BAB 6 KEPEMIMPINAN LOKAL DAN PEREKONOMIAN DESA
Masyarakat DHL mengalami keteraturan dan ketentraman dalam hidup harian karena ada struktur kekuasaan lokal yang mereka yakini sebagai warisan leluhur. Dalam struktur kekuasaan secara adat ini mereka mempunyai rasa taat dan hormat yang mendalam kepada karena orang-orang yang menjadi pemimpin mereka karena berasal dari suku-suku rumah bangsawan (na’in) sesuai adat leluhur. Pola hidup dan pengaturan mata pencaharian, bertani dan beternak tertata berdasarkan tata aturan yang sudah berlaku turuntemurun. Pertanian dan peternakan secara tradisional ditata berdasarkan kebiasaan yang berintikan keselarasan hidup antara masyarakat manusia (en gubul guzu = manusia berkepala hitam / masyarakat) dengan alam sekitar (pan o muk = langit dan bumi) di bawah tuntunan arwah leluhur (tata bei mil), roh-roh penghuni langit dan bumi ( pan muk gomo ) dan Yang Maha Tinggi (Hot Esen). Dalam Bab ini dikemukakan uraian tentang masyarakat suku Buna’ di DHL yang hidup dalam keterikatan atas dasar tata kepemimpinan lokal dan diuraikan pula upaya pengaturan perekonomian desa secara bersama dalam tradisi warisan leluhur.
TISI’AN-TAKNE’AN: STRUKTUR KEPEMIMPINAN LOKAL Ada dua sistem pemerintahan berjalan bersamaan di DHL. Sistem pemerintahan adat sebagai kepempinan lokal dan sistem pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik 149
Indonesia. Pemerintahan adat masih berlaku dalam arti na’i (raja) masih ada dengan seluruh perangkatnya. Pemerintahan desa sesuai Undangundang baru berlaku pada tahun 1966 sampai sekarang. Pemerintahan adat (muk ukon = penguasa dunia) mempunyai struktur sesuai adat dan itu dihormati dalam urusan adat oleh segenap anggota masyarakat sebagai hutun renu (rakyat jelata). Strukturnya terdiri dari Na’i, Petor, Tamukun (Temukung). Tiga lapisan ini, Na’i berasal dari uma-metan dato pana (suku bangsawan tinggi perempuan), Fetor berasal dari uma-metan dato mone (suku bangsawan tinggi lakilaki) dan Tamukun berasal dari deu dato (suku bangsawan biasa). Status ’suku bangsawan tinggi perempuan’ lebih tinggi dari ’suku bangsawan tinggi laki-laki’ atas dasar adat keturunan yang berlaku yaitu garis matrilineal, keturunan dari garis si-ibu yang diakui sebagai pewaris kekuasaan. Di bawah tiga tingkat kepemimpinan struktural ini, Na’i, Fetor dan Tamukun, ada tiga jabatan fungsional secara adat sebagai pelaksana khusus yaitu kabu, kapitan dan makle’at. Dalam garis komando, di bawah Tamukun ada Dato Matas (tuatua adat) yang berfungsi sebagai penasehat dalam pelaksanaan hukum adat di desa. Di lapisan paling bawah dari struktur kepemimpinan ini ada deu gomo matas (ketua suku) yang memimpin secara langsung semua anggota suku (deu gomo) masing-masing. Semua deu gomo (anggota suku) inilah yang terhimpun dalam satu kesatuan sebagai anggota masyarakat atau renu (rakyat). Pelaksana khusus: Kabu (pemanggil orang), Kapitan (pengurus cendana), Makle’at (pengurus kebun). Tiga jabatan ini pun berasal dari suku yang sudah dikenal dalam struktur adat. Semua jabatan di atas ini tidak bisa dijabat oleh orang dari suku lain. Dalam struktur pemerintahan desa, orang-orang ini diserap juga dalam status sebagai Kaur (Kepala Urusan) dan Pamong serta kepala-kepala Dusun. Perpaduan ini dilaksanakan untuk tetap memberdayakan ketokohan orang dalam masyarakat desa yang disesuaikan dengan hirarki dalam urutan rumah suku (deu hoto). Perekonomian masyarakat sangat erat bergantung pada pemerintahan adat dan pemerintahan desa ini yang secara bersama menata kegiatan masyarakat di bidang pertanian dan peternakan sebagai upaya peningkatan pendapatan masyarakat desa.
150
Na’i
Fetor
Tamukun
Datomata
Datomata
Kabu
Makle’at
Kapitan
Datomata Datomatas
Deu’Gomom atas
Deu’Gomom atas
Datomata
Deu’Gomom atas
Deu’Gomom atas
Deu’Gomo
En Gubul Guzu (Rakyat) Deu’Gomo (anggota suku)
Gambar 28.
Deu’Gomo (anggota suku)
Deu’Gomo (anggota suku)
Deu’Gomo (anggota suku)
Deu’Gomo (anggota suku)
Struktur Kepemimpinan Lokal Suku Buna’ di Desa Henes dan
L k
Dalam pengurusan pemerintahan yang berkaitan dengan dari pemerintah di tingkat lebih di atas, Kecamatan dan Kabupaten, pemerintahan desalah yang berperan. Dalam uraian ini dikemukakan bagaimana dua hal ini berjalan beriringan, pemerintahan desa dan perekonomian desa di DHL.
151
KEPALA DESA Sejak tahun 1966 berlaku pemerintahan desa di bawah pimpinan seorang kepala desa 30. Sebelum tahun 1966, masyarakat desa Henes dan Lakmaras merupakan dua ke-na’i-an, dalam arti, dua wilayah ini masing-masing dikepalai oleh seorang Na’i (raja). Suku rumah yang berstatus Na’i (raja) itu disebut uma-metan (rumah bangsawan tinggi). Di desa Lakmaras, uma-metan itu bernama Deu Gubul dan di Henes ada uma-metan disebut Hol Lapit. Di Lakmaras, yang menjadi Na’i (Raja) adalah salah seorang laki-laki dari suku Deu Gubul. Pada tahun 1966, Na’i (raja) Lakmaras, bernama Yohanes Mau dan dia inilah yang ditambah statusnya menjadi Kepala Desa sedangkan sebagai status Na’i tetap diakui secara adat. Di Henes, yang menjadi Na’i adalah seorang laki-laki dari suku Hol Lapit dan waktu itu yang menjadi Na’i adalah Martinus Dasi dan dia memperoleh status tambahan sebagai kepala desa. Dua Na’i ini dalam status sebagai kepala desa, berada di bawah wewenang Camat yang berkedudukan di Weluli dan sebagai Na’i, berada dalam satu kesatuan dan bukan bawahan dari seorang Loro yang berkedudukan di Kewar. Pengakuan terhadap Loro ini masih ada sampai sekarang.
Ketentuan ini berlaku dengan SK Bupati KDH Tk. II Belu, tgl. 31 Maret 1966, No.Pem.6/1966 tentang perubahan struktur pemerintahan dari ke-na’i-an kepada kedesaan. Mulai saat itu seorang Na’i (raja) mempunyai dua fungsi yaitu sebagai pemimpin adat dan pemimpin bidang pemerintahan. 30
152
Gambar 29. Loro Lamaknen Ignatius Kali bersama Isterinya (Sumber: Eustachius Mali Tae)
Status dan jabatan Loro untuk suku Buna’ di Lamaknen sekarang ini berada di tangan Bapak Ignatius Kali yang sehari-hari bertempat tinggal di Atambua bersama keluarganya. Waktu ada urusan adat baru Loro Lamaknen ini pergi ke Lamaknen. Ada dualisme dalam pemerintahan desa dan kecamatan waktu itu. Berhubung Loro waktu itu yang dijabat oleh Bapak A.A. Bere Tallo dilantik menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Belu, maka untuk meningkatkan wibawa camat, kepada camat itu diberi gelar adat, PD Loro (Pejabat Loro) Lamaknen. Jabatan camat waktu itu dijabat oleh seorang Guru Kepala SD, Bapak Gabriel Y. Asy, yang memang statusnya dalam adat dia adalah seorang yang berasal dari suku bangsawan maka wajar kalau dia menyandang jabatan Pejabat Loro Lamaknen. Dia dapat bertindak dalam dua status: kalau mau mengundang Na’i, dia mengundang dalam status PD Loro, yang bertindak atas nama Loro yang sesungguhnya, yaitu Bapak A.A. Bere Tallo yang sebagai Bupati berkedudukan di Atambua sebagai ibukota Kabupaten Belu. Kalau mau mengundang kepala desa, maka status dan wewenang yang dipakai ialah kepala kecamatan.
