HUBUNGAN PERILAKU KOMUNIKASI DENGAN PRAKTEK BUDIDAYA PERTANIAN ORGANIK (Kasus Petani Bawang Merah di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul)
IKHSAN FUADY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Hubungan Perilaku Komunikasi dengan Praktek Budidaya Pertanian Organik (Kasus di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tugas akhir ini. Bogor, Februari 2011
Ikhsan Fuady NIM I352080111
ABSTRACT IKHSAN FUADY. Correlation Between Communication Behavior and Organic Agriculture Cultivation Practices (Case: Red Onion Farmers in Srigading Village Subdistrict of Saden, Distric of Bantul)1 Under the supervision of DJUARA P. LUBIS and RICHARD W E LUMINTANG. Sustainable agriculture development holds an important issue now days. Famers’ Communication behaviors in information seeking constitute a pivotal position in order to increase the farmers’ autonomy. The objectives of this research were: (1) to describe the practices of organic agriculture cultivation in red-onion farmers, (2) to analyze the correlation between farmers’ characteristics and the red-onion organic agriculture practices, (3) to analyze the correlation between farmers’ communication behavior and red-onion organic agriculture practices, (4) To analyze the correlation between farmers’ assessment towards agricultural technology, (5) to analyze the correlation between the red-onion organic agriculture practices and the degree of farmers’ autonomy in getting the production tools. This research was designed qualitatively using survey method. The data was analyzed using Tau-Kendall Test. This research produced several results such as: an Organic practice that has been conducted by the farmers was not utterly organic. The organic performer’s behavior was influenced by communication behavior variable and individual characteristics’. The farmers’ Autonomy was much correlated with farming activities’ behavior.
Key words: communication behavior, organic agriculture, red - onion
RINGKASAN IKHSAN FUADY: Hubungan Perilaku Komunikasi dengan Praktek Budidaya Pertanian Organik (Kasus Petani Bawang Merah di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul) Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS dan RICHARD W.E. LUMINTANG. Pembangunan pertanian yang mengedepankan produktivitas dengan mengandalkan heavy input dari luar terbukti telah menimbulkan permasalahan yang komplek, baik terhadap kesehatan maupun lingkungan. Paradigma pembangunan pertanian telah mengalami perubahan. Paradigma baru sistem pertanian lebih menekankan pada pertanian berkelanjutan dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang ramah lingkungan. Salah satu bentuk pertanian bekelanjutan ini adalah pertanian organik dengan memanfaatkan semberdaya lokal. Rendahnya pemahaman petani tentang bagaimana melakukan praktek usaha budidaya bawang merah secara organik, disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor rendahnya pengetahuan petani adalah kurangnya sosialisasi dan juga keterlibatan petani di dalam proses pencarian informasi tentang inovasi. Dalam konteks komunikasi untuk memberdayakan petani dalam budidaya pertanian yang berkelanjutan, melalui peningkatan partisipasi komunikasi terlebih dahulu perlu dikaji dan diidentifikasi pola dan perilaku komunikasi yang terdapat pada petani di dalam pemenuhan kebutuhan informasi usaha taninya. Oleh karena itu yang menjadi tujuan penelitian ini adalah, (1) mendeskripsikan praktek budidaya pertanian organik pada petani bawang merah, (2) menganalisis hubungan antara karakteristik petani dengan praktek budidaya pertanian bawang organik, (3) Bagaimana hubungan antara perilaku komunikasi petani dengan praktek budidaya pertanian bawang organik, (4) menganalisis hubungan antara penilaian petani terhadap teknologi pertanian organik dengan praktek budidaya bawang petani, (5) menganalisis hubungan praktek budidaya pertanian bawang organik dengan tingkat kemandirian petani dalam mendapatkan sarana produksi. Penelitian ini merupakan penelitian kuntitatif dengan metode survey. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan bertempat di Desa Srigading Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari 30 responden yang diambil secara random. Penelitian ini menggunakan analisis statistic deskriptif dan statistic inferensia. Analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antar peubah (analisis korelasi) adalah dengan menggunakan uji tau kendal. Data diolah dengan menggunakan program komputer perangkat lunak (software) Statistical Package for Sosial Science (SPSS) versi 16.0. Hasil penelitian menunjukkan, praktek usaha tani bawang merah yang dilakukan petani belum mengadopsi sepenuhnya pertanian organik (pure organik). Namun sudah terjadi pergeseran-pergeseran pemanfaatan bahan-bahan organik dari sumberdaya lokal untuk menggantikan sarana produksi anorganik. Sebagian besar petani sudah mulai menggunakan sumberdaya lokal sebagai subtitusi untuk meningkatkan produksi pertaniannya. Salahsatu bentuk penggunaannya adalah petani mulai menggunakan pupuk organik dalam jumlah yang besar untuk menggantikan pupuk anorganik, petani juga mulai melakukan pengendalian HPT dengan menggunakan kombinasi pengendalian hayati, teknis, mekanis, untuk menggatikan pestisida kimia. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa factorfaktor individu seperti luas kepemilikan lahan, tingkat pendapatan, tingkat
pendidikan, dan pengalaman petani memiliki korelasi terhadap tingkat adopsi petani terhadap praktek usaha pertanian organik. Di dalam praktek usaha pertanian organik ini memiliki hubungan terhadap kemandirian petani di dalam penyediaan sarana produksi untuk pengendalaian hama penyakit tanaman. Kesimpulan umum penelitian ini adalah Praktek organik usaha budidaya bawang merah yang dilakukan oleh petani adalah tidak sepenuhnya organik. Tingkat pengadopsian pupuk organik oleh petani cukup tinggi, namun untuk tingkat adopsi pengendalian HPT masih dikategorikan sedang. Faktor-faktor perilaku komunikasi yang mempengaruhi praktek pertanian organik adalah komunikasi interpersonal dengan pihak lain, peubah keterdedahan media tidak memiliki korelasi yang nyata yang disebabkan rendah dan terbatasnya akses media ke petani. Pengalaman berusaha tani, tingkat pendidikan, luas lahan, dan pendapatan memiliki hubungan yang nyata terhadap adopsi petani dalam penggunaan pupuk organik pada lahan usaha taninya, tetapi factor-faktor tersebut tidak memiliki hubungan terhadap penerapan pengendalian hama secara terpadu. Karakteristik inovasi dari pertanian organik tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap praktek petani di dalam pemanfaatan sarana produksi organik. Faktorfaktor praktek pertanian organik yang memiliki hubungan yang nyata terhadap kemandirian petani adalah penerapan pengendalian hama penyakit secara terpadu dengan mengedepankan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada.
©Hak Cipta milik IPB 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip Hak Cipta sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
HUBUNGAN PERILAKU KOMUNIKASI DENGAN PRAKTEK BUDIDAYA PERTANIAN ORGANIK (Kasus Petani bawang Merah Di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul)
IKHSAN FUADY
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si
Judul
Nama
: Hubungan Perilaku Komunikasi Petani dengan Praktek mjBudidaya Pertanian Organik (Kasus Petani bawang Merah di mjDesa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul) : Ikhsan Fuady
NRP
:
Program Studi :
I352080111 Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Ketua
Ir. Richard W. E. Lumintang, MSEA Anggota
Diketahui
Koordinator Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Tanggal Ujian: 2 Februari 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul: Hubungan Perilaku Komunikasi dengan Praktek Budidaya Pertanian Organik (Kasus Petani Bawang Merah di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul) Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir, Richard W. E. Lumintang, MSEA, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses penyelesaian tesis ini. Pada kesempatan ini juga, penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada Ayahanda Arsyad dan Ibunda Endang K., serta kakak-kakak dan adikadikku, sahabat dan seluruh keluarga atas do’a, dukungan serta bantuan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan. Terimaksih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada bapak Wisnu yang telah bersedia menerima dan meluangkan waktunya untuk penulis di rumahnya selama penelitian ini dilakukan. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Suroto yang telah banyak membantu dalam memandu penulis selama berinteraksi dengan petani baik di lahan pertanian maupun diwaktu pertemuan kelompok tani. Selama proses penelitian dan penulisan tesis ini, tidak sedikit hambatan rintangan yang dihadapi penulis, dan penulis meyakini bahwa tidak ada gading yang tak retak, tidak ada karya tulis yang sempurna, tidak ada lembaran putih yang tidak berbecak, tidak ada manusia yang sempurna dan seterusnya. Untuk itu penulis berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukkan, saran dan kritik dalam penyempurnaan tesis ini. Terakhir penulis ucapkan semoga tesis ini bermanfaat bagi pembangunan pertanian Indonesia dan semoga dapat dijadikan rujukan bagi pengembangan ilmu komunikasi. Bogor, Februari 2011.
Ikhsan Fuady
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bangka, 2 April 1983, dari Ayah Arsyad A. dan Endang Karlani. Anak berdarahkan Bangka-Yogyakarta merupakan putra ke empat dari tujuh bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar hingga Sekolah Menengah Umum di Bangka, dan melanjutkan pendidikan Strata 1 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2002 jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan Strata 2 di Komunikasi pembangunan pertanian dan pedesaan Sekolah pascasarjana IPB pada tahun 2008.
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk yang cepat perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas dan kuantitas jumlah makanan. Tuntutan ini mendorong munculnya sistem pertanian modern yang memiliki ciri-ciri ketergantungan pada: (1) pupuk sintetis, (2) bahan kimia sintesis untuk pengendalaian hama penyakit, dan gulma, (3) varietas unggul untuk tanaman monokultur. (Rukka 2003). Pada permulaan tahun 1970-an, dalam rangka peningkatan produksi pangan nasional dan swasembada pangan, pemerintah meluncurkan suatu program pembangunan pertanian yang dikenal secara luas dengan program revolusi hijau, yang dimasyarakat dikenal dengan program Bimas. Tujuan utama dari revolusi hijau adalah untuk meningkatkan produktivitas pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan melalui penerapan paket teknologi pertanian modern. Paket tersebut terdiri dari pupuk non-organik, obat-obatan pelindung tanaman dan bibit unggul. Peningkatan produksi pertanian khususnya tanaman pangan merupakan salah satu upaya pemerintah dalam membangun sektor pertanian, karena sektor pertanian ini memegang peranan penting dan strategis dalam memantapkan swasembada pangan nasional (Soetrisno 2006). Program yang diterapkan saat itu memberikan hasil yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan. Namun akhir-akhir ini muncul berbagai permasalahan akibat kesalahan manajemen di lahan pertanian seperti pencemaran lingkungan oleh pupuk kimia dan pestisida, serta timbulnya resistensi dan resurgensi hama sebagai akibat pemakaian bahan-bahan sintesis tersebut. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas hasil panen, lingkungan, dan berdampak pada penurunan kualitas kesehatan manusia (Soetrisno 2006). Revolusi
hijau
yang
telah
dilaksanakan
pemerintah
juga
telah
menyebabkan petani Indonesia menjadi bodoh. Banyak pengetahuan lokal yang menyangkut pertanian telah banyak dilupakan oleh petani. Para petani lebih menggantungkan diri pada paket-paket teknologi pertanian produk industri. Ketergantungan tersebut menimbulkan kerentanan baru, yaitu petani menjadi objek permainan harga produk-produk tersebut (Soetrisno 2006).
32
Paradigma
pembangunan pertanian telah mengalami perubahan. Dua
Peristiwa penting yang menandai kelahiran paradigma baru sistem pertanian berkelanjutan. Peristiwa pertama
adalah laporan dari komisi dunia tentang
lingkungan hidup dan pembangunan (World Commission on Environment and Development) pada tahun 1987, yang mendifinisikan
dan mempromosikan
paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Peristiwa kedua adalah konferensi Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang membahas Agenda 21 dengan mempromosikan program Sustainable Agriculture an Rural Development (Manguiat 1995). Salah satunya model dari sistem pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian organik. Food and Agriculture Organizaton (2002), mendefinisikan pertanian organik sebagai sistem manajemen
produksi holistik yang
meningkatkan dan mengembangkan kesehatan ekosistem, termasuk siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan pada meminimalkan input eksternal seperti menghindari penggunaan pupuk dan pestisada sintesis. Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Kesuburan
mengoptimalkan
aktivitas
tanah
dijaga
biologi
tanah,
dan
ditingkatkan
hama,
dengan
dan penyakit
cara
tanaman
dikendalikan dengan merangsang adanya hubungan seimbang antara inang dan predator, meningkatkan populasi serangga yang menguntungkan dan penggunaan pestisida organik. Di Indonesia, pertanian organik belum dapat berkembang dengan baik karena petani pada umumnya masih terbiasa menggunakan pupuk kimia dan pertisida secara berlebihan (Adiyoga 2002). Di Indonesia sendiri, gaung pertanian organik sudah berkembang lebih dari 10 tahun yang lalu, akan tetapi pemainnya dapat dihitung dengan jari Kemudian meningkat pesat sejak terjadi krisis moneter, dimana sebagian besar saprodi yang digunakan petani melonjak harganya berkali-kali lipat. Petani mulai melirik alternatif lain dengan model pertanian organik. Melalui proses adaptasi, pertanian organik mulai digeluti dan mendapat respon yang cukup baik, dengan ditandai oleh bermunculnya kelompok petani organik di berbagai daerah. Di Jawa
3
Tengah, sentra pertanian organik terletak di Klaten, Yogyakarta, Karanganyar, Magelang, dan Kulonprogo. Di Jawa Barat; Bogor, Bandung dan Kuningan. Di Jawa Timur; Malang, serta beberapa daerah di Bali (Sudirja 2008). Permintaan akan produk-produk organik merupakan peluang dunia usaha baru baik untuk tujuan ekspor maupun kebutuhan domestik. Beberapa negara berkembangpun mulai memanfaatkan peluang pasar ekspor produk organik ini terhadap negara maju, diantaranya buah-buah daerah tropik untuk industri makanan bayi ke Eropa, herbas Zimbabwe ke Afrika Selatan, kapas Afrika ke Uni Eropa, dan teh Cina ke Belanda dan kentang ke Jepang. Umumnya, ekspor produk organik dijual dengan harga cukup tinggi, biasanya 20 persen lebih tinggi dari produk pertanian non-organik.
Keuntungan pokok pertanian organik sangat
bervariasi, dalam beberapa kajian ekonomi menyatakan bahwa pertanian organik memiliki akses nyata terhadap prospek jangka panjang (Sudirja 2008). Beberapa studi menunjukkan bahwa pertanian organik berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tenaga kerja dibandingkan dengan pertanian konvensional. Terutama pada sistem pertanian organik melalui diversifikasi tanaman, perbedaan pola tanam dan jadwal tanam dapat mendistribusikan kebutuhan tenaga kerja berdasarkan waktunya (Sudirja 2008). Perubahan dari sistem usaha tani konvensional ke sistem usaha tani yang seimbang secara ekonomis, ekologis dan sosial memerlukan suatu proses transisi, yaitu penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk membuat sistem usaha tani yang lebih seimbang dan berkelanjutan. Tansisi berhubungan dengan tenaga kerja, lahan atau uang dan pengambilan resiko, sehingga dibutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya. Dukungan, kepercayaan diri, dan imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan kebijakan harga yang cocok sangat diperlukan petani dalam proses transisi (Reijntjes et al, 1994). Selain itu rendahnya pemahaman petani tentang teknik budidaya pertanian organik juga disebabkan oleh kekurangan informasi yang disebabkan karena terbatasnya akses yang di dapat oleh petani. Gerakan pertanian organik masih perlu perhatian semua pihak agar lebih maju pada masa yang akan datang dan dapat berkembang.
32
Rendahnya pemahaman petani tentang bagaimana melakukan praktek usaha budidaya bawang merah secara organik, disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor rendahnya pengetahuan petani adalah kurangnya sosialisasi dan juga keterlibatan petani di dalam proses pencarian informasi tentang inovasi. Menurut Slamet (2000), kegiatan pembangunan selama ini umumnya belum secara nyata memberdayakan masyarakat. Masyarakat pada umumnya kurang memiliki informasi yang berguna untuk dapat memilih alternatif perilaku yang menguntungkan bagi kehidupannya. Salah satu strategi pemberdayaan masyarakat adalah bagaimana membuat masyarakat mampu membangun dan memperbaiki kehidupan sendiri dalam arti: mampu (berdaya), tahu (mengerti), termotivasi, dapat memanfaatkan peluang, bersinergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari, dan menangkap informasi, serta bertindak sesuai kondisi. Pemberdayakan petani dalam budidaya pertanian yang berkelanjutan, melalui peningkatan partisipasi komunikasi petani, perlu terlebih dahulu dikaji dan diidentifikasi pola dan perilaku komunikasi yang terdapat pada petani di dalam pemenuhan kebutuhan informasi usaha taninya. Perumusan masalah Dinamika arus informasi yang terjadi dewasa ini menuntut setiap orang untuk mampu mengikuti setiap perkembangan yang ada. Setiap orang pada tatanan masyarakat ini, harus menjalani suatu siklus kehidupan yang bisa dikatakan tidak terhindarkan. Siklus kehidupan yang dipahami oleh masyarakat seakan menuntut keseragaman dalam setiap pola kehidupan, tidak terkecuali di dalam pola pertanian organik. Proses pembelajaran di dalam pertanian organik ini sangat erat kaitannya dengan perilaku komunikasi yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Proses mempercepat pergeseran paradigma pertanian menuju pertanian yang ramah lingkungan perlu peningkatan sosialisasi dan partisipasi petani tentang arti penting pertanian yang berkelanjutan tersebut. Percepatan pergeseran paradigma ini perlu terlebih dahulu dilakukan identifikasi perilaku komunikasi yang terdapat pada masyarakat lokal setempat, sehingga didapat gambaran yang
5
tepat tentang kebiasaan dari perilaku komunikasi petani tersebut. Kondisi sosial lokal seperti perilaku komunikasi masyarakat dalam berinteraksi sosial memiliki sifat dan ciri yang khas. Perilaku komunikasi merupakan hal yang penting di dalam mengenali suatu masyarakat karena perilaku komunikasi merupakan salah satu petunjuk dari sifat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam berkomunkasi di lingkungannya. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada dan survei di lapangan, ada beberapa hal yang menyangkut faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran petani akan perlu dan pentingnya informasi tentang pertanian organik; a. Kesadaran petani terhadap kebutuhan akan pentingnya informasi masih kurang, seperti; kurangnya keaktifan mencari informasi, kurangnya intensitas mengikuti pertemuan dan interaksi dengan sumber informasi. b. Ketersediaan informasi lokal dinilai masih sangat kurang dan belum sesuai dengan kebutuhan petani, serta kurang mampu menjawab permasalahan usaha taninya. c. Sumber informasi yang tersedia masih sangat terbatas, seperti hanya sesama petani, pedagang saprodi. d. Masih rendahnya tingkat kemampuan petani untuk memperoleh informasi, baik dari aspek jarak, lokasi maupun waktu dan biaya. Model pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan merupakan suatu hal yang harus digalakkan dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan. Sosialisasi
dari
menginformasikan
berbagai kepada
pihak
merupakan
masyarakat
yang
salah belum
satu
cara
memahami
untuk dan
melakukannya. Perilaku komunikasi yang terjadi pada petani bawang merah ini, di dalam pencarian dan penyebaran serta adopsi budidaya pertanian organik merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Berangkat dari latar belakang yang ada, maka permasalahan-permasalahan yang dapat diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Bagaimana praktek budidaya pertanian organik pada petani bawang merah? 2) Bagaimana hubungan antara karakteristik petani dengan praktek budidaya pertanian bawang organik?
32
3) Bagaimana hubungan antara perilaku komunikasi petani dengan praktek budidaya pertanian bawang organik? 4) Bagaimana hubungan antara penilaian petani terhadap teknologi pertanian organik dengan praktek budidaya bawang petani? 5) Bagaimana hubungan praktek budidaya pertanian bawang organik dengan tingkat kemandirian petani dalam mendapatkan sarana produksi? Tujuan Penelitian Berdasarkan bermasalahan yang ada maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mendeskripsikan praktek budidaya pertanian organik pada petani bawang merah. 2) Menganalisis hubungan antara karakteristik petani dengan praktek budidaya pertanian bawang organik. 3) Menganalisis hubungan antara perilaku komunikasi petani dengan praktek budidaya pertanian bawang organik. 4) Menganalisis hubungan antara penilaian petani terhadap teknologi pertanian organik dengan praktek budidaya petani. 5) Menganalisis hubungan praktek budidaya pertanian organik dengan tingkat kemandirian petani dalam mendapatkan sarana produksi. Kegunaan Penelitian Hasil yang diperoleh diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut: 1) Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan oleh pihak terkait dalam merumuskan kebijakan maupun pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah setempat untuk mempercepat proses sosialisasi inovasi-inovasi yang akan didesiminasikan kepada masyarakat setempat.
6
7
TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Komunikasi Perilaku pada dasarnya berorientasi pada
tujuan. Dengan kata lain,
perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Tujuan spesifik tidak selamanya diketahui dengan sadar oleh yang bersangkutan. Dorongan yang memotivasi pola perilaku individu yang nyata dalam kadar tertentu berada dalam alam bawah sadar (Hersey& Blanch 2004), sedangkan Rogers menyatakan bahwa perilaku komunikasi merupakan suatu kebiasaan dari individu atau kelompok di dalam menerima atau menyampaikan pesan yang diindikasikan dengan adanya partisipasi, hubungan dengan sisitem sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan agen pembaharu, keterdedahan dengan media massa, keaktifan mencari informasi, pengetahuan mengenai hal-hal baru. Gould dan Kolb yang dikutip oleh Ichwanudin (1998), perilaku komunikasi adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi dari berbagai sumber dan untuk menyebarluaskan informasi kepada pihak manapun yang memerlukan. Perilaku komunikasi pada dasarnya berorientasi pada tujuan dalam arti perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi dengan keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Berdasarkan pada definisi perilaku yang telah diungkapkan sebelumnya, perilaku komunikasi diartikan sebagai tindakan atau respon dalam lingkungan dan situasi komunikasi yang ada, atau dengan kata lain perilaku komunikasi adalah cara berfikir, berpengetahuan dan berwawasan, berperasaan dan bertindak atau melakukan tindakan yang dianut seseorang, keluarga atau masyarakat dalam mencari dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang ada di dalam jaringan komunikasi masyarakat setempat (Hapsari 2007). Rogers (1993) mengungkapkan ada tiga peubah perilaku komunikasi yang sudah teruji secara empiris signifikan yaitu pencarian informasi, kontak dengan penyuluh, dan keterdedahan pada media massa. Peubah pertama yaitu pencarian informasi masih perlu didampingi dengan penyampaian informasi, sesuai dengan model transaksional yang bersifat saling menerima dan memberi informasi secara bergantian.
