi. Akan tetapi, sumbangan yang diberikan tidak diberikan secara cuma-cuma. Seperti pepatah barat yang mengatakan bahwa tidak ada makan siang gratis. Bantuan kepada koperasi diberikan dengan imbalan pada pengakuan dan legetimasi kepada rezim otoriter. Pengakuan yang dilakukan secara coersive oleh masyarakat kepada pemerintah tersebut yang dikatakan sebagai penciptaan hegemoni. Walaupun, dalam kondisi yang demikian perkembangan koperasi bagi masyarakat dianggap meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Akan tetapi, dalam masa selanjutnya, dimana koperasi sudah tidak lagi mendapatkan bantuan dari pemerintah setelah Orde Baru tumbang dari kekuasaannya, berdampak pada krisis pertumbuhan koperasi yang selama ini dibanggakan. Kedala ini tercipta karena rekruitmen keanggotaan yang tidak aspirasi berdasarkan kepentingan masing-masing anggota, melainkan oleh kuatnya rezim pemerintahan melakukan penekanan kepada setiap kelompok bentukan pemerintah untuk dhobilisir. Artinya, kesadaran anggota dalam proses rekruitmen termanipulasi oleh kekuatan penguasa. Hal ini bisa diperlihatkan dengan munculnya program kclonipok tani yang terbentuk karena program Kridit Usaha Tani dan Bimas pada tahun 1980-an hingga akhir tahun 1990-an. Kelompok usaha atau koperasi dibentuk berdasarkan kepentingan atas program pemerintah tersebut, sehingga masyarakat tidak pemah merasakan kepemilikan atas kelompok usaha tersebut. Perubahan rezim dengan reformasi pertengahan tahun 1998, proses penyadaran yang telah dilakukan oleh NGOs dan lembaga swadaya masyarakat di Gadingsari menawarkan paradigma baru tentang suatu kebersamaan dan kesejahteraan. Masyarakat mulai menyadari kebutuhan untuk membangun usaha bersama Pembentukan koperasi sejalan dengan rasa solidaritas masyarakat Gadingsari tercermin dalam azas kekeluargaan. Di Gadingsari terdapat 5 buah koperasi yang tercipta pada konsep dasar kehidupan masyarakat Gadingsari. Kondisi kedaerahan, dan rasa kekeluargaan mendorong pada usaha mandiri yang
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Proses penyadaran ini, tercipta pada kondisi masyarakat yang mengalami kemakmuran dengan dinamika ekonomi kemajuan sebelum kearnbrugan dar~jatuhnya rezim Orde Baru. Akan tetapi, kemulculan keorganisasian koperasi di Gadingsari justru, setelah kehancwan rezim Orde Baru. Yaitu, sekitar tahun 1999 hingga 2000 beberapa koperasi muncul menyikapi krisis moneter dan ekonomi yang terakumulasi oleh kebijakan Orde Baru yang tidak memihak kepada masyarakat miskin, dengan beban utang yang tinggi oleh konglomerat. Seperti munculnya, Koperasi Andini Raharjo tahun 1999, dan kelompok Masyarakat Rukun Agawe Makmur (RAM) tahun 2000. kemunculannya, tidak hanya menyikapi permasalahan yang terjadi di masyarakat yang mengalami kendala permodalan, termasuk juga menyelesaikan permasalahan dengan mengadakan pelatihan dan pencarian modal tambahan kepada Deperindagkop di Kabupaten Bantul hingga di tingkat Nasional. Kegiatan rutin dilakukan setiap bulannya, merupakan bukti bahwa kegiatan koperasi di Gadingsari merupakan suatu koperasi yang organis. Kegiatan, kredit atau utang piutang dilaksanakan menurut jadwal kelompok arisan yang telah sejak tahun 1990, sehingga tidak mengganggu kegiatan ekonomi masyarakat lainnya. Karena, pada awalnya pembentukan koperasi tcrcipta atas keresahan masyarakat paguyuban arisan di Gadingsari yang akhimya terbentuk berdasarkan kelompokkelompok