153
Di desa Henes dan Lakmaras jabatan Na’i, Fetor, Tamukun, Kabu, Kapitan, Makle’at tetap berada di tangan orang-orang sesuai
sukunya masing-masing. Di desa-desa lain di seluruh Kecamatan Lamaknen yang adalah wilayah suku Buna’, keadaan yang sama tetap diberlakukan. Setiap suku ada ketua suku dan mereka inilah orang-orang yang bertanggung-jawab atas semua anggota suku. Para pejabat, tingkat paling bawah: makle’at, kapitan dan kabu adalah pejabat yang mendengar langsung berbagai usulan atau keluhan dari para ketua suku. Pejabat di tingkat lebih tinggi: tamukun, petor dan na’i tunggu mendengar laporan dari makle’at, kapitan dan kabu. Struktur kepemimpinan berdasarkan adat ini sangat kuat karena didasarkan atas keyakinan bahwa orang-orang yang menjabat itu dari suku yang sudah diwariskan oleh leluhur. Kalau leluhur dilibatkan, maka dengan sendirinya roh-roh dilibatkan dan semua itu diyakini berasal dari Tuhan (Hot Esen). Dalam bahasa adat, status bangsawan ini berasal dari Tuhan, Hot Esen na sile’en (Matahari Yang Tinggi yang turunkan). Dalam urusan masyarakat, perintah para pejabat mulai dari yang rendah sampai yang paling tinggi, Na’i, sulit dibantah. Para pejabat ini pun terikat oleh satu keyakinan, kalau berani menyusahkan anggota masyarakat yang dalam struktur pemerintahan desa ini disebut renu (rakyat), leluhur akan marah, roh-roh akan marah dan Tuhan pun akan marah. Kalau seorang pejabat bertindak salah, maka akan terucap ungkapan kutuk dari mulut rakyat, Hot Esen ita mal ni’ (Tuhan tidak memihak engkau). Para pejabat, termasuk Na’i sangat takut akan sumpah masyarakat ini. Pejabat sebagai pemimpin yang melindungi rakyat benar-benar didasarkan atas keyakinan pada campur tangan dunia roh ini. Kalau seorang anggota masyarakat dalam status sebagai rakyat berbuat salah maka ada ketua-ketua suku bersama para pejabat adat untuk mengadili orang yang bersalah itu. Bermacam-macam ganjaran sudah ditentukan secara adat. Kalau rakyat yang bersalah, denda lebih ringan dari pejabat yang bersalah. Pejabat, terutama Na’i (Raja) kalau bersalah maka seluruh pejabat di bawahnya bersama semua ketua suku mengadakan musyawarah dan diberi sanksi adat yang berat sekali. Dengan ketentuan adat yang sebegitu ketat maka pada masa Na’i berkuasa, urusan kemasyarakatan umumnya berjalan aman karena
154
rakyat (renu) taat itu berdasarkan ketakutan pada sanksi manusia dan lebih lagi karena ketakutan pada sanksi dari leluhur dan roh-roh. Ada gejala perubahan yang sangat menyolok sewaktu status pejabat adat dialih-statuskan ke struktur pemerintahan desa. Dalam penataan pemerintahan desa ternyata kepandaian dan ketrampilan memerintah saja tidak cukup. Harus ada kewibawaan yang sudah tertanam dalam tatanan masyarakat desa. Kewibawaan ini tidak bisa diperoleh dalam waktu pendidikan di luar desa seperti yang dialami oleh dua orang kepala desa sekarang ini, di Henes kepala desa dijabat oleh Linus Asa dari suku rumah Maubesi dan di desa Lakmaras kepala desa dijabat oleh Anus Lou dari suku rumah Sosowili’. Dua orang ini berasal dari suku yang bukan suku uma metan, suku Na’i atau suku rumah yang dikenal sebagai suku turunan raja (na’i). Maka apa komentar dari salah satu nara sumber di desa Lakmaras yang tidak mau ditulis terang namanya dengan alasan kerukunan di desa? Narasumber ini menjelaskan pada tgl.1 April 2011: Pemilihan kepala desa secara langsung ini memang baik dari segi demokrasi. Tapi ada hal mendasar lain yang perlu dipertimbangkan. Pertama, masyarakat di desa ini rata-rata delapan puluh lima persen berpendidikan SD ke bawah. Mereka belum bisa berpikir kritis. Mereka ikut perasaan lebih banyak dari pada pertimbangan akal-budi yang sehat. Mereka hidup sehari-hari dengan sistim malu-ai, dasa’-rak (hubungan suku dan hirarki dalam suku) dan tiba-tiba di pucuk pimpinan desa ditempatkan orang yang bukan dari suku turunan raja (na’i). Setengah mati. Wibawa sebagai kepala desa itu tidak hanya berdasarkan kemampuan otak. Keturunan juga masih dipertimbangkan oleh masyarakat. Sekarang ini berbagai urusan di desa kurang berjalan. Orang tidak taat. Mau pukul mereka? Tidak mungkin. Mereka kehilangan pegangan, tokoh yang berwibawa tidak dipakai. Di desa itu biarpun orang biasabiasa, tetapi harus diperhatikan struktur adat juga. Kalau masyarakat sudah berpendidikan tinggi, yah, waktu itu mungkin demokrasi langsung bisa diterapkan. Pemilihan kepala desa secara langsung dengan sistim terjun bebas, tiap orang boleh mencalonkan diri dan dicalonkan, belum bisa ditrapkan di desa seperti Lakmaras ini. Persaudaraan, kekerabatan yang mendasar di desa dihancurkan melalui pemilihan kepala desa secara langsung ini.
155
Pemerintahan di desa, khususnya jabatan kepala desa di
Lakmaras ternyata belum bisa dilaksanakan dengan sistim demokrasi
melalui pemilihan secara langsung. Hal yang sama terjadi juga di desa Henes. Kepala desa yang sekarang, Linus Asa, memang berasal dari suku bangsawan, tetapi bukan bangsawan tinggi yang behak menjadi Na’i (raja) yaitu suku rumah na’i, Hol Lapit. Kepala desa sendiri baik di Lakmaras maupun di Henes berpendapat, rakyat kepala batu, tidak mau taat. Kalau tidak dengan kekerasan, tidak bisa. Ungkapan ini menggambarkan ketaatan rakyat yang semu karena tidak didasarkan pada kesadaran yang tertanam dalam lubuk hati yang terdalam yaitu hukum adat. Sebagai contoh kasus yang jelas, pemilihan kepala desa di Lakmaras, diselenggarakan pada bulan Agustus tahun 2007. Dari suku uma metan (suku raja) calon dua orang sarjana, Ibu Aquilina Mutik (kepala desa waktu itu) dan pamannya Yosef Bere Rudji. Dari suku yang bukan bangsawan, Sosowili’, tampil calon, Anus Lou, berpendidikan SMP. Pada saat pencoblosan, suara terbagi menjadi tiga: dari total suara yang sah, 562 suara, Anus Lou mendapat 213 suara; Aquilina Mutik (inkumben), mendapat 187 suara; Yosef Bere Rudji, mendapat 162 suara. Dengan sendirinya pemilihan dimenangkan oleh Anus Lou. Dua calon dari suku bangsawan tinggi ini mengumpulkan suara 187 + 162 = 349 suara. Pihak yang menang ini berpendapat: Kami pilih kepala desa, bukan na’i (raja). Kami tidak merampas kamu punya status na’i. Kamu punya na’i itu tetap. Kita hargai. Adat ya adat, demokrasi yah
demokrasi. Kami pakai kami punya hak suara.
Secara matematis, calon terpilih mempunyai pengikut dari total 562 orang, 213 orang dan 349 yang tidak memilih dirinya tetap beranggapan bahwa hasil pemilihan itu hanya suatu kenyataan yang dipaksakan berdasarkan kelebihan suara. Dan memang untuk desa Lakmaras, kepala desa terpilih ini yang dilantik pada bulan Agustus 2007 sampai sekarang masih berusaha keras untuk menanamkan pengaruh. Namun kesan yang muncul, pemerintahan desa berjalan di tempat dan masyarakat sebahagian besar bersikap apatis. Masyarakat terpecah menjadi dua kelompok besar. Kelompok yang memihak pada kepala desa terpilih berpendapat bahwa pembangunan di desa berjalan baik dan aman. Yang mengatakan bahwa pembangunan di desa berjalan di tempat itu adalah suara-suara dari orang-orang yang kecewa karena kalah dalam pemilihan kepala desa. 156
Kenyataan yang ada, kepala desa hasil pemilihan menanggung perasaan anti-pati secara terselubung atau terbuka dari kelompok yang tidak memilih dirinya melebihi lima puluh persen dari orang dewasa dalam desa. Dan perasaan tidak puas dengan kepala desa terpilih dari pihak yang tidak memilih ini tetap berlangsung dan ada kemungkinan sampai akhir masa jabatannya tahun 2013 nanti, perasaan itu masih akan terbawa. Secara umum masyarakat yang delapan puluh lima persen berpendidikan tingkat SD ke bawah cenderung mengandalkan perasaan dari pada nalar. Akal sehat kurang digunakan dalam menganalisa keadaan sekitar. Hal rasa sakit hati ini diperparah oleh sistim pemerintahan di desa dengan sistim demokrasi, pemilihan secara langsung. Dampak negatif lebih besar dari dampak positif bagi pembangunan di desa.
PEREKONOMIAN DESA MAR NA’EN : KEPEMILIKAN TANAH Penduduk desa Henes dan Lakmaras hidup dari bertani dan beternak secara tradisional. Tanah yang tandus dan berbukit-bukit dengan iklim tropis, musim kemarau delapan bulan (April – November) dan musim hujan hanya empat bulan (Desember – Januari – Februari Maret), kurang cocok untuk pertanian. Pengolahan ladang dengan sistim tebas-bakar masih tetap berlangsung sampai sekarang. Sumber air untuk pengairan hanya sedikit dan dapat mengairi lahan sekitar tidak lebih dari sepuluh hektar. Dua desa ini mempunyai adat yang sama dalam pengaturan lahan pertanian. Tata-guna tanah di wilayah dua desa ini dibagi atas tiga : tanah ladang, tanah padang gembalaan dan tanah hutan adat. Tanah ladang itu dimiliki oleh suku dan bukan milik perorangan. Tanah padang ini milik umum dan diperuntukkan bagi ternak besar dan kecil tetapi semakin sempit karena mulai dipakai juga untuk kebun milik pribadi. Keadaan yang sekarang sedang mencemaskan ialah tanah padang gembalaan semakin sempit sehingga hutan adat pun mulai dirambah untuk dijadikan ladang. Sistem kepemilikan tanah ladang di dua desa ini sama dengan sistem di kalangan suku Buna’ pada umumnya di wilayah dua kecamatan, Lamaknen dan Lamaknen Selatan. Tanah itu 157
milik suku dan hanya keluarga tertentu saja yang memiliki tanah pribadi hasil perolehan dari mengolah tanah padang menjadi tanah milik pribadi. Contoh yang jelas dikemukakan oleh dua informan di bawah ini yang diwawancara pada tahun 2010 dan 2011. Yang pertama, ialah: Yosef Mali dan yang kedua, Theodorus Bere Laku’. Yang pertama, Yosef Mali, bapak keluarga, warga desa Henes, umur 43 tahun, kawin dengan Bernadetha Ili Uzu, warga desa Lakmaras, umur 42 tahun. Yosef Mali anggota suku rumah Maubesi di Henes, isterinya anggota suku rumah Gelaba’ di Lakmaras. Mereka mempunyai empat orang anak. Mereka mengungsi ke kota, Atambua sejak empat tahun yang lalu. Selama tinggal di desa Lakmaras, mereka dua sebagai suami isteri menggarap tiga bidang ladang milik suku Gelaba’, suku isteri. Yosef Mali tidak menggarap ladang mereka dari suku sendiri, Maubesi, karena ladang-ladang milik suku Maubesi itu digarap oleh ipar-iparnya, para suami dari saudari-saudarinya. Setiap bapak keluarga di desa Henes dan Lakmaras, menggarap kebun atau ladang milik suku si isteri. Waktu ditanya mengapa ke Atambua, meninggalkan kampung halaman, Yosef Mali menjawab bahwa tiga ladang yang mereka kerjakan itu dari tahun ke tahun hasilnya tidak cukup untuk dimakan setahun. Tiap tahun alami kelaparan terus. Setiap tahun, hanya garap dua ladang yang luasnya masing-masing tidak lebih dari satu hektar, tanahnya berbukitbukit, tanam padi sedikit dan lebih banyak jagung. Tiga ladang ini dikerjakan dengan cara berpindah-pindah. Tahun pertama lading yang pertama semak-beukarnya ditebas dan dibakar, sambil mengusahakan ladang kedua yang tahun sebelumnya digarap dan sudah kurang subur. Tahun kedua, ladang ketiga digarap dengan sistim tebas bakar, sedang ladang yang pertama ditinggalkan agar pohon-pohon seperti gala-gala (turi) tumbuh selama dua tahun untuk ditebang dan dibakar pada tahun ketiga. Tiga bidang tanah ini dikerjakan secara bergilir, yang satu dibiarkan dibiarkan untuk ditumbuhi semak belukar sambil dua yang lain dikerjakan dengan pengertian, satu kebun baru (mar tip) dan satu kebun lama (mar kolun). Hasil yang baik diharapkan dari kebun baru karena baru selesai dibakar semak-semak dan pohon gala-gala (turi) dan pada tahun kedua sudah tidak subur lagi tapi masih menghasilkan jagung biarpun bulirnya kecil-kecil. Padi hanya ditanam di kebun yang baru digarap dengan sistim tebas bakar. Kebun ini disebut mar tip 158
(kebun baru). Kebun atau ladang yang dikerjakan pada tahun kedua, disebut mar kolun (kebun rumput) karena pohon-pohon perdu seperti gala-gala yang tua sudah ditebas dan dibakar pada tahun sebelumnya dan yang tumbuh hanyalah gala-gala yang masih kecil dan lebih banyak rumput dan belukar yang tumbuh dan rumput dengan belukar ini dibersihkan lalu tanah yang tidak lagi disuburkan dengan pembakaran ini masih menumbuhkan jagung dan ubi-ubian serta kacang-kacangan tetapi tidak subur seperti di mar tip (kebun baru). Menurut Yosef Mali dan isterinya hasil tiga ladang ini tidak memuaskan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk makanan sekeluarga selama setahun. Karena itulah mereka tinggalkan ladangladang itu dan mengungsi ke kota. Lalu ditanya, tiga ladang itu siapa yang kerjakan sekarang? Mereka menjawab, disewakan kepada orang dari kampung tetangga dan mereka bagi hasil, setengah – setengah. Waktu ditanya, kenapa tidak usahakan tanaman umur panjang di tiga bidang tanah itu, dijawab oleh Yosef Mali dengan ungkapan: “Saya ini hanya manepou (laki-laki baru) jadi buat apa tanam tanaman umur panjang. Saya hanya kerja untuk makan. Nanti saya tidak bisa buat apa-apa kalau ketua suku bilang saya dengan isteri saya harus garap bidang tanah yang lain”.
