PEMBARUAN DESA DAN KRISIS HEGEMONI (Kasus Desa Gadingsari Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul)
Oleh: Sindu Dwi Hartanto
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PEMBARUAN DESA DAN KRISIS HEGEMONI (Kasus Desa Gadingsari Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul)
Oleh: Sindu Dwi Hartanto
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PEMBARUAN DESA DAN KRISIS HEGEMONI (Kasus Desa Gadingsari Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul)
Oleh: Sindu Dwi Hartanto
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk rnernperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2007
PEMBARUAN DESA DAN KRISIS HEGEMONI KASUS DI DESA GADINGSARI KECAMATAN SANDEN KABUPATEN BANTUL
Nama : NRP : Program Studi :
Sindu Dwi Hartanto A15040071
Sosiologi Pedesaan
Disetujui: Komisi Pemhimhing
Dr. Endr at o Sutarto, MA
Diketahui, Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
h a ..
-~
D C I ~MT. . Felix Sitorus, MS Tanggal ujian : 22 Januari 2007
Tanggal lulos :06.MAR ...2007
ABSTRAK SINDU DWI HARTANTO. Pembaruan Desa dm Krisis Hegemoni wasus
Desa
Gadingsari Kecamatan
Sanden Kabupaten
Bantul).
Dibimbing oleh Dr. Endriatmo Sutarto dan Dr. Satyawan Sunito. Penelitian ini berlatar belakang bahwa kebijakan pemerintah yang sentralistik dan cenderung menjadi tirani adalah suatu kerangka dasar munculnya suatu gerakan pembaruan desa yang terlembaga pada beberapa kekuatan desa. Seperti, munculnya gerakan pembaruan desa di Bantul seperti: ABPEDSI dan APDESI. Kedua kelembagaan pemerintahan desa tersebut berawal dari ide dan gagasan mengenai pembaruan desa yang terinisiasi oleh aktivis pembaruan desa di Bantul. Perubahan kebijakan perundangan yang mengatur tentang desa secara cepat mengalami dinamika revisilpergantian dengan cepat. Pada proses tersebut inisiasi gerakan pembaruan desa masih tetap tegar menyikapi perubahan tersebut yang masih dianggap tidak memungkinkan penerapannya. Permasalahan yang menarik dilaksanakannya penelitian ini adalah mengenai bagaimana wacana pembaruan desa sebagai suatu gagasan bisa termanifestasikan pada praktek sistem pemerintahan desa di desa sebagai subjek dari pembaruan desa di Bantul? Penjabaran pertanyaan besar di atas akan dilakukan pada tiga lini yaitu: 1) Apa ide atau gagasan pembaruan desa yang ditawarkan hingga di tingkat desa? 2) Sejauhmana proses pembaruan desa yang telah dilakukan di Desa Gadingsari? 3) Bagaimana keberlanjutan memperjuangkan ide atau gagasan pembaruan desa hingga di tingkat praksis pada sistem hubungan antara pemerintahan desa dengan kehendak masyarakat desa. Penelitian dilakukan pada bulan April - November 2006 menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus di suatu Desa Gadingsari. Penelitian sangat terpengaruh oleh musibah gempa bumi dengan kekuatan 5,9 SR yang terjadi pada 27 Mei 2006, namun dalam kenyataannya peneliti dapat lebih leluasa melakukan penilaian pada proses pembaruan yang sudah dilaksanakan mulai tahun 1998 di Gadingsari. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam, pengamatan berperan serta, serta metode dokumentasi, oleh karena itu, sumber data yang digunakan adalah data primer dan data skunder. Penelitian menggambarkan wacana pembaruan desa yang mendasari secara praksis gerakan pembaruan desa di Bantul. Pembaruan desa di Gadingsari meliputi langkah-langkah praksis melalui: 1) proses penyadaran dan pendidikan politik masyarakat desa dan pemerintahan desa; 2) institusionalisasi gerakan pembaruan desa mulai dari forum komunikasi hingga pada asosiasi formal; 3) pencangkokan lembaga pembaruan desa pada lembaga pemerintahan yang diharapkan dapat melakukan perubahan paradigma yaitu menguatkan pemerintahan aan menangkap aspirasi masyarakat bawah. Penelitian melakuan analisa terhadap gerakau pembaruan desa berdasarkan pada konsep hegemoni Gramsci yang menunjukkan bahwa proses keniscayaan hegemoni terjadi pada setiap lini kepemimpinan kekuasaan dan moral serta dominasi politik. Gerakan pembaruan desa sejalan lurus dengan hegemoni Gramsci. Kegagalan gerakan pembaruan desa juga dapat dikatakan sebagai krisis hegemoni. Penulis percaya bahwa keduanya merupakan suatu yang berbeda berdasarkan tingkat kesadaran kritis dan kreatifitas masyarakat.
-
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang bejudul "PEMBARUAN DESA DAN KRISIS HEGEMONI (Kasus Desa Gadingsari Kecamatan Sanden
Kabupaten Bantul) adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pemah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, November 2006
Sindu Dwi Hartanto
Penulis terlahir sebagai seorang laki-laki pada tanggal 31 Juli 1979 dari pasangan suarni istri Denny Sutrisno dan Murniati. Pada usia empat tahun, penulis sudah dapat bersekolah di Taman Kanak-Kanak Wijayakusuma Kodim 0703 Cilacap. Pada usia enam tahun, penulis sudah dapat belajar di sekolah dasar (SD Tambakreja I Cilacap) dengan status percobaan atas dasar h a n g cukup usia, karena pendidikan dasar pada waktu itu harus dimulai pada usia tujuh tahun. Hingga terselesaikan pendidikan dasar, penulis akhimya, melanjutkan di bangku sekolah lanjutan tingkat pertama di SMP Muhammadiyah 01 Cilacap. Pada tahun 1994, penulis dapat melanjutkan studi ke bangku sekolah lanjutan atas di SMU Negeri 2 Cilacap. Dengan cita-cita melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi penulis memberikan curahan perhatian untuk rajin belajar. Pada tahun 1997, penulis mulai memasukki academic atmos$r yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang pada saat itu hanya memiliki dua jurusan andalan yaitu Sosiologi dan Administrasi Negara saja, penulis memulai studi dan aktivitas kampus yang diciptakan egaliter oleh para senior dengan OSPEK 1997 (Orientasi Studi Pengenalan Kampus). OSPEK yang berlangsung tanpa kekerasan dan banyak menciptakan ruang diskusi, yang sangat berbeda dengan beberapa OSPEK di beberapa Fakultas lainnya di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto (Unsoed), membuat penulis sangat apresiatif untuk terjun di dunia kampus. Aktivitas teater digumulinya di Teater SiAnak (ditulis bersambung). Di teater, penulis mendapatkan lingkungan sosial yang bercampur dengan ideologi untuk berkarya yang membebaskan, berkarya dan berkarya. Akhirnya, pendis dapat memaknai suatu karya bukan lagi suatu produk fisik dari suatu karya seni, melainkan suatu fenomena sosial itu sendiri yang harus diciptakan sebagai karya yang bermakna di masyarakat. Pada 1 1 Januari tahun 2002, penulis menyelesaikan studi sarjana sosiologi. Pada April tahun 2002, penulis memberikan sumbangan tenaga pada program PPMK (Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan) di Jakarta Selatan sebagai Fasilitator di Kelurahan Lebak Bulus Kecamatan Cilandak. Program PPMK berlanjut, pada tahun 2003, penulis mendapat kesempatan untuk menjadi koordinator kecamatan (Korcam) di Kecamatan Cilandak dengan lima kelurahan dampingan. Pad3 akhir tahun 2003, penulis sempat mendahrkan diri di Sekolah Pascasarjana Institus Pertanian Bogor pada Jurusan Sosiologi Pedesaan. Akan tetapi, dengan pertimbangan program PPMK di tahun berikutnya, penulis akhimya menunda rencana studi hingga tahun 2004. Selanjutnya, pada tahun 2004, penulis mendapatkan kepercayaan untuk menjalankan program PPMK sebagai project manager di Kotarnadya Jakarta selatan dengan sepuluh orang Koordinator Kecamatan (Korcam) di setiap kecamatan dan enam pduh orang Fasilitator Kelurahan (Faskel). Hinnga tahun 2006, berkesempatan untuk melakukan penelitian di Kabupaten Bantu1 dengan dukungan living cost dari Lapera Indonesia.
PRAKATA Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah SWT, serta junjungan besar Nabiallah Muhammad SAW semoga rakhmat dan limpahan berkat kepada kita semua, Amin. Begitu juga, terselesaikannya penulisan karya menjadi sebuah tesis. Walaupun, dalam pernyataan, penulis telah menyatakan bahwa tesis yang telah terselesaikan adalah hasil kmya pribadi penulis, akan tetapi dalam perjalanannya tidak sedikit yang memberikan sumbangannya pada terselesaikannya karya tesis ini. Dorongan yang kuat dari para teman-teman Sosiologi Pedesaan 2004, Ulfa Hidayati, Rosganda Elissabeth, Anton Supriyadi. Keberadaan mereka membuat penulis tak kuasa untuk meninggalkan pertengahan (awal tahun kedua) studi yang telah dilaluinya. Penulis juga memberikan apresiatenya kepada tenaga administrasi yang memberikan sumbangan kemudahan dan guide birokrasi yang hams dilalui penulis dalam menyelesaikan studi, termasuk penyelenggaraan kolokium, dan seminar hingga ujian akhir. Secara khusus, penyelesaian tesis ini didukung oleh dosen pembimbing yang tidak hanya memberikan masukkan akademis, melainkan mempersembahkan luangan waktu yang telah tercurahkan untuk memberikan teguran kepada penulis mengenai percepatan penyelesaian studi, terutama pada Dr. Endriatmo Sutarto, MS sebagai Pembimbing Utama dan Dr. Satiyawan Sunito sebagai Pembimbing Anggota yang rnemberikan belaian relasi yang egaliter antara dosen dan mahasiswa, Dr. Ir. MT Felix Sitorus, MS, sebagai Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan yang memberikan kritiknya yang pedas untuk menyelesaikan studi kepada seluruh SPD angkatan 2004, Dr. Mala Panjaitan, sebagai Sekretasis Jurusan Sosiologi Pedesaan yang berkenan selalu meluangkan waktu untuk konsultasi dengan penulis sebagai mahasiswanya yang "selalu bermasalah". Secara khusus, untuk pelaksanaan penyelesaian tesis di lapangan, penulis memberikan ucapan terimakasih kepada Lapera Indonesia, yang telah memberikan biaya studi lapangan dan berbagai literatur dan wacana diskusi teman-teman yang sangat memberikan masukkan pada penulisan dan penyelesaiannya, terutama penulis apresiate pada Tukir alias Muhammad Duha, Erik, Syamsudin, Rita, Lusi, Wiwin, serta Himawan S Pambudi. Di lapangan, penulis juga sangat berhutang banyak kepada Mbah Sudi, Kang Cepu, Kang Djiyo, Kang No, Pa Suharyanto, Lurah Ngadiran, Kaur Pemerintahan Suhardjono, dll. Akhimya, penulis sangat berterimakasih kepada istri tercinta yang sangat tabah menyediakan waktu dengan kesendirian dan kerepotan mendidik putri kami tercinta, ketika penulis menyelesaikan studinya di Bantv.1. Terutarna, kepada keluarga Mertua yang banyak memberikan bantuan dan perhatiannya, terutama kepada Mbak Kami yang telah memberikan curahan kasihsayangnya pada putri kami tercinta, selama orang tuanya tidak di rumah. Semog~,belaian kasih dan sumbangan berbagai pihak atas terselesaikannya tesis ini, dan yang juga tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, mendapatkan perhatian dan balasan dari Allah SWT dalam bentuk yang lain, dan dari orang, waktu dan tempat yang lain. Amin dan terimakasih.
DAFTAR IS1
............................................................................................xi .......................................................................................xii... ....................................................................................Xlll
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
'
..........................................................................................
PENDAHULUAN 1 . . Dasar Pemlk~ran........................................................................................... 1 Permasalahan ............................................................................................... 4 Tujuan .......................................................................................................... 5
..................................................................................
TINJAUAN TEORITIS 6 Ide dan Gagasan Pembaruan Desa ...............................................................6 Tertatihnya Menuju Gerakan Pembaruan Desa ...........................................13 17 Hegemoni dan Dorninasi: Negara Kuat ....................................................... Hegemoni d& Gerakan Pembaruan Desa ................................................... 25 Aktor Besar: Kepemimpinan Pembaruan Desa ...........................................28 Kerangka Pemikiran .................................................................................... 29 Hipotesis Pengarah ...................................................................................... 31
.....................................................................
METODOLOG1 PENELITIAN 33 Paradigma dan Pendekatan Penelitian ......................................................... 33 Strategi dan Pendekatan Lapangan .............................................................. 35 Strategi Umum ............................................................................................. 35 Penentuan Lokasi ......................................................................................... 36 Pengumpulan dan Analisis Data .................................................................. 37 Waktu Penelitian .......................................................................................... 38
......................
KARAKTER DAN CITA-CITA KABUPATEN OTONOM 39 Per!tembangan menjadi Kabupaten Bantu1 ............................................... 39 BANTUL: Potensi Ujung Selatan Yogyakarta.............................................43 Projotamansari: Karakter "Pembangunan" Kabupaten Bantu1 .................... 44
..............................
POTENSI DESA GADINGSARI. SANDEN. BANTUL 46 Sejarah Desa Gadingsari .............................................................................. 46 Kondisi Wilayah dan Kependudukan ................................................... 49 Mata Pencaharian Masyarakat Desa ........................................................... 51 Mobilitas Masyarakat Desa ...................................................................... 53 Kepercayaan dan Upacara Adat Masyarakat Desa ...................................... 55
................60
DINAMIKA HEGEMONI NEGARA Dl DESA GADINGSARI UU No . 5 Tahun 1979: Desa Tanpa Kuasa ................................................. UU No . 22 Tahun 1999: Pertentangan intern Pemerintahan Desa .............. UU 32 Tahun 2004: Kuasa Pemerintah Desa (Negara) ............................... Kembalinya Resentralisasi: Tercerabutnya Peran Politik Masyarakat ........
60 64 67 69
...............................................................
73 PEMBARUAN DESA DI BANTUL Tokoh Besar: Sejarah Pembaruan Struktur Pemerintahari di Bantul ........... 74 Pembaruan Politik Kebijakan Pemerintah Daerah ...................................... 79 Dukungan Pemerintah Kabupaten di Bidang Pendidikan ........................... 82 Kebijakan Pemerintah Daerah di Bidang Kesehatan ................................... 84 Perhatian Pemerintah Kabupaten di Bidang Ekonomi ................................ 84 Penciptaan Ruang Publik: Percepatan Demokratisasi ................................. 87 Institusionalisasi Gerakan Pembaruan Desa ................................................ 91 ABPeDSI: Mendorong Kekuatan Politik Masyarakat ................................. 92 APeDSI: Kegagalan Institusionalisasi Pemerintahan Desa ......................... 99 Konflik Laten Intern: Paguyuban "Cempalan" APDeSI ............................. 104 Relasi Antar Aktor (Instrument) Pembaruan Desa dari Bantu1 ................... 110 SPD: Pemberdayaan dan Intemalisasi Pembaruan Desa ............................. 118
................................
127 GERAKAN PEMBARUAN DESA DI GADINGSARI Pembaruan Desa: Harapan dan Falsafat Kekuatan Lokal ............................ 127 Organizatoris: Tinoto. Tinulis. Tinaliti. Tinutup ......................................... 129 Demokratisasi Masyarakat Gadingsari ........................................................ 132 Gerakan Sosial Politik Masyarakat Gadingsari (SPMG) ............................. 135 LIMG: Kekuatan Terorganisir Masyarakat Gadingsari ............................... 140 Koperasi: Gerakan Organis Ekonomi Mandiri ............................................ 143 Dinamika Hubungan Kekuatan Masyarakat ................................................ 146 , KRISIS HEGEMONI DESA GADINGSARI ........................................152 Ketidakadilan: Melemahnya Gotong-Royong Warga Gadingsari ...............152 Gempa 5. 9 SR dan Kebangkitan Konsolidasi Masyarakat .......................... 156 Kegagalan Pemerintahan dan Krisis Hegemoni Desa Gadingsari ...............161 KESIMPULAN
................................................................................................ 166
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTARA TABEL
1. Usaha Pemetaan Dua Kubu Terminologi Perjuangan Perubahan Sosial Politik Sistem Pemerintahan Desa .................................................... 10 2. Pembaruan Desa dan Hegemoni pada analisa hubungan antara pemerintahan desa dengan masyarakat desa ..................................... 13
3 . Jadwal Penelitian Lapangan Pembaruan Desa di Bantu1
.............................38
4. Tingkat Keldusan Pendidikan Masyarakat Desa Gadingsari Pada tahun 1995-2005 ................................................................................. 50
5 . Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan dan Prosentasenya Pada Tahun 1996-2006 ......................................................................................... 51
DAFTAR GAMBAR
........................................................................ 2 . Lingkaran Konsentris Struktur Status Jangkauan Dengan Sultan ............... 76 3 . Hubungan Para Pihak Mendorong Pembaruan Desa ................................... 117 4 . Struktur Hubungan Aktor Di Desa Gadingsari ............................................151 1. Matrik Kerangka Pemikiran
5. Ruang 1n.teraksi Relasi Sosial Masyarakat dan pemencaran hegemoni Desa .............................................................................................
170
DAPTAR LAMPIRAN
1. Kontak Person Masyarakat Bantul, Gerakan Pembaruan Desa di Kabupaten Bantul 2. Panduan Wawancara Penelitian
3. Matrik Kebutuhan Data Penelitian Pembaruan Desa dan Krisis Hegemoni
4. Rekapitulasi Kegiatan dan Perkembangan Pasca Gempa Bumi 27 Mei 2006 di Kabupaten B a n d Propinsi DI Yogyakarta 5. Surat Ketua Lembaga Inisiatif Masyarakat Gadingsari, Kepada: Kapolsek Sanden, di Kalimundu, Gadingharjo-Sanden, Perihal: Laporan Kegiatan Warga Gadingsari, "Peduli Bantul Bangkit", Hari Kamis, 19 Oktober 2006, tertanggal 18 Oktober 2006
6. Daftar Nama Pengurus: Aksi Pro Aktif Peduli Bantul Bangkit Warga Gadingsari 7. Surat Ketua Kelompok Aksi Pro Aktif Peduli Bantul Bangkit Warga Gadingsari Sanden, Kepada: Bapak Pimpinan Panitia Pengaduan Program Rekonstruksi dan Rehabilitasi Psca Gempa Bumi di Tingkat Kabupaten Bantul (Rumah Dinas Bupati Bantul), tentang Laporan dan Pengaduan Program Rekonstruksi dan Rehabilitasi Pasca Gempa Di Desa Gadingsari
8. Daftar Nama Warga Penderita (Korban) Pasca Gempa Bumi 27 Mei 2006 yang belum terdata pada Pembentukan Kelompok Masyarakat (POKMAS) di Desa Gadingsari, Sanden, Bantul. Tertanggal 19 Oktober 2006
xiii
PENDAWULUAN Dasar Pemikiran Penelitian ini berlatar belakang pada kondisi riil pertikaian antara gerakan rakyat dengan kebijakan pemerintah yang tidak tnemberikan perhatian sebesarbesamya terhadap aspirasi dan partisipasi masyarakat bawah. Kebijakan pemerintah yang sangat berkaitan dengan penelitian ini adalah kebijakan pemerintah dalarn bentuk perundang-undangan yang mengatur tentang desa. Secara khusus kebijakan pemerintah tersebut pada tahun 70-an sudah secara jelas dan tegas berani memberikan pengaturan tentang desa. Pengaturan yang terangterangan tersebut termanifestasi dalam UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Desa. Diundangkannya peraturan tersebut dalam kcnyataan di lapangan tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat desa untuk lebih mengembangkan dirinya, walaupun pertimbangan yang sangat tncndasar dikeluarkannya peraturan tersebut adalah untuk menciptakan percepatan pembangunan desa yang komprehensif dan terukur. Namun, ken~sakansosial-budaya yang terjadi di desa menghancurkan potensi lokal (local wisdonz). Dampak kerusakan yang telah dirasakan dalam kurun waktu yang tidak sebentar, memunculkan kondisi perlawanan dari aktivis (masyarakat kritis) dalam bentuk gerakan masyarakat desa, gerakan petani, gerakan buruh, gerakan perempuan, gerakan agraria, hingga gerakan pembaruan desa. Dinamika perubahan undang-undang tentang pemerintahan daerah yang sangat cepat dan melibatkan kepentingan politik setiap rezim penguasa, sadar atau tidak, sangat berpengaruh pada dinamika hubungan kelembagaan di masingmasing tingkat pemerintahan. Undang-undang yang baru, yang mengatur tentang pemerintahan desa yang sekarang terdapat pada UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang tersebut disahkan pada awal tahun 2005. Pada kondisi yang metnprihatinkan, diterbitkannya undang-undang ini mendapat banyak respon yang tidak memberikan dukungan positif. Pertimbangan yang dilakukan atas reaksi dikeluarkannya undang-undang ini adalah kecenderungan berpotensi merubah kembali pemerintahan reformasi - yang diidealkan - menjadi kembali pada sentralisasi kekuasaan (recentralization) di tangan pemerintah pusat.
Kenyataan yang menjadi perhatian peneliti adalah proses perjuangan pembaruan desa di Kabupaten Bantul. Perjuangan pembaman desa bemsaha melakukan usaha pembahan kebijakan yang berlcaitan dengan desa, temtarna beberapa elemen pengaturan yang berpengaruh terhadap dinamika demokratisasi dan otonomi desa sebagai pemerintahan yang mengurus rumah tangganya sendiri. Proses pembaruan desa dapat dilihat dari proses gerakan pembaruan desa melakukan respon terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak menghargai otonomi desa. Reaksi dilakukan tidak hanya menggunakan suatu cara aksi masa dalam suatu gerakan yang nampak radikal, seperti dalam bentuk demonstrasi masa. Reaksi dilakukan dengan menggunakan suatu refleksi dan penyadaran kritis atas fenomena perundangan yang mengatur tata pemerintahan hingga di tingkat desa. Dinamisasi kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak memberikan pengaruh terhadap surutnya langkdl perjuangan mencapai harapan adanya otonomi dan demokratisasi pcmer~ntahan lokal (dcsa). Terutama kalau kita melihat fenomena yang menarik pada scjarah pcmbaruan sistem pemerintahan di Yogyakarta sebagai wilayah kesultanan yang secara strategis menghidupkan sistem pemerintahan istimewa dengan budaya kepemimpinan feodalistik. Dari proses sejarah tersebut dapat perlihatkan proses perubahan tatanan sosial politik yang tidak partisipatif, berdasarkan kepentingan penguasa, Sultan. Walaupun, menurut catatan sejarah tersebut, politik demokratisasi, pada tahun 1942 di Yogyakarta m e ~ p a k a nsuatu proses yang telah melakukan perubahan-pembahan politik yang luar biasa pada masa penjajahan Belanda, yaitu bergesernya sistem feodal yang terpusat (centralistic) menuju struktur pemerintahan yang lebih demokratis. Fenomena perubahan tersebut terjadi karena faktor penguasa fiepemimpinan) yang lebih kuat memberikan pengamh (hegemoni) terhadap pembahan sistem tersebut, dimana Sultan Hamengku Buwono IX menjadi inisiator pemb3han sosial politik di scLtor pcmcrintahan. Pada abad sebelumnya yaitu pada awal abad ke 17 terdapat pembaruan desa dalam kacamata yang sangat ekonomis. Pembaruan desa tersebut dipengaruhi oleh masuknya pemerintahan Hindia Belanda,
dimana kegiatan arus jalur
perekonomian modem mulai diadopsi sebagai wacana baru menggantikan sistem
perekonomian tradisional yang sangat feodal dan kolektifitas yang tinggi. Proses pembaruan desa tersebut, diharapltan dapat membcrikan penga~hnyauntuk mengurangi harnbatan proses transformasi jalur pcrekonomian modem dari pengusaha Belanda kepada orang-orang 1ndonesia.I Pada kenyataan pengalaman sejarah di atas, bahwa pembaruan desa dalam dimensi ekonomi dan sosial-politik telah dilakukan, sebagai respon dari perubahan yang lebih besar. Kalau kita melihat pernbaruan sosial-politik di Yogyakarta
- yang dilakukan ole11 Sultan - perlu
dicatat bahwa tidak nampak
adanya cerminan gerakan rakyat.2 Dan pembaruan ekonorni yang dilakukan pada masa sebelumnya (abad XVII) tidak memberikan kesempatan pada masyarakat
untuk menentukan arah perubahan yang dikehendakinya. Maka fokus penelitian ini rnenarik dilihat dari bagaimana ide atau gagasan perjuangan pembaruan desa yang lebih baik yang dilakukan dengan usaha mengarus-utamakan gerakan rakyat dan pemerintahan desa sebagai subjcknya. Pembaruan desa di Kabupaten Bantu1 sangat intcnsif dilakukan oleh gerakan pembaruan desa dengan melakukan pelembagaan pendukung dan penggerak pembaruan desa. Pernbentukan kelembagaan tersebut muncul dalarn bentuk asosiasi-asosiasi pemerintahan desa yang terbentuk hingga di tingkat nasional, seperti Asosiasi Badan Penvakilan Desa Seluruh Indonesia (ABDESI), Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI). Di tingkat desa dibentuk kelembagan sosial-politik rnasyarakat desa, seperti yang terdapat di Desa Gadingsari dibentuk kelembagaan Sosial-Politik Masyarakat Gadingsari (SPMG) dan Lembaga Inisiasi Masyarakat Gadingsari (LIMG). Pembentukan kelembagaan sosial politik masyarakat seperti yang dilakukan di Desa Gadingsari adalah suatu inisiasi perjuangan untuk melakukan pendarnpingan dan percepatan perjuangan pembmun desa yang mengarahkan perhatiannya pada percepatan perubahan struktural sistem kepemerintahan desa
(good governance in rural goverrnent). Gerakan sosial, civil society - secara
' Lebih detail libat di Burger, DH, 1983. Pertth;llmll.l'ur~~bnhon Strukt1lral Dnlam Masynrakat Jawa, Jakarta: Blirntnra Karya Aksara.
' Hal
ini dimaksudkan bahwa perubahan-perubahan yang dilakukan dvlam rangka melakukan perubahan system pemcrintahan Jari feodalistik hingga tercapainya demokratisnsi pemerintill~anbukan terjadi atas inisiasi masyarakat bawah. Akan Letapi, sejauh mana usaha elit politik pe~~~cristal~aa hcrkuasn untok mclnkeksn perubah;m, walaupun tanpa dorongm dari gerakan masyarakat. Aninya, tokoll politik rnernberiknn pengaruh wrtg lid& sedikit alos tercapainya suatu perubahan tersebut.
khusus dalam bentuk asosiasi atau kelembagaan masyarakat - memberikan warna terhadap perjuangan menuju perubahan sistem pemerintahan desa di tingkat lokal, terutama sumbangannya terhadap isu-isu perubahan di tingkat nasional. Seperti, ABPeDSI (Asosiasi Badan Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia); APDeSI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia), dan beberapa paguyuban Iainnya. Oleh karena itu kajian yang dilakukan pada penelitian ini, selain difokuskan pada gerak proses pembaruan desa di Gadingsari, juga memperlihatkan dukungan yang kuat secara politik oleh Pemerintah Daerah yang rnembuka secara luas partisipasi dan kontrol masyarakat terhadap keikutsertaannya dalam sistem pemerintahan Kabupaten Bantul. Sehingga, penelitian dilakukan yang pertama dilakukan di tingkat Kabupaten sebagai proses pembaruan desa di tingkat supra desa yeng menggambarkan proses pembaruan desa
dengan dukungan banyak element,
terutama pemerintah daerah dan asosiasi-asosiasi desa di tingkat kabupaten.
Kedua, pada level yang lebih rendah penelitian difokuskan pada proses pembaruan desa yang dilakukan oleh masyarakat dan gerakan sosial politik masyarakat desa Gadingsari. Permasalahan Pembaruan desa di Kabupaten Bantu1 dilaksanakan pada dua lini yang mendukung diantaranya yaitu: perfama, perjuangan pada arus atas yang k secara politk melakukan perjuangan pembaruan dcsa ~ ~ n t umempcngaruhi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan desa dan terciptanya sistem tata pemerintahan yang baik (good governance). Keducr, perjuangan arus bawah dalam bentuk
gerakan sosial-politik
untuk
memperkuatkan posisi masyarakat,
mendekatkan masyarakat kepada kekuasaan (pemerintah desa) dan menciptakan demokratisasi masyarakat yang sesungguhnya. Permasalahan penelitian ini mendasarkan diri pada proses perubahan yang memperhatikan arus bawah, masyarakat desa yaitu: bagaimana wacana pembaruan desa sebagai suatu gagasan bisa termanifestasikan pada praktek sisteln pelnerintahan desa di desa sebagai subjek dari pembaruan desa di Bantul? Untuk memberikan penjelasan terhadap permasalahan di atas dipaparkan beberapa pertanyaan yaitu 1) Apa ide atau gagasan pembaruan desa yang
ditawarkan hingga di tingkat desa? 2) Sejauhmana proses pembaruan desa yang telah
dilakukan
di
Desa
Gadingsari?
3)
Bagaimana
keberlanjutan
mempejuangkan ide atau gagasan pembaruan desa hingga di tingkat praksis pada sistem hubungan antara pemerintahan desa dengan kehendak masyarakat desa. Ketiga ha1 itulah yang akan menjadi kekuatan dalarn penelitian ini.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wacana pembaruan desa sebagai suatu gagasan bisa termanifestasikan pada praktek sistem pemerintahan desa di desa sebagai subjek dari pembaruan desa di Bantul. T e a t m a sekali, penulis berharap mendapatkan:
1) Mengetahui ide atau gagasan pembaruan desa yang ditawarkan oleh para aktivis gerakan pembaruan desa hingga di tingkat desa;
2) Mengetahui proses pembaruan desa yang telah dilakukan di Desa Gadingsari;
3) Mengetahui proses keberlanjutan memperjuangkan ide atau gagasan pembaruan desa hingga di tingkat praksis pada sistem hubungan antara pemerintahan desa dengan kehendak masyarakat desa. Sehingga dapat menggambarkan bagaimana proses hegemoni yang dipahami Grarnsci sebagai dorninasi kepemimpinan intelektual dan moral, atau terjadi sebaliknya yaitu krisis hegemoni atau kegagalan dominasi.
TINJAUAN TEORITIS
Ide dan Gagasnn Pembaruan Desa Pandangan teoritis gagasan pembaruan desa dapat dikaji melalui pemaparan mengenai terminologi yang digunakan oleh intelektual atau aktivisnya. Penguatan otonomi desa diharapkan menciptakan keterlepasan desa dari dominasi dan hegemoni negara. Perjuangan hams dilakukan. Menurut banyak tokoh yang konsem terhadap pembangunan desa bahwa kata kunci yang paling tepat untuk menjelaskannya adalah dengan mengunakan paradigma pembaruan. Dimana kata kunci tersebut dapat dimaknai sebagai suatu proses yang mengharapkan perubahan. Pembaruan (pembaharuan) merupakan suatu proses mengembangkan cara yang baru. Dalam konteks pembaruan sosial merupakan suatu transformasi gagasan, nilai-nilai, dan tata kelalcuan dilakukan untuk melakukan perubahan dalam sistem dan stmktur masyarakat dan bagian-bagiannya untuk mendapatkan hal baru. Secara terminologi pembaruan dan/atau pembaharuan akan dibahas sedikit mengacu pada beberapa pakar. Akan tetapi penulis akan mencoba melakukan pilihan salah satu atas dua terminologi tersebut. Ada dua pilihan yang digunakan oleh para pakar yaitu: Pertama, pilihan terminologi atas kata "pembaruan" dilakukan oleh Juliantara dan kawan-kawan yang konsern terhadap penggerakan lokalitas kekuatan yang berbasiskan pada gerakan masyarakat. Pembaruan menjadi suatu yang sinergi berjalannya kekuatan lokal dari bawah mendorong sistem pemerintahan di atasnya, artinya adahya negosiasi elit dan masyarakat sebagai arus bawah (Juliantara, 2000: xx). Seperti apa yang disebutnya sebagai Pembaruan Desa Bertumpu Pada Yang Terbawah. Juliantara (2002: 97) mencoba memberikan gambaran tentang pc~nbaruan dcsa scbngai suatu transformasi pembahan sosial - untuk mengubah wajah desa menjadi lebih baik dan lebih bermakna. Penyebutan desa menjadi wajah baru dimaksudkan sebagai desa dengan tiga fondasi yaitu demokrasi, keadilan, dan kemajuan. Dari hasil beberapa pertemuan konsolidasi di Bandungan, \fogyakarta, dan Garut, Pambudi3 (2003)
' Seorang aktivis gerakan sosial dari Padepokan Budaya LAPPERA di Prambanan, yang konsern pada pengembangan masyarakatmiskin untuk maju di bidang sosial dan budaya terutama pendidiknn kerakyatan.
dalam epilognya memberikan pengertian pembaruan desa sebagai agenda menyeluruh dan terbuka bagi upaya memperkuat massa rakyat4 di semua lapisan dan golongan bagi terbentuknya tatanan masyarakat desa yang bersendikan keadilan. Menurutnya cita-cita pembaruan desa membutuhkan daya dukung yang kuat melalui sejumlah tindakan yang maju d m terorgnnisir. Pada pandangan ini Juliantara mencoba melihat bagaimana faktor dominan atas keterpurukan dan permasalahan yang dialami oleh desa. Faktor yang menjadi perhatiannya adalah terjadinya stagnasi politik dan ekonomi oleh karena itu yang harus dilakukan adalah menciptakan suatu dorongan terhadap kelembagaan masyarakat yang secara politis harus dapat menyeimbangkan kekuatan supradesa (negara). Sehingga, pada terminologi yang dipakai menurut penulis bahwa komunitas dan kelembagaan masyarakat masih kurang dianggap sebagai suatu entitas yang berbasis pada nilai-nilai sosial n~asyarakatnya.Sebagai basis sosial, kehidupan warganya sangat tergantung pada hubungan-hubungan bermasyarakat di antara mereka. Artinya, kecenderungan masyarakat untuk melakukan hubungan dengan pihak-pihak supradesa juga tidak lepas dari kondisi dan kuatnya nilai-nilai sosialbudaya yang hidup di antara masyarakat itu sendiri. Sehingga, masyarakat sebagai suatu komunitas sosial-budaya masih kurang memperhatikan permasalahan hubungan politik dengan supradesa,
Kedua, pilihan terminologi atas kata pernbaharuanSdikuatkan oleh bukunya Sutoro Eko. Pilihan atas terminologi "pembaharuan" digunakan dan dipopulerkan oleh ilmuwan sosial yang konsern terhadap pembangunan desa seperti Sutoro Eko Yunanto. Pembaharuan desa menumtnya, yang juga sebagai seorang akadernisi dari STPMD/APMD dan peneliti dari IRE (Insfifute For Research And
Empowerment), dalam bukunya "Manifesto Pembahaman Desa" (2005: 9), yang sekaligus menjadi rektor di perguruan tinggi tersebut hingga 17 November 2006,
' Menumt pcnulis massa rakyat merupakan terminologi yang lebih provokatif untuk menciptakan lmoge
hubungan kumpulan individu dcngm negara, namun dalam kacamata Sosi~loeipenulis tidal; &an menggunakannya, sclama masyarakat mempakm entitls yang berkumpulnya interaksi sosial dan hubungan intensif di antara anggotanya, Minya setiap orang (termasuk yang punya jabatan politik) merupkan bagian dari anggota masyaral;at. Sehingga penulis tidak mencobamemisahkannya dalam sekat yang lebih provokatif, reperti disebutkan di alas.
' Sebenamva dalam igtilah lata bahasa Indonesia tidak , ielos oenrakuannva. kvrena di Kamus Besar Bahasa lndonesia tidak . . ,~~ ~~
~
~
-
~~
~
dijclaskan sscara tcraend~rs,mclainkan J g c l ~ r l md., .!I>!ownj
n~engatakanbahwa sejauh ini pernbaharuan desa bukanlah teori yang komplet dan utuh, yang mempunyai dayo dcskripsi dill1 eksplanasi
secara kuat dan
sistematis. Pembaharuan desa sebenarnya menrpakan embrio teori preskripsi (berorientasi ke depan) tentang perubahan desa inenuju kehidupan desa yang demokratis, mandiri, sejahtera dan berkeadilan. Pembaharuan desa-sebagai
teori preskripsi-mengandung
dua dimensi
penting yaitu: pertama, refleksi terhadap pengalaman masa lalu, baik secara empirik maupun paradigmatik. Secara enlpirik, refleksi yang berdasarkan atas kehancuran struktural kehidupan desa (demokrasi, otonomi, kesejahteraan dan keadilan) akibat dari negaranisasi dan kapitalisasi. Secara paradigmatik, pembaharuan desa juga sebagai bentuk refleksi atas kegagalan modemisasi paradigma (developmentalisme) dan struktur kekuasaan otoritarian-sentralistik yang berjalan selama Orde Baru. Ide pembaharuan desa dapat disetarakan dengan konsep integrated rural livelihood yang merupakan kritik atas pembangunan desa terpadu (integrated rural development) atau konsep pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered deveIopme17l) yang lahir sebagai kritik atas pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan. Akhimya, secara eksplisit dijelaskan bahwa pembaharuan desa adalah transformasi sosial, atau perubahan berkelanjutan yang dirckayasa melalui perubahan ilmu pengetahuan baradigma, konsep, cara pandang, dan lain-lain) yang mur~culdari perguruan tinggi, reformasi kebijakan (policy reform) yang clilancarkan pemerintah serta gerakan sosial (social movement) dari masyarakat maupun NGOs. Wacana pembaruan desa rnempakan gagasan orisinil dari kalangan NGOs yang mereka bangun dari pengalaman panjang (Sutoro Eko, 2005: 17). Eko dalarn bukunya tersebut juga mengafirmasi pendapat dari para pakar yang memberikan pilihan terhadap terminologi pembaruan. Walaupun tanpa mengkritisi pendapat para pakar di atas, Sutoro Eko mencoba menggunakan terminologi "pembaharuan" tersebut sebagai cara pandang untuk melakukan
. . atas kata pembaharuan proses analisa pembahan desa. Bagi Sutoro Eko6 p111han adalah terjemahan dari reform (dari bahasa Inggris bukan renewly), konsep seperti itu setelah diturunkan ke dalam bahasa Indonesia menurutnya tidak banyak Hasil wawancara di STPMDIAPMD dengan yang bersangkutan, dengan tema Manifesto Pembahman Desa.
berbeda. Artinya, pilihan atas terminologi ini adalah suatu treadmark dari masingmasing tokoh di atas, walaupun suatu pilihan ini seharusnya menimbulkan kosekuensi akademis yang pada akhirnya memberikan turunan-turunan atas paradigma yang dibangun, ideologi, strategi pembaruan yang dipilih, dan hingga instrumen di lapangan. Menurut ~ k o ' , bukunya tersebut memang belum terselesaikan secara sempuma, pada ltesen~patanyang akan datang - pada edisi revisi akan dilengkapi mengenai turunan atas terminologi pembaharuan yang dipilihnya. Para poses tersebut Juliantara sudah terlebih dahulu memberikan gambaran atas turunan dari terminologi yang dipilihnya, yang secara ideologi lebih menganggap pilihan atas salah satu terminologi di atas adalah terkait dengan latar belakang dari para aktor dibelakang pilihan tesebut. Untuk memberikan gambaran pada kedua pemikiran di atas, penjelasan dan turunannya akan diperlengkap secara ringkas seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini (halaman selanjutnya).
' Hasil
w a w a n c a r a y a n g d i l a k u k a n di R u a n g R e h t o r S T P M D l A P M D Y o g y a k a r t a .
9
Tabel 1. Usaha Pemetaan Dua Kuhu Tcrnii~~ologi Perjuangnn Perubahan Sosial Politik Sistem Pernerintallan Desa
Surnbcr: diolah dari Juliantara (2002). dan Eko (2005).
Dalam kaitannya dengan perjuallgan desa atas kuatnya negara yang sentralistik maka pembaruan desa menjadi alternatif utama dan pertama dalam mensukseskannya. Pembaruan desa (Village reforriz) nlenjadi suatu terminologi
Qalam bukunya, S~ttoroEko lid* menjelzkan, tetapi strategi ini diperolch berhadasarkan hasil wawancara dengan yang benangkutan. Walaupun diakui bahwa Manifesto Pembahnruan D:sa yang telah dilerbitkan belum lengkap, dia merensanakan unhik menerbitkan edisi refini yang dibnmpkan dapnt rnelrngkapi keh~ranpan,berdesarka~hanyak tokoh yang tela;~mcnajukan kritik.
baru dalam transformasi sosia19 seperti halnya ideologi gender yang pemah digagas oleh almarhum Mansour Fakih (1997: 65). Pembaruan desa juga menjadi dasar dalam rAgka melakukan perubahan sistem dan struktur desa. Setidaknya ada cara hidup yang baru yang dapat terlaksana di desa dalam rangka mendukung ke dalam otonomi desa. Menurut penulis dalarn konteks kekinian jalan pen~baruandesa merupakan suatu agenda terbesar yang memungkinkan tercapainya "wajah desa yang bard"' Pembaruan desa sangat diharapkan mengubah desa menjadi lebih baik, adil, mandiri, dan sejahtera yang berlandaskan pada demokrasi masyarakat. Pandangan penulis tersebut merupakan suatu konseptt~aliasimengenai kondisi masyarakat desa yang ideal secara akademis. Artinya, pembaruan desa bukan agenda parsial. Oleh karena itu penulis melihat bahwa pembaruan desa merupakan suatu transformasi sosial, ekonomi, dan politik desa yang secara struktural diharapkan dapat memberikan perubahan kebaikan pada masyarakat desa sebagai subjek pembangunan di wilayahnya. Walaupun beberapa pakar pembaruan desa sudah terlebih dahulu memberikan pengertian yang beragam. Seperti, Dadang Juliantara (2002) sebagai prakarsa pembaruan desa, Himawan Pambudi (2003) dan Sutoro Eko (2005). Konsep pembaman desa yang sudah dijelaskan di atas merupakan suatu kerangka perubahan yang diharapkan banyak pihak. Konsep teoritis ini mencoba menciptakan suatu pemikiran yang diharapkrul dapat memberikan sumbangan atas gerakan pembebasan desa untuk melepaskan kuatnya cengkraman (hegemoni) negara (supradesa) yang pada akhirnya menghancurkan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat setempat (lokal). Oleh karena itu, pada dasamya pembaruan desa adalah suatu konsep berasal dari luar masyarakat desa. Sepe~tidiungkapkan oleh Sutoro Eko bahwa pembaruan desa adalal~suatu konsep yang berparadigma preskripsi dan perubahan yang diharapkan adalah suatu wacana yang diturunkan oleh para akademisi dan para aktivis NGOs (Non-Goverment Organizations). Gerak pembaruan seyogyanya dilakukan dari bawah untuk memberikan sinergi ams pembaruan dari tingkat atas desa. Pembaruan mencoba melakukan 9Transfomasi sosial yang dimaksud adalnll se~~ikaca~ll proses pcnciptnan hubangan yang secara fundamental mempakan suatu vane barn dan lebih baik. Hubuncnn vanc . - dimaksud adal.ah hubun~anyang tcrstruktur dan eksploitatif menjadi hubungan m k t u r rang tanpa cbplot!alti, hdhu!i:on )ang Jorn~nnttfdm l h c ~ c m o pcrlu ~ l ~ dub& mcnjadt stnhtur sosialpolitlk yang non-represtsf, stnrktur gender long nlrndomi,u.st pcretlpualt c k ~ ~ j o rlrullur J ~ )ring mcnihcbaikm
.
-
-
intemalisasi wacana kepada para pihak di tingkat desa hingga supradesa agar tercapai suatu pemahaman yang menyeluruh terliadap pembebasan yang diiarapkan. Jadi untuk memperjelas pembahasan tcntang penibaruan desa dapat
kita terjemahkan dalam suatu pernahaman ideologi pembebasan seperti yang pemah muncul di dataran Eropa. Pembaruan desa sebagai ideologi rnenciptakan suatu alternatif gerakan dengan strategi perubahan sosial-politik dalam ranglca menciptakan suatu capaian (goals) yaitu menjadi wajah desa yang baru berdasarkan pada Desa yang demokratis, otonom, sejahte1.a dan berkeadilan. Untuk rnencapai goals yang diagendakan proses internalisasi gagasan dan ide tadi harus dilakukan. Pertanyaannya adalah bagaimana proses itu dilakukan? Internalisasi seperti apa yang dilakukan adalah pertanyaan untuk memperjelas posisi kalangan NGOs yang mencoba melakukan masifikasi gagasan pembaruan desa hingga di tingkat gressroot. Internalisasi yang diberikan oleh para kelompok intelektual dari para kalangan NGOs dapat dilakukan pada pembaruan pola pikir, pola tindak, pola tanduk.1° Perubahan dilakukan dari pola-pola perilaku yang dahulu kita hanya manut (menerima) karena hegernoni dan dominasi rezim otoriter Orde Baru, menjadi pola perilakku yang menghargai pola pikir kritis dan kreatif dalam koridor atau batasan demokratisasi clan keadilan. Pada masa itu, perjuangan yang sedikit saja berbeda dengan kehendak pernerintah rnaka kita akan dicap sebagai subversif, yang tidak sesuai dengan kehendak pemerintah langsung dianggap sebagaipembangkang. Pada masa sekarang atmosfir dcmokrasi sudah lebih banyak berkembang. Inilah dasar-dasar pembaruan yang ditindaklanjuti. Ole11 karena itu, untuk
mencapai suatu tindak lanjut ke dcpan adalah sctidaknya ada tiga ha1 yang perlu diperhatikan, yaitu: pertama, produk apa saja yang baik dari sistem yang lama harus kita hormati dan kita tingkatkan, dan lanjutkan kepada rnasyarakat. Sistem yang baik dan mendapat partisipasi, hams dikembangkan sernaksimal mungkin dengan potensi sumber daya yang sudah dimiliki. Kedua, hal-ha1 yang tidak sesuai dengan kehendak masyarakat harus diperbaiki, dan dalam kondisi yang -
-~
Pcmbahan pola pikir, pola tindak, d m paln tanrluk merupsknn kel,cnd& bcrsnnln nntnra masynrakat dan M i v i s intelektual yang lelah mcldakan penyadarm terhodnp lhepe~noniparndiomatik kepcmimpinan yang centralistik dan diterima oleh penduduk desa tanpa pmses kcabnli bcrpikir kritis dnn krentil mcnsiknpi fcnomena keterlindasm sosial d m politik sebagai syarat dari eksploitasi ekono~niole11negara yang sangal knpitnlistik. 'I'
sangat memprihatinkan hams dirubah. Dan ketigcr, sesuatu yang belum ada akan tetapi baik dan dikehendaki oleh masyarakat dcngan didukung oleh pontensi sumber daya yang ada maka hams di-create. Evaluasi ini dapat dilakukan dalam bentuk sistem, lembaga atau secara personal. Untuk lebih jelas membedakan gambaran ringkas mengenai pembaruan desa dan hegemoni desa, dipaparkan melalui tabel 3 di bawah ini. Penggambaran konseptualisasi secara administrasi di tingkat desa sehingga pemahaman tentang pembaruan desa dan hegemoni desa dikontekskan dalam wilayah pemerintahan desa. Tabel 2. Pembaruan Desa dan Hegemoni pada analisa hubungan antara pemerintahan desa dengan masyaralcat desa
El Pemerintahan stabil kuat El Masyarakat yang kuat El Konsensus sadar El Keseimbangan sinergis El Pemberdayaan politik El Legitimasi sosial Revolusi aktif
Desa: Gl Pernerintahan stabil kuat IZi Masyarakat yang lemah PI Konsensus kepatuhan El Keseimbangan semu El Eksploitasi politik IZi Legitimasi politik Gl Revolusi pasif
Tertatihnya Menuju Gerakan Pembaruan Desa Pada akhir tahun 1993, isu hak inasyarakat adat mewarnai berbagai inisiatif perlawanan kelompok-kelompok tertindas, baik dalam kerangka kerja penguatan organisasi rakyat, maupun dalam kerangka kerja advokasi kebijakan publik baik perbailcan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat itu sendiri
(Zakaria, 2004: 46). Perspektif penegakan hak masyarakat adat kemudian juga mewamai gerakan rakyat yang didorong oleh NGOs melalui issue gerakan yang lain, seperti gerakan petani, reforma agraria, pengelolaan dan pengusahaan lingkungan, gerakan konservasi, gerakan perempuan,
ekonomi, politik,
pembaruan desa dan lain sebagainya. Pada gerakan agraria melihat bahwa sumber-sumber agraria berada di wilayah pedesaan semakin terancam oleh keserakahan ideologi kapitalisme dan eksploitasi sumber daya yang hanya
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dan berdarnpak pada kerusakan lingkungan dan penghancuran nilai-nilai lokalitas (local wisdom). Oleh karena itu, altematif gerakan dilakukan dengan memberikan pcnyadaran kepada pemerintah dengan sasaran pada kebijakan yang memihak kepada dcsa dalam arti yang lebih luas. Penguatan kelembagaan desa sebagai salah satu alternatif gerakan dalarn melindungi sumber daya agraria di desa. Seperti yang dilakukan oleh gerakan reforma agraria (GRA), gerakan pembaruan desa juga menjadikan kebijakan sebagai tujuan utama dalam perubahan posisi dan kemandirian desa. Penguatan basis masyarakat tani yang berada di desa merupakan strategi lain dalarn mendorong rerubahan kebijakan. Terutama kalau kita melihat paradigma pembangunan yang dipilih ole11 pemerintahan Orde Baru merupakan pemicu
bmerang
krisis ekono~iii1998-an. Walaupun, pembangunan dapat
dikatakan berhasil dalam kurun waktu pemerintahan Orde Baru, terutama ketika pengukuran yang dilakukan adalah menggunakan parameter GNP. Artinya, pada setiap tahapan REPELITA peningkatan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia dikatakan meningkat. Pernbangunan juga terjadi llingga ke pelosok pedesaan, terutama dengan masuknya pemerintahan negara ke desa sejak diundangkannya UU No. 5 Tahun 1979 (tentang Pemerintahan Desa) dengan harapan dapat mempermudah support bantuan dari Pusat. Namun apakah dengan kondisi demikian
- dengan
meningltatnya pendapatan perkapita masyarakat
-
dapat diiatakan pembangunan dinikmati secara merata? Jawaban atas ha1 di atas tidak akan diberikan dengan melakukan bahasan konseptual atas wacana akademis yang mengarallkan pilihan atas paradigma pembangunan suatu negara. Hal ini harus dibuktikan dengan kenyataan selanjutnya atas pilihan itu. Terbukti, bahwa krisis yang dialami oleh bangsa Idonesia
merupakan
paramclcr
kogagalan
~x~nhnnguni~n bcrparadigrna
materialistis. Resesi dunia - tahun 1996 - tentang danlpak global yang menjadi penyebab krisis ekonomi di Indonesia pertengahan tahun 1997 merupakan awal kesadaran masyarakat bahwa pembangunan yang dilakukan oleh Orde Baru ternyata tidaklah nyata. Hingar-bingar pembangunan yang selama ini dijargonkan oleh rezim Pembangunan seketika runtuh. Hingga pada 21 Mei 1998, penguasa
rezim Orde Baru menyatakan mundur karena dororigan yang kuat dari gerakan massa. Penguatan gerakan massa menampakkan eksistensinya secara nyata. Gerakan agraria, gerakan petani dan gerakan politik lokal menjadi semakin kuat melakukan perlawanan terhadap negara. Terutama gerakan ke arah perubahan (reform) sistem dan struktur pemerintahan negara yang otoritarian. Gerakan atas
tuntutan pembahan tersebut mengalami pertumbuhan yang telah dilakukan pada
awal tahun 1990-an. Gerakan perubahan pada awalnya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, dilakukan di daerah-daerah yang jauh dari keramaian, terutama dalarn melakukan koordinasi dan penggagasan (diskursus) yang secara konseptual sangat bertentangan dengan paradigma negara. Seperti, pertemuan yang dilakukan oleh kalangan organisasi non-pemerintah (NGOs) saat memuskan strategi perjuangan yang bertajuk "Lokakarya Pengembangan Sumberdaya Hukum Masyarakat Adat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam di
Dalam Kawasan Hutan" di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pada tanggal 25 - 29 Mei 1993. Pertemuan ini menurut Arimbi Heru Putri (aktor kunci pertemuan) sengaja di-setting dengan tema yang dikemas sedemikian rupa dan dilakukan ditempat yang relatif terpencil untuk nlet~ghindnri halnngan dari pihak yang berwajib (Zakaria, 2004: 44-45). Tidak hanya itu, gerakan-gerakan mahasiswa yang memulai dengan pendidikan politik (dikpol) digerakan dalam wilayahtersembunyi dengan harapan mengurangi intemensi para intelegen negara.di Hal itu dilakukan karena penyusupan inlelejen negnra hingga pada aksi masa gerakan mahasiswa yang merupakan kekuatan moral akademis dianggapnya sebagai kekuatan politik yang menghambat. Seperti juga dilakukan oleh gerakan-gerakan mahasiswa. Sebut saja dikpol pergerakan
-
- untuk menciptakan kader-kader aktivis
yang dilakukan oleh mahasiswa dari Universitas Jadabadra
Yogyakarta pada pertengahan tahun 1998 dilakukan di pedalaman Sleman (DI Yogyakarta), keluar dari wilayah ring road utara masuk ke dalam gang-gang kecil yang belum teraspal dan di rumah-rumah penduduk yang dirasakan mendukung terhadap gerakan-gerakan yang mereka lakukan. Penyelenggaraan kursus dan pelatihan juga dilakukan oleh banyak LSM atau NGOs. Awal proses pembentukan gerakan dilakukan dengan suatu kursus
atau pelatihan, seperti kursus yang diadakan oleh gerakan agraria. Gerakan seperti ini menyatakan dirinya sebagai aktivis gerakarl pembaruan agraria, dengan semangatnya tentang jargon "Menyatakan Keadilan Agraria" mengadakan kursus intensif untuk para aktivis gerakan pembaruan agraria. Sasaran pembaruan agraria adalah tidak hanya pada tataran ide-ide tentang pemaknaan atas sumber-sumber agraria. Sasarannya yang paling sangat memberikan hckuatan gerakan pembaruan agraria adalah usahanya untuk melakukan perubahan struktur agraria yang timpang, termasuk di dalamnya penataan sistem produksi rakyat, dan penataan pedesaan melalui organisasi rakyat desa. Proses pembaruan agraria harus memperhatikan secara langsung kehendak dan inisiatif dari masyarakat (desa) secara langsung (reform by leverage) yang berdasarkan dan atau bersumber pada inisiatif pada kepentingan masyarakat (Fauzi dan Juliantara, 2000: i-ii). Gerakan petani di desa juga dilakukan karena masuknya intewensi atas surnber-sumber agraria dan pengelolaamya. Masuknya i n t e ~ e n s i revolusi hijau, dan penyerobotan tanah-tanah masyarakat desa merupakan suatu fenomena yang sangat memprihatinkan bangsa, terutama pada tahun 70-an hingga tahun 80-an. Selanjutnya pada tahun 90-an adalah saatnya gerakan masyarakat bangkit melakukan perjuangan, perjuangan pembaruan dari masyarkat terkecil, tertindas, dan ternlarginalkan di desa. Pada masa selanjutnya pembaruan desa menjadi wacana sekaligus gerakan perubahan pada gerakan penguatan kelembagaan. Kelembagaan tidak hanya diharapkan pada kekuatan gerakan masyarakat yang terkoordinir dalam lembaga masyarakat, hingga organisasi yang legal dan formal, melainkan di tingkat desa, pemerintahan desa pada akhimya diharapkan dapat n~enjadikuat untuk menggerakan masyarakat desa yang lebih adil dan demokratis sebagai kekuatan desa yang mandjri menuju otonomi desa. Gerakan masyarakat yang terbentuk dalam beragam latar belakang adalah gejolak yang ditimbulkan oleh ranah politik penguasa yang tidak adil. Penguasa menggunakan kebijakan dan perundangannya untuk melakukan penekanan kepada masyarakat, bingga di tingkat nadir dan memprihatinka~l. Ten~tama, gerakan pembman desa yang pada akhirnya muncul sebagai salah satu gerakan masyarakat yang berlatarbelakang ketidakadilan pemerintah terhadap desa. Posisi
desa selalu diabaikan secara politik menggunakanfloaiing mass dan secara sosial budaya diluluh-lantahkan kelembagaan desa yang dimiliki terutama bagi komunitas masyarakat di luar Jawa oleh kebijakan negnra tentang desa. Demikian dipaparkan dinarnika yang dialami oleh desa akibat ketidakadilan pemerintah terhadap desa.
Hegernoni dan Dominasi: Negara Kuat Kekuasaan dan Negara dalam konsepsi idealis dikemukakan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) yang memberikan corak khas." Menurutnya, kekuasaan yang melampaui hak-hak transendental individu menandai negara absolut karena negara tidak lain dari penjelmaan "Roh Absolut" (Great Spirit). Dengan demikian, dalam rangka gagasannya mengenai kekuasaan negara, pemegang kekuasaan (state atithority) ialah aka1 impersonal dan perwujudan kehendak kolektif (general will) dalam bentvk nanusia. Kekuasaan kepala negara, karenanya, bersifat mutlak di mana ia bisa saja mendengarkan
suara wakil-wakil rakyat sekalipun keberadaan ha1 tersebut tidak bersifat mengikat. Negara adalah tujuan (kekuasaan) itu sendiri sehingga rakyat atau individu harus mengabdi dan diabdikan untuk negara: individu tidak memiliki makna dalam totalitas negara -ia hams lebur di dalam kesatuan negara. Manusia, dalam pandangan Hegel, ialah makhluk rasional dan memiliki kesadaran din sehingga ia akan sangat mengkultuskan kebebasan; namun, ia menyangsikan kemampuan manusia untuk mengendalikan nafsunya seandainya kebebasan sejati diberikan secara penuh kepada manusia. Dengan kata lain, kebebasan manusia hams berada di bawah kontrol kekuasaan. Konsepsi kekuasaan dan Negara dalam pandangan materialistis tidak dapat dilepaskan dari penjelasan pandangan intelektual materialisme historis, Karl Marx " Sepeni dikemukakan oleh Ahmad Suhelmi dalam kajiannya tenlang petnikiran polilik Barar: "dati sudut pemikiran politik, gagasan Barat mengenai Negan (scde), bkunsaan, keadilaa, demnkmsi secara genealogis historis-inlelektual berakar pada fradid politik negara-negara kola (tip stares ataupolrs) zoman pcrndabsn Yunani klasik ...". Lihat Suhelmi. Ahmad, Pemikiron Politik Borar Kojion Sejorah Perkembongon Penzikiran h'egaro, Masyorokal, don Kekuasnan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Uma, 2001, ha1 258-260.
(1818-1883), seorang filsuf materialisme dari Jerman. Pandangan atau konsepsi materialisme historis-nya, Marx melihat kekuasaaan tidak bekerja semata pada level politis. Materialisme historis melihat anatomi masyarakat sebagai tersusun dari infrastuktur (basis) dan superstn~ktur(elit) di mana struktur kekuasaan ekonomis dapat dimaknai dalam konteks masyarakat kapitalis selalu merupakan hubungan penindasan oleh kelas pemilik modal (borjuis) terhadap kelas pekej a
yang menandai basis merepresentasikan diri pada level superstn~kturdalam bentuk institusi-institusi negara, hukum, dan sistem-sistem kepercayaaan atau ideologi yang berlaku dalam suatu masyarakat. Struktur negara kapitalis secara historis merupakan suatu pentahapan menuju pada perkembangan lanjut menjadi negara sosialis yang didominasi oleh kelompok proletar dengan proses revolusi proletariat (ploreturiat otorituriun). Dengan kata lain, struktur kekuasaan politis yang menjelma dalarn keberadaaan negara tidnk lain dnri pada cerminan struktur kekuasaaan di bidang ekonomi, yang dapat dipahami bahwa tingkat kesadaran hubungan antara individu dan masyarakat .I2 Pada pandangan tersebut di atas, bidang ekonomi dapat disebut sebagai basis struktur (basic structure) bahwa dari hukum perkembangan masyarakat yang disebutkan tersebut ekonomi menjadi dasar dari segala perkembangan masyarakat (materialisme dialektik). Sedangkan dalam perkembangan kehidupan masyarakat terdapat dua dimensi kehidupan yang saling bedialektika yaitu pertama, yang disebutkan di atas sebagai basis struktur. Dan kedua, disebut dimensi suprastruktur (superstructure). Pada dimensi kedua, bagi Marx, yang dipengaruhi oleh kehidupan materialistis ekonomik, seperti institusi-institusi sosial, terutama negara.13 Gramsci rnencoba menginterpretasikannya kembali tentang suprastmktur tersebut. Kalau Marxis klasik mengatakan bahwa masyarakat sipil berada pada " Dalam pandangan Patria d m Arlcf (15199 133-145). konrepv mllr.rl~Id 1lh:lt d m psndmgan >lam tcntang kondiss material d G masyarakat scbagai b a l s d a r ~rhlkrur s ~ s l adm l kcr3d~mnm ~ n ~ r s thl:lk~ x d ~ l n mlacamat3 rcpcni in1 Ncgara pun muncul dari hubungan-hubungan produksi, dan bukan berasal dari cita pikiran manusia, atau dalam bahasa liberalisme disebut sebagai kcingin& rnmusia-uni& bekolektif didasarkan pada poses produksi tersebut
"lbid. (b: 176j bahwa pandangan Marx (dan rekannya Engels) bahwa pengabdian negara tidak kepada seluruh kcpentingan masyarakat (banya kcpada kelas dominas) yang pengaruhnya cukup loas itu, merupkan h a i l dari pandangan filsafat tentang masyarakat d m sejarah, yang dike& deng& materialisme historis. Inti konsep tersebut addah bahwa h u h m perkcmbangm masyarakaf yang mengikuti lhukum materialisme dialektik sebagai fundamental ontologisnya. Inti pandangan ini adalah bahwa pekembangan masyarakat ditentukan oleh bodang produksi ekonomi, yang merupakan basistruktur, sedangkan dua dimcnsi kehidapan masyarakaf lainnyn, scpeni instimsi-institusi sosial lainnya, terutama ncgara dan bcnbk-bcntuk kcsadaran sorial nicrupaken bangunan atas atau si,pcvxlr~4ll,re.
'momen' basis struktur,14 tapi bagi Granlsci justru mcngalisisnya sebagai bagian dari suprastruktur. Pada pandangan suprastrukturls Gramsci meliha! bahwa terdapat dua tingkat yaitu: pertarnu, adalah 'rnasj~arakat sipil' yaitu kumpulan organisme yang biasa disebut privat. Masyarakat sipil merupakan faktor kunci untuk memahami pekembangan kapitalis. Din adalah supra struktur
yang
mewakili faktor aktif dan positif dari perkembangan sejarah, dan merupakan hubungan-hubungan budaya dan ideologi yang kompleks, kehidupan intelektual dan spiritual, serta ekspresi politik dari hubungan-hubungan yang lebih dari sekedar dari pada struktur. Dimensi kedua dari suprastruktur Gramsci adalah 'masyarakat politik'. Batasan masyarakat politik disebutkan sebagai tempat muncuhlya praktek-praktek kekerasan secara Iuas (polisi dan aparat kekerasan lainnya) dan tempat terjadinya pendirian biokrasi negara. Birokrasi ncgara diidcntifikasikan sebagai pelayanan sipil, kesejahteraan dan institusi pendidikan. Perkembangan teori pada tahun 1998 tentang wacana hegemoni dan dominasi negara semakin kuat dan masif di kalangan aktivis gerakan sosial. Usulan para aktivis sebagai refleksi atas kajian tersebut adalah melakukan pemecahan atas kuatnya hegemoni negara, yang harus dilakukan secara segera. Secara historinya, teori hegemoni dan dominasi mencuat dalam realitas akademis adalah sebagai sumbangan dari pemikiran Antonio Gramsci. Munculnya pandangan ini adalah sebagai kritik atas analisis kelas dan yang dianggap masih sangat sempit. Analisis hegemoni Gramsci mencoba menjelaskan realitas hegemoni ideologi dan kultural. Gramsci (1972) merupakan sebagai salah seorang yang mengkritik terhadap tafsiran Marxisme Ortodoks yang masih dianggapnya terldu
mekanistik
dan
sangat
deterministik
ekonomi.