32
Di dalam mencari dan menyampaikan informasi, seyogyanya juga mengukur kualitas (level) dari komunikasi. Berlo (1960) mendeskripsikan level komunikasi adalah mengukur derajat kedalaman mencari dan menyampaikan informasi yang meliputi (1), sekedar bicara ringan, (2), saling ketergantungan (independen), (3), tenggang rasa (empaty), (4), saling interaksi (interaktif). Kebutuhan seseorang akan informasi mampu menggerakannya secara aktif melakukan pencarian informasi. Perilaku komunikasi sesama petani dalam rangka mencari dan menyebarkan informasi dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional. Lebih lanjut Berlo (1960), mengungkapkan bahwa perilaku komunikasi seseorang dapat dilihat dari kebiasaan berkomunikasi. Berdasarkan definisi perilaku komunikasi, maka hal-hal yang sebaiknya perlu dipertimbangkan adalah bahwa seseorang akan melakukan komunikasi sesuai dengan kebutuhannya. Halim (1992) mengungkapkan bahwa komunikasi, kognisi, sikap, dan perilaku dapat dijelaskan secara lebih baik melalui pendekatan situasional, khususnya mengenai kapan dan bagaimana orang berkomunkasi tentang masalah tertentu. Kifli (2002) menyatakan bahwa faktor internal yang mempengaruhi perilaku komunikasi petani adalah kondisi ekonomi. Kondisi ekonomi yang tinggi memberikan kesempatan yang luas kepada petani untuk melakukan interaksi dengan lingkungan, misalnya pada petani yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah suatu kesempatan harus mencari informasi mengenai harga jual produk, menemui PPL dan lainnya terpaksa ditinggalkan karena harus memenuhi tambahan penghasilan. Adi (2002)
mengungkapkan bahwa gelar teknologi
ternyata membentuk persepsi positif petani karena petani dapat secara langsung melihat, memahami, mengenal, dan mempraktekkan inovasi serta akan terjadi komunikasi interpersonal. Rafinaldy (1992) membatasi perilaku komunikasi anggota ke dalam beberapa peubah yaitu; perilaku membicarakan informasi kredit, hadir dalam rapat, jumlah media yang digunakan, pemanfaatan media massa, kontak dengan Pembina, dan partisipasi sosial. Sedangkan adopsi inovasi dalam penelitian ini dinyatakan dalam peubah pemanfaatan kredit. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sekitar 42 persen responden tidak aktif membicarakan informasi kredit dan 49 persen responden partisipasi sosialnya rendah, sebagian responden yang pernah
9
hadir namun pada umumnya tidak pernah kontak dengan pembinanya, repsonden pada umumnya menggunakan sedikitnya dua media komunikasi untuk memperoleh informasi dengan rata-rata menghabiskan waktunya untuk membaca, mendengar, dan melihat media massa yang komunikasi hampir 17 jam setiap minggunya. Pambudy (1999) dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang memiliki hubungan yang kuat terhadap perilaku komunikasi peternak dalam menerapkan wirausaha tenaknya. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah partisipasi sosial dengan kontak sesama peternak, kontak dengan penyuluh, kontak dengan media massa dan kontak dengan kelompok. Lebih lanjut Pambudy mengungkapkan bahwa kontak dengan media massa menjadi faktor pendorong meningkatnya perilaku berwirausaha dijelaskan oleh perilaku komunikasi yang lebih mampu mengakses informasi dari media massa. Rukka (2003) menyatakan bahwa tingginya tingkat motivasi petani dalam mengadopsi inovasi sangat ditentukan sifat inovasi tersebut. Petani akan cepat menerima suatu inovasi bila unsur-unsur karakteristik dari inovasi tersebut cenderung positif. Namun kalau unsur-unsur saling kontradiktif, maka inovasi tersebut akan menyulitkan petani dalam mengadopsinya. Tingkat penerapan usaha tani organik pada padi sawah, menurut Rukka (2003) terhadap motivasi petani berbanding positif. Terutama motivasi intrinsik untuk melakukan budidaya secara organik dengan motif untuk meningkatkan pendapatan dan juga meningkatkan pengetahuan. Perilaku komunikasi yang berhubungan dengan praktek
budidaya pertanian
organik pada petani bawang antara lain: Keterdedahan Pada Media Massa Media massa memiliki peranan memberikan informasi untuk memperluas cakrawala, pemusatan perhatian, menumbuhkan aspirasi dan sebagainya tetapi tergantung pada keterdedahan khalayaknya terhadap media massa (Schramm dan Kincaid 1977). Pada penelitian adopsi inovasi menunjukan bahwa orang-orang yang pertama kali mengenal atau menerima ide-ide baru (early knowers atau early adopters) ternyata orang-orang yang lebih banyak memanfaatkan jasa media
32
massa dibandingkan dengan mereka yang mengenal atau mengadopsi ide-ide baru itu belakangan (Wiryanto 2000). Dari 116 penelitian yang dikumpulkan oleh Rogers dan Shoemaker (1981), sekitar 69 persen mendukung pendapat bahwa ada hubungan antara pemanfaatan media komunikasi dengan adopsi. Studi Gross dan Tavez menggungkapkan bahwa ada hubungan antara penggunaan inovasi di bidang pertanian dengan membaca buku, majalah, dan mendengarkan radio. Gross lebih lanjut mengungkapkan bahwa membaca buletin, majalah, dan surat kabar ternyata dapat dipakai sebagai pembeda yang signifikan antara penerima dan penolak inovasi (Muhadjir 2001). Perubahan perilaku khalayak tidak hanya dipengaruhi oleh keterdedahan pada satu media massa tetapi juga memerlukan lebih dari satu saluran komunikasi massa lainnya seperti tv, radio, film, dan bahan cetakan lainnya (Schramm dan Kincaid 1977). Kontak pada saluran interpersonal Pada model-model proses komunikasi massa, model efek terbatas menunjukan bahwa pengaruh komunikasi massa sangat terbatas, tidak powerfull, sama sekali tidak efektif manakala tujuannya untuk menimbulkan sikap dan atau perilaku nyata. Perubahan yang nyata sebagian besar diakibatkan oleh komunikasi antar pribadi (Wiryanto 2000). Model efek terbatas mengungkapkan bahwa pesan-pesan media tidak seluruhnya mencapai mass audiens secara langsung, sebagian besar malahan berlangsung secara bertahap. Tahap pertama dari media massa ke para pemuka pendapat (opinion leader). Tahap kedua dari pemuka pendapat kepada khalayak ramai (mass audiens atau followers). Pada tahap kedua ini merupakan komunikasi interpersonal (Wiryanto 2000). Seseorang untuk meyakinkan informasi
yang diperolehnya akan
melakukan kontak interpersonal dengan tokoh masyarakat maupun agen pembaharu. Pada tahap ini seseorang akan memerlukan pemuka pendapat untuk memberikan pertimbangan tentang biaya atau informasi lainnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai apakah inovasi itu cocok dengan kebutuhannya (Rogers 1993).
11
Seseorang akan lebih cepat mengadopsi inovasi, apabila ia lebih banyak melakukan kontak komunikasi interpersonal dengan agen pembaharu dan tokoh masyarakat. Meningkatnya pengaruh pada seseorang untuk mengadopsi atau menolak inovasi, merupakan hasil interaksinya dalam jaringan komunikasi dengan individu lain yang dianggap dekat serta memiliki pengaruh terhadap dirinya, namun demikian hal ini sangat tergantung pada norma-norma yang berlaku apakah mendukung atau menolak perubahan (Rogers 1993). Beberapa hasil studi tentang perilaku dan proses adopsi inovasi, Saleh (1988), mengemukakan bahwa perilaku komunikasi pemuka tani DAS Citanduy yang dominasi antara lain: a) menjadikan PPL terdekat sebagai tempat bertanya pertama kali bila menjumpai masalah, b) menyebarkan informasi lewat dari satu cara atau melalui teman yang berminat, c) Tingkat partisipasi sosial rendah dan parilaku mencari informasi lewat media massa berimbang antara yang sebentar, lama, dan tidak pernah. Sulastini (1990) dalam kepemimpinan dan perilaku komunikasi tim penggerak PKK di kabupaten Banyumas, mereka relatif sering mencari informasi dan menyebarkan informasi, melakukan kontak dengan penyuluh serta cukup lama tersentuh media massa. Intensitas Interaksi dalam Kelompok Komunikasi Eksistensi kelompok adalah penting bagi individu dan masyarakat. Ketika seseorang bergerak dalam ruang kehidupannya, kooperasi menjadi esensial dalam mencapai tujuan. Michael dalam Wiryanto (2005) mendifinisikan komunikasi dalam kelompok sebagai interaksi secara tatap mukaantara tiga orang atau lebih dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecaham
masalah
yang
mana
anggota-anggotanya
dapat
mengingat
karakteristik pribadi anggota anggota lain secara tepat. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa proses adopsi inovasi tidak terlepas dari pengaruh interaksi antar individu, anggota masyarakat atau kelompok masyarakat, juga pengaruh interaksi antar kelompok dalam suatu masyarakat. Terjadinya interaksi antar petani dalam kelompok sangat penting sebab merupakan forum komunikasi yang demokratis di tingkat akar rumput (Slamet, 2003). Forum kelompok itu merupakan forum belajar sekaligus merupakan forum pengambilan keputusan untuk memperbaiki nasib mereka sendiri. Melalui forum-
32
forum semacam itulah pemberdayaan ditumbuhkan yang akan berlanjut pada tumbuh dan berkembangnya kemandirian petani; tidak mengantungkan nasib dirinya pada orang lain, yakni penyuluh sebagai aparat pemerintah. Demikian juga melalui kelompok-kelompok itu kepemimpinan di kalangan petani akan tumbuh dan berkembang dengan baik melalui pembinaan penyuluhan. Untuk menunjang kepemimpinan para petani, para penyuluh pertanian perlu disiapkan dengan baik untuk melakukan pembinaan sebagai konsekuensi dari keberhasilan pendekatan kelompok menjadikan kelompok tani yang dinamis. Kemandirian Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata “mandiri” berarti dalam keadaan dapat berdiri sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Kemandirian menurut Saragih (2005), adalah kemampuan berusaha sendiri, kreatif, kerja keras, dan competitiveness. Menurut Sumardjo (1999), mengacu pada konsep filsafat moral autonomy dari Kant, otonomi moral adalah kehendak manusia untuk bertindak dari prinsip yang diyakininya sendiri, mampu mengatur diri sendiri, menentukan diri sendiri, mengarahkan diri sendiri, bebas dari kehendak orang lain, berhak untuk mengikuti kemauannya sendiri. Kemandirian
adalah
perwujudan
kemampuan
seseorang
untuk
memanfaatkan potensi dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik (Hubeis 1992). Sementara menurut Radi (1997),
petani yang mampu
mewujudkan pertanian mandiri adalah petani yang memiliki karakter; a) mampu memanfaatkan keanekaragaman sumber daya pertanian secara optimal melalui kemampuannya sendiri, b) mampu memanfaatkan teknologi pertanian yang ramah lingkungan, serta tidak menutup diri terhadap berlangsungnya transformasi teknologi yang lebih menguntungkan (integrasi teknologi lokal dengan teknologi luar secara selektif), c) mampu mengembangkan keunggulan kompetitif dan d) memiliki kemampuan manajerial dan keterampilan mengelola usaha secara bisnis. Menurut Verhagen yang dikutip oleh Marliati (2008), mengemukakan bahwa kemandirian merupakan kemampuan memilih berbagai alternatif yang tersedia agar dapat digunakan untuk melangsungkan kehidupan yang serasi dan
13
berkelanjutan. Lebih lanjut Marliati mengungkapkan bahwa kemandirian terdiri dari kemandirian materil, kemandirian intelektual, dan kemandirian pembinaan. Melalui kemandirian material, seseorang memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal semua potensi sumber daya alam yang mereka miliki tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar. Kemandirian intelektual, memiliki kapasitas untuk mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa dibayangi rasa cemas atau tekanan dari pihak lain. Kemandirian pembinaan, yaitu memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran discovery learning tanpa harus tergantung atau menunggu sampai adanya agen pembaharu atau pembina yang mengajarkan mereka. Kemandirian yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah kemandirian material petani dimana seseorang memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal semua potensi sumber daya alam yang mereka miliki tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar atau kemampuan petani di dalam mendapatkan sarana produksi yang meliputi pupuk, dan pestisida serta kemandirian dalam memasarkan produk mereka tanpa ada tekanan dan ketergantungan pada pihak lain. Agussabti (2002) mengungkapkan bahwa kemandirian petani dalam mendapatkan sarana produksi berkorelasi positif terhadap kedinamisan petani, artinya petani yang memiliki mobilitas yang tinggi, seringnya kontak dengan dunia luar, selalu terbuka terhadap perubahan akan memiliki banyak alternatif di dalam pemenuhan kebutuhan sarana produksinya. Kemandirian Petani dalam Usaha Pertanian Organik Pembangunan pertanian dewasa ini menghadapi persaingan bebas dalam era globalisasi. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur untuk penyediaan input pertanian, pemasaran sangat diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup petani. Kecenderungan adanya persaingan yang semakin ketat di pasar dunia menyebabkan hanya petani-petani yang lebih efisien saja yang mampu bertahan (Van den ban dan Hawkins 1999). Inilah yang menjadi dasar pentingnya sumberdaya pertanian yang mandiri untuk mewujudkan pertanian yang maju dan tangguh.
32
Pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi pada petani telah mengakibatkan terjadinya ketergantungan petani terhadap input-input pertanian anorganik yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan pembangunan pertanian yang kurang memperhatikan aspek keberlanjutan yang disebabkan oleh belum mandirinya petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi dalam pengembangan usaha tani sayurnya, sehingga dalam jangka waktu panjang akan merugikan petani itu sendiri (Agussabti 2002). Penggunaan input-input secara terus-menerus dari luar yang biasa dilakukan saat ini menimbulkan monopoli perdagangan bibit dan pestisida oleh perusahaan trans-nasional. Kondisi ini yang memaksa petani agar tergantung pada perusahaan trans-nasional untuk memperoleh saprodi yang mereka butuhkan. Hal ini selain menyebabkan hilangnya varietas bibit yang dimiliki oleh petani secara besar-besaran juga mengancam keanekaragaman hayati dan juga survival petani itu sendiri (Soetrisno 2006). Bertolak dari kondisi ini, Winangun (2005) mengemukakan perlunya meningkatkan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Rumah tangga petani memiliki tiga macam kekuatan; kekuatan sosial, politik, dan psikologis. Kekuatan sosial menyangkut akses terhadap dasar-dasar produksi, termasuk informasi dan pengetahuan. Kekuatan psikologis direfleksikan dalam rasa memiliki potensi individu. Dalam hubungan ini peningkatan kemandirian dapat dicapai melalui pemberdayaan yang bersifat partisipatif. Keputusan mandiri merujuk pada kemampuan petani menentukan sendiri tujuan usaha taninya, merencanakan sendiri, menggunakan sumber-sumber yang dipilih sendiri untuk kepentingannya sendiri. Petani akan mendapatkan kepuasan dari kegiatan usaha tani yang diputuskan dan dikerjakan sendiri. Keputusan ini bukan
berarti
petani
tidak
membutuhkan
pihak
lain
tetapi
mereka
mengembangkan proses belajar yang tidak tergantung pada pihak lain, sedangkan pertimbangan dan nasihat dari pihak lain masih dibutuhkan (Agussabti, 2002). Agussabti (2002) mengungkapkan bahwa kemandirian petani sangat tergantung pada keputusan untuk mengadopsi inovasi untuk kemajuan usaha taninya. Petani yang mandiri pada umumnya memilih komoditas dan inovasi yang
15
melekat padanya bersifat lebih kompleks. Petani pada umumunya mampu dan memiliki kemampuan di dalam pengelolaan potensi sumber daya yang mereka miliki, sehingga cenderung relatif lebih aman dan tidak ragu-ragu dalam mengambil suatu keputusan. Agussabti (2002) lebih lanjut mengungkapkan bahwa kemandirian petani dalam mengadopsi inovasi sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain tingkat mobilitas dan kontak dengan sumber informasi yang tinggi yang menjadikan mereka lebih terbuka terhadap perubahan ide-ide baru. Pertanian Berkelanjutan dan Pertanian Organik Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya.
Proses produksi pertanian yang
berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan (Kasumbogo Untung, 1997). FAO (2002) Organic agriculture is a holistic production management system which promotes and enhances agro-ecosystem health, including biodiversity, biological cycles and soil biological activity. It emphasises the use of management practices in preference to the use of off-farm inputs (...) This is accomplished by using, where possible, agronomic, biological, and mechanical methods, as opposed to using synthetic materials, to fulfil any specific function within the system." Pertanian organik merupakan salah satu bagian pendekatan pertanian berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi berbagai teknik sistem pertanian, seperti tumpangsari (inter-cropping), penggunaan mulsa, penanganan tanaman dan pasca panen. Pertanian organik memiliki ciri khas dalam hukum dan sertifikasi, larangan penggunaan bahan sintetik, serta pemeliharaan produktivitas tanah. Menurut Manguiat (1995), ada dua peristiwa penting yang menandai kelahiran paradigma baru
sistem pertanian berkelanjutan. Peristiwa pertama
32
adalah laporan dari komisi dunia tentang lingkungan hidup dan pembangunan (World Commission on Environment and Development) pada tahun 1987, yang mendifinisikan
dan mempromosikan paradigma pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Peristiwa kedua adalah konferensi Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang membahas Agenda 21 dengan mempromosikan program Sustainable Agriculture an Rural Development. Sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa macam model sistem. Salah satunya adalah sistem pertanian organik. Pengertian sistem pertanian organik menurut International Federation Of Organik Agriculture and Food (IOFAM) (2004) adalah sistem pertanian yang mengedepankan daur ulang unsur hara dan proses alami dalam pemeliharaan kesuburan tanah dan keberhasilan produksi. (IFOAM) lebih lanjut menyatakan bahwa pertanian organik bertujuan untuk: (1) menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dengan kuantitas memadai, (2) membudidayakan tanaman secara alami, (3) mendorong dan meningkatkan siklus hidup biologis dalam ekosistem pertanian, (4) memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah jangka panjang, (5) menghindarkan seluruh bentuk cemaran yang diakibatkan penerapan teknik pertanian, (6) memelihara keragaman genetik sistem pertanian dan sekitarnya, dan (7) mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang lebih luas dalam sistem usaha tani. Sistem pertanian organik bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui proses pemupukan dan dalam pelaksanaannya tidak menggunakan bahan penunjang lain yang anorganik. Sistem ini menitikberatkan pada pertanaman polikultur, rotasi tanaman, pemanfaatan tanaman sisa, penggunaan pupuk kandang, pupuk hijau, pengolahan tanah yang tepat, serta pengendalian hama dan penyakit secara hayati (Sitanggang 1993). Departemen Pertanian Amerika Serikat pada tahun1980 mengeluarkan definisi tentang pertanian organik sebagai berikut: Suatu sistem produksi yang menghindarkan atau sebagian besar tidak menggunakan pupuk sintetis, pestisida, hormon tumbuh, pakan ternak tanpa zat additive . Kelayakan yang maksimum dapat dicapai dengan menerapkan suatu sistem pertanian organik berdasar pada rotasi tanaman, residu tanaman, pupuk kandang, kacang-kacangan penutup tanah,
17
pupuk hijau-an, limbah organik dari luar sistem, budidaya secara mekanis, batuan alam, dan aspek pengendalian hayati. Kesemua aspek ini bertujuan untuk mempertahankan produktivitas tanah, mensuplai unsur hara bagi tanaman, dan mengontrol hama, gulma dan hama lainnya. Konsep tersebut juga meliputi serangkaian observasi dimana tanah sebagai bagian dari sistem kehidupan harus diberi asupan dengan cara membiarkan berkembangnya mikro organisma penting dalam recycle hara bagi tanaman dan menghasilkan humus. Menurut Stockdale et al (2001) produksi tanaman di dalam pertanian organik dapat dikarakterisasikan dengan meningkatnya keragaman pola penanaman berdasarkan waktu dan luasan dibandingkan cara budi daya
empat
konvensional (menggunakan bahan anorganik). Di dalam pertanian organik bagaimana hubungan produksi tanaman dan kesehatan tanaman dijabarkan dalam bentuk diagram seperti yang terlihat pada Gambar 1. Tujuan diterapkannya keragaman genetik, pertama untuk menjalankan sistem dalam penyediaan bahan dan nutrisi organik. Kedua, memelihara kesehatan
tanaman sehingga dapat
menjaga produksi yang berkelanjutan. Keuntungan yang diperoleh dari diterapkannya diversifikasi tanaman pada pertanian organik adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
meningkatkan jumlah dan komposisi tanaman yang dipanen meningkatkan stabilitas panen mengurangi serangan penyakit mengurangi pemakaian pestisida mengontrol gulma mengurangi erosi tanah recycle cadangan hara yang berada di tanah bagian dalam transfer N dari spesies yang memfiksasi N
32
Pertanian organik secara ekonomis sangat menguntungkan dan secara ekologis dapat menjaga kelestarian lingkungan. Dilihat dari aspek sosial tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat serta secara teknik mudah untuk diterapkan oleh petani (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Menurut Sudana (2009) usaha pertanian organik harus dilakukan secara intensif dalam bentuk perusahan yang lengkap dengan struktur organisasinya serta jelas tugasnya dan dimanajemen dengan baik. Usaha tani yang dilengkapi dengan struktur organisasi dan manajemen yang baik akan dapat diefisiensikan secara optimal modal tetap (fixed cost) dan biaya produksi (variable cost) sehingga kuantitas dan kualitas produknya terjamin demikian juga kontinuitasnya. Pertanian organik perorangan sebenarnya dapat berkembang baik asalkan modal ditingkatkan sebesar 500 persen guna memenuhi modal tetap (fixed cost) untuk membuat green house, rumah plastik, sumur serta saluran/pipa irigasi serta biaya produksi untuk meningkatkan tenaga kerja dan pembelian bibit unggul. Peningkatan modal yang besar tersebut kemungkinan masalah hama dan penyakit
19
berkurang, mutu produksi meningkat secara kualitas dan kuantitas serta kontinuitasnya terjamin karena tidak lagi tergantung pada musim. Untuk hal ini sangat diperlukan bantuan pemerintah atau swasta memberikan kredit ringan pada pengusaha pertanian organik perorangan. Sebenarnya banyak petani konvensional yang ingin berubah menjadi petani organik, namun modal dan teknologi masih banyak belum dimiliki. Selain itu diperlukan usaha pemerintah atau swasta untuk mendirikan suatu lembaga sertifikasi, sehingga petani yang baru beralih ke pertanian organik mendapat kepercayaan dari konsumen jika telah memiliki sertifikat organik dari lembaga resmi. Hasil penelitian Adiyoga (2002), mengemukakan meskipun usaha tani organik menunjukan perkembangan yang cukup baik, kontribusi terhadap produksi sayuran Indonesia masih sangat kecil yaitu kurang dari satu persen. Lebih lanjut Witono mengemukakan bahwa prospek pengembangan sayuran organik cenderung menjanjikan. Hal ini dapat dilihat dari belum terpenuhinya permintaan yang disebabkan keterbatasan pasokan. Pertanian organik secara intersif pada tanaman hortikiulura di Negaranegara beriklim tropis agak kurang berkembang dibandingkan dengan Negaranegara beriklim sedang (temperate) ( Velenzuela, 1999). Berkembangnya sistem pertanian input rendah merupakan teknik pertanian berkelanjutan dengan masukan sarana produksi rendah melalui penguasaan teknologi budidaya yang baik, seperti bibit berkualitas, pemupukan berimbang, penerapan pengendalian hama terpadu, dan pengaturan jarak tanam (Deptan, 2009). Perubahan dari sistem usaha tani konvensional ke sistem usaha tani yang seimbang secara ekonomis, ekologis, dan sosial memerlukan suatu proses transisi, yaitu penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk membuat sistem usaha tani lebih seimbang dan berkelanjutan. Transisi berhubungan dengan tenaga kerja, lahan atau uang dan pengambilan resiko, sehingga dibutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya. Dukungan, kepercayan diri, dan imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan kebijakan harga yang cocok sangat diperlukan petani di dalam proses transisi ini (Reijntjes et al, 1994).
32
Beberapa kendala yang dihadapi dalam melakukan pertanian organik, diantaranya: 1. Adanya hama “transmigran” dari kebun yang nonorganik, sehingga produktivitas lahan menjadi semakin rendah, 2. Akibat rendahnya produksi tidak bisa mengimbangi permintaan pasar yang ada. 3. Dalam pertanian organik yang murni disyaratkan tanah relatif masih “perawan”, padahal penelitian menunjukkan bahwa tanah pertanian di Indonesia sudah jenuh fosfat. 4. Pasar terbatas, karena produk organik hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu saja. 5. Kesulitan menggantungkan pasokan dari alam.
Pupuk misalnya, harus
mengerahkan suplai kotoran ternak dalam jumlah besar dan kontinu. Budidaya Bawang Merah Bawang merah (Allium ceppa Lin) merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah, karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi, maka pengusahaan budidaya bawang merah telah menyebar di hampir semua provinsi di Indonesia (Balitsa, 2005). Tanaman bawang merah lebih baik tumbuh pada daerah beriklim kering, Tanaman ini peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi, serta cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang maksimal. Tanaman ini dapat membentuk umbi di daerah yang suhu udaranya rata-rata 22 derajat celcius, tetapi hasil umbinya tidak sebaik di daerah yang suhu udaranya lebih panas. Bawang merah akan membentuk umbi besar bilamana ditanam di daerah dengan penyinaran lebih dari 12 jam. Di bawah suhu udara 22 derajat selcius
tanaman bawang merah tidak akan membentuk
umbi
(Rismunandar, 1986). Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan sejak lama yang telah lama diusahan oleh petani secara intensif. Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan bagi petani. Usaha tani bawang merah ini usaha
21
tani komersil yang memerlukan perlakuan intensif sehingga padat modal dan tenaga (Purmiyati 2002). Tanaman bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang memerlukan input sintesis yang tinggi. Penambahan input dari luar tentu akan berdampak buruk bagi lahan pertanian ke depannya, sehingga sistem budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan merupakan suatu hal yang mesti di kembangkan pada sistem pertanian ke depan. Budidaya tanaman bawang merah di dalam perawatannya, sangat tergantung pada input dari luar, baik dalam penyediaan unsur hara maupun pengendalian organisme pengganggu tanaman.
Dari hasil penelitian Balitsa,
pemupukan bawang merah pada lahan bekas padi sawah di dataran rendah dengan menggunakan pupuk nitrogen sebanyak 200 sampai 300 kilogram yang dikombinasikan dengan pupuk pospat sebanyak 90 kilogram dan kalium sebanyak 50 sampai 150 kilogram per hektar. Pemupukan ini dilakukan secara bertahap (Balitsa 2005). Hasil penelitian Sulistiyono (2002), mengungkapkan bahwa, intensitas penyemprotan tanaman bawang merah yang dilakukan oleh petani dikategorikan tinggi, dengan rata-rata 18,93 kali per tanam artinya penyemprotan dilakukan oleh petani pada kisaran 2 sampai 3 hari sekali penyemprotan. Di sini dapat dilihat adanya kecenderungan petani menggunakan pestisida berdasarkan sistem kalender. Penyemprotan pestisida dilakukan oleh petani dimulai saat sebelum tanam hingga dua atau empat hari menjelang panen. Purmiyati (2002) mengungkapkan bahwa usaha tani bawang merah secara konvensional memerlukan perlakuan intensif, sehingga padat modal dan tenaga kerja. Secara umum usaha tani bawang merah di Kabupaten Brebes tidak efisien dalam penggunaan input karena nilai NPMxi/Pxi tidak sama dengan satu, sehingga produksi dan prosuktivitas optimal sulit dicapai. Pada hasil penelitian Handayani
(2007) “ Anasisis Keunggulan
Komparatif Dan Kompetitif Usaha Tani Bawang Merah Konvensional Dan Organik Di Kabupaten Brebes” juga menghasilkan kesimpulan yang serupa yaitu pendapatan usaha tani bawang merah organik
lebih besar jika dibandingkan
dengan usaha tani bawang merah bawang merah. Pada usaha tani bawang merah
32
konvensional nilai R/C di atas biaya totalnya lebih besar dibandingkan dengan usaha tani bawang merah organik. Hal ini menunjukan bahwa usaha tani bawang merah organik lebih efisien jika dibandingkan dengan usaha tani konvensional. Adopsi Inovasi Masalah yang cukup mendasar yang dialami di negara-negara yang sedang berkembang adalah masalah proses transformasi melalui pengalihan, penerapan, dan pengembangan ilmu dan teknologi. Proses transformasi industry di dalam negara-negara terbelakang dapat dipandang sebagai proses pembangunan guna mencapai tujuan yang dicita-citakan (Hartomo & Aziz 1990). Difusi inovasi menurut Rogers (1993) merupakan bentuk khusus komunikasi. Adapun yang menjadi ciri komunikasi adalah pesan-pesan yang disebarluaskan berisi ide-ide, atau praktik ataupun hal-hal baru. Difusi dapat diartikan sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di kalangan warga dalam suatu sistem sosial. Pengkajian difusi adalah telaah tentang pesan - pesan yang bersifat inovatif (ide baru), sedangkan pengkajian komunikasi meliputi telaah terhadap semua bentuk pesan. Perbedaan lainnya adalah bahwa di dalam riset komunikasi, hanya memperhatikan pada perubahan sikap dan pengetahuan komunikan tanpa memperhatikan resiko terjadinya perubahan tingkah laku yang tampak dari komunikan, tetapi pada riset difusi, lebih mengarahkan perhatian pada perubahan tingkah laku yang tampak, dimana komunikan menyatakan menerima atau menolak inovasi yang
diberikan, bukan sekedar perubahan sikap dan
pengetahuan saja. Terdapat empat unsur utama dalam difusi inovasi yaitu inovasi, saluran-saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial.