usaha. Seperti, kelompok usaha ternak, yang dilakukan oleh koperasi Andini Raharjo. Masyarakat yang memanfaatkan kelembagaan koperasi adalah masyarakat dengan usaha kecil, para pedangang kelontong, menggarap lahan pertanian, mengurus peternakan, hingga usaha jasa. Pada perkembanyan selanjutnya, hingga awal tahun 2007, beberapa pengurus menyelesaikan laporan pertanggungjawaban untuk dipaparkan pada kegiatan terbesar tahunan koperasi yaitu rapat anggota. Menurut beberapa pengurus yang sudah n~ulaikritis mensikapi permasalahan dinamika koperasi yang digelutinya, mengungkapkan bahwa dalarn perkembangannya koperasi yang dijalankan bersama teman-teman warga Desa Gadingsari setiap tahunnya mengalami peningkatan permodalan maupun jurnlah anggotanya. Akan tetapi yang masih disayangkan adalah bahwa kegiatan seperti koperasi yang diberikan bantuan dari pemerintah hanya memberikan bantuan kredit yang sudah tidak lagi
sesuai dengan kondisi inflasi ekonomi. Artinya, jumlah pinjaman yang selama ini diberikan kenlungkinan pada tahun ini (2007) tidak akan dapat mencukupi kebutuhan masyarakatnya. Menurut pengalaman tahun sebelumnya, bahwa masyarakat yang meminjam dalanl batas minimum untuk modal usaha, kebanyakan menggunakannya untuk keperluan konsumtif. Sehingga, usaha-usaha produktif mereka tidak lagi berkembang, terutanla adalah masyarakat Gadingsari yang sebagian besarnya adalah petani. Mereka akan kualahan mengadakan pinjaman sementara harga jual gabah tidak mereka sendiri yang menentukannya, padahal harga barang-barang produksi sudah tidak karuan peningkatan harganya. Alhasil, ketika petani panen raya penutupan hutang dengan biaya produksi yang tinggi, dan harga gabah yang tidak sesuai mengakibatkan petani meningkat kapasitas kemiskinannya.
Dinamika Hubungan Kekuatan Masyarakat Desa sebagai suatu entitas dan kesatuan yang di dalamnya tidak hanya dapat dimaknai sebagai suatu barang (thing). Desa merupakan suatu komunitas yang ,'~ terdiri dari pemerintah desa, lembaga perwakilan desa, tokoh m a ~ ~ a r a k a tdan masyarakat yang terdiri dari kelompok individu dan keluarga. Oleh karena itu, desa bukanlah luasan lahan yang terbentang dengan persawahan dan ladang pertanian lainnya, melainkan lebih dari itu terdapat suatu pola hubungan antar individu (actor) yang mempunyai peran yang dilakukan untuk menciptakan hubungan dan relasi sosial politik di desa. Seperti, pemerintah desa memiliki peran memberikan pelayanan kepada masyarakat (termasuk di dalamnya adalah tokoh masyarakat dan lembaga-lembaga sosial-budaya, ekonomi, dan politik yang ada di desa). Lembaga perwakilan desa yang sekarang disebut Bamusdes (Badan Permusyawarahan Desa, BPD) mempunyai peran sebagai mitra dan merupakan "representasi" masyarakat. Para aktor tersebut mempunyai peran-peran yang tidak
" Tokoh rnasyarakat nlerupakan srorang individu atau keluarga yang mendapatkan penghargaan masyarakal untuk menempati posisi atau slatus sosial yulg dihargai olch ulggota rnasyarakalnya. Kedudukan sebagai tokoh masyarakat biasmya diherikan oleh masyarakat karena beberapa pertiinbangan: penam4 pendidikan alau titel (gelar) ymg diperoleh di bangku sekolal~;kedu& secara ekononii nlemiliki luasan twlah pertmian yang tidak lajim banyaknya dibandingkan dengan warm sekitamya, me~iiilikisumla prod.~ksi,dui scbagai P C ~ B ! Y B ~negcri; ~ ketiga, sccara, sosio-politik smwung (merakyaf) dal perhatian kepada tnasyarakal bawah.