Pandangannya
mengungkapkan penindasan struktur kelas. Pelanggengan penindasan struktur kelas ini menurutnya dapat dianzlisis menggunakan pendekatan hegemoni dan " Ibid, (h: 178). Gramsci mulai mengkrilisi dclemiois~neMarnisn,~orlodoks tcnfnng basis dan supra suuktur. Konsepsi Manisan klasik mengatlkan bahwa masyarkat sipil berada pada 'momon' basis struklur. Namun Gramsci justru menganalisisnya sebagai bagiandari suprastruktur. " Suprssbukhtr dalam pandangan Gramsci terdiri dari masyarakat sipil dan masyarakat politik, rnenurut Sirwanla disebulkan scbagai bagian dari negara M i n y a , pandangan Gramsci menycbutkan tentang masyarakat sipil dan masyarakat politik adalah bagian dari eksistensi negara. Selanjutnya, negara dalam pandangan Gramsci disebutnya sebagai insrumen heeemoni vane bcnifat orivat. dan meruoakan suatu komoleks dari nktiuitas nraktis dnn teoritis dimana kclas penguasa . . , lid& hmya mcmpcnahankan dominar~n)annm.lnjugn metnpcn,fel, pr.rrul.tjunn Jar, kclonlpul: lam )ang bcrJds dl b w a h kckuasaannya Ncgara adalah masyarakal pohuk dnambnh mu)amk;lt s~pll( S ~ r u l n l a ,2006 Kclast Kckuaslm. Tclaah Pcrnik~ranAntonto Gramcst dalam lionlrks Po11t1kIttd.)n~s~a Kdnrcrnp.rrer, Yog) ?k.tna hfcd13W~cana.2006 51)
.
dominasi yang melanggengkan stntktur kelas dan itleologi masyarakat (Fakih
1997: 4,36). Perkembangan selanjutnya analisis tentang hegemoni bagi Gramsci dapat digunakan untuk membedakan atas kuatnya dominasi terhadap perilaku masyarakat. Bagi Gramsci kuatnya dorninasi dilakukan dengan beragam kekuatan fisik (phisicly) yang membuat masyarakat mer~jadi takut dan menjadi tidak berdaya. Pandangan dominasi melihat bahwa manusia melakukan penguasaannya terhadap manusia lain selal~ldidasari olch sarnna yang snh, tcrutatna dalatn ha1 ini adalah negara sebagai suatu lembaga sosial yang besar (the big social institutions). Artinya negara hanya dianggap sebagai lembaga yang berfungsi
sebagai legalisasi atas penguasaan manusia yang lainnya dalam lingkup makro. Dominasi lebih berorientasi kekerasan menjadi sangat kuat. Seperti yang diungkapkan oleh Karim (1999: 13) bahwa pendapat Weber dan Trotsky sepakat menyebutkan tentang penguasaan manusiat6 atas negara selalu didasari oleh kekerasan (violence). Dalam ha1 ini negara akan anarkhis, sewenang-wenang dan otoriter. Hal yang paIing nyata ciapat dicontohkan adalah dominasi kekuatan seorang penguasa otoriter dimana rniliter dipakai sebagai ujung tombak melakukan stabilitas manajernen negara. Pandangan tersebut sangat terasa di masa pemerintahan Orde Baru yang mengarusutamakan kepentingan keamanan dengan menggunakan perangkat militer (TNI) hingga di tingkat desa (Babinsa). Hegemoni sebagai kasanah masih abstrak dalam kacamata awam temtama masyarakat desa berpengaruh terhadap kestabilan melakukan pengaturan sistem sosial. Hegemoni masuk dalam pola pikir dan ideologi masyarakat, sehingga tanpa sadar membuat masyarakat terhanyut pada suatu kondisi kerelaan dan menciptakan dunia kehendak para penguasa. Solusi dalam rangka melakukan perlawanan terhadap kekuatan hegemoni bagi Gramsci adalah dengan melakukan penyadaran terhadap masyarakat. Penyadaran dilakukan di tingkatan ideologi untuk menimbulkan daya kritis dari pemikiran rnasyarakat terhadap kekuatan ideologi negara yang hegemonik. Batasan analisa hegemoni mencangkup satuan negara, namun demikian hegemoni dapat terjadi pada setiap lini kehidupan 16
Mecurut penulis, bahwa perebutan negara oleh manunia sebagai suntu pcrsaingnn antuk menguasai negara scbagai institusi formal yang menunguntungkan. Dalam ha1 ini, bagi individu atau kelompok yang menguasai negara dengan cara paksa (violence) maka kecenderungan untuk rnelakukan tindakan .nnnrkhis sernakin besar.
masyarakat, jika masyarakat tidak melakukan kegiatail lirjtis atas fenomena sosial yang melingkupi individu dan masyarukat. 17 Perlawanan terhadap hegemoni juga perlu dilakukan dengan melakukan penyadaran peran dan posisi atas status terbentuknya negara. Masyarakat perlu disadarkan dengan melihat hubungan kesetaraan antara negara dan warga negara. Kesadaran tersebut minimal menlberikan penlahaman bahwa negara adalah bentukan dari warga negara. Seperti diungkapkan oleh Rousseau dan juga Lock yang menganggap negara sebagai kehendak umum, pada awalnya kehendak manusia diarahkan untuk kepentingannya
sendiri, kelompoknya, akan tetapi
kehendak mereka tidak bersatu, tcrkadang berlawanan. Kepercayaan pada kehendak mum itulah yang menjadi basis bagi konstruksi negara Rousseau (Patria & Arief, 1999: 95). Lanjutnya rakyat liarus berkumpul menyatakan ,
kehendaknya melalui peiundang-undangan yang diputuskannya, sehingga posisi pemerintah hanyalah sekedar "panilia" yang bertugas nlelaksanakan keputusan rakyat. Jadi, menurut Suseno (1987: 81) bahwa rakyat memerintah sendiri secara langsung - apa yang dikehendaki rakyat itulah hukum
-
maka negara menjadi
republik, respublica, atau urusan umum. Pada pandangan di atas terlihat bahwa struktur kepenguasaan pemerintahan negara haruslah berbasiskan dari tingkat bawah yaitu, masyarakat. Pembentukkan negara republik yang dipilih oleh founding father Indoilesia adalah memberikan rakyatnya. Akan tetapi, pada proses peluang sebesar-besamya ucituk kc~nak~iiuran perjalanannya
berdampak
pada
depolitisasi
terhadap
masyarakyat-yang
sesungguhnya memiliki kedaulatan tertinggi. Kebangkitan birokrasi militer menurut Antlov (2003: 9) merupakan ciri kentara dari kebangkitan Orde Baru. Akhimya, ha1 ini berdampak luar biasa dalanl pe~nbentukankekuasaan yang oleh Arief Budiman (1996: 86-87) disebutkan sebagai rezim. Kuatnya kekuasaan Orde
Baru disebutnya sebagai rezim yang telah menjadi militer sebagai kekuatan otoriter yang menghambat perkembangan demokrasi di negeri ini. Hegemoni merupakan suatu rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus dari pada melalui penindasan terhadap kelas sosial yang
" Lebih
Pelajar.
detail lihat Patria, Nezar & And; ArieT, 1999. Antonio Gmmsci: Neg:~redan Hegernoni, Y o g y a k m : Pustaka
lain. Hegemoni dapat dilakukan dcngan bebagai cnra, nlisalnya rnelalui institusiinstitusi yang ada di masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung terhadap struktur kognitif masyarakat. Hegemoni dapat dipaharni secara mudah menjadi suatu upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Seperti pada masyarakat borjuis di Eropa yang berllasil memanipulasi kesadaran para buruh, sehingga mereka setuju dengan ideologi ltapitalisn~edan kehilangan militansi revolusionemya. Ataupun, kekuasaan negara hanya bisa dicapai setelah penegakan hegemoni tertentu dalam masyarakatnya Menurut Patria dan Arief (1999: 125) bahwa analisa Gramsci juga terkait dengan teori penyesuaian dari Fcminu yang mcnangkap tiga kategori perbedaan penyesuaian yang dilakukan ole11 manusia yaitu melalui 1) rasa takut, 2) karena terbiasa, dan 3) karena kesadaran dan persetujuan. Tipe yang ketiga yang kemudian dipakai oleh Gramsci untuk menladankan gagasannya yang disebut sebagai Hegemoni. Hegemoni dirnaknai sebagai suatul perw~judandari proses dasar konsensus atau persetujuan. Hegemoni memunculkan komitmen yang berjalan pada dua lini yaitu komitmen aktif dan kornitmen pasif. Yang yertama, merupakan konsensus yang didasarkan pada posisi kelas yang tinggi, sah yang secara historis berkembang dalam dunia produksi. Yang kedua, merupakan suatu konsensus yang diterima oleh kelas bawah, kelas pekerja (proletar). Pada komitmen yang kedua kemunculan konsensus bukan karena kelas yang terhegemoni menganggap struktur sosial yang ada (hasil konsensus) itu sebagai keinzingan mereka (kelas bawah). Menurut Gramsci ha1 tersebut terjadi karena mereka (kelas bawah) kekurangan basis konseptual yang rnembentuk kesadaran yang kemungkinan mereka memahami realitas sosial secara efektif. Pada akhir proses pernbentukan konsensus ini menurutnya dimaknai sebagai gejala integrasi budaya.Is Dari gejala integrasi budaya, Gramsci melihat ada dua faktor yang penting yaitu: pendidikan dan mekanisme kelernbagaan.19 Yang pertarna dilihat sebagai la Bagi Oramsci gejala integrasi budaya merupakan konsensus terselubung dm hanya rnernperkuat hegemoni kelas boquis dengan mengaburkan sifat-sifal yang sesungg!hnyn (Pnrria & Ariei 1999: 127).
'' ibid.
kegagalan pendidikan karena pendicii!..ni~tidal< pemai~menyedinkail kemu~~gkinan membangkitkan kemampuan untulc berlri!iil. seca;a k~itisdan sistematis bagi kaunl buruh. Yang kedua, bah~van1ek:lnisnlt: kclembagai!n ciilihat aebagai bentukan "tangan-tangan" keionipok
yang bcrkuasa unt:~k n:cnentukan ideologi yang
mendominir. Hegemoni menurut Gramsci memiliki tingkatan yaitu: I ) hegemoni integral. Hegemoni ini ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan inteletual yang kokoh. Hegemoni integral tampak pada hubungan organis antara pemerintah dan yang diperintah.
2) hegemoni yang merosot (decadent hegemony). Pada hegemoni kedua inilah integrasi dapat mengalami disintegrasi yang tampak dari konflik yang tersembunyi di bawah realitas sosial. Artinya, mentalitas masyarakat tidak secara sungguh-sungguh selaras dengan mentalitas dan pemikiran kelas yang dominan.
3) hegemoni minimum (mininlal hegenzoty). Menurut Gramsci hegemoni tingkatan ketiga inilah yang merupakan bentuk hegemoni yang paling rendah dibandingkan dengan dua bentuk di atas. Pada kerangka ~ r a m s c i ~melihat ' hegemoni memulai dari tiga batas konseptualisasi yaitu: ekonomi, negara (political society) dan masyarakat sipil
(civil society). Perfamu, ekonorni dimaknai sebagai batas konseptualisasi yang digunakan untuk mengartikan mode of production yang paling dominan dalam sebuah masyarakat. Cara produksi terdiri dari teknik produksi dan hubungan sosial produksi yang ditumbuhkan atas munculnya perbedaan kelas-kelas sosial dalam arti kepemilikan produksi. Kedua, mengenai batasan negara (politic~lsociety) dibatasi pada tempat munculnya praktek-praktek kekerasan (polisi dan aparat kekerasan lainnya) dan tempat terjadinya pendirian birokrasi negara. Birokrasi dimaknai sebagai pelayanan sipil, kesejahteraan dan institusi pendidikan.
Ketiga, adalah batasan civil society menunjuk pada organisasi lain di luar negara dalam sebuah formasi sosial di luar bagian sistem produksi material dan ekonomi, yang didukung dan dilaksanakan oleh orang atau komponen di luar
* Ibid: 136. Patria dm Arief (1999) rnerujuk pada karya Gramrci (1976: 245) yang betjudul Seteclions From 7'he Prism Notebook, Quintin Hoate dan Nowell Smith (ed),international Publisher, New York.
batasan di atas. Sebagai komponen utama masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai sebuah institusi religius. Pada masyarakat yang terhegemoni tidak dapat memberikan masukan yang signifikan terhadap penentuan nasib dan kemerdekaannya. Hegemoni dilakukan juga dengan menggunakan kekerasan fisik menggunakan strategi militerisasi yang membuat takut masyarakat. Penarikan politik dari tingkat desa (f7onting mass) dibarengi juga dengan masuknya militer ke desa untuk mendukung suksesnya program-program pemerintah dan kampanye Golkar-yang
notabene adalah
identik dengan partai pemerintah. Seperti, penggunaan kekuatan militer ke daerahdesa untuk institusionalisasi dan inovasi revolusi hijau dalam intensivikasi pertanian dan program keluarga berencana (KB)?' Masyarakat desa menjadi terkonstruk menjadi masyarakat tertindas, ndeso, dan dianggap bodoh. Pada kondisi inilah desa tidak dapat melakukan fungsi sosial-budaya, ekonomi, dan politik secara mandiri dan bebas, karena kehilangan kesadaran kelasnya sebagai masyarakat desa. Demokratisasi dan otonomi adalah jalan tengah untuk memberikan suatu mang menuju tingkat partisipasi menuju lepasnya dominasi dan hegemoni negara terhadap masyarakat, yang hams dilakukan dengan menggunakan gerakan sosial untuk memutus ketidaksadara inasyarakat desa.
" Lcbih lanjul lihat Hans Antlov, 2003. Negsra Dalam Dess: Palronai Kepcmin~pinan Loka1, Yogy.nkarla: Lappera Pustaka U m a
Hegemoni dan Gerakan Pcmb:jruan Dcsa Usaha dalam bentuk pergerakan atau gerakan sosiai hams dilakukan untuk melakukan perebutan terhadap kuatnya hegemoni clan dominasi negara, termasuk menciptakan ruang yang otonon? dan dcmokratis atas usaha dan keberdayaan masyarakat yang lebih bermakna dan mcnciptaltan kemandiriannya. Pembaruan desa harus diwujudkan dalam gerakan sosial. Untuk mendefinisikan wacana tersebut secara teoritis gambaran Sztompka tentang gerakan sosial akan dijelaskan terlebih dahulu sebagai landasan teoritisnya. Menun~tSztompka (1995: 274) All
these are social movements. Artinya, seluruh gerakan yang d~lakukanmasyarakat untuk melakukan tuntutan pembahan atau pernbaruan dapat dianggap sebagai kita dapat tnelihat beberapa penekanan kelompok atau gerakan sosial. Walaup~~n mengenai gerakan sosial nienurui bcbcrapa pahar sepcrti yang dikutip oleh Sztompka: Blumer (195 1: 199) menyebutkan gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk membangun tatanan kehidupan yang baru; Lang & Lang (1961:
507) menyebutkan upaya kolektif untuk mengubah tatanan sosial; Slemser (1962:
3) menyebutkan bahwa gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengubah norma dan nilai; Turner & Killian (1972: 246) rnenyebutkan bahwa Gerakan Sosial merupakan tindakan kolektif berkelanjutan untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau dalam kelompok yang menjadi bagian masyarakat itu; Lauer (1976: xiv) menyebutkan bahwa gerkaan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengendalikan arah pcrubahan. Akhimya, disimpulkan olch S~lompka(1995: 275-6) bahwa gerakan sosial dapat didefinisikan sebagai: I) Kolektivitas orang yang bertindak bersama; 2) Tujuannya dan tindakannya adalah pe~ubahantertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut cara yang sama; 3) Kolektivitasnya relatif tersebar namun lebih rendall derajatnya daripada organisasi formal; 4) Tindakannya mempunyai dcrajal sponlanilns rclatif ttnggi namun tak terlembaga dan bentuknya tak konvensional. Hal yang sangat dominan dalam gerakan sosial adalah keterkaitannya dengan proses pcrubahan sosial sebagai basis yang sangat menentukan. Pandangan di atas memperlihatkan bahwa geraltan sosial merupakan suatu kekuatan kolektif yang melnkukan usaha-usaha pengen6a:;dn perubahan secara
terarah dalam bentuk yang sangat fleksibel, mulai dari yang gerakan spontanitas sampai gerakan-gerakan yang terlen~baga.Sebagai contohnya kita dapat melihat -pandangan tersebut dalanl kekuatan mahasiswa dan masyarakat pada awal Mei
1998 hingga a i r tahun 1998. Gerakan yang mereka lakukan merupakan gerakan sosial menuntut perubahan struktur kelembagaan dan lengsernya kepemirnpinan Orde Baru. Gerakan sosial seperti ini dapat dianggap sebagai penyebab utama perubahan
dari bawah dalam sistem kenegaraan dan pemerintahan saat itu.
Walaupun kita tidak dapat menafikkan bahwa untuk mewujudkan harapan mencapai keberhasilan diperlukan suatu kondisi yang diperlukan dan cukup untuk mencapai suatu perubahan yaitu: I ) Gerakan sosial hams terjadi dalam lingkungan sosial yang kondusif, 2) berhadapan dengan struktur yang menguntungkan dan mendukungnya. Artinya, kondisi sosial, ekonomi, dan politik pun bukanlah satunya faktor yang memberikan keleluasaan kesuburan kemunculan gerakan sosial, akan tetapi elemen luar sebagai pendukung gerakan juga sangat memberikan pengaruh besar terhadap eksistensi dan seberapa kuat suatu gerakan sosial. Gerakan sosial juga bisa jadi merupakan suatu akibat, dampak dari suatu momentum kejadian atau suatu gejala yang menyertai proses sosial tertentu, seperti munculnya modemisasi, penindasan oleh pemerintah, perubahan regulasi yang dilakukan oleh pemerintah. Gerakan sosial tidak akan pemah muncul dalam suatu kondisi kevakuman, akan tetapi dapat muncul dalam suatu kondisi sejarah tertentu yang berkaitan dengan proses sosial. Gerakan sosial dalam proses perubahannya mempengaruhi jalannya sejarah. Pada kondisi demikian, penulis menyebutkan bahwa gerakan tersebut adalah gerakan sosial responsif untuk menciptakan suatu rekonstruksi secara kritis fenomena ketidakadilan. Sztompka (1995: 278) mengutip pendapatnya Burns, dkk (1985: iv) yang menyebutkan bahwa Social movements are the bearers ofsocial structure in the
form of acquired rule systems through their actions and transactions. Gerakan sosial merupakan pengemban struktur sosial dalam bentuk sistem aturan yang diperoleh dan pada waktu yang bersamaan gerakan ini menciptakan, mencipta ulang dan merombak sistem hukum melalui aksinya. Pada saat yang sama gerakan sosial menjadi prod& dan sekaligus menjadi produsen atas suatu pola-pola sosial,
seperti yang disebutkan oleh Dieter Rucht (198%:306) bahwa social movements are at the same time products and producers of socie!al patterns Though they act within a historically created nrrd relatively stable ,fr.ame, they also actively participate in changing political clisvcourses, polver constellation, and cultural symbols ( d i i t i p oleh Sztompka 1995: 278). Penulis juga perlu memperhatikan bahwa gerakan sosial bertindak tidak hanya dalam suasana historis yang diciptakan dan dalam suasana yang relatif stabil, namun gerakan ini juga secara aktif berpartipasi mengubah percaturan politik, konstelasi kekuasaan, dan simbol kultural, bahkan menciptakan suatu relasi-relasi sosial yang b m . Gerakan perubahan sosial ini membutuhkan suatu kekuatan sosial politik yang sangat besar. Setidaknya, ada energi dan atau motor penggerak yang dapat menjalankannya. Gerakan sosial sebagai kekuatan aksi yang dilakukan oleh civil society merupakan suatu parameter beraktivitasinya dan dinamika partisipasi yang dilakukan masyarakat. Seperti yang disebutkan oleh Suwondo (2005: 197) bahwa masyarakat sipil yang mengarah pada suatu tempat atau arena (public sphere) di mana masyarakat masuk ke dalam hubungan dengan negara. Sehingga gerakan sosial merupakan suatu bagian kecil dari aktivitas dari civil society yang sangat diharapkan sebagai kekuatan penyeimbang (cozmter balance) dari kekuatan negara yang mempunyai kecenderungan arogan dan otoriter. Dalam Negara otoriter dan sentralistik kondisi seperti ini kemunculmnya tidak diharapkan oleh negara. Namun, apakah dalam kondisi seperti ini tidak ada kemungkinan untuk munculnya suatu gerakan sosial ke arah pembaruan yang dapat mengangkat kembali citra civil society dalam nlana dapat menjalankan fungsinya? Menurut Suwondo (2005: 200) bahwa keberbasilan perkembangan civil sociefy ada
beberapa faktor yang dapat membentuk kondisi civil society yang relative lebih baik seperti: 1) kondisi ekonomi yang sudah mapan di bawah; 2) sistem politik lokal yang fungsional; 3) kepe~ninlpinanelite lokal yang dapat diteladani; 4) tradisi partisipasi desa untuk mandiri di bidang politik dan ekonomi. Setidaknya, kalaupun faktor di atas tidak berjalan menciptakan gerakan sosial, menurut Soemardjan (1986) bahwa melihat perubahan sosial di Yogyakarta hams juga memperhatikan aktor berpengaruh yang secara structural mempunyai kewenangan untuk melakukan inisiasi perubahan.
Aktor Besar: Kepernimpinan Pemhnruan Desa Pernasalahan yang coba diangkat dari landasan pikir ini adalah menjelaskan bagaimana suatu perubahan (penlbaruan) menlpakan suatu penciptaan yang tidak dapat dilepaskan dari para aktor pencipta. Seperti, beberapa pertanyaan yang perlu diajukan: Siapa (aktor)'* berbuat apa dalam pemban~andesa? Siapa yang berbuat pembaruan desa? Orang-orang atau aktor seperti apa yang dapat melakukan pembaruan? Setidaknya kita mengetahui bahwa setiap orang atau aktor tadi dapat menjadi instnunen perubahan. Tapi selanjutnya, aktor seperti apa yang mampu melakukan proses pembaruan dalam kondisi yang sangat menghimpit, seperti sekarang. Dimana kondisi Negara ini mengalami krisis moneter, krisis ekonomi, hingga krisis kepercayaan. Pada konsep aktor ini analisa dilakukan adalah pada tingkat individual. Pada tingkat individual seperti apa yang dipilih tnerupakan suatu kendala delematis karena pada akhimya tidak semua orang menjadi subject rnalfer dalam penelitian ini. Oleh karena itu, untuk memberikan pilihan dan gambaran pada aktor yang dipilih merujuk pada pendapat Sztompka (1994: 259-261) yang mempercayai bahwa aktor besar sebagai agen dari perubahan (grenf individuals as
agents of change). Menurutnya, siapa yang membuat sejarah? Seberapa banyak sejarah itu dibuat oleh aktor? Apa sejarah yang mereka buat? Dan bagaimana sejarah mereka buat? Setidaknya dengan pertanyaan-pertanyaan itu dapat digambarkan sekilas tentang konstribusi seorang aktor pada perubahan sosial. Selanjutnya, Sztompka menjelaskan tentang aktor individual yang disebutkan menjadi tiga tipe yang berlainan, yaitu: 1) tipe perfama, terdiri dari orang biasa dalam kegiatan sehari-hari. Kebanyakan dari apa yang tejadi dalam suatu masyarakat terdiri dari orang yang berkerja, beristirahat, makan dan tidur, berpergian dan berjalan, berbicara dan menulis, tertawa dan bertengkar dan sebagainya. Pada tipe ini massa atau rakyat biasa merupakan bahan utama pembentukan masyarakat. 2) tipe kedua, terdiri dari individu yang karena kualitas pribadiiya yang khas (pengetahuan, kecakapan, bakat, keterampilan, kekuatan fisik, kecerdikan, atau kharismanya) bertindak mewakili orang lain, atas nama
* Aktor disebutkan rebagai penycbutkan kepada individu-individu di masyamkat yang mcrujuk pada konsep aklor dalam Drama Tuj i oleh Ewing Goffmm
mereka atau untuk keperntingan mereka atau memanipulasi atau menindas orang
lain, meski tanpa seijin mereka. Ini semua mencalup: pemimpin, nabi, ideolog, kepala suku, negarawan, diktator, tiran, d m sebagainya. 3) tipe kefiga, terdiri dari orang yang menduduki posisi luar biasa karena mendapat hak istimewa tertentu (terlepas dari kualitas pribadi luar biasa yang adakalanya juga mereka miliki). Peran orang besar (tipe ketiga) memungkinkan dan bahkan memerlukan tindakan yang berakibat terhadap orang lain, menentukan nasib orang lain. Dengan membuat keputusan yang mengikat dan juga melaksanakan metapower, membuat perahlran yang h a s diik~tioleh orang lain. Tergolong tipe ini adalah raja (executive), anggota dewan penvakilan rakyat (legislntive),manajer, administrator
dan sebagainya. Oleh karena itu, pada penelitian ini para aktor besar tersebut
adalah elit. Elit desa yang dimaksud adalah para tokoh yang (seharusnya) menjadi panutan masyarakat desa. Penyebutan elit desa dapat dimaknai sebagai suatu perwakilan dari tokoh-tokoh masyarakat desa, elit pemerintahan, dan tokoh-tokoh golongan seperti tokoh agama, tokoh aliran, anggota rnasyarakat yang menduduki jabatan. Kcranglca Pcmiltiritn Berangkat dari dinamika sejarah hegemoni dan dominasi negara terhadap desa ketertarikan dari penelitian ini dimulai. Tenitarna, bagaimana civil society yang selalu konsisten melakukan perlawanan terhadap kebijakan negara yang masih dianggap tidak berpihak kepada masyarakat bawah. Perubahan kebijakan negara ke arah kebaikan posisi hubungan desa dan supra desa yang telah dilakukan untuk mengeliminasi UU No S'tahun 1979 rnerupakan pintu gerbang
yang sangat memberikan sumbangan terbesar kepada proses awal dari gerakan pembaruan desa. Dimana pada masa-masa bergulirnya wacana otonomi daerah dan demokratisasi pada tahun 1999 dengan kemunculan UU No 22 tahun 1999 menyumbangkan semangat penguatan otonomi hingga di tirlgkat desa. Pada kondisi seperti ini penguatan pembaruan desa dirasakan sangat menonjol terutama yang dilakukan oleh pemerintahan desa dengan bentukan-bentukan asosiasi dan kelembagaan pembaruan penguatan kedudukan sosial politik pemerintahan desa.
Perjuangan penguatan otonomi dan demokratisasi yang terhambat secara yuridis ketika munculnya UU baru yang pada awalnya dikeluarkan karena tuntutan untuk dilakukannya perubahan (revisi) UU No 22 Tahun 1999. Perubahan peraturan tersebut menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menggantikan kesempatan penguatan otonomi dan demokratisasi rakyat desa. Artinya, munculnya UU baru tidak menambah peluang penguatan desa atas negara tetapi sebaliknya, orientasi resentralisasi sangat dominan dirasakan dengan menarik kembali pertanggungjawaban pemerintah desa kepada pemerintah di atasnya. Kondisi hegemoni yang dilakukan kekuasaan pemerintah tidak berkurang, dan sebaliknya memiliki kecenderl~ngan nienguat secara stn~ktural yang tersentralisasi dari pusat hingga di tingkat desa. Artinya hegemoni dilakukan dengan jalan sentralisasi kekuasaan pemerintah. Sentralisasi dapat dilakukan
dalam berbagai pembenaran dan berdasarkan pada persetujuan yaitu: melalui kebijakan-kebijakan pemerintah, melalui struktur sosial-politik, melalui kultur atau budaya masyarakat dan melalui pelembagaan (institusicr.~Iisasi). Untuk melakukan suatu perubahan kebijakan secara struktural dibutuhkan berbagai instrumen dan strategi termasuk penguatan kapasitas kelembagaan ke dalam. Oleh karena itu, komitmen terhadap pembaruan desa menjadi penting di segala lini perjuangan. Hal tersebut menjadi pertimbangan yang sangat menarik terhadap perjuangan pembaruan desa. Perjuangan pembaruan desa terus dilakukan dengan berbagai ragamnya. Perjuangan yang dilakukan adalah suatu capaian
(goals) terbebasnya pemerintahan dcsa dmi hegemoni dan dominasi pemerintahan di atasnya (supradesa). Hal yang dilakukan adalah menciptakan konsolidasi di desa antara masyarakat sipil dan masyarakat politik agar tercapai keseimbangan kekuatan untuk memenuhi hak dan kewajibannya secara transparan dan partisipatif. Oleh karena itu, analisa Granlsci mengenai llubungan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik dalam kontck kekuasaan kenegaraan perlu mendapatkan perhatian dalam penrllisan hasil pcnelitian ini. Gamsci melihat bahwa hubungan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik sebagai suatu kekuatan negara integral yang terjalin karena adanya tingkat hegemoni integral. Negara dalam pengertian integral diciaforship dan hegemony.
Hipotesis Pengrrah Perjuangan pembaruan desa merupakan perubahan sosial yang dilakukan pada tingkat ideologi sebagai bentuk kontra hegemoni melepaskan diri dari kek~lasaannegara yang sentralistik terutama hubungan pemerintahan desa dengan pemerintah di atasnya (supradesa) dalam menguatkan dan mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan berkeadilan. Hegemoni menurut Gramsci adalah suatu keniscayaan, bahwa hegemoni merupakan dominasi kepeminipinan intelektual dan moral serta dominasi politik yang menciptakan kepatuhan dan ketertundukan masyarakat sebagai hasil konsensus antara masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat politik (political
society) menjadi keharusan. Negara, (temasuk pemerintah desa) dalam kajian integral (negara integral) maka harus melakukan proses dictatorship dan hegemony. Oleh karena itu, kegagalan negara melakukan fungsi integralnya
merupakan suatu kondisi krisis hegemoni (Crisis of hegemony). Pembaruan desa merupakan suatu cara pandang aktivis pembaruan desa
untuk mencapai kondisi desa yang maju dan ideal. Ole11 karena itu, pembaruan desa menciptakan hegemoni barn dalam sistem peinerintahan desa dengan menggunakan demokratisasi yang berkeadilan untuk menciptakan ketertundukan pemerintahan desa dan masyarakatnya pada sisten~pcmcrintahan yang demokratis dan berkeadilan. Disitulah peroses keberhasilan pembaruan desa sebagai proses pembaruan hegemoni yang berkeadilan pada prinsip demokratisasi. Atau dalam kondisi sebaliknya dapat dikatakan bahtva kondisi kegagalannya disebutkan sebagai kondisi dimana pemerintahan desa mengalami krisis hegemoni.
Matrik Kerangka Pernikiran
'
Aktor
'..
pembaruan
-----re
Demokrasi & Berkeadilan
Analisa Hegemolli
L
: Arus searah (issue turunan) : Arus dialektik (koordinatif) : Arus dialektik abstrak
*-------------+
METODOLOGI PENELITIAN Paradigma dan Pendekatan Penelitian
Ada beberapa pandangan yang scbenarnya dapat mempengaruhi peneliti dalam melakukan kajian di lapangan, terutama pandangan @ar.adigm)yang sangat mendasar mengenai penelitian yang telah dilakukan dalam penelitian ini. Secara teoritis, permasalahan yang sangat pokok dalam penelitian ini adalah sejauhmana penguatan filosofi mendasari pilihan atas pendekatan yang dipililmya. Hal ini berdampak dualisme pilihan pendekatan bahwa penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif. Terutama dalam pandangan sosiologis, perdebatan ini sangat menarik dikaji untuk menentukan pilihan atas pendekatan mana yang kita gunakan untuk melihat suatu realitas sosial-yang
sebagian besar orang
melihatnya sebagai realitas yang taken for grandted. Sebagian berpandangan bahwa rasionalisasi atas suatu fenomena yang obyektif merupakan suatu kajian disiplin ilmu yang dapat dihitung berdasarkan rumusan yang sangat matematis. Pandangan yang lain lebih melihat bahwa suatu realitas tidak hams dihitung secara matematis seperti pendapat pertama, melainkan lebih menekankan pada bagaimana suatu kajian disiplin ilmu dapat menjelaskan suatu realitas sosial secara mendalam (beyond renliry). Pada pandangan pertama biasanya menggunakan metode penelitian kuantitatif, dimana seorang peneliti sangat dipengaruhi oleh paradigma formalis bahwa realitas sosial adalah suatu yang tidak-berbcda dengnn barang (things) yang dapat diukur dan dapat digeneralisir dengan hukum-hukum yang bersifat
positifistik, seperti yang dilakukan oleh ilmu-iltnu alam, ilmu fisika (Poloma, 2003: 4). Artinya, peneliti dan tineliti adalah suatu yang sama sekali berbeda dan tidak terkait atau tanpa ada hubungan, interaksinya hanya sebatas perolehan data yang dibutuhkan oleh peneliti, tineliti atau responden hanya berperan sebagai sumber data dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengaktualisasikan semua potensi yang ada di balik fenomena atau realitas sosial yang dikaji. Dalam perkembangan awal sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan (science) - oleh Auguste Comte - ha1 ini yang disebutnya sebagaijsika sosial (Dortier, 2004: 314).
Responden atau subjek kajian (subject nzafter) diakui sebagai objek
penelitian yang tidak mempunyai kreatifitas dalanl menciptakan realitas yang dimilikinya. Masyarakat dianggapnya sebagai suatu organisme (Allen & Unwin, 1984: 29). Menurut Salirn (2001: 11) penelitian kuantitatif menekankan pada analisis dan hubungan kausalitas antar variabel, bukan menekankan pada prosesnya. Pada kondisi seperti ini, menurutnya peneliti kuantitatif jarang (kurang) dapat menangkap perspektif subjek karena mereka kurang handal, dengan materi kesimpulan yang didapat, karena mereka tidak memahami pikiran &or sosial dengan perspektif yang terbuka dan mendalam. Pada penelitian ini tidak dipergunakan pandangan positifistik yang digunakan oleh banyak peneliti kuantitatif seperti tersebut di atas. Karena pandangan tersebut
- dapat dikatakan - tidak
dapat menangkap realitas sosial
yang sesungguhnya, atau bisa jadi pemakaian pandangan positifistik untuk mengungkapkar. realitas sosial yang sesungguhnya adalah suatu kekeliruan (Salim, 2001: 41). Pandangan Giddens (2004: 428; dapat dikatakan mendukung alasan di atas, ia mengatakan bahwa di dalam ilmu sosial (ekonomi maupun sosiologi) tidak ada satu rumusan pun yang dapat ditawarkan tanpa perdebatan sebagai salah satu contoh hukum universal di dalam bidang perilaku sosial manusia. Artinya, dalam penelitian ini tidak juga memberikan suatu hukum universal seperti hasil kajian yang dilakukan oleh ilmu alan~.Hasil kajian mikro
ini akan sangat menarik jika dimaknai secara lokalitas untuk memperkaya kajian usaha pembaruan desa di tingkat yang lebih luas. Responden &an dimaknai secara humanis yang dianggap sebagai subjek penelitian (tineliti). Hubungan antara peneliti dan tineliti adalah bersifat satu kesatuan, bersifat subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi di antara keduanya. Peneliti menyadari bahwa realitas bersifat sosial dan karena itu dapat menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari masyarakatnya, seperti juga disebutkan oleh Salim (2001: 62) bahwa dengan demikian. tidak ada realitas sosial yang dapat dijelaskan secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian bersifat interaktif, sehingga fenomena dan pola-pola keilmuan dapat dirumuskm dengan memperhatikan gejala hubungan yang terjadi di antara keduanya. Jadi interaksi dan pern'aknaan kita (peneliti dan tineliti) tentang dunia luar yang dijadikan fokus penelitian kualitatif ini. Artinya,
sejauhmana kita memberikan interpretasi terhadap penlahaman di luar diri kita tentang fokus penelitian yang sedang dilakukan, yaitu pembaruan desa itu sendiri.
Strategi dan Pendekatan Lapangan Strategi Umum Perjuangan pembaruan desa yang dilakuka~imerupakan suatu konsep yang sangat abstrak (absurd) oleh karena itu akan dicari konseptualisasi seeara kritis mengenai: 1) Apa penjelasan yang &pat menampalikannya? 2) Apa faktor-faktor (variabelnya) pendukungnya? 3) Bagaimana kemudian itu yang dilakukan dalam rangka mensukseskan perjuangan perubahan sistem pemerintahan desa? Usaha pemahaman dilakukan melalui gambaran perjuangan aosisasi-asosiasi atau kelembagaan di desa dan bagian-bagiannya dengan cara melakukan pendekatan personal, tatap muka, yang secara langsung terjadi di lapangan (lokasi penelitian). Proses pengambilan dimulai dengan memberikan wacana historis dari perkembangan perjuangan kelembagaan yang ada dan konsern terhadap perubahan ke arah yang lebih baik (pembaruan). Pemahaman juga diperlukan
untuk memberikan penjelasan tentang apa perubahan-perubahan yang diharapkan? Sehingga kita dapat rnengetahui arah perubahan. Selanjutnya, arah perubahan (out-put out-came) dapat digali kembali tentang bagaimana proses pembaruan dilakukan dalam rangka mencapai kondisi yang diharapkan. Penggalian yang telah dikurnpulkan tersebut memberikan struktur idiologinya dan struktur sosial kelembagaan, serta infrastruktur material pendukungnya. Usaha di atas didukung dengan data dan dokumen pendukung seperti prossiding kegiatan yang diambil dari Lappera Indonesia dan FPPD (Forum Pengembangan Pernbaharuan Desa). Hal ini dilakukan untuk melengkapi kajian yang sudah dilakukan di lapangan. Kemudian penjelasan-penjelasan dari para responden diulas dalam wawancara yang harus dilakukan di lapangan. Untuk memahami proses dan hasil wawancara selanjutnya, proses observasi (pemahaman terhadap kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan politik) mendapat prioritas penting untuk juga dilakukan. Hal inilah pentingnya seorang peneliti
h a s tinggal di lokasi penelitian yang lebih dekat dengan para informan dan
realitas sosialnya, yaitu memahami struktur sosial, status sosial para aktor, dan relasi-relasinya sehingga pada akhirnya menciptakan suatu ruang sosial yang dapat dipahami dan dituangkan dalam laporan penelitian ini.
Penentuan Loltasi Lokasi penelitian
yang
dilakukan
adalah
di
Kabupaten
Bantul.
Pertimbangan pemilihan lokasi dilakukan karena: perfarno, Bantu1 menjadi inisiasi terbentuknya lembaga-lembaga atau asosiasi perjuangan perubahan sistem pemerintahan. Seperti FKPD (Forum Komunikasi Pemerintahan Desa), ABPEDSI (Asosiasi Badan Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia), APEDSI (Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia), Asosiasi CariWSekretaris Desa, Paguyuban Dukuh, dan lain-lain. Kedzia, Bantul n~enjadicentrn issue tentang desa dan perubahannya yang menjadi rujukan di wilayah sekitamya atau di kabupaten lainnya, seperti di Kalimantan dan sekitarnya. Ketign, Bantul mempunyai kebijakan pemerintahan daerah yang populis memberikan dampak pada masyarakatnya secara langsung. Keentpnt, Bantul merupakan wilayah pinggiran Yogyakarta (sub-urban) yang berada di wilayah pesisir yang mempunyai tingkat partisipasi lembaga sosial yang dipertimbangkar secara politis oleh pemerintah propinsi DI Yogyakarta. Pertimbangan pemilihan lokasi penelitian di desa yang menjadi sasaran mikro kajian ini adalah dina~nikagerakan masyarakat yang sudah berkembang mulai tahun 1998 dalam mensikapi pernasalahan di desa yang dianggap melakukan penindasan. Keempat pertimbangan peneliti dilakukan berdasarkan pada kondisi sosial masyarakat yang bergerak aktif melakukan respon sosial dan politik. Pemilihan ini juga tidak mempertimbangkan kondisi bencana gempa bumi pada tanggal 27 Mei
2006 yang sempat mengguncang Jogya dan sekitarnya hingga di Klaten Jawa Tengah. Namun berdasarkan kenyataan tersebut, peneliti justru dapat lebih leluasa melakukan penggalian data. Peneliti dapat mudah masuk dalarn lingkungan sosial budaya masyarakatnya, sekaligus kemudahan untuk mendapatkan akses terhadap lingkungan birokrasi dan kebijakan-kebijakan politik Pemerintahan Kabupaten Bantul.
Pengumpulan dan Analisis Data Sebelum melakukan penelitian lapang untuk pengumpulan data langsung dari masyarakat, peneliti terlebih dahulu melakukan pengumpulan data skunder mengenai aktifitas-aktifitas perjuangan lembaga pembaruan desa yang tersedia di lembaga-lembaga
pendamping
(NGOs)
seperti
Lappera
Indonesia
(di
Yogyakarta), Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD). Data yang tersedia meliputi manuskrip-manuskrip catatan proses pendampingan (prossiding)
dan laporan-laporan kegitan pendampingan (reporting). Laporan yang dipilih adalah laporan kegiatan yang berkaitan dengan proses pembaruan desa terutarna penguatan pemerintahan desa melalui issue perubahan kebijakan yang berkaitan dengan desa. Kegiatan-kegiatan yang teIah dilakukan seperti kegiatan lokakarya, seminar, dan forum diskusi baik di tingkat lokal Bantul maupun di tingkat nasional (Jakarta). Penelurusan selanjutnya dilakukan untuk menemukan subjek matter &tor pembaruan desa di Bantul. Dari data dan dokumen yang telah diperoleh maka penelurusan terhadap subjek matter penelitian dilakukan dengan menentukan kontak personnya terlebih dal~ulu.Pemilihan kontak person dikaji bersama aktivis pembaruan desa di Lappen Indonesia. Penelitian lapang dimulai dari n~elakukan kunjungan ke lokasi-Iokasi atau rumah kontak person yang telah ditentukan berdasarkan kepentingan permasalahan penelitian. Dari hasil tersebut ditemukan kajian-kajian yang menarik tentang wacana pembaruan desa yang dimiliki oIeh setiap aktor pembaruan desa, aksi-aksi pembaruan desa yang telah dilakukan di Kabupaten Bantul dan di Desa Gadingsari, termasuk kondisi kehidupan sosialbcdaya masyarakat desa di Gadingsari. Kegiatan pengkajian terhadap aktor pembaruan desa, peneliti mendapatkan gambaran realitas ideologis dan kondisi empiris tentang perjuangan desa di Gadingsari yang telah dilakukan sejak tahun
1998. Gambaran realitas sosial yang diperoleh dianalisis dengan mengembangkan data yang diperoleh dengan melakukan dialog bersama (FGD) dalam prosesproses diskusi. Peneliti melakukannya karena mendasarkan diri pada pandangan bahwa realitas sosial merupakan suatu yang relatif bersifat subyektif
(interpretable) terutama sangat terkait dengan pengalaman para aktor pembaruan di desa kajian yang secara bersama-sanla melakukan reinterpretasi. Peneliti juga melakukan reduksi data dari banyak informasi yang diperoleh dari banyak subject matter. Reduksi data dilakukan setelah semua informasi yang diperoleh dilakukan pencatatan. Hasil reduksi data disajikan dalarn bentuk rangkaian naratif deskriptif untuk menjelaskan alur kerja pembaruan desa yang telah dilakukan di Desa Gadingasari Kabupaten Bantul. Beberapa tabel dan gambar juga ditayangkan untuk memperjelas analisa deskripstif dan paparan yang sifatnya argumentatif terhadap temuan di lapangan. Penulisan laporan penelirian secara tematik dan sistematis penelitian tersaji dalarn bentuk bab dan sub-bab yang diberi judul sesuai dengan tematik yang telah disistematisasi. Sebagai kajian akhir sistematika penulisan lapran penulis mencoba menarik kesimpulan berdasarkan kajian dilapangan yang telah diperolell, sehingga penulis secara sengaja menyajikan beberapa data dilapangan yang telah diperoleh, bahkan terjadi penyajian ulang informasi dalam penulisan kesimpulan. Itu dilakukan agar pe~iarikankesimpulan seminimal mungkin tidak terlepas dari kajian yang telah dilakukan. Walctu Pcnelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Oktober 2006 yang secara rinci dapat dipaparkan dalam tabel berikut: Tabel 3. Jadwal Penelitian Lapangan Pembaruan Desa di Bantul Waktu Penelitian (Timing)
KARAKTER DAN CITA-CITA KABUP'ATEN OTONOM
Perjalanan sehuah kebudayaorz .... Banhrl... masa depan dihangun dari niloi, tradisi, karakter... Masyarakat yang gigih, seni yang hidup dun menghidupi, Kerajinan jelmaan dari nilai seni, akar budaya, etos kerja dun ekrotisme. (Pasar Gabusan, TVRI: 3 Oktober 2006)
Perkembangan menjadi Kabupaten Bantul Kabupaten Bantul secara administratif menjadi bagian dari provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), selain empat daerah lainnya. E~npatdaerah lainnya adalah Kabaten Sleman, Kota Yogyakarta, Kabupaten Gunung Kidul, dan Kabupaten Kulonprogo. Perjalanan sejarah yang terlekatkan pada kondisi masyarakat Bantul yang sangat ulet dan penuh nilai perjuangan tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah perkembangan wilayah Bantul sebagai suatu wilayah Kabupaten paling Selalan Kota Yogyakarta. Wilayah Bantul sebagai basis pejuangan kemerdekaan juga perlu diperhitungkan. Bahasan tentang perjuangan pembaruan desa yang dilakukan di Bantul tidak bisa dilepaskan dari pengalaman sejarah sosio-budaya dan politik masyarakatnya sebagai bagian dari sistem sosio-budaya-politik DI Yogyakarta (YK) sebagai suatu daerah istimewa. Kondisi yang demikian tidak mengalihkan keterkaitan Bantul sebagai kesatuan kepercayaan 'tradisional' masyarakatnya yang inhern dengan budaya Jawa Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu, menjadi sangat menarik untuk dipaparkan sejarah sosial politik masyarakat desa di Bantu1 untuk menciptakan pembahasan yang tidak lagi ahistoris. Artinya konteks yang kita lihat hari ini tidak mengabaikan kondisi perjalanan masyarakat srbelumnya. Paparan singkat membahas tentang kesejarahan kewilayahan Kabupaten Bantul. Bantul merupakan kota perjuangan yang dapat diperlihatkan dari gerak perlawanan beberapa pahlawan kemerdekaan Indonesia, keterkaitan sosio-budaya dan sistem kelembagaan politik yang terpusat di Keraton Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat (Daerah Istimewa Yogyakarta). Bantul menyimpan banyak kisah kepahlawanan yang terkait dengan wilayah Yogyakarta sebagai kota
pahlawan perjuangan kemerdckaan dari ekspansi dan kolonisasi Belanda. Perlawanan masyarakat Yogyakarta tidak bisa dilcpasknn dari wilayah Bantul sebagai wilayah pesisir yang digunakan untuk melakukan konsolidasi dan penguatan bala tentara pribumi dalam melakukan perjuangan perebutan kepenguasaan penjajahan Belanda khususnya. Seperti yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi di Ambar Ketawang dan upaya pertalianan Sultan Agung (1628-1629)'~ di Pleret Kabupaten Bantul. Sebuah peristiwa yang penting dicatat adalah Perang Gerilya melawan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman (1948) yang banyak bergerak di sekitar wilayah Bantul. Wilayah ini pula yang menjadi basis, "Serangan Oelnoem 11 Marct" (1949) yang dicetuskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kisah perjuangan pioner penerbangan Indonesia yaitu Adisucipto dan terjadinya kecelakaan pesawat yang terjatuh dikarenakan tertembak tentara Belanda di Desa
go to^'.
Pada tahun 1755 terjadi perjanjian Gianti yang menghasilkan pembagian wilayah kerajaan Mataram menjadi dua bagian-1) Hadiningrat
dan
2)
Kasunanan
Kasultanan Ngayogyokarto
Surakart~. Kasultanan
Ngayogyokarto
Hadiningratan dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono I, yang mendirikan keraton tandingan di wilayah Yogyakarta. Kasunan Surakarta dipimpin oleh Sultan dari hasil Perjanjian Salatiga. Dari hasil perjanjian tersebut dinobatkan Pangeran Mas Said sebagai pendiri dan bersumpah setia kepada Sunan, VOC, dan Sultan serta menerima gelar Pangeran Adipati Mangkunegara. Tanah yang diberikan menjadi kerajaan yang memiliki pemerintahan sendiri (otonomi). Di Yogyakarta melingkupi wilayah dari utara Gunung Merapi, hingga pesisir selatan atau Wilayah Kabupaten Bantul. Tonggak awal pembentukan wilayah Kabupaten Bantul adalah perjuangan gigih Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda yang melakukan ekspansi penggalangan kekuatan masyarakat yang masih setia. Perlawanan Diponegoro distimuli oleh keruntuhan sosial politik Mataram akibat ekspansi dan eksploitasi Belanda pada awal pertama
11
Pcrlawanan sultan Agung mcngurlr BclmJ2 d m pclahuhu, mcr
" Dapat dilihat dari paparan sejarah Kabupaten Bantul di wv.banml.go,id
dekade abad ke-19 (1811-1816) yang dipandang merusak dan mengganggu yang semakin memperburuk posisi golongan elit pribumi dan mengakibatkan kehancuran sosial ekonomi secara umum. Hingga tahun 1820-an Diponegoro melakukan pemberontakan terbuka (Adas, 1988: 7-8). Pada pertengahan Juli 1825 Diponegoro yang 1010s dari tentara Belanda melakukan gerilya yang bermarkas di Gua Selarong Bantul sejak tahun 1825. Lepasnya Pangeran Diponegoro dari tahanan dikarenakan oleh kondisi keamanan yang dianggap tidak kondusif. Oleh karena itu, Belanda di Negeri Jawa mengangkat Komandan Belanda Hendrik Merkus de Kock untuk menyelesaikan pennasalahan dengan masyarakat pribumi dan khususnya penangkapan Diponegoro yang dianggap meresahkan ekspansi dan kolonialisasi yang dilakukan oleh Belanda. De Kock mempunyai siasat mengelabuhi dalam rangka pencarian dan penangkapan Diponegoro. Strategi penangkapan yang dilakukannnya adalah mengundang Pangeran Diponegoro dalam acara diskusi dan perundingan damai yang dilakukan di Magelang pada tanggal 28 Maret
1830. Setelah
penangkapannya ia diasingkan ke Manado (Adas, 1988: 7-8). Kemudian Pemeritah Belanda membentuk komisi khusus untuk menangani daerah
ort ten land en^'
yang antara lain bertugas lnenangani pemerintahan daerah
Mataram, Pajang, Sokawati, dan Gunung Kidul. Pada kondisi sekarang, beberapa keturunan Pangeran Diponegoro (keturunan keenam) masih altif dalam kegiatan perjuangan potensi lokal yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Bantul (MPB). Kontrak kasunanan Surakarta dengan Yogyakarta dilakukan untuk rnengkonsolidasikan kekuatan pribumi. Kontrak dibuat tentang pembagian wilayah maupun pembayaran ongkos perang, penyerahan pemimpin pemberontak,
dan pembentukan wilayah administratif. Tanggal 26 dan 31 Maret 1831 Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Yogyakarta mengadakan kontrak keja sama tentang pembagian wilayah administratif ban1 dalam Kasultanan I' Y d l o n d e n - dalam bukunya Takarhi Shiraishi (1997;l) - disebukan sebagai wilayah raja-raja pada masa kolonial di abad X K d m XX yang terdiri dari wilayah Surakana d m Yogyakar14 yang membcdakannya dari wilayah Jawa lain yang dikuarai oleh pemerintah Hindia Bclanda. Kedua wilayah it" mcrupokan tempat kedudukan empat kerajaan yang "berdiri scndiri" di bawah kekuasann negara Hindia Belwda. Di Kota Surakarta terdiri dari Keraton Kcsunanan dan Mangkuncgaran. Di Yogyakarta terdapat Keraton Kesultanan dan Pakunlanlan. Krempnlnya secara formal mcngakLI pcwaris Kerajaan Mataram - dinasti Jawa yang pemah memiliki kekuatan besar -- mercka jug= merupakan cipfaan kolonial Belanda yang mclemkkan wilayah kekuasaan iN di barvah dua karesidenan, yakni Surakartn dan Yogyakana. Sejak tahun 1743, Belanda sudah melakukan eksploitasi perpecahan intern, peperangan, dan kekacauan di dalam kerajaan Mataram untuk mempcroleh kekuasaan ekonomi, wilayah, dan politik yang lebih besnr.
Ngayogyokarto disertai penetapan jabatan kepala wilayahnya. Saat itu, Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi tiga kabupaten yaitu Bantulkarang untuk kawasan selatan, Denggung untuk kawasan utara, dan Kalasan untuk kawasan timur. Menindaklanjuti pembagian wilayah ban1 Kasultanan Yogyakarta, tanggal 20 Juli 183 1 atau Rabu Kliwon 10 sapar tahun Dal 1759 (Jawa) secara resmi ditetapkan pembentukan Kabupaten Bantul yang sebelumnya di kenal bernama Bantulkarang. Seorang Nayaka Kasultanan Yogyakarata bernama Raden Tumenggung Mangun Negoro kemudian dipercaya Sri Sultan Hamengkubuwono V untuk memangku (menduduki) jabatan sebagai Bupati Bantul yang pertama. Tanggal 20 Juli disakralkan sebagai ditetapkannya Hari Jadi Kabupaten Bantul yang setiap
tahun menjadi rutinitas perayaan llari ulang tahun jadinya kabupaten yang mandiri dan otonom. Selain itu, tanggal 20 Juli tersebut juga memiliki nilai simbol kepahlawanan dan kekeramatan bagi masyarakat Bantul mengingat Perang Diponegoro dikobarkan tanggal 20 Juli 1825. Pada masa pendudukan Jepang, pemerintahan berdasarkan pada Usamu Seirei nomor 13 sedangkan sfadsgemente
ordonantie dihapus. Kabupaten Memiliki hak mengelola rumah tangga sendiri ( o t ~ n o m ) ~Pada ~ . kondisi seperti inilah kesadaran masyarakat Bantul tentang pengakuannya terhadap keistimewaan Yogyakarta sebagai suatu wilayah dengan sistem pemerintahan kasultanan. Kemudian setelah kemerdekaan, pemerintahan ditangani oleh Komite Nasional Daerah untuk melaksanakan UU No 1 tahun 1945. Tetapi di Yogyakarta dan Surakarta undang-undang tersebut tidak diberlakukan hingga dikeluarkannya UU Pokok Pemerintah Daerah No 22 tahun 1948 dan selanjutnya mengacu UU Nomor 15 tahun 1950 yang isinya
pembentukan Pemerintahan Daerah Otonom di seluruh Indonesia.
" WWW.banNLgo.id
BANTUL: Potensi Ujung Selatan Yogyakarta. Bantul mengikuti sistem insitusi yang mengatur tentang pemerintahan di atasnya berdasarkan perundangan pemerintahan Republik Indonesia. Wilayah Kabupaten Bantul yang sekarang mencapai angka pang pasti yaitu dengan luas wilayah 508,85
merupakan 15,900io dari luas wilayah Propinsi DIY. Kondisi
dam dalam kacamata topografi dapat pilah menjadi dataran tinggi dan dataran rendah. Pada dataran tinggi wilayah Bantul mendominasi hampir separoh lebih hingga 60% datarannya adalah daerah perbukitan yang kurang subur. Sisanya, sebagai dataran rendah 40% di mana wilayah perkotnan, perkantoran, pemukirnan penduduk, dan sektor-sektor ekononli yang bern~unculansecara perlahan-lahan, tidak drastis, dan dapat dikendalikan oleh pemerintah kabupaten. Kabupaten Bantul termasuk wilayah bagian selatan dari Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman di sebelah Utara. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, serta di Selatan berbatasan langsung dengan laut lepas yaitu Samudera Indonesia. Pada posisi di bagian selatan yang berbatasan langsung dengan laut lepas inilah, Kabupaten ini mempunyai banyak potensi kelautan yang dapat dipergunakan sebagai wisata pantai. Wisata pantai yang potensial dilihat dari arah Barat ke Timur adalah dapat disebutkan antara lain: Pantai Samas, Pantai Parangkusumo, Pantai Parangtritis, Pantai Parang Dog (ndog). Selain wisata pantai, potensi wisata perikanan dan termasuk wisata pelabuhan yang dalam waktu mendatang direncanakan pembangunannya. Pada kondisi yang sangat stratcgis, wilnyall Kabupatcn Bantul dapat dipilah dalam empat sektor seperti: 1) Sektor Bagian Barat, adalah daerah landai yang kurang tingkat kesuburannya dan sebagian berbentuk perbukitan yang rnembujur dari Utara ke Selatan seluas 89,86 !an2 (17,73 % dari seluruh wilayah); 2) Sektor Bagian Tengah, adalah daerah datar dan landai merupakan daerah pertanian yang subur seluas 210.94 km2 (41,62 %); 3) Sektor Bagian Timur, adalah daerah yang landai, miring d m terjal yang keadaannya masih lebih baik dari daerah bagian Barat, seluas 206,05 km2 (40,65%); 4) Sektor Bagian Selatan, adalah sebenamya m e ~ p a k a nbagian dari daerah bagian Tengah dengan keadaan alarnnya yang
berpasir dan sedikit berlaguna, terbentang di Pantai Selatan dari Kecamatan
Srandakan, Sanden d m Kretek. Penggunaan tanah sebagai sumber daya ala~nnyadibedakan dalam tata guna lahan yaitu: 1) penggunaan lahan yang dipergunakan untuk pekarangan adalah seluas 18.327,15 Ha (36,16 %); 2) pcnggunaan lahan untuk sarana produksi pertanian adalah digunakan untuk persawahan seluas 16.823,84 Ha (33,19 %), dan untuk pertanian tegalan digunakan dengan luasan lahan sebanyak 7.554,45 Ha (14,90 %); 3) lahan tanah yang dipergunakan untuk tanaman perhutanan seluas 1.697,80 Ha ( 3,35 74). Dari lokasi luasan penggunaan Ialian untuk menunjang sistem pertanian yang dimanfaatkan oleh masyarakat Bantul tanah juga digunakan untuk pengairan yang paling utama adalah penggunaan tanah untuk daerah aliran sungai. Di Kabupaten Bantul terdiri 6 sungai yang mengalir sepanjang tahun dengan panjang 114 km2. diantaranya adalah 1) Sungai Oyo yang mempunyai k ~km: ~ 3): Sungai Code : panjang kurang lebih 35,75 km;2) Sungai ~ ~ a 19,OO 7,00 km;4) Sungai Winongo : 18,75 km;5) Sungai Bedog : 9,50 km;6) Sungai Progo : 24,OO km. Projotamansari: Karakter "Pembangunnn" Kabupaten Bantul Kabupaten Bantul mempunyai semboyan Projotamansari yang merupakan kependekan dari produktif-profesional, ijo royo-royo (hijau). Dada masa Orde B~IU di era awal tahun 90-an, Projotamansari digunakan sebagai perlambang kekhasan daerah Bantul sebagai pencipta imnge dan solidaritas persatuan kewilayahan. Beberapa harapan kekuatan yang diambil dari semboyan tersebut adalah: Produktif
-
Profesional, diartikan bahwa semua potensi daerah baik
sumber daya dam maupun sumber daya manusianya dapat berproduksi sehingga mampu memberikan andil terhadap pembangunan daerah, juga hams profesional dalam arti kata penekanan kepada setiap warganya dari berbagai profesi, agar mereka betul-betul matang d m ahli dibidangnya masing-masing. tolak ukur profesionalisme ini dapat dilihat dari kualitas hasil kerjanya dihadapkan dengan
" Sungai yang keberadaannya diperkirakan terdapat pusal gempa yang terjndi pada tanggal 27 Mei 2006 dengan kckuatm 5 9 SR (menurut BMG) atau 6.2 SR (menurut Badan Meleorologi dan Geotisika Amerika)
efisien penggunaan dana, sarana, tenaga serta waktu yang diperlukan. Ijo Royo-
Royo dapat dimaknai sebagai kawasan yang liijau dengan banyak pohon-pohonan. Tida ada sejengkal tanah pun yany ditelantarkan scliingga baik di musim hujan maupun di musim kemarau di manapun akan tampak suasana yang rindang, perlu diingatkan kepada masyarakat bantul bahwa bagaimanapun bantul tumbuh terlebih dahulu sebagai kawasan agronomi yang tangguh dalam rangka mendukung tumbuh berkembangnya sektor industri yang kuat di masa mendatang.
Tertib diartikan bahwa setiap warga secara sadar menggunakan hak dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya sehingga t e n n ~ j u dkehidupan pemerintahan dan kemasyarakatan yang tertin semuanya secara pasti, berpedoman pada sistem ketentuan hukum 1 perundang-undangan yang esensial untuk terciptanya disiplin nasional. Aman yang artinya bahwa tenvujudnya tertib pemerintahan dan tertib kemasyarakatan akan sangat metnbantu terwujudnya Lcan~anandan ketentraman masyarakat, kondisi aman ini perlu dit~~tija~ig denii terpeliharanya stabilitas daerah. Sehat dalarn arti bahwa tertibnya lingkungan hidup yang akan dapat menjamin kesehatan jasmani dan rokhani bagi masyarakat/manusia yang menghuninya. Asri dalam arti bahwa upaya pengaturan tata ruang di desa dan di kota dapat serasi, selaras dan seimbang dengan kegiatan-kegiatan manusia yang menghuninya sehingga akan menurnbulkan perasaan kerasan, asri tidak hams mewah tetapi lebih cenderung pemanfaatan potensi lingkungan yang bersandar pada kreatifitas manusiawi. Kabupaten Bantul sudah berumur 175 tahun (20 Juli 1831-2006). Dinarnika dan perkembangannya sudah dialaminya bukan tanpa masalah. Permasalahan politik, sosial, ekonomi menjadi pengalaman yang mengiringi perkembangan suatu wilayabnya. Bantul yang memiliki visi Bantul p~jotamansarisejahtera, demokratis, dan agarnis, selain mengembangkan potensi diri yang ada, pengembangan dilakukan dengan strategi demokratisasi untuk melakukan peningkatan kesejal~teraanmasyarakatnya. Pengembangan kehidupan keaagamaan juga menjadi pertimbangan penting masyarakat Rantul melakukan hubungan perikehidupan. Pertimbangan transenden menjadi suatu kekuatan dan potensi lokal yang sangat dihargai oleh masyarakat Bantul. Pertimbangan transenden yang dirnaksud adalah kegiatan masyarakat yang selalu memperhatikan faktor di luar dirinya yang mempengaruhi tata pola perilaku d m peran-peran yang hams dimainkan.
POTENSI DESA GADINGSARI, SANDEN, BANTUL Sejarah Dcsa Gadingsari Gemericik air. di setiap trliran irigasi
Rimbun pohon n~embaltrf111nslnl~nrztiiseliap perkarangan Kesungyinn Oukan lagi kesendjrian,.