Inovasi Inovasi merupakan ide, praktik, atau obyek yang baru oleh suatu individu ataupun unit adopsi yang lain (misanya organisasi). Tidak begitu penting apakah suatu ide yang dimaksud memang benar-benar baru secara obyektif jika diukur menurut urutan waktu sejak hal itu pertama kali dipakai atau ditemukan.
23
Kebaruan menurut persepsi sesorang terhadap ide menetukan reaksi terhadap hal tersebut. Kalau ide tersebut tampak baru bagi seseorang, maka hal tersebut merupakan satu inovasi. Kebaruan inovasi baik masyarakat tidak hanya menyangkut pengetahuan baru karena bisa saja inovasi tersebut merupakan informasi lama namun masyarakat tersebut belum memutuskan sikap untuk menyukai dan tidak menyukainya ataupun untuk menerima atau menolaknya. Oleh karena itu, aspek kebaruan dalam satu inovasi terlihat dari pengetahuan, persuasi, atau suatu kepuasan untuk mengadopsi. Saluran –saluran komunikasi Komunikasi diartikan sebagai proses dimana partisipan menciptakan beberapa informasi dan menyebarkan informasi tersebut untuk mencapai suatu pengertian bersama. Difusi merupakan bentuk khusus dari komunikasi dimana informasi yang
dipertukarkan menyangkut ide-ide baru. Inti dari difusi adalah
pertukaran informasi dari satu individu ke individu lainnya, menyangkut : a. suatu inovasi, b. individu atau unit adopsi lain yang mengetahui atau berpengalaman menggunakan inovasi, c. individu lain atau unit lain yang belum menggunakan inovasi, d. saluran komunikasi yang menghubungkan kedua belah pihak. Saluran komunikasi merupakan alat dimana pesan dapat sampai dari individu ke individu lainnya. Sifat dari hubungan pertukaran informasi antar sepasang individu menentukan kondisi-kondisi di mana seorang sumber akan atau tidak akan menyampaikan inovasi ke penerima dan yang menentukan efek dari penyampaian tersebut. Prinsip yang mendasar dalam komunikasi adalah penyampaian ide terjadi antar dua individu yang memiliki kesamaan atau homofili. Homofili diartikan sebagai tingkat dimana pasangan individu yang berinteraksi adalah sama dalam atribut-atribut tertentu seperti keyakinan, pendidikan, status dan lainnya. Komunikasi akan berjalan efektif ketika dua individu homofilus.
32
Waktu Waktu merupakan elemen terpenting dalam proses difusi. Dimensi waktu dalam proses difusi terkait dalam aspek berikut : 1.
dalam proses keputusan inovasi dimana seseorang sejak pertama kali mengetahui inovasi sehingga menerima atau menolaknya
2.
dalam keinovatifan seorang individu maupun unit adopsi, yakni dalam hal kecepatan atau kelambatan relatif dalam mengadopsi suatu inovasi dibandingkan dengan anggota lain dari suatu sistem
3.
dalam sistem (rate of adoption) suatu inovasi di lingkungan suatu sistem, biasanya diukur melalui jumlah anggota sistem yang mengadopsi inovasi dalam jangka waktu tertentu.
Sistem sosial Sistem sosial didefinisikan sebagai seperangkat unit yang saling berhubungan dan tergabung dalam upaya bersama memecahkan masalah untuk mencapai cita-cita bersama. Anggota atau unit sistem dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi atau unit. Penting untuk dicatat bahwa difusi terjadi di lingkungan suatu sistem karena struktur sosial dari sistem berpengaruh pada difusi melalui beberapa cara. Sistem sosial membentuk batasan di lingkungan dimana satu inovasi menyebar. Ketika pertama kali suatu inovasi disodorkan atau diperkenalkan kepada masyarakat, orang pada umunya memperhatikan hal-hal yang dapat membantu mempercepat proses penyebarannya. Dengan demikian inovasi tersebut perlu dikembangkan atau dimodifikasi agar dapat cepat diterima di masyarakat luas. Filgel dalam Muhadjir (2001) menyodorkan enam atribut untuk membuat keputusan mengadopsi suatu inovasi atau tidak yakni, biaya memadai, manfaat besar, efisiensi tinggi, resiko kecil, dan mudah dilaksanakan. Awal perubahan
penyebaran perubahan
Penyaringan perubahan
privat atau publik
menolak atau menerima
Gambar 2 Tahap Penyebaran Inovasi (Rogers 1993)
Legitimasi perubahan
mengimbangi atau menguatkan
25
Penerimaan atau penolakan suatu inovasi adalah keputusan yang dibuat oleh seseorang. Jika ia menerima (mengadopsi inovasi), yaitu
mulai
menggunakan ide baru, praktek baru, atau barang baru itu dan menghentikan penggunaan ide-ide yang digantikan oleh inovasi itu. Keputusan inovasi adalah proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambilnya keputusan untuk menerima atau menolaknya dan kemudian mengukuhkannya (Rogers 1993). Proses Keputusan Inovasi Di dalam pandangan tradisional mengenai proses keputusan inovasi, yang disebut proses adopsi dikemukakan oleh komisi-komisi ahli-ahli sosiologi pedesaan pada tahun 1955, proses ini terdiri dari
lima tahap (Rogers dan
Shoemaker 1981): 1.
Tahap kesadaran, dimana seseorang mengetahui adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informarmasi mengenai hal itu.
2.
Tahap menaruh minat, dimana seseorang mulai menaruh minat terhadap inovasi dan mencari lebih lanjut informasi mengenai inovasi tersebut.
3.
Tahap penilainan, dimana seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru itu dihubungkan dengan situasi dirinya saat ini dan masa mendatang dan menentukan mencobanya atau tidak.
4.
Tahap percobaan, dimana seseorang menerapkan ide-ide baru itu dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya, apakah sesuai dengan situasi dirinya.
5.
Tahap penerimaan, dimana seseorang menggunakan ide baru secara luas dan secara tetap.
Rogers menyusun suatu model proses keputusan inovasi yang terdiri dari empat tahap, yaitu: a. Pengenalan, dimana seseorang mengetahui adanya inovasi dan memperoleh, beberapa pengertian tentang bagaimana inovasi itu berfungsi. b. Persuasi, dimana seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi. c. Keputusan, dimana seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi. d. Konfirmasi, dimana seseorang mencari penguat bagi keputusan.
32
Terus mengadopsi
Variabel 1. Penerima(sikap terhadap perubahan), 2. Sifat-sifat sosial (kekosmopolitan) 3. Kebutuhan nyata terhadap inovasi 4. Dan sebagainya
Adopsi Diskontinuiansi a. Ganti yang baru b. Kecewa Pengenalan
Persuasi
Keputusan
Implementas
Konfirmasi
ii
Sistem Sosial 1. Norma sosial, 2. Toleransi terhadap perubahan 3. Kesatuan komunikasi 4. Dan seterusnya
Pengadopsian Terlambat
Menolak Ciri-ciri inovasi dalam pengamatan penerima 1. Keuntungan telatif 2. Kompatibilitas 3. Kompleksitas 4. Trialabilitas 5. Observavilitas
Tetap menolak
Gambar 3 Proses keputusan inovasi (Rogers 1993)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktek Usahatani Karakteristik Petani Sampson dalam Humaedah (2007), mengemukakan bahwa faktor internal individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan sosiopsikologis. Karaktersistik individu merupakan salah satu faktor penting untuk diketahui dalam rangka mengetahui perilaku suatu masyarakat. Puttileihalat
(2007),
dalam
hasil
penelitiannya
mengungkapkan
karakteristik individu yang mempengaruhi perilaku komunikasi antara lain: umur, tingkat pendidikan, luas lahan, pangalaman berusaha tani, status pekerjaan. a. Umur Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat perbedaan keragaman perilaku berdasarkan usia yang dimiliki. Petani-
27
petani yang berusia lebih tua tampaknya kurang cenderung melakukan difusi inovasi pertanian daripada mereka yang relatif muda. Petani yang berumur muda biasanya akan lebih bersemangat dibandingkan dengan petani yang lebih tua (Soekartawi 1988). b. Pendidikan Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan watak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku. Proses pembentukan watak terjadi karena adanya interaksi antara potensi yang dimiliki seseorang, lingkungan dan pendidikan/pengajaran (Yolanda 1998). Sukanto (2002) menyatakan bahwa pendidikan mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan, membuka fikiran ilmiah. Petani yang relatif lebih cepat dalam menerapkan hal-hal yang baru umumnya adalah petani yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari masyarakat sekitar, pandai dan pengetahuan luas. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi umumnya lebih menyadari kebutuhan akan informasi, sehingga menggunakan lebih banyak jenis sumber informasi dan lebih terbuka terhadap media massa (Jahi, 1988). Rukka
(2003),
pendidikan
merupakan
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat adopsi petani akan suatu inovasi. Rendahnya kualitas sumber daya manusia akan menyebabkan rendahnya motivasi petani di dalam menerapkan suatu teknologi baru. Hasil penelitian Sadono (1999) mengatakan bahwa faktor internal yang berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan
pengendalian hama terpadu (PHT)
adalah tingkat pendidikan dan persepsi petani terhadap PHT itu sendiri. c. Luas kepemilikan lahan Hernanto (1989) mengemukakan bahwa luas lahan usaha tani dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yakni lahan yang sempit dengan luas lahan kurang dari setengah hektar, lahan yang sedang dengan luas lahan setengah sampai dua hektar, dan lahan luas dengan luas lebih dari dua hektar. Sehubungan dengan Wiriaatmadja (1977) mengungkapkan bahwa petani-petani yang memiliki
32
tanah usaha yang luas akan memiliki sifat dan kegemaran untuk mencoba teknologi baru dan akan selalu berusaha sendiri mencari informasi yang dibutuhkan. d. Pengalaman berusaha tani Pengalaman merupakan interaksi yang dialami seseorang selama hidupnya dengan lingkungannya sehingga ia mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman tentang suatu kejadian. Semakin sesuainya pengalaman petani dengan suatu kejadian. Pengalaman seseorang petani secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan. Petani yang memiliki penagalaman berusaha tani lebih lama senderung lebih selektif di dalam proses pengambilan keputusan (Mardikanto 1992).
29
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Sistem budidaya pertanian organik merupakan suatu sistem pertanian yang memperhatikan aspek-aspek keseimbangan ekosistem dengan melakukan praktek-pratek budidaya yang memanfaatkan sumberdaya lokal dengan input sintetis yang rendah. Penggunaan pupuk dan pestisida sintetis yang dilakukan selama ini telah menimbulkan permasalahan lingkungan dan juga permasalahan sosial yang kompleks. Di samping itu penggunaan input dari luar ini menyebabkan tingginya biaya produksi dan tingkat efisiensi produk yang rendah serta ketergantungan akan sarana produksi (pupuk, benih dan pestisida sintetis). Di Kabupatem Bantul khususnya di Kecamatan Sanden perkembangan sistem budidaya pertanian organik ini terasa masih sangat lambat yang disebabkan oleh banyak faktor. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang di dalam melakukan/mengadopsi suatu inovasi. Individu satu dengan individu lainnya pun memiliki tingkat adopsi yang berbeda-beda tergantung dari faktor-faktor yang mendukung dan faktor penghambat, baik yang sifatnya dari dalam individu ataupun dari luar individu yang bersangkutan dan juga dipengaruhi oleh karakteristik inovasi itu sendiri. Perilaku komunikasi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya seorang petani di dalam mengadopsi suatu teknologi. Perilaku komunikasi yang terdiri dari: keterdedahan petani akan media massa, keaktifan petani di dalam berinteraksi dengan individu-individu yang lebih memahami akan suatu teknologi, serta intensitas interaksi petani di dalam kelompoknya secara langsung mempengaruhi praktek usaha tani yang dilakukannya. Adapun faktor lain yang mempengaruhi praktek pertanian organik yang dilakukan oleh petani adalah faktor penilaian petani akan teknologi pertanian organik itu sendiri yang memiliki peranan penting di dalam praktek usaha pertanian organik oleh petani, seperti tingkat keuntungan yang diperoleh, kemudahan untuk diterapkan, kecocockan dengan kebutuhan, kemudahan untuk dicoba dan juga diamati akan menjadi pertimbangan petani untuk menerapkan praktek usaha tani organik itu sendiri.
32
Sebagai dampak (outcome) dari penerapan/praktek budidaya pertanian organik pada akhirnya adalah adanya kemandirian petani itu di dalam mendapatkan sarana-sarana produksi yang meliputi kemandirian akan benih, pupuk serta pestisida disetiap masa kegiatan usaha taninya. Kemandirian petani di dalam usaha tani ini tentu menyebabkan meningkatnya bargaining position petani yang selama ini menjadikan petani sebagai objek penderita dari setiap pembangunan. Berdasarkan uruaian di atas maka secara skematis dapat digambarkan kerangka pemikian sebagai berikut:
29 Kerangka Pemikiran
Karakteristik Petani (X1) X3.1 Pengalaman X3.2 Luas Lahan X3.3 Pendapatan X3.4 Pendidikan
Perilaku Komunikasi (X2) (Pencarian info pertanian organik) X2.1 Keterdedahan pada media massa
X2.2
Keterlibatan/kontak interpersonal dengan fasilitator/LSM X2.3 Interaksi dalam kelompok tani
Penilaian petani terhadap teknologi (X3) X3.1 Keuntungan relatif X3.2 Kompatibilitas X3.3 Kompleksitas X3.4Triabilitas X3.5 Observabilitas
Praktek Usaha Tani(Output) (Y1)
Y1.1 Pemanfaatan Pupuk Y1.2 Pemanfaatan Pestisida
Kemandirian Petani(Outcome) (Y2) Y2.1 Akses Pupuk Y2.2 Akses pestisida
Gambar 4. Kerangka pemikiran perilaku komunikasi petani organik. 31
32
Hipotesis
H1
:Terdapat hubungan antara karakteristik petani dengan praktek pertanian organik.
H2
:Terdapat hubungan antara perilaku komunikasi petani dalam mencari informasi pertanian organik dengan praktek pertanian organik.
H3
:Terdapat hubungan antara penilaian petani akan teknologi pertanian organik dengan praktek pertanian organik.
H4
:Terdapat hubungan antara praktek usaha tani petani dengan tingkat kemandirian petani akan pupuk dan pestisida.
Apabila hasil statistik menunjukan bahwa adanya hubungan yang nyata pada taraf alfa 10 persen maka hipotesis tersebut diterima, sebaliknya apabila hubungan antara peubah yang diteliti tidak menunjukan adanya hubungan yang nyata pada alfa 10 persen maka hipotesis tersebut ditolak.
33
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai penelitian survey yang bersifat explanatory research yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi dengan menjelaskan hubungan antar variable-variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun & Effendy 1989). Penelitian ini berisikan uraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungannya antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan Metode penelitian survei merupakan metode pelaksanaan penelitian suatu informasi yang dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuisioner, dengan dibatasi pada pengertian survei sampel sebagai informasi dari sebagian populasi yang mewakili seluruh populasi yang ada. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengumpulan data di lapangan dilaksanakan selama dua bulan terhitung dari Bulan April sampai dengan Bulan Mei. Lokasi tempat penelitian ini adalah di Desa Srigading Kecamatan Sanden. Dalam penelitian ini pemilihan lokasi ditentukan secara purposif atau secara tersengaja dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan salah satu daerah sentra bawang merah organik di Kabupaten Bantul. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi merupakan jumlah keseluruhan dari unit-unit analisis yang memiliki cirri-ciri yang akan diduga. Populasi pada penelitian adalah seluruh petani yang mengusahakan usaha tani bawang merah yang tergabung dalam gabungan kelompok tani (Gapoktan) Desa Srigading Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh anggota gabungan kelompok tani yang berada di Desa Srigading. Kelompok tani yang ada di Desa Srigading ini terdiri dari 12 kelompok tani yang tergabung dalam satu gapoktan Desa Srigading. Total dari anggota Gapoktan di Desa Srigading ini adalah sebanyak 1150 petani.
34
Sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil secara representatif untuk mewakili populasi yang ada. Adapun penentuan sampel dilakukan secara random sampling (acak sederhana), Seluruh populasi (petani bawang yang tergabung dalam kelompok tani di Desa Srigading) Di daftar dan di lakukan pengambilan secara acak. Kondisi masyarakat yang relatif homogen dan kondisi geografis yang relatif sama memungkinkan
pengambilan sampel penelitian
dilakukan dengan jumlah yang relative kecil. Penentuan responden secara simple random sampling yaitu sejumlah 30 responden dari populasi.Untuk pengambilan sampel ini seluruh populasi yang ada didata dan kemudian diambil sebanyak 30 sampel, dimana setiap anggota populasi memiliki ksempatan yang sama untuk dipilih. Data dan Instumentasi 1. Jenis Data a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dengan cara menggali secara langsung melalui teknik wawancara secara terstruktur kepada responden dengan alat bantu kuesioner, panduan wawancara (interview guide), penelusuran observasi yaitu pengamatan secara langsung ke lahan
pertanian mengamati
kegiatan petani. Alat bantu kuesioner yang digunakan di dalamnya penelitian ini berisi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan peubah-peubah yang akan diteliti dalam penelitian ini. Instrumen di dalam penelitian ini berupa pertanyaanpertanyaan baik yang terbuka ataupun tertutup yang berhubungan dengan peubahpeubah yang diamati dalam penelitian. Instrumen ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu: 1. Pertanyaan tentang karakteristik individu petani, 2. Pertanyaan tentang perilaku komunikasi, 3. Pertanyaan tentang karakteristik inovasi 4. Pertanyaan tentang praktek usaha pertanian organik, 5. Pertanyaan tentang kemandirian petani
b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi-instansi yang berhubungan dengan penelitian dan juga hasil kajian pustaka yang dianggap
35
relevan dengan penelitian ini, meliputi : keadaan penduduk, mata pencaharian penduduk, keadaan geografis, dan sebagainya. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan : a. Wawancara
yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
langsung bertanya dan bertatap muka antara penanya dengan responden(petani bawang merah) dengan panduan daftar pertanyaan (kuesioner). Data yang diperoleh ini nantinya dipergunakan sebagai data primer. b. Observasi yaitu melakukan pengamatan langsung ke lahan pertanian untuk melihat dan mengetahui secara langsung berbagai macam aktifitas petani di lahan pertanian. c. Pencatatan dan kajian pustaka yaitu mencatat data yang diperlukan serta ada hubungannya dengan penelitian ini yang telah ada di instansi-instansi ataupun sumber-sumber informasi baik dalam bentuk hardcopy ataupun softcopy. Data yang diperoleh dipergunakan sebagai data sekunder. Definisi Operasional Definisi operasional merupakan spesifikasi kegiatan penelitian dalam mengukur suatu peubah atau memanipulasinya atau dapat diatrikan juga sebagai meletakkan arti dalam suatu konstruk atau peubah dengan cara menetapkan kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu untuk mengukur konstruk atau peubah itu. Definisi operasional diambil dari beberapa sumber sebagai acuan. Tabel 1. Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran Variabel
Tingkat pendidikan
Definisi Operasional
Indikator
Karakteristik individu (X1) Lamanya petani Pendidikan formal yang mendapatkan atau pernah ditempuh oleh mengikuti pendidikan responden yang formal. dikategorikan ke dalam tiga kategori yaitu : tinggi, sedang, dan rendah.
Pengukuran
Pernyataan responden berkaitan dengan jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh responden yang dikategorikan ke dalam tiga kategori yaitu: Rendah: SD - SLTP, Sedang: SLTA, dan Tinggi : Sarjana.
36
Variabel
Definisi Operasional
Indikator
Pengukuran
Pengalaman
Lamanya petani melakukan usaha tani bawang merah sampai penelitian ini dilakukan.
Tingkat pengalaman petani dalam berusaha tani bawang merah dikategorikan ke dalam tiga kategori yaitu: tinggi sedang, dan rendah.
Luas lahan
Luas sebidang tanah yang dimiliki petani untuk budidaya tanaman bawang merah, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
Luasnya lahan pertanian yang dimiliki sendiri yang dipergunakan untuk budidaya bawang merah.
Tingkat pendapatan
Jumlah penghasilan responden dalam setiap musim tanamnya.
Banyaknya penghasilan petani dalam setiap musim tanamnya, dari usaha tani bawang merah.
Pernyataan responden berkaitan dengan pengalaman berusaha tani dikategorikan ke dalam tiga kategori: Rendah : < 12 tahun Sedang :12 - 22 tahun Tinggi : > 22 tahun Pernyataan responden tentang luas lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman bawang merah. Luas lahan petani dikategorikan kedalam tiga kategori: Rendah : < 880 meter persegi Sedang :880– 1300 meter persegi Tinggi : > 1300 meter persegi Pernyataan responden tentang banyaknya penghasilannya per bulan yang dikategorikan ke dalam tiga kategori: Rendah : < Rp2 juta Sedang :Rp2 juta-Rp8 Juta per musim tanam Tinggi : > Rp8 Juta per musim tanam.
Keterdedahan pada media massa
Keterlibatan atau kontak petani dalam
Perilaku komunikasi (X2) tingkat keterbukaan Lamanya atau keseringan responden terhadap petani di dalam media massa seperti mengakses media massa. televisi, radio, koran, majalah dan lain-lain dalam memperoleh sumber informasi tentang pertanian organik.
Segala bentuk komunikasi interpersonal yang
Jumlah atau lamanya komunikasi yang dilakukan petani dalam
Pernyataan responden tentang lamanya mengakses media yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kegiatan usaha tani. Pengukuran dilakukan dengan menghitung lamannya mengakses media (televisi, radio, surat kabar) dalam per hari terakhir, dengan kategori: 1: .tidak pernah 2. > 2 jam per hari 3. 2-3 jam per hari 4. 4-5 jam per hari 5 > 5 jam per hari Pernyataan responden berkaitan lamanya berinteraksi secara
37
Variabel
Definisi Operasional
Indikator
Pengukuran
berkomunikasi interpersonal
dilakukan petani dengan stakeholder terkait meliputi: LSM, peneliti, dosen, dinas pertanian
satu bulan terakhir sebelum penelitian ini dilakukan
Interaksi kelompok
Segala bentuk komunikasi yang dilakukan petani dengan sesama anggota kelompok tani dan antar kelompok dalam pertukaran informasi pertanian organik
Jumlah atau lamanya komunikasi yang dilakukan petani dalam satu bulan terakhir sebelum penelitian ini dilakukan
interpersonal yang dilakukan petani dengan stakeholder terkait meliputi: LSM, peneliti, dosen, dinas pertanian dalam memperoleh informasi pertanian organik. Pengukuran dilakukan dengan memberi skor terhadap waktu kumulatif melakukan komunikasi interpersonal, dengan kategori: 1: .tidak pernah 2. > 2 jam per minggu 3. 2-3 jam per minggu 4. 4-5 jam per minggu 5 > 5 jam per minggu Pernyataan responden berkaitan lamanya berinteraksi antar anggota kelompok dan antar kelompok dalam memperoleh informasi pertanian organik. Pengukuran dilakukan dengan memberi skor terhadap waktu kumulatif melakukan komunikasi interpersonal, dengan kategori: 1: .tidak pernah 2. > 2 jam per minggu 3. 2-3 jam per minggu 4. 4-5 jam per minggu 5 > 5 jam per minggu
dalam
Tingkat keuntungan relatif
Karakteristik inovasi (X3) Segala bentuk Jumlah keuntungan atau keuntungan ekonomi tingkat kemanfaata yang atau tungkat didapatkan oleh petani kemanfaatan yang dengan melakukan usaha diperoleh oleh petani tani bawang merah di dalam budidaya organik bawang merah organik.
Pernyataan responden tentang tingkat keuntungan petani dengan melakukan usaha tani bawang merah. Pengukuran dilakukan dengan memberi skor berdasarkan tingkat manfaat, yaitu: skor 1: sangat tidak menguntungkan 2:tidak menguntungkan, 3: cukup
38
Variabel
Definisi Operasional
Indikator
Tingkat kerumitan
Tingkat kerumitan yang dirasakan oleh petani di lahan pertanian dalam mengadopsi suatu inovasi pertanian organik.
Berbagai kesulitan dan kerumitan yang dirasakan oleh petani dilapangan baik di dalam mengaplikasikan pupuk organik dan juga di dalam pengendalian hama penyakit tanaman bawang
Tingkat kesesuaian
Derajat dimana praktek dengan mengunakan sarana produksi ini dirasakan sebagai sesuatu yang konsisten dengan nilai–nilai yang berlaku, pengalamanpengalaman terakhir dan kebutuhan petani.
Berbagai aspek kesesuaian yang dirasakan oleh petani dilapangan berupa kesesuaian dengan keinginan, pengalaman, kebutuhan, dan juga nilai-nilai yang berlaku baik di dalam mengaplikasikan pupuk organik dan juga di dalam pengendalian hama penyakit tanaman bawang.
Tingkat kemudahan dicoba
Segala bentuk kemudahan pemanfaatan pupuk dan pestisida untuk dicoba di lahan pertanian pada keadaan sumber daya yang terbatas.
Jumlah berbagai kemudahan di dalam mencoba mengaplikasikan pupuk dan pestisida di lahan pertanian.