semuanya tertulis, akan tetapi masing-masing pihak saling memahami. Bagi mereka yang termasuk dalam kelembagaan formal mempunyai tata cara yang tertulis (tinoto), sehingga peran-peran yang dijalankan dapat terkontrol secara ideal, seperti, Kepala Desa, Perangkat Desa, Barnusdes (BPD),dan lembagalembaga sosial laimya yang sudah terlegalisasi, di desa ada PKK, LPMD. Hubungan secara struktural di Gadingsari dapat digambarkan sebagai berikut: pertama, nlasyarakat desa sebagai kelompok greesroot terdiri dari individu-individu yang mempunyai banyak kepentingan. Kepentingan sosial atas status sosial-budaya yang sampai sekarang masih dimaknai oleh masyarakat sebagai kekuatan hubungan kekeluargaan. Pada kelompok ini, individu membentuk keluarga hingga hubungan antar keluarga. Hubungan antar keluarga dalam satu keturunan biasanya disebut hubungan trah. Dalarn hubungan trah, biasanya terdiri dari beberapa generasi keluarga, baik dari keturunan ayah maupun ibu. Walaupun, garis hubungan struktural biasanya didasarkan pada sistem paternalistik, akan tetapi pengakuan terhadap semua anggota keluarga dihormati sebagai anggota trah. Oleh karena itu, hubungan keluarga di Gadingsari mencakup keturunan ayah dan keturunn dari ibu. Hubungan trah tidak dibatasi pada wilayah administrasi desa. Kekuatan hubungan trah menjadi sangat kuat ketika hubungan antar keluarga terjalin dengan figur seorang kepala keluarga yang dituakan baik berdasarkan umur maupun kekuasaan yang dimilikinya pada saat mereka masih muda. Biasanya, para tetua yang menjadi sentral dari hubungan trali mempunyai umur antara 50-80 tahun. Kedudukan sosialnya pada masa terdahulu dapat diakui oleh masyarakat di desanya, baik dari tingkat ekonomi, status sosial, dan memiliki jabatan politik di desanya, baik sebagai tokoh masyarakat, Kepala Dukuh, hingga menjadi Pamong Desa dan Lembaga Masyarakat Desa. Kedua, terdapat lembaga masyarakat yang secara politik menyatakan
dirinya netral dan independen. Pada tingkatan ini tidak hanya ditentukan berdasarkan kelembagaan, melainkan ketokohan seorang individu yang ditokohkan oleh masyarakat dapat pula dimasukkan dalam kelompok ini. Individu-individu yang dianggap oleh masyarakat sebagai tokoh masyarakat biasanya mempunyai posisi yang netral dan independen dalanl melihat
permasalahan politik desa. Mereka tidak hanya diperlukan dalam problem politik, namun menjadi konsultan tingkat desa yang menjadi sarana bagi masyarakat untuk melakukan diskusi dan sharring permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Biasanya masyarakat menyebutnya scbagai DPRnya atau lurahnya masyarakat. Tokoh-tokoh tersebut dianggap dapat memberikan masukan yang obyektif dan sekaligus memberikan solusi yang diharapkan masyarakat. Seperti, LIMG memberikm eelah-celah yang perlu digerakan dan menlberikan konsultasi. Masyarakat melakukan konsultasi kepada DPR mereka dengan pertimbangan jaringan yang dimiliki oleh para tokoh masyarakat tidak hanya di lingkungan desa Gadingsari. Hubungan dengan pihak di luar desa (out side) dapat memberikan sumbangan terselesaikanya masalah
di desa yang sudah tidak lagi dapat