Atas dasar itulah Yosef Mali dan isterinya dengan cukup mudah meninggalkan tanah garapan mereka tanpa banyak memikirkan hasil yang ada, sebab tiga bidang ladang itu tidak ada tanaman umur panjang yang bisa diharapkan sebagai penghasilan tambahan. Tiga ladang yang dikerjakan secara bergantian itu benar-benar hanya untuk menghasikan padi dan jagung yang cukup untuk dimakan hanya setengah musim, lalu selebihnya tidak ada lagi persediaan makanan untuk keluaga. Hal ini menyebabkan ekonomi keluarga mereka tetap tidak berkembang dari tahun ke tahun. Keprihatinan tentang kehidupan ekonomi keluarga inilah yang mendorong keluarga Yosef Mali untuk berpindah ke kota dan di kota hanya hidup dengan berjualan sayur dan kadang-kadang mencari tambahan dengan ‘ojek’. Yosef Mali menambahkan, “Kami ada empat anak, kalau di kampung terus, tidak bisa buat apa-apa. Uang tidak masuk tiap hari seperti di kota ini. Kami memang pernah ikat sapi kopel, pembahagian dari pemerintah
159
untuk digemukkan, tapi itu pun sangat sulit karena pakan ternak tidak ada. Kami cari daun-daunan untuk makanan sapi di kebun, dan sangat terbatas. Musim kemarau cari rumput ini seperti cari emas. Pelihara sapi menjadi beban yang merugikan dan tidak menguntungkan apa-apa. Mau biayai anak sekolah bagaimana dengan keadaan seperti itu. Kami ke kota ini karena di kampung memang benar-benar susah hidup sebagai petani. Untuk makan saja tidak cukup, apalagi untuk bayar pajak dan untuk pendidikan anak. Kadang-kadang sakit dan dapat uang dari mana untuk beli obat. Di kota ini, dengan jualan sayur, dengan ojek, biar sedikit-sedikit, tapi tiap hari uang masuk. Di kampung, kita tunggu hasil apa? Makan saja tidak cukup apalagi untuk jual. Paling-paling ternak ayam, tapi ayam juga bisa laku satu dua ekor, dan soal lagi, untuk beli makanan ayam juga uang susah. Pelihara babi, sama saja, makanan babi sulit didapat. Ubi kayu yang harus untuk babi, kita manusia juga butuh untuk makan. Jadi buat ini susah, buat itu susah. Begitulah hidup di kampung.”
Keadaan yang digambarkan Yosef Mali ini rata-rata dialami sama oleh sesama petani yang lain di desa Henes dan Lakmaras. Gambaran lain dikemukakan oleh Theodorus Bere Laku’ , seorang sarjana muda, pegawai negeri sipil di kantor kecamatan Lamaknen Selatan. Theodorus Bere Laku’ (umur 47 tahun, lahir tanggal 31 Desember 1963 ) berasal dari desa lain, Makir wilayah Kecamatan Lamaknen. Dia berasal dari suku lain dan datang sebagai manepou di suku rumah isterinya, Aquilina Mutik, warga suku Maligatal. Dia tinggal di desa isterinya, desa Lakmaras dan sebagai seorang yang datang dari suku lain, dia menggarap ladang milik suku isteri. Sebagai seorang berpendidikan sarjana muda dari Akademi Pemberdayaan Masyarakat Desa, dia tidak berdaya terhadap tuntutan adat, di mana dia harus menggarap ladang milik suku isteri. Dia menjelaskan dalam wawancara tgl. 30 Maret 2011: Saya dengan isteri harus cari tempat yang lain di luar tanah milik suku isteri saya. Kami berusaha mendekati orang dan membebaskan tanah padang gembalaan di luar tanah suku dan kami jadikan milik kami. Kami dua bersama isteri sudah bangun rumah kecil di tanah milik pribadi kami ini dan kami sudah bebas dari ladang milik suku. Saya tidak kerjakan lagi ladang itu karena memang kurang subur apalagi mau tanam
160
tanaman umur panjang juga belum tentu dinikmati oleh anakanak saya. Sebab tanah suku ini sewaktu-waktu bisa beralih tangan ke anggota yang lain dalam suku. Itu hak ketua suku untuk mengatur dan kita laki-laki sebagai manepou ini tidak ada hak apa-apa.
Untuk urusan tanaman milik umum di tanah milik umum, ada petugas adat, makle’at, dan khusus untuk mengurus tanaman cendana, ada petugas khusus dikenal dengan jabatan kapitan. Dua petugas adat ini sekarang difungsikan sebagai aparat desa yang bertugas sebagai pengawas tanaman milik umum. Seorang pejabat di Kantor Daerah Kabupaten Belu yang berasal dari Lamaknen, wilayah suku Buna’ ini, bernama Drs. Yan Letto 31 memberikan penjelasan tentang masalah pemilikan tanah di Lamaknen, termasuk di desa Henes dan Lakmaras sebagai berikut: Memang di Lamaknen ada kasus khusus tentang kepemilikan tanah. Sampai sekarang tidak dibuat sertifikat tanah, karena tanah ladang di sana milik suku, bukan milik perorangan. Lakilaki yang datang kawin dengan perempuan dari satu suku, menggarap tanah milik suku dari si-isteri itu. Petani dalam status seperti ini, yang hanya penggarap dan bukan pemilik, rasa tanggung-jawabnya sangat tipis. Paling-paling dia garap tanah itu dan makan hasilnya, tapi untuk pemeliharaan jangka panjang, tidak ada pikiran ke arah itu. Setiap laki-laki yang adalah kepala keluarga, mempunyai tugas dan tanggung-jawab untuk kebutuhan tanah milik sukunya, tanpa menggarap langsung tanah milik suku sendiri. Tanah milik suku, dikerjakan oleh saudari-saudari perempuan anggota suku bersama suami-suami mereka yang berasal dari suku lain. Dan secara adat, kawin masuk (ton terel), jadi kalau seandainya isteri meninggal, laki-laki itu pulang ke sukunya tanpa membawa apa-apa. Kebun yang dia garap bersama isterinya, dia tinggalkan dan tidak boleh petik apa-apa lagi di tanah itu sebab bukan miliknya, biarpun dia yang tanam. Misalnya mangga atau kemiri, kalau isterinya sudah meninggal, dia 31 Yan Letto, umur 57 tahun, seorang cendekiawan berpendidikan sarjana asal suku Buna’. Dia lahir tanggal 14 Juli 1954 di Kewar, Kecamatan Lamaknen, seorang pensiunan PNS, tinggal di Atambua memberikan penjelasan dalam wawancara tanggal 30 Maret 2011.
161
paling-paling hanya nonton saja dan satu buah pun tidak akan diberikan lagi kepada dia. Dan dia sendiri juga malu untuk datang lagi ke kebun itu karena memang bukan miliknya. Dia ada hak atas kebun milik suku sendiri, tetapi kebun-kebun itu juga sulit dia nikmati hasilnya selama saudarinya atau saudarisaudarinya bersama suami-suami mereka masih menggarap tanah-tanah tersebut. Seorang laki-laki suku Buna’ yang menjadi duda, menjadi laki-laki paling kesasar di dunia ini karena dia tidak lagi berhak atas tanah yang digarapnya selama betahun-tahun. Bukan hanya tanah, anak-anak kandungnya pun dia tingalkan karena anak-anak itu adalah anggota suku isterinya. Sebaliknya, para ponakan pun cukup jauh dari dirinya biarpun mereka itulah yang sebenarnya harus mengurus dirinya karena mereka adalah anggota suku yang sama. Biar dia sudah kembali dan tinggal di rumah sukunya sendiri, tapi dia menjadi orang yang tidak bermilik pribadi apaapa kecuali sedikit uang atau binatang piaraan yang dia peroleh dan bawa pulang ke rumah sukunya. Jalan ke luar, mungkin dia harus berusaha kawin lagi supaya ada lagi harga diri tapi berarti dia mulai lagi dari nol.
Keterangan dari Pak Yan Letto ini memberikan gambaran yang sangat suram tentang status laki-laki sebagai tulang punggung perekonomian desa di kalangan suku Buna’. Hal ini terjadi karena sistem perkawinan asli, sul suli’ dara, meminang dan membawa perempuan sebagai isteri ke suku sendiri oleh laki-laki sudah ditinggalkan dan diganti dengan perkawinan dengan sistem ton terel, laki-laki meninggalkan sukunya biarpun tetap menjadi anggota sukunya sendiri, tetapi datang dan tinggal di suku isteri. Dia sebagai penumpang di suku rumah isteri dan menggarap ladang milik suku isteri. Selama dia menggarap tanah ini, dia membayar pajak atas tanah yang dia garap dan kalau isterinya meninggal dunia, dia tidak ada lagi tanah untuk digarap. Syukur kalau di suku rumahnya sendiri masih ada ladang milik suku yang masih kosong, tidak digarap karena suku itu sudah kekurangan anggotanya yang perempuan, maka dia bisa menggarap tanah milik suku sendiri tetapi mulai nol, paling-paling menikmati beberapa pohon mangga atau kemiri yang masih tumbuh di ladang milik suku itu.