Kemudahan untuk untuk diamati setiap hasil yang didapatkan dengan mengadopsi
Jumlah berbagai kemudahan di diamati setiap hasil dari negadopsi budidaya
Tingkat kemudahan dilihat
untuk
Pengukuran menguntungkan; 4: sangat menguntungkan Pernyataan responden tentang tingkat kerumitan yang dirasakan oleh petani. Pengukuran dilakukan dengan memberikan skor untuk masingmasing inovasi berdasarkan pernyataan responden terhadap tingkat kerumitannya, yaitu skor : 1: sangat sulit; 2: sulit; 3: mudah; dan 4: sangat mudah. Pernyataan responden tentang tingkat kesesuaian yang dirasakan oleh petani. Pengukuran dilakukan dengan memberikan skor untuk masingmasing inovasi berdasarkan pernyataan responden terhadap tingkat kesesuaiannya, yaitu skor : 1: sangat tidak sesuai; 2: tidak sesuai; 3: sesuai; dan 4: sangat sesuai. Pernyataan responden tentang tingkat kemudahan yang dirasakan oleh petani. Pengukuran dilakukan dengan memberikan skor untuk masingmasing inovasi berdasarkan pernyataan responden terhadap tingkat kemudahannya, yaitu skor : 1: sangat sulit; 2: sulit; 3: mudah; dan 4: sangat mudah. Pernyataan responden tentang tingkat kemudahan untuk diamati yang dirasakan
39
Variabel
Definisi Operasional
Indikator
budidaya bawang merah organik, baik berupa pertumbuhan tanaman ataupun hasil produksinya.
tanaman bawang merah organik pada lahan pertanian.
Pengukuran
oleh petani. Pengukuran dilakukan dengan memberikan skor untuk masingmasing inovasi berdasarkan pernyataan responden terhadap tingkat kemudahannya, yaitu skor : 1: sangat sulit; 2: sulit; 3: mudah; dan 4: sangat mudah. Praktek usaha tani (Y1) : tingkat seberapa besar petani menerapkan usaha budidaya bawang merah organik, meliputi; Pemanfaatan pupuk organik
Besar
jumlah
Banyaknya (besarnya persentase) pupuk organik yang digunakan petani untuk mengganti pupuk sintetis.
Pengukuran tingkat pemanfaatan pupuk persentase petani organi dihitung dengan memanfatkan pupuk mencari persentase pupuk organik yang organik dari seluruh digunakan oleh petani. pupuk yang Tingkat persentase di kategorikan kedalam digunakan dalam empat kategori: periode satu musim Sangat rendah : < 25 persen tanam. Rendah :25 - 50 persen Sedang :50 – 75 persen Tinggi : > 75 persen Pemanfaatan Seluruh pemanfaatan Banyaknya (besarnya Pengukuran tingkat pestisida organik persentase) pestisida pemanfaatan pupuk pestisida organik dari organik yang digunakan organi dihitung dengan seluruh total petani untuk mengganti mencari persentase pupuk sintetis. pupuk organik yang pengendalian hama digunakan oleh petani. penyakit yang Tingkat persentase di kategorikan kedalam digunakan dalam empat kategori: periode satu musim Sangat rendah : < 25 persen tanam. Rendah :25 - 50 persen Sedang :50 – 75 persen Tinggi : > 75 persen Tingkat kemandirian petani (Y2) merupakan tingkat kebebasan petani dalam mendapatkan dan menggunakan sarana produksi berupa pupuk dan pestisida. Tingkat kemandirian ini di ukur dengan persentase jumlah sarana produksi petani yang mampu diproduksi oleh petani tanpa ketergantungan pada pihak lain. Nilai persentase minimum dicapai apabila semua parameter setiap indikator setelah diukur menunjukkan angka 0 artinya jika semua sarana produksi yang dignakan petani masi tergantung seluruhnya dari pihak luar, sedangkan nilai maksimum 100.
40
Variabel Kemandirian pupuk
Definisi Operasional
Indikator
Kebebasan petani dari ketergantungan pupuk dari luar dengan menggunakan pupuk organik.
Jumlah atau persentase kebebasan petani dari ketergantungan pupuk dari luar.
Pengukuran Dengan
mengunakan
pengukuran
di
atas
kemudian
data
dikelompokkan menjadi
empat
tingkatan
dengan
interval tertentu :
Kemandirian pestisida
Kebebasan petani dari ketergantungan pestisida dari luar dengan menggunakan pupuk organik.
a. Sangat rendah b. Rendah c. Tinggi dan d. Sangat tinggi Jumlah atau persentase Dengan mengunakan kebebasan petani dari pengukuran di atas ketergantungan pestisidadari luar. kemudian data dikelompokkan menjadi
empat
tingkatan
dengan
interval tertentu : e. f. g. h.
Sangat rendah Rendah Tinggi dan Sangat tinggi
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Validitas atau ketepatan adalah tingkat kepercayaan kemampuan instrument penelitian untuk mengungkapkan data sesuai dengan masalah yang hendak diungkap. Pengukuran adalah kemampuan instrumen penelitian untuk mengukur apa yang hendak diukur secara tepat dan benar. Salah satu ukuran validitas untuk sebuah kuesioner adalah apa yang disebut sebagai validitas konstruk (construct validity). Berdasarkan definisi validitas ini, sebuah kuesioner yang berisi beberapa pertanyaan untuk mengukur suatu hal, dikatakan valid jika setiap butir pertanyaan yang menyusun kuesioner tersebut memiliki keterkaitan yang tinggi. Ukuran keterkaitan antar butir pertanyaan ini umumnya dicerminkan oleh korelasi jawaban antar pertanyaan. Pertanyaan yang memiliki korelasi rendah dengan butir pertanyaan yang lain, dinyatakan sebagai pertanyaan yang tidak
41
valid. Metode yang sering digunakan untuk memberikan penilaian terhadap validitas kuesioner adalah korelasi produk momen (moment product correlation, Pearson) antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total, sehingga sering disebut sebagai inter item-total correlation. Formula yang digunakan untuk itu adalah:
dengan ri xij xi tj t
= korelasi antara butir pertanyaan ke-i dengan total skor = skor responden ke-j pada butir pertanyaan i = rata-rata skor butir pertanyaan i = total skor seluruh pertanyaan untuk responden ke-j = rata-rata total skor Analisis korelasi juga digunakan untuk membandingkan dua kelompok
skor tersebut. Koefisien korelasi ini menunjukkan koefisien konsistensi internal (coeficient of internal consistency) dari alat ukur. Koefisien korelasi yang tinggi menunjukkan konsistensi internal item-item di alat ukur. Ukuran koefisien konsistensi internal ini salah satunya dapat diukur dengan menggunakan koefisien alpha dari Cronbach. Formula untuk menghitung koefisien alpha dari Cronbach adalah sebagai berikut:
dengan α = koefisien alpha dari Cronbach k = banyaknya butir pertanyaan Si2 = ragam skor butir pertanyaan ke-i ST2 = ragam skor total Instrumen yang digunakan di dalam pengambilan data ini, dilakukan uji validitas dan realibilitas terlebih dahulu dengan melakukan uji coba di lokasi penelitaian yang sama. Uji ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa instrument (kuesioner) ini layak digunakan pada penelitian ini.
42
Berdasarkan hasil analisis terhadap instrument yang digunakan dengan menggunakan SPSS 16 terhadap seluruh instrument, dapat di simpulkan bahwa sebagian besar item instrument valid karena memiliki nilai total corrected item lebih besar dari rtabel (0.632).
Instrument yang memiliki nilai validitas yang
rendah dilakukan berbaikan terhadap redaksional dan konten dari instrument tersebut. Uji realibilitas terhadap insrument yang digunakan menunjukan bahwa semua item instrument memiliki koefisien alpha dari Cronbach yang tinggi. Dari hasil analisis terhadap instrument ini maka dapat disimpulkan kuesioner ini reliable atau layak untuk digunakan dalam penelitian. Tabel 2 Koefisien Cronbach alpha hasil uji coba kuesioner Peubah Penelitian
Koefisien Cronbach alhpa
Keterdedahan Media
0,977
Interaksi interpersonal
0,809
Interaksi dalam kelompok
0,772
Keuntungan relatif
0,860
Kompatibilitas
0,947
Kompleksitas
0,951
Trialabilitas
0,914
Observabilitas
0,735
Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensia. Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antar peubah (analisis korelasi). Data diolah dengan menggunakan program komputer perangkat lunak (software) Statistical Package for Sosial Science (SPSS) versi 16.0. Hubungan antar peubah, data dikumpulkan dan diringkas dengan menggunakan
analisis
deskriptif
dalam
tabel
frekuensi
yang
hasilnya
menggambarkan keadaan seperti yang dinyatakan dalam tujuan penelitian. Sedangkan untuk melihat hubungan antar variabel independen dan variabel dependen dilakukan Pengujian hipotesis menggunakan uji Korelasi tau Kendal sehingga dapat diperoleh tingkat keeratan hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat dengan rumus Korelasi Tau kendal :
43
Keterangan : r = Koefisien korelasi kendal K = Jumlah pasangan konkordan D = Jumlah pasangan diskordan Tx = Banyaknya pasangan seri pada peubah x Ty = Banyaknya pasangan seri pada peubah y Uji tersebut membutuhkan kaidah-kaidah sebagai berikut: a. Sekurang-kurangnya tercapai pengukuran ordinal b. Memberikan ukuran tingkat asosiasi atau korelasi antara kedua variabel Asumsi berdistribusi normal jika n ≥ 10
45
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Daerah Penelitian 1. Geografi dan Topografi Desa Srigading merupakan salah satu dari dari empat desa yang ada di wilayah administratif Kecamatan Sanden. Desa Srigading, daerah penelitian ini merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Luas Desa secara keseluruhan adalah seluas 757,6 hektar. Kondisi geografis desa ini memiliki ketinggian tanah antara dua sampai sepuluh meter di atas permukaan laut dan memiliki tofografi yang relatif datar, sedikit bergelombang. Kondisi geografis yang berbatasan dengan pantai, desa ini memiliki suhu rata-rata 29 sampai 30 derajad Celsius dengan tingkat curah hujan rerata 1.848 milimeter per tahun. Desa Srigading ini memiliki 20 dusun yang terdiri dari 81 rukun tetangga (RT). Secara administratif Desa Srigading memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: - Sebelah utara berbatasan dengan Desa Tirtosari - Sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia - Sebelah barat berbatasan dengan Desa Gadingharjo dan Murtigading, dan - Sebelah timur berbatasan dengan Desa Tirtomulyo,Tirtosari, dan Tirtonargo. 2. Iklim Secara umum Desa Srigading dikategorikan beriklim tropis dengan musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau dan memiliki suhu harian rata-rata 29 sampai 30 derajad Celcius. Curah hujan rata-rata 126,9 milimeter per bulan, Curah hujan tertinggi berkisar 345,4 milimeter pada bulan Desember, sedangkan curah hujan terendah nol milimeter pada bulan Agustus dan September.
3. Luas dan Pola Penggunaan Lahan a. Luas, Tata guna dan Pengairan Luas wilayah Desa Srigading adalah 757,6 hektar, Lahan pertanian di Desa Srigading relatif luas, hal ini disebabkan sebagian besar daerah yang ada dikabupaten Bantul
merupakan daerah agraris, dimana sebagian besar
46
masyarakatnya adalah sebagai petani. Pemanfaatan tata guna lahan yang ada di daerah ini yaitu di peruntukan sebagai sawah, tegal, pemukiman, jalur hijau dan penggunaan lainnya (Tabel 2). Tabel 3 Luas lahan menurut penggunaan di Desa Srigading tahun 2009 Penggunaan Lahan Sawah dan Ladang
Luas (ha) 432,8
Bangunan Umum Permukiman
3,2 210,4
Perkuburan Lain-lain
3,3 36,7
Sumber: Kantor Desa Srigading 2009 Penggunaan lahan di Desa Srigading didominasi oleh pemanfaatan untuk lahan pertanian yaitu sekitar 64 persen lahan di desa ini dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Penggunaan lahan banyak kedua adalah digunakan untuk permukiman yaitu seluas 210 hektar atau 30 persen. Kondisi tofografi yang relatif datar dan berada di daerah dataran rendah, menyebabkan daerah ini sangat baik untuk budidaya tanaman pada dan palawija. Selain itu lahan juga dimanfaatkan untuk pertokoan, perkantoran, dan pasar desa. Selain itu di Desa Srigading juga memiliki lahan kosong yang belum termanfaatkan secara optimal. Pada daerah ini terdapat rawa dan lahan kosong lainnya seluas 46 hektar.
b. Pola Penggunaan Lahan Luas Kecamatan Sanden 23,15 kilometer persegi dengan tataguna lahan untuk sawah, tegal, tanah kering, hutan dan penggunaan lainnya. Data luas lahan menurut status pemanfaatan tanah di Desa Srigading Tahun 2009 selengkapnya pada Tabel 4.
47
Tabel 4 Luas lahan menurut status pemanfaatan tanah di Desa Srigading Tahun 2009. No. 1
Status Tanah Sawah
a. Teknis b. Setengah teknis c. Sederhana d. Tadah hujan 2
Tegal
3
Pekarangan
4
Lain-lain
Luas Lahan (ha)
Persentase (%)
432,3
36,4
363,6
30,7
4,0
0,3
6,0
0,5
54,4
4,6
270,4
22,8
55,5
4,7
Sumber: Kantor Desa Srigading 2009 Desa Srigading merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0 sampai 20 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan lahan 15 persen, dengan kondisi drainase yang baik. Seluruh lahan pertanian yang ada, sebagaian besar digunakan untuk persawahan, dan juga pekarangan. Persawahan yang ada di daerah lokasi penelitian ini merupakan persawahan setengah teknis, hal ini menyebabkan tanaman padi tidak bisa di budidaya sepanjang tahun, namun harus dilakukan pergiliran tanaman dengan tanaman palawija dan sayuran.
c. Luas Pemilikan lahan Pertanian Sebanyak 62,02 persen atau 6.433 kepala keluarga memiliki mata pencaharian sebagai petani, sedangkan 37,98 persen atau 3.940 kepala keluarga memiliki mata pencaharian non pertanian. Jadi sebagaian besar mata pencaharian masyarakat Desa Srigading adalah sebagai petani. Kepemilikan lahan petani di Desa Srigading Kecamatan Sanden ini rata-rata memiliki penguasaan lahan yang relatif sempit. Penguasaan lahan petani selengkapnnya pada Tabel 5.
48
Tabel 5 Jumlah dan persentase petani berdasarkan status penguasaan lahan di Desa Srigading Tahun 2009 Status penguasaan
No.
lahan(ha)
Jumlah petani
Persentase
1
< o,1
918
48,7
2
0,1 – 0,5
678
36,0
3
0,6 – 1,0
274
14,5
4
1,1 – 1,5
13
0,7
5
1,6 – 2,0
6
0,3
6
> 2,0
-
0,0
1888
100,0
Jumlah
Sumber: BPP Kecamatan Sanden 2009 Kepemilikan lahan garapan petani, sebanyak 48,7 persen petani memiliki lahan yang sangat sempit yaitu kurang dari 0,1 Ha, 36 persen petani meniliki lahan antara 0,1 sampai 0,5 Ha. Tidak ada petani yang memiliki lahan yang relatif luas atau lebih dari dua ha. 2. Penduduk
Bardasarkan data sensus penduduk tahun 2007, jumlah penduduk Desa Srigading Kecamatan Sanden yaitu 10.058 jiwa atau sekitar 32, 7 persen dari total penduduk Kecamatan Sanden. Kepadatan penduduk desa Srigading sebesar 1.327 jiwa per kilometer persegi. Tabel 6 Jumlah penduduk menurut kelompok umur di Srigading Tahun 2009. No.
Kelompok umur
Jumlah
1. 2. 3. 4. 5. 6.
10-14 tahun 15-19 tahun 20-26 tahun 27-40 tahun 41-56 tahun 57- ke atas
646 615 914 2417 2314 3152
Persentase (%) 6,42 6,11 9,09 24,03 23,00 31,33
Sumber: Kantor Desa Srigading 2009 Secara keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih dominan daripada penduduk laki-laki. Penduduk usia kerja diartikan sebagai penduduk yang
49
berumur 10 tahun ke atas. Penduduk usia kerja terdiri atas Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Penduduk usia kerja di Desa Srigading ini sebagian besar tergolong angkatan kerja tua, hal ini dapat dilihat dari jumlah angkatan kerja pada kelompok umur 41 tahun ke atas sangat banyak. Mereka yang termasuk dalam Angkatan Kerja adalah penduduk yang bekerja atau yang sedang mencari pekerjaan, sedangkan Bukan Angkatan Kerja adalah mereka yang bersekolah, mengurus rumah tangga atau melakukan kegiatan lainnya. Desa Srigading merupakan daerah agraris, yaitu sebagian besar masyarakatnya adalah sebagai petani. Pada Tabel di bawah ini ditunjukan jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan di Desa Srigading. Tabel 7 Jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan di Srigading Tahun 2009. No.
Jenis Pekerjaan
1.
Karyawan a. PNS 384 b. TNI 78 c. Polri 92 d. Swasta 441 Wiraswasta/pedagang 206 Tani/buruh tani 3394 Pertukangan 76 Nelayan 56 Jasa 97 Lain-lain 5755 Sumber: Kantor Desa Srigading 2009
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jumlah
Persentase 3,82 0,78 0,91 4,38 2,05 33,74 0,76 0,56 0,96 52,04
Apabila dikaji berdasarkan data dari Tabel 7 menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat Srigading memiliki mata pencaharian sebagai petani dan burih tani. Hal ini dapat diketahui dari tingginya angka jumlah petani yang bermata pencahatian sebagai petani lebih dari 59 persen atau sebanyak 3394 jiwa. Adapun selain petani, mata pencaharian masyarakat cukup beragam, seperti: nelayan, pertukangan, pedagang, pegawai dan lain-lain. Profil Petani bawang Merah Petani bawang merah di Desa Srigading merupakan petani yang memiliki karakteristik individu yang beragam, baik karakteristik material maupun
50
nonmaterial petani. Karakteristik petani pada penelitian ini antara lain (1) pengalaman usaha tani, (2) luas lahan garapan, (3) Pendapatan petani, dan (4) pendidikan formal petani. Tabel 8 Jumlah dan persentase petani berdasarkan kategori faktor internal di Desa Srigading Faktor internal Pengalaman
Luas Lahan
Pendapatan
Kategori Tinggi (≥ 23 tahun)
Persentase (%)
4
13,3
Sedang (13-22 tahun)
15
50,0
Rendah (≤ 12 tahun)
11
36,7
6
20,0
Sedang (880-1300 m2)
12
40,0
Sempit (< 880 m2)
12
40,0
3
10,0
21
70,0
Rendah(
6
20,0
Tinggi (> 12 tahun)
2
6,7
Sedang (7-12 tahun)
26
86,7
Rendah (≤ 6 tahun)
2
6,7
Luas (1.300 m2)
Tinggi (>Rp8juta /musim) Sedang(Rp2,3juta-p8juta/musim)
Pendidikan
Jumlah
Pengalaman Pengalaman dalam bertani juga mempengaruhi kompetensi seseorang, karena dengan pengalaman yang baik, diperoleh dari pengetahuan, keterampilan dan sikap didalam usahanya. Rerata lama pengalaman petani dalam usaha tani bawang pada lokasi penelitian ini adalah 17 tahun dengan kisaran pengalaman antara 2-40 tahun. Secara umum petani bawang merah ini melakukan budidaya komoditas bawang secara turun-temurun. Sebagian besar petani memiliki pengalaman yang cukup lama, sekitar 50 persen memiliki rentang pengalaman 13 sampai 22 tahun. Hal ini Menunjukkan bahwa dilihat dari lamanya petani menekuni usaha budidaya bawang merah ini, petani ini relatif cukup matang.
51
Pengalaman petani yang relatif lama menggambarkan cukup banyaknya memiliki pengetahuan dan keterampilan berusaha tani bawang merah sesuai dengan pengalaman yang ditekuni selama ini. Dengan bekal pengalaman tersebut maka segala inovasi dan sesuatu hal yang baru berkaitan dengan budidaya bawang merah, petani selalu membandingkan dengan pengalaman yang dialaminya. Petani yang memiliki pengalaman yang relatif lama cenderung bersifat kritis terhadap suatu inovasi. Selain berusaha tani bawang merah, para petani juga melakukan budidaya tanaman padi dan palawija. Praktek usaha tani yang dilakukan oleh para petani biasanya ada yang dilakukan secara monokultur dan ada juga yang dilakukan secara tumpang sari. Luas kepemilikan lahan Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam pengembangan usaha tani. Luas lahan berdampak pada transfer dan penerapan teknologi-teknologi yang menguntungkan bagi petani. Lahan yang cukup luas memudahkan petani bawang menerapkan teknologi yang ada, sementara itu kepemilikan lahan yang sempit relatif menjadikan petani enggan menerapkan teknologi yang ada disebabkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam menerapkan suatu teknologi. Rataan luas lahan garapan petani bawang merah adalah 1400 meter persegi dengan kisaran antara 560 sampai 4900 meter persegi. Berdasarkan penggolongan petani berasarkan luas lahan oleh Hernanto (1989), maka kepemilikan lahan garapan petani secara umum adalah sangat sempit, hanya satu orang yang memiliki lahan seluas 0,5 hektar, sementara kepemilikan rata-rata petani di bawah 1500 meter persegi. Pendapatan petani Pendapatan petani merupakan salah satu faktor yang menentukan kehidupan petani terutama dalam pemenuhan kebutuhan hidup petani. Usaha tani bawang merah merupakan suatu usaha tani yang cukup menjanjikan dari segi ekonomi petani. Pandapatan petani sebagian besar relatif besar dengan variasi Rp1.000.000,00 sampai Rp31.500.000,00 per musim tanam (dua bulan), dengan rata-rata pendapatan petani
Rp5.223.333,00 per musim tanam. Perbedaan
52
pendapatan petani yang besar ini disebabkan adanya perbadaan kepemilikan lahan yang dimiliki. Menurut hasil penelitian Hermawanto (1993), variasi pendapatan keluarga tersebut tergantung oleh beberapa faktor antara lain: a. Faktor yang berhubungan dengan luas penguasaan lahan garapan, b. Status kepemilikan lahan pertanian, c. Jenis usaha atau cabang usaha tani yang dikerjakan d. Macam pekerjaan tambahan, baik dari sektor pertanian maupun non pertanian. Pada umumnya perbedaan pendapatan petani bawang merah, terletak pada luas lahan, dan jenis usaha tani yang dibudidayakan. Pendidikan Tingkat pendidikan pada umumnya sangat berpengaruh terhadap praktek usaha tani yang dilakukan. Semakin tinggi pendidikan petani tentunya akan semakin rasional dalam pola fikir dan juga daya nalarnya. Pendidikan yang semakin tinggi diharapkan dapat semakin mudah merubah sikap dan perilaku untuk bertindak lebih rasional (Soekartawi, 1988). Pendidikan petani bawang merah di lokasi penelitian pada umumnya relatif tinggi. Rata-rata pendidikan petani adalah SMA sebanyak 36,35 persen. Pendidikan terendah adalah SD sebanyak satu orang atau tiga persen. Sementara ada dua orang atau enam persen petani yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Praktek Usaha Tani Bawang Merah Organik Sistem pertanian organik bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui proses pemupukan dan dalam pelaksanaannya tidak menggunakan bahan penunjang lain yang anorganik. Sistem ini menitikberatkan pada pertanaman polikultur, rotasi tanaman, pemanfaatan tanaman sisa, penggunaan pupuk kandang, pupuk hijau, pengolahan tanah yang tepat, serta pengendalian hama dan penyakit secara hayati (Sitanggang 1993). Bawang merah (Allium sativum L) merupakan salah satu komoditas unggulan di kecamatan Sanden pada umumnya dan di desa Srigading pada
53
khususnya. Desa Srigading merupakan sentra produksi bawang terbesar di kecamatan sanden yaitu sebesar 417 ha atau 55 persen luas tanaman bawang yang ada di kecamatan sanden. Daerah ini strategis sebagai sentra produksi bawang merah karena lokasinya berdekatan dengan pantai selatan hingga cocok untuk penanaman bawang merah. Budidaya tanaman bawang merah di Desa Srigading dapat tumbuh dengan baik karena pada daerah ini memiliki iklim kering dengan intensitas sinar matahari yang tinggi dan maksimal. Praktek usaha tani yang dilakukan oleh petani di Desa Srigading secara umum tidak ada yang telah menerapkan pertanian organik murni (pure organik), akan tetapi mulai mengalami pergeseran-pergeseran dari pertanian heavy input menuju pertanian yang mengedepankan pemanfaatan sumber daya lokal yang ada. Pergeseran-pergeseran paradigma pertanian ini tampak dari berbagai kegiatan dari usaha tani yang mulai memanfaatkan sumberdaya lokal untuk menggantikan sarana produksi dari luar. Beberapa komponen dari sarana produksi anorganik mulai mengalami substitusi dengan pemanfaatan sumberdaya lokal setempat. Praktek budidaya bawang merah yang dilakukan oleh petani adalah sebagai berikut. Pola penanaman bawang merah yang biasa dilakukan petani adalah dua kali tanam selama setahun dengan pola penanaman padi-bawang merah-cabebawang merah. Pemanaman bawang merah dilakukan pada musim hujan pada bulan Februari sampai April dan pada musim kemarau pada bulan Juli sampai dengan September. Pola tanam ini biasanya relatif seragam, hal ini di sebabkan sebelum petani melakukan penanaman, petani melakukan pertemuan rutin kelompok sebelum tanam. Jenis komoditas yang akan ditumpangsarikan dengan komoditas bawang merah biasanya tidak ada aturan
artinya petani bebas
melakukan tumpangsari dengan jenis tanaman apapun. Beberapa jenis komoditas tumpangsari yang biasa ditanam petani antara lain; cabe merah, kacang tanah, kedelai, dan kacang panjang. Pola pergiliran tanaman ini dimaksudkan selain untuk menyesuaikan pola tanam dengan intensitas curah hujan, juga dimaksudkan untuk
menekan
perkembangan
hama
penyakit
tanaman,
mempermudah
54
penanganan selama musim tanam dan masa panen. Pola tanam yang biasa dilakukan petani Srigading adalah sebagai berikut:
Bulan Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agust Sept
Okt
Padi Bawang Merah Cabe Merah Bawang Merah
: : : :
Penanaman padi Penanaman bawang merah Penanaman Cabai merah Persemaian padi
Gambar 5 Pola penanaman petani bawang merah di Kecamatan Sanden Tahun 2009 Pembibitan Penanaman bawang merah di Desa Srigading menggunakan beberapa varietas yang sudah sejak lama ditanam oleh petani setempat seperti varietas lokal tiron yang ditanam pada musim kemarau dan pada musim penghujan petani biasa menanam varietas lokal biru. Varietas Tiron merupakan jenis bawang merah lokal yang sudah lama ditemukan dan dikembangkan di daerah ini. Penemu varietas ini adalah bapak Pawiro Sumarto alias pak Tiron. Varietas ini telah dilakukan penangkaran oleh petani. Setelah dilakukan berbagai uji, varietas ini diangkat menjadi Varietas Unggul Nasional oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia dengan Surat Keputusan nomor; 498/Kpts/TP./240/2002. yang dikeluarkan pada bulan Agustus 2002. Bibit yang diperlukan untuk penanaman dengan luasan satu hektar biasanya membutuhkan 800-1000 kilogram. Bibit yang akan ditanam harus sudah disimpan (mengalami masa dormansi) minimal lima sampai enam bulan,
55
sedangkan bibit yang baru disimpan satu sampai dua bulan perlu di “teres” pada ujung kurang lebih satu per tiga bagian. Benih yang digunakan oleh petani di Desa Srigading ini seluruhnya adalah benih bawang anorganik yang diproduksi sendiri dan sebagian membeli di pasar. Pemilihan benih anorganik ini pada dasarnya karena tidak adanya pilihan petani untuk menanam benih yang organik karena petani belum mampu memproduksi benih bawang organik sendiri. Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat aplikasi benih organik oleh petani adalah sebagai berikut: Tabel 9 Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat aplikasi benih organik di Desa Srigading Tahun 2010 Tingkat Aplikasi Benih Organik Sangat Tinggi (> 75 persen) Tinggi (51-75 persen) Sedang(25-50 persen) Rendah(< 25 persen) Total
Jumlah Petani 0 0 0 30 30
Persentase Petani (%) 0,0 0,0 0,0 100,0 100,0
Pengolahan tanah yang akan ditanam, terlebih dahulu dibuat bedengan dengan panjang disesuaikan dengan petakan lahan, sedangkan lebar bedengan adalah sekitar 120 sentimeter. Bawang merah merupakan tanaman yang tidak tahan terhadap cekaman air yang rendah dan juga air yang berlebih, sehingga diperlukan got/selokan yang dalam untuk siraman dan inspeksi. Tanah dilakukan penggemburan dengan cara dicacah dan dicampurkan dengan pupuk organik dan organik. Pupuk kandang yang digunakan sebagai pupuk dasar adalah kotoran ternak dengan jumlah 2-3 kilogran per meter persegi. Untuk menambak kesuburan tanah kadang petani melakukan penambahan pupuk anorganik berupa urea, SP 36, KCL, dan ZA sesuai dengan pengalaman petani masing-masing. Pemupukan Pemupukan tanaman bawang merah oleh petani biasanya dilakukan sebanyak dua kali selama musim tanam. Pemupukan yang dilakukan oleh petani masih sangat tergantung pada pupuk sintetis dari luar. Hal ini merupakan salah satu kendala yang biasa dilakukan oleh petani organik.