Sebelurn diadakan penggabungan desa-desa yang kecil pada tahun 1946, di Kecamatan Sanden terdapat 13 kelurahan. Pada tahun 1946 turun peraturan daerah yang isinya pemerintahan kelurahan diberikan otonomi sendiri sehingga diadakan penggabungan dan menjadi 4 buah kalurahan. Kelurahan tersebut berhak menjalankan pemerintahannnya sendiri. Ada tiga belas kelurahan yang ada s e b e l ~ m gabungan yaitu: Sidoharjo; Kartoponco; Srihardono; Mandemas; Ronggosari; Kalijurang; Srabahan; Pugeran; Gunungwingko; Sedayu; Nomporejo; Sokorejo; Rojoniten. Kelurahan-kelurahan setelah terjadi penggabungan adalah: Kelurahan Gadingsari, yang men~pakan gabungan dari Kelurahan Sedayu, Nomporejo, Rojoniten, dan Sokorejo. Kelurahan Murtigading, yang merupakan gabungan dari kelurahan Sidoharjo, Kartoponco, dan Srihandono. Kelurahan Gadingharjo, yang merupakan gabungan dari kelurahan Mandemas dan Ronggosari. Kelurahan Srigading, yang merupakan gabungan dari kelurahan Kalijurang, Srabahan, Pugeran, dan Gunungwingko. Desa Gadingsari yang merupakan gabungan dari 4 kelurahan mempunyai 18 dukuh (dusun). Dukuh yang ada dahulu tetap dipertahankan sampai sekarang dan tidak mengalami perubahan. Dukuh-dukuh yang ada di desa Gadingsari adalah: berasal dari dukuh yang berasal dari kelurahan yang tcrdahulu telah digabungkan dan tetap dipertahankan yaitu: Kelurahan Sedayu, yang terdiri dari 4 dukuh, yaitu Dukuh Kenteng, Dayu, Ketalo, dan Klatak. Kelurahan Sokorejo, yang terdiri dari
4 dukuh, yaitu Dukuh Soka, Sorobayan, Bongos I, dan Bongos 11. Kelurahan Nomporejo yang terdiri dari 7 dukuh, yaitu Dukuh Klagaran, Tegesan, Nampan, Nanggulan, Demakan, Wonorejo I, dan WonorejoII. Kelurahan Nomporejo merupakan wilayah yang terluas yang mengadakan gabungan menjadi Desa Gadingsari. Kelurahan Rojoniten, yang terdiri dari 3 dukuh, yaitu Dukuh Patihan, Wonoroto, dan Demangan.
Nama Gading mempunyai sejarah pada nxsa jalnan perang Pangeran Diponegoro, dimana terdapat tanah yang digaris dengan gading gajah. Garis yang ada tersebut membentang dari Barat - 'Timur. Desa-desa yang dilewati oleh garis yang dibuat dengan gading gajah tersebut akhimya menggunakan nama gading. Disebelah barat akhimya di jadikan Desa Gadingsari. Dan di sebelah Timur Desa Gadingsari terdapat Desa Murtigading. Sebelah Timur Desa Murtigading adalah Desa Gadingharjo, dan paling Timur Desa Srigading. Pembuatan garis tersebut terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII. Sebelah Utara garis milik Belanda, yang sering disebut dengan pelandan. Pelandan merupakan tanah otonomi Pemerintah Belanda yang dapat dengan bebas menerapkan kebijakan atas tanah tersebut. Tanah Peiandan dapat disewakan kepada pihak lain, dengan jangka waktu sampai 75 tahun. Pada masa Pernerintahan Belanda orang-orang Indonesia diwajibkan bekerja di tanah pelandan tanpa mendapatkan imbalan. Pihak yang menyewa tanah pelandan juga mengambil tenaga kerja dari rakyat Indonesia dengan imbalai yang sangat rendah. Rakyat Indonesia diwajibkan membayar pajak kepada Sultan dengan wujud minyak goreng yang disebut dengan bonong. Sehingga tanah yang berada di sebelah Selatan garis disebut dengan Kebonongan. Di sebelah Selatan garis merupakan tanah milik rakyat Indonesia. Setiap padukuhan sebenarnya mempunyai sejarahnya sendiri, seperti Padukuhan Kenteng. Pada jaman Perang Diponegoro, bila melewati suatu daerah, biasanya Pangeran Diponegoro meninggalkan sebongkah tanah hitam. Tanah hitam tersebut disebut dengan kenteng. Salah satu wilayah Desa Gadingsari a& yang ditinggali tanah hitam ole11 Pangeran Diponegoro. Zusun yang ditinggali sebongkah tanah oleh Pangeraan Diponegoro tersebut, kemudian disebut dengan Padukuhan Kenteng. Penggunaan dari tanah bengkok seperlima untuk kas desa, seperlima untuk para perangkat desa yang diberhentikan. Sisanya tiga per lima bagian untuk menggaji perangkat desa yang baru. Lurah mendapat enam bagian dari tiga per lima bengkok desa, carik mendapat lima bagian dan sisanya empat bagian untuk lain-lain. Tanah bengkok masih dimanfaatkan secara konsisten oleh para pihak yang telah disebutkan di atas. Setelah gabungan, perangkat-perangkat desa diberhentikan dengan hormat dai~diberi sawah (bengkok), yang berdasarkan masa
jabatannya. Masa kerja kurang dari 2 tahun tidak memperoleh. Masa kerja dua sampai lima tahun memperoleh seperdelapan dari bengkok waktu menjabat. Masa kerja lima sampai sepuluh tahun memperoleh seperenam dari bengkok w a h menjabat. Masa keja lebih dari sepuluh tahun mendapat seperlima dari bengkok pada saat menjabat. Pada tanggal 16 Desember 1946 diadakan pemilihan pamong praja. Dan pada tanggal 18 Desember 1946 diadakan pemilihan Lurah Gadingsari. Lurah barn dipilih melalui pemilihan langsung. Cara yang digunakan dalam pemilihan langsung ini yaitu mengumpulkan penduduk di suatu tempat. Penduduk tersebut dibentuk ke dalam kelompok-kelompok, kemudian setiap kelompok ditanyakan pilihannya. Penggunaan hak suaranya dengan mengacungkan tangan. Pada pemilihan tersebut sepuluh kepala keluarga diwakili oleh satu orang. Perangkat Desa pada waktu dulu disebut Pat~rongPrda yang terdiri dari Lurah dibantu oleh Carik, Kaum, Kabayan , Kamitua, dan Jagabaya. Pembantu-pembantu lurah tersebut dibantu oleh rata-rata satu orang pembantu. Pada waktu gabungan, pamong-pamong yang menjabat adalah: Lurah Desa Gadingsari dijabat oleh Muhsunmad Muhajid, dari Padukuhan Wonorejo. Carik Desa Gadingsari dijabat oleh Sastrowiyono, dari Padukuhan Bongos 1. Carik desa dibantu oleh 2 orang pembantu yaitu Bapak Notosuwito dan Bapak Darmosuparto. Kaum Desa Gad'igsari dijabat oleh Bapak Muhammad Dahlan, dari Padukuhan Dayu. Kaum Desa dibantu oleh satu orang
yaitu Bapak Reksowijoyo. Kabayan Desa
Gadingsmi dijabat oleh Bapak Martowihardjo dari Padukuhan Demangan. Kabayan dibantu oleh dua orang yang mengurusi masalal~administrasi dan dan pembagian air. Masalah pembagian air diserahkan kepada Bapak Sosrowihardjo. Kamitua Desa Gadingsari dijabat ole11 Bapak R Darmowiharjo dari Padukuhan Bongos. Kamitua dibantu oleh satu orang yaitu Bapak Widyo. Jagabaya Desa Gadingsari dijabat oleh Bapak Hardjodinomo dari Padukuhan Wonorejo. Jagabaya dibantu oleh satu orang yaitu Bapak J&wa.
Kondisi Wilayal~dan Kependudukan Wilayah Desa Gadingsari (yang selanjutya clisebut Gadingsari saja) rnempunyai luas wilayah desa 81 1.7430 Hektar. Pembagian lahan diperuntukan pembangunan pemukirnan penduduk seluas 350 Hektar, untuk lahan pertanian seluas 296 hektar, untuk sarana jalan 16,4 hektar, empang atau perikanan adalah 2,l hektar, untuk sarana pemakaman umum seluas 3,2 hektar, dan sisanya
digunakan untuk yang lain-lainnya. Delapan belas padukuhan terintegrasi dalam suatu wilayah pedesaan di Desa Gadingsari, yaitu: Dayu, Kenteng, Ketalo, Klatak, Soko, Sorobayan, Bongos I, Bongos 11, Klagaran, Tegesan, Nampan, Nanggulan, Demakan, Wonorejo UI, Wonorejo 11, Patihan, Wonoroto, dan Dernangan. Dan padukuhan yang ada masing-masing dikepalai oleh seorang Dukuh, kecuali di Padukuhan Ketalo yang sudah tiga tahun yang lalu tidak mempunyai Kepala Dukuh, serta Padukuhan Klathak dan Wonorejo 2 yang semenjak pemilihan Kepala Desa yang baru, tahun 2004 tidak memiliki Kepala Padukuhan. Kondisi perkampungan di Gadingsari terbentuk berdasarkan kelornpok-kelompok padukuhan yang terpisahkan dengan batas pertanian sawah dan ladang atau juga bisa dipisahkan dengan jalan perkampungan yang sebagian terbesarnya adalah jalan tanah yang telah mengeras tanpa lapisan aspal atau batu kali. Pada kondisi musim kemarau atau "rnusim ketiga" kondisi jalan perkampungan akan mengering, sehingga mobilitas penduduk di atasnya membuat kondisi jalan menjadi mudah sekali menimbulkan debu kecoklatan yang terbawa oleh angin laut. Gadingsari mempunyai wilayah pantai yang iiiasih belum dikelola sebagai potensi wisata laut. Pengelolaan potensi wisata Iaut di wilayah pantai dapat membcrikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitarnya, yang dalam
ha1 ini, belum mendapatkan perhatinn pemerintah. Gadingsari secara administratif berada di bawah Pemerintahan Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul-DIY. Gadingsari dapat ditempuh dari Kota Yogyakarta selama setengah jam perjalanan dengan jarak tepuh kurang lebih 27 krn. Berdasarkan batas-batas wilyahnya, Gadingsari di bagian utara berbatasan dengan Desa Caturharjo, di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia atau yang sering disebut dengan Pantai Selatan. Di sebelah timur tlerbatasan dengan Desa Murtigading, dan di sebelah barat berbatasan langsung
dengan Desa Poncosari. Batas desa biasanya dibuat dari tembok-tembok atau gapura yang sudah terlihat menjadi tua. Gapura atau tembok-tembok perbatasan tidak membuat masyarakat Gadingsari untuk membuat jarak antara masyarakat di luar wilayah desanya. Penduduk Gadingsari mempunyai keseimbangan jumlah gender antara lakilaki dan perempuan yaitu 5.307 orang (jiwa) dan 5.965 orang (jiwa) dengan tingkat kepadatan penduduknya adalah 1.389 orangKm2 dari jumlah KK 2361 orang. Prosentase jumlah penduduk Gadingsari didominasi oleh usia produktif sebesar 55% dari jumlah penduduk yang ada, diikuti oleh usia non produktif sebesar 16%, selebihnya adalah termasuk dalam kelompok usia 10-19 tahun. Diantara kelompok usia produktif memiliki jenjang pendidikan yang bervariasi dimulai dari pra-pendidikan (Preschoole) pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Pendidikan masyarakat tidak hanya berhenti pada tingkat pendidikan
dasar, melainkan mereka sangat berharap menyelesaikan pendidikan tinggi. Seperti yang dapat disajikan dari tabcl tingkat kelulusan pendidikan masyarakat Gadingsari di bawah ini: Tingkat Kelulusan Pendidikan Masyarekat Desa Gadingsari Pada tahun 1995-2005 PERGURUAN SLTP SLTA SD TAHUN TINGGI 195 404 282 612 1996 142 373 200 1 984 43 8 388 1.023 2006 2.015 948 Tabel 4.
1
Sumber Monograft Desa Gad~ngsar~ 1996-2006
Kecenderungan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi adalah suatu
prioritas
bagi
masyarakat
Gadingsari.
Perjuangan
untuk
menyekolahkan anak-anaknya biasanya dilakukan dengan memberikan sebagian tanah yang dimilikinya untuk biaya melanjutkan sekolah. Bersekolah bagi masyarakat mempakan suatu pilihan pang menarik, mereka akan memilih menjadi orang sekolahan yang sederhana, dari pada tanpa pendidikan yang gemerlap. Tingkat pendidikan orang dapat meningkatkan status keluarga di masyarakat.
Mata Pencaharian Masyarakat Dcsa Penduduk Gadingsari yang niempunyai tanah luas semakin mendominasi. Masyarakat Gadingsari hanya melnpunyai rata-mta luasan tanah antara 500-700 meter persegi. Walaupun, ada beberapa warga nlasyarakat yang mempunyai tanah lebih dari satu hektar. Untuk anggota masyarakat yang baru berkeluarga, akan mendapatkan tempat tinggal bersama keluarga laki-laki, atau menetap di rumah keluarga perempuan. Mereka biasanya belum mempunyai tanah garapan selain tanah yang digunakan untuk bertempat tinggal. Pada umumnya, orang tua memberikan warisan tanahnya kepada anak-anaknya, sehingga bagi anak yang sudah berkeluarga, mereka cenderung mengharapkan bagian dari tanah warisan orang tuanya. Bagi mereka yang sudah berkeluarga berkewajiban mencarikan n&ah bagi keluarganya. Berdasarkan kondisi alam dan struktur tanah yang subur masyarakat mempunyai mata pencaharian sebagian terbesamya adalah petani. Tabel 5. tentang jumlah penduduk menurut pekerjaan dan prosentasenya dari tahun 1996 sampai dengan 2006 dapat memperjelas jenis pekejaan masyarakat Gadingsari yang disajikan berdasarkan data dari monografi desa di tahun 19962006, dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Pekcrjaan dan Prosentascnya Pada Tahun 1996-2006
Jurnlah penduduk yang bekerja sebagai petani28pada tahun 1996 sebesar 50 persen lebih, hingga tahun 2006 turc~nmenjadi 34,77 persen. Pemilikan lahan pertanian sebagai mata pencahariannya hanya m'aksimal pada luasan lahan 500-
700 meter persegi. Walaupun ada yang men~ilikitanah luas lebih dari 1 hektar. Dari jumlah prosentase tersebut yang utama dapat disebut sebagai buruh tani yang hanya menggarap sawah milik orang lain, baik yang dimiliki penduduk desa Gadingsari ataupun di luar desa, karena sebagian dari mereka tidak mampunyai lahan sendiri. Oleh karena itu, banyak jumlah petani yang berstatus sebagai buruh
tani karena mereka tidak memiliki tanah garapan sendiri. Biasanya mereka menggarap tanah milik orang tua mereka, atau para tetangga yang dilakukan secara bersama-sama atau maro. Di lapangan, jumlah masyarakat Gadingsari yang bekerja sebagai buruh tani secara keseluruhan harnpir mendominasi jumlah pekerjaan lainnya. Terutama, menurut masyarakat pekerjaan sebagian terbesar dari masyarakat Gadingsari adalah sebagai bunlh tani. Artinya, penduduk Gadingsari masih menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian. Walaupun, kalau kita melihat data pada tabel di atas prosentase petani dan buruh tani semakin berkurang. Artinya, ada peralihan pekerjaan dari sektor pertanian ke luar pertanian (offfarm). Mereka yang masih tergantung pada sektor pertanian, sebagai petani dapat mengerjakan tanah milik orang lain, dan mendapat imbalan dari hasil keja mereka tersebut. Disamping itu, ada juga penduduk yang menyewa
atau
m e m b e ~ tanah i ~ ~ dari kas desa. Harga sewa tanah kas desa ini lebih murah bila dibandingkan dengan menyewa dari orang lain atau pihak lain. Sistem sewa ini dilakukan oleh LKMD, yang diserahkan kepada Pokgiat LKMD (Kelompok Kegiatan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) di masing-masing Padukuhan. Pihak L W D sudah menentukan harga tanah kas desa tersebut kepada Pokgiat LKMD, kemudian ditawarkan kepada para petani yang hendak menyewa. Harga 28 Penulis mengintrr~retasikan bahwajumlah petani ndalah sebagai profesi yang digeluti sebagai pekerjaml kcsehariannya, akan telaoi stahlsnva sebaeai aemilik lahen (oetanil atau oekeria buruh tani (bumh tani) tidak daoat dioisahkan secara ielas. ~elanjuh;~adata, iumh &i knebut di atas'adalah adalk daia pekeja teni'yang t i d k memiligi tank sendiri, &an ;etapi mereka mempunyai profesi sebagai petani. Pada akhimya, jumlah petani yang berstatus sebagai bumh tani mempakan iumlah petani Y&K bukan sebagai ietani ~emiliklahan. Artinva data monografj desa tidakmenielaskan status sosial has)ar&at s c c - m i c p ~mau kcku&~n& tcrdapat inlcrprctm )3ng berbc~aolrllpamung dcra )ang mcmbcr!kan data ISIM monogrsfi dcsa yang sudah djfom~atcecsra scrapam 01th pcmcrlnlh p~lsa,\3ag r c c m Lhusur dapcgunakan unruk kepentingan pembangunan pcmerintali. Kebiasaan sewa-menycwa tanah kas desa dianggap membeli dalam kumn wahu tertentu yang telah disepakati bcrsama berdasarkanharga yang telah dibayarkan kepada pemerintah desa.
'I
sewa tanah tersebut lebih tinggi dari yang ditctapkan oleh LKMD. Kelebihan harga sewa tersebut digunakan untuk kekayaan Padukuhan. Uang yang terkumpul bisa digunakan untuk pengembangan dusun tersebut. Misalnya pembangunan pos ronda, pengerasan jalan, dan pembangunan jembatan. Masyarakat Desa Gadingsari men~pakanmasyarakat desa yang memberikan sumbangannya pada sektor ekonomi pertanian. Gemericik air yang mengalir sepanjang tahun mendukung sistem pertanian masyarakatnya yang juga mencerminkan eksistensi masyarakat petani. Sebelum ada irigasi yang dibangun pemerintah, pertanian di Gadingsari menghasilkan panen yang tidak menentu. Rada sistem yang lebih baik seperti sekarang, masyarakat Gadingsari dapat membuat perencanaan tanam selama tiga kali dengan pola padi-padi-palawija. Selain sebagai petani, masyarakatnya bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta yang berada di luar wilayah desanya bahkan banyak di antara mereka juga bekeja hingga sampai di Yogyakarta. Hanya sebagian kecil dari mereka yang bekeja sebagai nelayan atau pekerjaan jasa seperti bengkel, salon, dl].
Mobilitas Masyarakat Desa Masyarakat Gadingsari walaupun secara geografis berada di ujung selatan Kota Bantul, namun mereka tidak ketinggalan dalam melakukan mobilitas ke luar daerah. Mobilitas masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu mobilitas domestik dan mobilitas mancanegara. Masyarakat yang melakukan mobilitas domestik artinya mereka hanya lnelakukan perjalanan dan perpindahan di lingkungan dalam negeri saja. Seperti, misalnya mereka yang bekerja di Bantul, Yogyakarta, hingga ke Jakarta. Mobilitas masyarakat di dalam kota Bantul atau DIY dapat setiap kali pulang dan sering juga disebut nglaju. Sehingga, mereka
bahkan hampir dapat setiap hari bertemu anggota keluarganya, karena mereka cenderung untuk tidak menginap atau mondok di Yogyakarta. Hal ini juga dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah kendaraan yang dimiliki oleh masyarakat Gadingsari yang selalu meningkat. Kalau pada tahun tujuh puluhan, masyarakat Gadingsari masih melakukan mobilitas menggunakan sepeda ontel hingga ke luar kota. Biasanya, mereka berdagang hingga sampai di Gombong, Tarnbak,
Sumpiuh, bahkan sampai di Cilacap. Bagi mereka para pedagang yang melakukan mobilitas ke luar kota karena barang yang dijajakan mendapat apresiasi harga yang lebih tiuggi, dan sekaligus mereka dapat mendapatkan barang dagangan dari luar kota untuk di bawa kembali ke Bantu1 dan Yogyakarta. Akan tetapi, dengan meningkatnya mobil angkutan dan sepeda motor3', kegiatan berdagang ke luar kota menggunakan sepeda ontel sudah tidak lagi dilakukan, karena pertimbangan biaya dan waktu. Pada kondisi belurn ada kendaraan bermotor tersebut, sebenarnya dengan menggunakan sepeda ontel keuntungan yang didapat lebih banyak karena mereka tidak lagi membeli bensin dan merawat mesin mobil. Mereka hanya cukup berbekal peralatan tembel ban dan pompanya, tempat minum dan tempat makan untuk persediaan makan dan minum di jalan. Biasanya, ketika berdagang ke luar kota mereka tidak sendiri, melainkan berjalan beriringan, dengan hiburan yang dilakukan di setiap perjalanan, sehingga perjalanan tidak melelahkan.
Pada kondisi yang demikian masyarakat pedagang keliling
merasakan keguyuban dan kerukunan masyarakat masih terjaga. Berbeda dengan kondisi sekarang yang dirasakan sangat jauh meninggalkan nilai-nilai masyarakat, misalnya dengan meningkatnya kendaraan bermotor masyarakat sudah tidak saling bersapa dengan tata krama masyarakat desa. Dapat dicontohkan seperti ketika masyarakat bertanya di tcpi jalan mereka hnnya duduk di atns kendaraan bermotor yang masih menyala mesinnya, sehingga seolah tidak memberikan penghargaan kepada masyarakat di tepi jalan yang ditanyai. Bagi masyarakat yang melakukan mobilitas mancanegara biasanya kembali dalarn waktu yang relatif lama, hingga dua sampai lima tahun, bahkan ada beberapa anggota masyarakat yang hingga sepuluh tahun belum memberikan kabar kepada keluarganya. Masyarakat yang melakukan mobilitas mancanegara biasanya mendapatkan banyak nilai rupiah setelah dikurskan karena nilai rupiah sedang menurun.
Masyarakat
mengalami
peningkatan
kekayaan
yang
kecenderungan dibelanjakan dalam bentuk kendaraan bermotor, renovasi rumah dan membeli tanah pekarangan.
lo Peningkatan jumlah kendaraan dalam kumn waktu lima belas tahun adalah 418 motor pada tahun 1996,ZOOl menjadi 573, 2006 meningkat hingga 1232 buah. Mobil secara betumt-tumt 24, 25, 70 buah mobil (Monografi Gadinsari 1996, 2001,2006).
Mobilitas domestik tidak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pekerjaan, dapat juga
dimanfaatkan untuk
kepentingan
administrasi pemerintahan,
pendidikan, dan kesehatan. Masyarakat mengurus keperluan persyaratan pemerintahan dilakukan secara swadaya tanpa tergantung lagi dengan birokrat pemerintah desa. Untuk masyarakat yang melanjutkan sekolah di Yogyakarta juga tidak lagi hams indekos atau kontrak rumah karena dengan kendaraan motor yang dimilikinya, sewaktu-waktu dapat pulang ke rumah. Peningkatan kesehatan juga dirasakan oleh masyarakat, terutama bagi mereka yang menginginkan pelayanan kesehatan yang intensif dapat dilakukan di Yogyakarta dengan cepat, karena masyarakat biasanya cenderung langsung ke rumah sakit di Yogyakarta untuk penyakit yang membahayakan. Mobilitas untuk menjenguk tetangga yang mondok di rumah sakit pada saat sekarang sudah tidak Iagi kesulitan karena kepemilikian kendaraan bermotor membantu mereka, yang biasanya dilakukan dengan berkelompok menggunakan mobil dan motor.
Kepercayaan dan Upacara Adat Masyarakat Desa Seperti dijelaskan di atas bahbva batas desa tidak menghalangi mereka untuk berhubungan langsung secara akrab. Interaksi di antara masyarakat di wilayah perbatasan desa rnenjadi semakin intensif ketika kebutuhan atas bahan pangan atau kebutuhan sehari-hari terjadi melintasi batas desa. Seperti, munculnya warung mie goreng dan godog (rebus), atau warung nasi goreng di wilayah perbatasan Desa Gadingsari dan Poncosari. Warung malam tersebut rnenjadi ramai oleh pengunjung yang melintasi batas desa yang sengaja untuk datang walaupun hanya untuk sekedar mencari angin atas kepenatan di rumah. Interaksi di antara mereka (pembeli) seolah sudah terlalu lama akrab Vamilier).
Keterkaitanan keakraban yang terjalin adalah karena latar belakang yang unik dan kecenderungan mempunyai profesi yang sanxa. Profesi atau latar belakang yang me~~dorong mereka untuk lebih intens berinteraksi adalah berdasarkan pada mata pencaharian, bertani, berdagang keliling, berjudi, yang dulu pernah dilakukannya bersama, atau yang sekarang masih dilakukan, seperti seorang polisi yang dahulu pemah melakukan gopyok (menangkap) masyarakat yang sedang berjudi. Pun
para polisi tersebut masih menjalanka~ltugasnya untuk melakukan penangkapan, terkadang terlihat mendatangi warung malam. Kewajiban untuk saling bertegur sapa di antara mereka yang saling kenal dirasakan sangat kuat. Bagi mereka yang belum dikenalnya, pasti akan ditanyakan secara lengkap dengan memulai dengan pertanyaan keberadaan tempat tinggal, anak siapa, asalnya dari mana. Masyarakat selalu menannyakan dari mana asalnya, dimana tinggalnya, dll, tapi itu yang paling penting untuk mengawali pembicaraan dengan masyarakat Gadingsari. Keterbukaan menjadi suatu ciri khas masyarakat Gadingsari yang hampir tidak banyak berbeda dengan masyarakat Bantu1 pada umumnya. Pun, terlihat pada konstruksi bangunan dan pembangunan halaman yang tidak memliki pagar pembatas sebagai simbol bahwa hubungan yang mereka lakukan adalah berdasarkan kejujuran dan keterbukaan. Batas halaman di antara tetangga tanpa pagar penutup yang membatasi jarak pandang dan interaksi lintas pekarangan
rumah. Kalaupun ada, pagar pembatas yang sangat rendah dan terbuat dari pepohonan. Dilihat dri kepercayaan yang dianutnya, masyarakat Gadingsari sebagian terbesar adalah beragama Islam yang jumlahnya mencapai 99% dari seluruh penduduk desa. Pada nilai-nilai religius yang diyakininya, masyarakat masih kuat menggunakan nilai budaya kejawen yang sangat mempengaruhi. Seperti, kepercayaan kepada wesi aji (benda-benda pusaka). Wesi r;j'; dapat berupa keris pusaka, tombak. Barang-barang tersebut dianggap rnemiliki pengaruh kekuatan dan kewibawaan bagi para pemiliknya. Pengaruh kekuatan yang dimaksud adalah memberikan suatu dorongan semangat bagi pemiliknya untuk menjalani kehidupan, ataupun kekuatan yang dianggap dapat merusak kehidupan pemiliknya yang dikarenakan ketidakcocokan dengan wesi aji yang dimilikinya tersebut. Oleh karena itu, biasanya seseorang yang mempercayai wesi aji akan sangat memperhatikan kecocokan dengan barang yang akan dan telah dimilikinya. Kepercayaan-kepercayaan inilah yang dianggap sebagai kekuatan dan nilai-nilai budaya yang tidak bisa diperdagangkan. Kehendak untuk dimiliki adalah pada wesi aji sehingga ini tidak dapat clitukarkan dengan nilai uang. Mereka tidak
sependapat dengan yang terjadi oleh banyak orang memperjual belikan barangbarang kepercayaan tersebut kepada orang luar hingga di manca-negara. Bagi
masyarakat yang mempercayainya, perdagangan wesi aji tidak menghargai nilai yang terkandung dalam kekuatan tersebut, terutama nilai kulural yang hams dijaga bersama. Budaya Jawa masih sangat tuempengaruhi kehidupan masyarakat Desa Gadingsari. Misalnya dengan adanya selamatan bagi orang meninggal. Mulai dari
3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, dua tahun, dan seribu hari. Selamatan dilaksanakan dengan mengadakan kenduri, dan mengundang anggota masyarakat lainnya di sekitar lingkungan rumah atau komunitas untuk ikut mendoakan orang yang sudah meninggal tersebut. Ada beberapa upacara-upacara adat yang pernah ada, sekarang disederhanakan pelaksanaannya. Misalnya upacara perti desa (Majemuk). Upacara bersih desa dilakukan setelah panen padi dilakukan. Upacara perti desa merupakan usatu ungkapan rasa syukur penduduk desa kepada Tuhan (yang berkuasa atas alam dan manusia) untuk hasil panen yang melimpah. Masyarakat membuatkan sebuah anzbengnn yang dikurnpulkan di suatu tempat
untuk dibacakan doa oleh Sesepuh desa. Ambengan adalah paket makanan berisi nasi, sayur-mayur dan lauk-pauk. Ambengan yang telah dibacakan doa oleh Sesepuh kampung akan dimakan bersama-sama dan kemudian dibagikan kepada masyarakat yang tidak datang ke acara bersih desa tersebut. Pada upacara perti desa, tiap keluarga memasdc dan memberikannya kepada para tetangga dan orang-orang dekat mereka (misalnya keluarga di tempat lain). Setiap keluarga biasanya membuat makanan bagian dari ambengan sampai lima puluh atau enam puluh paket makanan. Paket tersebut berisi nasi dengan lauk pauk dan sayur. Upacara perti desa (majemuk) biasa dilaksanakan pada bulan Mei-Juni. Namun upacara tersebut mulai disederhanakan pelaksanaanya. Tiap keluarga tidak lagi memasak dan memberikannya kepada para tetangga atau orang-orang dekat mereka. Tiap-tiap kelompok hanya mengumpulkan uang, kemudian membuat satu paket masakan untuk kendur:. Orang-orang yang datang kenduri cukup makan disitu dan tidak membawa bagian bagi orang-orang yang ada di rumah. Hampir tidak berbeda dengan upacara perti desa, terdapat upacara kenduri yang biasa dilaksanakan pada upacara tirakatan, orang berkumpul dalam satu tempat tertentu dengan membawa paket makanan dari rumah. Upacara dilakukan setelah semua orang berkurnpul untuk mengadakan upacara doa-doa bersama.
Berbeda dengan pelaksanaan kenduri sekarang. Sekarang kegiatan tersebut sudah disederhanakan pelaksanaannya. Scperti halnya dengan perti desa, pada umumnya kelompok masyarakat mengumpulkan uang untuk membuat makanan dan minuman bersama-sama. Setelah upacara doa sclesai, orang-orang yang datang berdoa tersebut makan. Orang-orang di rumah tidak mendapat bagian dari upacara tersebut. Upacara Kenduri dilakukan satu kali setiap tahun dipimpin oleh Kaum ~ o i s . Disamping ~' dua upacara tersebut, ada lagi upacara yang sudah mulai ditinggalkan, yaitu upacara pada hari besar agama Islam. Dahulu orang-orang saling berdatangan dan silaturahmi. Orang-orang datang saling memberi dan meminta maaf. Orang-orang muda datang kepada orang yang lebih tua atau orang yang dituakan. Orang-orang yang tua atau yang dituakan tidak dapat pergi kemana-mana karena mereka selalu didatangi oleh banyak orang muda. Berbeda dengan sekarang. Sudah jarang orang yang tua atau yang dituakan tetap tinggal di rumah, dan yang lebih muda datang untuk silahturahmi dan saling memaafkan. Tiap orang dapat pergi dan datang ke mana mereka suka. Orang yang tua atau yang dituakan dapat pergi untuk bersilaturahmi dengan orang lain. Mereka tidak hanya menerima kedatangan orang lain saja. Di beberapa tempat cukup kumpul di masjid setelah Sholat Idhul Fitri, kemudian saling bersalaman dan meminta maaf. Upacara-upacara lain yang pemah diramaikan banyak warga masyarakat adalah upacara ruwahan, selamatan, muludan. Upacara-upacara yang ada tersebut sudah jarang dilaksanakan. Pelaksanaan yang ndn, tiamun sudah tidak lagi seperti yang pemah dilakukan masyarakat terdahulu. Upacara yang dilakukan sudah banyak mengalami penyederhanaan. Misalnya masyarakat yang biasa menerima dan memberi makanan sampai lima puluhan paket bahkan enam puluhan paket, sekarang hanya membuat sedikit makanan paket. Penyederhanaan upacara tersebut untuk menghemat biaya. Untuk mengadakan upacara yang seperti dulu membutuhkan banyak biaya, karena ~nerekaharus membuat paket makanan dalarn jumlah yang sangat besar. Disamping itu akan sangat disayangkan makanan tersebut sudah banyak yang enggan mengkonsumsinya dikonsumsi anggota
" Kaum Rois mempakan orang-orang yang dituakan dan dianggap mampu memberikan doa-doa yang mujarab yang dilakukan pada saat kendurian, selamatan, dan acara doa-doa bersama lainnya. Kaum Rois berasal dari warga masyarakat sehingga dslam mcnjslankan tugasnya yang dilakukan dengan ikhlas, tidak mendapat gaji dari tanah kas desa alau Ian& lungguh. Berbeda dengan Kaum Beselit, walaupun fungsioya sama dengan Kaum Rois, namun bekerja dm jabaian strukhlral di Pemerintah Desa Gadingsaxi sehingga dalam menjalankan tugasnya mendapatkan gaji dari tanah lungguh desa.
masyarakat karena terlalu berlebih. Selain itu masih ada beberapa upacara yang sampai sekarang masih dilakukan, walaupun tcknis pelaksanaanya sudah mulai disederhanakan. Upacara-upacara tersebut antara lain mitoni, selapanan dan
selikuran. Mitoni adalah upacara tujuh bulanan bagi orang yang hamil, sedangkan selapanan adalah upacara selarnetan untuk bayi yang baru lahir. Pada hari ke -21 pada bulan puasa umat agama Islam diadakan kenduri. Kenduri yang dikenal dengan nama selikuran tersebut, dilaksanakan oleh masyarakat dengan membawa paket makanan dari rumah. Seperti kenduri pada saat majemuk dan tirakatan di atas, paket-paket makanan tersebut dikumpulkan di suatu tempat untuk mengadakan doa bersama. Mereka membawa kembali paket makanan yang telah didoakan bersama kembali ke rumah masing-masing. Namun pelaksanaan
selikuran sekarang sudah berbeda, umat Islam membuat satu paket makanan dan berdoa bersama di masjid. Makanan dan minuman yang ada merupakan masakan bersama, tidak dibawa dari tiap keluarga. Ada juga kelompok -kelompok adat yang masih percaya pada dewa. Mereka percaya bahwa segala sesuatu pasti ada yang menguasai (makhluk ghoib). Dalam melakukan upacara, mereka menggunakan sesaji sebagai bentuk persembahan terhadap dewa
Kelompok-kelompok adat tersebut anrara lain kelompok
wilujengan untuk melakukan selamatan bagi orang sudah mati, untuk pernikahan, panen dan lain-lain. Kelompok-kelompok ini sering dinamakan kepercayaan animisme. Dalam perkembangac jamannya
sekarang masyarakat mulai
meninggalkan kebiasaan kepercayaan tersebut, walaupun masih ada yang meluangkan waktu untuk melakukan ritual kepercayaan pemujaan tersebut, namun nilai religiusitasnya sudah berkurang. Atau dalam lain perkataan, walaupun ada masyarakat yang masih mengikuti ritual upacara kepercayaan animisme, akan tetapi mereka hanya sekedar mengikuti tak lebih menghayati, dan hanya digunakan sebagai simbol perayaan dan pergaulan dengan budaya masyarakat mengharapkan eksistensinya terjaga.
DINAMIKA HEGEMONI NEGARA DI DESA GADINGSAFU
UU No. 5 Talltln 1979: Desa Tanpa Kuasa Sebagai tinjauan atas UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa maka analisa digunakan dengan kacamata analisa ideologi pembaruan desa. Pembaruan desa merupakan salah satu issue yang menjadi motor penggerak dalam melakukan aksi dan perlawanan masif terhadap otoritarian negara (rezim). Perlawanan yang dilakukan adalah ditujukan pada tuntutan atas perubahan UU No
5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Apa yang membuat masyarakat dan para NGOs melakukan gerakan pembaruan atau tuntutan perubahan terhadap W tersebut? Secara historis, munculnya UU No 5 tahun 1979 adalah sebagai pengganti kekosongan pengaturan mengenai sistem pemerintahan terendah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Kartikasari & Simanulang
(1997: 85-86) menyebutkan Sahwa sejak dicabutnya undang-undang mengenai Desa Praja (UU No 19 tahun 1965), belum ada undang-undang lain sebagai penggantinya mengenai tata pemerintahan desa. Pada waktu itu yang menjadi landasan untuk mengatur tata pemerintahan desa adalah berdasarkan hukum adat yang berlaku di daerah masing-masing, yang ditetapkan
dengan peraturan
GubemurKepala Daerah. Oleh karena itu, terdapat bentuk-bentuk susunan organisasi pemerintahan desa yang beraneka ragam (kindly) di seluruh Indonesia. UU No. 5 Tahun 1979 merupakan suatu UU pengganti yang dikeluarkan oleh rezim Orde Baru untuk melakukan percepatan pembangunan. Alasan penggantian terhadap kebijakan undang-undang sebelumnya adalah proses percepatan pembangunan harus dilakukan. Salah satu agendanya pendukungnya adalah menggunakan satu parameter kerja-kerja dan perangkat pendukung. Artinya, pembangunan harus dapat terkontrol. Zakaria (2000: 4; Kansil: 1988: 17) menyebutkan bahwa dalam Butir a - secara tidak langsung disebutkan bahwa Undang-Undang Pemerintahan Desa (UUPD) No. 5 tahun 1979 ini menunjukan sebagai pengganti UU No. 19 tahun 1965 tentang Desa Praja (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 84). Yang pada awalnya, lanjut Zakaria, munculnya UUPD merupakan cara yang efiisien untuk melakukan pembinaan dan pengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakatnya. Akhirnya, pemerintahan
desa menjadi
terseragamkan.
Analisis
kritisnya
tentang
implikasi
diundangkannya UU No. 5 tahun 1979, dalam bukunya yang berjudul Abih
Tandeh (2000) memberikan gambaran bagaimana Orde Baru secara sistematis menghancwkan struktur kekuasaan sosial budaya nlasyarakat adat. Secara stmktur hukurn, munculnya kebijakan tersebut, menurut Widjaja (2003: 2) bahwa undangundang tentang pemerintahan desa yang lnenyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan Pemerintah Desa, sangat bertentangan dengan jiwa UUD 1945 (pasal 18). Selain bertentangan dengan UU formal di atasnya (UUD 1945), UU tersebut juga sangat berdampak secara sosial politik masyarakat. Di tingkat Desa, setelah diterbitkannya UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa mengakibatkhn kondisi desa yang otonom untuk menyelenggarakail kewenangannya sendiri secara bertahap terkikis dan tercerabut dari 'pemiliknya'. Walaupun asumsi awal, diterbitkannya undang-undang ini adalah untuk melakukan penyeragaman dan disinkronisasikan
(Antlov,
2003:
67) sehingga proses pembinaan dan
pembangunan dengan mudah dapat 'diratakan' (Zakaria, 2004: 8).
Strategi
pembangunan pedesaan pada tahap ini dianggap berhasil (Kartikasari & Simanulang (1997: 85-86). Menurut Antlov (2003: 57) keberhasilan strategi pembangunan pedesaan memberi perintah suatu motif yang sah mencapai tujuan yang lain: yaitu stabilitas nasional. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang cepat dan dengan menyandarkan diri pada kekuatan angkatan darat, Pemerintahan Orde
Bam secara efektif marnpu melakukan monopoli terhadap semua jalur kekuasaan tanpa mendapatkan perlawanan. Di Desa Gadingsari merupakan "Desa Jawa" yang secara umum mempunyai keseragaman pemerintahan yang digunakan sebagai rujukan pembentukan W tersebut di atas. Namun, pemerintal~andesa yang ada sangat bertentangan dengan kondisi lokal pada mulanya. Matinya kuasa masyarakat atas kepempimpinan lurah, namun lurah masih bisa memberikan perhatian kepada masyarakat dalam bentuk loyalitas kepada sistem sosial budaya masyarakat desanya. Seperti, menghidupkan upacara majemuk (bersih desa) yang melibatkan seluruh masyarakat desa dengan menggunakan seluruh intrumen penekan desa dalam setiap acara tersebut.
Indonesia sebagai negara republik (Negara Kesatuan Republik Indonesia:
NKRI) terjebak pada suatu kondisi yang amat terpusat menjadi negara otoritarian. Kondisi yang demikian disebut oleh Zakaria (2004: 6 ) sebagai Negara Otoritarian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NONKRI). Menurutnya fondasi "cakar ayam" negera ini terdiri dari: pertama, ditopang ole11 satu tiang utama (semacam
soko guru), yang terdiri dari 1) doktrin Trilogi Pernbangunan Orde Baru, yaitu suatu program pembangunan yang mengarah pada upaya-upaya pencapaian Stabilitas Keamanan,
Pertumbuhan
dan
Pemerataan,
serta
2)
doktrin
Hamkamnsrata dan Wawasan Nusantara, yang mengakomodasikan Dwifungsi
ABRI. Dengan doktrin kedua inilah, pemerintah Orde Baru membuat sistem birokrasi di Indonesia dengan tiga tampuk pimpinan yang berasal dari 3 (tiga) unsur. Masing-masing adalah 'pemerintahan sipil', militer, dan polisi. Ketiganya dilokasikan hingga tingkat kecamatan yang disebut sebagai Tripika (tiga pimpinan kecamatan) terdiri dari Camat, Koramil, dan Polsek. Tripika disebutkan mempunyai peran sebagai pembina desa di tengah kehidupan masyarakat desa sehari-hari. Tiang Utama ini ditopang pula oIeh tiga tiang penyangga lain yaitu: 1) penciptaan stabilitas politik ?an kean~anan;2) pertumbuhan ekonomi; 3) masalah pemerataan. Ketiga tiang penyangga diarahkan untuk memaksimalkan programprogram anti kemiskinan. Sayangya program tersebut juga alergy terhadap kebudayaan kemiskinan dan kemiskinan struktural (Zakaria, 2004: 7-9). Intemalisasi UU tersebut juga pada akhirnya memberikan pengaruh pada institusi lokal di Desa Gadingsnri. Kelembngaan lokal digantikannya. Selain, struktur pemerintahan adat diganti dengan pemerintahan desa, termasuk juga lembaga sosial masyarakat yang otonom diganti dengan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), yang anggotanya ditunjuk oIeh Kepala Desa dengan persetujuan Camat. LKMD kedudukannya tidak lagi otonom karena dipimpin oleh Kepala Desa yang dipilih oleh masyarakat tetapi bertanggujawab kepada pemerintah di atasnya (supra desa). LKMD merupakan lembaga pengembangan lebih lanjut dari LSD (Lembaga Sosial Desa) yang diturunkan dari atas dan sistem keanggotaannya pasif (Kartikasari & Sin~anulang (1997: 89). LKMD secara terstruktur dan topdown menjadi elemen penggerak pembangunan yang masif
(massive) dan pasif terhadap kehendak masyclrakat, karena mereka mengambil alih semua peran lembaga kernasyarakatan lokal yang sudah ada. Hegemoni di tingkat desa dilakukan ole11 pemerintah digambarkan juga dengan baik oleh Antlov (2003: 71-107) bahwa negara masuk melakukan intewensi terhadap desa seperti yang disebutkan dala~nbukunya Negara Dalam Desa. Kehadiran negara di Drsn menurut Antlov (2003) mirip dengan tiga langkah taktik militer, yaitu 1) pengiriman pasukan, 2) pertempuran, dan 3) pembersihan. Langkah pertamn adalah negara melakukan penetrasi pada urusanurusan desa dengan mendirikan papan-papan n a n a resmi didirikan di depan kantor desa, pejabat-pejabat di dalam seragam Golkar (Golongan Karya) menilai desa pada perayaan kemerdekaan dan panitia kebersihan desa mengawasi rakyat agar mengikuti perintah para pejabat. Kedua, adalah melalui penataran-penataran Pancasila (Suseno, 1995: 108), buku-buku mengajar rakyat untuk berpikir sesuai dengan apa yang diinginkan Pemerintah, yaitu hams menerima Orde Baru sebagai satu-satunya rezirn yang sah dari bangsa Indonesia, bekerja dengan rasa setia bagi pembangunan dan stabilitas nasional, dan menerima pembatasan-pembatasan kehidupan berpolitik.
Kefiga adalah negara rnemastikan
tidak
adanya
pembangkangan-pembangkangan. Para Babinsa berpatroli mengawasi masyarakat pada malam hari. Organisasi-organisasi para-militer merekrut ratusan anggota dan sistem pendaftaran yang meluas dan rinci memaksa rakyat agar selalu berhubungan baik dengan peminipin desa. Kescmuanya menggambarkan bahwa legitirnasi negara diperoleh menggunakan hegemoni yang dilakukan sangat kuat hingga di tingkat desa. Pada latar belakang inilah gerakan-gerakan pembaruan menjadi masif, baik dalam bentuk gerakan aksi hingga gerakan idealis yang rnencoba memberikan wacana baru terhadap kebijakan yang selama ini rnerugikan banyak masyarakat miskin. Kondisi demikian sangat dirasakan masyarakat desa sebagai kekuatan penekan, terutama masyarakat desa di Gadingsari. Mereka rnelihat bahwa munculnya pengawasan dari aparat (pemerintahan desa dan militer) berdampak pada aktivitas masyarakat. Gerak sosial politik lnereka terbatas, secara sadar dipahami, namun mereka tidak dapat dengan leluasa melakukan "perlawanan" mempertanyakan kondisi ketidaknyamanan tersebut.
UU No. 22 Tahun 1999: Pertentangan intern Pemerintahan Desa Selanjutnya, kemunculan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mempakan suatu perbaikan terhadap undang-undang sebelumnya. W No. 22 Tahun 1999 dikeluarkan oleh pemerintahan Habibie yang menggantikan Presiden
Soeharto
menggulingkannya.
saat Habibie
tuntutan
reformasi
mengakomodasi
menguat tuntutan
dan
akhirnya
masyarakat untuk
melakukan reformasi politik yang arahnya pada perubahan terhadap tatanan politik yang dahulu dibangun oleh Orde Banl. Perubahan yang dilakukan Habibie dalam rangka perubahan mekanisme politik tersebut adalah dilakukan dengan dua agenda yang sangat berpengaruh yaitu: dihapuskamya Dwi Fungsi ABRI secara bertahap; kedua, diberlakukkannya UU No. 22 tdmn 1999 menggantikan UU No
5 tahun 1979'~. Perubahan kebijakan tcntang Pemerintahan Daerah sangat berpengaruh terhadap hubungan kelembagaan pemerintahan desa. Sinergi hubungan antara pemerintah desa dengan BPD (Badan Penvakilan Desa) merupakan kemajuan demokrasi di desa. Posisi desa (secara normatif) juga semakin kuat menjadi suatu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang dimiliki (Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 0). Fenomena perubahan kebijakan yang secara sosiologis digunakan sebagai landasan normatif sangat berpengaruh terhadap realitas sosial dan menirnbulkan perubahan sosial, baik di tingkat organisasi sosial kelembagaan pemerintahan desa (pemerintah desa dan BPD) maupun pada lembaga sosial lokal desa yang lnempunyai kepentingan secara langsung atau tidak terhadap eksistensi otonomi desa secara nyata. Hal ini dinyatakan bahwa masih mcnjndi pertanyaan apakah tidak semua elemen pemerintahan desa memahami eksistensi dirinya sebagai pemerintahan kehendak rakyat yang dipilih oleli masyarakat dan hubungan fungsional mereka adalah kemajuan demokrasi yang menciptakan eksistensi masyarakat di dalam lembaga pemerintahan desa.
--
~
--
~
Lappera Indonesia, 2005. Cara Negara Menelikung Demokrasi: Catatan terhadap UU No. 32 tahun 2004 BAB XI tentang Desa,Jurnal Pembaman Desa dan Agraria, Volume 2 tnhun 2005. " Tim
Secara kritis, bahwa UU 22 Tahun 1999 (dan UU 25 Tahun 1999) ini hanya syrtefn), bukan sistem pengurusan mengatur sistem pemerintahan (gu~~crnnzent
(governance system). Artinya, kebijakan baru hanya mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang hubungan rakyat dengan pemerintah yang selama Orde Baru justm merupakan akar dari segala persoalan yang dihadapi n~asyarakatadat, yaitu tidak adanya kejelasan dan ketegasan batas sampai di mana pemerintah boleh (punya hak) mengatur dan mengintervensi kedaulatan masyarakat adat. Yang muncul sebagai akibat dari kebijakan yang tidak tegas dan tidak jelas ini adalah tumbuh-subumya perilaku politik "pengurasan" di kalangan elit politik, khususnya para bupati yang ~ mendapatkan penambahan wewenang yang cukup besar ( N a b a b a ~ ? ~2002). Argumen tersebut menguatkan tentang kondisi struktur pemerintahan yang hanya berfungsi sebagai kepentingan elit penguasa di tingkat lokal yang patus disebut sebagai raja-raja kecil di daerah. Peran pemerintah lokal yang mendapatkan
labeling sebagai raja kecil melakukan eksploitasi sumber daya daerah yang akhimya, kembali masyarakat menjadi terabaikan dari bagian yang seharusnya menjadi hak dasar dari terbentuknya pemerintahan terdesentralisasi dan otonom. Pemerintah pusat kembali mengkl~awatirkanmeluasnya kehidupan raja-raja kecil tersebut dengan kembali memikirkan bagaimana mengendalikamya. Usaha pemerintah sebagai lembaga pengatur tidak lain adalah diusahakan dengan menggagas ulang UU 22 tahun 1999 agar mengendalikan kehendak masyarakat yang terabaikan oleh kepentingan elit lokal atau raja-raja kecil. Kondisi pemerintahan desa di Gadingsari mengalami dampak dari bergulimya perundang-undangan tersebut yaitu kondisi yang tidak kondusif sistem interaksi antara pemerintah desa dengan lembaga penvakilan desa (BPD). Koordinasi yang dilakukan di antara kedua lembaga pemerintahan desa tidak dapat berjalan lancar untuk benar-benar berfungsi untuk mengaplikasikan kepentingan masyarakat. Beberapa kondisi yang terjadi di Gadingsari dalam perilaku tata pemerintahan desa adalah 1) Pemerintah desa yang diintereskan kepada Lurah mencoba mengakomodir kepentingan-kepentingannya atas nama " Sckrctaris Pelaksana Aliansi
Masyarakot Adnl Nurantara (AMAN)
pembangunan dalam banyak proyek pembanguna~lyang zccara material (fisik)
hams dapat dirasakan oleh masyarakatnya. Selain itu, pemerintah juga sangat berharap untuk mendapatkan bagian dari proses-proses pembangunan tersebut, seperti mendapatkan bagian dari kelebihan anggaran yang tidak terealisasi sepenuhnya pada kegiatan proyek pembangunan desa. 2) Pada pihak lainnya, yaitu lembaga penvakilan diposisikan secara yuridis sebagai lembaga kontrol dari aspirasi
masyarakat
menganggap
mempunyai
kewenangan
penuh
atas
pertanggungjawaban pemerintah. Hubungan persaingan dan seolah ingin saling menjatuhkan sangat dominan terjadi di dalam pemerintahan desa. Terutama, di Gadingsari posisi ketua pada lembaga perwakilan desa (BPD) diduduki oleh seorang mantan rival (persaingan calon lurah) Lurah yang sekarang duduk di pemerintah desa, maka nuansa subyektifitasnya lebih progresif terhadap banyak kebijskan yang dilakukan pada saat koordinasi kelembagaan dengan pemerintah desa. Pertentangan intern kelembagaan pemerintahan desa yang tersembunyi sampai termanifestasi pada akhirnya menafikan kepentingan kelembagaan yang seharusnya dijalankan, aspirasi masyarakat tidak terakomodir, dan koordinasi masyarakat dengan pemerintahan desa juga tidak terjalin dengan kritis dan kreatif. Hal ini menurut pemerintah desa adalah suatu bentuk arogansi lembaga penvakilan desa yang hanya dimaknai
sebagai lernbaga kontrol dari
pertanggungjawaban Lurah, tapi sayangnya subyektifitasnya masih tinggi dan faktor emosional dapat terlihat pada beberapa indikasi yaitu: 1) kepentingan pribadi BPD masih dominan dalam pengambilan kebijakan; 2) penangkapan issue sosial politik yang muncul di masyarakat; 3) penyelesaian masalah menjadi tidak terselesaikan secara subtantif, scperti pennngnnan "konflik" pembangunan kembali (renovasi) tanggul kali irigasi desa yang tidak sesuai dengan usulan. Perdebatan yang dilakukan hanya terbatas pada jumlah clan besaran biaya yang dikeluarkan, namun tidak pada kondisi kebutuhan masyarakat petani yang terdapat di desa Gadingsari dan bagaimana kebutuhan tersebut dapat dipenuhi setelah inventarisir permasalahan tersebut terselesaikan. Oleh karena itu, penyelesaian permasalahan secara substantif menjadi penting ketika kita akan membahas untuk keluar dari permasalahan yang melingkupi masyarakat. Artinya, kondisi pertikaian masih sangat dangkal dan tidak mengakar pada inti masalah.
UU 32 Tahnn 2004: 1<11asaPernerintnh Desa (Negara) Kekawatiran yang ditakutkun seperti di utas menjadi salah satu pertimbangan digantikannya UU No 22 tahun 1999, yang sangat dirasakan menggelisahkan kekuasaan dan kewenangan pemerintah. Kekawatiran yang lain atas perubahan peraturan tersebut adalah pertatna kekuasaan dan wewenang Bupati (kepala daerah) semakin bertambah, begitu pula DPRD. Ketakutan para
pihak adalah ha1 ini tidak berimplikasi pada kekuasaan dan wewenang pemerintah pusat di daerah. Pada kenyataannya peraturan perundang-undangan sektoral masih tetap kokoh dan berjalan seperti biasanya. Misalnya pencabutan HPH (Hak Pengelolaan Hutan), perkebunan besar, kuasa pertambangan masih tetap berada di tangan departemen sektoral. Dari sini bisa dipastikan otonomi daerah telah menyebabkan penambahan jumlah dan jenis kegiatan eksploitasi sumberdaya
alarn, terutama eksploitasi ilegal di luar kapasitas pemerintah untuk mengontrol. Kalau kecenderungan ini tidak segera dihentikan (atau paling tidak dikendalikan) maka otonomi daerah tidak pemah jadi solusi, bahkan akan meningkatkan laju pengemsakan diri masyarakat adat itu sendiri beserta habitatnya. (Nababan, 2002).
Kedua, karena adanya perubahan berbagai peratwan ketatanegaraan terutama setelah diamandelnemya UUD 1945 dan disamping itu diundangkannya berbagai peraturan perundangan baru dalanl bidang politik seperti: UU 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, UU No 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu, UU No 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD. Undang-undang bidang keuangan seperti UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Pcrbendaharaan Ncgara, UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara dan lain sebagainya (Murdianto, 2005: 7-8).
Ketiga, ada argumen yang menyiratkan bahwa perubahan UU No. 22 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah adalah untuk mengatasi kerancuan dan tarik menarik kewenangan antar lernbaga dan antar tingkat pemerintahan yang menyebabkan terjadinya counter productive terhadap penyelenggaraan otonomi daerah yang pada giliramya tnenghambat kinerja pemerintahan secara keseluruhan (~Murdianto, 2005: 7-8). Counter productive mempakan suatu
cerminan bahwa elit penguasa tidak lagi dapat melnkukan konsolidasi politik yang berguna unttlk memihak kepada masyarakat konstituennya. Keempat, pergantian perundangan itu adalah karena eksekutive heavy, bahwa kekuatan di desa dikembalikan lagi kepada kepala desa (executive hemy). Hal ini secara politik dapat dianalisa dari siapa yang berkuasa. Dimana Presidennya pada waktu itu adalah Megawati. Itu dapat dilihat lagi dari paradigma Mcgawati - pemerintahan, rezim saat perubahan undang-undang itu. Megawati, 1) ia akan memperukat NKRI, dan karena dia paling phobia dengan istilah federalisme dan seterusnya, dia ingin agar kembali pada sistem UUD 1945 sebelum diamandemen. Jadi ehekutive heavy; 2) latar belakang Megawati adalah PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) yang merupakan partai kuat di dalan: DPR berdasarkan hasil pemilu Tahun 1999. Orang-orang PDIP itu adalah orang-orang masih bersifat nasionalis yang kuat. Itu dapat terlihat baik di tingkat elit maupun di tingkat gressroot-nya. Itulah struktur politik yang dimiliki oleh Megawati, sang penguasa pada wnktu itu. Kcsc~llpatansebelum Megawati turunketika SBY (Susilo Bambang Yudoyono) akan naik menjadi Presiden setelah pilpres berlangsung--dia
mencuri start, mencuri waktu, mencuri kesempatan
dengan mengubah UU No. 22 Tahun 1999, dan itu kaitannya dengan pilkada langsung yang sampai sekarang didominasi ole11 PDIP; 3) adalah Megawati berharap untuk memenangkan percaturan politik di saat Pilkada - setelah turun dari Presiden Indonesia - di daerah-daerah. Hal ini terlihat bahasan pada UU No.
32 Tahun 2004 banyak membahas tentang Pilkada langsung. Perubahan undangundang tersebut merupakan strategi antisipasi PDIP pasca pilkada. Dan sekarang terbukti, sekian puluh persen pilkada di Indonesia dimenangkan oleh jago-jagonya
dari PDIP. Artinya, adalah kemenangan PDIP, dengan politik perundangur~dan~ann~a.~~ Kenyataan di Gadingsari diundangkannya UU No. 32 Tahun 2004 tidak membawa dampak yang signifikan terhadap perubahan sistem pemerintahan desa. Pembahan yang terjadi adalah pada formalisasi kelembagaan seperti suratmenyurat dalarn bentuk format surat dan kop surat yang sudah disesuaikan dengan
" Wawancara denean Tri Ramawati dari Pusat Pcnelilian Politik LlPPl Jakarla. .. oada . acara Seminar lnternasional 7
berjudul ~ ~ n a m i k a b o l i lLoknl ~ k dl lnduner~a Kuang untuk n,en,pr.r,u~ngk?n Kcpengmtm P ~ l t l ~ ldl i , K ~ r r p u r gPcrclk,
Tanggal 11-14 Agustur 2006 di Salauga)dng selrllggnrdk.m olch Pcrc~kJan F>rd F.lundaion
perundangan yang baru. Seperti, penggunaan fo~oln~at surat dan kop surat BPD (Badan Penvakilan Desa) menjadi BAMUSDES (Badan Permusyawaratan Desa).
Akan tetapi, secara substansi pembahan hubungan kelembagaan belum berubah. K o d i k tersembunyi (latency colgic) ~riasihsaja terjadi. Konflik yang laten dapat terlihat dari proses hubungan yang tidak seinlbong dalam proses koordinasi penanganan korban gempa dalam progl.am rehabilitasi dan rekonstruksi rumah pasca gempa. Pada kondisi tersebut Lurah rnenafikan kelembagaan di sekitarnya untuk diajak koordinasi (urun remhug). Hal ini terbukti, proses sosialisasi dan fasilitasi program rekonstruksi dan .rehabilitasi mmah pasca gempa tidak dilakukan oleh pemerintah desa kepada seluruh lapisan masyarakat, termas.uk perangkat pemerintah desa dan jajarannya. Hal ini juga diakui oleh Kaur Pemerintahan bahwa kami perangkat desa tidak banyak mengetahui mengenai instruksi dari Bupati dengan dikeluarkannya Surat Keputusan mengenai rekonstruksi dan rehabilitasi nunah pasca gempa untuk meinbantu masyarakat melakukan sosialisasi dan fasilitasi pembentukan
POKMAS. Hal ini,
mengakibatkan ketua BAMUSDES (BPI)) yang secara cepat diajak oleh masyarakat yang merasa tidak mendapatkan keadilan tidak hanyak berpikir untuk ikut melaporkan kondisi yang sangst memprihatinkan yang dialami oleh masyarakat korban gempa. Terutama, bagi mereka yang tidak mendapatkan bantuan sama sekali.
Kembalinya Resentralisasi: Tercerabutnya Peran Politik Masyarakat Pennasalahan substansi dari munculnya UU Pemerintahan Daerah yang baru diundangkan oleh pemerintahan Megawati adalall bagain~anakewenangan rakyat atas pertanggungjawaban pemerintah desa dan keberadaan rakyat dalam sistem pemerintahan tersebut. Pada awal sosialisasinya yang berdasarkan pada Surat Edaran Mendagri No 41012917lSJ ha1 yang paling menjadi perhatian publik adalah:
Pertama,
bahwa
pemerintah
desa,
kepala
desa
tidak
lagi
bertanggungjawab kepada rakyat adalah substansi mendasar dari sistem pemerintahan di desa. Pada dasarnya pemerintah desa kepala desa
- pada UU
&lam ha1 ini adalah
No. 22 Tahun 1999 h a s mempertanggunjawabkan
pelaksanaan tugas yang diberikan kepada rakyat melalui lembaga legislatif desa yaitu
Badan
Penvakilan
Desa.
Padn
undang-undang
yang
baru
pertanggungjawaban Kepala Desa ~Iitarikke atas kcpada Bupati melalui Camat. Sehingga, peran camat sebagai lembaga pembina (control) terhadap perankesetiaan pemerintah desa kepada pemerintah di atasnya. Masyarakat sebagai legitimasi pemilihan Kepala Desa mcnjadi terabaikan dari proses politik di desanya. Peran masyarakat hanya sebatas pada proses awal naiknya seseorang menjadi Kepala Desa. Selanjutnya, peran-peran politik masyarakat desa terabaikan dari kewenangan kontrolnya terhadap penyelenggaraan dan proses pertanggungjawaban pemerintah desa. dan Pada kondisi seperti ini, adalah suatu proses perninggiran terhadap kedaulatan masyarakat desa sebagai pemilik kewenangan sosial politik di desa.
Kedua, adalah bahwa pembentukan BPD sangat berbeda dari substansi penvakilan rakyat desa. Perubahan pemahaman dan kelembagaan BPD (Badan Perwakilan Desa) pada UU terclahulu adalah suatu energi dari substansi perwakilan dan demokratisasi di desa. Selain itu, RPD mempunyai fungsi kontrol, dan mitra pemerintah desa dalam bcntuk penvakilnnnya. Pada undang-undang yang bam Bamusdes (Badan Pernlusyawaratan Desa) - atau B P D ~versi ~ lain menjadi tercerabut dari aka!. dcmokrasi-subtn~lsinyn karcna keanggotaannya berasal dari wakil masyarakat seperti rultun warga, pemuka adat dan tokoh masyarakat &an menutup peluang partisipasi masyarakat. Bamusdes (BPD) menjadi lembaga yang elitis tidak mencerminkan demokratisasi yang partisipatif. Proses ini berdampak pada tahap mcnggebiri kclc~nbaganndesa sebagai badan legislatif desa. Artinya, sistern perwakilan tidak lagi menjadi fondasi utarna pembentukan lembaga legislatif yang seharusnya menjadi representasi masyarakat desa. Fungsi kelembagan BPD ditarik dari akamya yaitu masyarakat desa. ~ a m u s d e s ' ~(BPD) yang hanya memiliki kewenangan yang terbatas yaitu menetapkan peraturan desa dan menampung aspirasi masyarakat serta tidak adanya fungsi kontrol yang legitimate dari legislatif desa sebagai cek and
miring aimaksudkan adalah sebagai sebutan untuk BPD dalam ani yang dimaksudkan UU No. 32 Tahun 2004, atau BAMUSDES (Badan Permusyawarahan Desa, bukan Badan Penvakilan Desa). " Cctak
'Yang selanjutnya akan dinebut sebagai BPD (dengan cetak miring).
Balances dari pemerintah desa. Hal ini mcrupakan sebuah pengingkaran terhadap kedaulatan dan demokrasi rakyat di tingkat desa.