162
Akar dari kemiskinan warga desa Henes dan Lakmaras terletak pada sistem kepemilikan tanah oleh suku ini yang mematikan inisiatif para penggarap yang adalah pendatang untuk mengolah tanah ladang dengan sistim baru yang lebih baik untuk meningkatkan penghasilan.
MAR HONE : KERJA KEBUN Mar hone artinya, kerjakan kebun. Tenaga manusia menjadi
andalan untuk mengolah lahan di ladang-ladang milik suku rumah di DHL. Alat pertanian seperti linggis, pacul, sekop belum biasa digunakan untuk mengolah tanah. Apalagi traktor tangan, belum dikenal dan tanah berbukitan yang kering dan tandus memang tidak cocok untuk diolah dengan sistim modern. Atas dasar itulah orang-orang muda di DHL merasa bernasib malang kalau tinggal di desa dan kerja kebun. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang muda berpindah ke kota kecil, Atambua. Desa Henes dan Lakmaras sekarang ini dihuni oleh orangorang yang berusia rata-rata di atas empat puluh tahun dan yang berusia di atas enam puluh tahun sudah tidak produktif lagi untuk mengolah ladang supaya mendapatkan hasil panen untuk kebutuhan sehari-hari. Tanah ladang yang digarap oleh kaum pria Buna’ disebut mar na’en (kebun warisan). Sudah puluhan tahun sampai sekarang, cara mengolah tanah di DHL tetap yang sama, tebas-bakar. Peralatan pun tetap yang sama, nut dan turi’ so’ (tajak/tofa dan parang). Setiap pagi mulai mata hari terbit warga DHL suami-isteri dengan anak-anak (yang belum atau tidak bersekolah lagi), ramai beriring-iring menapaki jalan setapak pergi ke kebun (mar). Setiap hari, kecuali hari Minggu atau hari pesta entah pesta adat, pesta agama (Kristen Katolik) atau pesta hari-hari nasional seperti tujuh belas Agustus, semua orang berada di ladang. Pagi hari suami-isteri biasanya tidak sarapan, langsung berkemas pergi ke kebun. Para suami menarik kuda piaraan untuk diurus di ladang nanti, sambil di bahunya tergantung dua kelengkapan utama, kaluk (saku tempat sirih pinang) dan turi’ so’ (parang yang diberi sarung dan diberi bertali sehingga mudah digantungkan di bahu terjuntai di antara lengan dan pinggang). Cara membawa dan menggantungkan kaluk dan turi’ so’ ini disebut olon (menggantung di antara lengan dan pinggang). Di atas bahu dipikul dua alat yang lain, nut (tofa) dan bat (tombak). Nut itu alat untuk menggali tanah, besi yang dibuat seperti 163
kapak kecil yang selebar kurang lebih lima sentimeter ditancapkan pada gagang sepanjang kurang lebih satu setengah meter. Gagangnya biasa dibuat dari bambu kecil atau yang lebih modern sedikit dibuat dari pipa besi. Yang dari bambu disebut nut bul ma (tofa bergagang bambu), yang dari pipa besi disebut nut bul besi (tofa bergagang besi). Mereka melafalkan kata besi tidak seperti aslinya dalam bahasa Indonesia, tetapi mengikuti cara penglafalan dalam bahasa Buna’, seperti dalam bahasa Indonesia, melafalkan pena, sedan.
Gambar 30. Nut (Tofa, Tajak) Tinggi 120 cm
Gambar 31. Nut bul barak (Tofa, Tajak pendek) panjang 50 Cm Ti i 50
Alat yang lain, bat (tombak, dibuat ujungnya seperti pisau lancip yang ditajamkan kedua sisinya dan sangat tajam, pangkalnya diberi besi lancip untuk mudah ditancapkan di tanah disebut suta’ ) selalu menjadi kawan setiap setiap laki-laki dewasa kalau pergi ke kebun atau ke hutan dengan catatan sebagai senjata pelindung diri kalau ada musuh atau alat untuk melempar babi hutan (celeng) kalau kebetulan diburu ramairamai di kebun. Semua kaum laki-laki umumnya memakai sarung dan 164
badan bahagian atas ditutup dengan selimut tebal hasil tenunan sendiri atau kain panas yang dibeli di toko.
Gambar 32. Pria suku Buna’ di DHL memakai kain sebagai selimutuntuk menahan cuaca yang dingin Sumber: Eustachius Mali TaE
Kalau ada yang mampu, mulai memakai jaket. Udara yang dingin hampir sepanjang tahun membuat para pria dewasa di DHL selalu menutup badannya dengan selimut dengan cara melilitkannya di badan bahagian atas. Warga di DHL jarang memakai sendal atau sepatu karena perkampngan dan ladang di daerah berbukit-bukit apalagi kalau musim hujan, lorong-lorang di dalam kampung dan menuju kebun itu penuh lumpur, sehingga pada umumnya sampai sekarang biasa berjalan dengan bertelanjang kaki. Kaum perempuan bejalan beriring ke kebun dengan kelengkapan utama, dene bako a (keranjang kecil tempat mengisi sirih pinang) digantungkan di bahu atau digantungkan di kepala dan tergantung ke belakang menempel di punggung. Cara ini disebut pin. Kaum perempuan menjunjung bakul di kepalanya berisi pisau, periuk, piring dan mok. Bakul ini seperti dapur berjalan. Berjalan ke 165
kebun ini jalan beriring, kaum perempuan biasa berjalan di depan dan kaum laki-laki di belakang dengan alasan keamanan untuk melindungi perempuan entah terhadap serangan binatang seperti babi hutan atau serangan musuh.
Gambar 33. Rene bako’a (Keranjang tempat sirih untuk perempuan) Tinggi 30 cm
Mereka hidup di perbatasan dengan Timor Leste sehingga keamanan sering terganggu oleh orang-orang baik dari Timor-Indonesia maupun Timor-Leste yang mengambil kesempatan mencuri hewan piaraan seperti sapi, kuda dan babi dari pendudk DHL atau dari penduduk desa-desa di wilayah Timor Leste. Penjaga keamanan yang paling akrab yaitu anjing piaraan selalu mengiring tuannya ke mana pun mereka pergi. Dalam perjalanan ke kebun ratusan ekor anjing ramairamai mendahului tuan-tuan mereka mencium apa pun saja untuk dimakan dan kalau ada jejak babi hutan tercium oleh mereka, maka gonggongan akan memecah kesunyian dan kalau babi hutan ini berada dekat tempat mereka berjalan, maka sulit luput, pasti menjadi mangsa ratusan anjing peliharaan ini. Para tuannya biasa turut mengejar dan 166
tombak siap ditancapkan ke tubuh babi hutan yang diterkam anjing. Perjalanan ke kebun agak terhambat, tetapi untuk hari itu ada santapan ekstra, daging babi hutan yang biasa dibagi sama rata untuk semua orang yang mempunyai ladang berdekatan. Sesampai di kebun, dan ini kebun milik suku si-isteri, ibu-ibu langsung menyalakan api di pondok untuk memasak jagung yang dibawa dari rumah ditambah dengan merebus atau membakatr ubiubian yang digali di kebun itu sendiri. Laki-laki mulai mengerjakan pekerjaan entah membersihkan rumput atau membakar kayu-kayu penyubur tanah sesuai musim kerja kebun yaitu musim kemarau atau musim hujan. Di ladang ini suami-isteri akan makan pagi sekitar jam sepuluh, hot taru solat (matahari mulai panas). Ubi yang dibakar atau direbus dimakan saat ini sekedar untuk alas perut. Minumannya il huruk (air dingin), umumnya tidak dimasak, langsung diambil dari sumur atau pancuran dekat kebun. Sesudah sarapan ini pekerjaan dilanjutkan, suami mengerjakan pekerjaan yang berat seperti memotong ranting pohon atau menyusun pematang kebun sedang isteri mengerjakan pekerjaan yang ringan, membersihkan rumput atau memetik kacang tali sambil terus menjaga makanan yang dimasak di tungku api di pondok. Suami terus bekerja dan akan beristirahat sejenak kalau tiba jam untuk molo a (makan sirih). Suami-suami jarang berteduh di naungan pohon di kebun. Kalau ada yang suka bernaung, biar panas terik, orang sekampung akan berceritera dari mulut ke mulut, orang itu pemalas. Sekitar jam satu siang, hot mugun ba’at, (matahari condong) isteri akan memanggil suaminya dan makan pa’ol bolu (jagung rebus) yang biasa dicampur langsung dengan kacang tali, sayuran berupa daun labu atau daun pepaya. Sesudah makan siang ini, pekerjaan dilanjutkan sampai sore. Mereka bergegas untuk segera kembali ke kampung sebelum hot topa (matahari terbenam). Kebun yang berjarak umumnya sekitar tiga atau empat kilometer dari kampung dan semua berada di tempat yang lebih rendah, membuat para warga DHL harus berjalan mendaki ke kampung sambil memikul beban yang berat. Laki-laki memikul kayu api yang diikat dan dipikul di bahu sambil memegang tali kuda dan menyeretnya agar mengikuti dari belakang. Pada musim panen jagung, kuda-kuda ini dijadikan hewan angkutan. Kaum perempuan umumnya mempunyai 167
tiga beban: pertama, nawa (bakul dapur berjalan) yang berisi peralatan makan ditambah dengan bermacam-macam hasil kebun berupa ubiubian, kacang-kacangan dan sayur-sayuran seperti labu dan jantung pisang sesuai musim, dan pikulan ini dijunjung di atas kepala (tutul). Kadang-kadang di atas bakul ini masih ditambah dengan ikatan kayu api yang berat. Beban kedua yaitu rene (bakul bertali) yang digantungkan di kepala dan bergantung ke punggung. Cara memikul seperti ini disebut pin. Bakul ini pun berisi hasil kebun yang mudah rusak seperti bunga labu atau bunga pepaya dan pucuk ubi-ubian serta kacang panjang yang muda sesuai musim untuk dikupas sepanjang jalan pulang ke desa. Pekerjaan mengupas kacang panjang ini dilakukan di jalan supaya sesampai di rumah bisa segera dimasak untuk makan malam. Beban yang ketiga ialah: anak yang digendong dengan kain sarung (kula’ atau ipak). Ini kalau keluarga itu mempunyai anak kecil. Rata-rata beban seorang ibu lebih berat dari seorang suami. Sesampai di rumah, kesibukan berlanjut dengan pembahagian tugas: isteri memasak makanan untuk malam sambil memberikan makanan kepada hewan piaraan, babi. Kuda, kambing dan ayam diurus oleh suami. Ini pembahagian tetap. Kuda karena hewan tunggangan dan biasa diikat di luar, kambing binatang padang dan ayam ada kaitan dengan ayam jantan sebagai hewan piaraan untuk dijadikan hiburan, cie ti (adu ayam). Sekitar jam delapan malam, kalau makanan sudah masak, biasanya ubi-ubian yang dibawa dari kebun ditambah sedikit dengan a piral (nasi beras jagung yang dihancurkan dengan batu) dan minumannya tetap il huruk (air dingin). Kebiasaan minum air dingin yang tidak dimasak ini masih berlangsung sampai sekarang biarpun petugas dari dinas kesehatan sudah memberikan penyuluhan dibantu oleh tim penggerak dari ibu-ibu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) di desa. Alat kerja para petani di DHL sampai sekarang masih tetap sederhana seperti lima puluhan tahun lalu, terdiri dari turi’ so’ dan nut (parang dan tofa). Parang (turi’ so’) untuk menebas ranting-ranting kayu dan tofa (nut) untuk menyiangi rumput. Memacul tanah, tidak biasa sehingga alat seperti pacul dan sekop tidak digunakan untuk pekerjaan bertani. Dengan peralatan yang sederhana ini, nut dan tori’ so’, kebun tidak bisa diperluas.