56
Dalam sistem pertanian organik, ketersediaan hara bagi tanaman bawang harus berasal dari pupuk organik. Padahal dalam pupuk organik tersebut kandungan hara per satuan berat kering bahan, jauh dibawah realis hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik, seperti Urea, TSP dan KCl. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar tanaman (minimum crop requirement) menyebabkan petani memerlukan input dari luar untuk pertumbuhan tanaman dengan baik. Sebagai ilustrasi, untuk menanam bawang merah dalam satu bedengan (row) seluas 1 x 14 meter saja dibutuhkan pupuk organik (kompos) sekitar 25 kilogram untuk 2 kali musim tanam atau setara dengan 25 ton per hektar. Jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk anorganik Urea TSP dan KCl yang hanya membutuhkan total pemupukan sekitar 200 sampai 300 kilogram per hektar. Dampaknya petani merasakan bahwa pemupukan 100 persen secara organik, pertumbuhan tanaman terkesan kurang baik. Selain itu pemupukan dengan menggunakan pupuk kompos juga memerlukan cost yang cukup besar jika petani tidak melakukan integrated farming dengan tenak. Pemanfaatan pupuk organik oleh petani secara umum masih tergantung terhadap pupuk anorganik. Pemanfaatan pupuk organik secara utuh (seratus persen) dirasa petani tidak mampu menyebabkan pertumbuhan tanaman optimal jika dibandingkan dengan menggunakan pupuk anorganik. Tabel 10 Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat aplikasi pemanfaatan pupuk organik di Desa Srigading Tahun 2010 Tingkat Aplikasi Pupuk Organik Sangat Tinggi (> 75 persen) Tinggi (51-75 persen) Sedang(25-50 persen) Rendah(< 25 persen) Total
Jumlah Petani 11 14 4 1 30
Persentase Petani 37,0 47,0 13,0 3,0 100,0
Apabila dikaji berdasarkan data dari Tabel 10 diketahui bahwa pemanfaatan pupuk organik oleh petani dapat dikategorikan cukup tinggi. Sebanyak 84 persen petani sudah mengaplikasikan pupuk organik di atas 50 persen dari total pupuk yang digunakannya. Petani bawang di desa Srigading pada umumnya melakukan kombinasi pemupukan organik dan anorganik yang bersifat
57
komplementer. Pemupukan organik dilakukan pada awal musim tanam untuk meningkatkan kesuburan dan porositas tanah, sedangkan pemupukan dengan anorganik dilakukan pada saat pertumbuhan vegetatif tanaman bawang. Penyiraman dan Penyiangan Tanaman bawang merah merupakan tanaman yang tidak tahan terhadap cekaman air dan juga intensitas cahaya matahari yang tinggi. Intensitas matahari yang tinggi menyebabkan tanaman mudah layu sehingga penyiraman merupakan suatu hal yang penting. Tanaman yang baru ditanam sampai dengan tanaman berumur 35 hari memerlukan penyiraman sebanyak dua kali sehari, namun jika tanaman sudah dewasa 35 sampai 45 hari penyiraman cukup satu kali sehari di waktu sore. Tanaman yang mendekati masa panen tidak dilakukan penyiraman, karena dapat menyebabkan umbi bawang busuk dan mudah terkena jamur. Untuk penyiangan tanaman sangat tergantung pada kondisi lahan. Jika gulma telah banyak dan mengganggu tanaman bawang bisa dilakukan penyiangan. Pengendalian Hama Penyakit Tanaman bawang merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat peka terhadap serangan hama penyakit. Pada umumnya pengendalian pada petani bawang di daearah lain pengendalaian hama penyakit sangat intensif dengan mengunakan sistem kalender, hal ini didukung oleh penelitian Sulistiyono (2002) yang mengungkapkan bahwa intensitas penyemprotan tanaman bawang merah yang dilakukan oleh petani dikategorikan tinggi, dengan rata-rata 18,93 kali per tanam. Artinya penyemprotan dilakukan oleh petani pada kisaran 2 sampai 3 hari sekali penyemprotan. Hama yang umum penyerang tanaman bawang adalah ulat yang menyerang daun bawang. Selain itu ulat tanah juga menjadi ancaman bagi pertumbuhan akar bawang.
Penyakit yang sering menyerang tanaman petani
adalah penyakit totol yang disebabkan oleh jenis jamur Alternaria parii. Usaha tani yang dilakukan oleh petani di desa Srigading ini masih tergantung terhdap pestisida kimiawi, namun sebagian telah memperhatikan aspek-aspek pertanian berkelanjutan. Kegiatan usaha tani ini dapat dilihat dari adanya penggunaan sumberdaya lokal yang ramah lingkungan seperti pengendalian hama penyakit dengan pemanfaatan ekstrak daun besi, air ekstrak tembakau sebagai
58
pestisida. Secara mekanis petani juga telah mengunakan perangkap untuk mengurangi populasi hama tanaman, sedangkan sebagai langkah prepentif serangan hama, sebagian kecil petani menanam tanaman kenikir di sekeliling lahan pertaniannya. Tingkat aplikasi pengendalian hama penyakit secara terpadu oleh petani adalah sebagai berikut; Tabel 11 Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat aplikasi pengendalian hama terpadu di Desa Srigading Tahun 2010 Tingkat Aplikasi Pengendalian hama Terpadu Tinggi
Jumlah Petani
Persentase Petani
4
13,0
Sedang
9
30,0
Rendah Total
17 30
57,0 100,0
Pada Tabel 11 diketahui bahwa pengendalian hama penyakit oleh petani masih sangat tergantung oleh pestisida. Sebanyak 57 persen petani masih tergolong rendah di dalam pemanfaatan sumberdaya lokal untuk mengendalikan hama penyakit yang menyerang tanaman bawang merah mereka. Ketergantungan petani akan pestisida disebabkan kebiasaan petani yang turun-temurun memanfaatkan pestisida jika tanaman terserang hama penyakit. Pemanenan Pemanenan bawang merah untuk dijadikan bibit biasanya dilakukan petani pada umur 60-70 hari setelah tanam, sedangkan untuk keperluan konsumsi pemanenan dilakukan pada 55-60 hari setelah tanam. Pemanenan dilakukan dengan mencabut tanaman kemudian dijemur dengan daunnya selama kurang lebih 3-4 hari. Biasanya petani melakukan penguntingan pengikatan beberapa tanaman menjadi satu yang dimaksudkan untuk mempermudah didalam penggantungan di para-para untuk penyimpanan. Penguntingan ini biasanya berkisar antara satu sampai dua kilo per unting. Pemanenan dan penanganan pascapanen ini biasanya dilakukan oleh petani secara keseluruhan tidak menggunakan bahan-bahan anorganik. Kegiatan pemanenan dan pascapanen
59
umum dilakukan secara mekanis dan manual yang biasa dilakukan oleh ibu rumah tangga. Resume Praktek usaha tani yang dilakukan oleh petani di Desa Srigading secara umum tidak ada yang telah menerapkan pertanian organik murni (pure organik), akan tetapi mulai mengalami pergeseran-pergeseran dari pertanian heavy input menuju pertanian yang mengedepankan pemanfaatan sumber daya lokal yang ada. Pergeseran-pergeseran penggunaan saprodi dan praktek usaha tani bawang merah ini sudah mulai tampak mulai dari persiapan penanaman sampai pemanenan. Praktek penanaman polikultur dan rotasi tanaman sudah mulai dilakukan oleh petani dalam rangkan menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Petani telah melakukan pola rotasi penanaman dengan melakukan pergantian komoditas, dengan pola: padi – bawang – cabe merah – bawang – padi. Selain itu petani setempat telah melakukan sistem penanaman polikultur antara bawang merah, cabe merah, dan kacang tanah. Penggunaan bibit pada penanaman bawang merah di Desa Srigading menggunakan beberapa varietas yang sudah sejak lama ditanam oleh petani setempat seperti varietas lokal
tiron yang diproduksi sendiri. Bibit yang
diperlukan untuk penanaman dengan luasan satu hektar biasanya membutuhkan 800-1000 kilogram. Pemanfaatan pupuk organik secara utuh (seratus persen) dirasa petani tidak mampu menyebabkan pertumbuhan tanaman optimal jika dibandingkan dengan menggunakan pupuk anorganik, hal ini di sebabkan pemahaman petani yang kurang dalam melakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk organik. Namun secara umum penggunaan pupuk organik sudal relatif tinggi, hal ini dapat dilihat dari 84 persen petani telah menggunakan pupuk organik di atas 50 persen. Pengendalian hama penyakit tanaman bawang yang dilakukan oleh petani masih sangat tergantung dari pestisida kimiawi. Dari hasil analisis data diketahui bahwa sekitar 57 persen petani masih sangat rendah dalam pemanfaatan
60
sumberdaya lokal (pengendalian hayati) untuk mengendalikan serangan hama dilahan pertaniannya. Pemanenan dan penanganan pascapanen yang dilakukan oleh petani secara keseluruhan tidak menggunakan bahan-bahan anorganik. Kegiatan pemanenan dan pascapanen umum dilakukan secara mekanis dan manual yang biasa dilakukan oleh ibu rumah tangga. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perilaku Budidaya Pertanian Organik Bawang Merah Perilaku Komunikasi Petani Perilaku komunikasi pada dasarnya berorientasi pada tujuan dalam arti perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi dengan keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Motivasi petani didalam memperoleh informasi tentang budidaya pertanian yang berkelanjutan, pada dasarnya adalah untuk memperoleh pendapatan yang lebih layak, serta untuk meghindari dari adanya degradasi lahan pertanian akibat dari pemanfaatan input sintetis yang berlebihan. Informasi-informasi
yang
diperoleh
petani
tentunya
tidaklah
langsung
diaplikasikan di lapangan. Pada umumnya petani melakukan pertimbangan dan perbandingan dengan pengalaman usaha tani yang selama ini dilakukan. Adapun perilaku komunikasi yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi dari berbagai sumber dalam pemenuhan kebutuhan informasi pertanian organik. Rogers (1993) mengungkapkan ada tiga peubah perilaku komunikasi yang sudah teruji secara empiris signifikan yaitu pencarian informasi, kontak dengan penyuluh dan keterdedahan pada media massa. Peubah pertama yaitu pencarian informasi masih perlu didampingi dengan penyampaian
informasi,
sesuai dengan model transaksional yang bersifat saling menerima dan memberi informasi secara bergantian. a. Keterdedahan Media Media massa adalah saluran komunikasi yang bersifat universal, mampu menyajikan informasi yang aktual dan langsung menyentuh kebutuhan
61
masyarakat. Berbagai informasi dapat diperoleh melalui media massa baik yang bersifat umum ataupun khusus, penyajiannya yang didukung visualisasi yang menarik, sehingga media massa merupakan salah satu saluran komunikasi massa yang efektif dalam penyampaian informasi pertanian organik, hal ini dikarenakan media massa relatif mampu menembus ruang dan waktu menjangkau khalayak yang banyak dalam satuan waktu yang relatif singkat. Keterdedahan media massa yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tingkat kualitas dan kuatitas akses petani
terhadap
media
massa
yang
meliputi
kekerapan
responden
melihat/menonton televisi, mendengarkan radio, membaca surat kabar, dan media lainnya. Media yang umumnya dapat diakses oleh petani sebagian besar adalah media massa cetak dan elektronik seperti surat kabar, radio dan televisi. Tabel 12 Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat akses petani terhadap media massa di Desa Srigading Tahun 2010 No Tingkat akses Petani
Jumlah
Persentase
1
Tinggi(> 10 kali / bulan)
4
13,3
2
Sedang (5-10 kali / bulan)
2
6,7
3
Rendah (1- 5 kali/bulan)
11
36,7
4
Sangat rendah (Tidak mengakses media massa)
13
43,3
30
100,00
Total
Berdasarkan dari analisis data di lapangan akses petani terhadap informasi pertanian organik melalui media massa relatif rendah yaitu sebanyak 80 persen, bahkan sebagian besar petani yaitu sebesar 43,33 persen petani tidak pernah mendapatkan informasi pertanian organik dari media massa. Rendahnya akses petani terhadap informasi pertanian organik melalui media massa disebabkan beberapa faktor, antara lain; (1). Kurangnya informasi pertanian organik yang di muat di media massa, (2). Petani kurang memiliki waktu yang cukup untuk mengakses media massa, terlebih media elektonik yang penayangannya di saat petani masih bekerja, (3). Rendahnya minat petani untuk mengakses media massa. Media massa yang biasa diakses oleh petani dalam memperoleh media massa relatif beragam. Beberapa media massa cetak yang biasa diakses petani adalah surat kabar, tabloid, dan majalah, sedangkan media elektronik yang biasa
62
diakses petani antara lain radio dan televisi. Selain itu ada beberapa jenis media lain yang yang diakses petani dalam memperoleh informasi pertanian organik, yaitu, brosur, leaflet, dan internet. Tabel 13 Pemanfaatan media massa oleh sampel petani bawang merah di Desa Srigading Tahun 2010 No.
Jenis Media
1 2 3 4 5
Koran dan Tabloid Majalah Brosur, leaflet. Televisi,Radio, Internet
Jumlah (orang) 15 5 1 15 1
Apabila dikaji berdasarkan data dari Tabel 13 diketahui bahwa Pemanfaatan media massa oleh petani sebagian besar adalah surat kabar dan tabloid. Surat kabar lokal yang biasa diakses oleh petani dalam memperoleh informasi seputar pertanian organik antara lain adalah Kedaulatan Rakyat dan tabloid Sinar Tani yaitu sebesar 50 persen petani Media massa lain yang juga sering diakses petani adalah televisi dan radio, sebanyak 50 persen petani mendapatkan informasi pertanian organik dari televisi selain dari media-media cetak tainnya. Program televisi yang biasa di akses petani terutama TVRI Stasiun Jogjakarta dan RRI, sedangkan media massa yang paling sedikit diakses petani adalah media massa internet dan brosur/leaflet yaitu masing-masing hanya sebesar 3,33 persen. b. Interaksi interpersonal Menurut Rogers (1993), Seseorang akan lebih cepat mengadopsi inovasi, apabila ia lebih banyak melakukan kontak komunikasi interpersonal dengan agen pembaharu dan tokoh masyarakat. Meningkatnya pengaruh pada seseorang untuk mengadopsi atau menolak inovasi merupakan hasil interaksinya dalam jaringan komunikasi dengan individu lain yang dianggap dekat serta memiliki pengaruh terhadap dirinya.
63
Tabel. 14 Jumlah dan persentase petani berdasarkan interaksi interpersonal dengan penyuluh, LSM, dosen, peneliti dan pihak terkait di Desa Srigading Tahun 2010 No
Tingkat akses Petani
Jumlah Persentase
1
Tinggi(> 10 kali/bulan)
2
6,7
2
Sedang (5-10 kali/bulan)
11
36,7
3
Rendah (< 5 kali/bulan)
14
46,7
4
Sangat rendah (Tidak berinteraksi)
3
10,0
30
100,00
Total
Upaya mendapatkan berbagai informasi pertanian seputar usaha tani mereka, petani biasanya melakukan interaksi interpersonal dengan berbagai pihak. Tingkat komunikasi interpersonal yang dilakukan petani di Desa Srigading secara umum sebagian besar petani memiliki interaksi interpersonal yang rendah dan sedang. Hanya sebagian kecil dari petani yang memiliki interaksi yang intensif dengan pikah-pihak terkait dalam rangka memperoleh informasi budidaya pertanian organik. Komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh petani dalam rangka memperoleh informasi pertanian organik antara lain dengan penyuluh pertanian (PPL) Kecamatan Sanden, peneliti, dan dosen yang sering melakukan penelitian di daerah pesisir selatan, LSM, dan juga petugas dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul. Tabel 15 Jumlah dan persentase petani berdasarkan interaksi interpersonal untuk hmemperoleh informasi pertanian organik di Desa Srigading Tahun 2010 No.
Jenis Interaksi
1 2 3
Interaksi dengan penyuluh Interaksi dengan peneliti/dosen Interaksi dengan pihak instansi lainnya
Jumlah (orang) 27 13 19
Apabila dikaji berdasarkan data dari Tabel 15 diketahui bahwa komunikasi yang biasa dilakukan oleh petani sebagian besar adalah komunikasi dengan penyuluh. Hampir semua petani melakukan interaksi dengan penyuluh PPL terutama ketika peyuluh melakukan kunjungan lapangan dan juga pertemuan rutin
64
dengan penyuluh. Selain dengan melakukan komunikasi dengan penyuluh sebagian dari petani juga melakukan interaksi dengan pihak lain seperti dosen, peneliti, dan juga petugas dari dinas pertanian yang sering melakukan penelitian, pengkajian, dan kunjungan ke lokasi usaha tani bawang merah. c. Interaksi antar kelompok petani Dalam menyebarkan dan mendapatkan informasi pertanian, petani sering melakukan interaksi di antara mereka baik untuk membicarakan setiap kegiatan usaha tani mereka ataupun teknologi inovasi yang disampaikan oleh pihak-pihak tertentu. Tabel. 16 Jumlah dan persentase petani tingkat interaksi antar kelompok di Desa Srigading Tahun 2010 No
Tingkat akses Petani dengan kelompok
Jumlah
Persentase
1
Tinggi(> 10 kali/bulan)
10
33,3
2
Sedang (5-10 kali/bulan)
9
30,0
3
Rendah (< 5 kali/bulan)
10
33,3
4
Sangat rendah (Tidak berinteraksi)
1
3,3
30
100,0
Total
Tingkat komunikasi yang dilakukan antar petani secara umum relatif merata dan dapat diketegorikan sedang, hal ini dapat dilihat dari persentase petani yang yang memiliki interaksi tinggi, sedang, dan rendah pada kisaran 30 persen, dan hanya sedikit atau sekitar tiga persen saja petani yang tidak melakukan interkasi dengan petani lain. Komunikasi yang terjadi antar petani tidak hanya terjadi antar kelompok tani tetapi juga dengan anggota kelompok tani yang lain. Interaksi dengan anggota kelompok lain secara formal dapat terjadi pada saat pertemuan seluruh anggota gapoktan Desa Srigading. Komunikasi yang dilakukan oleh kelompok tani di Desa Sriganing ini relatif baik. Interaksi yang dilakukakan selain pada pertemuam rutin petani juga sering berinteraksi di luar pertemuan baik di lahan atau pun pertemuan insidensial lainnya. Kelompok tani yang ada dapat berjalan dengan baik karena adanya kesadaran diri petani akan arti penting komunikasi antar kelompok. Kelompok tani yang ada di desa ini ada sebanyak 13 kelompok yang tergabung dalam
65
Gapoktan Desa Srigading. Hari pertemuan dan data kelompok tani secara umum yang ada di Desa Srigading adalah sebagai berikut: Tabel. 17 Alamat, ketua kelompok, luas lahan, dan hari pertemuan kelompok mpetani di Desa Srigading Tahun 2010 No
Nama Kelompok
. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Ngudi Makmur Sido Rukun Tani Maju Tinggen Bonggalan Mugi Makmur Ngudi Rejeki Akrab Wirosutan Srabahan Tani manunggal Sangkeh Malangan
Sumber :
Alamat Gedongan Ceme Celep Tinggen Bonggalan Kali jurang Ngunan Unan Wuluhadeg Wirosutan Srabahan Gokerten Sangkeh Malangan
Ketua Suwarjito Jamat Suharta Suwarno Baryanto Sugiyanto Jabari Yatiman Broto S. Sugito Estu D. S Rukito Bagyo
Luas(ha) 10,0 7,0 7,5 8,0 8,0 17,0 12,0 15,0 10,0 11,0 12,3 17,0 18,0
Hari pertemuan Minggu Legi Insidentil Selasa Legi Jumat legi Setiap tanggal 1 Rabu pon Insidentil Insidentil Kamis Wage Jumat kliwon Jumat kliwon Sabtu pahing
Kantor Kecamatan Sanden 2009
Hubungan Perilaku Komunikasi Terhadap Praktek Usaha Pertanian Organik Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan nyata antara perilaku komunikasi petani dalam mencari informasi pertanian organik terhadap penerapan petani dalam praktek pertanian organik. Untuk mengetahui tingkat hubungan antara kedua variabel tersebut, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji korelasi tau Kendal pada taraf
alfa 0,10 dengan program SPSS 16.0 for
windows. Hasil penelitian hubungan antara perilaku komunikasi petani dengan penerapan petani di dalam usaha tani bawang merah menunjukkan bahwa sebagian besar peubah perilaku komunikasi berhubungan positif terhadap praktek usaha tani bawang merah.
66
Tabel. 18 Hubungan antara peubah praktek usaha tani organik dengan nbbbpeubah perilaku komunikasi pada petani bawang merah di Desa gjgjgSrigading Praktek usahatani Perilaku Komunikasi Keterdedahan media
Adopsi pupuk organik Koef. Korelasi 0,283*
Interaksi interpersonal Interaksi dalam kelompok
Sig.
PHT
0,064
Koef. Korelasi 0,164
Sig. 0,293
0,361*
0,016
0,281*
0,065
0,173
0,254
0,274*
0,075
*terdapat hubungan nyata pada p < 0,10
Tabel 18 menunjukkan bahwa hubungan antara peubah keterdedahan media massa dan interaksi interpersonal petani dengan adopsi pupuk organik memiliki hubungan yang nyata. Semakin tinggi akses media
dan interaksi
interpersonal yang dilakukan petani memiliki korelasi terhadap tingginya adopsi pupuk. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa peubah keterdedahan petani terhadap media massa memiliki korelasi yang nyata terhadap praktek usaha tani bawang merah organik petani. Petani yang memiliki akses terhadap media massa yang tinggi cenderung tingkat adopsinya terhadap pupuk organik lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani yang akses terhadap media rendah. Petani yang memiliki akses yang tinggi terhadap media cenderung memiliki persepsi yang positif terhadap penggunaan pupuk organik. Jika dilihat secara keseluruhan petani, tingkat keterdedahan petani terhadap media massa relatif rendah. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya keterdedahan media oleh petani adalah masih rendahnya tingkat akses petani terhadap media massa yang disebabkan oleh masih rendahnya minat baca petani akan mengakses informasi pertanian. Pendapatan petani yang rendah juga menyebabkan mereka enggan untuk mencari informasi melalui media massa karena harus menambah beban ekonomi petani. Petani dengan pendapatan rendah cenderung memperoleh informasi dari sesama petani sendiri. Rendahnya tingkat akses petani terhadap media massa ini dapat diketahui pada Tabel 14.