diselesaikan oleh rnasyarakat maupun kelembagaan desa. Kelembagaan LIM juga masih mendapatkan perhatian masyarakat ketika tokoh dan ketun LIM berhubungan dengan tokoh masyarakat yang disebutkan di atas sebagai DPRnya masyarakat. Artinya, begitu kuatnya labeling ketokohan yang diberikan oleh masyarakat memberikan dampak secara sosiologis untuk menjalin hubungan yang berpengaruh terhadap peningkatan status sosial seseorang di sekitarnya. Ketiga, Kelembagaan Desa ddam ha1 ini adalah Badan Permusyawaratan Desa (BPD dalam versi baru). Kelembagaan desa yang ada di Gadingsari masih dianggap tidak dapat mencerminkan sikap dan politik masyarakat desa. Kerjakerja penvakilan yang dilakukan masih di tingkat administratif. Respon BPD kecenderungannya pasif menunggu pengaduan dari masyarakat, tanpa proses aktif mencari kendala-kendala yang dialami oleh masyarakat. Sepzrti misalnya, kendala pembuatan KTP atau pun surat-surat lainnya yang menyangkut kependudukan dan sertifikasi tanah. Hubungan dengan Kepala Desa dilakukan pada tingkat pembuatan RAPBDes dan konsultasi laporan tahunan Kepala Desa yang akan disampaikan kepada Bupati (melalui Camat). Konsultasi dilakukan masih pada tingkat teknis yaitu ketika usulan laporan Kepala Desa terdapat ketidaksesuaian lokasi perencanaan. Menurut Sekretaris BPD
permasalahan yang tejadi
sebenarnya hanya pada ketidak-sepahmlan mengenai lokasi garapan yang akan dibangun, seperti perencanaan pembangunan tanggul sungai irigasi, BPD menanyakan tentang posisi lokasi sungai yang akan dibangun. BPD tidak banyak
mengetahui tentang Anggaran Pembangunan Desa, terutama perubahanpentbahannya yang sering dilakukan oleh Kepala Desa. Artinya, hubungan secara politik yang diemban oleh BPD sebagai (bagian dari) lembaga legislatif belurn dapat dijalankan dengan maksimal. Seperti, masih lemahnya sumbangan terhadap kontrol Anggaran Pembangunan dan menelorkan peraturan desa yang berpihak kepada masyarakat desa. Menurut tokoh masyarakat dan Mantan Kepala Desa Gadingsari bahwa wacana yang dibangun oleh BPD adalah terbatas pada tuntutantuntutan kepada instansi lain yang diharapkan menjadi haknya. Kondisi BPD menjadi "banci" sehingga tidak menjalankan fungsinya menbuat peraturan desa. Padahal Ketua BPD dalam ha1 ini sebagai rifal dalam proses Pilkades tidak banyak memberikan kontrol yang signifikan terhadap tindakan pemerintah. Ketua BPD hanya melakukan oposan dengan pemerintah (Lurah) berdasarkan kepentingan politik setelah Pilkades yang tidak memberikan keberuntungan, dan mengalahkannya pada tahun 2004. Keberanian untuk melakukan kontrol tidak dimiliki oleh BPD secara kelembagaan. Menurut masyarakat sebenarnya BPD memiiiki
data
tentang
pennasalahan
pemcrintah
desa,
permasalahan
ketidakharmonisan pemerintahan desa. Terutama, pennasalahan pembagian bantuan korban gempa yang diberikan dari pihak luar desa yang tidak dibagikan seluruhnya kepada masyarakat, day transparansinya tidak jelas. Hal inilah yang kemudian diharapkan masyarakat membuka pernasalahan pemerintah desa dengan harapan untuk menurunkan Lurah. Kondisi yang demikian meledak menjadi aksi massa setelah konsultasi dengan banyak pihak dan tokoh masyarakat desa. Namun, beberapa tokoh masyarakat tidak mau menjalankan kehendak masyarakat