Ketiga, pengangkatan Carik secara perlahan-lahan menjadi pegawai negeri (PNS) atau pegawai negara. Permasalahan tidak hanya pada struktur penguasaan aparatur desa yang ditarik ke atas, akan tetapi secara horisontal hubungan di dalam intern pemerintah desa menjadi tidak lagi seimbang dan merusak tata nilai hubungan sosial kelembagaan di desa. Dimana, Carik akan cenderung berkiblat ke atas, dari pada melakukan konsolidasi ke bawah. Artinya, semangat otonomi desa tidak lagi dapat didiskusikan lagi, secara perlahan struktur pemerintah desa ditarik ke atas (supradesa). Selanjutnya, adalah permasalahan anggaran negara yang dimiliki, ketika hutang negara mencapai 17.000 triliun dolar US, dan dalarn kondisi musibah dan bencana yang melanda bangsa ini, membutuhkan anggaran yang lebih besar untuk menyclesaikan permasalahan tersebut. Bagaimana kalau misalnya, rencana penggnjian Carik dilaksanakan? Pastinya, akan dilakukan pengeluaran yang akan menambah beban pengeluaran negara. Apakah, negara mampu memberikan anggaran yang besar untuk memberikan konsekuensi atas statusnya Carik menjadi Pegawai Negara, dimana jumlah Carik mencapai lebih dari 63.000 orang (sesuai dengan junllah desa di Indonesia). Kecenderungan argumen di atas adalah suatu indikasi yang kuat dimana antara daerah khususnya Desa dengan pemerintah di atasnya akan kembali terhegemoni oleh peran dan fungsi Carik yang secara struktural di tarik ke atas di PNS-kan. Pemerintah Pusat tidak mau melepaskan otonomi daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Kuatnya otoritarian pusat untuk kembali pada negara sentralisme (recentralisation) dapat dilihat dari hasil lokakar tentang pandangan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah (desa) mengenai diundangkantiya UU No. 22 Taliun 1999 jika tidak diganti dengan UU No. 32
Tahun 2004, yaitu: bahwa UU No. 22 Tahun 1999 terlalu liberal dan federalis sehingga menjadi ancaman bagi NKRI, pembagian kewenangan terlalu mutlak pada daerah sehingga tidak proporsional, hadirnya raja-raja kecil yang membangkang, kaplingisasi, kurang perhatian terhadap ekstemalitas, menguatnya daerahisme, dan demokrasi lokal yang konfliktual dan berrnasalah (FPPD, 2004:
6).
Kekuatan positif (low offornialisj atas munculnya UU No. 32 Tahun 2004 adalah bahwa undang-undang ini meniadakan desa sebagai self governance
communiw, otonomi, tetapi undang-undang ini mempunyai kelebihan tentang prinsip pemerintahan yang baik dan IIAM. Undang-undang ini juga memberikan jaminan atas Anggaran Dana Desa (ADD), dan memberikan peluang atas dibentuknya kembali BPD kalau pada awalnya alasan penggantian menjadi Bamusdes (BPD)adalah karena banyak kasus pertikaian antara BPD dengan Kepala Desa. Artinya, terdapat kondisi yang menguntungkan secara sosial ekonomi bagi masyarakat desa.
Namun, secara politis kekuatan-kekuatan
masyarakat desa yang otonom belum mendapatkan perhatian, sebagai warga masyarakat hukum yang berhak untuk menentukan rumah tangganya sendiri. Kondisi yang sama juga terjadi di Gadingsari. Sistem pemerintahan sangat tergantung dengan kebijakan pemerintah tentang pembentukkan kelembagaan yang terkait dengan perubahan peraturan perundangan yang baru (UU No. 32
Tahun 2004). Dampak yang dirasakan adalah munculnya desakan dari masyarakat desa di 3 (tiga) dusun (Padukuhan) yang sudah berharap untuk mempunyai Kepala Dusun sendiri, untuk saat ini belum dapat terealisasi karena kebijakan dari pemerintah melalui Kepres Mendagri No 410129171SJ tentang pengaturan pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004. seperti di Dusun Ketalo sudah 3 tahun yang lalu tidak mempunyai Kepala Dusun karena "digulingkan" oleh masyarakat karena melakukan penghinaan terhadap tokoh masyarakat yang dianggapnya sebagai PKIDI-TII. Dan dua dusun yang lain adalah Dusun Klatak dan Dusun Wonorejo 2 yang tidak mempunyai Kepala Dusun setelah pemilihan Lurah tahun 2004.
PEMBARUAN DESA DI BANTUL
Pada kacamata sosiologis, seperti yang dlkatakan ole11 Weber (dalam Sztompka, 1994: 235) bahwa kekuatan magis dan religius dan ide, sejak dulu merupakan suatu yang sangat penting pengaruhnya terhadap tindakan yang dilakukan manusia dalam masyarakat. Pandangan Weberian di atas sangat berpengaruh terhadap proses penelitian yang dilakukan untuk melihat proses pembman desa di Bantul. Panduan analisis sub-bab di atas menjadi pedoman penelitian di lapangan, terutama untuk menjelaskan pokok bahasan selanjutnya. Oleh karena itu, wacana pembaruan desa bukan saja dicari dalam berkas-berkas dokumen, lebih dari itu dicari dari para aktor pembaruan desa yang banyak berperan di lapangan. Proscs sosial pembaruan desa dapat dianalisa melalui beberapa pendekatan, antara lain adalah 1) kesatuan sistem sosiaI yang kompleks (seperti: sistem ekonomi, sistem politik, organisasi sosial) yang tidak lain adalah hasil dari akurnulasi tindakan sosial yang lahir dalam perjalanan sejarah manusia; 2) tindakan individu, yang mana harus melakukan pembongkaran atas makna yang terkandung di dalamnya. Pada pendeltatan kedua inilah penelitian mengarahkan perhatiannya pada usaha merekonstn~ksi pandangan pembaruan desa individu masyarakat desa. Pada tindakan individu inilah diuraikan motivasi sosial yang memaksa orang untuk bertindak, maupun nilai-nilai sosio-kultwal, norma, dan hukum yang membentuk tindakan. Jadi faktor utama terletak dalam alam ide, keyakinan kategoris dan aturan nornlatif ynng dianut orang. Pada tingkat individu seperti ini biasanya bukan individu biasa, melainkan aktor-aktor berpengaruh, atau tokoh-tokoh besar, tokoh masyarakat desa yang memahami proses pembaruan desa. Selanjutnya diperjelas pada pernbahasan berikutnya.
Tokoh Besar: Sejarah Pembaruan Strul
" Kcrajaan Mataram pada tahun 1816, ketika Belanda kembali ke Jawa, telall terpecahmenjadi empal kerajaan, yaihl
Sur&arta, Mangkunegaran, Yogyakarta, dan Pakualaman. Sebelumnya pada tahun 1775, Malaram sudah lerpecah dua menjadi Surakarla dan Yogyakarta, yang menyangkut juga pembagian tanah dan lambing-lambang kerajaan serta scnjata pusaka
Para pemilik atau tuan-t~an'~tanah akan menempati posisi yang menguntungkan dibandingkan mcrcka yang hanya tllerniliki sedikit atau sama sekali tidak memilikinya. Kondisi sistem feodalisme memberikan kesempatan terlegitimasinya seseorang untuk menjadi penguasa dan masyarakat di bawahnya untuk mengakui kedudukan sosial-politiknya. Kekuatan legitimasi sistem kerajaan dapat membuat kekua~aanyang lebih besar lagi menciptakan suatu fenomena legalisasi kepemimpinan dan pengaturannya sampai pemimpin di tingkat bawah kepala desa, dukuh, hingga RT. Pada sistem feodalisme seperti inilah kekuatan seorang pemimpin dapat digunakan dalarn melakukan pengaruhnya yaag signifikan terhadap sistem pemerintahan (hegemoni). Sistem pemerintahan kerajaan di Ngayogyokarto Hadiningrat dipimpin oleh seorang Sultan yang mendapat gelar Sultan Hamengku Buwono, yang artinya adalah Sultan Pemangku Alam Raya. Pemerintah Republik Indonesia mengakui gelar kehonnatan yang boleh disandang Sultan sejak tahun 1945 yaitu, Sampaiandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo, Kalifatullah Ingkang Kaping
IX (untuk
Sultan Hamengku Buwono IX). Sebagai orang yang dihomati baik
sebagai pemimpin, penerus Nabi Muhammad di alam bumi, dan juga sebagai panglima militer. Singkatnya, ia adalah seorang yang menduduki tempat di puncak struktur masyarakat. Sultan bagi masyarakat adalah raja yang memiliki kekuasaan politik, militer, dan keagamaan yang absolut yang diakui secara tradisional, lebih jauh lagi dia dianggap mendapatkan bimbingan surgawi dan ditunjang serta dilindungi oleh berbagai kekuatan magis dari pusaka-pusaka kerajaan. Sultan menjadi sumber satu-satunya segenap kekuatan dan kekuasaan,
oleh karena itu mendapat posisi tinggal dan menetap di pusat komunitas yang diielilingi oleh abdidalem (kelas kaum priyayi), kawulodnlem (orang biasa). Konsep yang dipakai untuk menjelaskan posisi atau status Sultan dengan yang lain adalah dengan menggunakan lingkaran konsentris yang mengelilingi dan kedudukannya sebagai pusat. Lingkaran konsentris tersebut dapat dibagi menjadi lima tingkatan. Pertama di mana Sultan sebagai penguasa tunggal
Tuan tanah dimaknai sebagai orang yang dapat memanfaatkan tanah pernanfaatan tanah tersebut dilakukan tanpa mereka hams memilikinya. "
atau
sumber-sumber agraria, dalam kondisi
menempati wilayah kerajaan. Kedua, adalah Keraton, yang bertanggungjawab atas pemerintahan-dalam (Perenlah Je1.0). Pada lingkaran ini juga bertindak sebagai perantara antara Sultan dengan pcmcrintnh-luar. Kcrig([, nagara (Ibu kota), tempat kedudukan pemerintah-luar (Parentah Njaba). Pada lingkaran ketiga ini, merupakan tempat kediaman para pangeran, patih, dan para pejabat tinggi lainnya. Keempat, lingkaran Nagaragung atau nagara agung (Ibu kota yang besar). Pada lingkaran ini hampir semua tanah di sini merupakan tanah jabatan (tanah lungguh) para panggeran dan bangsawan lainnya. Kelin~a, lingkaran kempat adalah Mancanagara (negara asing). Pada lingkaran ini pemerintahannya diserahkan kepada Bupati yang tunduk kepada Sultan dan bertanggugnjawab kepada Patih. Seperti dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini. Sultan: sebagai penguasa tunggal
Keraton (Parentah Jero) Nagara: Ibu kota
(Parentah Njaba)
Nagaragung (ibukota yang besar)
Mancanagara (Negara-Asing)
Gambar 1. Lingkaran Konsentris Struktur status Jangkauan dengan Sultan. Sumber: adaptasi dari Soemardjan (1986: 29)
Berdasarkan diagram di atas maka posisi Kabupaten Bantul dapat dikelompokkan menjadi lingkaran kelima, Mancanagnrn (negara luar) yang diperintah oleh Bupati. Pada masa kejayaan Kasultanan, seorang Bupati ditunjuk oleh Sultan dan bertanggungjawab kepada Patih. Pada kondisi sebagai Mancanagara di wilayah lingkaran konsentris, Kabupaten Bantul menjadi wilayah peri-peri39 yang secara struktural mempunyai keterkaitan antara pemerintahan di pusatnya. Pada wilyah peri-peri bertugas mengabdikan kepada nagara dan Sultan sebagai sentrumnya. Oleh karena itu, pembahan-perubahan yang terjadi di sentrum sangat berdampak pada hubungan antara peri-peri. " Pen-pcd dimaksudkan sebagai wilayah pinggiran yang masih mempunyai liubungan ketergantungan dengan wilayah cenmmnya (Kasuasultanan). Tcrutama, dalam kacamalm teori sistem dlrnia wilayah peri-peri sudah melepaslm ketergantungannya dari wilayah cenwm yang dikatkannya lebih maju dm secara politis lebih berkuasa.
Di Yogyakarta - menurut mempunyai sejarah politik demokratisasi mempakan suatu wilayah yang mempunyai inisiasi dan melakukan perubahanpembahan politik yang meloncat dari suatu sistem feodal yang terpusat (ceniralisfic) menuju suatu struktur yang demokratis dan yang didesentralisasi dan berlangsung dalarn tempo yang sangat singkat, jika dibandingkan dengan perubahan dengan kapasitas yang sama di Eropa yang memerlukan waktu lebih dari se-abad untuk menjadi mantap (Soemardjan, 1986:306-329). Pembahan di Yogyakarta pada masa kolonialisasi Belanda dilakukan oleh pemerintah kesultanan Ngayogyokarfo Hadiningraf
-
Sultan Hamengku Buwono IX.
Walaupun menumt pendapatnya Adas (1988: 8-9) menyebutkan bahwa pembahan dalam organisasi kerajaan dan gaya hidup yang ingin diperkenalkan oleh orang Belanda dan Inggris (selama periode antara tahun 1811 sampai 1816) dalam dekade pertama awal abad ke-19, justru dipandang semakin merusak dan mengganggu.40 Sebelumnya, orang ~ n ~ t ~(Yogyakarta) n" tetap mengadopsi sedikit bentuk militer dan politik baru yang dibawa Belanda. Selanjutnya, proses-proses demokratisasi menjadi semakin berkembang di wilayah Yogyakarta. Keterbukaan pemimpin memberikan angin segar pada perkembangan demokratisasi. Seperti yang disebutkan oleh Sultan Hamengku Buwono
IX bahwa "tahta untuk rakyat". Artinya, semua pengorbanan Kasultanan
Ngayogyokarto
Hadiningrat
adalah
sebesar-besamya
untuk
eksistensi
masyarakatnya. Walaupun, secara politik kenegaraan, pada kesempatan seperti sekarang masih banyak tuntutan terhadap hak keistimewaan Yogyakarta sebagai wujud eksister~sitradisi keraton. Issue ini juga digunakan untuk memberikan wacana bahwa lokalitas dapat berfungsi dengan balk dalam sistem tradisi keraton dan menyentuh demokratisasi yang sudah berkembang lama di wilyah ini, seperti hilangnya
fungsi
bangsawan
sebagai
penghubung
antara
Sultan
dan
Masyarakatnya. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sengaja menghilangkan fungsi
UI
lnilah salah satu faktor yang me~idorong Pangeran Diponegoro untuk rnelakukan pemberontakan terbuka. Yang scbcnamya dilakukan untuk mengkaunter kebijakan pemerintdlan Belanda yang melakukan intewensi terlalu dalam pada sistem pemerinlahan dan kelernbagaan lokal yang sda di Jawa. Dan issue ini diputar-balikkan oleh Belanda bahwa Pangem Diponegoro melakukan pernberontakan karena tersingkir dari lingkungan keraton dan berharap alas tahtah kerajaan.
Jmvrr dicctak miring dimaksudkan menyebut Jmt.0 di Yogyakarta yang berpusat di Kasultanan Ngayogyokralo Hadniningrat Sccara teknis ini digunakan untuk mcmbedakan dengm Jnwa yang menunjuk pada Jawa Tengah, yang berpusat di Keraton Surakarta Solo.
"
tersetut (Soemardjan, 1986: 104). Artinya, proses dinamika pembahan sosial dan politik demokratisasi di Yogyakarta tidak pernah terlepas pada tokoh besar yang menyertsinya. Termasuk perkembangan perubahan sosial politik yang terjadi di Kabupaten Bantul bisa juga dianalisa menggunakan diskursus tersebut. Keterlibatan seorang pemimpin dalam mclakukan perubahan sosial tidak dapat dipisahkan ketika kita bicara tentang scope kewilayahan sistem pemerintahan negara, pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa. Dalam ha1 ini, para pemimpin pemerintah di setiap tingltatan struktur administrasi pemerintahan tidak dapat diabaikan. Para tokoh besar yang disebutkan oleh Sztompka, bahwa tokoh besar menlpakan agen dari proses pembahan. Sztompka
(1994: 259-274) menyebutkan sebagai great individual as agents of change. Artinya, melihat proses awal gerakan pembaman di Bantul dapat dilihat pada proses awal tokoh-tokoh besar sepelti yang disebutkan di atas. Untuk melihat berperannya para aktor besar tesebut, setidaknya ada beberapa pertanyaan untuk meng-guide kita ke arah penemuan tentang keikutsertannya aktor terhadap proses perubahan dalam wacana pembaman desa di Bantul. Apakah pembaruan desa muncul terlebih dahulu pada kepemimpinan Idham Sarnawi - sebagai Bupati Bantul - atau sebaliknya, kemunculannya sebagai stimulan instrumen untuk melakukan penyebaran pembaman desa di Bantul? Pada masyarakat Jawa mempunyai stmktur lingkaran konsentris, seperti yang telah disebutkan di atas. Lingkaran konsentris di atas menyebutkan dimana Sultan sebagai penguasa tunggal menjadi pusatnya (central). Sedangkan kalau kita melihat, posisi seorallg bupati akan menjadi sentral di kabupaten, sebagaimana kondisi Sultan di wilayah Keraton. Di Kabupaten Bantul mempunyai posisi central ditempati oleh Bupati Bantul sebagai pemegang kuasa atas kewenangan pemerintah di tingkat Kabupaten. Artinya, kehendak perubahan hams berkaca pada kepemimpinan seorang Bupati. Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya akan dipaparkan
mengenai
Kabupaten
Bantul
kepemimpinan Bupati Bantul mengembangkan pembaruan desa.
pada
masa
Pembaruan Politik Kebijakan Pemerintah Daerah Pembaruan yang dipaparkan adalah pada bagaimana perubahan di setiap lini dapat digambarkan. Itu adalah idealnya. Pada penelitian ini dipaparkan beberapa yang berkaitan dengan pembaruan desa terutama dilihat dari instrumen yang bermain dalarn issue pembaruan desa. Seperti, pemerintahii~lciaerah, pemerintahan desa, masyarakat dan NGOs. Selanjutnya digambarkan bagaimana setiap instnunen itu melakukan aktifitasnya mendukung pembaruan desa di Kabupaten Bantul. Artinya, dari setiap instrumen-instrumen yang ada, apa dan bagaimana yang dilakukan mencapai tujuan yang diharapkan (goals). Tujuan dari wacana pembaruan desa adalah terciptanya suatu tatanan pemerintahan desa yang mendukung kesejahteran masyarakat yang maju, adil dan berdemokrasi. Kabupaten Bantul yang mempunyai posisi di lingkar luar, sub-urban dari Kota Yogyakarta merupakan suatu potensi strategis menggalang kekuatan dalam rangka perjuangan demokratisasi menuju otonomi desa seluas-luasnya. Bantul menjadi kabupaten pertama yang menyambut bergulirnya UU No. 22 tahun 1999 dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perd?) yang inisiasinya berasal dari eksekatiP2. Pemda Bantul bergerak lebih cepat dibandingkan kabupaten lainnya
untuk masalah kebijakan yang berkaitan dengan pemerintahan desa yang seharusnya didahului oleh peraturan daerah (provinsi). Seperti diterbitkannya Perda No. 7 Tahun 2005 Tentang Transparansi dan Partisipasi Publik Dalarn Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Bantul. Artinya, untuk pembahasan di tingkat wacana mengenai kehendak menggulirkan Perda tersebut minimal satu sampai dua tahun sebelumnya. Sedangkan untuk Perda yang sama tersebut, di tingkat provinsi baru dibahas dalam wacana diskusi dan seminar tentang Raperda Provinsi DIY pada tanggal 25 Juni 2006 yang diselenggarakan oleh Konsorsium Advokasi Perda TIP (Transparansi, Infonnasi, dan Partisipasi). Munculnya, Perda partisipasi dan transparansi tersebut menunjukkan Komitmen Pemda adalah untuk mernpercepat agenda otonomi dari desa, karena dengan legalisasi tersebut kreatifitas lnasyarakat tidak lagi dapat dihambat, 75 Perda y m g ada di Bantul yang mana 74 Perda diasulkan oleh pihak eksekutif sebagai bagian dari hak inisialif, sisanys I Perda yang diusulkan oleh DPRD, itupun mcrup&m merupakan Perda yang mengatur lentang tala-lertib Dewan. Sampai saat ini ada 4 Raperda yang sudah diusulkm oleh masyarakat yairu dari Asosiasi Badan Penvakilan Desa Kabupaten Banlul.
" Ada
bahkan secara tidak langsung distimuli agar partisipasi masyarakat bawah segera terlaksana. Dalam kurun waktu Tahun 2000 pergolakan dan dinamika politik dalam bentuk partisipasi publik dalam pembentukan Perda tersebut sudah mulai mendapat respon dari masyarakat
baik dari lingkungan pemerintahan desa,
organisasi massa maupun masyarakat yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat
(Non-Goverment
Organization). Terutama,
Perda
tentang
Pembentukan BPD (Badan Perwakilan Desa). Permasalahannya terdapat pada Bab
I1 Pasal 3 tentang JumIah Keanggotaan BPD ditentukan berdasarkan jumlah penduduk, yaitu bahwa jumlah penduduk 3.000 jiwa maka jumlah anggota BPD adalah 13 orang, ha1 ini tidak mewakili setiap padukuhan yang ada di Kabupaten Bantul. Kenyataan di lapangan, kondisi dan struktur pemerintahan di Kabupaten Bantul setidaknya mempunyai 12 - 18 padukuhan di setiap desa. Kalau, jumlah penduduk Iebih dari 3.000 jiwa maksimal ditentukan 13 orang perwakilan untuk duduk sebagai BPD di tingkat desa. Artinya, ketika jumlah penduduk menjadi wahana penentuan jumlah maksimal anggota BPD (13 orang per 3.000 jiwa tiap desa) maka akan t e r j ~ d ipemangkasan terhadap hak-setiap padukuhan yang seyogyanya dalam logika demokratisasi hams mendapatkan tempat duduk sebagai sarana penvakilan-keterwakilan di wilayahnya (padukuhan). Kehendak untuk menciptakan mang demokrasi yang representatif perlu segera dipertanyakan. Wacana yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah tidak secara langsung diterima oleh masyarakatnya. Respon balik yang dilakukan Pemerilitah Daerah dan DPRD adalah melakukan jejak pendapat publik dan survai pendapat untuk mendapatkan informasi yang valid tentang kondisi di lapangan. Usaha ini dilakukan dalam rangka melakukan revisi yang partisipatif dan responsif terhadap kehendak masyarakat. Walaupun, sikap responsif ini memerlukan banyak biaya dan waktu, sehingga pembentukan
BPD
di
Kabupaten
Bantul
menjadi terlambat
dibandingkan kabupaten lainnya, seperti Kabupaten Klaten. Reaksi masyarakat mempakan cerminan partisipasinya terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan di Kabupaten Bantul yang diperkuat juga dengan munculnya lembaga, kelompok, asosiasi, dan forum komunikasi atau bisa disebut munculnya
gerakan civil society, terutama mereka yang konsern terhadap gerakan perubahan desa. Usaha Pemerintahan Daerah Dalam Pembaruan Desa banyak dilakukan oleh dorongan atas usaha pemerintah kabupaten ~nenciptakan kebijakan dan memperhatikan masyarakat desa menjadi lebih sejahtera. Usaha yang dilakukan memunculkan banyak kegiatan menyambut wacana desentralisasi dan otonomi dengan bergulimya kebijakan baru tentang pemerintahan daerah. Te~utamadi Kabupaten Bantul terjadi kegiatan delnokratisasi di level masyarakat lokal hingga tuntutan perubahan desa untuk menampakkan desentralisasi dan otonomi lokal. Apakah ini sebuah realitas yang nyata sebagai suatu pembahan kesadaran atau suatu realitas demokratisasi semu yang dapat dikatakan sebagai euforia baru setelah terjadinya reformasi 1998. Apriorinya adalah bisa jadi ada suatu kekuatan yang mempengaruhi kegiatan berdemokrasi - dengan dinamika yang sangat tinggi ini - dengan skenario besar pembaruan desa, seperti dilakukan kalangan NGOs. Dilihat dari faktor pemerintahan daerah, Bantul merupakan suatu kabupaten yang memiliki kebijakan yang memberilcan pengaruh terhadap desentralisasi dan penguatan masyarakatnya. Beberapa kebijakan-kebijakan yang memberikan dukungan terhadap pelayanan publik yang lebih baik, murah dan cepat. Apakah ini juga memberikan pengamh terhadap aktivitas pergerakan sosial pemerintahan desa. Dampak kebijakan tentang pemerintahan daerah di Kabupaten Bantul diwujudkan secara konkrit oleh Bupati Bantul Idham Samawi dengan menyusun kebijakan populisnya dalam bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ekonomi rakyat kecil. Dalam ha1 ini peran pemerintah daerah sangat dominan, terutama ketika melakukan proses tawar di dcpan anggota dewan (DPRD) terhadap kebijakan diusahakannya anggaran daerah untuk melakukan penguatan masyarakat (petmi) miskin. Usulan-usulan yang ditawarkan oleh pemerintah kabupaten selalu berjalan lancar ketika masuk ruangan dewan untuk memperoleh persetujuan forum. Fenomena yang menarik adalah ketika pada satu minggu sebelum lengser dari jabatannya yang pertama (lima tahun pertama) Bupati Bantul masih sempat mengajukan RAPBD - tepatnya pada tanggal 4 Dese~nber2004 - kepada anggota dewan, DPRD Kabupaten Bantul. Dalam pengajuannya banyak program yang
mengalokasikan anggaranya untuk kepentingan pembangunan masyarakat. Selanjutnya, ketok palu pcncntunn keputusan pcrsctu~juan tersebut dilakuknn tanggal 11 Desember 2004. Di sini hanya berselang satu minggu setelah pengajuan yang dilakukan oleh Bupati Bantul kepada DPRD untuk verifikasi dan pengetokkan palu persetujuan pengajuan anggaran (RAPBD) tersebut. Padahal satu hari setelah itu, yaitu tanggal 12 Desember 2004, Bupati terpilih sudah berakhir masa jabatannya. Perjuangan Bupati di dalam rapat panitia anggaran RAPBD di depan ruang sidang dewan berlangsung tanpa proses panjang. Padahal anggaran yang diusulkan sangat syarat dan pro masyarakat miskin yang tentunya mengurangi kesempatan "mega-proyek" kelompok e ~ i tdi~ tingkat ~ Kabupaten. Artinya, dukungan anggota dewan dengan setiap kebijakan pemerintah dapat terlihat dari pemberian restu yang dilnkukan pada besarnya alokasi anggaran untuk masyarakat, seperti alokasi anggaran yang dipaparkan selanjutnya. Alokasi anggaran tidak hanya sebatas pada pemberian bantuan pembangunan sarana dan prasama fisik, seperti pembangunan jalan, jembatan dan sarana irigasi, melainkan pada bidang pendidikan, ekonomi, dan politik. Dukungan Pemerintah Kabupaten di Bidang Pendidikan Permberian "fasilitas" pemerintah kepada masyarakat miskin dilakukan Bupati Bantul di bidang pendidikan adalah: pertama, kebijakan pendidikan terdapat babonisasi. Kebijakan pendidikan babonisasi yang dilakukan oleh Bupati Bantul adalah memberikan dukungan (support) kepada para anak didik yang termasuk dalam keluarga miskin.
Babonisasi dilakukan dalam rangka
mensuksekan pendidikan anak murid sekolah dasar (SD, SMP). Untuk tahun 2006 minimal sudah ada 5.486 orang siswa yang mendapat kesempatan masuk program babonisasi. Untuk mensukseskan program babonisasi maka pemerintah daerah mengeluarkan anggaran dari APBD Kabupaten Bantul sebesar Rp. 41 1.450.CO0,(empat ratus sebelas juta empat ratus lima puluh ribu rupiah), untuk setiap orang siswa menerima Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah). Bentuk partisipasi pemerintah terhadap anak murid adalah memberikan asupan gizi yang diharapkan " Padahal
kecendemngan pengambil kebijakan, selalu menciplakan kesempafan proyek-proyek, "mega-proyek" yang dapat diakses oleh para elit kabupaten (DPRD), untuk mendapatkan keuntungan alas realisasi M P B D yang diajukan.
memberikan sumbangannya kepada kesehatan dan kecerdasan para siswaJmurid di wilayah Kabupaten Bantul. Peniberian asupan gizi yang dilakukan oleh Pemerintah Bantul tidak seperti yang dilakukan di puskesrnas, atau lembaga kesehatan yang lain dengan memberikan obat, atau vitamin kebutuhan pertumbuhan anak, akan tetapi dengan memberikan ayam babon (betina) kepada an&-anak sekolah. Ayam babon diharapkan dapat dipelihara oleh anak-anak didik yang masih sekolah dengan harapan dapat menghasilkan telor. Ayam babon pada masanya bertelor dapat rnenghasilkan 1 butir per-hari. Setiap anak dari keluarga miskin mendapatkan 2 ekor ayam babon. Telor yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lauk-pauk yang dapat rnencukupi kebutuhan gizi dan nutrisi (protein). Kebijakan pendidikan yang kedzta adalah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun. Dalam rangka memberikan dukungan pada program belajar 12 tahun ini, pemerintah kabupaten menyediakan anggaran yang cukup banyak yaitu sebesar Rp. 1,s milyar untuk satu tahun. Selain itu, dalam rangka melakukan pembaruan sumberdaya manusia diberikan kepada para tenaga pengajar. Kalau babonisasi merupakan program pendidikan yang diberikan kepada para peserta didik, program selanjutnya adalah beasiswa studi bagi tenaga pengajar. Beasiswa studi untuk para guru melanjutkan pendidikannya di jenjang S1 dan ~
2
Pengadaan beasiswa ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap kualitas mutu tenaga pengajar di lingkungan pendidikan wilayah Kabupaten Bantul. Pemberdayaan pada sumberdaya hanusia di lingkungan pendidikan pada jangka panjang memberikan pengaruh secara keselumhan terhadap sistem pendidikan yang dicita-citakan pemerintah kabupaten, yaitu menuju masyarakat Bantul yang cerdas dan berakhlak rnulia yang profesioal.
laporan The Asia Foundation, 2002. Indonesia Rapid Desentruliiol;on Approsial (IRDA 2 ) Second Reporl.
~
~
.
Kebijakan Pemerintah Daerah di Bidang Kesehatan Kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan terkait dengan sarana dan prasarana medis di wilayah Bantul. Kebijakan ini memberikan sarana kesehatan biaya murah dan gratis dari Puskesmas hingga Rumah Sakit Daerah. Di lingkungan Rumah Sakit Daerah Panembahan pembangunan diutamakan untuk memberikan fasilitas yang memadai untuk perawatan dan pelayanannya kepada masyarakat pesakitan. Di lingkungan puskesmas, pelayanan diberikan dengan memberikan pelayanan rawat inap dan berobat murah hanya Rp. 1.500,- (seribu limaratus rupiah). Selanjutnya, bagi para ibu hamil akan mendapatkan pelayanan dan bantuan perawatan melahirkan di puskesmas terdekat dengan tanpa dikenakan biaya persalinan (persalinan gratis). Kegaitan yang berpihak pada penunjang pelayanan ibu harnil di Kabupaten Bantul sangat bermacam-macam bentuk dan anggaran yang disediakan untuk mensukseskannya. Seperti misalnya, untuk memenuhi kebutuhan akan tablet zat besi ber~nerk(bukan generik) sebesar Rp. 125.552.000,- (seratus dua puluh litna juta lima ratus lima puluh dua ribu rupiah),
untuk bahan sarana posyandu plus, sebesar Rp. 8.500.000,- (delapan juta limaratus ribu rupiah), pengadaan sikat gigi dan pasta gigi untuk kegiatan sosialisassi asuhan gizi untuk ibu hamil (bumil) termasuk anak-anak dan kelompok rawan dianggarkan sebesar Rp. 17.750.000,- (tujuh belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), untuk pendampingan kader bumil resiko tinggi (bumil risti) sebesar Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah), untuk biaya persalinan bumil risti di rumah sakit adalah sebesar Rp. 28.000.000,- (dua puluh delapan juta rupiah), untuk pelayanan kesehatan dasar (obat Pusat Kesehatan Desa) Rp. 97.500.000,- (sembilan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah)45. Perhatian Pcmcrintal~Kabupatcn di Eidang Eltonomi Pada bidang kesejahteraan ekonomi, perfama, pemerintah memberikan perhatiannya kepada masyarakat petani: seperti pembelian hasil produksi petani dengan harga tinggi di atas harga pasar. Pembelian hasil panen petani oleh pemerintah kabupaten adalah hasil panen cabai merah dan bawang merah. Hal ini " RAPBD Kabupaten Bantul
Tahun 2006
dilakukan Pemerintah Kabupatcn Bantul jika harga dipasaran nnjlog (turun drastis) sehingga diharapkan petani tidak mcngalami kerugian. Pembelian yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten adalah semacam subsidi dalam sistem pertanian, &an tetapi ini dilakukan pasca-tanam. Subsidi di bidang pertanian seperti ini tidak membuat masyarakat menjadi malas berproduksi (bertanam), justru sebaliknya dengan sistem seperti ini petani &an mempunyai kebanggaan atas pekerjaannya. Untuk melakukan subsidi tersebut anggaran dana diambil dari
APBD agar tidak mengganggu anggaran dana perimbangan dari pemerintah pusat. Kedua, Pada kondisi harga tidak stabil pemerintah akan memberikan masukkan dan pertimbangan-pertimbangan (Advice) bagi para petani. Seperti misalnya, pada saat panen bawang melimpah karena masyarakat petani menggunakan bibit baru yang bernama "Philips" dari Thailand pemerintah dalam berbagai kesempatan berdiskusi dan dialog dengan masyarakat secara langsung atau melalui media massa memberikan pertimbangan dan saran agar masyarakat petani yang sedang berlinipah panen bawang merah agar menyimpan terlebih dahulu barang hasil panennya, sehingga harapan anjlog-nya harga bawang merah dapat dikendalikan. Permasalahannya, sebenarnya tidak hanya hasil produksi yang berlimpah dan harga turun, tetapi tcrnyata petani dalanl kondisi tersebut akan melakukan pengolahan tanah kembali agar dapat ditanami bibit tanaman palawija yang lain, untuk mengisi musim kemarau yang panjang. Sedangkan proses awal produksi tersebut membutuhkan anggaran dana yang tidak sedikit. Artinya, petani sangat membutuhkan dana tunai untuk memenuhi kebutuhan pra-produksi. Untuk mengatasi permasalahan ini biasanya petani akan menjual hasil panennya dengan segera mungkin, karena percepatan musim tanam tidak bisa ditunda untuk segera menanam kembali lahan garapannya. Ketiga, Pada kendala yang dimiliki oleh petani seperti itu, pemerintah kabupaten memberikan anggaran dana pinjaman untuk memenuhi kebutuhan praproduksi tersebut kepada petani. Permasalahan lainya adalah bagi para petani yang tidak berhasil melakukan penen dengan hasil yang baik, artinya mengalami paceklik, panen tidak memuaskan, tidak bisa menutupi biaya produksi. Keempat, Pada kesempatan ini pemerintah kabupaten memberikan bantuan dana pinjaman yang akan dibayarkan setelan panen atau sering disebut dalam masyarakat Bantu1
disebutnya sebagai "Yarrzer?" (Bayar sctclah panen). Kelin~a,pada kondisi yang sangat memprihatinkan, seperti kondisi menclesak bahwa masyarakat belum dapat memberikan pembayaran pinjaman ynrtlen karcna ketakutan kalau hasil penen hams dijual serentak akan menurunkan harga jual dipasaran, maka dengan menyimpan h a i l panen tersebut untuk tidak dijual ke pasar, pemerintah kabupaten memberikan kebijakan "yaryu" (bayar setelahpayulterjual). Kebijakan di bidang ekonomi lainnya adalah dengan mengundang investor
untuk membuka lapangan kerja yang berpihak kepada rakyat, bantuan sarana dan prasarana fisik. Seperti, pembangunan Pasar Seni Gabusan di Jalan Parangtritis
km 8,s dibangun berdasarkan anggaran APBD dan bantuan banyak pihak yang ditujukan untuk memberikan fasilitas kepada masyarakat pengerajin untuk memasarkan hasil produksinya. Bupati Bantul mempunyai bargaining kuat terhadap para investor yang melakukan investasi di wilayahnya. Seperti pembangunan kembali (renovasi) Pasar Seni Gabusan pasca gempa, Bupati Bantul mengharapkan banyak pihak untuk melakukan investasi membangun kembali pasar tersebut. Akan tetapi, Bupati tidak menjadi gegabah untuk menentukan bantuan yang berdampak (dibebankannya hutang) pada Anggaran pemerintah kabupaten yang semakin bertambah. Sehingga, keputusan yang diambil adalah memberikan kesempatan para investor yang mau memberikan anggaran hibah untuk renovasi tersebut, sehingga masyarakat tidak dibebani utang bunga ringan sekalipun. Seperti, ideologi investasi yang dilakukan oleh Bupati Bantul
yang tidak mengharapkan ~uasuknya invcstasi besar dalam bentuk
pembangunan mall, plaza atau apapun sejenisnya, yang tidak diharapkan berdarnpak memgikan masyarakat dan pengusaha kecil. Bupati Bantul tidak memberikan investasi kepada modal asing yang tidak berpihak kepada masyarakat ekonomi lemah,
sehingga labeling apapun
tentang masyarakat
Bantul
diterimanya, seperti yang diungkapkan pada beberapa pidatonya di depan masyarakat bahwa masyarakat Bantul tidak takut dikatakan ~ d e s o . ~ ~
'' Ndcso mempokan imgkapw~ ejekel poda lnnnsn pcrtcngnll;ul innssktknya ~nnodcrnisnsidi kota, dimana desa lambat menrrima pembahan sehingga masih dslam kcadaon kelerbelokangan, miskin, dnn kuno.
Penciptaan Ruang I'ublik: Perccpatan Demokratisasi Usaha penyarnbutan wacana dilakukan dalam bidang politik tidak hanya melakukan dukungan partisipasi yang nyata atas kehendak masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Bantul dalam bentuk diskusi-dikusi wacana tematik. Terrnasuk juga dibentuk suatu partisipasi masyarakat melalui penciptaan ruang publik. Sepcrti yang akan digambarkan dibawah ini. Penciptaan ruang-ruang publik sebagai sarana penyebaran informasi dan diskusi dilakukan oleh pemerintah kabupaten Bantul dalam banyak bentuk. Ruang publik yang diharapkan dapat menciptakan susana dialogis yang menarik dan terserapnya aspirasi masyarakat, terutama juga memberikan informasi yang sebaliknya kepada masyarakat dari para birokrat pemerintahan Kabupaten Bantul dan Propinsi DIY. Petnerintah memberikan berbagai informasi mengenai kebutuhan masyarakat dan program pemerintah, terutama yang secara khusus berkaitan langsung dengan kepentingan n~asyarakat.Seperti, permasalahan ibadah di bulan romadhon dan ibadah lainnya, pemilihan bupati dan kepala desa, masalah problema pascapanen, dan lain-lain. Ruang-ruang publik merupakan jembatan
(bridging)" yang mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya.
Di antara ruang publik yang diciptakan oleh pemerintah daerah adalah: pertama, ada acara 1 ) Plengkung Gading; 2) Ceplas-Ceplos program TVRI Yogya; 3) Tarnan Gabusan (TVRI Yogya). Taman Gabusan merupakan suatu rdang diskusi publik hasil inisiasi Pemerintah Kabupaten Bantul dengan bekerja sama dengan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Acara ini dilaksanakan secara langsung (live) dalam tayangan tclcvisi pada setiap hari selasa ~nalampukul 19.00 sampai dengan 20.30 wib. Acara yang diselenggarakan selama 90 menit itu menciptakan ruang publik yang jangknuannya luas tidak hanya melibatkan masyarakat undangan di dalam studio dan para pakarnya sebagai narasumber. Acara ini juga melibatkan dialog interaktif dengan sacara telekoniunikasi sehingga bagi masyarakat di luar studio yang tidak bisa hadir mengikuti acara secara " Bridging merupakan salah satu fungsi yang sehan~snyadilakakan pemerintah dan element lainnya unluk melakukan
pacepatan lerhadap proses pembaruan desa. Menuiut Sutoro Eko, sebenamya brtdging merupakan fungsi yang dilakukan lembaga psndidikan dan akadctnisi d~lonh ntenyiknpi fenomena sosial ynng ada di mosynrkat. Sehingga, jelrs keberpihakkannya sebenarnya kepada niasyaraknt akm tetapi t i d k kentara pada proses mediasinya dengan pcmerintah. Artinya, hubungan anlnra pemerinlah dan nlasyarakat lharus mendapatkanjembalan (bridge)agar dapat segera bersinergis.
langsung dapat memberikan pal-tisipasinya dengan menghubungi operator teknis melalui nomor telepon 0274-580800 yang kemudian aka11 disambungkan kepada presenter dan moderator diskusi. Interasksi terjndi secara langsung dengan para narasurnber yang dipilih berdasarkan tematik yang telah ditentukan oleh panitia. Para narasurnber terdiri dari para toltoh masyarakat, kelompok pengusaha, para elit di tingkat kabupaten hingga padukuhan, dan masyarakat umum yang berasal dari Kabupaten Bantul. Pada acara Taman Gabusan tidak hanya menampilkan wacana dialog dan diskusi melainkan melibatkan sosialisasi keser~ian dari masyarakat Bantul, sosialisasi paradigma pemerintah melalui iklan layanan masyarakat pemerintah kabupaten Bantul.
Kedua, Open House Bupati Bantul. Open house dilakukan oleh Bupati Bantul untuk menyerap aspirasi masyarakat yang dilakukan setiap dua bulan sekali. Acara ini dilaksanakan di Rumah Dinas Bupati Jalan Adisucipto Bantul. Kegiatan open house Bupati Bantul dilaksanakan sebagai sarana untuk menggalang issue yang terkait dengan pemerintah daerah dan masyarakat secara khusus. Acara ini adalah mencapai kehendak masyarakat agar peran serta bupati dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Acara ini diinisiasi dari hasil diskusi Bupati Bantul dengan NGOs yang konsem terhadap pembaruan desa. Pada saat itu issue pembaruan sangat menonjol dan memberikan banyak inspirasi terhadap kreatifitas yang populis. Open house dilakukan dalam rangka menciptakan ruang publik langsung dengan masyarakat. Pada proses awal diskusi dilakukan di Rumzh Dinas Bupati Bantul. Selanjutnya, open house dilaksanakan berkeliling di masing-masing desa yang telah ditentukan. Hal ini untuk menciptakan ruang sedekat mungkin antara pemerintah
daerah dengan
masyarakat.
Ketiga, Pasar Seni Gabusan tli Jalan I'arat~gtrilis Km 8,s dibangun dalam rangka memberikan fasilitns kcpada para pcngerajin dnn para seniman untuk mengaktualisasikan hasil karyanya. Pasar Seni Gabusan tidak dimaknai secara politis seperti kedua ruang publik di atas. Pasar Seni Gabusan lebih dilihat sebagai sarana publik untuk melakukan kegiatan ekonomi tidak hanya memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam menjajakan hasil karyanya kepada publik,
akan tetapi sekaligus memberikan sumbangan kepada pemerintah kabupaten
dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain kegiatan ekonomi juga dilakukan pameran seni, Exebition Bantul yang dilakukan setiap tahun, dan pentas musik dalam rangka hiburan untuk rakyat yang murah dan meriah. Setiap kegiatan
di pasar seni gabusan dilakukan atas kerjasanla dengan pihak swasta. Proses tawar diberikan oleh Bupati Bantul dengan memberikan fasilitas tempat strategis di pasar seni gabusan. Di lain pihak, swasta memberikan pen~biayaanatas segala aktivitas yang dilakukan untuk mendukung kesuksesan kegiatan di pasar seni gabusan. Proses tawaran ini dilakukan dalam rangka melindungi para produksen lokal yang memanfaatkan pasar seni gabusan dari jeratan hutang, karena pemerintah memberikan kelonggaran pihak swasta menjerat produksen lokal dengan hutang yang memberatkan. Seperti yang dilakukan pada rekonstruksi pasar seni gabusan pasca gempa bumi 27 Mei 2006, pemerintah daerah tidak memberikan ijin kepada para investor menyumbangkan dana untuk melakukan rehabilitasi bangunan dan sarana serta prasarana yang rusak dengan jaminan hutang. Walaupun, sudah banyak donor (investor) yang menawarkan diri untuk membangun kembali pasar Seni Gabusan, n a m n sampai tanggal 16 September
2006 semuanya belum memberikan waktu atau tanggal pembangunannya. Pemerintah membuat kebijakan bahwa anggaran rehabilitasi tersebut segera dimasukkan ke dalam APBD. Pertimbangan Pemerintah Daerah adalah para pedagang yang memanfaatkan pasar seni gabusan (yang sudah tiga bulan tidak ada kegiatan) hams segera difasilitasi untuk kembali menjalankan aktivitasnya berdagang, dan menghidupkan ekonomi masyarakat Bantul. Para investor yang masuk adalah berupa pinjaman lunak dan oleh ltarena itu dengan tegas ditolak oleh Pemerintah Daerah karena menurut Bupati Bantul yang dibutuhkan adalah dana hibah. Bantuan hibah memberikan kelonggaran kepada masyarakat korban gempa dapat benar-benar bangkit dan tidak dibebani hutang dengan bunga ringan ~ekali~un.~' Bidang partisipasi politik: pertama, pemerintah memberikan ruang seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengaktualisasikan kepentingan politiknya sebagai hak dari kewarganegaraannya. Bupati Bantul memberikan meluangkan
waktu agar dapat berinteraksi dengan masyarakatnya dalam bentuk program
interaksi dengan Bupati. Menurut Suharti (2005:lSl-164) bahwa kebijakankebijakan tersebut merupakan perwujudan dari perhatian yang serius dalam memenuhi
hak-hak
dasar
partisipasinya di dalam
dari
masyarakat
Bantu1 agar
meningkatkan
bidang politik. Bupati mengadakan diskusi-diskusi
routine yang dilakukan di rumah dinas dan banyak tempat termasuk di desa-desa di mana masyarakat menghendaki. Diskusi di rumah dinas dilakukan dalam kelompok tertentu yang sengaja diundang oleh Bupati Bantul untuk membahas suatu tema tertentu, misalnya tema tentang "kenegaraan dan kebangsaan". Diskusi di desa dilakukan dengan masyarakat biasanya tematik diskusi ditentukan oleh masyarakat setempat, sebagai penyelenggaranya. Kedua, selain peneipataan ruang diskusi dan wacana demokratisasi, Pemda memberikan dukungan pada lembaga sosial dan asosiasi untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan masukkan terhadap kebijakan publik yang diharapkan. Pencipataan ruang pemberdayaan kepada anggota kelembagaan dan asosiasi di Bantul mendapat support baik moral maupun dukungan pendanaan. Pemerintah memberikan dukungan terhadap kegiatan Asosiasi Carik Kabupaten Bantul dalam kegiatan saresehan yang diciptakan untuk melakukan pemberdayaan Carik dan membahas issue terkini yang kiranya perlu dipahami ole11 para Carik. Walaupun, pembukaan acara ini dilakukan oleh Asisten Bupati I (E$an
Pemerintahan) Drs.
Kardiyono, namun Bupati menyernpatkan datang di akhir pergantian acara setelah makan siang dilakukan. Pada tanggal 18 September 2006 dukungan terhadap penyelengaraan saresehan yang dilaksanakan oleh Paguyuban Carik (Unggul Pawenang) dilakukan langsung oleh Bupati Bantul dalam rangka menguatkan kondisi para pamong menghadapi rekonstruksi pasca gempa. Janji Bupati bahwa ia akan datang dalam acara itu dibuktikan dengan keterlambatannya. Walaupun ternyata datang terlambat hingga waktu menunjukkan pukul 12.30 WIB Bupati Bantul memberikan masukkan dan kepastian tentang bantuan dana rekonstruksi
rumah korban gempa. Sangat diharapkan dari saresehan ini adalah seluruh Carik juga ikut memberikan kepastian kepada masyarakat agar bangkit dan optimis, sehingga proses rekonstruksi sesuai dengan barapan masyarakat. Bahkan, Bupati Bantul memberikan taruhan jaminan jabatannya, jika dana bantuan rekonstruksi tidak turun pada setiap tahapannya. Kepastian dan janji Bupati dimaksudkan
adalah memberikan kekuatan masyarakat melalui Paguyuban Carik. Janji Bupati
di depan Unggul Pawenang adalah suatu keberanian yang berdasar keoptimisan ~jerhatianpemerintah kepada masyarakat. Hal ini juga mencerminkan usaha yang sudah dilakukan untuk melobi banyak instansi pemerintah dan DPR di Jakarta, seperti lobby yang dilakuan kepada Wakil Presiden Yusuf Kalla (sebagai Ketua Satuan Koordinasi Pelaksana Nansional), lima Ketua Fraksi (Partai Besar) di DPRIMPR, Departemen Keuangan, dan Mendagri (Kementrian Dalam Negeri).
Institusionalisasi Geralisn Pembarusn Desa Penguatan partisipasi masyarakat adalah salah satu tujuan dari gerakan pembaruan desa. Pelembagaan gerakan pembaruan desa tercipta sebagai suatu strategi yang hams dilakukan untuk melakukan penguatan gerakail partisipasi masyarakat (social movement to partisipalion) dan memperkuat barisan perjuangan yang solid, beriraina melakukan penyesuaian dengan gerakan pemerintah di atasnya. Penyesuaian yang dilakukan tidak dalarn bentuk yang seragam dalam rangka menciptakan Bantul yang mandiri. Barisan perjuangan tidak dalam satu aras yang diturunkan oleh peinerintah kabupaten saja, akan tetapi mendapat banyak arah termasuk dari bawah. Seperti yang dilakukan oleh gerakan pembaruan dalam bentuk pokja pembanian yang terlembaga. Jadi ada tiga elemen yang secara institutional terlibat dalam penguatan pembaruan desa di tingkat Kabupaten Bantul yaitu: pertanla, pemerintah daerah, yang pada awalnya memberikan wacana pembaruan kabupaten menurunkan wacana pernbaruan tidak hanya di tingkat kabupaten, melainkan hingga ke tingkat desa, sebagai wilayah pemerintahan yang terrendah. Dukungan kelembagaan dari pemerintah daerah diberikan kepada para pihak yang konsern terhadap penguatan masyarakat desa, dengan mempermudh birokrasi pemerintah daerah. Yang paling konkrit adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan pembaruan desa, dan perlu mendapat legalisasi dari pemerintah kabupaten maka Bupati Bantul tidak segan-segan untuk memberikan dukungannya dengan mempermudah proses administrasinya, dengan catatan tidak berpengaruh pada pengeluaran anggaran APBD Kabupaten Bantul.
Faktor lainnya adalah; Ked~tn,respon pemerintali desa terhadap aspirasi masyarakatnya. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang memberikan respon dengan segera aspirasi masyarakat. Kefiga. kepedulian masyarakat desa
untuk turut serta dalam partisipasi memahami periliasalalian yang din~ilikinya.
Keempaf, munculnya asosiasi yang terlembaga dan diakui oleh pemerintah. Kelima, pendampingan oleh NGOs yang konsisten terhadap proses perjuangan pembaruan desa. Di Bantul pembaruan desa diperkuat oleh kelembagan pembaruan.
Kelembagaan
peinbaruan
desa
mendorong
secara
konkrit
tersosialisasinya wacana pembman yang selama ini mengambang, melangit, dan tidak membumi sampai pada masyarakat. Kelembasaan pembaruan desa di dukung oleh Kelompok Kerja Pen~baruan (Pokja Pembaman) dari Lappera Indonesia. Pokja Pembaruan memberikan jalan pada proses percepatan pembaruan di setiap lini kelembagan masyarakat. Pokja pembaruan melakukan kerja-kerja penguatan kelembagan pemerintah daerah liingga di tingkat desa dan padukuhan. Fungsi pelembagaan adalah untuk: 1) memperkuat posisi masyarakat ketika melakukan bargaining position kepada pemerintahan daerah, atau yang sering disebut sebagai pemerintahan supra desa; 2) mempercepat proses informasi kebijakan pemerintah daerah kepada masyarakat. Artinya, institusionalisasi dilaksanakan sebagai instrumcn yaiig dnpat nlenjembatani arus atas (pemerintah daerah) dan arus bawah (masyarakat desa); 3) membuat kekuatan yang lebih besar sehingga perjuangan pernbaruan tidak dilakukan secara parsial.
ABPeDSI: Mendorong Keltuatan Politik Masyarakat Kegiatan demokratisasi tentang pembaruan desa di Kabupaten Bantul berjalan menuju proses pelembagaan, dengan harapan khusus perjuangan desentalisasi dan otonoiui dcsa mcnjadi scmakin niatang. Terutama, juga ketika Bupati Bantul mencanangkan tanggal 26 Januari 2003 sebagai tanggal saatnya pembaruan desa. Salah satu usaha pelembagaan yang dilakukan adalah menggagas terciptanya komunikasi dan koordinasi di antara para elemen masyarakat desa di Bantul. Proses awal yang dilakukan adalah menciptakan suatu
forum komunikasi untuk memudal~kaninfonnasi-inihrniasi yang diharapkan dan menjalin koordinasi secepat mungkin dalam mcmbalias issue pembaruan. Untuk melakukan masifikasi gagasan penibaruan, embrio forum FK-BPD ini melakukan diskusi-diskusi kecil dan seminar serta lokakarya. Kegiatan tersebut dilakukan mulai di tingkat propinsi DIY liingga di tingkat desa di Kabupaten Bantul. Beberapa kegiatan pendukung yang dilakukan adalah seminar tentang Badan Penvakilan Desa di Kabupaten Bantul pada tanggal 17 Februari 2002 di Gedung DPRD Kabupaten Bantul dengan tenia: "Dinamika Pemerinfahan Desa: Peran dun Fungsi BPD dalnm nzenzperkuat aspirasi nzasyarakaf", bertempat di gedung Jogja Kabupaten Bantul. Followtip dari kegiatan seminar tersebut dimanfaatkan juga menjadi ajang penggalangan dan pembentukan Forum Komunikasi BPD Kabupaten Bantul yang mencoba menghembuskan wacana tentang otonomi dan desentralisasi pembaruan desa. Terbentuknya kelembagaan Forum Komunikasi BPD terbentuk dengan dilakukanpress realerise pembentukan Forum Komunikasi Badan Penvakilan Desa pada tanggal 23 Juni 2002 di Pemda Bantul. FK-BPD yang sudali terbentuk dan difasilitasi oleh NGOs direspon oleh banyak pihak dan pada kondisi yang diharapkan oleh Pokja Pembaruan bahwa di dalam tubuh FK-BPD mengalami kesadaran untuk menciptakan suatu asosiasi yang lebih konkrit dari pada sekedar forum komunikasi yang bisa lebih dari hanya sekedar kelompok komunikasi, namun lebih dari itu memiliki bargainingposition and power terhadap pemerintah. Artinya, kalau salah satu sasarannya adalah perubahan terhadap kebijakan yang tidak memihak hak atas desa maka perlawanan hams dilakukan dengan menggunakan institusi kelembagaan yang memperjuangkan perubahan pada kebijakan yang tidak memihak tersebut. Pilih'm terhadap kelembagaan yang diharapkan adalah assosiasi formal dan diakui keberadaanya oleh pemerintah. Sehingga pembentukan assoisasi yang lebih terlembaga menjadi capaian (goal) yang harus segera dilakukan. Selanjutnya digagas bersama kelembagaan asosiasi yang diharapkan tersebut. FK-BPD melakukan kerja-kerja koordinasi untuk melakukan kesepahaman dalam bentuk lokakarya terbatas yang dihadiri oleh para aktivis pembaruan desa,
dan para anggota BPD yang menaruh perhatiart kepada perjuangan pembaruan
desa. Kesepaharnan yang didapat dalam forum lokakarya tersebut adalah salah satunya melakukan pembentukan assosiasi dalam rangka menjadi motor gerak pembaruan menuju parlemen, sebagai sasaran atas perubahan kebijakan yang terkait dengan desa. Wacana pembentukkan Assosiasi BPD sudah lama didiskusikan di Kabupaten Bantul, terutama n~elalui Seminar Nasional dan Lokakarya BPD Nasional yang dilaksanakan di desa Kebon Agung Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantu! pada tanggal 1 Desember 2002. Acara tersebut menghadirkan pembicara Bupati Bantul (Drs. H. Idham Samawi), Ketua Badan Kerjasama (BKS) BPD Kabupaten Batang-Jateng (RM. Soleh Soesetya WA), Ketua Forum BPD DIY (Drs. Kasdiyono), dan aktivis NGOs Pembaruan Desa (Dadang Juliantara). Disimpulkan bahwa pembaruan desa menempatkan desa sebagai arus dinamika deniokrasi. Hal ini dapat dilaksanakan dengan tiga pilar yaitu: pertama, kebijakan pemerintah daerah yang berpiliak pada otonomi desa; kedua, adanya asosiasi BPD tnenjadi pilar utalna
-
aktor dan instrumen dari
gerakan - pembaruan desa; keriga, bahwa pe~nbaruandesa tercipta dala~ngerakan demokrasi yang berawal dan ~nemperkuatmasyarakat bawah; keempat, sehingga pembangunan desa harus mengakar ke bawah. Selanjutnya, bagaimana berdasarkan kesepakatan di atas agar tercapai suatu cita-cita pembaruan desa? Permasalahan tersebut disepakati bahwa di!akukan fangkah-langkah lanjutan melakukan lokakarya dan kegiatan konkrit, yaitu Pembentukan asosiasi BPD seIndonesia. Penggalangan kekuatan untuk merealisasikan keputusan pembentukan assosiasi BPD, maka anggota BPD seluruh Indonesia disatukan dalam musyawarah nasional (MUNAS BPD) yang diselenggarakan pada tanggal 18-21 Mei 2003 dengan tetna: "Dengnn M~rnasBPD Kita Wzijudkan Pilar Pembartran
Desa" di wilayah Ngruken Pendowoharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul Provinsi Yogyakarta, telp. 0274-367447. Sebagai perintis dan pelopor dalam proses Pembaruan Desa di tingkat nasional tentunya Badan Perwakilan Desa (BPD) Kabupaten Bantul-DIY nlelakuknn konsolidasi keanggotaan BPD di setiap penvakilan Kabupaten seluruh Indonesia. Tepatnya pada tanggal 21 Mei 2003 di Hotel Ambarukmo telah disepakati dan ambil keputusan bulat dari BPD seluruh Indonesia menjalin kerjasama menibantuk asosiasi Badan Perwakilan Desa
Seluruh Indonesia (ABPeDSI). Inisiasi peristiwn ini tentunya tidak muncul dengan sendirinya. Keterlibatan ~
~ nie~ilbcrikan 0 sstpport-nya ~ kepada ~ BPD
sebagai lembaga desa yang secara bersncna-snmn men-desigtl terwujudnya kelembagaan asosiasi tersebut.
Munas BPD diusahakan sebagai sebuah tnedia koordinasi dan pembentukan assoisasi BPD yang kesemuanya disckenariokan dnlam acara tcrsebut oleh panitia. Skenario yang dilakukan adalah perianza, bahwa assosiasi harus segera dibentuk dan diadakan di seluruh Indonesia. Kedun, untuk mendorong masyarakat Yogyakarta sebagai salah satu penggerak assosiasi maka diciptakan skenario bahwa yang menjadi ketua assosiasi adalah mercka yang berasal dari Bantul atau warga Yogyakarta. Oleh karena itu, pada saat pemilihan dilakukan diajukan salah satu tokoh masyarakat yang menjabat sebagai BPD dan mempunyai keuletan dalam perjuangan terhadap pembaruan desa. Salah satu tokohnya adalah Subito (Pa Bito, alm). Hal ini menjadi rasional, ketika alasan pemilihan ketua assosiasi tersebut adalah seorang yang menipunyai pengalali~andalam diskusi dan aktivitas kegiatannya dalam proses wacana pembaruan desa dikatakan mzlniptrrti. Subito dianggap menjadi sesepuh BPD di antara masyarakat (BPD) Yogyakarta yang berpengaruh dalam pembaruan dcsa karena pcrjunngannya. terutama setiap acara kegiatan-kegiatan diskusi dan musyawarah dilakukan di rumahnya - di Bantul. Pengisian struktur atas jabatan di dalaln kepengurusannya diambil dari aktivisaktivis lainnya di luar Yogyakarta dan sekitarnya hingga di Kalimantan (Kabupaten Kutaikertanegara). Seperti, jabatan Sekretaris Jenderal terpilih adalah
RM. Soleh Soesetya WA (BPD Kabupaten Batang-JATENG, aktivis pembaruan desa, seorang tokoh BPD yang menyebarkan wacana tentang asosiasi BPD sebagai pilar pembaruan desa di Indonesia. M ~ ~ n aBPD s melahirkan ABPeDSI (Assosiasi Badan Perwakilan Dcsa Scluruli Indonesia) yang terbcntuk berdasarkan pergulatan wacana yang panjang. ABPeDSI nlencoba mengakarkan diri ke bawah hingga di setiap desa. Terlnasuk terbentuknya ABPeDSI di tingkat provinsi DIY. Dalarn kurun waktu satu tahun sosialisasi terbentuknya ABPeDSI dilakukan.
Lappera Indonesia memfasilitasi banyak pi\>& dalam rangka menciplakan cila-cita penvujudan dan pembentukan asosiasi BPD dengan strategi mengadakm MUNAS BPD se-lodanesia.
"
Di tingkat Pusat ABPeDSI melakukan koordinasi dengan badan legislatif dan eksekutif di Jakarta. Koordinasi dilakukan dalanl bentuk kegiatan hearing dengan anggota DPR yang diwakili oleh panitia khusus (Pansus) UU No. 22 Tahun 1999. audiensi ini bertempat di Ruang Pansus B Gedung DPR RI Jakarta pada hari Rabu, tanggal 23 Juni 2004. Keanggotaan ABPeDSI Pusat yang hadir adalah penvakilan dari masing-masing ABPeDSI provinsi yaitu terdiri dari anggota ABPEDSI dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta (Bantul, Sleman dan Kulonprogo). Kegiatan audiensi dilakukan berdasarkan terbentuknya UU No. 22 Tahun 1999 yang akan direvisi oleh pemerintah. Oleh karena itu, ABPeDSI memberikan masukkan gagasan tentang kehendak perbaikan UU tersebut. Setelah
Subito
selaku
Ketua
Pusat
ABPeDSI
meninggal
dunia,
kepemimpinan di limpahkan secara struktural kepada Sekretaris Jenderal ABPeDSI dari Batang, yaitu RM. Soleh Soesetya WA. Hingga sampai saat ini. Pada tanggal 20 Mei 2006, dilakukan seminar nasional tentang desa dengan tema "Indonesia dan Kebangkitan Desa" di Radyo Suyoso, Kepatihan Keraton Ngayogyokarto Hadiningratan Yogyakarta. Seminar dimotori oleh ABPeDSI Kabupaten Bantul yang secara politis adalah hasil kerjasama antara DPW ABPeDSI DIY dengan Lappera Indonesia. Seminar nasional dilaksanakan dengan latarbelakang
pengembangan
Indonesia
dari
desa-desa
(pedesaan)
dan
memperingati kelahiran ABPEDSI untuk yang ke tiga tahunnya. Pada kesempatan akhir seminar diagendakan untuk sowan ke rumah glmarhum Subito (Ketua ABPEDSI) yang rencananya memberikan doanya dan menengok tempat peristirahatan terakhimya. Di rumah Subito diawali dengan doa bersama untuk alm Subito, dilanjutkan curah pendapat dengan keluarga almarhum. Setelah itu, forum bersepakat untuk membahas tentang kelembagaan ABPeDSI. Struktur kepengwusan sampai saat ini masili menjadi penghalang untuk melakukan kegiatan yang diamanatkan oleh ADJART Asosiasi, oleh karena itu agenda yang utarna adalah melakukan restrukturisasi pengurus kelembagaan dengan usulan diadakannya Munas I1 yang disepakati oleh seluruh forum. Munas I1 diharapkan dapat memberikan semangat baru dalam melakukan konsolidasi dan penyikapan terhadap fenomena politik di tingkat desa hingga nasional. Kesepakatan diambil
merupakan suatu yang tidak mudah dilaksanakan karena membutuhkan suatu energi dan biaya yang tidak sedikit. Padahal, Lappera yang mendukung Munas BPD I, belum memberikan respon atas usulan dari ABPeDSI untuk mengadakan
Munas 11, yang dihubungi secara terpisah pada acara tersebut. Oleh karena itu, untuk sarnpai saat ini realisasi terhadap usulan tersebut belum dapat dilaksanakan. Artinya, dukungan dari iembaga luar yaitu NGOs sangat berpengaruh terhadap eksistensi kegiatan perjuangan pembaruan desa yang dilakukan oleh ABPeDSI. Kegiatan yang dilakukan sebagai eksistensinya ABPeDSI tingkat Propinsi DIY adalah melakukan koordinasi dengan pemerintah propinsi DIY yang berlokasi di Kantor Wakil Gubernur DIY pada tanggal 22 Mei 2004 (10.30 selesai ). Dari ABPeDSI DIY menghadirkan 8 orang perwakilannya. Rombongan diterima oleh Wakil Gubernur DIY dan Mujono Asisten Wagub DIY. Pertemuan dilakukan dalam rangka mencari dukungan atas terbentuk dan perubahan nama dari Forum Komunikasi BPD menjadi ABPeDSI yang dilaksanakan pada tanggal 30 Mei 2004. Selain itu, dukung~nyang diharapkan dari pemerintah provinsi
adalah
dengan
menyerahkan
proposal
anggaran
kegiatan
yang
akan
diselenggarakan oleh ABPeDSI. Artinya, pembiayaan kegiatan yang dilaksanakan oleh
ABPeDSI
mengharapkan
pembiayaan
dari
Pemerintah
Daerah.