168
Gambar 34 Turi’ so’ dan Turi’ gol’ Parang (panjang : 70 cm) Pisau (panjang : 20 cm)
Tenaga manusia tidak cukup untuk membuka lahan yang luas, apalagi kebun milik suku memang terbatas sekali, rata-rata setiap bidang hanya seluas setengah hektar. Alat kerja yang lain, ta’ (kapak), dipakai hanya sesewaktu kalau ada pohon yang besar yang sulit ditebang dengan parang. Kapak (ta’) hanya sesewaktu saja dipakai untuk membelah kayu kering guna kepentingan memasak di rumah. Inilah kegiatan harian warga DHL yang rata-rata hidup dari bertani dan beternak secara tradisional sampai sekarang. Pengolahan tanah ladang tetap mengikuti proses yang sudah dijadikan tradisi. Urutan pengerjaan kebun itu tetap mengikuti tahap-tahap yang tidak berubah dari tahun ke tahun.
169
Gambar 35. Ta’ ( Kapak ) Panjang 100 cm
Tahap pertama, mar se (bersihkan kebun). Tanah ladang biasa ditumbuhi pohon-pohon seperti kale’ (gala-gala atau turi), wana (sejenis pohon berdaun lebar, batangnya terbalut kulit berwarna kelabu), siol (lantana), bau koles (pohon bunga matahari) dan pohon dan tanaman perdu ini dibiarkan bertumbuh selama dua tahun. Pohon-pohon dan tanaman perdu ini menjadi sangat rimbun dan pada awal musim kemarau (pan porat) bulan Juni – Juli pohon-pohon bersama tanaman perdu ini ditebas. Kegiatan ini yang disebut mar se (bersihkan kebun). Tahap kedua, mar hen (jemur kebun). Semua pohon-pohon dan tanaman perdu yang sudah ditebas itu dibiarkan kering oleh terik matahari atau dijemur (hen). Penjemuran ini berlangsung selama kurang lebih satu bulan, bulan Agustus. Tahap ketiga, hotel geteta’ (potong kayu). Batang-batang pohon yang besar seperti kale’ (gala-gala/turi) dan wana (pohon berdaun lebar) dipotong-potong dan diletakkan secara rapi di atas belukar dan rerumputan yang sudah mengering. Tahap keempat, mar alan dasa (membersihkan pinggir kebun). Pada tahap ini pinggir kebun dibersihkan supaya api tidak merambat ke bidang tanah lain. Di dalam kebun sendiri kalau ada pohon tanaman umur panjang seperti turul (cendana), barut (kemiri), kulo (nangka), zo (mangga), ma (bambu), hoza (kelapa), pu (pinang), mok (pisang), maka sekitar pohon itu rumput kering dibersihkan agar api tidak 170
menghanguskan batang dan daun-daun pohon-pohon itu. Pohon-pohon lain kalau terkena panas api dan layu, tidak dikenakan denda adat karena milik sendiri. Tetapi kalau ada pohon cendana yang kedapatan layu atau terbakar, maka denda yang dikenakan pada pemilik kebun sangat besar, yaitu: seekor babi besar dan satu karfoun (botol besar) sopi, ditambah dengan sehelai tais (kain tenun) sebagai simbol pembalut batang kayu cendana yang terbakar itu. Aturan tentang cendana ini dibuat pada masa penjajahan Belanda karena pohon cendana merupakan pohon milik pemerintah dan dilindungi dari penebangan oleh siapa pun tanpa izin dari pemerintah. Tahap kelima, mar ini (bakar kebun). Bidang tanah yang ditutupi batang pohon-pohon dan belukar yang sudah kering dibakar. Dengan pembakaran ini kebun menjadi bersih dan rumput-rumput tidak akan tumbuh pada musim hujan sebab benih dan akar-akarnya pun hangus terpanggang api. Tahap keenam, hoto koin (menyebar api). Pekerjaan hoto koin ini dilakukan dengan megumpulkan batang-batang kayu yang tidak habis terbakar waktu mar ini (bakar kebun) lalu dibakar dan dibiarkan menjadi bara api. Si petani menyebarkan bara api ini memakai matala 32 (alat pengait bara api terbuat dari bambu kuning). Tujuan penyebaran bara api ini ialah penghangusan akar rumput dan penyebaran abu yang bakal menjadi pupuk bagi tanaman padi dan jagung.
Matala ini adalah alat pengait bara api untuk disebarkan di dalam ladang. Matala dibuat dari batang bambu kuning (ma olas) yang dicabut dengan 32
akarnya dan akar yang melengkung inilah yang dijadikan alat pengait. Sebelum dipakai, matala ini direndam di dalam air di kali-kali kecil agar menjadi lembab dan tahan api. Sesudah dipakai seharian, direndam lagi untuk dipakai pada keesokan hari.
171
Gambar 36. Matala (Alat Pengait Bara Api di Ladang, terbuat dari batang bambu kuning yang dicabut dengan akarnya) Panjang 3 m
Di bidang tanah yang diolah dengan cara hoto koin ini biasanya tanaman padi atau jagung bertumbuh subur dan berhasil bagus. Ini pada musim tanam tahun pertama. Pada musim tanam tahun kedua, tanah itu tidak subur lagi sehingga disebut mar kolun (kebun rumputan) artinya kebun yang sudah ditumbuhi rumput-rumputan dan tidak ada lagi pohon-pohonan seperti kale’ dan wana. Pohon-pohon kale’ dan wana pada tahun pertama ini mulai tumbuh dan dibiarkan besar untuk masa dua tahun ke depan. Kebun ini yang disebut mar kolun masih diolah lagi dengan pembersihan rumput-rumput kering itu yang ditumpuktumpuk untuk dibakar. Tumpukan rumput ini disebut sipil dan sipil inilah yang dibakar sebelum musim hujan tiba. Hasil dari mar kolun ini biasanya sangat memprihatinkan karena jagung yang ditanam sudah tidak subur lagi. Di mar kolun tidak pernah ditanam padi karena tanaman padi membutuhkan tanah yang subur berupa abu bekas batang-batang kayu yang dibakar waktu hoto koin. Pada tahun ketiga kebun ini dibiarkan (mar hi’il) sebagai tanah kosong yang ditumbuhi belukar dan pohon-pohon kale’ dan wana bersama rumput-rumputan untuk siap ditebas pada tahun kedua nanti. Di kebun yang ditinggalkan
172
ini masih tersisa ubi kayu dan ubi-ubian lain serta kacang-kacangan lokal yang siap dipanen pada musim kemarau tahun berikutnya. Tahap ketujuh, bata’ gara, lutuk ho’on (menyusun pematang, membuat pagar). Kebun-kebun yang dikerjakan secara beramai-ramai di wilayah tertentu, dilingkari dengan pagar yang dikerjakan secara bersama. Dengan lutuk (pagar) ini tanah ladang dipisahkan dari tanah yang diperuntukkan sebagai padang gembalaan bagi ternak seperti kerbau, sapi dan kuda. Lutuk dibuat atas beberapa cara. Ada yang dibuat dari potongan batang kayu-kayu yang ditanam dan dijepit dengan belahan bambu. Ada yang dibuat dengan cara membaringkan kayukayu itu dalam bentuk memanjang. Ada juga yang membuat pagar dengan menanam pohon-pohon hidup sehingga menjadi pagar hidup. Ada yang membuat pagar dengan cara menyusun batu-batu berlapis dua dan di antara lapisan itu diisi tanah lalu pada musim hujan tanah di antara susunan batu ini ditanami tanaman kaktus atau tali sisal (agave). Tanaman tali sisal ini mempunyai guna besar sekali karena pada saat daun yang tebal itu sudah cukup tua, para pemilik kebun akan memotong dan mengolahnya untuk mengambil seratnya dan membuat tali yang kuat dari sera-serat itu. Tali buatan dari serat sisal ini biasa dipakai untuk berbagai keperluan, terutama untuk tali pengikat kuda piaraan. Tahap kedelapan, umon dara (tegakkan tiang persembahan). Tahap ini merupakan tahap puncak karena seluruh proses sebelumnya disyukuri pada tahap ini dan proses selanjutnya akan dilaksanakan dengan permohonan pada leluhur, roh-roh dan Hot Esen agar tidak ada gangguan dan mendatangkan hasil kebun secara berlimpah-limpah. Upacara umon dara itu diawali dengan pemotongan sebatang ma olas (bambu kuning) yang ranting-rantingnya dibiarkan utuh, tidak dipangkas. Di pertengahan kebun yang sudah bersih biasanya ada susunan batu berupa bosok (susunan batu tempat persembahan) setinggi setengah meter dari permukaan tanah. Susunan batu dalam bentuk lingkaran dengan garis tengah kurang lebih satu meter ini merupakan pertengahan dari kebun. Kalau susunan batu itu tidak teratur lagi, maka saat inilah waktu yang cocok untuk menata kembali tempat persembahan ini. Di samping bosok (susunan batu) inilah ditanam ma olas (bambu kuning) yang masih beranting. Arti ma olas yang masih beranting ini ialah lambang pembawa kerindangan dan penolak hama, 173