Petani
tidak memiliki banyak waktu luang untuk mengakses informasi lebih banyak
67
karena sebagian besar petani memanfaatkan waktunya untuk menambah penghasilan petani dengan usaha di luar usaha tani (off farm) seperti berdagang ke kota. Media massa sendiri sebagian besar
sangat sedikit yang menyajikan
informasi-informasi seputar dunia pertanian, terlebih pertanian organik. Media massa baik cetak maupun elekronik melakukan penayangan informasi pertanian cenderung hanya sebagai pelengkap pada kolom yang kecil ataupun waktu penayangan yang relatif singkat. Surat kabar harian lokal Kedaulatan Rakyat misalnya hanya menyajikan informasi pertanian menempatkan satu kolom khusus satu kali dalam satu minggu yaitu setiap hari jumat, sementara itu media-media cetak lain sangat jarang menampilkan artikel/kolom dunia pertanian secara rutin. Semua media massa ada, hanya sebagian kecil media massa yang betul-betul menyajikan informasi pertanian secara lengkap, namun pada umumnya memang merupakan tabloid ataupun majalah pertanian, seperti tabloid Sinar Tani, Majalah Trubus, dan TVRI Stasiun Yogyakarta. Hubungan antara peubah komunikasi interpersonal petani dengan LSM, dosen/peneliti terhadap praktek usaha tani memiliki korelasi yang positif dan signifikan terhadap peubah penerapan pupuk organik. Koefisien korelasi antara peubah komunikasi interpersonal dengan penerapan pupuk oganik ini adalah 0,361, artinya tingkat penerapan pupuk organik oleh petani ini dipengaruhi oleh komunikasi interpersonal yang dilakukan dengan LSM, dosen/peneliti relatif tidak terlalu besar. Hubungan antar variabel dikatakan sempurna jika koefisiennya adalah satu. Adanya hubungan atau korelasi yang nyata antara peubah komunikasi interpersonal petani dengan praktek pemanfaatan pupuk organik ini menunjukan bahwa tingginya efektivitas komunikasi yang terjadi antar petani dan stakeholder terkait. Tingginya efektifitas komunikasi ini tentunya sebagai dampak dari kepercayaan petani yang tinggi kepada stakeolder terkait (seperti penyuluh, dosen, dan peneliti) ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: a. Pihak stakeholder dalam hal ini (penyuluh, peneliti, dan dosen) memiliki kapasitas dalam bidang pertanian organik ini,
68
b. Pihak stakeholder dalam hal ini (penyuluh, peneliti, dan dosen) ini selain melakukan penyuluhan kepada petani, mereka juga secara bersama-sama melakukan praktek langsung di lahan percontohan yang mudah diamati oleh petani, c. Adanya ikatan emosional antar petani dan pihak stakeholder dalam hal ini (penyuluh, peneliti, dan dosen) ini, sehingga gap yang ada dapat diminimalisir. Hasil penelitian Pambudi (1999) juga mengungkapkan hal yang sama, beberapa faktor yang memiliki hubungan yang kuat terhadap perilaku komunikasi petenak di menerapkan wirausaha ternaknya. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah partisipasi sosial dengan kontak sesama peternak,
kontak dengan
penyuluh, kontak dengan media massa dan kontak dengan kelompok. Daerah Desa Srigading merupakan daerah pesisir pantai selatan dengan kesuburan tanah yang rendah namun memiliki iklim kering dengan intensitas sinar matahari yang tinggi dan maksimal sehingga cocok untuk dikembangkan budidaya bawang merah. Kondisi lahan ini menyebabkan banyak LSM, peneliti dari BPTP Yogyakarta dan UGM melakukan riset untuk mengoptimalkan fungsi lahan pertanian dengan meningkatkan kesuburan lahan pertanian. Beberapa realisasi dari kegiatan ini adalah pemanfaatan pupuk organik besar-besaran pada lahan pasir dan juga inovasi sumur renteng. Interaksi yang dilakukan petani ini dan juga kenampakan morfologi tanaman yang tumbuh relatif baik menyebabkan sebagian petani cenderung untuk mengadopsi cara-cara yang dilakukan oleh LSM, dosen/peneliti yang telah terbukti mampu meningkatkan produksi. Untuk pengendalian hama penyakit tanaman, sebagian besar petani masih tetap menggunakan pestisida kimia dan juga dengan melakukan kombinasi cara lain (integrated pest management). Tidak adanya korelasi terhadap pengendalian hama penyakit tanaman ini selain disebabkan oleh petani masih mempertahankan caracara yang lama, juga disebabkan oleh kurangnya sosilalisasi oleh dosen/peneliti itu sendiri tentang cara pengendalian HPT yang benar. Pada Tabel 18 menunjukkan untuk korelasi antara komunikasi antar petani tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan praktek usaha tani (nilai r lebih besar dari 0,05). Faktor yang menyebabkan tidak adanya hubungan kedua peubah
69
ini adalah pada petani itu sendiri sebagian masih mempertahankan cara-cara budidaya yang lama dan baru mencoba-coba hal yang baru. Interaksi yang dilakukan cenderung hanya sebatas pertukaran informasi selain itu juga pengetahuan petani yang masih rendah tentang pertanian organik. Komunikasi yang terjadi antar kelompok tani tidak menyebabkan adanya perubahan perilaku petani di dalam budidaya tanaman bawang merah organik. Komunikasi yang terjadi pada petani ini cenderung menguatkan status quo dan mempertahankan cara-cara yang telah lama bertahan di masyarakat. Adapun penyebabnya adalah pemahaman petani itu sendiri masih sangat rendah tentang berbagai aspek budidaya secara organik. Hubungan antara keterdedadahan media dan praktek budidaya pertanian organik, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang di ajukan (H1) diterima.
Resume Perilaku komunikasi yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah segala aktivitas petani yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi dari berbagai sumber dalam pemenuhan kebutuhan informasi pertanian organik. Tiga peubah perilaku komunikasi yang diuji pada penelitian ini antara lain; keterdedahan terhadap media massa, komunikasi interpersonal, interaksi antar kelompok. Aktivitas petani dalam mencari informasi pertanian organik melalui media massa relatif. Petani yang mengakses media massa sekitar 80 persen responden dikategorikan rendah yaitu hanya mengakses media kurang dari lima kali selama satu bulan. Untuk aktivitas petani dalam pencarian informasi dengan interaksi interpersonal dengan penyuluh, LSM, dosen, dan peneliti dikategorikan sedang, yaitu petani melakukan kontak interpersonal antara lima sampai sepuluh kali sebulan. Komunikasi interpersonal yang paling sering dilakukan oleh petani yaitu interaksi dengan penyuluh. Aktifitas memperoleh informasi seputar usaha pertanian organik, petani lebih banyak menanyakan hal tersebut kepada penyuluh, peneliti yang melakukan riset pada daerah tersebut. Aktivitas petani dalam mencari informasi pertanian melalui inteaksi interpersonal dapat dikategorikan relatif tinggi yaitu sebesar 63 persen responden melakukan interaksi antar petani
70
lebih dari lima kali sampai sepuluh kali setiap bulan. Namun inteaksi ini tidak banyak membicarakan tentang pertanian organik karena pemahaman petani sendiri yang masih rendah. Variabel perilaku komunikasi secara umum tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap variabel praktek usaha pertanian organik, kecuali pada peubah interaksi interpersonal terhadap peubah adopsi pupuk organik. Beberapa faktor yang menjadi penyebab tidak adanya korelasi antar peubah ini adalah; (1). Rendahnya minat dan keterdedahan petani terhadap media massa, (2). Pengetahuan petani yang masih rendah, menyebabkan interaksi antar petani yang tinggi tidak menyebabkan arus informasi antar betani berjalan dengan baik. Adanya hubungan yang nyata antar peubah interaksi interpersonal terhadap peubah adopsi pupuk organik, disebabkan selain petani mendapatkan informasi secara langsung dari penyuluh, peneliti yang melakukan riset pada daerah tersebut, mereka juga secara langsung dapat melihat dampak positif secara langsung pada lahan pertanian yang diuji cobakan. Hubungan Karakteristik Individu terhadap Praktek Usahatani Bawang Merah Organik Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu terhadap penerapan petani dalam praktek pertanian organik. Untuk mengetahui tingkat hubungan antara kedua variabel tersebut dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji korelasi tau Kendal pada taraf alfa 0,10 dengan program SPSS 16.0 for windows. Tabel 19 Hubungan antara peubah praktek usaha tani organik dengan peubah karakteristik individu di Desa Srigading. Praktek usahatani
Adopsi pupuk organik
PHT
Koef. Korelasi
Sig.
Koef. Korelasi
Sig.
0.389*
0.020
-0,008
0,963
Pendidikan
0,554*
0,001
-0,025
0,884
Pendapatan Luas Lahan
0,358* 0,577*
0,036 0,001
0,327* 0,293*
0,060 0,091
Karakteristik individu Pengalaman
* terdapat hubungan nyata pada p < 0,10
71
Tabel 19 Peubah pengalaman petani yang memiliki hubungan yang nyata adalah terhadap adopsi pupuk organik.
Semakin lama pengalaman petani di
dalam usaha tani memiliki korelasi yang nyata terhadap tingginya pemanfaatan pupuk organik pada lahan pertanian. Sementara petani yang masih baru cenderung memanfatkan pupuk anorganik lebih dominan dalam budidaya pertaniannya. Pada umumnya petani di Desa Srigading telah lama menggunakan pupuk kandang untuk meningkatkan kesuburan tanah pada lahan pertaniannya. Petani yang memiliki pengalaman yang lama sering mendapatkan penjelasan dan pendidikan dari para peneliti ataupun penyuluh tentang manfaat penggunaan pupuk organik secara berkesinambungan. Petani ini dapat merasakan akan manfaat dengan mengaplikasikan pupuk organik. Apabila dikaji berdasarkan data dari Tabel 19 diketahui bahwa peubah tingkat pendidikan petani memiliki korelasi yang nyata terhadap adopsi pupuk organik. Semakin tinggi pendidikan petani menyebabkan semakin besar pula adopsi pupuk organik. Pendidikan pada dasarnya adalah suatu proses kegiatan yang sistemik dan sistematis yang terarah yang menjadikan seseorang mampu berfikir lebih maju dan rasional. Semakin tinggi pendidikan seseorang menyebabkan seseorang mampu berfikir lebih jauh ke depan. Petani yang memiliki pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pandangan yang baik terhadap pemanfaatan bahan organik dalam jangka yang panjang (sustainable farming). Peubah pengalaman petani tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap peubah adopsi pestisida organik, hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansinya lebih besar dari alfa lima persen. Petani yang memiliki pengalaman yang lama tidak menggambarkan penggunaan pestisida organik yang tinggi pula. Banyak pertimbangan petani di dalam memanfaatkan pestisida organik ini, hal ini di sebabkan pengetahuan petani tentang pemanfaatan sumberdaya lokal untuk mengendalikan hama penyakit pada tanaman mereka masih sangat terbatas. Pembuatan formula pestisida dari sumberdaya lokal memerlukan keterampilan dan pengetahuan yang baik karena pembuatannya relatif sulit. Peubah luas lahan dan pendapatan memiliki korelasi yang nyata terhadap terhadap adopsi pengendalian hama secara non kimiawi.
Berdasarkan hasil
72
observasi di lapangan, faktor yang menjadi menyebab adanya korelasi ini adalah lebih karena semakin besarnya luas lahan yang dimiliki semakin tinggi kuantitas inovasi yang dibutuhkan untuk adopsi. Dari penjelasan hubungan antara karakteristik teknologi dan praktek budidaya pertanian organik, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang di ajukan (H2) diterima.
Resume Karakteristik individu yang dilihat pada penelitian ini adalah pendidikan petani, pengalaman, luas lahan, dan tingkat pendapatan. Secara umum pengalaman petani di dalam usaha tani bawang merah dapat dikategorikan cukup lama yaitu dengan rerata pengalaman selama 17 tahun. Luas lahan yang dimiliki petani dikategorikan sempit, dimana rerata lahan kepemilikan petani hanya 0,1 hektar atau 1000 meter persegi. Pendidikan petani pada daerah penelitian ini dapat dikategorikan relatif tinggi yaitu rata-rata adalah tamatan Sekolah Menengah Umum sederajat. Untuk pendapatan petani, petani bawang merah dikategorikan sedang yaitu pada kisaran Rp5.000.000,00 per musim tanam atau sekitar 1,8 juta per bulan. Variabel karakteristik individu yang memiliki hubungan nyata terhadap variabel praktek usaha tani organik adalah pada peubah adopsi pupuk organik. Peubah-peubah
tingkat
pengalaman,
pendidikan,
pendapatan
luas
lahan
berkorelasi lurus terhadap adopsi pupuk organik. Adanya korelasi yang kuat antar peubah ini menunjukan bahwa semakin lama pengalaman bertani, ada kecenderungan tingginya/meningkatnya minat petani untuk mengaplikasikan pupuk organik, demikian pula dengan peubah tingkat pendidikan, luas lahan, dan tingkat pendapatan yang semakin meningkat akan disertai dengan meningkatnya keinginan petani untuk mengaplikasikan pupuk organik. Korelasi antar peubah karakteristik individu terhadap tingkat pengendalian HPT, yang memiliki korelasi yang nyata pada alfa sepuluh persen adalah pada peubah luas lahan dan pendapatan. Faktor-faktor yang menjadi penyebab berkorelasinya kedua peubah ini adalah berbandinglurusnya tingkat adopsi dengan
73
luas lahan, artinya semakin luas lahan tentu akan menyebabkan semakin besar inovasi yang perlu diadopsi. Hubungan Karakteristik Teknologi Terhadap Praktek Usaha Pertanian Organik Bawang Merah Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan nyata antara karakteristik teknologi terhadap penerapan petani dalam praktek pertanian organik. Untuk mengetahui tingkat hubungan antara kedua variabel tersebut dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji korelasi tau Kendal pada taraf alfa 0,10 dengan program SPSS 16.0 far windows. Tabel. 20 Hubungan antara peubah praktek usaha tani organik terhadap karakteristik inovasi di Desa Srigading Praktek usahatani
Adopsi pupuk organik
Karakteristik inovasi Keuntungan relatif Kompatibilitas Kompleksitas Trialabilitas Observabilitas
Koef. Korelasi 0,251 0,243 -0,030 0,236 -0,091
Sig. 0,101 0,108 0,984 0,117 0,554
PHT Koef. korelasi
Sig.
0,450 0,216 -0,029 0,149 0,102
0,774 0,160 0,854 0,329 0,512
Tidak terdapat hubungan nyata pada p < 0,10
Pada Tabel 20 menunjukkan bahwa hubungan antara peubah karakteristik inovasi dengan praktek usaha tani bawang merah organik tidak memiliki hubungan yang nyata. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa peubah keuntungan relatif tidak memiliki korelasi yang nyata terhadap praktek usaha tani bawang merah organik petani, akan tetapi signifikasi dari hasil analisis relatif kecil (mendekati 0,1). Secara umum pandangan petani terhadap pertanian organik relatif baik artinya petani memandang melakukan budidaya bawang merah organik relatif menguntungkan, akan tetapi karena teknologi di dalam budidaya pertanian organik relatif rumit sehingga diperlukan pemahaman dan keterampilan di dalam prakteknya. Lebih lanjut petani juga beranggapan bahwa bertani
100 persen
organik memang menguntungkan, tetapi tidak lebih menguntungkan dari
74
pertanian anorganik. Hasil penelitian Handayani (2007)mengungkapkan bahwa jika dibandingkan dengan pendapatan ekonomi, usaha tani bawang merah konvensional lebih menguntungkan pada analisis pendapatan finansial jika dilihat pada sisi petani. Hal ini disebabkan oleh harga aktual output lebih besar daripada harga bayangannya, yang mengakibatkan penerimaannya lebih besar, serta harga bayangan obat-obatan yang lebih kecil dari harga aktualnya sehingga dapat menurunkan total biaya. Walaupun pendapatan finansial bawang merah konvensional lebih besar dari organik, namun biaya total yang dikeluarkan usaha tani organik organik lebih kecil. Dampak dari rendahnya biaya total yang dikeluarkan, keuntungan (profit) pertanian organik lebih menguntungkan. Hasil penelitian Sudana juga menunjukkan hal yang sama, bahwa pertanian organik
akan menguntungkan jika dilakukan secara intensif dalam
bentuk badan usaha yang lengkap dengan struktur organisasinya serta jelas tugasnya dan dimanajemen dengan baik. Pertanian organik dalam bentuk badan usaha yang lengkap dengan struktur organisasinya ini akan dapat diefisiensikan secara optimal
modal tetap (fixed cost) dan biaya produksi (variabel cost)
sehingga kuantitas dan kualitas produknya terjamin demikian juga kontinuitasnya. Pertanian organik perorangan sebenarnya dapat berkembang baik asalkan modal ditingkatkan sebesar 500 persen guna memenuhi modal tetap (fixed cost) untuk membuat green house, rumah plastik, sumur serta saluran/pipa irigasi serta biaya produksi untuk meningkatkan tenaga kerja dan pembelian bibit unggul. Dengan peningkatan modal tersebut kemungkinan masalah hama dan penyakit berkurang, mutu produksi ,meningkat secara kualitas dan kuantitas serta kontinuitasnya terjamin karena tidak lagi tergantung pada musim. Sementara petani-petani hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga dan modal yang sangat terbatas. Hubungan antara peubah kompatibilitas terhadap praktek usaha tani tidak memiliki hubungan yang nyata. Hasil penelitian (Roswita, 2003) mengungkapkan hal yang sama, hanya sebesar 4 persen petani yang mengungkapkan bahwa inovasi pengendalaian hama secara hayati kompatibel. Petani masih memiliki cara pandang yang lama bahwa penerapan input organik pada tanaman kurang cocok terhadap peningkatan produksi tanaman. Secara umum petani masih berfikir jangka pendek dan instan, penerapan input organik terkesan kurang
75
responsif terhadap pertumbuhan tanaman dan juga dalam mengendalikan serangan hama penyakit tanaman. Petani belum terlalu sadar tentang pentingnya prinsip LEISA yang mengedepankan pemanfaatan bahan organik guna meningkatkan kesuburan, keberlanjutan, kesehatan tanah dan lingkungan. Hubungan antara peubah kompleksitas terhadap praktek usaha tani tidak memiliki hubungan yang nyata, artinya adalah semakin kompleks ataupun semakin sederhananya praktek usaha tani organik tidak memiliki hubungan nyata terhadap tinggi ataupun rendahnya praktek pertanian organik yang dilakukan oleh petani. Pada sisi lain pengolahan yang kurang sempurna menyebabkan dampak yang ditimbulkan kurang optimal. Sebagai contoh, pemanfaatan kotoran ternak dengan pengomposan yang kurang sempurna menyebabkan pertumbuhan tanaman kurang optimal, contoh lain adalah pemanfaatan larutan ekstrak daun tembakau dan daun besi dengan takaran dengan mencoba-coba dan yang kurang tepat menyebabkan pengendalaian hama kurang efektif. Hal serupa hasil penelitian Roswita (2003) menunjukan bahwa dalam praktek usaha tani pertanian organik, petani masih mengalami kesulitan dalam memahami dan menerapkan suatu inovasi karena petani belum terbiasa melakukan hal-hal tersebut. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa peubah trialabilitas tidak memiliki korelasi yang nyata terhadap praktek usaha tani bawang merah organik petani. Hasil penelitian (Roswita, 2003) mengungkapkan hal yang sama dimana tidak ada berbedaan yang nyata tingkat kemudahan antara inovasi pengendalian dengan bahan hayati dan pestisida kimiawi. Faktor-faktor yang menjadi penyebab tidak adanya hubungan yang nyata antar peubah-peubah ini dapat dikategorikan ke dalam dua Faktor, (a) Faktor individu petani, petani memiliki pandangan bahwa penerapan system pertanian yang mengandalkan 100 persen organik tidak memiliki efek yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman, sementara itu petani harus mencari sarana produksi dari membeli di pasar. (2) Faktor sarana produksi itu sendiri yang tidak bisa langsung diterapkan di lahan pertanian, misalnya pemanfaatan kotoran hewan secara langsung di lapangan justru menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat bahkan bisa menyebabkan kematian tanaman bawang.
76
Hasil analisis menunjukkan bahwa peubah observabilitas tidak memiliki korelasi yang nyata terhadap praktek usaha tani bawang merah organik petani. Penelitian (Roswita, 2003) juga mengungkapkan hal yang hanya sebagian kecil yang menyatakan bahwa inovasi dalam budidaya pertanian organik mudah diamati. Penelitian lain yang mengungkapkan hal senada (Juherman, 2009) menyatakan tingkat serangan hama pada sistem budidaya konvensional lebih rendah jika dibandingkan dengan sistem budidaya organik. Pengendalian hama dengan bahan kimia sitetis mampu secara langgung menurunkan populasi hama. Menurut pengakuan petani bahwa di dalam penerapan teknologi-teknologi budidaya pertanian organik penampakannya sangat lama jika dibandingkan dengan teknologi budidaya secara konvensional. Dari penjelasan hubungan antara karakteristik teknologi dan praktek budidaya pertanian organik, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang di ajukan (H3) ditolak. Resume Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan nyata antara karakteristik teknologi terhadap penerapan petani dalam praktek pertanian organik. Karakteristik inovasi yang dimaksudkan pada penelitian ini antara lain: keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, trialabilitas, dan observabilitas. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa variabel karakteristik tidak memiliki korelasi yang kuat dan dikatakan tidak cukup bukti memiliki korelasi terhadap praktek usaha budidaya bawang organik. Tidak berkorelasinya kedua variabel ini disebabkan beberapa faktor, baik faktor dari dalam petani maupun dari luar petani. Secara umum karakteristik sistem pertanian yang mengedepan kan sumberdaya lokal yang bersifat sustainable memiliki karaktesitik yang lambat menunjukan performa pertumbuhan tanaman yang baik. Selain itu melakukan input unsur hara kedalam tanah tidak serta merta dapat dilihat hasilnya dalam jangka waktu yang singkat seperti halnya dalam budidaya pertanian anorganik. Faktor lain yang menyebabkan tidak berkorelasinya kedua variabel ini adalah dibutuhkannya penggunaan bahan organik yang cukup banyak dalam kegiatan budidaya tanaman jika dibandingkan dengan menggunaan bahan-bahan anorganik.
77
Kemandirian Petani dalam Penyediaan Sarana Produksi Pada era globalisasi dengan terbentuknya struktur perdagangan bebas, menuntut
produk-produk
yang
mempunyai
keunggulan
kompetitif
dan
keunggulan komparatif. Menghadapi kondisi ini juga menuntut keisapan petani dalam bersaing supaya dapat meraih keuntungan dan kesempatan tersebut. Namun kenyataan dari hasil penelitian menunjukkan sebagian besar kemandirian petani berada dalam kategori sedang. Maknanya petani kurang mampu bersaing dalam mengembangkan usahataninya (Agusabti 2002). Kemandirian dapat diartikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Kemandirian petani di dalam penyediaan sarana produksi merupakan salah satu bentuk kemampuan petani di dalam bersaing untuk mengembangkan usaha taninya. Kemandirian petani di dalam penyediaan sarana produksi di sini diartikan sebagai kemampuan petani di dalam menyediakan sarana produksi yang meliputi benih, pupuk dan sarana pengendali hama penyakit tanaman tanpa ada ketergantungan dengan fihak-fihak lain. Kemandirian Pupuk Agussabti (2002) mengungkapkan bahwa kemandirian petani sangat tergantung pada keputusan untuk mengadopsi inovasi untuk kemajuan usaha taninya. Petani yang mandiri pada umumnya memilih komoditas dan inovasi yang melekat padanya bersifat lebih kompleks. Petani pada umumunya mampu dan memiliki kemampuan di dalam pengelolaan potensi sumber daya yang mereka miliki, sehingga cenderung relatif lebih aman dan tidak ragu-ragu dalam mengambil suatu keputusan. Kemandirian pupuk yang digunakan oleh petani di Desa Srigading sangat beragam. Pemanfaatan pupuk organik produksi sendiri yang digunakan oleh petani sebagai subtitusi pupuk anorganik dapat meningkatkan kemandirian petani. Pemanfaatan pupuk organik oleh betani juga besifat komplementer, artinya pemanfaatan pupuk organik digunakan untuk meningkatkan Produktivitas tanaman selain dengan mengunakan pupuk anorganik. Tingkat substitusi pupuk organik oleh petani desa Srigading sangat beragam. Tingkat subtitusi pupuk oleh
78
petani
petani
dalam
meningkatkan
produktivitas
tanaman
oleh
petani
selengkapnya pada Tabel di bawah ini. Tabel 21 Jumlah responden berdasarkan tingkat persentase subtitusi pupuk dalam oleh petani di Desa Srigading tahun 2010 Persentase subtitusi pupuk organik SangatTinggi (> 75 persen)
Jumlah responden
Persentase
11
36,67
Tinggi (51-75 persen)
14
46,67
Sedang (26-50 persen)
4
13,33
Rendah (< 25 persen)
1
3,33
Apabila dikaji berdasarkan data dari Tabel 21, tingkat subtitusi pupuk organik terhadap pupuk anorganik di daerah penelitian ini relatif tinggi. Hal ini dapat dilihat dari besarnya angka persentase pemanfaatan pupuk organik untuk mengantikan pupuk anorganik. Namun walau demikian angka pemanfaatan pupuk organik relatif tinggi, tidak berdampak besar terhadap kemandirian petani, justru sebaliknya kemandirian petani dikategorikan masih sangat rendah. Tingkat kemandirian petani akan sarana produksi pupuk ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel dibawah ini. Tabel 22 Jumlah responden berdasarkan tingkat kemandirian dalam penyediaan pupuk oleh petani di Desa Srigading tahun 2010 Tingkat kemandirian pupuk
Jumlah responden
SangatTinggi (> 75 persen)
3
Tinggi (51-75 persen)
2
Sedang (26-50 persen)
6
Rendah (< 25 persen)
19
Tingginya aplikasi pemanfaatan pupuk organik untuk mengantikan pupuk kimia ternyata tidak berkorelasi lurus dengan tingkat kemandirian petani. Pada Tabel 10, diketahui bahwa responden yang menerapkan pupuk organik relatif tinggi yaitu sebesar 84 persen petani mengaplikasikan lebih dari 50 persen pupuk organik dan hanya tiga persen petani yang mengaplikasikan pupuk organik di
79
bawah 25 persen. Apabila dikaji berdasarkan data dari Tabel 22 di atas tingkat kemandirian petani terhadap saranan produksi pupuk
ternyata masih relatif
rendah. Sebanyak 63 persen atau 19 responden masih tergantung terhadap saprodi dari luar. Ketergantungan ini disebabkan oleh petani tidak mampu mempoduksi pupuk organik sendiri karena tidak memiliki bahan baku (baik berupa bahan baku pupuk hijau ataupun pupuk kandang). Petani yang memiliki kemandirian yang tinggi merupakan petani yang melakukan usaha tani secara integratif dimana selain memiliki usaha tani bawang merah petani juga memiliki ternak, sehingga limbah peternakan dapat dimanfaatkan untuk pengganti pupuk anorganik.