Pemberitahuan dilakukan sebagai peilgakuan secara politis dari pemerintah provinsi atas eksistensi ABPeDSI-DIY. Dalam kesempatan itu, pemerintah provinsi juga menyampaikan beberapa ha1 yang seharusnya membedakan BPDDIY dengan daerah lain.''
Pertama, merubah tanggapan masyarakat dan beberapa kalangan yang seringkali mengatakan bahwa kraton merupakan stereotype dengan budaya feodalnya. Ditarnbahkannya pada tahun 1946 semacam BPD di Yogyakarta sudah ada dan pemah melakukan rapat umum itu di pasar. Namun itu dibekukan karena adanya perkembangan yang lain. Pada tahun 1955 multi partai ala Soekarno, badan ini inenjadi rebutan dan partai tidak lagi memikirkan inasyarakat.
Kedua, Indonesia masih memiliki budaya latah yang tinggi, yaitu reformasi yang selama ini ada mungkin hanya dipahami oleh kurang dari 20% masyarakat
'Hasil
audensi dengan pemerintah Provinsi DIY yang dilakukan oleh ABPeDSl DIY yang difasilitasi oleh NGOs Lappera Indonesia.
Indonesia sehingga dititipkan kepada BPD khususnya DIY untuk menghilangkan budaya latah tersebut dengan bertindak sebagai fasilitatcr lmtuk berpikir kritis. Sehingga, reformasi dapat dipahami oleh masyarakat dengan lebih baik, tidak hanya waton, asal-asalan. Ketiga, Perkembangan saat ini, elit dalam memahami demokrasi tidak
mendasarkan demokrasi tersebut pada kultur budaya, sehingga melepaskan demokrasi tersebut dengan budaya yang ada di masing-masing wilayah. Padahal dalam pemerintahan Indonesia demokrasi itu difahami dalam musyawarah untuk mtifakat. Sehingga kultur Indonesia tidak pernah memahami adanya silang pendapat secara terbuka ha1 ini berbeda pada kultur barat. Kalau orang barat perdebatan yang panjang dan hampir baku hantam dalam sebuah forum akan dapat selesai ketika fonun itu berakhir. Namun di Jawa dikenal dengan wong Jowo itu yen dipangku mati. Artinya berbeda tidak masalah, akan tetapi jangan
menylkiti yang lainnya. Keempat, Untuk diperhatikan karena kecenderungan pamong adalah kaum
muda maka ketelitian dalam administrasi hams mendapat kontrol serius. Masih banyak permasaIahan administrasi yang belum dapat diselesaikan. Terutama masalah tanah dan lain-lain. Setelah pembentukan ABPeDSI di tingkat propinsi, segera terbentuk pengurus ABPeDSI di tingkat Kabupaten Bantul. Di masing-masing kabupaten ABPeDSI menjadi motor terbentuknya pengurus cabang di setiap Kecamatan. Di Kabupaten Bantul terjadi maraton untuk menurunkan ke bawah kelembagaan tersebut dari tingkat kabupaten hingga ke tingkat kecamatan. Walaupun kenyataannya, pembentukkan ABPeDSI hingga di tingkat Kecamatan tidak banyak berfungsi secara signifikan untuk melakukan gerakan penguatan civil sociev di bawahnya. ABPeDSI di tingkat Kabupaten Bantul melakukan kegiatan
dalam rangka kepentingan untuk melakukan penguatan terhadap rencana pembuatan Peraturan Daerah tentang Desa. Seperti memberikan usulan terhadap Raperda tentang Transparansi, Partisipasi, dan Akuntablitisas (TPA) yang telah diundangkan oleh pemerintah daerah menjadi PERDA No. 7 Tahun 2005. Selain itu, pada tanggal 17 April 2006 mengusulkan RAPERDA tentang Keuangan Desa, RAPERDA Pembagian Keuangan Kabupaten dan Desa, RAPERDA Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desn. IJsulan RAPERDA dilakukan dalam rangka menyarnbut sosialisasi PP 72 Tahun 2005 Tentang Desa yang diadakan oleh Pemerintahan Daerah di gedurlg DPRD Kabupaten Bantul. Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka melakukan fungsi ABPeDSI sebagai sarana komunikasi, fasilitasi, koordinasi, mediasi, advokasi, dan perjuangan bagi
BPD, pemerintah dan masyarakat desa. Terutama, sebagai mitra pemerintah dari lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berada di tingkatnya masing-masing. Perkembangan waktu selanjutnya, ternyata ada beberapa pihak menilai bahwa: Asosiasi Badan Pemrakilan Desa hanya akan semakin menambah beban desa. Dan ungkapan yang lain yang pada dasarnya memberatkan desa. Namun pada sisi lain banyak masukan dan pujian, sekaligus dukungan terhadap proses asosiasi yang telah terbentuk. Hingga terakhir telah mengadakan Rakemas di Kabupaten Kutai Kartanegara yang menghasilkan salah satu butir penting yang disepakati yaitu "perlu kerjasama yang lebih luas antar lembaga". Pointer ini rupanya berkembang dengan pesat dan direspon kuat ole11 asosiasi pemerintahan desa di berbagai tempat. Pertama kali adalah dari Asosiasi dari Yogyakarta dan Kabupaten Malang Jawa Timur yang secara bersama-sama telah ikut menjaga proses Pembaruan Desa.
APeDSI: Kegagalan Institusionalisasi Pemerintahan Desa Tanggal 7 November 20055 1 dl. Hotel Sargede terjadi lokakarya pertemuan dihadiri elemen penggerak pembaruan desa. Pertemuan bermaksud mengalang kekuatan percepatan pembaruail desa. Diantaranya telnh liadir ketua-ketua forum dan asosiasi pemerintahan dcsa diantaranya Kctua Forum BPD daerah Jawa Timur 4 orang, Ketua Asosiasi Lurah Jawa Timur 2 orang, Ketua Asosiasi BPD Yogyakarta 4 orang, Ketua Lurah Jogya 2 orang, Ketua Asosiasi BPD Jawa Tengah 2 orang, Ketua Asosiasi Kepala Desa Jawa Tengah 2 orang, Ketua Asosiasi BPD Jawa Barat 1 orang, perwakilan Lurah dari Banten, dan beberapa LSM diantaranya Lapera Indonesia Yogyakarta, Qoryah Thayibah, dan Lakpesdam NU. Dari pertemuan itu dibahas partisipasi desa dan penguatan
" Diambil dari kronologis Munas, laporan kerja Lappera Indonesia, 2005
gerakan desa untuk pembaruan diantaranya adalah policy reform terhadab kebijakan pemerintah terkait dengan pemerintahan desa. Forum ini bersepakat
untuk adanya kesediaan penyusunan langkah kerja bersama antara elemen pembaruan desa yang terdiri dari Pemerintahan Desa yang berisi Kepala Desa dan Badan Penvakilan Desa serta NGO yang punya komitmen tinggi dalam pembaruan desa. Forum ini mensepakati adanya piagam pembaruan desa yang diujudkan dalam deklarasi bersama perjuangan untuk desa; dalam piagam pembaruan desa tersebut terdapat 5 kesepakatan bersama yang akan dilakukan sebagai kerangka perjuangan i~llplementasipen~baruan desa yang seterusnya disebut piagam pembaruan desa. Kelitlla kesepakatan yang tertuang dalam Piagam Pembaruan Desa adalah sebagai berikut: Perlu adanya Forum Pemerintahan Desa di Indonesia yang nantinya akan mengawa revisi atau pembentukan kebijakan berbasis desa; Perlunya penguatan wacana dan karnpanye agar DPR dan pemerintah memahami desa; Adanya
pensikapan
berbagai
permasalahan
terkait
dengan
diberlakukannya UU tentang desa; Perlu dilakukan kerjasama antar elemen penggerak. pembaruan desa sebagai upaya peningkatm gerakan pembaruan desa; Melakukan kerja-kerja kolektif pembaruan desa sebagai garis perjuangan bersma untuk mewujudkan desa yang adil, demokratis, dan sejahtera. Dari deklarasi ini dibahas mengenai implementasi perjuangan yang akan dilakukan untuk menuju arah dan isi dari deklarasi tersebut. Sebagai salah satu jalan dan penguatan hasil deklarasi ini tnaka diusulkan untuk mengadakan
musyawarah hersama pemerintahan desa yang terdiri dari elemen penggerak desa. Sebagai langkah awalnya musyarawarah ini melibatkan kepala desa dan Badan penvakilan desa yang nantinya menginisiasikan gerakan pernbaruan desa kepada penggerak-penggerak desa yang lain seperti LSM, Pemerintahan Negara, Akademisi, dan elemen yang lain. Yogyakarta kembali tidak hanya sekedar monumen dan musium melainkan laborat yang senantiasa selalu respek dan tanggap menangkap sinyalemen berkembangnya pembaruan. Atas prakarsa dari kepala desa dan BPD yang
tergabung dalam Panitia Munas Pemerintahan Desa (MUNAS PEMDES I) merintis dan mempelopori Musyawaral~Nasional yang Ggelar di Hotel Sahid Raya Yogyakarta pada tanggal 22-25 April 2005 sebagai penyempumaan proses MUNAS Desa sebelumnya hanya mengakomodir badan legeslatifnya (BPD) saja. Kepanitian MUNAS PEMDES diketuai oleh M. Sukro N. Harjono Lurah Selopamioro Kecamatan Imogiri-Bantu1 dan mendapat dukungan dari anggota BPD di DIY dan Jateng.. Harapan terselenggaranya Munas Pemdes adalah bukan hanya berhenti pada pembentukan akan tetapi lebih penting dan lebih esensi pada bagaimana mewujudkan langkah pembaruan desa di masing-masing desa. Kondisi yang diharapkan adalah menciptakan suatu gerakan bersama antara badan legislatif desa (BPD) bersama pemerintah desa memperjuangkan pembaruan desa yang sudah banyak menjadi wacana diskusi yang mana para aktor dan aktivisnya memberikan pcrhatian, sehitlgga pembentukan kelembagaan
terseb~tsebagai ruang mencapai suatu cita-cita bersama. Pada kenyataannya perjuangan yang dilakukan hanya oleh legislatif desa tidak membentuk perubahan desa yar~gdiharapkan. Oleh karena itu pada kesempatan ini perjuangan juga melibatkan peran pemerintah desa sebagai pelaksana dan mitra dari pada BPD sebagai legislatif dan penvakilan masyarakat desa. Para aktivis pembaruan sangat berharap mewujudkan pembaruan desa yang lebih baik dan lebih bermakna. Hasil Munas Pemerintahan Desa tidak dapat dicapai sesuai skenario yang diharapkan yaitu terciptanya suatu kelembagaan atau asosiasi yang memayungi BPD dan Pemerintah Desa. Harapannya adalah terbentuk suatu lembaga Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia. Di tengah musyawarah yang menentukan pembentukan kelembagaan pemerintahan desa terjadi dead lock yang dimotori oleh Lurah Sidourip Kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap (Suwardjo Hendro Wodjoyo, SPd, MM). Peserta Munas sedang diarahkan untuk membahas tentang wacana pembentukan Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia. Artinya, peserta Munas diharapkan dapat memberikan masukkan atas kelembagaan seperti apa dan bagaimana nantinya. Akan tetapi harapan terbesar terselenggaranya MUNAS Pemerintahan Desa adalah terbentuknya suatu Asosiasi Pemerintahan Desa seluruh Indonesia.
Di tengah acara inti, peserta Munas terpecah dalam dua pendapat yang berbeda yaitu: 1) kelompok pertama menyepakati adanya suatu kelembagaan yang mengakomodir pihak eksekutif desa dan legislatif desa yang disebut sebagai lembaga Assosiasi Pemeritnahan Desa. 2) Kelompok kedua memberikan pilihan bahwa kedua kelembagaan itu tidak bisa digabungkan menjadi satu payung assosiasi yang ditawarkan pada kelompok pertama. Artinya, kelompok kedua tidak bersepakat adanya assosiasi pemerintahan desa, lebih tepatnya menolak pendapat kelompok pertama. Kelembagaan itu tidak dapat disatukan dalam suatu asosiasi karena kelembagaan tersebut di dalam lingkup kerja atas keduanya berbeda-beda. Oleh karens itu kelembagaan yang dibentuk adalah assosiasi pemerintah desa (tanpa BPD di dalamnya). Untuk memberikan keputusan dalam musyawarah tersebut terjadi perdebatan panjang hingga terjadi dead lock. Untuk menurunkan kondisi para peserta yang sudah emosional, panitia memberikan waktu istirahat 1 5 menit untuk break. Waktu istirahat dilakukan oleh masing-masing kubu untuk masifikasi gagasan mereka pada para peserta lainnya, terutama kelompok mereka masing-masing, terjadi konsolidasi gagasan atas pemilihan dari kedua tawaran pembentukan kelembagaan tadi. Traumatik, antara pemerintah desa dan BPD berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 masih dirasakan oleh pemerintah desa. Kekawatiran tersebut adalah ketidakharmonisan hubungan yang terjadi di antara kedua lembaga desa tersebut. Terutama, penjegalan yang dilakukan oleh BPD kepada pertanggungjawaban kepala desa di akhir tahun merupakan suatu traumatik tersendiri bagi pemerintah desa. Penentuan suara berdasarkan vofting dilakukan untuk memberikan kepastian atas kelembagaan yang dipilih. Pemilihan dimenangkan oleh kelompok kedua bahwa bentuk asosiasi yang dibentuk hanya pada pernerintah desa saja (tanpa BPD). Dari hasil keputusan musyawarah tersebut dibentuklah APDeSI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia). Selain, terbentuk kelembagaan pemerintah desa beserta struktur pengurus pelaksana harian di DPP (Dewan Pimpinan Pusat), Musyawarah Nasional Pemerintahan Desa I menghasilkan beberapa rekomendasi, yaitu:
1. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul, adat-istiadat, dan prakarsa masyarakat yang diakui oleh sistern pemerintahan nasional yang berada di KotaKabupaten, oleh karena itulah perlu adanya : "payung hukum tersendiri khusus yang
mengatur fentangpemerinrahan desa ". 2. Perlu adanya revisi Undang-undang No. 32 Tahun 2004 khususnya yang mengatur tentang pemerintahan desa : a. Badan
Permusyarawatan Desa dimbah
dengan nama Badan
Penvakilan Desa sebagaimana UU No. 22 Tahun 1999. Badan Penvakilan Desa bukanlah bentukkan Pemerintah Desa tapi bentukan masyarakat desa. (UU No. 32 Tahun 2004 Bab XI1 Desa Bagian Ketiga). Kenibalikan tugas dan fimgsi pengawasan BPD. b. Jika Sekretaris Desa diangkat pegawai negeri sipil Pasal 202 (3), maka Kepala Desa juga hams diangkat menjadi p e g r ~ z negeri ; sipil. c. Untuk melaksanakan UU No. 32 Tahun 2004 agar peraturan Pemerintah (PP) tentang pengaturan pemerintahan desa segera diterbitkan. d. Untuk dana perimbangan sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 212 (c) agar direalisasikan dalam Tahun Anggaran 2005 dan minimal 10% dari APBD KabupatenIKota.
3. Dalam penyusunan APBN Tahun 2006 agar dialokasikan khusus anggaran untuk desa dan BPD. 4. Dewan
Penvakilan
Daerah
(DPD)
difungsikan
sebagai
mitra
pemerintahan desa dan merupakan penvakilan desa dalarn keputusan politik di lembaga Tinggi Negara.
S. Untuk setingkat pejabat Kepala Desa dan Sekretaris Desa minimal pendidikan formal adalah SLTA danlatau sederajat, mengingat perkembangan jarnan, perlu adanya SDM yang memadai.
6 . Setiap pembuatan rancangan PERDA di Pemerintahan Daerah agar Asosiasi Pemerintahan Desa dan Asosiasi Badan Penvakilan Desa dilibatkan sebagai salah satu penvakilan elemen masyarakat.
7. Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembangunan di desa hams transparan dan melibatkan tokoh masyarakat desa yang berkompeten sebagai pengawasan, agar terciptanya pernerintahan yang bersih.
8. Adanya pembangunan pemerataan di pedesaan. 9. Pemerintah Daerah KabupatenKota dapat membantu keuangan dan biaya transport dan uang saku peserta sebagai wakil daerah mengikuti kegiatan formal dalam musyawarah nasional (MUNAS) dan Rapat Keja Nasional (RAKERNAS). 10.Pemerintah
Daerah
DikabupatenIKota
untuk
membantu
dan
memfasilitasi pembentukan asosiasi di daerahnya masing-masing. Munculnya APDeSI dalam waktu selanjutnya menjadi tidak mempunyai pengamh yang signifikan sebagai lembaga formal yang diakui oleh undangundang. Hal ini juga yang memberikan dampak pada perjuangan yang bias dan tanpa terfokus terhadap pembman desa. Kepentingan lembaga dan pribadi menjadi alternatif ketika kepentingan anggota dan masyarakat desa sudah tidak lagi menjadi perhatiannya. Kembali, kegagalan koiisolidasi kekuatan masyarakat desa. Munculnya kelembagan cempalan akan dapat memberikan perhatian atas ketidakmapanan APDeSI
sebagai instrumen gerakan masyarakat untuk
memberjuangan kepentingannya.
Konflik Laten Intern: Paguyuban "Cempalan" APDeSI Selain kelembagaan tersebut di atas yang terbelituk dalam asosiasi, terdapat beberapa kelembagaan yang secara formal tidak diakui oleh UU No. 32 Tahun 2004. Keberadaan lembaga ce~iipaianyang dirnaksud adalah kelembagaan yang seharusnya masuk dalam asosisasi pemerintah desa (APDeSI) tetapi dalarn kenyataannya tidak dapat terlembaga dalam satu payung APDeSI tersebut. Permasalahannya adalah kepapa muncul kelembagaan cempalan, kenapa mereka tidak mengikutkan dalam asosiasi pemerintah desa, bagaimana mereka mewujudkan eksistensinya? Itu adalah pertanyaan yang menarik untuk dikaji jika kita akan melihat perkembangan kelembagaan cempalan dari APDeSI. Setidaknya
kenapa mereka membentuk kelembagaan yang tcrsendiri adalah suatu pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu. Kelembagaan cempalan yang dimaksud, dianggap atau tidak diakui karena secara formal tidak terdapat dalam peraturan. Pada UU No. 32 Tahun 2004 kelembagaan yang diakui secara formal adalah APDeSI. Harapan terbentuknya APDeSI adalah tenvakilinya seluruh perangkat dalam jajaran pemerintah desa. Jajaran pemerintah desa yang dimaksud adalah terdiri dari Lurah, Carik (Sekdes), Kepala Umsan (Kaur), Kepala Dukuh, dan Staf desa lainya. Artinya, Icepengumsan APDeSI terdiri dari unsur Lurah, Carik, Kqur, Kepala Dukuh, dan staf desa. Ketenvakilan dari semua unsur harus diakomodir oleh asosiasi tersebut, sehingga perwujudan ketenvakilan dan partisipasi di dalam kelembagaan tersebut dapat aspiratif dari banyaknya element pemerintah desa. Kelembagan cempalan terdiri dari lembaga Carik (Paguyuban Unggul Pawenang), Kepala Dukuh (Paguyuban Pandu), Kepala Bagian Pemerintah (Paguyuban Jogoboyo), Kepala Bagian Keuangan (Paguyuban Bodronoyo). Munculnya Paguyuban cempalan tersebut adalah salah satu kehendak untuk memberikan aspirasi dan partisipasinya dalam demokratisasi di tingkat kabupaten. Paguyuban digunakan sebagai sarana silaturahmi dan komunikasi terhadap perkembangan informasi. Sebagai wadah komunikasi dan musyawarah antar unsur pemerintah Desa di tingkat Kabnpaten dan Propinsi DIY, yaitu untuk sarana komunikasi dan gerakan dukungan terhadap kebijakan pemerintah yang berada di lingkungan kewenangan Pemerintah Propinsi DIY, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan, kepentingan, dan perkembangan sosial masyarakat. Walaupun, kehendak untuk n~elakukansuat~:gerakan sosinl dilakukan karena adanya arus kepentingan para anggotanya. Perkembangan kelembagaan cempalan ini kurang mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah daerah, sehingga aktivitas mereka cendemng mengikuti kebutuhan mendesak atas kepentingan yang sangat substantif para anggotanya. Kelembagaan cempalan yang masill aktif melakukan kegiatan dalam bentuk komunikasi, sidang pleno, dan sarasehan adalah paguyuban Carik Unggul Pawenang. Oleh karena itu, dibahas lebih mendalam kelembagaan tersebut untuk memperoleh gambaran tentang hubungan
sosial
politik
perkembangan
kelembagaan
ini.
Kelembagaan
paguyuban
diciptakan
dalam
rangka
mengakomodir kepentingan para anggotanya. Paguyuban Unggul Pawenang misalnya, pembentukkannya diawali dengan suatu koordinasi di Rumah Makan Parangtritis pada tanggal 15 Januari 2005. Diskusi kecil diikuti oleh peserta dari 21 orang Carik yang dianggap masih muda. Carik muda sangat berharap akan adanya suatu koordinasi yang nantinya, golongan Carik Tua hanya menerima hasil dari diskusi. Diskusi Carik Muda dilakukan adalah pertama, dalam rangka sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 yang baru saja disyahkan oleh pemerintah atas persetujuan DPR Republik Indonesia. Kedlm. konsolidasi Carik Muda untuk menggalang kekuatan dan inisiasi terhadap aplikasi dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang jabatan Carik yang akan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Ketiga, Carik Muda sebagai generasi penerus berkeinginan untuk mengkoordinasi Carik Tua agar dapat membantu aspirasi para Carik Muda yang nlasih mempunyai kesempatan untuk diangkat sebagai PNS. Artinya, kelembagaan yang diharapkan dapat memberikan dukungan atas pengangkatannya sebagai PNS, dan sebagai Carik Muda agar menjadi pemimpin depan yang termanifestasi dalam kepengurusan kelembagaan yang nantinya terbentuk, sehingga kelembagaan paguyuban carik merupakan suatu gerak mereformasi struktur senioritas yang selama ini tercipta dalam masyarakat jawa, khususnya di Kabupaten Bantul. Diskusi lanjutan 21 orang Carik Muda dilakukan pada bulan Februari 2005 untuk melakukan persiapan terhadap pembeniukan musyawarah yang hams diikuti oleh seluruh Carik di Kabupaten Bantul. Hasil diskusi itu disepakati bahwa
untuk pencapaian tujuan itu minimal harus n~empunyailenlbaga atau paguyuban yang bisa membawa aspirasi anggotanya. Perjuangan dilakukan menggunakan Paguyuban Carik yang melingkupi seluruh carik, sehingga perjuangan tidak dilakukan
sendirian.
Keputusan
musyawarah
menghendaki
bahwa
dilembagakannya dalam paguyuban carik dan kepengurusan tidak hanya dijalankan oleh Carik ~ u d a saja. * ~ Keterlibatan Carik Tua skbagai penyeimbang kepengurusan dan mempunyai kekuatan sosial politik diharapkan mempunyai kekuatan lobby vertikal (ke atas) dan horisonal (ke sampindmendatar). Hal itu " Carik
Muda adal* srbutan unluk Cnr~k)ang m w h nlemplltly.? kesenipatm Ionin hcrn~gxsnnlniahst scbagai Carik b c ~ m u ar n m 21-40 lahun Scdangkxn C m k Tul . a d ~ l dscblll.~n ~ d.111 C3rtk h4.1da 11n1uk1ncmbedak3n ~ilcltli&kmna Carik Tuamempunyai sedikit kesempafan lagi untuk tunln dari jabatwnya, termasuk untuk pengajuan untuk menjadi PNS.
kemudian yang diperhatikan oleh kelompok Carik Muda untuk mengakomodir Carik Tua dalam kepengurusan paguyuban. Kekuatan lobby ke atas artinya, paguyuban carik hams dapat memberikan masuldtan dan proses tawar kepada pemerintahan di atasnya, secara khusus ditujukan kepada pemerintah kabupaten hingga di tingkat pusat. Secara horisontal, pengaruh digunakan untuk mengakomodir anggota paguyuban melakukan komunikasi dan kegiatan lainnya. Setidaknya, ada harapan dari Carik Muda bahwa Carik Tua sebagai sesepuh atau orang yang dituakan akan dapat memberikan masukkan secara bijaksana ketika mereka diikutkan dalam stmktur pengurusan paguyuban. Sehingga, pengurusan paguyuban terbentuk dari dua unsur untuk setiap struktur kepengurusan yaitu setiap struktumya terdiri dari unsur Carik Muda dan Carik Tua. Munculnya Paguyuban Carik Unggul Pawenang mendapat perhatian banyak pihak dari para Carik di luar Kabupaten Bantul. Hal ini terbukti bahwa pembentukan kelembagaan Carik mulai dibentuk di setiap Kabupaten di Provinsi DIY. Eksistensi kelembagaan Carik juga terdengar hingga tingkat nasional. Diantaranya, di Jawa dan Bali sudah menggagas terbentuknya Paguyuban Carik. Interes para Carik tersebut distimuli oleh acara sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004
di Jakarta. Atas usulan dari Ketua Paguyuban Carik Unggul Pawenang di depan hadapan forum yang dihadirkan oleh Departemen Dalam Negeri. Sehingga, diagendakan untuk mengadakan konsolidasi Carik se Jawa-Bali di Hotel Sahid Jakarta pada tanggal 28-29 Maret 2005 yang embrionya berasal dari Kabupaten Bantul. Kelembagaan cempalan yang lain adalah persatuan Lurah dan Perangkatnya se-Kahupaten Bantul yang terkenal dengan nanla Paguyuban Tunggul Jati. Paguyuban Tunggul Jati diketuai oleh Drs. Sudirman (Lurah Desa Terong Kecarnatan Dlingo-Bantul). Eksistensi Paguyuban Tunggul Jati sudah terlebih dahulu mewadahi kepentingan lurah dan perangkatnya. Paguyuban Tunggul Jati juga ikut mendukung dan rnensukseskan proses peinbaruan desa. Sumbangannya yang paling nyata adalah dalam kegiatan seminar dan lokakarya pembaruan desa yang diadakan di Kabupaten Bantul dan DI Yogyakarta, hingga terlibat dalam Musyawarah Pemerintahan Desa seluruh Indonesia.
Kelembagaan APDeSI di Kabuaten Bantul secara tidak langsung mendapatkan permasalahan kelembagaan yang dilematis ketika berdampingan dengan Paguyuban Tunggul Jati. Pertama, munculnya APDeSI berbenturan dengan kelembagaan paguyuban lurah di Kabupaten Bantul. Kedua, kesepahaman atas pembentukan kelembagan APDeSI belum dan tanpa proses klarifikasi secara "bersih" di antara kedua pangurus di masing-masing lembaga. Paguyuban Tunggul Jati tidak banyak berharap atas adanya kelembagaan APDeSI yang tidak mengakomodir
anggotanya, termasu!:
Paguyuban Tunggul Jati.
Ketiga,
Kedudukan APDeSI yang lebih diakui legalisasinya secara yuridis dari pada Paguyuban Tunggul Jati, akan tetapi di mata para anggotanya tidak mendapatkan dukungan legitimasi yang kuat. Seharusnya proses klarifikasi sudah dilakukan sebelum dikurnandangkan APDeSI sebagai lembaga politik yang mewakili lurah dan perangkatnya di Kabupaten Bantul. Alasan rasionalnya adalah Paguyuban Tunggul Jati terlebih dahulu berdiri di Kabupaten Bantul sebelum APDeSI menjadi wacana diskusi. Eksistensi Tunggul Jati mendahului APDeSI, sehingga harapan atas kelembagaan yang ada selanjutnya, yang mengakormodir kepentingan Lurah harus berkoordinasi terlebih dahulu, setidaknya ada ruang koordinasi uhtuk melakukan peralihan kelembagaan seperti yang pemah dilakukan oleh ABPEDSI, saat berubah kelembagaan dari Forum Komunikasi menjadi Asosiasi kepada pemerintahan provinsi DIY. Secara ekstrim, Paguyuban Tunggul Jati berharap bahwa personil lurah dan pengurusnya secara langsung menjadi pengurus APDeSI atau setidaknya ha1 ini dimusyawarahkan bersama. Pada kondisi kelembagaan yang tidak mendapatkan aspirasi dari lembaga turunan APDeSI, hubungan antar kelembagaan menjadi tidak harmonis. Perjalanan perjuangan menjadi terkesan sendiri-sendiri dan tidak terkoordinasi dengan baik. Keprihatinan lembaga cempalan terhadap APDeSI bukan secara kelembagaannya yang dianggap mengkudeta paguyuban Tunggul Jati yang sudah ada terlebih dahulu. Akar permasalahan yang terjadi adalah karena tokoh pengurus APDESI
yang tidak dapat ngcwongke anggotanya. Figur seorang
pengurus memberikan pengaruh terhadap hubungan kelembagaan. Hal ini dapat dilihat dari kurangya aktivitas APDeSI baik di tingkat kelurahan atau di tingkat kabupaten. APDeSI tidak mempunyai jadwal kegiatan yang secara rutin
dilaksanakan untuk memberikan kesempatan para anggotanya untuk melakukan refleksi atas kondisi yang dialami letnbaga tersebut. Personil APDeSI hanya dekat dengan Pa Idham Samawi sebagai Bupati Bantul dengan maksud kepentingan pribadi atau kepentingan wilayahnya, terutama tokoh yang seharusnya berpengaruh memberikan masukk~nide atau solusi atas persoalan masyarakat Rantul. Sehingga, kepentingan para anggotanya menjadi terabaikan, dan tanpa aspirasi
yang
termanifestasi
dalam
kegiatan
kelembagaan.
Hubungan
kelembagaan yang terjadi menjadi faktor penghambat pembaman desa yang sesungguhnya, karena penguatan kelembagaan menj3di termandulkan oleh kepentingan yang tanpa partisipasi dan aspirasi para anggotanya. Kalaupun ini, bisa dipertahankan adalah karena adanya formalisasi perundangan dan dukungan material yang diberikan pemerintah kabupaten. Artinya, kegagalan APDeSI adalah mengabaikan dukungan horisonal dan mengakomodir lembaga-lembaga sejawatnya yang mempunyai potensi untuk menjadi penggerak pembaruan di tingkat lokal desa dan kabupaten. Secara, politis akan sangat memberikan dampak buruk bahwa APDeSI dapat dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah daerah. Pejuangan terhadap perubahan status objek menjadi subjek masih panjang dan hams dirintis ulang dari bawah, dari para anggotanya. Gerakan seperti di atas inilah yang memberikan sumbangan dinamika politik dan sosial walaupun tanpa pengakuan substantif dari para anggotanya. Gerakan Civil society inilah yang sehamsnya menjadi lembaga penyeimbang dan alat kontrol terhadap kebijakan pcn~crintahandi Kabupaten Bantul. Kemandulan APDeSI membuat fungsi kontrol yang dilakukan pada konsistensi &an harapan terbesamya pada tokoh Bupati Bantul. Terutama, keberadaan tokoh Idham Samawi sebagai Bupati Bantul yang terbuka dan memberikan sumbangannya kepada keadilan dan perlindungannya terhadap masyarakat bawali (miskin). Untuk maksud tersebut, ide-ide segar yang dikeluarkan masyarakat Bantul yang seharusnya dapat tersampaikan ole11 APDeSI dan asosiasi lainnya selalu menjadi wacana yang menarik karena orisinilitasnya menjadi mjukan pemerintahan di kabupaten lainya di Yogyakarta. Ide yang terealisasi dalam bentuk asosiasi dan paguyuban seperti: Paguyuban Tunggul Jati, Paguyuban Unggul Pawenang,
Paguyuban pandd3, APDeSI (Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia) dan ABPeDSI (Asosiasi Badan Penvakilan Desa Seluruh Indonesia), Institut Pembaruan Desa (IPD), dan Sekolah Pembaruan Desa (SPD) yang menjadi salah satu penggerak gagasan tentang dialektika pembaruan desa, yang beberapa tokohnya masih aktif melakukan sumbangan-sumbangan gagasan kepada pemerintahan kabupaten. Akhirnya, sumbangan yang aspiratif dari masyarakat tidak tersampaikan secara kelembagaan melalui asosiasi dan paguyuban yang ada, namun masih mensisakan bahwa sumbangan para tokoh yang disampaikan secara personal melalui kegiatan-kegiatan diskusi dengan para aktor di tingkat pemerintahan kabupaten yang masih sering dilakukan ole11 NGOs yang masih konsem terhadap pembaruan desa dan penguatan kelembagan pemerintahan (negara).
Relasi Antar Aktor (Instrument) Pembaruan Desa dari Bantul Pembahasan tentang pelembagaan sebagai usaha pembaruan desa yang telah digambarkan pada bagian di atas. Di Bantul pergerakan masyarakat yang telah difasilitasi dengan pemberdayaan dan pendarnpingan oleh NGOs memberikan dampak perubahan cara pandang dan sikap kepada pemerintah kabupaten. Pembahan sikap apatis menjadi suatu tata gerakan yang terlembaga. Kelembagaan yang terdapat di desa dipergunakan sebagai sarana keikutsertaan dalarn partisipasinya mendukung kebijakan pemerintah yang berorientasi pada masyarakat. Untuk memberikan kelengkapan atas kajian dipaparkan juga tentang dorongan kelembagaan untuk mendukung pembaruan desa dari Bantul. Selain berbagai stretegi yang harus dilakukan seperti di atas, proses pembaruan desa memerlukan faktor pendukung yang diharapkan dapat memberikan suatu energi penggerak yang tidak memandegkan gerakan sosial yang telah dilakukan oleh masyarakat dan banyak instrumen yang terlibat didalamnya. Oleh karena itu, perlu
" Paguyuban Dukuh yang diberinama Paguyuban "PANDU" didirikan pada tanggal 14 Januari 2006. dan direnmikan
(lunclnn~ublic)pada tanmal 17 April 2006 di Geduna .J o..~ i aExebilion Centre (JEC), dihadiri oleh 934 orana dukuh dari Kabup%n ~ a n l u idan , pc%altlan duluh-dukuh darl x~l;l);lh (jullung KlJul, Kulon 1'rog.l. Slcman. )n.>g m&ng-maslng mengirimkan 10-15 orang Kcpala Dukuhnys anluk n~rn)an~hat h:rJlr~n)a paguyban Jult.h P>mltl.
kiranya kita paparkan beberapa faktor pendukung yang sangat substansial memberikan dorongan yang kuat atas keberhasilan proses pembaruan desa. Menurut Juliantara (2002: 82-83) perubahan (pembaruan) desa bukanlah suatu jalan revolusi sosial yang hams dilakukan, melainkan pembahan evolusi. Perubahan evolusi yang dimaksudkan adalah suatu gerak pembahan bertahap. Pada pandangan ini kiranya harus dipahami bahwa perubahan sosial tidak menggunakan jalan kekerasan, sehingga mengandaikan adanya sinergi yang besar
dari berbagai elemen yang ada di masyarakat untuk bisa bekerjasama dengan baik, dibaxah maksud dan tujuan yang sama. Untuk mencapai kehendak perubahan yang evolusi yang diharapkan, setidak-tidaknya harus ada tiga ha1 sekaligus yaitu:
pertama, ada kekuatan - kekuasaan legal dan legitimit (mendapatkan legitirnasi). Kekuatan yang dimaksudkan di sini adalah adanya kebutuhan untuk bekerjanya suatu tata kekuasaan yang mendukung atau memiliki komitmen mengenai realisasi pembaruan desa yang konsisten. Adanya kekuasaan yang mendukung proses pembahan ini, sudah tentu mengandaikan adanya pembahan dalarn konfigurasi kekuasaan yang harus memberikan keberpihakannya kepada masyarakat desa, masyarakat bawah. Kedua, kebijakan pendukung. Dalam pandangan ini diharapkan ada suatu legalitas formal untuk membenarkan, menjadi dasar hukum, dan sekaligus yang mampu menggerakkan sumberdaya untuk pembahan. Kebijakan ini sudah tentu bukan kebijakan ekslusif, melainkan kebijakan yang disusun bersama masyarakat sendiri. Artinya, segala pengambilan keputusan yang terjadi di tingkat kekuasaan hams melibatkan masyarakat sebagai suatu representasi atas kehendak dan kebutuhan kepentingan dari dibuatnya kebijakan pendukung tersebut.
Ketiga, dukungan nyata dari rnasyarakat. Adanya dukungan tersebut diharapkan dapat berdampak pada dua ha1 sekaligus yaitu keabsahan dan kemudahan. Adanya dukungan dari masyarakat juga menjadi penyangga dan sekaligus tantangan dan kontrol atas masyarakat, sehingga alamat yang dituju sesuai dengan kehendak masyarakat itu sendiri. Dukungan ini hanya bisa tercapai apabila masyarakat dalam kesadaran dan terliimpun. Terhimpun dimaknai sebagai suatu kondisi yang terkoordinasi dan terlembaga sehingga mampu melakukan
gerakan-gerakan sosial yang diharapkan dapat mendorong partisipasi publik dan menjadipressure kehendak rakyat terhadap pemerintahnya. Munculnya kelembagaan yang ada di Bantul merupakan kekuatan yang memberikan suatu dorongan perbaikan pemerintahan menuju good governance (tata pemerintahan yang baik). Proses pembaruan desa yang pada intinya juga mengarah ke sana hams mendapatkan dorongan dari semua elemen. Dorongan tidak hanya pada kekuatan-kekuatan yang terlegitimasi seperti yang diutarakan oleh Juliantara di atas. Kekuatan sosial yang ada muncul dalam kerangka kebutuhan bersama para anggotanya untuk kemudian menjadi suatu gerakan (sosial) pada pencapaian tujuan yang diharapkan. ABPeDSI dan Paguyuban Unggul Pawenang misalnya mereka melakukan gerakan-gerakan yang diharapkan memperoleh hasil yang baik demi terciptanya good governance. Gerakan yang dilakukan dalam bentuk prilaku yang berlainan. Seperti misalnya, pada tanggal 18 September 2006 ABPeDSI mengadakan aksi lobby bersama di Kementerian Dalam Negeri (DEPDAGRI) untuk mensikapi wacana yang bergulir tentang perubahan UU 32 Tahun 2004 sekaligus menagih janji Pemerintah bahwa pada
tahun 2006 akan merubah undang-undang tersebut. Aksi lobby juga dilakukan dengan memberikan usulan RUU tentang Desa. Pemberian RUU Desa merupakan salah satu tuntutan untuk memperbaiki sistem pemerintahan yang memberikan perhatian secara khusus dengan mengeluarkan kebijakan tentang Desa. Sikap berbeda yang dilakukan oleh Paguyuban Carik Unggul Pawenang dengan mengadakan saresehan pada waktu yang sama. Banyak pertimbangan atas kegiatan yang dilakukan oleh Paguyuban Carik tersebut, yaitu: pertama, untuk mensikapi realisasi rekonstruksi pasca gempa maka perlu peran dan fimgsi carik dipertegas. Kedua, munculnya peran dan fungsi tersebut hams didukung dengan pengetahuan dan kemampuan dalam pclaksnnaannya di lapangan. Ketiga, untuk memberikan sikap bahwa Paguyuban Carik tidak mendukung perubahan UU 32
Tahun 2004, karena kepentingan Carik adalah diangkatnya sebagai Pegawai Negara (PNS). Sikap tersebut didukung dengan pemberian pemyataan sikap kepada Mendagri melalui suratnya, secara tertulis tentang proses percepatan pengangkatan carik terutama di wilayah Bantul untuk diljadikan pilot project (percontohan). Makna yang terkandung dalam percepatan pengangkatan carik
sebagai pilot project adalah untuk memberikan dukungan terhadap proses rekonstruksi pasca gempa bumi 27 Mei 2006. Keempat, bahwa acara saresehan juga dimaksudkan untuk memberikan penjelasan secara konkrit kepada Sultan dan para pihak yang berkepentingan atas suasana yang kondusif di DIY, bahwa Paguyuban Carik Unggul Pawenang tidak ada yang berunjuk rasa di Jakarta, karena berdasarkan pengalaman aksi perangkat desa seluruh Indonesia di Jakarta pada tanggal 3 April 2006 yang lalu Paguyuban Carik Unggul Pawenang mendapat teguran dari Sultan Hamengku Buwono IX. Artinya, kegiatan saresehan adalah untuk menghindari dimungkinkannya teguran dari Sultan Hamengku Buwono IX, karena kegiatan saresehan ini adalah wujud konkrit bahwa Paguyuban Carik Unggul Pawenang masih berada di Bantu1 - dalam suatu acara saresehan. Gerakan dalam bentuk perilaku yang berlainnan itu mencerminkan suatu kepentingan yang berbeda-beda atas suatu tanggapan terhadap fenomena tertentu. AEPeDSI mempunyai kehendak dan kepentingan atas perubahan UU No. 32
Tahun 2004 yang menurut mereka tidak mencerminkan aspirasi dan kehendak masyarakat, terutama menyusutnya peran BPD sebagai satu-satunya instrumen partisipasi masyarakat dalam pemerintahan desa. Termasuk diantaranya, kewenangan dan pertanggungjawaban Kepala Desa yang kemudian ditarik kembali ke atas, dan pengangkatan Carik sebagai pegawai negara (PNS) yang dianggap sebagai masuknya kembali negara di desa. Sehingga, Carik bukan lagi milk masyarakat desa akan tetapi dihak milik oleh Pemerintah yang secara struktural menjadi abdiS4negara, bukan lagi mefijadi abdi masyarakat desa. Sedangkan, Paguyuban Carik Unggul Pawenang yang menyatakan dirinya mengaspirasikan anggotanya, sangct mempunyai kehendak dan kepentingan untuk tetap dijalankannya UU No. 32 Tahun 2004. Alasan aksi ke Jakarta dianggapnya tidak mempunyai dasar, karena dasar pemerintahan daerah yang sekarang sudah ada dan itu diatur dengan munculnya UU No. 32 Tahun 2004. Paguyuban Carik melihat bahwa keberadaan undang-undang tersebut adalah suatu peraturan yang sudah baku secara yuridis formal. Undang-undang negara atau hukurn formal
Abdl: dapat dimaknai scbagai pelayan, yang mencerniinkan status dan posisi peran seseorang di bawah dari shuklur kckuasan dan stratitikasi di Jawa.
adalah aturan yang seharusnya ditaati, dan menjadi pijakan pedoman dasar untuk melakukan pelaksanaan pemerintahan di daerah termasuk urusan Carik yang nantinya menjadi PNS. Seharusnya, tuntutannya adalah bagaimana dan kapan segera terealisasinya undang-undang itu hingga di tingkat desa, dan berdampak positif terhadap kinerja dan pelayanan perangkat desa kepada masyarakat. Caik berhak mendapatkan fasilitas negara atas pengangkatan menjadi PNS, karena motor penggerak dinamisasi pemerintah desa adalah diperankan oleh Carik yang secara struktural posisinya di tengah antara kepala desa dengan perangkat lainnya temms.uk sebagai pelaksana teknis pemerintah desa. Oleh, karena itu, tuntutan Paguyuban Unggul Pawenang untuk mensegerakan realisasi pilot project pengangkatan Carik di Kabupaten Bantul menjadi orientasi utamanya. Di Kabupaten Bantul yang telah digambarkan di atas dapat memperlihatkan bahwa kekuatan legal formal sudah ada yaitu terbentuknya kelembagaan yang secara sah diakui oleh pemerintah. APDeSI merupakan suatu kelembagaan yang sah baik di tingkat Pusat maupun di Kabupaten Bantul. Dukungan terhadap kelembagan tersebut juga dilakultan oleh pemerintah kabupaten sebagai bukti dukungan secara formal terhadap gerakan pembaruan desa. Bentuk dukungan terhadap APDeSI adalah penyelenggaraan anggaran yang secara kuntinyu (rutin) diberikan untuk mengadakan kegiatan, rapat kerja, seminar, pejalanan dinas sebagai utusan daerah. Dukungan laimya adalah fasilitas mobil dinas berupa Honda Jazz biru berplat merah. Sehingga, masyarakat khususnya ada beberapa anggota BPD menganggap bahwa pimpinan APDeSI adalah pegawai kabupaten atau setidaknya bagian dari staf ahli bupati, karena mendapatkan fasilitas mobil dinas yang sangat bagus dalam parameter masyarakat bawah. Dukungan dan fasilitas yang tersedia dari pemerintah kabupaten tidak memberikan sinergi terhadap eksistensi APDeSI yang secara politis untuk melakukan gerakan pembaruan menyambut demokratisasi inenuju keadilan dan kemandirian. Hal ini sangat dipengaruhi oleh figur pemimpin yang kurang merespon dan direspon oleh anggotanya. Respon terhadap realitas pembaruan muncul dari ABDPeSI secara kelembagaan tidak mendapatkan Cukungan dan fasilitas seperti halnya diberikan kepada APDeSI. Namun, gerakan pembaruan yang dilakukan oleh ABPeDSI
dapat dikatakan lebih konkrit terhadap gerakan pendukung pembahan kebijakan pemerintah yang masih sentralistik, walaupun inisiasi lersebut juga mendapatkan dukungan dari NGOs. Atau ir.isiasi tersebut juga berasal dari staf ahli bupati yang sangat konsem terhadap pembaruan desa. Seperti kegiatan Sowan Ngarso Dalem Ingkang Sinuwun Sultan Hamenku Buwono IX, acara folk show di Taman Gabusan (TVRI), lokakarya pasca gempa, dll. Di Kabupaten Bantul, seorang pemimpin hams dapat ngewongke anggotane (memanusiakan anggotanya). Seorang pemimpin tidak berjalan sendiri dengan keputusannya sendiri, karena berjalannya organisasi dapat dilihat dari sejauh mana anggotanya aspiratif terhadap kelembagaan yang dimiliki. Di tubuh APDeSI, anggota tidak banyak memberikan aspirasinya pada kegiatan yang dilakukannya baik secara kelembagaan maupun oleh pemimpinnya. Hal ini dikarenakan konsolidasi intern kelembagaan belum dapat dilaksanakan dengan baik. Secara kelembagaan sebenarnya APDeSI menampung seluruh perangkat desa yang didalamnyajuga termasuk Carik, kaur-kaur, hingga padukuhan. Namun dalam kenyataannya, aspirasi mereka tidak terakomodir secara kelembagaan, bahkan keterpecahan dapat terlihat dengan munculnya paguyuban-paguyuban cempalan yang akhimya menggugat keberadaan kepengumsan APDeSI. Sehingga, tidak ada masukkan atau keikutsertaan anggota dalam setiap kegiatan APDeSI misalnya Carik mempunyai keputusan dan berjalan sendiri dengan institusi paguyubannya. Kegiatan APDeSI biasanya secara formal hanya dilakukan oleh pemimpinnya dan beberapa orang yang masih mendukungnya. Keputusan APDeSI yang secara institusional dikeluarkan pada forum publik belum menjadi keputusan bersama para anggotanya dan dianggap tidak mewakili aspirasi anggotanya di Kabupaten Bantul. Seperti, kegiatan dialog di Taman Gabusan, kehadiran pemimpin APDeSI hanya didukung oleh tiga orang kepala desa yang secara emosional berhubungan dekat dengan pemimpin APDeSI. Pendapatnya yang dilontarkan dalam acara dialog di TVRI tanggal 27 Juni 2006 pada acara Taman Gabusan tidak mencerminkan aspirasi dan kehendak dari anggotanya. Pendapatnya yang dilontarkan pada acara tersebut mendapatkan auto kritik dari kepala desa bahwa seharusnya tuntutan APDeSI seharusnya tidak sebatas pada anggaran dana bantuan dan rehabilitasi pasca gempa. Tuntutan
utamanya seharusnya adalah kebijakan yang mengatur tentang pelaksanaan distribusi bantuan rekonstruksi dan rehabilitasi agar mendapatkan legalisai yang berdampak secara adil kepada rnasyarakat korban gempa. Kritik yang sama juga pada acara sowan Ngarso Dalem Kanjeng Sinuwun Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal 1 Juni 2006 dalam rangka tuntutan masyarakat Bantul agar pelaksanaan rehabilitasi pasca gernpa memperhatikan potensi lokal dan membatasi intewensi pihak luar. Hal ini mencerminkan bahwa kekuatan kelembagan formal yang legitimit juga tidak bisa menjadi motor yang masif terhadap gerak pembaman desa. Peran pemimpin mefijdi kendala percepatan proses tersebut. Artinya, faktor peran pernimpin yang diharapkan oleh anggotanya menjadi sangat berpengaruh. Kuatnya dorongan dari NGOs yang konsem terhadap pembaruan desa juga berpengaruh terhadap percepatan proses tersebut. Sumbangannya dilakukan dengan memberikan mang-ruang diskusi dan mendorong suatu wacana yang diharapkan masyarakat hingga terealisasi, seperti rnendorong terbentuknya kelembagaan asosiasi BPD dan asosiasi Pernerintah Desa. Kegiatan NGOs juga dilakukan pada advokasi kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Permasalahan yang terjadi karena ketidaktahuan masyarakat desa terhadap pengetahuan dan birokrasi pelayanan publik yang diberikan oleh pernerintah kabupaten atau karena pihak pelayanan publik seperti kesehatan memberikan keberpihakkannya kepada kelon~poktertentu. NGOs memberikan masukkan dan pengertian atau yang sering dilakukan adalah sosialisasi dalam bentuk seminar dan diskusi-diskusi lokakarya tentang suatu issue yang berpihak kepada masyarakat. Seperti, kepelatihan advokasi sosial dan politik, kepelatihan hukum, dan pendampingan terhadap pemanfaatan lahan "wedi kengser". Pendampingan terhadap pemanfaatan tanah lungguh desa agar dikontrak atas nama bupati dengan anggaran APBD Kabupaten Bantul untuk dimanfaatkan oleh keluarga petani miskin secara bergantian. Advokasi di bidang kesehatan juga dilakukan pada masyarakat miskin yang mengalami kesulitan menerima akses pelayanan kesehatan, karena benturan tim medis yang tidak berpihak kepada masyarakat atau birokrasi kesehatan pelayanan yang tidak berpihak kepada rnasyarakat miskin. Padahal secara jelas bahwa, pemerintah menganggarkan dan menanggung masyarakat miskin yang sakit,
khususnya di Kabupaten Bantul memberikan fasilitas dan layanan intensif kepada ibu malahirkan mendapatkan fasilitas gratis untuk proses persalinannya. Secara lebih jelas dapat digambarkan posisi dan relasi antar pihak tentang pembaruan desa di Bantul seperti di bawah ini.
I Masyarakat I
/
Pemerintah
\
LSMIAsosiasi
Gambar 2. Hubungan para pihak mendorong pembaruan desa
Hubungan para pihak secara lebih rinci digambarkan sebagai berikut: pertama, pihak pemerintah disebutkan sebagai pemerintah kabupaten hingga pemerintah desa. Peran pemerintah memberikan kepastian kebijakan yang mendukung ke arah pembaruan desa yang dicitakan. Gerakan secara konkrit diturunkan pada program-program kegiatan yang mendorong partisipasi dan transparansi publik serta pelayanan yang mudah kepada masyarakat. Pemerintah yang responsif merupakan cerminan dari terselenggaranya penyelenggaraan pelayanan serta menciptakan partisipasi dan transparansi hingga di tingkat masyarakat. Kedua, masyarakat merupakan bentukan dari individu, kelompok. Masyarakat dalam cerminan individu dapat diperlihatkan dari para tokoh masyarakat yang melibatkan diri dalam kegiatan menciptakan peran figur dan teladan bagi masyarakat disekitamya. Masyarakat dalam bentuk kelompok dituangkan menjadi organisasi kemasyarakatan yang mendorong dan membantu gerak masyarakat. Gerak masyarakat merupakan rujukan bagi para aktor lainnya
untuk turut serta pada proses pembaruan yang diinginkan. Pada poses ini, gerak pembaruan berasal dinilai dari tingkat bawah. Ketiga,NGOs atau Asosiasi yang telah dibentuk pada dasamya memberikan
dukungan mendorong dan membantu desa (masyarakat dan pemerintahan desa) untuk menggerakan segala potensi yang dimiliki pada pencapaian tujuan pembaruan desa yang secara konseptual dipahaminya. Penurunan konseptualisasi yang memang diharapkan dapat membantu desa untuk menggerakan pada kondisi yang ideal dicitakan masyarakatnya.
SPD: Pemberdayaan dan Intcrnalisasi Pembaruan Desa Wacana otonomi dan desentralisasi yang sudah lama dikumandangkan banyak tokoh akademisi menghendaki adanya suatu realisasi hingga di tingkat desa. Kehendak bergulir hingga pada tuntutan untuk mengakomodir pemerintahan daerah hingga pemerintahan desa melakukan penyelenggaraan diri yang baik atas pemerintahannya (good governance). Desentralisasi dan otonomi adalah s u b perlawanan terhadap paradigma pemerintahan yang sentralistik dan tidak mengakomodir kehendak pemerintahan daerah yang pada waktu yang lalu didikte dan dieliminir kewenangannya dalanl segala aspeknya. Terutama, perjalanan pembangunan masyarakat sebagai entry point yang utama dilaksanakannya otonomi dan desentralisasi. Kewenangan pembangunan masyarakat menjadi tercerabut dari kebutuhan masyarakatnya yang dianggap bahwa pembangunan hams menuju suatu yang modem berdasarkan kemajuan dan ekspansi kapitalis. Sehingga, pembangunan yang dilllkukan pemerintah adalah menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam rangka berkembangnya investor kapitalis yang mempunyai modal besar dan tanpa memberikan dampak yang signifikan kepada masyarakat miskin. Alasan pembangunan yang otonom adalah ketidakseragaman kondisi kewilayahan dan potensi di setiap daerah yang ada di negeri ini. Penyeragaman yang pemah dilakukan oleh rezim Orde Baru hingga di tingkat desa telah mengakibatkan kemsakan potensi lokal yang ada disetiap daerah. Potensi lokal yang dimaksud adalah kelembagaan lokal dan surnbersumber daya yang dikelola dan dikembangkan untuk dikuasai oleh segelintir
penguasa, kapitalis dan kolonialisasi barn zaman global, hingga pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya yang dimiliki tanpa keterlibatan masyarakat lokal. Seperti disebutkan di atas bahwa pembaruan desa sebagai ideologi menciptakan altematif gerakan dan strategi perubahan sosial-politik dalam rangka menciptakan suatu capaian (goals) memperkuat peran elemen desa (negara), seperti yang pernah disebutkan oleh Fukuyama dalarn bukunya State-Building: Governace and World Order in The 21st Century (2004). Untuk mencapai goals yang diagendakan adalah proses internalisasi gagasan dan ide tadi harus dilakukan kepada sernua elemen masyarakat desa. Untuk memperoleh gambaran tentang proses intemalisasi seperti apa yang dilakukan dalam pembaruan desa adalah pembaruan pola pikir, pola tindak, pola tanduk. Pembaruan dibentuk dengan proses pemberdayaan yang dilakukan dengan instrumen sekolah pembaruan desa (SPD) kepada setiap elemen masyarakat temtama pemerintahan desa. Pemberdayaan dilakukan untuk memecahkan ideologi lama masyarakat, teruama ideologi yang memberikan hambatan atas proses pembaruan, yaitu proses penyadaran bahwa kehendak utama adalah pada masyarakat desa berdasarkan pada demokratisasi dan keadilan, menuju kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa. Pada kesempatan yang lain bahwa pelaksanaan desentralisasi dan otonomi yang sudah berjalan mulai tahun 1999, namun masih mendapat apriori dari pemerintah. Apriori yang berkembang adalah sejauh mana desa atau masyarakat bawah dapat melaksanakannya. Apakah dengan potensi yang ada sudah dapat berjalan dengan baik, apakah sumberdaya yang ada dapat mendukung proses partisipasi di bidang politik, sosial, dan ekonomi secara mandiri. Sebagai jalan tengah atas kesempatan demokratisasi menuju otonomi dan desentralisasi yang sedang diperjuangkan maka proses penguatan sumberdaya manusia di desa harus dilakukan. Dari luar desa, dimana NGOs melakukan penguatan dan dukungan atas percepatan pembaruan desa, &an tetapi apakah dukungan dari luar akan terns berlanjut. Sedangkan proses pembaman diharapkan tidak dalam suatu proses cepat (revolusi) akan tetapi akan berjalan tepat dan berkelanjutan, tanpa henti. Gerakan pembaruan desa bukan saja suatu perjuangan untuk mengubah arus pembangunan yang dilakukan pemerintah (negara) melainkan memperjuangkan
juga arus bawah yang selama ini merasa termarginalkan dan menghindarkan dari apriori di atas. Artinya sinergi antara arus perubahan yang diharapkan terhadap pemerintahan supradesa (arus atas) dengan penguatan arus bawah (masyarakat desa). Sehingga, masyarakat sipil (civil society) dalam bentuk partisipasi masyarakat memberikan sumbangannya pada hubungan dengan pemerintahan desa dan supradesa. Untuk menciptakan partisipasi dan keberanian masyarakat untuk turut serta dalam kegiatan pemerintahan secara demokratis maka instrumen utama yang dilakukan di Kabupaten Bantul adalah pemberdayaan yang dilakukan dalam bentuk sekolah pembaruan desa (SPD). Pemberdayaan intern desa (baik masyarakatnya atau pemerintahan desanya) menjadi penting dalam rangka kemandirian dan percepatan pembaruan desa yang demokratis tadi. Seperti, telah disebutkan di atas bahwa instrumen yang dipilih di Kabupaten Bantul dalam rangka penguatan dan pemberdayaan surnberdaya (intern desa) dilakukan dengan mengadakan Sekolah Pembaruan Desa. Penguatan pada kualitas dan kemampuan kapasitas intern desa - yang dilakukan untuk menyambut desentralisasi dan otonomi
-
melalui SPD"
dimaksudkan untuk:
1. Kemampuan untuk melakukan analisis desa terutama untuk menemukan kekuatan dan kelemahan desa, menemukan potensi dan persoalan substansial di masing-masing desa. Sejalan dengan itu, dibutuhkan pula kemampuan melakukan penyelidikan dasar secara cepat dan akurat, yang selanjutnya menjadi bahan dasar dalam proses analisis. Titik tekan pada materi analisis sosial adalah (a) menunjukkan bahwa analisa sosial merupakan instrumen yang amat diperlukan dalam proses pengembangan masyarakat; (b) menggambarkan berbagai bentuk dan proses pembahan dalam masyarakat sehingga dapat memperjelas posisi desa dalam kaitan pembahan makro; (c) memperkenalkan berbagai metode dalam melakukan analisis atas keadaan sekitar; (d) memperkenalkan hubungan masyarakat dan negara, dengan perkenalan kepada pemahaman mengenai hak asasi manusia, prinsip pemerintahan yang baik, serta hak dan Sekolah Pembaman Desa (SPD) Kabupaten Bantul, Tahun 2005 untuk Angkatan I1 dan 111. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Bantul, STPMDIAPMV, Jumsan llmu Pcmerintahan FlSlPOL UGM, FlSlP Universitas ATMAJAYA YKT, FlSlPOL UMY. LAPPERA Indonesia. "
kewajiban, sebagai warga masyarakat. Scbagai tambahan untuk analisis, dapat pula dikernbangkan materi yang lebih spesifik, tenltama untuk menjawab kebutuhan tentang pemahaman mengenai posisi hukum dan politik rakyat, yakni pembahasan mengenai konsep demokrasi, bernegara, negara hukum dan kewarganegaraan. Dalam kaitan ini pula masalah-masalah seperti otonomi daerah dan otonomi desa -khususnya pasal parlemen desa, masih laik untuk dijadikan bahan diskusi. Segi terakhir ini dimaksudkan sebagai wahana untuk mempersiapkan masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses demokratisasi di desa, dan wujud kemandirian masyarakat.
2. Suatu kemampuan untuk mengorganisir proses perencanaan desa secara partisipatif. SPD berusaha memberikan proses perencanaan yang bisa mencerminkan aspirasi seluruh masyarakat desa. Teknik-teknik yang sebaiknya dikembangkan termasuk mengembangkan teknik yang kontekstual, yang sesuai dengan situasi dan kondisi desa - karakter desa.
3. Kemarnpuan
untuk
mengupayakan
langkah-langkah yang
bisa
mendorong terjadinya perubahan-perubahan kebijakan, terutama di tingkat lokal. Dengan dernikian masyarakat diperkenalkan untuk ambil bagian secara produktif dalam mengupayakan suatu kebijakan dan termasuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang ada - terutama dikaitkan dengan kebutuhan dan persoalan konkrit masyarakat. Diharapkan bahwa keterlibat~?rakyat akan menjadi preseden bagi suatu proses yang lebih sehat, yakni rnernbangun kebijakan yang berbasis partisipasi masyarakat.
4. Suatu kemampuan komunikasi sosial. SPD memberikan bekal kemampuan untuk mengkomunikasikan persoalan dan gagasan-gagasan yang dimiliki masyarakat, atau mengaktualisasikan gagasannya, baik kepada kalangan pemerintah dan birokrasi desa, organisasi yang ada, ataupun kepada individu dalam masyarakat. Penguatan dilakukan berdasarkan pada: (a) pengertian dasar komunikasi ; (b) teknik-teknik berbicara, berpidato, berdiskusi, berdialog dan cara-cara komunikasi
yang efektif; dan (c) tentang media, t e r m a d kemampuan untuk mengembangkan media komunikasi masyarakat. 5. Kemampuan untuk menyusun kebijakan desa, dan proses-proses legislasi
yang partisipatif. Ketrampilan ini khususnya untuk kalangan BPD, dengan maksud agar BPD memiliki kapasitas untuk menterjemahkan aspirasi masyarakat dalam peraturan desa, atau membawa aspirasi ini kepada institusi supra desa.