penolak bala termasuk penolak angin ribut. Kesatuan antara bosok dan ma olas inilah yang disebut umon. Sesudah ma olas ditanam, bosok dirapihkan, perempuan tertua dari suku meletakkan beberapa taka (tenasak) berisi contoh benih yang akan ditanam di ladang itu. Setiap taka berisi benih, mulai dari jagung, padi, kacang-kacangan, biji-biji labu dan mentimun. Laki-laki tua yang akan mengolah kebun ini membawa seekor ayam jantan berwarna merah dan menyembelih ayam itu di atas bosok. Darah ayam ini dicampur ke dalam air dingin dalam sebuah matu’ (tabung bambu) lalu daun iligoru (sejenis pakis yang biasa tumbuh dekat sumber air) dicelupkan ke dalam tabung bambu itu dan dipakai sebagai alat perecik benih-benih yang sudah disiapkan di sekita umon. Sesudah benin-benih direciki, air itu dibawa ke empat sudut kebun dan disana air bercampun darah itu direcikkan. Sementara itu diucapkan kata-kata, ”Hoee bai late loi ni’, bai ha wen, hani mar mil kakor, hani biso bin o pelek itil harat” (Hai semua makhluk yang buruk, semua yang jahat, jangan berkeliaran dalam kebun, jangan merusakkan benih dan jangan merusakkan tanaman). Sepulangnya dari empat sudut kebun, tabung bambu yang masih berisi air bercampur darah ayam ditanam di bawah batang bambu yang sudah lebih dahulu ditanam dekat bosok. Air dalam tabung yang ditanam ini menjadi simbol untuk kesuburan tanaman yang akan ditanam di kebun itu. Ayam yang sudah disembelih itu dibersihkan bulunya dan bulu-bulu itu dihamburkan ke segala penjuru dalam kebun dengan harapan tanaman akan bertumbuh subur dan berhasil. Ayam itu dipotong dan hula (usus halus) dari ayam itu diperiksa untuk mengetahui apakah tanaman di ladang itu akan berhasil atau tidak. Kalau dilihat di hula (usus ayam) itu ada tanda baik maka upacara dilanjutkan, tetapi kalau ada tanda buruk, maka diusahakan seekor babi kecil untuk dibunuh dan menetralkan tanda yang kurang baik itu untuk menjadi baik. Selanjutnya bahagian cakar dari ayam itu digantungkan di batang ma olas (bambu kuning) sebagai makanan bagi roh-roh jahat penghuni langit agar tidak mengganggu tanaman dan sekaligus sebagai penolak bencana, longsor dan hujan angin agar tidak merusak tanaman. Daging ayam dimasak dan sedikit potongan daging yang matang itu diisi dalam taka bersama nasi, diletakkan di bawah ma olas sebagai santapan bagi roh-roh yang baik. Sedangkan untuk roh-roh jahat, irisan daging yang masih mentah bersama sejemput beras dilemparkan ke empat penjuru mata angin 174
sambil berseru, ”Hoee, bai late loi ni’, bai ha wen, ei ie itu an o ba, ei ie lama’ na o ba, det dege hosok, det dege holan, mal alan gene, mal ate gene” (Hai semua makhluk yang buruk, semua yang jahat, itulah
bahagian kamu, itulah porsi kamu, tangkap sendiri, telan sendiri, pergi ke pinggiran, pergi ke kejauhan). Sesudah upacara umon dara ini tibalah tahap berikutnya, menanam. Tahap kesembilan, muk ere (tanam bibit). Penanaman benih padi dilaksanakan pertama di sekitar umon baru disusul dengan penanaman di bahagian lagi dari ladang. Lalu ladang yang sudah dibersihkan melalui pembakaran itu mulai ditanami dengan padi pada bulan September-Oktober sebelum hujan turun. Batang-batang ubi kayu pun ditanam pada waktu ini. Anakan pisang ditanam pada akhir musim panas dengan tujuan batang pisang dalam tanah itu menjadi panas dan mudah bertunas kalau dibasahi hujan. Kalau anakan pisang ditanam sesudah tanah basah, maka menurut para petani suku Buna’, pisang akan tumbuh merana karena batang dalam tanah itu dimakan ulat. Kalau hujan turun dua atau tiga kali, tanah dianggap sudah cukup basah dan para wanita mulai menanam jagung, kacang-kacangan dan tanaman lain seperti labu, mentimun dan mendikai. Tahap kesepuluh, u tul (tofa rumput). Pekerjaan membersihkan kebun pada musim hujan ini biasa dilaksanakan secara gotong-royong, disebut u gowol (tofa rumput bersama). Kalau beberapa orang saja yang melaksanakan pembersihan kebun secara bergilir, maka sistim ini disebut kawak (saling membantu). Tahap kesebelas, a sagal (cari makanan, panen). Jagung yang sudah tua dipanen, disebut, pa’ol gure’ (patah jagung). Padi yang sudah tua dipotong, disebut, ipi wit (ambil padi/ panen padi). Turis yang sudah kering dipetik dan dihancurkan kulitnya agar bijinya dapat diambil dan disimpan. Pembersihan turis ini disebut tir tu’u (tumbuk turis). Tahap keduabelas, pa’ol tula, ipi tula (angkut jagung dan padi). Pada tahap ini kuda sebagai hewan pengangkut beban sangat berperan. Jagung yang sudah diikat dibawa ke kampung untuk disimpan di rumah-rumah. Padi yang dipetik dibersihkan lalu diisi di sokal-sokal (oput) dan dibawa ke kampung. Sampai tahun 1990-an kuda masih dijadikan hewan pengangkut yang utama. Sesudah masyarakat kehilangan ternak-ternak besar termasuk kuda-kuda akibat pergolakan di Timor-Timur, masyarakat mengalami kesulitan dalam pengangkutan 175
hasil kebun ini. Mulailah masa pengangkutan dengan sepeda motor. Para ojek (tenaga bayaran pengendara sepeda motor ) menjadi sandaran masyarakat untuk masalah angkutan ini. Truk (mobil dengan gerobak) tidak bisa digunakan karena tidak ada jalan raya yang menjangkau kebun-kebun. Tahap ketigabelas, pa’ol gobon, ipi ol no tolo (menyimpan hasil). Sesudah terangkut semua, baik jagung maupun padi, dilaksanakan penyimapanan. Jagung yang diikat-ikat dalam ikatan kecil (gilan) atau sakat (ikatan jagung terpilih) disatukan menjadi gubut (ikatan besar). Pa’ol gubut (ikatan jagung) ini digantung dalam rumah adat dan terkena asap api sehingga terluput dari serangan bu (hama perusak biji jagung). Padi disimpan di dalam ol (lumbung yang terbuat dari anyaman daun pandan) dan diletakkan di dalam rumah adat. Musim panen selesai dan masyarakat bernafas lega karena hasil kebun sudah terhimpun dan tersimpan dengan aman di dalam rumah. Penyimpanan hasil kebun ini terjadi pada bulan Mei dan Juni, pertengahan pan porat (musim kemarau). Tahap keempatbelas, pa’ol sau, hohon a (syukur atas panen jagung dan panen padi). Pada tahap ini diadakan upacara syukur panen yang diraykan secara meriah di tiga kampung, Lakmaras, Henes dan Abis. Hasil yang sudah terkumpul secara simbolis dibawa oleh masingmasing suku rumah ke mot untuk diupacarakan dalam upacara syukur. Dua pesta, Pa’ol sau merupakan upacara syukur khusus untuk mempersembahkan hasil jagung dan hohon a merupakan upacara syukur khusus untuk mempersembahkan hasil padi kepada Hot Esen (Yang Maha Tinggi) melalui perantaraan tata bei mil (arwah leluhur) dan pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi). Upacara ini dipimpin langsung oleh mako’an (imam agama asli / ahli tutur adat) di tempat persembahan umum yaitu mot. Pesta syukur panen yang diisi juga dengan keramaian rakyat diadakan secara bergilir di tiga kampung, Lakmaras, Henes, Abis. Pada siang hari diadakan teberai’ dan biru (likurai oleh perempuan dan tarian oleh laki-laki) dan pada malam hari diadakan tei (semacam tandak), tarian dalam bentuk lingkaran yang berputar mengikuti arah jarum jam.
176
MAR GOSAN : HASIL KEBUN Masyarakat DHL berbangga karena kebun-kebun mereka dapat menghasilkan berbagai jenis makanan. Pa’ol (jagung) merupakan hasil utama, disusul dengan ipi (padi ladang). Ada lagi hasil yang lain yaitu pio’ (jewawut), bukas (jagung rote) dan iter (tanaman seperti jagung tetapi bijinya berada di puncak batang dan keras). Hasil tanaman penunjang lain cukup berlimpah terdiri dari ubi-ubian, kacangkacangan dan buah-buahan serta sayur-sayuran. Segala jenis makanan ini dianggap sakral karena sesuai dengan mitos yang ada, masyarakat yakin bahwa semua makanan itu berasal dari tubuh dua leluhur suku Buna’, Dasi Bau Mali’ dan Dasi Bui Mali’. Mereka dua inilah yang mengorbankan diri dan menjadi bahan makanan untuk menghidupi turunan mereka. Isi mitos itu diringkaskan sesuai penuturan mako’an Koli Uka dari Abis. Ada kisah tentang terjadinya seluruh tanaman yang manjadi bahan makanan. Ada dua leluhur orang Buna’ bernama Dasi Bau Mali’ dan Dasi Bui Mali’. Keduanya bersaudara. Dua orang inilah yang menjelma menjadi segala macam bahan makanan, kayu cendana dan lebah. Daging, gemuk dan darah Dasi Bau Mali’ berubah menjadi ipi (padi) sehingga nasi padi itu enak. Gigi menjadi pa’ol (jagung). Biji mata menjadi tir (kacang turis) dan bermacam-macam kacang-kacangan. Bokongnya menjadi balo (keladi). Lambungnya menjadi ope (labu). Jari kaki dan tangan menjadi segala macam dik (ubi-ubian) yang lain. Lidahnya menjadi hotel go’ (buah-buahan) sehigga buahbuahan ada rasa manis, kecut di lidah manusia. Alat kelamin dari Dasi Bau Mali’ menjadi mok (pisang). Tulangnya menjadi turul (kayu cendana) sehingga kalau kayu cendana itu dibakar baunya seperti bau tulang manusia terbakar. Hanya saying, rambutnya yang tercecer menjadi u (rerumputan). Saudari dari Dasi Bau Mali’, yaitu Dasi Bui Mali’ berubah menjadi hotel gomo (lebah). Atas dasar itulah segala jenis bahan makanan selalu diupacarakan sebelum ditanam, waktu dipanen dan waktu dimakan.