Apabila dikaji berdasarkan karakteristik individu petani itu sendiri pada data Tabel 19, menujukan bahwa adanya korelasi antara karakterisitik individu dan praktek usaha pertanian organik, dan berdampak pada tingkat kemandirian petani di dalam penyediaan sarana produksi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek sebab yang melatarbelakanginya. Dilihat dari aspek sebab, petani lebih mandiri jika memiliki luas lahan lebih luas, memiliki tingkat pendidikan lebih baik, pengalaman yang relatif lama, dan pendapatan relatif tinggi. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Agusabti (2002), ciri-ciri petani mandiri antara lain: (1) memiliki lahan yang luas, (2) akses modal lebih besar, (3) tingkat pendidikan lebih baik, (4) mempunyai sarana produksi lebih baik, (5) penguasaan terhadap teknologi dan informasi lebih baik. Apabila dikaji hubungan antara tingkat subtitusi pupuk yang digunakan petani dan tingkat kemandirian petani maka tipologi sebagian besar petani berada pada kategori dengan tingkat subtitusi tinggi namun memiliki kemandirian rendah. Gambaran lengkap ditunjukan pada gambar 5.
80
Gambar 6 Tipologi petani berdasarkan tingkat subtitusi pupuk dan kemandirian hnpupuk Pada gambar 5 menunjukan bahwa secara umum sebagian besar petani terdistribusi pada kuadran II yaitu petani dengan memiliki subtitusi tinggi dan kemandirian rendah. Hal ini menunjukkan bahwa dominasi petani yang ada di Desa Srigading sudah mulai mengaplikasikan pupuk organik pada skala besar (di atas 50 persen) pada lahan pertaniannya. Pada sisi lain petani masih sangat tergantung pada pasokan pupuk dari luar. Petani bawang merah di daerah penelitian ini sebagian besar merupakan petani kecil yang memiliki akses yang rendah terhadap bahan baku pupuk organik, sehingga menyebabkan petani terkooptasi pada sistem pasar dalam pemenuhan pupuknya. Rendahnya akses yang dimiliki oleh petani ini menjadi salah satu penyebab kendala pergeseran praksek usaha tani dari sistem pertanian heavy input menuju sistempertanian yang mengedepankan pemanfatan input lokal. petani yang memiliki subtitusi rendah dan kemandirian rendah (pada kuadran III) hanya sebanyak 16 persen. Secara umum dapat disimpulkan bahwa petani sudah memiliki tingkat subtitusi pupuk yang relatif tinggi.
81
Kemandirian Petani di dalam pengendalian hama penyakit tanaman Kemandirian Petani di dalam pengendalian hama penyakit tanaman di Desa Srigading sangat beragam. Pemanfaatan sumber daya lokal produksi sendiri yang digunakan oleh petani sebagai subtitusi pestisida dapat meningkatkan kemandirian petani. Beberapa jenis sumberdaya lokal yang digunakan oleh petani untuk mengendalikan serangan hama penyakit tanaman bawang antara lain : 1. Penggunaan ekstraksi daun tembakau, daun besi, dan mimba 2. Penggunaan ekstaksi umbi gadung 3. Penanaman pohon kenikir di sekeliling areal lahan pertanian 4. Penggunan perangkap. Kemandirian pestisida yang digunakan oleh petani di Desa Srigading sangat beragam. Pemanfaatan sumberdaya lokal untuk mengurangi serangan hama yang digunakan oleh petani sebagai subtitusi pestisida kimia dapat meningkatkan kemandirian petani. Pemanfaatan sumberdaya lokal oleh petani juga besifat komplementer, artinya pemanfaatannya digunakan untuk mengurang serangan hama tanaman selain dengan mengunakan pestisida kimia. Tingkat substitusi pestisida oleh petani desa Srigading sangat beragam. Tingkat subtitusi pestisida oleh petani petani dalam pengendalian hama penyakit tanaman oleh petani selengkapnya pada Tabel di bawah ini. Tabel 23 Jumlah responden berdasarkan tingkat persentase subtitusi pestisida oleh petani di Desa Srigading tahun 2010 Persentase subtitusi pestisida
Jumlah responden
SangatTinggi (> 75 persen)
0
Tinggi (51-75 persen)
0
Sedang (26-50 persen)
12
Rendah (< 25 persen)
18
Petani pada bawang merah pada daerah ini secara umum sudah banyak memanfaatkan sumberdaya lokal setempat, namun masih dalam skala kecil dan terbatas. Gambaran ini dapat terlihat pada Tabel 11 yang menunjukan bahwa tingkat aplikasi pengendalian hama penyakit tanpa menggunakan pestisida kimia masih dalam kategori sedang dan rendah yaitu sekitar 87 persen responden.
82
Pemanfaatan sumberdaya lokal yang biasa digunakan petani pada umumnya bersifat komplementer, dimana petani memanfaatkan beberapa jenis untuk mengendalikan satu atau beberapa jenis hama penyakit tanaman. Tingkat pemanfaatan sumberdaya lokal ini sangat tergantung dari pemahaman dan pengetahuan petani tentang teknis aplikasi pengendalian hama penyakit. Tingkat kemandirian Petani di dalam pengendalian hama penyakit tanaman di Desa Srigading sangat beragam. Tingkat kemandirian petani dalam pengendalian hama penyakit tanaman selengkapnya dapat dilihat pada Tabel dibawah ini. Tabel 24 Jumlah responden berdasarkan tingkat kemandirian petani dalam pengendalian hama penyakit tanaman di Desa Srigading tahun 2010 Tingkat kemandirian dalam
Jumlah responden
pengendalian HPT SangatTinggi (> 75 persen)
0
Tinggi (51-75 persen)
1
Sedang (26-50 persen)
7
Rendah (< 25 persen)
22
Total
30
Apabila dikaji berdasarkan data dari Tabel 24, kemandirian petani dalam dalam pengendalian hama dan penyakit dapat dikategorikan rendah, artinya petani sebagian telah mampu menggunakan sumber daya lokal untuk menggantikan pestisida yang biasa digunakan oleh petani namun dalam skala kecil dan terbatas. Penerapan pengendalian hama penyakit secara terpadu oleh petani masih dikategorikan rendah, akibatnya
petani juga masih tergantung atau belum
mampu sepenuhnya bebas dari ketergantungan terhadap pestisida. Apabila dikaji hubungan antara tingkat subtitusi pestisida yang digunakan petani dan tingkat kemandirian petani maka tipologi sebagian besar petani berada pada kategori dengan tingkat subtitusi rendah dan memiliki kemandirian rendah. Gambaran lengkap ditunjukan pada gambar 6.
83
Gambar 7 Tipologi petani berdasarkan tingkat subtitusi dan kemandirian pestisida Pada gambar 6 menunjukan bahwa secara umum sebagian besar petani terdistribusi pada kuadran III yaitu petani dengan tingkat subtitusi rendah dan kemandirian rendah. Hal ini menunjukkan bahwa dominasi petani yang ada di Desa Srigading sudah mulai mengaplikasikan pestisida non kimiawi pada skala kecil dan terbatas pada lahan pertaniannya. Pada sisi lain petani masih sangat tergantung pada pasokan pestisida dari luar.
petani yang memiliki subtitusi
rendah dan kemandirian tinggi (pada kuadran IV) hanya sebanyak 3,3 persen. Artinya petani sangat tergantung pada sarana produksi pestisida dari luar.
Hubungan praktek pertanian organik dengan kemandirian petani Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan nyata antara praktek pertanian organik terhadap kemandirian petani akan sarana produksi. Untuk mengetahui tingkat hubungan antara kedua variabel tersebut dilakukan pengujian
84
statistik dengan menggunakan uji korelasi tau Kendal pada taraf alfa 0,10 dengan program SPSS 16.0 far windows. Tabel. 25 Hubungan Peubah Praktek usahatani (Y1) dengan peubah kemandirian gusaha tani (Y2) petani bawang merah di Desa Srigading Praktek usahatani
Kemandirian pupuk Koef. Sig. Korelasi 0,201 0,223
Adopsi Pertanian Organik Adopsi pupuk organik PHT
0.00
1.00
Kemandirian Pestisida Koef. Sig. Korelasi 0.00 1.00 0,682*
0,000
* terdapat hubungan nyata pada p < 0,10
Pada Tabel 25 menunjukkan bahwa hubungan peubah adopsi pupuk organik dengan peubah kemandirian pupuk tidak memiliki hubungan yang nyata. Nilai signifikansi dari uji korelasi menunjukkan yang relatif kecil mendekati angka 0,01, namun demikian korelasi kedua peubah tersebut tidak cukup bukti untuk dikatakan berhubungan pada alfa satu ataupun lima persen. Berdasarkan hasil kajian di lapangan, pada dasarnya petani sudah mulai menerapkan pupuk organik dalam jumlah yang banyak untuk menggantikan (subtitusi) pupuk anorganik, akan tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi kemandirian petani akan sarana produksi pupuk ini. Sebagian besar profesi masyarakat di Desa Srigading ini adalah sebagai petani dan hanya beberapa orang petani saja yang memiliki ternak, akibatnya dalam pemenuhan pupuk organik petani masih sangat tergantung pasokan dari luar. Harga dari pupuk kandang sendiri pada dasarnya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan pupuk kimia, namun kebutuhan pupuk kandang jauh lebih besar dari pupuk kimia, sehingga dari segi ekonomi pengeluaran petani untuk sarana produksi pupuk relatif sama. Tingginya kebutuhan akan pupuk organik yang tidak disertai dengan meningkatnya
kemampuan
petani
untuk
memproduksi
pupuk
sendiri
menyebabkan petani tanpa mereka sadari terkooptasi oleh sistem pasar dalam memperoleh pupuk organik. Pada satu sisi petani membutuhkan sarana produksi, pada sisi lain petani akan selalu terkungkung oleh sistem pasar yang menyediakan sarana produksi (pupuk) ini.
85
Berdasarkan hasil analisis uji korelasi menunjukkan bahwa peubah pengendalian hama penyakit tanaman terpadu memiliki korelasi yang nyata terhadap kemandirian terhadap sarana produksi pestisida non kimiawi. Secara umum petani masih menggunakan pestisida kimia dalam budidaya bawang merah ini, seperti jenis Antracol, Daconil, Marcshall, dan larvin, tetapi pemanfaatan sumberdaya lokal untuk menggatikan pestisida tersebut juga sudah mulai dilakukan kendati masih dalam skala kecil dan terbatas. Baberapa faktor yang menyebabkan petani menjadi mandiri dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman antara lain tingginya harga jual pestisida kimia menyebabkan petani melakukan subtitusi pestisida nonkimiawi. Selain itu tidak tersedianya pestisida nonkimiawi dipasaran, menyebabkan petani membuat dan meracik sendiri guna menekan serangan hama yang merugikan. Kemampuan meracik dan memproduksi pestisida nonkimiawi/hayati ini memerlukan suatu pengetahuan dan pemahaman sendiri akibatnya relatif sedikit petani yang mampu melakukannya. Beberapa jenis bahan-bahan organik yang biasa digunakan petani antara lain; 1. Melakukan penanaman tanaman kenikir di sekeliling lahan pertanian, 2. Memanfaatakan ekstrak daun besi, mimba, dan tembakau. 3. Membuat alat perangkap mekanis sederhana. Jenis-jenis bahan-bahan organik yang biasa digunakan oleh petani ini merupakan sumber daya lokal yang mudah dijumpai di sekitar pemukiman penduduk.Pemanfaatan sumberdaya lokal yang dilakukan petani pada dasarnya tidak mampu mengendalikan serangan hama penyakit tanaman secara cepat jika dibandingkan dengan pestisida kimia, akan tetapi pemanfaatan sumber daya lokal ini dirasakan oleh petani dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia. Pengurangan
pemanfaatan
pestisida
kimia
memiliki
dampak
terhadap
berkurangnya biaya yang perlu dkeluarkan oleh petani. Hubungan antara adopsi budidaya pertanian organik petani dan tingkat kemandirian, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan (H4) diterima.
86
Resume Kemandirian petani di dalam penyediaan sarana produksi di sini diartikan sebagai kemampuan petani didalam menyediakan sarana produksi yang meliputi pupuk dan sarana pengendali hama penyakit tanaman tanpa ada ketergantungan dengan fihak-fihak lain. Dengan melakukan praktek usaha tani yang ramah lingkungan yang mengedepankan pemanfaatan sumberdaya lokal diharapkan kemandirian petani dapat meningkat. Dari Hasil analisis, diketahui bahwa praktek usahatani oleh dengan pemanfaatan pupuk organik ternyata tidak memiliki korelasi yang singnifikan. Faktor yang menjadi penyebab tidak berpengaruhnya terhadap kemandirian ini adalah sebagian besar profesi masyarakat di Desa Srigading ini adalah sebagai petani dan hanya beberapa orang petani saja yang memiliki ternak, akibatnya dalam pemenuhan pupuk organik petani masih sangat tergantung pasokan dari luar. Tingginya kebutuhan akan pupuk organik yang tidak disertai dengan meningkatnya
kemampuan
petani
untuk
memproduksi
pupuk
sendiri
menyebabkan petani tanpa mereka sadari terkooptasi oleh sistem pasar dalam memperoleh pupuk organik. Pengendalian
hama
penyakit
oleh
petani
dengan
memanfaatkan
sumberdaya lokal secara umum masi rendah. Namun peubah tingkat pengendalian hama terpadu dengan pemanfaatan bahan-bahan organik ternyata memiliki korelasi yang nyata terhadap kemandirian petani di dalam pengendalian HPT pada lahan pertanian mereka. Faktor-faktor yang menjadi penyebab berpengaruhnya terhadap kemandirian ini adalah dengan pemanfaatan sumberdaya lokal untuk pengendalian HPT ternyata mampu mengurangi serangan hama secara signifikan. Hal ini tentu menyebabkan penggunaan pestisida kimiawi dapat dikurangi. Selain itu harga pestisida kimiawi di pasaran yang relatif tinggi, menyebabkan petani cenderung mencari alternatif pilihan. Faktor lain yang menjadi penyebab berpengaruhnya terhadap kemandirian ini adalah
tidak tersedianya pestisida
nonkimiawi dipasaran, menyebabkan petani membuat dan meracik sendiri guna menekan serangan hama yang merugikan.
87
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Sistem usaha tani yang dilakukan oleh petani sudah terjadi pergeseranpergeseran menuju ke sistem pertanian organik. Beberapa elemen dari sistem pertanian organik telah dilakukan oleh petani seperti sistem pertanaman polikultur, rotasi tanaman, pemanfaatan pupuk kandang serta pengendalian hama secara hayati, akan tetapi beberapa bagian dari elemen sistem usaha pertanian organik ini petani masih memanfaatkan input anorganik dari luar seperti sebagian kecil pupuk dan pestisida. 2. Pengalaman berusaha tani, tingkat pendidikan, luas lahan dan pendapatan yang tinggi memiliki hubungan dengan adopsi petani dalam penggunaan pupuk organik pada lahan usaha taninya. 3. Komunikasi interpersonal terhadap penyuluh, LSM, dosen, dan peneliti memiliki peran yang besar dalam mengubah pola pertanian menuju pertanian organik, sementara itu keterdedahan terhadap media lebih bersifat menambah wawasan petani. 4. Karakteristik inovasi dari pertanian organik tidak memiliki hubungan dengan praktek petani di dalam pemanfaatan sarana produksi organik. 5. Pemanfaatan sarana produksi lokal untuk pengendalian hama penyakit tanaman bawang memiliki hubungan dengan kemandirian petani dari ketergantungan pestisida.
Saran 1. Perlunya peningkatan peranan peneliti, penyuluh dan pihak terkait lainnya dalam memsosialisasikan pertanian bawang merah organik. 2. Penguatan modal petani dan peningkatan pengetahuan petani dengan sistem integrasi pertanian dan ternak untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal guna meningkatkan kemandirian sarana produksi.
89
DAFTAR PUSTAKA Adi W. 2002. Hubungan Karakteristik Dan Perilaku Komunikasi Petani Dengan Persepsinya Terhadap Inovasi Teknologi Alat Mesin Pertanian. [tesis] Pascasarjana IPB. Adiyoga W. 2002. Karakteristik Usaha Tani Sayuran Organik di Jawa Barat, Status dan Prospek. Buletin Ristek Balitbangda Jawa Barat.1:01. Agussabti. 2002. Kemandiriaan Petani Dalam Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi (Kasus Petani Sayuan di Propinsi Jawa Barat) . [disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Balai Desa Srigading. 2009. Monografi Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Balitsa [Balai Penelitian Tanaman Sayur]. 2005. Panduan Teknis PTT Bawang Merah no. 3. Jakarta. Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Sanden. 2009. Materi Siaran Radio 89,1 FM di Gabusan, tanggal 20 Februari 2009 Jam 07.00-09.00. Berlo D K 1960. The Proses of Communication. New York: Hort, Rinehart and Winston. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1993. Tungro dan wereng hijau. Di dalam : Laporan akhir kerja sama Teknik JepangIndonesia Bidang Perlindungan Tanaman Pangan. (ATA-162). Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. FAO 2002. World Summit on Sustainable Development. http/www.fao.org.[di akses 24 mei 2010]. Halim N R. 1992. Hubungan Karakteristik Sosial ekonomi dengan perilaku Komunikasi anggota Kelompok simpanPinjam KUD dan Pemanfaatan Kredit Pedesaan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Handayani R S. 2007. Anasisis Keunggulan Komparatif Dan Kompetitif Usaha Tani Bawang Merah Konvensional Dan Organik Di Kabupaten Brebes. [skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian IPB. Hapsari H. 2007. Perilaku Komunikasi “sadar Pangan dan gizi” pada Akseptor KB Lestari (kasus di Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang). Sosiohumaniora, Vol.9, No,1Maret. Hartomo dan Aziz, A. 1990. Ilmu Sosial Dasar. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Hermawanto, V.R. 1993. Hubungan Karakteristik Petani yang Menanam Varietas Padi Unggul Lokal dan PersepsiMereka Tentang Varietas Tesebut di Desa Gledek Kabupaten Klaten Jawa Tengah dan di Desa Jambudipa, Kabupaten Cianjur. [tesis] Pascasarjana IPB. Bogor.
90
Hernanto, F. 1989. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya. Jakarta. Hersey, P dan Blanch. 2004. Manajemen Perilaku Organisasi, pendayagunaan sumber daya manusia(alih bahasa: Agus Dharma). Erlangga. Jakarta. Hubeis A V S. 1992. Strategi Penyuluhan Pertanian Sebagai Salah Satu Upaya Menswadayakan Petani-Nelayan. Makalah Seminar Sehari Dalam Rangka Ulang Tahun ke V PERHEPI, Desember 1992. Humaedah U. 2007. Peranan Kontak Tani Dalam Difusi Inovasi. [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. International
Federation Of Organik Agriculture and Food http//www.IOFAM.org. 2004. [di akses 24 mei 2010].
Security.
Ichwanudin. 1998. Hubungan Komunikasi Peserta Kelompok Penggerak Pariwisata Dengan Adopsi Program Sapta Pesona Di Kabupaten Sukabumi. [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jahi, A. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia ke Tiga, Suatu Pengantar. Jakarta. Gramedia. Juherman. 2009. Perkembangan Hama Dan Penyakit Pada Sistem Pertanian Organik Padi Sawah (Orizae Sativa L). [tesis]. Pascasarjana IPB. Bogor. Kifli C G 2002. Perilaku komunikasi petani padi dalam penerapan usaha tani tanaman pangan. [tesis]. pascasarjana IPB. Bogor. Manguiat .1995. In Search Of Alternative Fertilizers For Sustainable Agriculture. The Setania. Option. Phillipines: SEAMEO-SEARCA. Los Banos. Mardikanto T. 1992. Penyuluhan Pembangunan Indonesia. Surakarta. Sebelas maret University Press. Marliati. 2008. Pemberdayaan Petani Untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Dan Kemandirian Petani Beragribisnis. [disertasi] Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Minar N. 1988. Hubungan Beberapa Karakteristik Sosial Ekonomi Dan Perilaku Petani Mengadopsi Rumput Unggul Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk Kabupaten Majalengka Jawa Barat. [tesis]. Sekolah pasca sarjana IPB. Bogor. Muhadjir, 2001. Identifikasi Faktor-Faktor Opinion Leader Inovatif Bagi Pembangunan Masyarakat. Rake Serasin Yogyakarta. Pambudy
R. 1999. Perilaku Komunikasi, perilaku wirausaha peternak, dan penyuluhan dalam sistem agribisnis peternakan ayam. [disertasi] pascasarjana IPB.
Purmiyati S. 2002. Analisis Produksi dan Daya Saing Bawang Merah di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. [Tesis] Pascasarjana IPB. Bogor. Puttileihalat. 2007. Hubungan Perilaku Komunikasi dengan Perilaku Usaha Tani Petani Minyak Kayu Putih (Kasus di Desa Piru, Kecamatan Seram
91
Barat, Kabupaten Seram Bangian Barat). [tesis] Pascasarjana IPB. Bogor. Radi A G. 1997. Meningkatkan Kemandirian dan Daya Saing Pertanian Indonesia. Dalam Prosiding Konferensi Nasional XII Perhepi (Denpasar 9-11 Agustus 1996). Velenzuela, Radovic T., 1999. Organik Farming. An Overview of the Organik Farming Industry in Hawai. Vegatabel Crops Update Vol.9. No.1. Rahayu E dan Nur, B. 1994. Bawang Merah. Penebar Swadaya. Jakarta. Rafinaldy. 1992. Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Dengan Perilaku Komunikasi Anggota Kelompok Simpan Pinjam KUD Dan Pemanfaatan Kredit Pedesaan Di Kabupaten Cianjur. [tesis] Pascasarjana IPB. Bogor. Reijntjes C Havekort, Water-Bayer, A. 1994. Pertanian Masa Depan. Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah. Alih bahasa:Sukoco. Kanisius. Yogyakarta. Rismunandar. 1986. Membudidayakan Lima Jenis Bawang. Bandung. Sinar baru. Rogers E.,Shoemaker.1981. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru, (alih bahasa: Abdillah Hanafi). Surabaya:Usaha nasional. Rogers E. 1993. Diffusion of Inovations. Fourth edition. The Free Press. New York Roswita, R. 2003. Tahapan Proses Keputusan Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Dan Penyakit Tanaman Dengan Agen Hayati (kasus petani sayur di Kecamatan Banuhampu dan Sungai Puar Kabupaten Agam Sumatera Barat). [tesis]. Program Pascasarjana IPB. Rukka H. 2003. Pola Komunikasi Pengelolaan Taman Nasional Dalam Meningkatkan Kesadaran Konservasi Pengunjung (kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango). [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sadono, D. 1999. Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu Oleh Petani (Kasus di Kabupaten Karawang Jawa Barat). [tesis] Pascasarjana IPB. Bogor. Saleh A. 1988. Hubungan Beberapa Karakteristik Dan Perilaku Komunikasi Pemuka Pemuka Petani Dalam Diseminasi Teknologi Midel Farm Di Daerah Aliran Sungai Citanduy, Ciamis Jawa Barat. [tesis]. Program Pascasarjana IPB. Saragih B. 2005. Petani tidak di Subsidi, Malah Kena Pajak. Artikel on line. Diakses dari www.kontan-online.com .[di akses 24 mei 2010]. Schramm W dan Lawrence K. 1977. Asas-Asas Komunikasi Antar Manusia (Terjemahan Agus Setiadi). Jakarta. LP3S. Singarimbun, M. Dan S Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Yogyakarta.