6 . Kemampuan untuk mendorong motivasi masyarakat. Kemampuan ini lebih spesifik adalah kemampuan untuk "menggerakkan" masyarakat untuk bisa saling bekerjasama, untuk bisa bahu-membahu memperkuat desa. Hal ini dibutuhkan, potensi lokal di Bantul yaitu tradisi gotongroyong bisa tumbuh kembali, dan mengurangi ketergantungan desa dengan faktor eksternal (outsider). Sekolah Pembaruan Desa dipilih untuk melakukan penguatan wacana terhadap proses pembaruan desa yang sudah dilalui terlebih dahulu oleh pembentukan kelembagaan atau asosiasi. Termasuk di dalamnya, adalah meningkatkan daya tawar desa terhadap institusi supra desa. Hubungan antara Desa dengan Kabupaten masih sangat lemah, relatif rendah, sehingga banyak kebijakan kabupaten yang terasa "top down", dan tidak berbasis pada partisipasi desa. Untuk mengiringi proses pembaruan tersebut, Pemerintah Kabupaten Bantul melakukan keja sama dengan lembaga akademis dan NGOs. Keterlibatan NGOs adalah mendorong proses awal dan konsolidasi kelembagaan Sekolah Pembaruan Desa (SPD) tersebut. NGOs mengkoordinasikan dengan lembaga perguruan tinggi yang konsern terhadap pembaruan desa. Lembaga perguruan tinggi di Yogyakarta yang dirnaksud adalah Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) "APMD, Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL Universitas Gajah Mada (UGM), FISIP Universitas Atrna Jaya Yogyakarta (UAJY), FISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Serta NGOs yang dimaksud adalah Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LAPPERA) Indonesia. Pada SPD yang dimaksudkan tersebut di atas dapat meningkatkan daya kritis masyarakat desa, yang sudah terlalu larnanya mengalami fenomena
penindasan yang dilakukan faktor luar (out sider) desa. Program SPD utamanya melakukan peningkatan secara khusus pada partisipasi yang dilakukan dengan meningkatkan kesadaran, memperkuat daya kreatifitas dan sensitivitas yang kritis masyarakat clan memperkuat kele~nbagaanpemerintahan desa. Penguatan daya kritis masyarakat, menurut Juliantara (2002: 90-92) harm dilakukan melalui program yang diharapkan dapat meningkatkannya, yaitu 1) Program pendidikan politik; 2) Program pengembangan arena-arena pengambilan kebijakan, saling belajar dan berkomunikasi di kalangan masyarakat. Kedua program ini diharapkan dapat meningkatkan peran-serta masyarakat, berkembang atas prakarsa dari bawah, sehingga memunculkan action plan oleh masyarakat itu sendiri. SPD memberikan ruang-ruang diskusi dan penguatan wacana kritis beserta peningkatan kapasitas para pamong desa dan masyarakat desa yang tergabung dalam kelembagaan desa seperti: pemerintah desa, BPD, PKK, Karang Taruna, Forum Pemuda, dan kelembagan desa lainnya. SPD sebagai lembaga pendidikan non formal melakukan rekruitmen peserta dengan memberikan undangan kepada penvakilan setiap elemen yang dibatasi pada tiga orang peserta ur.tuk setiap desa. Ketiga orang peserta diharapkan mewakili setiap elemen desa, seperti satu orang Kepala Desa, satu orang BPD, dan satu orang dari kelembagaan masyarakat desa. Untuk melakukan tugas-tugas teknis difasilitasi oleh NGOs dengan pertimbangan bahwa pemahamannya atas wilayah dan mengakarnya hingga di masyarakat bawah yang sudah dilakukan sejak tahun 1998 di Bantul. SPD dalam capaiannya melakukan pemberdayaan pada setiap desa di Bantul yang terdiri dari 75 desa. Sampai saat ini, SPD sudah mempunyai 2 angkatan. Angkalan pertama dan kedua masing-masing telah meluluskan mahasiswanya stbanyak 45 orang dari 15 desa yang terakumulasi menjadi 90 orang di 30 desa di Bantul. Gambaran di atas dapat memperlihatkan bahwa jangkauan SPD dalam melakukan pemberdayaan dan penguatan masyarakat desa masih atau hanya bisa dilakukan pada elit desa yang diambil tiga orang dari penvakilan di setiap desa. Pemberdayaan pada elit desa ini dianggap sebagai suatu awal untuk merubah pandangan birokrat dan pemerintahan desa yang selama ini masih terhegemoni oleh kekuatan supra desa dan kuatnya hubungan sosial budaya yang tejalin secara
struktural terjalin sejak rnasa kejayaan keraton. Ketergantunan secara struktural menjadi semakin kentara tentang anggapan bahwa tokoh-tokoh (elit desa) di desa dapat menjadi manifestasi untuk menentukan keberhasilan dari proses kemajuan dan pemberdayaan untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakatnya. "Mahasiswa" lulusan dari pendidikan di SPD setidaknya dapat memberikan perilaku pada dirinya sendiri untuk mulai menghargai pola-pola demokratisasi yang tercermin dalam perilaku diskusi di desa. Antusiasme masyarakat alumni SPD untuk mengadakan partisipasi yang terkait dengan kebijakan pemerintah dan kepentingan masyarakat rnenjadi rneningkat di tingkatan individu. Kalaupun itu, alumni SPD merupakan tokoh rnasyarakat atau elit desa sangat berpengaruh memherikan perubahan terhadap perilaku masyarakat sekitamya. Seperti, masih kuatnya posisi lurah dalam pengaruhnya terhadap rnemberikan kebijakan dan menggerakkan perilaku masyarakatnya. Walaupun, kecenderungan pengaruh tersebut dapat digunakan sebagai dukungan untuk rnenggerakan perilaku politik masyarakat, misalnya dalam pemilihan Bupati Bantu1 pada tahun 2005, yang juga dimobilisir oleh kekuatan elit desa. Artinya, perubahan pola perilaku sosial politik seorang lurah dan elit-elit rnasyarakat di desanya dapat diharapkan memberikan dampak yang lebih besar kepada perilaku masyarakatnya. Pola perubahan perilaku masyarakat dimaksud adalah meningkatnya partisipasi terhadap demokratisasi di desa. Kecenderungan yang terjadi adalah perubahan pola perilaku masyarakat yang secara aktif memberikan partisipasinya terhadap kegiatan-kegiatan yang diusulkan bukan secara substantif dari kesadaran rnasyarakat desa. Bentuk partisipasi yang dilakukan oleh kuatnya mobilisasi dari elit desa yang dianggap masih dihargai sebagai seorang pemimpin dan tokoh masyarakat. Pengaruh para elit tersebut tidak selanjutya berpengaruh secara drastis terhadap pola perilaku partisipasi masyarakat desa. Hal ini diperlihatkan pada masih terhambatnya usulan perencanaan pembangunan desa dalam bentuk Rencana Pernbangunan Jangka MenengManjang Desa (RPJMP Desa), yang masih hams mendapatkan pendampingan dari outsider. Perilaku untuk memberikan
aspirasinya dalam rancangan pembangunan desa tersebut
berseberangan dengan kehendak para aktivis pembaruan desa. Idelanya, masyarakat sendiri yang menghendaki bentuk pembangunan yang diharapkannya,
dalarn posisi yang demikian partisipasi masyarakat masih sangat memprihatinkan. RPJMtP Desa merupakan suatu usulan local blue print56 berdasarkan kepada kehendak masyarakat. Oleh karena itu, R P J W Desa dapat menjadi parameter kehendak masyarakat atas kondisi desanya. Untuk memperkuat desa dapat dilakukan dengan memberikan RPJMP Desa kepada para pihak supra desa (outsider). Partisipasi masyarakat pada RPJM/P Desa yang diinisiasi oleh NGOs hanya sebatas pada proses pelatihan awal pembentukan kelembagaan inisiatif yang dimaksudkan untuk meneruskan usaha mencapai tujuan RF'JMlP Desa. Kelanjutannya proses ini sangat mernprihatinkan, karena masyarakat tidak lagi ikut berpartisipasi secara aktif untuk menindaklanjuti realisasi dari rancangan
RF'JM/P Desanya. Hal ini juga terkait dengan perilaku pemerintah supra desa yang kecenderungannya mengabaikan usulan dari masyarakat desa. Seperti adanya Muskerbangdes (Musyawarah Kerja Pembangunan Desa) yang usulannya secara struktural ke tingkat Kecamatan hingga tingkat Kabupaten. Menurut pengalaman, setiap usulan yang diajukan dalam Muskerbangdes atas kondisi kebutuhan yang telah dirancang bersama-sama masyarakat desa selalu tereliminasi di tingkat yang lebih tinggi, walaupun pengawalan dan pendampingan oleh tokoh masyarakat desa dan NGOs. Untuk mencapai partisipasi penuh masyarakat secara substantif tidak dapat berhasil dengan konsolidasi di tingkatan elit desa. Penguatan masyarakat desa menjadi alternatif yang tidak dapat disangkal kedepannya harus dilaksanakan secara transisi bukan lagi imperial, secara komprehensif tidak lagi parsial secara lokalitas, secara menyeluruh di suatu wilayah tidak lagi menglobal dengan sedikit penvakilan. Pertimbangan tersebut dilakukan untuk menciptakan suatu kondisi kekuatan lokalitas yang secara keseluruhan dapat diraih d a c setiap elemen desa mendapatkan kesempatan. Sehingga, harapan untuk rnenciptakan daya dukung kelembagaan secara menyeluruh kepada masyarakat (tidak hanya di tingkat elit) dapat tereaiisasi. Hal ini diharapkan dapat memperkuat peran masing-masing elemen desa (negara) untuk menciptakan kemampuan yang memadai. Oleh karena itu, SPD sebagai lernbaga pemberdayaan masyarakat menuju good governance L o c a l blue print mempakan kondisi ideal yang diharapkm oleh masyarakat, sehingga campur tangan pemerintah supra desa lid& dimungkinkm. Terminologi lersebul sebagai lawaran untuk memunculkm kekuatan lokal sebagai bentuk dsri kehendak masyarakat.
dan demokratisasi desa mengalihkan arahan kerja dan aplikasi sasarannya. Pengalihan sasaran dilakukan pada program SPD, yaitu dengan memusatkan proses pendidikan di suatu desa. SPD yang terpusat di satu desa dapat diikuti oleh semua elemen desa. Sehingga, pada angkatan ketiga diturunkan pada satu lokasi di Desa Trirenggo Kecamatan Bantul. Penurunan jangkauan kapasitas lokasi dan pelebaran jumlah elemen peserta SPD merupakan suatu ha1 yang dapat diharapkan dapat memberikan penyelesaian terhadap kegagalan di masa yang lalu, seperti telah sedikit digambarkan di atas. Walaupun, menurut penulis pemilihan lokasi sasaran masih harus dipertanyakan, dengan pertibangan masih banyak desa yang membutuhkan percepatan pendidikan yang membebaskan dan menguatkan, seperti di Desa Gadingsari Kecamatan Sanden.
GERAKAN PEMBARUAN DESA DI GADINGSARI
Pembaruan Desa: Harapan dan Falsafat Kekuatan Lokal Proses pembaruan desa merupakan suatu kerja menggunakan kerangka dasar yang mengarahkan perubahan desa ke arah yang lebih demokratis, partisipatif dengan berdasar atas keadilan untuk masyarakat desa yang terorganisir menjadi lebih baik. Walaupun dalam bentuk wacana pembaruan sudah dapat digambarkan tetapi pada kondisi demokratisasi dan desentralisasi menuju otonomi adalah suatu ha1 yang tidak mungkin kalau kita pada akhirnya membuat kondisi desa yang terseragamkan dalam kacamata yuridis dan akademis. Penulis tidak memberikan sLatu arahan yang pasti tentang bagaimana desa menjadi lebih baik. Pada kesempatan ini digambarkan beberapa pendapat dari para tokoh masyarakat yang dianggap mempunyai visi dan misi ke arah pembangunan desa yang lebih baik. Pertanyaannya adalah desa yang lebih baik adalah desa yang seperti apa? Kondisi masyarakat desa yang seperti apa? Inilah yang akan diutarakan pada sub bab berikut ini. Masyarakat desa adalah suatu kumpulan dari komunitas yang berdiri atas dasar kesamaan tempat tinggal dan hubungan yang intensif dalam komunitas tersebut. Untuk mencapai suatu komunitas desa yang maju hams ada suatu instrumen yang dapat menggerakan kolnunitas pedesaan pada suatu aras yang nlemberikan ruang toleransi yang besar pada usaha dan kemajuan komunitas di desa. Arah pembangunan yang dilakukan pada kesempatan terbesar diberikan kepada mnsynrakat scbngni komunitns icl.hcsnr tli desn. Walaupun kitn n~enyadnri bahwa bangunan desa tidak hanya pada tingkatan masyarakatnya saja, melainkan bagaimana kelompok elit desa yang terdiri dari para pamong desa dan lembaga yang sederajat dengannya, seperti BPD, LKMD. Penulis menganggap bahwa para elit lebih bersifat sebagai instrumen yang masifuntuk melakukan perubahan atau setidaknya menjadi stimulan perubahan masyarakat desa yang dicitakan. Kekuatan masyarakat terbentuk ketika kelompok berdasarkan pada kepentingan yang sama dalam suatu wadah untuk bergerak sebagai organisasi dan secara formal mendapat pengakuan legalitas dari pemerintah. Ada beberapa
perilaku yang diperoleh bahwa kemajuan dan kekuatan masyarakat atau civil society sebagai penggerak pembangunan masyarakat Desa Gadingsari yang memperhatikan pandangan dasar organisasi (organisatoris) tersebut yaitu: selep helep (self help), individualiied (keniandirian), solidariied (kebersamaan yang tidak memihak), dan integrated (besama-sama, manunggal). Keempat sikap tersebut dapat dijelaskan dalam pandangan niasyarakat desa sebagai berikut: Pertama, selep helep yang disebutkan sebagai suatu kekuatan yang berasal dari diri sendiri untuk melakukan selep koreksi (selfcoreciion) atau melakukan koreksi atas diri sendiri. Koreksi yang dimaksud dalam kacamata masyarakat Gadingsari adalah biso rumonso (bisa memahamiherempati) bukan rumongso biso (merasa bisalsok tahu) atau yang dapat diartikan sebagai prilaku masyarakatlindividu yang bisa memahami diri sendiri apa adanya tidak arogan (merasa bisa). Orang dalam kacamata ini mengatur dirinya sendiri untuk melakukan pergaulan dengan anggota masyarakat lainnya yang berdasarkan pada tata krama adat istiadat masyarakat setempat. Atau dalam pepatah disebutkan sebagai: dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Masyarakat Gadingsari dapat menempatkan diri pada berbagai tingkat tata nilai dan tata kelakuan yang dimiliki masyarakat. Dalam pandangan ini masyarakat dapat menempatkan diri dengan tepat pada setiap kesempatan. Masyarakat tidak merasa mempunyai kuasa atas setiap kondisi yang dihadapi, tetapi dapat meresponnya dengan sangat hatiliati terhadap gejolak dan dinamika perubahan. Kedua, individualiied (kemandirian) dapat dimaknai sebagai suatu kekuatan yang bcrasal dari diri scndiri yang diharapkan dapnt menciptakan suatu energi
untuk melakukan pelnbangunan yang dicitakannya. Kemandirian dapat dilihat dari pandangannya tentang diri sendiri dan kemampuamya memberikan potensi yang dimiliki pada lembaga dan organisasi, terutama dilihat dari kemampuannya memberikan sumbangan material dan tenaga kepada masyarakat. Dalam bentuk organisasi yang dikelola bersama menciptakan kemandirian pada kemampuannya
untuk melakukan respon terhadap kondisi anggotanya. Ketiga, solidariied merupakan suatu perilaku yang dapat menempatkan (diri sendiri) individu dalam masyarakat menurut porsinya yang sama, tidak membedabedakan,
berdasarkan
keadilan
masyarakat
yang
mencerminkan
watak
kehumanisan masyarakat desa. Dalam pandangatl ini diharapkan dapat tercipta masyarakat yang lebih egaliter mensikapi pertnasalahan sosial di sekitarnya. Sehingga, tingkatan masyarakat yang terstruktur secara sosial budaya dapat terrefleksikan menjadi tata struktur menghargai dan menghormati eksistensi individu/masyarakat lainnya. Keernpat, integrated merupakan suatu cita-cita mengkoordinasikan berbagai potensi yang dimiliki untuk menjadi suatu kemanunggalan (kesatuan), terutama kemanunggalan dalam bentuk cipta, rasa, karsa, dan karya. Integrated dapat menciptakan masyarakat yang kreatif dalam mendukung kemandirian masyarakat. Untuk merediasikan keempat komponen tersebut dapat diciptakan suatu organisasi masyarakat yang dalam bentuknya dikehendaki oleh masyarakat sendiri. Karakter masyarakat merupakan potensi penggerak organisasi yang secara akademis dapat disebut sebagai potensi lokal (local wisdom). Seperti, masyarakat Gadingsari yang mempunyai ciri khas dan karakter kebersamaan yang masih kuat, walaupun disebutkan di Gadingsari bahwa menurunya nilai gotong-royong sudah mulai terkikis. Karakter masyarakat yang seperti itu dapat dipergunakan untuk menjadikan proses perubahan menjadi semakin dapat dipercepat, terutama ketika perubahan yang dilakukan adalah perubahan yang dikehendaki oleh masyarakat desa sendiri. Pembentukan kelompok tani dan koperasi usaha tani di Gadingsari terbentuk atas usaha bersama masyarakat atas kebersamaan dan kehendak untuk melembagakan masyarakat tani dalam suatu wadah koordinasi, arisan, dan tulungtinulung (tolong-menolong) antar sesama masyarakat tani khususnya.
Orgnnizntoris: Tinoto, Tinrrlis, Tirinliti, Tir~rrtrrp Untuk menggerakan potensi lokal yang dimiliki masyarakat perlu diperhatikan langkah-langkah yang perlu dilasksanakan secara konkrit dan memenuhi sasaran organisatoris. Langkah-langkah yang dilakukan berdasarkan ngelmu (ilmu pengetahuan) sekolah yang tidak semua orang dapat berkesempatan dan dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, inilah yang memberikan karakter pada suatu kelompok masyarakat tersebut. O~ganisatorisdilaksanakan dengan
baik dan benar, jika dapat memberikan pengharapan atas anggota masyarakat yang lain. Organisatoris sebagai suatu kekuatan masyarakat yang diakui dan mengakar di masyarakat dan bergerak dengan empat kekuatan yaitu: tinoto, tinulis, tinaliti dan tinutup. Pada prinsipnya, keempat kekuatan tersebut merupakan suatu prinsip keorganisasian yang secara m u m juga dilakukan oleh setiap organisasi formal. Pertama, tinoto (ditata atau diatur) dimaksudkan sebagai suatu kekuatan untuk mengatur diri sendiri dengan norma-norma organisasi yang termanifestasi dalarn bentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADIART). Seperti, nama organisasi, tujuan organisasi dan pelaksanaan harian. Kedua, tinulis (ditulis) merupakan pencatatan segala aktivitas kegiatan organisasi. Pencatatan yang dilakukan sebagai suatu dokumentasi kegiatan dan tra~sparansipertanggungjawaban hepada para anggota, terutama para pihak yang berkepentingan dalam kemajuan dan berkembangya organisasi masyarakat di Gadingsari. Para pihak yang berkepentingan adalah bagi mereka yang memberikan dukungan baik berupa dana, data dan dukungan politik untuk setiap gerakan yang dilakukan. Pencatatan dilakukan pada pertanggungjawaban keuangan dan kegiatan harian. Seperti, surat-surat tembusan kepada para pihak, mengadakan pertemuan atau rapat anggota selalu menggunakan absensi atau c"afiar hadir peserta, notulensi dan lain-lain. Hal ini dilakukan untuk menciptakan suatu dokumentasi kegiatan yang terukur dan dapat dikontrol oleh para pihak tersebut di atas. Ketiga, tinaliti (diteliti) merupakan kegiatan yang dilakukan untuk meneliti atau mengecek ulang setiap distribusi kegiatan dari mulai perencanaan, prapelaksanaan, pelaksanaan, dan pasca-kegiatan. Setiap tahapan dari runtutan kegiatan yang terjadi selalu terawasi dengan bantuan para pihak sehingga, proses "kontrol" terjadi tanpa ada yang terlewati di setiap tahapannya. Sebenarnya, kekuatan tinaliti merupakan suatu para meter terhadap kecenderungan bahwa suatu organisasai dapat terkontrol dan terawasi. Para pihak dapat melakukan kontrol, walaupun, pada kekuatan rinaliti dapat dilakukan dari dalam organisasi oleh para anggota ataupun para pihak yang berasal dari luar organisasi yang mempunyai kepentingan seperti di sebutkan di atas.
Keempat,
disebut
sebagai
tinutup
(ditutup atau
diakhiri)
adalah
dimaksudkan bahwa setiap kegiatan yang dilakukan hams dilakukan dengan proses penutupan. Pada tahap keempat inilah setiap kegiatan aktivitas organisasi yang telah direncanakan diakhiri dan mempakan proses penyelesaian yang harus dilaksanakan. Konsistensi menyelesaikan masalah yang dihadapi ditekankan sehingga pencapaian tujuan hams tercapai pada kehendak bersama masyarakat. Seperti logika pembukuan, keempat kekuatan yang hams dimiliki untuk mencapai masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera adalah sama uengan logika pekerja akuntan yaitu hams tercatat dengan baik, kemdudian dilakukan koreksi dengan teliti, kemudian disatukan pada laporan keuangan, selanjutnya adalah penutupan buku besar. Keempat kekuatan prinsip keorganisasian hams bisa dilakukan oleh kelembagaan masyarakat dan terutama sekali adalah kelembagaan pemerintahan desa. Hubungan sosial organisasi dapat dijalankan dengan baik dan diarahkan pada arus bawah dan arus atas. Hubungan organisasi yang baik tersebut seperti dimaknai oleh Grarnsci tentang hubungan yang seimbang antara masyarakat politik dan masyarakat sipil menciptakan hegemoni bam untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan keberadilan yang teratur. Potensi kekuatan pembaruan masyaraat Gadingsari dapat dilihat dari beberapa gerakan sosial pembaruan desa yang dilakukan mulai dari tahun 1998 hingga sekarang. Temtama dapat dilihat dari berlangsungnya proses demokratisasi tanpa konflik dan anarkis yang telah dilakukan pada pemilihan Kepala Desa (Kades) pada awal tahun 2004. selain itu, beberapa gerakan sosial politik yang muncul memberikan aspirasi masyarakat dan proses partisipasi terhadap pemerintahan yang baik (good governance) di desa Gadingsari. Seperti Sosial Politik Masyarakat Gadingsari (SPMG), LIMG (Lembaga Inisiatif Masyarakat Gadingsari) dan Lembaga Ekonomi Masyarakat yang termanifestasikan dalam bentuk koperasi partisipatif. Hal tzrsebut yang difokuskan oleh peneliti untuk lebih melihat proses pembaruan desa di Gadingsari, dan beberapa proses sosial yang mendukungnya, seperti relasi-relasi sosial dari beberapa elemen pembaman desa yang turut serta dalam proses yang telah dilakukan.
Demokratisasi Masyarakat Gndingsari Perkembangan wacana demokratisasi yang berkembang di dunia kampus oleh akademisi tidak hmya kembali menjadi suatu wacana an sich. Perkembangan selanjutnya adalah menu~rIkanpada dataran realitas yang sehamsnya dilakukan untuk membebaskan keterpumkan yang tidak berkeadilan. Karena wacana demokratisasi adalah identik dengan partisipasi, pengambilan keputusan, kebersamaan, dan kemufakatan. Pengambilan putusan menyangkut masyarakat termasuk di dalamnya adalah hajat hidup sangat relefan dilakukan secara demokratis. Demokratisasi pada masyarakat desa sesunggulmya diakui sudah berkembang lebih lama dari pada perkembangan wacana demokratisasi yang digulirkan di dalam lembaga pendidikan tinggi dan para akademisi kampus. Sebagai contoh adalah pemberian aspirasi masyarakat yang dilakukan di depan kantor desa, pemilihan kepala desa yang dilakukan rnasyarakat, dan pertanggunjawaban kepala desa kepada masyarakat yang dilakukan secara terbuka di depan kantor desa. Ketiga contoh di atas mencerminkan partisipasi masyarakat dalam demokratisasi desa. Perkembangan demokratisasi di Gadingsari mulai tahun 1999 sudah berangkat pada konsolidasi menuju gerakan sosial. Temtama, support yang dilakukan oleh NGOs dengan mengadakan kepelatihan politik dan hukum kepada masyarakat temtama pada para tokoh masyarakat yang dianggap memiliki komitment pada perjuangan gerakan sosial pembaruan dan keadilan. Hal ini juga berdampak pada proses pemilihan Kepala Desa di Gadingsari pada tahun 2004 yang dilakukan secara demokratis dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Walaupun, pada kenyataamya, masyarakat melihat dampak pemilihan kepala desa pada tahun 2004 yang lalu belum berdasarkan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Karena pada kesempatan sekarang, masyarakat menyesali pilihan yang mereka lakukan pada dua tahun yang lalu. Mereka menganggap bahwa pemilihan kepala desanya adalah suatu kesalahan. Kesalahan memilih dirasakan pada kenyataan bahwa sekarang Kepala Desa sudah tidak memberikan perhatian secara adil kepada masyarakat Gadingsari. Penyesalan ini, pernah dikatakannya secara terbuka oleh seorang tokoh masyarakat di depan Kepala Desa (Ngadiran) yang dua tahun yang lalu terpilih. Dan Ngadiran yang mempunyai kebiasaan
responsif
-
pada lawan bicaranya
-
tidak memberikan banyak tanggapan atas
komentar warganya. Artinya, Ngadiran sebagai seorang Lurah merasakan kegagalan kepemimpinan yang dijalankan, terutama yang berdampak kepada masyarakat. Atau dapat dikatakan, bahwa benar, masyarakat sebenarnya mengalami kesalahan dalam memilih seorang kepala desanya. Dan dapat dimaknai bahwa apa yang dikatakan oleh warganya dengan terang-terangan merupakan pengakuan yang sebenarnya. Penjelasan tentang demokratisasi dan gerakan masyarakat akan dimulai dari sini. Proses pemilihan kepala desa pada hari Minggu, tanggal 11 Januari 2004 yang dimenangkan oleh Ngadiran adalah sebuah proses demokratisasi di Gadingsari. Walaupun, masih menjadi pertanyaan bahwa tingkat partisipasi seperti apa yang menjadi dasar warga masyarakat Gadingsari untuk memberikan hak suaranya kepada Ngadiran tersebut. Ngadiran yang kini berusia 50 tahun pada saat itu, mengalahkan dua calon lainya yaitu Purwito dan Mardjuki. Purwito adalah kepala Padukuhan .... sedangkan Mardjuki adalah seorang pejabat Badan Perwakilan Desa (BPD) yang saat ini menjabat sebagai seorang Ketua BPD Gadingsari. Pemilihan yang dipusatkan di Balai Desa Gadingsari diikuti oleh 6.083 orang dari 6.882 jumlah pemilih. Pemilihan suara dilakukan dalam dua tahap pemilihan, pertama pemilihan yang diikuti oleh ketiga orang peserta calon Kepala Desa. Kedua, pemilihan dilakukan setelah dua orang pemenang dengan perolehan suara tertinggi untuk mendapatkan seorang pemenang. Pada tahappertama pemilihan suara diikuti oleh ketiga perserta calon yaitu, Ngadiran, Purwito, dan Mardjuki. Pemungutan suara dilakukan di setiap padukuhan. Artinya, setiap padukuhan terdapat satu buah Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pemilihan tahap pertama dimenangkan oleh Ngadiran memperoleh 2.750 suara, Punvito 1.950 suara dan Marjuki 1.033 suara. Pada tahap kedua pemilihan diambil dua perserta di atas yang nlemperoleh suara terbanyak yaitu Ngadiran dan Purwito. Melalui tahapan kedua atau final, pemilihan dimenangkan oleh Padukuhan Wonorejo 11 dengan suara yang diperolehnya sebanyak 3.109 suara. Menurut masyarakat bahwa pe~nilihanKepala Desa dimenangkan oleh Padukuhan Wonorejo 11, karena Ngadiran adalah warga Dukuh Wonorejo 11.
Proses pemilihan Kepala Desa yang disebutkan di atas dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: pertama, konsolidasi para calon yang memberikan pengaruhnya kepada pemilih. Konsolidasi dilakukan oleh Ngadiran adalah mengajak para Dukuh (Kepala Padukuhan) sebagai tim sukses Pilkades. Pengakaran yang kuat masing-masing Dukuh di nlasyarakat membuat penyebaran image baiknya menjadi cepat tersebar dan mendapatkan aspirasi masyarakat.
"Kampanye" yang dilakukan oleh Dukuh tidak hanya dirasakan oleh masyarakat disekitar tempat tinggal Dukuh dan Calon Kades. Ada beberapa tokoh masyarakat yang sebelumnya mempunyai calon atau jagonya sendiri, juga mendapatkan pengaruh dari masukkan para Dukuh untuk memilih Ngadiran sebagai Kades Gadingsari. Kedua, selain kuatnya tim sukses yang di dukung tujuhbelas orang Kepala Dukuh di Gadingsari, Ngadiran juga sempat membagi-bagikan uang dan menyambut tamu yang bekunjung ke rumahnya dengan jamuan yang menarik. Kondisi yang demikian, dilakukan sebelum pemilihan berlangsung di setiap distrik. Sehingga, suara terbanyak dapat diperoleh dengan mudah untuk mengantarkannya menjadi Kepala Desa Gadingsari. Ketiga, aktifnya Ngadiran memperjuangkan kegiatan masyarakat sebelum perencanaan pemilihan. Pada kondisi yang demikian dikarenakan posisi dan kedudukannya pada saat itu menjadi pejabat sebagai Kepala Dukuh Wonorejo 2. Aktivitasnya di masyarakat selalu mendapatkan perhatian dan simpatik, terutama dengan keduduknnya sebagai Kepala Padukuhan memberikan "pertolongan" kepada masyarakat di padukuhannya
untuk
~nendapatkan pclayanan
pengurusan
administrasi
kependudukan sampai di tingkat desa. Perkembangan demokratisasi di Gadingsari tidak menunjukkan peningkatan perbaikan, terutama di lapisan masyarakat terbawah, gressroots. Menurut mantan Kades bahwa demokrasi nlasyarakat Gadingsari masih urung dong (belum mengerti masyarakat), waton wani, wani, Ian wani, durung manut jalure atau hanya bisa berani, berani, dan berani belum mengikuti jalumya yang benar. Berani mengajukan perbedaan,
yang tidak rasional, dan belum tentu
kebenarannya. Dalam proses demikian, masyarakat Gadingsari mendapatkan support wacana demokratisasi dari NGOs yang konsem terhadap pemberdayaan
demokratisasi masyarakat desa, seperti yang dilakukan oleh 1.appera Indonesia
mulai tahun 1998 hingga 2005 dalam hentuk pelatihan dan lokakarya serta seminar-seminar hingga dalam bentuk pendanlpingan aksi yang menyertakan beberapa tokoh masyarakat. Pelaksanaan pemberdayaan yang dilakukan kepada tokoh masyarakat membuahkan hasil menuju gerakan sosial dan politik masyarakat yang selanjutnya dipaparkan pada penjelasan di bawah ini.
Gerakan Sosial Politik Masyarakat Gatlingsari (SPMG) Masyarakat
Gadingsari merupakan masyarakat
guyub
dan d u n
(gemeinschafien) yang solid dalam melakukan gerakan sosial. Gerakan sosial yang dilakukan selalu berdasarkan pada aspirasi dan kepentingan masyarakat. Artinya, gerakan sosial dilakukan tanpa mempertimbangkan issue politik yang terdapat di Gadingsari. Bahkan, gerakan sosial secara langsung dapat memberikan dampak pada munculnya issue politik dan pemerintahan. Perjuangan yang dilakukan selalu mendasarkan pada kepentingan yang bersangkutan langsung dengan kehidupan warga masyarakat. Seperti, keberadaan akses terhadap wedi kengser di Kelurahan Poncosari (sebelah Barat Kelurahan Gadingsari), dan bantuan rekonstruksi dan rehabilitasi pasca gempa. Walaupun, ada isu yang direspon secara bersama atas dasar kepentingan politik a k z :etapi ha1 ini biasanya mertdapatkan support dari NGOs dari luar desa. Sumbangan NGOs terhadap penyadaran politik masyarakat dilakukan melalui memberikan pendidikan kepelatihan politik dan hukum kepada masyarakat. Seperti yang pemah dilakukan oleh Lappera di Padukuhan Ketalo Gadingsari, hingga terbentuknya Sosial Politik Masyarakat Gadingsari (SPMG). Kepelatihan yang pemah dilakukan juga telah menciptakan aktor-aktor demokrasi. Akto-&tor yang terbentuk dalam SPMG beberapa diantaranya masih tetap konsiten dengan proses pembelajaran den~okratisasidan gerakan rakyat. Aktor demokrasi tersebut selalu siap melakukan respon pada tindakan-tindakan atau kegiatan yang tidak berkeadilan kepada masyarakat Gadingsari, walaupun masih dalam tahap yang relative pasif. Dalam artian, bahwa para aktor yang telah menj~ditokoh masyarakat melakukan gerakan merespon ketika ada pengaduan dari masyarakat. Dalan~kondisi seperti ini, bukan berarti para tokoh masyarakat
tidak mengetahui gejolak sosial yang terjadi di masyarakat, akan tetapi melakukan respon tanpa suatu dasar dari bawah adalah suatu usaha yang elegan golek
momongan (cari-cari kerjaan saja). Sifat pasif tokoh masyarakat yang seakan tidak memberikan perhatian kepada masyarakat atas kondisi yang menimpanya, ketika tanpa pengaduan, akan tetapi menjadi respon balik yang bersifat aktif ketika masyarakat sudah memberikan informasi secara langsung kepada tokoh masyarakat. Mereka akan memberikan respon dengan menampung informasi yang diberikan masyarakat dengan menerimanya di rumah-rumah tempat tinggalnya. Terutama sekali, meraka melanjutkan kepada para tokoh masyarakat yang lain, sehingga issue yang sudah mencuat di masyarakat menjadi kesepahaman bersama di antara tokoh masyarakat. Artinya, perjuangan yang dilakukan tidak dilakukannya sendiri. Sehingga, mereka tidak akan melakukan aksi secara langsung kepada para pihak yang menjadi "lawan" politik dari pada masyarakat yang menuntut keadiliui. Gerakan yang dilakukan untuk merespon gejolak di masyarakat adalah
pertama, masifikasi gagasan dari peramasalahan yang di alami oleh masyarakat. Pada kondisi ini biasanya masyarakat banyak yang berkumpul di rumah tokoh masyarakat yang dianggap mampu memberikan perhatian dan masukkan untuk menyelesaikan permasalahan. Koordinasi yang dilakukan oleh masyarakat di rumah tersebut tidak hanya terjadi dalam beberapa hari saja, akan tetapi hampir setiap malam mereka akan terus berkoordinasi hingga masifikasi gagasan tentang permasalahan mengkristal dan diperoleh akar masalahan dari semua fenomena atau gejala sosial yang terjadi di masyarakat.
Kedua, setelah akar permasalahan ditemukan dan mencapai suatu kesepahaman kondisi yang sebenarnya, tokoh masyarakat melakukan koordinasi dengan anggota NGOs (LSM) yang telah mempunyai hubungan baik di tingkat Kabupaten Bantul dan Yogyakarta. Konsultasi yang dilakukan adalah mengenai strategi penyelesaian masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat, dengan memberikan informasi permasalahan secara bersama dalam forum FGD (Forum
Groups Disscution) yang dipandu oleh anggota LSM. FGD dalam pandangan masyarakat disebut sebagai rembug-rembug warga. Konsultasi dilakukan oleh tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat biasanya berangl~;: inengendarai sepeda
motor atau mobil yang dimiliki oleh warga masyarakat untuk melakukan konsultasi dengan tokoh-tokoh NGOs. Walaupun, dalam kondisi tertentu tokoh masyarakat berusaha untuk berangkat sendiri tanpa menyertakan anggota masyarakal lainnya untuk szgera bertemu dengan LSM, karena informasi yang didapat dari LSM merupakan suatu yang sangat prestisius. Tokoh masyarakat setidaknya mendapatkan pengakuan ketika masyarakat menerima informasi hasil konsultasi dengan tokoh LSM. Tokoh masyarakat lebih menyukai jika masyarakat menerima informasi langsung dari dirinya, sehingga keberadaan tokoh masyarakat mendapat pengakuan dari masyarakat atas informasi yang diberikannya. Seseorang disebut sebagai tokoh masyarakat dengan pertimbangan bahwa: 1) memiliki keberpihakan kepada masyarakat, 2) netraiitas yang obyektif, 3) tanpa tendesi dan kepentingan material, dan 4) perjuangannya hanya kepada keadilan masyarakat. Hubungan antara tokoh masyarakat dan tokoh LSM di dasarkan pada kekeluargaan yang secara tidak langsung mengaburkan kepentingan politik masing-masing pihak. Hal ini dapat dilihat dari rasa penghormatan dari para tokoh LSM kepada tokoh masyarakat di Gadingsari. Biasanya, mereka sowan ke rumah tokoh masyarakat yang sudah dianggapnya sebagai tetua atau orang tuanya. Sebaliknya, tokoh masyarakat di Gadingsari biasanya memberikan "imbalan" dalam bentuk barang-barang atau makanan, seperti memberikan Kelaps Muda Kopyor, seolah ini dianggapnya sebagai oleh-oleh yang secara tidak langsung merupakan ucapan terimakasih, dan rasa persaudaraan atas hubungan yang terjalin selama ini, terutama atas masukkan dan kosultasi permasalahan gerakan massa di desanya. Ketiga, koordinasi di tingkatan masyarakat Gadingsari untuk memberikan
informasi penyelesaian yang telah dilakukan bersama LSM. Dalam forum tersebut berkumpul masyarakat yang jumlahnya lebih banyak dari hari-hari sebelumnya pada tahapan pertama dan kedua, mereka biasanya memberikan informasi secara lebih detail dan mencatat informasi yang diperoleh sebagai bahan untuk tindak lanjut gerakan. Forum ini sifatnya sangat sederhana tanpa format acara yang formal akan tetapi anggota inasyarakat berbicara bergantian menanggapi informasi yang diperoleh. Pada diskusi yang dilakukan masyarakat bebas memberikan informasi yang dimilikinya mengenai semua kondisi di lapangan
yang diketahuinya berdasarkan pendapat dirinya sendiri maupun pendapat dari masyarakat lainnya yang tidak sempat datang berkumpul. Hasil dari kepelatihan itu terarah pada suatu kesadaran atas kepentingan politik ketenvakilan masyarakat di lembaga legislative desa (BPD). Pada saat itu, pembentukan BPD diatur berdasarkan Peraturan Daerah yang mensyaratkan penvakilan berdasarkan jumlah penduduk di setiup desa. Sumbangan masyarakat untuk merespon Peraturan Daerah No. 20 Tahun 2002 tentang Pembentukan BPD (Badan Penvakilan Desa) dilakukan dengan melakukan dialog dengan DPRD Kabupaten Bantul. Wacana pembentukan BPD pada tahun 2002 menjadi menarik bagi masyarakat Gadingsari terjadi karena beberapa pertimbangan yaitu: pertama, proses sejarah pemerintahan di Gadingsari tahun 1946 pemah dilakukan otonomi desa dengan berdasar pada Instruksi atau Maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono IX tentang Pemberian Otonomi Kepada Pemerintahan Desa, yang utamanya pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Kelurahan (DPRK). DPRK sebagai lembaga legislatif di tingkat desa mempunyai kedudukan yang sama (sejajar) dengan Kepala Desa (Lurah). DPRK beberapa hngsi sosial-politik yaitu:
1) untuk menampung dan memberikan aspirasi masyarakat kepada pemerintahan desa sebagai lembaga eksekutif; 2) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan desa. Ketiga, penytrsunan anggaran perencanaan belanja desa (APBDes); 3) DPRK juga mempunyai fungsi penting menangani masalah pertanahan, kasus pertanahan harus dibahas bersarna antara DPRK dan Lurah. Dalam Maklumat tersebut, pembentukan DPRK merupakan penvakilan dari setiap dusun (l'adukuhnn). Tatn cara ynng dilakukan adalah setiap dusun mengirimkan satu orang wakilnya untuk duduk di pemerintahan desa sebagai anggota DPRK. Setiap anggota DPRK dari masing-masing dusun dipilih secara langsung oleh masyarakat. Perubahan keanggotaan DPRK terjadi pada tahun 1955, dimana yang duduk di dewan legislatif desa di Gadingsari yaitu, setelah terjadi pemilu, pewakilan DPRK ditentukan berdasarkan partai politik yang memenangkan pemilu, sehingga bahwa netralitas DPRK menjadi pemasalahan tersendiri di intern kelembagaan. Proses menuju otonomi kembali menjadi kabur setelah menguatnya DPRK pra pemilu '55.
Kedua, penvakilan pembentukan BPD sebagai lembaga legislatif seperti
DPRK yang dijelaskan di atas, tidak ditentukan berdasakan penvakilan di masingmasing padukuhan, melainkan perwakilan distrik, yang terdiri dari beberapa padukuhan (dusun). Kalau pembentukan DPRK diwakilkan oleh masing-masing padukuhan sehingga anggota DPRK sejumlah padukuhan yang ada di Gadingsai yaitu 18 orang, maka dengan sistem penvakilan distrik anggota BPD menjadi hanya terdiri dari 13 orang, dilengkapi dengan satu orang sekretariss7 BPD. Pemilihan sekretaris BPD dilakukan dengan proses rekruitmen dan pendaftaran setelah dilakukan pengumuman kepada masyarakat. Ada dua calon sekretaris BPD mendaftarakan diri. Proses pemilihan dilakukan secara langsung oleh anggota pemerintah desa, sebagai representasi pemerintah, karena secara struktural sebenarnya sekretaris BPD adalah pegawai pemerintah desa yang digaji berdasakan tanah lungguh atau tanali bengkok. Ketiga, tidak adanya proses ketenvakilan dalam penentukan anggota BPD,
karena proses keterwakilannya mengingkari struktur ketenvakilan pemerintahan desa yang seharusnya ditentukan berdasarkan masing-masing padukuhan. Penentuan keanggotaan BPD yang jumlahnya 13 orang adalah berdasarkan pada kuantitas jumlah penduduk Gadingsari. Berdasakan peraturan pemerintah daerah tentang pembentukan BPD pada pasal 32 bahwa jumlah anggota BPD ditentukan berdasarkan jumlah penduduk desa yang bersangkutan yang ditentukan sebagai berikut, jika: 1) jumlah penduduk sampai dengan 1.500 jiwa, maka jumlah BPD terdiri dari 5 orang; 2) jumlah penduduk antara 1.501 sampai dengan 2.000 jiwa, maka jumlah anggota BPD 7 orang; 3) jumlah penduduk antara 2.001 sampai h BPD ada 9 orang; 4) jumlah penduduk dengan 2.500 jiwa, maka j ~ ~ m l aanggota antara 2.501 jiwa sampai dengan 3.000, maka jumlah anggota BPD adalah 11 orang; dan 5) jun~lahpcnduduk lebih dari 3.000 jiwa, maka jumlah anggota BPD maksimal adalah 13 orang. Di Gadingsari mungkin hanya berkurang hingga 8 orang penvakilan dari 8 padukuhan yang "tidak dapat ikut serta" dalam pencalonan pemilihan, akan tetapi kalau kita melihat tetangga desa Gadingsari, terutama di Desa Poncosari yang memiliki 24 padukuhan, sehingga jumlah anggota RPD tidak dapat terwakili dari 6 orang dari jumlah padukuhan yang ada.
" Sekretaris BPD dipilih secara Lerpisah oleh perangkat desa Gadingsari dari tigu calon yang rnengajuka" lamaran.
139
Walaupun, secara organisatoris kegiatan gerakan masyarakat dalam forum SPMG dikatakan sudah maju dan terorganisir, akan tetapi pada tahun 2000 pengakuan terhadap lembaga seperti itu, tidak mendapatkan perhatian secara penuh dari pemerintah. Terutama, respon dari pemerintah desa yang menggangap SPMG sebagai lembaga yang tidak dapat bekerjasama dengan pemerintah desa, karena tidak sepakat dengan kebijakan pemerintahan yang jauh dari semangat pejuangan partisipasi masyarakat. Seperti, kekosongan kepala dusun (Dukuh) di Padukuhan Ketalo yang sudah tiga tahun lebih belum ada penggantinya, karena Dukuhnya ditun~nkanoleh masyarakat atas inisiasi dari SPMG karena tidak dapat membawa aspirasi masyarakat Ketalo. Artinya, pemerintah masih secara formal menerima masukkan dari masyarakat. Pendapat masyarakat yang tergabung dalam SPMG memberikan aspirasinya kurang diperhatikan dalam tindak lanjut penyelesaian pengaduan. Masukkan pendapat atau pengaduan segera mandapat respon ketika dilakukan oleh kelembagaan formal yang secara legal diakui keberadaannya. Hal ini terlihat dari pendapat pemerintah desa Gadingsari yang selalu memberikan sikap yang apiori terhadap kelompok SPMG, yang dikatakannya bahwa SPMG hanya memberikan kerusakan pada sistem pemerintah desa. SPMG dianggap selalu kontra dengan pemerintah desa, dan mempunyai potensi untuk menghambat tata pemerintahan yang sedang dijalankan oleh Lurah. Sampai di sini, gerakan masyarakat Gadingsari dalam bentuk SPMG menjadi tidak maksimal.
LIMG: Kekuatan Terorganisir Masyarakat Gadingsari
Untuk mempertegas gerakan masyarakat sebagai formasi civil sociev yang memiliki legalisasi maka masyarakat Gadingsari didukung banyak pihak melakukan pengorganisasian hingga terbentuknya Lembaga Inisiatif Masyarakat Gadingsari (LIMG). Pengorganisasian LIMG merupakan tindak-lanjut dari gerakan yang dilakukan oleh SPMG. Munculnya LIMG juga dimotori oleh penyadaran untuk membentuk kekuatan civil society yang kuat dan diakui oleh pemerintah. Hasil pertemuan masyarakat desa seluruh Indonesia di Kali Urang Yogyakarta, masyarakat Gadingsari berkehendak melembagakan secara legal
formal SPMG dalam bentuk dan naina baru seperti tersebut di atas, yaitu LIMG. Secara otomatis, tokoh masyarakat yang tergabung dalam SPMG memberikan dukungan dalanl memperlancar kepengumsan kelembagaan LIMG. Gerakan LIMG dilakukan untuk mendorong penemuan permasalahan sosial politik hingga tercapai suatu solusi dan penyelesaian oleh masyarakat. Inisiasi diberikan melalui sumbangan tercapainya solusi kepada banyak pihak di Gadicgsari. Dorongan LIMG yang kuat addah menciptakan anggota BPD pada
tahun 2001. LIMG mendorong anggota BPD yang menurut mereka dapat memperkuat lembaga tersebut dalam fungsinya mewakili aspirasi masyarakat. Kernudian usaha yang dilakukan adalah mengajukan tiga anggota LIM yang merupakan representasi tokoh masyarakat dan dapat dipercaya untuk menjalankan tugas penvakilamya di BPD. Seperti, SPMG, kondisi LIMG masih dianggap sebagai musuh yang berseberangan dan tidak mendukung pemerintah desa. Pada kondisi tertentu perjuangan LIMG secara ektrim dicap sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada tahun 2002, kondisi yang demikian mendapat sambutan dinamis dan menjadikan semangat gerakan LIMG terhadap pemerintah desa. Kegiatan yang dilakukan menuntut pemerintah desa dengan melakukan kritik dan demonstrasi terhadap kebijakan desa yang masih mengabaikan aspirasi dan kepentingan masyarakatnya. Kegiatan sosial politik yang dilakukan oleh LIMG tidak semua masyarakat dan perangkat desa menganggapnya sebagai suatu aktivitas yang buruk. Masyarakat masih ada yang menganggap kegiatan sosial politik scpcrti tcrscbut scbagai suatu yiu~grcsponsif, karena ~nasihada masyarakat yang melakukan pengawasan langsung terhadap pemerintahan desa. Akan tetapi, kegiatan tersebut tidak mendapat snmbutan dari pelnerintahan desa, karena ketidaknyambungan paradigma atas pandangan yang mendasari gerakan yang dilakukan oleh LIMG sebagai lembaga sosial masyarakat (LSM lokal). Kelanjutan gerakan LIM di Gadingsari mulai melemah pada tahun 2005. Indikasi yang perlu diperlihatkan adalah bahwa: perfama, LIMG tidak lagi mengikuti wacana dan perkembangan demokratisasi dan otonomi di tingkat Kabupaten yang menjadi salah satu agenda dari misi kelembagaannya. Hal ini diakui oleh Ketua LIMG yang masih menjabat: bahwa apresiasi secara kelembagaan LIMG sudah tidak dapat mengikuti ritme gerakan demokratisasi.
LIMG sebagai organisasi formal tidak dapat rnenjalankan fungsi dan visinya sebagai lembaga dan mendorong gerakan masyarakat Gadingsari. Narnun secara personal dan individual Icetua LIM masih aktif rnenggerakan masyarakat dalam bentuknya yang lain. Terutama sekali kegiatan LIMG secara personal dialihkan menuju gerakan masyarakat tradisi dalam bentuk pemberdayaan di bidang kesenian dan koperasi. Kedua, kepengurusan LIMG sudah tidak lagi berjalan secara maksimal. Kepengurusan LIMG hanya dilaksanakan oleh Ketua LIMG dengan melakukan koordinasi kepada anggota-anggota yang masih konsern terhadap organisasi. Anggota organisasi yang sudah tidak lagi aktif dalam orgrrisasi dapat dikatakan sebagai orang yang murtad, menghilang dari organisasi. Sehingga, mereka yang murtad tidak mendapatkan informasi kegiatan organisasi LIMG. Kelompok yang "murtad" disebutkan adalah mereka yang sudah masuk dalam kelembagaan desa di BPD, namun tidak lagi melakukan misi dan visi LIMG seperti yang telah diagendakan sebelumnya. Padahal perencanaan awal terhadap masuknya anggota LIMG di dalam kelembagaan BPD memberikan masukkan kritis agar kebijakan pemerintah desa berpihak pada kepentingan masyarakatnya. Kenyataannya, mereka tidak lagi dapat melakukan gerakan yang berpihak secara politis, melainkan hanya dilakukan secara teknis memenuhi kebutuhan persyaratan administrasi pelaporan tahunan Lurah Gadingsari kepada Bupati Bantul. Ketiga, tidak adanya koordinasi internal dengan pemerintah desa. Hubungan yang berawal dari kecurigaan antara pemerintah desa dengan lembaga masyarakat belum dapat teratasi, sehingga kondisi ideal untuk saling menguatkan belum terealisasi. Posisi anggota LIMG yang duduk di BPD tidak dapat menjalin silaturahmi kelembagaan untuk mendekatkan kelonggaran (barrier) hubungan tersebut. Anggota LIMG yang disusupkan menjadi anggota BPD ada tiga orang yang memulai proses SPMG hingga terbentuknya LIMG menjadi lembaga kemasyarakatan yang legal. Namun dari ketiga sumber daya yang dimiliki tidak dapat menggerakan pemerintahan desa untuk menjaga image LIM dan mensinergikan kekuatan politik di kedua pihak. Pada proses rekonstmksi dan rehabilitasi rumah pasca gempa ketidakharmonisan keduanya dapat terlihat jelas. Gerakan LIMG menuju proses penguatan pemerintahan desa menyelesaikan
bantuan pasca gempa tidak berjalan dengan baik. Bahkan ini bukan menjadi prioritas utama sebagai instrumen ~ l n t ~ i kken~bali melakukan pendekatan penguatan pemerintd~andcsa, yang sehnrusnya dilakuan oleh gerakan pembaruan desa. Ada tuduhan yang dilontarkan pihak pemerintahan desa bahwa Ketua BPD (sebagai anggota LIM) melaporkan ltetidak becusan Kepala Desa dalarn penanganan pasca gempa untuk pembentukan Pokmas (Kelompok Masyarakat). Anggapan tersebut masuk pada ranah politik bahwa laporan yang dilakukan oleh Ketua BPD adalah salau satu cara untuk menggulingkan jabatan Kepala Desa. Padahal kondisi yang sebenarnya adalah bahwa Ketua BPD-sebagai
masyarakat-menghantarkan
wakil
masyarakat desa yang mengalami ketidakadilan
pendataan dan distribusi bantuan yang diturunkan oleh pemerintah desa. Alasan pemerintah desa bahwa pendataan dan distribusi bantuan hams berdasarkan pada data korban gempa by name yang sudah diturunkan dari Pemerintah Kabupaten. Keempat,
bahwa
tidak
adanya
pendampingan
dari
NGOsILSM.
Pendampingan yang diberikan biasanya adalah proses diskusi dan wacana perkembangan politik di luar desa dan pendampingan penyelesaian masalah. Proses pendampingan biasanya dilakukan untuk mencapai jalan demokrasi. Hal ini juga diusulkan oleh mantan Kades Gadingsari agar para pihak yang n~engetahui proses jalur demokrasi penyelesaian masalah rekonstruksi dan rehabilitasi dapat memberikan masukkan dan menuntun masyarakat mencapai tujuan keadilan. Terutama, keadilan bantuan kepada masyarakat yang sangat membutuhkan, karena kondisi di lapangan ternyata masih banyak masyarakat yang tidak sesuai dengan kriteria penerima bantuan terdaftar di data penerima bankan by name yang digunakan sebagai rujukan pembentukan Pokmas.
Kopcrz~si:Gcralcnn Orgnnis Ekononli Msndiri
Organisasi yang baik dapat mencapai suatu tingkatan yang disebut oleh masyarakat sebagai kelembagaan yang organis. Artinya bahwa suatu organisasi yang sudah terbentuk tidak hanya berlambangkan adanya jumlah keanggotaan, melainkan tercipta juga suatu karya. yang terstruktur clan tersistematis agar dapat terukur ole11 setiap anggotanya. Gerakan organis yang hingga sekarang dilakukan
dengan membentuk kelembagaan koperasi. Koperasi menjadi rujukan masyarakat dalam menjalankan kehidupan usahanyn. Sejarah perkembangan koperasi atau kelompok usaha masyarakat di Gadingsari selama Orde Baru dapat dikatakan berkembang karena banyak bantuan dan suntikan dana yang dimasukkan kepada koperasi. Akan tetapi, sumbangan yang diberikan tidak diberikan secara cuma-cuma. Seperti pepatah barat yang mengatakan bahwa tidak ada makan siang gratis. Bantuan kepada koperasi diberikan dengan imbalan pada pengakuan dan legetimasi kepada rezim otoriter. Pengakuan yang dilakukan secara coersive oleh masyarakat kepada pemerintah tersebut yang dikatakan sebagai penciptaan hegemoni. Walaupun, dalam kondisi yang demikian perkembangan koperasi bagi masyarakat dianggap meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Akan tetapi, dalam masa selanjutnya, dimana koperasi sudah tidak lagi mendapatkan bantuan dari pemerintah setelah Orde Baru tumbang dari kekuasaannya, berdampak pada krisis pertumbuhan koperasi yang selama ini dibanggakan. Kedala ini tercipta karena rekruitmen keanggotaan yang tidak aspirasi berdasarkan kepentingan masing-masing anggota, melainkan oleh kuatnya rezim pemerintahan melakukan penekanan kepada setiap kelompok bentukan pemerintah untuk dhobilisir. Artinya, kesadaran anggota dalam proses rekruitmen termanipulasi oleh kekuatan penguasa. Hal ini bisa diperlihatkan dengan munculnya program kclonipok tani yang terbentuk karena program Kridit Usaha Tani dan Bimas pada tahun 1980-an hingga akhir tahun 1990-an. Kelompok usaha atau koperasi dibentuk berdasarkan kepentingan atas program pemerintah tersebut, sehingga masyarakat tidak pemah merasakan kepemilikan atas kelompok usaha tersebut. Perubahan rezim dengan reformasi pertengahan tahun 1998, proses penyadaran yang telah dilakukan oleh NGOs dan lembaga swadaya masyarakat di Gadingsari menawarkan paradigma baru tentang suatu kebersamaan dan kesejahteraan. Masyarakat mulai menyadari kebutuhan untuk membangun usaha bersama Pembentukan koperasi sejalan dengan rasa solidaritas masyarakat Gadingsari tercermin dalam azas kekeluargaan. Di Gadingsari terdapat 5 buah koperasi yang tercipta pada konsep dasar kehidupan masyarakat Gadingsari. Kondisi kedaerahan, dan rasa kekeluargaan mendorong pada usaha mandiri yang
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Proses penyadaran ini, tercipta pada kondisi masyarakat yang mengalami kemakmuran dengan dinamika ekonomi kemajuan sebelum kearnbrugan dar~jatuhnya rezim Orde Baru. Akan tetapi, kemulculan keorganisasian koperasi di Gadingsari justru, setelah kehancwan rezim Orde Baru. Yaitu, sekitar tahun 1999 hingga 2000 beberapa koperasi muncul menyikapi krisis moneter dan ekonomi yang terakumulasi oleh kebijakan Orde Baru yang tidak memihak kepada masyarakat miskin, dengan beban utang yang tinggi oleh konglomerat. Seperti munculnya, Koperasi Andini Raharjo tahun 1999, dan kelompok Masyarakat Rukun Agawe Makmur (RAM) tahun 2000. kemunculannya, tidak hanya menyikapi permasalahan yang terjadi di masyarakat yang mengalami kendala permodalan, termasuk juga menyelesaikan permasalahan dengan mengadakan pelatihan dan pencarian modal tambahan kepada Deperindagkop di Kabupaten Bantul hingga di tingkat Nasional. Kegiatan rutin dilakukan setiap bulannya, merupakan bukti bahwa kegiatan koperasi di Gadingsari merupakan suatu koperasi yang organis. Kegiatan, kredit atau utang piutang dilaksanakan menurut jadwal kelompok arisan yang telah sejak tahun 1990, sehingga tidak mengganggu kegiatan ekonomi masyarakat lainnya. Karena, pada awalnya pembentukan koperasi tcrcipta atas keresahan masyarakat paguyuban arisan di Gadingsari yang akhimya terbentuk berdasarkan kelompokkelompok usaha. Seperti, kelompok usaha ternak, yang dilakukan oleh koperasi Andini Raharjo. Masyarakat yang memanfaatkan kelembagaan koperasi adalah masyarakat dengan usaha kecil, para pedangang kelontong, menggarap lahan pertanian, mengurus peternakan, hingga usaha jasa. Pada perkembanyan selanjutnya, hingga awal tahun 2007, beberapa pengurus menyelesaikan laporan pertanggungjawaban untuk dipaparkan pada kegiatan terbesar tahunan koperasi yaitu rapat anggota. Menurut beberapa pengurus yang sudah n~ulaikritis mensikapi permasalahan dinamika koperasi yang digelutinya, mengungkapkan bahwa dalarn perkembangannya koperasi yang dijalankan bersama teman-teman warga Desa Gadingsari setiap tahunnya mengalami peningkatan permodalan maupun jurnlah anggotanya. Akan tetapi yang masih disayangkan adalah bahwa kegiatan seperti koperasi yang diberikan bantuan dari pemerintah hanya memberikan bantuan kredit yang sudah tidak lagi
sesuai dengan kondisi inflasi ekonomi. Artinya, jumlah pinjaman yang selama ini diberikan kenlungkinan pada tahun ini (2007) tidak akan dapat mencukupi kebutuhan masyarakatnya. Menurut pengalaman tahun sebelumnya, bahwa masyarakat yang meminjam dalanl batas minimum untuk modal usaha, kebanyakan menggunakannya untuk keperluan konsumtif. Sehingga, usaha-usaha produktif mereka tidak lagi berkembang, terutanla adalah masyarakat Gadingsari yang sebagian besarnya adalah petani. Mereka akan kualahan mengadakan pinjaman sementara harga jual gabah tidak mereka sendiri yang menentukannya, padahal harga barang-barang produksi sudah tidak karuan peningkatan harganya. Alhasil, ketika petani panen raya penutupan hutang dengan biaya produksi yang tinggi, dan harga gabah yang tidak sesuai mengakibatkan petani meningkat kapasitas kemiskinannya.