Segala jenis tanaman yang dikisahkan dalam mitos tentang terjadinya bahan makanan, mudah tumbuh di wilayah DHL. Secara
177
tradisional sampai tahun 1970-an, masyarakat DHL biasa menanam padi, jagung dan kacang-kacangan termasuk ubi-ubian selain ubi kayu dan ubi jalar. Ubi-ubian atau dik yang terdiri dari berbagai jenis, baik yang batangnya berduri maupun yang tidak berduri biasa dipelihara dan memenuhi ladang yang ditinggalkan sehabis panen padi dan jagung. Di samping ubi-ubian ini ada juga kacang-kacangan yang mudah tumbuh di ladang-ladang ini. Jenis kacang yang utama yaitu tir (turis) dan ho (kacang panjang). Ada jenis kacang yang beracun, pau lelo, mudah tumbuh dan bijinya dikumpulkan masyarakat pada bulan Juli-Agustus lalu disimpan dalam bakul-bakul di rumah-rumah. Kacang jenis ini biasa dimasak dan air masakan itu diganti sampai tujuh kali baru racun kacang itu hilang dan hasil masakan ini dapat dimakan. Cara memasak pau lelo ini disebut pau hail (mengeluarkan racun dengan air panas dari biji kacang). Acara paul hail merupakan keramaian tersendiri bagi kaum ibu dan gadis-gadis yang pergi beramai-ramai ke sumber air pada hari libur seperti hari Minggu atau hari libur yang lain. Mereka merebus pau lelo itu dalam periuk-periuk besar di sumber air sampai matang sesudah direbus dan diganti air tujuh kali. Merebus pau lelo sampai tujuh kali ini membutuhkan banyak air maka untuk menghemat tenaga dan waktu, kaum ibu dan gadis-gadis pergi ke sumber air yang terdekat dan tinggal di sana selama satu hari. Acara pau hail ini diisi dengan acara hotus lua. Sambil menunggu pau lelo yang direbus itu mendidih, mereka merendam hotus (benang yang sudah diikat dalam motif-motif adat untuk dijadikan kain tenun) di dalam lumpur hitam yang diambil dari tanah sekitar sumber air. Dua acara ini biasa dilaksanakan bersamaan sehingga disebut hotus lua – pau hail. Hasil rebusan pau lelo ini disebut pau mis ( kacang yang sudah matang). Pau mis ini dibawa pulang ke rumah masing-masing dan menjadi santapan keluarga selama berhari-hari sebab pau mis ini dapat disimpan lama. Anak-anak sekolah di sekolah-sekolah dasar biasa membawa pau mis di dalam taka gol (tenasak kecil) ke sekolah sebagai bekal dan pau mis ini menjadi pengganjal perut selama di sehari. Di rumah, pau mis ini biasa dimakan oleh seisi rumah dalam bentuk sajian yang dicampur dengan su’il (susu segar) hasil perahan susu kerbau atau susu sapi. Dan sajian pau mis ini terasa enak karena terasa cocok kalau dimakan dengan su’il
178
(susu segar). Sepanjang musim kemarau, pau mis menjadi makanan utama di samping jagung dan ubi-ubian. Di samping ubi-ubian dan kacang-kacangan ada juga jenis umbiumbian lain seperti balo (talas ) berbagai jenis, kontas (tanaman tasbih), opu (bengkuang), me (umbi yang gatal tapi bisa dimakan sesudah diolah secara khusus), gomi’ (sejenis umbi yang isinya putih) dan koan (sejenis ubi yang umbinya berbulu dan dapat dimakan). Di ladang tumbuh pula sayur-sayuran seperti ope gawa (pucuk labu), ho nor (pucuk daun kacang), lurun (bayam), pur diki (pucuk pohon beringin), cie gas (pakis ) dan kale’ gubuk (bunga turi atau galagala). Masih ada sayuran lain lagi yaitu dila nor (daun pepaya), dila zobel (pepaya muda), mok tobu’ (jantung pisang) dan kulo zobel (nangka muda). Di samping sayur-sayuran ini ada pula jenis-jenis jamur yang tumbuh bebas dan dapat dimakan. Jenis-jenis jamur itu ada yang tumbuh di tanah yang basah seperti uil loi (jamur baik), uil pala (jamur besar), uil muk (jamur tanah). Ada jamur yang tumbuh di batang pohon yang sudah tua dan membusuk yaitu uil kuikepa’ (jamur telinga tikus). Semua jenis sayuran dan bermacam-macam jamur ini tetap ada tergantung musim. Masyarakat tidak pernah kekurangan sayur-sayuran sepanjang musim, baik musim hujan (pan salan) dari bulan Nopember – Maret (lima bulan) maupun musim kemarau (pan porat) dari bulan April sampai Oktober (tujuh buan). Di samping sayur-sayuran dan jamur ini ada lagi makanan berupa ulat dan serangga yang biasa dimakan yaitu kale’ bi (ulat pohon gala-gala), bobi (laron), leka ( uir-uir), bure (sejenis belalang berwarna hijau), oha lae’ (sejenis belalang besar). Ada lagi dua jenis lebah, hotel gomo (lebah hutan) dan wani (lebah yang bersarang di dalam lubang batu atau pohon) memberikan hasil madu yang berlimpah dan sarang lebah yang masih ada ulatnya biasa dimakan entah dimakan mentah atau direbus baru dimakan sebagai lauk-pauk. Masalah yang muncul sampai sekarang ini ialah kebiasaan masyarakat mengkonsumsi makanan lokal ini sudah melemah dan mulai bergantung pada hasil dari luar seperti beras dan terigu dan produkproduk lain seperti mie dan berbagai makanan yang dikemas hasil pabrik. Hampir semua hasil kebun dan hasil hutan yang biasa dijadikan makanan ini sudah diabaikan dan masyarakat beralih kepada makanan serba jadi yang didatangkan dari luar. Rasa bangga dengan makanan 179
lokal tidak ada lagi, malah ada kesan kuat bahwa makanan lokal itu dianggap makanan orang kolot dan kurang berbudaya.
AN GENE: UPACARA ADAT BERKAITAN DENGAN PERTANIAN Kebun yang merupakan kebun milik suku ini dikerjakan dengan upacara-upacara adat yang erat berkaitan dengan kepercayaan bahwa kebun itu sumber kehidupan yang menghasilkan bahan makanan untuk seluruh keluarga, anggota suku. Mulai dari pembukaan kebun, penanaman benih sampai kepada panen, ritus-ritus agama asli dilaksanakan baik di kebun maupun di rumah suku. Secara umum, puncak upacara panen diadakan di mot, tempat sakral umum milik seluruh masyarakat. Pembukaan kebun (mar) diawali dengan upacara an gene (pembersihan semak belukar). Upacara an gene ini biasa diadakan pada bulan Juli atau Agustus menjelang saat semak belukar yang ditebas di kebun-kebun sudah siap untuk dibakar yang dikenal dengan istilah mar ini (bakar kebun). Seluruh warga dikerahkan untuk mengadakan ziarah ke tempat sakral di luar kampung, disebut tala, di mana ada hutan keramat dan ada sumur yang tidak pernah kering. Di tala ini biasanya ada pohon beringin yang rindang dan di bawahnya diletakkan sebuah batu (hol) tempat bahan kurban persembahan kepada roh-roh penjaga kesuburan hewan diletakkan. Dua tempat ini merupakan satu kesatuan: tala itu hutan keramat, hol itu batu tempat persembahan, maka kedua tempat ini disebut serentak: tala-hol. Dekat tala-hol ini ada sumber air yang dikeramatkan, disebut il-por (air keramat). Tala-hol, il por merupakan tempat yang dikeramatkan sehingga pohon-pohon di tempat ini dilarang keras untuk ditebang. Kayu kering pun tidak boleh diambil di tempat ini untuk dijadikan kayu bakar. Kepercayaan akan kekeramatan tempat ini menyebabkan tala-hol, il por selalu menjadi tempat yang rindang dan menjadi hutan lindung secara tradisional yang membuat sumber air di tempat itu tetap terjaga dari pencemaran dan juga terjaga kelestariannya sehingga tidak pernah kering sepanjang tahun. Empat kampung, Lakmaras, Henes, Abis dan Kota-sa’i, masingmasing mempunyai tala-hol, il por sendiri-sendiri. 180
Di tala semua laki-laki berkumpul membawa senjata, bat (tombak) untuk berburu babi hutan dan rusa. Kaum perempuan membawa segala macam keperluan untuk memasak makanan yang terdiri dari beras padi, jagung dan ubi-ubian. Di tala ini dibunuh seekor babi jantan besar, darahnya dipercikkan di batu yang berada di bawah naungan pohon beringin. Batu (hol) itu tempat peletakan kurban untuk memohon kesuburan bagi hewan piaraan seperti kerbau dan sapi. Darah babi ini diteteskan juga ke dalam batok kelapa muda dan air kelapa muda yang sudah bercampur darah babi ini dipercikkan (hesik) ke atas para lelaki yang akan pergi berburu babi hutan dan rusa. Tujuan hesik (perecikan) ini ialah agar semua pemburu itu selamat dan dapat membunuh sebanyak-banyaknya babi hutan dan rusa dalam rangka pembasmian binatang dan hama yang bakal merusak tanaman di ladang. Semua laki-laki kecil besar bergerak dari tala sambil meneriakkan seruan-seruan dan melagukan lagu-lagu pembakar semangat menuju tempat yang akan dijadikan tempat berburu. Kegiatan ini disebut an tama, artinya memasuki belukar. Wilayah berupa padang rumput dan belukar tempat persembunyian babi hutan dan rusa disulut dengan api dan pemburuan dilakukan sepanjang hari. Sesudah babi hutan dan rusa diperoleh, semua rombongan berarak kembali ke tala dengan iringan lagu berupa bunyi seruling yang terbuat dari batang gelagah ditiup bersahut-sahutan, satu sebagai solo dan semua yang lain membunyikan secara serentak. Bunyi itu kedengaran seperti hu-li-lu, maka arakan disertai bunyi tiupan seruling ini disebut: huli’-lu’. Tujuan dari perburuan dan arak-arakan ini ialah memaklumkan kepada pan muk gomo (roh-roh) penghuni hutan dan perbukitan bahwa musim pengolahan ladang sudah tiba untuk mendapat berkat serentak menakut-nakutkan binatang perusak tanaman serta mengusir melo (nyawa) dari berbagai hama agar tanaman selamat, tidak dirusak oleh berbagai binatang dan hama sampai musim panen tiba. Hewan yang mati hasil buruan digantung di pohon dekat tempat keramat untuk menjadi tontonan sambil menanti para kaum wanita menyiapkan makanan untuk dimakan beramai-ramai. Sesudah semua selesai makan, hewan hasil buruan itu dipotong-potong dan dibagibagikan. Orang yang berhasil menikam hewan itu di semak belukar, entah babi hutan atau rusa, mendapat bahagian yang paling baik yaitu: 181
bahagian dada (lulin). Kalau hewan itu ditangkap oleh anjing-anjing pemburu, maka pemilik anjing-anjing itulah yang mendapat lulin ini sebagai penghargaan atas kecekatan dari anjing pemburu. Daging hasil buruan ini dibagi kepada semua yang hadir dalam bentuk potongan kecil-kecil untuk dibawa pulang dan diceriterakan sebagai hasil buruan dalam rangka pembebasan ladang dari serangan binatang-binatang ini. Upacara besar yang dirayakan sebagai upacara syukur panen terdiri dari upacara pa’ol sau (panen dan makan jagung pertama), hohon a (panen padi dan makan nasi padi), tir duzuk (makan turis pertama), zo sau (makan mangga), pu sau (panen pinang), hoza sau (panen kelapa), barut sau (panen kemiri). Semua upacara ini merupakan upacara syukur atas hasil yang diperoleh dalam setahun sesuai musimnya. Pa’ol sau (panen dan makan jagung pertama) dan hohon a (panen padi dan makan nasi padi) menjadi upacara pesta syukur induk yang dirayakan secara besar-besaran. Dua upacara ini dimulai dari upacara syukur di setiap deu hoto (rumah suku) lalu puncaknya di mot (Tempat persembahan utama) sebagai perayaan bersama yang dihadiri oleh seluruh warga masyarakat DHL. Tari-tarian teberai’ dan sila dilakukan pada siang hari dan tei pada malam hari. Hiburan rakyat yang paling besar, cie ti (adu ayam) diadakan pada kedua upacara ini. Upacara syukur yang lain dirayakan secara sederhana, tidak melibatkan semua warga masyarakat. Inti upacara syukur panen ini adalah ungkapan rasa terimakasih kepada mugen bei mil (arwah leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Matahari Yang Tinggi/ Tuhan). Tiga subyek pemujaan ini diberikan kurban persembahan karena mereka diyakini telah berperan dalam seluruh proses penghasilan semua bahan makanan mulai dari musim tanam sampai kepada musim panen.