untuk mendukung gerakan menurunkan Lurah. Sampai saat ini, kondisi masyarakat hanya melakukan penyebaran issue kepada semua pihak, dengan harapan mendapatkan dukungan. Pada kondisi pasca gempa hubungan BPD dengan pemerintah desa dirasakan jaraknya, baik dalam interaksi keseharian di lingkungan pemerintahan desa, maupun pada proses pembuatan kebijakan dan penanganan bantuan. Indikasi demikian diakibatkan oleh beberapa penyebab yaitu: (1) kondisi Kepala Desa yang tidak lagi merespon aspirasi masyarakat korban gempa, terutama masyarakat yang jauh dari jangkauan lingkaran kekuasaan Kepala Desa. Kekuasaan yang
dimaksud adalah hegemoni kepemimpinan atau kemampuan Kepala Desa memberikan pengardl kepada ~nasyarakatagar selalu memberikan dukungan dalam kondisi apapun. (2) pembagian (distribution) bantuan yang diterima pemerintah desa tidak dilaksanakan dengan adil dan jujur, tanpa transparansi yang jelas alokasi sisa bantuan, dan beberapa bantuan yang belum terdistribusikan dan tersisa di kantor desa. Seperti, bantuan dana yang masih tersisa sepuluh juta rupiah dari tiga puluh juta dana bantuan yang diterirna dari PDIP Megawati, beras sisa di kantor desa ada 0,5 ton. (3) tidak dilaksanakannya sosialisasi pembentukan Pokmas yang telah diinstruksikan oleh Bupati Bantu1 melalui swat keputusannya No. 36113216 tertmggal 28 Agustus 2006 Tentang Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah Pasca Gempa Bumi, jo Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 23 Tahun 2006 tentang Petunjuk Operasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi di Provinsi DIY Tahun Anggaran 2006. (4)
BPD sebagai penvakilan masyarakat belum dapat mengakomodir kepentingan masyarakat korban bencana sehingga permasalahan penanganan bantuan tidak dibahas bersama dalam forum pemerintahan desa antara lurah dan BPD. Penangganan pasca gempa untuk rehabilitasi dan rekonstruksi rumah korban gempa sepertinya hanya terbebankan di pundak lurah.
Keempnt, status dan kedudukan Kepala Desa (Lurah) di masyarakat. Kedudukan Lurah dalam pandangan masyarakat Gadingsari merupakan pusat tertinggi pemerintahan di desa. Status seorang lurah di masyarakat menduduki tempat tertinggi. Kepemilikan tanah lungguh yang luas hingga 3.5 hektar. Secara ekonomi, dengan luas lahan yang dimiliki maka penghasilan dari hasil panen yang diperoleh berlimpah, dan merupakan orang
yang kaya di desa. Dalam
kedudukannya yang menguntungkan, Lurah dapat menentukan perkembangan
issue dan dapat mengayomi harapan masyarakat yang terlimpahkan dipundaknya. Secara struktural, segala kegiatan di desa tidak pemah gagal ketika mengikutkan lurah didalamnya. Secara sosiologis, lurah yang dapat mengayomi masyarakat adalah lurah yang sering turun ke "bawah" untuk berinteraksi dengan masyarakatnya. Dalam interaksi tersebut, Masyarakat mengharapkan Lurah agar melihat kondisi dan permasalahan yang ada di masyarakat, yang selanjutnya diharapkan dapat mencarikan jalan penyeles~iannya (solu~ions).Untuk lebih
memperjelas dalam konteks hubungan sosial masyarakat Gadingsari secara struktural dalam pandangan peneliti dapat digambarkan seperti di bawah ini.
Gambar 3. Struktur hubungan aktor di desa Gadingsari