Dinamika Hubungan Kekuatan Masyarakat Desa sebagai suatu entitas dan kesatuan yang di dalamnya tidak hanya dapat dimaknai sebagai suatu barang (thing). Desa merupakan suatu komunitas yang ,'~ terdiri dari pemerintah desa, lembaga perwakilan desa, tokoh m a ~ ~ a r a k a tdan masyarakat yang terdiri dari kelompok individu dan keluarga. Oleh karena itu, desa bukanlah luasan lahan yang terbentang dengan persawahan dan ladang pertanian lainnya, melainkan lebih dari itu terdapat suatu pola hubungan antar individu (actor) yang mempunyai peran yang dilakukan untuk menciptakan hubungan dan relasi sosial politik di desa. Seperti, pemerintah desa memiliki peran memberikan pelayanan kepada masyarakat (termasuk di dalamnya adalah tokoh masyarakat dan lembaga-lembaga sosial-budaya, ekonomi, dan politik yang ada di desa). Lembaga perwakilan desa yang sekarang disebut Bamusdes (Badan Permusyawarahan Desa, BPD) mempunyai peran sebagai mitra dan merupakan "representasi" masyarakat. Para aktor tersebut mempunyai peran-peran yang tidak
" Tokoh rnasyarakat nlerupakan srorang individu atau keluarga yang mendapatkan penghargaan masyarakal untuk menempati posisi atau slatus sosial yulg dihargai olch ulggota rnasyarakalnya. Kedudukan sebagai tokoh masyarakat biasmya diherikan oleh masyarakat karena beberapa pertiinbangan: penam4 pendidikan alau titel (gelar) ymg diperoleh di bangku sekolal~;kedu& secara ekononii nlemiliki luasan twlah pertmian yang tidak lajim banyaknya dibandingkan dengan warm sekitamya, me~iiilikisumla prod.~ksi,dui scbagai P C ~ B ! Y B ~negcri; ~ ketiga, sccara, sosio-politik smwung (merakyaf) dal perhatian kepada tnasyarakal bawah.
semuanya tertulis, akan tetapi masing-masing pihak saling memahami. Bagi mereka yang termasuk dalam kelembagaan formal mempunyai tata cara yang tertulis (tinoto), sehingga peran-peran yang dijalankan dapat terkontrol secara ideal, seperti, Kepala Desa, Perangkat Desa, Barnusdes (BPD),dan lembagalembaga sosial laimya yang sudah terlegalisasi, di desa ada PKK, LPMD. Hubungan secara struktural di Gadingsari dapat digambarkan sebagai berikut: pertama, nlasyarakat desa sebagai kelompok greesroot terdiri dari individu-individu yang mempunyai banyak kepentingan. Kepentingan sosial atas status sosial-budaya yang sampai sekarang masih dimaknai oleh masyarakat sebagai kekuatan hubungan kekeluargaan. Pada kelompok ini, individu membentuk keluarga hingga hubungan antar keluarga. Hubungan antar keluarga dalam satu keturunan biasanya disebut hubungan trah. Dalarn hubungan trah, biasanya terdiri dari beberapa generasi keluarga, baik dari keturunan ayah maupun ibu. Walaupun, garis hubungan struktural biasanya didasarkan pada sistem paternalistik, akan tetapi pengakuan terhadap semua anggota keluarga dihormati sebagai anggota trah. Oleh karena itu, hubungan keluarga di Gadingsari mencakup keturunan ayah dan keturunn dari ibu. Hubungan trah tidak dibatasi pada wilayah administrasi desa. Kekuatan hubungan trah menjadi sangat kuat ketika hubungan antar keluarga terjalin dengan figur seorang kepala keluarga yang dituakan baik berdasarkan umur maupun kekuasaan yang dimilikinya pada saat mereka masih muda. Biasanya, para tetua yang menjadi sentral dari hubungan trali mempunyai umur antara 50-80 tahun. Kedudukan sosialnya pada masa terdahulu dapat diakui oleh masyarakat di desanya, baik dari tingkat ekonomi, status sosial, dan memiliki jabatan politik di desanya, baik sebagai tokoh masyarakat, Kepala Dukuh, hingga menjadi Pamong Desa dan Lembaga Masyarakat Desa. Kedua, terdapat lembaga masyarakat yang secara politik menyatakan
dirinya netral dan independen. Pada tingkatan ini tidak hanya ditentukan berdasarkan kelembagaan, melainkan ketokohan seorang individu yang ditokohkan oleh masyarakat dapat pula dimasukkan dalam kelompok ini. Individu-individu yang dianggap oleh masyarakat sebagai tokoh masyarakat biasanya mempunyai posisi yang netral dan independen dalanl melihat
permasalahan politik desa. Mereka tidak hanya diperlukan dalam problem politik, namun menjadi konsultan tingkat desa yang menjadi sarana bagi masyarakat untuk melakukan diskusi dan sharring permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Biasanya masyarakat menyebutnya scbagai DPRnya atau lurahnya masyarakat. Tokoh-tokoh tersebut dianggap dapat memberikan masukan yang obyektif dan sekaligus memberikan solusi yang diharapkan masyarakat. Seperti, LIMG memberikm eelah-celah yang perlu digerakan dan menlberikan konsultasi. Masyarakat melakukan konsultasi kepada DPR mereka dengan pertimbangan jaringan yang dimiliki oleh para tokoh masyarakat tidak hanya di lingkungan desa Gadingsari. Hubungan dengan pihak di luar desa (out side) dapat memberikan sumbangan terselesaikanya masalah
di desa yang sudah tidak lagi dapat
diselesaikan oleh rnasyarakat maupun kelembagaan desa. Kelembagaan LIM juga masih mendapatkan perhatian masyarakat ketika tokoh dan ketun LIM berhubungan dengan tokoh masyarakat yang disebutkan di atas sebagai DPRnya masyarakat. Artinya, begitu kuatnya labeling ketokohan yang diberikan oleh masyarakat memberikan dampak secara sosiologis untuk menjalin hubungan yang berpengaruh terhadap peningkatan status sosial seseorang di sekitarnya. Ketiga, Kelembagaan Desa ddam ha1 ini adalah Badan Permusyawaratan Desa (BPD dalam versi baru). Kelembagaan desa yang ada di Gadingsari masih dianggap tidak dapat mencerminkan sikap dan politik masyarakat desa. Kerjakerja penvakilan yang dilakukan masih di tingkat administratif. Respon BPD kecenderungannya pasif menunggu pengaduan dari masyarakat, tanpa proses aktif mencari kendala-kendala yang dialami oleh masyarakat. Sepzrti misalnya, kendala pembuatan KTP atau pun surat-surat lainnya yang menyangkut kependudukan dan sertifikasi tanah. Hubungan dengan Kepala Desa dilakukan pada tingkat pembuatan RAPBDes dan konsultasi laporan tahunan Kepala Desa yang akan disampaikan kepada Bupati (melalui Camat). Konsultasi dilakukan masih pada tingkat teknis yaitu ketika usulan laporan Kepala Desa terdapat ketidaksesuaian lokasi perencanaan. Menurut Sekretaris BPD
permasalahan yang tejadi
sebenarnya hanya pada ketidak-sepahmlan mengenai lokasi garapan yang akan dibangun, seperti perencanaan pembangunan tanggul sungai irigasi, BPD menanyakan tentang posisi lokasi sungai yang akan dibangun. BPD tidak banyak
mengetahui tentang Anggaran Pembangunan Desa, terutama perubahanpentbahannya yang sering dilakukan oleh Kepala Desa. Artinya, hubungan secara politik yang diemban oleh BPD sebagai (bagian dari) lembaga legislatif belurn dapat dijalankan dengan maksimal. Seperti, masih lemahnya sumbangan terhadap kontrol Anggaran Pembangunan dan menelorkan peraturan desa yang berpihak kepada masyarakat desa. Menurut tokoh masyarakat dan Mantan Kepala Desa Gadingsari bahwa wacana yang dibangun oleh BPD adalah terbatas pada tuntutantuntutan kepada instansi lain yang diharapkan menjadi haknya. Kondisi BPD menjadi "banci" sehingga tidak menjalankan fungsinya menbuat peraturan desa. Padahal Ketua BPD dalam ha1 ini sebagai rifal dalam proses Pilkades tidak banyak memberikan kontrol yang signifikan terhadap tindakan pemerintah. Ketua BPD hanya melakukan oposan dengan pemerintah (Lurah) berdasarkan kepentingan politik setelah Pilkades yang tidak memberikan keberuntungan, dan mengalahkannya pada tahun 2004. Keberanian untuk melakukan kontrol tidak dimiliki oleh BPD secara kelembagaan. Menurut masyarakat sebenarnya BPD memiiiki
data
tentang
pennasalahan
pemcrintah
desa,
permasalahan
ketidakharmonisan pemerintahan desa. Terutama, pennasalahan pembagian bantuan korban gempa yang diberikan dari pihak luar desa yang tidak dibagikan seluruhnya kepada masyarakat, day transparansinya tidak jelas. Hal inilah yang kemudian diharapkan masyarakat membuka pernasalahan pemerintah desa dengan harapan untuk menurunkan Lurah. Kondisi yang demikian meledak menjadi aksi massa setelah konsultasi dengan banyak pihak dan tokoh masyarakat desa. Namun, beberapa tokoh masyarakat tidak mau menjalankan kehendak masyarakat untuk mendukung gerakan menurunkan Lurah. Sampai saat ini, kondisi masyarakat hanya melakukan penyebaran issue kepada semua pihak, dengan harapan mendapatkan dukungan. Pada kondisi pasca gempa hubungan BPD dengan pemerintah desa dirasakan jaraknya, baik dalam interaksi keseharian di lingkungan pemerintahan desa, maupun pada proses pembuatan kebijakan dan penanganan bantuan. Indikasi demikian diakibatkan oleh beberapa penyebab yaitu: (1) kondisi Kepala Desa yang tidak lagi merespon aspirasi masyarakat korban gempa, terutama masyarakat yang jauh dari jangkauan lingkaran kekuasaan Kepala Desa. Kekuasaan yang
dimaksud adalah hegemoni kepemimpinan atau kemampuan Kepala Desa memberikan pengardl kepada ~nasyarakatagar selalu memberikan dukungan dalam kondisi apapun. (2) pembagian (distribution) bantuan yang diterima pemerintah desa tidak dilaksanakan dengan adil dan jujur, tanpa transparansi yang jelas alokasi sisa bantuan, dan beberapa bantuan yang belum terdistribusikan dan tersisa di kantor desa. Seperti, bantuan dana yang masih tersisa sepuluh juta rupiah dari tiga puluh juta dana bantuan yang diterirna dari PDIP Megawati, beras sisa di kantor desa ada 0,5 ton. (3) tidak dilaksanakannya sosialisasi pembentukan Pokmas yang telah diinstruksikan oleh Bupati Bantu1 melalui swat keputusannya No. 36113216 tertmggal 28 Agustus 2006 Tentang Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah Pasca Gempa Bumi, jo Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 23 Tahun 2006 tentang Petunjuk Operasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi di Provinsi DIY Tahun Anggaran 2006. (4)
BPD sebagai penvakilan masyarakat belum dapat mengakomodir kepentingan masyarakat korban bencana sehingga permasalahan penanganan bantuan tidak dibahas bersama dalam forum pemerintahan desa antara lurah dan BPD. Penangganan pasca gempa untuk rehabilitasi dan rekonstruksi rumah korban gempa sepertinya hanya terbebankan di pundak lurah.
Keempnt, status dan kedudukan Kepala Desa (Lurah) di masyarakat. Kedudukan Lurah dalam pandangan masyarakat Gadingsari merupakan pusat tertinggi pemerintahan di desa. Status seorang lurah di masyarakat menduduki tempat tertinggi. Kepemilikan tanah lungguh yang luas hingga 3.5 hektar. Secara ekonomi, dengan luas lahan yang dimiliki maka penghasilan dari hasil panen yang diperoleh berlimpah, dan merupakan orang
yang kaya di desa. Dalam
kedudukannya yang menguntungkan, Lurah dapat menentukan perkembangan
issue dan dapat mengayomi harapan masyarakat yang terlimpahkan dipundaknya. Secara struktural, segala kegiatan di desa tidak pemah gagal ketika mengikutkan lurah didalamnya. Secara sosiologis, lurah yang dapat mengayomi masyarakat adalah lurah yang sering turun ke "bawah" untuk berinteraksi dengan masyarakatnya. Dalam interaksi tersebut, Masyarakat mengharapkan Lurah agar melihat kondisi dan permasalahan yang ada di masyarakat, yang selanjutnya diharapkan dapat mencarikan jalan penyeles~iannya (solu~ions).Untuk lebih
memperjelas dalam konteks hubungan sosial masyarakat Gadingsari secara struktural dalam pandangan peneliti dapat digambarkan seperti di bawah ini.
Gambar 3. Struktur hubungan aktor di desa Gadingsari
KRISIS HEGEMONI DESA GADINGSARI Ketidakadilan: Melemahnya Gotong-Royong Warga Gadingsari Budaya gotong-royong merupaka~nilai budaya yang mempunyai kekuatan kebersamaan diantara masyarakat Gadingsari. Gotong-royong merupakan kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama warga kampung untuk menyelesaikan suatu perillasalahan pembangunan atau kegiatan lain yang berkaitan dengan pemanfaatan bersama di antara anggota masyarakatnya. Dalam kacamata pembangunan, kegiatan gotong-royong merupakan potensi lokal sebagai suatu modal sosial yang menggerakan tercapainya pembangunan partisipasi. Kegiatan yang biasa dilakukan warga secara bergotong-royong bersama adalah membangun jembatan, merenovasi masjid, pekuburan (makam), pembangunan sarana umum desa, kerja bakti bersama membangun rumah, kematian atau hajatan tetangga dan kerabat-keluarga. Gotong-royong sering dilakukan warga hajatan tetangga, dan kerja bakti, tennasuk membangun rumah. Kegiatan gotong-royong diawali dengan mengundang tetangga-tetangga secara langsung (lisan) dengan mendatanginya ke rumah-rumah. Biasanya orang yang mempunyai hajat secara langsung mengundang tetangganya yang diharapkan kedatangannya untuk membantu melakukan gotong-royong. Namun dalam perkembangan selanjutnya, mengundang orang untuk datang ke acara hajatan dilakukan orang yang dimintai bantuannya oleh keluarga y a ~ gpunya hajat atau gawe. Dalam k
w waktu sepuluh tahun yang lalu kuatnya kegiatan gotong-
royong tidak dapat dibandingkan dengan kondisi sekarang. Artinya, penurunan nilai gotong-royong sudah mulai dirasakan masyarakat. Kondisi ini menjadi semakin berlanjut menurunkan nilai gotong-royong oleh kecenderungan masukknya nilai rupiah pada setiap kegiatan bersama yang diberikan sebagai pengganti tenaga yang diberikan dalam kegiatan pembangunan. Seperti, masuknya pemborong dari luar yang melnberikan ganti rugi pada tenaga kerja dalam rangka mempercepat proses pembangunan di desa. Pada tahun 2002, dilakukan pembangunan dan renovasi pekuburan umum (makam yang dimiliki oleh desa) adalah kegiatan yang paling dirasakan oleh masyarakat dalanl mempercepat arus rwaknya kegotong-royongan warga.
Pembangunan pekuburan yang awalnya sudah direncanakan dilakukar. bergotongroyong, akan tetapi ada beberapa orang tukang digaji (dibayar) oleh panitia renovasi dari pemerintah desa. Ada anggapan masyarakat bahwa gotong-royong harus dilakukan tanpa imbalan uang. Kalaupun, ada yang dibayar dengan uang seharusnya semua dari peserta gotong-royong turut mendapatkannya. Sehingga, kebijakan tersebut dianggapnya tidak adil. Dan potensi terbesar merusal: gotongroyong. Pada kondisi sekarang, masyarakat melakukan pilihan atas kegiatan gotongroyong yang akan dikerjakan berdasarkan kedekatan dan siapa yang akan dibantu tersebut. Pengalaman-pengalaman yang telah berlangsung menjadi dasar mereka untuk melakukan pilihan-pilihan tersebut. Terutama, masuknya Bantuan Langsung Tunai
(BLT BBM) nlasyarakat merasakan bahwa terdapat
ketidakadilan dalam sistem distribudi pembagian dana BLT yang dilakukan oleh pemerintah. Karena, tidak semua orang miskin mendapatkannya, dan sebaliknya banyak orang yang dianggap kaya oleh masyarakat terdaftarkan sebagai penerima dana BLT yang pada akhirnya menerima dana bantuan tersebut. Kedekatan anggota masyarakat dengan pengambil kebijakan tentang distribusi bantuan BLT merupakan suatu faktor yang sangat mempengaruhi terdaftamya mereka menjadi benerfciaries (penerima bantuan) dari bantuan BLT. Sehingga, kondisi ini memperkuat pendapat masyarakat bahwa setiap bantuan yang masuk tidak didumdil, didum adil (dibagi secara adil) kepada yang berhak menerimanya, sedangkan kalau bekerja bakti, gotong-royong di-dumdi!. Hal ini sangat dirasakan oleh masyarakat miskin yang tidak menerima bantuan BLT dari pemerintah. Oleh karena itu, mereka memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengurangi kegiatan gotong-royong, mengcluarkan tenaga tanpa imbalam materi. Dalam pandangan lain, bahwa kegiatan gotong-royong akan tetap dilaksanakan, tetapi masyarakat melakukan pilihan kepada siapa dan dalani kegiatan apa yang dikerjakan berdasarkan gotong-royong. Jadi, kalau ada masyarakat yang mengundang kegiatan gotong-royong untuk membangun/renovasi rumah, maka yang dilihat untuk pertama kalinya adalah siapa pemilik runlah tersebut, bagamana kondisi sosial-ekonominya. Penilaian masyarakat tersebut memberikan dampak keputusan yang diambilnya untuk berangkat atau tidak pada acara gotong-royong warga.
Kondisi gotong-royong yang sekarang terjadi berkebalikkan dengan kondisi sebelumnya yang ramai dihadiri oleh masyarakat tetangga sekitar, bahkan masyarakat di luar desa turut serta menghadirinya. Masyarakat ikut menghadiii acara gotong-royong ke luar desa adalah mereka yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau kerabat atau pertemanan dengan yang punya gawe atau yang punya acara. Kegiatan tersebut, dapat digolongkan dari orang yang ikut bergotong-royong menjadi dua: yaitu golongan pertama orang yang bekerja dengan bayaran yang sesuai dengan jasa yang diberikannya, dan golongan kedua, adalah orang yang bekerja tanpa imbalan atas jasa dan pekerajaan yang diberikannya. Pada kasus pasca gempa bumi 27 Mei 2006 yang lalu proses rekonstruksi juga dilaksanakan dengan gotong-royong. Proses gotong-royong yang bagaimana, dan apa yang membuat keberlanjutan gotong-royong secara spontan kembali dilaksanakan di lingkungan mereka untuk mensikapi dampak benana gempa bumi? Gotong-royong dilakukan oleh masyarakat kepada korban gempa yang kondisi rumahnya memang sangat memprihatinkan akibat goncangan lindhu (gempa bumi). Tidak hanya itu, selain kondisi rumah yang porak-poranda, tingkat kerawanan tidak mempunyai rumah dan kondisi ekonomi yang bersangkutan merupakan suatu pilihan masyarakat untuk membantu dalam bentuk gotongroyong. Salah satu pertimbangannya adalah bahwa para korban gempa pasti akan menerima bantuan Rp 30 juta dari pemerintah. Sumbangan bergotong-royong yang diberikan oleh masyarakat adalah berupa tenaga kerja, semen, logistik dan bahan-bahan makanan, serta memfasilitasi bantuan dari luar kepada keluarga miskin yang memprihatinkan tersebut. Walaupun, secara keseluruhan warga masyarakat mendapatkan bantuan dari pemerintahan desa berupa semen tiga sack. Dari surnbangan tersebut masyarakat memberikan sebagian kepada mereka yang lebih inembutuhkan. Atas dasar rasa kemd~usiandan kebersamaan distribusi bantuan dilaksanakan oleh pemerintahan
desa
dan
masyarakat.
Pandangan
pemerintahan
desa
mempertimbangkan bahwa bantuan yang diperoleh dari out side tersebut hams didistribudikan kepada seluruh masyarakat secara merata (bagito: bagi roto), sehingga berapapun bantuan yang diterima pemerintahan desa kemudian
didistibusikan, seperti bantuan dari PDIP Megawati yang diberikan kepada pemerintahan desa sejumlah Rp 30 juta rupiah dibagikan kepada seluruh padukuhan dalam bentuk semen tiga sack hingga di setiap rumah. Pandangan masyarakat, sedikit yang sepakat dengar1 pandangan pemerintahan desa, mereka cenderung meinberikan kembali bantuan semen tiga sack tadi kepada masyarakat yang
lebih membutuhkannya. Pertimbangan diwujudkan dalam bentuk
sumbangan pada saat warga melakukan gotong-royong membangun nunah roboh milik warga yang menurut masyarakat merupakan orang tidak mampu @or), sehingga bantuan n~ei~jadi lebih tepat sasaran. Seperti harapan pemerintah tentang bantuan rekonstruksi dan rehabilitasi rumah pasca gempa, yang dianggarkan dari APBN Tahun 2006. Pemerintah pusat Cpen~erintah)memberikan bantuan dalam bentuk uang tunai sebesar lima belas juta rupiah untuk n~asyarakatGadingsari yang tertimpa bencana gempa. Menurut masyarakat, pemerintahan desa secara sepihak melakukan penanganan terhadap proses bantuan tersebut. Seperti, pembentukan Pokmas (kelompok Masyarakat) dilakukan oleh pemerintahan desa yang dilaksanakan di Balai Desa dengan mengundang para calon penerima bantuan. Penerima bantuan yang dipilih oleh penlerintahan dcsa ternyata tidak berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan oleh Bupati Bantul dengan Surat Keputusan No. 413.213772 tentang Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstrusi Rumah Pasca Gempa, tertanggal 9 September 2006, yang didistribusikan kepada seluruh Camat dan Lurah se Kabupaten Bantul. Surat Keputusan tersebut menginstruksikan kepada Canat dan Lurah untuk meilsosialisasikan dan memfasilitasi pembentukan Pokmas sebagai tindak lanjut persiapan pencairan dana bantuan rekonstruksi dan rehabilitasi rumah pasca gempa. Hal ini tidak dilakukan oleh pemerintzh desa Gadingsari. Sehingga, terjadi ketidak-harn~onisanhubungan di masyarakat, karena proses pembangunan rumah yang sedang dilaksanakan berdasarkan gotongroyong ternyata secara bertahap berhenti, dengan pertimbangan rasa ketidakadilan pemcrintah desa. Ketidakadilan dirasakan karena masyarakat yang terbentuk menjadi Pokmas adalah mereka yang secara fisik kondisi rumahnya tidak masuk dalam kriteria rumah rusak berat dan roboh, sedangkan yang masuk kriteria tersebut tidak
mendapatkan kelompok. Artinya, yang tidak mendapat kelompok pada tahap selanjutnya tidak mendapatkan bantuan liina belas juta dari pemerintah. Masyarakat yang merasakan ha1 tersebut sebagai kondisi ketidakadilan, menggalang kekuatan untuk menggugat kepada pemerintah desa. Masyarakat tidak Iagi memperhatikan kondisi kebersamaan, terutama bagi mereka yang telah terdaftar sebagai Pokmas, karena mereka yang bakalan mendapatkan bantuan lima belas juta rupiah. Sementera, korban gempa yang belum terdaftar Pokrnas mempunyai pandangan lain, baik kepada calon penerima bantuan (Pokmas) maupun kepada pemerintah desa bahwa kebersamaan masyarakat sudah tidak dapat dipertimbangkan lagi untuk menyelesaikan permasalahan ketidak adilan distribusi bantuan. Perbaikan kebersamaan masyarakat masih dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan dari para pihak yang benvenang. Pemerintahan desa adalah salah satunya yang hams bertanggungjawab atas klarifikasi tersebut. Setidaknya, keadaan tersebut memang mencemarkan nama-nama pamong yang secara khusus mengurusi permasalahan tersebut di atas. Proses klarifikasi kepada masyarakat meluruskan sistem yang sebenarnya sudah ditata secara adil oleh pemerintah hams dilakukan melalui proses rnusyawarah warga yang menentukan posisi dan kondisi masyarakat, seperti bagaimana kondisi kemiskinan anggota masyarakat berdasarkan kriteria potensi lokal.
Gempa 5,9 SR dan Kebangkitan Konsolidasi Masyarakat Kekuatan gempa pada tanggal 27 Mei 2006 tidak saja menggoyahkan rumah dan sarana infrastruktur fisik yang dimiliki oleh masyarakat. Kekuatan solidaritas dan kebersamaan masyarakat mendapatkan goncangan dan perlawanan untuk menerima cobaan dengan kondisi kebersamaan yang sudah mulai rapuh. Gempa dengan kekuatan 5,9 Skala Richter (atau 6,2 menurut Badang Meteorologi dan Geofisika dari Amerika Serikat) membangkitkan kembali potensi lokal yang biasanya tenggelam dan taken for granted. Kegiatan menggeliatnya kekuatan sosial masyarakat dapat dilihat dari perasaan yang sama menjadi korban gempa hingga proses rekonstruksi dan rehabilitasi rumah pasca gemnpa.
Pembangunan kebersamaan dilakukan dengan mengembalikan interaksiinteraksi yang dilakukan lebih intensif untuk mengkomunikasikan kondisi pasca gempa, terutama mulai dari proses ingic meningkatkan pengetahuannya tentang gempa,
hingga pada tingkat pendistribusian bantuan dari pemerintah, yang
sempat juga menjadi polemik. Issue polemik yang terjadi adalah setelah munculnya statemen dari Wakil Presiden Yusuf Kalla tentang bantuan yang akan diberikan pemerintah sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah). Gejolak yang dilakukan
masyarakat sebagai respon dari kebijakan tersebut adalah
beberapa dari masyarakat korban gempa bumi menghancurkan kembali rumahnya agar dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi rumah pasca gempa mendapat bantuan itu. Issu yang dihembuskan oleh Kalla temyata tidak berdasarkan data jumlah korban gempa dan kondisi sosial politik di rnasyarakat. Janji yang sudah diucapkan dan didengarkan oleh selurth rakyat Indonesia pada acara Televisi Swasta dianggap tidak sepantasnya dilakukan oleh pemimpin negara. Menurut, masyarakat Gadingsari seorang tokoh besar kenegaraan seharusnya Sabdo
Pandito Ratu atau apa yang dicapkan adalah tindakannya, pengambilan keputusan tidak bolak-balik atau tidak pasti. Sehingga, dampaknya menjadi tidak terkontrol dan menghambat proses percepatan rekostruksi. Dari sinilah proses ketidakjujuran masyarakat menyikapi keterdesakan akibat issu bantuan pasca gempa. Bantuan yang masuk untuk meringankan penderitaan masyarakat korban gempa dirasakan tidak terdistribusikan dengan adil. Beberapa keluarga dapat menikmati bantuan yang berlimnpah, dan di lokasi yang lain terjadi sebaliknya. Hal ini terjadi karena jaringan masyarakat yang tidak merata dan solidaritas dan kebersarnaan untuk merasakan penderitaan tidak Iagi terbangun. Begitu juga proses pembangunan rekonstruksi dan rehabilitasi rumah korban gempa terutama dalam penentuan masyarakat penerima dan penentuan prioritas tidak berjalan dengan adil. Padahal, campur tangan pemerintah daerah dalam ha1 ini pemerintah kabupaten sudah menetapkan Surat Keputusan Bupati Bantul No. 36113216 tertanggal 28 Agustus 2006 tentang Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah Pasca Gempa Bumi di Kabupaten Bantul. Swat keputusan tersebut muncul untuk menyikapi Surat Keputusan Gubernur DIY No. 23 Tahun 2006 yang mengatur tentang Petunjuk Opereasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pasca Gempa Bumi di Provinsi DIY. Kedua surat keputusan tersebut mengatur hingga di tingkat teknis proses penyaluran bantuan dan pembentukan POKMAS (Kelompok Masyarakat) sebagai bentuk kekuatan sosial atau potensi lokal yang diharapkan dapat mempercepat proses rekonstmksi dan rehabilitasi nunah korban gempa bumi. Diatur juga masing-masing struktur pemerintahan hingga di tingkat padukuhan (Dusun) dalam sumbangannya terhadap percepatan rekonstruksi dan rehabilitasi rumah pasca
gempa bumi
khususnya untuk memfasilitasi
pembentukan Pokmas tersebut. Di Gadingsari proses percepatan rekonstruksi dan rehabilitasi yang disebutkan di atas tidak berjalan dengan benar. Indikasi utama yang perlu dipahami adalah, pemerintahan desa tidak memberikan respon secara tanggap terhadap kenyataan masyarakatnya yang sedang membutuhkan bantuan. Seperti, beberapa kasus yang n~unculdalam proses rekonstmksi dan distribusi bantuan adalah sebagai berikut: 1) bantuan dari PDIP sebesar Rp 30 juta tidak terdistribusi secara transparan kepada masayarakat, 2) aspirasi masyarakat terhadap gejolak terhadap daftar penerima bantuan by names9 yang tcrnyata ada yang tidak sesuai dengan kriteria SK Bupati Bantu1 yang disebutkan di atas, namun dalam kenyataannya proses eliminasi yang seharusnya dilakukan oleh mayarakat sendiri dalam pembentukan POKMAS tidak difasilitasi oleh pemerintah desa. Sebenarnya dalam posisinya sebagai fasilitator pemerintah desa hanya berkewajiban melakukan proses pecepatan dengan berdasarkan pada kriteria dan alur yang sudah ditentukan berdasarkan SK Bupati tersebut. 3) koordinasi di ddam pemerintah desa sendiri tidak berjalan dengan baik. Kenyataan ini terbukti ketika penentuan POKMAS dilakukan oleh pemerintah desa dengan instruksi dari Lurah, namun jajaran pemerintah desa tidak mengetahui keberadaan SK Bupati yang seharusnya menjadi pedoman penentuan POKMAS penerima bantuan. 4) masyarakat tidak mendapatkan kesempatan untuk melakukan koreksi60 kebenaran data by name yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten. Menurut pendapat
'' Daftar penerima bantuan yang terlah tcrsusun dan terurut beidasarkan nama ahjadnya di satu kelurahan berdasarkan maring-maring lokasi padukuhannya. By name juga yang selalu di sosialisasikan oleh pemerintah kepada masyarakat sehingga masyuakat yang sudah masuk dalam daflu nama by name W i mendapatkan kesempatan menerima bantuan dengan membentuk pokmar. " Kesemoatan masvnrakat untok meoeoreksi diri sendiri (seler, korekri/~elfcoreclions) tidak diberikan oleh permerintah Jera ~ a i h a ldus;, , retentLul SI; ~;bcrltdrUIY dm Uupau Uanlu. korelsl d.111 nl.qudar )ang djrrbulkannya scbaga~ putens, lolnl llaus srja!. dull nlula, ( I ~ l a l ~ Ldmu dtbetllan ~ L s e m p 3 ~ nuntuk bcrfil~tyr~ sccara JemoLral~sdan ad11
masyarakat bahwa proses rekonstruksi dan rel~abilitasirumah pasca gempa yang dilaksanakan oleh pemerintah desa Gadiugsari belum aspiratif. Sehingga, membuat masyarakat tereliminasi dalam proses pembentukan kebijakan desa yang dibuktikan dengan aksi masyarakat pada hari Kamis tanggal 19 Desember 2006 kepada Tim Rekonstruksi Kabupaten yang bertempat di Rumah Dinas Bupati Bantul untuk mengadukan persoalan tersebut menuntut koreksi kembali atas data yang dianggap tidak sesuai. Proses ini difasilitasi oleh LIMG (Lembaga Inisiatif Masyarakat Gadingsari). Kegiatan proses rekonstruksi di Gadingsari mendapatkan respon yang baik dari masyarakat terutama dengan dukungan dari LIMG. Pada tanggal 8 Oktober 2006 LIMG telah melakukan pelaporan kepada Bupati Bantul mengenai permasalahan mengenai pembentukan POKMAS yang tidak aspiratif melibatkan peran serta masyarakat korban gempa, tennasuk kelompok masyarakat, Kepala Dukuh, dan Ketua RT. Penyikapan dilakukan dengan memberikan laporan kepada Tim Rekonstruksi dan Rehabilitasi Rumah Pasca Gempa di tingkat Kabupaten karena kemandegan komunikasi dan koordinasi yang sudah tidak memungkinkan dilakukan di tingkat desa. Selanjutnya, karena respon dari pemerintah desa belurn juga memberikan hasil yang positif berdasarkan kehendak masyarakat, maka masyarakat Gadingsari korban gempa yang merasakan ketidakadilan membentuk Kelompok Aksi Proaktif Peduli Bantul Bangkit (KAPPBB). Pada tanggal 19 Oktober 2006 masyarakat yang tergabung dalam KAPPBB yang diketuai6' oleh Suratman kembali memberikan laporan dan pengaduan mengenai program rekonstruksi dan rehabilitasi rumah pasca gempa di Gadingsari. Aksi KAPPBB di dampingi oleh Ketua LIMG 11. Suharyanto, MS, MSc dan dipandu oleh Ketua BPD Gadingsari, Marjuki. Terhitung satu bulan setelah dikeluarkannya SK Bupati tentang rekonstruksi dan rehabilitasi rumah pasca gempa, KAPPBB memberikan laporan dan pengaduan tersebut dengan melampirkan daftar nama korban gempa berdasarkan alamat dan kondisi rumah yang sebenarnya karena gempa, baik yang rusak berat dan rusak ringan. Ada 23 orang yang tergabung dalam KAPPBB yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang datang menggunakan satu mini bus dan
" Ketua dipilih berdasarkan ketokohannya di masyarakat, dengan pertiinbangan dapat diajak untuk berkoordinasi dengan pernerintali kabupaten.
beberapa kendaraan bermotor. Dalam forum diskusi yang ditemui langsung oleh Asisten I Bupati Bantul Kardiyono, masyarakat diberikan keleluasaan memberikan informasi laporan kondisi di lapangan dengan sebenamya, setelah paparan tentang aturan main proses rekonstruksi dan rehabilitasi rumah pasca gempa dilakukan oleh Asisten I Bupati Bantul. Penelitia juga sempat memberikan review semua pendapat masayarakat pada forum tersebut. Keberadaan peneliti yang sudah dikenali oleh Kardiyono sebelum menjadi Asisten I Bupati menguatkan kebenaran pengaduan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, terutama sekali keberadaan Marjuki sebagai Ketua B P D . ~ ~ Pengaduan ini diharapkan dapat memberikan data di lapangan yang sesungguhnya. Sehingga proses s w a i dan analisis kembali oleh Tim Rekonstruksi dan Rehabilitasi Rumah Pasca Gempa dapat dilakukan dengan baik dan benar. Kenyataan di lapangan berkata lain. Satu minggu setelah aksi masyarakat Gadingsari dalam bentuk KAPPBB di Rumah Dinas Bupati di Desa Trirenggo Bantul, Tim Rekonstruksi dan Rehabilitasi Rumah Pasca Gempa melakukan survai di lapangan di dampingi oleh Asisten I Bupati Bantul, Kadriyono tidak berjalan dengan baik sesuai kehendak masyarakat yang merasakan ketidakadilan. Pada hari pelaksanaan survai dan analisis rumah korban gempa yang dilakukan oleh Tim dari Kabupaten ternyata tidak ada masyarakat yang berani rnemberikan informasi untuk konfirmasi data yang telah diajukan sebelumnya. Termasuk, Marjuki (Ketua BPD Gadingsari) yang menjadi referensi
Tim Survai Kabupaten tidak bisa memberikan penjelasan yang diharapkan oleh Tim Survai Kabupaten. Masyarakat menjadi tidak berani mengungkapkan kenyataan di lapangan, ha1 ini berlainan ketika mereka mengungkapkannya dengan lantang saat pengaduan dilakukan di Kabupaten. Marjuki sebagai tokoh masyarakat dan Ketua BPD merasa dihianati karena keterpojokan dan ketidaktahuannya menjadi boomerang, karena dianggap datanya tidak benar dan dapat diancam oleh KUHPidana pasal 628 tentang pemalsuan data. Akhiiya, masyarakat dan Marjuki tidak dapat memberikan solusi, sementara data yang
Marjuki sebagai Ketua BPD sebenarnya hmya brrperan mel~ghmtarkan KAPPBB untuk sowm kepada Tim Rekonsuukri dal Rellabilitari di Tinglrat Kabupaten. Nwnun ha1 ini disalnh perseprikw~,sebagai Ketua Rombongan, ha1 ini terbukti btika survai dilakuks~bnllwa Mmjuki adald orang pcrlatl~akali ysng dipcrlanyskan mengenai data yang diadukan.
dipakai untuk rekonstruksi dan rehabilitasi tetap menggunakan data lama yang tidak mencerminkan keadilan.
Kegagalan Pemerintahan dan Krisis Hegemoni Desa Gadingsari Penciptaan pembaruan desa yang berasal dari gagasan perubahan sosial pada tingkat ideologi pada akhimya termanifestasikan pada rencana aksi yang dituangkan dalam kegiatan praksis penyadaran arus bawah dan penguatan arus atas. Pertama, penyadaran arus bawah adalah menciptakan pendidikan politik masyarakat yang berdasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Penciptakan masyarakat tersebut adalah suatu bagian dari proses kemandirian dan otonomi warga negara untuk melakukan perjuangan terhadap ketidakadilan yang terjadi karena proses korup yang dilakukan oleh negara (desa). Kedua, penguatan arus atas adalah pemberdayaan terhadap legitimasi kekuasaan pemerintahan (desa) untuk dapat memperjuangkan menciptakan demokratisasi dan keberadilan yang pada masa sekarang kecenderungan sangat elitis begitu dominan. Berdasarkan pemahaman tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pembaruan desa adalah suatu proses perjuangan menciptakan perubahan desa menuju penguatan arus atas dan arus bawah untuk melakukan sinergi yang partisipatif dan transparansi berdasarkan demokratisasi dan keadilan menuju masyarakat yang mandiri dan sejahtera. Pemberdayaan kepemimpinan pemerintahm desa yang legitimate adalah suatu keniscayaan berlangsungnya apa yang disebut dalam pandangan Gramsci bahwa pencapaian kekuasaan negara hanya datang setelah penegakkan hegemoni tertentu dalam m a ~ ~ a r a k a t Terutama .~~ kalau kita melihat konsep hegemoni Gramsci secara detail bahwa hegemoni merupakan pengaruh kepemimpinan intelektual dan moral serta dominasi politik terhadap struktur kognitif masyarakat agar mudah diarahkan untuk menilai realitas sosial-politik-ekonomi dengan cara -1
Pauia dan Arief (1999: 150) mengullp Gransil (1976: 52) men)ebulkan bahua negara Jcngan scgala aspckn)a, yang d~pcrluasmcncAup ullayah hcgemonl, mcmbcr~kankcpada kclu yang mcndinkannja baik prestrse maupun menampilkan kiatuan sejaral~&i keias penguasa dalam bentuk konkrit, yang 'dihasilkan dari hubungan orgmik mtara negara a m masyarakat politik dan n~asyarakatsipil. Oleh karena itu, pencapaian kekuasaan negara hanya datang setelah penegakan hegemoni tertentu kepada masyarakal, d m in! bermakna bahwa setiap kelas yang mencapai tingkat perkembalgan scjarah tertinggi sepeni yang ditampilkan oleh pendirian Negaranya sendiri harus telah bzrkembang di bawah suatu t l h ~ p korporasickonomi. Aminya adalah pekermbangan primit,f dari kesndaran kelas kepada palitik ditentukan oleh kemampuan kelas menegakkan hege~nonidalam seluruh rnasyarakat
pandang yang ditentukan. IIegemoni tejadi melalui adanya konsensus yang diterima secara sadar karena
kelas yang terhegemoni kekurangan basis
konseptual yang membentuk kesadaran memungkinkan mereka memahami realitas secara efektif, kritis dan kreatif. Penyebab dari proses-tersebut adalah dikarenakan masyarakat tidak mendapatkan pendidikan yang menyediakan kemungkinan mereka untuk memahami realitas tersebut. Jika kepemimpinan (direction) mulai macet dan genggaman ideologis terhadap massa mulai melemah, maka negara memasuki keadaan krisis. Kegagalan hegemoni kelas dominan adalah keadaan krisis pemerintahan desa (negara) yang disebut oleh Gramsci sebagai krisis hegemoni. Keadaan krisis hegemoni dapat terjadi karena kegagalan kelas dominan (elit desa) untuk memecahkan permasalahan-permasalahan mendasar yang tejadi di masyarakat. Pada proses ini, masyarakat mengalami delegitimasi terhadap kepemimpinan pemerintahan desa di Gadingsari. Oleh karena itu, pembaruan desa pada proses tertentu adalah suatu penciptaan hegemoni baru untuk melakukan penguatan institusi pemerintahan desa, dan mencoba mengarahkan masyarakat untuk melihat suatu realitas sosial-politik pada kacarnata demokratrisasi dan keberadilan yang ditentukan oleh kalangan intelektual, aktivis NGOs, dan akademisi dengan melalukan pendidikan politik. Dan kegagalan pembaruan desa merupakan suatu krisis hegemoni negara (desa) karena pembaruan desa pada perjuangan arus atas melakukan penguatan terhadap legitimasi kepemimpinan yang berpandangan demokratis dan berkeadilan agar dapat juga mendapatkan 'dukungan' masyarakat bawah. Kita dapat melihat pembaruan desa yang terjadi di Gadingsari dalam kacamata Gramscian seperti tersebut di atas. Proses perjuangan pembaruan desa sudah dilakukan di Gadingsari sejak tahun 1998 dalam bentuk pelatihan-pelatihan kepada masyarakat, pembentukan kelembagaan partisipasi perjuangan seperti SPMG, dan LIMG, serta kelembagaan koperasi yang berdiri atas kebutuhan masyarakat setempat. Pada tahap tersebut proses pejuangan penyadaran arus bawah sudah dapat dikatakan masif dan dapat berjalan untuk memperjuangkan kepentingan
masyarakat.
Akan
tetapi,
proses
skenario
pemberdayaan
pemerintahan desa yang digagas bersama masyarakat dalam forum LIMG tidak
dapat berjalan kontinyu. Kegagalan ini dapat terlihat pada gerakan yang dilakukan oleh aktor-aktor yang diposisikan pada institusi BPD tidak dapat melakukan koordinasikan antara kepentingan masyarakat dengan pemerintah desa. Aspirasi masyarakat terabaikan dan proses kreatifitas pemerintah desa cenderung mandeg tidak sampai pada konstituennya, masyarakat bawah. Legitimasi pemerintah yang sudah mapan pada proses awal pembentukkannya pada awal Februari 2004 menjadi menurun karena proses-proses governance yang dilakukan tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat dan instruksi yuridis dari pemerintah di a t a ~ n y a . ~ ~ Karena pada dasarnya masyarakat masih mengakui formalitas kelembagaan yuridis yang mengatur keberlanjutan kelembagaan pemerintahan desa yang secara struktwal tidak dapat dilepaskan dengan kebijakan pemerintahan di atasnya. Delegetimasi pemerintahan desa mencuat ketika kondisi kehidupan masyarakat mendapatkan tekanan dengan adanya musibah gempa bumi dengan kekuatan 5,9 SR 27 Mei 2006. Hal ini distimulan oleh perangkat birokrasi pemerintahan desa tidak dapat memberikan perhatian secara adil dan demokratis berdasarkan kriteria kebijakan supra desa dan aspirasi kepentingan masyarakat. Pada tingkatan ini proses keseimbangan (equlibrium) antara masyarakat politik (pemerintahan desa) dan masyarakat sipil seperti yang "dicitakan" oleh ~ r a m s c i ~ ' sebagai proses hegemoni tidak tercapai. Pada tahap inilah Gramsci menyebutkan ha1 tersebut sebagai krisis hegemoni dan kegagalan negara yang tidak berdasarkan pada krisis ekonomi semata. Pada proses delegitimasi kepemimpinan para elit desa, masyarakat berkehendak melakukan aksi massa untuk m e n d a n pemerintah desa dalarn hal ini adalah Lwah dan perangkat pemerintah di bawahnya, terutama kepada Kepala Dusun (Dukuhe) yang tidak bersikap adil terhadap pengambilan keputusan tentang proses rekonstruksi dan rehabilitasi rumah pasca gempa. Masyarakat percaya bahwa proses ini dapat berjalan dengan baik kalau didasarkan pada suatu alasan yang jelas dan benar untuk dikasuskan. Pada pertengahan bulan September
" Pemerintah Kabupaten telah mengeluarkan Surat Keputusan No. 413.213772 tentang Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstmi Rumah Pasca Gempa, artanggal9 September 2006, yang didistribusikan kepada selumh Camat dm Lurah se Kabupaten Bantul. Surat Kepulusan tersebut menginsuuksikan kepada Camat dan Lurah untuk mensosialisasikan dm n~emfasilitaripembentukan Pokmas sebagai tindak lanjlrt persiapan pencairan dana bnnluan rekonslruksi dan rehabilitari rumah pasca gempa
2006 masyarakat Padukuhan (Dusun) Nanggulan clan Miri melakukan koordinasi dengan tokoh masyarakat yang dianggap sebagai "Lurah Ketalo", yaitu Mbah Sudi untuk membahas pern~asalahan ketidakadilan tersebut. Masyarakat membawa
tokoh-tokoh
padukuhan
yang
dianggap
dapat
menjelaskan
permasalahan yang sedang tejadi dan mengumpulkan bukti-bukti penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Dusun tersebut, termasuk menginfentarisis kasuskasus pelanggaran yang tidak berdasarkan pada kehendak masyarakat dan melanggar keadilan sosial. Proses selanjutnya, pada tanggal 12 Desember 2006 diteruskan kepada pengaduan kepada Bagian Hukum dan Bagian Pemerintahan Desa di Kabupaten Bantul. Alasan melakukan pengaduan kepada Bagian Hukum Pemda Bantul adalah karena penyimpalgan yang dilakukan oleh Kepala Dusun adalah pemalsuan tandatangan proposal penerimaan bantuan dari kelurahari untuk dialokasikan pada proyek pembangunan di RT 04. Kenyataan tersebut berbeda dengan kenyataan di lapangan, uang yang sudah diperoleh oleh Kepala Dusun tidak didistribusikan kepada masyarakat. Pelanggaran tersebut adalah secara yuridis formal melanggar KUHPidana pasal 623 tentang pemalsuan swat menyurat. Pada tanggal 3 Januari 2007, warga masyarakat mengadakan sidang terbuka66 yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, semua Ketua RT, dan warga masyarakat termasuk dari luar padukuhan yang bersangkutan, serta dimediasi oleh aparat kepolisian dari Polsek Sanden dan perwakilan dari Kecamatan. Ada ha1 yang menaril: k h w a masyarakat panitia sidang terbuka atau musyawarah warga tidak mengundang perwakilan dari aparat dan perangkat dari Kelurahan Gadingsari yang seharusnya secara langsung berhubungan secara struktural mengenai pembahasan permasalahan Padukuhan di wilayahnya. Hal ini dikarenakan masyarakat juga sudah tidak lagi mempercayai pemerintahan desa, karena sudah banyak kasus dan pengaduan yang dilakukan warga masyarakat tidak mendapatkan respon, mulai dari bantuan langsung tunai (BLT), bantuan dana BBM, kurangnya aparat desa untuk Turbah (turun ke bawah) seperti dalam
" Hasil dari sidwg terbuka atau musyawarah warga yang dilakukan di mmah Kepala Dukuh adalah kesedi:lan Kepala Dukuh untuk mengundurkan diri dari jabatvlnya secepatnya, yang dijanjikrmnya satu minggu sesudah acara sidang terbuka
kematian (Sripahan),hingga bantuan-bantuan yang diterima oleh PDIP sebesar 30 juta untuk korban gempa, bantuan logistik yang masih tersisa di kantor kelurahan, hingga proses rekonstruksi dan rehabilitasi yang tidak mencerminkan aspirasi dan keadilan bagi masyarakatnya. Artinya, proses delegitimasi kepemimpinan pemerintahan desa sudah diakui secara tidak langsung oleh masyarakat, dan proses hegemoni yang seharusnya dilakukan oleh pemerintahan desa kepada masyarakatnya teryata gaga1 dan mengalami krisis pemerintahan. Pemerintahan kehilangan kepercayaannya oleh masyarakat. Pemerintahan desa tidak dapat mempertahankan kekuasaan yang hegemonik, seperti yang diharapkan oleh Gramsci, dan kegagalan penguasa hegemoik adalah suaatu kondisi yang tidak terbantahkan menjadi apa yang pada akhimya disebut sebagai krisis hegemoni.
KESIMPULAN Pembaruan desa sebagai kajian perubahan sosial lebih melihat pada pelaksanaan paksis pemberdayaan masyarakat dan penguatan pemerintahan desa. Kegiatan yang dilakukan lebih bersifat politis dengan melihat bahwa kebijakan pengaturan tentang desa masih kurang memperhatikan desa sebagai kekuatan lokal yang otonom untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Perjuangan dilakukan memobilisir kekuatan desa sebagai "motor" penggerak perubahan kebijakan. Mobilisasi kekuatan desa terjadi pada dua lini yaitu: 1) pada penguatan arus atas yaitu institusionalisasi asosiasi pemerintah desa dan asosiasi Badan Penvakilan Desa yang dilembagakan hingga ditingkat nasional. 2) pada penguatan arus bawah yaitu melakukan penguatan masyarakat desa dilakukan dengan penyadaran dan pendidikan politik masyarakat sipil hingga pembentukan kelembagaan sosial politik. Seperti, yang terjadi di Desa Gadingsari dengan melakukan pemberdayaan dan pelembagaan Sosial Politik ~ a s ~ a r a kGadingsari at (SPMG) hingga formalisasi kelembagaan SPMG menjadi Lembaga Inisiatif Masyarakat Gadingsari (LIMG). Namun, kenyataan penguatan masyrakat sipil yang dilakukan masih saja menjadi wacana elitis. Aktor masyarakat desa yang mendapatkan kesempatan hanya di tingkat elit masyarakat, tokoh masyarakat. Gerak pembaruan desa masib kurang dapat mengakomodir semua lapisan masyarakat. Proses pelatihan dilakukan oleh kelompok pembaruan desa masih di tingkat high class yang diambil dari para tokoh masyarakat. Kondisi demikian tidak mengakarkan issue pembarua&hingga di tingkat masyarakat gressroof,yang seharusnya menjadi basis kekuatan masyarakat desa. Pada konsep perjuangan kontra hegemoni seharusnya dilakukan adalah mengakomodir seluruh elemen masyarakat di semua lapisan untuk ikut terlibat pada proses gerak perubahan sosial yang lebih besar. Walaupun, pada proses tersebut membutuhkan energi perjuangan yang lebih besar. Oleh karena itu, proses perubahan sosial hams melibatkan seluruh lapisan masyarakat desa-kota yang kompleks, yang terdiri dari pekerja pabrikan, buruh, karyawan, petani, buruh tani, tokoh masyarakat, kelompok pemuda, kelompok kesenian, kelompok keagamaan, kelompok
kepercayaan, dll. Pada setiap elemen tersebut dapat diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam banyak bentuk. Seperti, dukungan partisipasi, pendanaan perjuangan, komitmen bersama, pemikiran tentang desa yang dikehendaki, dll. Keteladanan tokoh masyarakat dan kelornpok elit di desa menjadi faktor pendukung proses pembahan sosial masyarakat. Keteladanan memberikan kekuatan pemimpin untuk mernberikan contoh perilaku-perilaku "pembaruan desa" yang "disusupkan" kepada masyarakat. Perilaku keteladanan dapat digunakan untuk menciptakan kekuatan pembaruan desa sebagai issue pembahan sosial. Keteladanan pemimpin desa dapat diaplikasikan dalam beberapa ha1 yang menunjang proses perubahan seperti: penyelesaian permasalahan sosial masyarakat, pembentukan kepanitiaan, pelaksanaan program dan proyek "pembangunan" desa. Untuk mencapai kepemimpinan dan keteladanan diperlukan suatu performen pemimpin yang dapat diakui (legitimate) dan berjiwa besar yang dapat mengaplikasikan perilaku demokratis dan berkeadilan sebagai suatu proses yang dilakukan dengan rnengikutsertakan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya (society). Selain kekuatan legitimasi masyarakat, keteladanan pemimpin (elit desa) dapat memperkuat dan menjaga kekuasaan yang hegemonik menundukkan kepatuhan masyarakat desa untuk bergerak secara dernokratis,
tidak
anarkis,
lebih
aktif
berpartisipasi
dalam
kegiatan
"pembangunan" desa, bersemangan menciptakan iklim kondusif untuk bersaha mengembangkan perekonomian dan kesejahteraan desa. Secara lebih rinci bahwa tokoh rnasyarakat dan pernimpin rnemberikan teladan perilaku yang demokratis, jujur dan adil, serta obyektif. Ini!ah
dasar dari gerakan sosial di desa. Dalam
pandangan perubahan sosial di desa di Bantu1 kita dapat memahami proses pembaruan desa alarn dua lini perjuangan. Pernbaruan desa pada lini pertama, dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa proses pembahan sosial diprioritaskan pada penguatan gerakan sosial masyarakat desa dan penguatan kebijakan pemerintahan yang berpihak kepada rnasyarakat desa, temtama dengan memberikan peluang partisipasi dan transparansinya penyelenggaraan pemerintahan desa.
Pada lini kedua, digunakan untuk menggagas pola perubahan sosial yang diharapkan merupakan suatu proses yang evolusioner yang diturunkan dari kacamata akademis dan perspektif pemerintah tentang arah perubahan desa, sehingga perubahan sosial desa yang dikehendaki dilakukan oleh pihak di luar desa (outside) baik oleh pemerintahan supradesa maupun NGOsILSM atau lembaga pendidikan tiiiggi. Konsekuensi dari kedua lini tersebut, mensinergiskan kekuatan lokal masyarakat desa yang berdasarkan pada: 1) kekuatan gerakan masyarakat untuk melakukan penguatan sistem pemerintahan yang lebih baik, demokratis,
berkeadilan,
transparan,
dan
mensejahterakan
masyarakat
konstituennya, yaitu masyarakat desa. 2) Kuatnya sistem pemerintahan desa yang dapat melakukan mobilisasi sumberdaya sosial-politik dan budaya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya. Pencapaian sukses dari proses pembaruan desa menggerakan seluruh ekspresi elemen masyarakat, baik masyarakat sipil, masyarakat politik, maupun kalangan akademisi dari lembaga pendidikan, dan pemerintahan lokal maupun pelaku bisnis (sebagai kekuatan ekonomi riil). Turunan konsekuensi tersebut adalah termanifestasikan pada studi Iapangan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pembaruan desa di Bantu1 dilakukan dengan berbagai cara yaitu: pertama, cara pandang terhadap desa yang sudah hams berubah dari desa sebagai objek menjadi desa sebagai subjek atas dirinya sendiri yang terdiri dari komunitas masyarakat desa, baik dalam artian masyarakat desa yang katanya statis, subsisten atau apa pun bentuk perkembangannya. Penghargaan tersebut mempakan tindakan konkrit untuk memposisikan diri
,
sebagai outside dalam kelanjutan hubungannya dengan nrayarakat desa. Kedua, tindakan menggerakan pembahan dengan teminologi pembaman
desa hams dimulai dari sekarang dan dari masyarakat desa yang tadi sudah kita sebutkan sebagai subjek, oleh karena itu arus perubahan adalah dimulai dari masyarakat desa, dari bawah ke atas, dari basis struktur menuju suprastruktur sosial. Penggerakan pembaruan akan bermakna ketika masyarakat sudah mulai merasakan dirinya sebagai subjek dan memahami posisinya yang vital atas gerak "pembangunan" desa. Altematif pilihan yang harus dilakukan adalah menguatkan posisi desa, masyarakat desa, ddan pemerintahan desa untuk bergerakan
mensinergikan sistern pembaruan desa yang diinginkan. Karena pada pandangan ini, Iogikanya adalah pemerintahan supradesa sudah terlebih dahulu memahami konsekuensi logis tentang pembaruan desa yang sudah harus dilakukan. Kefiga, perubahan struktur hubungan yang terjalin di antara stackholder yang berkaitan dengan desa harus sudah mulai tertata berdasarkan cara pandang yang sudah berubah terhadap desa. Struktur hubungan dengan desa baik secara sosial-budaya, politik dan ekonomi. Hubungan politik dan ekonomik yang terjalin disesuaikan
dengan
kondisi
sosial-budaya
masyarakat
desa
mencapai
kesejahteraan yang berkeadilan. Penggunaan kesejahteraan berkeadilan tidak lain adalah keadilan yang bersumber pada cerminan masyarakat desa dan berdasarkan determinan potensi dan kekuatan lokal. Hubungan secara politik dapat diperlihatkan dari kuatnya posisi desa ketika berhubungan dengan para pihak, termasuk pihak supradesa, out side. Pola hubungan meningkatkan bargaining power dan sinse ojbilonging terhadap desa sebagai sumber kekuatan dan centrum dari masyarakat sekitarnya. Struktur hubungan ekonomi dapat diperhatikan menggunakan tingkat kesejahteraan masyarakat desa terutama meningkatnya hasil pertanian masyarakat desa di mana pertanian sebagai eksistensi masyarakat desa dan mempertahankan eksistensi lahan pertanian masyarakat desa yang semakin termarginalkan oleh tingkat kependudukan dan semakin menekan atas nama "pembangunan" yang secara fisik menggusur lahan-lahan pertanian di desa. Keempat, supporting system dari pihak luar (out side) yang konsisten terhadap perjuangan pembaruan desa. Untuk out side seperti NGOs, LSM, dan pemerintahan di atas desa (supradesa) mempunyai posisi dan peran membantu menggerakan dan memberikan fasilitas pendukung atas kehendak desa untuk mengembangkan dirinya, dan membangkitkan kepercayaan dirinya yang cenderung dianggap ndeso. Penyebutkan ndeso adaIah bahasa yang pada masa yang lalu digunakan sebagai ejekan terhadap suatu wilayah dan komunitas yang tertinggal, terpencil dan terasing, kini kita pergunakan sebagai suatu terminologi yang menciptakan kondisi desa yang menjadi sentrum kehidupan yang ideal dari citra hubungan masyarakat yang hurnanis.
Pandangan tersebut dapat digambarkan dalam suatu penggambaran mang interaksi. Ruang interaksi tersebut berbasis pada relasi-relasi sosial yang terjalin di antara elemen penggerak pembaruan desa. Secara langsung dapat digambarkan pada gambar 5 (lima) di bawah ini. Relasi-relasi yang tercipta bukan berdasarkan pada konteks kewilayahan luasan kekuasaan desa, namun pada hubungan yang signifikan untuk menjelaskan dan mendorong proses perubahan sosial-politikekonomi di desa. Pada ruang interaksi relasi sosial tersebut diharapkan dapat memencarkan hegemoni kekuasaan pemerintah desa (dan supra desa) agar tercipta suatu keseimbangan hubungan yang menciptakan perubahan aktif dari masyarakat. Pembaruan desa menuju kesuksesan pada proses tersebut. Pemencaran hegemoni dapat dimaknai sebagai usaha mempertemukan konsep hegemoni kepemimpinan elit pemerintahan desa dengan masyarakat (sipil) desa yang aktif, berdaya, dan mandiri (power heavy). Pemencaran hegernoni diperjuangkan dengan menggunakan perang posisi yang menciptakan blok historis yang partisipasi di antar semua elemen desa. Desa menjadi kuat.
Gambar 5. Ruang Interaksi Relasi soda1 Masyarakat dan pemencaran hegemoni Desa
DAFTAR PUSTAKA
Adas, Michael 1988. Ratu Adil: Tokoh dan gerakan milenarian menentang Kolonialisme Eropa, terjemahan: M. Tohir Effendi, Edisi I, Cet. 1 Jakarta: Rajawali Pers. Antlov, Hans, 2003. Negara Dalam Desa: Patronasi Kepemimpinan Lokal, Cetakan I, Yogyakarta: LPPERA Pustaka Utama.
, 2003. Pembaharuan Governance melalui Keikutsertaan Civil Society, Sebuah Pengantar, & Hetifah Sj. Sumarto, 2003. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipasi di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. h: xvii-xxv. Budiian, Arief, 1996. Teori Negar: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Burger, DH, 1983. Perubahan-Perubahan Struktural Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Cabin, Philippe & Jean Francois Dortier (ed.), 2004. Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Eko, Sutoro, 2005. Manifesto Pembaharuan Desa: Persembahan 40 Tahun STPDM " A P M D , Yogyakarta: APMD Press. Fakih, Mansour, 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Cetakan 11, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
, 2002. Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, Cetakan I, Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar Offset.
, 2004. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi di Dunia LSM Indonesia, Cetakan 111, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. FPPD, 2004. Lokakarya Nasioan: Mempertajam Pengembangan Sikap dan Agenda FPPD Menyongsong RUU Pengganti UU No. 22 Tahun 1999 Pembaharuan Khusus Tentang Desa, Hotel Galur-Prambanan-DIY. Kerjasama FPPD dan Ford Foundation. Fauzi, Noer, dan Dadang Juliantara, 2000. Menyatakan Keadilan Agraria: Manual Kursus Intensif Untuk Aktivis Gerakan Pembaruan Agraria, Cetakan Pertama, Bandung: Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (BPKPA). Fukuyama, Francis, 2004. State-Building: Governace and World Order in The 21st Century.
Giddens, Anthony, 2004. The Constitzition of Socieg: Teori Stukturasi Untuk Analisis Sosial, Cetakan Kedua, Pasuruan: Penerbit Pedati. Gramsci, Antonio, 1971. Selection The Prison Notebooks nf Antonio Gramsci, Edited ,and Translated by Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith, London: Lawrence and Wishart, Printed 1982, the Fourth Editions. 2001. Catatan-Catatan Politik, Cetakan I, Surabaya: Pustaka Promethea, Tejemahan dari: Selectiov From the Prison Notebooks of Antonio Gramsci, International Publiser, 1987.
, 2003. Hegemoni dan Negara, Dalam Pemikiran-Pemikiran Revolusioner, Editor Safiul Arif, Cetakan 11, Diterbitkan oleh: Mdang: Averroes Press dan Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Juliantara, Dadang, 2000. Arus Bawah Demokrasi: Otonomi dan Pemberdayaan Desa, Penyunting: Dadang Juliantara, Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama. 2002. Pembaruan Desa Bertumpu Pada yang Terbawah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
-A
Kansil, C. S. T, 1988. Desa Kita: Dalam Peraturan Tata Pemerintahan Desa (Hukum Administrasi Desn), Cetakan 11, Jakarta: Ghalia. Karim, Sukandi Abdul, 1999. Politik Kekerasan ORBA: Akankah Terus Berlanjut?, Editor: Sukandi Abdul Karim, Cetakan I, Bandung: Mizan. Kartikasari, Tatik & Binsar Simanulang, 1997. Sistem Pemerintahan Tradisional Di Daerah Istimewa Yogyaknrta. Diterbitkan ole11 Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Cetak: CV. Putra Sejati Raya. Kartohadikoesoemo, Soetardjo. 1984. Desa, sudah dialihbahasakan dengan bahasa Indonesia hasil ejaan yang disesuaikan (EYD) Penerbit PN. Balai Pustaka, Jakarta. Hetifah Sj. Sumarto, 2003. Inovasi, Kuswartojo, Tjuk, 2003. Epilog, Partisipasi dan Good Governonce: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipasi di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. h: 185-192. Mahasin, Aswab, 1995. Soedjatmoko dan Dimensi Manusia: Sekapur Sirih, dalam Soedjatmoko, Dimensi Manusia Dalam Pembangunan: Pilihan Karangan, Cetakan Keempat, Jakarta: L,P3ES. Murdianto, Widyo Hari, 2005. Menangkal Kemerosotan Demokrasi Desa. Dalam Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria: Bahaya Laten Sentralisasi, Volume 02 Tahun 2005, h: 5-19.
Nababan, Abdon, 2002. Pengelolaan Sun~berdayaAlarn Berbasis Masyarakat Adat: Tantangan Dan Peluang, makalah tidak diterbitkan, disajikan dalam "Pelatihan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah". Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, IPB. 5 Juli 2002. Patria, Nezar & Andi Arief, 1999. Hegemoni & Negara: Antonio Gramsci, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rozaki, Abdur, (et.al) 2005. Prakarsa Desentralisasi & Otonomi Desa, Cetakan Kedua, Yogyakarta: Ire Press. Salim, Agus, 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Pernikiran Norman K. Denzin & Egon Guba, dan Penerapannya), Cetakan Peratam, Yogyakarta: Tiara Wacana. Shiraishi, Takashi, 1997. Zarnan Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912 1926, Terjemahan Hilmar Farid, Jakarta: Putaka Utama Grafiti. Simon, Roger, 2004. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Terjemahan dari Gramsci's Political Thought, Cetakan IV, Yogyakarta: Kerjasama INSIST dengan Pustaka Pelajar. Siswanta, 2006. Relasi Kekuasaan: Telaah Pernikiran Antonio Gramsci Dalam Konteks Politik Indonesia Kontemporer, Yogyakarta: Media Wacana. Soematdjan, Selo, 1986. Perubahan Sosial Di Yogyakarta. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sudarsono & Edilius, 2005. Koperasi Dalam Teori dan Praktek, Cetakan Keempat, Jakarta: Rineka Cipta, Anggota IKAPI. Suharti, 2005. Kebijakan Pembangunan Sosial di Kabupaten Bantul, (h: 151-164) & Pembaharuan Otonomi Daerah, Editor: R. Widodo Triputro & Supardal, Kata Pengantar Sutoro Eko, Yogyakarta: APMD Press. Suhartono, dkk, 2000. Politik Lokal (Parlemen Desa: Awal Kemerdekaan sampai Jaman Otonomi Daerah), Ccl. 1, Yogy;~knrtn:Lappern Pustaka Utama. Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001. Suseno, Franz Magnis, 1987. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modem, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
, 1995. Filsafat Kebudayaan Politik: Butir-Butir Pemikiran Kritis, Cetakan Kedua Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utsuna. Sutarto, Endriatmo, 2006. Elite VS Rakyat: Dialog Kritis Dalam Keputusan Politik di Desa, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Sztompka, Piotr, 1995. The Sociology of Social Cl~ange,Blackwell, Oxford University of Kentaki & Cambridge USA. Suwondo, Kutut, 2003. Civil Society di Aras Lokal: Perkembangan Hubungan antara Rakyat dan Negara di Pedesaan Jawa, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Percik. Zakaria, 2000. Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru, Cetakan Pertama, Jakarta: ELSAM 2004. Merebut Negara: Beberapa Catatan Reflektif Tentang UpayaUpaya Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa, Yogyakarta: LAPPERA Pustaka Utama & KARSA UTAMA Widjaja, Haw, 2003. Pemerintahan DesaMarga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah: Suatu Telaah Administrasi Negara, Cetakan Ketiga, Yogyakarta: Rajawali Pers. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Departemen Penerangan RI, 1999. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Biro Hukum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, selaku Pusat Jaringan Dokurnentasi dan Informasi Hukum, J1. Medan Merdeka Selatan 8-9 Blok G Lantai 9 Jakarta Pusat, 10110.2005.