TAS MIL : PEMUKIMAN Rumah-rumah asli bentuknya rumah panggung yang tinggi, bulat lonjong, dan atapnya terbuat dari alang-alang, mencapai tanah. Bentuk rumah adat ini kalau diamati secara saksama, seperti perahu yang dibalikkan. Dan ini diartikan oleh seorang tokoh adat dari suku Buna’, A.A. Bere Tallo (almarhum), melambangkan kisah leluhur yang berasal dari daerah Asia Tenggara. Sewaktu para leluhur itu tiba di 182
daratan Timor, mereka membalikkan perahunya lalu menempati wilayah di pegunungan dan itu terlihat dalam bentuk rumah adat sekarang. Rumah dengan sistem rumah panggung ini terdiri dari rumah rakyat biasa, deu renu dan rumah bangsawan, deu rato. Rumah rakyat disebut deu renu dan rumah suku bangsawan disebut deu rato. Rumah suku milik rakyat, di bubungan tidak terdapat hiasan bambu, sedangkan rumah adat milik bangsawan, dihiasi dengan ijuk lalu disisipkan bilahbilah bambu, disebut maten kes, (hiasan di bubungan rumah) yang nampak dari jauh seperti kepala seorang pria yang mengikat destar di kepalanya. Rumah suku milik orang bangsawan dindingnya terbuat seluruhnya dari bese’ (papan), sedangkan rumah suku milik rakyat biasa, dindingnya dibuat dari para’ (para-para, belahan bambu yang diiris tipis-tipis) sebagai pengganti papan. Ada kebiasaan yang tidak boleh dilanggar dalam pembangunan rumah adat (deu hoto) yaitu deu rato (rumah bangsawan) harus berdindingkan bese’ (papan) dan deu renu ( rumah rakyat) harus berdindingkan para’ (para-para). Di puncak bukit-bukit di mana ada perkampungan, rumahrumah didirikan melingkar menjadi satu lingkaran utuh. Di dalam setiap rumah suku ada hol (batu ceper) yang diletakkan di bawah tiang agung perempuan (nulal pana atau nulal lor). Di atas batu ini diletakkan persembahan keluarga untuk roh-roh. Di tiang agung itu digantungkan segala peninggalan yang dianggap keramat dari leluhur. Jadi rumah adat itu tidak kosong, tetapi sarat dengan nilai luhur, kepercayaan akan hadirnya arwah leluhur dan roh-roh yang baik. Roh-roh yang jahat selalu diusir dengan berbagai sajian yang dihamburkan ke empat penjuru mata angin. Di depan setiap rumah suku (deu hoto), ada susunan batu yang tingginya sekitar satu meter dengan garis tengah sekitar satu meter pula, merupakan tempat persembahan suku. Tempat upacara yang terdiri dari susunan batu di muka setiap rumah ini disebut ’bosok’. Di atas bosok ini diletakkan bahan persembahan (bai sera) dari suku kalau ada upacara adat di dalam suku. Di tengah lingkaran bangunan rumah-rumah adat itu, di tempat yang agak tinggi, didirikan rumah milik bangsawan tertinggi, atau rumah raja, disebut ’reu uma-metan’. Rumah suku milik raja ini dibuat lebih besar dari semua rumah yang lain. Di samping rumah raja ini 183
disusun batu-batu yang membuat lingkaran dengan satu pelataran yang luas sebagai tempat berbagai acara adat diadakan. Lingkaran batu yang membentuk pelataran yang luas ini disebut ’mot’. Di tengah mot ini ada bosok op (tempat persembahan umum) di mana diletakkan bahanbahan persembahan sewaktu ada upacara umum. Semua upacara adat biasa dimulai dari dalam rumah suku (deu hoto) yang dipusatkan di hol dan nulal, dilanjutkan di bosok milik suku di depan rumah lalu dipuncakkan di mot di mana ada bosok op. Dalam semua tingkatan upacara ini, Hot Esen (Yang Maha Tinggi) selalu disapa yang pertama lalu disusul leluhur kemudian roh-roh dan diakhiri lagi dengan sapaan kepada Yang Maha Tinggi. Atas dasar kebiasaan inilah seorang raja dilantik di mot. Sedangkan kepala desa, tidak dilantik mot tetapi di tempat lain. Sebagai contoh, kepala desa yang sekarang, Kepala Desa Henes dan Kepala Desa Lakmaras, dilantik menjadi Kepala Desa oleh Bupati Yoakhim Lopez pada tanggal 4 Agustus 2006 di Nualain, jauh dari desa Henes dan Lakmaras. Dua Kepala Desa ini dilantik bersama lima Kepala Desa yang lain yaitu Kepala Desa Nualain, Dirun, Fulur, Maudemu dan Ekin. Dalam upacara pelantikan ada doa secara katolik yang dibawakan oleh Romo Gerardus Banu, Pr, dan sesudah pelantikan diadakan perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Rm. Gerardus Banu, Pr. Acara adat di mot sama sekali tidak dibuat dengan alasan, pelantikan ini adalah acara pemerintah dan bukan acara adat. Ada suatu pergeseran yang luar biasa, pengalihan rasa spiritual masyarakat dari tata adat istiadat ke tata pemerintahan dan tata upacara katolik.
KESIMPULAN Pemeritahan di desa memasuki suatu peralihan dari adat warisan leluhur ke ranah pemerintahan dan ranah agama Kristen Katolik. Kepemimpinan lokal yang erat dikaitkan dengan kepercayaan pada leluhur, roh-roh dan Yang Maha Tinggi dialihkan pada ketetapan Undang-undang dan Agama Kristen Katolik. Di sini ada pergeseran yang didasarkan pada nilai yang didatangkan dari luar dan tidak didasarkan pada nilai yang dihayati sebagai nilai yang asli. Nilai yang asli inilah yang disebut spiritual capital yang asli yang sudah tertanam dalam nurani orang-orang Buna’ baik perorangan maupun kelompok. Di 184
satu pihak hal ini dilihat sebagai kemajuan, tetapi di lain pihak ini adalah suatu kehilangan dan kehilangan ini menyangkut hal yang hakiki karena menyangkut jati diri suatu kelompok. Perekonomian desa dikaitkan erat dengan kepercayaan pada alam dunia roh. Ada keterkaitan yang erat antara alam nyata dengan alam roh melalui kesadaran tentang keterbatasan manusia dalam mengelola alam. Pekerjaan di rumah dan di ladang senantiasa dikaitkan dengan campur tangan dari leluhur, roh-roh dan Tuhan. Kesadaran akan adanya kekuatan yang tak kelihatan ini secara tersamar diproyeksikan pada tahap yang paling rendah yaitu arwah leluhur (mugen tata bei mil). Mereka ini dikenal dan dihormati melalui ceritera orang tua-tua yang masih hidup dan diyakini tetap memandang dari dunia orang mati, masel, seluruh gerak-gerik para cucu yang masih ada di dunia. Turunan yang ada tetap dipelihara oleh mereka, mugen tata bei mil (arwah leluhur) ini dari kediaman mereka. Oleh karena itulah silsilah tidak boleh diputar-balikkan. Siapa raja tetap raja, siapa rakyat tetap rakyat. Status ini tidak bisa dirobah oleh siapa pun karena merobah status ini berarti melawan dan menghina leluhur yang tetap mengikuti setiap gerak langkah hidup turunannya. Kalau seseorang melanggar ketentuan status yang ada, langsung masyarakat akan mengatakan, eto bei mil ua gene ni’ (engkau tidak akan dilindungi oleh para leluhur). Tidak ada seorangpun anggota suku Buna’ yang berani mengatakan diri bangsawan (na’i) kalau memang ia turunan rakyat (renu) atau sebaliknya. Persoalan besar timbul karena dengan adanya pemilihan kepala desa secara langsung, adat berdasarkan keturunan ini sementara dipudarkan dan sampai sekarang belum ada upaya yang cocok untuk menjembatani pergeseran ini. Belum bisa didamaikan perasaan masyarakat yang masih berpegang pada status orang berdasarkan turunan dan status baru dari kepala desa yang tidak berasal dari turunan raja. Dualisme kepemimpinan ini belum dapat dicairkan dan sementara membingungkan masyarakat dalam menerima demokrasi (kepala desa) di satu pihak dan mempertahankan adat keturunan (na’i) di pihak lain. Tentang perladangan (mar na’en), ada hukumnya tersendiri yang mengikat orang atas dasar warisan. Warisan berupa ladang tidak boleh diabaikan dan tidak boleh diperjual-belikan. Setiap ladang milik suku selalu disebut, bei mil gina artinya warisan leluhur. Atas dasar 185
inilah seorang laki-laki dari suku lain yang datang (mane pou), kawin (ton) dan tinggal di rumah suku isteri, mempunyai hak sebatas mengolah ladang itu dan tidak boleh menjadikan ladang itu hak miliknya. Biar sampai tua, dia tetap tidak memiliki tanah sebidang pun karena tanah yang diusahakan itu milik suku isteri. Tanah dari sukunya sendiri pun milik suku yang digarap oleh para ipar (kela) yang mempunyai posisi sama seperti dirinya di kalangan suku si isteri. Kesadaran tentang peranan arwah leluhur (mugen tata bei mil) ini diperkokoh oleh kesadaran tentang peranan pan muk gomo (roh penghuni langit dan bumi). Dalam tata pemerintahan desa berdasarkan keturunan raja dan bukan raja, peranan leluhur diperkokoh oleh peranan roh-roh. Begitu pun dalam urusan perladangan, roh-roh tetap berperanan. Karena itulah pelecehan terhadap adat keturunan dan tata kepemilikan ladang, dilihat sebagai pelecehan terhadap leluhur dan rohroh. Dan yang paling menakutkan ialah bahwa pelecehan terhadap leluhur dan roh-roh merupakan pelecehan terhadap Hot Esen (Yang Maha Tinggi). Masyarakat menjadi goyah dalam kepribadiannya yang paling inti. Kesadaran akan adanya roh yang berperan dalam hidup manusia inilah yang disebut spiritual capital. Jadi bukan soal agama, tetapi soal kesadaran manusia akan adanya roh di luar dirinya yang menuntut manusia yang hidup ini berlaku baik. Tuntutan untuk berlaku baik ini termasuk segi dari spiritual capital. Selanjutnya dalam Bab 7 akan ditelusuri lagi ada tidaknya spiritual capital yang melatar-belakangi kesenian dan hiburan rakyat di kalangan suku Buna’ di DHL.
186