92
Sitanggang A. 1993. Analsis Usaha Pertanian Organik. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian IPB. Bogor. Slamet M. 2000. Memantapkan posisi dan meningkatkan peran penyuluhan pembangunan dalam pembangunan. Disampaikan dalam seminar nasional pemberdayaan sumberdaya manusia menuju terwujudnya masyarakat madani. Bogor 25-26 september 2000. Slamet M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Pembangunan; Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian Di Era Otonomi Daerah. Penyntung Ida Yustina Dan Adjad Sudrajat. IPB Press Bogor. Sulistiyono L. 2002. Pengetahuan, sikap dan Tindakan Petani Bawang Merah Dalam Penggunaan Pestisida. [tesis] Pascasarjana IPB. Bogor. Sudana M.2009. Monitoring Aktivitas Petani Dan Analisis Ekonomi Pertanian Sayuran Organik Dan Konvensional Pada Daerah Dataran Tinggi Bali.[skripsi]. Universitas Udayana.Bali. Soekartawi. 1988. Prinsip-Prinsip komunikasi Pertanian. Jakarta. UI Press. Soetrisno L. 2006. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian, Sebuah Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta. Kanisius. Stockdale, E.A., N.H. Lampkin, M. Hovi, R. Keatinge, E.K.M.Lennartsson, D.W. Macdonald, S. Padel, F.H. Tattersall, M.S. Wolfe and C.A. Watson. 2001. Agronomic and environmental implications of organic farming systems. Adv.Agr. 70:p262-326 Sudirja R. 2008. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sistem Pertanian Organik. Makalah acara Penyuluhan Pertanian, KKNM UNPAD Desa Sawit Kec. DarangKabupaten Purwakarta, 7 Agustus 2008.. Sulastini .1990. Kepemimpinan Dan Perilaku Komunikasi Tim Penggerak PKK Di Kabupaten Banyumas. [tesis]. Program Pascasarjana Institit Pertanian Bogor. Sumardjo, 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani. [disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Suaknto, S. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. Rajawali Press. Thoha
M. 1993. Perilaku Organisasi: Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Untung K.
1997 Peranan Pertanian Organik Dalam Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan. Makalah yang Dibawakan Dalam Seminar Nasional Pertanian Organik.
Van den Ban, Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta. Winangun W. 2005. Membangun Karakter Petano Organik Sukses Dalam Era Globalisasi. Yogyakarta. Kanisius. Wiryanto 2000. Teori Komunikasi Massa. Jakarta. Grasindo.
93
Wiryanto. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Gramedia Widiasarana. Jakarta. Wiriaatmadja, S. 1977. Pokok-Pokok Penyuluhan Pertanian. Yasaguna. Jakarta. Yolanda 1998. Partisipasi Petani Dalam Kegiatan PIR Kelapa Sawit. . [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
89
LAMPIRAN
90
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
91
Lampiran 2: Kuesioner penelitian
Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian Dan Pedesaan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2010
HUBUNGAN PERILAKU KOMUNIKASI DENGAN PRAKTEK BUDIDAYA PERTANIAN ORGANIK PADA PETANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN BANTUL
Oleh Ikhsan Fuady I352080111
Daftar pertanyaan
Nama responden
: ……………………………………………..
Tempat tinggal
: ……………………………………………..
Desa/Kecamatan
: ……………………………………………..
Pengalaman usaha tani
: ……………………………………………..
Pendapatan
: ……………………………………………..
Luasa Lahan
: ……………………………………………..
Tanggal wawancara
: ……………………………………………..
92
I. Perilaku Komunikasi A. Keterdedahan pada media massa (dalam kaitannya memperoleh informasi pertanian organik, dalam satu musim tanam terakhir). Selama mengusahakan budidaya pertanian bawang merah, apakah bapak/ibu mencari informasi dari media massa? No Jenis media massa Ya Tidak 1
Surat kabar/Koran
2
Radio
3
Televisi
4
Media lainnya: sebutkan
Berapa kali dalam sebulan bapak/ibu memanfaatkan media massa: No
Jenis media massa
Lama Pemanfaatan
1.
Surat kabar/Koran
……………….. kali/bulan
2.
Radio
……………….. Jam/hari
3.
Televisi
……………….. Jam/hari
Media lainnya
……………
Jenis media mana yang biasanya memuat/menayangkan pertanian organik, baik aspek budidaya maupun pemasaran? No
Jenis media massa
Ya
Tidak
93
1.
Surat kabar/Koran
2.
Radio
3.
Televisi
4.
Media lainnya: sebutkan
1. Pada media surat kabar , pada rubrik apa yang biasa bapak temukan tentang budidaya pertanian organik? dan berapa sering bapak membaca/menyimaknya? 2. Pada Radio , pada rubrik apa yang biasa bapak temukan tentang budidaya pertanian organik? dan berapa sering bapak membaca/menyimaknya? 3. Pada lelevisi, pada rubrik apa yang biasa bapak temukan tentang budidaya pertanian organik? dan berapa sering bapak membaca/menyimaknya? 4. Jika bapak mendapatkan informasi tentang pertanian organik pada media massa, bagaimana tanggapan bapak terhadap informasi tersebut? C. Kontak interpersonal dengan fasilitator/LSM Berapa kali dalam sebulan komunikasi interpersonal bapak/ibu dengan fasilitator ataupun LSM; Frekuensi rata-rata komunikasi No pertemuan tiap bulan interpersonal
21.
Komunikasi bapak dengan penyuluh pertanian
……………….. kali/bulan
22.
Komunikasi bapak dengan LSM atau pun dosen/peneliti
……………….. kali/bulan
23.
Komunikasi bapak dengan petugas instansi terkait
……………….. kali/bulan
94
24.
Komunikasi bapak dengan pihak lainnya
……………
25. Di dalam interaksi bapak dengan penyuluh pertanian mengenai praktek usaha pertanian bawang merah organik, bagaimana bapak mensikapi hasil komunikasi tersebut terhadap usahatani bapak? 26. Di dalam interaksi bapak dengan LSM atau pun dosen/peneliti mengenai praktek usaha pertanian bawang merah organik, bagaimana bapak mensikapi hasil komunikasi tersebut terhadap usahatani bapak? 27. Di dalam interaksi bapak dengan petugas instansi terkait mengenai praktek usaha pertanian bawang merah organik, bagaimana bapak mensikapi hasil komunikasi tersebut terhadap usahatani bapak?
D. Interaksi dalam kelompok Berapa kali dalam sebulan komunikasi bapak/ibu dengan sesama anggota kelompok ataupin petani lainnya? Frekuensi rata-rata Interaksi dengan No pertemuan tiap bulan petani lainnya
21.
Komunikasi bapak dengan anggota kelompok
……………….. kali/bulan
22.
Komunikasi bapak dengan pengurus kelompok
……………….. kali/bulan
23.
Komunikasi bapak dengan petani lainnya antar kelompok
……………….. kali/bulan
95
24.
Komunikasi bapak dengan pihak lainnya
……………
25. Di dalam komunikasi bapak dengan anggota kelompok mengenai praktek usaha pertanian bawang merah organik, bagaimana bapak mensikapi hasil komunikasi dengan sesame anggota kelompok tersebut terhadap usahatani bapak? 26. Di dalam komunikasi bapak dengan pengurus kelompok mengenai praktek usaha pertanian bawang merah organik, bagaimana bapak mensikapi hasil komunikasi dengan pengurus kelompok tersebut terhadap usahatani bapak? 27. Di dalam komunikasi bapak dengan petani lainnya antar kelompok mengenai praktek usaha pertanian bawang merah organik, bagaimana bapak mensikapi hasil komunikasi tersebut terhadap usahatani bapak? II.
Penilaian petani terhadap teknologi Penilaian
No
Pertanyaan
Setuju
Keuntungan Relatif
1
2
3
4
5
6
Dengan menanam benih varietas lokal yang diproduksi sendiri, bapak dapat menghemat pengeluaran jauh lebih besar. Dengan menggunakan pupuk organik ini, biaya produksi jauh lebih kecil. Dalam pengendalian HPT, dengan menggunakan pestisida nabati, bapak merasa dapat menghemat pengeluaran jauh lebih besar. Keuntungan yang diperoleh dengan budidaya organik ini atara lain yaitu penjualan hasil produksi lebih mudah. Memupuk dengan pupuk organik ini relatif lebih menguntungkan karena pembuatannya lebih mudah dikerjakan sendiri. Menanam benih varietas lokal ini relatif lebih menguntungkan karena penyediaan benih tidak
Kurang setuju
Tidak setuju
Tidak tahu
96
memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak Pengendalian HPT ini relatif lebih menguntungkan 7 karena pestisida nabati ini mudah dikerjakan sendiri. Dengan menanam benih varietas lokal yang diproduksi sendiri, bapak dapat memiliki waktu 8 luang yang lebih banyak, karena tidak perlu mencari ke pihak lain Dengan memanfaatkan pupuk organik yang tersedia secara lokal bapak dapat memiliki waktu luang 9 yang lebih banyak, karena tidak perlu mencari ke pihak lain Dengan memanfaatkan pestisida racikan sendiri yang tersedia secara lokal bapak dapat memiliki 10 waktu luang yang lebih banyak, karena tidak perlu mencari ke pihak lain dan dilakukan kapan saja. Secara umum budidaya bawang organik ini lebih 11 sedikit membutuhkan biaya dan tenaga. 12 Hasil penjualan produksi bawang merah lebih tinggi Kompatibilitas 13
14 15 16 17
18
19
20
Budidaya pertanian bawang organik ini sangat sesuai dengan kondisi sumber daya alam yang ada di desa ini. Untuk memproduksi benih lokal bawang merah ini, kondisi alam di sini sangat mendukung Untuk membuat pupuk organik ini, bahan bakunya sangat mendukung Untuk memproduksi pestisida nabati ini, kondisi alam untuk bahan baku di sini sangat mendukung Budidaya pertanian bawang organik ini sangat sesuai dengan keadaan keinginan serta kebutuhan bapak. Dibandingkan dengan budidaya anorganik, budidaya bawang secara organik ini sangat cocok dengan potensi bawang di desa ini. Dari segi norma dan kebiasaan masyarakat pertanian organik bawang merah ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Dari segi agama, pertanian yang ramah lingkungan ini seperti pertanian bawang organik ini sangat sesuai dengan ajaran agama.
97
Dengan menanam varietas lokal yang ada disini saya merasa lebih nyaman/ sesuai jika dibandingan memamam varietas impor/dari luar. Dengan pupuk organik yang ada disini saya merasa lebih nyaman/ sesuai jika dibandingan dengan 22 menggunakan pupuk anorganik (urea,TSP,NPK,ZA,KCL) Dengan menggunakan pestisida nabati yang mudah di buat sendiri disini saya merasa lebih nyaman/ sesuai 23 jika dibandingan menggunakan pestisida anorganik (furadan, decis, matador, dll) Penggunaan pupuk organik, pestidida organik ini sangat sejalan dengan nilai-nilai yang ada di 24 masyarakat, yang mendukung pertanian yang ramah lingkungan 21
Kompleksitas 25
26
27
28
29
30
31
32
Jika di bandingkan dengan cara memproduksi anorganik, cara produksi benih secara organik lebih sederhana Jika di bandingkan dengan cara memproduksi anorganik, cara produksi mendapatkan pupuk secara organik lebih sederhana Jika di bandingkan dengan cara memproduksi anorganik, cara produksi mendapatkan pestisida secara organik lebih sederhana Teknik penanaman dalam budidaya bawang organik jauh lebih mudah dibandingkan dengan an organik Teknik pemupukan serta jumlah dosis yang digunakan dalam budidaya bawang organik jauh lebih mudah dibandingkan dengan menggunakan pupuk kimiawi. Teknik pengendalian hama penyakit serta jumlah dosis yang digunakan dalam budidaya bawang organik jauh lebih mudah dibandingkan dengan menggunakan pestisida kimiawi. Agar tumbuh dengan baik penanaman benih (yang di dapat di toko pertanian) harus sesuai dengan musim tanam. Teknik penyemprotan dengan pengendalian hama secara hayati lebih fleksibel dan mudah diterapkan kapan saja.
98
Teknik pemupukan dengan pupuk organik mudah diterapkan kapan saja. Menurut bapak pemupukan dengan pupuk organik 34 hanya memerlukan peralatan yang sederhana Menurut bapak penananan benih produksi secara 35 organik ini hanya memerlukan peralatan yang sederhana Menurut bapak pengendalian HPT secara organik 36 hanya memerlukan peralatan yang sederhana 33
Trialabilitas 37
38
39
40
41
42 43 44 45
46
47 48
Pembuatan kompos dan pupuk organik lainnya sangat mudah dilakukan karena bahan yang banyak terdapat di lingkungan sekitar Pembuatan pembuatan pestisida nabati dari bahanbahan alami yang ada sangat mudah dilakukan karena bahan yang banyak terdapat di lingkungan sekitar Penanaman benih lokal sangat mudah di praktekkan dilapangan pertanian bapak karena benih yang banyak terdapat di lingkungan sekitar Petani sangat mudah untuk memperoleh bahan untuk pembuatan kompos dan pestisida nabati Pengendalian hama secara hayati lebih mudah dilakukan di lahan pertanian karena biaya yang rendah Pembuatan pupuk organik mudah untuk dicoba karena biaya yang dibutuhkan sedikit Produksi benih lokal lebih mudah dilakukan di lahan pertanian karena biaya yang rendah Memproduksi untuk benih secara organik lebih mudah dibuat dari pada anorganik. pengaplikasian pupuk organik di lapangan lebih mudah jika dibandingkan dengan pupuk anorganik. Pengendalian hama secara hayati lebih mudah dilakukan di lahan pertanian karena waktu yang diperlukan tidak lama Pembuatan pupuk organik mudah untuk dicoba karena waktu yang diperlukan relatif singkat Produksi benih lokal lebih mudah dilakukan di lahan pertanian karena waktu yang diperlukan tidak lama Observabilitas
99
49 50 51
52
53 54 55 56
57
58 59 60
Budidaya bawang merah dengan bibit lokal pertumbuhan tanaman tampak lebih baik. Budidaya bawang merah dengan pupuk organik pertumbuhan tanaman tampak lebih baik. Pengendalian HPT dengan pestisida nabati serangan hama mudah dikendalikan Budidaya bawang merah dengan bibit lokal pertumbuhan umbi lebih maksimal dan relatif seragam Budidaya bawang merah dengan pupuk organik pertumbuhan umbi tampak lebih baik. Pengendalian HPT dengan pestisida nabati kerusakan umbi akibat serangan hama mudah dikendalikan Budidaya bawang merah dengan bibit lokal pertumbuhan tanaman tampak lebih cepat produksi Budidaya bawang merah dengan pupuk organik pertumbuhan tanaman tampak lebih cepat produksi Budidaya bawang merah dengan Pengendalian HPT dengan pestisida nabati pertumbuhan tanaman tampak lebih cepat produksi Budidaya bawang merah secara organik Serangan hama lebih meningkat. Budidaya bawang merah secara organik kesuburan tanah terjaga dan telihat lebih sehat. Pengendalian hama secara kimiawi akan lebih cepat membasmi hama di lahan pertanian.
III.
No. 1.
Praktek Usaha Tani a. Penanaman dan permodalan usaha tani
Pertanyaan Untuk melaksanakan penanaman bawang merah :
a. biasanya dari mana bapak memperoleh informasi tentang waktu musim tanam? b. Kapan biasanya melakukan penanaman? c. Dalam setahun berapakali bapak menanam bawang merah? d. Usaha tani bapak menerapkan system tumpang sari atau monokultur? e. Apakah dalam usaha tani bapak melakukan system pergiliran tanaman?
Jawaban
100
f. Berapa luas lahan bapak yang bapak usahakan untuk bududaya bawang merah? g. Berapa bagian dari las lahan bapak yang bapak usahakan untuk bawang merag organik? 2
Untuk melaksanakan penanaman bawang merah :
a. Dimana bapak mendapatkan sarana produksi untuk budidaya? i. Pupuk: ii. Pestisda: iii. Bibit: iv. Peralatan lainnya(Cangkul, mulsa, plastic dll): b. Sarana produksi apa saja yang bapak gunakan? i. Pupuk: ii. Pestisda: iii. Bibit: iv. Peralatan lainnya(Cangkul, mulsa, plastic dll): 3
Untuk permodalan usaha tani bapak:
a. Apakah bapak meminjam dari pihak lain? b. Dari mana bapak mendapatkan pinjaman? c. Seberapa besar bapak mendapatkan pinjaman dari luar? d. Kapan biasanya bapak mengembalikan pinjaman tersebut? e. Seberapa sering bapak meminjam dari pihak luar?
b. Pemupukan No.
Jenis Pupuk organik yang digunakan
Jumlah (Kg) Produk sendiri
1 2 3 4 5 6 ∑
membeli
Jenis Pupuk anorganik yang digunakan
Jumlah (Kg) Produk sendiri
membeli
101
c. Pestisida No.
Jenis pestisida organik yang digunakan
Jumlah (Kg atau liter) Produk sendiri
Jenis pestisida anorganik yang digunakan
membeli
Jumlah (Kg atau liter) Produk sendiri
membeli
1 2 3 4 ∑
Cara Pengendalian lainnya: 1. ……………………………… 2. ……………………………… 3. ……………………………… Praktek pemupukan ,pengendalian HPT dan pemanenan No. 1.
Pertanyaan Untuk melaksanakan penanaman bawang merah :
a. Kapan biasanya melakukan pemupukan? b. Dalam sekali musim tanam berapakali bapak pemupukan? c. Pupuk apa saja yang paling dominan bapak gunakan? d. Di dalam pemupukan dari mana bapak mendapatkan panduan pemupukan (waktu ataupun dosisnya): 2
Untuk melaksanakan pengendalian HPT bawang merah :
a. Kapan biasanya melakukan pengendalian HPT? b. Dalam sekali musim tanam berapakali bapak pengendalian HPT? c. Teknik pengendalian HPT apa saja yang paling dominan bapak gunakan? d. Di dalam pengendalian HPT dari mana bapak mendapatkan panduan pemupukan (waktu ataupun dosisnya): 3
Dalam pemanenan:
a. Pada umur berapa bapak melakukan pemanenan? b. Dari hasil pemanenan bagaimana bapak melakukan penanganan pasca panen(penjemuran, pembersihan, pengepakan)? c. Apakah bapak melakukan penjualan hasil panen masih di lapangan atau lainnya?
Jawaban
102
d. Benih No.
Jenis Benih lokal yang digunakan
Jumlah (Kg) Produk sendiri
Jenis Benih lainnya yang digunakan
membeli
Jumlah (Kg ) Produk sendiri
membeli
1 2 3 4 ∑
a. Di dalam budidaaya bawang merah ini sudah berapa lama bapak menggunakan sarana produksi pupuk organik? b. Di dalam budidaaya bawang merah ini sudah berapa lama bapak menggunakan sarana produksi pestisida nabati? c. Di dalam budidaaya bawang merah ini sudah berapa lama bapak menggunakan sarana produksi benih lokal yang di produksi di sini? Praktek usaha tani Pemasaran No. 1.
Pertanyaan Untuk melaksanakan pemasaran(penjualan) bawang merah :
a. Kapan biasanya melakukan penjualan? b. Di mana bapak biasanya melakukan penjualan? c. Berapa harga penjualan bawang merah perkilogram yang bapak dapatkan? d. Jika dibandingkan dengan harga di pasaran ditingkat konsumen seberapa besar perbedaan harga tersebut? e. Apakah ada perbedaan harga yang bapak terima jika bawang merah hasi usaha tani bapak organik? i. JIka ada, mana yang memiliki harga jual yang lebih baik? ii. Seberapa mudah menjual hasil usaha tani bapak, jika bawang merah hasil usaha tani bapak organik?
Jawaban
103
Lampiran 3. Uji reliabilitas dan validitas 1. Keterdedahan Media Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.977
6
Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted Media1 Media2 Media03 Media4 Media5 Media6
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Total Correlation
10.9000 11.0000 11.2000 10.9000 11.0000 11.0000
29.878 31.333 32.622 29.878 31.556 32.444
Cronbach's Alpha if Item Deleted
.979 .962 .923 .979 .941 .778
.967 .969 .973 .967 .971 .987
2. Kontak Interpersonal
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.809
6
Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted interpersonal1 interpersonal2 interpersonal3 interpersonal4 interpersonal5 interpersonal6
11.4000 11.7000 11.3000 11.1000 11.5000 11.0000
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Total Correlation 12.933 12.233 11.344 9.433 10.500 9.111
.401 .352 .565 .687 .685 .753
Cronbach's Alpha if Item Deleted .812 .824 .781 .751 .754 .732
104
3. Interaksi dalam kelompok Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.772
6
Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted interaksi1 interaksi2 interaksi3 interaksi4 interaksi5 interaksi6
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Total Correlation
14.8000 14.3000 14.1000 13.6000 13.6000 13.6000
7.289 5.344 4.989 4.711 4.711 4.711
.000 .311 .441 .793 .793 .793
Cronbach's Alpha if Item Deleted .804 .811 .768 .666 .666 .666
4. Keuntungan relatif Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.860
12
Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR00010 VAR00011 VAR00012
37.2000 38.0000 37.8000 37.9000 37.3000 37.5000 37.9000 37.5000 37.3000 37.9000 38.0000 37.8000
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Total Correlation 37.511 32.889 31.733 31.211 34.456 36.278 38.100 34.278 38.011 36.322 32.667 32.844
.815 .528 .663 .736 .796 .475 .125 .585 .496 .402 .733 .646
Cronbach's Alpha if Item Deleted .850 .852 .840 .833 .837 .853 .882 .846 .855 .857 .835 .841
105
5.
Kompatibilitas Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.947
12
Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted kompatibilitas1 kompatibilitas kompatibilitas3 kompatibilitas4 kompatibilitas5 kompatibilitas6 kompatibilitas7 kompatibilitas8 kompatibilitas9 kompatibilitas10 kompatibilitas11 kompatibilitas12
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Total Correlation
37.4000 37.2000 37.1000 37.3000 37.5000 38.1000 37.3000 37.1000 37.3000 38.0000 37.4000 37.1000
79.156 77.733 77.878 74.233 72.722 74.544 73.344 72.100 72.678 75.333 73.822 72.100
.569 .670 .845 .790 .661 .625 .848 .956 .892 .598 .822 .956
Cronbach's Alpha if Item Deleted .948 .945 .942 .941 .948 .948 .940 .936 .938 .949 .940 .936
6. Kompleksitas Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.951
12
Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted kompleksitas1 kompleksitas2 kompleksitas3 kompleksitas4 kompleksitas5 kompleksitas6 kompleksitas7 kompleksitas8 kompleksitas9 kompleksitas10 kompleksitas11 kompleksitas12
7. Trialabilitas
39.7000 40.0000 39.9000 40.1000 39.8000 39.8000 39.8000 40.1000 40.0000 39.9000 39.7000 39.7000
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Total Correlation 42.678 31.556 34.767 37.656 35.511 35.511 41.956 35.433 34.889 34.767 36.233 36.233
.056 .977 .959 .585 .895 .895 .156 .870 .931 .959 .858 .858
Cronbach's Alpha if Item Deleted .962 .940 .941 .953 .943 .943 .961 .944 .942 .941 .944 .944
106
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.914
12
Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted trialabilitas1 trialabilitas2 trialabilitas3 trialabilitas4 trialabilitas5 trialabilitas6 trialabilitas7 trialabilitas8 trialabilitas9 trialabilitas10 trialabilitas11 trialabilitas12
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Total Correlation
39.1000 39.2000 38.9000 39.1000 39.2000 39.1000 38.8000 39.1000 39.2000 39.0000 39.1000 38.8000
26.767 23.067 30.989 25.211 25.511 26.322 30.622 31.433 25.511 26.000 26.767 31.956
.714 .915 .236 .955 .919 .781 .362 .132 .919 .841 .714 .075
Cronbach's Alpha if Item Deleted .904 .893 .921 .892 .894 .901 .917 .925 .894 .898 .904 .925
8. Observabilitas Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.735
12
Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted observabilitas1 observabilitas2 observabilitas3 observabilitas4 observabilitas5 observabilitas6 observabilitas7 observabilitas8 observabilitas9 observabilitas10 observabilitas11 observabilitas12
37.8000 38.2000 38.4000 38.1000 38.9000 38.1000 38.1000 38.0000 38.1000 38.3000 37.7000 37.9000
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Total Correlation 13.289 9.956 9.156 11.656 12.767 10.767 11.656 11.111 11.656 16.011 13.344 13.656
.188 .816 .894 .391 .303 .599 .587 .524 .587 -.401 .260 .044
Cronbach's Alpha if Item Deleted .736 .648 .625 .715 .726 .683 .694 .695 .694 .832 .731 .750
107
Lampiran 4. Uji tau kendal variabel karakteristik individu dengan praktek usaha tani organik Adopsipupuk Kendall's tau_b
Pengalaman
Correlation Coefficient
.389
-.008
Sig. (2-tailed)
.020
.963
30
30
N Pendidikan
.554
Sig. (2-tailed)
.001
.884
30
.025 30
Correlation Coefficient
.358
*
.327
Sig. (2-tailed)
.036
.060
30
30
N LuasLahan
**
Correlation Coefficient N
Pendapatan
AdopsiPHT
*
**
Correlation Coefficient
.577
Sig. (2-tailed)
.001
.091
30
30
N
.293
Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Uji tau kendal variabel karakteristik inovasi dengan praktek usaha tani organik
Kendall's tau_b
keuntunganrelatif
pupukorganik
pestisidanabati
Correlation Coefficient
.251
.045
Sig. (2-tailed)
.101
.774
30
30
Correlation Coefficient
.243
.216
Sig. (2-tailed)
.108
.160
30
30
Correlation Coefficient
-.003
-.029
Sig. (2-tailed)
.984
.854
30
30
Correlation Coefficient
.236
.149
Sig. (2-tailed)
.117
.329
30
30
Correlation Coefficient
-.091
.102
Sig. (2-tailed)
.554
.512
30
30
N kompatibilitas
N kompleksitas
N trialabilitas
N observabilitas
N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
108
Uji Tau Kendal Perilaku Komunikasi Dengan Praktek Usaha Tani Organik Adopsipupukorganik adopsipestidahayati Kendall's tau_b
keterdedahanmedia Correlation Coefficient
.283
.164
.064
.293
30
30
*
.281
.016
.065
30
30
Correlation Coefficient
.173
.274
Sig. (2-tailed)
.254
.076
30
30
Sig. (2-tailed) N kontakinterpersonal Correlation Coefficient
.361
Sig. (2-tailed) N interaksikelompok
N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Uji tau kendal variabel praktek usaha pertanian organik dengan kemandirian petani
kemandirianpupuk kemandirianPHT pupukorganik
Correlation Coefficient
.201
.140
Sig. (2-tailed)
.223
.418
30
30
Correlation Coefficient
.148
.682
Sig. (2-tailed)
.379
.000
30
30
N pestisidahayati
N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
**