KONTAK PERSON MASYARAKAT BANTUL GERAKANPEMBAHARUANDESADIKABUPATENBANTUL 41112006
2.1.1. Apa isu yang dibangun? 2.1.2. Bagaimana isu-isu diangkat ? 2.1.3. Siapa yang memberikan isu-isu? 2.1.4. Bagaimana isu digarap menjadi wacana gerakan pembaruan desa? 2.1.5. Apakah ada lembaga dari luar yang sengaja memberikan isu? 2.1.6. Apakah ada lembaga dari luar yang sengaja melakukan penguatan waca na? 2.1.7. Apa yang digunakan untuk melakukan penguatan wacana? 2.1.8. Bagaimana wacana yang dibangung dipertahankan? 2.1.9. Apa (faktor) yang membuat isu-isu dan wacana yang telah dibangun menjadi menarik (engeri)? Atas dasar apa isu dan wacananya dipilih? 7.2. Menuju pergerakan! 2.2.1. Siapa yang menggerakan? 2.2.2. Apa Sasaran gerakan (Ekonomi, Kultural, Sosial, Politik)? 2.2.3. Apa Sifat gerakan yang dilakukan (Lokal, Nasional)? 2.2.4. Siapa pelnimpin gerakan (elit, sipil, o:rtside)? 2.2.5. Bagaimana kriteria pemimpin gerakan yang diinginkan? 2.2.6. Sejauhmana keberadaan seorang pemimpin dalam keberlangsungan suatu gerakan yang dilakukan? 2.2.7. Bagaimana hubungan sosial yang terjadi dalam gerakanllembaga? 2.2.8. Nilai moral apa yang menggerakan? Bagaimana nilai-nilai moral memberikan pengaruh? 2.2.9. Bagaimana arus gerakan itu dimaknai? Strategi apa yang dibangun untuk mencapai tujuan? 2.2.10.Bagaimana dialektika suatu strategi digulirkan? Dan dilaksanakan? Siapa yang memberikan usulan strategi? (insideoutside lembaga)? 2.2.11. Bagaimana melaksanakan strategi yang telah direncanakan? 2.2.12. Bagaimana hasil aksi yang didapat dari pelaksanaan strategi gerakan? (dapat dikatakan berhasil, seperti apqdll)? 3. Seberapajauh kekuatan luar berpengaruh mendukung kepada pemberdayaan masyarakat menuju pembaruan desa? 3.1. Pengaruh Kelembagaan 3.1.1. Siapa yang memberikan pengaruh terbesar? 3.1.2. Apa pengaruh kelembagaan yang dapat dirasakan oleh gerakan? 3.1.3. Bagaimana internalisasi gagasan kelembagaan? 3.1.4. Apa aktualisasi (aksi) masih diperngaruhi oleh pihak luar? 3.1.5. Bagaimana aktualisasi/ekternalisasijuga terpengaruhi? 3.1.6. Seberapajauh eksistensi kelembagaan yang telah berdiri? 3.1.7. Bagaimana memperkuat bargaining position gerakan massa? 3.2. Pengamh Politik Kebijakan Desa dan Supra-Desa 3.2.1. Apa kebijakan desa dan supra-desa yang telah dipengaruhi? Bagaimana kebijakan desa dipengaruhi?
3.2.2. Sejauhmana kebijakan desa dan supra-desa memperhatikan masukkan dari kekuatan luar tersebut? 3.2.3. Apa out-put (Perda, Perdes, Keputusan Bupati, Keputusan Kades) yang memberikan dampak baik terhadap gerakan pembaruan desa? 3.3. Dukungan Politik 3.3.1. Idiologi politik apa yang diniiliki 0111-side? 3.3.2. Idiologi politik yang seperti apa yang ditanamkan kepada gerakan pembaruan desa? 3.3.3. Dukungan politik apa yang diberikan pada lembaga pembaruan desa? 3.3.4. Bagaimana dukungan politik yang diberikan kepada lembaga pembaruan desa? 3.3.5. Sampai sejauhmana dukungan politik yang diberikan untuk mem-backup kegiatan lembaga pembaruan desa? 3.3.6. Strategi politik apa yang dilakukan untuk tetap memberikan engeri perjuangan dan mensinergikan kekuatan perlawanan terhadap kebijakan negara? 3.3.7. Bagaimana strategi politik itu ditularkan? 3.3.8. Kapan dukungan politik diberikan? 3.4. Supporting Program Pemberdayaan 3.4.1. Apa support program pemberdayaan yang telah dilakukan? 3.4.2. Apa yang membuat prioritas program? 3.4.3. Apa kriteria kesuksesan program pemberdayaan dan pembaruan yang dilakukan? 3.4.4. Bagaimana stcpport program dilakukan? 3.4.5. Sampai sejauhmana support program berikan, apakah ada pilihan program-program kegiatan yang diprioritaskan? 3.4.6. Kepentingan apa yang membuat program-program pemberdayaan dilakukan? 3.5. Sehuah Kritik "Pedas" 3.5.1. Apa kritik terharap program kegiatan yang telah dilakukan oleh out-side? 3.5.2. Kritik kelembagaan? Kritik idiologi dan strategi aksi pemberdayaan? 3.5.3. Kritik program pemberdayaan? 3.5.4. Kritik Hubungan Sosial-Personal?
MATRIK KEBUrTUt1ANDATA PENELITIAN PEMBARUAN DESA DAN KRISIS HEGEMONI 1
Orientasi Tematik
Perolelian Data
a. Mengaoa - . dan bagaimana Sejarah desa 1 di Gadingsari b. Bagaimana dinamikanya, hingga sampai sekarang. c. Bagaimana bentuk permasalahan yang dihadapi dalam masa dinamika yang dilewati. a. Sejarah pembaruan Pembaruan desa di desa di Bantul Bantul. b. Mengapa terjadi pembaruan desa di Bantul c. Aktor yang berperan memotori pembaruan desa. d. Visi dan misi pembaruan desa e. Hubungan kelembagaan formal dan informal dalam pembaruan desa a. Dalam bentuk dan Aksi perjuangan strategi yang pembaruan desa di bagaimana pembaruan Bantul. diwujudkan untuk mempengaruhi kebijakan supra desa b. Jaringan penguatan wacana dan aksi pembaruan yang dilakukan c. Bagaimana keterlibatan dan peran pihak luar. d. Faktor-faktor yang tnembcrikan dorongan dandukungan pembaruan desa. e. Faktor-faktor penghambat pembaruan desa
Sun~ber Data
1 Keoala Desa, Perangkat desa, BPD, LMD, Dukuh
I I
Cara Pengambilan Data Wawancara. literatur dan dokumentasi sejarah
Asosiasiasosiasi pembaruan desa, Mahasiswa Sekolah Pembaruan Desa, LSM Pembaruan Desa
Wawancara, dokumentasi dan pengamatan lapang.
Asosiasiasosiasi pembaruand esa, LSM Pembaruan desa, Akademisi
Wawaneara, domunentasi lembaga, dan pengamatan lapang.
REKAPITULASI KEGIATAN DAN PERKEMBANGAN PASCA GEMPA 27 ME1 2006 KABUPATEN BANTUL PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TANGGAL
KEGIATAN
LOKASI
INSIATOR
31-May-06 Warga bunuh din
AKTOR
GOAL
Gunungmanuk, 5-Jun-06 desa salam, kec Pathuk GN KlDUL 30-May-06 Warga bunuh diri Desa TRIMURTI. 5-Jun-06 SRANDAKAN Bantul
Mardi (45)
Mengakhiri hidupnya dengan menceburkan din ke sumur tetangganya siang itu, diperkirakan nekat bunuh din karena putus asa akibat rumahnya runtuh dan hams hidup di tenda beFama puluhan orang.
Pumomo (25)
1-Jun-06
Warga bunuh din
WARSONO (24)
2-Jun-06
Keraton Wetan Sowan ngarso dalem Sultan Hamengkubuwono
menceburkan diri di sumur didepan banyak saksi pukul10.00 wib. Diperkirakan juga tertekan karena kehilangan rumah, karena menjadi k gepa. Pumomo sebenarnya sudah pendiam sejak rurnahnya ~ s a karena diperiksa oleh psikolog yang qenjadi relawan di kampungnya, namun tidak berpengaruh banyak. Gantung diri di rumah bu De nya yang ietaknya tidak jauh dari wmahnya yang roboh. Warsono yang berpendidikan SMP sebelumnya masih ikut giat kerjabakti untuk warga di daerahnya yang rumahnya rata dan rusak berat. Meninggalkan surat yang meminta adiknya sasongko untuk menggantikan merawat buwn-burun dan ayam peliharaannya. rumahnya dulu di bangun berdasarkan gotong royong warga (Kata Poniman ayahnya) Mengharapkan pemerintah provinsi untuk menghargai potensi lokal dalam penanganan pasca gempa di YKT, melakukan percepatan kepastian atas bantuan yang diinisiasi oleh pemerintah, terutama pemerintah pusat yang sampai saat ini masih belum terdapat kejelasannya.
3-Jun-06 4-Jun-06
4-Jun-06
4-Jun-06
X Gotong-royong Stop berikan bantuan
Layanan SMS: permohonan bantuan posko utama Bangkit Bantul
Dusun Peten. Desa Sumberagung, kec Jetis
Sumber Agung Posko Utama Rumah Dinas Bupati Bantul
Posko Utama Rumah Dinas Bupati Bantul
5-Jun-06
ABPEDSI & APDESl
KET
~ornpas
Kwnpas
idenbfik"i
Masyarakat Masyarakat Panitia dan Koordinator Distribusi Masyaraakt Bantuan Abu DZARlN Nurhadi SH Mkes Panitia dan Masyaraakt
omp pas bersih puing. Mulai minggu 416 sudah tidak melayani pemberian distribusi secara langsung KR 616 kepada perorangan. Walaupun, 616 masih banyak warga yang masih datang secara berkelompok.
Bupati Bantul
Meminta masyarakat segera bangkit dan jangan tetialu lama larut dalam kesedihan. Seperti, petani yang biasanya mengejakan sawah. diminta agar segera kembali tejun ke sawah mengurusi tanamannya yang sudah seminggu terbengkalai.
Masyarakat
Mempercepat proses distribusi dan mudah untuk verifikasi. Nenya 0817 940 KR 616 1941 dan08122954338
KR 616
~
TANGGAL 4Jun-06
-
KEGIATAN
LOKASI
INSIATOR
SERUAN Elemen Piyungan-Bantul rnasyarakat bantul (Rumah Emha Anun Nadjib)
~
GOAL
AKTOR Revrisond Baswir, Pratikno, Atie Sujito. Abdullah Basri, Sigit Sujiio, Bambang JP, dan tokoh lainnya.
Siswa SD,SMP. Kepala Dinas Pendidikan Kab SMA Bantul (Drs. Sudarman)
KET
agar pemerintahberkomitmen tinggi untuk memberikan bantuan KR 716 Seruan I) kepada korban bencana gempa bgumi dalam waktu yang cepat, transpaan dan akuntabel dan berupaya melakukan perencanaan strategis dan sistematis. 2) pemerintah daerah hams menjadi central bersama masyarakat lokal dalam penanganan bencana, 3) Pemerintah pusat tidak boleh rnengeluarkan pernyataan-pernyataan dan kebijakan yang krpotensi menirnbulkan konflik. 4) mendorong penguatan modal sosial (kemandirian. partisipasi, saling percaya, dan solidaritas)dan mencegah terjadinya konflik, 5) berkaitan dengan validitas data dan penerimaan publik terhadap data tersebut. Kebijakan diserahkan kepada sekolah masih-masing begitu juga dengan tes kelulusan siswa SD. IS juga menguatkan bahwa sekolah berhak tidak memberikan tes kelulusan karena gempa, penentuan kelulusan hanya berdasarkan raport terakhir. Narnun, tetap tidak ada masalah jika pihak sekolah menyatakan masih bisa mengadakan ujian, dan akan melakukannya. Menghidupkan roda ekonorni. Bantul kota mulai berdenyut. Toko-toko yang KR 616 berjajar di jalur utama kota Bantul sudah ramah kembali. Rurnah rnakan, toko alat tulis, meja belajar, toko pakaian, bengkel sepeda motor, sampai material bangunan
5-Jun-06
Jadwal sekolah
Bantul
6-Jun-06
Masyarakat bangkit dan bergairah
JI. Soedirrnan dan Masyarakat sekitarnya
5-Jun-06
Aktivitas pasar tradisional
Pedagang
Pedagang
5-Jun-06 5-Jun-06
Gotong-royong Ujian Sekolah Dasar Masyarakat bangkit dan bergairah Permohonan bantuan alat pertanian dan
Pasar Irnogiri, P Barongan. P Wonokrorno, dl1 Candeng (Jetis) di tenda-tenda pengungsian JI. Bantul km 8
Masyarakat
Masyarakat
Mernulihkan kehidupan normal
Kornpas
Masyarakat
Masyarakat
KomPas
Pajangan
Wardani (Wargadesa)
Gotongroyong untuk melakukan pembersihan puing-puing sarana urnurn seperti masjid. Sedangkan warga lainnya, terlihat sedang sibuk mencari bantuan dana untuk merenovasi masjid yang berkumpul di pinggir jalan. Masyarakat memerlukan alat-alat pertukangan, pertanian dan sarana pendidikan.
5-Jun-06
5-Jun-06
PUPU~
5-Jun-06
Hasil panen padi petani Bantul di pasok ke Dolog
Bantul
Pedagang
Dialog antara warga dengan Posko Muhammadiyah Peduli Agar petani segera kembali ke sawah menyelesaikan masa tanam. Kepala Dinas Kepala Dinas PERTANIAN PERTANIAN DAN mengamankan tanaman yang sudah dalam masa pemeliharaan tinggal DAN PERHUTANAN (lr. rnenunggu panen guna mencegah gaga1 panen. PERHUTANAN Edi Suharyanto)
KR 716
KR 716
ue!yas uep 'leqaq le6ues 6ueA wele ele!a6 !wele6uaw !u! !ley nleq eAudnp~SP MU s lk!e 6 l - z ~ ewelas ennqeq ueyeleAuau 'ye66ue3 1 'lnAnq Z L 'nm3 c c '41 021 yauau !use)( lewv qeqg OlUE!P!M !Ayes ue!llsnpu!iad 900Z uawapedap unqel a g d v euep !pep JeAl!w P ~ dtl Z uey~e66ue6uawqe$ula!wad'qe6ual qe6uauaw 1!3ay eMer uep eueyeA6oh 1eye~eAsew!wouoya eweln sel!A!lye ueyednlaw 6ueA ~pay!~lsnpu! ~olyas!p !sel!l!qeya~ueynyelaw ynlun ueye~e6uayy I t l l S n a N l ua!s!~a ~ I LUX
tly
unqel ozc ewelas 1nlueg-eA60~ leqayial edwas
go-unr-g
90-unr-9 eln!
o c 'OZ
'0s uey!laq!p ueye
9/L tin
919 xn
, , , 13U
.edwa6 ueqloy ynlun e!ja)!jy-e!lal!Jy ueysnwnjaw y!sew qe$u!iauad leyeped .lelnye wnlaq epe 6ueA e)ep eualey 'eln! oc ' d ueyuaqwaw ~ ueyeleAu!p ln!uella& qepns 6ueA ~r ueeleAu~aduey6ueAeAuaw leAep!q p ! y e m n ~ leAep!~
P ! ~ W ~ N leAep!~
.!le66u!; eyalaw 6ueA ueqnynped uep leyap ese~alnj! ehue~ensqwe 6ueA qeuel welep uep qrunwa6 uep ~e6ala6~aq wens qalo !nlnqep!p nlelas ue6uu!y le)!yas !p edwa6 ue~ela6 ueyesruay uep lndnl ye#e6n! ueueyuad sq!l!sej 6z 'neu~uey! ' ~ e i u uep 'yesru ueloy 6ueA !wa~n6uey! e+r1!66~ leq!ye ue!6may uep 'qeuq wepy e$n!z'86 'ueloy ynlun qn! S ' O Z C ~ ~ Jueuwueq N In leAl!u g'z U E ! ~ N J .(lag) ~ ueyl q!uaq !el69 9 : ~ s ~ !wele6uau 6ueA s q ~ ! s e.omd!l6ueqweg j !p ydlay 01. 's!py !p dlay 1.1. 'uapues uep 6uwo 858 :mueg U ~ ~ U I I!p L yoduolay !~ z.1 'uedqun6ueg uqeue3ay !p uey! eAep!pnq dlay vc !P uey! !uelad 9 s ~ ' ~ 1VO'OE)
kIOUV
kIOlWSNI
6ueA uenlueq !el!u sele S3NdVM v l ~ w v r i!ue!ueyfiueAes qeue1 qeMeq !p qmnwa6 elens uep Buopund uelnsns edwa3 ' s ~ a y'u!6oul
sdeloy lwep ~wueg ueueyuad eqesn ISOlOl
NVlV103U
go-unr-9
go-uny-g
go-unr-s lV9'OE)NVl
-
.)eJaq yesm undnew lelot yeslu eyaJaw qewlu und!ysaw qeluuawad uep uenlueq ueyledepuau yepg edeuay ueyehueyadwalu eyalayy 'Inlueg qeywad eue~uagueqloy ueelepuad oysod !6uelepuaw eyaJaw tly 'etiJem ewesas uerunqwamy uepu!q6ualu evas .ism 6u!~!luenlueq ew!Jauaw yepn ehuu!el6ueA E ~ J ~ u ~ sel!Jep!los y pn!nm ueyedmayy .led.~a)asunsnp eleday uep esap !eleq ay ew!Jal!p yela] 6ueA selaq uep 6uen uey!(eqwa6uaw !ewel-!ewelaq e 6 1 e ~ tly 'ueynluai!p unlaq lndep ueiele~ad uep ueleyed ue!laqwad yntun eleluawas 'yned ynel6uen uep selaq uenlueq qalo~aduaude)al 'ue6u!1 yesnl ehuqewm 6ueh eyalaw !6eq emqeg
(6uedeqled wasv Suwey LO ltl uE66UaJ.d e 6 ~ 'ue!!leM) e ~ leye~ehseyy
ehuwese~ed Gunpas lnlueg 066ual!Jl esaa uoqlualy sa uep uelnsed sa
M
leyelehse~
qelu!~aluad
uenlueq oWap
go-unr-L
uenlueq 6uen ue!lequa6uad 90-unr-L 1503 ~U!A!I 6~ qelu!~awad 90-unw ueye!!qay
(1n1uea)lnluea '(xepued) w u e d '(6uedeqled) 6uepuo6!ley '(6~0pund) 1!16ueq !elnu !uelad ouopJeUul ~edill~y lesed eynq !elnu Jesed 6ue6epad 6ue6epad !wouoya e p o ~ueydnp!q6uaw iedilliiy (lesnd) qelu!~awad .ewes ueye!!qay a!Jyea lez!Jnqt/ ueqeqluad elsay oyuaw ueynyel~ad!pyep!~ese~alu6ueA leyelehsew ! ~ e p!syea~'qesal l e y e ~ e b e w Z I8 reduo)( s!IseJp 6uwny~aquele! lnlueg ~!66u!d!p uenlueq ~eye~ebeyy leywehseyy ~!y6ueqqelal teyelehseseyy qu!wad l w r qey uelef-uele! !p Awn (OlueheqnS !P3 NVNVlnHtl3d 60101~ ay yosed w u e d le6e6 qe6aauaw eun6 uaued n 6 6 u n u a ~ '11) NVNVlnHtlad NVa !P iwuea !urnad (e66ug uee~eq!lawadesew welep qepns 6ueh ueweuet ueyuewe6uaw ~ v NVINVlH3d a NVlNVlH3d seu!a eledan seu!a eleday 'weuq esew uey!esalaKuaw qemes ay !leqway mafias !uqad ~ e 6 v lwueg !ped uaued l ! s e ~ 9/L tlX !Inpad yndnd qeK!pewweqnyy ue!ueyad uep oysod lele uentueq ue6uap e & l e ~ ( e s a p e 6 ~ e ~ ) .uey!p!puad ue6ueIed ueuoqourrad mque 601e!a euwes uep ue!ueyad 'ue6ueyr~~ad lele-lele ueynpa~uaw leyweKseyy !uepJeM WL tln 13M
lV09
UOUIV
UOlVISNI
ISW01
NVlVlO3U
go-unr-L 90-unr-L
90-U~T-9
go-uny-g
90-unr-s
gounps
lV9ONVl
TANGGAL
KEGIATAN,
LOKASI
INSIATOR
AKTOR
GOAL
KET
KR Memberikan dukungan moral kepada masyarakat secara langsung dan mengajak masyarakat korban gempa bumi supaya mulai bangkii dan menata din. buna menyongsong kehidupan yang lebih baik pasca gempa. Masyarakat diharapkan tidak terus-terusan larut dalam kesedihan dan penyesalan, sebab semuanya memang sudah tejadi dan banyak juga warga lainnya yang ikut merasakan musibah ini. KR Mari bapak-bapak, ibu-ibu mulai aktif lagi melakukan kegiatan sehari-hari Sultan, GKR DS. Busuran 7-Jun-06 Ajakan Bangkii Hemas. Bupati yang beriani, ya segeralah kembali kesawah untuk menggarap sawah Donokerto Kretel kembaii ladangnya, yang jualan ya sebera bejualan lagi meski secara pelan-pelan. Bantul, Ny. Ida serta DS. Mojouro bekerja hendaknya juga kembali masuk keja. tidak usah meratapi dan Yang ldham Samawi, Ka Srihaj o lmogiri penyesali kejadian ini terus-menerus. mari kita terima musibah ini dengan Seto ikhlas. sebab keadaan memang sudah demikian mau diapakan lagi? kita Mulyadi,Asisten hanya bisa berbuat sesuatu untuk hari esok. (pesan Sultan HB X) Pemberdayaan Masy Pemprov DIY Ir. H. Soetaryo dan Kepala Bappeda DIY Ir. H. Bayudono. MSc. Sultan HEX. Bupati Bantuan berupa beras 10kgiorgibln; uang lauk-pauk rp 3.000.- per-orangihari KR DS. Busuran 7-Jun-06 Statemen (rp. 90.000.- perbulan) akan diberikan kepada masyarakat yang rumahnya Bantul Kepastian Bantuan Donokerto Kretel mengalami kerusakan berat, sedang maupun ringan. Sedangkan untuk biaya Rehabilitasi serta DS. Mojouro rehabilitasi rumah, saat ini mekanisme dan kriterianya masih dimatangkan Sriharjo lmogiri oleh pemerintah pusat sampai saat ini jurnlah rurnah yang rusak akbiat gempa di kabupaten bantul, Kompas ACHMAD Media Senter Bantul-Diy 7-Jun-06 Data kerusakan daerah istimewa yogyakarta, belum pasti. Hal ini terjadi lantaran berubahDJUNAEDI Satuan ~ r n a belum h pasti Koordinasi ubahnya sumber data yang digunakan sebagai acuan. Antara satkorlak dengan bappeda diy.5 juni 06 rumah rusak 216734 menjadi 207323 turun Pelasksana 9411 unit. (Satkorlak) ! Penanggulangan Bencana DiY - Kompas WaGtidakbutuh.karena diharapkan bahan materialnya masih dapat Masyarakat Desa Wonokromo Warga desa 9-Jun-06 Alat berat digunakan. (Backhoe) ditolak Pleret warqa Kornpas Percepatan bantuan living cost diterima oleh masyarakat Desakan Bupati Bupati Bantul Kec Pundong, 9-Jun-06 pemerintah kepada Pemerintah janjikan livin cost Dlingo, dan pusat Pajangan. 8.4 milyar 7-Jun-06
Ajakan Bangkii kembali
Jombok, Sumbenulyo, Bambanglipuro
Sultan, GKR Hemas, Bupati Bantul. Ny. Ida ldham Samawi, Ka Seto Mulyadi.
TANGGAL 9-Jun-06
KEGIATAN Pemerintah daerah dan pmvinsi turun lapang
LOKASI
Kegiatan perdagangan masih sepi 10-Jun-06 Pemda melakukan Kec Pundong. Dlingo, dan desakan agar Pajangan. dana 8,4 milyar turun tanggal 11
13-Jun-06 Dana Jarninan Hidup
13-Jun-06 Dana Jaminan Hidup
13-Jun-06 Musyawarah Rakyat Bantul
- AKTOR
Desa segoroyoso Gubemur DIY & Gubemur DIY & (Pleret), Nogosari Bupati Bantul Bupati Bantul (Jetis). Monggang (Pundong)
9-Jun-06
12-Jun-06 Dana Lauk-pauk cair 8,7 M
INSIATOR
Kec Pundong, Kec. Pajangan, dan Sebagian Kec Bantul Bantul
Pedagang
Pedagang masih takut berjualan di kios rusak berat Desakan Bupati Pemerintah pusat
GOAL Meningkatkan kondisi sosial-psikologi korban. Memberikan masukkan agar warga perlu memperhatikan masalah kejujuran mulai dari pemilik, ketua RT, Kadus. Lurah. Camat, Hingga Bupati.
KET Kompas
Pasar Niten. Ps Bantul, Ps Imogiri, Ps. Wonokromo, Ps Hewan Pandak, Ps KR Sernampir. Ps Sungapan. Ps Ngoto Bangunharjo, dl1 Pasar-pasar tradisional Percepatan bantuan living cost diterima oleh masyarakat
KR
Pemerintah merninta maaf karena baru tiga kecamatan yang rnendapatkannya. Nilai 70 Mlbulan dihitung dari jumlah korban gempa dari bantul sebanyak 779.287 orang sekalian dengan jatah uang laukpauk. Wakil Presiden juga badan koordinasi nasional YK penganggulangan bencana
Pemerintah Dusun Mandingdawon. Kabupaten dan Desa Sabdodadi, masyarakat Bantul Lingkungan Balai TSP Desa Wonokromo PLERET Kab. Bantul
rneminta agar penyaluran dana jatah hidup di kernbalikan pada aturan yang -'"" sebenarnya. Artinya, selain haws didistribusikan secara penuh, juga tidak boleh dibagi lagi kepada rnereka yang tidak berhak. Daerah harus mengikuti kebijakan yang ditetapkan Pusat dalam distribusi dana jadup, jangan membuat aturan sendiri. demikian diinstwksikan oleh Wapres. Dana jadup a sebanyak 10 kg dan adalah bantuan yang diberikan pemerintah b e ~ p beras uang laukpauk 90.000,- itu dibagi dua dengan penduduk yang rurnahnya tidak rusak. dana yang dibagi dua itu dibagikan berdasarkan kesepakatan dengan Pa RT-nya. -"" 384 orang menerima dana jadub separuhnya dari 90.000.- sisanya akan dibayarkan dua rninggu kemudian oleh Satkorlak.
Penguatan kekuatan lokal dan Bantul Bangkit. Bersatunya masyarakat Bantul IdemSultan. Bupati sebagai simbol untuk kebangkitan dari keterpurukan pasca gempa dan Bantul. Cak Nun menaikkan bendera setengah tiang menjadi satu tiang penuh. (Emha Ainun Najib), mbah Marijan (Juru Kunci Merapi), (Juru Kunci Parang Tritis).
.!senleAa w!l .eAuyeue uep nq! epas leye~eAsew -nq! eAusnsnqy ' e 6 ~ y!lewneq e~ uey6uel!q6uaw ueye ueydweq!p npueAsod qoyol 'om!!unSueg XXd-dl uepnnd uqe!6ay eAu!leqway ue6uaa 'nqu 00s d u ),la uqeuasan seu!a uep uenlueq uey!Jaq!pueye npuebod uep ynd 6u!sew-6u!seyy enlay 'o~!!un6uea lnluea qen q e l n l - ! ~ e w e s y y d yela66uad inlueg-ueq!sen .npueAsod undnew esap !p n y d sel!ngye !leqway ueyle!66uaw ynlun .dwa6 qeq!snw !dep l!y6ueq eJa6a~lnlueg !p nq!-nq! qrunlas epeday ye!e6uayy W ~ ~ PI P I'!H w ! l enlax -0~!!un6ueaesaa
L/l Hn SE~WO)(
le[e6uaw ~e[elaqsasodd nlueqwaw qeloyas uey!p!puad ueyq!~nwaw 'edua6 msed ley01JeyeleAsew uel!y6ueqay uep ueq!lnwad depeqdal ue6u!dwepuad ueynyelaw sn6!leyas uep ley01 uelenyay yela66uad ~olowlefieqwalle6eqas uese6e6 uey!sep!losuoy6uayy . 'ledwalas e6dem epeday !ses!ue6doad uep !se~aua6a~ !euafiuaw ley01l e y e ~ e k e w ue~epesayye6n66uaw ue6uap !sep!losuoy ueynyelaw ynlun esaa
ems!seqeyy
ueqnAn6ed ueyn+uaqwad go-~nr ( P E Ww a s ueqn~nfied)qelnl I.JIS.I . ~eqnAn6ed . ueynluaqwad go-unr-0s 90-unr-oc lnlueg qe>l AN^ ~ n n
ANn
esaa d s l ualednqey '(3tl11w~)n uasoa) edwa6 e3sed ueq!lnwad ueledas~adwelep ol!lns !JV:(!sapdv lnlueg leye~ebewley01 !sualod 6uelual ley01 ley6ug !p uese6e6 !sey!j!se~ enlay) ouo!r ualednqen d s l
' ( 8 ~l!yfiueg-nles~ag-lnlueg ) :uel!y6ueqay ueleda3dad 6uo~opuawley01 !sualod (!ses!~olow)yela66uad uee6eqwaya)ay !seu!pdoon ey6ued welep uelewe3ay leyfiu!~!p
d
.
.edw~)(
13Y
--
ualednqey !p !sye ueynyelaw punw-punw uep run6 wed eyew neq uep~oloy6ueA ueynwa66uad !des 6uepuey !s!puoy a u w w lV03
d s l !seP!losuon go-unr-62
u!6owl -oldeq!ls esaa
d s l !sep!losuoy go-unr-8z
MA INN NA l t l ~~ o l l s y l o l~ o - u ~ ~ - L z
I n w a .qen lnluea lnluea qen ( d s l ) ueq!lnwad uemela~eyns 066ua~!llPUPO lvyyv3 qndnlas i~eso60~ uenwapad go-unr-LZ ~9 lewe3 l w!1
.edrua6 eased lwueg uq!y6ueqay ueledaadad !S~P!IO~UOY~ ~SIB leue31 I ' IM enlay I . .. l wnuyo ,,uequ!uuad,, yelouaw !uwaq yepg ueqoy ! d e l ' ( l u uodsueq Wlun) edwa6 Buolod!p new yep9 ey!!-'000.0~ 6uen ~eAeqwawn q e 6y s !pe!uaw 6uolod!p u e w y e61eM 'la 6y 01. swaq q ~ e .ueqoy y emenlay enwas epeday i s m 6u!~!l ue!6eq~ad ~sd~,,
W9U.u
s!laf esaa
-ohlnw!l;
oAlnw!dl qelnl ualednqey
punw uep run3 NOUIV
~-
U~SO~ONI uenwauad
go-unr-g~ (ZOI I 'LO 18) ueBue!ed '!pep!~ul epwad 'eyos!le)( qnyna 6u!n!7 uei6eqwad go-uny-p~ 'urnas .uoMas 'o!Jeq6un66ued 'o!Jeq6un66ued esaa ' u e t a ~ esaa ' u q a ~ Y = J U ~ Jas ~ y=Juwd QS 6 salodd runs run6 wed salad ~ n wed
I
NOIVISNI
1~
ISWO1
NVlV193Y
lV99NVl
-
TANGGAL
KEGIATAN
LOKASI
1-Jul-06
Penghapusan Pendapa sebala bentuk Parasamya kebijakan yang Bantul rnembebani rakyat
2-Jul-06
Wawancara Pa Marzjuki (Ketua ABPedSI) Wawancara Pa Jiono (Ketua APDeSI)
3-Jul-06
3-Jul-06
INSIATOR Bupati Bantul
Rumah. PANDAK Sindu
Rumah. Mangunan
Sindu
AKTOR
Pajak PBB. KTP. Akte kelahiran, Kematian, begitu juga retribusi pasar dihapus sampai bulan Des 2006. uang pendafkran sekolah negeri dan swasta tidak wajib dibayar.khusus uang gedung hanya boleh ditarik kepada anaknya bupati, wakil bupati, kiepala dinas, kepala sekolah, atau bagi mereka yang orang tuanya mempunyaijabatan penting di pemerintah, ... ya tetap membayar, Sindu 8 Pa Marzuki Hasil wawancara
Univ. Kristen Duta Wacana 13.0015.00
Tim Sukarelawan Pemulihan (TSP) Kab. Bantul, Akademisi. Bupati Bantul. SlEC Sultan
7-Jul-06
Sultan: Tanggap Keraton darurat sudah usai
8-Jui-06
Semiloka percepatan pemulihan pasca gempa di Bantul
Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat
-
Jiono Ketua APDesi Christoph Emesti dr Aksi Bantuan GERMAN (Action Deutschland Hilft)
Seminar: Ekselerasi Pembangunan Pasca Gempa
KET
Drs HM ldham Samawi
JERMAN
6-Jul-06
GOAL
KR 3lul Dikatakan bahwa perkiraan situasi akibat gempa bumi, terlalu dianggap remeh. Baik leh organisasi bantuan intemasional. Sekarang sudah dipastikan terdapat 1.2 juta orang penduduk YKT yang kehilangan tempat tinggal akibat gempa bumi. Jumlah itu masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka korban kehiiangan tempat tinggal akibat tsunami di Aceh dan SRI LANGKA. dua kawasan yang mengalami kerusakan paling parang akibat bencana tsunami. ha1 ini dibenarikan oelh pimpinan Care InternationalJerman Dr. WOLFGANG JAMANN> 'wnunkay Pembangunan wacana recovery pasca gempa dan institusionalisasi isu eksistensi pemerintahan Bantul dalam melaksanakan recovery kedepan.
Menyelesaikan masa tanggap darurat, mengucapkan terimakasih atas bantuan dan partisipasi semua pihak kepada masyarakat DIY akibat gernpa 27 Mei 2006. menyiapkan percepatan melakukan recovery masyarakat DIY.
Idsntmka,,
TANGGAL
KEGIATAN
LOKASI
INSIATOR
AKTOR
KET
KR 7l7 diharapkan dapat menemukan sosok ideal kepemimpinan bangsa di masa Penilaian akan Majalah Kepemimpinan dilakukan oleh Tim depan dan memperkuat kepemimpinan yang berperestasi dan dicintai masyarakatnya. Misinya memberikan anugerah penghargaan kepada Bupati Leadership Park Ahli dari dan Walikota atas karya dan memberikan ruang bagi masyarakat Kementrian memberikan apresiasi terhadap pemimpinnya. Pendayagunaan Aparatur Negara Departemen Dalam Negeri Departemen Sosial bersama Majalan Kepemimpinan Leadership Park. Juga akan melibatkan pendapat pers dan publik
7-Jul-06
Leadership Award Kepala Daerah 2006
4-Jul-06
Yayasan Budha Bupati Bantul, Peresmian rurnah dusun Sorok. masyarakat Tzu Chi Sumbermulyo. tahan gempa Bambanglipuro- Indonesia Bantul Bupati Bantul Masjid Agung Utamakan Fasilitas Rumah Manunggal Bantul Rakyat
5-Jul-06
GOAL
Bantuan seperti ini menurut Bupati sangat mendukung masyarakat korban gempa untuk cepat bangkit menata kembali kehidupannya. Kami sangat berteimakasih atas kepedulian Tzu Chi. Saat diwawancarai oleh TVRI. YOGYA N , dll, mengatakan bahwa pembangunan yang akan diutarnakan adalah sarana kebutuhan rakyat terutama nrmah-rumah mereka untuk kebutuhan pribadi, untuk sarana umum akan menyusul. '"nMkaY SMN 1 Pajangan sudah menerima formulir 189 (kapasitas 160): SMPN 2 Pleret menerima 305 formulir (kapasitas 240: 4 kelas); SMPN 2 Bambanglipuro 183 formulir sudah dikembalikan (kapasitas 160)
7-Jul-06
ORTU DAN CASE Bantul ragu kembalikan formulir
ortu dan casis
8-Jul-06
Sunatan Masal
dusun Kerto. PleretPuspadanta, jl. lmogiri Timur km 10 Lapangan Pentas Amal Korban Gempa se- Sewondanan, PakualamanYK DIY
Froum penicinta anak-anak sekolah mereka akan mendapatkan uang pembinaan, sarung, baju koko, peci, sandal, perawatan pasca khitan dan antarjemput mobil. Acara ini bertujuan anak yogyakarta yang berlum untuk membantu penanganan kesehatan, psikologis dan pelayanan dikhitan pendidikan kepada para anak yang menjadi korban gempa.
KR 817
Froum penicinta Group musik anak yogyakarta akustik, shalawat. nasyid, dai cilik. serta kreativitas santri TPA kecamatan Pakualaman
KR 8/7
12-Jul-06
Calon Siswa
TANGGAL
KEGIATAN
LOKASI
6-Jul-06
BERSIH DESA
7-Jul-06
Utamakan Fasilitas umum
8-Jul-06
UU Keistimewaan Kampus UMY DIY Ruang Minitheater Gedung D UMY Bantu1
19-Jul-06
Korban Gempa Yogya DEMO
INSIATOR
1.300 relawan asal dusun dadapan kelurahan ketep kecamatan sawangan magelanq Krapyak IKAPPAM PANGGUNGHAR (ikatan alumni JO SEWON PP al-munawwir BANTUL Krapyak Yogyakarta
Canden,
Dewan kebudayaan DIY dan Pusat Studi Perubahan Sosial Politik UMY
Kantor Gubernur Masyarakat korban gempa DIY. Kepatihan Yogyakarta
GOAL
AKTOR
KET
membantu membersihkanNmah dan puing-puing, serta ikut membangun kwrdinator relawan: Ang Song Nmah. Mereka membawa bambu yang sangat dibuhthkan warga. Siang dan Jstmiko.
KH. Abd. Ghofar Fadhil, anggota ikappam dari Sidoarjo Jawatimur
-.
bahwa dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa, gendaknya yang diutamakan terlebih dahulu adalah pembangunan fasilitas umum. ~ terutama fasilitas untuk ibadah dan pendidikan. Setelah itu b a bangunan milik pribadi atau perorangan.
Dr. Susetiawan, Prof Dr. Musa Asy'ari (staf mentri ekonomi inforrnasi)
keistimewaan secara sosial budaya bukan sekedar ciri-ciri kesenian. Naum adalah bagaimana perilakuk para pemimpin dan masyarakat menuju sebuah identitas perilaku menghargai ha1 rnanusia yang lain, tandas Susetiawan (sosiolog dr UGM) tambahnya: atau pusat pencerahan ditarik dari iingkup kecil yigyakarta yang memiliki sejarah monarkhi, menebar ke seluruh bidang. Ciri realitas sosial budaya dirasa mampu menjadikan yogyakarta istimewa. bukan hanya dari sisi pendidikan dan kesenian saja. sosial budaya sebagai kesatuan nilai, salah satunya akan rnenjadikan yogya berbeda dengan daerah lain. hingga mampu menjadi the center of enfighrnent bagi siapapun.
Koordinator Aksi: Jiono (Lurah Mangunan)
100 orang korban gempa bemnjuk rasa dalam bentuk forum Suara Warga Korban Gempa. Mereka menuntut pemerintahpusat menepati janjinya. temtama janji memberikan bantuan dana rekonstmksi antar 10 juta hingga 30 juta per unit rumah warga yang rusak akibat gempa 27 Mei lalu. Jiono dalam orasinya: rnengatakan Wapres Yusui Kala pada awal Juni lalu menyatakan pemerintah akan memberikan dana bantuan untuk rekonstruksi sebesar 10 juta hingga 30 juta bagi tiap warga korban gempa yang rurnahnya ~ s a ringan, k sedang dan berat. Namun, beberapa waktu lalu Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan dana bantuan itu hanya berkisar antara 4 juta hingga 5 juta per unit ~ m a yang h rusak. itu artinya. kata Jiono Wapres telah melakukan kebohongan kepada masyarakat.
--"On
TANGGAL 24-Jul-06
KEGIATAN Sultan: Agar Pemerintah menaikkan anggaran pentahapan
LOKASI Yogyakarta
INSIATOR Gubemur DIY
DEPUTI BAKORNAS
26-Jul-06
Peletakan Batu Pertama pembangunan SMA 1 Piyungan, Bantul
Piyungan Bantul
BTN Yogya (Prabowo Sakto, Msi) Serkejasama dengan DPD RE1Yogya (Ir. Heni Laksmana)
AKTOR
GOAL
KET
SULTAN
Dengan demikian. kami berharap akan mendapat membangun 206.000 u n l ~ m a sekaligus, h biarpun hanya dengan smktur bangunan tipe 36 tahan gempa plus atasp, belum pakai dinding. Dindingnya dikejakan pada tahap berikutnya. Rumah itu nantinya dibangun bersama warga masyarakat sendiri. gotong-royong masyarakat atau sambatan antara warga. dengan demikian jika disitu ada upah berarti ekonomi dipedukuhan itu juga jalan. bagi warga yang mendapatkan bantuan daripemerintah juga bisa menjadi tukang dan dia dapat upah. disiniyang penting ekonomi masyarakat berputar kembali. tidak ada sistem borongan. tapi bagaimana k i i menumbuhkan ekonomi desa agar bisa hidup kembali. dana 749 milyar memang jauh dari kebutuhan. Jika untuk h gempa tipe 36 seharga 20 jutaan, baN cukup membangun ~ m a tahan . ~ m a yang h hancur ada 206.000 unit untuk 35.000 unit ~ m a hsementera ~ m a hsehingga . masiha da sisa 170.000 Nmah lainnya belum bisa terbangun, padahal oktober nanti diperkirakan hujan sudah turun. untuk itu dana tahap pertama akan dikucurkan 4 jutaan dengan asumsi akan membangun 200.000 unit rumah. m.2.pPB BUD1 ATMADJI Dana rekonstuksi yang dikucurkan ini memang baN tahap pertama: ~ pertama, sehingga akan ada kelanjutannya. Pada namanya saja b a tahap tahun pertama 2006 yang sisa 6 bulan ini, dana sudah turun 1.2 triiiun untuk DIY dan Jateng: dengan dana sebesar itu, bagaimana kita mengentaskan dan menyelesaikan kesulitan para pengungsi yang jumlahnya mencapai 2 jutaan orang. mereka semua itu tinggal di tenda-tenda. karena itu, dengan dana sebesar itu, yang penting bagaimana supaya mereka semua terayomi dulu. yang penting bulan Oktober nanti mereka tidak kehujanan. Sehingga asas pemerataan diutamakan dulu, artinya dengan dana terbatas tersebutakan diupayakan untuk dibangun bersama. mungkin baru pondasi dan struktur dulu serta atapnya. kemudian kalau ada uang ditambah lagi. BTN dan RE1Yogya membangun ksmbali sekolah-sekolah yang Nsak akibat Bupati Bantul IDHAM SAMAWI: gempa, pihaknya sangat mendukung sekali diajak berpartisipasi dalam harta benda boleh pembangunan sekolah tersebut. hancur lebuh, tetapi semangat hams tetap tegar. Proses belajar mengajar hams jalan tems. walaupun hams diselenggarakan di tenda-tenda.
U)2~
TANGGAL 26-Jul-06
27-Jul-06
27-Jul-06
27-Jul-06
KEGIATAN
LOKASI
Penyerahan Balai Desa Bangunan Potorono Kewmatan Kelurahan BANTUNTAPAN Potorono. BANTUL BantunTAPANc BANTUL> Pembagian dana JADUB di Kecamatan Kretek (Rp. 3 Milyar) Pengembalian dana JADUB yang lebih di Desa Donotirto Kec. Kretek sebanyak 82 amplop Warga desa tidak Desa Srirnartani, lagi menghiraukan Piyungan. janji bantuan dari BANTUL Yusuf Kala
INSIATOR PT. MULTl KONSTRUKSI UTAMA DAN PT> ANEW PANEL INDONESA
AKTOR Lurah POTORONO-BAN TUNTAPAN
GOAL
KET
Dengan konstruksi Sandwich Panel (memungkinkan suasana kantor tidak panas) dihadirkan pertama kali dengan sistem knockdown (bangunan sangat praktis suatu waktu bisa dibongkar),
KR 2 1 * 0
SaUak Bantul Suarrnan SW. SH MH KR z
w
Lurah Donotirlo Pambudimulyono
)(R 1 9 ~ 1 0 ~
Dodo (37th) warga dukuh Wanujoyo Lor, dEsa Srimarlani. PIYUNGAN
KR 28Jd06
27-Jul-06
28-Jul-06
Gaduhan Desa Temuwuh. Gubernur DlY Kec. Dlingo. KAMBING dari Sultan (Gubernur BANTUL DIY) dalam PROGRAM Community Develompment. Desa Srimartani, BPD Bantuan P2KP diberikan kepada Piyungan, BANTUL 15 dukuh
119 KK Ternuwuh peroleh Program Gaduhan Kambing. Lurah Temuwuh: Basuki. Awalnya. warga Temuwuh adalah pengerajin. Ratmono, S.Ag
Harapan: 5 ekor karnbing menjadi 15 ekor, dan selarna 3 tahun akan rnenjadi 35 ekor sehingga dapat mengembalikan 5 ekor karnbing terdahulu. Pembahan pola kerja dan kegiatan sehari-hari sebagai pengerajin, menjadi peternak kambing.
KR 2
~
Pembagian dana P2KP sebesar Rp. 300 juta dibagikan kepada warga di masing-masing padukuhan. Rp. 200 untuk perbaikan sarana dan prasarana sosial dan umum di desa. KR lWlOB
28-Jul-06
Bantuan JADUB selesai akhir Juli 2006
KR 2
w
~
TANGGAL
KEGIATAN
28-Jul-06
Tiga Kecamatan belum menerima bantuan Living Cost (BiayaHidup)
29-Jul-06
Palbapang Korban gempa resah belum menerima dana living cost susulan
-
INSIATOR
LOKASI Kecarnatan Sanden. Srandakan, dan Sedayu
AKTOR
GOAL
KET
Sanden: 25.914 j i a ; Srandakan: 27.868 jwa; Sedayu: 26.205
iii Kadus Sumuran Sari Mumi
I(R 2
31-Jul-06
DIY Pasien Rawat Jalan Korban Gempa Bebas Biaya Pengobatan
Kepala Bidang Alex Syamsuri Humas Badang lnformasi Daerah
pasien yang terlanjut bayar biaya berobat bisa diambil kembali uangnya. Biaya pengobatanwarga korban gempa rawat jalan masih ditanggung oleh pemeringah.
31-Jul-06
PMI (Palang DIY Merah Indonesia) akan membangun rumah 15.000 rumah warga korban gempa
BONDAN AGUS Kepala Dinas Kesehatan DIY & SURYANTO Ketua PMI DIY
sebagai salah satu bentuk kepedulian terhadap korban gempa yang masih tinggal di pengungsian, Dinas Kesehatan akan menerapkan sistem jemput bola, yakni pelayanan kesehatan dengan menggunakan mobil keliiing. Seiain itu, kami juga akan menyiagakan kembali unit-unit puskesmas didaerah sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan. Selaku, ketua PMI juga ia mengatakan PMI akan tetap konsisten untuk mernbantu korban gempa dengan berencana membangun sekitar 15.000 ~ m a tingal h sementara untuk menghindarkan pengungsi dari berbagai penyakit.
1-Aug-06
Nasib petani bantul bak pedasnya rasa cabai
Dusun Tluren, Suryadi Desa Tirtomulyo. kec Kretek
Suryadi
Dusun Wirosutan, Desa Srigading, Kec Sanden
Sumarjo
w
"R"wm' Belum jelasnya pengucuran dana living cost kepada para korban gempa yang disusulkan beberapa minggu lalu, memangmembuat warganya menjadi cepat marah, mereka khawatir tidak bida menikmati haknya sepwerti warga yang lain: kami berharap pemerintah segera mengucurkan bantuan kepada warga yangmasuk dalam daftar susulan, mereka juga korban gempa, bahkan ~ m a mereka h juga tak luput dari kerusakan. jadi bantuan itu lebih cepat direalisasikan akan lebih baik, atau minimial ada kejelasannya dulu.
tidak ada gunannya memetik dan membawa sisa cabai yang rnasih ada untuk dibawa pulang. Selain harganya yang jatuh, pemasarannyajuga sulit. Harga satu kilogram bagai merah saat ini Rp. 1.200 - 1.500. sedangkan untuk cabai hijau jauh lebih rendah lagi, yaitu Rp 300-400,- Kalau dipetik rugi tenaga dan biaya. sedangkan pasar semakin enggan menerima lantaran pasokan mereka masih banyak. terpaksa saya bawa pulang hasil panen cabai, sebenarnya masih bisa untung, tapi harga sarana penunjang pertanian semakin lama harganya meningkat terus.
-*<--
I -"'""
'"'""
w u 3 - m
mvrvax
.lee)ueuJaq es!q qepns ! d q 'j!un nqp op meq u n d n l e ~ qn)nq ~auaq-~auaq Eueh q!l!d!p neley ' !de) 'epuaj !p Jnp!l dela) e 6 1 e ~ eualey leejuewlaq yepg e6n! es!q uey!6eq!p nl! Buen qelaias !pe!~al6ueh ede 'qe!dru eln! p ew!lauau ehueq e 6 ~ de!)as e ~ UndneleM eleJ !6eq!p e!es es!q s!o6a new neley %uen ynluaq uelep uey!6eq !p ueye ni! euep 'ehugueu '~nu~aqn6 qelepe uwe6Eue 6ueKaurad eseny eAuqnuadas ueyqe~ahuaw uep )eyedas qelalAla as eloy!leM uep !lednq euasaq e! qeqas .squoud eleys nele elemu uey!6eq!p ueye Inqaslal euep qeyede ~ n u ~ a q nuep 6 uesn~ndayn66unuau !qseu eAuyeq!d !u! lees ledues eAuue!6eqwad uals!s ynlun 'unweu 'uey~!m!pe~a6as!syJnlsuoyaJ euep ey!!de!s qepnsyen
.n)! Jesaqas eslq yaho~d!se~ls!u!upe euep ede6uaw lesnd qeiu!lawad !Jep puu q!qal uesela!uad elu!ua u ~ e 6 e eueyeh60h!p holdad elu!uaw !wey 'nit euaAen .lesaq le6ues !u! !seqs!u!upue euep !el!uau !uey
!MemeS ueqpl 'H . s ~ a
yyyy 'uew!pJed
Eunpue9 ' s ~ a
lnlueg gedna
A I atlda ~ enlax ye^
ueylp de!s l f l l ~ q~ e8 ~ lnlueg !synJlsuoyatl euea 9 1 ~ - 6 n ~ - & ueyeAueyad !p JeAl!u 08 dt] !sells!u!upe 'ueolm~ad u e ~ ewele l eumuaq euea 90-6n~-& Ala
'!U!
--.--
--.--
lees u!leq!ld 6uepas 6ueA j e y e l e k e ~qe6ual !p ueEue!uedaylaq ns! !pe!uau yep!] Je6e lnqaslal uen1ueq euep depeq~a)qpne ueynyelaw e~a6asbids) ue6uena)( esy!lawad uepeg ~ e 6 enequ!q6uau e6n! ehes .y!lqnd epeday ueqe~e!6un66ueuaduep !sueledSUell ynjuaq ueyedwaw !u! leH .eE!lay yeq!d nele inleuop !Jep edua6 ueqJoy !6eq uenlue euep ueyunwn6uau elasas ynlun eloy/ualednqey undneu n o ~ d qeju!la~adyesapuau ehes uew!pled 6unpue3 (eduab euneJ1 !sele6uau le!sos e6eual uep 'l!d!s 'yal!s~e)ueilnsuoy e6euai !6u!dwep!p ueye yoduolay s de!las ynlun ' b y OZ-OC)e 6 ~ yoduolay e ~ ynluaq uelep e 6 1 e ~epeday uey!6eq!p ueye 6ueA 'eln! s dtl lew!syeu ledepuau ueye deqq 6u!seu-6u!seu!p ueye uep 'eln! $1dtl ~q!!yasehuumesag .6ue~nyehueuep eualey deqeuaq wmas Kuen ynluaq uelep ueyuaq!p ueye eAugueu nqu 902 !edmuau ueyeJ!ylad!p eAuqelwn! 6ueA edua6 uzqoy !PWo@d !pe!uau 6ueA e 6 l e epeday ~ !sq!l!qeqaJ uep !syqsuoyal euep ue!6eqLUad oluesns 6ueqwea
'X ouoMna ny6uaqeH u q n s u s AIa Jntuaqns qalo 6uns6uel uey!lepuay!p es!q AIa !se)!l!qeqal uep !syrulsuoyaJ uqe!6ay 1e6e uey6uequyauau ueynyel!p !u! leH '~eAl!uL'GPL dtl lesaqas Ala ~ o ~ d u !p a dueynyel!p eAwn!uelas 'qoypa~ednqey!p seu!p qalo elnuas !uyeA 'Ala !sq!l!qeqaJ uep !syqsuoya~euep !ue6ueuaw 6ueh yeq!d ueqeqruad !pe!~ateuaiey ueynyel~p(ue~e66uvueeuesyelad ue!sl ~ e y e avd~a ) !sway --,_-
U U
1VO9
la a t l d a enlay I!YeM
la eplas
UOWSeN d e!lnn naydaa ueeAep~aqwad lwapuar uowsed ~ e!lnyy JW~!Q WOUIV
NOIVISNI
(elon~ualednqen '!SU!AOJ~) qeiuuauad .. ! S U ~ J ~ ~ S U ~ J ~ euexeA60~ y e s a p u a ~a t l d a 90-6nv-€
ehuuel!muad s!uyal 9 J!B wa6as weyeA60~!syn~lsuoyatleuea
J!KI wa6as weyer !s~nqsuoyatleuea
ISW01
NVlVl33Y
90-6nv~
90-6nv-c lV33NVl
TANGGAL
KEGIATAN
LOKASI
5-Aug-06
Harga gabah panen kering rendah
Bantu1
5-Aug-06
NELAYAN urung melaut
Bantul
INSIATOR
AKTOR
Harga yang ditawarkan pengepul kisaran 1.700 - 1.800 rupiah kering giling. Harga itu hanya terpaut sedikit dengan patokan harga standar Pemkab Bantul yaitu 1.730 rupiah per kg, bahkan jauh lebih rendah dari harga gabah petani Jateng yang mencapai 2.000-2.100 rupiah per kg pada panen kali ini. DIY: 1.700-1.800; di Jatim: 2.050 rupiah per kg; Jabar: 2.300 rupiah per kg gabah kerinq giling (GKP) Ombak di bibir pantai mencapai 1 meter, padahal pada hari biasa tidak lebih dari setengah meter. Jarak tempuh air pasang mencapai 30-50 meter ke bibir pantai.
petani bantul
DIY
17-Sep-06 Calon donor Taman Gabusan Belum tentukan waktu
Taman Gabusan Donor (Investor) Bupati Bantul
16-Sep-06 Pembkab Supaya Bantu1 Beri Toleransi: tidak mudah lakukan penilaian ~ m a NhM k
Masyarakat
-KET
--
BPKD (Badan Pengelola Keuangan Daerah)
23-Aug-06 BPK Periksa Bantuan Gempa DIY
BPK
GOAL
KR 1719 Sudah cukup banyak donor yang menawarkan diri untuk membangun kembali pasar Seni Gabusan, namun semanya belum memberikan waktu atau tanggal pembangunannya. Bupati berharap besok f 8 / 9 sudah ada kepastian dari para donor, kalau tidak akan segera dimasukkan ke dalam APED. Dalam beberapa bulan ini Pasar Seni Gabusan sudah harus selesai, karena KR 1719 kasihan para pedagang yang ada di situ sudah tiga bulan tidak ada kegiatan. Donor yang akan masuk itu berupa pinjaman lunak sekalipun akan saya tolak. Sebab yang dibutuhkan hibah, sehingga masyarakat korban gempa ini benar bangkit, tidak dibebani utang bunga ringan sekalipun ujar idham.
Pokmas (kelompok pihak kelurahan emminta agar Pemkab memberikan toleransi waktu, sehingga data yang diperoleh benar-benar akurat dan bisa masyarakat) dipertanggungjawabkan.
di Desa Wonokromo hingga hari Sabtu kemarin, verifikasi penerirna dana rekonstruksi juga belum selesai. Sejumlah dusun belum bisa membentuk pokmas, lantara data by name dari Pemkab Bantul masih dalam penmcokan di tingkat RT.
TANGGAL
KEGIATAN
LOKASI
50ct-06
Bupati Bantul KR rnensosialisasikan Ringkasan pe~bahan APBD 2006
5-Oct-06
Bentuk pusat informasi penjelasan dan pengaduan rekonstruksi dan rehabilitasi
5-Oct-06
Verifikasi keluarga miskin pasca gempa
INSlATOR
AKTOR
GOAL-
KET
BUPATI
m'mw Dalam upaya mewujudkan good government selaku Bupati Bantuk kami berkewajiban menyarnpaikan informasi kepada rnsayarakat mengenai kebijakan, program, kegiatan rnaupun penggunaan anggaran, setelah mernberikan Laporan Keterangan Pertanggunajawaban (LKPJ) kepada DPRD. diundangkan dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan APBD Kabupaten Bantul Tahun 2006. memberikan informasi yang utuh kepada rnasyarakat sehingga dapat memahami berbagai persoalan dengan bijak dan marnpu menempatkan bencana sebagai bencana, bukan sebagai kesalahan pemerintah. Lernbaga ini dimaksudkan juga untuk rnemupuk sernangat gotong-royong guna h mempercepat pelaksanaan rehabilitasi dan rekonst~ksi~ m a pasca gempa.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Kabupaten Bantul
Kegiatan Verifikasi Keluarga Miskin Pasca Gernpa berdasarkan pada Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2005 tentang lndikator Keluarga Miskin Kabupaten Bantul dan surat edaran Kapolda DIY No. Pol: Peng/376/11/2006 tentang sanksi pidana terhadap surat keterangan palsu keluarga rniskin. teknisnya akan dilaksanakan di setiap desa dengan didampingi oleh PLKB setempat. Dan setelah selesai akan diuji publikkan.
BUPATI
LEMBAGA INISIATIP MASYARAKAT GADHINGSARI AKTE NO 4, TGL 5 APRIL 2000 NOTARIS UMAR SYAMIIUD1,SH Alamat secretariat: Kenteng Gadingsari,Sanden ,Bantu1 ,Hp no 02747400760
No :05/LIMG/Xn006 Perihal: Laporan Kegiatan Warga Gadingsari, PEDULI BANTULBANGKIT Hari Kamis,l9 Oktober 2006 Lampiran : l(satu) bundle Kepada : Yth Kapolsek Sanden Di Kaliundu, Gadingharjo Sanden.
Dengan hormat. Dengan Rahmat Tuhan YME,dengan ini kami loporkan ,berdasarkanperfemuan wakil wakil warga Padukuhan no 1,2,3,4,5,8,9,lO.11,I2 Gadingsari, Ifari Rabu, Tanggal I8 Okrober 2006,di rumah sdr: Sudiwiyono,Ketalo,Gadingsari,dalam rangka m e n a n g g a p i Surat B u p a t i B a n t u l no413.213772 , t e n t a n g R e k o n s t r u k s i I R e h a b i l i t a s i P a s c a G e m p a f l u n g belum di l a h a k a n secara aspiratip di Gadingsari,wakil-wakil warga menyntakan akan mengadakan kegiatan proakrifsebagai berikut : I.Hari Kamis tanggal 19 Oktober 2006,nkan menghadap Puntpinan Tim Koordinator Pelaksana Program Rekonshuksi/RehabilitasiPasca Gempa Tingkat Kabupaten,di Rumah Dinas Bupati: Waktu:pk 16.00 s.d 18.00. 2.Perwakilan warga sejumlah 50 orang. 3.Pimpinan Perwakilan :I. WIDYA KARYANA 2. SURATMAN. 4.dcara Kegiatan :Mohon penjelasan dan menyampaikan aspirasi kepa da yang benvajib.
/ .
'.. ,'
Demikian pemberitahuan ini di.sampaikan kepnda Bapak Kapolsek Sanden,agar menjadikan periksa adanya. .~~ n t u selanjutnya,&mi k memohon sudilah kiranya Polsek Sanden mengawal& ' Melakukan pengamanan Kegiatan tersebut. Atasperhatian Bapak Kapolsek Snnden,kami haturkan terima kasih.
Tembusan disampaikan kepada Yth:, ", . . .' I. Kapolres Bantu1 ,:,;(. . , . .. , /,:!,'. . ; 2.Camat Sanden . . 3.Lurah Gadingsari t., ; ,, , , _. :. 4.Arsip Y ,
,,
i.,
. ,
+'
.,/
DAFTAR NAMA PENGURUS AKSI PRO AKTIF PEDULI BANTUL BANGKTT WARGA GADINGSARI.
Ketua : 1.Widya Karyana 2. Suratman Sekretaris: 1.Sudaryana 2.Sutarman
Tim konsultasi/lobi:l.Sukardi Atmana 2.Sutiharta 3.Kdhir Tim Transportasi: 1. Jamiyo 2.Tujar. h r u bicaralpengaduan :l.Kahit (wakil warga dk13) 2..Junlakir(wakil warga dk 12) 3.Satjiman (wakil warga d k 10) 4.Tujar(wakil warga d k 6) Seksi Keamanan: 1. SUcepuk 2. S ~ k i m a n 3 Shndar. Pendamping: Pramudya Atmaja Sudiwiyana Sindhu Ir.Snharyanto,MS,MSc
Metalo: 18 Oktober 2006
KELOMPOK AKSl PROAKTIF PEDULI BANTUI, BANGKIT WARGA GADINGSARI SANDEN Alamat Sekretariat :Keta10,Gadingsari Sandcn Bantul Phone 02747802372, 7400760 Perihal :Laporan & Pengaduan Program Rekonstruksi Dan Rehabilitasi Pasca Gempa Di Gadingsari. KEPADA : Yth.Baaak Pimvinan Prowam Rekonstruksi & Rehabilitasi . Pasta Gempa,Tingkat Kabupaten Bantul Di Rumah Dinas Bupati Bantul,Trirengga
.
-
Dengan hormat Dengan Rahmat Tuhan YME,dengan ini kami ,atas nnma sebagian warga masyarakat Kalurahan Gadingsari,KacamatanSanden;melaporkatzha1 ha1 sebagui berikut: 1. Pada tanggal 4 Oktober 2006,di Balai Desa Gadingsari,telah dibentuk Pokmas Calon penerima bantuan dona Rekonsfruksi Pasca Gempa.Pembentukan Pokmas tersebut tidak melibatkan peran masyrakat luas,termasuk tokoh masyarakat,Kepala Dukuh,Ketua Rrdll. 2.Hal tersebut berdampak muncul keresahan di kulangan nzasyrakat ,karena tidak sesuai dengan isi Burat Bupati Bantul no 413.2/3 772,tglY September 2006, tentang Pelaksanaan Program Reko~zs@uksi/RehabilitasiPasca Gempa Bumi. 3.LSM Lembaga lnisiatip Gadhingsari, telah melaporkan ha1 tersebut kepada Bupati Bantul tgl8 Oktober 2006,tetapi sampai sat ini belum adapemecahan /solusi ,terhadap ha1 tersebut di atas. Sehubungan dengan hal tersebut,atas nama sebagian warga masyarakat Gadingsari Korban Bencana Gempa Bumi 27 Mei 200&%on dengan hormat kepada Pimpinan Pelaksanaan Program RekonstruksYRehabilitasi Pasca Gempa B~mi~memberikan penjelasan dan bimbingan kepada &mi, untuk dapaf ber,n;"c~tisipasirnelaksanakan Perintah Bupati yang tertulisdalam Surar Bupati no 413.2/3772 /gl 9 September 2006 kepada Camat dan Lurah se Kabupaten Bantul. Atas perhatian Bcpak Pimpinan,ka~nimengucapkan terima kasih. Ketalo. 19 Oktober 2006
Ketua Kelompok
DAFTAR NAMA WARGA PENDERITA PASCA GEMPA 27 ME1 2006 YANG BELUM TERDATA PADA PEMBENTUKAN POKMAS CALON PENERIMA DANA REKONSTRUKSI, DI GADINGSARI SANDEN ,BANTUL.
82 83 84
NGATIJO SUKANDAR.PR ADISISWAYA
SDA DEMAKAN RT 4 SDA
RUSAK RWGAN SDA SDA
GadingsariJ9 Oktober 2006 pencatat data
.,:',,'&..
,i
Sudaryana